Anda di halaman 1dari 1

$ SMAN 1 KARANG !

BINTANG

Home » Cerpen » CERPEN~Finn | Analisis

CERPEN~Finn | Analisis
02.34

Aku tidak pernah setakut ini sebelumnya.


Maksudku, terlepas dari kenyataan bahwa aku
selalu berbicara aku tidak takut pada hantu—
mungkin lebih tepat ke aku tidak percaya hantu
itu ada—rasa takut itu tetap bertahan hingga
saat ini.
Entah aku yang terlalu paranoid atau
imajinasiku meningkat berlebihan akhir-akhir
ini, aku benar-benar merasa tidak nyaman
ketika berada di rumah sendirian. Mungkin
keduanya? Tapi hei, siapa yang tidak merasa
waswas ketika setiap malam ada seseorang
yang mengetuk bagian-bagian rumahmu. Atau
benda-benda di dalam rumahmu berpindah
tempat.
Aku mengalaminya sialan! Entah itu pintu,
jendela, dinding, dan sebagainya. Suara-suara
itu benar-benar membuatku tidak tenang.
Bahkan beberapa hari yang lalu aku harus
bolak-balik ke halaman belakang rumah hanya
untuk mematikan keran air sialan itu! Tak peduli
berapa kali pun aku menutup kerannya, keran
itu seakan berputar membuka sendiri, dan itu
terjadi tengah malam!
Terlebih karena baru-baru ini anggota
keluargaku meninggal dunia—tepat dua bulan
yang lalu. Baiklah kuakui bahwa kehilangan
adikku membuatku gila akhir-akhir ini, bahkan
mungkin itu adalah alasan utama aku menjadi
begini terpuruk. 
Tapi malam ini sungguh keterlaluan. Bahkan
mungkin yang paling parah dibandingkan
malam-malam sebelumnya.
Aku tengah membersihkan sisa make up yang
kukenakan hari ini ketika tiba-tiba air meluber
dari wastafel dan hawa dingin memenuhi
ruangan, rasanya ada lapisan es tipis di udara.
Aku sontak menjauh dan bergidik melihat jari-
jari pucat itu muncul di wastafel, dengan kuku
yang sepenuhnya putih dan sebagian kulit
mengelupas akibat suhu ekstrem. Perlahan
tampaklah setengah wujudnya, seperti mainan
Jack-in-the-box yang muncul keluar. 
"Kakak ... aku pulang ...."
"Aaaa!" Aku menjerit dan berbalik menggedor-
gedor pintu yang sialnya malah tidak bisa
dibuka. Berteriak histeris seperti orang
kesetanan. Seluruh sel dalam tubuhku seakan
meneriakkan ketakutan yang terlalu dahsyat
untuk diabaikan.
Dan secepat datangnya, segala hal gila itu tiba-
tiba lenyap dan semuanya kembali normal.
Hawa dingin itu hilang, yang ada hanya
tangisanku dan suara air yang masih meluber
hingga lantai kamar mandi seperti banjir. 
Kuusap air mataku, pelan-pelan melangkahkan
kaki mendekati wastafel. Hanya air, air yang
mengalir dari keran lalu memenuhi bak
wastafel. Segera kumatikan keran itu lalu
melihat wajahku yang terpantul di cermin. Aku
menyedihkan, terlebih dengan dengan tampilan
kantung mata tebal dan wajah pucat.
Setelah kukeringkan wajahku dengan handuk,
aku kembali ke ruang tengah dan kejutan lain
ternyata telah menungguku. 
Kipas angin di sudut ruangan hidup dengan
kecepatan paling tinggi, angin berputar ke
seluruh penjuru ruangan, kertas-kertas itu
bertebaran dan aku nyaris menjerit gila saking
frustrasinya. Dengan emosi kucabut kabel listrik
kipas angin lalu meraup sobekan kertas yang
tercecer di lantai.
Dengan jengkel kuraup kertas-kertas itu lalu
dibuang ke tempat sampah. Aku hendak
menyumpah-nyumpah pada asal kertas ini
tepat saat aku memungut satu kertas ... dan
tulisan tangan kaku terbaca oleh mataku.
