Anda di halaman 1dari 34

Guru adalah pelita hati

Yang kan terus menyinari


Tunas-tunas harapan tumbuh bersemi

Lelahnya adalah abdi


Demi sang generasi
Penerus bangsa sejati

Semangatnya kan terpatri


Menjadi cambuk motivasi
Suksesnya diri

Guru, namamu kan abadi


Menjadi kenangan insani

(Novelet ini didedikasikan untuk semua Guru)


BAB 1

Pagar Makan Tanaman

Pagi yang cerah, tapi tak secerah hatiku. Mendung memayungi hati, sepertinya hujan
air mata tak bisa terbendung lagi. Ah...bagaimana tidak, orang-orang yang sangat aku
cintai, yang selama ini selalu menceriakan hari-hariku, dengan tiba-tiba menggoreskan
luka yang menyayat hati. Rasanya hati ini berdarah. Aku terhuyung, terkapar, tak berdaya
menahan sakit.

Sebenarnya aku tak ingin mengingat lagi peristiwa tadi pagi, tapi otakku terus saja
memutar video kemesraan antara Dion, kekasihku dengan Anindia sahabatku sendiri. Dua
orang yang selama ini selalu menemani hari-hariku, selalu menghibur dikala aku sedih, selalu
mensuport dikala aku menghadapi masalah. Kini telah menggoreskan luka dalam hatiku.
Lalu sekarang siapa yang akan menghiburku dan mensuportku?

Aku betul-betul tidak percaya kalau Anindia, sahabatku sendiri mengkhianati aku.
Entah apa salahku? Aku baru sadar kalau akhir-akhir ini Anindia seolah menjauhiku.
Biasanya kami selalu bersama. Hari-hari terakhir ini Anindia memang selalu mencari
alasan untuk tidak bersamaku. Pulang sekolah, Ia selalu terburu-buru, ketika aku bertanya
ada apa? Anindia hanya mengatakan kalau dia ada keperluan. Aku tidak menaruh rasa
curiga sedikit pun. Aku pikir Anindia memang betul-betul ada keperluan. Sama halnya
dengan Dion, kekasihku, ia juga akhir-akhir ini seolah menjauhiku. Ia mengatakan kalau
akhir-akhir ini banyak kegiatan ekskul yang harus diikutinya sehingga tidak punya waktu
untukku. Aku pun sama sekali tidak menaruh curiga. Aku percaya pada Dion.

Tapi, kejadian tad i pagi membua hatiku merana. Di taman belakang sekolah,
aku melihat dengan mataku sendiri mereka berdua saling berpegangan tangan. Lalu,
kudengar ungkapan rasa cinta Dion pada Anindia. Aku sangat bingung, kenapa Dion
berbuat seperti itu. Sehingga tanpa kusadari aku sudah melangkahkan kaki dan tiba di
hadapan mereka. Tentu saja mereka terkejut.

“Apa maksudnya Dion? Kenapa kau mengatakan cinta pada Anindia?” Tanyaku
bergetar menahan rasa kecewa.

“Raisya..aku..aku...” Jawab Dion terbata-terbata.


“Kenapa? Jawab saja! Tadi aku sudah mendengar perkataanmu pada Anindia.”
Ucapku kesal.

“Maafkan aku Sya, sebenarnya selama ini aku tidak mencintaimu. Sebenarnya aku
mencintai Anindia.” Jawaban Dion membuatku tak menentu.

“Lalu kenapa kau mendekatiku? Kenapa kau tidak mengatakan cinta pada Anindia
dari dulu? Kenapa kau malah menyatakan cintamu padaku? Kau mau mempermainkan
hati kami?” Ketusku.

“Sebenarnya dulu maksudku memang ingin mendekati Anindia, tapi entah


mengapa aku malah dekat denganmu dan menyatakan cinta padamu. Aku sungguh minta
maaf Sya, kali ini aku benar-benar tidak bisa membohongi lagi perasaanku.” Ucap Dion
semakin menambah kesedihanku.

“Lalu, bagaimana denganmu Anin? Apakah kau juga mencintai Dion?” Tanyaku
pada Anindia.

“Maafkan aku juga Sya, sebenarnya dari dulu aku juga mencintai Dion. Tapi aku
tahu ternyata kau juga mencintainya. Aku mengalah Sya, karena kamu adalah sahabatku.
Aku tidak ingin menyakiti hatimu. Tapi sekarang kami berdua sudah tidak kuat lagi
menggung perasaan yang selama ini terpendam. Sekali lagi maafkan aku, Sya.” Ucap
Aninndia.

“Keterlaluan! Kalian betul-betul menyakiti hatiku! Sekarang silakan kalian boleh


memadu cinta terpendam kalian! Aku muak dengan kalian!” Marahku sudah tak
terbendung lagi. Aku segera berlari meninggalkan mereka. Aku benar-benar terpukul. Aku
tak kuat lagi menahan tangis. Aku berlari, kutumpahkan tangisku di kantin sekolah yang
sepi.

Entah berapa lama aku menangis, sepertinya air mataku belum juga kering.
Hingga tiba-tiba sebuah tangan halus mengelus bahuku. Aku terperanjat dan melihat sosok
perempuan berjilbab putih tersenyum kepadaku.

“Maaf, kamu kenapa? Sakit?” Tanyanya halus.

“Em...tidak Bu, Ibu ini siapa ya?” Jawabku sambil mengusap pipiku yang basah.
“Saya guru baru di sekolah ini. Kebetulan saya mau membeli jajanan di kantin,
tadi belum sempat sarapan.” Katanya sambil tersenyum. Ada kesejukan melihat senyumnya
itu.

“Oh , jadi Ibu ini Ibu Maryana yang menggantikan Pak Ferdi?” Kataku seperti tak
sungkan lagi.

“Betul. Kamu kelas berapa?” Tanyanya lagi.

“Saya kelas XII IPS 2, Bu.”

“Terus kenapa sekarang kamu tidak masuk kelas, malah menangis di sini?”
Tanyanya lagi sambil tersenyum. Melihat dia tersenyum, aku jadi ikut tersenyum. Iya,
bodoh sekali aku ini, yang lain belajar, ini malah menangis tak karuan.

“Ayo sekarang masuk ke kelas, sedihnya simpan dulu. Nanti setelah istirahat Ibu
masuk ke kelas kamu lho. Pesan Ibu, hadapilah semua ini dengan senyuman!” Ujarnya
sebelum pergi sambil lagi-lagi tersenyum.

