Anda di halaman 1dari 146

Hanya untuk Pribadi, tidak untuk disebarluaskan

Untuk … Hani

ii
Kata Pengantar

Assalamu’alaikum Wr.Wb

Sahabat semua, sudah ratusan buku yang saya pelajari, tapi dalam setiap buku, ada satu
halaman yang tidak pernah saya baca yaitu … Kata Pengantar, hahaha … memang benar. Saya tak
pernah sekalipun membaca kata pengantar. Mungkin Anda juga sama, hahaha. Just joke aja kok,
fren.

Saudara, ini saya persembahkan 14 kisah kehidupan sehari-hari. Kisah ini saya rancang
supaya bisa memotivasi para pembaca untuk mencintai ilmu dan rajin mempelajari ilmu islam.
Mungkin ada yang bertanya, “Mengapa dakwah harus lewat kisah?” hehehe. Saudara, saya jadi
ingat saat berusia 20 tahun. Hmm, saat itu saya berusaha mengikuti pengajian rutin di salah satu
masjid di Sidoarjo Jatim. Abis subuh, ngantuk, pengajiannya monoton banget, duh … duduk
mendengarkan pengajian 10 menit tuh rasanya lamaaaa banget. Benar-benar boring. Sama … saat
saya berumur 16 tahun, tiap malam minggu aktif di pengajian kampung. Saya bersama puluhan
teman-teman jalan bareng ke rumah Pak Kiyai untuk rutin mendengarkan ceramah. Tapi … hmm …
ceramahnya monoton banget. Duh … padahal begitu banyak ilmu islam, tapi kenapa hanya
ngebahas yang itu-itu aja? Hmm … padahal begitu banyak metode mengajar, tapi kenapa hanya
memakai yang itu-itu aja????

Karena ‘kemarahan’ inilah, sekarang ini saya berusaha sekuat tenaga untuk dakwah
dengan berbagai cara yang enak dinikmati oleh masyarakat. Ada model ceramah lewat video yang
saya posting di youtube. Ceramah pendek model audio, saya posting di soundcloud. Saya berdoa
semoga masyarakat bisa menikmati ceramah saya dimana aja. Ada juga dakwah dengan model buku
kisah seperti ini sehingga masyarakat bisa mendapatkan nasihat tapi secara tak langsung.

Saudara, jika Anda ingin langsung menangis, silakan baca bab 9. Jika Anda ingin
tersenyum, silakan langsung aja membaca bab 1. Hehehe, Anda nggak harus membacanya dari awal.
Buku ini didesain sebagai sahabat Anda dikala santai. Oya, bagai manusia, buku ini mempunyai ruh
yaitu di bab terakhir. Sengaja saya menulis bab ini lebih dari sepuluh ribu kata. Saya ingin pembaca
larut total dalam kisah ini. Buku ini juga mempunyai jantung yaitu di Bab 2. Tokoh Listi … silakan
renungkan kisah hidupnya, saya yakin Anda akan mengatakan seperti yang dikatakan Listi di akhir
cerita yaitu, “Wahai ilmu, I luv you.”

Saudara, selamat bersenang-senang dengan buku ini. Semoga Allah SWT menurunkan kebahagiaan
kepada kita semua. Amin

Wassalamu’alaikum Wr. Wb

Khalifa Bisma Sanjaya

iii
Daftar isi

Bab 1 Ternyata Selama Ini Dugaanku Salah 1

Bab 2 Apakah Sorga Semurah Itu? 6

Bab 3 Dunia Hanya Membutuhkan Nilai Seratus 31

Bab 4 Elang 34

Bab 5 Ilmu Yang Tidak Diajarkan Di Sekolah 37

Bab 6 Erick Feng 40

Bab 7 Mengumpulkan Barang Langit 55

Bab 8 Bertambah Jalang 60

Bab 9 Cara Mendesain Anak Supaya Menjadi Gila 63

Bab 10 Ketika Allah Memberi Secara Kontan 69

Bab 11 Kadang Kejujuran Terasa Perih 72

Bab 12 Gaya Komunikasi Orang Awam 77

Bab 13 Setelah Kesulitan, Pasti Ada Kesulitan (lagi) 82

Bab 14 Trims Karena Sudah Membunuhku 110

------

iv
Jangan Pernah Keluar Rumah Tanpa Membawa Cinta
Bab 1

Ternyata Selama Ini Dugaanku Salah

Hampir semua penduduk menganggap Besus gila. Usianya baru 15 tahun, tapi
tindakannya benar-benar ngawur. Kerjaan tiap hari adalah mencari rumput untuk kedua sapinya.
Emm … kayaknya bukan sapinya, tapi sapi pamannya. Sejak kecil, orang tua Besus bercerai. Sang Ibu
… dia menikah lagi dengan laki-laki dari Bumen Bantul. Dia jarang ketemu ibunya, paling-paling
setahun sekali. Besus … dia ikut bapaknya tapi … hmm … Sang Bapak tak pernah sholat, kerjaannya
adalah mengadu burung dara. Kalau menang, dapat duit untuk beli beras dan lauk. Kalau kalah …
ngutang kesana kemari. Tapi … sebulan yang lalu tiba-tiba bapaknya meninggal. Kata dokter,
tensinya tinggi banget.

Kini Besus sendiri, hidup dengan pamannya. Perangainya buruk, nakal, bahkan terkesan
seperti orang gila. Saat dia lewat Candi Kalasan, dia kencing di dalam ruangan candi. Sontak petugas
yang jaga langsung marah dan mengusirnya dengan kasar. Dia terus berjalan, hingga sampai ke
Candi Banyunibo, daerah Bokoharjo Prambanan. Mungkin saking lelahnya, dia tertidur di dalamnya.
Terpaksa petugas candi juga mengusirnya dengan kasar.

Besus, mungkin tu pemuda melaksanakan mandi cuma seminggu sekali. Di sore hari,
sambil membawa sabit dan karung, dia berjalan menuju ke sawah untuk mencari rumput. Saat
sampai di pinggir desa, dia ketemu dengan bunga desa … Shita yang super imut dan beauty. Dengan
nyantai Besus berkata, “Wahai Shita … kowe ayu tenan.” Shita tak menoleh sedikitpun. Dia tetap
menyapu halaman. Besus teriak, “Shita sayang, kemarin aku ke Pantai Parangtritis.” Dengan agak
kaget, Shita bertanya, “Ngapain kamu ke sana?” Dengan santai Besus menjawab, “Aku ketemu Ratu
Pantai Selatan. Hmm … aku diam saja karena ternyata tuh ratu masih kalah cantik denganmu.”

Sebenarnya Shita juga senang kalau disanjung tapi kali ini dia merasa malu bercampur
jengkel. Sambil berhenti nyapu, dia mengusap keringat lalu berkata, “Oala Besus … Besus … dasar
wong edan.”

Besus: “Aku edan gara-gara melihat kecantikanmu.”

Shita: “Oya? Kalau gitu jangan lihat wajahku! Biar kamu waras lagi.”

Besus: “Saat aku memejamkan mata, hatiku juga masih terus melihatmu.”

Shita: “Kowe memang wis edan permanen. Wis kono ndang ngarit! Mengo sapimu dho luwe, piye
jal?”

Besus: “Baik, aku akan nyari rumput. Tapi ada satu pertanyaan, tolong jawab, ya!”

Shita: “Wis … ndang ngomongo! Arep takon opo?”

Besus: “Begitu banyak bintang di langit, tapi rembulan cuman satu, kira-kira apa artinya?”

Shita: “Embuh … aku ra reti.”

Besus: “Artinya … begitu banyak gadis di kampung ini, tapi hanya kamu yang ada di hatiku.”

Mendengar kalimat terakhir, Shita semakin marah. Dia mengambil batu seukuran
genggaman tangan orang dewasa. Dia melempar tuh batu ke arah Besus. Hehehe lemparan batu
tidak mengenai Besus. Tuh pemuda berlari sambil kiss bye … hahaha … dasar wong edan.

1
Jangan Pernah Keluar Rumah Tanpa Membawa Cinta
Tapi … setelah melempar Besus, mendadak raut wajah Shita lesu. Aroma kesedihan
menghinggapi hatinya. Jiwanya berbisik, “Duh, kasihan Mas Besus. Dia sebatang kara, musibah
menimpanya tiada henti. Mungkin dia depresi dengan sangat hebat sehingga bicaranya seperti itu.”
Mata Shita terus menatap ke arah Besus yang berjalan cepat menuju sawah. Tatapan kepiluan,
pandangan ke-iba-an. Shita berteriak keras, “Mas Besus, nanti kalau kamu lapar, silakan makan ke
rumahku, ya! Ibukku tadi memasak opor ayam.” Besus tidak menoleh sedikitpun.

Hari semakin sore, karung Besus sudah penuh dengan rumput. Mendadak perut terasa
lapar, tanpa pikir panjang, diapun memakan beberapa ketimun di kebun milik orang. Dia gak peduli.
Habis makan, kok terasa haus, hehehe … matanya melihat ada pohon pepaya. Sama … dia
mengambilnya, memakannya tanpa berfikir tuh buah milik siapa.

Rasa kenyang menghampiri, sebelum pulang, dia menyempatkan diri untuk ziarah ke
makam ayahnya. Suasana makam sangat sejuk karena di tengah lokasi pekuburan ada pohon
beringin besar dan rindang, mungkin usianya sudah ratusan tahun. Seakan pohon itu sebagai payung
lokasi makam. Nampak dari kejauhan Besus komat-kamit berdoa di depan makam ayahnya. Lima
menit kemudian, dia tertidur di bawah pohon beringin. Hmm … pohon beringin di tengah lokasi
makam benar-benar memanjakan tidur Besus.

Beberapa saat kemudian, Besus melihat ribuan malaikat berbaris. Dia terus
memperhatikan … emm … model berbarisnya bukan horisontal, melainkan vertikal. Ujung barisan
adalah beberapa malaikat yang menginjak tanah, sedangkan ujung barisan yang lain … emmm … dia
terus melihat ke langit. Dia tak melihat ujung barisan satunya karena sangat tinggi di langit.

Tapi bukannya takut, aneh … jiwa Besus mendadak menjadi tenang, sakinah datang tiba-
tiba. Karena dilanda penasaran, akhirnya Besus memberanikan diri bertanya kepada salah satu
malaikat yang ada di dekatnya.

Besus: “Assalamu’alaikum.”

Malaikat: “Walaikum salam.”

Besus: “Emm … apa Sampeyan para malaikat?”

Malaikat: “Iya, bener.”

Besus: “Jumlah kalian begitu banyak … emm … ribuan. Kenapa membentuk barisan dari bumi hingga
ke langit?”

Malaikat: “Sebentar lagi ada manusia yang meninggal. Dia tu sangat sholih. Kami akan menyambut
ruhnya, lalu mengantarnya ke langit.”

Besus: “Siapa yang meninggal?”

Malaikat: “Pak Sarju.”

Besus: “Pak Sar … Sar … Sarju????? Dia kan bapaknya Shita?”

Malaikat: “Benar. Apa kamu mencium bau yang sangat harum?”

Besus: “Iya … benar.”

Malaikat: “Itu keharuman ruh Pak Sarju.”

Besus: “Tapi … barusan dua jam lalu aku ketemu ama Shita, di rumahnya gak ada apa-apa?”

2
Jangan Pernah Keluar Rumah Tanpa Membawa Cinta
Malaikat: “Pak Sarju baru aja meninggal. Sebentar lagi akan dimakamkan di sini.”

Besus: “Hmm … padahal selama ini aku tu ragu-ragu apakah alam kubur itu ada atau tidak. Sekarang
aku baru mantap kalau alam kubur itu memang ada.”

Malaikat: “Pak Sarju, kami akan membangun istana sebesar satu kota untuk beliau.”

Besus: “Satu kota????”

Malaikat: “Benar. Kalau siang, dia bebas beterbangan di sorga, kalau malam dia bebas tinggal di
istananya.”

Besus: “Kenapa Pak Sarju bisa disayang Allah? Apa keistimewaan beliau?”

Belum sempat malaikat menjawab, tiba-tiba Besus terbangun dari mimpinya. Dia kaget,
suasana sudah malam. Dia lebih kaget lagi, ternyata ada rombongan orang-orang kampung yang
membawa jenazah untuk dikuburkan di situ. Dia terus mengawasi. Matanya melotot manakala
melihat Shita menangis. Jiwanya terus bertanya, “Siapa yang meninggal?” Mendadak dari arah
samping ada suara, “Besus, Pak Sarju meninggal.” Rupanya pamannya sudah berada di sampingnya.
Beliau juga ikut menghadiri prosesi penguburan jenazah.

Sehari kemudian

Hampir dua puluh menit Besus sujud di dalam masjid. Kepala belum juga diangkat.
Jiwanya menangis, “Ya Allah, ternyata selama ini dugaanku salah. Sejak kecil orang tuaku bercerai,
lalu bapakku meninggal, kukira Engkau tak ada. Kukira dunia ini sudah kacau tanpa Tuhan. Hmm,
semenjak mengetahui rombongan malaikat yang berbaris vertikal … duh … Ya Allah … aku baru yakin
bahwa Engkau memang ada, Engkau memang mengurus kami para manusia. Ya Allah … mulai saat
ini, aku akan mengaji, aku akan mendalami Qur’an, aku akan mengamalkan Qur’an. Ya Allah,
mudahkan aku dalam belajar, juga mudahkan aku dalam menjemput rejekiMu.”

Semenjak saat itu, Besus berubah total. Kini badannya bersih, aura ganteng mulai nampak
menghiasi wajahnya. Kerjaannya sama … mencari rumput. Sekarang kemana-mana dia membawa
Qur’an kecil yang ditaruh di sakunya. Selesai ngarit, dia baca Qur’an di sawah, kadang di bawah
pohon, kadang di pinggir sungai.

Kenyataan ini membuat Shita terhibur. Memang beberapa hari yang lalu Bapaknya
meninggal, tapi melihat Besus pulih kesehatan mentalnya, dia gembira walau kadang
disembunyikan rasa senang itu dalam hati.

Saat ada suasana yang pas, Besus menceritakan pengalamannya bertemu dengan ribuan
malaikat di kuburan. Shita melongo mendengar kisah itu.

Shita: “Jadi … Bapakku masuk sorga?”

Besus: “Iya … aku melihat dengan mata kepalaku sendiri ribuan malaikat menyambut ruh bapakmu.”

Shita: “Alhamdulillah. Duh … mendadak dada ini terasa sejuk … mak nyesss.”

Besus: “Shita, boleh tanya?”

Shita: “Silakan!”

Besus: “Coba ceritakan kepadaku tentang keseharian Bapakmu! Hmm … kenapa beliau bisa
disayangi para malaikat?”

3
Jangan Pernah Keluar Rumah Tanpa Membawa Cinta
Shita: “Emm … beliau bangun pagi kira-kira jam 3.30. Kuperhatikan beliau sholat Tahajjud … tapi
nggak banyak. Paling-paling hanya dua rekaat. Setelah itu sejenak beliau berdzikir, berdoa lalu
membaca Qur’an … kayaknya juga nggak banyak, paling hanya lima hingga sepuluh ayat. Setelah itu
beliau mendalami makna ayat yang barusan dibacanya.”

Besus: “Kok kamu tahu?”

Shita: “Iya … kadang aku yang mendapat tugas membacakan terjemahannya, lalu beliau merenungi
tuh ayat.”

Besus: “Wow, sungguh manusia teladan.”

Shita: “Setelah itu terdengar adzan subuh, beliau berangkat ke Masjid. Abis subuhan, beliau
langsung ke sawah untuk bercocok tanam. Begitulah yang kuperhatikan selama 10 tahun terakhir
ini.”

Besus: “Semoga kita bisa meneladani beliau.”

Shita: “Mas, emm … sawah Bapak nggak ada yang menggarap. Gimana kalau Panjenengan yang
menggarap?”

Besus: “Baiklah, aku siap melaksanakan perintahmu.”

Shita: “Panjenengan bisa makan di sini atau di paman, terserah. Yang penting … melihat
Panjenengan sudah pulih … aku sudah senang kok, Mas.”

Besus: “Sebenarnya aku nggak pulih 100%. Kadang kegilaaanku kumat.”

Shita: “Oya???? Mas, yang serius, to!!!!!!”

Besus: “Aku merasa jadi gila kalau sehari nggak melihat wajahmu.”

Shita: “Oalaaaa … hehehe. Apa Panjenengan benar-benar suka ama aku?”

Besus: “Iya. Sudahlah! Nggak usah dibahas karena pasti kamu menolakku. Aku sadar kok, Dhek …
aku sangat miskin.”

Shita: “Belum tentu di tolak, kok.”

Besus: “Jadi … kamu menerima cintaku??????”

Shita: “Belum tau.”

Besus: “Lho, kenapa jawabannya belum tau?????”

Shita: “Kadang wanita tu sangat malu mengutarakan perasaannya kepada lelaki.”

Besus: “Oya, beda jauh ama laki-laki, ya?”

Shita: “Iya … pokoknya keputusannya seminggu lagi. Jika minggu depan aku masak keasinan, berarti
aku menerima cinta Panjenengan. Kalau aku masak tanpa garam … berarti ….”

Besus: “Berarti kamu menolak cintaku, ya?????”

Shita: “Salah … a … a … a … aku juga menerima cinta Panjenengan.”

4
Jangan Pernah Keluar Rumah Tanpa Membawa Cinta
Besus: “Oalaaaaa … kalau masaknya kepedesan?”

Shita: “Itu artinya aku pingin cepat dilamar?”

Besus: “Hahahahahahahahaha.”

------

5
Jangan Pernah Keluar Rumah Tanpa Membawa Cinta
Bab 2

Apakah Sorga Semurah Itu?

Di ruangan kelas 2 SD yang lumayan panas, Listi mengantuk berat, tapi dia tetap mencoba
untuk mendengarkan Bapak Guru Agama yang lagi berkata, “Anak-anak, islam tu sangat baik, sangat
mudah. Hanya dengan mengucapkan Laa ilaha illallah, maka kita pasti masuk sorga. Sekali lagi,
hanya dengan bersyahadat, maka kita akan masuk sorga. Walaupun dosa kita sepenuh bumi, tapi
pasti Allah akan mengampuni jika kita mengucapkan Laa ilaha illallah.”

Bel berbunyi, semua murid pada berlarian keluar kelas. Panas menyengat, Listi mengayuh
tuh sepeda yang catnya sudah mulai terkelupas. Selama di perjalanan, dia terus merenungi kalimat
demi kalimat yang diucapkan oleh Bapak Guru Agama.

Jam tiga sore, seperti biasa … Listi membantu ibunya untuk mencabuti rumput gulma yang
sering mengganggu tanaman padi. Matahari terus menyengat, untunglah angin lembut mulai datang
menyapa sehingga kulit tak lagi terasa tersengat sinar matahari.

Satu jam kemudian, dia melihat di pematang sawah … para pemuda lagi mengadu
kecepatan burung dara. Sejenak Sang Ibu juga istirahat sambil minum air putih. Merekapun ngobrol.

Listi: “Bu, kenapa mereka mengadu burung dara?”

Ibu: “Judi, kalau menang dapat uang, kalau kalah … mringis … hehehe.”

Listi: “Bukankah judi itu dosa?”

Ibu: “Iya, mereka semua tahu. Pernah aku menasihati mereka untuk menghentikan adu burung
dara. Tapi mereka menjawab, ‘Memang dosa, tapi aku kan mengucapkan syahadat, aku
mengucapkan Laa ilaha illallah. Jadi aku pasti masuk sorga walau mampir ke neraka bentar, nggak
apa-apa, yang penting masuk sorga selamanya.”

Listi: “Hmm … apakah sorga semurah itu?”

Ibu: “Sudahlah, ibu nggak tahu. Ntar kamu tanyakan sendiri aja ama Pak Ustadz saat kamu mengaji
di masjid.”

Sepuluh tahun kemudian

Listi sudah duduk di kelas tiga SMA 3 Pati. Sepulang sekolah, sejenak dia mampir ke rumah
Tia … teman satu kelasnya. Tia tinggal di Margorejo, daerah Pati selatan. Setelah mengerjakan tugas
bersama, sambil nyeruput es teh, mereka guyon.

Tia: “Abis lulus SMA, enaknya ngapain, ya?”

Listi: “Nikah aja, yuk! Mumpung masih muda, hehehe.”

Tia: “Halah. Kok kayaknya kamu tu nggak bisa menahan nafsu deh? Hehehe.”

Listi: “Guyon aja kok, fren. Lha gimana lagi? Mau kuliah … duh … biaya satu semester tuh 15 juta
lebih. Belum termasuk ongkos transport dan nge-kost.”

Tia: “Kalau kerja di pabrik?”

6
Jangan Pernah Keluar Rumah Tanpa Membawa Cinta
Listi: “Maksudmu … pabrik kacang?”

Tia: “Iya … gimana?”

Listi: “Hmm … gajinya sangat kecil. Lelahnya bekerja nggak sebanding dengan gaji yang di dapat.”

Tia: “Hmm … aku juga bingung. The next … enaknya ngapain, ya?”

Listi: “Apakah ada kerjaan yang nyantai, hepi, tapi gajinya besar?”

Tia: “Emm … ada.”

Listi: “Oya?”

Tia: “Tuh … lihatlah ke arah selatan! Ada rumah-rumah yang di luarnya nampak gadis-gadis cantik. Di
situ kerjaannya uenak, gajinya guedhe. Tenan fren, hehehe.”

Listi: “Kerja apa? Menjahit???”

Tia: “Bukan.”

Listi: “Garmen?”

Tia: “Bukan. Kerjanya … jadi pe-es-ka.”

Listi: “Hahahahaha. Duh … parah loe.”

Tia: “Tetanggaku, namanya Mbak Gina. Dia kerja di situ. Perbulan … dia pernah cerita bisa
mengumpulkan duit hampir 10 juta.”

Listi: “Wah … banyak banget, ya?”

Tia: “Hehehe … mulai tertarik, ya?????”

Listi: “Halah … hahaha. Coba kamu duluan yang kerja gituan! Ntar kalau kamu kerasan, baru aku
yang nyusul deh, hehehe.”

Tia: “Aku sih mau duitnya, tapi nggak mau dosanya.”

Listi: “Emm … apa mereka pernah berfikir tentang dosa?”

Tia: “Pernah aku tanyakan bab itu ke Mbak Gina. Dia mengatakan bahwa Islam itu baik kok, nggak
galak kayak ISIS. Yang penting mengucapkan syahadat, mengucapkan laa ilaha illallah, pasti masuk
sorga. Walau dosa sebesar apapun, kalau syahadat … pasti dijamin sorga.”

Listi: “Hmm … andaikan lima puluh juta muslimah negeri ini jadi PSK semua, karena meyakini bahwa
pasti masuk sorga, gimana keadaan negeri ini, ya?”

Tia: “Aku juga bingung. Padahal islam datang untuk menjadikan masyarakat baik, tapi kenapa
mereka malahan rusak karena prinsip syahadat ini. Apakah seperti ini yang diajarkan oleh Nabi
Muhammad?”

Listi: “Kayaknya enggak. Emm … aku yakin nggak seperti ini.”

Tia: “Kayaknya yang salah tu guru-guru agama kita saat kita duduk di sekolah, ya?”

7
Jangan Pernah Keluar Rumah Tanpa Membawa Cinta
Listi: “Nggak tahu. Aku nggak mendalami ilmu islam. Tapi … kita harus tanyakan hal ini kepada yang
paham.”

Tia: “Setuju.”

Sebulan kemudian

Listi ke Semarang. Sudah dua jam lebih dia mencari buku-buku di Gramedia Pandanaran
untuk persiapan ujian akhir. Alhamdulillah tuh buku dah terbeli. Dia lihat jam … ternyata masih jam
satu siang. Akhirnya dia menyempatkan diri untuk jalan kaki menuju ke Masjid Baiturrahman
Simpang Lima yang letaknya sangat dekat dengan Toko Gramedia.

Setelah melaksanakan sholat dhuhur, dia melihat ke serambi, ternyata ada pengajian.
Hehehe … lumayan untuk tambah ilmu, akhirnya diapun ikut menyimak pengajian tersebut.

Selesai pengajian, karena dilanda penasaran yang amat tinggi, maka dia memberanikan
diri untuk menghampiri Sang Ustadz. Sambil terus menunduk, dia berkata, “Pak Ustadz, apakah saya
boleh bertanya?” Dengan santai Sang Ustadz mengangguk.

Listi: “Tapi pertanyaan saya ini sangat panjang sedangkan Ustadz pasti sangat sibuk. Emm … apakah
saya boleh minta alamat facebook aja?”

Sang Ustadz menjawab, “Iya, boleh. Nama fb saya: Rasyed bin Utsman.” Listi nampak senyum
kegirangan. Dia langsung pulang ke Pati.

Sesampainya di rumah, dia langsung mengaktifkan fb, mencari tuh ustadz. Alhamdulillah
ketemu. Sambil menarik nafas panjang, dia mengaktifkan inbox, dan … inilah pembicaraan mereka
lewat inbox …

Listi: “Assalamu’alaikum.”

Rasyed: “Walaikum salam.”

Listi: “Mas Ustadz, numpang kenalan. Nama saya Listi. Saya dari Pati.”

Rasyed: “Kalau saya asli dari Sayung Demak, Dhek.”

Listi: “Saat ini saya duduk di bangku kelas 3 SMA.”

Rasyed: “Kalau saya, kuliah di KSU.”

Listi: “KSU? Apa itu? Kok baru dengar sekarang.”

Rasyed: “King Saud University. Terletak di Riyadh, Saudi Arabia.”

Listi: “Whattttt???? Nggak nyangka Sampeyan pandai banget.”

Rasyed: “Amin. Matur nuwun doanipun.”

Listi: “Katanya kuliah di sana tuh gratis ya, Mas?”

Rasyed: “Enggih Dhek, malahan dapat uang saku. Kalau dirupiahkan … kira-kira 3 juta-an. Lumayan
untuk ditabung. Oya, sekarang kamu sudah kelas tiga, ntar rencana mau kuliah di mana?”

Listi: “Kuliah di dapur ama di sawah, Mas?”

8
Jangan Pernah Keluar Rumah Tanpa Membawa Cinta
Rasyed: “Hahaha … yang serius to!”

Listi: “Emang bener kok, Mas. Biaya kuliah mahal, Bapak nggak ada dana, jadi … yahhh … sabar
dulu.”

Rasyed: “Kudoakan moga-moga kariermu sukses.”

Listi: “Amin. Ok … sekarang saya mau tanya bab agama: apakah benar jika seorang muslim
mengucapkan syahadat, dia pasti masuk sorga? Karena di sini banyak pezina, banyak pemabuk,
banyak koruptor yang yakin masuk sorga karena sudah mengucapkan laa ilaha illallah.”

Rasyed: “Hmm … pertanyaanmu empat baris, tapi jawabannya bisa puluhan baris.”

Listi: “Oya? Gimana Mas? Aku siap menyimak.”

Rasyed: “Begini Dhek, dulu sebelum ada tarbiyah, para sahabat masih dalam masa jahilihah yang
sangat kelam. Setelah mendapat tarbiyah dari Nabi, maka mereka meninggalkan semua kebiasaan
jahiliyah. Akhirnya, mereka seperti lahir kembali sebagai generasi terbaik yang pernah ada di muka
bumi.”

Listi: “Generasi terbaik … aku merinding mendengarnya.”

Rasyed: “Makanan mereka sama dengan kita. Minuman mereka juga sama dengan kita. Mereka
tidur seperti kita. Tapi kenapa mereka menjadi generasi terbaik? Jawabannya sederhana: karena
mereka sangat patuh kepada Nabi Muhammad.”

Listi: “Beda jauh dengan kualitas umat islam negara ini, ya? Mereka berislam, tapi tak mau
meninggalkan kebiasaan jahiliyah seperti berjudi, minum arak, zina, korupsi, dll. Hmm …”

Rasyed: “Untuk memahami tentang konsep laa ilaha illallah secara benar, yuk sejenak kita simak
perkataan Muhammad bin Sa’id Al Qothoni!”

Listi: “Siapa dia?”

Rasyed: “Seorang ulama Arab, pengarang buku Al Wala’ wal Bara’. Hmm … buku itu sangat
terkenal.”

Listi: “Ok, aku siap menyimak.”

Rasyed: “Sesungguhnya Allah mengutus Nabi kita Muhammad SAW kepada umat manusia
seluruhnya agar mereka mengatakan Laa ilaha illallah Muhammad Rosululloh. Jika
mengucapkannya, darah dan harta mereka terlindungi, kecuali jika ada suatu alasan yang
dibenarkan. Adapun perhitungannya adalah urusan Allah SWT. Setelah Allah mengetahui benarnya
keyakinan itu dalam hati mereka, Allah menyuruh Rosul-Nya memerintahkan mereka untuk
menunaikan sholat. Beliaupun memerintahkan dan mereka melaksanakan. Demi Allah sekiranya
mereka tidak melakukannya, tentu ikrar pertama maupun sholat mereka itu tidak berguna. Setelah
Allah mengetahui kebenaran hal itu dalam hati mereka, Allah menyuruh beliau SAW
memerintahkan mereka untuk hijrah ke Medinah. Beliau memerintahkan dan merekapun
melakukannya. Demi Allah sekiranya meraka tidak melakukannya, tentu ikrar syahadat maupun
sholat mereka tidak ada gunanya. Ketika Allah mengetahui kebenaran hal itu dalam hati mereka,
Allah memerintahkan mereka kembali ke Mekah untuk memerangi anak-anak dan bapak-bapak
mereka sendiri hingga mengucapkan seperti yang mereka ucapkan, mengerjakan sholat seperti
sholat mereka, dan berhijrah seperti hijrah mereka. Rosululloh memerintahkan hal itu dan
merekapun melaksanakannya. Demi Allah, sekiranya mereka tidak melakukannya, tentu syahadat,

9
Jangan Pernah Keluar Rumah Tanpa Membawa Cinta
sholat, hijrah dan perang mereka tidak berguna. Ketika Allah mengetahui kebenaran itu dalam hati
mereka, Allah menyuruh beliau SAW memerintahkan mereka melakukan thawaf ke Baitullah dalam
rangka beribadah, dan mencukur rambut mereka sebagai bukti ketundukan kepada-Nya. Mereka
pun melaksanakannya. Demi Allah, sekiranya mereka tidak melakukannya, tentu syahadat mereka,
sholat, hijrah, dan perang mereka terhadap bapak-bapak mereka itu tidak berguna. Ketika Allah
mengetahui kebenaran hal itu dalam hati mereka, Allah menyuruh beliau SAW untuk mengambiil
sebagian dari harta mereka sebagai zakat yang akan membersihkan jiwa mereka. Beliau
memerintahkan mereka untuk melakukan itu, dan merekapun melakukannya sehingga mereka pun
datang membawa harta mereka, sedikit atau banyak. Demi Allah, sekiranya mereka tidak mau
melakukannya, tentu syahadat mereka, sholat, hijrah, perang mereka terhadap bapak-bapak
mereka sendiri maupun thawaf mereka tidak berguna bagi mereka. Ketika Allah mengetahui
kebenaran dalam hati mereka tentang hal-hal yang berkaitan denngan aturan dan batas-batas iman,
saat itulah Allah SWT berfirman: Pada hari ini telah Aku sempurnakan agama kalian untuk kalian,
telah aku cukupkan nikmat-Ku kepada kalian, telah Aku ridha islam sebagai agama kalian – Al
Maidah ayat 3.”

Listi: “Wow … belum pernah aku mendapatkan tarbiyah seperti ini, Mas.”

Rasyed: “Begitulah cara memeluk agama islam yang benar. Tak ada yang memaksa kita untuk
memeluk agama islam. Tapi begitu kita memeluk islam, maka kita harus mau ‘dipaksa Allah’.
Terpaksa sholat, terpaksa berhijab, terpaksa sholihah, terpaksa masuk sorga. Sungguh keterpaksaan
yang indah.”

Listi: “Yang penting nggak dipaksa nikah aja, hehehe. Mas, jika ada muslimah yang sudah
mengucapkan syahadat, lalu dia nggak memakai jilbab, apakah dia masuk sorga?”

Rasyed: “Jika dia meyakini bahwa jilbab itu bukan bagian dari syari’at Allah, maka islamnya batal
alias keluar dari islam. Tapi jika dia tak memakai jilbab karena malas, maka kadar keislaman dan
keimanannya berkurang. Dia termasuk hamba yang berdosa.”

Listi: “Hmm … Mas, terima kasih atas ilmunya. Terima kasih atas pencerahannya. Kapan-kapan kita
ngobrol lagi, ya!”

Rasyed: “Enggih, Dhek.”

Sebulan kemudian

Kebetulan kebun Listi lagi panen mangga. Dia sengaja memilihkan mangga yang manis-
manis. Hehehe … satu karung penuh mangga, ditaruh di sepeda motor dan … ngeng … ngeng …
ngeng … Listi berkendara dari Pati menuju ke Sayung. Nekat juga tuh gadis. Dua jam kemudian Listi
sudah sampai di depan rumah Rasyed.

Listi: “Assalamu’alaikum.”

Rasyed: “Walaikum salam.”

Listi: “Mas, ini kubawakan sekarung mangga untuk Sampeyan. Moga-moga Sampeyan suka.”

Rasyed: “Whattt???? Kok banyak banget?”

Listi: “Mboten nopo-nopo Mas. Kebetulan di kebun lagi panen mangga.”

10
Jangan Pernah Keluar Rumah Tanpa Membawa Cinta
Rasyed: “Matur nuwun, ya Dhek.”

Listi: “Enggih, sami-sami.”

Rasyed: “Tunggu di sini sebentar, aku ada hadiah untukmu.”

Listi cuman menunduk sambil mengelap keringat yang ada di keningnya. Rasyed … dia
masuk ke rumahnya. Hanya 10 detik, kemudian keluar lagi menemui Listi sambil membawa laptop
baru yang masih di dalam kardus.

Rasyed: “Dhek, ini hadiah untukmu.”

Listi: “Whatttt???? Mas, ini laptop mahal lho. Kenapa diberikan ke aku?”

Rasyed: “Nggak apa-apa. Aku ada tiga laptop di rumah. Dengan laptop ini kamu bisa belajar banyak
tentang islam. Aku yakin, laptop ini akan menjadikanmu pandai, berwawasan luas walau tidak
mampu kuliah.”

Listi: “Hiks … hiks … hiks.”

Rasyed: “Kenapa menangis?”

Listi: “Aku tak menyangka Sampeyan baik banget, sholih banget.”

Rasyed: “Oya, dua hari lagi aku akan kembali kuliah di KSU Riyadh. Minta doanya ya, moga-moga
perjalananku selamat, aku mendapat ilmu yang banyak dan berkah.”

Listi: “Enggih Mas, aku selalu mendoakan Sampeyan.”

Rasyed: “Sebelum berpisah, apa kamu ingin mengatakan sesuatu?”

Listi: “Emm … aku berharap, jika Sampeyan lulus, cepat kembali ke tanah air! Biar … biar … biar …”

Rasyed: “Biar apa?”

Listi: “Biar … hehehe … biar apa, ya? Wis pokoknya selamat jalan, ya Mas … assalamu’alaikum.”

Rasyed: “Walaikum salam.”

Angin dan awan ikutan terpana melihat keduanya ngobrol dengan sangat renyah.

Angin: “Kuperhatikan, kini Listi naik motor tapi kok senyum-senyum sendiri, ya?”

Awan: “Pasti karena dapat hadiah laptop baru.”

Angin: “Bukan … kayaknya lebih dari itu.”

Awan: “Maksudmu … Listi diam-diam jatuh hati ama Rasyed?”

Angin: “Iya … tapi menurutku mereka berdua serasi kok. Listi sawo matang tapi manis banget.
Sedangkan Rasyed tuh lumayan ganteng dan berwibawa.”

Awan: “Tapi kayaknya mereka nggak se-kufu, nggak setara.”

Angin: “Menurutku sih nggak harus sebanding. Memang Rasyed pandai, tapi dia juga butuh Listi
yang setia dan penurut. Mereka kelihatannya bersinergi kok.”

11
Jangan Pernah Keluar Rumah Tanpa Membawa Cinta
Awan: “Hehehe, enak juga jadi manusia, ya … ada cinta, ada senyum, ada hepi … hahaha … kok aku
pingin merasakan jadi manusia, ya?”

Angin: “Halah.”

Dua hari kemudian

Diam-diam Listi pergi ke Bandara Ahmad Yani Semarang. Nggak tau kenapa, dia ingin
melepas kepergian Rasyed ke KSU Riyadh. Semakin hari … dada Listi semakin sesak karena dipenuhi
rasa cinta yang mendalam kepada Rasyed. Dia … hmm … dia bukan mencintai fisik Rasyed, tapi
mencintai hati Rasyed, ilmu Rasyed dan kesabaran Rasyed dalam menimba ilmu di negeri orang.
Seumur hidup, Listi belum pernah ketemu dengan pemuda yang mempunyai keteguhan hati seperti
ini.

Hampir setengah jam dia duduk di ruang tunggu Bandara, tapi belum juga ketemu Rasyed. Sejenak
jiwanya bingung.

Hati: “Ngapain kamu di sini?”

Jiwa: “Emm … emm … aku malu mengatakannya.”

Hati: “Rasyed tuh bukan saudaramu, juga bukan sahabatmu, kamu baru aja kenal, tapi kenapa
perasaanmu dalem banget ama dia?”

Jiwa: “Itu bukan urusanmu.”

Hati: “Kamu harus fokus mencari ilmu, bukan malahan jatuh cinta.”

Jiwa: “Seumur hidup aku belum pernah jatuh cinta. Baru kali ini aku jatuh cinta. Emang nggak boleh?
Mana undang-undang yang melarang seorang gadis jatuh cinta?”

Hati: “Dah … cepat lihat ke arah kanan! Tuh Rasyed dah datang bersama Bapak, Ibu dan … ada gadis
berjilbab … wajahnya imut banget. Duh … siapa dia?”

Jiwa: “Hiks … hiks … hiks …”

Hati: “Apa mungkin itu calon istri Rasyed?”

Jiwa: “Hiks … hiks … (jiwa menjerit semakin pilu).”

Lamunan Listi sirna manakala Rasyed melihat Listi. Mereka berpandangan, saling
tersenyum. Listi berusaha untuk mengelap air mata yang terus mengucur.

Rasyed: “Dhek Listi, kenapa kamu di sini?”

Listi: “Emm … emm … emm …”

Rasyed: “Gimana dengan laptop pemberianku? Apa kamu suka?”

Listi: “Eng … eng … enggih Mas. Saya suka.”

Rasyed: “Lima menit lagi aku harus naik pesawat. Selamat jalan ya. Jangan lupa rajin belajar!”

Listi: “Mas, gadis itu. Di … di … dia siapa?”

Rasyed: “Emm … namanya Sekartadji.”

12
Jangan Pernah Keluar Rumah Tanpa Membawa Cinta
Mendengar nama Sekartadji, dada Listi terus deg-degan. Keringat terus mengucur padahal
dalam ruangan ber-AC yang cukup dingin. Nampak telapak tangannya mulai bergetar. Kedua kaki
juga ikutan bergetar. Ibarat laptop … battery-nya tinggal 2% aja … duh.

Listi: “Mas, boleh bertanya?”

Rasyed: “Iya, silakan.”

Listi: “Sekartadji itu … adik kandungmu, ya?”

Rasyed: “Bukan.”

Listi: “Keponakanmu, ya?”

Rasyed: “Juga bukan.”

Listi: “Saudara sepupu?”

Rasyed: “Juga bukan, hehehe … dia Putra dari Pak Kiyai Urwah dari Cepu.”

Listi: “Kenapa dia ke sini?”

Rasyed: “Bapakku dan Pak Kiyai Urwah sepakat menjodohkan aku dengan Dhek Sekartadji.”

Listi: “Sampeyan dijodohkan ama Sekartadji. Apa Sampeyan mau?”

Rasyed: “Mau, bahkan mau banget. Lihatlah … dia cantik, sholihah, rajin menghafal Qur’an.
Bapaknya juga mempunyai pesantren. Jadi … ntar kalau aku dah lulus dari King Saud University
Riyadh, maka aku akan menjadi direktur pesantrennya Kiyai Urwah, menggantikan posisi Kiyai
Urwah.”

Kalimat ini membuat aliran darah Listi hampir berhenti. Dia merasa seperti terbenam ke
dalam tanah. Dengan muka pucat, dia pura-pura tersenyum, pura-pura senang mendengar
perjodohan ini. Setelah basa-basi sebentar, akhirnya … dia melangkah pulang.

Di atas motor yang berlari ngebut, air mata kembali menetes. Semakin lama semakin
deras. Di atas motor, dia sempat menangis … bahkan lumayan keras hingga kadang malahan
menjerit. Tanah dan angin … hmm … tak terasa mereka juga ikut menangis.

Tanah: “Saat kaki Listi berjalan menginjak punggungku … duh … kurasakan kakinya bergetar,
sempoyongan … otot-otot kakinya seperti tak kuat lagi menyangga beban badannya.”

Angin: “Bukan beban badan, tapi beban cinta yang hancur berserak. Hmm … sungguh berat beban
yang dipikul gadis itu.”

Tanah: “Hmm … kuamati Listi berkendara sangat ngebut tapi sering oleng. Duh … aku khawatir dia
bakalan mengalami kecelakaan.”

Angin: “Aku juga sangat khawatir. Duh … padahal sekarang dia masih nyampek di Kaligawe. Jarak ke
Pati masih sangat jauh … dua jam lebih.”

Tanah: “Gimana cara menghibur dia?”

Angin: “Aku gak tau. Kayaknya dia nggak butuh hiburan. Dia butuh Rasyed.”

13
Jangan Pernah Keluar Rumah Tanpa Membawa Cinta
Tanah: “Duh … aku berdoa semoga cepat turun hujan sehingga dia bisa berhenti, sejenak
menenangkan jiwa sehingga nggak terus-terusan menangis.”

Angin: “Ide yang bagus. Akan aku kabarkan usulmu ini kepada awan, semoga dia mau cepat menjadi
hujan.”

Sepuluh bulan kemudian, Listi sudah lulus SMA. Hampir semua teman-temannya
melanjutkan ke perguruan tinggi, sedangkan dia? Dana tidak ada. Tapi dia bangga membantu Bapak
Ibunya menanam padi di sawah.

Untuk mengisi waktu luang, dia sering mengikuti pengajian maupun seminar-seminar islam di Pati,
Kudus, bahkan di Semarang. Semakin lama, hatinya menginginkan satu hal: dia ingin masuk islam
secara keseluruhan, yaitu islam kaafah. Mulutnya … islam, pakaiannya … islam, hatinya … islam,
pokoknya keseluruhan jiwa dan raganya tunduk dan patuh kepada Allah. Kenapa bisa berubah baik
seperti itu? Terus terang, awalnya adalah karena faktor Rasyed dan Sekartadji.

Hati: “Apakah kamu masih mencintai Rasyed?”

Jiwa: “Dulu memang iya.”

Hati: “Sekarang?”

Jiwa: “Emm … ma … ma … ma … masih.”

Hati: “Harusnya kamu hapus tu rasa cinta kepada Rasyed!”

Jiwa: “Aku sudah berusaha tapi … semakin dihapus tu semakin inget ama dia terus.”

Hati: “Kalau gitu nggak usah membayangkan Rasyed, membayangkan Sekartadji aja! Ntar kamu
pasti bisa stabil lagi.”

Jiwa: “Sudahlah! Kuakui imanku masih lemah. Hmm … Mas Rasyed … aku ingin banget menjadi
pandai seperti dia.”

Hati: “Ingin banyak ilmu atau banyak harta?”

Jiwa: “Dua-duanya … hehehe. Tapi kalau boleh memilih, sekarang aku sangat mencintai ilmu.”

Hati: “Kayaknya kamu follower-nya Rasyed, ya?”

Jiwa: “Hehehe … terserah kamu mau bilang apa. Dia mencintai ilmu, maka sudah seharusnya aku
mencintai ilmu.”

Hati: “Berarti kamu mencari ilmu bukan ikhlas karena Allah, tapi karena Rasyed?”

Jiwa: “Duh … kenapa aku dikritik terus???????”

Hati: “Maaf, aku hanya berusaha meluruskan. Tapi, terus terang aku suka banget jika kamu memilih
rajin mengumpulkan ilmu islam. ”

Jiwa: “Seminggu yang lalu aku mengikuti seminar di Demak, duh … materinya bagus banget, masih
teringat kuat mpe sekarang. Aku jadi termotivasi berat.”

Hati: “Emm … seminar tentang ilmu dan harta, ya?”

14
Jangan Pernah Keluar Rumah Tanpa Membawa Cinta
Jiwa: “Benar. Semakin banyak harta, maka manusia akan menjadi budaknya harta, sedangkan
semakin banyak ilmu … maka manusia akan menjadi budaknya ilmu. Hakikat budak ilmu adalah
budaknya Allah … hamba Allah … Abdullah. Hmm … ternyata untuk meraih gelar Abdullah tu … harus
berilmu, ya?”

Hati: “Iya … kalau aku lebih suka kalimat ini: semakin banyak ilmu maka akan semakin taat kepada
Allah, sedangkan kebanyakan maksiat disebabkan karena banyaknya harta.”

Setiap hari Listi membaca dan mendalami buku-buku islam. Koleksinya lumayan banyak,
mpe 70an buku islam tebal-tebal. Saat habis subuhan, karena pikiran masih cling, dia mengaji
Qur’an sambil menghafal lima hingga sepuluh ayat. Jam enam pagi, dia berangkat ke sawah untuk
membantu orang tuanya merawat padi. Jam 11, dia pulang … istirahat bentar sambil membaca buku
Riyadhus sholihin karya Imam Nawawi. Di tangan kanan memegang buku, di tangan kiri memegang
stabilo warna pink. Jika dia ketemu ayat atau hadist yang dia suka, maka diberi warna. Tujuannya …
ntar kalau ada waktu luang, dia akan menghafalnya.

Jam satu siang, dia nggak ke sawah, tapi di ruang belajar. Dia mempunyai target membaca
100-150 halaman dalam sehari. Saat siang, dia konsentrasi pada buku Fiqih Sunnah karya Sayyid
Sabiq. Sebenarnya ada beberapa alternatif buku fiqih, tapi dia mantap memilih karya Sayyid Sabiq
karena mudah dipahami.

Setelah melaksanakan sholat ashar, Listi sejenak nyeruput kopi, menyapu halaman depan
dan belakang, dan … belajar lagi. Saat sore, dia konsentrasi pada buku-buku sejarah nabi khususnya
karangan Syafiyurrahman. Lumayan tebal, tuh stabilo terus menari-nari di atas lembaran-lembaran
buku.

Adzan mahgrib berkumandang, dia bergegas menuju ke masjid. Sebenarnya dia paham
bahwa perempuan paling baik melaksanakan sholat di rumah, tapi memang sengaja dia maghrib-an
di masjid. Alasannya sederhana … dia merasa tentram saat duduk dan sujud di rumahnya Allah. Jadi
walau hanya 10 mpe 15 menit, dia sempatkan untuk i’tikaf di masjid.

Setelah isya, sejenak Listi nonton TV bersama bapak dan ibu. Satu jam kemudian, dia
masuk ke ruang belajar, membaca buku penyucian jiwa karya Ibnu Qoyyim. Hehehe … dia
penggemar berat buku-buku Ibnu Qoyyim. Emm … dia kurang begitu tertarik dengan buku-buku Al
Ghazali, nggak tau kenapa. Mungkin karena sulit dipahami, jadi pikirannya simple banget …
mendalami buku yang mudah dipahami lalu menghafal bab-bab yang dirasa sangat penting.

Tiga tahun kemudian

Listi duduk ditemani oleh Sang Bapak. Sambil nyeruput kopi, sejenak mereka ngobrol
santai.

Bapak: “Kuperhatikan buku-bukumu sudah dua lemari penuh.”

Listi: “Dua ratus tiga puluh lima buku, Pak.”

Bapak: “Emangnya kamu baca semua?”

Listi: “Bukan hanya dibaca, tapi dipelajari dan dihafal bab-bab yang sangat penting.”

Bapak: “Kemarin Si Dinda kesini akan meminjam bukumu. Kenapa kamu tak meminjami dia buku?”

Listi: “Buku-bukuku itu seperti suamiku. Jadi aku nggak mungkin meminjamkan suamiku ke orang
lain.”

15
Jangan Pernah Keluar Rumah Tanpa Membawa Cinta
Bapak: “Hahaha … prinsipmu aneh … tapi aku suka mendengarnya.”

Listi: “Lagian, kalau memang Dinda tuh suka membaca, dia seharusnya membeli buku, bukan
pinjam. Berapa sih harga buku? Hp nya aja mpe 8 jutaan, masak beli buku aja gak mampu? Aneh …”

Bapak: “Hmm … benar juga. Wow, bertahun-tahun kamu mendalami ilmu islam, bapak suka banget.
Walau tak kuliah tapi semangat belajarmu sungguh hebat.”

Listi: “Aku ingin menjadi islam yang kafah, islam secara keseluruhan, Pak.”

Bapak: “Hehehe … kamu sudah menceritakan itu ratusan kali. Coba sekarang aku ingin mengetahui
ilmu yang ada di dalam hatimu.”

Listi: “Dulu … aku tuh ibarat berada di tengah hutan dengan pepohonan yang menjulang tinggi.
Kuarahkan ke kanan, kiri, depan, belakang, mata dan jiwaku hanya melihat pepohonan. Aku tak tahu
harus melangkah kemana. Kini … setelah mempelajari ilmu islam ribuan jam, ibaratnya … aku
sekarang di tengah hutan, tapi lagi memanjat pohon yang paling tinggi. Naa … karena efek
ketinggian inilah, sekarang pandanganku bebas. Aku bisa melihat ke segala arah. Emm … jiwaku
mampu melihat dimana orang-orang awam tak mampu melihatnya.”

Bapak: “Oya? Baik … coba ceritakan tentang bab sholih!”

Listi: “Menurutku orang yang sholih tuh bukannya banyak sholat atau sedekah. Tapi yang paling
sholih adalah orang yang paling teliti terhadap halal dan haram.”

Bapak: “Hmm … mantap. Sekarang ceritakan tentang cinta!”

Listi: “Cinta tuh ada dua: cinta kepada Allah dan cinta kepada ciptaan-Nya. Manakala manusia
mampu menjadikan cinta kepada Allah sebagai cinta tertingginya, maka inilah manusia yang bahagia
sesungguhnya.”

Bapak: “Tak kusangka ilmumu sangat dalam. Coba ceritakan tentang bab terburu-buru!”

Listi: “Terburu-buru itu sifat setan kecuali pada tiga hal: taubat, mengubur mayat dan menikahkan
anak perempuan jika sudah waktunya menikah.”

Bapak: “Menikahkan anak perempuan. Itulah maksudku yang sesungguhnya.”

Listi: “………………..”

Bapak: “Nak, umurmu sudah 21 tahun. Terus terang … aku dan ibumu menghendaki kamu menikah.
Bukan karena apa-apa, tapi aku dan ibumu ingin melaksanakan perintah Nabi Muhammad tentang
bab terburu-buru yang kamu sampaikan tadi.”

Listi: “Hiks … hiks … hiks …”

Bapak: “Lho, kenapa kamu menangis?”

Listi: “Hiks … hiks … Pak … yuk kita bahas tentang ilmu aja! Hiks … hiks … aku tak bisa membahas
tentang masalah pernikahan … hiks … hiks …”

Bapak: “Apa ada lelaki yang sudah menjadi pilihanmu?”

Listi: “Hiks … hiks … i … i … iya, Pak.”

Bapak: “Di mana dia sekarang?”

16
Jangan Pernah Keluar Rumah Tanpa Membawa Cinta
Listi: “Di KSU … King Saud University Riyadh Saudi. Dia kuliah di sana.”

Bapak: “Wow … tak kusangka pilihanmu begitu istimewa. Kamu pandai, calon suamimu cerdas.
Tunggu apa lagi?”

Listi: “Hiks … hiks … hiks …”

Bapak: “Kenapa kamu menangis? Emm … aku tahu, pasti kamu sangat rindu dengannya, to? Sabar
ya, Nak! Aku yakin kalau dia sudah lulus, pasti pulang ke tanah air lagi dan berjumpa denganmu.”

Listi: “Hiks … hiks … bukan itu, Pak?”

Bapak: “Lalu?????”

Listi: “Sekartadji … hiks … hiks … dia sudah mempunyai calon istri … hiks … hiks … yaitu Sekartadji.”

Bapak: “Hmm … duh … piye iki?”

Listi: “Nggak apa-apa kok Pak. Kan sekarang aku sudah mempunyai suami?”

Bapak: “Siapa?”

Listi: “Buku ...”

Bapak: “Duh ……..”

Empat Tahun Kemudian

Listi … belum puas dengan ratusan buku koleksinya, kini dia mendatangi perpustakaan
provinsi. Dia … hehehe, dia penasaran tentang buku-buku yang belum dimilikinya. Dua jam lebih
melihat-lihat buku, kayaknya belum ada yang cocok di hatinya. Ruangan perpus cukup ber-AC, tapi
nampak keringat membasahi kening dan pipinya, hingga jilbab nampak ikut basah. Lelah datang,
sejenak dia duduk di ruangan perpus sambil sesekali nyeruput teh gelas. Mendadak hatinya sibuk.

