Anda di halaman 1dari 8

Jurus: Rajawali Mengibas Sayap

Karya : Aurelia Jahidah Awaliyah

Pipi tembam bergelambir. Bobot tubuh 85 kg riang bergelambir. Julukan si anak emas
berubah 360 derajat menjadi si kutu buku. Kubuka loker penyimpanan mengambil beberapa buku
pelajaran MIPA 1 dan tidak lupa buku jurnal harian. Lemari lokerku berada di ujung ruangan
berseblahan persis dengan jendela yang terbuka lebar, dibalik jendela itu ada kursi panjang untuk
bersantai, kurasa angin sepoi-sepoi menari lincah diatas kulitku. Kudapati dan kududuki bangku
nyaman itu sendirian namun tidak dengan pikiranku sendiri. Buku-buku ini penuh catatan kisah
hidupku setiap harinya, kuingat dan kucatat detail kejadian itu. Berjalan gontai menuju ruang kelas
diselimuti seragam putih abu dan pikiran yang biru. Minggu ini masih begitu longgar, memasuki
tahun ajaran baru, guru sibuk mempersiapkan administrasi kelas sampai lupa masuk kelas. Suasana
kelas baru sudah terlihat didepan mata. Kunyalakan lampu paralel memperjelas indah dan rapihnya
kelas. Kosong. Hanya aku yang hadir di pagi ini.
Lepas siang, rehat. Aku beranjak keluar kelas mencari lahapan siang. Tetapi, niatku
terkubur sebab keramaian papan mading. Kuhampiri papan mading berdesakan. Riuk piuh siswa
rebutan lembaran kertas pendaftran lomba seni tapak suci nasional. Samar-samar seseorang
membisik suatu hal. Ia berkata “Nak danu, ikutilah perlombaan ini, suburkanlah benih senimu
itu!” Sontak bola mataku berputar menelusuri siapa yang berbisik. Suara itu menghantuiku.
Membuat kepalaku semakin pening sejadi jadinya dan aku menemui tubuhku tersungkur di bawah
lantai keramik yang dingin.

Tanpa undangan, suara itu mengikutiku hingga rumah. Bunda menungguku depan teras
dengan daster batik coklat pudar. Salim kepada bunda pun kulayangkan. Dinding pedar minyak
tanah menusuk penciuman. Gantungan baju berkarat menampung tumpukan pakaian. Bohlam
kuning menyala redup dalam bilik kamar. Kulempar sling bag di samping lemari plastik di atas
lantai semen bilik kamarku. Kardus rapuh menampakan catatan lama. Segera kubawa catatan lama
itu dan telungkup membacanya di atas kasur lipat tidak berisi. Halaman pertama kubuka
memperlihatkan sebuah foto seorang anak dengan seorang pendekar muda. Halaman demi
halaman kubuka. Sebuah paragraf panjang penuh dengan bintik noda menarikku untuk
membacanya. Satu kalimat kubaca. Setelahnya, cahaya hijau menyusup jemari-jemari dan dada

1
lebarku. Kucoba melawan tetapi, tubuhku merasuk kasar ke dalamnya. Teriakan kencang keluar
dari lisanku. Pening.

Aku merasa disini lebih terang. Sekujur tubuhku panas. Kubuka pelan-pelan kedua bola
mataku yang sukar terbuka. Tiga pintu berbaris rapi dengan tulisan-tulisan aneh di depannya. Pintu
pertama bertuliskan ‘Terjebaklah di masa lalu’. Pintu kedua bertuliskan ‘percayalah akan hari
ini’. Pintu ketiga bertuliskan ‘Lihatlah masa depan’. Kujelajahi ruang senyap ini. Pohon-pohon
rindang menaungi hamparan kebun teh. Rumah antik berada di puncak perkebunan membuatku
berlari mendatangi. Tetapi, Spanduk raksasa lebih membuatku penasaran. Sebuah kalimat
terpajang melahirkan motivasi : Bebaskan dirimu dari keharusan untuk mengalahkan orang lain,
tugasmu ialah untuk menjadi yang lebih baik dari kemarin. Apa maksud dari kalimat-kalimat ini
?

