Anda di halaman 1dari 5

CHAPTER 2

PERTEMUAN

“Ethan!...”
Gadis berperawakan tegas nan anggun itu berlari ke arah seorang ahli olahraga di kelas yang
berbadan tinggi. Pandangan seluruh kelas tertuju pada lelaki berperawakan nakal itu.
Bagaimana tidak? Bisa-bisanya dia meletakan selotip transparan dari satu sisi pintu ke sisi
lainnya. Gadis yang terus melepaskan selotip dari rambut dan tubuhnya itu terus mengoceh
kepadanya.
Ocehan gadis itu terus sinkron dengan suara sepiker yang bergema di seluruh sekolah.
Membuat orang-orang di kelas bertambah pusing akan hal itu.

<Selamat Sore, Diberitahukan untuk seluruh siswa tahun kedua, diharapkan untuk
mengikuti pelajaran tambahan hari ini selama satu jam>

Pemberitahuan itu sempat di ulang sekali hingga akhirnya mencapai kata: terima kasih.
Seketika terdengar seantero kelas tahun kedua bersorak kecewa terhadap pemberitahuan itu.
Kelasku juga kecewa akan hal itu, termasuk aku.
—Sial!
Setelah selesai kena semprot ketua kelas, Ethan menghampiriku.
“Aku akan pulang denganmu!”
...?
Tapi yang menjadi pertanyaannya lelaki itu mengajakku untuk pulang bersama. Aku sudah
tahu niatnya dari awal, meminta untuk aku mengerjakan tugas yang tidak dia mengerti. Ya,
sudah, aku dapat memahaminya.
“Bisakah kau membuatkan aku tugas yang kemarin?”
Lagi pula dia memintanya dengan sopan.

🌌🌌🌌

Aku mulai pergi dari sekolah saat matahari sudah tak menyinari kota. Menyusuri jalanan
berbatu berpola kotak-kotak, mengunjungi minimarket sebentar. Dan duduk di bangku
pinggir jalan dekat sebuah monumen.
Suara bising dari kendaraan lewat malam hari bergema keras, menyelimuti jalan dua jalur
yang tidak terlalu ramai. Terlepas dari Ethan yang sudah pergi ke stasiun kereta. Aku masih
di bangku trotoar dengan meminum segelas kopi kaleng rasa mocha.
Aku juga sering memikirkan tentang bagaimana bentuk alam semesta jika dilihat dari third-
person. Apakah bisa? Tak ada yang tahu. Orang-orang pernah berkata kepadaku untuk tidak
terus memikirkan hal itu. Itu urusan tuhan.
Ya, mau bagaimana lagi, aku sudah cinta kepadanya. Tak bisa kutinggalkan begitu saja. Aku
benar-benar menunggu komet yang dinamakan halley itu. Aku lemparkan kaleng kopi
berwarna ungu itu ke dalam tempat sampah. Kemudian kembali melanjutkan perjalanan.
Kepalaku sudah panas, rasanya seperti terbakar. Aku kembali ke halte bus. Duduk di bangku
halte sembari membaca memindai jadwal bus malam ini.
Aku menarik napas panjang.
Lima belas menit?
Untuk bus malam ini
Lima belas menit berlalu, aku sampai di rumahku yang terlihat sedih dengan warna abu-abu
cokelat dengan arsitektur modern. Aku membuka pintu kamarku, terlihat gelap. Dengan
kilauan biru dari langit malam yang cerah, debu-debu yang beterbangan di suhu kamar yang
dingin terlihat jelas. Suasana orang kesepian.
Aku punya satu unit teleskop berwarna hitam. Kuletakan di sudut ruangan antara tembok dan
meja belajarku di dekat jendela. Aku kadang menggunakan teleskop itu untuk melihat-lihat
rasi bintang yang terlihat.
Aku merebahkan badanku di kasur. Membuka dasi dan gesperku, menyisakan seragam dan
celana sekolahku. Berpikir sejenak bahwa bulan malam ini sangat indah.
Aku kembali bangkit untuk membuat segelas kopi. Dan kembali dengan niatan membuat
tugas yang akan dikumpulkan besok. Di antara suara ketikan dari keyboard milikku dan suara
menguing dari CPU komputer, ada seekor kucing yang berhasil memecah suasana yang
sangat hening itu.
Aku terkejut. Kucing itu terus berlarian ke sana-kemari di kegelapan kamarku. Membuat
lantai kayu berdecit karena aku berusaha menangkapnya. Dia melompat ke meja komputerku,
menumpahkan kopi yang kubuat dengan sangat khidmat.
...
..!
...
..!
Sampailah dia di bibir jendela putih yang sedang terbuka, gorden yang salah satu pengaitnya
copot bergoyang karena angin. Sempat berhenti sebentar di sana, kucing itu akhirnya
melompat ke luar.
..!
Hilang dari pandanganku.

“Apa yang kau dengarkan?”


Seorang gadis yang tadi mengoceh di kelas menanyaiku yang sedang mendengarkan lagu
klasik di bus sore ini. Dengan halus kujawab lagu klasik barat. Semua orang belum tentu tahu
lagu yang dirilis tahun 1993 itu.
Dia tersenyum. Kemudian turun di halte bus tepat satu halte bus lagi aku turun. Aku juga
merasa hari ini sama seperti hari-hari sebelumnya. Tak ada yang spesial.
Sepanjang pengetahuanku, orang yang menyukai lagu klasik itu tergolong orang yang cerdas.
Konon katanya, lagu klasik butuh imajinasi dan kecerdasan yang tinggi untuk dipahami
makna dan tujuannya.