The smiling teacher, kataku dalam hati. Pasti dia selalu bahagia, tidak pernah sedih
seperti aku sekarang. Uh...jadi ingat lagi, tapi aku segera menepis ingatanku, aku tidak boleh
cengeng, betul kata Bu Maryana tadi, hadapilah semua ini dengan senyum. Aku tersenyum
walau kelu. Kulangkahkan kakiku menuju kelas. Tapi ternyata hatiku tak setegar yang
kuharapkan. Berada di kelas yang didalamnya ada sahabatku Anindia, kembali hatiku
menjadi sedih. Anin yang sepertinya sudah tahu akan kesedihanku karena dia, tak berani
duduk di sampingku seperti biasanya, ia pindah ke barisan belakang. Tak ada lagi Anin
yang selalu menghiburku, justru ia kini yang membuat hatiku sedih.

Lagi-lagi mataku berkaca karena aku ingat kembali peristiwa tadi, sampai-sampai
aku tak menyadari kalau Bu Maryana masuk ke kelasku dan menghampiriku.

“Kamu menangis lagi ya?” Katanya sambil tersenyum.

“Em...maaf Bu.” Kataku gugup.

“Sekarang lupakan dulu sedihmu itu, konsentrasikan pikiranmu untuk menyimak


materi dari Ibu, ya!” Katanya lagi-lagi sambil tersenyum.
Aku hanya mengangguk. Melihat senyumannya, hatiku sedikit lega. Akhirnya
kupaksakan otakku untuk menyimak materi dari Bu Maryana. Aku berdecak kagum, Bu
Maryana begitu luwesnya menjelaskan materi yang menurutku sulit. Dulu, waktu Pa Ferdi
menjelaskan materi yang seperti ini, aku selalu sulit memahaminya. Tapi, sekarang dengan
mudahnya aku dapat memahami materi ini. Guru yang luar biasa, pikirku. Baru pertama
masuk kelas sudah memberi kesan yang dalam, apalagi selanjutnya. Dan senyumnya itu lho,
sepertinya semua anak di kelas ini juga menyukainya. Terbukti tak ada satu siswa pun yang
tidak memperhatikan dia. Aku melihat geng-nya Roy yang selalu ribut, kini menyimak Bu
Maryana dengan penuh perhatian. Atau si gendut Oki yang selalu tidur, kini matanya
melotot penuh perhatian. Entah karena apa Bu Maryana dapat menyihir semua siswa di
kelas ini. Entah karena penampilannya yang berjilbab itu. Memang baru pertama kali di
sekolahku ada guru yang berjilbab, semua guru perempuan yang ada, walaupun sebenarnya
mayoritas beragama Islam, tapi mereka tidak berjilbab seperti Bu Maryana. Begitupun
dengan siswi-siswinya hanya satu dua orang yang berjilbab padahal mayoritas beragama
Islam, ya seperti aku ini, mengaku beragama Islam, tapi bajunya tidak Islami. Ih...jadi malu
sendiri.

Bel pergantian jam belajar berbunyi, artinya Bu Maryana harus keluar dari
kelasku. Aku jadi kesal, kenapa bel cepat sekali berbunyi, aku kan masih ingin
mendengarkan suara Bu Maryana. Jadi ingin tertawa, karena biasanya justru bunyi bel itu
selalu ditunggu-tunggu.

Sebelum meninggalkan kelas, Bu Maryana menghapiriku.

“Jangan dilanjutkan lagi ya sedihnya!” Ucapnya setengah berbisik sambil


tersenyum. Aku hanya mengangguk dan membalas senyumannya.

Ia pun berlalu pergi. Rasanya ada yang aneh dalam hatiku, seperti ada yang
hilang melihat Bu Maryana berlalu dari kelasku. Aku hanya bisa mengingat ucapannya yang
menyuruhku untuk tidak lagi bersedih. Ya betul, aku tidak boleh berlarut-larut dalam
kesedihanku, hanya karena masalah sepele seperti itu. Aku ingin membuktikan pada Bu
Maryana kalau aku bisa. Mudah-mudahan bisa. Harus bisa!
BAB 2

Tentang Guru Baru

Bel tanda pulang berbunyi, semua siswa berhamburan menuju keluar kelas untuk
pulang ke rumahnya masing-masing.

Di gerbang sekolah aku melihat Bu Maryana sedang berjalan. Aku pun segera
mengejar dan menghampirinya.

“Ibu mau pulang? Rumah Ibu dimana?” Tanyaku.

“Eh, kamu, oh iya Ibu belum tahu nama kamu?” Jawabnya malah balik bertanya.

“Saya Raisya Bu.”

“Oh, Raisya. Rumah Ibu di jalan Otista.” Katanya sambil tersenyum.

“Maksud Ibu jalan Otista yang dekat dengan kompleks perumahan Permata Indah?”
Tanyaku lagi.

“Iya, memangnya kenapa?”

“Saya tinggal di perumahan itu Bu. Ibu pulang naik apa?”

“Ah, Ibu jalan kaki saja, Raisya.”

“Lho, kan jauh Bu. Ibu pulangnya dengan saya saja ya!” Kataku setengah
memaksa.

“Tidak usah Raisya, Ibu tidak mau merepotkan. Lagi pula Ibu sudah terbiasa jalan
kaki.” Jawabnya sambil tersenyum.

“Ayolah Bu, saya tidak merasa repot kok, kita kan satu arah.” Aku memaksa Bu
Maryana dan tanpa menghiraukan jawabannya, aku segera memanggil Pa Budi, supirku,
untuk membawa mobil ke hadapanku. Pa Budi pun segera menghampiriku dan aku langsung
menarik Bu Maryana untuk naik ke dalam mobil.

Di dalam mobil aku melihat Bu Maryana diam saja. Aku tidak tahu kenapa dia
bersikap seperti itu.
“Maaf Bu, Ibu kenapa diam saja?” Tanyaku membuka pembicaraan.

“Em, tidak apa-apa. Kamu bersyukur ya, masih bisa menikmati fasilitas seperti ini.”
Katanya sambil tersenyum.

Bersyukur? Aku jadi malu mendengarnya. Sebenarnya aku tak begitu mengerti
bagaimana cara bersyukur itu. Selama ini justru aku selalu merasa menjadi orang yang selalu
tidak pernah puas, selalu menuntut lebih. Kemarin saja aku marah pada orang tuaku karena
mereka belum juga mau mengabulkan permintaanku. Aku minta mobilku diganti dengan
mobil keluaran baru yang limited edition. Aku merasa mobilku yang sekarang yang
merupakan mobil bekas kakakku, sudah ketinggalan zaman. Aku ingin mobil baru. Padahal
aku harusnya bersyukur, di antara teman-teman sekolahku hanya segelintir anak yang punya
mobil sendiri. Sebagian besar teman-temanku pergi ke sekolah naik motor atau naik
angkutan umum atau bahkan berjalan kaki.

“Lho, sekarang kok jadi kamu yang diam.” Tegur Bu Maryana mengagetkanku.

“Em, tidak apa-apa Bu.” Jawabku.

“Eh, Ibu turun di depan, Raisya. Terima kasih ya, sudah memberi tumpangan.”