Puluhan anak remaja tanggung duduk sila di atas hamparan rumput luas. Seorang guru
berwajah tampan nan sangar memimpin. Padepokan. Tubuhku mengajak rehat sejenak. Saat itu
pula, pintu pertama terbuka lebar menampakkan seorang anak remaja laki-laki dan guru sangar
itu. Mereka sedang berlatih bersama. Sang guru berada di samping anak laki-laki mencontohkan
berbagai gerakan indah. Anak laki-laki pun menirunya dengan selimut tawa. Tak henti kuamati
mereka lewat semak-semak tumbuhan teh yang siap panen.

“Dengan iman dan akhlak saya menjadi kuat tanpa iman dan akhlak saya menjadi lemah”

Kalimat itu menjadi penutup di pintu pertama. Adegan mereka beribadah sebagai akhirnya.
Tubuhku melayang terbawa cahaya hijau merangsak masuk ke dalam pintu lainnya.

“Latihan hari ini berlangsung 2 jam dan istirahat hanya 20 menit selama latihan! kecuali solat
akan saya persilahkan istirahat”

“Waduh pak..gerakan sudah kutebas habis pak”

“Memang tubuhmu sudah indah?”

Anak itu diam seribu bahasa dan memilih melanjutkan latihan. Jurus mawar mekar maupun
mawar layu diulang berjuta kali meliuk kesana kemari. Rajawali mengibas sayap pun dia gunakan
untuk menegakkan dadanya. Tendangan demi tendangan melahirkan berbagai sasaran. Sang guru
duduk tenang di bawah naungan pohon beringin ditemani secangkir kopi hitam. Tatapan tajam ia

2
tunjukkan kepada sang guru. Letih. Merasa tidak diperhatikan. Remaja laki-laki itu berusaha
berkompromi dengan sang guru.

Kuusap kasar kedua mataku perih. Tidak ada latihan di padepokan lagi. Sekolah bertingkat
tiga berdiri gagah dengan balutan cat berwarna putih tulang. Murid-murid melingkar di tengah
lapangan menampakkan seseorang yang kukenal sebelumnya. Remaja laki-laki itu terlihat lebih
tampan disini. Pakaian merah dengan kain batik membaluti tubuhnya. Gerakan-gerakan indah
dipentaskan. Iringan gamelan melengkapi pentas. Senyumannya menambah perhatian. Sorak sorai
dan gumpalan kertas sampah berterbangan ke penjuru lapangan. Dalam hati ku berkata “Dia
nampil udah bagus, apa yang salah?” Dia berlari kencang, mendorong kasar sang guru. Kuikuti
kemana ia pergi. Kamar mandi sekolah tujuannya. Wajah kita terpampang jelas di cermin. Dia
berceloteh sendiri “APA SIH! aku udah berani tampil umum. apa yang kurang? APA YANG
SALAH? APA?!” Tak disangka, pakaian yang ia kenakan sudah tidak terbentuk. Robek sana sini
sebab amarahnya. Kedua tanganku mencoba menggapai tubuh ringkihnya. Sia-sia, aku hanya halu
baginya. Pintu terdobrak kencang. Aku menoleh ke sumber suara. Remaja yang lebih dewasa
menghampirinya dan berbicara suatu hal.

“Danu, makan dulu nak”

Sial. Kelanjutan cerita terpotong. Ribuan pertanyaan terbang liar di kepala. Dengan sigap,
kututup catatan lama. Kubuka pintu dan menampakkan cahaya hidupku, Bunda. Makan malam
kali ini, tidak ada yang spesial. Hanya ruang makan dengan lampu remang berselimut dinding
retak penuh noda. Bunda pergi meninggalkan ku bersama lauk pauk sederhana di atas meja.
Makan malam kali ini berbeda, aku tidak merasa lapar dan kenyang. Pikiranku masih ribut tentang
catatan lama itu. Kuambil cepat segelas teh hangat tawar menyelesaikan makan malam yang tidak
berarti ini.