Hati: “Wahai ilmu yang ada dalam dadaku, tolong kamu bicara! Apa yang harus aku lakukan
sekarang?”

Ilmu: “Ilmu itu adalah yang bisa di bawa ke kamar mandi.”

Hati: “Maksudnya?”

Ilmu: “Ilmu itu bukan tumpukan buku. Ilmu adalah sesuatu yang kau hafal, masuk ke otak. Naa …
ilmu yang sudah bersemayam di otak, maka kamu bisa membawanya kemana aja, termasuk ke
kamar mandi. Sudahlah … berhenti aja hunting buku! Sekarang saatnya menghafal dan menghafal.
Tak ada gunanya menumpuk buku di lemari, hanya akan mengundang debu datang.”

Hati: “Jadi … aku harus menghafalnya?”

Ilmu: “Iya. Silakan rangkum tuh buku! Ketik yang rapi … lalu hafalkan!”

Hati: “Apa tak ada cara lain selain menghafal?”

Ilmu: “Imam Nawawi menyusun buku Riyadhus Sholihin, beliau tuh hafal semua isi buku. Begitu juga
dengan Imam Malik menyusun kitab Al Muwatha’ yang terkenal itu, beliau sangat hafal.”

Hati: “Hmm … kira-kira berapa tahun yang kuperlukan untuk menghafal ilmu yang kupilih?”

17
Jangan Pernah Keluar Rumah Tanpa Membawa Cinta
Ilmu: “Mungkin lima hingga sepuluh tahun, atau bahkan lebih.”

Hati: “Baiklah … berat banget rasanya tapi … pasti Mas Rasyed juga mengalami hal ini juga, ya?”

Ilmu: “Iya … bahkan lebih berat lagi. Dia harus menguasai bahasa arab dan inggris. Lho … kenapa
kamu masih ingat Mas Rasyed terus?”

Hati: “Hmm … itulah kelemahanku. Aku sangat mencintainya. Saking cintanya, apa yang dicintainya
… aku juga ikut mencintainya. Dia cinta ilmu, maka aku juga sama.”

Ilmu: “Umurmu sudah 25 tahun. Aku yakin Mas Rasyed sudah menikah dengan Sekartadji.”

Hati: “Aku juga menyangka seperti itu. Wahai ilmu, gimana cara melupakan Mas Rasyed, ya?”

Ilmu: “Emm … apakah kamu hoby mencintai suami orang?”

Hati: “Enggak deh. Gak bakalan.”

Ilmu: “Coba katakan: Rasyed tuh suami orang, aku tak mungkin mencintai suami orang. Ucapkan
kalimat ini hingga 100 kali! Pagi siang malam. Ntar jiwamu akan luluh, menyerah, nggak lagi
merana.”

Hati: “Baiklah.”

Sejak saat itu, kemanapun Listi terus mengulang dan mengulang kalimat yang diajarkan
oleh ilmu yang ada di dalam dadanya. Sehari … dua hari … sebulan, kalimat itu benar-benar ampuh.
Kini kerinduan kepada Rasyed sudah berkurang drastis. Saat malam hari sepi, ilmu yang ada dalam
dadanya juga memberi nasihat, “Listi, jika kamu mencintai manusia, maka siap-siaplah berpisah
darinya. Tapi jika kamu mencintai Allah, maka Allah takkan pernah meninggalkanmu.” Kalimat ini
ampuh banget sehingga Listi benar-benar berlari menuju Allah dengan memperbanyak sholat
malam, menghafal dan terus menghafal. Saat berangkat ke sawah di pagi hari, dia berjalan kaki
sambil berdzikir. Saat mencabut rumput yang mengganggu tanaman padi, dia juga berdzikir. Saat
istirahat di pematang sawah, dia terus berdzikir sambil mengulangi hafalan.

Cuaca panas menyengat, sambil berteduh di bawah pohon yang rindang di pinggir sawah,
lagi-lagi dia mengobrol dengan ilmu yang ada di dalam dadanya.

Hati: “Wahai ilmu yang ada di dalam dadaku, kira-kira apa yang belum kukerjakan? Sholat … udah.
Mencari ilmu … sudah. Membantu orang tua … sudah. Ibadah … juga sudah. Apa lagi yang paling
penting yang belum kukerjakan?”

Ilmu: “Apa kamu ingin tahu?”

Hati: “Iya, sumpah aku ingin tahu.”

Ilmu: “Satu hal penting yang belum kau kerjakan adalah menikah.”

Hati: “Hmm … kenapa kamu mirip dengan orang tuaku yang senantiasa bicara bab pernikahan?”

Ilmu: “Usiamu sudah hampir 26 tahun. Saatnya kamu menikah.”

Hati: “Aku hanya mau menikah dengan Mas Rasyed.”

Ilmu: “Dia kan sudah menikah.”

18
Jangan Pernah Keluar Rumah Tanpa Membawa Cinta
Hati: “Belum tentu. Aku akan pergi ke rumahnya untuk mengecek apakah dia sudah menikah atau
belum?”

Ilmu: “Kalau ternyata sudah, pasti kamu pingsan. Siapa yang menolong?”

Hati: “Duh … hiks … hiks …”

Ilmu: “Lagian, gak ada ceritanya sumur mendatangi timba.”

Hati: “Hiks … hiks …”

Ilmu: “Kamu tuh wanita, ibarat sumur. Rasyed tuh ibarat timba. Kalau memang Rasyed
mencintaimu, pasti dia ke rumahmu dan melamarmu. Coba ingat-ingat, apakah Rasyed pernah ke
rumahmu?”

Hati: “Enggak pernah … hiks … hiks … dia pasti tidak mencintaiku … hiks … hiks …”

Ilmu: “Listi ….”

Hati: “…….”

Ilmu: “Listi ….”

Hati: “I … i … iya, ada apa?”

Ilmu: “Siapa yang paling mencintaimu di dunia ini?”

Hati: “Ibuk dan Bapakku.”

Ilmu: “Kedua orang ini sangat mencintaimu. Mereka terus berdoa untukmu siang malam. Bahkan
bapakmu sering berdoa sambil menangis, hanya untuk mendoakanmu. Usulku … cobalah menyerah
kepada kehendak bapak dan ibumu! Ikuti aja kata mereka! Kalau memang mereka menjodohkanmu
dengan seseorang, patuhi saja!”

Hati: “Tapi …”

Ilmu: “Menikahlah untuk mencari ridho Allah. Tentang masalah cinta … aku yakin akan tumbuh
dengan sendirinya.”

Hati: “Apa tak ada alternatif lain?”

Ilmu: “Hehehe … dasar anak nakal. Ikuti perintahku atau perintah setan?”

Hati: “Ba … ba … ba … baiklah.”

Sehari kemudian

Listi … tetaplah Listi. Walau ilmunya banyak, wawasannya luas, bisa berfikir dari segala
arah tapi … dia tetaplah wanita yang lebih mendahulukan perasaannya daripada akalnya. Tepat jam
tujuh pagi, dengan mengenakan jaket ungu, dia naik motor menuju ke rumah Rasyed. Keinginannya
hanya satu, ingin memastikan apakah Rasyed memang sudah menikah dengan Sekartadji atau tidak.
Dia kayaknya belum bisa tidur nyenyak kalau belum ke rumah Rasyed.

Dua jam berkendara, kini dia sudah sampai di depan rumah Rasyed. Saat kakinya
menginjak pekarangan rumah, tiba-tiba tuh kaki terasa gemetar. Sejenak dia terdiam dan bingung.
Sudah puluhan kali dia menelan ludah karena ragu dan bingung. Tapi … perasaannya mengalahkan

19
Jangan Pernah Keluar Rumah Tanpa Membawa Cinta
segalanya. Kini dia sudah mengetuk pintu. Sekali … dua kali, belum juga dibukakan. Saat akan
mengetuk pintu yang ketiga kali, tiba-tiba ada yang membukakan pintu.

Tanpa malu, Listi langsung mengamati dengan seksama wanita yang membukakan pintu.
Hmm … tuh wanita sangat ayu … kulitnya kuning bersih, mengenakan jilbab pink sehingga aura
wajahnya semakin terpancar. Wajah itu … duh … Listi semakin gemetar. Keringat sebesar jagung
bertengger di alis dan dagunya. Sejenak mereka beradu pandang. Suasana sepi, tak ada yang
mampu bicara. Akhirnya wanita itu memecah keheningan dengan berkata, “Mbak, silakan masuk!
Kenalkan … nama saya Sarah.”

Mereka berkenalan, tapi rasa penasaran terus mencekik. Akhirnya … dengan keberanian
yang dipaksakan, Listi bertanya, “Dhek, apakah Sampeyan istrinya Mas Rasyed?”

Pertanyaan ini seakan tali puluhan meter yang mengikat sekujur tubuh Listi. Hampir saja
nafasnya berhenti karena takut mendengar jawabannya. Nampak dia terus mengelap keringat yang
membasahi hidungnya yang imut.

Mendapat pertanyaan seperti itu, Sarah menjawab dengan senyum, “Bukan Mbak. Saya adalah adik
ketiga dari Mas Rasyed.”

Jawaban ini seakan membuat tali puluhan meter yang melilit tubuhnya lenyap seketika.
Jawaban itu … hehehe … bagai hujan salju yang menyejukkan semua. Kini jiwanya terasa mak nyesss
… senyum langsung mengiasi bibirnya yang kering. Sambil menarik nafas panjang Listi kembali
bertanya, “Dhek, sekarang Mas Rasyed di mana?”

Tanpa pikir panjang, Sarah berkata, “Mas Rasyed pindah ke Cepu. Beliau menikah dengan
Mbak Sekartadji dua bulan yang lalu. Kini beliau menjadi direktur pesantren keluarga Mbak
Sekartadji.”

“Darrrrrrrr,” kalimat ini menghantam asa Listi hingga berserak, berhamburan tak tentu arah.
Jantung serasa mau meledak, aliran darahnya juga seperti berbalik arah mengumpul di kepalanya.
Kini … wajah Listi berubah menjadi merah padam … dia menahan air mata sekuatnya supaya tidak
tumpah. Selesai berpamitan, Listi-pun memacu motornya ngebut. Tangisannya pecah saat di atas
motor. Lima menit kemudian, perutnya terasa nyeri. Dia menahan sekuatnya tapi … nyeri semakin
hebat. Dengan gontai, dia berhenti sejenak memarkir motornya di SPBU. Akhirnya … diapun
tergeletak tak berdaya di mushola SPBU yang saat itu lagi sangat sepi.

Di dalam mushola, dia mencoba untuk tidak menangis, tapi tak bisa. Perasaan
mengalahkan logika. Dia menangis … meraung … perut semakin sakit, mungkin asam lambung
meningkat dengan sangat drastis.

Setengah jam kemudian, suasana jiwa agak tenang. Setelah minum air beberapa teguk,
hatinya berkata, “Wahai ilmu yang ada di dalam dadaku, hiks … hiks … nasihatilah aku! Kalau kamu
diam aja, kayaknya aku bakalan gila. Aku tak mampu menahan beban seberat ini … hiks … hiks …”

Ilmu: “Level kesedihanmu benar-benar memuncak.”

Hati: “Hiks … aku belum pernah merasakan kepedihan seperti ini. Please … nasihati aku! Berilah aku
pencerahan!”

Ilmu: “Listi … bertahun-tahun kamu menghafal ilmu. Kini … ilmu ini akan menenangkanmu. Ilmu ini
akan meluaskan hatimu. Ilmu ini akan menyelamatkanmu dari kegilaan.”

Hati: “Iya … semoga aja begitu.”

20
Jangan Pernah Keluar Rumah Tanpa Membawa Cinta
Ilmu: “Listi, kesedihan yang berlarut tuh ibarat digigit seribu nyamuk. Ribuan nyamuk itu akan
menyedot energimu dan memberimu sakit. Sudahlah … jangan bersedih lagi!”

Hati: “Hiks … hiks …”

Ilmu: “Listi, kepedihan ini akan membuat musibah menjadi semakin berlipat ganda. Jika kamu tak
mampu survive dari kesedihan ini, maka kamu akan sakit. Orang tuamu juga pasti ikut sakit. Apa
kamu mau melihat kenyataan ini?”

Hati: “Hiks … hiks … aku tak mauuuuu!!!!”

Ilmu: “Sudahlah, jangan lagi bersedih karena … kesusahan yang terus-terusan itu seperti mengukir di
atas air. Energi terkuras, waktu habis, apa ada hasilnya? Nothing. Walau kamu menangis tujuh hari
tujuh malam, tetap aja tak bisa mengubah keadaan bahwa Rasyed sudah menikah dengan
Sekartadji. Listi, stop!!! Jangan lagi mengukir di atas air!!!!”

Hati: “Hmm … jiwaku mulai sedikit tenang.”

Ilmu: “Jika kamu tak bisa stabil dan terus sedih, maka berarti kamu memboroskan waktu. Sebulan
bersedih, jika sehari kamu rata-rata bersedih 10 jam, maka dalam waktu sebulan, 300 jam hilang sia-
sia hanya untuk acara yang bernama kesedihan.”

Hati: “Iya … kamu benar.”

Ilmu: “Dua hari ini, cobalah untuk beruzlah … menyendiri di masjid. Dengan beruzlah, maka kamu
akan semakin dekat dengan cinta pertamamu, cinta tertinggimu yaitu Allah SWT.”

Hati: “Hmm … aku mpe lupa bahwa cinta tertinggiku adalah Allah. Wahai ilmu, terima kasih sudah
mau mengingatkanku.”

Ilmu: “Iya. Listi, yakinlah bahwa setelah lapar pasti ada kenyang. Setelah haus pasti ada kepuasan.
Setelah gelap pasti ada terang. Setelah tangis pasti ada tertawa. Setelah gelisah pasti ada senyuman.
Setelah ketakutan pasti ada rasa aman. Setelah sakit pasti ada kesembuhan, dan … setelah kesulitan
pasti ada kemudahan.”

Hati: “Benar, tak ada yang permanen di dunia ini.”

Ilmu: “Listi, kamu tuh sangat anggun,lemah lembut dan ayu. Jika kamu bersedih, marah, frustasi …
hmm … ketahuilah bahwa kesedihan yang berlarut akan menghilangkan sifat lemah lembut yang ada
di dalam jiwamu.”

Hati: “Oya?”

Ilmu: “Aku tak mau musibah ini menjadikan kamu pemarah, suka jerit-jerit sendiri. Aku tak mau …
aku tak rela.”

Hati: “Kayaknya aku memang harus benar-benar survive, ya?”

Ilmu: “Listi, aku yakin bahwa kepedihan itu akan memperbaiki jiwa. Mungkin kemarin kamu masih
egois, hatimu terus-terusan ada Rasyed. Kini … dengan musibah yang memuncak, jiwamu akan
semakin ayu. Aku yakin sekarang kamu mau sumeleh, menerima apa adanya.”

Hati: “Iya, kini aku sadar bahwa lelaki di dunia ini bukan hanya Mas Rasyed aja, tapi aku yakin
banyak kok yang lebih sholih dari beliau.”

21
Jangan Pernah Keluar Rumah Tanpa Membawa Cinta
Ilmu: “Listi … orang akan depresi parah jika dia memikirkan apa yang tidak dimilikinya. Ibaratnya
sekarang kamu mempunyai 100 koin emas. Ternyata tuh koin hilang satu, tinggal 99 koin emas.
Normalnya kan nggak apa-apa, lha wong koin masih 99, tapi kebanyakan manusia tuh terus
memikirkan satu koin emas yang hilang.”

Hati: “Kalau aku sih … gak bakalan memikirkan satu koin yang hilang itu.”

Ilmu: “Halah … kamu bohong.”

Hati: “Lho kok bisa?”

Ilmu: “Di dalam kehidupanmu, kamu tuh ibaratnya diberi Allah ribuan nikmat, ibaratnya kamu diberi
100 koin emas. Kamu sehat, pandai, banyak hafalan, banyak ilmu, semua organmu juga fit, ayah ibu
ada dan sehat, sawah juga lumayan luas. Wis pokoknya nikmatmu tuh banyak banget. Naa …
sekarang Allah mengambil satu nikmat aja yaitu Mas Rasyed. Mas Rasyed ibarat satu koin emas yang
hilang. Ya udah … relakan aja! Toh kamu juga masih mempunyai 99 koin emas. Nikmat yang
diberikan Allah kepadamu masih sangat banyak.”

Hati: “Duh, aku jadi malu dengan diriku sendiri. Ternyata … hmm … aku melupakan 99 koin emas
yang ada di genggaman tanganku dan terus memikirkan satu koin emas yang hilang yaitu Mas
Rasyed. Duh … wahai ilmu, terima kasih. Untung aku menghafalkanmu dua tahun yang lalu. Kini
kamu sudah bersemayam di kepalaku sehingga kamu bisa menasihatiku sewaktu-waktu kuperlukan.
Jadi … hehehe … aku tak butuh psikiater lagi.”

Ilmu: “Iya … itulah gunanya ilmu. Apa kamu masih mau mendengarkan nasihatku lagi?”

Hati: “Tentu … aku butuh banget.”

Ilmu: “Listi, orang yang terlalu bersedih karena sesuatu yang hilang ibarat anak kecil yang kehilangan
mainannya. Lihatlah anak-anak yang mainannya hilang, mereka menangis sejadi-jadinya.”

Hati: “Duh … kayaknya aku seperti mereka, ya?”

Ilmu: “Hehehe, kamu sendiri yang mengatakannya. Saat Urwah bin Zubeir kehilangan satu kakinya,
beliau tidak depresi. Beliau tawakkal kepada Allah sambil berkata, ‘jika Allah mengambil, pada
hakikatnya Allah memberi.’”

Hati: “Kalimat yang bagus. Apa maknanya?”

Ilmu: “Allah memberi pahala tanpa batas pada manusia yang mau sabar. Allah juga akan
meningkatkan derajat manusia-manusia yang sabar. Jadi, jika saat ini kamu bisa sabar, maka
pahalamu pasti sangat banyak, derajatmu akan naik.”

Hati: “Baiklah, aku akan memilih untuk sabar.”

Ilmu: “Pilihan yang tepat. Listi … Mas Rasyed pergi, aku yakin Allah akan menggantinya dengan lelaki
yang lebih baik.”

Hati: “Amin. Siapa dia?”

Ilmu: “Hehehe, tanyakan aja kepada Allah! Listi … sekarang bagaimana suasana yang ada dalam
dadamu?”

Hati: “Mulai sejuk.”

22
Jangan Pernah Keluar Rumah Tanpa Membawa Cinta
Ilmu: “Baguslah kalau begitu karena jika kamu terus bersedih, maka musuh-musuhmu akan
gembira.”

Hati: “Apakah aku mempunyai musuh?”

Ilmu: “Iya, setan adalah musuh abadimu. Setan akan jingkrak-jingkrak jika kamu sampai depresi,
marah-marah, meninggalkan sholat, meninggalkan ngaji. Setan akan berpesta jika kamu sampai
meninggalkan Allah hanya gara-gara masalah Rasyed. Apakah kamu senang jika musuhmu gembira
karena melihatmu menderita?”

Hati: “Hmm … tak kusangka setan ikut bermain dalam masalah ini.”

Ilmu: “Listi, memang beginilah kehidupan, tak ada yang ideal. Mungkin jiwamu mempunyai
gambaran bahwa jika kamu bersanding dengan Rasyed, maka itulah yang paling ideal. Tapi …
beginilah dunia, tak ada yang benar-benar ideal. Kamu akan merasakan hidup ini ideal saat kakimu
menginjak tanah sorga. Itulah ideal yang sesungguhnya. Selagi kaki ini masih menginjak tanah dunia,
masalah akan selalu datang, musibah menanti sewaktu-waktu.”

Hati: “Beauty princess menikah bahagia dengan ksatria ganteng, kayaknya hanya dalam dongeng,
ya?”

Ilmu: “Hehehe. Ada tapi sangat jarang.”

Hati: “Kini dadaku terasa sangat nyaman, pikiranku terbuka lebar. Apa aku boleh melanjutkan
perjalanan pulang?”

Ilmu: “Iya, silakan! Kulihat beberapa malaikat tersenyum melihatmu sudah pulih.”

Hati: “Oya?”

Hari berganti minggu, kini Listi seperti terlahir kembali. Jiwanya fresh, hatinya sejuk,
akalnya tajam. Dia berhasil melalui pedihnya musibah dengan bantuan ilmu yang bersemayam di
kepalanya. Listi … hmm … andai seluruh wanita di negeri ini mempunyai banyak ilmu sepertimu,
pasti negeri ini akan semakin sejuk, indah dan damai. Wahai ilmu … terima kasih.

Hari berganti bulan, Listi tetap kerja di sawah sambil setia dengan suaminya yaitu buku-
buku, serta hafalan dan hafalan. Tapi nggak tau kenapa, penyakit rindunya kambuh lagi. Kali ini lebih
parah … dia ingin ke Cepu untuk bertemu dengan Rasyed. Jiwanya mati-matian bertengkar dengan
ilmu yang ada di dalam dadanya.

Ilmu: “Tolong urungkan niatmu untuk pergi ke Cepu! Tak ada gunanya menemui Rasyed. Dia tu udah
mempunyai istri.”

Jiwa: “A … a … a … aku cuman mau ketemu doang, kok.”

Ilmu: “Halah … bohong. Aku tahu rindumu kepadanya sangat menggebu hingga minggu ini kamu
mpe mimpi dia tiga kali.”

Jiwa: “Aku janji nggak ngapa-ngapain. Sumpah, aku ingin ketemu doang … titik.”

Ilmu: “Cepu itu jauh. Dari sini kira-kira 100 km.”

Jiwa: “Aku akan naik bis, lewat Blora. Ilmu … saatnya kamu diam! Nggak usah ngoceh terus! Aku ini
manusia, bukan malaikat, jadi … I’m not perfect.”

23
Jangan Pernah Keluar Rumah Tanpa Membawa Cinta
Ilmu: “Terserah deh. Tapi pesanku: tolong jangan ganggu rumah tangga orang!”

Jiwa: “Jangan khawatir! Aku tak sehina yang kauduga. Dah … tolong diam! Aku ingin menikmati
perjalanan ke Cepu. Biarkan aku menikmati travelling ini!”

Begitulah Listi minggu ini. Perasaannya sudah mengalahkan ilmu yang ada di dadanya.
Hmm … cinta memang menghilangkan logika. Cinta … tak ada hitung-hitungannya, cinta … hmm …

Dua jam naik bis, sampailah dia di Jalan Gianti Cepu. Sejenak dia menikmati pemandangan
sekitar yang memang belum pernah dijumpainya. E, mendadak perutnya terasa lapar. Berjalan
sebentar, di sebelah kanannya ada rumah makan yang lumayan bersih dan besar. Jiwanya berbisik,
“Wisata kuliner, yuk!” Dengan wajah sumringah, dia memasuki tuh rumah makan khas Cepu. Dia
lihat detik, masih jam 9 pagi, hehehe … time for breakfast.

Sambil menikmati ayam kremes, sambal uleg dan lalapan, dia melamun kesana kemari.
Sempat pikirannya blank, dia menghidupkan laptop pemberian Rasyed. Semenit kemudian, laptop
nyala … hehehe … gak diapa-apain. Matanya hanya memandang display kosong. Merasa jenuh,
akhirnya laptop di-shut down, masukin tas, diapun melangkah ke kasir untuk membayar makanan
yang sudah di pesan.

“Darrrrr, “ alangkah kagetnya dia, ternyata yang jadi kasir … Rasyed. Seakan tak percaya,
diapun mengucek-ucek matanya sambil mencubit pipinya sendiri, siapa tahu ini hanya mimpi. Tapi
ternyata bukan mimpi … dia benar-benar Rasyed.

Sejenak mereka beradu pandangan. Nampak wajah Rasyed juga kaget. Lima tahun tak
bertemu Listi … tapi kayaknya dia tak lupa. Senyum kangen nampak banget tergambar di wajah
Rasyed. Bagaimana dengan wajah Listi? Wajahnya berseri-seri, aura-nya … duh … sumringah
maksimal kayak lampu 1000 watt. Detak jantungnya kadang kencang, kadang pelan. Kencang karena
rindu sudah terobati, pelan karena bertemu dengan manusia yang selama lima tahun ini terus
dipikirkannya siang malam.

Sedetik kemudian, mereka saling mengucapkan salam, bercanda ringan, dan … mereka
ngobrol santai di kursi rumah makan.

Rasyed: “Dhek, berapa tahun kita tak ketemu?”

Listi: “Emm … sekitar lima tahun enam bulan sebelas hari, Mas.”

Rasyed: “Kok kamu bisa detail banget.”

Listi: “Hehehe … gak tau, Mas … mungkin karena … karena …”

Rasyed: “Dhek, gimana dengan laptop pemberianku?”

Listi: “Bagus kok Mas. Nih kubawa. Dia menemaniku siang dan malam. Sebulan yang lalu RAM nya
kutambah menjadi 4 giga, biar super kencang, hehehe.”

Rasyed: “Alhamdulillah kalau kamu senang dengan pemberianku.”

Listi: “Mas, kenapa kamu bisa menjadi kasir di rumah makan ini?”

Rasyed: “Aku bukan kasir. Ini rumah makan milik pesantren. Di Cepu, ada empat rumah makan
besar milik pesantren, kami harus mengelolanya supaya managemennya tetap sehat.”

Listi: “Hmm … mungkin rumah makan ini seperti divisi usaha milik pesantren, ya Mas?”

24
Jangan Pernah Keluar Rumah Tanpa Membawa Cinta
Rasyed: “Benar, juga sebagai tempat pelatihan para santri supaya bisa mandiri dan mempunyai jiwa
wirausaha.”

Listi: “Mas, aku ingin memberikan sesuatu kepada Sampeyan (nampak Listi mengeluarkan buku
tebal banget dari dalam tasnya).”

Rasyed: “Wow, sebuah buku yang sangat tebal. Siapa pengarangnya?”

Listi: “Sa … sa … saya sendiri.”

Rasyed: “Whattttt?????? Lima tahun yang lalu kamu masih lulusan SMA. Kini sudah pandai
mengarang buku. Wow … kok bisa?”

Listi: “Emm … hanya hoby kok Mas.”

Rasyed: “Enggak, aku nggak percaya. Kamu harus cerita kenapa kamu bisa sepandai ini?”

Listi: “Hiks … hiks … hiks …”

Rasyed: “Kenapa malahan nangis? Emm … saya minta maaf kalau ada perkataan saya yang
menyinggung perasaanmu.”

Listi: “Mas …”

Rasyed: “Iya Dhek …”

Listi: “Hiks … hiks …”

Rasyed: “…………………….”

Listi: “A … a … a … apakah aku boleh terus terang?”

Rasyed: “Iya, silakan …!”

Listi: “Lima tahun yang lalu saat pertama kali ketemu Sampeyan … emm … sa … sa … saya sangat
mencintai Sampeyan. Apalagi mengetahui bahwa Sampeyan kuliah di King Saud University Riyadh.
Duh … hiks … hiks … cintaku semakin dalam.”

Rasyed: “Hmm … tak kusangka kamu mempunyai perasaan seperti itu kepadaku.”

Listi: “Tapi … saat aku mengetahui bahwa Sampeyan sudah mempunyai calon istri yaitu Sekartadji,
duh … harapanku musnah. Aku hanya bisa menangis. Tiap hari aku berusaha melupakan Sampeyan,
tapi tak bisa. Bertahun-tahun kucoba tapi hasilnya nihil.”

Rasyed: “Hmm ………..”

Listi: “Kerjaanku hanya di sawah. Aku tak mempunyai biaya untuk kuliah. Aku terus ingat Sampeyan
yang pinter dan gigih mencari ilmu. Aku cinta Sampeyan. Sampeyan mencintai ilmu, maka aku
memutuskan untuk mencintai ilmu juga. Aku ingin mirip seperti Sampeyan. Karena … hiks … hiks …
aku sangat mencintaimu, Mas.”

Rasyed: “Duh …”

Listi: “Aku rajin ikut pengajian, seminar islam, dan mempelajari ratusan buku karena … aku ingin
mirip Sampeyan. Buku-buku tidak hanya kupelajari, tapi kurangkum dan kuhafalkan. Bukan untuk
apa-apa, aku ingin benar-benar mirip Sampeyan. Usahaku berhasil. Kini dadaku penuh dengan ilmu.

25
Jangan Pernah Keluar Rumah Tanpa Membawa Cinta
Gak nyangka … ilmu-ilmu ini senantiasa mendampingi hidupku, menasihatiku. Ilmu … duh …
ternyata bersahabat dengan ilmu membuat hidup nyaman banget.”

Rasyed: “Wow … perjuanganmu sungguh membuat hatiku trenyuh.”

Listi: “Sebulan ini aku menulis buku tentang kurikulum pesantren. Cuman 830 halaman kok Mas. Nih
kuhadiahkan ke Sampeyan. Aku ingin membuat kurikulum tersendiri yang kurasa sangat update
untuk pendidikan anak-anak. Aku tak begitu suka dengan kurikulum Diknas karena output-nya
kurang maksimal menurutku.”

Rasyed: “Jadi, buku yang kupegang ini adalah murni karyamu?”

Listi: “Enggih Mas. Bahkan aku sudah menghafalnya.”

Rasyed: “Whatttt???? Kok sampai segitunya.”

Listi: “Aku ingin mirip seperti Sampeyan yang pinter, penuh ilmu dan sholih.”

Rasyed: “Andai aku belum menikah, pasti aku akan me …”

Listi: “Mas, sudahlah! Jangan lanjutkan kalimat itu! Hiks … hiks … aku tak mampu mendengarnya.”

Rasyed: “Ada dua wanita yang sangat mencintaiku. Yang pertama adalah kamu, yang kedua adalah
Sekartadji. Hmm, Sekartadji aja masih kalah pinter dibandingkan denganmu. Duh … apa yang harus
aku lakukan?”

Listi: “Cintai Sekartadji aja! Hiks … hiks …”

Rasyed: “Apakah kamu sudah menikah?”

Listi: “Belum. Aku belum bisa mencintai lelaki lain kecuali Sampeyan.”

Rasyed: “Duh … ijinkan aku melamarmu!”

Listi: “Enggak, Mas. Kasihan Sekartadji. Aku tak mau merusak rumah tangga orang.”

Rasyed: “Menurutmu, kenapa Allah mempertemukan kita berdua?”

Listi: “Supaya aku bisa pintar seperti Sampeyan. Aku mantap ingin berislam kafah.”

Rasyed: “Apa mungkin Allah akan menjodohkan kita?”

Listi: “Hiks … hiks … janganlah bertanya seperti itu kepadaku! Kasihan Sekartadji.”

Rasyed: “Terus … apa rencanamu?”

Listi: “Hiks … hiks …”

Rasyed: “Dhek, please jangan nangis! Aku sangat memahami apa yang ada di dalam hatimu.”

Listi: “Mas … hiks … hiks … rencanaku, aku ke sini hanya mengantar buku karyaku itu. Kini Sampeyan
sudah menerimanya. Itulah kenang-kenangan yang bisa aku berikan kepadamu. Mas, kayaknya
inilah pertemuan kita yang terakhir. Aku tak mampu melihat Sampeyan lagi karena semakin dekat
denganmu, maka rasa cinta di dada ini semakin menggelora. Ijinkan aku untuk tidak ketemu
Sampeyan lagi.”

26
Jangan Pernah Keluar Rumah Tanpa Membawa Cinta
Rasyed: “Duh … apakah ada alternatif lain?”

Listi: “Enggak ada. Mas … terima kasih karena kamu sudah pernah hadir dalam kehidupanku.
Kehadiran Sampeyan mengubah kehidupanku yang dulunya bodoh menjadi pandai. Mas … kamu
adalah ustadzku, sahabatku, cintaku, kasihku, rinduku dan … hiks … hiks … selamat tinggal.
Wassalam.

Rasyed tak mampu menjawab salam. Matanya berkaca-kaca sambil melepas kepergian
Listi. Dipegangnya erat-erat buku pemberian Listi. Tak cukup hanya memegang, diapun memeluk
tuh buku. Beberapa tetes air mata membasahi tuh buku, duh …

Tiga hari kemudian

Rumput yang tumbuh di sela-sela tanaman padi semakin banyak. Dua jam lebih Listi dan
ibunya mencabuti rumput. Tak terasa sudah jam empat sore. Listi pulang dengan jilbab yang
belepotan lumpur. Wajahnya yang ayu, kini ada beberapa noda lumpur yang nangkring di wajahnya.
Hmm … jubahnya juga banyak lumpur. Begitulah keseharian menjadi petani, harus akrab dengan
lumpur, rumput, air, dll. Baru aja dia memasuki rumah, belum sempat ganti baju, tiba-tiba ada tamu
datang.

Setelah menjawab salam, Listi terus mengawasi tuh tamu. Seorang lelaki, lumayan tinggi
dan gagah, wajahnya berwibawa, usia sekitar 28 tahun. Dia memakai baju muslim berwarna hijau
muda dengan dipadu celana kain warna hitam. Listi tak mengenal tuh lelaki. Jadi … dia hanya bisa
menunduk dan bertanya tentang keperluan Si Tamu.

Si Tamu berkata, “Apakah ini rumahnya Dhek Listi?” Mendengar namanya disebut,
jantung Listi berdegup kencang. Jiwanya bertanya, “Kenapa dia tahu namaku? Siapa dia?” Belum
sempat dia bertanya, Si Tamu berkata lagi, “Kenalkan, nama saya Badru. Saya adalah sahabat Pak
Rasyed. Saya ke sini karena disuruh Pak Rasyed mengantar buku karangan beliau untuk Sampeyan,
Dhik. Nih bukunya, silakan diterima!”

Listi semakin bingung. Jiwanya terus bertanya-tanya, “Cuman ngantar buku, kenapa
sampai nyuruh orang? Pakai jasa paket pos kan bisa. Hmm … jarak Cepu Pati tuh jauh, kenapa nih
orang mau-maunya mengantar satu buku … hanya satu buku?” Listi tak mau berfikir lagi, tuh buku
diterimanya dengan sangat sopan. Dia tak sadar kalau baju ama jilbabnya masih belepotan lumpur.

Diapun membuka buku. Di halaman depan, ada tulisan tangan. Hmm … kayaknya tulisan
tangan Rasyed. Inilah isi tulisan itu, “Asalam. Dhek Listi, nih kuberikan buku untukmu. Karyaku
sendiri. Buku ini kutulis saat masih kuliah di KSU Riyadh. Oya, lelaki yang mengantar buku ini adalah
Mas Badru. Dia teman sekuliahan aku di KSU Riyadh. Dia pandai, bahkan lebih pandai dariku. Dhek,
Mas Badru belum menikah. Dia menjadi Dosen di UIN Sunan Kalijaga. Menurutku, Mas Badru sangat
cocok jika menjadi suamimu. Dia pandai, kamu juga pinter. Mas Badru, dia dua tahun berusaha
mencari istri yang semangat dalam mencari ilmu, tapi gak juga ketemu. Saat aku menceritakan
semangatmu dalam mencari ilmu, mendadak dia jatuh hati padamu padahal dia belum pernah
ketemu denganmu. Dhek, usulku … gimana kalau kamu menikah dengan Mas Badru? Tapi aku tidak
memaksa. Semua keputusan ada di tanganmu. Wassalam.”

Selesai membaca tuh tulisan, Listi memberanikan diri memandang wajah Badru. Mereka
terus berpandangan. Tak ada kata, bahkan anginpun senyap. Jiwa Listi mendadak merasakan
kesejukan yang luar biasa. Kakinya … hehehe … dia merasa raganya melayang tak menyentuh tanah.
Ilmu yang ada di dalam dadanya berkata, “Listi, dulu aku pernah berkata bahwa Allah pasti akan
memberikan ganti yang lebih baik dari Mas Rasyed. Badru … hehehe … kayaknya ini paket dari Allah
untukmu. Inilah saatnya gelisah berganti senyuman, duka lara berganti riang gembira, tangis

27
Jangan Pernah Keluar Rumah Tanpa Membawa Cinta
berubah menjadi tawa, kesulitan berganti dengan kemudahan. Listi … cobalah tersenyum! Kamu
dapat satu koin emas lagi dari langit. Selamat, ya …” Listi-pun tersenyum merekah.

Sehari kemudian

Setelah melaksanakan sholat isya’, biasanya Listi nonton TV bentar, tapi … hehehe …
nampak dia lagi membuat kopi hitam panas. Setelah jadi, diciumnya aroma kopi sambil tersenyum
puas. Hmm … biasalah, namanya juga lagi ketemu jodoh, semua nampak hepi dari A mpe Z, halah …
hahaha.

Dia rebahan nyantai di teras depan rumah. Bangku panjang dari bambu cukup membuat badannya
nyaman. Sambil sesekali nyeruput kopi, hatinya berbisik, “Wahai ilmu yang ada di dalam dadaku,
kita ngobrol, yuk!”

Ilmu: “Siap. Oya, ntar kalau kamu jadi menikah ama Badru … hehehe … kayaknya dia mempunyai
buku satu lemari penuh, sedangkan bukumu dua lemari penuh. Ntar kalau dijadikan satu, pasti
menjadi tiga lemari penuh, ya?”

Hati: “Bukan tiga lemari, tapi lima lemari.”

Ilmu: “Lho, kok bisa?”

Hati: “Setelah menikah, kita berdua pasti belanja buku dong, buanyak … buanyak bener, hahaha.”

Ilmu: “Oya, aku mpe lupa. Listi, kuamati dengan seksama, kayaknya belum pernah kamu sebahagia
hari ini.”

Hati: “Memang kok. Sepandai-pandainya wanita tapi kalau tak mempunyai suami, dia tetap merasa
tak mempunyai apa-apa.”

Ilmu: “Pasti sepi, ya?”

Hati: “Iya. Ada juga yang memuja kesepian, ada yang membenci kesepian. Hmm … hidup cuman
sekali, aku tak mau kesepian. Wahai ilmu, apakah kamu setuju jika aku menikah dengan Mas Badru.”

Ilmu: “ISSEKA.”

Hati: “What???? Apa itu ISSEKA?”

Ilmu: “Pada dasarnya kebahagiaan tuh ada tiga: ISSEKA, kepanjangan dari islam, sehat, kaya. Jika
kamu menikah dengan Badru, maka keislamanmu akan semakin bagus, aku yakin kesehatanmu juga
bagus, dan … kaya … hehehe.”

Hati: “Aku nggak gila harta kok.”

Ilmu: “Emm … maksudnya kaya tu … ntar hidupmu bisa mandiri, tak lagi bergantung kepada orang
lain. Walau kita rajin ibadah, sehat, tapi masalah keuangan tak juga selesai-selesai, maka sulit untuk
mengatakan kalau bahagia.”

Hati: “Hmm … benar banget.”

Ilmu: “Pesanku: bisa jadi Badru itu adalah kiriman paket dari Allah. Jadi terima aja dengan ikhlas,
ridho dan syukur. Kadang paket terkirim hanya sekali. Setelah itu, tak ada paket lagi yang turun dari
langit.”

28
Jangan Pernah Keluar Rumah Tanpa Membawa Cinta
Hati: “Maksudnya?”

Ilmu: “Duh, kok kamu lelet, to? Gini … misal ada wanita, umurnya sudah 23 tahun, dilamar lelaki.
Tiba-tiba dia menolaknya padahal tuh lelaki sangat sholih. Maka bisa jadi, tak ada lelaki lagi yang
melamarnya. Hmm … bisa jadi dia menjadi perawan seumur hidup.”

Hati: “Hmm … kamu memang benar-benar teman sejati.”

Ilmu: “Listi, aku mau bertanya kepadamu tentang hal pribadi, boleh?”

Hati: “Silakan!”

Ilmu: “Emm … kenapa kamu tidak menghafalkan doa sebelum bersenggama?”

Hati: “Duh, aku malu menjawabnya.”

Ilmu: “Padahal kamu tuh hafal ratusan ayat Qur’an. Hafal juga ratusan hadis, hafal ratusan lembar
ilmu islam, tapi kenapa kamu kamu tak mau menghafal doa sebelum bersenggama?”

Hati: “Emm … ntar aja lah, kalau sudah akad nikah, aku baru mau menghafalnya. Hehehe, jika
menghafal sekarang … duh … image di pikiranku tuh aneh-aneh, e … hahaha.”

Ilmu: “Oalaaa.”

Hati: “Duh, kok aku jadi takut, ya? Saat aku menginjak baligh, aku tu belum pernah bersanding
dengan laki-laki. Pernah aku sekali bersanding dengan lelaki dalam bis jurusan Semarang … duh …
aku tuh gemetar. Sekujur tubuhku gemetar. Ntar kalau aku bersanding dengan Mas Badru, kalau aku
gemetar mpe pingsan, piye jal?”

Ilmu: “Wah kalau masalah gituan, gue nggak paham. Emm … gimana kalau latihan dulu?”

Hati: “Husss … masalah ginian tuh nggak ada latihannya … hahaha. Emangnya belajar sholat, pakai
latihan segala … duh … hahaha.”

Ilmu: “Ya udah … pasrah aja! Yang terjadi, biarlah terjadi, jieee … hahaha. Lagian, ratusan juta gadis
di bumi ini juga enjoy kok. Jadi, aku yakin kamu pasti enjoy, hahaha.”

Hati: “Iya, moga-moga aja. Wahai ilmu, Mas Badru tu … menurutmu anugerah atau cobaan?”

Ilmu: “Nggak usah mikir jauh-jauh! Masa depan bukan milik kita, masa lalu juga bukan milik kita.
Satu-satunya milik kita adalah hari ini. Nikmati aja pernikahan ini! Kalau memang anugerah, silakan
disyukuri! Kalau memang cobaan, silakan latihan sabar!”

Hati: “Iya, terima kasih sudah menasihatiku. Kira-kira apa yang harus aku lakukan supaya suamiku
kelak bisa bahagia bersanding denganku?”

Ilmu: “Listi, kamu tuh sudah mempunyai habit yang bagus, bahkan sangat bagus. Kamu dah terbiasa
bangun malam untuk sholat malam, rajin menghafal, rajin membaca, rajin bekerja, patuh orang tua,
dan lain-lain. Ya udah, jalankan aja kebiasaanmu ini! Itulah aslinya dirimu, gak usah aneh-aneh! Gak
usah ingin jadi orang lain!”

Hati: “Hmm … benar juga. Tapi … aku kan harus tampil cantik di depan suami.”

Ilmu: “Oya, mpe lupa. Silakan beli parfum, bedak, wis pokoknya gimana caranya kamu bisa tampil
cantik di depan suami, kamu harus kerjakan!”

29
Jangan Pernah Keluar Rumah Tanpa Membawa Cinta
Hati: “Aku tak bisa memakai bedak.”

Ilmu: “Duh … emm … belajar aja lewat youtube!!!”

Hati: “Hahaha … emang youtube hebat banget, ya. Aku belajar memakai jilbab juga dari youtube.
Bahkan belajar masak opor ayam juga dari youtube.”

Ilmu: “Satu lagi, bersenggama dengan suami adalah termasuk ibadah yang paling disukai Allah,
sekaligus paling dibenci ama setan. Kenapa setan sangat membenci? Karena setan tuh paling suka
memisahkan rumah tangga kaum muslimin. Setan sangat membenci jika ada suami istri yang mesra-
mesra’an. Jadi … menurutku … sering-seringlah kamu ber …”

Hati: “Wis … wis, tentang bab adabul firosh … gak usah dibahas!!!! Hahaha.”

Ilmu: “Aku suka mendengar tertawamu yang renyah.”

Hati: “Aku juga suka menjadi sahabatmu selamanya. Wahai ilmu, terima kasih sudah mengajariku
tentang berbagai masalah kehidupan.”

Ilmu: “Bukan hanya di dunia, ntar di alam kubur, aku juga masih menemanimu. Nanti, aku akan
menjelma menjadi perempuan yang sangat cantik yang akan menjadi sahabatmu selamanya …
jutaan tahun.”

Hati: “Oya … aku yakin kamu pasti sangat cantik.”

Ilmu: “Saat di akhirat, kita berdua akan sujud bersama di hadapan Allah.”

Hati: “Bukan berdua, tapi bertiga.”

Ilmu: “Kok bisa???”

Hati: “Lha Mas Badru? Kasihan dia … masak harus ditinggal.”

Ilmu: “Oya … hehehe … aku mpe lupa. Semoga kalian berdua menjadi suami di dunia maupun di
akhirat.”

Hati: “Amin. Wahai ilmu … I luv you.”

------

30
Jangan Pernah Keluar Rumah Tanpa Membawa Cinta
Bab 3

Dunia Hanya Membutuhkan Nilai Seratus

Padahal di dalam ruangan ber AC, tapi dahi Sekar kelihatan berkeringat. Seratus soal harus
dia selesaikan dalam waktu dua jam. Usia Sekar menginjak 24 tahun. Sebulan lalu dia melamar kerja
di Jakarta, tapi gagal. Kini dia ikut test calon karyawan di salah satu perusahaan ternama di
Semarang.

Sepuluh menit lagi waktu bakalan habis. Kini nampak wajah Sekar sumringah. Sejenak dia
istirahat sambil memperhatikan jiwa dan hatinya ngobrol.

Jiwa: “Sebenarnya soalnya gak susah amat, tapi … duh … aku khawatir gagal.”

Hati: “Lihatlah sekelilingmu! Ada hampir seribu manusia yang ikut test bersama kita.”

Jiwa: “Duh … padahal perusahaan cuman butuh sepuluh orang. Berarti …”

Hati: “Sembilan ratus sembilan puluh orang bakalan terbuang.”

Jiwa: “Hmm … aku pasrah, benar-benar pasrah.”

Hati: “Eh, lihatlah Si Hera! Dia tersenyum melihatmu.”

Jiwa: “Benar, kayaknya dia sudah kelar mengerjakan semua soal. Hmm … jangan-jangan dia bakalan
lolos.”

Hati: “Semoga aja kita berdua lolos test ini.”

Tiga hari kemudian, lewat internet, mereka bisa mengetahui bahwa nilai test mereka 95.
Sontak mereka berdua jungkir balik karena kegirangan maksimal, hahaha.

Sekar: “Fren, kita berhasil.”

Hera: “Itu kan baru nilai yang keluar. Tentang diterima kerja atau tidak, belum diumumkan.”

Sekar: “Tapi dengan nilai segitu, aku yakin kita bakalan kerja, hehehe.”

Hera: “Coba katakan sekali lagi!”

Sekar: “Kita bakalan k-e-r-j-a.”

Hera: “Sekali lagi!”

Sekar: “Kita bakalan kerja.”

Hera: “Sekali lagi!”

Sekar: “Duh … lebay banget.”

Hera: “Hahaha, aku sangat bahagia mendengar kata … ‘kerja’.”

Sekar: “Sama. Ntar kalau kita dah kerja, kayaknya gaji kita hampir 5 juta, ya?”

Hera: “Bukan, tapi hampir 8 juta.”

31
Jangan Pernah Keluar Rumah Tanpa Membawa Cinta
Sekar: “Oya? Mantap … tap … tap. Gaji pertama, gue bakalan beli iphone.”

Hera: “Gue samsung S6 aja.”

Sekar: “Gue bakalan kredit motor beat.”

Hera: “Aku … mio aja deh.”

Sekar: “Aku mau liburan ke Bali dua hari.”

Hera: “Kalau aku … emm … ke Singapore aja, lebih keren.”

Mereka berdua mabuk berat, hehehe … bukan hanya mabuk, melainkan … sakau. Tapi,
gimana lagi, namanya aja remaja, biarlah sejenak mereka berkhayal, karena hidup ini sangat pendek
jika harus terus under pressure.

Sehari kemudian, mereka berdua download daftar nama yang diterima oleh perusahaan.
Sejenak Sekar menarik nafas dalam-dalam dengan posisi mata terpejam. Hera … dia tak mampu
melihat display tab. Dia ketakutan dan khawatir jangan-jangan namanya tak ada dalam daftar itu.
Dia hanya bisa terpejam.

Dengan mengucap bismillah, Sekar mulai melihat satu persatu nama-nama yang berhasil
lolos. Nomor satu … bukan namanya. Nomor dua … juga bukan namanya. Nomor tiga … juga bukan
namanya. Kini tinggal tujuh nomor lagi. Dia tak kuat melihat karena saking gemetarnya. Sejenak dia
memejamkan mata, mengelap keringat yang terus membasahi dahi.

Hera: “Sekar, apa kamu sudah melihat semua?”

Sekar: “Be … be … belum, hanya sampai nomor tiga. Aku deg-degan.”

Hera: “Sama, aku juga. Duh … aku mpe ngompol e, fren … duh.”

Sekar: “Parah.”

Hera: “Begitulah kalau aku super ketakutan … mpe ngompol.”

Setelah minum seteguk air, kini Sekar kembali memaksa matanya untuk memeriksa daftar
itu. Dia mengamati nomor empat, lima … enam … hingga sepuluh … tak ada namanya, juga tak ada
nama Hera. Hanya 10 orang yang diterima, dan … mereka tak ada di daftar itu.

Sejenak angin terdiam, tangan Sekar gemetar menggenggam tab. Pandangannya kosong.
Cita-citanya musnah. Tak terasa … air mata menetes deras. Hera melihat air mata Sekar, tanpa
mengucap sepatah kata apapun, dia langsung nangis sesenggukan.

Satu jam kemudian, nampak air mata sudah mengering. Sambil nyeruput susu coklat
hangat, sejenak mereka bicara dengan wajah yang sangat lesu.

Sekar: “Eh, coba tolong lihat sekali lagi daftar nama-nama orang yang diterima PT!”

Hera: “Fren, sudah kulihat ratusan kali. Nama kita tak ada.”

Sekar: “Bukan itu maksudku. Siapa nama pertama yang ada di list itu?”

Hera: “Emm … Zakki.”

Sekar: “Apa ada nomor HP nya?”

32
Jangan Pernah Keluar Rumah Tanpa Membawa Cinta
Hera: “Ada, nih liat sendiri!”

Sekar: “Aku akan nelpon orang ini.”

Hera: “Untuk apa? Duh kamu ini kepo banget.”

Sekar: “Sttt … diam!!!!”

Hera bingung … ngapain Sekar telpon Zakki? Kawan … bukan. Saudara … bukan. Kenalan …
juga bukan. Duh …

Sekar: “Halo … assalamu’alaikum.”

Zakki: “Walaikum salam. Ini siapa?”

Sekar: “Ini Sekar, Mas. Oya, kenalkan … nama saya Sekar. Saya juga ikut test masuk perusahaan. Tapi
… saya gagal.”

Zakki: “Saya ikut prihatin, Dhek.”

Sekar: “Mas, kok Panjenengan bisa lolos, gimana historisnya?”

Zakki: “Test kemarin, nilaiku 100.”

Sekar: “Whattttt? Padahal nilaiku dah 95 lho, Mas.”

Zakki: “Kemarin aku sempat ngobrol ama HRD perusahaan. Beliau menerangkan bahwa dari 1000
pelamar kerja, yang 900 peserta mempunyai nilai 80an. Yang 90 peserta mempunyai nilai antara 91-
99. Hanya sepuluh orang yang mempunyai nilai 100.”

Sekar: “Jadi … kesepuluh orang yang diterima kerja itu, nilai mereka 100 semua?”

Zakki: “Iya Dhek.”

Sekar: “Duh … mumet Mas … Mas.”

Hikmah kisah ini: dunia kerja berbeda jauh dengan dunia sekolah. Saat kita di bangku
sekolah, mendapat nilai 90, duh … senengnya minta ampun. Dapat nilai 97 … hehehe … jingkrak-
jingkrak bagai mendapat bintang jatuh. Tapi dalam dunia kerja … hanya yang terbaik yang akan
mendapat pekerjaan. Si Zakki … nilainya 100, mendapat gaji 8 juta. Si Sekar, nilanya 95. Berapa
gajinya? Bukan 6 juta, juga bukan 3 juta, melainkan gajinya nol. Hmmm … nol … sekali lagi nol alias
jobless. Begitulah dunia kerja … kejam, sadis, tega. Perusahaan tak mau menggaji orang dengan
kemampuan nilai 90 atau 99. Mereka hanya mencari manusia dengan nilai 100. Oleh karena itu,
marilah kita didik anak-anak kita dengan sangat serius! Jangan puas dengan nilai 90 atau 95. Tetap
fokus berusaha untuk meraih nilai 100 karena … dunia kerja menomorsatukan manusia dengan
kualifikasi nilai 100.

------

33
Jangan Pernah Keluar Rumah Tanpa Membawa Cinta
Bab 4

Elang

Bapak: “Nak, kulihat nilai matematikamu … cuman 60.”

Anak: “Soalnya sulit banget, Pak. Di kelas, malahan banyak yang dapet 20.”

Bapak: “Pelajaran pendidikan agama, kenapa nilainya cuman 70?”