Aku harap kau mati!
Bukan hanya kertas itu. Satu kertas lainnya
yang berada di sebelah kakiku juga bertuliskan
huruf-huruf kaku.
Kuseret kau ke neraka!
Dan kertas yang lainnya ... dengan kalimat-
kalimat yang setiap kali kubaca semakin
menakutkan. Rasanya seperti membaca
potongan-potongan kalimat berisi kutukan.
Aku memekik kaget hingga berjongkok ketika
pintu depanku diketuk.
“Rossie! Apa kau di rumah?”
Aku mengerjap, suara yang aku kenal. Buru-
buru aku berlari ke arah pintu depan lalu
membuka pintuku yang dicat biru tua.
"Adam!" seruku. Rasa takut itu sirna ketika aku
melihat Adam Conway, teman kuliahku. Dia
nampak terkejut dengan satu alis terangkat,
mungkin karena aku berseru padanya tadi.
"Aku senang sekali kau datang!"
Adam menampilkan cengiran senangnya. "Well,
senang mendengar itu. Aku datang di waktu
yang tepat ya?"
Aku mengangguk mengiyakan lalu mengizinkan
dia duduk di sofa ruang tamuku. Buru-buru
kusingkirkan tumpukan buku yang jatuh dari rak
ke sudut meja. Urgh, kusadari rumahku terlihat
seperti kapal pecah sekarang.
"Ma-maaf, akan kubereskan—"
"Tidak perlu," kata Adam sembari tersenyum.
Oh, mataku pasti mengelabuiku, biasanya
Adam tidak terlihat semenawan itu
sebelumnya, bahkan dengan senyum tulus
sekali pun. "Ngomong-ngomong aku haus,"
katanya.
"Ah, kopi atau teh?" tawarku. Adam kembali
tersenyum. "Oh, kopi kalau begitu?" tebakku.
Kali ini Adam terbahak hingga menepuk
pahanya. "Ya, tentu, kopi akan sangat bagus
untuk mencairkan suasana, dan aku butuh
kafein sekarang."
"Oh ya? Apa kau lembur karena bermain game
atau tugas kuliah?" tanyaku.
Adam mengedikkan bahu. "Hmm lebih ke
persiapan untuk skripsi sih, rencananya aku
akan membuat penelitian tentang skizofrenia."
"Wow, sepertinya menarik," komentarku. Adam
adalah salah satu mahasiswa ilmu psikologi
yang aku kenal. "Kau ingin cepat-cepat lulus
ya? Kau kan masih punya satu semester lagi
untuk mempersiapkan skripsi."
"Well, yang satu ini sangat menyenangkan dan
aku menikmati pekerjaan ini. Jadi, yah ini hanya
untuk kesenangan pribadi sih. Tapi mungkin
nanti akan aku pakai untuk topik skripsi. Bisa
aku dapatkan kopiku sekarang?" tanyanya
sembari nyengir.
Mendengar itu aku segera melesat menuju
dapur. 
Aku menuang satu setengah sendok gula,
disusul kopi bubuk lalu air panas dari dalam
termos airku. Alih-alih bau kopi mendidih yang
muncul, aroma anyir darah menusuk hidungku.
Dari sudut mataku kulihat sesuatu yang
berwarna merah merayap di dinding dapur.
Tidak, jangan sekarang ... kumohon. Jangan
saat aku punya tamu di rumah. Meski aku
sering bercerita pada Adam tentang hal-hal
aneh yang aku alami, tetap saja aku tidak ingin
terlihat seperti orang tak waras di depannya.
Kuabaikan bayangan-bayangan itu lalu
menyajikan secangkir kopi pada Adam.
"Apa ada yang salah, Rossie?" tanya Adam
dengan dahi mengernyit.
Mungkin itu nalurinya sebagai mahasiswa
psikologi. Well, maksudku dia selalu tertarik jika
mendengar hal-hal seperti ini—gangguan
kecemasan dan lain-lain—terutama semenjak
aku berbicara banyak padanya mengenai
pengalamanku.
Jadi begitulah aku mulai menumpahkan keluh
kesahku padanya.
"Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi
padaku ...," ujarku. "Aku nyaris tak bisa tidur