“Oh, Ibu turun di sini. Boleh tidak Bu, saya ikut ke rumah Ibu?” Kataku tiba-tiba.

“Tapi untuk menuju rumah Ibu harus berjalan agak jauh, nanti kamu capek.”

“Gak apa-apa Bu, sambil olahraga. Boleh ya Bu?” Kataku memaksa.

“Kalau kamu mau, Ibu tidak akan melarang. Ayo!” Bu Maryana akhirnya
mengizinkan aku ikut ke rumahnya.

Kami pun berjalan menyusuri lorong gang yang sempit karena padatnya rumah
penduduk. Aku sering melintasi daerah ini, tapi baru kali pertama ini aku masuk ke
dalamnya. Agak capek juga, maklum aku biasa naik mobil. Tapi rasa capekku itu segera
hilang ketika Bu Maryana menghentikan langkahnya di sebuah rumah petak kecil. Ia
mengucapkan salam dan dari dalam rumah terdengar suara anak kecil menjawab salam.

“Ini rumah Ibu, rumah kontrakan sebenarnya. Ayo Raisya silakan masuk.” Ajak Bu
Maryana kepadaku. Aku pun masuk ke dalam rumah yang sederhana itu. Di dalam, ada
seorang anak kecil berjilbab sedang menyuapi anak yang lebih kecil darinya. Tapi keadaan
anak kecil itu yang mebuatku terenyuh, sepertinya anak itu menderita hydropalus, itu lho
yang kepalanya membesar.

“Raisya, ini anak pertama Ibu, namanya Salma. Salma, sini salam dulu dengan kak
Raisya!” Bu Maryana menyuruh anaknya menyalamiku, anak itu pun menghampiriku,
berucap salam dan menyalamiku.

“Kalau ini anak kedua Ibu, namanya Yusup. Yusup udah makan sayang? Ini ada
Kak Raisya.” Ucap Bu Maryana menghampiri anak yang terlentang tidur. Anak itu pun
hanya melihat kepadaku.

“Bu, Salma sekarang sekolah dulu ya. Dede sudah selesai makan, tadi juga udah
Salma mandiin.”

“Iya sayang, hati-hati di jalan ya Nak!”

“Iya Bu, Salma berangkat dulu.. Mari Kak, Assalamualaikum.” Ucap Salma seraya
melangkahkan kakinya ke luar rumah.

“Memangnya Salma sekolah apa Bu, kok berangkatnya siang begini?” Tanyaku
penasaran.

“Di Madrasah Ibtidaiyah swasta, Raisya, setingkat dengan Sekolah Dasar, di bawah
naungan salah satu yayasan Islam. Karena kelasnya sedikit, kemudian digunakan juga
untuk Tsanawiyah dan Aliyah, jadi Salma kebagian jadwal siang. Tapi ibu bersyukur, dengan
begitu, Salma bisa menjaga dulu adiknya sementara ibu ke sekolah.” Ungkap Bu Maryana.

“Memangnya suami ibu kemana?” Tanyaku lagi.

Sejenak Bu Maryana terdiam. Ada kegundahan di matanya. Lalu, dengan tersenyum


ia mulai bercerita. Sebuah cerita yang membuat hatiku menangis. Bagaimana tidak, seorang
Bu Maryana yang selalu menghiasi wajahnya dengan senyuman, yang aku pikir selalu
bahagia, ternyata memiliki kisah yang amat tragis. Bu Maryana menceritakan suaminya yang
telah meninggal karena kecelakaan sepulang dari sekolah. Waktu itu, Bu Maryana dan
suaminya baru pulang dari sekolah tempat mereka mengajar, kebetulan mereka satu
sekolah. Tiba-tiba sebuah mobil mewah berwarna merah metalic yang dikendarai secara
ugal-ugalan melaju kencang dan menabrak motor yang dikendarai oleh suami Bu Maryana.
Tak ayal lagi, kecelakaan pun terjadi . Suami Bu Maryana meninggal di tempat kejadian.
Sementara Bu Maryana yang saat itu tengah hamil anak keduanya hanya luka di bagian kaki
dan tangannya. Walaupun selamat , Bu Maryana harus menerima kenyataan kalau janin di
dalam perutnya mengalami kelainan. Maka , seperti itulah Yusup akhirnya terlahir dengan
kondisi yang memprihatinkan. Lebih menyedihkan lagi pengendara mobil mewah itu tidak
mau bertanggung jawab. Jangankan memberi santunan, melihat kondisi Bu Maryana saja
tidak. Sampai sekarang Bu Maryana tidak pernah tahu siapa pelaku tabrak lari tersebut.

Kesabaran Bu Maryana kembali diuji. Setahun setelah peristiwa kecelakaan yang


mengakibatkan suaminya meninggal, rumah Bu Maryana mengalami kebakaran. Tidak ada
satu pun barang yang bisa diselamatkan, kecuali dirinya sendiri dan kedua anaknya. Bu
Maryana yang memang perantau, sama sekali tidak mempunyai saudara yang dekat
dengannya. Hingga akhirnya ia harus tinggal di rumah kontrakan.

Belum selesai ujian rumahnya kebakaran, datang lagi ujian yang lain. Di sekolah, Bu
Maryana yang hanya seorang guru honorer, terpaksa harus diberhentikan karena adanya
beberapa guru PNS baru yang ditugaskan di sekolah tersebut. Bu Maryana tidak bisa
berbuat apa-apa. Ia hanya bisa pasrah mengahadapi kenyataan hidupnya. Keluar dari
sekolah tersebut Bu Maryana mencoba melamar ke beberapa sekolah termasuk ke sekolahku.
Tapi tidak ada satu pun yang mau menerimanya, dengan alasan jumlah guru sudah
mencukupi. Tiga tahun, Bu Maryana mencoba menghidupi keluarganya dengan pekerjaan
serabutan. Apa pun ia kerjakan asalkan pekerjaan halal. Ia tidak merasa gengsi sedikit pun,
walaupun ia seorang Sarjana Pendidikan. Suaminya yang juga guru honorer tidak
mewariskan uang pensiun untuknya dan anak-anaknya. Sehingga mau tak mau ia harus
bekerja keras demi menghidupi keluarganya. Ia juga tidak mau merepotkan keluarganya
atau keluarga suaminya di kampung. Keluarga Bu Maryana hanyalah keluarga biasa. Ia
tidak mau membebani keluarganya. Walaupun pekerjaannya hanya cukup untuk kebutuhan
makan. Bahkan, karena minimnya pendapatan, Bu Maryana harus tinggal di rumah
kontrakan murah yang keadaannya sangat memprihatinkan.