****

Sling bag jatuh menampakkan sebuah golok dan toya. Lekas kutata semua. Kenyataannya,
sekelompok manusia memperhatikanku. Aku tidak ingin semua orang tau bahwa aku ikut
perlombaan seni kemarin. Pukulan di atas bahu pun kurasakan, mereka datang. Bualan-bualan

3
melayang bebas lengkap renyahnya tawa. Langkah kaki bergoyang kesana kemari. Harum wangi
tubuh bersatu sebab dekapan. Lorong sekolah milik kita hari ini.

“Ari kamu masih we isin lamun kamu teh nuturkeun lomba tapak suci!”

“Enya den, isin di dieu mah pan nyaho na abi deh kutu buku lain budak seni kieu”

“Engke ge loba nu teurang bahwa kamu teh anak seni sejati, hahaha”

“Haduh, tong kitu euy!”

Aku dan Aden pun berjalan beriringan bersama. Semua mata tertuju pada kita, terutama
Aden sang kapten basket di sekolah ini. Sampailah kita. Penjuru kelas datar dan kaku. Kipas angin
berputar kencang membuang panas. Pekik keringat memenuhi udara. Papan tulis putih dihiasi
spidol hitam berangka. Kuhiasi pula buku tulisku dengan angka beserta rumus-rumus ajaib
sedangkan kawan-kawanku sibuk dengan dunia khayal masing-masing. Bel istirahat berbunyi.
Kawan-kawan berdesakan menerobos pintu keluar sedangkan aku termenung menunggu Ka Juan
datang. Karna lama, Aku pun berjalan seorang diri menuju aula. Ka Juan sedang pemanasan. Kaos
putihnya dipenuhi keringat basah. Ka Juan mendatangiku dan langsung memberiku hukuman
sebab keterlambatan datang. Setelah berlari, kakiku kaku sejadi-jadinya. Latihan ditunda setengah
jam. Kupijat pelan-pelan kakiku sendiri. Kugerakan jemari kaki, perlahan berdiri memulai latihan.
Ka Juan menarik tanganku untuk duduk doa terlebih dahulu bersama.

Tepatnya sasaran menjadi bahasan utama. Kucuran keringat terus kuhadang. Seteguk air
tidak sekalipun menyentuh kerongkongan. Napasku kembang kempis tak ada aturan. Bau anyir
kaos merayu dibaru. Tampilanku lebih segar dan menawan. Energi diperbarui. Jurus golok dan
toya kugarap cepat. Sebuah senyuman terlukis di atas wajah Ka Juan. Setelah gerakan sudah terafal
sempurna, mimik wajah diajarkannya. Mengoles setiap pergerakan kecil pun di contohkan
olehnya. Malam menyeruak tajam. Bulan sabit terbentang indah dikelilingi bintang-bintang cantik.
Sekolah sudah gelap gulita. Meninggalkan aula dan menguncinya. Babak selanjutnya, Aku pulang
mengendarai Motor butut melawan macetnya kota bandung malam minggu. Hujan turun
menciptakan huru-hara pinggir jalan setapak bandung. Manusia-manusia berhamburan mencari
teduhan. Aku hanya tertawa melihatnya, seribut itukah dunia.

4
Rebahan penuh tarian. Kedua kakiku gesit bergerak. Kedua tanganku meliuk-liuk lentik.
Wajah masam membentuk mimik pas-pasan. Untuk menemani asahan ini, kudendangkan lagu-
lagu daerah. Seolah alat musik hadir melengkapi. Tidak ada angin tidak ada hujan, tubuhku
berhenti melafal. Tubuhku tertarik magnet lemari. Mengusap lembut, menghirup wangi masa
depan lewat sepasang pakaian merah. Cemas dan bungah yang kudapat. Tiba-tiba Bunda ingin
berbicara empat mata denganku. Bilik kamar bak kapal pecah menjadi saksi seluruh ucapan bunda.
Kenyataan terungkap. Aku mengidap penyakit amnesia dan bunda tidak ingin memaksaku untuk
mengingatnya. Karena itu, Bunda memilih menyembuhkan ingatanku lewat pertanda-pertanda
saja. Ardanu Fatih El-ghazali. Permintaan maaf terhantar dari bunda. Belaian lembutnya
membuatku tertidur nyenyak diiringi tangisan sendu Bunda.