selama dua hari ini. Aku ... kalut."
"Apa kau masih merasa bersalah dengan
kematian adikmu, Rossie?" tanya Adam
sembari memiringkan kepalanya. Dia sudah
menanggalkan jaketnya dan setengah
cangkirnya kini sudah kosong.
"Aku benar-benar tidak sengaja!" seruku. "Aku
tidak sengaja mendorongnya!"
Aku terpuruk karena hal itu hingga saat ini.
Kehilangan adikku seperti kehilangan setengah
dari semangat hidupku. Memang benar
sebelumnya aku membencinya, maksudku
siapa yang tidak kecewa ketika ayahnya tiba-
tiba pulang dengan seorang anak yang tidak
kau kenal, lalu mengakui bahwa anak itu
adalah anak haramnya.
Desember lalu aku pergi bersama adikku,
sekadar menghabiskan waktu berjalan-jalan di
sekeliling kota. Adikku, Damien Lewis lebih
muda lima tahun dariku. Dia jenis anak
pendiam di luar rumah tapi pembuat masalah di
rumah, mungkin karena dia tahu aku—satu-
satunya keluarga yang masih peduli padanya—
diam-diam membencinya.
Sayangnya Damien membuatku sangat marah
hari itu. Kami bertengkar tepat di tengah
jembatan. Tahu-tahu saja tanganku mendorong
Damien dan suara adikku menjerit memenuhi
kepalaku. Aku ingat aku menangis dan
melongokkan kepalaku ke arah sungai, airnya
gelap, dingin dan tidak ramah.
Damien meninggal dunia. Hasil autopsi
menunjukkan bahwa kepalanya terbentur
badan jembatan sebelum dia jatuh ke air
setengah beku. Tak ada saksi mata, hanya ada
aku dan Damien, dan berkat itu ... aku tidak
dituduh sebagai pembunuh.
Aku berbohong ketika mereka menanyaiku
bagaimana Damien bisa jatuh ke sungai. Pada
tante dan pamanku kukatakan bahwa Damien
terpeleset, lalu mereka menyampaikan itu pada
para polisi. Aku tak tersentuh jeruji besi tapi
sekarang ... rasa bersalah ini membunuhku.
"Maaf, Adam. Aku membuang waktumu ya?"
tanyaku dengan senyum kecut.
Adam menggeleng. "Tidak apa-apa. Aku suka
mendengar keluh kesahmu, Rossie." Adam
menatap buku-buku jarinya sesaat sebelum
berbicara lagi. "Tapi karena sekarang sudah
larut malam, sebaiknya aku pulang."
"Ah, ya tentu. Terima kasih sudah berkunjung."
Aku mengantar Adam ke pintu depan. Dia
tersenyum sebelum berpamitan padaku.
"Baiklah, sampai jumpa besok," ujarnya.
Aku memperhatikan tubuh Adam mengecil
seiring dengan langkahnya yang menjauhi
rumahku. Saat dia berbelok di tikungan, barulah
aku masuk ke dalam rumah dan meratapi
penampakan rumahku yang berantakan.
Aku berniat untuk mengembalikan cangkir kopi
yang sebelumnya dipakai Adam saat aku
menyadari satu hal. Sebuah jaket kulit
berwarna cokelat tua terongggok di sofaku.
Ah, ya ampun, dia meninggalkan jaketnya di
sofa ruang tamu. Aku sudah meraup jaket itu
dan hampir menekan nomor kontak Adam di
ponselku, namun terhenti karena sebuah buku
kecil jatuh dari saku jaket kulit itu. Dahiku
otomatis mengerut. Kuurungkan niat untuk
menelepon Adam dan memilih untuk membaca
buku kecil dengan kertas kumal itu.
Halaman pertama berupa corat-coret yang tak
terbaca hingga beberapa halaman berikutnya.
Lalu aku menemukan pro[lku di sana.
Nama lengkapku, umur, pekerjaan, dan jenis
trauma?
Dahiku berkerut-kerut ketika membaca tiap
halaman kecil berisi beberapa kegiatan
keseharianku. Gila, apa ini jurnal? Apa Adam
stalker? Mengapa dia menguntitku?
Namun, catatan-catatan singkat berikutnya
jauh lebih gila lagi.