Nasib baik akhirnya datang juga. Lamaran yang dulu diajukan Bu Maryana ke
sekolahku akhirnya diterima, karena guruku ada yang pindah. Sementara sekolah memang
memerlukan guru mata pelajaran tersebut. Begitulah, akhirnya aku bisa bertemu dengannya.
Bu Maryana, guru baruku.
BAB 3

Doa Untuk Orang Tua

Sepulang dari rumah Bu Maryana, aku merasa ada sesuatu yang menghujam hatiku.
Ternyata begitu menderitanya guruku itu. Aku membayangkan Salma, anaknya Bu Maryana,
yang harus kehilangan kasih sayang dari ayahnya di usianya yang masih kecil. Belum lagi ia
harus membantu ibunya mengurusi adiknya. Seharusnya anak seusia Salma bisa merasakan
masa kanak-kanaknya dengan penuh keceriaan. Seperti aku dulu, begitu cerianya aku waktu
kecil. Semua keinginanku selalu terpenuhi. Aku tidak pernah membantu orang tuaku karena
memang banyak pembantu di rumah. Harusnya aku bersyukur terlahir dari keluarga yang
berkecukupan. Ayahku seorang pengusaha sukses dan ibuku seorang dokter. Walaupun
aku jarang bertemu dengan mereka karena kesibukannya.

Aku sempat kecewa dengan keadaanku ini. Di rumah sebesar ini, aku merasa
kesepian. Ayahku sibuk dengan bisnisnya. Ibuku sibuk dengan melayani pasien-pasiennya.
Dan kakakku satu-satunya seorang lelaki tak mungkin mau menemani adik perempuannya
ini. Apalagi sekarang ia sedang berada di luar negri. Makanya aku lebih senang main di
luar rumah, atau kalau di rumah aku pasti bersama Anindia, sahabatku sejak aku kecil.

Mengingat Anindia, hatiku kembali sedih. Mulai sekarang mungkin aku takkan
lagi bersamanya. Aku harus menghapus kenangan kebersamaan kami yang sudah terjalin
sejak kami kecil. Hanya gara-gara seorang lelaki. Hey,,aku tersentak. “Hanya karena seorang
lelaki, persahabatan kami harus terputus?” Umpatku dalam hati. Ada apa denganku?

Kembali mengingat peristiwa-peristiwa yang dialami Bu Maryana. Tidak membuat


Bu Maryana bersedih hati. Justru ia selalu tersenyum. Sedangkan aku? Hanya karena
masalah seperti ini aku harus bersedih dan memutuskan tali persahabatanku. Aku memang
tidak setegar Bu Maryana. Atau mungkin belum bisa menerima kenyataan yang menimpa
hidupku. Biarlah waktu yang akan membimbingku untuk belajar tegar dalam
menghadapi permasalahan hidup ini.

“Neng Raisya, makan dulu ya! Dari tadi Neng belum makan, ini Bibi bawakan
makanannya!” Tiba-tiba saja Bi Minah, pembantuku masuk ke kamar. Membuyarkan
lamunanku.
“Ih, Bibi, kalau masuk kamar orang itu ketuk pintu dulu, ngagetin aja!” Ucapku
ketus.

“Maaf, Neng, tadi pintunya tidak ditutup, terus Bibi panggil-panggil Neng Raisya,
Neng-nya tidak menyahut, jadi bibi masuk aja. Ini makanannya dimakan dulu!” Sahut Bi
Minah sambil menyimpan nampan makanan di meja riasku.

“Aku gak mau makan Bi, lagi males!” Sahutku.

“Lho, jangan begitu Neng, kalau Ibu tahu, nanti bibi dimarahin. Sedikit aja, ya!”
Bi Minah terus merayuku. Karena kasihan melihatnya akhirnya aku mau makan.

“Oh iya, Neng, tadi Neng Anindia telpon, HP-nya Neng Raisya nggak aktif ya?
Neng Anin sepertinya khawatir banget!”

“Khawatir apa? Pura-pura peduli! Anindia itu bukan sahabatku lagi, Bi! Jadi jangan
sebut-sebut namanya lagi!” Ketusku.

“Berantem dengan teman itu wajar Neng, nanti juga baikan lagi. Bibi juga waktu
muda dulu begitu, suka marahan gara-gara berebut pacar, hehe..” Ucap Bi Minah. Bi Minah
memang pembantuku yang paling lama bekerja di rumahku. Dialah yang mengurus
keperluanku sejak aku kecil, jadi dialah yang paling dekat denganku melebihi kedekatanku
dengan ibuku sendiri.

“Ah, Bibi, sudah ah, aku gak mau membahas itu!”

“Eh, iya Neng, Ibu juga tadi telpon, katanya kalau Neng sudah pulang disuruh telpon
Ibu.”

“Tumben, ada apa ya Mamah nyuruh aku nelpon?”

“Sudah, telpon saja, barangkali penting. Bibi ke dapur dulu ya Neng!” Ucap Bi
Minah sambil keluar kamar membawa nampan bekas makanku.

Sepeninggal Bi Minah, aku langsung membuka HP dan segera kunyalakan. Tak


seperti biasanya ibuku menyuruhku untuk menelpon.

“Hallo, Mah, ada apa? Tumben nyuruh Raisya telpon!” Ucapku. Terdengar suara
ibuku di serbang sana.
“Kamu dari mana saja? Kenapa HP-nya mati?”

“Biasa Mah, tadi ada kegiatan ekskul di sekolah, terus HP-nya lowbat.” Jawabku
berbohong.

“Ya sudah, nanti jam 7, kamu datang ke Restauran Bougenvil!”

“Memangnya ada acara apa, Mah?”

“Sudah, pokoknya datang saja! Jangan lupa dianter sama Pak Budi!”

“Kalau Raisya gak mau?”

“Huss, nih anak, ini penting sekali Raisya. Pokoknya kamu harus datang! Ya sudah,
Mamah masih ada pasien.” Seru ibuku sambil menutup telponnya.

Aku agak kesal. Ibuku memang begitu, selalu memaksa. Dari kecil sampai sekarang,
aku harus menururti semua perintahnya. Dia tidak pernah bertanya apakah aku bersedia
atau tidak. Tapi, entah mengapa aku mau saja diperintah olehnya. Mungkin karena dia
ibuku.

Tepat jam 7, aku sudah berada di Restaurant Bougenvil. Begitu pun dengan orang
tuaku. Heran juga karena mereka bisa datang tepat waktu. Ibuku terlihat begitu cantik dengan
gaun malamnya. Entah dimana dia bisa berdandan seperti itu. Mungkin tadi di rumah sakit
sebelum ia berangkat ke sini. Dan ayahku seperti biasa dengan gayanya yang selalu
memakai kemeja lengan pendek. Walaupun seorang pengusaha sukses, tapi ayahku
berpenampilan sederhana. Dia jarang sekali memakai jas r api, kecuali di acara-acara resmi.
Itulah kadang-kadang yang membuat ibuku protes akan penampilannya. Tapi, melihat
mereka berdua sekarang begitu serasi. Ibuku yang cantik dan ayahku yang tampan.

