Anda di halaman 1dari 7

Masih Dalam Skenario-NYA

Dinda Zalfa Sahira


Skenario 1

“AIZAAAA...AIZAAAA"
"Iya ada apa ? Semangat banget manggilnya"
"Bisa bantu menemui dan mendampingi santri asal Bandung yang baru saja datang gak?", pinta
pak Rayyan sambil berlari-lari ke arahku.
"Maaf banget pak Rayyan, Aiza lagi merevisi pre-test dan post-test materi hari ini. Kamu ajak
dia ke asrama dulu aja ya buat istirahat dan merapikan barang bawaannya. Nanti siang aku yang
interview pengenalannya deh". "Boleh deh kalo gitu", menandakan Rayyan setuju.
Kenalin, namaku Aiza Zefanya. Namanya cantik kan ? secantik orangnya pasti. Kegiatan
rutinku mendampingi santri di Sekolah Manajemen Ilahiah ini, atau biasa disebut (SMI) bukan
SMA ya. SMI adalah lembaga pendidikan yang notabene nya semacam pesantren. Santri disini
lulusan SMA/Sederajat dan maksimal umur 35 tahun. Pasti kalian bertanya-tanya kan? Emang
sekolah nya belajar apa? Kenapa lulusan SMA gak langsung kuliah aja ?
SMI ini memang difokuskan untuk bisa terjun langsung ke dunia kerja nantinya tanpa
kuliah walaupun hanya lulusan SMA. Target profesi yang diperolehpun tidak kalah dengan
mereka yang lulusan sarjana. Visi dan misinya yaitu mencetak professional yang berkarakter
serta memiliki value tinggi dalam profesinya. Pendidikan nya kurang lebih1 tahun. Setelah 1
tahun mereka nanti akan terus di monitoring sampai akhirnya diterima di salah satu perusahaan
yang bergengsi.
Peminatnya? Wahh, tentu tidak diragukan lagi. Datang berbondong-bondong kesini dari
berbagai penjuru Indonesia. Kebetulan 2 hari lagi santri baru yang sudah mendaftar akan datang.
Tetapi sudah ada satu santri laki-laki yang datang mendahului hari ini. Posisiku di SMI sebagai
fasilitator yang memonitoring target santri setiap harinya. Nah, yang tadi manggil itu Pak
Rayyan. Partner kerja sesama fasilitator.
"Alhamdulillah akhirnya selesai juga merevisi pre-test dan post-test", ucapku sambil
melihat kearah jam dinding. “Huwaaa gak kerasa udah jam 2 siang aja.” Waktunya untuk
menginterview santri baru yang datang tadi. Padahal dari pihak SMI saja belum menetapkan
tanggal untuk datang. "Terlalu rajin" gumam ku dalam hati.
Kemudian berjalan menuju ruang interview. Ternyata sudah ada Pak Rayyan sedang
mengobrol dengan santri itu. Aku mengintip dari jendela, pak Rayyan melambaikan tangan.
Akupun masuk ruangan dan duduk di sebelah pak Rayyan. Awalnya santri baru ini asyik
mengobrol dengan pak Rayyan, tetapi saat aku datang dia hanya melirik sekilas dan tertunduk
tiba-tiba. Rasanya suasananya tidak secair sebelumnya. Beberapa kali aku menanyakan
beberapa pertanyaan pun dia hanya menjawab singkat dan tetap pandangannya kebawah.
"Assalamualaikum, ada kak Aiza ?"Tiba-tiba ada Shafa yang masuk tanpa mengetuk
pintu. Shafa adalah santri putri terkecil. Usianya baru 9 tahun dan masih duduk di kelas 3
bangku sekolah dasar. “Kak, tadi aku habis jatuh di sekolah dan sekarang kepalaku pusing"
Karena takut terjadi apa-apa, bergegas aku langsung meninggalkan ruangan interview dan
merawat Shafa di kamar. Padahal sesi interview belum usai. Nama santri baru nya pun aku
belum tahu, wajahnya yang kulihat juga hanya sekilas saja.