Tanggal 23
Kuketuk pintu depannya tiga kali, dia bilang
mendengar ketukan itu berlangsung selama
dua jam.
Tanggal 24
Kunyalakan keran di taman belakang rumahnya
sekali, dia bilang dia harus bolak-balik untuk
mematikan keran itu.
Tanggal 25
Aku meletakkan sebuah boneka beruang di
pintu depannya, dia bilang boneka itu berada di
pintu kamarnya.
Tanggal 26
Aku hanya merobek-robek kertas kosong lalu
menebarnya di lantai ruangan, ayolah itu hanya
kertas kosong! 
Singkatnya, dari hasil analisis dan pengamatan
ini kusimpulkan bahwa Rosa Lewis memiliki
gangguan kesehatan mental. Diagnosis :
skizofrenia.

Catatan terakhir baru saja ditulis, terkesan


terburu-buru. Terlihat dari bagaimana tinta biru
itu belum benar-benar kering dan mengkilap
tertimpa cahaya lampu. Aku teringat soal topik
skripsi Adam dan alasannya kurang tidur
beberapa waktu lalu.
"Aku suka mendengar keluh kesahmu, Rossie."
Adam mengatakan itu beberapa waktu lalu.
Mungkin dalam jeda setelah dia berpikir seperti
ini, "Karena akulah penyebabnya."
Entah aku yang gila atau Adam yang gila.

TAGS : CERPEN

SMAN 1 KARANG BINTANG


KI HAJAR DEWANTARA

! ! " Ing ngarso sang Tulodo " ( Di depan memberi


Contoh )
! ! " Ing Madyo Mangun Karso " ( Di tengah
Memberi Bimbingan )
! ! " Tut Wuri Handayani " (Di belakang Memberi
Dorongan )

Nama : SMAN 1 KARANG BINTANG

Birthday : 13 SEPTEMBER

Address : TANAH BUMBU - KALIMANTAN


SELATAN

Email : smanonekarangbintang@gmail.com

Phone : 0852-4770-6777

Agar dapat memberikan komentar, klik tombol di bawah


untuk login dengan Google.

LOGIN DENGAN GOOGLE

TULISAN TERKINI

PRAKTIK TERAKHIR DIAKHIRI DENGAN SELEBRASI CR7

PRAKTIK MUSIKALISASI PUISI MEMBUAT PERHATIAN


WARGA SEKOLAH

SENSASI BARINGAN DI BAWAH POHON NANGKA

SISWA MISTERIUS TERNYATA

SAIFUL PAJAR TERKENAL DI MATA GURU

LINK PARTNER

Ingin konsultasi masalah


pembelajaran?

Konsultasikan masalah kamu dengan


mengklik kolom kontak di bawah ini

K O N TA K

PENCARIAN

Telusuri

LAYANAN KEPEGAWAIAN

! Administrasi Umum

! E-Raport

! Info GTK

! Administrasi Penilaian

Senin, 10 April 2023

INFO KONTAK

! Jl. Blok D1 - Karang Bintang- Tanah Bumbu


Kalimantan Selatan

" 0852-4770-6777

! smanonekarangbintang@gmail.com

JAM KBM SEKOLAH

Jadwal Kegiatan Sekolah SMAN 1 Karang Bintang -


Tanah Bumbu

! SENIN-KAMIS: 07.30 - 16.00 WITA

! JUM'AT: 07.30 - 14.00 WITA

# SABTU: TUTUP

© Copyright 2023 - SMAN 1 KARANG BINTANG

Anda mungkin juga menyukai