Kicau burung terdengar. Sarat dingin membuatku sukar bangkit. Sebuah notifikasi
mendatangkan kabar gembira. Dispensasi. Sigap meluncur ke sekolah. Jalanan riau
mengharumkan pikiran. Motor butut setia menemani. Baju tapak suci menarik perhatian pengguna
jalan. Senyum sabit kuhamparkan bersamaan. Gerbang raksasa tertutup rapat. Kugoyang kasar
berharap terbuka sesaat. Ka juan berdiri melipat lengannya sembari tertawa lepas. Kupijakkan kaki
lemah di aula sekolah. Sepucuk surat kuintip. Angka-angka berwarna merah dalam tabel
mengundang emosi. Beasiswa di ujung tanduk. Rahasia untuk bunda. Kompetensi menjadi harap.
Ambisi membara kencang. Sikap hormat kusambut kedatangan Ka Juan. Duduk doa bersama
dilaksanakan. Pemanasan dari ujung kepala hingga ujung kaki dilakukan. Kali ini, latihan ku
sebatas penyesuain gerakan dengan waktu yang ditentukan yaitu tiga menit untuk ratusan jurus.
Cahaya-cahaya hijau memancar kembali menghancurkan fokus. Aku junior menangis pedih
membanting stopwatch dalam genggaman. Rupanya dahulu aku gagal menyesuaikan waktu
dengan gerakan. Gerakan Ka Juan menyadarkanku. Berdiri tegap menampilkan gerakan indah
kulakukan. Sorot mata bak mata elang mengguncang mental. Tangannya terulur sembari menunjuk
mengomentari gerakanku. Dan untungnya, azan berkumandang menuturkan doa mendaratkan
gerakan.

Lorong sekolah menampakan gemuruh siswa lepas dari pelajaran. Siang ini lebih segar
ditemani sirup marjan merah kantin Ceu Iyeum. Kududuki bangku taman sekolah menatap air
mancur menyeruput sirup marjan. Sekolah tidak ada kehidupan. Keramain pergi jauh
mengistirahatkan pikiran. Dari ujung lorong, kulihat Ka Juan belari kencang menyampaikan suatu

5
hal. Bandung Lautan Api International Championship jatuh pada tanggal 6 Januari 2023.
Kompetisi tiga hari lagi. Wajah kita pucat bersamaan. Siang yang segar berubah lagi menjadi
gerah dan kegelisahan.

“Bebaskan dirimu dari keharusan untuk mengalahkan orang lain, tugasmu ialah untuk menjadi
yang lebih baik dari kemarin.”Ka Juan bersabda yang sekaligus mengingatkan ku dengan adegan
yang ada dalam catatan lama kemarin-kemarin.

“Tapi nilai ku sudah jelek ka juan, beasiswa hanya ku harapkan dari kompetisi ini ka. Kompetisi
ini harus Aku menangkan!”

“Iya, tapi kamu harus selalu ingat ini, dengan kalimatku yang tadi Danu”

“....”

Latihan dilanjutkan kembali. Waktu pementasannya pun tidak kurang tidak lebih. Bungah.
Bersenda gurau menjadi akhir hari ini. Dekapan hangat penuh isyarat pun dilayangkan. Malam
mendatangkan hawa merinding. Kita saling bertatap. Bergegas merapikan tas dan berlari keluar
aula bersama. Pulang ke rumah masing-masing menjadi keputusan.