Anak: “Banyak dalil yang harus dihafal. Itupun harus sekalian terjemahannya. Duh … sulit banget,
Pak.”

Bapak: “Kamu sudah hampir kuliah, lho … kenapa semua nilai pas-pasan gini?”

Anak: “Yang penting aku sudah usaha.”

Bapak: “Nak, menurutmu … pelajaran apa yang paling kamu sukai?”

Anak: “Kimia. Nih aku dapet 80.”

Bapak: “Cuman 80?”

Anak: “Hehehe, itu dah lumayan lho. Teman-teman paling cuman dapat nilai 60.”

Bapak: “Tentang hafalan surat Ad Dhuha?”

Anak: “Emm … lupa e, Pak … hehehe.”

Bapak: “Kalau Al Bayyinah?”

Anak: “Setengah lupa. Dulu aku sangat hafal saat SMP. Sekarang dah lupa.”

Bapak: “Ok, mumpung kita lagi berdua, aku akan bertanya kepadamu. Menurutmu, kamu termasuk
golongan pemuda yang pintar atau biasa-biasa aja?”

Anak: “Kayaknya aku biasa-biasa aja.”

Bapak: “Apa kamu yakin?”

Anak: “I … i … iya, aku yakin.”

Bapak: “Baiklah. Sekarang kita test: apakah kamu sanggup menghafal 30 ayat pertama dari surat Al
Baqarah? Bapak beri waktu tiga hari untuk menghafalnya.”

Anak: “Duh, aku gak bakalan hafal, Pak. Otakku takkan mampu.”

Bapak: “Kalau kamu hafal, Bapak akan memberimu duit lima juta rupiah.”

Anak: “Lima juta??????”

Bapak: “Benar. Lima juta … cash.”

Anak: “Siap Pak. Duit lima juta akan membuatku very clever, hahaha.”

34
Jangan Pernah Keluar Rumah Tanpa Membawa Cinta
Tiga hari kemudian, Sang Anak setor hafalan ke Bapaknya dan … tu anak benar-benar hafal. Bahkan
sangat hafal, tak ada yang salah sedikitpun. Bahkan Sang Anak berkata, “Pak, untuk Al Baqarah ayat
31-60, aku siap menghafal lagi, asalkan ada lima juta lagi, hahaha.”

Bapak: “Wow, ternyata kamu memang pandai banget.”

Anak: “Lima juta rupiah membuat otak beku menjadi encer, Pak … hahaha.”

Bapak: “Nak, apa kamu mau tantangan lagi?”

Anak: “Siap, asalkan ada duit, semua siap, hehehe.”

Bapak: “Tolong kamu menghafal satu juz Qur’an, hadiahnya 100 juta.”

Anak: “Wah, mantap nih … hehehe. Siap, Pak.”

Bapak: “Hafalan dua juz, hadiahnya 200 juta.”

Anak: “Naa … ini baru jos markojos. Kayaknya bentar lagi gue jadi kaya raya.”

Bapak: “Ok, sekarang Bapak nggak mau bicara masalah uang. Bapak mau bicara masalah
kepandaianmu.”

Anak: “Enggih Pak.”

Bapak: “Kemarin kamu bisa menghafal 30 ayat Al Baqarah. Itu menandakan bahwa kamu sangat
pandai. Allah merancang manusia dengan otak yang sangat menakjubkan. Hanya dalam tiga hari,
sekali lagi … hanya tiga hari, kamu bisa hafal 30 ayat.”

Anak: “……….” (mangguk-mangguk)

Bapak: “Nak, mulai sekarang, jangan pernah menganggap dirimu biasa-biasa saja! Kamu harus
menganggap dirimu pandai, bahkan super pandai, karena kamu telah membuktikannya.”

Anak: “Tentang masalah duit, gimana Pak?”

Bapak: “Duit hanyalah masalah motivasi sementara. Kamu harus menemukan motivasi yang
permanen supaya kamu tetap giat belajar, giat menghafal, tidak tergantung dengan motivasi
sementara itu.”

Anak: “Motivasi permanen … kira-kira apa, ya?”

Bapak: “Semua Nabi adalah pandai. Jika kamu ingin meneladani para Nabi, maka kamu harus
meneladani mereka dalam hal kepandaian.”

Anak: “Hmm … ada motivasi lagi?”

Bapak: “Para penghuni sorga adalah hamba-hamba yang pandai, sedangkan ciri penghuni neraka
adalah manusia-manusia bodoh. Hidup adalah pilihan, kamu bisa memilih sorga atau neraka, tak ada
yang memaksamu. Tapi kalau Bapak boleh berpesan, silakan memilih seperti pilihan para Nabi.”

Anak: “Enggih Pak.”

Bapak: “Satu lagi, Nak … bertahun-tahun Bapak membantumu. Jungkir balik kami orang tua mencari
uang halal demi memberi nafkah kamu dan adik-adikmu. Bapak ama Ibu nggak minta balasan apa-

35
Jangan Pernah Keluar Rumah Tanpa Membawa Cinta
apa. Kami hanya minta satu hal saja … belajarlah yang super rajin! Silakan pelajari ilmu islam dengan
sangat tekun! Hanya itulah yang akan membuat kami bahagia dunia akhirat.”

Anak: “Enggih Pak.”

Bapak: “Seratus tahun yang lalu mungkin orang yang memegang banyak uanglah yang akan kuat.
Tapi sekarang bukan seperti itu. Now … orang yang paling banyak ilmu-lah yang akan kuat. Itulah
kenapa para presiden dikelilingi oleh orang-orang yang pandai, bukan orang-orang kaya.”

Anak: “Kayaknya kalimat ini mengena banget.”

Bapak: “Nak, hidup hanya sekali. Mungkin 70 tahun lagi kamu sudah tidak di atas tanah lagi. Maka
dari itu, selagi kamu masih di atas tanah, silakan kamu habis-habisan untuk belajar, mencari ilmu
dan kegiatan positif lainnya.”

Anak: “Tapi temanku tak ada yang seperti itu?”

Bapak: “Mereka tak tahu ilmu ini. Mereka malas karena belum kenal dengan dirinya sendiri.
Sekarang kamu sudah mengenal dirimu sendiri bahwa kamu pandai, kamu smart, kamu ingin
meneladani Nabi Muhammad SAW yang pandai, kamu ingin fokus akhirat, kamu ingin
membahagiakan ortu dengan ilmu dan prestasi. Dengan point-point inilah, maka kamu tidak sama
dengan mereka. Kamu jauh di atas mereka.”

Anak: “Hmm … benar juga.”

Bapak: “Kamu ibarat elang, Nak. Elang selalu terbang sendiri, tidak menggerombol, begitulah
kebiasaan para pemimpin.”

Anak: “Oya?”

Bapak: “Nabi Muhammad sering menyendiri di goa Hiro. Imam Ahmad menyendiri di penjara.
Hamka juga menyendiri di penjara. Kesendirian inilah yang akan membersihkan hati, menguatkan
keinginan belajar dan menghafal. Menyendiri akan membuat sujud menjadi semakin khusyu’.
Menyendiri akan membuat otak ini kuat menghafal.”

Anak: “Pak, doakan saya semoga bisa melaksanakan semua wejangan ini.”

Bapak: “Nak, saat di masjid, silakan menghafal. Saat di kamar, silakan belajar. Saat di keramaian,
silakan berdzikir. Saat di tengah alam, silakan bertafakkur. Inilah jalan yang kami lalui setiap hari
hingga nanti ajal menjemput.”

Anak: “Enggih Pak … doakan saya semoga bisa menjalaninya dengan ikhlas.”

Bapak: “Biar kamu nyaman, setiap pagi … janganlah berkata: saya harus rajin! Nggak usah
menggunakan kata harus, entar jiwamu malahan jadi terpaksa. Padahal keterpaksaan itu nggak
nyaman. Kata ‘harus’, silakan ganti aja dengan kata ‘memilih’. Jadi, tiap pagi katakan dalam hati: hari
ini saya memilih untuk rajin, hari ini saya memilih untuk belajar. Hari ini saya memilih untuk
meneladani para Nabi yang pandai. Hari ini saya memilih untuk menjadi pandai.”

Anak: “Pak, hari ini dan seterusnya saya memilih untuk rajin belajar.”

Bapak: “Pilihan yang tepat. Bapak yakin Allah akan menguatkan hatimu untuk tetap istiqomah
dalam belajar dan menghafal.”

------

36
Jangan Pernah Keluar Rumah Tanpa Membawa Cinta
Bab 5

Ilmu Yang Tidak Diajarkan Di Sekolah

Mobil SUV melaju pelan melewati alam pedesaan yang menghijau. Sebenarnya sore tadi
mendung, tapi tak juga turun hujan. Mobil itu hanya berisi dua orang yaitu Bu Rahma dan putrinya
… Mbak Finka. Emm … sebenarnya Finka bukanlah anak kandung beliau. Bu Rahma belum juga
dikaruniai anak padahal sudah menikah hampir 20 tahun. Tapi … gimana lagi, mungkin sudah
takdirnya seperti itu. Finka adalah keponakan beliau, tapi diasuhnya dari bayi sehingga sudah seperti
anak sendiri. Sambil menikmati indahnya suasana sore, sejenak mereka berdua bicara santai di
dalam mobil.

Bu Rahma: “Musim hujan sudah tiba.”

Finka: “Enggih Bu. Kalau aku … bentar lagi harus UAS.”

Bu Rahma: “Oya? Hehehe, tak terasa bentar lagi kamu akan duduk di bangku SMA ya, Nak.”

Finka: “Semoga aja bisa masuk SMA 3.”

Bu Rahma: “Ibu terus berdoa, Nak. Oya, selain belajar buku-buku sekolah, cobalah belajar kepada
Alam!”

Finka: “Maksudnya?”

Bu Rahma: “Nak, coba perhatikan di luar mobil ini! Angin berhembus begitu kuat. Angin
mengajarkan kepada kita satu ilmu yang sangat penting.”

Finka: “I’m listening.”

Bu Rahma: “Angin mengajarkan kejujuran kepada kita. Ada tetangga yang lagi menggoreng ikan
asin. Bau ikan asin yang sedap terbawa angin. Lalu bau itu masuk ke hidung orang kaya … tetap bau
ikan asin. Bau itu juga masuk ke hidung orang miskin … tetap asin. Angin tak pernah merubah
sedikitpun karena angin itu jujur.”

Finka: “Hmm … kalimat yang indah.”

Bu Rahma: “Nak, pesan Ibu … jangan pernah keluar rumah tanpa membawa kejujuran! Kebohongan
takkan pernah menyelesaikan masalah, malahan menambah masalah.”

Finka: “Enggih Bu.”

Bu Rahma: “Perhatikan tanah perkebunan jagung itu! Nak, tanah juga mengajarkan kepada kita
tentang satu ilmu yaitu amanah … bisa dipercaya.”

Finka: “Gimana penjelasannya?”

Bu Rahma: “Pak tani berkata, ‘Wahai tanah, saya titip biji jagung. Tolong tumbuhkan pohon jagung!’
Lima hari kemudian, tumbuhlah pohon jagung. Kenapa? Karena tanah bisa dipercaya.”

Finka: “Tak kusangka Panjenengan visioner banget.”

37
Jangan Pernah Keluar Rumah Tanpa Membawa Cinta
Bu Rahma: “Nak, hidup hanya sekali. Jadilah orang yang amanah. Semua Nabi mempunyai sifat
amanah. Bapak … Ibu … terus latihan supaya menjadi amanah.”

Finka: “Enggih Bu.”

Bu Rahma: “Bangsa ini sangat membutuhkan manusia-manusia yang amanah seperti tanah. Tapi …
para koruptor merusak hampir semua keharmonisan bangsa kita ini.”

Finka: “Bu, dari sini aku melihat pohon beringin yang daunnya begitu lebat. Hehehe … beberapa
anak main di bawahnya.”

Bu Rahma: “Pohon … ada ilmunya juga lho, Nak.”

Finka: “Aku siap mendengarkan, Bu.”

Bu Rahma: “Nak, kadang manusia itu seperti empat jenis pohon. Ada pohon yang buahnya banyak,
tapi tak ada daunnya. Yang kedua, ada pohon yang lebat daunnya, tapi tak ada buahnya. Ada juga
pohon yang lebat daunnya, buahnya juga banyak. Yang keempat, ada pohon yang tak ada daunnya,
juga tak ada buahnya.”

Finka: “Artinya gimana, Bu?”

Bu Rahma: “Adapun jenis pohon pertama yaitu buahnya banyak tapi tak ada daunnya. Pohon ini
melambangkan manusia yang rajin ibadah, rajin mencari sorga namun tak mau memberi manfaat
kepada masyarakat. Hubungannya sangat baik kepada Allah, namun kurang baik kepada
masyarakat.”

Finka: “Tentang pohon yang daunnya lebat namun tak ada buahnya?”

Bu Rahma: “Itu melambangkan manusia yang memberi manfaat sangat banyak kepada masyarakat.
Dia sering menyumbang tapi … hubungannya dengan Allah sangat buruk. Sholat … kagak. Puasa …
tak pernah.”

Finka: “Tentang pohon yang daun dan buahnya lebat???”

Bu Rahma: “Pohon ketiga ini melambangkan manusia yang hubungannya kepada Allah sangat baik.
Demikian juga hubungannya dengan masyarakat … sangat baik. Dia rajin sholat, rajin puasa, rajin
berderma, membantu masyarakat. Nak … inilah yang Ibu inginkan. Jadilah manusia yang golongan
ini, ya Nak!”

Finka: “Enggih. Tentang pohon keempat?”

Bu Rahma: “Hehehe … pohon ini tak mempunyai daun, buah juga tak ada. Ini melambangkan
manusia yang tak pernah ibadah, juga tak pernah mengabdi ke masyarakat. Hidupnya hanya untuk
dirinya sendiri. Inilah manusia yang paling buruk.”

Mobil terus melaju seiring dengan ilmu yang terus menghiasi kalbu Finka.

Finka: “Bu, coba lihat ke arah samping kiri … hehehe … bunga pada bermekaran, duh … indah
banget.”

Bu Rahma: “Itu ada ilmunya juga, lho Nak.”

Finka: “Oya?”

38
Jangan Pernah Keluar Rumah Tanpa Membawa Cinta
Bu Rahma: “Bayangkan di dalam hatimu ada tanah atau kebun yang sangat lapang. Satu kebaikan
yang kamu kerjakan ibarat satu bunga yang tumbuh di kebun itu. Sepuluh kebaikan … sepuluh bunga
yang tumbuh. Sejuta kebaikan … maka sejuta bunga yang tumbuh di kebun itu. Jutaan bunga itu
akan mengharumkan ruhmu, mengharumkan ruh anak-anakmu kelak. Jutaan bunga itu akan
mengharumkan masyarakat sekitarmu.”

Finka: “Hmm … maknanya dalem banget ya, Bu?”

Bu Rahma: “Nak, silakan terus belajar! Perbanyak ibadah karena hanya itulah jalan yang paling
mudah menuju ke kebahagiaan yang sebenarnya.”

Finka: “Bu, lihatlah ke arah selatan! Ada orang tua yang lagi memanggul kayu.”

Bu Rahma: “Beliau sangat tua. Bisa jadi pahalanya sudah sangat banyak, sedangkan kita … masih
sangat sedikit.”

Finka: “Bu, lihatlah ke arah kiri, ada orang pincang.”

Bu Rahma: “Hmm … bisa jadi dengan pincangnya itu, beliau tak pernah mendatangi maksiat
sehingga selamatlah dia. Banyak manusia yang diberi kaki yang sehat dan kuat, tapi malahan untuk
melangkah menuju maksiat.”

Finka: “Bu, dari arah kanan, kulihat ada orang buta.”

Bu Rahma: “Iya … ibu lihat, Nak. Beliau memang buta. Ibu yakin … dengan kebutaannya itu, beliau
tak pernah melihat yang tak senonoh. Mata beliau dijaga Allah sehingga selamat dari maksiat. Bisa
jadi orang inilah calon penghuni sorga yang sebenarnya.”

Finka: “Hmm … hari ini aku mendapat ilmu yang banyak dari Panjenengan ya, Bu.”

Bu Rahma: “Ibu hanya berharap kamu menjadi putri yang sholihah, visioner, berwawasan luas dan …
terus belajar.”

------

39
Jangan Pernah Keluar Rumah Tanpa Membawa Cinta
Bab 6

Erick Feng

Sambil tangan memegang buku raport sekolah, hmm … nampak wajah Arum di selimuti
mendung tebal. Hampir aja air matanya jatuh membasahi daftar nilai yang … duh … nggak ada nilai
UAS yang di atas tujuh. Semua nilai di raport hanya enam koma, bahkan ada yang lima.

Arum duduk di bangku kelas 4 SD, kini lagi berduka karena nilai raportnya yang buruk,
dapat ranking tiga tapi dari belakang. Jiwanya resah …

Jiwa: “Andai Bapak ama Ibuk tahu raport ini, pasti mereka bakalan marah.”

Hati: “Mereka paling marah dikit aja kok.”

Jiwa: “Ngawur, bukan marah dikit. Duh … apa yang harus aku lakukan?”

Hati: “Pulang aja! Siap-siap kena marah. Dah … itu aja, lalu nge-game lagi.”

Jiwa: “Hmm … apa ada solusi lain?”

Hati: “Gimana kalau nge-mall dulu?”

Jiwa: “Hahaha … duitmu tinggal 5 ribu, di mall mau beli apa? Emm, kok tiba-tiba aku jadi ingat ama
Si Erick, ya? Si Erick Feng … hmm … kenapa dia bisa ranking satu?”

Hati: “Dia orang china. Kayaknya orang china tuh tekun-tekun. Nggak kayak orang kita, hehehe.”

Jiwa: “Hmm, gimana kalau aku akan bertanya ke Erick tentang cara belajar yang efektif?”

Hati: “Boleh. Tuh Erick dah lewat di depanmu.”

Arum memanggil Erick. Nampak mereka berbicara beberapa kalimat. Kini mereka berdua
menuju ke kantin sekolahan, pesan nasi pecel ama teh hangat.

Erick: “Nasi pecelnya lumayan enak, ya?”

Arum: “…………….”

Erick: “Kok kamu diam aja? Wajahmu nampak sedih banget, kenapa?”

Arum: “Bapakku akan membunuhku.”

Erick: “Whatttt???? Jangan asal bicara, to!”

Arum: “Nilai raportku jeblog. Hmm … aku takut pulang ke rumah.”

Erick: “Aku ikut berduka.”

Arum: “Aku bingung … duh …”

Erick: “Nyantai aja! Nggak ada orang tua yang tega ama anaknya.”

Arum: “Eh, kenapa kamu bisa ranking satu?”

40
Jangan Pernah Keluar Rumah Tanpa Membawa Cinta
Erick: “Nggak tahu.”

Arum: “Halah, pasti kamu merendahkan hati.”

Erick: “Bener, aku nggak tahu. Setiap hari senin sampai sabtu … aku belajar dua jam sehari. Itu aja,
gak ada yang lain. Aku juga nggak ikut les atau bimbel kok.”

Arum: “Aku juga belajar dua jam sehari.”

Erick: “Apa kamu belajar sendiri atau ditemanin ama HP?”

Arum: “Hehehe, kok kamu tahu?”

Erick: “Cuman nebak aja kok.”

Arum: “Kelihatannya sih belajar, tapi sebenarnya aku banyak main game di HP dan tab, hehehe.
Bosan banget jika harus belajar terus.”

Erick: “Kalau aku … benar-benar belajar sendiri, gak ada HP, gak ada musik, gak ada gadged. Aku
fokus 100% belajar.”

Arum: “Kamu hebat.”

Erick: “Bukan hebat. Mungkin sudah menjadi kebiasaan di keluargaku yang sangat disiplin. Seluruh
anggota keluargaku rajin belajar. Bahkan bapakku yang sudah tua juga rajin belajar.”

Arum: “O ya? Beda banget ama keluargaku. Mereka menyuruhku belajar, tapi mereka sendiri tak
pernah belajar. Kerjaannya hanya nonton TV, nge-game, dan membuang-buang waktu. Erick, sekali
lagi … kamu sangat beruntung mempunyai keluarga seperti itu.”

Tiga tahun kemudian

Mereka sudah duduk di kelas satu SMP. Erick masih tetap ranking satu, sedangkan Arum
ranking empat. Mereka berdua lagi menikmati ice cream di salah satu sudut mall.

Erick: “Sudah dua hari ini kuamati kamu memakai jilbab.”

Arum: “Iya … aku sudah mens, jadi aku sudah harus menutup aurat.”

Erick: “Aku gak paham dengan agama islam.”

Arum: “Tenang aja, kita kan hidup di Negara Indonesia dimana semua agama berdampingan, tak ada
yang boleh memaksa.”

Erick: “Oya, emm … maaf, tadi bapakku menyuruhku membeli vodka.”

Arum: “Whattt???? Itu kan minuman keras. Kenapa diminum?”

Erick: “Agama kami membolehkan.”

Arum: “Duh … aku mpe lupa. Lakum dinukum waliyadin.”

Erick: “Apa artinya?”

Arum: “Bagimu agamamu, bagiku agamaku.”

Erick: “Aku mau masuk mall untuk membeli vodka. Apa kamu ikut?”

41
Jangan Pernah Keluar Rumah Tanpa Membawa Cinta
Arum: “Duh … aku bingung? Aku nggak pernah ikut beli gituan. Emang kamu juga ikut minum tuh
vodka?”

Erick: “Enggak. Usiaku belum 18 tahun.”

Arum: “Kalau entar usiamu sudah 18 tahun, apa kamu minum vodka juga?”

Erick: “Nggak tahu. Mungkin iya. Arum, ntar abis beli vodka, aku juga mampir ke dept store yang ada
di lantai tiga.”

Arum: “Mau beli apa?”

Erick: “………….”

Arum: “Lho kok diam? Erick, kamu bau beli apa?”

Erick: “… Emm … daging babi.”

Arum: “Whattt?????” (Arum sontak kaget. Wajahnya memerah, matanya melotot. Tapi dia langsung
mengingat akan toleransi beragama. Jadi … diapun tersenyum)

Erick: “Bapak yang menyuruhku.”

Arum: “Apa kamu ikut makan juga?”

Erick: “I … i … iya.”

Arum: “……….” (lagi-lagi Arum kaget, tapi dia cepat mengingat kata toleransi)

Erick: “Eh, di dalam agamamu, babi nggak boleh dimakan, ya?”

Arum: “Iya, hukumya haram. Erick, emm … apa aku boleh bertanya?” (Arum memasang wajah
penasaran sambil senyam-senyum)

Erick: “Silakan!”

Arum: “Apa kamu pernah memasak daging babi?”

Erick: “Seminggu yang lalu. Itulah pertama kali aku memasak daging babi. Gampang kok, daging
yang sudah dicincang, lalu kucampur dengan garam, merica dan vitsin, lalu aku masukkan ke wajan
dengan sedikit minyak.”

Arum: “Kenapa minyaknya cuman sedikit?”

Erick: “Kalau wajan panas, maka lemak babi akan berubah menjadi minyak. Jadi nggak perlu pakai
minyak goreng terlalu banyak sehingga bisa ngirit minyak goreng.”

Arum: “Saat daging babi digoreng, apakah mengeluarkan bau?”

Erick: “Iya, baunya harum dan gurih kayak mentega.”

Arum: “O ya??? Cuman gitu doang?”

Erick: “Iya, kunikmati daging babi goreng dengan nasi putih hangat. Hehehe … mantap, joss … uenak
banget.”

Arum: “Kalau Bapakmu, suka masakan apa?”

42
Jangan Pernah Keluar Rumah Tanpa Membawa Cinta
Erick: “Beliau kadang ingin dimasakin babi kecap, suop babi kacang merah, ama oseng daging babi.”

Arum: “Wow … ngeri banget mendengarnya.”

Erick: “Maaf kalau ceritaku ini membuatmu jijik.”

Arum: “Iya, aku mpe hampir muntah. Tapi gpp kok.”

Erick: “Ok, aku mau masuk mall dulu. Apa kamu ikut?”

Arum: “E … e … enggak deh. Kamu aja, silakan!”

Empat tahun kemudian

Erick melanjutkan sekolah di Salatiga sedangkan Arum masih tetap di Semarang. Walau
berpisah, tapi mereka rutin berkomunikasi. Kebetulan liburan UAS, Arum dan keluarga berlibur ke
Jogja, tapi sejenak mereka mampir ke Wisata kebun kopi yang ada di Salatiga. Nggak nyangka, Arum
bertemu dengan Erick di kebun kopi.

Arum: “Hai Erick, sudah empat tahun lebih kita nggak pernah ketemu, wah … badanmu tambah
tinggi. Kayaknya lebih dari 170 cm, ya?”

Erick: “Arum, kulihat kamu semakin ayu dengan jilbab warna biru langit.”

Arum: “Gimana kabarmu?”

Erick: “Emm … a … a … aku …”

Arum: “Kenapa kamu bingung?”

Erick: “Aku sudah berpindah agama?”

Arum: “Whattt???? Please jangan bergurau, to!”

Erick: “Aku mantap memeluk agama islam.”

Arum tercengang hingga tak sepatah katapun mampu terucap. Mata Arum terus menatap
wajah Erick. Hmm … sejenak otaknya blank, nggak tahu harus berkata apa. Mereka tetap
berpandangan. Sambil tersenyum fresh, akhirnya Erick bicara.

Erick: “Tiga tahun lebih aku memikirkan tentang masalah ilmu perbandingan agama. Tak ada yang
mempengaruhiku. Aku bebas memilih apa yang aku suka.”

Arum: “Kenapa kamu memilih agama islam?”

Erick: “Aku menyelidiki puluhan agama besar yang ada di dunia ini. Dengan mantap aku
menjatuhkan pilihan ke islam karena … hanya agama inilah yang Tuhannya cuman satu. Ratusan
agama di dunia ini, Tuhannya lebih dari satu.”

Arum: “Hmm … analisa yang bagus. Aku aja nggak pernah menganalisa sejauh itu. Aku memeluk
agama islam karena memang orang tuaku islam. Apa keluargamu setuju?”

Erick: “Awalnya mereka shock, tapi lama kelamaan nggak mempermasalahkan kok. Mereka nggak
fanatik.”

43
Jangan Pernah Keluar Rumah Tanpa Membawa Cinta
Arum: “Syukurlah kalau gitu. Oya, apa kamu sudah bisa membaca Qur’an?”

Erick: “Sudah. Malahan aku sudah hafal juz ‘Amma?”

Arum: “Whattt?????” (mata Arum melotot seakan tak percaya)

Erick: “Kok dari tadi kamu kaget melulu.”

Arum: “I … i … iya. Aku aja yang dari kecil memeluk islam, gak hafal tuh juz ‘Amma, paling aku cuman
hafal surat-surat pendek. Erick, kamu memang cerdas.”

Erick: “Di keluarga besarku, hanya aku yang muslim. Rasanya memang terasing, sendiri, tapi … aku
menikmatinya kok.”

Arum: “Tentang daging baba … eh … salah ngomong, maksudnya daging babi, gimana, Rick?”

Erick: “Hehehe, aku sudah tidak memakannya.”

Arum: “Apa kamu rindu dengan rasanya?”

Erick: “Enggak ah. Aku berusaha untuk menjadi muslim yang baik dan taat. Untuk apa memeluk
suatu agama kalau harus mengkhianati agama yang kita peluk.”

Arum: “Syukurlah. Sekali lagi, aku nggak pernah memaksamu untuk ikut keyakinanku, lho.”

Erick: “Iya, tenang aja, Rum. Eh, gimana dengan sekolahmu?”

Arum: “Hehehe, lumayan. Aku berharap bisa masuk ke Undip.”

Erick: “Sama, aku juga pingin kuliah di Undip. Wah, kalau cita-cita kita tercapai, maka kita bakalan
bersama lagi, ya?”

Arum: “Iya. Erick, apa kamu sudah mempunyai pacar?”

Erick: “Di islam nggak membolehkan pacaran, jadi aku nggak punya pacar.”

Arum: “Whatt??? Kok sampai segitunya kamu memeluk islam?”

Erick: “Aku berusaha untuk tunduk patuh total pasrah kepada Allah SWT. Aku ingin merasakan
gimana rasanya totalitas masuk islam.”

Arum: “Wow, aku sangat beruntung mempunyai teman sepertimu. Kapan kamu rencana untuk
menikah?”

Erick: “Entar kalau sudah umur 25, aku ingin copy paste Nabi Muhammad SAW.”

Arum: “Jadi, kamu sudah mempelajari sejarah Nabi Muhammad?”

Erick: “Sudah. Aku membacanya mpe 3 kali.”

Arum: “Wow … dari tadi aku kaget terus, hehehe. Tentang tata cara sholat, apa kamu juga sudah
mempelajari?”

Erick: “Sudah, lewat youtube.”

Arum: “Hahaha, kamu hebat. Tentang tata cara menikah menurut islam, apa kamu juga sudah
mempelajarinya?”

44
Jangan Pernah Keluar Rumah Tanpa Membawa Cinta
Erick: “Belum. Tentang bab ini, aku ingin mendengar penjelasan langsung darimu, boleh?”

Arum: “Hahahaha.” (Arum tertawa terbahak-bahak hingga gigi serinya kelihatan putih bersih)

Sang waktu berjalan sangat cepat. Kini Erick sudah lulus kuliah. Sama, Arum juga lulus.
Jumlah saudara kandung Erick ada empat dan semuanya tinggal di Jakarta. Ada yang mempunyai
usaha bengkel, ada yang menekuni dunia ekspor impor, ada juga yang menekuni perihal ikan hias.
Sedangkan Erick … dia mantap tinggal di Semarang. Kenapa? Orang tuanya tinggal satu, yaitu
bapaknya. Usia beliau sudah hampir 76 tahun, sakit-sakitan, tak mampu lagi berjalan, hanya bisa
terduduk di kursi roda. Erick-lah yang menolong bapaknya setiap hari. Dia nggak peduli pada karier.
Sementara ini dia benar-benar fokus pada Sang Bapak. Kenyataan ini membuat Arum trenyuh. Inilah
obrolan mereka saat nyantai di rumah Erick yang berada di daerah Papandayan Semarang.

Erick: “Gimana, dah dapat kerjaan?”

Arum: “Hampir. Senin besok ada panggilan interview, tapi harus ke Jakarta. Hmm … aku malas kalau
harus ke Jakarta. Sementara ini aku mencari yang lokal aja lah. Erick, gimana denganmu?”

Erick: “Aku mau buka usaha, tapi ntar dulu, nunggu Bapakku sehat.”

Arum: “Hehehe, sudah kutebak. Pasti kamu gak bakalan mau jadi karyawan. Rencana pingin buka
usaha apa?”

Erick: “Bengkel motor aja.”

Arum: “Emm … kira-kira untuk usaha yang kamu pilih itu, emm … harus nyiapin modal berapa?”

Erick: “Satu milyar.”

Arum: “Wow, banyak banget.”

Erick: “Untuk beli ruko, beli spare part, bayar karyawan, bayar pajak, dan lainnya, kayaknya modal
segitu mepet banget.”

Arum: “Darimana kamu mendapatkan modal?”

Erick: “Pemberian Bapakku.”

Arum: “Syukurlah. Aku ikut senang.”

Obrolan mereka terhenti manakala dari dalam rumah terdengar suara Sang Bapak, “Erick,
Qǐng zhǔ chāshāo jiàng!”

Arum tak paham artinya. Dia cuman melongo sambil melihat wajah Erick. Sambil berdiri, Erick
berkata, “Arum, tunggu sebentar, aku mau ke dapur.”

Arum: “Ngapain?”

Erick: “Emm … Bapakku … Bapakku pingin dimasakin babi kecap.”

Arum: “Whatttt???? Tapi … tapi kamu kan sudah memeluk islam, Rick.”

Erick: “Iya, aku memang islam, tapi Bapakku bukan islam. Dalam Qur’an, aku harus patuh kepada
orang tuaku sesuai dengan An-Nisa ayat 36: “Sembahlah Alloh dan jangan kamu mempersekutukan-
Nya dengan apa pun. Berbuat baiklah kepada kedua orang tua, karib-kerabat, anak-anak yatim,
orang-orang miskin, tetangga dekat dan tetangga jauh, teman sejawat, ibnu sabil, dan hamba

45
Jangan Pernah Keluar Rumah Tanpa Membawa Cinta
sahaya yang kamu miliki. Sesungguhnya, Alloh tidak menyukai orang sombong dan membanggakan
diri.”

Arum: “Iya, aku paham. Tapi orang tuamu tuh menyuruh kepada kebatilan, jadi … kamu nggak boleh
patuh!”

Erick: “Aku sudah membahas ayat ini dengan sangat mendalam. Kata Pak Ustadz Harso, ‘Erick, walau
orang tuamu non islam, kamu wajib patuh kepadanya, tapi memang ada batasannya. Andai dia
menyuruhmu untuk masak daging babi, kamu harus mau. Andai dia menyuruhmu untuk membeli
masakan babi, kamu juga harus mau. Tapi andai dia menyuruhmu untuk makan bersama dengan
menu daging babi, maka kamu harus menolaknya, itupun dengan kata-kata yang sangat halus.’
Arum, begitulah yang kupahami dari surat An-Nisa ayat 36.”

Arum: “Baiklah, sekarang aku paham.”

Erick: “Aku mau ke dapur dulu.”

Arum: “Emm … apa aku boleh membantumu memasak?”

Erick: “Ntar gimana kalau kamu muntah?”

Arum: “Tenang aja, gue tahan kok.”

Erick: “Benar????”

Arum: “Hehehe.”

Mereka berdua bergegas melangkah ke dapur. Dengan sangat cekatan, Erick menyiapkan
semua bumbu yang dibutuhkan untuk memasak resep babi kecap. Mereka sibuk cooking sambil
ngobrol riang.

Erick: “Rum, tolong kupasin bawang bombay-nya!”

Arum: “Siap. Emm … jika masak, aku jarang banget memakai bawang bombay.”

Erick: “Manfaatnya banyak lho. Selain menangkal radikal bebas, bawang bombay juga menguatkan
sistem imun dalam tubuh.” (Erick menjelaskan sambil mengeluarkan daging babi dari dalam kulkas)

Arum: “Kulihat di depanmu ada minyak goreng … emm … mereknya borges. Kok aku baru lihat
sekarang? Itu minyak goreng impor, ya?”

Erick: “Ini bukan minyak goreng, tapi minyak zaitun.”

Arum: “Jadi dalam resep ini, apa kita akan memakainya?”

Erick: “Iya, minyak zaitun sangat bagus untuk kesehatan jantung.”

Arum: “Pasti harganya mahal.”

Erick: “Enggak juga. Di supermarket paling cuman 80 ribu untuk ukuran 500 ml.”

Arum: “Aku juga melihat ada lada hitam. Duh … aku juga gak pernah menggunakan bumbu itu.”

Erick: “Lada hitam, lumayan pedas tapi sangat menghangatkan badan. Oya, sekarang lagi musim
hujan, ntar saat kamu kedinginan, cobalah masak mie rebus instan, setelah mendidih, silakan
taburkan bubuk lada hitam, maka … kamu akan merasakan nikmat yang luar biasa.”

46
Jangan Pernah Keluar Rumah Tanpa Membawa Cinta
Arum: “Hehehe, baiklah. Ok, semua bumbu sudah siap. Sekarang apa yang harus aku lakukan?”

Erick: “Tolong ambilkan wajan yang ada di sebelah kirimu!”

Arum: “Emm, kenapa kita nggak memakai wajan yang di sebelah kanan? Kulihat ada enam lebih
wajan di dapur ini.”

Erick: “Emm … tiga wajan yang di sebelah kiri itu untuk memasak masakan yang mengandung babi.
Sedangkan wajan yang di sebelah kanan ini khusus untuk masakanku yaitu yang tidak mengandung
babi.”

Arum: “Wow, tak kusangka … kamu detail banget.”

Erick: “Iya, sendok, piring, mangkok, pokoknya semua kupisahkan. Aku nggak mau sedikitpun ada
minyak babi yang menempel di piring, mangkok atau sendokku.”

Arum: “O ya? Ok, wajan sudah kutaruh di atas kompor, aku juga sudah mengidupkan kompor,
sekarang apa lagi?”

Erick: “Masukkan sedikit minyak goreng. Lalu masukkan minyak zaitun, gak usah banyak-banyak!”

Arum: “Iya, kenapa kedua minyak ini harus dicampur?”

Erick: “Biar mereka bisa berteman, hehehe. Kayak kita berdua ini, kamu dari suku jawa, sedangkan
aku dari suku china.”

Arum: “Emang ada hubungannya?”

Erick: “Mungkin, hehehe. Arum, keluarga kami mempunyai tradisi yang cukup unik, yaitu semua
wanita yang lagi mens nggak boleh memasak.”

Arum: “Emangnya kenapa?”

Erick: “Rasanya lain.”

Arum: “Halah … kok bisa? Apa hubungannya?”

Erick: “Emm, kayaknya nggak ada hubungannya. Mungkin hanya masalah psikis aja.”

Arum: “Maksudnya?”

Erick: “Yah … orang yang lagi mens kan bawa’annya mrengut, gak nyaman, kadang malah kesakitan.
Karena kondisi psikis kurang fit, sehingga mempengaruhi kualitas masakan yang dimasaknya.”

Arum: “Hehehe, aku nggak pernah berfikir mpe segitu. Ok, minyak sudah panas, sekarang apa lagi?”

Erick: “Silakan tumis bawang merah, bawang putih dan jahe.”

Arum: “Masakan china kok menggunakan jahe?”

Erick: “Iya, manfaat jahe sangat banyak kok.”

Arum: “Sama, aku juga sering menggunakan jahe. Ok, sekarang apa lagi?”

Erick: “Emm, kamu bisa bergeser ke belakang!”

Arum: “Kenapa? Aku pingin di sini aja.”

47
Jangan Pernah Keluar Rumah Tanpa Membawa Cinta
Erick: “Yakin?”

Arum: “Iya. Emangnya kamu mau ngapain?”

Erick: “Aku mau memasukkan daging babi ke wajan ini.”

Arum: “Whattt??? Emm, gpp lah, aku juga pingin ngeliat gimana reaksi daging babi saat
dipanaskan.”

Erick: “Lemaknya akan menjadi minyak sehingga saat masakan ini jadi, maka minyak akan kelihatan
cukup banyak karena ada perpaduan tiga minyak yaitu minyak goreng, minyak zaitun dan lemak
babi.”

Arum: “Eh, hidungku mulai mencium bau harum masakan ini.”

Erick: “Tolong masukkan kecap manis, minyak wijen, kecap asin, merica, bawang bombay, daun
bawang dan tomat.”

Arum: “Iya, siap.”

Erick: “Aku akan memasukkan air secukupnya. Kita tunggu mpe mendidih dan airnya habis. Maka
masakan ini siap disantap. Kamu boleh mencicipinya, hahaha.”

Arum: “Husss … gue muslim, bro …”

Erick: “Sama, gue juga muslim. Jadi, kita nggak perlu mencicipi masakan ini.”

Arum: “Gimana kalau kurang asin atau keasinan?”

Erick: “Kita sedia’in garam meja di dekat Bapak.”

Arum: “Emm, menurutmu, kenapa babi diharamkan?”

Erick: “Karena Allah melarangnya, yaitu di Al Baqarah ayat 173, Al Maidah ayat 3 ama di Surat An
Nahl ayat 115.”

Arum: “What??? Kok kamu bisa hafal?”

Erick: “Belajar brow, hahaha.”

Arum: “Hebat, hehehe. Tapi menurutmu, apa hikmah dibalik pengharaman babi?”

Erick: “Emm, kayaknya aku masih belum mendetail terhadap masalah ini, hanya saja akhlaq babi tuh
beda jauh dengan akhlaq binatang lainnya.”

Arum: “Oya, coba jelaskan!”

Erick: “Babi termasuk binatang yang paling malas. Dia malas gerak. Jadi … dia hanya makan sesuatu
yang ada di dekatnya aja.”

Arum: “Beda ama ayam atau kambing, ya?”

Erick: “Jauh berbeda. Ayam kuat seharian mengais-ngais makanan. Dia hanya makan makanan yang
bagus. Kambing, hehehe … dia hanya makan rumput yang terbaik. Kadang rumput yang sudah layu,
dia nggak mau, makanya dagingnya halal.”

48
Jangan Pernah Keluar Rumah Tanpa Membawa Cinta
Arum: “Kalau babi?”

Erick: “Dia hanya makan yang ada di dekatnya. Kalau di dekatnya ada makanan yang enak,
dimakannya. Jika di dekatnya ada makanan yang busuk, juga dimakannya. Bahkan jika didekatnya
ada kotorannya sendiri, juga di makannya.”

Mendengar penjelasan ini, sontak perut Arum mual, kepala pusing dan … diapun muntah
beberapa kali. Nampak Erick sibuk mengambilkan tissue untuknya.

Erick: “Ma … ma … maafkan aku.”

Arum: “Gpp, hehehe, gak nyangka babi bisa sejorok itu.”

Erick: “Akhlaqnya juga sangat buruk.”

Arum: “Maksudnya?”

Erick: “Bayangkan jika dalam satu kandang ukuran 2 meter x 2 meter ada satu ayam jantan dan satu
ayam betina, apa yang terjadi?”

Arum: “Mereka … emm … mereka akan memadu kasih, ber-mesra’an mungkin, hehehe.”

Erick: “Benar. Jika dalam satu kandang ada dua ayam jantan dan satu ayam betina, apa yang akan
terjadi?”

Arum: “Emm … kayaknya kedua ayam jantan tadi akan berkelahi habis-habisan untuk
memperebutkan hati ayam betina tadi.”

Erick: “Iya, persis seperti manusia. Tapi fakta akan berbeda jika dalam satu kandang terdapat dua
babi jantan dan satu babi betina.”

Arum: “Pasti kedua babi jantan tersebut akan bertarung untuk memperebutkan cinta babi betina.”

Erick: “Nggak, kedua babi jantan tersebut nggak bertarung.”

Arum: “Trus …”

Erick: “Duh, aku agak rikuh jika harus menerangkannya.”

Arum: “Katakan aja! Gpp kok, kita kan sahabat.”

Erick: “Emm … kedua babi jantan tersebut nggak bertarung, mereka … emm … mereka bergantian
bercinta ama tuh babi betina.”

Arum: “Whatttttt?????”

Erick: “Iya, mereka gak punya rasa cemburu seperti ayam atau kambing.”

Arum: “Gak nyangka akhlaq babi sebejat itu. Apakah ada binatang lain yang akhlaqnya mirip babi.”

Erick: “Ada …”

Arum: “Apa nama binatang itu?”

Erick: “Manusia.”

Arum: “Whatttt????”

49
Jangan Pernah Keluar Rumah Tanpa Membawa Cinta
Erick: “Tapi nggak semua. Manusia yang hobi zina, kayaknya akhlaq mereka lebih bejat dari babi.
Mereka mendapat kiriman dari langit berupa kitab Allah, tapi mereka buang tuh kitab, mereka lebih
nyaman menggunakan akhlaq binatang.”

Arum: “Wow, aku jadi ingat ama Surat Al A’raf ayat 179 yang artinya: “Dan sesungguhnya Kami
jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati,
tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata
(tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka
mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu
sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai”.

Erick: “Aku bersyukur bisa masuk islam.”

Arum: “Sama. Eh, kulihat air di wajan itu sudah mulai mengering.”

Erick: “Masakan sudah matang. Aku akan menghidangkan ke Bapak.”

Arum: “Sekalian makan bersama juga gpp …”

Erick: “Huss….

Arum: “Hahaha, just kidding aja kok, fren.”

Jam delapan malam lebih dikit, acara masak pork sauce dah kelar, kini mereka berdua
bersama menghidangkan untuk Sang Bapak yang lagi duduk lemah di kursi roda.

Erick: “Qǐng chī, bái!” (silakan dimakan, Pak!)

Bapak: “Xièxiè nǐ, háizi (terima kasih, Nak)

Arum: “Erick, please pakai bahasa Indonesia aja! Biar aku ngerti.” (Arum berbisik)

Erick: “Pak, kenapa masakan saya cuman dipandangin aja? Kenapa enggak dimakan?”

Bapak: “Erick, tiba-tiba perutku sakit. Sudahlah, buang aja makanan ini!”

Erick: “Lho, kenapa, Pak?”

Bapak: “Kaki Bapak, sudah lima jam ini terasa kaku. Hmm … kayaknya usiaku sudah tidak lama lagi.”

Erick: “Pak, jangan bilang begitu! Bapak pasti sembuh.”

Arum: “…….” (dia duduk, diam … sambil sesekali khawatir akan keadaan Bapaknya Erick)

Bapak: “Erick, coba ceritakan tentang agama islam yang Engkau peluk.”

Erick: “Islam artinya tunduk patuh kepada Allah SWT. Inilah satu-satunya agama di dunia yang
Tuhannya cuman satu, Pak.”

Bapak: “Nak, kamu begitu baik kepadaku. Hmm … apakah aku boleh ikut memeluk agamamu?”

Erick: “Maksudnya, apa Bapak akan masuk islam?”

Arum: “…..” (Arum kaget, tersenyum dan matanya berbinar melihat wajah Bapaknya Erick)

50
Jangan Pernah Keluar Rumah Tanpa Membawa Cinta
Bapak: “Iya Nak. Dalam kesakitan inilah, nggak tau kenapa, hatiku mantap menyembah Tuhanmu,
yaitu …”

Erick: “Allah. Nama Tuhanku adalah Allah.”

Bapak: “Duh, kayaknya pinggangku juga sudah mulai kaku. Hmm … Nak, gimana cara masuk islam?”

Erick: “Silakan ucapkan syahadat yaitu Asyhadu alla illaaha illallooh. Wa asyhadu anna
Muhammadar Rosululloh.”

Dengan susah payah, Bapaknya Erick mengucapkan syahadat. Sekali, tiga kali, sebelas kali
lalu … tak terdengar suara lagi. Erick panik. Diapun membaringkan Sang Bapak di tempat tidur.
Dengan air mata mengucur deras, diapun mencari denyut nadi yang ada di tangan dan leher
bapaknya. Hampir dua menit mencari denyut nadi, tapi tak juga ketemu. Jiwanya berbisik lemah,
“Sudah tak ada denyut nadi lagi, Rick.” Seketika itu juga tangisan berubah menjadi jeritan.

Sehari kemudian

Semua saudara kandung Erick sudah datang. Mata mereka merah dan bengkak karena
terlalu banyak menangis. Nampak Arum senantiasa mendampingi Erick. Dia tak tega menyaksikan
sahabatnya menangis sendiri.

Arum: “Sudahlah, Bapakmu nggak hilang kok. Beliau berangkat dulu, ntar kita semua menyusul dan
bertemu dengannya.”

Erick: “Hiks …” (Erick terus menangis)

Arum: “Yang paling membahagiakan aku adalah … saat detik-detik akan meninggal, beliau sempat
mengucapkan syahadat. Wow … sungguh kematian yang indah … husnul khotimah.”

Erick: “……..” (tangisannya mulai berhenti. Pandangannya terus mengarah ke Bapaknya yang
terbujur kaku di dalam peti)

Arum: “Oya, aku hampir lupa. Erick, aku pernah mendengar Nabi bersabda, kira-kira terjemahannya
seperti ini, ‘Terburu-buru adalah sifat setan kecuali tiga hal yaitu bertaubat, mengubur mayat dan
menikahkan anak perempuan jika sudah waktunya menikah.”

Erick: “Aku tahu maksudmu.”

Arum: “Hmm … cobalah bilang ke saudara tertuamu untuk segera menguburkan mayat bapakmu!”

Erick: “………….”

Arum: “Sudah sehari, tapi kenapa belum juga dikubur? Aku khawatir … mayit akan berubah.”

Erick: “Duh …” (nampak wajah Erick kembali mendung, pedih … ada beban berat yang ditahannya)

Arum: “Erick … yuk kita segera menguburkan mayat Bapakmu!”

Erick: “Hmm … kayaknya mayat bapakku gak bakalan dikubur.”

Arum: “Kenapa?”

Erick: “Mayat bakalan dibakar.”

Arum: “Whattt?????”

51
Jangan Pernah Keluar Rumah Tanpa Membawa Cinta
Erick: “Istilah halusnya … dikremasi. Begitulah tradisi kami.”

Arum: “……..” (Arum kaget, tiba-tiba kepalanya terasa nyut-nyut. Hmm … hampir aja dia terhuyung
jatuh karena tak tega mendengar berita ini)

Erick: “Apa yang harus aku lakukan?”

Arum: “Erick, Bapakmu sudah masuk islam. Jadi, beliau harus dimakamkan sesuai dengan syariat
islam. Tak ada lagi tradisi.”

Erick: “Iya, aku akan mencoba bicara dengan kakakku.”

Sambil terus meneteskan air mata, Erick melangkah menuju ke tempat duduk kakaknya.
Nampak Erick membisiki Sang Kakak. Sekejap kemudian, Sang Kakak berdiri dan berjalan bersama
dengan Erick menuju ke tempat sepi di belakang rumah. Inilah pembicaraan mereka berdua.

Erick: “Kak, saya mau bicara hal penting.”

Kakak: “Silakan, Rick!”

Erick: “Mohon supaya Kakak tidak marah.”

Kakak: “Iya …”

Erick: “Kak, sebenarnya Bapak sudah memeluk agama islam.”

Kakak: “……..” (wajahnya kaget bercampur marah)

Erick: “Aku tak pernak memaksa beliau, tapi beliau sendiri yang ingin memeluk agama islam.”

Kakak: “…………” (kini wajah itu sudah mulai stabil lagi)

Erick: “Kak, saya minta ijin untuk menguburkan jenasah Bapak sesuai dengan syariat islam.”

Kakak: “Hmm …” (otaknya berfikir keras hingga kening berkeringat)

Erick: “Kak, Bapak adalah muslim. Jadi beliau berhak mendapatkan perlakuan selayaknya muslim
yang lain.”

Kakak: “Dhek, maaf … aku gak percaya dengan omonganmu. Bapak tetap akan dikremasi dua hari
lagi.”

Erick: “Hiks … hiks … Bapak nggak boleh dikremasi, karena beliau tuh muslim.”

Kakak: “Dhek, kami lagi berduka. Tolong jangan ditambah lagi dengan duka baru!”

Erick: “Arum adalah saksinya bahwa Bapak sudah masuk islam.”

Kakak: “Diam!!! Sekali lagi kamu bicara, maka aku akan menampar wajahmu.”

Setelah pembicaraan itu, Erick semakin berduka. Semua nasihat penenang hati yang
disampaikan Arum tak satupun didengarnya. Jiwanya terus berontak dengan berkata, “Bapakku
muslim, kenapa meninggalnya harus dibakar?” Arum-pun mengalah. Dengan lemah lembut, Arum
membujuk kepada Kakaknya Erick supaya Bapaknya Erick dikuburkan sesuai dengan syariat islam.
Tapi, hasilnya nihil. Bahkan, Kakaknya Erick menasihati Arum supaya tidak mencampuri urusan
keluarga.

52
Jangan Pernah Keluar Rumah Tanpa Membawa Cinta
Hingga dua hari, belum juga ada titik temu padahal menurut jadwal, nanti jam 3 sore,
jenasah akan dibakar. Angin dan hujan-pun ikut berduka.

Angin: “Kulihat sudah tiga hari ini Erick tidak tidur.”

Hujan: “Kayaknya inilah masalah terbesar yang pernah dihadapinya. Eh, gimana dengan ruh
Bapaknya Erick.”

Angin: “Hehehe, aku melihat dengan mata kepalaku sendiri, para malaikat menyambutnya dengan
suka cita. Aku juga mencium bau harum yang keluar dari ruh itu. Aku terus mengamati arah langit,
hehehe … pintu langit dibukakan, dan … aku yakin sekarang ruh Bapaknya Erick sudah berpesta di
surga.”

Hujan: “Benar-benar aneh, ya. Tuh orang seumur hidup jauh dari Qur’an. Hobinya makan daging
babi. Paling-paling itu ruh masuk ke dalam atmosfer islam hanya tiga mpe lima menit. Belum sempat
sholat, juga belum puasa, tapi langsung masuk sorga.”

Angin: “Namanya aja husnul khotimah, endingnya bagus, jadi … kita gak boleh protes. Kayaknya
fakta inilah yang menjadikan aku semakin yakin bahwa Allah tu Maha Penyayang.”

Hujan: “Iya. Banyak manusia yang membenci islam karena katanya islam tuh dikit-dikit dosa, neraka,
kayaknya Allah tuh pemarah banget. Deskripsi di pikiran mereka sungguh mengerikan.”

Angin: “Sudahlah, gak usah ngebahas gituan, sekarang gimana caranya supaya Erick bisa tenang,
sumeleh, nggak usah ngurus bab kremasi, tapi bisa hepi karena ruh bapaknya sudah di sorga?”

Hujan: “Emm … aku nggak tahu. Tapi dia cerdas kok. Aku yakin pasti masalah ginian gak bakalan
berlarut-larut.”

Satu jam kemudian

Allah menurunkan rasa kantuk yang hebat sesaat setelah Erick melaksanakan sholat
dzuhur. Sejenak dia tertidur di kursi. Saat itulah, ruh Erick berjumpa dengan ruh Bapaknya atas izin
Allah.