Skenario satu, bertemu
Skenario 2
Setelah 2 minggu usai penerimaan santri baru, aku jadi sering melamun. Kerjaan
menumpuk, banyak fikiran, banyak pengeluaran, kangen rumah rasanya ingin menyerah,
ditambah lagi sedang PMS. Jadi merasa jauh dari Allah. Hari ini terasa berat sekali, jam kerja
yang sehari 8 jam rasanya seperti 20 jam. Aku hanya duduk terdiam dipinggir tempat tidur dan
melihat kearah luar jendela yang sudah mulai gelap. Allahuakbar Allahuakbar………
Tiba-tiba lamunanku dibuyarkan oleh suara adzan yang sangat merdu, lantang dan suaranya
terasa tidak asing, belum pernah aku dengar suara adzan semerdu ini sebelumnya. Seketika aku
menutup mata dan meresapi keindahan lantunan adzannya. Rasa berantakan dalam diri ini kini
menjadi lebih tenang. Adzan selesai aku langsung berdiri bertanya siapakah pemilik suara adzan
yang indah itu. Ada Shafa di luar jendela yang bisa aku tanya “Shafa, barusan yang adzan
magrib siapa ya?”. “Sebentar ya kak Aiza, Shafa lihatin dulu”. Beberapa saat kemudian Shafa
datang dengan memberi tahu nama lengkap pemilik suara itu. Dia adalah Danish Ayman,
namanya seindah suaranya. Dia adalah santri pertama yang datang kesini saat itu. Ternyata dia
pemilik suara yang selalu terdengar sampai kamar saat mengaji dan hampir setiap waktu seusai
sholat fardhu. Padahal sudah 2 minggu dia di SMI tetapi aku baru mengenal namanya hari ini.
-Semesta pasti punya alasan untuk mempertemukan dua insan yang tak saling mengenal-
Sejak hari itu senyum dan semangatku mulai muncul kembali setelah beberapa hari
seperti kapal yang baru saja pecah diterjang ombak lautan. Sejak saat itu juga aku mulai
memperhatikan Ayman dalam diam. Beberapa kali kita pernah tidak sengaja saling memandang
satu sama lain dan membuang wajah begitu saja karena malu merasa tertangkap basah. Sejauh
ini menurutku dia adalah sosok laki-laki yang dingin dan pendiam, cuek, tidak banyak bicara
dan jarang tersenyum. Senyumnya mempesona, tetapi langka. Tatapannya tajam, seakan-akan
ingin menerkam. Pakaiannya juga selalu rapi dan sopan.
Saat ini aku akan membatasi dirimu hanya sebagai orang yang aku kagumi, tapi entah
nanti. Apakah aku akan jatuh hati?
Skenario dua, mengenal namanya lewat suara
Skenario 3
Hari ini aku ke ATM untuk tarik tunai. Tiba-tiba ditengah perjalanan sepeda motor yang
aku kendarai mogok. Melihat sekeliling ternyata tidak ada satupun orang terlihat untuk dimintai
bantuan. Sontak panik dan aku memutuskan untuk menelfon pak Rayyan. “Haloo
assalamualaikum pak Rayyan, pak motor saya mogok tiba-tiba nih. Boleh minta tolong buat
jemput saya kesini gak?” “Aiza dimana? Share loc ya!”. Ucap pak Rayyan di telfon. Kemudian
aku langsung mengirim titik lokasi dan menutup telfonnya. Setidaknya sedikit lebih tenang
walau pak Rayyan belum datang.
Beberapa menit kemudian ada panggilan masuk dari nomer tidak dikenal tapi aku
abaikan. Selang lima menit, “Kak Aiza gimana?”. Aku dikagetkan dengan seseorang yang tiba-
tiba berdiri tepat di depan. Aku yang duduk hanya bisa melihat kakinya dan menerka suaranya.