“Tumben, tepat waktu. Ada acara apa sih, Mah?” Tanyaku setiba di hadapan
mereka.

“Ini acara penting, Raisya. Ulang tahun pernikahan Mamah dan Papah yang ke-25!
Iya kan Pah.” Jawab ibuku.
“Iya, sayang, selama ini kami memang tidak pernah merayakan ulang tahun
pernikahan kami tiap tahun. Tapi, karena tahun ini, tahun yang spesial, maka kami ingin
merayakannya, walau hanya dengan acara makan malam seperti ini.” Ucap ayahku.

“Wah, kalau aku tahu ini acara anniversary, pasti aku bawa kado untuk Mamah dan
Papah. Tadi Mamah gak kasih tahu sih!” Ucapku penuh sesal.

“Sudah, gak apa-apa. Kado yang paling spesial itu adalah doa dari anak solehah. Mau
kan mendoakan Mamah dan Papah agar langgeng pernikahannya?” Ungkap ayahku. Heran
juga ayahku bisa sebijak itu.

“Tapi, sayang kakakmu tidak bisa ikut merayakannya.” Keluh ibuku.

“Sudah, gak apa-apa. Tadi Papah sudah nelpon Radit. Radit titip salam buat
Mamah dan Raisya. Lagi pula, tiga bulan lagi Radit akan pulang. Jadi, nanti kita bisa
rayakan lagi. Ayo, makan, Papah sudah laper nih.” Seru ayahku sambil mulai menikmati
hidangan makan malam.

Aku merasa malam ini kedua orang tuaku begitu berbeda. Mereka terlihat begitu
bahagia dengan cintanya. Ayahku memberikan hadiah istimewa yang membuat ibuku
terpukau dan menangis bahagia. Begitu pun sebaliknya. Dua puluh lima tahun bukanlah
waktu yang singkat untuk menjalin sebuah hubungan. Banyak hal yang telah mereka lalui.
Di tengah kesibukkan mereka, mereka ternyata masih bisa menjaga keutuhan ikatan suci
pernikahan. Sementara aku, baru pacaran sekali saja, sudah dikhianati. Mudah-mudahan aku
mendapat jodoh yang setia seperti ayah dan ibuku.

Sesaat, aku kembali teringat Bu Maryana. Betul kata Bu Maryana, bahwa aku
harus bersyukur. Mensyukuri apa pun yang aku miliki, termasuk kedua orang tuaku.
Walaupun aku sering merasa seolah mereka kurang memperhatikanku karena kesibukan
mereka. Harusnya aku menyadari kalau kedua orang tuaku sebenarnya sangat
menyayangiku. Di dunia ini tidak ada orang tua yang tidak menyayangi anaknya. Ibuku yang
berprofesi sebagai dokter dituntut untuk lebih mengutamakan orang lain daripada
keluarganya sendiri. Ayahku pun sudah tugasnya mencari nafkah untuk anak-istrinya.
Jadi, tidak ada alasan bagiku untuk tidak bersyukur atas karunia ini. Di luar sana banyak
anak-anak yang harus berpisah dengan orang tuanya, bahkan ada yang sama sekali tidak
pernah mengenal orang tuanya. Aku kembali teringat pada Salma, putri Bu Maryana yang
harus kehilangan kasih sayang ayahnya. Bahkan Yusup, putra Bu Maryana yang
kondisinya memprihatinkan, sama sekali tidak pernah mengenal ayahnya. Mulai saat ini,
aku berjanji dalam hatiku untuk selalu mendoakan kedua orang tuaku. Dan membuat
mereka merasa bangga terhadap putri satu-satunya ini.
BAB 4

Guruku, Pelita Hatiku

Kehadiran Bu Maryana telah memberikan warna baru bagi hidupku. Selain materi
pelajaran yang mudah aku pahami, ada hal lain yang selama ini aku abaikan mulai
menarik perhatianku.

Tanpa bermaksud menggurui, ia memberikan contoh langsung bagi siswa-siswinya.


Aku mulai tertarik dengan jilbabnya. Aku bertanya kepadanya tentang mengapa seorang
muslimah harus mengenakan jilbab. Dengan tersenyum, ia mulai menjelaskan alasan
mengapa kita harus berjilbab. Ia jelaskan bahwa Allah SWT telah memerintahkan setiap
muslimah yang sudah baligh untuk menutup seluruh auratnya kecuali wajah dan telapak
tangannya. Sebagai seorang muslimah yang sudah baligh, tentunya kita harus memiliki
kesadaran akan kewajiban itu. Kesadaran itu harus dari diri sendiri dan harus didasarkan
pada keikhlasan karena Allah, bukan karena paksaan atau niat lain.

Hal lain yang membuatku mulai tetarik adalah ketika ia menjelaskan tentang aturan
pergaulan antara laki-laki dan perempuan. Awalnya, ia bertanya kepadaku tentang hal apa
yang aku tangisi ketika aku pertama kali bertemu dengannya. Aku pun menjelaskan tentang
pengkhianatan cinta yang telah dilakukan oleh pacarku dan sahabatku. Itulah yang
membuat hatiku sedih, bahkan sampai sekarang sakitnya masih terasa. Dengan tersenyum,
ia mulai menghiburku.

“Harusnya kamu bersyukur, dengan adanya kejadian tersebut!”

“Maksudnya Bu?” Tanyaku bingung.

“Ya, karena Allah masih melindungimu. Allah telah memperlihatkan hal terbaik
untukmu. Coba bayangkan, kalau sekarang kamu tidak melihat perilaku mereka. Kamu
akan terus terbuai oleh cinta Randi yang semu. Dan sahabat baikmu itu akan terus
membohongimu. Apa itu yang disebut dengan persahabatan?” Ungkap Bu Maryana.

Betul apa yang dikatakannya. Seharusnya aku memang bersyukur. Dengan begitu aku
lebih tahu bagaimana perilaku Dion dan Anindia sahabatku.
Lebih lanjut Bu Maryana menambahkan penjelasan tentang bagaimana aturan
pergaulan antara laki-laki dan perempuan dalam agama Islam. Aku jadi tahu, ternyata tidak
ada istilah ‘pacaran’ dalam agama. Kalau mau ‘ta’aruf’ dulu terus ‘khitbah’ dan terakhir
‘nikah’. Itulah proses perkenalan antara seorang lelaki dan perempuan yang diatur dalam
agama Islam.

“Pada saatnya nanti, Allah pasti akan mempertemukanmu dengan cinta sejatimu
melalui cara-Nya yang indah dan tanpa kita duga. Sekarang, lebih baik kamu tidak
memikirkan masalah seperti itu. Konsentrasilah pada pelajaran, apalagi saat ini kamu akan
menghadapi ujian akhir!” Seru Bu Maryana.