***

Gelanggang dengan matras merah berukuran 10 x 10 meter mengundangku masuk


kedalamnya. Tribun sesak saling menghirup udara karbon dioksida. Sebuah gong besar pun
berbunyi seakan memanggilku untuk meluncur, memamerkan gerakan-gerakan indah. Diujung
tempat ku beristirahat, sepaket pakaian merah lengkap dengan songket batik pun mendorongku
untuk segera kukenakan. Tidak lama setelahnya, wajahku berubah menjadi lebih kharismatik
berkat olesan-olesan perias wajah. Namaku terpanggil dengan nyata. Sepasang kakiku bergetar
hebat. Aku berdiri gugup di pinggir kiri gelanggang. Tanganku basah kuyup dan riasan wajah
luntur. Keramaian di dalam gor seakan lenyap. Pandanganku kosong melompong. Menerawang
gerakan-gerakan selama berlatih.

“Hey! Langkahkan kakimu masuk ke matras, Danu”

Teriakan itu. Ka juan menyadarkanku. Tarikan napas panjang ku hembuskan. Kakiku melangkah
masuk dari tepi kiri matras menuju pusat matras. Hormat kepada juri kusampaikan lengkap dengan
senyuman ramah. Iringan musik mulai terdengar. Gerakan salam pembuka kubuka. Kuda kuda

6
awal jurus seni ini. Tendangan lurus tepat sasaran yaitu, ulu hati kulayangkan. Tanganku berputar
lentur membentuk lingkaran sempurna dan kedua bola mataku aktif mengikuti arah nya. Telapak
tangan terbuka dan tertutup dilengkapi senyuman manis yang kumiliki.

Gerakan tangan kosong lancar tanpa cacat. Selanjutnya, kuambil sebilah golok
dihadapanku. Mimik wajahku mulai berkembang disini. tanganku lemas seakan nyata menusuk
seseorang lewat depan maupun belakang. Kakiku melangkah maju mundur seolah ada lawan
sedangkan jari-jariku sibuk memutar-mutarkan golok. Dadaku terus tegak hingga atraksi golok
selesai. Disambung dengan atraksi ku bersama sebilah toya.

Kedua tanganku menjulur ke depan memamerkan tongkat indah ini. Bantingan tongkat
diatas matras menggema ke seluruh ruangan. Teriakan-teriakan kecil pun keluar dari lisanku,
menambah penilaian. ekspresif. senyuman penghormatan kusampaikan -tanda bahwa atraksi ku
telah usai. Kupeluk tongkat dan kugenggam erat golok, membawa mereka pergi keluar matras.

Keadaan semakin gempar. Seorang lelaki fighter lidahnya terjulur keluar. Tubuhnya
bergetar hebat. Busa-busa buyar mengalir ke seluruh tubuhnya. Bola matanya menghadap ke atas
langit. Orang-orang disekitar tak henti berdoa. Sekelompok tim medis bergegas menanganinya.
Sebuah tandu Di tengah kerumunan, seseorang menarik diriku masuk kedalam pelukannya.

Dia berkata “Nak danu sudah besar saja. Ternyata Juan telaten juga”

“Maaf bapak siapa?”

“Waduh….baru berpisah tiga tahun saja sudah lupa. Dasar anak muda” Bapak itu pun pergi
sembari tertawa puas.

Kedua bola mataku berputar mencari keberadaan Ka Juan. Nihil. Dia tidak ada dimana
pun. Hingga waktu pembagian juara pun, batang hidungnya belum terlihat. Namaku terpanggil
lagi. Aku si gendut pemilik pipi gelambir mendapat juara 2 internasional. Aku pun bersua foto
sendiri. Menggigit mendali perak dan mengalungkan bendera muhammadiyah di leher tanpa
penggemar. Sosok bapak tua tadi menghampiriku lagi. Membawaku kedalam rangkulannya.
Hening. Kita duduk berdampingan di tepi tribun tanpa obrolan. Aku masih menunggu Ka Juan.

“Akhirnya kita ketemu juga”

“Iya pak, juan sengaja menghilang supaya bapak bisa berbincang dengan Danu”

7
8

Anda mungkin juga menyukai