Tetapi bukan suara pak Rayyan. Ketika aku mendongakkan kepala keatas, ternyata ada Ayman
yang datang. Akupun seketika mengernyitkan dahi dan terdiam. “Kak saya Ayman, tadi pak
Rayyan nyuruh saya buat jemput kak Aiza. Soalnya pak Rayyan masih mengajar”. Dalam hati
“Udah tahu kali kalo namamu Ayman”. Sedikit gerogi tapi mau bagaimana lagi. Ternyata tadi
nomer tidak dikenal yang masuk itu nomer Ayman.
Kemudian motor yang mogok di stut dari belakang menuju bengkel terdekat. Setelah itu
aku dibonceng Ayman untuk tarik tunai ke ATM dulu, baru kembali ke SMI. Disepanjang
perjalanan kita mengobrol banyak hal. Ternyata dia tidak sependiam yang aku kira. Nyambung
dan asik diajak ngobrol berdua diatas sepeda. Sampai gak terasa sudah sampai aja. Padahal kan
masih pengen lama-lama. Hahahaha Aizaa..Aizaa.. Kemudian aku mengirimi Ayman pesan
WhatsApp untuk mengucapkan terima kasih.“Ayman, terima kasih banyak ya”. “Iya kak sama-
sama”. Sejak saat itu kita berdua saling menyimpan nomor WhatsApp satu sama lain, saling
menyapa dan beberapa kali mengobrol pada kesempatan di waktu luang. Beberapa kali Ayman
juga bercerita tentang keluarganya. Kamipun saling bertukar cerita secara langsung maupun dari
telfon.
“Banyak kebetulan-kebetulan yang akan kita temui nanti, banyak harapan yang jauh dari
keinginan, semua sudah digariskan dan ditakdirkan. Skenario langit, skenario terbaik”

Skenario tiga, hal tak terduga

Skenario 4
Danish Ayman, anak laki-laki tunggal yang dibesarkan oleh ibu dan pamannya. Ayahnya
telah tiada sejak ia berusia 2 tahun. Saat ini ia juga menempuh Pendidikan sarjana di salah satu
universitas di Bandung. Kuliahnya bisa dilangsungkan secara online karena saat ini ia sudah
semester lima. Setelah beberapa kali aku mengobrol dengannya ternyata ia adalah seseorang
yang memiliki banyak pencapaian dalam hidup. Dia penghafal al-Qur’an, kemampuan
berbahasa arabnya juga baik. Ia juga berusaha menjadi pengganti sosok ayahnya untuk
membahagiakan ibunya. Semakin aku mengenalnya, semakin aku jatuh hati padanya. Tetapi dari
sudut diriku diarah yang berbeda mengatakan aku tidak cukup baik untuk lelaki sepertinya.
Apalagi rentang usianya yang berjarak 2 tahun lebih muda.
Hari ini diadakan rapat dikantor SMI untuk membahas perihal progress santri yang kini
sudah berjalan 1 bulan. Disela-sela pembahasan pak Rayyan mengabarkan sesuatu. “Teman-
teman, tadi malam santri kita yang bernama Ayman datang menemui saya dan meminta izin
untuk pulang dengan alasan ibunya sakit. Bagaimana pendapat dari teman-teman sekalian?”.
Aku yang mendengarkan masih belum bisa mencerna seluruhnya antara bingung dan merasa
kehilangan harapan.
“Pulang untuk berapa hari pak?”, tanya bu Dini sebagai Kepada Departemen Santri.
“Jadi ibunya tidak mengizinkan kalau Ayman meneruskan Pendidikan disini. Karena
jauh dan ibunya khawatir. Selama 1 bulan ini, ibunya sering susah tidur dan akhirnya sakit.
Karena Ayman anak satu-satunya dia juga sangat mencemaskan kondisi ibunya yang ada di
Bandung”, jawab pak Ayman menjelaskan.
”Manusia berencana, Allah berkehendak”.