Erick: “Bapak, kenapa wajah Bapak berubah muda?”

Bapak: “Allah menerima syahadatku. Jadi, walau aku baru masuk islam lima menit tapi aku langsung
ke sorga. Allah mengkaruniakan kepadaku kematian husnul khotimah.”

Erick: “Alhamdulillah, saya ikut gembira, Pak.”

Bapak: “Nak, hanya kamulah anak yang bisa berbakti kepada orang tua. Karena ilmu yang ada di
dalam dadamu itulah, Bapak bisa memperoleh kebahagiaan selamanya di sorga.”

Erick: “Syukurlah kalau Bapak bisa bahagia di sorga. Semoga kita bisa berkumpul bersama di sorga.”

Bapak: “Oya, barusan aku makan oseng babi ama vodka buatan Rusia.”

Erick: “Whattt???? Kok bisa?”

Bapak: “Di sorga bebas, Rick … hahaha, kita boleh makan apa aja.”

Erick: “Ya udah kalau gitu, silakan puas-puasin deh makan babi ama nenggak vodka, hehehe.”

53
Jangan Pernah Keluar Rumah Tanpa Membawa Cinta
Bapak: “Rick, tadi aku mendengar beberapa malaikat di sekitarku pada memuji kebaikan hati Arum.
Emm … menurutku, Arum tuh cocok ama kamu.”

Erick: “Pak, Sampeyan tuh sudah di alam lain, jadi please gak usah main jodoh-jodohan deh.”

Bapak: “Bukan menjodohkan, cuman ngasih info aja. Ok, Bapak mau kembali ke sorga.
Assalamu’alaikum.”

Erick: “Walaikum salam.”

Erick terbangun bersamaan dengan pembakaran jenazah Bapaknya. Kini kegundahan


hatinya sirna. Dia nggak peduli lagi ama acara bakar-bakaran. Erick, dia berdiri, meninggalkan acara
kremasi, dengan diikuti oleh Arum. Mereka berjalan berdua. Erick terus bercerita tentang mimpi
yang barusan dia alami. Arum percaya dan … mereka tersenyum bareng saat Erick bercerita bahwa
para malaikat memuji kebaikan Arum.

Arum: “Apa yang membuat kamu yakin bahwa itu mimpi dari Allah?”

Erick: “Iya, sebelum bermimpi, aku melaksanakan sholat dzuhur. Masih dalam keadaan berwudhu,
lalu aku ketiduran. Jadi … aku tidur dan bermimpi masih dalam keadaan suci. Sehingga aku yakin …
semua ini dari Allah.”

Arum: “Hehehe, alhamdulilah, ntar aku akan sujud syukur.”

Erick: “Iya, aku juga. Arum, terima kasih sudah mau menjadi sahabatku sejak kecil.”

Arum: “Sama, aku juga berterima kasih kepadamu karena gara-gara kenal kamu, aku jadi rajin dan
fokus dalam belajar.”

Erick: “Kayaknya kita bersinergi banget jika bersama, ya?”

Arum: “Maksudmu?”

Erick: “Maukah kamu menjadi istriku?”

Arum: “……………” (sejenak Arum linglung)

Erick: “Kalau kamu gak mau, maka aku akan memaksamu untuk mau menjadi istriku.”

Arum: “…..” (kalimat ini menjadikan Arum tersenyum)

Erick: “Arum, please jawab!”

Arum: “Erick, coba rayu aku, tapi pakai bahasa china!”

Erick: “Baiklah, Arum … Wǒ ài nǐ.”

Arum: “Kalau itu, aku tahu artinya.”

Erick: “Apa?”

Arum: “Aini jualan sawo.”

Erick: “Hahahahahahahaha.”

------

54
Jangan Pernah Keluar Rumah Tanpa Membawa Cinta
Bab 7

Mengumpulkan Barang Langit

Sambil makan pisang ambon, Pak Dayat menikmati kicauan burung cucakrawa di
pelataran rumahnya yang asri. Sudah menginjak usia 50 tahun, para tetangga mengatakan bahwa
beliau sukses dalam meniti karier. Tekun di PNS, jual beli mobil, mempunyai beberapa rumah makan
yang tersebar di Semarang. Hehehe … kini dia benar-benar menikmati keberhasilannya.

Namun ada satu hal yang mengganjal. Walau beliau sudah bergelar haji, dalam bidang
akademik beliau juga menyabet gelar MBA, tapi … beliau tak hafal surat Al Ikhlas. Memang aneh …
kok bisa? Pernah kejadian beliau menjadi imam sholat di kantor. Hehehe, banyak yang komplain
karena beliau salah dalam melantunkan Al Ikhlas. Hmm … padahal tu surat kan pendek banget.
Kalau Al Ikhlas aja gak hafal, apalagi surat lainnya? Hanya dinding dan burung di rumah beliau yang
mengetahui … kenapa bisa seperti ini.

Burung: “Menurutku Pak Dayat tu cinta dunia.”

Dinding: “Tapi kulihat dia rajin sholat juga.”

Burung: “Cuman sholat doang. Sholat tapi gak memahami ilmu yang terkandung di dalamnya.”

Dinding: “Contohnya apa?”

Burung: “Saat dia mengambil air wudhu, harusnya kan seiring dengan bersihnya badan, bersih juga
hati dan jiwa. Tapi … dia kadang makan uang haram hasil korupsi.”

Dinding: “Hmm … bener juga.”

Burung: “Saat dia sholat … duh … parah deh. Membaca Al Fatihah, tajwidnya nggak ada yang bener.
Melantunkan bacaan basmalah aja masih salah. Kata bismillah, harusnya tu pakai huruf sin, tapi dia
malah pakai syin. Dalam lafal Allah ada tasydid, dia nggak peduli, tasydid nggak dipedulikan.”

Dinding: “Padahal dia kan tahu kalau sholat tanpa ilmu, maka sholatnya tak diterima.”

Burung: “Dia tahu tapi gak peduli. Jiwanya dipenuhi dengan materi dan materi. Padahal mobilnya
sudah 8, harta kekayaannya hampir 10 milyar. Harusnya kan sudah sumeleh, gak usah ngejar-ngejar
lagi. Sekarang yang harus dikejar tu adalah ilmu, membenarkan bacaan Fatihah, bacaan sholat,
bacaan surat pendek, ngaji bab sabar, bab takwa, bab zuhud, dan lainnya.”

Dinding: “Seminggu kemarin dia sakit, ya? Tensinya naik.”

Burung: “Aku tahu sebabnya.”

Dinding: “Kenapa?”

Burung: “Warung makan kepunyaannya yang ada di Mijen terpaksa tutup karena sepi. Tiap hari rugi
terus.”

Dinding: “Hmm … kalau harta dunia berkurang, dia sedih sejadi-jadinya. Tak pernah dia bersedih
seperti itu kalau agamanya berkurang.”

55
Jangan Pernah Keluar Rumah Tanpa Membawa Cinta
Burung: “Bener. Sudah tahu kalau bacaan Al Fatihahnya sangat kurang, tapi dia rileks aja, gak
pernah sedih, gak pernah punya ide untuk memperbaiki bacaan. Apa dia nggak pernah berfikir
apakah sholatnya tu diterima Allah atau tidak?”

Dinding: “Tiga hari yang lalu dia membeli HP mahal. Kulihat senyumnya merekah dan maksimal,
hehehe.”

Burung: “Tak pernah dia sepuas itu saat agamanya bertambah. Lain halnya jika dunianya
bertambah, pasti jingkrak-jingkrak.”

Dinding: “Apa dia pernah mengaji Al Qur’an?”

Burung: “Nggak pernah.”

Dinding: “Padahal kan sudah Haji?”

Burung: “Cuman gelar doang, browww.”

Dinding: “Apa dia pernah mengaji hadis Nabi?”

Burung: “Nggak. Dia paling mengaji bab mobil baru, apartemen baru, bisnis baru.”

Dinding: “Hmm … apa dia pernah merindukan Allah?”

Burung: “Kayaknya enggak. Minggu ini dia merindukan KIA Sportage varian Titanium seharga hampir
500 juta.”

Dinding: “Apa yang paling dia inginkan bulan ini?”

Burung: “New car, new pleasure. Pokoknya serba new deh, hehehe.”

Percakapan mereka terhenti manakala setan datang ikut nimbrung.

Dinding: “Dari mana aja Mas? Kok baru nongol?”

Setan: “Dari gedung DPR, Kang.”

Burung: “Ngapain di sana? Ikut rapat?”

Setan: “Ada artis cantik yang lagi naik daun. Aku ingin ada satu anggota DPR yang berzina dengan tu
artis.”

Burung: “Wah, kok kamu tega banget.”

Setan: “Tapi kenyataannya aneh. Aku tu belum provokasi tu orang supaya zina, e e e, ternyata dia
udah trampil berzina.”

Dinding: “Berarti kamu kurang lincah, ya?”

Setan: “Bukannya kurang lincah, tapi kurang jahat, hehehe. Perasaanku … gue ini dah termasuk
paling jahat lho. Tapi ada juga manusia yang tingkat kejahatannya melebihi aku, hehehe … dasar
manusia.”

Dinding: “Setan, aku ingin bicara.”

Setan: “Ok, silakan.”

56
Jangan Pernah Keluar Rumah Tanpa Membawa Cinta
Dinding: “Tentang Pak Dayat, gimana menurutmu?”

Setan: “Sepuluh tahun yang lalu, aku menggodanya supaya berzina, tapi dia nggak mau. Aku dah
berusaha keras, tapi gak ada hasilnya. Hatinya sangat membenci zina. Padahal sudah kuajak ke
Sunan Kuning, LA Margorejo, tapi tetap dia gak mau.”

Burung: “Trus … apa kamu menyerah?”

Setan: “Second plan, akupun mengodanya supaya menenggak minuman keras. Dia tetap nggak mau.
Sholih juga tu orang. Setahun kemudian, aku goda dia supaya korupsi.”

Dinding: “Pasti berhasil. Iya kan?”

Setan: “Emm … berhasil dikit. Dia hanya korupsi dikit. Aku terus mengajaknya untuk mencuri duit
sebanyak-banyaknya, tapi … dia nggak mau. Paling-paling dalam sebulan, dia korupsi 500 ribu mpe
700 ribu untuk beli bensin.”

Dinding: “What next?”

Setan: “Aku pusing sendiri menggoda tu orang. Akhirnya aku ada ide … kugoda dia supaya malas
mencari ilmu, malas mengaji, malas mempelajari Qur’an. Tak hanya itu, aku terus memprovokasi
Dayat supaya menghabiskan waktunya untuk mobil baru, gadged baru, bisnis baru, dll.”

Burung: “Kayaknya berhasil, ya?”

Setan: “Hehehe, bener. Coba perhatikan kalau dia membaca Fatihah … pasti tajwidnya nggak ada
yang bener to? Hehehe.”

Dinding: “Al Ikhlas, dia gak hafal.”

Setan: “Semua surat tak ada yang dihafalnya kecuali Al Kautsar, hehehe.”

Burung: “Kayaknya semakin hari dia semakin sedih.”

Setan: “Emang. Harusnya dada tu dipenuhi dengan ilmu dan hikmah. Tapi Dayat? Hehehe …
dadanya penuh dengan ambisi dunia. Padahal setiap hari kakinya melangkah menuju ke kuburan,
tapi tingkah lakunya setiap hari mencerminkan seakan-akan dia akan hidup selamanya di dunia ini.”

Dinding: “Emm … gimana caranya Dayat kembali ke jalan yang lurus?”

Setan: “Dia harus mengaji, dekat dengan ulama dan rindu kepada Allah. Tapi takkan kubiarkan itu
terjadi.”

Sebulan kemudian Dayat jatuh sakit. Sehabis kencing, dia merintih kesakitaan. Dokter
menyatakan bahwa ada batu sebesar akik yang bersarang di ginjalnya. Hanya ada satu cara …
operasi dengan laser.

Satu jam sebelum operasi, sejenak Dayat menangis didampinya Pak Ustadz kenalannya.

Dayat: “Duh … aku takut banget, Pak.”

Ustadz: “Yang penting penyakitnya sudah ketemu. Kita tinggal menjalani aja takdir ini.”

Dayat: “Pak, apa yang harus aku lakukan sekarang?”

57
Jangan Pernah Keluar Rumah Tanpa Membawa Cinta
Ustadz: “Menulis surat wasiat. Siapa tahu operasi gagal, kamu meninggal. Jadi … mending sekarang
silakan tulis surat wasiat!”

Dayat: “Hiks … hiks … hiks …”

Ustadz: “Pak, kenapa tangisannya tambah kenceng?”

Dayat: “Hiks … hiks … hiks …”

Ustadz: “Emangnya Sampeyan gak pernah memikirkan tentang mati?”

Dayat: “E … e … enggak.”

Ustadz: “Tapi Sampeyan rajin sholat, kan?”

Dayat: “Iya, tapi hanya rutinitas doang. Nggak pernah nyampek ke hati.”

Ustadz: “Hmm …”

Dayat: “Pak … aku takut mati … hiks … hiks …”

Ustadz: “Tulis surat wasiat!”

Dayat: “Pak, aku takuttt … hiks … hiks … hiks …”

Ustadz: “Takut mati atau berani mati takkan pernah memajukan atau memundurkan jadwal
kematian. Kayaknya kamu jarang ngaji, ya?”

Dayat: “Aku tak pernah mengaji, Pak?”

Ustadz: “Kenapa kamu tak tertarik belajar mendalami ilmu islam?”

Dayat: “Aku sibuk … duh … sibuk banget.”

Ustadz: “Berarti kesibukanmu itu menjadi prioritas pertama dalam keseharianmu, sedangkan
mengaji tak pernah sedikitpun menjadi prioritas.”

Dayat: “Iya Pak. Maaf … kalau boleh terus terang, kadang jiwa ini bertanya: ‘Apa untungnya
mengaji?’ Aku takkan mau mengerjakan sesuatu yang tak ada untungnya.”

Ustadz: “Wow … silakan lihat wajah saya!”

Dayat: “Enggih Pak.”

Ustadz: “Pak Dayat, aku akan memberimu satu ilmu, semoga bisa mengubah pola pikirmu.”

Dayat: “Siap Pak.”

Ustadz: “Ketahuilah bahwa semua yang ada di atas tanah pada hakikatnya adalah tanah. Saya dari
tanah. Sampeyan dari tanah. Mungkin tiap hari kita memikirkan tentang uang. Perhatikanlah bahwa
uang terbuat dari kertas, kertas dibuat dari pohon, pohon mendapat makanan dari akar, dan akar
mendapat makanan dari tanah. Baju yang kita pakai, terbuat dari kapas, kapas diambil dari pohon,
pohon mendapat makanan dari akar dan akar mendapat makanan dari tanah. Mobil … ada besinya.
Besi diambil dari tanah. Motor … ada bensinnya. Sama … bensin diambil dari dalam tanah. Rumah
sakit ini, ada batanya, ada pasirnya, semua diambil dari tanah. HP … ada plastiknya … juga dari

58
Jangan Pernah Keluar Rumah Tanpa Membawa Cinta
tanah. Kalau kamu bisa melihat dengan detail … maka semua yang ada di atas tanah pada
hakikatnya adalah tanah, dan saatnya nanti akan kembali ke dalam tanah.”

Dayat: “Hiks … hiks … hiks …”

Ustadz: “Satu satunya yang dari langit adalah ilmu. Jika kamu rajin mengaji, rajin mendalami Qur’an
Hadist, rajin mengumpulkan ilmu islam, itu ibaratnya kamu mengumpulkan barang langit. Orang
yang rajin mengumpulkan barang langit, berarti suatu saat dia akan terbang ke langit … ke sorga,
menghadap Allah bersama ilmu yang dimilikinya. Sedangkan manusia yang hanya rajin
mengumpulkan barang dunia, maka jiwanya adalah jiwa tanah … saatnya nanti jiwa itu takkan
mampu terbang ke langit. Jiwa itu hanya bisa terbaring lesu di tanah bersama barang-barang dunia
yang pernah dikumpulkannya.”

Dayat: “Ya Allah … tak kusangka ilmu begitu penting. Hmm … aku merasa jiwaku ini adalah jiwa
tanah, bukan jiwa langit karena aku tak pernah ngaji, tak pernah mengumpulkan ilmu. Duh …
kenapa aku baru tahu sekarang??????”

Sebulan kemudian

Burung: “Eh, Pak Dayat benar-benar berubah total.”

Dinding: “Hehehe. Aku ikut senang. Duh … senang banget.”

Burung: “Kuperhatikan setiap senin dan rabu dia mengaji di Masjid Al Azhar.”

Dinding: “Kalau malam jum’at dia mengaji tajwid di Palebon.”

Burung: “Kayaknya seminggu lagi dia bakalan lulus iqra’ tiga.”

Dinding: “Hatinya benar-benar tersentuh oleh wejangan ustadz.”

Burung: “Kok aku jadi ingat ama firman Allah yang berbunyi ‘wakullahum fii anfusihim qoulam
baliigho.”

Dinding: “Artinya?”

Burung: “Dan katakanlah kepeda mereka perkataan yang membekas kepada jiwanya.”

Dinding: “Perkataan ustadz benar-benar membekas, menempel erat di jiwa Pak Dayat.”

Burung: “Moga-moga aja lekatnya permanen.”

Dinding: “Kalau kurang lekat, ntar di-alteco aja!”

Burung: “Halah … hahaha.”

------

59
Jangan Pernah Keluar Rumah Tanpa Membawa Cinta
Bab 8

Bertambah Jalang

Walau sudah diguyur hujan, tapi kota Rembang tetap panas menyengat. Pak Probo …
hehehe … sudah tiga gelas minum es jeruk, tapi haus belum juga hilang. Sambil kipas-kipas pakai ilir
jawa, beliau bicara lumayan serius dengan Sang Istri.

Probo: “Bu, mana Si Tiara?”

Istri: “Dia lagi megang gadged, paling fb-an, Pak.”

Probo: “Ini sudah jam 4 sore, apakah dia sudah sholat ashar?”

Istri: “Kayaknya belum.”

Probo: “Duh … kayaknya anak kita ini semakin hari semakin malas. Padahal … bentar lagi dia duduk
di bangku SMA, tapi … kenapa nggak dewasa-dewasa, ya? Sifatnya masih seperti anak-anak terus.”

Istri: “Kita terlalu memanjakannya, Pak.”

Probo: “Aku sudah mempunyai rencana. Gini … ntar aku akan mencarikan SMA islami terbaik di
Semarang. Aku yakin … dengan dia sekolah di sana, maka ilmu agamanya semakin bagus, ilmu
umum juga mantap. Gimana Bu?”

Istri: “Emm … apa nggak sebaiknya Si Tiara sekolah di sini aja … di Rembang? Di sini juga banyak
sekolah yang bagus.”

Probo: “Enggak. Dia harus jauh dari orang tua supaya bisa mandiri. Jika dia terus dekat dengan
orang tua, selamanya dia akan malas seperti itu.”

Istri: “Pak, Semarang tu kota besar. Pengaruh negatif sangat banyak. Aku khawatir …”

Probo: “Kalau kamu berfikir negarif terus, maka anak kita takkan bisa berkembang. Think positive,
please!!!!”

Enam bulan kemudian, Tiara sudah berada di Semarang. Dia masuk di sekolah islam yang
lumayan terkenal. Biaya masuk sekolah … wow … mahal banget, hampir seharga motor bebek baru,
hehehe.

Apakah Tiara menjadi semakin baik? Hmm … dia bagai kuda yang lepas dari kandang.
Walau perempuan, dia sudah berani belajar merokok. Saat masuk sekolah, dia mengenakan jilbab,
tapi saat nge-maal, dia melepas tu jilbab. Saat kumpul-kumpul dengan teman-temannya di warung
kucingan, dia juga melepas jilbab, sambil … merokok. Duh … parah banget ni bocah.

Atmosfer Semarang benar-benar membuat Tiara bertambah jalang. Sholat … gak pernah
lagi. Belajar … gak mau. Sosmed … hampir tiap menit kecuali pas tidur, hehehe. Tapi dia pandai
menyembunyikan semua keburukan ini dari ortunya. Biasalah … namanya dosa pasti membuat
orang malu dan dia akan menyembunyikan serapat-rapatnya.

Saat ada liburan agak panjang, Tiara pulang ke Rembang. Tentu dengan memakai jilbab. Di
rumah juga sholat, ngaji, bicara dengan logat Semarangan dengan sangat sopan. Tujuannya hanya

60
Jangan Pernah Keluar Rumah Tanpa Membawa Cinta
satu yaitu tebar pesona, jaga image … hehehe. Begitu dia sudah pulang dari Rembang, saat naik bis
menuju Semarang, diapun melepas jilbabnya lagi.

Memang kenyataan ini sungguh aneh. Tuh anak sekolah di sekolah islam. Lingkungannya
juga islam. Semua gurunya adalah islam, tapi kenapa semakin hari semakin bejat, jauh dari akhlak
islami? Jawabannya sederhana … karena mayoritas teman-temannya juga bejat seperti dia. Kok
bisa? Hehehe … gini … niatan orang tua memasukkan anak mereka ke sekolah islam tu macam-
macam. Ada anak sholih, lalu dimasukkan ke sekolah islam supaya bertambah sholih. Ada anak
awam, dimasukkan ke sekolah islam supaya jadi sholih. Ada anak nakal, dimasukkan ke sekolah
islam supaya menjadi sholih. Naa … kebanyakan yang terjadi tu yang nomor tiga yaitu anak nakal
dimasukkan ke sekolah islam supaya menjadi sholih. Memang tujuan awalnya bagus. Tapi silakan
bayangkan … ada 50 anak nakal yang dimasukkan ke sekolah islam. Lalu ke 50 anak nakal itu pada
berkumpul, buat group tersendiri. Mereka semakin nakal karena memang dikelilingi oleh anak-anak
nakal. Pertanyaannya adalah … dua tahun kemudian, kelima puluh anak nakal ini menjadi semakin
sholih atau malahan semakin nakal??? Hahaha … anda pasti tahu jawabannya.

Setahun kemudian, sekolah mengadakan wisata ke Bali. Ada 8 bus berjejer siap
mengantar para murid untuk sejenak menikmati alam. Kesempatan ini benar-benar membahagiakan
Tiara dan groupnya. Mungkin inilah puncak kesenangan mereka, bisa hepi bersama-sama di Pulau
Dewata.

Sehari kemudian, rombongan sudah menginap di salah satu hotel di Bali. Semakin malam,
suasana semakin ceria. Emm … dari ceria menuju ke mesra. Dari mesra menuju ke zina. Hmm …
Tiara baru tahu kalau teman-temannya pada melakukan perbuatan zina, sungguh tak senonoh. Duh
… dia shock, kecewa, marah, frustasi dan … remuk. Sejenak jiwanya menangis …

Jiwa: “Hiks … hiks … kuakui, aku memang nakal, malas, suka merokok, tapi aku nggak sampai
melakukan zina seperti itu.”

Hati: “Hmm … gak nyangka. Padahal mereka sekolah di sekolah islam, tapi kok bisa dengan
mudahnya berzina. Padahal mereka tahu ilmunya, tapi kenapa malahan melanggar?”

Jiwa: “Mereka seperti setan.”

Hati: “Emm … lebih mirip binatang, deh.”

Jiwa: “Nyesal banget aku masuk sekolah ini.”

Hati: “Mending dulu sekolah di Rembang aja, ya?”

Jiwa: “Benar. Senakal-nakalnya anak Rembang, tapi nggak separah anak Semarang.”

Hati: “Kayaknya … secepatnya aja pindah ke Rembang, ya?”

Jiwa: “Benar, aku akan melanjutkan sekolah di Rembang aja. Moga-moga proses mutasi-nya gak
ruwet.”

Hikmah dari kisah ini:

1. Beberapa sekolah islam yang ada (tidak semuanya) bukannya menjadikan anak kita semakin sholih,
tapi malahan sebaliknya. Kenapa? Anak kita dikotori akhlaqnya oleh teman-teman mereka satu
sekolahan. Jadi, silakan sangat selektif dalam memilih sekolah.
2. Jangan memilih sekolah karena murahnya, jangan milih sekolah karena namanya yang terkenal. Tapi
silakan memilih sekolah karena kita memang mengetahui luar dalam sekolah itu. Sekolah yang

61
Jangan Pernah Keluar Rumah Tanpa Membawa Cinta
berlabel islam, belum tentu dalamnya benar-benar islami karena fakta di lapangan mengatakan
seperti itu.
3. Memang sekolah adalah ‘pabrik’ untuk menghasilkan anak pintar dan sholih. Tapi sebenarnya mesin
penghasil anak sholih yang paling bagus adalah kedua orang tua. Jadi … jangan pernah
mengandalkan sekolah, lalu para orang tua nyantai, tidak mendidik anak dengan maksimal.
4. Anak bisa sholih tergantung kepada tiga faktor yaitu buku yang dibacanya, kualitas teman-
temannya, dan keputusan yang dia buat. Untuk para orang tua: pastikan anak-anak membaca buku-
buku yang baik dan bagus, pastikan anak-anak berada di lingkungan yang islami dan berakhlaq
mulia, dan bantulah anak untuk mengambil keputusan yang islami, yang lurus, yang sesuai dengan
Al Qur’an dan Sunnah.
------

62
Jangan Pernah Keluar Rumah Tanpa Membawa Cinta
Bab 9

Cara Mendesain Anak Supaya Menjadi Gila

Tahun 2008

Mata Thoriq terus terpaku ke permukaan air sungai yang jernih. Sudah setengah jam lebih
dia ingin menangkap anak ikan sepat yang berenang meliuk-liuk kian kemari, tapi belum juga
berhasil. Angin lembut menerpa wajahnya yang putih dan ganteng. Umurnya baru enam tahun,
imut, periang. Tiap sore dia menikmati ayat Allah yang terbentang mulai dari sawah yang menghijau,
sungai yang bening, dan dedaunan yang rindang.

Thoriq agak kaget namun tersenyum manakala dari arah belakang sahabatnya datang.
Laila, umur mereka sama. Ni cewek juga imut, rambut panjang hingga sebahu. Sejenak mereka
bergurau.

Laila: “Sudah dapat ikan berapa?”

Thoriq: “Baru dapat dua ikan.”

Laila: “Eh, lihat ke arah samping kirimu, ada banyak ikan gathul. Kita tangkap, yuk!”

Thoriq: “Enggak ah. Untuk apa menangkap ikan gathul? Nggak seru.”

Laila: “Tapi aku suka ikan gathul. Mereka selalu bersama. Kemana-mana selalu beriringan.”

Thoriq: “Kalau aku … suka ikan sepat.”

Laila: “Kenapa suka ikan sepat?”

Thoriq: “Aku melihat dia selalu tersenyum, tertawa, bermain kian kemari. Kayaknya … dialah
makhluk Allah yang paling bahagia.”

Dua tahun kemudian

Thoriq sudah duduk di kelas dua SD. Kini … kesempatan untuk melihat alam sudah sangat
jarang. Ibu Wida- ibunya Thoriq mempunyai impian bahwa Thoriq bisa menghafal Qur’an 30 juz. Di
samping itu, dia juga berambisi Thoriq harus menjadi ranking satu di kelasnya.

Beban-beban inilah yang membuat Thoriq jarang tersenyum. Sepulang sekolah, dia
nonton TV bentar, jam 2 siang berangkat les. Ntar jam 4 sore mengaji. Jam 6 sore belajar mapel di
kamar. Jam 8 mpe sembilan hafalan Qur’an dengan ibunya. Targetnya satu halaman/ hari. Thoriq
tidur terlelap saat jam 9.30 malam. Baru tidur lima setengah jam, tepat jam tiga pagi, Sang Ibu
membangunkan Thoriq untuk kembali menghafal Qur’an mpe subuh. Setelah subuh, kembali
disuruh mengulangi pelajaran sekolah.

Hanya saat hari minggu Thoriq benar-benar bisa istirahat. Kini dia bersama Laila. Sama …
berdua di sungai melihat ikan yang berenang.

Laila: “Kulihat wajahmu lesu. Kayaknya kamu lelah banget.”

Thoriq: “A … a … aku capek. Pikiranku lelah. Otak ini terasa mau meledak. Rasanya … duh … nyut …
nyut … nyut.”

63
Jangan Pernah Keluar Rumah Tanpa Membawa Cinta
Laila: “Mungkin kamu terlalu banyak belajar.”

Thoriq: “Aku terpaksa. Hmm … aku dipaksa ibukku belajar keras. Aku tak punya kesempatan untuk
bermain, tak ada lagi waktu untuk menikmati hidup.”

Laila: “Kudengar kabar … kamu lagi fokus menghafal Qur’an, ya?”

Thoriq: “Aku dipaksa ibukku. Kalau tak patuh, aku dicap anak durhaka. Aku dicap tak mau diajak
menuju kebaikan.”

Laila: “Hmm … apa kamu menikmati menghafal Qur’an?”

Thoriq: “Enggak. Aku tak bisa menikmati. Aku lelah. Pelajaran sekolah sangat berat. PR juga banyak.
Tugas seabreg … kini ditambah beban hafalan satu halaman Qur’an sehari. Duh … kadang aku pingin
minggat dari rumah.”

Laila: “Huss … jangan berkata seperti itu! Ibumu tu baik, sangat sayang kepada anaknya sehingga
memberimu tugas hafalan seperti itu.”

Thoriq: “Baik tapi terlalu memaksa. Kayaknya dia bakalan bangga kalau aku hafal Qur’an, lalu
prestasiku ini dipamer-pamerkan ke teman-temannya di sosmed. Aku tak suka hal itu.”

Laila: “Hmm … jika kamu bebas memilih, pilihan apa yang akan kamu ambil?”

Thoriq: “Aku ingin dalam sehari tu … belajar satu jam aja, gak ada les, gak ada hafalan Qur’an … aku
tak mampu menghafalnya. Aku ingin lebih dekat ke alam yaitu sawah, kebun, sungai. Di situlah aku
menemukan kedamaian.”

Laila: “Kapan kamu siap menghafal Qur’an?”

Thoriq: “Ntar aja, saat SMP. Itupun nggak sehalaman dalam sehari, tapi sehalaman dalam
seminggu.”

Laila: “Kenapa begitu?”

Thoriq: “Aku ingin menghafal pelan. Hmm … pelan banget sambil mendalami makna Qur’an itu
sendiri. Aku tak suka terlalu banyak. Duh … pusing.”

Laila: “Cobalah sampaikan uneg-unegmu ini ke ibumu!”

Thoriq: “Dia pasti gak setuju … marah. Kayaknya hidupku benar-benar di bawah tekanan.”

Laila: “Hmm … aku ikut prihatin.”

Thoriq: “Laila … kayaknya kamu lebih bahagia dari aku. Coba bayangkan … jam tiga pagi aku dipaksa
bangun padahal masih mengantuk. Aku dipaksa menghafal dan menghafal hingga subuh. Padahal
jam segitu kan lagi enak-enaknya tidur.”

Laila: “Duh … aku ikut sedih mendengarnya.”

Thoriq: “Aku sangat heran dengan jalan pikiran ibukku. Sebagai seorang ibu, kenapa dia tega
menyiksaku? Kenapa????? Hiks … hiks … hiks …”

Laila: “Semua ibu tu baik.”

Thoriq: “Emang, kecuali ibukku. Dia benar-benar merenggut kebahagiaanku.”

64
Jangan Pernah Keluar Rumah Tanpa Membawa Cinta
Laila: “Kayaknya kamu benar-benar depresi.”

Thoriq: “Bukan hanya depresi, tapi super depresi, fren.”

Tiga tahun kemudian

Thoriq: “Bu … badhe matur.”

Ibu: “Ini dah jam 10 malam. Tolong gak ada pembicaraan lagi! Kamu harus tidur, ntar jam tiga kamu
harus bangun. Dua hari lagi kamu akan mengikuti olimpiade matematika di Semarang. Kamu harus
menjadi juara satu se-jawa tengah!”

Thoriq: “Bu … aku lelah.”

Ibu: “Halah, jangan terus mencari alasan! Nak, kamu tu kuat bagai harimau. Kamu hebat bagai
elang. Aku sengaja mendidikmu dengan sangat keras supaya kamu bisa mengenal dirimu sendiri
yang pandai, hebat, mental juara dan nomer satu.”

Thoriq: “Aku bukan nomor satu.”

Ibu: “Diam!!!! Kamu harus menutup semua pintu kemalasan.”

Thoriq: “Bu, aku ingin bermain seperti anak-anak yang lain.”

Ibu: “Berarti kamu membuang masa mudamu hanya untuk hal-hal yang tak berguna.”

Thoriq: “Aku ingin menikmati hidup, apakah salah?”

Ibu: “Hidup itu perjuangan, bukan untuk nyantai-nyantai, ngerti?????”

Thoriq: “Bu, beban belajarku banyak. Tugas, PR, menghafal Qur’an, aku hanya lima jam tidur dalam
sehari. Kini ketambahan beban persiapan olimpiade matematika. Hiks … hiks …”

Ibu: “Kalau kamu masih menganggap aku ini ibumu, kamu harus patuh ibu! Tak ada orang tua yang
menyuruh keburukan kepada anaknya. Semua orang tua menginginkan kebaikan. Tolong
dipikirkan!!!! Sekarang cepat tidur!!!”

Otak Thorik benar-benar lelah. Sekarang kadang terasa nyeri. Ibunya gak peduli. Hmm …
hanya Laila yang memahami keadaannya.

Dua hari kemudian, Ibu Thoriq jingkrak-jingkrak karena Thoriq berhasil memenangkan
olimpiade matematika se-jawa tengah. Sang Ibu terus mengabarkan berita gembira ini kepada
teman-temannya. Aroma kesombongan semakin tercium. Niatan awal belajar hanya untuk mencari
ridho Allah, kini bergeser menjadi niatan yang picik yaitu ingin di puji.

Di sore yang sejuk, sejenak Thoriq menyendiri di pinggir sungai. Kadang dia tertawa
sendiri, kadang menangis sendiri. Matanya terus terpaku kepada beberapa ikan sepat yang
berenang kian kemari. Dia menoleh ke arah kanan. Alangkah kagetnya Thoriq, di … di … dia melihat
ada manusia yang mencekik Laila. Dia melihat Laila mengerang kesakitan. Sontak Thoriq menjerit
dan menjerit. Jeritannya semakin keras hingga ibunya datang dan memeluknya.

Ibu: “Nak, kamu kenapa? Kenapa menjerit-jerit?”

Thoriq: “Bu, lihatlah! Laila dicekik perampok.”

Ibu: “Mana?”

65
Jangan Pernah Keluar Rumah Tanpa Membawa Cinta
Thoriq: “Itu Bu, di samping kanan Ibu. Hiks … hiks … kasihan Laila, tolonglah dia!”

Ibu: “Nak, di samping kanan Ibu gak ada apa-apa alias kosong. Coba pejamkan mata!”

Thoriq: “Enggih Bu.”

Ibu: “Sekarang buka matamu!”

Thoriq: “Enggih.”

Ibu: “Apa kamu masih melihat Laila dicekik?”

Thoriq: “Enggak. Sudah tidak ada.”

Peristiwa itu membuat semua shock. Sejam kemudian, Thoriq kembali jerit-jerit. Kali ini di
kamarnya dia melihat Laila ditusuk oleh perampok sehingga darah mengucur deras membasahi
lantai kamar. Tapi ibunya tak melihat itu. Semua orang tak melihat kejadian itu kecuali … Thoriq.

Dua hari Thoriq tak bisa tidur. Setiap dua jam dia menjerit. Kedua orang tuanya menangis
hingga kelopak mata pada bengkak. Hanya satu pertanyaan, “Ada apa dengan Thoriq?”

Sebulan kemudian

Tak ada pilihan lain, Thoriq dirawat di rumah sakit jiwa Magelang. Kali ini Laila datang
membezuk. Melihat kondisi Thoriq yang semakin mengenaskan, Laila menangis sambil terus
memegang tangan Thoriq.

Laila: “Thoriq, hiks … hiks … hiks …”

Thoriq: “…………….”

Laila: “Coba sebutkan, siapa namaku?”

Thoriq: “…………..”

Laila: “Aku adalah Laila … hiks … hiks … a … a … aku Laila. Kenapa kamu melupakan aku?”

Thoriq: “…………”

Laila: “Thoriq, cobalah mengingat masa kecil! Saat kita berdua bermain di sungai. Aku suka ikan
gathul, sedangkan kamu suka ikan ….”

Thoriq: “………….”

Laila: “Ayo jawab! Kamu suka ikan …..”

Thoriq: “……………”

Laila: “Hiks … hiks … Thoriq, kenapa kamu bisa lupa semua?” (tangisan Laila semakin pilu)

Thoriq: “…………..”

Adzan ashar sudah berkumandang, Laila menuntun Thoriq menuju ke ruang perawatan.
Dia langsung bergegas ke masjid rumah sakit untuk melaksanakan sholat ashar. Saat wudhu …
membasuh wajah, kembali Laila menangis, tapi ditahannya. Jiwanya hanya bisa berkata, “Thoriq,
ibumu sangat kejam. Dialah yang menjadikanmu seperti ini … hiks … hiks …”

66
Jangan Pernah Keluar Rumah Tanpa Membawa Cinta
Selesai melaksanakan sholat ashar, sejenak Laila bicara serius dengan dokter yang
merawat Thoriq.

Laila: “Pak dokter, mohon cerita … ada apa dengan Thoriq? Dia tu sakit apa? Kapan bisa sembuh?”

Dokter: “Hmm … aku tak bisa mengatakannya.”

Laila: “Dok, saat Thoriq sehat, hanya aku adalah sabahat terbaiknya. Kemana-mana kami berdua.
Please!!!”

Dokter: “Pasien Ananda Thoriq … emm … beberapa syarafnya layu. Kami harus melakukan terapi
supaya syarafnya tidak layu.”

Laila: “Duh … hiks … hiks …”

Dokter: “Dhek, sudahlah! Mendingan perbanyak doa daripada menangis.”

Laila: “Enggih Pak. Kapan dia bisa sembuh?”

Dokter: “Saya tak bisa menjawab. Ok saya tinggal dulu, ada keluarga pasien lain yang membutuhkan
penjelasan saya.”

Laila: “Iya Pak. Terima kasih.”

Mendengar kalimat ‘beberapa syaraf Thoriq layu’, duh … hati Laila seperti teriris, kadar
oksigen di sekitarnya seakan berkurang. Dia hanya bisa tergagap, duduk lemas, hmm … tak disangka
nasib Thoriq bakalan seperti ini.

Hampir maghrib, sudah setengah jam lebih Laila menyuapi Thoriq. Alhamdulillah
makannya lumayan banyak. Nampak ada senyum menghiasi wajah Thoriq. Laila membalasnya
dengan senyuman bercampur dengan harapan. Sejenak mereka beradu pandangan.

Laila: “Thoriq … dah maghrib, aku harus pulang ke Semarang. Seminggu lagi aku ke sini, ya!”

Thoriq: “……………”

Laila: “Aku terus berdoa siang malam supaya kamu bisa sembuh. Aku berharap semoga jika kamu
sembuh, maka kita akan bermain lagi, bersama lagi mencari ikan di sungai.”

Thoriq: “……………..”

Laila: “Please jawab! Jangan diam terus!”

Thoriq: “………..”

Laila: “Hmm … Ya Allah, titip Thoriq, njih. Matur nuwun.”

Pelan namun pasti Laila melangkah meninggalkan Thoriq. Satu langkah … tiga langkah,
Thoriq tetap diam. Hingga sampai tujuh langkah, Laila menoleh ke arah Thoriq. Laila tertegun, dia
terus memperhatikan mata Thoriq yang terus mengeluarkan air mata. Hmm … seakan air mata itu
berkata, “Laila, jangan tinggalkan aku! Temani aku! Ibukku jahat, hanya kamulah sahabatku satu-
satunya.”

Air mata Thoriq … hmm … Laila tak tahan melihat air mata itu yang terus menetes. Kakinya
terasa gemetar, dadanya deg-degan, sambil menangis keras, diapun berlari menuju Thoriq. Laila …

67
Jangan Pernah Keluar Rumah Tanpa Membawa Cinta
dia menjerit pilu memeluk Thoriq. Kini … tak ada lagi kata yang terucap. Yang terdengar hanya
tangisan, rintihan dan asa yang berserak.

------

Catatan dari penulis: kisah ini saya dedikasikan kepada seorang anak yang menjadi gila karena beban
belajar yang terlalu berat yang diberikan orang tua kepadanya.

68
Jangan Pernah Keluar Rumah Tanpa Membawa Cinta
Bab 10

Ketika Allah Memberi Secara Kontan

Suasana bakda subuh yang biasanya sunyi, sepi dan sejuk, kini mendadak geger. Pak Haji
Syarif pingsan di masjid saat selesai mengerjakan sholat subuh berjamaah. Sang Putri yaitu Mbak
Witri sudah bersiap-siap mengantar beliau ke rumah sakit. Tapi mendadak Pak Syarif sadar dan …
beliau nggak mau di bawa ke rumah sakit. Kini beliau dibaringkan di atas ranjang yang diletakkan di
ruang tamu agar masyarakat dengan mudah membezuk beliau.

Mbak Witri dikaruniai adik yang bernama Fhatmi. Keduanya sudah berumah tangga. Usia
Pak Syarif sendiri sudah hampir 80 tahun. Kini mereka semua berkumpul.

Witri: “Pak, Panjenengan harus kerso ke rumah sakit.”

Pak Syarif: “Aku sudah sadar dari pingsan. Sudahlah, jangan lagi menyebut rumah sakit! Nak, hmm …
kayaknya jatah hidupku di dunia ini sudah hampir habis.”

Fhatmi: “Pak, ampun ngendiko mekaten!”

Pak Syarif: “Sebelum aku meninggal, sebenarnya ada satu rahasia yang kusembunyikan selama 20
tahun ini. Kini aku akan membuka rahasia itu.”

Witri: “Hiks … hiks … hiks …”

Pak Syarif: “Nak, saat usiaku 59 tahun, aku berangkat naik haji ke tanah suci. Saat melaksanakan
sholat di Masjidil Haram, ada keanehan. Waktu itu aku sholat dengan memakai sajadah. Selesai
melaksanakan sholat, akupun melipat sajadah. Aku kaget manakala melihat di bawah sajadah itu
ada uang kertas riyal begitu banyak. Aku menoleh ke kanan ke kiri, pikiran ini mendadak bingung
dan bertanya-tanya … siapa pemilik uang ini? Akupun membawanya. Kusimpan rapi di kopor.”

Witri: “Hmm … cerita yang bagus.”

Pak Syarif: “Beberapa jam kemudian, aku melaksanakan sholat lagi. Sama … selesai sholat, kulihat di
bawah sajadah berserak uang begitu banyak. Aneh … jiwa ini terasa tentram. Besoknya, aku sengaja
sholat di Masjidil Haram dengan tidak membawa sajadah. Keanehan datang lagi, Nak. Selesai
melaksanakan sholat, di bawah pinggangku terdapat begitu banyak uang riyal. Akupun
menyimpannya. Semua uang kubawa pulang, kutukarkan ke mata uang rupiah, hmm … hampir satu
milyar rupiah. Uang itu aku gunakan untuk membeli sawah dan kebun. Kini semua sawah dan kebun
itu aku wariskan kepada kalian berdua.”

Witri: “Aku yakin semua uang itu adalah pemberian dari Allah.”

Fhatmi: “Hatiku juga mengatakan seperti itu.”

Pak Syarif: “Setelah mengalami peristiwa itu, duh … imanku semakin naik. Aku semakin yakin bahwa
Allah tu ada, baik, dan senantiasa mengurus hamba-Nya.”

Witri: “Kenapa Bapak merahasiakan ini semua?”

Pak Syarif: “Aku tak ingin jiwaku menjadi sombong. Biarlah kejadian ini hanya aku dan Allah saja
yang tahu.”

69
Jangan Pernah Keluar Rumah Tanpa Membawa Cinta
Witri: “Hmm … hati ini terasa mak nyess mendengar kisah Panjenengan, Pak.”

Pak Syarif: “Nak, sejak muda, aku belajar mengaji di masjid kampung kita itu. Hmm … cukup lama
aku merenungkan satu ayat yaitu ayat pertama yang tertulis di Qur’an.”

Fhatmi: “Maksud Bapak … Bismillahirrohmaanirrohiim.”

Pak Syarif: “Benar. Lama otak ini berfikir: kenapa ayat ini dijadikan ayat pertama? Hmm … ada kata
Arrohman, juga ada kata Arrohim. Allah Maha Pengasih, Allah Maha Penyayang.”

Witri: “Bapak memang telaten, ulet, dan rajin.”

Pak Syarif: “Kenapa kata Arrohman diletakkan di awal Qur’an? Duh … lama banget aku memikirkan
satu kata ini, hingga sampai berminggu-minggu.”

Fhatmi: “Akhirnya????”

Pak Syarif: “Aku berkesimpulan … sengaja Allah meletakkan asmaul husna itu, yaitu Arrahman,
Maha Pengasih … supaya manusia mau meneladani asmaul husna ini. Aku yakin bahwa Allah sangat
mencintai hamba-hambaNya yang suka memberi, bersedekah, dan meringankan beban orang lain.
Hmm … sejak saat itu, akupun rajin sedekah, rajin membantu, rajin menyantuni anak yatim dan
miskin.”

Witri: “Wow … sungguh bijaksana.”

Pak Syarif: “Rupanya Allah membalasku secara cash di dunia ini. Saat di Masjidil Haram, Allah ganti
memberiku uang begitu banyak. Ya Allah … Engkau memang Arrahman, Engkau benar-benar sayang
kepada kami.”

Fhatmi: “Memahami hanya satu ayat, lalu dipikirkan berhari-hari, kemudian dilaksanakan dengan
ikhlas dan istiqomah hingga ujung kehidupan… wow … Pak … tak kusangka Panjenengan benar-
benar mencintai Qur’an.”

Pak Syarif: “Nak, pesanku: jangan hanya puas dengan menghafal Qur’an. Tapi yang paling penting
adalah memahami Qur’an. Memikirkan apa yang terkandung dalam setiap ayat di Qur’an, lalu
laksanakanlah dengan istiqomah hingga nyawa ini berpisah dari raga. Aku yakin … kamulah manusia
yang paling beruntung di dunia ini.”

Nafas Pak Syarif tinggal satu-satu. Beliau … duh … nampak keringat bersarang di dahi
beliau. Witri dan Fhatmi tahu bahwa bapaknya … hmm … kayaknya sudah rindu ingin bertemu Allah.

Witri: “Pak … hiks … hiks …”

Pak Syarif: “Nak, kenapa kamu menangis? Bentar lagi aku akan bertemu dengan Dzat yang sangat
aku cintai. Aku sangat rindu ingin bertemu denganNya.”

Fhatmi: “Hiks … hiks … Pak, berilah kami nasihat lagi! Hiks … hiks …”

Pak Syarif: “Nak, jadikan menghafal Qur’an sebagai prioritas nomer tiga. Jadikan memahami Qur’an
sebagai prioritas nomer dua. Jadikan mengamalkan isi Qur’an sebagai prioritas nomer satu.”

Witri: “Enggih Pak. Kami akan melaksanakan semua dhawuh Panjenengan.”

Pak Syarif: “Nak, hmm … nafas terasa semakin berat. Duh … yuk kita bersama-sama membaca Al
Fatihah tiga atau lima kali!”

70
Jangan Pernah Keluar Rumah Tanpa Membawa Cinta
Akhirnya, semua yang hadir membaca Al Fatihah bersama-sama dengan Pak Syarif. Saat
selesai membaca Fatihah tiga kali, tiba-tiba Pak Syarif terdiam. Beliau tersenyum menghadap ke
langit sambil berkata lembut, “Nak, ada rombongan tamu. Mereka bukan manusia, tapi juga bukan
jin.”

Dengan tangisan tertahan, Fhatmi bertanya, “Si … si … siapa mereka? Apakah para malaikat???”

Pak Syarif tak mampu lagi menjawab. Beliau hanya mengangguk pelan, tersenyum … memejamkan
mata. Lima menit kemudian … beliau sudah tidak bernyawa lagi.

------

71
Jangan Pernah Keluar Rumah Tanpa Membawa Cinta
Bab 11

Kadang Kejujuran Terasa Perih

Tahun 1974

Hampir maghrib, hujan rintik sudah cukup merubah suasana menjadi sejuk. Empat gadis
berjalan pelan. Mereka memakai payung dari daun pisang. Nampak dari kejauhan … hehehe …
mereka mengenakan jarik khas jawa. Seperti biasa, mereka menuju masjid kampung untuk mengaji
Al Qur’an. Sambil menikmati sejuknya hujan, sejenak mereka ngobrol.

Gendhis: “Yuk kita bergegas! Ntar gelap lho.”

Ambar: “Nyantai aja lah! Hehehe … proyek listrik sudah nyampek di kota Semarang. Kapan kampung
kita mendapat aliran listrik, ya?”

Harni: “Paling-paling 5 tahun lagi.”

Enting: “ Bukan lima tahun, tapi 10 tahun lagi, hahaha.”

Gendhis: “Eh, Ambar … kain jarik yang kau kenakan, duh … bagus banget. Apa nama motifnya?”

Ambar: “Ini motif batik parang kusumo. Maknanya adalah mekar. Semoga dengan aku mengenakan
motif ini, pikiranku mekar, hatiku juga mekar, tak lagi picik dan bodoh.”

Harni: “Gimana kalau yang mekar malahan perutnya?”

Enting: “ Itu namanya super gendhut, Jeng … hahaha.”

Harni: “Kalau jarik yang kupakai ini, nama motifnya adalah bokor kencana. Kata ibukku, motif ini
seperti doa semoga aku semakin bertambah sholihah, kewibawaanku semakin moncer dan
kecantikanku semakin bersinar lahir batin, hehehe.”

Enting: “Emangnya jarik ngefek ama wajah?”

Gendhis: “Duh, namanya aja petuah orang tua, nggak usah dibantah! Kalau aku suka jarik dengan
motif sekar jagad.”

Ambar: “Emm … kutebak, pasti supaya kamu bisa cantik bagai bunga, ya?”

Harni: “Mungkin. Tapi gimana kalau yang memakai tu embah-embah yang sudah tuaaaaa banget?”

Ambar: “Biar kelihatan cantik jiwanya. Gitu … hahaha.”

Gendhis: “Ok, dah terdengar adzan maghrib. Yuk kita percepat langkah kita!”

Sepuluh menit kemudian, mereka khusyuk melaksanakan sholat maghrib bersama hampir
50 jamaah. Masjid kampung itu … hmm … sederhana banget. Dinding masjid masih dari kayu.
Atapnya … genting yang sudah sangat tua. Lantai masjid masih dari tanah yang dilapisi dengan tikar
anyaman. Walau sangat sederhana, tapi jamaah begitu banyak. Kenapa? TV belum ada. FB, WA, Line
dan sosmed lainnya belum ada sehingga masyarakat fokus ke masjid, fokus ke akhirat. Jauh banget
dengan jaman sekarang. Teknologi semakin maju, masyarakat sibuk … kayaknya bukan sibuk, tapi
disibukkan oleh sosmed dan game yang semakin bagus sehingga masjid sepi. Saat listrik mati
seminggu, pasti mereka pada bingung, marah … linglung, sepi. Kenapa? Mereka sudah tergantung

72
Jangan Pernah Keluar Rumah Tanpa Membawa Cinta
ama listrik, ama sosmed, ama game, dan hatinya gak terbiasa ke masjid, gak terbiasa ngaji, jadi …
sangat nampak waktu mereka habis dirampok oleh sosmed. Emm … anehnya, mereka rela waktu
mereka dirampok, bahkan malahan seneng, hahaha.

Yuk sejenak kita kembali ke Gendhis dan kawan-kawan. Sehabis melaksanakan sholat
maghrib, seperti biasa, mereka mengaji kepada Kiyai Warso. Walau hanya diterangi lampu minyak,
tapi semangat mereka tetap maksimal. Mungkin karena sudah menjadi habit jadi tak ada santri yang
loyo atau malas.

Dari dalam masjid, terdengar hujan reda sehingga Kiyai Warso bisa nyaman mengajar. Kali
ini beliau membahas makna dari Surat Al Baqarah ayat 8 sampai 20. Dua menit … sepuluh menit …
semua yang hadir antusias menyimak. Akhirnya Kiyai berkata, “Wahai para santri, ketahuilah bahwa
ayat-ayat yang saya jelaskan tadi itu membahas tentang orang-orang munafik. Pembohong, tak bisa
dipercaya dan mudah mengkhianati saudaranya adalah salah satu tanda munafik. Para santri, saya
mau tanya … kenapa ayat-ayat tentang munafik ini diletakkan di awal-awal Surat Baqarah?”

Semua santri tak ada yang bisa menjawab. Kembali Kiyai berkata, “Hikmahnya adalah …
munafik itu sangat berbahaya. Jangan pernah menjadi munafik! Keluarga hancur, negara remuk
gara-gara munafik.”