Begitu bijaknya guruku ini. Ditengah himpitan beban hidupnya, ia masih bisa
menghibur dan memotivasi orang lain. Bisakah aku setegar Bu Maryana? Bagaimana bisa
ia menghadapi hidupnya yang penuh cobaan dan penderitaan itu dengan kesabaran dan
keikhlasan? Aku kagum padanya.

“Maaf Bu, boleh tidak saya bertanya sesuatu pada Ibu?” Ucapku ragu.

“Ada apa, Sya?”

“Em, ini tentang Ibu. Selama ini Ibu mengalami cobaan yang bertubi-tubi. Tapi, saya
lihat Ibu sepertinya tidak pernah bersedih, Ibu selalu tersenyum. Bahkan waktu kita bertemu
dulu, saya pikir Ibu adalah orang yang selalu berbahagia karena senyum Ibu selalu
mengembang. Bagaimana Ibu bisa setegar itu?” Tanyaku penasaran.

Bu Maryana hanya tersenyum. Sesaat ia terdiam. Lalu ia menjawab pertanyaanku.

“Ibu ini hanya manusia biasa, Raisya. Ibu juga sering menangis. Ibu menangis ketika
solat malam. Semua kesedihan Ibu, Ibu adukan pada Ilahi Robbi. Ibu tidak mungkin
menangis di depan akan-anak Ibu atau murid-murid Ibu. Di depan kalian, ibu harus
menunjukkan ketegaran seorang guru. Semua yang telah terjadi, harus kita sadari sebagai
takdir Allah. Kita hanya bisa pasrah pada apa yang telah digariskan oleh-Nya. Tak bisa
dipungkiri, kesedihan adalah bagian dari hidup kita, sisi lain dari kebahagiaan. Ibu yakin
dibalik kesedihan pasti akan datang kebahagiaan. Ibu selalu berusaha untuk tawakal
menyerahkan semuanya pada Sang Pemilik hidup. Ibu tidak bisa berbuat apa-apa selain
berserah diri. Begitulah Raisya, pengalaman hidup Ibu ini mudah-mudahan menjadi
pelajaran bagimu.”

Aku terharu mendengar jawaban Bu Maryana. Aku rasa aku mulai mengerti akan
artinya hidup ini. Hidup yang harus selalu kita syukuri. Terima kasih Bu Maryana atas
pelajaran yang sangat berharga ini. Ia telah membuka mata hatiku untuk lebih
menghargai hidup. Hidup yang entah untuk berapa lama lagi. Aku tersenyum, ada banyak
hal yang harus aku sikapi dengan penuh kesabaran dan k eikhlasan. Aku berjanji akan
lebih baik lagi dalam menata hidup ini. Aku berjanji untuk senantiasa menghargai diri
sendiri dan orang lain. Dan yang lebih penting, aku akan lebih giat lagi dalam mempelajari
ilmu agama. Ilmu yang akan menuntun langkahku di dunia dan akhirat.

Bu Maryana, guruku, ia adalah pelita hatiku. Pemberi cahaya bagiku yang selama
ini berjalan di kegelapan. Aku sangat bersyukur bertemu dengan guru sebaik Bu Maryana.
Mungkin Allah sengaja mengirimnya untuk membuka mata hatiku. Terima kasih ya Allah.
BAB 5

Sebuah Rahasia

Hari ini kakakku pulang dari Amerika setelah empat tahun ia tinggal di sana untuk
menyelesaikan kuliahnya. Kami menyambutnya dengan suasana hangat. Empat tahun tak
bertemu membuatku rindu juga padanya. Padahal selama ini aku tidak begitu dekat
dengannya. Aku perhatikan kakakku lebih pendiam sekarang. Padahal, dulu kakakku ini
orangnya ceria sekali. Entah kenapa, sejak empat tahun yang lalu ketika ia tiba-tiba
memutuskan pergi ke luar negri dan tidak pernah mau pulang, sifatnya berubah. Ketika di
Amerika, ia jarang sekali menghubungi kami. Kalau bukan ayahku yang menghubunginya
atau menengoknya ke sana. Orang tuaku sempat mengkhawatirkan keadaannya. Sering
ibuku menanyakan pada kakakku tentang masalah yang dialaminya. Tapi, kakakku tidak
pernah mau menceritakan apa-apa. Ia hanya mengatakan bahwa ia baik-baik saja. Aku
sendiri tidak begitu mempedulikannya. Aku pikir dia sudah dewasa. Ia pasti bisa
menyelesaikan masalahnya sendiri.

Di sepertiga malam ini, aku ingin belajar melaksanakan solat malam seperti yang
biasa dilakukan oleh Bu Maryana. Aku ingin belajar lebih mendekatkan diriku pada Sang
Paencipta. Selesai solat aku menuju ke dapur untuk mengambil air minum. Ketika melewati
kamar kakakku, tak sengaja aku mendengar sesuatu. Aku jadi penasaran. Kubuka sedikit
pintu kamar yang ternyata tidak dikunci. Dan begitu terbuka, kulihat pemandangan yang
membuat hatiku bergetar. Di atas sajadah, kakakku dengan khusyunya melantunkan ayat-ayat
suci Al-quran. Begitu merdunya. Aku terpukau. Selama ini aku tidak pernah mendengar
kakakku mengaji atau solat sekali pun. Memang salah satu kekurangan orang tuaku,
mereka tidak mengajari kami untuk beribadah. Sehingga aku dan kakakku jarang sekali
melaksanakan ritual ibadah seperti umat muslim lainnya. Walaupun dulu ketika kami kecil,
orang tuaku pernah menyuruh belajar agama di rumah dengan mengundang ustadz, tapi itu
hanya berlangsung sampai aku SD. Begitu masuk SMP, aku malas belajar agama. Begitupun
kakakku. Dan sekarang, aku terhenyak melihat apa yang dilakukan kakakku.

Aku masih belum beranajak dari tempatku. Seolah tersihir oleh lantunan ayat-ayat
Al-quran yang tengah dibaca oleh kakakku. Ada kesejukan menyeruak dalam hati. Perlahan
air mata menetes dari mataku tanpa bisa kucegah. Aku tak percaya, kalau negeri Paman
Sam telah membuat kakakku berubah. Aku jadi bertanya-tanya, apakah kakakku betul-
betul kuliah di Amerika atau mondok di sebuah pesantren.

Selesai membaca Al-quran, kulihat kakakku, menengadahkan tangannya. Dengan


suara parau, kudengar ia mulai berdoa.

“Rabb, ampunilah segala dosaku. Maafkanlah hamba-Mu yang hina ini. Kali ini aku
siap menerima hukuman-Mu, ya Allah. Aku ingin menebus kesalahan yang telah aku perbuat.
Izinkanlah aku menemukan orang yang telah menderita karena ulahku itu. Sekali lagi,
ampunilah hamba-Mu ini ya Allah.”