Aku hanya terdiam tidak bisa memberi masukan. Kenapa Ayman tidak pernah cerita
selama ini kepadaku. Ternyata dia masih belum terbuka untuk menceritakan masalahnya. Aku
berencana untuk mengobrol langsung dengan Ayman malam itu. Setelah sholat isya’ aku
bercermin dan mempersiapkan pertanyaan sebelum bertemu Ayman. Tapi aku masih ragu,
apakah ini perlu? Atau terlampau jauh?
Tiba-tiba Shafa mengetuk pintu kamar. “Kak Aiza..kakak dicari Mas Ayman diluar.
Katanya ada yang perlu dibicarakan”. Dalam hitungan detik, napas berat terhempas dari dua
lubang hidung. Padahal baru saja mau mengirim pesan teks untuk mengajak bertemu, ternyata
Ayman punya niat yang sama. Kemudian aku keluar kamar dan menemuinya di depan kantor.
“Ada apa Ayman?”, tanyaku padanya pura-pura tidak tahu apa yang terjadi.
“Kak, Aku mau pamit ya. Makasih untuk banyak hal yang udah kak Aiza lakukan selama
Ayman disini. Makasih juga selalu mendengar banyak cerita atas masalah-masalah yang aku
alami”, dengan wajah sedih dan tatapan khasnya yang tajam.
“Apa udah gak bisa diubah keputusannya?”, dengan penuh harap aku meyakinkan.
“Kak…Aku boleh tanya sesuatu?, “iya boleh, ada apa?”
“Ada gak dihati kak Aiza sedikit perasaan selain perasaan kagum terhadapku? Perasaan
sayang atau cinta contohnya, walaupun hanya 10%?”. Aku bingung harus menjawab apa.
Padahal dalam hatiku bergejolak ingin menjawab “ASAL KAMU TAHU AKU SUKA
BANGETTT SAMA KAMU”. Tetapi jawaban yang keluar dari mulutku hanya. “Mungkin,
kenapa tanya seperti itu?”.
“Saat ini dalam pesan aku bisu, tapi dalam doa aku riuh. Jaga diri baik-baik, karena aku
sayang kamu. Walaupun kelihatan sebentar tapi berat banget bagi aku. Aku menyayangimu
sederhana tanpa tau kapan bagaimana dan dari mananya.” Salah tingkah aku dibuatnya. Aku
tidak menjawab tapi seketika air mataku jatuh begitu saja. Beberapa menit aku terdiam dan
memastikan. “Sejak kapan kamu ada rasa denganku?”. “Sejak pertama kali bertemu denganmu
diruang interview”. Ayman menjawab tanpa jeda sedetikpun.
Melihat matanya, aku melihat kesungguhan pada dirinya. Tapi rasanya aku tidak
sanggup kalau kami dipisahkan oleh jarak. “Izinkan aku berproses ya. Kita punya kendala tapi
Allah punya kendali, yakinlah jika Allah sudah ikut andil maka tidak ada kata mustahil”, Ayman
terus meyakinkan. Aku hanya menjawab dengan mengangguk.
“Aku gak mau buat pacaran, aku hanya mau komitmen diantara kita kalau kamu
berkenan. InsyaAllah niat baik untukmu selalu ada”. “Ayman, kamu udah boleh manggil aku
Aiza aja. Makasih sudah mengutarakan niat baiknya. Jaga diri, jaga hati ya. Fii hifdzillah, fii
amanillah”. Kuserahkan semua keputusanku untuk berkomitmen dengannya kepada Allah.
“I love you Aiza. Aku pamit ya besok setelah sholat shubuh mau pulang ke Bandung”
Sejak hari itu aku sudah tidak bisa mendengar suara lantunan adzannya yang indah.
Sejak hari itu hariku sedikit lebih berat dari biasanya. Sejak hari itu aku terus mendekati
penciptanya agar selalu dijagakan hatinya.
Skenario empat, pertemuan singkat
Skenario 5
Setiap pagi notifikasinya adalah bunyi yang selalu aku tunggu. Karena dia selalu
mengirim pesan teks yang bisa buat aku senyum-senyum sendiri.
Buat kamu aku ngucapin banyak-banyak terimakasih udah datang dikehidupan aku.