Pengajian selesai, adzan isyak sudah berkumandang. Semua jamaah melaksanakan sholat
isyak. Suasana … semakin sepi, hanya jangkrik yang bernyanyi bersahutan menghiasi cantiknya
malam.

Dua puluh tahun kemudian

Di tahun 1994, usia Gendhis sudah mencapai 32 tahun. Dia dikaruniai dua anak. Suaminya
seorang anggota DPRD. Hmm … lumayak kaya. Gendhis … walau dia kaya tapi dia tak mau menjadi
munafik. Dia tak mau membohongi rakyat. Suaminya wakil rakyat, dia tahu berapa gajinya, sehingga
jika suaminya memberi kepadanya duit banyak yang tak jelas asal usulnya, maka diapun marah
kepada suaminya. Pernah suatu hari suaminya membawa hadiah untuknya.

Suami: “Dhek, nih kubelikan jarik batik.”

Gendhis: “Duh … cantik banget. Kayaknya ini motifnya … e … ntar coba kuingat … motifnya wahyu
tumurun, ya?”

Suami: “Wah, aku nggak paham tentang motif batik.”

Gendhis: “Iya … ini adalah motif wahyu tumurun. Filosofinya adalah semoga yang memakai batik ini
selalu mendapat hidayah dari Allah SWT.”

Suami: “Dhek, ini hadiah kedua dariku.”

Gendhis: “Sebuah tas wanita?”

Suami: “Iya Dhek.”

Gendhis: “Hmm … bagus banget. Berapa harganya?”

Suami: “Dua ratus ribu.”

73
Jangan Pernah Keluar Rumah Tanpa Membawa Cinta
Gendhis: “Bohong. Temanku ada yang punya ginian, harganya diatas dua juta rupiah. Mas … kenapa
kamu memberi hadiah begitu mahal? Pasti ini uang haram, pasti Sampeyan nggak bener.”

Suami: “Dhek ….”

Gendhis marah. Kain jarik dan tas dilempar ke wajah suaminya. Dia menangis, lari ke
kamar dan … brakkkk … dia membanting pintu dengan tangisan pilu.

Setahun kemudian, saat Gendhis membaca koran, dia melihat di koran itu … suaminya …
duh … suaminya diperiksa kejaksaan karena tuduhan korupsi. Hmm … dia tahu kalau memang
suaminya koruptor. Tanah lima hektar di Ungaran, sembilan rumah tersebar di Magelang adalah
hasil korupsi suaminya.

Sejenak dia meletakkan koran. Nafas terasa berat, air mata bergelayutan, jiwanya hanya
bisa meratap …

Jiwa: “Surat Al Baqarah ayat 8 hingga 20 … aku ingin mengamalkan ayat-ayat ini … hiks … hiks … tapi
kenapa suamiku tak mau mengamalkan? Kenapa dia memilik jadi pencuri? Kenapa dia memilih
menjadi munafik? Kenapa??????”

Hati: “Mungkin dia tak memahami isi Qur’an.”

Jiwa: “Bukannya tak memahami, tapi tak mau tahu. Dalam jiwanya cuman berisi tumpukan ambisi
mengumpulkan duit duit dan duit.”

Hati: “Tapi … bagaimanapun juga, dia adalah suamimu.”

Jiwa: “Jadi, aku harus mendukung dia? Sorga katut, neraka nunut … gitu?????”

Hati: “Gimana kalau cerai aja? Uang haram yang diberikan suamimu, jika kau makan … maka
dagingmu jadi haram … badanmu haram … kotor. Kamu gak bisa masuk sorga jika ada daging
badanmu yang tumbuh dari uang haram.”

Jiwa: “Emangnya cerai merupakan solusi terbaik?”

Hati: “Aku tak tahu?”

Jiwa: “Emangnya kamu senang kalau aku jadi janda?”

Hati: “Hmm … tentu tidak?”

Jiwa: “Hiks … hiks … hiks … kenapa masalah bisa menjadi rumit seperti ini?”

Hati: “Kulihat … kamu mengenakan batik udan riris. Apa kamu tahu maknanya?”

Jiwa: “Iya, motif ini sebagai motivasi bagiku agar aku semangat menghindari berbagai masalah.
Motif ini sebagai temanku untuk terbebas dari segala masalah. Tapi kenyataannya lain … hmm …
masalah semakin rumit.”

Seminggu kemudian, sang suami benar-benar ditahan oleh pihak kejaksaan. Gendhis …
saat pulang membezuk suaminya dari tahanan, para wartawan mengerubutinya.

Wartawan: “Bu, gimana kabar Bapak?”

Gendhis: “Baik … ijinkan saya jalan!”

74
Jangan Pernah Keluar Rumah Tanpa Membawa Cinta
Wartawan: “Bu, mohon cerita sedikit tentang masalah yang menimpa suami Ibu!”

Gendhis: “No comment.”

Wartawan: “Apakah suami ibu difitnah?”

Gendhis: “Aku tak tahu.”

Wartawan: “Siapa saja yang terlibat?”

Gendhis: “Aku juga tak tahu. Silakan tanya ada ama Pak Jaksa!”

Wartawan: “Apakah suami Ibu benar-benar koruptor?”

“Darrrrr,” jantung Gendhis berdegup kencang. Wajahnya mendadak memerah. Pertanyaan ini
seakan menguliti jiwanya. Apa yang harus dijawab? Kalau dia menjawab ‘iya’, berarti dia membuka
aib suaminya di depan jutaan orang. Jika ia menjawab ‘tidak’, maka berarti dia membohongi jutaan
orang. Jiwanya kembali resah …

Jiwa: “Jangan pernah membuka aib suami! Bagaimanapun juga … dia tu suamimu. Dia sudah
memberimu banyak … banyak banget. Apakah kamu tega mengkhianatinya?”

Hati: “Sudahlah! Sekarang saat yang tepat untuk mengatakan yang sebenarnya. Bukankah kamu
ingin mengamalkan Surat Al Baqarah ayat 8 hingga 20? Memang kejujuran itu perih, tapi inilah jalan
para Nabi.”

Jiwa: “Belum saatnya kamu mengatakan kejujuran sekarang. Ntar jika saatnya tepat, silakan kamu
katakan yang sebenarnya di masyarakat.”

Hati: “Sekarang saat yang tepat. Jangan pernah menggunakan filosofi sorga nunut neraka katut!”

Dengan menahan air mata, akhirnya Gendhis berkata, “Mas wartawan, suami saya bukan
koruptor, suami saya bukan pencuri, titik. Suami saya adalah suami saya. Aku setia kepadanya.”

Dia berlari menerobos kerumunan wartawan. Setelah sampai di dalam mobil, dia melaju
kencang dengan tangisan yang meraung-raung.

Sejenak angin berbisik kepada daun.

Angin: “Gendhis … dia memilih menjadi munafik.”

Daun: “Bukan memilih, tetapi terpaksa munafik.”

Angin: “Terpaksa? Siapa yang memaksanya untuk membohongi masyarakat?”

Daun: “Keadaan yang memaksanya?”

Angin: “Di mana alamatnya keadaan????”

Daun: “Hmm …”

Angin: “Hidup cuman sekali. Allah sudah mengirimkan Kiyai Warso untuk membimbing
kehidupannya tapi … dia memilih meninggalkan wejangan Pak Kiyai.”

Daun: “Semoga aja Gendhis bisa berubah.”

75
Jangan Pernah Keluar Rumah Tanpa Membawa Cinta
Angin: “Aku paling suka saat Gendhis memakai batik bermotif ratu ratih. Hmm ratu … aku berdoa
semoga kelak dia menjadi ratu di akhirat. Ratu … iya … ratu … sebagai hadiah dari Allah atas
kesabarannya menghadapi permasalahan hidup ini.”

Daun: “Gendhis … kembalilah kepada jalan yang lurus!”

Angin: “Gendhis … kamu pasti bisa mematuhi wejangan Kiyai Warso. Pasti … pasti … kami
mendoakanmu.”

-----

76
Jangan Pernah Keluar Rumah Tanpa Membawa Cinta
Bab 12

Gaya Komunikasi Orang Awam

Pak Rekso: “Tak terasa, sekarang umurmu sudah hampir 20 tahun ya, Nak?”

Dimaz: “Enggih Pak. Hmm … selama ini aku merasa sulit dan sangat sulit dalam menjalani hidup ini.”

Pak Rekso: “Oya?”

Dimaz: “Kuliah … targetku dapat IP 3.6 ke atas. Dengan memasang target itulah, aku jadi kurang
nyaman, bahkan seperti under pressure. Kemana-mana harus belajar. Aku … hmm … kayaknya nggak
bisa menikmati umur ini lagi, Pak.”

Pak Rekso: “Saat bangun tidur, apa yang terlintas dalam pikiranmu pertama kali?”

Dimaz: “Pelajaran. Hmm … tepatnya adalah beban pelajaran.”

Pak Rekso: “Saat mau tidur?”

Dimaz: “Sama kok Pak … cuman mikir pelajaran. Bahkan jalan-jalan ke Pantai Baron Jogja, di sana
aku tak bisa rileks, melainkan terus memikirkan tentang pelajaran.”

Pak Rekso: “Apakah memang seperti ini keadaan hidup ideal menurutmu?”

Dimaz: “Enggak.”

Pak Rekso: “Tapi kenapa kamu masih tetap bertahan di situ?”

Dimaz: “Aku nggak tahu. Mungkin sudah menjadi habit sehingga itulah hidupku.”

Pak Rekso: “Nak, cobalah berkata jujur! Kira-kira lima tahun lagi, apa yang kamu inginkan?”

Dimaz: “Terus terang, aku ingin jadi pengusaha. Aku ingin mempunyai penghasilan 20-50 juta
perbulan. Dengan uang itu, aku ingin membeli mobil seharga 500 jutaan. Aku juga ingin membeli
rumah seharga 800 jutaan. aku ingin motor 650 cc. Aku ingin membuktikan kepada masyarakat
bahwa aku bisa meraih cita-cita yang kuinginkan asalkan kerja keras dan … ambisi yang besar.”

Pak Rekso: “Wow … mantap.”

Dimaz: “Apa Panjenengan setuju?”

Pak Rekso: “Sedikit mengeluh dan sedikit sombong.”

Dimaz: “Kenapa Bapak berkata seperti itu?”

Pak Rekso: “Aku tak menuduhmu seperti itu. Hanya … begitulah model komunikasi masyarakat
awam. Isi pembicaraan mereka cuman dua jenis yaitu sedikit mengeluh dan sedikit sombong.”

Dimaz: “Duh … kayaknya aku juga kena’ nih … hehehe.”

Pak Rekso: “Oya, besok ada beberapa teman seangkatan Bapak akan silaturrahmi ke rumah kita.
Hehehe … coba besok kamu perhatikan pembicaraan mereka! Silakan kategorikan: mana yang
termasuk sedikit sombong, mana yang termasuk sedikit mengeluh.”

77
Jangan Pernah Keluar Rumah Tanpa Membawa Cinta
Dimaz: “Enggih Pak.”

Pak Rekso: “Ini adalah pelajaran penting untuk kehidupan. Pelajaran ini tidak diajarkan di sekolah
maupun tempat kuliah. Jadi … kamu harus benar-benar memperhatikan.”

Dimaz: “Njih, pangestunipun mawon.”

Sehari kemudian, ada beberapa bapak dan ibu-ibu yang silaturrahmi ke rumah Pak Rekso.
Suasana kangen-kangenan … duh … uenak banget. Sudah hampir 15 tahun tak bertemu, kini mereka
bisa bersama lagi walau hanya beberapa menit. Setelah ngobrol ngalor ngidul, kini mereka
menikmati hidangan kopi hangat, ketela goreng, kacang tanah rebus dan kroni-kroninya, hehehe.
Wis pokoke jajanan pasar metu kabeh, deh. Oya, satu lagi … sambil nyantai tapi serius, Dimaz terus
memperhatikan perkataan para tamu ini.

Pak Mursyid: “Jeng Fida …”

Bu Fida: “Enggih Pak?”

Pak Mursyid: “Aku dengar kabar Sampeyan tahun kemarin naik haji, ya?”

Bu Fida: “Alhamdulillah, sekali lagi alhamdulillah. Kalau bukan Allah yang menghendaki, kayaknya
kagak bakalan bisa. Aku tu dah daftar haji dua tahun lalu, tapi kayaknya berangkatnya 14 tahun lagi.
E e e kebetulan ada ibu-ibu dari Kudus tu cancel berangkat karena masuk rumah sakit. Aku yang
menggantikan kursi beliau, jadi … berangkat haji deh, hehehe.”

Bu Nuha: “Berarti Allah sangat menyayangimu, Bu.”

Bu Fida: “Tentu dong. Bukannya aku sombong ya … emm … tiap malam aku sholat tahajjud,
membaca surat Al Waqi’ah dan dzikir ribuan kali.”

Pak Rekso: “Wah, bisa jadi bentar lagi Panjenengan jadi ustadzah lho, Jeng, hehehe.”

Bu Fida: “Amin … Oya, Mas Roly … Apa Panjenengan masih di Deplu?”

Pak Roly: “Enggih Jeng. Dua tahun lalu saya bertugas di kedutaan Malaysia. Setahun kemudian
dipindah ke kedutaan Jepang. Bulan kemarin saya dipindah lagi, alhamdulillah lumayan dekat … di
kedutaan Singapura.”

Pak Rekso: “Wah, Panjenengan beruntung banget bisa keliling dunia.”

Pak Roly: “Hehehe … pangestunipun. Tapi … saya sangat bingung dalam menyekolahkan anak-anak.
Selalu pindah-pindah terus. Akhirnya … anak-anak saya sekolahkan di Jakarta. Emang sih mereka
bisa settle, tapi … duh … aku kangen banget. Bener-bener menderita jika kita jauh dengan anak.”

Pak Dayat: “Ingkang sabar, Pak. Oya … kayaknya teman kita yang paling bahagia tu Jeng Karti ….
Hehehe.”

Bu Karti: “Duh … pasti aku dan aku lagi yang jadi bahan obrolan.”

Pak Rekso: “Jeng, ayo cerita!!! Kita pingin dengar, gimana sejarahnya kok Sampeyan bisa kaya raya,
sehingga mampu membeli sedan mercedes maybach?”

Bu Karti: “Kisahnya sangat sederhana kok … bangun pagi, lalu kerja, pulang sore … dah, simple
banget, hehehe.”

78
Jangan Pernah Keluar Rumah Tanpa Membawa Cinta
Pak Dayat: “Halah … Jeng Karti ki ora seru. Ayo cerita yang detail, dong!!!!”

Bu Karti: “Hehehe, aku juga tak tau kenapa bisa sekaya ini? Padahal aku tu jarang sholat, jarang
dzikir, bahkan nggak bisa membaca Qur’an, tapi Allah memberiku rejeki sangat berlimpah. Awalnya
… suamiku membeli tanah 200 m² seharga 100 juta. Lalu kami bangun tu tanah, menghabiskan duit
200 juta. Naa … tu bangunan total bernilai 300 juta. Lalu kamu jual seharga 600 juta.”

Pak Rekso: “Apakah laku?”

Bu Karti: “Laku dengan sangat cepat. Kami membangun 20 rumah seharga 600 juta, terjual habis
hanya dalam waktu satu bulan.”

Pak Roly: “Wow … Sampeyan sungguh pandai.”

Bu Karti: “ Maaf … bukannya aku sombong, tahun depan kami ada proyek 500 rumah. Jika sold out,
maka keuntungan bersih nyampek 1.5 triliun.”

Mendengar kalimat 1.5 triliun, semua melongo kayak kena hipnotis. Termasuk Dimaz. Dia
tak menyangka ada sahabat bapaknya yang mempunyai penghasilan sebesar itu. Selama ini Dimaz
berfikir bahwa jadi pengusaha tu jika berhasil, lalu mempunyai pendapatan bersih 20 mpe 50 juta
perbulan … duh … bahagia banget. Tapi mendengar ada manusia yang berpenghasilan 1.5 triliun …
hehehe … sejenak otaknya blank.”

Pak Dayat: “Kayaknya … hanya aku yang gagal. Aku hanyalah tukang ojek. Gajiku sangat kecil, nggak
seperti Jeng Karti atau Mas Roly. Aku … kadang membeli beras aja susah.”

Pak Rekso: “Tapi … keluarga Sampeyan bahagia, to? Hehehe … itu juga karunia lho, Mas.”

Pak Dayat: “Enggih Mas … Pangestunipun.”

Bu Karti: “Mas Dayat, walau uangku banyak, tapi … kayaknya Sampeyan lebih merasakan
kebahagiaan daripada aku.”

Pak Dayat: “Lho kok bisa?”

Bu Karti: “Hiks … hiks … hiks …”

Bu Nuha: “Jeng … ampun nangis, njih! Kami akan senantiasa jadi saudara Panjenengan.”

Bu Karti: “Sejak menikah, aku sangat sibuk. Saat dikaruniai anak pertama … aku tak sempat
menyusui anakku. Hmm … empat belas tahun kemudian, aku terkena kanker payudara. Kata dokter
sih tuh sel kanker enggak menyebar, jadi aku bisa bernafas lega. Tapi … setahun kemudian ternyata
kanker itu menyebar hingga ke tulang belakang. Sengaja aku memakai jilbab untuk menutupi
kepalaku yang botak karena efek kemoterapi. Hmm … bisa jadi tahun depan kita tak bisa bersama
lagi seperti ini … hiks … hiks …”

Bu Fida: “Hmm … sama kok bu. Dua tahun yang lalu rahimku diangkat karena ada kanker. Hmm …
mpe sekarang aku masih ketakutan, jangan-jangan tu kanker menyebar. Duh … hiks … hiks …”

Bu Karti: “Kadang aku berfikir: berapa sih harga kesehatan itu? Aku akan membelinya … aku akan
membelinya. Tapi … hiks … hiks … ternyata ada hal yang tak bisa dibeli dengan uang.”

Pak Rekso: “Yang penting … suami Sampeyan setia menemani dalam suka dan duka.”

Bu Karti: “Hiks … hiks … (Bu Karti nangis sambil teriak)”

79
Jangan Pernah Keluar Rumah Tanpa Membawa Cinta
Pak Rekso: “Bu, ingkang sabar, njih!”

Bu Karti: “Suamiku … padahal umurnya sudah lima puluh tahun. Dia menikahi gadis yang berumur
19 tahun. Hiks … hiks … gadis itu sangat cantik, sholihah dan murah senyum. Hiks … hiks … kini … aku
bagai bunga kering, tak lagi harum, bentar lagi rontok berguguran … berserak tanpa makna
diterbangkan angin.”

Sehari kemudian

Pak Rekso dan Dimaz duduk nyantai. Mereka berdua melihat mendung yang tak juga
turun hujan. Sambil menikmati ketela rebus … mereka bercengkerama.

Pak Rekso: “Nak, gimana dengan pengamatanmu kemarin?”

Dimaz: “Benar Pak, jenis pembicaraan mereka cuman dua … sedikit sombong dan sedikit mengeluh.
Aku paling gak suka saat Bu Fida mengatakan bahwa tiap malam dia sholat tahajjud, membaca surat
Al Waqi’ah dan dzikir ribuan kali. Duh … itu kan ibadah, ngapain harus diceritakan ke orang lain?”

Pak Rekso: “Kalau Pak Roly?”

Dimaz: “Kayaknya beliau nggak sombong, tapi beliau mengeluh lumayan pedih. Hmm … yang paling
banyak mengeluh kayaknya Bu Karti, ya?”

Pak Rekso: “Iya, sejak muda dia ambisius.”

Dimaz: “Pak Dayat, beliau kasihan banget ya, masalah ekonomi belum juga tuntas.”

Pak Rekso: “Nak, pesan Bapak … kamu adalah pemimpin. Kebiasaan pemimpin adalah membenci
sifat sedikit sombong dan sedikit mengeluh. Dalam obrolan dengan teman, daripada
menyombongkan diri, mendingan menyombongkan Nabi Muhammad. Maksudnya, menceritakan
akhlaq mulia beliau. Ini malahan lebih asyik.”

Dimaz: “Atau menceritakan para sahabat Nabi ya, Pak?”

Pak Rekso: “Benar. Terlalu banyak menceritakan keberhasilan diri itu bukannya menguatkan
persahabatan, tapi sebaliknya, Nak … persahabatan jadi renggang.”

Dimaz: “Benar. Aku juga heran ngapain Bu Karti menyebut angka-angka mpe 1.5 triliun, padahal
disampingnya ada Pak Dayat yang sangat miskin.”

Pak Rekso: “Biasalah, namanya juga perempuan. Kecintaannya ada di harta.”

Dimaz: “Tapi nggak semua seperti itu.”

Pak Rekso: “Iya, memang nggak semua, tapi banyak yang seperti itu. Oya, jika kamu sakit … nggak
usah diceritakan ke teman-teman! Untuk apa???? Sakit itu dari Allah, mendingan kita adukan aja ke
Allah. Mengadukan sakit ke manusia itu ibarat kita mengadukan kehendak Allah kepada manusia.”

Dimaz: “Emm … seakan-akan Allah tu kejam, ya Pak?”

Pak Rekso: “Iya. Lagian, ngobrol santai tapi topik pembicaraannya tentang sakit tu … duh … nyebelin
banget. Harusnya rasa kopi tu nikmat, tapi gara-gara topik pembicaraannya bab sakit, akhirnya
kenikmatan secangkir kopi menjadi lenyap.”

80
Jangan Pernah Keluar Rumah Tanpa Membawa Cinta
Dimaz: “Hehehe, bener juga.”

Pak Rekso: “Pesan terakhir Bapak: Berikan kabar baik, atau diam … itu aja.”

Dimaz: “Enggih Pak.”

------

81
Jangan Pernah Keluar Rumah Tanpa Membawa Cinta
Bab 13

Setelah Kesulitan, Pasti Ada Kesulitan (lagi)

Fathiya … diambilnya lima lembar tissue lembut untuk mengelap kakinya. Sebenarnya tuh
kaki sangat bersih, hanya karena basah sedikit aja, langsung dikeringin ama tissue. Karena sangat
peduli ama kebersihan inilah, Fathiya tumbuh menjadi gadis ayu yang super bersih.

Walau badannya nampak tinggi tapi sebenarnya dia masih duduk di bangku SMP kelas
dua. Dia sekolah di Kota Semarang. Sang Bapak bekerja di kepolisian. Lumayan kaya, tapi jiwa
kemandirian tercermin di aura wajahnya yang lembut. Abis maghrib, langsung belajar. Karena nilai
pelajarannya bagus, akhirnya … diapun mendapat kesempatan ikut program pertukaran pelajar ke
negara Thailand. Hepi? Banget.

Bersama 19 temannya, kini dia lagi nyantai duduk di kabin pesawat Garuda yang akan
membawa mereka ke Thailand. Kebetulan dia duduk dengan Miftah, teman satu rombongan, juga
satu kelas.

Fathiya: “Kayaknya acara ginian datangnya cuman seumur hidup sekali, ya?”

Miftah: “Benar. Gak nyangka bisa belajar ke Thailand walau hanya dua minggu.”

Fathiya: “Sambil nyantai, gimana kalau kita latihan bahasa Thailand?”

Miftah: “Gak usah! Ntar di sana kita pakai bahasa inggris aja!”

Fathiya: “Tapi aku ingin memakai bahasa Thailand. Aku ingin menyatu dengan siswa-siswa
Thailand.”

Miftah: “Baiklah. Kalau aku tak bisa, ntar aku buka google translate, ya?”

Fathiya: “Ok. Tolong sekarang kamu buat kalimat dengan bahasa Thailand, ntar aku akan berusaha
menerjemahkan.”

Miftah: “Iya. Chạn pĕn nạkreīyn cāk prathe xindonīseīy. Apa artinya?”

Fathiya: “Emm … saya adalah … siswa Indonesia.”

Miftah: “Benar. Kalau Prathe thịy pĕn prathe thī swyngām?”

Fathiya: “Emm … ntar … ntar … biar kuingat. Jangan beritahu dulu!”

Miftah: “Cepat!”

Fathiya: “Emm … Negara Thailand sangat … sangat luas.”

Miftah: “Bukan luas tapi indah.”

Fathiya: “Hehehe … biasa lah, namanya aja belajar vocab bahasa asing, jadi pasti sangat sulit. Tolong
beri soal lagi!”

Miftah: “Apa arti Khuṇ mī khwām swyngām?”

82
Jangan Pernah Keluar Rumah Tanpa Membawa Cinta
Fathiya: “Duh … apa ya? swyngām itu cantik. Khuṇ mī itu … kamu. Artinya … kamu sangat cantik.
Kamu memujiku, ya? Emangnya aku cantik?” (nampak wajah Fathiya kaget campur cerah)

Miftah: “Memang kok. Kamu sangat cantik.”

Fathiya: “Wis … wis … wis! Kamu tuh gimana to? Lihat aja otakku! Bukan wajahku.”

Miftah: “Hehehe, maaf, gue lagi kurang fokus.”

Setahun kemudian

Fathiya dan seluruh teman satu angkatan lagi wisata ke Malang Jawa timur. Ada lima bus
besar membawa mereka melihat ayat Allah yang terbentang. Kebetulan rombongan singgah
sebentar di Tanggulangin Sidoarjo. Sambil menikmati lezatnya lontong kupang dan sate kerang,
Miftah dan Fathiya kembali ngobrol.

Fathiya: “Lontong kupang … wow … mantap brow. Dua tahun lalu aku menikmati kuliner ini.
Sekarang terulang lagi, hehehe.”

Miftah: “Iya, kayaknya ada petis-nya, ya?”

Fathiya: “Benar. Emm … aku mau nambah, ya? Hehehe.”

Miftah: “Silakan! Oya, perjalanan kita dari Semarang hingga Sidoarjo … duh … lancar banget.
Kayaknya ada mobil polisi yang mengawal kita sehingga perjalanan kita sangat lancar, hampir tak
ada macet.”

Fathiya: “Itu karena Bapakku seorang polisi.”

Miftah: “Jadi … Bapakmu yang mengawal rombongan kita?”

Fathiya: “Hehehe, bukan. Mereka anak buah Bapakku.”

Miftah: “Wow, mantap. E … dua bulan yang lalu saat sekolah kita lagi berkemah, tuh armada yang
mengangkut ratusan siswa menuju lokasi perkemahan, kayaknya juga dari kepolisian. Apa itu juga
karena rekomendasi dari Bapakmu?”

Fathiya: “Hehehe. Iya … emangnya kenapa?”

Miftah: “Ternyata Bapakmu banyak berguna di sekolah kita.”

Fathiya: “Alhamdulillah kalau kamu mempunyai pikiran seperti itu.”

Miftah: “Eh, gimana rasanya menjadi anak polisi?”

Fathiya: “Biasa aja. Bapakku sangat disiplin, demikian juga denganku. Dari jam enam petang hingga
jam sembilan malam, aku terus belajar.”

Miftah: “Wow … pantesan nilai matematikamu 100. Bapakku hanyalah penjual bakso.”

Fathiya: “Tapi omzetnya mpe tiga juta per hari. Iya kan?”

Miftah: “Kok kamu tahu?”

Fathiya: “Bakso Bapakmu tuh terkenal banget. Omzet tiga juta per hari. Kayaknya keuntungan bersih
… satu juta per hari. Jadi … kalau sebulan, pasti 30 jutaan.”

83
Jangan Pernah Keluar Rumah Tanpa Membawa Cinta
Miftah: “Nggak ada. Paling-paling 20 jutaan.”

Fathiya: “Whattt??? Angka itu sudah sangat banyak. Gaji bapakku aja nggak ada 10 juta.”

Miftah: “Tapi Bapakmu ada uang pensiun, sedangkan Bapakku gak ada.”

Fathiya: “Masa tua nanti jika cuman ngandalin uang pensiun, kayaknya nggak cukup. Ibukku
mengajariku untuk wiraswasta kok. Kami lagi sibuk membesarkan toko baju di maal.”

Miftah: “Kalau aku … kayaknya meneruskan aja usaha Bapakku, jualan bakso.”

Fathiya: “Apa aku boleh ikutan kamu jualan bakso?”

Miftah: “Boleh. Malah aku sangat senang. Kamu kan ayu banget. Ntar jika kamu yang jadi kasir, pasti
omzet sehari naik jadi 30 juta/ hari.”

Fathiya: “Hahahaha. Kok bisa?”

Miftah: “Senyuman wanita tuh kayaknya marketable banget.”

Fathiya: “Hahahaha.” (tertawa tapi sambil mlengos)

Dua tahun kemudian

Keduanya sudah lulus SMP, melanjutkan ke SMA dan mereka juga masih satu SMA. Usaha
dagang bakso keluarga Miftah semakin moncer. Kini sudah ada tiga cabang yaitu di Penggaron,
Ngaliyan dan Banyumanik.

Sedangkan toko baju yang dikelola Fathiya dan keluarganya masih stagnan, belum
menunjukkan perkembangan yang signifikan. Fathiya bingung, diapun konsultasi kepada Miftah.
Mereka berdua duduk di salah satu stand makanan siap saji di maal.

Miftah: “Kok kelihatannya murung. Ada apa? Apa kamu memikirkan tentang masalah kuliah? Masih
setahun lagi, brow. Tenang aja!”

Fathiya: “Bukan. Aku lagi memikirkan toko-ku yang ada di Maal Ciputra. Sudah kukelola tiga tahun
lebih, tapi … duh … stagnan banget. Laba bulanan sangat minim. Hanya bisa untuk menggaji
karyawan, bayar pajak, ama keuntungan dikit. Itupun keuntungan nggak sempat masuk saldo
tabungan karena untuk kulakan lagi.”

Miftah: “Kayaknya bisnis pakaian benar-benar crowded, ya?”

Fathiya: “Iya. Aku mau menyerah aja. Gimana menurut pendapatmu?”

Miftah: “Emm … ibarat pohon, maka tuh pohon yang kamu tanam ternyata buahnya sangat sedikit.
Ada dua pilihan yaitu merawat tuh pohon dengan sebaik-baiknya supaya berbuah lebat. Pilihan yang
kedua adalah merobohkan pohon, lalu menggantinya dengan pohon yang baru.”

Fathiya: “Aku memilih option yang kedua.”

Miftah: “Apa kamu mau menanam pohon lagi? Hmm … butuh waktu lama, lho?”

Fathiya: “Gak ada pilihan lain. Aku malas dengan usaha yang stagnan gini. Kayaknya … kuliner lebih
menjanjikan. Kayak kamu, hehehe.”

84
Jangan Pernah Keluar Rumah Tanpa Membawa Cinta
Miftah: “Jadi kamu mau pindah ke usaha kuliner?”

Fathiya: “Hmm … gak taulah. Aku masih ragu, bimbang, bingung … duh ....”

Miftah: “Sudahlah! Kamu gak usah mikir jauh-jauh mengenai bisnis. Lagian, kita masih SMA.”

Fathiya: “Tapi aku pingin berhasil seperti kamu!”

Miftah: “Fathiya, kamu tuh udah berhasil. Lihatlah nilai-nilai sekolahmu yang sangat memuaskan!
Kamu clever, sholihah, rajin pakai jilbab, kurang apa lagi?”

Fathiya: “Miftah ….”

Miftah: “Iya ….”

Fathiya: “Aku mempunyai satu permintaan, apakah kamu mau mengabulkannya?”

Miftah: “I … i … iya.”

Fathiya: “Aku mempunyai uang 850 juta. Tolong buatkan warung bakso seperti kepunyaanmu!
Tolong kamu yang desain total! Kamu juga yang mengurusi bab managemen warung. Apa kamu
mau?”

Miftah: “Whatttttt????? Apa kamu serius?????”

Fathiya: “Nih ATM-ku. Kamu aja yang bawa!”

Tiga Tahun kemudian

Mereka berdua sepakat untuk tidak kuliah, melainkan menekuni usaha kuliner. Di masa
awal-awal membuka usaha, modal 850 juta ludes tinggal 200 juta karena ternyata membuka warung
bakso di Kedungmundu merugi terus. Tapi uang Bapaknya Fathiya lumayan banyak. Dia mendapat
suntikan modal lagi sebanyak 700 juta. Modal ini digunakan untuk memulai usaha bakso lagi di
Ungaran. Cuaca yang lumayan sejuk, menu yang mantap ditambah lokasi warung yang sangat bersih
menjadikan warung bakso Fathiya laris manis. Dalam sehari, omzet bisa mencapai 2 juta.

Bertahun-tahun mereka sedih bersama, senang bersama, tertawa dan menangis bersama.
Apakah mereka saling mencinta? Belum pernah ada yang berani mengucapkan kalimat ini. Mereka
sangat malu walau …. Hehehe. Inilah perbincangan mereka sambil menghitung uang hasil jualan
malam ini.

Miftah: “Dapat berapa?”

Fathiya: “Dua juta dua ratus enam puluh ribu rupiah.”

Miftah: “Kayaknya laba bersihnya satu jutaan, ya?”

Fathiya: “Iya, dalam sebulan kita bisa mengumpulkan laba bersih 30 juta.”

Miftah: “Kita? Kok kamu menggunakan kata ‘kita’?”

Fathiya: “Bukankah kita berdua yang mengelola warung ini?”

Miftah: “Iya, tapi ini warungmu. Bukan warungku.”

Fathiya: “Nanti suatu saat pasti akan jadi milik kita berdua.”

85
Jangan Pernah Keluar Rumah Tanpa Membawa Cinta
Miftah: “Maksudnya?”

Fathiya: “Kalau kita menikah … kan jadi milik kita bersama.”

“Darrrrr,” jantung Miftah mengamuk dahsyat. Nampak wajahnya putih pucat. Tiba-tiba
kerongkongannya sangat haus. Tapi … sekejap kemudian haus itu hilang padahal nggak minum air
setegukpun.

Miftah: “Fathiya … apa kamu sadar dengan kalimat yang barusan kamu ucapkan?”

Fathiya: “Iya. Miftah … bertahun-tahun kita mengalami jatuh bangun bersama dalam membesarkan
usaha, hingga kita bersama kompak nggak mau kuliah. Kamu tahu kenapa? Karena kita tuh satu
pikiran, satu hati, satu tujuan, dan … .”

Miftah: “Fathiya, pasti kamu lagi bergurau, ya? Hehehe … aku tahu maksudmu.”

Fathiya: “Aku nggak bergurau. Apa perlu aku harus mengucapkan sumpah?”

Miftah: “Hmm … kayaknya kamu benar-benar serius. Fathiya, apa kamu sudah memikirkannya
dalam-dalam?”

Fathiya: “Sudah. Pokoknya kalau aku gak bisa menikah denganmu, maka aku takkan menikah
selamanya.”

Miftah: “Husss, jangan berkata seperti itu! Fathiya, lihatlah kulitku, berwarna sawo busuk,
sedangkan kulitmu putih bersih kayak kapas.”

Fathiya: “Aku melihat hatimu, bukan kulitmu.”

Miftah: “Aku dibesarkan di keluarga kampung, sedangkan keluargamu sangat berpendidikan.”

Fathiya: “Tapi keluargamu sangat cerdas bab keuangan. Buktinya … warung bakso milik keluargamu
menghasilkan omzet puluhan juta rupiah dalam sebulan. Sangat jarang manusia bisa sepandai itu.”

Miftah: “Fathiya, lihatlah wajahmu … sangat ayu, sedangkan aku …”

Fathiya: “Hehehe … paling-paling predikat ayu yang kumiliki hanya bertahan 10 tahun, setelah itu …”

Miftah: “Nggak, bagiku … kamu tuh ayu selamanya.”

Fathiya: “Hiks … hiks …”

Miftah: “Kenapa menangis?”

Fathiya: “Berarti kamu mencintaiku?”

Miftah: “Iya. Sejak pertama kali bertemu di bangku SMP, aku sangat mencintaimu.”

Fathiya: “Kalau aku, saat SMP belum tertarik ama kamu. Saat SMA, juga belum seneng. Aku cinta
kamu tuh baru enam bulan yang lalu.”

Miftah: “Kenapa kamu memilihku?”

Fathiya: “Tujuh bulan yang lalu, aku sempat mengaji dengan Pak Ustadz Chozin di Masjid Agung.
Hmm … wejangan beliau sangat menyentuh hatiku dan kuingat mpe sekarang.”

86
Jangan Pernah Keluar Rumah Tanpa Membawa Cinta
Miftah: “I’m listening.”

Fathiya: “Beliau berkata : Ali bin Abi Tholib pernah berkata bahwa kebahagiaan itu ada enam yaitu
islam, Qur’an, Muhammad SAW, kesehatan, tertutupnya aib, dan tidak menjadi beban orang lain.”

Miftah: “Indah banget kalimat yang Engkau ucapkan.”

Fathiya: “Tentang islam, kulihat keislamanmu sangat bagus. Kamu tunduk dan patuh kepada Allah
SWT. Tentang Qur’an, kuamati bertahun-tahun kamu juga rajin membaca dan mendalami Qur’an.
Bahkan kita sering menghafal surat bersama. Tentang Muhammad SAW, kuamati kamu juga dengan
detail meniru keseharian Nabi Muhammad. Hehehe … jarang banget ada lelaki yang seperti itu.”

Miftah: “Tentang bab tertutupnya aib?”

Fathiya: “Namamu harum di masyarakat. Aku yakin penduduk langit juga mencintaimu. Tentang
kesehatan … hehehe … kamu sehat jasmani rohani. Tentang bab tidak menjadi beban orang lain …
emm … kamu mandiri, kita berdua sudah mandiri. Laba bersih 30 juta sebulan kukira lebih dari
cukup.”

Miftah: “Kamu sangat detail.”

Fathiya: “Iya lah, gue kan pengusaha, jadi harus detail. Ntar takutnya rugi … hahaha.”

Miftah: “Hahahaha … sampai begitu dalam kamu menilaiku. Hmm … terima kasih.”

Fathiya: “Sama-sama. Kalau kamu, apa pernah menilaiku?”

Miftah: “Enggak.”

Fathiya: “Whatttt? Jadi … kamu gak pernah memikirkanku?”

Miftah: “Aku mencintaimu apa adanya. Mau miskin atau kaya, mau cantik atau kurang, mau putih
atau sawo matang, aku tetap mencintaimu tanpa pernah memberi syarat.”

Fathiya: “Halah … bohong.”

Miftah: “Aku tanpamu bagaikan ambulance tanpa uwiw-uwiw.”

Fathiya: “Hahahahaha.” (tertawa terpingkal-pingkal)

Miftah: “Coba ucapkan satu kalimat yang akan sanggup menentramkan hatiku!”

Fathiya: “Kamu dan warung bakso kepunyaan kita tuh sama yaitu sederhana tapi berkualitas.”

Miftah: “Oya? Hahaha … yang kurasakan bahwa cintaku ke kamu tuh persis kayak hutang. Awalnya
sedikit, didiamin terus … eh … lama-lama membesar sendiri.”

Fathiya: “Hahahaha … nice joke. Malam ini … kayaknya inilah puncak kebahagiaanku selama ini.”

Miftah: “Aku juga merasakan seperti itu.”

Fathiya: “Sehoror-horornya film horor, lebih horor lagi kalau kamu nggak bisa menikah ama aku.”

Miftah: “Tak ada yang bisa memotong cinta kita. Emm … cinta kita kayak kuku, walau dipotong, tapi
akan tumbuh terus.”

87
Jangan Pernah Keluar Rumah Tanpa Membawa Cinta
Fathiya: “Hmm … semoga aja.”

Miftah: “Tentang tanggal pernikahan, kapan menurutmu tanggal yang tepat?”

Fathiya: “Kuserahkan semuanya kepadamu.”

Miftah: “Gimana kalau enam bulan lagi?”

Fathiya: “Terlalu lama. Gimana kalau sebulan lagi?”

Miftah: “Whatttt????????”

Fathiya: “Miftah, Phm rạk khuṇ.”

Miftah: “Apa artinya?”

Fathiya: “I luv you.”

Miftah: “Hahahaha … langit langsung cerah, babe.”

Fathiya: “Khx khxbkhuṇ khuṇ yindī thī ca rạk chạn

Miftah: “Jangan beritahu artinya dulu! Aku akan menebak … emm … kok ada kata chạn. Emm …
apakah artinya: aku ganteng kayak Jacky Chan?”

Fathiya: “Hahahahaha. Enggak babe. Artinya … terima kasih sudah mau mencintaiku.”

Miftah: “Iya, sama-sama. Tinggal satu PR kita yaitu meminta persetujuan orang tua. Moga-moga
mereka setuju semua.”

Fathiya: “Orang tuaku pasti setuju.”

Miftah: “Sama … orang tuaku juga pasti dan pasti.”

Fathiya: “Hmm … kok mendadak dada ini deg-degan, ya?”

Miftah: “Itu perasaan ragu, pasti datangnya dari setan. Mereka kagak suka manusia menikah secara
islam. Abis ini, silakan sholat yang banyak, babe! Semoga keraguan itu hilang.”

Fathiya: “Iya …”

Hanya berselang dua hari dari pertemuan terakhir dengan Fathiya, maka Miftah langsung
menceritakan perihal rencana pernikahannya kepada Bapaknya, yaitu Pak Ashadi. Awalnya
pertemuan ini sangat renyah. Ketawa-ketiwi sahut menyahut. Beginilah pembicaraan mereka
berdua.

Ashadi: “Akhirnya, sampai juga kamu pada bagian kehidupan yang sangat penting yaitu menikah.”

Miftah: “Iya Pak. Gak nyangka bisa secepat ini.”

Ashadi: “Fathiya … emm … apa kamu yakin mantap menikah dengan gadis itu?”

Miftah: “Iya. Gimana dengan Bapak? Apakah Bapak setuju?””

Ashadi: “Hehehe. Nak, kamu adalah pemimpin. Kamulah yang meng-eksekusi semua bab penting
dalam kehidupanmu. Bapak hanya bisa memberikan masukan, data, info, dan motivasi. Bapak akan

88
Jangan Pernah Keluar Rumah Tanpa Membawa Cinta
bicara panjang lebar, silakan Ananda yang memutuskan sendiri apakah menikah dengan Fathiya tuh
baik apa tidak.”

Miftah: “Enggih Pak. Saya siap mendengarkan.”

Ashadi: “Tolong buka Surat Al Baqoroh ayat 172! Silakan baca artinya saja!”

Miftah: “Allah berfirman: Wahai orang-orang yang beriman, makanlah diantara rejeki yang baik-baik
yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar hanya kepada-Nya
kamu menyembah.”

Ashadi: “Buka lagi surat Al Baqoroh ayat 168! Tolong baca artinya saja!”

Miftah: “Allah berfirman: Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat
di bumi dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan, karena sesungguhnya setan itu
adalah musuh yang nyata bagimu.”

Ashadi: “Apakah Ananda memahami ayat ini?”

Miftah: “Iya Pak. Ini termasuk ayat muhkamat, jadi saya sangat paham banget.”

Ashadi: “Begini gambaran manusia di dunia, biar Bapak gambarkan dengan sangat sederhana:
pertama kamu lahir, lalu hidup. Allah memberimu rejeki yang terhampar di bumi, silakan makan tapi
pilihlah yang halal saja! Utamakan ibadah, cari ilmu, lalu menikahlah, perbanyak keturunan, fokus
akhirat. Suatu saat kamu mati, menghadap Allah, bersih dan bahagia, masuk sorga … dah … simple
banget.”

Miftah: “Iya Pak.”

Ashadi: “Maaf … road map itu akan gagal total jika kamu menikah dengan Fathiya.”

Miftah: “Lho, kok????????” (kaget hingga bengong)

Ashadi: “Tenang, jangan emosi dulu! Fathiya, dia anak seorang polisi. Berapa sih gaji polisi? Tapi
lihatlah rumah keluarganya? Mewah banget. Mobilnya … harganya diatas 500 juta. Belum lagi
tabungan yang ada di rekening mereka, pasti sangat banyak.”

Miftah: “Tapi menurutku Bapaknya Fathiya termasuk polisi jujur kok, Pak.”

Ashadi: “Oya? Dari mana kamu mempunyai keyakinan seperti itu? Apa kamu masih ingat tiga tahun
yang lalu saat Fathiya memulai usaha bakso? Di saldonya ada uang 800 juta lebih. Lalu saat
bangkrut, dia mendapat suntikan modal lagi 700 juta, fresh … dari mana tuh duit? Apakah dari gaji
Bapaknya?”

Miftah: “…………”

Ashadi: “Nak, jika kamu melaksanakan sholat ashar, lalu baju yang kaupakai ada selembar kain yang
dibeli dari hasil haram, maka sholatmu takkan diterima Allah. Kenapa? Allah tuh baik, hanya
menerima yang baik-baik saja.”

Miftah: “Duh ….”

Ashadi: “Apa kamu mau menukar sorga yang seluas langit bumi dengan pipi Fathiya yang putih itu?”

Miftah: “Hmm …”

89
Jangan Pernah Keluar Rumah Tanpa Membawa Cinta
Ashadi: “Nak, bayangkan jika seluruh penduduk negeri ini mempunyai sifat yang sama serakahnya
seperti bapaknya Fathiya! Gimana jadinya? Negara ini sakit gara-gara ada ratusan ribu manusia yang
suka korup seperti Bapaknya Fathiya.”

Miftah: “Tapi Fathiya sholihah.”

Ashadi: “Apa kamu tahu definisi dari sholihah?”

Miftah: “………….”

Ashadi: “Wanita yang paling sholihah bukan diukur dari lamanya sholat atau puasanya, tapi diukur
dari ketelitian terhadap halal dan haram, itu aja. Abu Bakr As Siddik adalah orang yang paling teliti
terhadap halal dan haram setelah Nabi Muhammad. Beliau adalah orang sholih. Beda banget
dengan Fathiya.”

Miftah: “Tapi, kami sudah sangat mencintai.”

Ashadi: “Cinta tuh ada dua: cinta kepada Allah dan cinta kepada ciptaan-Nya. Normalnya adalah
kamu me-nomorsatu-kan cinta pertama yaitu kepada Allah. Jika kamu mendahulukan cinta kepada
Fathiya yang dikotori oleh keluarganya, maka artinya kamu meninggalkan cinta pertama menuju
cinta kedua.

Miftah: “Tapi menurutku manusia tuh seperti bangunan rumah. Mungkin ibarat rumah, Fathiya tuh
agak kotor, cukup dibersihkan aja, ntar pasti bersih dan bagus kembali.”

Ashadi: “Nak, maaf … mungkin ada pemuda yang mencium cewek. Menurutku taubatnya adalah
dengan memperbanyak istighfar, lalu menyesal dan tidak mengulangi perbuatannya lagi. Aku yakin
Allah menerima taubatnya. Tapi jika memakan makanan haram, gimana cara taubatnya? Makanan
itu sudah menjadi darah dan daging kita. Hmm … darah kita bercampur haram, daging kita juga ikut
haram, gimana cara membersihkannya? Apakah harus dipotong? Apakah harus disayat?”

Miftah: “Duh …” (kepala terasa nyut-nyut)

Ashadi: “Nak, lihatlah gimana 10 tahun ini Bapak jungkir balik menghidupkan usaha bakso! Tujuan
Bapak cuman satu yaitu memberimu rejeki yang halal dan bersih, itu aja. Aku tak mau, bahkan tak
rela jika ada rejeki haram yang masuk ke perutmu dan perut ibumu. Apakah Bapak salah?”

Miftah: “Tidak. Trus … gimana nasib rencana pernikahan saya?”

Ashadi: “Ada jutaan gadis yang bersih jiwanya, silakan pilih mereka! Fathiya awalnya bersih, tapi
dikotori oleh keluarganya. Memilih Fathiya ibaratnya seperti berlari meninggalkan Allah menuju
kesenangan palsu.”

Miftah: “Duh, kenapa masalah semakin rumit?” (darah serasa mengalir ke kepala semua)

Ashadi: “Tolong baca Surat Al Baqarah ayat 153! Artinya aja!”

Miftah: “Allah berfirman: Hai orang-orang yang beriman, mintalah pertolongan (kepada Allah)
dengan sabar dan sholat. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.”

Ashadi: “Amalkan ayat ini! Abis itu mintalah nasihat Budhe dan Pakdhe! Bulik dan Paman silakan
juga mintai nasihat! Mereka adalah orang-orang sholih. Mereka takkan mungkin bersepakat untuk
membuat hidupmu menderita.”

Miftah: “………” (pandangannya kosong)

90
Jangan Pernah Keluar Rumah Tanpa Membawa Cinta
Pertemuan itu membuat asa Miftah remuk. Tak disangka Bapaknya tidak setuju. Hmm …
tapi masuk akal juga karena semua perkataan Bapaknya berdasarkan ilmu, bersumber dari Qur’an,
takkan mungkin lagi dibantah. Detik sudah menunjukkan jam 12 malam, dia masih belum juga tidur.
Pandangannya kabur, jiwanya resah, fokus sudah hilang, hanya lamunan ngilu yang sering hadir di
pelupuk matanya.

Jiwa: “Habislah sudah ….”

Hati: “Aku turut prihatin.”

Jiwa: “Andai Fathiya mengetahui hal ini, duh …”

Hati: “Dia pasti sedih, bisa juga depresi, bahkan mati mendadak. Wanita itu sangat lemah dalam hal
ini karena mereka jarang menggunakan pikiran, tapi mereka menggunakan perasaan.”

Jiwa: “Gimana kalau aku nggak patuh Bapak?”

Hati: “Maksudmu, kamu tetap akan menikah dengan Fathiya?”

Jiwa: “I … i … iya.”

Hati: “Jangan deh! Bapak tuh kiriman Allah dari langit untuk membimbingmu menuju ke
kebahagiaan abadi.”

Jiwa: “Jika aku meninggalkan Fathiya?”

Hati: “Dia cantik, ayu, banyak yang suka. Kukira masih banyak pria lain yang akan menikahinya.”

Jiwa: “Apakah semudah itu?”

Hati: “Memang tidak mudah. Biarlah waktu yang akan bicara.”

Pagi-pun datang, bukannya disambut dengan kicauan burung, tapi hujan rintik. Suhu
lumayan dingin, Miftah duduk bengong di temani oleh kopi panas dan ketela rebus. Tadi, abis subuh
dia minta nasihat ke Pak Dhe dan Budhe. Sama … mereka tak setuju jika dia menikah dengan
Fathiya. Paman dan Bulik juga sama, bahkan mereka sangat membenci keluarga polisi. Normalnya
pagi tuh pikiran segar, tapi sebaliknya, kepala Miftah berdenyut ngilu. Mungkin tuh otak lagi
searching … mencari titik temu antara Fathiya dengan keluarganya. Tapi kayaknya searching-nya
terlalu lama, tapi tak juga menemukan titik temu, jadinya … begitulah.

Mendadak acara melamun ini buyar karena ada telpon dari Fathiya yang menyuruhnya
untuk menemani sarapan di salah satu kantin Masjid Agung. Tanpa pikir panjang, diapun menggeber
tuh motor Kawasaki Ninja. Sepuluh menit nyampek. Sama … hujan rintik masih juga menjadi teman
setia.

Setelah memarkir motor, nampak dari kejauhan Fathiya melambaikan tangan dengan
senyuman berbinar. Gimana dengan Miftah? Jiwanya pedih, resah, nangis, tapi dia
menyembunyikan semuanya. Wajahnya dibuat se-sumringah mungkin. Dia berusaha untuk senyum
beberapa kali walau hati terasa semakin tersayat. Akhirnya … mereka berdua sarapan.

Fathiya: “Babe, kok kayaknya agak murung, kenapa?”

Miftah: “Emm … gpp. Mungkin gerimis ini yang menjadikan suasana dingin.”

Fathiya: “Hehehe, kok malahan gerimis yang disalahkan. Ok, aku mau laporan dengan detail.”

91
Jangan Pernah Keluar Rumah Tanpa Membawa Cinta
Miftah: “………….”( mengangguk sambil nyeruput kopi hitam kental)

Fathiya: “Aku sudah memikirkan semua hal tentang acara pernikahan kita. Tentang bab gedung,
mana yang kamu pilih, Babe? Gedung Wanita, Wisma Diponegoro, Hotel Patra Jasa atau Auditorium
Masjid Agung?”

Miftah: “…………”(bengong sambil melihat hujan)

Fathiya: “Baiklah, biar aku aja yang memilih. Aku mantap memilih Patra jasa karena selain bagus, di
tengah kota, harganya juga pas banget dan … lahan parkir yang luas.”

Miftah: “…………” (garuk-garuk kepala padahal nggak gatal)

Fathiya: “Tentang masalah catering, ada yang nomor satu, nomor dua, nomor tiga. Babe, mana yang
kamu pilih?”

Miftah: “………” (Menelan ludah berkali-kali)

Fathiya: “Ok, aku mantap untuk memilih catering yang nomor satu. Memang agak mahal, satu porsi
70 ribu rupiah. Tapi menurutku harga tuh sesuai dengan kualitas. Gpp … masalah uang biar menjadi
tanggunganku. Lagian, menikah kan hanya sekali seumur hidup, jadi harus benar-benar istimewa.”

Miftah: “………..” (Menggigit bibir)

Fathiya: “Tentang masalah undangan, aku mantap menyebar seribu undangan. Lima ratus undangan
untuk tamu dari pihak keluargaku, sedangkan sisanya dari pihak keluargamu ya, Babe?”

