Malam yang gelap ini aku telah melihat berkilaunya bintang yang indah nan permai, laksana permata di
angkasa. Namun telah gugur satu per satu bersama arus pengharapan yang menuju ke arah satu pintu.
Dari harapan satu ke harapan lainnya.
Ashila Rema nadya, itulah namaku yang diukir oleh malaikat dunia untukku. Berparas cantik, berpipi
chubby dengan tinggi semampai. Aku bisa dikatakan memiliki fisik yang mendekati sempurna. Diusiaku
yang mulai beranjak remaja tentunya pendidikan adalah hal yang sangat penting bagiku, layaknya
kebutuhan hidup.
Hari berganti hari, perjalanan hidup semakin cepat serta keinginan tak pernah berhenti membara.
Kehidupan manusia layaknya transportasi, adakalanya berjalan, adakalanya berhenti sejenak dan rusak.
Itulah kehidupanku.
“Ashila, kemari Nak, bunda mau bicara sebentar,” ucap sang malaikat yang ditakdirkan untuk hadir
dalam kehidupanku, dialah ibuku yang biasa aku panggil dengan sebutan ”Bunda”.
“Iya Bunda, ada apa? Ada yang bisa Ashila bantu?,” jawabku sembari menghampiri ayah dan bundaku
yang ada diruang keluarga.
“Ayah dan bunda mau berbicara sesuatu dengan Shila,” kata ayahku.
“Ayah dan bunda mau berbicara tentang pendidikan Shila. Ayah dan bunda ingin Shila untuk menyaring
ilmu di pondok pesantren Quran Nurul Huda. Karena di Pondok Pesantren Quran Nurul Huda, kamu
dapat mengikuti program yang ada di sana. Di antaranya, qiro’ati, madrasah diniyah, salafiyah, al quran
bin nadzri, al quran bil ghoib, dan lain-lain,” ucap ayah.
“Di sana juga terdapat visi dan misi, mencetak generasi qur’ani yang berwawasan tinggi dan berakhlakul
karimah,” tambah bunda yang berusaha meyakinkanku.
Dengan keadaan yang sangat terpuruk, aku hanya bisa diam terpaku kaku, mendengar sepatah kata
yang diucapkan ayah bundaku. Detik demi detik air mataku pun mulai jatuh.
“Di pondok pesantren nanti, Shila akan mendapat banyak teman baru,” ucap ayah.
Tanpa berpamitan, aku segera berlari meninggalkan ayah bunda menuju kamar.
Hari berganti hari dimana pada saatnya telah tiba aku akan berpisah dengan teman-temanku. Jadi, hari
ini adalah hari perpisahan.
“Ada apa, Bu?” jawabku dengan segera menghampiri Bu Ina yang ada di kantor.
“Insyaa Allah, saya akan melanjutkan pendidikan saya di Pondok Pesantren Quran Nurul Huda yang ada
di Kota Malang,” jawabku dengan ekspresi sedih.
“Takut kenapa?”
“Ashila jangan takut. Di pondok pesantren itu, demi masa depan Ashila sendiri,” kata Bu Ina
menenangkanku. “Lagian, nanti Shila juga akan punya teman yang lebih banyak.”
“Ya sudah, Shila boleh kembali ke teman-temanmu. Maaf ya sudah mengganggu waktu Shila,” kata Bu
Ina.
“Iya, Bu. Tidak apa-apa kok. Ashila pamit dulu ya,”jawabku. “Terima kasih atas nasihatnya.
Assalaamu’alaikum.”
Segera aku meninggalkan Bu Ina dan tidak lupa sebelumnya untuk mencium tangan beliau.
Acara perpisahan telah usai. Saatnya aku melangkahkan kakiku untuk meninggalkan sekolahku tercinta.
Ketika di tengah-tengah perjalanan, aku mendengar ada sosok orang yang sedari tadi memanggilku.
Yaps! Itulah sahabatku yang paling cerewet yang bernama, Muhammad Tajuddin Mahdi Affandi yang
biasa dipanggil, Mahdi. Tanpa kuucapkan sepatah kata, aku menengok ke arahnya.
“Aku tidak menjauh dari kamu, tapi aku nggak suka aja sama kamu,” jawabku dengan nada datar.
Tanpa basa-basi aku segera meninggalkan Mahdi dan segera pulang ke rumah. Sesampainya di rumah,
aku sedang melihat bunda sedang membereskan bajuku.
“Wa’alaikum salaam.”
“Bunda...” Aku menundukkan kepalaku. Tak lama kemudian air mata mulai membasahi pipiku.
“Ayah dan bunda tidak sayang lagi sama Shila...” jawabku lirih.
“Ashila... Ayah dan bunda sayang dengan Ashila. Justru itu, ayah dan bunda menginginkan Shila untuk
menimba ilmu di pondok pesantren agar Ashila dapat mengetahui ilmu agama yang lebih dalam lagi,”
jelas bunda.
Dengan penjelasan bunda, aku mulai mengerti. Aku segera menghapus air mataku. Setelah bunda
memebereskan bajuku. Aku segera menuju mobil untuk memasukkan baujku. Aku membutuhkan waktu
dua jam untuk menempuh perjalanan ke pondok pesantren. Tak lama kemudian, aku sampai. Aku mulai
melangkah untuk memasuki area pondok pesantren tujuanku.
Waktu semakin cepat berlalu bersamaan dengan ayah dan bundaku yang hendak meninggalkanku di
pondok pesantren.