Kamu bukan first love ku dan kamu datang diwaktu aku tidak mempercayai siapapun, tapi kamu
yang hadir dan mampu membuat aku untuk membuka hati kembali. Kamu yang membuat aku
yakin bahwa tidak semua Perempuan itu sama. Love you.
Hari-hariku sangat berwarna dibuat olehnya. Walaupun kita terpisahkan oleh jarak, tapi
rasanya tetap dekat. Sampai pada akhirnya 3 bulan kemudian hal yang aku takutkan terjadi. Dia
goyah, dia mulai resah dan tidak yakin dengan hubungan ini. Karena aku yang harus mengejar
usia sedangkan dia masih kuliah dan belum siap secara finansial. Akhirnya dia memutuskan
pergi tanpa pesan terakhir. WhattsApp dan semua sosial mediaku di blokir. Aku menjadi
manusia sekacau-kacaunya hari itu. Dia hadir dan pergi tanpa diusir. Apakah ini bagian dari
takdir?
Tepat dihari ulang tahunku aku mencoba untuk mencari tahu sosial medianya
menggunakan akun lain. Pernah gak saking sakitnya sampai kalian mau nangis pun gak bisa?
Yaa, itu yang aku alami saat ini. Aku melihat dia sudah memposting foto berdua dengan
perempuan baru. Padahal hal yang paling aku tunggu hari ini adalah ucapan ulang tahun
darinya. Tetapi malah dibuat semenyedihkan ini. Tidak ada yang bisa aku lakukan saat itu. Mau
marah pun tidak bisa merubah keadaan juga. Aku hanya bisa mengangkat tangan dan berdoa,
semoga aku bisa lapang dada dan kembali bahagia walaupun tidak dengannya. Tulisan ini akan
menjadi pesan terkahirku untuknya meski aku tahu dia tidak akan membaca.
Kalau aku tahu kita akhirnya akan berpisah kayak gini, aku tetap memilih buat kenal
sama kamu. Aku tetap milih buat deket sama kamu. Karena sama kamu banyak hal
menyenangkan walaupun endingnya menyakitkan. Karena sama kamu aku bisa belajar tentang
banyak hal. Karena sama kamu setidaknya aku pernah merasakan Bahagia walaupun tidak
selamanya dan karena sama kamu aku bisa tahu bahwa ternyata orang yang paling dekatpun
pada akhirnya bisa menjadi orang yang paling asing. Baik buruk hubungan kita kemarin aku
tetap Bahagia karena bisa mengenal sisi baik dan burukmu. Walaupun jika memang akhirnya
kita tidak ditakdirkan untuk terus bareng-bareng setidaknya kita pernah merasakan Bahagia
berdua. Setidaknya kita pernah mencoba untuk saling menjaga. Yaa..walaupun pada akhirnya
kita gagal juga. Terimakasih untuk 3 bulan berharganya. Semangat untuk berproses. Doakan
aku semoga usainya cerita kita semoga aku mempunyai hati seluas samudra untuk memaafkan
hal-hal yang seharusnya masih susah diterima. Maaf aku tidak bisa menahanmu untuk tidak
pergi dan tidak bisa juga mengajak kamu untuk kembali, berbahagialah. Let’s always remember
to be grateful for the blessing in our lives. Walaupun sampai saat ini namamu masih menjadi
topik utama dalam perckapanku dengan Tuhanku.
Saat ini aku tidak akan belajar untuk melupakan karena itu diluar kemampuan. Tapi akan
terus belajar untuk merelakan dan melanjutkan kehidupan. Sampai saat ini juga aku percayakan
pada Tuhan karena semua ini masih dalam skenario-Nya. Hingga nanti sampai akhirnya pada
final chapter terbaik menurut-Nya. Walaupun tidak berujung denganmu nantinya.
Diza, Dinda Zalfa Sahira. S1 Psikologi, umur seperempad abad. Mutualan Instagram yuk

@dinda_zalfaa. Selamat membaca, semoga suka 😊

Anda mungkin juga menyukai