Miftah: “………..” (tangan kanan gemetar memegang gelas kopi panas)

Fathiya: “Babe, sekarang yuk kita bahas masalah bulan madu! Ada lima pilihan: ke Bali, Lombok,
Singapura, atau Thailand. Kalau aku boleh milih, ke Thailand lagi yuk! Hehehe, itung-itung sambil
mengingat masa lalu saat kita bersama teman-teman ikut program pertukaran pelajar. Hehehe …
Babe, Khuṇ hĕn dwy?”

Miftah: “Apa artinya?”

Fathiya: “Artinya: apa kamu setuju???”

Miftah: “……..” (Mengangguk ragu sambil garuk-garuk pipi)

Fathiya: “Oya, sebagai ungkapan rasa syukurku kepada Allah, maka pada saat honeymoon nanti, aku
akan mengkhatamkan Qur’an. Moga-moga bisa khatam dua minggu. Boleh ya, Babe?”

Miftah: “………..” (hanya tersenyum tipis)

Fathiya: “Oya, kata Bapak: ntar beliau akan memberiku kado satu unit rumah type 200 di daerah
Tembalang. Aku seneng banget. Jadi, setelah menikah maka kita bisa langsung menempati tuh
rumah.”

Kayaknya Miftah sudah tak tahan mendengar pembicaraan Fathiya, tiba-tiba perutnya
terasa sakit melilit dan perih. Mungkin karena maag kumat. Dengan muka pucat, dia berkata,
“Fathiya, aku mau ke kamar mandi, ya? Kayaknya mau muntah.” Fathiya hanya bisa mengangguk
sambil berkata nyantai, “Babe, kayaknya hujan rintik inilah yang menjadikan kamu masuk angin.
Ntar minum tolak angin aja!”

92
Jangan Pernah Keluar Rumah Tanpa Membawa Cinta
Sepuluh menit kemudian

Selesai menikmati breakfast, Fathiya langsung ambil air wudhu. Hujan rintik membuat air
semakin dingin. Selesai wudhu, diapun menuju ruang utama masjid Agung untuk melaksanakan
sholat dhuha. Hmm … baru aja memakai mukena, tiba-tiba dia mendengar suara laki-laki menangis.
Diapun mendekati tuh lelaki. Ternyata dia adalah Miftah. Dia sujud sambil menangis. Fathiya terus
memperhatikan tangisan demi tangisan. Memang pelan, tapi … terasa pilu. Jiwanya terus bertanya-
tanya, “Kenapa Miftah menangis? Apakah ini tangisan bahagia? Tangisan syukur? Tangisan before
married? Atau …” jawaban belum juga ketemu. Hatinya hanya mampu berbisik, “Ya Allah, terima
kasih karena telah mempertemukan aku dengan Miftah.”

Angin: “Hari berganti minggu, Fathiya semakin gembira karena merasa tanggal pernikahannya
semakin dekat.”

Daun: “Sebaliknya, Miftah dilanda kesedihan yang memilukan. Dia terus bingung, apakah ikut
nasihat bapaknya atau memilih nikah dengan Fathiya?”

Angin: “Duh, kasihan mereka berdua. Kayaknya masalah ini datang gara-gara bapaknya Fathiya.
Andaikan dia bukan polisi, tentu masalah nggak sepedih ini.”

Daun: “Angin …”

Angin: “Iya …”

Daun: “Andaikan kamu jadi Miftah, mana yang akan kamu pilih?”

Angin: “Aku milih ikut nasihat bapaknya Miftah.”

Daun: “Berarti kamu tega membiarkan Fathiya hancur. Apa kamu kuat mendengar tangisannya?”

Angin: “Aku gak bakalan kuat. Sudahlah, aku hanya berharap semoga masalah ini cepat selesai.”

Hampir sebulan penuh Miftah berfikir keras untuk menyelesaikan masalah ini. Dia masih
juga belum menentukan keputusan. Sementara Fathiya masih juga belum tahu masalah yang
berkecamuk di dada Miftah. Saat dia terbaring lesu sendiri di teras masjid, tiba-tiba ilmu yang ada di
dalam dadanya bicara.

Ilmu: “Aku ada usul, semoga ini menjadi jalan tengah antara Fathiya dengan keluarga besarmu.”

Hati: “Alhamdulillah, aku siap mendengarkan.”

Ilmu: “Usul pertama: kamu harus ikut nasihat Bapakmu!”

Hati: “Kenapa harus?”

Ilmu: “Dalam hal jodoh, Nabi Ismail sangat patuh kepada nasihat Bapaknya yaitu Nabi Ibrohim.
Miftah, mereka adalah nenek moyangmu. Jadilah seperti Nabi ismail! Tak ada orang tua yang
menjerumuskan anak.”

Hati: “Berat, duh … berat banget.”

Ilmu: “Lebih berat lagi kalau kamu diam. Dan masalah semakin bertambah runyam kalau kamu
memilih Fathiya. Fathiya ibarat bunga melati yang harum tapi dikelilingi oleh bunga bangkai.”

Hati: “Aku sangat mencintainya. Apa aku bisa menghapus cinta ini?”

93
Jangan Pernah Keluar Rumah Tanpa Membawa Cinta
Ilmu: “Bisa. Silakan terus mengingat milyaran uang haram di rumah Fathiya! Bayangkan milyaran
uang itu seperti api yang membakar semuanya. Ntar pasti kamu termotivasi untuk
meninggalkannya.”

Hati: “Senyumnya, duh … kayaknya aku tak bisa seharipun tanpa melihat senyumannya.”

Ilmu: “Itu karena kadar cintamu kepada Allah masih sangat sedikit. Andai kadar kecintaanmu sangat
tinggi, maka kamu akan dengan mudah melupakan senyuman Fathiya. Nabi Yusuf dikala muda
sangat mencintai Zulaikha yang cantik menawan. Tapi karena kecintaannya kepada Allah sangat
tinggi maka dia sanggup menundukkan pandangan. Dia sanggup memendam cinta itu.”

Hati: “Nabi Yusuf … wow … pelajaran yang bagus. Baiklah, aku akan sami’na wa atho’na kepada
perintah Allah.”

Ilmu: “Sekarang ini, tolong ikat dulu nafsu, perasaan dan akal! Gunakan aja iman! Ikuti aja apa kata
Bapakmu! Ikuti aja apa kata Qur’an karena posisi Qur’an harus lebih tinggi dari akal.”

Hati: “Baiklah, aku mantap meninggalkan Fathiya. Mau tanya: gimana cara supaya Fathiya tidak
shock?”

Ilmu: “Beri dia ilmu secara bertahap. Ilmu tentang sabar, ilmu tentang hati, ilmu tentang cinta Allah,
dan ilmu tentang berserah diri. Aku yakin, dia bakalan sabar dalam menghadapi masalah ini.”

Hati: “Baiklah, wahai ilmu … terima kasih.”

Ilmu: “Sama-sama.”

Sejak saat itu Miftah rajin memberikan ilmu kepada Fathiya. Cara penyampaiannya
kadang langsung, lewat buku, foto copy, email, dan link internet. Pokonya Miftah berjuang mati-
matian untuk menguatkan hati Fathiya. Bagaimana dengan Fathiya? Hehehe … dia malas belajar
karena otaknya penuh dengan rencana pernikahan. Dia menjelma menjadi wedding organiser (WO)
untuk dirinya sendiri. Pernak-pernik acara pernikahan dari a mpe z sudah dideskripsikan dengan
sangat matang. Kenyataan ini membuat Miftah lemes, kendor lagi semangatnya dan … pasrah.

Sebulan kemudian

Miftah serius bicara dengan saudara sepupunya yang masih duduk di bangu SMA. Mereka
kembar yaitu Nining dan Nuning.

Miftah: “Dhek …”

Nining: “Iya Mas.”

Miftah: “Apa kamu sudah tahu tentang masalahku dengan Fathiya?”

Nuning: “Iya, kami sudah tahu semua. Alhamdulillah Sampeyan memilih meninggalkan Mbak
Fathiya. Aku setuju banget.”

Nining: “Sama. Aku paling nggak suka jika mempunyai saudara dari keluarga polisi.”

Miftah: “Kenapa?”

Nuning: “Jarang yang bersih.”

94
Jangan Pernah Keluar Rumah Tanpa Membawa Cinta
Miftah: “Begini, dua jam lagi yaitu jam 9 malam, aku akan bertemu Fathiya di warung bakso
miliknya.”

Nuning: “Jam segitu kayaknya pembeli sudah gak ada lagi, ya?”

Miftah: “Benar. Dalam kesempatan itulah, aku akan terus terang kepada Fathiya bahwa … bahwa …
duh … berat banget mengucapkannya.”

Nining: “Bahwa Sampeyan akan meninggalkan Fathiya, gitu kan?”

Miftah: “Iya. Hmm … aku khawatir setelah mendengar berita ini, dia shock, lalu pingsan. Duh …
makanya, aku mengajakmu. Maksudku, jika sewaktu-waktu Fathiya pingsan, maka kamu yang
memeganginya, ya?”

Nining: “Aku takut e, Mas.”

Miftah: “Tolonglah aku!”

Nuning: “Dhek Nining, nggak usah takut! Kan kamu sudah berpengalaman mutusin cowok, hahaha.”

Nining: “Hehehe, Mas … aku tuh pernah nolak cowok. Bukan hanya sedih, dia tuh nangis di
hadapanku kayak anak kecil lho, Mas … hahaha.”

Nuning: “Mas, Dhek Nining tu pernah disenengin ama cowok anak polisi. Wah, tuh pemuda mau
memberikan mobil Honda Jazz terbaru untuk Dhek Nining. Tapi … dia gak mau. Kayaknya Dhek
Nining tuh jual mahal, deh … hahaha. Dhek, mbok jangan jual mahal, to! Ntar kalau gak laku, piye
jal?”

Nining: “Tenang aja! Ada selusin lebih cowok yang cinta ama aku. Pokoknya ABAP.”

Miftah: “ABAP, apaan tuh?”

Nining: “Asal Bukan Anak Polisi, Mas … hahaha.”

Nuning: “Kamu gak boleh benci gitu ama Pak Polisi. Mereka tuh jasanya besar banget bagi negeri ini.
Banyak polisi yang baik dan jujur kok.”

Nining: “Tapi yang nggak bersih sangat buanyakkkkkkk.”

Miftah: “Wis wis wis … duh, kok malah diskusi sendiri. Gimana keputusannya? Mau bantu aku atau
tidak?”

Nuning: “Siap Mas.”

Nining: “Enggih, Mas. Bonusnya, aku ama Mbak Nuning minta pulsa HP 100 ribu, ya!”

Miftah: “Deal.”

Nuning: “Mantap, hahaha.” (tertawa di atas penderitaan orang lain, hehehe)

Dua jam kemudian

Tepat jam sembilan malam, mereka berempat (Miftah, Nining, Nuning, dan Fathiya)
berkumpul di warung bakso yang sudah sangat sepi. Apalagi hujan rintik turut juga hadir … hmm …
lumayan dingin, hanya tetap tak bisa mendinginkan jiwa Miftah yang dilanda gundah gulana.

95
Jangan Pernah Keluar Rumah Tanpa Membawa Cinta
Kebetulan para karyawan warung juga sudah pulang semua, sehingga keheningan singgah disetiap
pojok warung.

Nining: “Mbak Fathiya, kenalkan … Saya Nining. Di sebelahku ini Mbak Nuning. Kami kembar. Kami
adalah saudara sepupu Mas Miftah.”

Fathiya: “Subhanallah, mirip banget. Jilbabnya sama, bajunya sama, cantiknya sama, senyumnya
juga sama. Duh, melihat kalian berdua benar-benar kayak miracle.”

Miftah: “Nakalnya juga sama, hehehe. Dua gadis itu tiap hari nggak makan nasi.”

Fathiya: “Lho, terus makan apa?”

Miftah: “Makan pulsa HP, hahaha. Pokoknya mereka tuh rakus banget ama yang namanya pulsa.”

Nuning: “Mas, jangan buka rahasia, to!”

Fathiya: “Hahaha. Emm … aku ada ide: kayaknya kalian berdua pas banget menjadi pengiring
pengantin kami. Jika kalian berdua memakai baju adat Semarang, duh … pasti ayuuuu banget. Dhek
Nuning dan Dhek Nining, apa kalian berdua mau menjadi pengiring pengantin kami?”

Nuning: “………..” (bengong)

Nining: “………..” (tolah-toleh kayak Sitti Nurbaya dipaksa nikah)

Fathiya: “Lho kok diam aja? Berarti kuanggap mau. Diamnya perempuan berarti mau, hahaha.”

Miftah: “E … e …”

Fathiya: “Mas, besok aku mau silaturrahmi ke rumahmu, ya? Aku sekalian mengajak Bapak dan
Ibukku. Paling kami datang jam 10 pagi. Nggak usah masak-masak, ntar malahan merepotkan.”

Miftah: “E … e …”

Fathiya: “Kok bingung? Maaf, mungkin cukup mendadak aku memberitahu karena dua hari lagi
Bapakku dinas ke Samarinda. Jadi mumpung besok masih di sini, maka kupaksa beliau untuk
silaturrahmi ke rumah Sampeyan.”

Miftah: “Fathiya …”

Fathiya: “Iya …”

Miftah: “Bismillahirrohmaanirrohiim. Aku mau bicara dengan sangat serius.”

Fathiya: “Apa tentang masalah bisnis bakso kita? Tenang aja, ntar aku punya ide akan membuka
satu lagi warung bakso di daerah ….”

Miftah: “Stttt … sudahlah! Ijinkan aku bicara!”

Fathiya: “I … i … iya. Duh, kok aku jadi deg-degan, ya.”

Miftah: “Fathiya …”

Fathiya: “Iya …”

Miftah: “Emm … terpaksa aku harus mengatakannya.”

96
Jangan Pernah Keluar Rumah Tanpa Membawa Cinta
Fathiya: “………….”

Miftah: “Aku sudah membicarakan hubungan kita ke Bapak. Di luar dugaan … emm … emm … beliau
tidak setuju dengan pernikahanku.”

Fathiya: “Mungkin jadwalnya terlalu cepat. Baiklah, aku siap menunggu kapanpun, yang penting
acara pernikahan bisa terlaksana.”

Miftah: “Bukan masalah tanggal pernikahan.”

Fathiya: “Lalu?”

Miftah: “Masalah pengantin perempuan.”

Fathiya: “O … mungkin beliau tak setuju kalau pengantin perempuannya memakai baju adat Jawa
karena ada aurot yang terbuka. Gak masalah, Babe … ntar aku akan mendesain baju pengantin yang
sesuai dengan syari’at islam sehingga keluarga besar kamu bisa senang. Gpp … itu mudah kok.”

Miftah: “Bukan masalah baju pengantin perempuan.”

Fathiya: “Lalu, masalah apa?”

Miftah: “Duh … aku tak sanggup untuk mengucapkannya.”

Semua terdiam, bahkan rintik hujan juga ikut terdiam. Mungkin mereka juga menyimak
dengan seksama pembicaraan ini. Nining berulang kali menggaruk kepala hingga akhirnya dia
berkata, “Mas, gimana kalau aku saja yang menyampaikan hal ini?” Miftah mengangguk. Dengan
diiringi mengucap basmalah, Nining berkata, “Mbak Fathiya, Bapaknya Mas Miftah tidak setuju jika
Sampeyan menikah dengan Mas Miftah. Mbak … maaf.”

Fathiya tertegun. Lidahnya terasa kaku dan kebas. Matanya terus menatap Miftah seakan
tak percaya. Dia juga mencubit kulitnya untuk memastikan apakah ini mimpi atau bukan. Ternyata
bukan mimpi. Akhirnya … asa Fathiya remuk bagaikan sebuah gelas beling yang terbanting ke lantai,
berkeping-keping, berserakan ke mana-mana. Otaknya blank beberapa detik. Tak ada yang berani
bicara. Miftah kelihatan menunduk lesu.

Nampak air mata mulai membasahi pipi Fathiya. Dadanya terasa sesak bagai ditinju
berkali-kali. Dia berusaha untuk tegar tapi … kayaknya dia sangat rapuh. Perasaan sedih, marah,
bingung, kaget, dan sejuta perasaan lainnya bercampur aduk jadi satu dalam ramuan yang membuat
raganya seperti terpaku di kursi.

Beberapa menit kemudian, air mata semakin deras mengucur. Jiwanya meregang dalam
rasa sakit putus cinta yang tak juga kunjung reda.

Miftah: “Fathiya … maafkan aku yang telah menghancurkan road map kehidupanmu.”

Fathiya: “Hiks ……..” (tulang dan otot seperti terlepas)

Miftah: “Aku harus ikut arahan orang tua. Hmm … tak kusangka, setelah kepedihan kita bertahun-
tahun membesarkan usaha, bukannya kemudahan yang datang, tapi kepedihan semakin menyayat.
Fathiya … bukan hanya kamu saja yang sedih. Aku juga sedih, kedua orang tua kita juga sedih.”

Fathiya: “Hiks … coba terangkan kepadaku apa alasan Bapakmu tak setuju!” (air mata mengalir
deras)

97
Jangan Pernah Keluar Rumah Tanpa Membawa Cinta
Miftah: “Aku tak bisa mengatakannya.”

Fathiya: “Katakan!!! (Fathiya membentak keras hingga Nuning dan Nining kaget)

Miftah: “………….”

Fathiya: “Kalau kamu tak mau mengatakan, gpp, sekarang aku mau ke rumah Bapakmu untuk
menanyakan hal ini. (Fathiya kembali teriak dengan tangisan pilu.”

Miftah: “Baiklah. Ada perbedaan prinsip yang mendasar di keluargaku dan keluargamu. Perbedaan
inilah yang memisahkan kita.”

Fathiya: “Hiks … coba terangkan!”

Miftah: “E ….”

Fathiya: “Terangkan!!!!(Fathiya kembali teriak. Kini suaranya berubah parau, mungkin karena terlalu
banyak menangis)

Miftah: “Ba … Ba … Bapakku tidak suka mempunyai me … me … menantu anak polisi.”

Kalimat ini seperti belati yang menusuk-nusuk perut Fathiya hingga terkapar tak berdaya.
Dia tak mampu lagi duduk. Keseimbangannya hilang. Dia … terjatuh di lantai. Nuning dan Nining
langsung berusaha untuk membopong Fathiya. Tak ada lagi suara tangisannya. Fathiya … pingsan.

Semenjak acara move on, Fathiya berubah menjadi pendiam padahal awalnya tuh gadis
kinestetik banget alias tak bisa diam, gerak terus. Saat bangun tidur, nampak banget ada bekas air
mata yang mengering di pipi. Kayaknya air mata belum juga bisa surut. Sudah seminggu lebih dia
mengurung diri di kamar. Dia seperti hidup di dua dunia, yaitu dunia nyata dan dunia kenangan. Saat
dia memasuki dunia kenangan, dia tersenyum sendiri, tertawa sendiri. Apalagi kalau mengingat dia
dan Miftah jungkir balik mendirikan usaha bakso bersama, hmm … dia terus tertawa di kamar. Tapi
mendadak dia memasuki alam nyata dimana Miftah sudah pamit pergi, mendadak tangisnya
meledak. Sang Ibu mendengar rintihan ini, tapi … hmm … beliau nggak bisa apa-apa.

Detik menunjukkan jam 9 pagi. Nampak Sang Ibu membawa nampan berisi menu sarapan
pagi untuk Fathiya.

Ibu: “Dhek, sarapan yuk! Biar ibu yang suapin!”

Fathiya: “…………” (duduk sambil memandang kosong ke arah dinding)

Ibu: “Dhek, dulu Ibu juga pernah mengalami kepedihan seperti ini, tapi Ibu bisa survive.”

Fathiya: “Diam! Aku nggak suka dibanding-bandingkan.” (volume suara yang keluar lumayan tinggi
dan pedas)

Ibu: “Hmm, kepedihan yang berlarut benar-benar menghilangkan sifat lemah lembut yang ada
dalam dirimu.”

Fathiya: “Bapak yang salah, kenapa harus aku yang menanggung akibatnya? Hiks … hiks …” (tangisan
terdengar pilu dari mulut Fathiya)

Ibu: “Bapakmu tuh baik, Dhek. Dia sangat menyayangimu.”

98
Jangan Pernah Keluar Rumah Tanpa Membawa Cinta
Fathiya: “Apa kata Ibu? Bapak Baik? Kok bisa? Andai Bapak baik, kenapa dia tega menjejali mulutku
dengan api? Kenapaaaa????” (Fathiya teriak keras hingga ibunya ketakutan)

Ibu: “Kami memberimu makan dari gaji bulanan Bapak.”

Fathiya: “Berapa gaji bulanan Bapak?” (bentakan keras)

Ibu: “Tujuh juta, Nak.”

Fathiya: “Dengan gaji segitu, kenapa aset di rumah ini bisa milyaran? Kenapa saldo tabungan Ibu
bisa milyaran? Kenapa rumah kita bisa tiga? Kenapa mobil kita bisa seharga di atas 500 juta?” (nada
bicara semakin kasar dan meledak-ledak)

Ibu: “Bapak layak menerima kekayaan ini karena beliau sudah memberi jasa yang besar untuk
negara.”

Fathiya: “PNS yang jujur, hidup mereka nggak mewah padahal jasa mereka juga banyak untuk
negara. Bu, tolong jawab yang jujur: apakah Bapak korupsi?” (nada bicara bengis bercampur dengan
tangisan)

Ibu: “Kenapa kamu membenci kami? Kamu bisa durhaka lho, Dhek.”

Fathiya: “Durhaka? Bu, silakan kutuk aku sekarang juga! Ayo … kutuk aku! Sekalian aja doakan aku
supaya mati! Sekarang! Hiks … hiks … (tangisan kembali pecah, kali ini volume suara semakin
beringas)

Ibu: “Nak, sudahlah! Ibu mengerti bahwa rencana pernikahanmu berantakan gara-gara kami.
Kayaknya ada sebagian masyarakat yang membenci kami. Biarlah, nggak apa-apa, yang penting Allah
tidak membenci kami.”

Fathiya: “Allah membenci keluarga ini. Aku mempunyai keyakinan: jika penduduk dunia mencintai
keluarga ini, maka penduduk langit juga mencintai keluarga ini. Tapi sebaliknya jika masyarakat
dunia membenci keluarga ini, maka … sama … para malaikat di langit juga membenci keluarga ini.
Uang korup … duh … gara-gara duit inilah, Miftah dan keluarganya membenci kita. Kayaknya kita
layak menerima kebencian ini.”

Ibu: “Tapi Bapak dan Ibu rajin sholat lho, Dhek.”

Fathiya: “Mengerjakan sholat tapi perutnya penuh dengan haram, maka sholatnya tak diterima
Allah.”

Ibu: “Janganlah sok menghakimi!”

Fathiya: “Jadi Ibu ingin aku mengatakan bahwa sholat Ibu diterima Allah? Aneh … benar benar
keluarga aneh. Hmm … Bu, sebagai seorang wanita, seharusnya Ibu bisa menasihati Bapak supaya
nggak korupsi. Alih-alih menasihati, Ibu malahan bersekongkol dengan Bapak menumpuk harta yang
nggak tau asal usulnya itu.”

Ibu: “Tapi semua harta ini untuk kamu.”

Fathiya: “Bu, ini bukan harta, tapi kotoran. Sekali lagi … kotoran. Tolong dihafalkan!”(nada bentakan
bercampur dengan ejekan)

Ibu: “Nak, kayaknya kamu semakin nggak sopan. Kamu nggak menghargai jerih payah kedua orang
tuamu.”

99
Jangan Pernah Keluar Rumah Tanpa Membawa Cinta
Fathiya: “Apakah aku harus sopan dengan maling?” (bentakan lumayan kencang dan sadis)

Ibu: “Pergi dari sini!” (Sang Ibu ganti membentak kasar)

Fathiya: “Aku juga gak bakalan menginjak rumah ini lagi. Bagiku ini bukan rumah, tapi seperti
tempat penampungan kotoran.”

Dua tahun kemudian

Daun: “Aku bersyukur bahwa sekarang Fathiya sudah stabil jiwanya.”

Angin: “Hehehe, tak kusangka dia betah juga bekerja di perpustakaan masjid.”

Daun: “Kayaknya jiwanya benar-benar ingin menjadi bersih. Kalimat yang berbunyi: wanita yang
paling takwa adalah yang paling teliti terhadap halal dan haram, … hehehe … dia benar-benar serius
mengamalkan kalimat ini.”

Angin: “Benar brow. Hanya satu kalimat, ringan diucapkan, tapi sungguh sangat berat untuk
dikerjakan. Hmm … dia rela pergi dari rumah, meninggalkan gemerlapnya harta orang tuanya, pergi
dari rumah dengan saldo tabungan mendekati nol, kini dia rela menjadi petugas perpus dengan gaji
yang tak seberapa, wow … sangat jarang ada wanita setegar ini.”

Daun: “Oya, bulan-bulan ini gerimis terus datang. Beberapa jamaah masjid yang sholat maghrib
berjamaah, saat selesai sholat, mereka tidak pulang ke rumah, melainkan duduk-duduk di masjid,
i’tikaf sambil menunggu sholat isya. Hmm, kulihat Fathiya menghidangkan teh hangat untuk mereka.
Duh … tuh gadis benar-benar menjelma menjadi wanita akhirat.”

Angin: “Aku juga salut melihat dia telaten membuatkan teh hangat untuk jamaah yang menunggu
sholat isya. Memang cuaca lumayan dingin sehingga i’tikaf sambil nyeruput teh hangat bikinan
Fathiya … kayaknya mak nyuss ya, hehehe.”

Daun: “Gimana dengan Miftah?”

Angin: “Maksudnya?

Daun: “Apakah Fathiya masih mencintainya atau sudah luntur?”

Angin: “Masih. Tapi dia belajar untuk menyimpan rapi-rapi di dalam lubuk hati yang paling dalam.
Dia nggak pernah memikirkannya lagi.”

Daun: “Eh, seminggu ini kulihat Fathiya punya sahabat baru, ya?”

Angin: “Bener. Namanya Mbak Meika. Duh … ayu banget. Dia tinggal di Mranggen Demak. Awalnya,
karena tempat bekerja Mbak Meika ini dekat dengan masjidnya Fathiya, maka tuh gadis sering
sholat di masjid itu. Hehehe, lama-lama mereka bersahabat. Hmm, moga-moga aja persahabatan ini
semakin menguatkan hati Fathiya.”

Daun: “Emm, kayaknya Meika tuh belum nikah, ya?”

Angin: “Belum. Paling-paling umurnya sekitar 23 tahun, sedangkan Fathiya sekitar 24 tahun.”

Daun: “Kuperhatikan Meika sangat rajin ibadah. Aura wajahnya … duh … ayu dan berwibawa.”

Angin: “Mungkin karena rajin wudhu dan sujud sehingga wajahnya begitu anggun.”

Daun: “Semoga kedua wanita itu bisa cepat menemukan tambatan hati yang sholih.”

100
Jangan Pernah Keluar Rumah Tanpa Membawa Cinta
Angin: “Amin.”

Sementara daun dan angin sibuk ngobrol, Fathiya sibuk membuat teh hangat untuk para
jamaah yang lagi i’tikaf dan menunggu adzan isya’. Nampak Meika juga ikut membantu
menghidangkan teh hangat. Hehehe … mereka seperti satu saudara. Semoga persaudaraan ini akan
menguatkan keimanan mereka.

Sholat isya’ sudah dilaksanakan, nampak para jamaah sudah pulang ke rumah masing-masing. Kini
tinggal Fathiya dan Meika yang lagi duduk nyantai di parkiran masjid.

Meika: “Mbak, aku pulang dulu, ya!”

Fathiya: “Ke Mranggen, ya?”

Meika: “Enggih. Mbak, Sampeyan tinggal di mana?”

Fathiya: “Aku ngontrak rumah di gang depan itu. Paling-paling jalan dari sini 3 menit.”

Meika: “Sendiri?”

Fathiya: “Enggak, aku ditemani ama Mak Lampir.”

Meika: “Hahaha. Sampeyan ini ada-ada aja. Kalau sendiri, gimana kalau malam ini tidur di
rumahku?”

Fathiya: “Di Mranggen sana?”

Meika: “Iya. Emang sih rumahku kecil, sangat sederhana, tapi adhem … hehehe.”

Fathiya mengangguk. Akhirnya mereka berdua naik motor menuju Mranggen. Selama di
perjalanan, mereka bicara ngalor ngidul, hahaha … lebih mesra dari saudara kandung.

Empat puluh menit kemudian, mereka sudah sampai di teras rumah Meika. Fathiya agak
kaget. Hmm … rumah Meika sangat kecil, paling-paling type 30, dengan luas tanah 60m². Dinding
rumah juga kelihatan sangat usang. Pagar depan sudah rusak sebagian. Beda jauh dengan rumah
orang tuanya yang bernilai milyaran.

Meika: “Yuk kita masuk ke dalam rumahku!”

Fathiya: “I … i … iya. Apakah kamu tinggal sendiri?”

Meika: “Bapakku lagi dinas 3 hari di Temanggung. Ibu dan adikku lagi menjenguk nenek di
Purwodadi. Paling-paling dua hari lagi mereka pulang. Malam ini terpaksa aku jaga rumah sendiri.”

Fathiya: “Aku salut dengan kesederhanaan keluargamu.”

Meika: “Bukan sederhana, tapi miskin, hehehe.”

Fathiya: “Maaf, kalau boleh bertanya: dimana bapakmu bekerja?”

Meika: “Bapakku polisi.”

Fathiya: “Whattt?????” (HP Fathiya mpe jatuh dari genggaman karena saking kagetnya)

Meika: “Kenapa kamu kaget?”

101
Jangan Pernah Keluar Rumah Tanpa Membawa Cinta
Fathiya: “Emm … biasanya kan polisi tuh kaya-kaya.”

Meika: “Itulah kenapa aku sangat mencintai Bapakku. Walau beliau polisi, tapi sedikitpun beliau tak
pernah memakan harta yang bukan haknya. Beliau memberi nafkah kepada kami dengan gaji pokok
plus tunjangan yang tak seberapa. Itupun Bapak harus menafkahi nenek yang ada di kampung.
Sebulan yang lalu nenek sakit parah dan harus di rawat di rumah sakit sehingga memerlukan dana
hampir 30 juta. Bapakku pontang-panting cari hutangan.”

Fathiya: “Hmm … Bapakmu best cop, ya?”

Meika: “Amin, doakan aja Bapakku tetap bersih, tidak tergoda dengan uang yang bukan haknya.”

Fathiya: “Meika, umurmu sudah 23, apakah kamu …?”

Meika: “… sudah ketemu jodoh? Begitu kan pertanyaanmu? Hahaha.”

Fathiya: “Hahaha, iya … kok kamu bisa menebak?”

Meika: “Sudah puluhan kali aku mendapatkan pertanyaan seperti itu.”

Fathiya: “Terus …”

Meika: “Itulah kenapa aku mengajakmu ke sini. Mbak, aku bingung. Duh … bingung banget. Apa
yang harus aku lakukan, ya?”

Fathiya: “Silakan cerita! Aku siap mendengarkan.”

Meika: “Emm …” (Meika nyeruput teh hangat sambil menarik nafas dalam-dalam)

Fathiya: “……..” (Fathiya tersenyum sambil terus memperhatikan wajah Meika)

Meika: “Mbak, apakah kamu pernah jatuh cinta?”

Fathiya: “Hehehe … pertanyaan yang bagus. Iya, aku pernah jatuh cinta.”

Meika: “Gimana rasanya?”

Fathiya: “Rasanya … emm … seperti sejuta rasa berkumpul jadi satu bersemayam dengan sangat
lembut ke jiwa kita.”

Meika: “Wow … indah banget. Trus …”

Fathiya: “Saat kamu jatuh cinta, maka kamu ntar seperti orang mabuk kepayang. Ibaratnya semua
lupa … hanya Si Dia yang ada di dalam ingatanmu.”

Meika: “Cieeeeee.”

Fathiya: “Emangnya kamu belum pernah jatuh cinta?”

Meika: “Belum. Aku sangat tertutup dengan laki-laki. Ayo teruskan perihal jatuh cinta! Hehehe …
kayaknya asyik deh untuk bahan obrolan malam ini.”

Fathiya: “Saat kamu jatuh cinta, maka kamu akan ingat terus kepada lelaki yang kamu cintai. Saat
belajar, ingat dia. Saat di jalan, ingat dia, saat tidur … mimpi dia. Bahkan saat selesai sholat,
bukannya dzikir, tapi malahan ingat dia terus, hahaha.”

102
Jangan Pernah Keluar Rumah Tanpa Membawa Cinta
Meika: “Sampai segitunya ya, Mbak?”

Fathiya: “Jatuh cinta juga membuatmu sering tersenyum sendiri. Mau makan … senyum, mau tidur
… senyum. Mau ngaji … senyum. Wis pokoke persis kayak wong edan deh, hahaha.”

Meika: “Sweety banget.”

Fathiya: “Saat kamu dekat dengan lelaki yang kamu cintai, maka tiba-tiba kamu akan merasakan
kedamaian yang sejuk bagai salju turun.”

Meika: “Oya?”

Fathiya: “Iya, lelaki itu penentram jiwa bagi perempuan. Sekaya-kayanya perempuan tapi kalau
masih sendiri, jiwanya takkan bisa tentram.”

Meika: “Kayaknya memang wanita didesain harus dekat dengan pria ya, Mbak?”

Fathiya: “Bukan hanya dekat tapi nempel kaya perangko, hahahaha.”

Meika: “Ternyata cinta itu sangat manis ya, Mbak?”

Fathiya: “Iya, apapun yang dirasakan ketika jatuh cinta memang terasa manis. Ternyata ini bukanlah
sebuah mitos, menurut American Psychological Association, orang yang lagi falling love, dan
kemudian disuruh mencicipi makanan atau minuman, mereka pasti akan menjawab makanan dan
minuman memiliki rasa sama yakni manis. Ntar kamu bisa mencobanya, Dhek.”

Meika: “Aneh banget, ya? Duh, aku malah pingin ndang lekas jatuh cinta e, hehehe.””

Fathiya: “Iya. Kulihat dari tadi kamu senyum terus. Tolong sekarang cerita … siapa lelaki yang kamu
cintai?”

Meika: “Mbak, dari kecil orang tuaku mendidikku dengan sangat islami. Aku tak pernah pacaran,
juga tak menyukai pacaran. Aku terus berdoa semoga Allah mempertemukan aku dengan seorang
lelaki yang akhlaqnya mirip denganku.”

Fathiya: “Aku yakin wanita yang baik akan mendapat lelaki yang baik.”

Meika: “Tak disangka, kemarin Pak Imam Masjid Al Uswah Gajah Mungkur memanggilku. Beliau
bertanya kepadaku apakah sudah siap nikah? Maka akupun mengangguk. Beliau akan
mempertemukan aku dengan seorang lelaki sholih.”

Fathiya: “Siapa namanya?”

Meika: “Beliau tidak menyebutkan nama. Pokoknya ntar hari minggu jam 9 pagi aku akan
dipertemukan dengan lelaki itu di ruangan kantor masjid. Kalau ada kecocokan ya terus dilanjutkan
dengan lamaran. Tapi kalau tak cocok, gpp.”

Fathiya: “Wow … kok aku jadi ikut deg-degan, ya?”

Meika: “Iya … sama. Aku tuh terus membayangkan gimana rasanya pertama kali memandang tuh
lelaki? Duh pasti jantungku langsung berhenti, ya … duh …”

Fathiya: “Halah … gak boleh lebay!”

Meika: “Mbak, boleh gak aku minta Sampeyan untuk menceritakan pertama kali berjumpa dengan
lelaki yang Sampeyan cintai?”

103
Jangan Pernah Keluar Rumah Tanpa Membawa Cinta
Fathiya: “Saat itu aku lagi di pesawat yang akan mengantar kami ke Thailand dalam rangka program
pertukaran pelajar. Kami satu rombongan.”

Meika: “Kalimat apa yang pertama kali dia ucapkan?”

Fathiya: “Fathiya, Khuṇ mī khwām swyngām.”

Meika: “Pakai bahasa Thailand, ya?”

Fathiya: “Bener.”

Meika: “Apa artinya?”

Fathiya: “Artinya … emm … artinya: Fathiya, kamu sangat cantik.”

Meika: “Oya, duh … romantis banget. Kalau aku dipuji gitu, pasti melayang mpe Galaksi Cintasakti
ya, Mbak.”

Fathiya: “Bukan Cintasakti, tapi Bimasakti.”

Meika: “Kali ini namanya kurubah jadi Cintasakti aja, hehehe.”

Fathiya: “Berarti hari minggu besok kamu ada acara penting, ya?”

Meika: “Bukan hanya penting, tapi super penting. Temani aku ya, Mbak!”

Fathiya: “Hari Minggu, aku ada acara seminar bedah buku.”

Meika: “Halah, cancel aja, ya! Please!!!!”

Fathiya: “Baiklah. Demi kamu, aku rela melakukan apa aja.”

Meika: “Mantap, hehehe. Kita akan menjadi sahabat selamanya.”

Padahal sabtu kemarin tuh hujan cukup deras, tapi sekarang … hari minggu, cerah, sinar
matahari menghangatkan daun-daun yang memang berhari-hari kedinginan disiram Sang Hujan.
Seperti rencana awal, Meika akan dikenalkan oleh Pak Imam. Detik menunjukkan jam 8 pagi, berarti
satu jam lagi acara dimulai. Nampak oroma kebingungan menghantui pikiran Meika.

Meika: “Padahal aku sudah melaksanakan sholat dhuha. Tadi aku berdoa cukup lama supaya bisa
tenang, tapi … kok aku gemeter banget, ya?”

Fathiya: “Kulihat bedakmu terlalu tebal.”

Meika: “A … a … aku pingin menyembunyikan wajahku dengan topeng bedak ini.”

Fathiya: “Kenapa disembunyikan?”

Meika: “Aku nggak pede.”

Fathiya: “Halah, wajahmu tuh dah sangat ayu, imut. Udahlah, hapus aja bedak itu!”

Meika: “I … i… iya. Terus pakai bedak apa?”

Fathiya: “Nggak usah pakai bedak! Lelaki tuh suka yang pure, bukan yang polesan.”

Meika: “Emm, baiklah.”

104
Jangan Pernah Keluar Rumah Tanpa Membawa Cinta
Fathiya: “Meika, kenapa dari tadi kamu menggigit bibir terus?”

Meika: “Duh, aku nggak nyadar. Mungkin ini adalah salah satu kebiasaan burukku di saat panik.”

Fathiya: “Bibirmu tuh sangat menawan. Jangan digigit lagi!”

Meika: “I … iya Mbak. Baru pertama kali ini aku melaksanakan ta’aruf.”

Fathiya: “Kenapa matamu agak merah?”

Meika: “Tadi malam aku gak bisa tidur karena terus kepikiran acara ini.”

Fathiya: “Duh, kok sampai segitunya, sih?”

Meika: “Iya, aku malahan belum sarapan. Nggak tau nih, perut terasa kenyang sendiri.”

Fathiya: “Tiga puluh menit lagi acara kenalan akan dimulai. Tenangkan hatimu!”

Meika: “Gak bisa. Aku terus deg-degan.”

Fathiya: “Tenangkan dirimu, please!!!”

Meika: “Nggak bisa.” (semakin bertambah panik, malahan hampir menangis)

Akhirnya dengan lembut Fathiya memeluk Meika sambil berbisik, “Dhek Meika, cobalah
sejenak pejamkan mata! Dhek, ketahuilah bahwa menikah adalah ibadah. Berarti ta’aruf
(berkenalan) dengan lelaki juga termasuk ibadah. Dhek, niatkan ta’aruf kali ini sebagai ibadah. Sekali
lagi sebagai ibadah … seperti sholat, sedekah, puasa dan ibadah-ibadah yang lain.”

Meika mengangguk dengan mata yang terus terpejam. Dia terus membayangkan ibadah-
ibadah yang pernah dilaksanakan. Lalu dia membayangkan ta’aruf ini sebagai bagian dari
mendekatkan dirinya kepada Allah karena menikah adalah ibadah (tak mungkin bisa menikah kalau
nggak taaruf dulu). Kini jiwanya tenang, santai, fresh … diapun membuka mata sambil mencium
tangan Fathiya.

Waktu berjalan sangat cepat. Tak terasa, acara ta’aruf sudah dimulai. Dalam satu ruangan,
nampak ada Pak Imam, Fathiya, Meika, dan dua orang lelaki. Fathiya dan Meika tetap menunduk
malu. Mereka belum berani menatap wajah kedua lelaki itu. Sementara Pak Imam menerangkan
atau formalnya adalah ceramah pendahuluan sebelum ta’aruf. Saat ceramah itulah, Fathiya
memberanikan diri melihat kedua lelaki itu. Dilihatnya lelaki pertama yang tampak lebih muda, dia
tak kenal. Pandangan langsung diarahkan kepada lelaki kedua yang nampak lebih tua yaitu
seumuran dengan dirinya.

“Darrrrrr,” jantung Fathiya hampir copot karena ternyata lelaki kedua itu adalah Miftah.
Mereka sempat beradu pandangan. Saat itulah jiwa Fathiya sibuk dan panik.

Jiwa: “Ke … ke … kenapa Miftah di sini?”

Hati: “Aku nggak tau.”

Jiwa: “Hiks … hiks …”

Hati: “Kenapa kamu mendadak merana? Mukamu pucat, darah seakan berhenti mengalir. Apa yang
kamu takutkan?”

Jiwa: “Hiks … apa mungkin Miftah akan ta’aruf dengan Meika?”

105
Jangan Pernah Keluar Rumah Tanpa Membawa Cinta
Hati: “Miftah Meika … Meika Miftah, kayaknya nama mereka sudah serasi banget.”

Jiwa: “Hiks … hiks.” (tangisan jiwa menjerit hingga melengking)

Hati: “Saatnya latihan sabar.”

Jiwa: “Kenapa setelah kepedihan ada kenelangsaan? Kapan aku bisa bahagia? Kapan????? (tangisan
jiwa meremukkan asa)

Hati: “Biarkan Miftah menikah dengan siapa saja! Itu adalah haknya”

Jiwa: “Tapi Miftah adalah separuh nyawaku … hiks … hiks …” (tangisan melemah karena lelah)

Hati: “Andai Miftah menikah dengan Meika, gimana perasaanmu?”

Jiwa: “Asaku hancur, pikiranku beku. Tak ada lagi tempat untuk bersandar. Hiks … hiks …(tangisan
Fathiya semakin melemah tak berdaya)

Lamunan Fathiya terhenti manakala Miftah mulai bicara, “Assalamu’alaikum. Yang


terhormat Bapak Imam. Yang terhormat Dhek Fathiya dan Dhek Meika. Saya ke sini membawa
teman sekaligus sahabat saya yaitu Mas Dhipta. Beliau berumur 23 tahun, berprofesi seperti saya
yaitu mempunyai usaha warung bakso. Kedatangan saya ke sini adalah mengantarkan Mas Dhipta
untuk ta’aruf/ berkenalan dengan Dhek Meika. Kita semua tidak ada yang tahu tentang jodoh, tapi
setidaknya kita hanya bisa berusaha untuk menjemput jodoh. Dhek Meika, Mas Dhipta … hehehe …
silakan kalian berkenalan! Boleh senyum, boleh melirik, boleh juga tukeran pin BB, sekalian nanya
alamat FB juga boleh, hahaha.”

Sontak hadirin tertawa. Mengetahui bahwa ternyata yang taaruf tuh bukan Miftah, duh …
jiwa Fathiya tertawa jingkrak-jingkrak. Mendung itu sirna pindah ke Amerika, halah … hahaha.
Aroma kegembiraan terus merasuk ke qolbu Fathiya. Hmm … gadis itu benar-benar sangat rindu
kepada Miftah. Matanya terus menatap Miftah. Mereka terus berpandangan hingga Pak Imam
bingung sambil berkata, “Halooo, ini yang mau taaruf tuh Dhipta ama Meika atau Miftah ama
Fathiya?” Kalimat ini membuat semua tertawa.

Pak Imam: “Saudara, sebenarnya aku sudah kenal cukup lama dengan Mas Dhipta. Dia termasuk
pengurus masjid di sini. Sejak muda dia rajin memakmurkan masjid. Setahun yang lalu dia melihat
seorang gadis yang sangat menarik hatinya. Gadis itu rajin i’tikaf di masjid. Saudara bisa menebak
siapa gadis itu?”

Fathiya: “Pasti Meika, ya?”

Pak Imam: “Sejak saat itu Dhipta memendam cinta yang sangat suci dan menggebu. Diapun
melaksanakan sholat istikhoroh sampai dua bulan berturut-turut.”

Fathiya: “Whattt????”

Pak Imam: “Iya, dua bulan berturut-turut. Bagaimanapun juga namanya memilih jodoh tuh harus
sangat selektif. Setelah istikhoroh, hatinya mantap memilih Dhek Meika. Sekarang terserah Meika,
seneng ama Mas Dhipta … boleh. Atau nggak seneng ama Mas Dhipta juga boleh. Terserah
Sampeyan.”

Meika … dia semakin bingung dan linglung. Matanya terus tertuju ke Fathiya seakan-akan
mata itu berkata, “Piye Mbak?”

106
Jangan Pernah Keluar Rumah Tanpa Membawa Cinta
Akhirnya Miftah berkata, “Dhek Meika, tenang aja! Nggak usah panik. Ini hanya perkenalan biasa
kok. Sampeyan nggak harus memutuskan. Sampeyan bisa berfikir dulu, istikhoroh dulu atau apa.
Waktu masih sangat panjang, hehehe. Fathiya juga menambahkan, “Iya Dhek, nikmati aja
pertemuan ini dengan bersyukur, hehehe. Ntar gue ditraktir bakso salatiga, ya? Hahaha, itu lho yang
ada di Sompok, kayaknya uenak banget.”

Meika tersenyum nyengir mendengar kalimat bakso salatiga. Sambil merapikan jilbab,
diapun berkata dengan sangat tenang.

Meika: “Mas Dhipta …”

Dhipta: “……….”(lagi melamun maksimal)

Meika: “Mas Dhiptaa.” (suara agak keras)

Dhipta: “………” (belum juga terbangun dari lamunan)

Meika: “Mas Dhiptaaa.” (volume suara nambah keras dikit tapi kedengaran mesra)

Dhipta: “Iya Dhek. Duh … maaf … nggak dengar e”

Meika: “Apakah Sampeyan mantap memilihku?”

Dhipta: “Iya. Demi Allah aku mantap.”

Meika: “Apa Sampeyan benar-benar ingin menikah denganku?”

Dhipta: “Disaksikan oleh Pak Imam, Mas Miftah dan Mbak Fathiya, aku berniat menikah denganmu
karena Allah.”

Meika: “Tapi keluargaku sangat miskin. Nih tanya ama Mbak Fathiya, kemarin dia menginap di
rumahku yang sangat kecil.”

Dhipta: “Dhek, aku sudah menyelidiki kamu secara detail dari a mpe z. Aku dah tahu rumahmu,
kerjaanmu, kebiasaan keseharianmu.”

Meika: “Whatttt?????” (wajahnya melongo sambil menatap Dhipta)

Dhipta: “Iya, aku ama Mas Miftah yang menyelidikimu dua bulan terakhir ini. Yang paling
menggetarkan hatiku adalah manakala melihat kamu dan Mbak Fathiya menghidangkan teh hangat
untuk para jamaah yang lagi i’tikaf di Masjid. Duh … kamu bagai bidadari.”

Meika: “Jadi ….”

Dhipta: “Iya, aku mengetahui semua kebiasaanmu.”

Meika tak sanggup lagi bicara tapi hatinya berbunga-bunga. Fathiya berbisik, “Dhek
Meika, kayaknya acara ginian hanya sekali seumur hidup.” Meika menjawab dengan diam tapi
senyum ceria. Meika berbisik, “Sebenarnya … aku pernah bermimpi melihat wajah Mas Dhipta.
Mimpi itu terjadi dua tahun yang lalu. Gak nyangka dia bakal menjadi suamiku. Ya Allah … terima
kasih.”

Fathiya kaget dengan bisikan Meika ini. Sontak Fathiya teriak, “Jadi kamu bersedia menjadi istri
Dhipta????” Semua hadirin kaget, tertegun dan … diam sambil menunggu cemas. Semua mata

107
Jangan Pernah Keluar Rumah Tanpa Membawa Cinta
tertuju ke wajah Meika. Nampak wajah Dhipta panik, bingung dan khawatir berat. Maklum-lah,
namanya aja sudah cinta, andai ditolak … habislah sudah.

Meika kembali merapikan jilbab, sejenak dia menghadap ke langit. Dua detik kemudian,
dia berbisik ke Fathiya. Tak ada yang mendengar bisikan itu kecuali Fathiya. Lima detik kemudian,
Fathiya bicara dengan tenang, “Emm, saudara-saudara, Meika sangat malu. Makanya dia nyuruh aku
untuk menyampaikan ini. Begini, Dhek Meika … dia … dia bersedia menjadi istri Mas Dhipta.”

Kalimat ini bagai aba-aba yang membuat semua hadirin mengucapkan hamdalah
serempak. Belum cukup dengan hamdalah, mereka semua sujud syukur. Yang paling parah tuh
Dhipta, dia sujud syukur mpe air matanya meleleh di lantai.

Nampak air mata Meika membasahi pipi. Air mata kebahagiaan, air mata syukur, air mata
takjub atas kemurahan dari Allah SWT. Berkali-kali Meika memeluk Fathiya. Sama … Dhipta juga
memeluk Miftah dan Pak Imam. Kembali Dhipta memandang Meika dengan senyuman syukur.
Mereka beradu pandang dengan sangat manis. Hmm apa arti pandangan itu? Pasti artinya merried,
hahaha.

Semua hadirin kembali duduk, tiba-tiba Dhipta bicara.

Dhipta: “Mbak Fathiya?”

Fathiya: “I … iya …????” (Fahtiya kaget. Kenapa namanya yang dipanggil, kok bukan Meika?)

Dhipta: “Hmm … terima kasih sudah menjadi sahabat Dhek Meika.”

Fathiya: “Iya, sama-sama Dhek.”

Dhipta: “Mbak, aku akan menyampaikan sesuatu. Dua tahun yang lalu Mas Miftah merasa bersalah
menilai Sampeyan. Ibaratnya kemarin mata beliau tertutup. Sekarang, mata beliau terbuka.
Sekarang beliau baru tahu bahwa Sampeyan benar-benar sangat bertaqwa kepada Allah.”

Fathiya: “Trus … (deg-degan tiba-tiba hadir)

Dhipta: “Mas Miftah minta maaf kepada Sampeyan.”

Fathiya: “Suruh dia minta maaf sendiri! Kan orangnya ada di sebelahmu.” (nada bicara agak manja
dikit, hahaha)

Miftah: “Babe …” (nada bicara begitu lembut, Meika mpe nyengir mendengar kata Babe disebut)

Fathiya: “Iya … (Fathiya tersenyum cerah saat Miftah memanggilnya dengan sebutan Babe)

Miftah: “Aku tak bisa melupakanmu.”

Fathiya: “Banyak gadis yang lebih baik dariku.”

Miftah: “Aku tak bisa melihat ke arah yang lain.”

Fathiya: “Sekarang tak bisa, besok pasti bisa. Aku hanyalah anak polisi kotor yang dibenci
keluargamu.”

Miftah: “Tak ada anak yang bisa memilih orang tua. Hmm … baru hari ini aku memahami kalimat ini.
Babe, khuṇ mī khwām swyngām ” (artinya: kamu sangat cantik)

Fathiya: “…..” (Fathiya kembali tersenyum sambil melirik nakal ke arah Miftah)

108
Jangan Pernah Keluar Rumah Tanpa Membawa Cinta
Miftah: “Babe, dulu kamu pernah berkata: Miftah, Phm rạk khuṇ (artinya: aku cinta kamu). Babe,
apakah kamu masih ingat?”

Fathiya: “……” (Fathiya terus tersenyum hingga gigi serinya kelihatan sangat putih. Aura wajahnya
berubah sangat cerah)

Miftah: “Babe, disaksikan oleh semua yang hadir di sini, demi Allah aku melamarmu.”

Fathiya kaget. Tak disangka Miftah bakalan mengucapkan perkataan seperti itu. Hmm … ibarat ikan,
dua tahun tuh ikan berpisah dari air. Kalimat itu bagai mantra yang menyatukan Sang Ikan dengan
air. Kakinya terasa sangat ringan hingga hampir melayang. Dia berdiri lalu berjalan mendekati
Miftah. Dengan wajah bingung, Miftah-pun berdiri. Mereka berdua berhadap-hadapan. Semua
tegang menunggu.

Fathiya: “Babe, aku rela meninggalkan keluargaku. Ibuk mengusirku. Kini aku miskin, tak punya apa-
apa.”

Miftah: “Kamu sangat bersih, jiwamu sangat suci. Bahkan bidadari kalah sholihah denganmu.”

