***
***
***
Musim gugur telah tiba. Sambil menatap para penuai
di sawah-sawah yang dilewatinya, seorang samurai
berbadan pendek melangkahkan kakinya ke arah
Nakamura. Setelah tiba di rumah Chikuami, ia
memanggil dengan lantang, "Ibu!"
"Oh! Hiyoshi!"
Ibunya telah melahirkan lagi. Sambil duduk di
tengah-tengah kacang merah yang disebarkannya agar
mengering, ia menggendong bayinya, membiarkan
kulitnya yang lembut terkena sinar matahari. Roman
mukanya berubah ketika ia menoleh dan melihat
perkembangan yang telah terjadi pada diri putranya.
Apakah ia bahagia atau sedih? Matanya berkaca-kaca
dan bibirnya gemetar.
"Ibu, ini aku. Semuanya baik-baik saja?"
Hiyoshi mengambil tempat di tikar jerami di
samping ibunya. Bau susu tercium dari payudara
ibunya. Ibunya memeluknya seperti memeluk si bayi
yang tengah menyusu.
"Ada apa lagi?" ia bertanya.
"Tidak ada apa-apa. Hari ini aku bebas tugas. Ini
pertama kali aku meninggalkan benteng sejak aku
pergi ke sana."
"Ah, bagus. Kau muncul begitu mendadak, jadi Ibu
langsung mengira kau gagal lagi." Ia mendesah lega,
dan tersenyum untuk pertama kali sejak Hiyoshi tiba.
Ia menatap putranya yang telah dewasa, mengamati
pakaian sutranya yang bersih, ikatan rambutnya,
pedangnya yang pendek dan yang panjang. Air mata
mulai mengalir membasahi pipinya.
"Ibu, kini saatnya Ibu merasa bahagia. Akhirnya aku
berhasil menjadi pengikut Nobunaga. Oh, aku hanya
masuk dalam kelompok pelayan, tapi sesungguhnya
aku mengabdi sebagai samurai."
"Bagus." Onaka menempelkan lengan bajunya yang
compang-camping ke wajah, tak sanggup menegakkan
kepala.
Hiyoshi segera merangkulnya. "Untuk menyenang-
kan Ibu, pagi ini aku mengikat rambutku dan
mengenakan pakaian bersih. Tapi aku takkan berhenti
sampai di sini. Aku akan membuktikan bahwa aku
sanggup membuat Ibu betul-betul bahagia. Ibu, aku
berdoa agar Ibu diberi umur panjang!"
"Waktu Ibu mendengar apa yang terjadi pada
musim kemarau yang lalu... Ibu tak menyangka akan
melihatmu seperti ini."
"Tentunya Otowaka yang memberitahu Ibu."
"Ya, dia datang dan memberitahu Ibu bahwa kau
berhasil menarik perhatian Yang Mulia, dan diangkat
menjadi pelayan di benteng. Kebahagiaan Ibu saat itu
tak terlukiskan."
"Kalau hal kecil seperti itu saja sudah membuat Ibu
bahagia, bagaimana di masa mendatang? Pertama-tama
aku ingin memberitahu Ibu bahwa aku diizinkan
menggunakan nama belakang."
"Nama apa yang kaupilih?"
"Kinoshita, seperti ayahku. Tapi nama depanku
diganti menjadi Tokichiro."
"Kinoshita Tokichiro."
"Betul. Nama yang bagus, bukan? Untuk sementara
Ibu masih harus puas dengan rumah kumuh dan
pakaian usang ini, tapi bergembiralah. Ibu adalah ibu
Kinoshita Tokichiro!"
"Belum pernah Ibu sebahagia sekarang." Kalimat ini
diulanginya berkali-kali, dan setiap kata yang
diucapkan Tokichiro disambutnya dengan air mata.
Tokichiro senang melihat ibunya begitu bahagia. Siapa
lagi di dunia ini yang akan sungguh-sungguh
berbahagia karena hal yang demikian sepele? Ia
bahkan membayangkan bahwa tahun-tahun pengem-
baraan, kelaparan, dan penderitaan ikut memberikan
sumbangan pada saat yang berbahagia ini.
"Oh, ya, bagaimana kabarnya Otsumi?"
"Dia sedang membantu panen."
"Dia baik-baik saja? Dia tidak sakit, bukan?"
"Dia tetap seperti dulu," ujar Onaka, teringat masa
remaja Otsumi yang tidak menyenangkan.
"Kalau dia kembali, tolong sampaikan bahwa
penderitaannya takkan berlangsung untuk selama-
lamanya. Tak lama lagi, kalau aku sudah jadi orang,
dia akan memiliki sabuk dari kain satin, lemari berlaci
dengan lambang emas, dan segala keperluan untuk
pernikahannya. Ha... ha! Ibu pasti berpikir aku hanya
omong kosong, seperti biasanya."
"Kau sudah mau pergi lagi?"
"Peraturan benteng sangat ketat. Jadi," ia merendah-
kan suaranya, "tidak sepantasnya kita mengulangi
ucapan orang-orang yang menganggap Yang Mulia tak
sanggup memimpin provinsi. Sebenarnya, Tuan
Nobunaga yang terlihat oleh umum dan Tuan
Nobunaga di Benteng Nagoya sangatlah berlainan."
"Mungkin memang begitu."
"Situasinya memilukan. Hanya segelintir saja orang
yang bisa diandalkannya. Baik para pengikutnya
maupun saudara-saudaranya sendiri, sebagian besar
dari mereka menentangnya. Dalam usia sembilan
belas tahun, dia seorang diri. Pendapat bahwa
penderitaan petani-petani kelaparan merupakan
penderitaan paling memilukan, keliru sekali. Jika kita
dapat memahami ini, kita bisa lebih sabar. Kita tidak
boleh menyerah hanya karena kita manusia. Kami
sedang menempuh jalan menuju kebahagiaan,
junjunganku dan aku."
"Ibu turut bahagia, tapi kau tak perlu buru-buru.
Tak jadi soal seberapa tinggi kedudukanmu kelak,
kebahagiaan Ibu tak mungkin lebih besar dari
sekarang."
"Baiklah kalau begitu. Jaga diri Ibu baik-baik."
"Tak bisakah kau tinggal sebentar lagi, supaya kita
bisa mengobrol lebih lama?"
"Tugas-tugasku sudah menunggu."
Ia bangkit sambil membisu dan meletakkan
sejumlah uang ke tikar jerami ibunya. Kemudian ia
menatap pohon kesemek, bunga serunai di pagar, dan
gudang penyimpanan di belakang.
Ia tidak kembali lagi tahun itu, tapi menjelang akhir
tahun, Otowaka mengunjungi ibu Tokichiro, mem-
bawakan sedikit uang, obat-obatan, dan kain untuk
membuat kimono. "Dia masih pelayan," Otowaka
melaporkan.
"Dia bilang jika dia bisa mendapatkan rumah di
kota, dia akan mengajak ibunya tinggal bersama-sama
setelah dia berumur delapan belas dan gajinya naik
sedikit. Dia agak aneh, tapi cukup ramah, dan dia
disukai di sana. Dalam insiden sembrono di Sungai
Shonai, dia beruntung bisa lolos dari maut."
Tahun baru itu, Otsumi untuk pertama kali
mengenakan pakaian baru.
"Adikku yang mengirimnya untukku, Tokichiro di
Benteng Nagoya!" ia memberitahu semua orang. Ke
mana pun ia pergi, ia selalu saja mengulangi, "Adikku
berbuat ini" dan "Adikku berbuat itu."
***
***
***
***