Kulihat kakakku mengusap pipinya yang basah. Lalu, ia berdiri dan membereskan
sajadahnya. Belum sempat aku pergi, ia melihat ke arahku. Kami sama-sama terkejut.

“Raisya, sedang apa kamu di sana?” Tanyanya penuh keheranan.

“Em, maaf Kak, tadi aku tidak sengaja melewati kamar Kakak. Terus, aku
mendengar kakak sedang mengaji. Sekarang, kakak sudah berubah, ya. Sebenarnya kakak
ini kuliah di Amerika atau mondok di pesantren?” Tanyaku penasaran.

Kakakku hanya tersenyum mendengar pertanyaanku itu. Ia menyuruhku untuk


masuk ke kamarnya dan duduk di sampingnya.

“Kamu ini ada-ada saja. Memangnya Amerika itu negri seperti apa? Jsutru di sana
aku bertemu dengan teman-teman setanah air yang mengajarkan lebih dalam tentang
agama kita, agama Islam. Karena di Amerika kami kaum minoritas, maka solidaritas antar
teman terjalin sangat erat. Mereka yang membantu kakak melalui hari-hari berat di sana.
Mungkin kamu tidak tahu, kalau kakakmu ini sebenarnya pergi ke Amerika itu untuk lari dari
masalah yang membuatku putus asa. Tapi, setelah bertemu dengan mereka, kakak mulai
mengerti akan segalanya. Butuh waktu memang. Awalnya, kakak tidak mau pulang kembali
ke Indonesia, Raisya, kalau bukan karena dukungan dari teman-teman kakak. Merekalah
yang telah menguatkan hati kakak.” Jawab kakakku panjang lebar.

“Maaf Kak, kalau boleh tahu, sebenarnya masalah apa yang membuat kakak harus
lari ke luar negeri? Apakah Kakak melakukan suatu kejahatan?” Tanyaku lagi.
Kakakku sempat terkejut mendengar partanyaanku. Ia hanya diam, sepertinya
enggan untuk menjawab.

“Maafkan Kakak, Raisya, untuk saat ini kakak belum mau membicarakan masalah
ini. Suatu saat nanti, kamu pasti akan tahu. Oh, iya, kok tumben malam-malam begini
kamu bangun? Ada masalah?” Kakakku balik bertanya.

“Em, tidak Kak, aku bangun karena aku juga sedang belajar melaksanakan solat
malam. Dan tadi aku mau mengambil air minum ke dapur. “ Ucapku.

“Alhamdulillah, ternyata adikku juga sudah berubah. Mudah-mudahan kita bisa


istiqomah. Kakak senang sekali mendengarnya.” Ucapnya sambil tersenyum.

“Iya Kak, mudah-mudahan. Sekarang ada Kakak yang bisa membimbingku. Kalau
begitu aku ke kamar dulu ya, Kak!” Ucapku seraya beranjak pergi. Kulihat ia tersenyum, ada
kebahagiaan di binar matanya. Aku pun merasa bahagia. Sekarang, di rumah ini akan ada
sesuatu yang memberi warna lain. Warna baru yang akan melukis kehidupan baru.
Walaupun ada yang mengganjal hatiku karena penasaran dengan apa yang sebenarnya
telah terjadi pada kakakku. Tapi, segera kutepis perasaan itu. Aku yakin kakakku tidak
melakukan hal-hal yang aneh atau nyeleneh.

Kehadiran kakakku kini semakin memantapkanku dalam menapaki kehidupan di


jalan yang sesuai dengan syariat agama. Banyak pengalaman kakakku memberikan
inspirasi untuk menjadi manusia yang labih baik lagi. Kebersamaan kami saat ini sungguh
berbeda dengan waktu dulu. Kini, kami sama-sama telah menemukan cahaya yang mulai
menyinari langkah hidup kami.

**

Hari itu, aku menemukan sebuah catatan harian milik kakakku. Aku tak sengaja
menemukannya ketika mencari buku agama di kamar kakakku. Sebuah buku tergeletak di
bawah buku yang aku cari. Aku pikir itu hanyalah buku biasa. Lalu aku membukanya dan
mulai membaca catatan yang ada di dalamnya. Awalnya aku membaca catatan harian
tertanggal 12 Februari 2010 artinya empat tahun yang lalu, di sana tertulis:
Hari ini, aku telah melakukan sesuatu yang fatal. Kenapa ini harus terjadi? Aku
benar-benar tidak tahu harus bagaimana. Aku betul-betul tidak sengaja. Aku tidak sengaja
menabrak mereka, aku...

Sejenak, aku terhenyak. Apa sebenarnya ini.? Aku jadi penasaran. Kembali
kubuka lembar berikutnya, tertanggal 13 Februari 2014, di sana tertulis:

Walau bagaimana pun hari ini aku harus pergi. Aku harus ke luar negri. Bagaimana
pun caranya!!!!

Aku jadi ingat, ini adalah hari keberangkatan kakakku ke Amerika. Aku masih
ingat karena besoknya adalah hari valentine. Saat itu, aku masih suka merayakan valentine
karena tidak tahu kalau sebenarnya itu bukan budaya Islam. Sebagai seorang muslimah
harusnya aku tidak merayakan acara seperti itu. Tapi, itu dulu. Sekarang aku sudah tahu
acara-acara apa saja yang seharusnya aku peringati.

Belum sempat membuka lembar berikutnya, tiba-tiba kakakku sudah berdiri di


hadapanku. Jelas aku merasa kaget dan takut dimarahi olehnya.

“Maafkan aku, Kak, aku tadi sedang mencari buku agama, dan ini tidak sengaja aku
temukan. Maafkan aku, sudah lancang membacanya.” Ucapku gugup.

“Tidak apa-apa Raisya, mungkin inilah waktunya kakak menceritakan semuanya.


Rasanya dadaku ini sakit sekali terhimpit oleh sebuah rahasia. Selama empat tahun, kakak
selalu dihantui perasaan bersalah. Hidup kakak tidak pernah tenang. Bayangan kejadian itu
terus saja melekat di ingatan kakak.” Ucapnya dengan nada sedih.

“Maafkan Raisya, Kak, kalau Kakak mau berbagi, ceritakanlah. Mudah-mudahan


beban Kakak berkurang.” Hiburku.

Lalu, kakakku mulai menceritakan suatu kejadian yang merupakan alasan


keputusannya untuk pergi ke luar negri. Suatu kejadian tragis yang tidak pernah
diharapkannya.

Siang itu, ia pulang dari rumah temannya dalam keadaan sedikit mabuk, sisa pesta
semalam bersama teman-temannya. Ia mengendarai mobil dengan kecepatan yang tinggi.
Tanpa disadari, di pertigaan ia menabrak sebuah motor. Karena panik, kakakku langsung
melarikan diri, ia takut dikejar massa.