Aku tidak mau kehilangan kesempatan untuk menangkap kucing abu-abu itu. Pontang-
panting kuturuni tangga kayu, membuka pintu geser belakang rumah dengan sangat kencang
sehingga berdentum kencang, berlari memutar ke halaman depan, dan sampailah di depan
rumahku.
..!
Nafasku masih belum teratur. Tak peduli dengan itu, aku menyebarkan pandangan ke segala
arah, dan aku tak melihat kucing itu lagi. Aku kecewa. Malam ini aku yang juara lomba lari
seratus meter di sekolah, kalah oleh seekor kucing.
Aku tidak mau hal itu terjadi, langsung aku melesat ke perempatan terdekat. Baru sedikit
berbelok, di hadapanku sudah ada sosok yang berdiri sambil menggendong kucing itu,
matanya besar agak kebiruan, rambutnya hitam pekat hampir sama dengan punyaku. Bedanya
wajahnya ceria. Tak seperti aku yang melankolis. Aku terpelanting ke belakang. Takjub akan
sosok yang sedang kulihat di hadapanku di bawah sinar rembulan.
...
Sungguh mengagumkan!

“Kau tahu, aku benar-benar bertemu seorang gadis di bawah sinar rembulan!”
Aku bicara kepada salah satu teman kelasku. Dia memutar bola matanya, bertanya kembali
tentang apa yang aku katakan. Karena seekor kucing, aku bertemu dengannya.
Karena seekor kucing?

Dia adalah pemilik kucing abu-abu itu. Dia membantuku berdiri dan menawarkan bantuan
untuk membetulkan apa yang kucingnya perbuat. Sekilas saat aku mendengar tawarannya itu,
aku rasa dia adalah gadis yang baik.
..!
Di buka pintu kamarku olehnya, aku merasakan dingin dari AC kamarku menyulut langsung
ke tulangku karena tubuhku sedikit berkeringat. Gadis itu menggigil sedikit. Aku langsung
masuk, mengambil gelas yang tumpah di meja komputerku kemudian aku pergi ke bawah
untuk mengambil lap dan pel.
Gadis itu menyalakan lampu kamarku, dia sedikit terkejut. Aku tertawa kecil, kapal pecah,
katanya?
Memang terlihat jelas, mengkilap tetesan berwarna cokelat agak kehitaman yang jatuh dari
atas meja ke lantai kayu. Kami membersihkan kamarku totalitas, mencakup semua barang
yang aku berantak sendiri. Gadis itu benar-benar baik.
..!
Kau tertarik dengan astronomi? aku bertanya karena dia sendiri mendekati meja belajarku
dan mengambil buku yang berjudul “Constellation” tersebut. Dia tersenyum dan melontarkan
beberapa pertanyaan kepadaku mengenai buku itu.
Tentunya dia bertanya tentang galaksi paling indah di alam semesta ini. Tak sungkan aku
menjawab: Messier 106! Aku juga membalikkan pertanyaan itu.
“Bimasakti....”
Dia tersenyum simpul.
Hingga pada akhirnya, gadis itu menarik kardus yang berada di bawah kasur. Aku langsung
merampasnya, kemudian aku murung dan menyuruhnya untuk pulang.
Gadis itu pergi tanpa memberi tahu nama ataupun tempat tinggalnya.
Lebih baik ... kau pulang. pintaku melas.
— Huh?
Maaf
“Aku yang seharusnya minta maaf. Sampai jumpa ...”
Aku sangat bodoh, mengusir seorang yang baru aku kenal. Aku sangat kecewa pada diriku.
Hanya melihat foto kedua orang tuaku, aku merasa terpuruk. Padahal sudah bertahun-tahun
mereka pergi. Aku pun menangis.
....
Bulan April enam tahun lalu. Waktu itu malam hujan lebat. Ayahku dan ibu berencana untuk
mengunjungi pertunangan temannya. Aku tidak ikut karena aku memang kurang suka keluar
rumah.
Malam itu dingin benar-benar menyulut tulang keringku. Membuatku menggigil kedinginan.
Suara gemuruh petir di mana-mana. Saking lebatnya, halaman berumput 4x4 meter di depan
rumahku tergenang hanya karena lebih rendah beberapa sentimeter.
Anginnya cukup kuat untuk membuka tutupkan jendela kamarku yang belum tertutup. Kasur
milikku sudah basah sebagian. Aku berlari menutup jendela itu. Ayah dan ibu tetap
memutuskan untuk pergi. Bisa dilihat karena mereka berdua sudah menggunakan jaket dan
sweter.
Aku harus mengantar mereka sampai depan pintu. Kakakku saat itu masih tahun ketiga
sekolah menengah atas. Saat itu dia sedang di rumah temannya.
“Jangan menangis ya.”
....
Aku hanya mengangguk dan melihat mereka masuk ke mobil kemudian pergi ke dalam hujan
lebat itu.
Malam itu, pukul 11 aku dapat kabar dari kakak yang pulang ke rumah dalam keadaan basah
kuyup. Dia langsung memelukku dan membisikan: mereka sudah tiada. Mataku langsung
dibanjiri oleh air mata.
Paginya, aku terus bersembunyi di bawah kasur sembari memeluk foto orang tuaku. Aku
masih tak bisa menerima kalau mereka sudah tiada. Kakakku terus membujukku, namun aku
selalu memosisikan diri ke paling pojok bawah kasur saat dia melakukan itu.
....
Aku sangat menyedihkan....

Anda mungkin juga menyukai