Fathiya: “Miftah …”

Miftah: “Iya …”

Fathiya: “A .. a … aku tetap seperti yang dulu. Tak ada yang berubah sedikitpun.”

Miftah: “Jadi kamu masih mencintaiku?”

Fathiya: “………” (tersenyum nakal)

Miftah: “Jadi kamu masih mengharapkan aku untuk menjadi suamimu?”

Fathiya: “……”(tersenyum manja)”

Miftah: “Kamu masih sayang aku?”

Fathiya: “……..” (tersenyum syukur)

Miftah: “Maukah kamu menikah denganku?”

Fathiya: “……” (tersenyum sambil mengangguk)

------

109
Jangan Pernah Keluar Rumah Tanpa Membawa Cinta
Bab 14

Trims Karena Sudah Membunuhku

Tahun 2008 di lereng Gunung Lawu

Berkali-kali Fadhli mengusap air mata yang terus menetes. Di punggungnya nampak tas
gunung berwarna hijau dengan isi tenda, sleeping bag, makanan seadanya dan … termos teh panas
bertuliskan kata: Fadhli, tak lain adalah namanya sendiri. Suhu udara lumayan dingin, jam sudah
menunjukkan angka 20.05, jiwanya mantap untuk naik gunung ini.

Fadhli, dia duduk di bangku SMA kelas 3, baru aja selesai UAS, nilainya sangat memuaskan
karena berhasil menjadi ranking satu di kelasnya. Tapi … hmm … Tita … teman satu kelas yang
sangat dia cintai … duh … siang tadi menyatakan bahwa Tita ingin move on aja karena … hmm … tak
ada yang tahu alasannya.

Tanpa mengucap doa apapun, Fadhli dengan emosi melangkahkan kaki menyusuri jalan
makadam yang sangat kasar menuju puncak gunung. Padahal suasana sangat gelap, tapi … hmm …
sakit yang mengiris hati mengalahkan segalanya.

Langkahnya tiba-tiba terhenti manakala Tita telpon.

Tita: “Halo, Fadhli, kamu dimana?”

Fadhli: “…………” (air mata menetes deras)

Tita: “Fadhli, please jawab! Kamu lagi dimana?”

Fadhli: “Hiks …” (tangisan terdengar pelan)

Tita: “Fadhli, aku tahu bahwa hatimu hancur, tapi please … jangan berbuat yang aneh-aneh!”

Fadhli: “Hiks … hiks …” (volume suara tangisan mulai meninggi)

Tita: “Fadhli, apa sekarang kamu lagi kebut-kebutan di jalan tol?”

Fadhli: “……………”

Tita: “Fadhli, apa kamu lagi minum beer?”

Fadhli: “…………..”

Tita: “Fadhli, please jawab! Hiks … hiks … please!!!!!”

Tangisan Fadhli tak terdengar lagi. Sejenak dia mengeluarkan termos dari dalam tas
gunung. Diapun menuangkan sedikit teh panas di gelas penutup termos dan … diapun meminumnya
dengan berat. Setelah tenggorokannya basah, dia mencoba bicara walau terasa hati ini teriris.

Fadhli: “Tita, sudah berapa lama kita berteman?”

Tita: “Se … sejak kelas satu SMP.”

Fadhli: “Saat kelas tiga SMP, kejadian apa yang masih kamu ingat?”

110
Jangan Pernah Keluar Rumah Tanpa Membawa Cinta
Tita: “Saat itu aku sangat kagum atas kepandaianmu. Aku sangat kagum atas kesholihanmu. Aku …
aku cinta kamu.”

Fadhli: “Saat kelas satu SMA, apa yang kamu ingat?”

Tita: “Aku … hiks … aku semakin mencintaimu. Andai saat itu boleh menikah, tentu aku mantap
menikah denganmu.”

Fadhli: “Saat kelas tiga SMA?”

Tita: “Aku memakai jilbab karenamu. Aku mengaji Qur’an juga karena pengaruhmu. Hingga aku
menghafal juz 1, juga karena ingin mirip denganmu.”

Fadhli: “Tapi … hiks … tapi kenapa siang tadi kamu meninggalkanku?”

Tita: “Fadhli, kamu sudah menanyakan hal ini lebih dari 20 kali. Fadhli, aku meninggalkanmu bukan
karena apa-apa, karena aku ingin sendiri.”

Fadhli: “Bohong, kamu pasti sudah punya …”

Tita: “Sumpah, aku enggak punya cowok lain. Kenapa kamu tak percaya kepadaku?”

Fadhli: “Hiks … kamu tega.”

Tita: “Fadhli, lebih baik kita bersahabat saja! Kita bersaudara aja, ya! Seperti kakak adhek …”

Fadhli: “Hiks … hiks …”

Tita: “Sekarang kamu dimana?”

Fadhli: “Di Cemoro Sewu?”

Tita: “Whatttt???? Fadhli, ini malam buta, kenapa naik gunung?”

Fadhli: “Apa pedulimu?”

Tita: “Apa kamu tahu bahwa naik Gunung Lawu melewati Cemoro Sewu tuh jalannya sangat terjal.
Aku gak setuju, mending kamu lewat Cemoro Kandang aja!”

Fadhli gak mempedulikan perkataan Tita. Diapun menutup HP, lalu melanjutkan
perjalanan. Hatinya sudah berserak remuk. Jiwanya terus bertanya pilu, “Kenapa Tita
meninggalkanku?” Sebenarnya raganya lelah karena dari siang tadi belum istirahat, tapi … dia terus
memaksa diri untuk berjalan dan berjalan menyusuri jalanan kasar. Asanya hanya punya satu
keinginan: pingin segera nyampek di pos satu sehingga bisa istirahat bentar sambil makan di
warung.

Empat puluh menit kemudian

Sampailah dia di pos satu. Kebetulan warung masih buka. Diapun langsung memesan kopi
panas, mie rebus dan meminta pemilik warung untuk mengisi termos alumunium yang ada di tas-
nya. Kali ini dia ingin mengisinya dengan teh panas kental tanpa gula. Pahit? Memang. Hmm …
mungkin begitulah suasana patah hati. Semanis apapun makanan dan minuman, rasanya tetap
pahit. Jadi, daripada buang-buang gula, mending gak usah pakai gula. Toh sebanyak apapun gula,
rasanya pahit juga.

111
Jangan Pernah Keluar Rumah Tanpa Membawa Cinta
Hmm, baru asyik menikmati mie rebus, Tita telpon lagi. Sebenarnya, Fadhli gak mau
angkat tuh telpon, tapi … dia melihat display HP … duh … nampak Tita sudah miscall sebanyak 47
kali. Duh …

Tita: “Fadhli, apa kamu jadi naik Gunung Lawu?”

Fadhli: “Iya, kenapa? Apa pedulimu?”

Tita: “Fadhli, please! Jangan lanjutkan! Kamu tahu ini malam apa?”

Fadhli: “Nggak tahu. Yang kutahu kamu meninggalkan aku karena melirik pemuda lain.”

Tita: “Sumpah aku nggak seperti yang kau tuduhkan.”

Fadhli: “Lalu kenapa kamu meninggalkanku?”

Tita: “Kenapa kamu bertanya itu terus? Aku ingin sendiri, titik.”

Fadhli: “Wanita memang pintar menyembunyikan kebohongan.”

Tita: “Fadhli, aku tidak bohong. Please, aku gak mau tengkar lagi. Fadhli, ini malam jum’at kliwon.
Gunung Lawu tuh angker banget. Tolong besok pagi aja kamu naik gunung. Sekarang please kamu
istirahat aja di pos satu!”

Fadhli: “Memang ada apa dengan malam jum’at kliwon?”

Tita: “Duh … Gunung Lawu tuh gunung paling angker se-Pulau Jawa. Ntar kalau kamu naik terus,
maka kamu akan menjumpai pasar setan.”

Fadhli: “Aku nggak takut. Aku memang benci setan, tapi aku lebih membencimu karena siang tadi
kamu memilih move on. Setan jahat, tapi kamu lebih jahat. Setan pembohong, tapi kamu lebih
pembohong dari setan. Tita, nggak nyangka kamu begitu sadis.”

Tita: “Duh … kenapa kamu membahas bab move on terus? Fadhli, dengan siapa kamu naik Gunung
Lawu?”

Fadhli: “Sendiri.”

Tita: “Whatt??????? Fadhli, kamu gak boleh naik! Please jangan naik!”

Fadhli: “Kenapa?”

Tita: “Fadhli, ada peraturan khusus jika mau naik Gunung Lawu tuh harus genap, nggak boleh ganjil.
Satu rombongan boleh dua orang atau enam orang atau sepuluh orang. Nggak boleh ganjil, karena
jika ganjil ntar yang nggenapin adalah …”

Fadhli: “Setan. Apa begitu maksudmu?”

Tita: “I … i … iya. Duh, aku merinding menyebutnya.”

Fadhli: “Emang kalau aku dibunuh setan, kamu peduli aku?”

Tita: “Fadhli, kenapa kamu bertanya seperti itu?”

Fadhli: “Emang kalau aku mati, kamu nangis?”

112
Jangan Pernah Keluar Rumah Tanpa Membawa Cinta
Tita: “Hiks … hiks … kayaknya sekarang kamu sangat membenciku.”

Fadhli: “Aku berusaha untuk setia, tapi kamu malahan memilih pemuda lain.”

Tita: “Hiks … hiks … kenapa kamu menuduhku seperti itu? Dah berapa kali kamu mengulang dan
mengulang tuduhan menyakitkan itu? Fadhli … hiks … hiks … kayaknya kamu sangat membenciku.”

Fadhli: “Tita, sejak kelas satu SMA aku belajar keras hingga dapat ranking satu terus. Apa kamu tahu
kenapa aku melakukan itu? Aku ingin prestasiku ini membuatmu tersenyum.”

Tita: “Oya? Hiks …” (tangisan Tita mulai terdengar pelan)

Fadhli: “Hingga kelas tiga SMA, aku senantiasa ranking satu. Semua itu kupersembahkan untukmu,
supaya kamu senang. Aku ingin jiwamu mengatakan bahwa kamu tak salah memilihku.”

Tita: “Duh … hiks ….”

Fadhli: “Tita, sebulan yang lalu aku mempunyai tekad akan menikahimu. Tekadku sangat bulat. Aku
rajin melaksanakan sholat tahajjud. Doa pertama kali yang kuucapkan adalah supaya kita bisa
menikah. Di pagi hari, selesai sholat dhuha, sama … aku juga terus berdoa supaya kita bisa bersama
hingga akhirat. Selesai sholat fardhu, selesai ngaji, selesai dzikir, doaku yang utama adalah supaya
kamu bisa bersamaku. Tapi … hmm …”

Tita: “Hiks … hiks …” (tangisan terdengar parau)

Fadhli: “Tita, sudah 40 menit lebih aku istirahat di pos satu. Sekarang saatnya aku harus melanjutkan
perjalanan menuju ke pos dua.”

Tita: “Hiks … please jangan mendaki! Ini malam jum’at kliwon. Aku takut kamu bakalan …”

Fadhli: “Mati, apa seperti itu maksudmu?” (volume suara meninggi)

Tita: “Hiks … hiks …”

Fadhli: “Siang tadi, saat kamu mengucap kalimat move on, sebenarnya aku langsung mati. Hmm …
mati asa-ku, mati cita-citaku, mati pengharapanku, mati … mati … hiks … hiks … Tita, aku hakikatnya
sudah mati, kini hanya ragaku yang berjalan. Jiwa … hati … asa … sudah habis … mati.”

Tita: “Hiks …” (tangisan terdengar melengking)

Fadhli: “Tita, gimana rasanya membunuhku? Apa kamu puas?”

Kalimat ini membuat tangisan Tita semakin keras dan menyayat hati. Tapi Fadhli tak
peduli. Dia menutup HP, merapikan tas, dan … kembali kakinya melangkah naik gunung.

Tiga puluh menit kemudian

Jalan menuju ke pos dua semakin sulit, banyak bebatuan yang kalau tak hati-hati, raga
bisa terjatuh. Nafas Fadhli ngos-ngosan. Suasana malam semakin pekat. Cahaya rembulan begitu
malas. Sejenak Fadhli menurunkan tas dari punggungnya. Diapun mengambil termos, meminum teh
pahit beberapa teguk. Selesai minum, tiba-tiba aroma bunga melati tercium. Hmm … aromanya
semakin terasa menyengat. Kini … nampak Fadhli mulai takut. Jiwanya berbisik, “Apa mungkin
Gunung Lawu ini angker?” Saat dia akan mengucapkan dzikir, nampak dari kejauhan ada gadis
berjilbab berlari ke arahnya. Matanya melotot banget manakala melihat ternyata tuh gadis adalah

113
Jangan Pernah Keluar Rumah Tanpa Membawa Cinta
Tita. Hmm … rasa marah bercampur rindu, rasa kesal bercampur cinta, rasa benci bercampur damai
mixing jadi satu di jiwanya.

Tita semakin dekat, mereka berpandangan, saling senyum. Andai mereka nggak takut
dosa, tentu mereka sudah berpelukan.

Tita: “Fadhli, nih kubawakan kopi hangat, silakan diminum!”

Fadhli: “Oya? Terima kasih. Kok kamu begitu cepat nyampek sini?”

Tita: “Aku hobi naik gunung, jadi aku sangat paham dimana posisimu?”

Fadhli: “Emm … bertahun-tahun kamu nggak pernah memakai parfum, kenapa malam ini kamu
memakai parfum melati?”

Tita: “Kalau malam, aku suka memakai parfum ini. Bukan untuk orang lain, tapi untuk diriku sendiri
yaitu terapi parfum.”

Fadhli: “O … baru sekarang aku mendengarnya. Dengan siapa kamu ke sini?”

Tita: “Halah, gak usah banyak tanya! Yuk kita bersama naik gunung ini!”

Fadhli: “Baiklah.”

Fadhi belum sempat meminum kopi hangat pemberian Tita, tiba-tiba HP nya menjerit.
Dilihatnya … Tita call.

“Darrrrrrr,” jantung Fadhli berdegup kencang. Matanya tak berani melihat Tita yang ada di
depannya. Sambil menunduk dan gemetar, dia bicara dengan bibir menempel di HP, “Tita, ka … ka …
kamu dimana?”

Tita: “Aku di rumah. Fadhli, sekali lagi aku minta kamu harus pulang …”

Fadhli: “Tita … di depanku ini juga ada Tita … ada kamu.”

Tita: “Fadhli, aku di rumah. Gadis yang di depanmu itu bukan aku. Please jangan menakuti aku
dong!”

Tangan Fadhli nampak gemetar. Kakinya juga ikut gemetar. Dengan sekuat tenaga, dia
memberanikan diri melihat makhluk yang mirip Tita sambil berkata, “Ka … ka … kamu siapa?????”

Makhluk yang mirip Tita tersebut hanya tersenyum. Dia melangkah menuju ke arah Fadhli.
Jarak mereka semakin dekat … dekat … dekat … kini bibir makhluk yang mirip Tita tersebut sangat
dekat dengan telinga Fadhli. Hmm, aroma ketakutan semakin meradang. Tak tahan dengan semua
itu, akhirnya ”Aaaaakkkhhhhh,” terdengar jeritan Fadhli memecah keheningan malam. Jeritan satu
disusul dengan jeritan kedua, hingga ketiga. Tenggorokan kini terasa kering dan panas. Dari tadi
matanya terkatup, kini setelah beberapa menit, dia memberanikan diri untuk membuka mata dan …
sepi, tak ada apa-apa. Hanya gelap malam dan dinginnya atmosfer serasa semakin menusuk tulang.
Jiwa Fadhli resah, “Duh … lanjut ke puncak gunung apa pulang aja, ya?”

Suasana jiwa yang campur aduk randomizing gak karuan membuat Fadhli terduduk. Mau
pulang … jauh, mau lanjut juga jauh. Belum sempat mikir, tiba-tiba rintik hujan menyapa. Duh …
dengan resah, dia mengeluarkan jas hujan plastik dari dalam tas.

114
Jangan Pernah Keluar Rumah Tanpa Membawa Cinta
Aneh, begitu jas hujan sudah kepakai, tiba-tiba hujan reda. Fadhli semakin dongkol.
Akhirnya, dia lipat kembali tuh jas hujan, lalu dimasukkan ke dalam tas. Matanya sekejap melihat
detik, sudah jam 22.09. Dia melihat langit, hmm … awan mulai hilang berganti bintang yang
berkedip.

Tak disangka, ada rombongan pendaki yang berada di belakangnya. Sontak diapun
jingkrak-jingkrak karena sudah dapat teman. Jiwanya tersenyum, “Ya Allah, terima kasih. Gue
mantap lanjut naik gunung ini.” Rombongan semakin dekat, dekat … dan dekat. Dalam rombongan
itu, jumlahnya kira-kira enam orang. Saat mereka sangat dekat, Fadhli berkata, “Mas, saya ikut
rombongan Sampeyan, ya!” tapi aneh, tuh rombongan bukannya berhenti, malahan pada lari sambil
teriak, “Setannn … setannnn ….”

Fadhli bengong. Hmm … baru kali ini dia mendapat brand ‘setan’. Otaknya blank,
pikirannya buntu, jiwanya marah, “Kenapa mereka takut kepadaku?” Hmm … sejenak dia berfikir …
emm … “Mungkin mereka menyangka bahwa aku sendiri … mirip setan yang akan mengganggu
mereka,” gumannya dalam hati.

Lima menit kemudian, datang juga rombongan yang lain. Kali ini mereka berseragam
kuning-kuning. Kayaknya anak kuliah-an lagi pada ikut program mapala. Mereka semakin dekat,
sama … Fadhli ingin ikut bergabung dengan rombongan mereka. Tak disangka, ketua mereka
berkata, “Maaf Mas, tidak bisa. Jumlah anggota kami sudah genap, kalau tambah Sampeyan, ntar
malahan ganjil. Mas tahu sendiri kalau ganjil, maka yang akan menggenapi adalah … se … se …
setan.”

Kini rombongan sudah pergi lumayan jauh, Fadhli berdiri galau. Akhirnya, dia mantap
mendaki sendiri. Tentang resiko? Ntar aja lah, mikirnya belakangan.

Dua jam kemudian

Tepat jam dua pagi, Fadhli sudah sampai di Sendang Drajat yang letaknya antara pos
empat dengan pos lima. Sejenak dia duduk, mengeluarkan termos dan nyeruput teh pahit. Rasa
pahit yang nyethak membuat kantuk hilang. Malam semakin kelam, kakinya juga terasa sangat
capek, kini dia berusaha untuk mengambil air wudhu di sendang tersebut. Hmm … saat kulitnya
menyentuh air sendang, dia kaget … duh … dinginnya minta ampun, kayak menyentuh es batu.

Selesai wudhu, diapun menggelar sajadah, lalu sholat. Sendiri … sepi, lengang, gelap
pekat, kadang membuat bulu kuduknya berdiri. Fadhli mencoba sholat dengan sekhusyuk-
khusyuknya. Aneh, saat dia melantunkan Al Fatihah, begitu sampai ayat terakhir yaitu ghoiril
maghdhuubi alaihim waladhooliin … tiba-tiba dibelakangnya terdengar suara lima mpe sembilan
orang serempak berkata, “Aminn.”

Mendengar ada suara amin di belakangnya, duh … Fadhli gemetar mpe hampir pingsan.
Dia ingin melihat ada siapa di belakangnya? Tapi dia takut ntar sholatnya batal, gimana? Akhirnya,
dia berusaha untuk tidak menghiraukan walau rasa takut sudah mencekik leher.

Setelah sholat, dia mengecek di sekitarnya, ternyata tak ada orang. Lalu … siapa yang mengatakan
‘amin’? Apa mungkin setan ikut sholat? “Jangan-jangan jin gunung ini ikut sholat?” bisiknya resah.

Fadhli tetap duduk bersila di atas sajadah. Selesai berdoa, dia mengulangi hafalan juz tiga.
Beberapa menit kemudian, karena pinggang terasa capek, dia mencoba rebahan di atas sajadah
dengan mulut yang terus melantunkan juz tiga. Hingga nyampek Surat Al Baqarah ayat 265,
mendadak dia melihat ada gadis berjilbab yang mengambil air wudhu di Sendang Drajat. Sejenak
hafalannya terhenti. Dia terus mengawasi kaki Sang Gadis. Jiwanya berbisik, “Kalau kaki gadis itu

115
Jangan Pernah Keluar Rumah Tanpa Membawa Cinta
melayang, berarti setan, tapi kalau kaki itu nempel tanah, berarti manusia.” Gelap malam membuat
matanya tak bisa melihat kaki tuh gadis. Hmm … dia hanya pasrah. Mau lari … lari kemana? Mau
pulang? Kagak mungkin.

Lamunannya lenyap manakala Sang Gadis itu berkata, “Mas, boleh pinjam sajadah?”
Fadhli bengong sambil mengangguk. Diapun memberikan tuh sajadah dengan mulut terkunci rapat.
Nampak Sang Gadis mengeluarkan mukena dari dalam tas gunung. Dia memakai mukena dengan
sangat cepat, dan … terdengar takbirotul ihram dari bibirnya.

Selagi gadis itu sholat, Fadhli mencoba mencium aroma sekitarnya, apakah ada bau melati
atau enggak. Semenit lebih dia mengecek, ternyata tak ada bau melati. Hmm … hatinya mulai
tenang. Lagi-lagi matanya melihat kaki Sang Gadis … emm … ternyata menempel tanah. Hatinya
bertambah tenang, “Berarti tuh gadis benar-benar manusia,” gumannya sambil nyeruput teh panas
langsung dari mulut termos.

Dingin semakin menusuk tulang, tapi nampak wajah Fadhli mulai cerah. Kini dia
mempunyai teman baru walau masih belum kenal. Beberapa kali dia melihat wajah tuh gadis …
hmm … cantik banget, kayak artis korea, halah … hahaha. Selesai sholat, gadis itu berkata, “Mas,
terima kasih sajadahnya. Kenalkan, nama saya Kayun.”

Fadhli: “Saya … Fadhli. Saya asli Ungaran. Kalau Sampeyan?”

Kayun: “Saya dari Boyolali, Mas.”

Fadhli: “Kenapa naik gunung sendirian?”

Kayun: “Lagi galau, Mas.”

Fadhli: “Lho, kok bisa?”

Kayun: “Sebulan yang lalu aku sudah dilamar ama pacaraku. Akupun menerima lamarannya. Tapi
aneh, menjelang akad nikah, tiba-tiba dia membatalkan semuanya.”

Fadhli: “Jadi, Sampeyan nggak jadi menikah?”

Kayun: “Enggak.”

Fadhli: “Duh, saya ikut prihatin mendengarnya.”

Kayun: “Hmm …”

Fadhli: “Emm, gimana rasanya dikhianati lelaki?”

Kayun: “Rasanya seperti dibunuh, Mas. Dia benar-benar membunuh asa-ku, membunuh cita-citaku,
membunuh semangatku. Kini … aku tak punya apa-apa lagi. Aku … hmm.”

Fadhli: “Nasib kita sama.”

Kayun: “Oya? Kukira hanya lelaki aja yang kejam. Ternyata ada juga gadis yang kejam.”

Fadhli: “Ternyata cinta tuh hanya manis di awal. Sedangkan di endingnya … hmm … beginilah.
Setelah mendaki gunung ini, aku juga nggak tau mau kemana. Mau pulang, malas. Mau sekolah,
malas. Mau main ke teman … malas. Asa-ku benar-benar remuk.”

116
Jangan Pernah Keluar Rumah Tanpa Membawa Cinta
Kayun: “Sama, Sampeyan masih untung jadi laki-laki, gagal satu masih bisa memilih yang lain.
Sedangkan aku, wanita … gagal satu, susah banget mencari gantinya.”

Fadhli: “Tapi Sampeyan cantik banget kayak artis korea, pasti banyak yang naksir.”

Kayun: “Harusnya gitu, tapi … kenyataannya, hmm … alone terus kok, Mas.”

Fadhli: “Apa Sampeyan benci ama lelaki yang menghancurkan pernikahan Sampeyan?”

Kayun: “Iya, tapi aku lebih benci ama diriku sendiri.”

Fadhli: “Lho, kok bisa?”

Kayun: “Mungkin ada yang salah dengan diri ini. Banyak gadis yang begitu mudah membangun
rumah tangga, tapi kenapa aku begitu sulit?”

Percakapan mereka terhenti manakala ada rombongan yang sedang lewat. Mereka
berjalan ngos-ngosan menuju puncak. Mungkin mereka sangat serius ingin melihat sun rise. Fadhli
menghitung jumlah mereka … emmm … ada delapan orang. Akhirnya Fadhli berkata kepada ketua
rombongan, “Mas, apa aku boleh ikut rombongan Sampeyan?”

Ketua: “Rombongan kami pas genap. Kalau ditambah Sampeyan, ntar malahan rombongan kami jadi
ganjil. Saya nggak mau jumlah ganjil, ntar yang nggenapin malahan … se … se … setan.”

Fadhli: “Mas, aku tahu. Tapi aku tidak sendiri. Nih, aku berdua dengan temanku. Namanya Mbak
Kayun. Jadi kalau rombongan Sampeyan berjumlah delapan, lalu ditambah saya dengan Mbak
Kayun, maka pasti genap jadi sepuluh. Tak ada lagi kata ganjil.”

Ketua: “Mas, kulihat Sampeyan sendiri. Mana teman Sampeyan yang bernama Kayun?”

Fadhli: “Ini, yang berdiri di sebelah saya.”

Ketua: “Mana?????” (mulai ketakutan)

Fadhli: “Ini, yang memakai jilbab putih.”

Ketua: “Saya tidak melihatnya.”

Fadhli: “Duh, ini Mbak Kayun persis berdiri di sebelah saya.”

Aneh, mata ketua rombongan nggak melihat Kayun. Sontak seluruh anggota rombongan
lari tunggang langgang sambil berteriak panik, “Setannnnnnnnn.”

Fadhli bengong melihat tuh rombongan lari lintang pukang. Bahkan ada yang hampir
masuk jurang karena saking paniknya. Untunglah teman yang ada di sebelahnya sempat memegangi
tasnya. Sambil geleng-geleng kepala, Fadhli mengarahkan pandangan ke arah Kayun. Hmm, aneh …
Kayun lenyap begitu saja. Fadhli berusaha mencari kesana-kemari, dia juga berteriak memanggil
nama Kayun, tapi … lima menit berusaha, tak juga ketemu. Jiwanya hanya bisa berbisik, “Wahai
Mbak Kayun, please … yuk kita ngobrol lagi! Aku nggak peduli kamu manusia atau bukan, please!!!
Yuk kita bicara seperti tadi! Mbak, nasib kita sama. Mbak, obrolan tadi belum selesai. Yuk kita
lanjutkan!”

Fadhli hanya bicara sendiri, tak ada balasan. Kayun … hmm … dia lenyap ditelan gelapnya
Gunung Lawu. Nampak kedua tangan Fadhli memeluk sajadah yang tadi dipakai Kayun untuk sholat.

117
Jangan Pernah Keluar Rumah Tanpa Membawa Cinta
Sambil memeluk, dia terus terbayang wajah ayu Kayun. Dengan reflek, hatinya menengadah ke
langit sambil berdoa, “Ya Allah, siapa sebenarnya Kayun?”

Lima belas menit kemudian

Fadhli sampai di pos lima. Sejenak dia mengarahkan mulut termos beradu dengan
mulutnya. Hmm … teh tak lagi hangat, bahkan sangat dingin. Sambil santai, dia berbaring di tanah.
Kebetulan disebelahnya ada pohon. Dia mengamati tuh pohon, karena cuaca gelap, diapun
menerangi batang pohon itu dengan senter. Nampak ada kertas pengumumam di pohon itu,
kelihatan juga ada fotonya. Karena dilanda penasaran yang sangat, akhirnya dia berdiri dan
mendekat. Dipandanginya dengan seksama foto itu.

“Darrrrrr,” jantung Fadhli hampir berhenti berdetak manakala foto yang menempel di
batang pohon itu adalah fotonya Kayun. Di sebelahnya ada tulisan, “Telah hilang anak kami. Nama:
Kayun Pramesthi. Barangsiapa berjumpa dengan gadis ini, mohon hubungi nomer telpon …”
Nampak nomer telpon sudah disobek. Mungkin ada yang sengaja menyobek. Atau … duh … jangan-
jangan Kayun sendiri yang menyobek tuh nomor. Jiwa Fahdli semakin bingung bercampur gelisah.

Jiwa: “Ternyata Kayun hilang di Gunung ini.”

Hati: “Kira-kira dia sudah mati atau masih hidup, ya?”

Jiwa: “Hmm, kayaknya sudah mati.”

Hati: “Tapi kenapa tadi dia meminjam sajadahmu untuk sholat?”

Jiwa: “Andai dia hidup, kenapa dia lenyap begitu saja? Kenapa rombongan tadi tak bisa melihat
Kayun?”

Hati: “Hmm … gunung ini menyimpan banyak misteri.”

Jiwa: “Iya, kayaknya mungkin Kayun memilih mati daripada hidup tapi disiksa ama lelaki.”

Hati: “Apa mungkin dia bunuh diri?”

Jiwa: “Bisa jadi. Atau dia disembunyikan ama makhluk halus. Atau … emboh … aku nggak paham.”

Hati: “Andai Kayun bisa ngobrol dengan kita lagi, ya?”

Jiwa: “Iya, aku harap dia mau datang lagi.”

Hati: “Apa kamu nggak takut?”

Jiwa: “Enggak. Aku malahan kasihan dengannya. Kenapa masalah begitu besar menimpanya.”

Hati: “Kayaknya masalah itulah yang membunuh Kayun.”

Jiwa: “Mungkin. Bagaimanapun juga, wanita itu sangat lemah, tak berdaya. Suminten aja mpe gila
karena tak jadi menikah. Kayun … duh … aku ikut prihatin atas musibah yang menimpamu, Mbak.”

Jam empat lewat delapan menit, Fadhli sudah siap akan melaksanakan sholat subuh.
Hehehe, sekarang tuh pemuda sudah berada di Hargo Dumilah, salah satu puncak tertinggi di
Gunung Lawu. Ketinggiannya mencapai 3265 mdpl. Sebenarnya nih gunung nggak tinggi-tinggi amat.
Tapi lumayanlah untuk pemula seperti Fadhli.

118
Jangan Pernah Keluar Rumah Tanpa Membawa Cinta
Termos alumunium sudah terisi penuh kembali. Tadi saat di pos lima, dia membeli teh
panas pahit di warungnya Mbok Yem. Inilah mungkin warung yang letaknya tertinggi di pulau Jawa,
yaitu diatas 3000 meter di atas permukaan laut. Hmm … Mbok Yem, seorang wanita dengan fisik
dan jiwa yang super kuat. Beliau bukannya jualan di kota atau di keramaian, tapi jualan di puncak
gunung untuk melayani para pendaki. Wow, beliau harus masuk daftar orang terhebat di dunia.

Fadhli mulai membentang sajadah. Hatinya berbisik, “Saatnya mengistirahatkan ruh.”


Benar, momen seperti ini sangat jarang, Fadhli mulai konsentrasi. Sejenak hanya Allah yang diingat
dalam sanubarinya. Tita, Kayun, jin, setan, sejenak dia melupakan. Kini raganya berada di ketinggian
3000 meter, dia berharap ruhnya juga semakin dekat dengan Sang Pencipta.

Hampir aja memulai sholat, tiba-tiba ada suara dari belakang, “Mas, apa saya boleh ikut
sholat jamaah?” Fadhli menoleh ke belakang … hmm … seorang gadis manis yang sudah memakai
mukena, tepat berada di belakang Fadhli. Sambil mengangguk, diapun mempersilakan. Gelapnya
suasana, ditambah dengan suhu yang semakin dingin tak membuat Fadhli panik. Dengan mengucap
takbiratul ihram, diapun mulai melaksanakan sholat.

Saat sujud, hmm … dahi menempel sajadah, dia sengaja agak lama dalam posisi seperti ini.
Gak tahu kenapa, mungkin ruhnya ingin berlama-lama sujud dihadapan Allah. Tak lama kemudian,
sholat sudah selesai ditunaikan. Fadhli berdoa, dan diamini oleh gadis yang ada di belakangnya.

Detik sudah menunjukkan jam 04.20, kedua mata Fadhli langsung konsentrasi menatap ke
arah ufuk timur. Bahkan dia tak mempedulikan gadis yang ada di sebelahnya. “Mas, kenalkan, nama
saya Huning,” sapa gadis itu.

Fadhli: “Saya … Fadhli.”

Huning: “Lagi nunggu detik-detik proklamasi ya, Mas?”

Fadhli: “Proklamasi apa?”

Huning: “Detik-detik proklamasi matahari terbit.”

Fadhli: “Hehehe, bener Dhek.”

Huning: “Eh, lihat … ufuk timur sudah mulai berwarna merah.”

Fadhli: “Duh, indah banget. Kayaknya jika ngeliat ginian terus, beratnya masalah hidupku bisa hilang
deh.”

Huning: “Enggih, bener Mas. Tujuan utamaku ke puncak gunung ini juga ingin menghibur hati. Mas,
HP Sampeyan bergetar.”

Fadhli: “Biar aja.”

Huning: “Kayaknya ada telpon, kenapa enggak diangkat?”

Fadhli: “Paling yang nelpon Si Tita. Hehehe, dia sudah call 128 kali sejak empat jam yang lalu, tapi
kubiarkan aja.”

Huning: “Hehehe, kayaknya lagi tengkar ama yayang-nya ya, Mas?”

Fadhli: “Bukan tengkar, tapi move on.”

Huning: “Whatt???? Maaf, saya ikut prihatin mendengarnya.”

119
Jangan Pernah Keluar Rumah Tanpa Membawa Cinta
Fadhli: “Apa kamu pernah merasakan move on?”

Huning: “………….”

Fadhli: “Kok diam?”

Huning: “………..”

Fadhli: “Ya udah, gpp … mungkin kamu nggak suka membicarakan masalah ini. Lihatlah, Sang
Matahari mulai kelihatan sedikit. Wow … very beautiful. Untung aja sekarang cuaca sangat cerah
sehingga setiap sudut langit kelihatan indah dengan sangat detail.”

Huning: “Hehehe … capek-ku langsung hilang melihat sun rise. Ternyata alam sangat ayu ya, Mas?”

Fadhli: “Iya, ustadzku sering menasihatiku supaya sering keluar rumah, melihat alam, melihat ayat
Allah yang terbentang. Mengurung diri di kamar hanya akan menambah gelisah.”

Huning: “Eh, lihatlah awan berarak di bawah kita!”

Fadhli: “Benar. Kalau saat di rumah, yang kita lihat … awan selalu di atas kita. Tapi kalau di sini, hmm
… awan menari di bawah kaki kita.”

Huning: “The beautiful sun perlahan naik ke langit dari balik cakrawala. Perlahan warnanya jingga
berpendar diikuti warna ungu kebiru-biruan. Hatiku terasa hangat hingga seperti meleleh jika
menyaksikan ini semua.”

Fadhli: “Huning …”

Huning: “Enggih Mas …”

Fadhli: “Kapan kamu merasa di puncak kebahagiaan?”

Huning: “Emm … jujur. Saat Mas Anom berniat akan melamarku enam bulan yang lalu, itulah puncak
kebahagiaanku.”

Fadhli: “Berarti bentar lagi kamu menikah. Selamat ya … aku ikut berdoa semoga pernikahanmu
indah, beauty dan …”

Huning: “Mas Anom membunuhku.”

Fadhli: “Duh …”

Huning: “Saat melamarku, dia sudah bekerja. Tapi dua hari kemudian, dia di-PHK. Tanpa pamitan,
dia pergi merantau ke Jakarta. Kabarnya dia sudah dapat kerja. Tapi ketika ku-tanya tentang
masalah lamaran, dia … dia … hiks.”

Fadhli: “Di-cancel, ya?”

Huning: “Hiks … hiks … sakitnya masih terasa pilu hingga sekarang. Padahal orang sekampung sudah
tahu kalau aku akan menikah dengan Anom. Orang sekampung juga tahu tentang batalnya
pernikahan ini. Aku akhirnya menjadi bahan gunjingan para penduduk kampung.”

Fadhli: “Hmm, kira-kira kapan kamu bisa kembali ceria?”

Huning: “Anom sudah membunuhku … membunuh keceriaanku, membunuh kegembiraanku.


Kayaknya, aku sudah tak bisa tertawa lagi.”

120
Jangan Pernah Keluar Rumah Tanpa Membawa Cinta
Fadhli: “Eh, lihatlah matahari semakin naik! Suhu yang dingin membeku, kini perlahan mulai hilang
berganti kehangatan.” (nampak Fadhli mengeluarkan termos dari dalam tasnya. Dia meminumnya
beberapa teguk, lalu menawari Huning untuk minum. Gadis itu mengangguk)

Huning: “Mas, kenapa tehmu pahit banget?”

Fadhli: “Kemarin aku di-move on. Pasca kejadian itu, semua terasa pahit. Bahkan teh manis-pun
terasa sangat pahit. Jadi, daripada buang-buang gula, mending gak usah pakai gula sekalian. Toh,
rasanya sama … pahit.”

Huning: “Nasib kita sama.”

Fadhli: “Penderitaan kita sama. Aku bingung, abis turun gunung, mau kemana? Aku gak mau pulang
ke rumah.”

Fadhli menoleh ke samping, tiba-tiba Huning hilang begitu saja. Padahal sedetik yang lalu
masih ada. “Hmm … siapa dia,” hatinya terus bertanya. Kali ini Fadhli tidak merasa takut. Mungkin
dia sudah memahami tentang karakter Gunung Lawu yang menyimpan banyak misteri.

Aneh, bekas tempat yang di duduki Huning, kini ada burung jalak yang berbulu kuning.
Hmm … aneh, biasanya bulu jalak tuh hitam, atau putih, kadang coklat, tapi ini … kuning. Fadhli
terus memandangi tuh burung. Mata mereka beradu pandang. Lima detik, semenit, lima menit,
mereka masih beradu pandang. Dengan tersenyum Fadhli berkata, “Hai burung jalak, kamu pasti
Huning, hehehe. Tatapan matamu tak bisa bohong. Hai Dhek Huning, kayaknya kamu lebih bahagia
dariku. Dhek, kamu bisa bebas terbang kemana yng kamu suka, kamu bisa bebas melihat ciptaan
Allah yang terbentang. Dhek … aku iri kepadamu. Dhek, sekarang saatnya aku pamit. Aku akan turun
gunung dengan melewati rute yang berbeda. Aku ingin menyusuri rute Cemoro Kandang. Tapi aku
belum pernah melewatinya. Doakan aku moga-moga nggak tersesat.”

Tiga puluh menit kemudian

Fadhli menuruni jalan dengan sangat hati-hati. Rupanya pagi ini rute yang mengarah ke
Cemoro Kandang sempat diguyur hujan walau sedikit, tapi cukup membuat rute sangat licin. Fadhli
terpaksa merangkak karena takut terpeleset. Kalau sampai masuk jurang … duh.

Beratnya medan membuat raga Fadhli tak lagi mempunyai daya. Ibarat HP, tuh battery
sudah low. Aneh, burung jalak kuning senantiasa terbang persis di depan Fadhli. Seakan burung ini
mengajak Fadhli lomba menuruni terjalnya gunung. Jiwanya tersenyum dengan mata terus
menikmati keindahan burung jalak kuning.

Hati: “Hehehe, Dhek Huning terus terbang di depan kita.”

Jiwa: “Bukan Huning, tapi jalak berbulu kuning.”

Hati: “Aku yakin jalak itu adalah Dhek Huning.”

Jiwa: “Kok bisa? Logikanya gimana?”

Hati: “Kenapa harus terus memakai logika? Otakku kalau ditimbang, paling beratnya hanya 1.5 kg.
Hmm … massa segitu kecil takkan mampu menjawab semua fenomena yang ada di alam ini.”

Jiwa: “Benar. Alangkah indahnya jalak kuning itu. Andaikan penggemar burung mengetahui jalak
kuning ini, pasti langsung dibeli, ya?”

121
Jangan Pernah Keluar Rumah Tanpa Membawa Cinta
Hati: “Hehehe, harganya bisa milyaran. Karena jalak yang berbulu kuning hampir mustahil bisa
didapatkan.”

Jiwa: “Eh, lihat! Di depan itu sudah nampak pos lima. Aku mau istirahat dulu.”

Di pos lima ini sekitar jam tujuh pagi, Fadhli langsung berbaring. Sekujur badan terasa
pegal dan linu. Yang paling parah adalah daerah telapak kaki, tulang tumit, hingga otot paha, terasa
sangat linu, seperti abis dipukuli orang sekampung. Sambil terbujur lemah, dia menyeruput
beberapa teguk teh dari termos kesayangannya. Memang rasanya pahit, tapi syukurlah … masih ada
hangatnya sehingga lumayan untuk menaikkan stamina.

Masih dalam posisi baring, samar-samar dia melihat seorang pemuda yang datang menuju
ke arahnya. Hmm … dalam kondisi ngantuk berat karena semalam nggak tidur, dia mencoba
mengingat siapa tuh pemuda. Akhirnya, dengan senyum puas, dia berhasil mengingatnya. Paino …
hehehe … bener. Dia adalah Paino. Seorang pemuda yang pernah tinggal di rumahnya yang ada di
Ungaran. Aslinya tuh pemuda bertempat tinggal di Desa Beruk Kec. Jatiyoso Karanganyar Solo.
Hehehe … padahal letak desa tersebut cukup dekat dari sini. “Gak nyangka bisa seberuntung ini,”
guman Fadhli dalam hati.

Kenapa dulu Paino bisa bertempat tinggal di rumah Fadhli? Paino adalah seorang tukang
bangunan yang ikut merenovasi rumahnya Fadhli. Jadi, karena tuh rumah lumayan luas, sekalian aja
beberapa tukang ikut tidur di situ, daripada nge-kost. Toh kerjaan renovasi paling hanya tiga
minggu. Tapi kebersamaan selama tiga minggu menjadikan mereka akrab. Paino, paling usianya
sebaya dengan Fadhli, tapi badannya sangat kekar. Maklumlah, pekerjaannya sangat berat sehingga
menuntut fisik yang kuat.

Begitu kedua pemuda ini bertemu … hehehe … aroma persaudaraan semakin kental.
Hampir satu jam mereka bicara ngalor ngidul.

Paino: “Gimana rasanya mendaki di gunungku ini, Mas? Apa sudah ketemu ama setan?”

Fadhli: “Hahaha … sttt … jangan ngobrolin setan di sini, ntar dia malah dengar, gimana?”

Paino: “Gue sih gak peduli setan atau jin atau manusia, yang penting ayu dan cantik … halah …
hahaha.”

Fadhli: “Eh, Paino, kenapa kamu bisa nyampek sini?”

Paino: “Bapak Sampeyan telpon aku. Beliau khawatir banget. Makanya aku disuruh mencari
Sampeyan.”

Fadhli: “Oalaaa … maaf kalau kami merepotkanmu, Mas.”

Paino: “Mboten nopo-nopo. Lagian daerah sini juga merupakan area tempat mainku sejak kecil, jadi
mencari Sampeyan ibaratnya seperti mencari di halaman rumah sendiri.”

Fadhli: “Eh, dari sini ke rumahmu, butuh berapa jam?”

Paino: “Kalau memakai kecepatan saya saat berjalan, paling-paling butuh waktu 1.5 jam. Tapi kalau
memakai kecepatan Sampeyan, ya butuh 3 jam. Gimana, mau memakai kecepatan yang mana?”

Fadhli: “Pakai kecepatan helikopter aja, lah … hahaha.”

Dua hari full … Fadhli tidur maksimal di rumah Paino, halah … hahaha. Memang bener kok,
paling dia bangun hanya untuk urusan sholat ama makan, selebihnya … istirahat total. Pengalaman

122
Jangan Pernah Keluar Rumah Tanpa Membawa Cinta
pertama mendaki gunung membuat otot-ototnya pada pecah, kemudian tumbuh otot baru yang
lebih besar. Proses ini duh … sangat menyakitkan. Lain halnya dengan Paino. Dia asli anak gunung.
Sejak kecil sudah terbiasa naik turun gunung. Dia bisa mendaki Gunung Lawu dengan metode lari
sehingga hanya butuh waktu yang sangat singkat. Jika pemuda kota dipaksa mendaki gunung
dengan metode lari … inna lillahi deh … hahaha.

Habis maghrib, suhu atmosfer mulai dingin. Apalagi kabut turun. Hmm, setelah
melaksanakan sholat maghrib di mushola milik Pak Mursito, maka Fadhli langsung berlari. Lari
kemana? Ke gunung lagi? Hahaha, enggak lah. Dia langsung bergegas menuju ke depan api pawon
yang ada di dapur Paino. Fadhli merasa nggak nyaman jika harus duduk di ruang tamu atau di kamar
karena cuaca sangat dingin. Di depan api … inilah yang paling ideal.

Paino: “Mas, mbok Sampeyan tinggal di sini aja! Tuh saya sudah menyiapkan kamar untuk
Sampeyan.”

Fadhli: “Hahaha, pinginnya sih gitu. Suasana di sini … wow … mantap. Rutinitas keseharianku di kota
benar-benar bisa di-cut abiss. Di sini, di lereng gunung Lawu memberiku kedamaian yang luar biasa.
Lima hari lagi aku harus balik ke Ungaran.

Paino: “Mas, ntar abis sholat isya’, Sampeyan disuruh mengisi kultum pengajian di musholanya Pak
Mursito.”

Fadhli: “Whattt???? Kenapa harus aku?”

Paino: “Penduduk sini ingin mendengar ceramah Sampeyan, hehehe.”

Fadhli: “Tapi aku belum bisa ceramah. Aku aja baru kelas 3 SMA.”

Paino: “Sudahlah, kultum kan cuman 7 menit. Jadi, silakan ceramah aja! Materinya terserah
Sampeyan, dan … Sampeyan harus setuju! Hehehe.”

Fadhli: “Baiklah. Moga-moga ceramahku bisa lancar. Mushola itu memang milik pribadi Pak Mursito,
ya?”

Paino: “Benar Mas. Keluarga beliau sangat tekun beribadah. Anak pertama bernama Ummi, dia
masih duduk di bangku kelas 1 SMA. Tuh gadis sangat sholihah, pinter dan pemalu. Bahkan sangat
pemalu. Anak kedua bernama Irzha, masih duduk di SD kelas enam. Tuh anak juga pinter banget
mengaji.”

Fadhli: “Ummi … hmm … kok mendadak aku langsung deg-degan mendengar namanya, ya?”

Paino: “Hahaha, tapi jangan harap Sampeyan bisa melihat wajahnya. Dia sangat pemalu. Kalau
keluar rumah, dia menutupi wajahnya dengan selendang, kadang kain, dan … selalu menunduk.”

Fadhli: “Apa dia cantik?”

Paino: “Pasti, keningnya sangat putih bersih.”

Namanya aja masih sama-sama ABG, kalau sudah ngobrol menyangkut yang ayu-ayu …
wis wis wis … parah … hahaha. Tiba-tiba HP Fadhli menjerit. Dilihatnya, Tita call. Kali ini dia mau
angkat tuh HP. Gimana lagi, sudah 200 lebih Tita call Fadhli, tapi gak pernah diangkat.

Tita: “Kenapa sekarang baru diangkat??” (nada Tita meninggi bercampur dongkol)

Fadhli: “Untuk apa bicara denganmu. Toh kamu juga sudah move on aku.”

123
Jangan Pernah Keluar Rumah Tanpa Membawa Cinta
Tita: “Tapi kita kan masih menjadi sahabat dekat. Bahkan dekat banget.”

Fadhli: “……….”

Tita: “Fadhli, setelah kupikir dengan sangat panjang dan njlimet, emm … emm … kayaknya aku mau
balik lagi deh ama kamu.”

Fadhli: “………..”

Tita: “Aku siap menjadi calon istrimu. Kupikir, kamulah yang terbaik.”

Fadhli: “………….”

Tita: “Aku berjanji takkan menyakitimu, takkan megeluarkan keputusan yang membuatmu
menderita.”

Fadhli: “………….”

Tita: “Fadhli, kamu boleh melamarku setelah selesai kuliah atau setelah kamu kerja. Aku ikut aja.”

Fadhli: “………….”

Tita: “Kenapa kamu terus terdiam?”

Fadhli: “………….”

Tita: “Apakah kamu masih marah? Cobalah untuk mudah memaafkan!”

Fadhli: “……………..”

Tita: “Hmm, sumpah aku gak pernah mencintai pemuda lain selain kamu. Kemarin aku move on tuh
karena jiwaku yang resah dan bingung campur aduk jadi satu. Biasalah yang namanya wanita,
kadang emosi dan perasaan mengalahkan sanubari.”

Fadhli: “Aku takut.”

Tita: “Kenapa takut?”

Fadhli: “Emm … aku membayangkan misal nanti setelah kita menikah, lalu tiba-tiba kamu minta
move on seperti kemarin, duh … aku trauma.”

Tita: “Sumpah, aku nggak bakalan mengatakan itu lagi.”

Fadhli: “Kadang kepercayaan itu ibarat sebuah genting. Jika sudah pecah, takkan mungkin disatukan
lagi. Genting pecah … hmm … yang terbaik adalah mencari genting baru yang masih utuh dan kuat.”

Tita: “Jadi … jadi … kamu gak mau balik ke aku lagi?” (rintihan lirih terdengar sayup-sayup)

Fadhli: “…………”

Tita: “Fadhli, kenapa kamu gak bisa memaafkanku?”

Fadhli: “Andai kamu memukulku, aku masih bisa memaafkan. Tapi untuk masalah ini, aku trauma.
Aku paling tidak suka dengan wanita yang dengan mudah mengucapkan kata putus.”

Tita: “Hiks … hiks …Fadhli … kenapa kamu tega kepadaku?” (tangisan terdengar pilu.”

124
Jangan Pernah Keluar Rumah Tanpa Membawa Cinta
Fadhli: “Tita, semenjak kamu mengatakan move on, sebenarnya aku sudah mati. Kamu sudah
membunuhku. Tita, ketahuilah bahwa Fadhli sudah mati, sekarang hanya raga aja yang berjalan,
sedang kebahagiaan hidupnya sudah mati. Tentu kamu sangat tahu siapa yang tega membunuh
Fadhli.”

Tita: “Duh … aku gak nyangka penderitaanmu begitu mendalam.”

Fadhli: “Hmm, aku nggak pernah mencintai wanita lain selain kamu. Kamu adalah cinta pertama
sekaligus yang terakhir. Tapi … kamu tega banget. Jadi … daripada aku trauma dengan kata move on,
lebih baik aku pergi aja dengan asa yang remuk berserak.”

Tita: “……….” (hanya tangisan yang terdengar semakin kencang)

Fadhli: “Tita, trims karena sudah membunuhku. Tita, gimana rasanya membunuh orang?”

Kalimat terakhir yang terucap dari lisan Fadhli sontak membuat Tita menangis semakin
keras. Tapi … Fadhli sudah lelah, capek. Dimatikannya HP, sejenak pandangannya mengarah ke
Paino, hmm … Paino juga terdiam karena tak mau mencampuri urusan orang. Sambil meminum teh
panas dari termosnya, Fadhli berdiri, melangkah ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu
karena adzan isya’ sudah terdengar.

Lima belas menit kemudian

Sholat isya’ sudah ditunaikan, kini ada hampir 100 jamaah duduk rapi di mushola Pak
Mursito. Nampak jamaah laki-laki duduk di sebelah kanan, sedangkan jamaah perempuan duduk di
sebelah kiri. Fadhli duduk menghadap para jamaah dengan ditemani oleh Pak Mursito dan Paino.

Fadhli mulai ceramah. Inilah cuplikan kalimat yang terucap, “Saudara, semua yang ada di
atas tanah pada hakikatnya adalah tanah. Mushola ini ada tembok. Tembok terbuat dari pasir,
sedangkan pasir diambil dari dalam tanah. Sampeyan semua memakai baju. Baju terbuat dari kapas,
sedangkan kapas diambil dari pohon. Pohon mendapat makanan dari akar, dan akar mendapat
makanan dari tanah. Mobil, ada besinya, dan besi diambil dari tanah. Motor, ada bensinnya, juga
diambil dari dalam tanah. Semua dari tanah dan akan kembali menjadi tanah. Satu-satunya yang
dari langit adalah ilmu. Saudara, ilmu bukan dari tanah, melainkan dari langit. Oleh karena itu,
barangsiapa yang mencintai ilmu, maka ia mencintai barang langit. Jika saudara mengumpulkan
ilmu, memperbanyak hafalan, maka sama saja dengan mengumpulkan barang langit. Orang yang
mempunyai banyak ilmu, banyak hafalan, maka suatu saat ruhnya akan naik ke langit, ke sorga,
itulah kebahagiaan orang yang mencintai ilmu. Sebaliknya, manusia yang hanya mengutamakan
barang tanah, maka ruhnya takkan mampu ke langit melainkan terjepit di dalam tanah bersama
dengan barang yang dicintainya.”