“Jangan lupa shalatnya. Belajar yang rajin dan yang paling penting, jangan kecewakan ayah dan bunda,”
sahut bunda.
“Iya, Bunda. Insyaa Allah, Shila tidak akan mengecewakan ayah dan bunda.”
“Wa’alaikum salam,” jawabku. Dan tak lupa aku mencium tangan ayah dan bunda.
Setelah aku dan orang tuaku pergi dari pondok pesantren. Aku segera menuju ke kamarku yang terletak
di gedung lantai tiga. Tepatnya di F1.Di situ terdapat 19 orang yang tak kukenal. Merekalah yang akan
menjadi teman baruku.
Jarum jam menunjukkan pukul 19.00 WIB, malam hari telah tiba. Ketika aku melihat jendela kamar,
kusaksikan dunia luar. Tidak ada embun, tidak ada rerumputan dan tidak ada burung menyanyi. Bahkan
malam begitu saja datang dan pergi tanpa kerlip bintang untuk dihayati. Dan tanpa cahaya bulan untuk
dipandang.
“Perkenalkan, namaku Ashila Reina Nadya. Bisa dipanggil Ashila. Saya berasal dari Surabaya,” ucapku
kepada mereka.
Setelah 30 menit kemudian, kumpulan telah selesai. Saatnya istirahat untuk memperbaiki hari esok.
Hari esok telah tiba, saatnya aku mulai menapakkan kakiku di sekolah baruku yaitu, MTs Almaarif 01
yang memiliki visi terbentuknya insan yang beriman, bertakwa, berilmu, berakhlakul karimah, cerdas,
dan terampil serta cinta tanah air berdasarkan ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah An Nahdhliyah. Dan
juga memiliki misi, membekali peserta didik menuju insan beriman, bertakwa, berilmu, serta
berwawasan Ahlussunnah Wal Jama’ah An Nahdhliyah.
Setelah aku mengetahui visi dan misinya, aku mulai mencari-cari hikmahnya. Aku terpaku kaku melihat
sekelilingku di antara lingkungan asing. Aku sendiri mengejar waktu, mewarnai putih kasih membiru di
angkasa citra. Kelanaku di Bumi ini. Tak lantas membiarkannya untuk mengenal. Aku terus mencari jalan
untuk menuju kelasku. Andai jarak berarti, kan kulalui semua. Dan aku pun takkan lemah seperti ini. Kan
kuberanikan sepatah kata yang terucap dari pikiranku untuk bertanya kepada sosok seorang pria yang
berada di dalam area tersebut.
“Permisi, mau tanya. Kalau mau ke kelas 7B lewat mana?” tanyaku dengan wajah kebingungan.
Pria tersebut menjawab dengan ramah, “Ohh.. kelas 7B.. Mari mbak, saya antar.”
Tak lama kemudian, aku mulai mengikuti sosok pria tersebut. Sesampainya di depan kelas, aku mulai
memasuki kelas tersebut dan mencari tempat yang kosong. Tak lama kemudian terdapat sosok guru
yang masuk ke kelas 7B.
“Perkenalkan, namaku Bu Sulistyawati, bisa dipanggil Bu Sulis. Saya diamanahkan untuk menjadi wali
kelas 7B,” ucapnya dengan ramah. “Ada yang mau ditanyakan?”
“Jika tidak, marilah kita menyusun stiker kelas dan jadwal piket,” ajak Bu Sulis.
Rotasi Bumi berputar dengan cepat hingga tahun berganti tahun, bulan berganti bulan, dan hari berganti
hari dimana pada saat itu, anak-anak tumbuh menjadi remaja. Dan pada saat itulah, aku mulai
menempuh titik akhir pendidikanku di MTs ini.Lebih tepatnya, sekarang aku mulai duduk di kelas 9B.
“Perkenalkan nama saya, Ahmad Asykar Yudha Kusuma, biasanya saya dipanggil Pak Asykar,” ucapnya
dengan ramah. “Ada yang bertanya?”
“Sebelum kita lanjutkan, saya berpesan kepada kalian terlebih dahulu. Jadilah orang yang kreatif karena
orang yang kreatif akan mempunyai inisiatif untuk menciptakan ide-ide atau hal yang baru,” pesan Pak
Asykar pada kami.
Setelah ujian selesai, seluruh siswa kelas 9 bersuka ria karena akan menempuh wisuda. Hari berganti
hari, hari wisuda pun telah tiba.
“Seluruh wisudawan-wisudawati MTs Almaarif 01 Singosari diharap untuk memasuki acara,” sambut
Kepala Sekolah MTs Almaarif 01 Singosari dengan diiringi lagu yang dinyanyikan oleh tim paduan suara
madrasah. Inilah saat-saat yang dinantikan. Pemanggilan wisudawan-wisudawati terbaik.
“hasil Ujian Nasional terbaik diraih oleh Ashila Reina Nadya. Kepada ananda Ashila, dimohon untuk maju
ke atas panggung untuk menerima penghargaan,” kata Pak Kepala Sekolah dengan penuh bangga.
Kulangkahkan kaki menuju panggung dengan penuh percaya diri. Meskipun begitu, aku masih sulit
mempercayainya. Aku menapaki tangga panggung, Setrelah menerima piala dan penghargaan dari
Kepala Sekolah. Aku mengucapkan banyak terima kasih kepada beliau. Ucapan hamdalah berkali-kali
menggaung-gaung di dalam hati. Kini sorotan mataku hanya tertuju pada satu arah, yakni ayah dan
bunda yang penuh kebanggaan tersenyum padaku.