Tiba-tiba ada jamaah yang nyeletuk bicara, “Mas, tuh Dhek Irzha, putra Pak Mursito, dia
sudah menghafal Qur’an dua juz padahal masih SD.” Sontak semua hadirin tepuk tangan dengan
wajah cerah mengarah ke Irzha. Hehehe … Si Irzha dengan malu berkata, “Terimakasih, semoga ini
menjadi motivasi saya untuk lebih giat lagi menghafal.”

Dari arah pojok ada juga yang bicara, “Tapi aku sangat salut ama Dhek Ummi, kakaknya
Irzha. Padahal baru kelas satu SMA, tapi sudah sanggup menghafal 16 juz Qur’an.” Sontak para
hadirin bergembira dan mengarahkan pandangan ke Ummi. Tapi … Ummi sangat pemalu. Bukannya
bicara, dia malahan menutupi wajahnya dengan kain sambil menunduk.

Fadhli juga mencoba mencuri pandang dengan mengarahkan pandangan ke Ummi, tapi …
nihil. Lha gimana lagi, wajah tuh gadis tertutup rapat ama kain selendang, hahaha. Sabar ya, Mas!!!!

125
Jangan Pernah Keluar Rumah Tanpa Membawa Cinta
Selesai acara pengajian, Fadhli semakin penasaran. Jiwanya terus bertanya.

Jiwa: “Baru kali ini aku melihat gadis pemalu.”

Hati: “Kalau di kota kayaknya gak ada lagi yang pemalu, ya?”

Jiwa: “Hehehe, malahan malu-malu’in, hahaha.”

Hati: “Benar. Tapi memang pakaian yang paling indah bagi seorang wanita adalah sifat malu.”

Jiwa: “Oya?”

Hati: “Jika wanita sudah tak punya lagi rasa malu, maka …”

Jiwa: “Hmm, aku jadi semakin penasaran, gimana sih wajah Dhek Ummi?”

Hati: “Cari aja di Facebook!”

Jiwa: “Pasti gak bakalan ada.”

Hati: “Atau besok main ke rumahnya.”

Jiwa: “Huss!!! Itu namanya saru, gak pantas. Ini kampung broo, bukan kota. Di sini adat sopan
santun masih dijaga dengan sangat ketat.”

Hati: “Eh, gara-gara ada Dhek Ummi, sekarang Tita jadi hilang dari memori-mu, ya?”

Jiwa: “Tita dah lenyap, persis kayak di-uninstall, hahaha.”

Hati: “Aku membayangkan, pasti lelaki yang suatu saat menikah dengan Dhek Ummi, adalah salah
satu laki-laki yang paling bahagia di muka bumi.”

Jiwa: “Iya. Dhek Ummi ibarat perhiasan yang paling mahal. Tuh perhiasan disimpan di kotak emas,
lalu dikunci. Trus tuh kotak dimasukkan ke lemari, dan lemarinya juga dikunci. Lemari ditaruh di
rumah … sama … rumahnya juga dikunci dengan gembok yang kuat.”
Hati: “Tuh rumah kayaknya juga diberi pagar, dan pagarnya dikunci juga.”

Jiwa: “Hehehe, bener. Kok jadi ngebahas Dhek Ummi, ya?”

Hati: “Iya, gimana lagi. Wanita itu manis.”

Jiwa: “Bukan manis, tapi harum.”

Hati: “Seperti bunga, ya?”

Jiwa: “Lebih indah dari bunga.”

Hati: “Seperti parfum?”

Jiwa: “Lebih harum dari parfum.”

Hati: “Trus kalau nggak seperti parfum, seperti apa?”

Jiwa: “The real wanita itu ya Dhek Ummi. Andai seluruh gadis negeri ini mempunyai akhlaq mirip
Dhek Ummi, hmm … pasti negeri ini akan menjadi sorga dunia.”

Hati: “Eh, sudah jam 9 malam, kira-kira Dhek Ummi lagi ngapain, ya?”

126
Jangan Pernah Keluar Rumah Tanpa Membawa Cinta
Jiwa: “Duh, kenapa lamunanmu bisa sejauh itu? Please jangan mikir yang macam-macam! Tuh gadis
sudah hafal 16 juz. Pasti malam ginian masih menghafal Qur’an. Mungkin dia menghafal juz 17 atau
mengulangi hafalan yang lalu.”

Hati: “Hmm … kita tinggal di kampung sini aja yuk! Nggak usah pulang ke Ungaran.”

Jiwa: “Huss! Parah loe … hahaha.”

Pagi ini merupakan hari ke enam Fadhli liburan di rumahnya Paino. Udara masih lumayan
dingin, diapun nyeruput teh panas dari termos aluminium-nya. Walau sudah settle di rumah Paino,
tapi termos aluminium tetap rutin diisinya dengan teh panas. Kali ini, dia mengeluarkan tas kecil dari
carrier-nya. Tas itu diisi dengan termos dan … Qur’an kecil. Iya … Fadhli ingin membaca Qur’an di
alam perbukitan sekitar kampung ini.

Semenjak dia rajin mengisi ceramah kultum di mushola Pak Mursito, maka dia cepat
dikenal oleh masyarakat. Tiga hari yang lalu, saat dia lagi jalan-jalan menikmati indahnya perbukitan
di sekitar desa, dia bertemu dengan Pak Minto, salah satu warga kampung. Pak Minto mengajak
Fadhli untuk sarapan di rumahnya. Hmm … kurang sopan rasanya jika menolak ajakan warga.
Akhirnya, diapun sarapan di rumah Pak Minto. Apa menunya? Nasi jagung ama tempe goreng.
Awalnya memang sangat asing dilidah karena seumur hidup belum pernah makan nasi jagung, tapi
lama-lama … emm … tetap asing juga. Fadhli tak bisa menikmati nasi jagung. Dia makan dengan
terpaksa, gimana lagi, gak mungkin menolak ajakan warga.

Kemarin, Fadhli juga di ajak salah satu warga untuk makan siang. Hmm, suasana
kekeluargaan di kampung ini memang patut diacungi jempol. Apa menunya? Sama … nasi jagung
ama tempe goreng. Sengaja Fadhli mengisi piringnya dengan sedikit nasi jagung karena … hmm …
dia benar-benar nggak bisa menikmati nasi jagung.

Di malam hari, selesai mengerjakan sholat maghrib, dia juga diajak oleh salah satu warga
untuk menikmati makan malam di rumahnya. Lagi-lagi nasi jagung yang menjadi menu utama. Hmm
… Fadhli terus mengingat sabda Nabi bahwa tamu itu seperti mayit. Artinya: mayit selalu patuh
kepada siapa aja yang mengurusnya, gak pernah membantah. Hehehe, jika warga memberinya teh
hangat, dia pasti meminumnya. Jika warga memberinya nasi jagung … dia pasti memakannya walau
sedikitpun dia tak bisa menikmati kelezatan tuh nasi.

Pagi ini, saat mau berjalan menikmati keindahan tanaman bawang yang ada dilereng
bukit, e … tak disangka, Si Irzha, putranya Pak Mursito berlari menuju ke arahnya sambil berkata,
“Mas Fadhli, kata Bapak … Sampeyan harus sarapan di rumah saya. Sekarang juga. Kami sudah
menyiapkan sarapan untuk Sampeyan.”

Ajakan ini membuat Fadhli meringis kegirangan. Kenapa? Hahaha …

Jiwa: “Akhirnya, setelah menunggu dan menunggu, kini … ada kesempatan yang sangat bagus untuk
bertemu Pak Mursito dan …”

Hati: “Dan siapa???? Dhek Ummi, ya?”

Jiwa: “Hehehe. Rasa penasaran melihat gimana wajahnya … duh … kayaknya tak bisa dibendung
lagi. Sudah hampir seminggu aku di sini, belum pernah sedikitpun bisa melihat wajah tuh gadis.
Padahal besok aku sudah harus kabur ke Ungaran. Piye jal?”

Hati: “Kalau boleh menebak, pasti wajah Dhek Ummi tuh … cerah seperti rembulan. Jadi, walau
berjalan di kegelapan malam, maka karena aura wajahnya yang bersinar itulah, jalan di sekitarnya
bisa menjadi terang.”

127
Jangan Pernah Keluar Rumah Tanpa Membawa Cinta
Jiwa: “Kalau bibirnya?”

Hati: “Emm … mungkin kayak mangga yang sudah masak. Mak nyuss banget.”

Jiwa: “Wah, parah banget, loe.”

Hati: “Dhek Ummi, jika aku boleh terus menebak … hmm … bahunya sejajar seperti timbangan
emas, lengannya menyiku seperti busur, jari-jarinya panjang dan ramping, selentik rerumputan
hutan. Kukunya seperti mutiara, kulitnya kuning terang, pinggulnya seperti patram keluar dari
cangkang dan pinggangnya seperti daun limas.”

Jiwa: “Eh, ngapain kamu ngebahas mpe pinggang?”

Hati: “Reflek broo, hahaha. Eh, kita dah sampai rumahnya Dhek Ummi. Time for smile and happy,
hahaha.”

Irzha mempersilakan Fadhli untuk memasuki rumahnya. Sejenak Fadhli terpana dengan
keindahan bangunan rumah adat jawa dimana seluruh material bangunan didominasi oleh kayu.
Saat memasuki ruang tamu … dia kaget, ternyata ruangan ini sangat luas, mungkin sekitar 15 meter
x 15 meter. Wow … lapang banget.

Irzha: “Dulu saat kecil, saya suka main sepeda di ruangan ini.”

Fadhli: “Hmm … saking luasnya ruang tamu ini, kayaknya suatu saat kita bisa main futsal di sini ya,
Dhek?”

Irzha: “Hehehe, enggih Mas.”

Fadhli: “Eh, kulihat ke arah atas, emm … kenapa banyak bawang putih yang digantung di atap?”

Irzha: “Begitulah cara penyimpanan yang terbaik untuk bawang putih. Kalau disimpan dekat tanah,
ntar malahan tumbuh e, Mas. Jadi malahan nggak laku dijual.”

Percakapan mereka terhenti manakala Pak Mursito datang. Fadhli langsung menyalami
dan … mereka ngobrol santai.

Mursito: “Mas Fadhli, gimana rasanya tinggal di kampung ini?”

Fadhli: “Luar biasa Pak. Letak kampung ini di lereng Gunung Lawu, dengan pemandangan yang
menghijau, ditambah suasana udara yang sejuk, hmm … rasanya saya pingin banget tinggal menetap
di sini aja, hehehe.”

Mursito: “Kalau dibandingkan dengan di Ungaran?”

Fadhli: “Beda jauh Pak. Di sana sudah banyak PT sehingga polusi udara di mana-mana. Udara di
dalam rumah terasa sangat panas sehingga sulit tidur kalau nggak ada AC atau kipas.”

Mursito: “Irzha, tolong bilang ama Kak Ummi untuk membuatkan teh panas! Buat dua gelas, ya!”

Fadhli: “Emm, Pak … nih saya sudah bawa termos. Isinya juga teh panas.”

Mursito: “Nggak apa-apa. Biar Sampeyan bisa merasakan teh khas rumah ini, hehehe.”

Fadhli: “Enggih Pak. Matur nuwun sanget.”

128
Jangan Pernah Keluar Rumah Tanpa Membawa Cinta
Mendengar kata Ummi disebut, duh … jantung Fadhli mulai berdetak tak teratur. Kadang
cepat, kadang pelan, malahan kadang berhenti, halah … hahaha. Aneh, padahal dia belum pernah
melihat wajah tuh gadis, tapi perasaan grogi, gugup dan salah tingkah terus datang bertubi.

Akhirnya … yang ditunggu datang juga. Dhek Ummi datang ke ruang tamu dengan
membawa nampan yang berisi dua gelas teh panas. Awalnya Fadhli menunduk malu, tapi dia
memberanikan diri untuk melihat wajah Dhek Ummi. Satu … dua … tiga, dipandanginya tuh wajah
dengan seksama … dan … hmm … Dhek Ummi memakai baju muslimah dan … dia terus menutupi
wajahnya dengan selendang kecil. Fadhli … dia tak bisa melihat tuh wajah. Hmm, kepalanya kembali
menunduk agak lesu tapi disembunyikan perasaan ini dalam-dalam.

Semenit kemudian, Dhek Ummi datang lagi dengan membawa nasi jagung dan tempe
goreng. Lagi-lagi Fadhli memandangi tuh wajah tapi … nihil. “Ummi, kenapa Engkau terus menutup
wajahmu?” teriak jiwa Fadhli penasaran.

Hidangan di meja sudah tersedia. Kini mereka berdua menikmati nasi jagung plus tempe
goreng. Semua hidangan dimasak oleh Dhek Ummi. Sambil makan, jiwa Fadhli berdendang.

Jiwa: “Udah enam hari aku tak bisa merasakan enaknya nasi jagung. Tapi sekarang ini … wow … nasi
jagung bikinan Dhek Ummi sungguh lezat. Rasanya top markotop.”

Hati: “Lezat dari mana? Dari Hongkong? Lha wong bahannya juga sama dengan nasi jagung para
penduduk kampung sini. Cara masaknya juga sama. Semua sama. Mana yang beda?”

Jiwa: “Kamu pingin tahu?”

Hati: “Iya …”

Jiwa: “Yang beda adalah chef-nya, hehehehe. Semua bahan dapur jika dimasak oleh chef yang
bernama Dhek Ummi, hehehe … pasti enak, lezat, gurih, jos markojos.”

Hati: “Walau cuman nasi jagung?”

Jiwa: “Benar.”

Hati: “Cinta memang subyektif, ya?”

Jiwa: “Hehehe, aku jadi ingat seminggu yang lalu saat di-move on ama Tita, semua yang kurasakan
terasa pahit. Kini kebalikannya, semua terasa manis dan indah.”

Hati: “Tapi kamu belum melihat wajah Dhek Ummi. Lha iya kalau cantik, tapi kalau jelek, gimana?”

Jiwa: “Bagiku, cinta yang membuat semua tampak cantik.”

Hati: “Kayaknya kamu benar-benar mabuk.”

Acara makan telah selesai. Sambil nyeruput teh panas buatan Dhek Ummi, Fadhli berkata, “Pak
Mursito, besok saya harus pulang ke Ungaran. Pak, sebelum saya meninggalkan kampung ini, saya
minta nasihat dari Panjenengan, apa saja. Saya siap mendengarkan.”

Mursito: “Dhek Fadhli, lihatlah Gunung Lawu ini! Dia sangat besar, tapi nggak sombong. Sebaliknya
gunung ini selalu memberikan keindahan dan kebahagiaan bagi masyarakat. Pesan saya, jika suatu
saat nanti kamu sukses, maka janganlah sombong! Ingat terus kerendah hatian gunung ini! Jadilah
manusia yang bisa memberi manfaat sebanyak-banyaknya kepada masyarakat.”

129
Jangan Pernah Keluar Rumah Tanpa Membawa Cinta
Fadhli: “Nasihat Panjenengan sangat menyentuh kalbu saya, Pak.”

Mursito: “Alhamdulillah. Yang kedua, silakan kamu terus giat mendalami Qur’an! Jangan hanya
berguru kepada satu ustadz, tapi silakan berguru kepada beberapa ulama. Guru Imam Syafi’i juga
banyak. Dengan demikian, maka hatimu akan semakin luas.”

Fadhli: “Enggih Pak.”

Mursito: “Dalam hal tafsir Qur’an, saya memakai tafsir Ibnu Katsir. Tentang fiqih, saya mendalami
buku-buku Imam Syafi’i. tentang bab penyucian jiwa, saya serius menekuni wejangan dari Ibnu
Qoyyim Al Jauziyyah.”

Fadhli: “Wow, pasti ilmu Bapak sangat luas.”

Mursito: “Enggak-lah. Saya sudah tua. Saya sangat mengandalkan para generasi muda untuk
mencintai ilmu islam.”

Sepulang dari Pak Mursito, Fadhli berjalan menyusuri perbukitan yang masih diselimuti
oleh kabut tipis. Sambil berjalan, dia terus mengingat wejangan dari Pak Mursito. Sejenak matanya
melihat pohon rambutan yang berbuah lebat. Diapun duduk dibawah pohon, mengeluarkan mushaf
Qur’an dari dalam tasnya. Semenit kemudian, terdengar lantunan ayat-ayat suci yang terus terucap
dari bibirnya. Suasana ini membuat bumi tak bisa diam.

Bumi: “Ada yang lagi jatuh cinta. Fadhli mengaji dengan hati yang berbunga-bunga.”

Rumput: “Bener. Tapi aku ragu … hmm … apa Dhek Ummi bisa mencintai Fadhli?”

Bumi: “Kayaknya bisa. Lelaki baik dapat wanita baik. Sederhana aja kok kehidupan ini.”

Rumput: “Tapi Dhek Dhek Ummi tuh sangat pemalu. Tuh gadis jarang banget bicara. Wajahnya terus
ditutupi dengan kain selendang.”

Bumi: “Oya, bentar lagi Dhek Ummi akan lewat sini karena dia harus mencari kayu bakar di hutan.
Gimana kalau kita menyuruh Sang Angin untuk meniup selendang yang menutupi wajah Dhek Ummi
sehingga Fadhli bisa ngeliat wajah Ummi?”

Rumput: “Trus, kalau udah ngeliat, lalu ngapain?”

Bumi: “Biar mereka sama-sama jatuh cinta.”

Rumput: “Trus, kalau udah jatuh cinta, ngapain?”

Bumi: “Emm … me … me … menikah.”

Rumput: “Mereka masih sekolah. Enggak, aku enggak setuju dengan pemikiranmu. Biarlah mereka
jauh-jauhan dulu. Aku nggak suka mereka jadian sekarang. Ntar malah mereka malas menghafal,
malas belajar, terus dilanda rindu, piye jal?”

Bumi: “Tapi aku pingin lihat romantisme. Hahaha … sumpah … aku paling suka ama romantisme, air
mataku bisa menetes deras karena saking terharunya.”

Rumput: “Diam! Eh … tuh … liat! Dhek Ummi sudah berjalan menuju arah hutan. Dia … dia lewat
jalan ini. Duh … padahal Fadhli lagi membaca Qur’an. Kalau mata Fadhli melihat Dhek Ummi, pasti
dia langsung menghentikan ngaji.”

130
Jangan Pernah Keluar Rumah Tanpa Membawa Cinta
Bumi: “Berhenti sebentar kan gpp, to?”

Rumput: “Tapi aku takut mereka saling jatuh cinta. Duh … apa yang harus aku lakukan?”

Dhek Ummi berjalan cepat untuk mencari kayu bakar di hutan. Dengan memakai baju
muslimah berwarna abu-abu, ditambah dengan jilbab warna krem, serta selendang kecil yang selalu
menutupi wajahnya, dia terus berjalan cepat. Saat Ummi melewati Fadhli yang lagi mengaji di
bawah pohon rambutan, sebenarnya Dhek Ummi tahu. Tapi … dia sangat malu bertemu dengan laki-
laki. Jadi, dia berjalan menunduk, dengan langkah yang semakin dipercepat. Sedangkan Fadhli, dia
nggak mengetahui kalau gadis pujaannya sedang melintasi jalan makadam yang ada di depannya.

Satu jam berlalu, Fadhli masih terduduk di bawah pohon rambutan. Tangannya juga masih
memegang Qur’an tapi … tertidur, hehehe. Rupanya kesejukan udara di perbukitan ditambah lagi
dengan perutnya yang kekenyangan karena menyantap nasi jagung bikinan Dhek Ummi, sehingga
paling nyaman memang tidur.

Dari jauh, nampak Dhek Ummi menyusuri jalan makadam sambil menggendong ranting-
ranting kayu. Hmm … sungguh aneh, tuh fisik gadis langsing banget, tapi mampu menggendong
ranting kayu yang jika ditimbang, mungkin hingga satu kuintal. Itupun berjalan dengan kondisi jalan
yang menanjak. Dhek Ummi terus berjalan, dan sekarang dia melewati pohon rambutan dimana
Fadhli tertidur dibawahnya. Sejenak tuh gadis terdiam, berhenti berjalan dengan mata terus terpaku
ke wajah Fadhli yang asyik tidur. Jiwa Dhek Ummi mengembara.

Jiwa: “Mas Fadhli, ternyata ganteng juga, ya?”

Hati: “Benar. Kalau dinilai … emm … 80 lah, hehehe.”

Jiwa: “Jangan 80, to! Pelit banget loe kasih nilai. Gimana kalau 95?”

Hati: “Boleh. Dia rajin ngaji, ya?”

Jiwa: “Juga rajin belajar. Kuanalisa, kualitas ceramahnya di mushola juga sudah setara dengan para
ustadz di kabupaten ini. Mungkin karena tinggal di kota sehingga akses ilmu islam sangat banyak.”

Hati: “Emm … sejak baligh mpe sekarang, kalau kuingat, kayaknya kamu belum pernah
memperhatikan cowok sedetail ini. Kenapa?”

Jiwa: “Emm … emm …”

Hati: “Besok Fadhli sudah harus pulang ke Ungaran. Gimana perasaanmu?”

Jiwa: “Aku ingin … aku ingin dia lebih lama di sini, biar bisa mengisi kultum terus di mushola kita.”

Hati: “Apa ada keinginan lain?”

Jiwa: “Emm … apa aku boleh terus terang?”

Hati: “Iya.”

Jiwa: “Saat melihatnya pertama kali, badanku gemetar. Keringat dingin terus mengucur. Padahal aku
belum pernah mengalami keadaan seperti ini.”

Hati: “Siapa tahu maag-mu kambuh.”

Jiwa: “Aku nggak punya riwayat sakit maag.”

131
Jangan Pernah Keluar Rumah Tanpa Membawa Cinta
Hati: “Atau pas saat itu pulsa HP-mu abis.”

Jiwa: “Halah, apa hubungan pulsa dengan gemetar? Nggak usah bergurau!”

Hati: “Andai Fadhli naksir kamu, apa kamu mau?”

Jiwa: “Hehehe …”

Hati: “Andai tuh pemuda mencintaimu, apa kamu terima?”

Jiwa: “Hahaha …”

Hati: “Kok cuman tertawa?”

Jiwa: “Aku belum pernah merasakan jatuh cinta, jadi aku nggak tahu gimana harus menjawabnya.”

Hati: “Eh, lihat! Kayaknya Fadhli sudah mau bangun tidur, yuk kita cepat kabur!”

Dua hari kemudian

Fadhli sudah di Ungaran. Tadi pagi sudah masuk sekolah. Memang raganya di Ungaran,
tapi hatinya terus mengembara ke lereng Gunung Lawu, tepatnya kepada jiwa yang mempunyai
nama … Dhek Ummi. Tak disangka, gadis itu benar-benar membuat Fadhli sakit. Bukan sakit kepala,
karena kalau sakit kepala mah obatnya gampang, tinggal beli aja di apotek. Tapi ini sakit rindu.
Obatnya hanya satu yaitu … ketemu.

Kegalauan inilah yang akhirnya memaksa dia berkonsultasi serius dengan ilmu yang ada di
dalam dada.

Jiwa: “Wahai ilmu, apa kabar?”

Ilmu: “Kabarnya, kurang menggembirakan, bos.”

Jiwa: “Lho, kok bisa?”

Ilmu: “Begini, akulah yang bertanggung jawab mengelola semua hafalan yang ada di otakmu.”

Jiwa: “Coba jelaskan dengan sederhana aja! Nggak usah terlalu detail.”

Ilmu: “Gini bos, kuibaratkan otakmu tuh seperti 12 hard disk. Hard disk pertama berisi memori
hafalan juz 1 mpe 2. Kondisi mereka aman, gak ada memori yang korup atau terhapus.”

Jiwa: “Bagus-lah. Capek-capek menghafalnya, kalau sampai hilang … duh …”

Ilmu: “Hard disk kedua menyimpan data hafalan antara juz 3 mpe 4. Di sini ada masalah serius.”

Jiwa: “Kok bisa?”

Ilmu: “Ada semacam virus yang menyerang sehingga 30% memori hilang.”

Jiwa: “Apa nama virusnya?”

Ilmu: “Emm … nama virusnya … Dhek Ummi.”

Jiwa: “Halah, pasti kamu bergurau.”

132
Jangan Pernah Keluar Rumah Tanpa Membawa Cinta
Ilmu: “Bener kok Bos. Di hard disc kedua ini, duh … virus Dhek Ummi menggerus data hafalan. Kalau
virus ini nggak segera dibuang, kayaknya memori di hard disk kedua ini bakalan abis karena
dikacaukan oleh virus ini.”

Jiwa: “Hmm, gimana cara menghapus virus Dhek Ummi?”

Ilmu: “Tolong lupakan dia! Nggak usah mikirin dia! Konsentrasi menghafal dan belajar! Semakin
kamu rindu Dhek Ummi, maka hafalanmu akan kacau.”

Jiwa: “Apa ada cara lain selain itu?”

Ilmu: “Emm … lamar aja Dhek Ummi! Maka yang awalnya virus, dia akan berubah menjadi tune up-
nya otak, memorimu akan benar-benar fresh.”

Jiwa: “Duh, kayaknya gak mungkin. Gue masih kelas 3 SMA. Andai gue sudah kuliah semester akhir,
pasti gue akan melamarnya. Hmm … tolong carikan jalan keluar yang lain!”

Ilmu: “Bos, syarat cinta tuh harus dekat. Kalau berjauhan, maka bakalan menyiksa. Gimana kalau
kamu pindah rumah- tinggal di rumah Paino sehingga bisa terus dekat Dhek Ummi.”

Jiwa: “Enggak mungkin. Cepat cari solusi yang lain!”

Ilmu: “Kamu harus berani membunuh tuh virus. Nggak ada cara lain selain dengan melupakan Dhek
Ummi. Dengan begitu, maka memori-mu terselamatkan.”

Jiwa: “Nggak, aku mencintainya melebihi cintaku kepada diriku sendiri.”

Ilmu: “Tapi tuh virus yang akan menghabisi memori hafalanmu.”

Jiwa: “Duh …”

Ilmu: “Mana yang kamu pilih? Milih hafalan atau milih Dhek Ummi?”

Jiwa: “………” (kepala terasa nyut – nyut)

Ilmu: “Gimana Bos?”

Jiwa: “Emm … gimana kalau kubiarkan virus itu hidup berdampingan dengan memori hafalanku. Apa
bisa?”

Ilmu: “Enggak. Virus ama memori ibarat api ama kayu. Mereka nggak bisa hidup bersama.”

Jiwa: “Duh, gimana kalau virus Dhek Ummi kita pelihara di hard disk nomer 10. kita biarkan dia
membesar, tapi hanya di hard disk nomer 10, nggak boleh menyebar ke hard disk yang lain.
Gimana?”

Ilmu: “Hmm, gimana caranya?”

Jiwa: “Ya … dalam sehari aku akan menghafal 5 jam, tapi kadang sejam kugunakan untuk melamun
Dhek Ummi. Tapi aku akan berusaha memisah antara hafalan dengan lamunan. Aku gak bakalan
mencampur adukkan itu.”

Ilmu: “Hmm … aku gak tahu.”

Jiwa: “Dah, kamu tenang aja! Biar gue yang manage ini semua.”

133
Jangan Pernah Keluar Rumah Tanpa Membawa Cinta
Ilmu: “Bos, sekali lagi kalau aku boleh usul … hmm … virus itu berbahaya. Gak ada orang yang mau
memelihara virus.”

Jiwa: “Aku sangat mencintai virus ini.”

Ilmu: “Bos, dulu pernah ada muslim yang secara tak sengaja bertemu dengan wanita yang sangat
cantik. Dia langsung jatuh cinta. Semakin hari cintanya semakin membesar. Dia shock manakala
mengetahui bahwa wanita itu ternyata adalah kakak iparnya sendiri.”

Jiwa: “Berarti wanita itu bagai virus yang menyebar di memorinya, ya?”

Ilmu: “Benar.”

Jiwa: “Saatnya membersihkan virus.”

Ilmu: “Logikanya memang seperti itu, tapi dia tidak mampu. Cintanya terlalu besar. Dia menahan
sekuatnya. Sehari, seminggu, sebulan, dia terus menahan mpe sakit. Akhirnya … karena tak mampu
lagi menahan cinta yang demikian menggelora. Dia … akhirnya … inna lillahi.”

Jiwa: “Whattt????? Emangnya virus bisa merusak hardware?”

Ilmu: “Bisa. Jika virus terlalu banyak dan aktif, maka bisa memaksa hardware kerja super keras.
Kadang hardware gak mampu sehingga rusak. Sama dengan cinta. Kadang cinta membuat Si
Empunya mabuk kepayang hingga terus-terusan kebayang Si Dia. Akhirnya, makanpun malas, kerja
… malas. Ibadah … malas. Karena sering dilanda rindu yang berkepanjangan, raganya menderita,
jantungnya tak beraturan dan … good bye.”

Jiwa: “Hmm, kayaknya aku gak bakalan separah itu.”

Ilmu: “Hehehe, kita liat aja nanti!”

Fadhli tiba-tiba merasa haus. Seperti biasa, dia minum hanya dari termos alumunium
kesayangannya. Tapi mendadak mukanya pucat. Ternyata, termos gak ada. Dia nge-cek di tas
carrier, nihil. Cek di rak, lemari, dapur, ruang tamu … nihil semua.

Jiwa: “Tolong kamu ingat-ingat … dimana terakhir aku meletakkan termos alumunium
kesayanganku?”

Ilmu: “Emm … aku lupa e, Bos.”

Jiwa: “Duh, kenapa kamu bisa lupa?”

Ilmu: “Virus Dhek Ummi menggerus memori bagian ini.”

Jiwa: “Duh, tolong ingat sekali lagi! Please!”

Ilmu: “Emm ……”

Jiwa: “Kenapa lama?”

Ilmu: “Lelet e, bos. Virus Dhek Ummi memang digjaya.”

Jiwa: “Please jangan nyindir aku terus, to!”

134
Jangan Pernah Keluar Rumah Tanpa Membawa Cinta
Ilmu: “Data tentang keberadaan termos mulai ada titik terang. Ada dua kemungkinan: kemungkinan
pertama, tertinggal di rumahnya Dhek Ummi. Kemungkinan kedua, tertinggal di bawah pohon
rambutan di Desa Beruk, kampungnya Dhek Ummi.”

Jiwa: “Hmm … padahal lima tahun ini aku selalu minum dengan termos itu.”

Ilmu: “Beli lagi, Bos.”

Jiwa: “Kenangan bersama termos itu sudah terlalu banyak.”

Ilmu: “Gimana kalau call Paino?”

Jiwa: “Enggak usah. Ntar dikira aku lebay. Sudahlah … ikhlas-kan aja!”

Ilmu: “Good decision, Bos.”

Acara tafakkur terhenti manakala ada telpon masuk. Dilihatnya display HP … ternyata dari Zienta,
sahabat Tita.

Zienta: “Assalamu’alaukum.”

Fadhli: “Walaikum salam. Tumben telpon, ada apa, fren?”

Zienta: “Emm … Tita masuk rumah sakit.”

Fadhli: “Halah, pasti bohong.”

Zienta: “Ya udah kalau gak percaya. Bye … wassalam.”

Fadhli: “Eh, tunggu bentar. Emm, apa kamu serius?”

Zienta: “Hadeuh, kamu tuh gimana, to? Namanya sakit juga serius, masak pura-pura sakit. Fren, aku
cuman ngabari. Kamu mau bezuk … monggo, nggak bezuk juga gpp.”

Fadhli: “Rumah sakit mana?”

Zienta: “Di Elisabeth Semarang.”

Satu jam kemudian, Fadhli sudah duduk di depan Tita yang tergolek lemas di ranjang
rumah sakit. Sebenarnya, sudah dari 20 menit tadi Fadhli datang, tapi saat mau masuk ke kamar
tempat Tita dirawat, emm … dia melihat Tita lagi baring sambil mengulangi hafalan. Jadi, dia
menunggu sebentar di luar. Kini Tita sudah selesai mengulangi hafalan, maka Fadhli memberanikan
diri untuk masuk dan face to face. Awalnya, Tita tersenyum melihat Fadhli datang. Senyum berubah
menjadi riang …

Fadhli: “Tita, gimana dengan sakitmu?”

Tita: “Cuman maag ama tensi. Tapi kayaknya maagnya yang parah. Biasalah … mungkin efek dari
memikirkan seseorang yang bernama Fadhli.”

Fadhli: “Hahaha. Guyonan yang bagus, hahaha.”

Tita: “Nggak guyon kok, serius. Aku juga heran, kenapa aku bisa KO hanya gara-gara memikirkan
pemuda itu.”

Fadhli: “Sekarang pemuda itu ada di hadapanmu.”

135
Jangan Pernah Keluar Rumah Tanpa Membawa Cinta
Tita: “Iya, aku bersyukur bisa sakit?”

Fadhli: “Whatttt????”

Tita: “Memang pedih. Tapi dengan sakit inilah, kita bisa berjumpa face to face. Andai aku nggak
sakit, tentu kamu nggak bakalan nengok’in aku.”

Fadhli: “Kita tetap sahabat kok. Malahan jadi saudara. Jadi sesama saudara pasti saling membantu.”

Tita: “Fadhli, apa aku boleh curhat?”

Fadhli: “Iya …”

Tita: “Aku sangat paham bahwa kamu sudah nggak mau sama aku lagi. Aku sadar betul itu. Tapi,
kenapa aku sulit menghapus cinta ini? Dari dulu mpe sekarang, cintaku kepadamu tak berkurang
sedikitpun.”

Fadhli: “Hmm …”

Tita: “Fadhli, gimana cara menghapus cinta ini? Kalau aku gagal menghapusnya, hmm … kayaknya
sakitku gak bakalan sembuh-sembuh.”

Fadhli: “Coba lupakan aku!”

Tita: “Gimana cara melupakanmu? Apa di-delete? Aku sudah mencoba, tapi semakin berusaha
melupakanmu, malahan semakin teringat ama kamu.”

Fadhli: “Oya?”

Tita: “Iya, historis kita sudah terlalu panjang. Bertahun-tahun kita ngaji bersama, menghafal
bersama, berbuat kebaikan juga sering bersama. Hmm … kadang aku mpe nangis jika harus men-
delete ini semua.”

Fadhli: “Coba ingat terus akan keburukanku, ingat terus akan kejahatanku, maka lama-lama kamu
akan membenciku.”

Tita: “Aku nggak pernah melihat keburukanmu. Aku juga nggak pernah menyaksikan kamu berbuat
jahat. Yang kulihat, kamu rajin sholat dhuha di masjid sekolah, kamu rajin menghafal, kamu …
sudahlah …”

Fadhli: “……..” (menoleh ke samping sambil garuk-garuk kening)

Tita: “Fadhli …”

Fadhli: “Iya …”

Tita: “Misalkan ada manusia yang mempunyai kebaikan sebanyak 100, kemudian dia berbuat jahat
sekali, gimana menurutmu?”

Fadhli: “Dia tetap baik. Menurutku … kebaikan bakalan menghapuskan dosa dan kesalahan.”

Tita: “Fadhli, maaf … menurutku, aku sudah berbuat kebaikan begitu banyak untukmu. Hmm … aku
hanya membuat satu kesalahan saja, tapi kenapa kamu menghukumku dengan sangat berat?
Kenapa kamu nggak mau balik lagi ama aku?”

Fadhli: “Tita … apa aku boleh cerita masa lalu?”

136
Jangan Pernah Keluar Rumah Tanpa Membawa Cinta
Tita: “……..” (mengangguk)

Fadhli: “Saat aku duduk di bangku kelas 2 SMP, ibukku sering marah-marah kepada Bapakku hanya
gara-gara masalah keuangan. Bapak tidak menanggapi, tapi Ibukku pernah marah besar sampai
terucap satu kata: dia mau pisah.”

Tita: “Hmm …”

Fadhli: “Kata ‘pisah’ itu … duh … bagai pisau berkarat yang mengiris urat nadiku. Andai nggak takut
durhaka, tentu aku sudah memaki-maki Ibukku.”

Tita: “………..” (melongo dengan wajah sedih)

Fadhli: “Sejak saat itu, aku sangat membenci satu kata yaitu ‘pisah’, move on, atau sejenisnya.”

Tita: “Duh, aku nggak menyangka masa lalumu pedih.”

Fadhli: “Iya. Sudahlah … walau kita nggak bisa menjadi suami istri, tapi tetap bersaudara. Oya, aku
ada usul.”

Tita: “Apa?”

Fadhli: “Cobalah untuk naik Gunung Lawu. Kamu kan hobi juga naik gunung.”

Tita: “Dah dua tahun ini aku nggak naik gunung. Otot-ototku nggak sekuat dulu. Lagian, aku malas
naik gunung sendiri.”

Fadhli: “Gini, ntar kamu mampir dulu di Desa Beruk, Kec Jatiyoso. Di kampung itu, bilang aja kepada
penduduk kampung bahwa kamu adalah adiknya Fadhli. Ntar kamu bakalan ditemani naik gunung
oleh orang kampung situ.”

Tita: “Oya, memangnya orang sekampung pada kenal kamu?”

Fadhli: “Seminggu aku di situ. Tiap hari ceramah kultum di mushola-nya Pak Mursito, salah satu
tetua kampung. Jadi, aku sangat dikenal oleh warga kampung. Mereka sangat akrab denganku bagai
anak sendiri.”

Tita: “Hmm … coba kupikir dulu.”

Fadhli: “Di sana, kamu bisa naik gunung, main di ladang jagung, ladang bawang, atau hutan pinus.
Pokoknya kamu bakalan fresh. Warga di sana sangat menghormati aku. Jadi kalau kamu mengaku
adikku, pasti mereka juga sangat menghormatimu.”

Tita: “Fadhli, trims ya ….”

Enam hari kemudian, Tita sudah sembuh. Kini, dia mulai menjauhi Fadhli. Bukan karena
benci, tapi … dia ingin mengatur irama hati. Logikanya … tidak mungkin terus-terusan dekat dengan
orang yang tidak mencintainya.

Usahanya berhasil. Setahun kemudian, dia sudah duduk manis di Fakultas Hukum Undip,
sedangkan Fadhli di Fakultas Ekonomi Undip. Walau mereka satu Universitas, tapi sudah sangat
jarang bertemu. Jiwa Tita sudah stabil, mulai bisa melupakan Fadhli. Sedangkan Fadhli sangat asyik
dengan kuliah sehingga virus yang bernama Dhek Ummi mulai hilang dari pikirannya.

Empat tahun kemudian

137
Jangan Pernah Keluar Rumah Tanpa Membawa Cinta
Sebenarnya Fadhli diterima bekerja di salah satu perusahaan besar di Jakarta. Tapi …
beratnya settle di kota se-semrawut Jakarta membuatnya lemes. Dia lebih nyaman tinggal di
kotanya sendiri. Karena dia lulusan ekonomi maka dia lebih nyaman meracik materi ekonomi
managerial untuk kariernya sendiri. Dengan bekal 350 juta uang pemberian orang tuanya, dia
mendirikan toko komputer. Memang toko miliknya nggak begitu besar, labanya juga belum
signifikan, tapi ibarat tangga, dia sudah menapaki dua hingga tiga anak tangga. Dia optimis, ke
depan pasti ada harapan yang lebih baik.

Sambil mengelola toko, dia tetap stabil rajin menghafal qur’an. Tentang bab penyucian
jiwa, tuh pemuda benar-benar hanyut dalam samudra ilmu yang ada di buku-buku Ibnu Qoyyim Al
Jauziyyah. Saat buka FB, banyak teman-temannya yang mempermasalahkan tentang perbedaan
pendapat, perang pemikiran, hingga debat kusir, tapi Fadhli … hehehe … dia nyantai, menikmati
keindahan ilmu islam, tidak larut dalam pertentangan dan perdebatan. Dia … mulai memahami
tentang islam kafah. Fadhli … jiwanya tenang, pikirannya nyaman, hatinya sejuk karena mencintai
ilmu dan meninggalkan perdebatan.

Setiap hari senin tokonya libur. Karena ingin refreshing, dia sejenak menikmati hari ini
dengan menyantap salah satu menu KFC di Banyumanik Semarang. Dia berencana … setelah di KFC,
maka akan langsung ke Gramed yang ada di Jalan Pemuda Semarang.

Detik menunjukkan jam dua siang. Kebetulan restauran KFC lumayan sepi, padahal
biasanya ramai. Hanya empat mpe enam pelanggan yang nampak. Fadhli duduk manis di kursi
sambil menikmati renyahnya daging ayam restaurant ini. Saat minum softdrink … ada yang aneh, di
depannya nampak ada akhwat yang duduk dengan posisi membelakanginya. Tuh akhwat memakai
baju warna biru muda, dibalut jilbab warna putih. Keanehan terletak di meja akhwat itu … tuh
akhwat membawa termos alumunium bertuliskan nama … Fadhli. Kenyataan ini membuat jiwa
Fadhli bertanya-tanya.

Jiwa: “Termos itu, pasti milikku yang hilang beberapa tahun yang lalu di Desa Beruk, kampungnya
Paino.”

Hati: “Apa kamu yakin?”

Jiwa: “Iya, yakin banget. Termos itu … duh … aku rindu banget. Tapi, siapa akhwat yang
membawanya?”

Hati: “Tuh akhwat nggak kelihatan wajahnya karena lagi duduk membelakangi kita. Gimana kalau
sekarang kita lihat wajahnya?”

Jiwa: “Emm … kok aku jadi deg-degan, ya?”

Tanpa pikir panjang, Fadhli langsung berdiri … melangkah menuju ke depan tuh gadis.
Alangkah kagetnya Fadhli, tuh akhwat mirip banget ama Laudya Bella dalam film Assalamu’alaikum
Beijing. Fadhli hanya bengong karena tidak mengenal tuh gadis. Tapi sebaliknya, tuh gadis
tersenyum sambil berkata, “Mas Fadhli, ya?” Mereka berpandangan, Fadhli semakin bingung,
kenapa tuh gadis mengenalnya? Tanpa bisa berfikir apa-apa, Fadhli mengangguk sambil bertanya,
“Dhek, kamu siapa? Apa aku mengenalmu?” Lagi-lagi tuh akhwat tersenyum manja sambil berkata,
“Saya adalah Ummi, putrinya Pak Mursito dari Desa Beruk. Itu lho yang letaknya di lereng Gunung
Lawu.”

Kalimat ini membuat jiwa Fadhli kaget mpe pingsan, tapi nggak jadi pingsan karena di depannya ada
gadis super ayu, halah …. Hahaha.

138
Jangan Pernah Keluar Rumah Tanpa Membawa Cinta
Jiwa: “Wahai ilmu, coba perhatikan Dhek Ummi! Gimana?”

Ilmu: “Wah, persis banget ama Laudya Bella. Tapi postur tubuh Dhek Ummi lebih tinggi dikit.”

Jiwa: “Dia pakai jilbab putih, hmm … kulit wajahnya nampak sangat putih.”

Ilmu: “Kalau dia memakai jilbab hitam, malahan semakin ayu dan beauty.”

Jiwa: “Oya?”

Ilmu: “Gadis ayu tuh memakai baju apa aja pasti cocok. Memakai baju compang camping aja
kelihatan sangat indah.”

Jiwa: “Halah … gak usah membayangkan terlalu jauh!”

Ilmu: “Bos, dulu gadis ini sempat menjadi virus di kepalamu.”

Jiwa: “Sttt … jangan lagi membahas masa lalu!”

Semenit kemudian , mereka nampak duduk bersama. Fadhli merasakan salju turun di
sekitarnya. Dhek Ummi … nampak hatinya sangat damai. Aura wajahnya juga sumringah. Inilah
obrolan paling manis yang pernah mereka rasakan.

Fadhli: “Dhek, gak nyangka bisa ketemu Sampeyan di sini. Aku nggak kenal ama kamu karena dulu
kamu selalu menutupi wajahmu dengan selendang kecil.”

Dhek Ummi: “Iya, aku sangat pemalu.”

Fadhli: “Emm, tapi aku malahan sangat salut dengan gadis pemalu. Bagiku, kewibawaan seorang
gadis terletak pada sifat pemalu-nya itu.”

Dhek Ummi: “Apa Sampeyan masih kuliah?”

Fadhli: “Aku sudah kerja, Dhek. Tapi buka usaha sendiri yaitu toko komputer.”

Dhek Ummi: “Wow keren. Selamat ya, Mas. Saya ikut senang.”

Fadhli: “Iya. Kalau Sampeyan?”

Dhek Ummi: “Aku sekarang menjadi guru Madrasah Aliyah Negeri (MAN) di Karanganyar Solo, Mas.”

Fadhli: “Oya? Mantap Dhek … hehehe, aku ikut bangga mendengarnya.”

Dhek Ummi: “Kapan-kapan mbok saya dikenalkan ama istri Sampeyan?”

Fadhli: “Istri? Saya belum punya. Justru ini lagi mencari, tapi gak ketemu-ketemu, hehehe. Kalau
Dhek Ummi, pasti suaminya guru juga, ya?”

Dhek Ummi: “Saya belum mempunyai suami, Mas.”

Fadhli: “Kenapa?”

Dhek Ummi: “Belum ada yang cocok e, hehehe.”

Fadhli: “Moga-moga cepat ketemu jodoh ya, Dhek.”

139
Jangan Pernah Keluar Rumah Tanpa Membawa Cinta
Dhek Ummi: “Amin. Mas, ini termos-mu. Kupakai selama bertahun-tahun. Hehehe, nyaman banget
memakai termos ini. Saat itu termos Sampeyan ketinggalan di bawah pohon rambutan, jadi saya
pakai aja. Boleh?”

Fadhli: “Iya. Pakai aja!”

Dhek Ummi: “Terima kasih.”

Mereka terus ngobrol hingga satu jam lebih. Angin dan tembok bengong melihat

kebahagiaan dua insan ini.

Angin: “Gak nyangka mereka bisa ketemu.”

Tembok: “Kulihat wajah Dhek Ummi sangat sumringah.”

Angin: “Begitulah kalau seorang wanita ketemu dengan manusia yang sangat dirindukannya.”

Tembok: “Fadhli … kutebak abis ini dia galau abis.”

Angin: “Kenapa?”

Tembok: “Sekarang dia bertemu ama separuh nyawa-nya. Ntar kalau berpisah, separuh nyawa-nya
pergi. Maka … habislah dia, hahaha.”

Angin: “Sama, aku tadi sempat masuk ke dalam dada Dhek Ummi. Isinya … Fadhli … Fadhli dan
Fadhli, hahaha. Rupanya tuh gadis juga sangat mencintai Fadhli.”

Tembok: “Berarti mereka berdua memendam cinta bertahun-tahun, ya?”

Angin: “Iya, bener. Ibarat bom, sekarang saatnya kerinduan itu meledak, hehehe.”

Tembok: “Wanita pinter mendapat lelaki pinter.”

Angin: “Pasti kalau mereka menikah, anak-anak mereka juga pinter-pinter, ya?”

Tembok: “Hehehe, so pasti lah, bro …”

Seminggu kemudian di tempat yang sama

Fadhli: “Dhek …”

Dhek Ummi: “Iya Mas.”

Fadhli: “Saya ingin bicara serius.”

Dhek Ummi: “Silakan! (dada tiba-tiba deg-degan lumayan kencang)

Fadhli: “Dhek, pernikahan adalah ibadah. Hmm … berarti melamar wanita juga termasuk ibadah.
Emm … “ (Fadhli juga gemetar, hingga tak mampu melanjutkan kalimatnya)

Dhek Ummi: “…………” (terus menunduk dengan dada tetap dag dig dug)

Fadhli: “Emm … aku sudah kerja, sudah siap untuk menikah. Emm … aku melamarmu.”

Semenit, dua menit … semua terdiam. Nampak Dhek Ummi masih terus menunduk. Dia
mencoba mengatur nafas. Air mata juga menetes … hmm … kenapa air mata ikut juga hadir?

140
Jangan Pernah Keluar Rumah Tanpa Membawa Cinta
Dhek Ummi: “Mas …”

Fadhli: “Iya …”

Dhek Ummi: “Hmm, seminggu ini ada tiga ikhwan yang menyatakan jatuh cinta denganku dan ingin
menikah denganku. Yang pertama adalah kepala sekolahku sendiri, yang kedua tetanggaku, yang
ketiga adalah Sampeyan.”

Fadhli: “………” (jiwanya risau, ragu, minder dan … mengecil)

Dhek Ummi: “Mas, berikan saya waktu 24 jam untuk minta petunjuk Allah. Bagaimanapun juga, saya
harus memilih.”

Fadhli: “I … i … iya Dhek.”

Dhek Ummi: “Besok jam segini juga, aku akan memberikan jawaban.”

Jawaban itu membuat wajah Fadhli tertutup mendung. Hmm … mendung itu semakin
pekat … gelap. Ada halilintar bergemuruh di jiwanya. Nampak Dhek Ummi mulai melangkah
meninggalkannya. Hmm … Fadhli merasa separuh nyawanya benar-benar terlepas dari raganya. Kini
seakan dia menghirup atmosfer dengan kandungan oksigen sangat tipis. Dengan nafas berat, diapun
melangkah menuju Dhek Ummi. Sejenak mereka berpandangan. Tapi pandangan mereka terhalang
oleh awan yang semakin menghitam.

Fadhli: “Dhek …”

Dhek Ummi: “Enggih Mas …”

Fadhli: “Apa aku boleh membantumu?”

Dhek Ummi: “Emm … maksudnya????”

Fadhli: “Aku merasa kamu sangat berat kalau harus memilih tiga laki-laki.”

Dhek Ummi: “………” (bingung)

Fadhli: “Dhek, gimana kalau ku-sederhanakan saja. Emm … kamu nggak usah memilih tiga laki-laki,
tapi pilih dua aja.”

Dhek Ummi: “……..” (semakin bingung)

Fadhli: “Emm … gimana kalau aku mundur aja? Gimana kalau aku nggak jadi melamarmu sehingga
kamu bisa menjatuhkan pilihan ke kepala sekolah atau ke pemuda tetanggamu? Dengan begitu
kamu nggak terlalu berat dalam memilih calon pendamping hidupmu karena hanya ada dua pilihan,
bukan tiga. Dhek … aku sangat mencintaimu melebihi cintaku kepada diriku sendiri. Sejak pertama
kita bertemu, I luv you. Tapi aku tau diri kok, kadang kenyataan memang berkata lain. Dhek …
selamat tinggal, ya! Aku nggak sanggup kalau harus menunggu 24 jam. Gpp ya, Dhek?”

Air mata Fadhli menetes deras. Dhek Ummi … emosi cinta dalam jiwanya mengamuk. Dia
menjerit, lalu berlari menuju Fadhli. Dengan erat dia memeluk Fadhli sambil berkata, “Mas, jangan
tinggalkan aku! Hiks … hiks … sama, aku juga sangat mencintaimu. Baiklah, demi Allah aku menerima
lamaranmu, hiks … hiks …”

Fadhli: “Apa kamu yakin?”

141
Jangan Pernah Keluar Rumah Tanpa Membawa Cinta
Dhek Ummi: “Yakin, Mas.”

Fadhli: “Dhek, ka … ka … kamu kok memelukku??”

Dhek Ummi: “Biar aja!”

Fadhli: “Emm … dulu kamu sangat pemalu, kenapa sekarang …”

Dhek Ummi: “Malu-malu’in, gitu kan maksudmu? Cinta bisa merubah semuanya.” (bicara nih gadis
manja banget sambil terus memeluk Fadhli, hehehe)

Fadhli: “Apa kamu nggak takut dosa?”

Dhek Ummi: “Iya, ntar abis ini kita istighfar bareng, ya!” (pelukan Dhek Ummi semakin erat)

Fadhli: “Hahaha, gadis sholihah itu sekarang menjadi nakal.” (Fadhli bicara dengan nada menggoda)

Dhek Ummi: “Aku nggak akan melepaskan pelukan ini kalau Sampeyan nggak mau berjanji tiga hal.”

Fadhli: “Baiklah … silakan katakan!”

Dhek Ummi: “Pertama, berjanjilah untuk mencintaiku apa adanya!”

Fadhli: “Iya, aku janji.”

Dhek Ummi: “Kedua, jadilah imam-ku dalam suka dan duka!”

Fadhli: “Baiklah.”

Dhek Ummi: “Yang ketiga, jika aku sudah menjadi istrimu, aku nggak mau Sampeyan poligami.”

Fadhli: “………”

Dhek Ummi: “Kok diam?”

Fadhli: “……….”

Dhek Ummi: “Mas ….” (teriak)

Fadhli: “I … i … iya, aku nggak bakalan poligaji, eh … salah ngomong … poligami maksudnya.”

Dhek Ummi: “Sumpah????”

Fadhli: “Sumpah.”

Dhek Ummi: “Hehehe, terima kasih.”

Fadhli: “Kini tolong lepaskan pelukanmu!”

Dhek Ummi: “Nggak, aku pingin memelukmu selamanya.”

Dhek Ummi … belum pernah dia merasa se-hepi ini. Dia terus mengencangkan pelukan.
Beberapa orang yang ada di sekitar ikut terpana, gembira … dan … mereka bertepuk tangan
menyaksikan dua insan yang akan menapaki petualangan baru. Mas Fadhli, Dhek Ummi … Happy
Wedding ya.

****Tamat****

142

Anda mungkin juga menyukai