“Kakak, keterlaluan, kenapa Kakak malah melarikan diri? Apa Kakak tahu siapa
orang yang ditabrak oleh Kakak?” Seruku menyela pembicaraannya.

“Dengarkan Kakak dulu, Raisya, Kakak tahu, Kakak memang salah. Saat itu, Kakak
sangat panik dan takut diamuk massa. Makanya Kakak lari. Tapi sorenya, Kakak kembali
ke lokasi kejadian dan bertanya pada warga yang ada di sana.” Ucapnya.

“Lalu, Kakak tahu siapa orang yang ditabrak oleh Kakak?” Tanyaku penasaran.

“Iya, Raisya, menurut warga, motor yang Kakak tabrak itu ditumpangi oleh dua
orang. Mereka sepasang suami istri yang baru pulang dari s ekolah tempat mereka
mengajar. Sayangnya, sang suami meninggal di tempat kejadian. Sementara istrinya yang
ternyata sedang hamil, selamat dari kecelakaan itu,,,Kakak mau...

Dug, rasanya hatiku seolah berhenti. Aku teringat pada Bu Maryana, guruku. Apakah
mungkin kakakku penyebab kecelakaan itu? Penyebab meninggalnya suami Bu Maryana?
Penyebab anak dalam kandungan Bu Maryana menjadi cacat? Bisa jadi, karena peristiwa
kecelakaan yang diceritakan Bu Maryana, sama persis dengan kejadian yang diceritakan
kakakku. Waktu kejadian, tempat kejadian, dan warna mobil penabrak semuannya sama.
Mobil kakakku warnanya merah metalic, mobil yang kini selalu aku gunakan untuk ke
sekolah. Ya, Allah kuatkanlah hatiku ini. Meski akhirnya aku tak kuat menahan tangisku.

“Sya, kenapa, Sya? Kenapa kamu menangis?” Tanya kakakku.

“Kakak tidak tahu, apa akibat dari perbuatan kakak itu! Seorang perempuan harus
menjadi janda dan mengurus anak-anaknya sendirian. Kakak juga tidak tahu, kalau anak yang
ada dalam kandungan perempuan itu mengalami kelainan. Karena Kakak, hdup perempuan
itu menjadi menderita. Kakak benar-benar keterlaluan! Tidak bertanggung jawab!” Ucapku
bergetar menahan marah.

“Apa maksudmu, Sya? Siapa perempuan yang kamu bicarakan itu? Apakah kamu
mengenalnya? Apa maksud kamu dia adalah orang yang dulu aku tabrak? Apa betul Sya?
Kalau betul, tolong pertemukan Kakak dengannya. Kakak ingin menebus kesalahan Kakak.
Kalau perlu setelah Kakak bertanggung jawab terhadap perempuan itu, Kakak akan segera
menyerahkan diri ke pihak yang berwajib. Kakak siap menerima hukuman apapun.” Ucap
Kakakku parau.

“Perempuan itu adalah guruku, Kak. Ialah yang telah menjadi pelita hatiku. Orang
yang telah membuka mataku untuk melangkah di jalan yang benar. Ia yang menuntunku ke
arah lurus yang selama ini sempat aku tinggalkan. Begitu banyak penderitaan yang
dialaminya. Tapi, ia tetap tegar, Kak. Kakak memang harus menemui dan meminta maaf
padanya.” Ucapku sendu.

“Ya, Raisya, Kakak pasti akan meminta maaf padanya. Apa pun yang akan ia
lakukan pada Kakak, Kakak akan menerima. Kakak telah siap untuk semuanya, Raisya.
Kakak ingin membebaskan beban ini. Terima kasih Raisya.” Ucap kakakku sambil
memelukku erat.

Tak ada lagi yang bisa aku katakan. Rahasia yang tersimpan selama empat tahun ini
telah terkuak, walau menorehkan luka dalam hatiku. Aku bersyukur karena Allah telah
memberi kekuatan pada kakakku untuk mau mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Aku bahagia ditengah kesedihanku. Hal ini akan semakin menguatkan hatiku untuk selalu
berada di jalan-Nya.
BAB 6

Ketika Ia Pergi

Aku mengajak kakakku mendatangi rumah Bu Maryana yang tak jauh dari
rumahku. Begitu sampai di sana, kakakku sempat kaget melihat keadaan yang
memprihatinkan. Segera kuucap salam dan terdengar suara bocah perempuan menyahut
dari dalam rumah.

“Eh, Kak Raisya, mari masuk.” Ucapnya ketika melihatku di luar.

“Kak, ini Salma, putri pertama Bu Maryana.” Ucapku pada kakakku. Tanpa berkata
apapun, kakakku langsung memeluk gadis kecil itu.

“Maafkan Kakak, ya!” Ucap kakakku.

“Minta maaf kenapa, Kak? Kakak ini siapa?” Tanya Salma keheranan.

Kakakku tidak menjawab. Ia tidak tahu harus mengatakan apa.

“Salma, Ibu-nya ada?” Tanyaku.

“Ada, Kak. Ibu lagi sakit. Mari masuk!” Ucap Salma seraya masuk ke dalam rumah.
Aku dan kakakku mengikutinya. Begitu sedihnya aku melihat Bu Maryana tergeletak tak
berdaya di samping Yusup. Aku tidak tahu kalau Bu Maryana sedang sakit. Dua hari yang
lalu ia masih mengajar di sekolah. Kenapa sekarang kondisinya seperti ini.

“Bu, Ibu sakit apa? Kenapa Ibu tidak mengabari Raisya kalau Ibu sakit?” Tanyaku
setelah duduk di samping Bu Maryana. Kulihat kakakku terpaku melihat Bu Maryana dan
anak yang terbaring di sampingnya. Matanya berkaca-kaca.

“Ah, Ibu tidak apa-apa, Raisya, mungkin Ibu hanya kecapean saja. Maaf, ya Ibu tidak
bisa duduk, badan Ibu lemas sekali.” Ucapnya sambil berusaha untuk bangun, tapi apa
daya ia kembali tergeletak.

“Sudah Bu, Ibu tidur saja. Ibu sudah ke dokter? Badan Ibu panas sekali.” Ucapku
ketika memegang tangannya.
“Ibu tidak mau ke dokter, Kak. Padahal Salma sudah mengajaknya. Ibu hanya
minum obat dari warung. Sekarang, keadaannya makin parah. Tolongin Ibu, Kak! Salma
takut Ibu kenapa-napa, kalau Ibu terus begini bagaimana dengan Salma dan Yusup,
huhu...” Ucap salma sambil menangis. Aku terharu mendengarnya. Tak terasa air mata
menetes di pipiku.

“Iya, Salma, Kakak pasti akan nolongin Ibu. Salma jangan khwatir ya, Salma
berdoa saja agar Ibu cepat sembuh.” Ucapku menghibur Salma. Aku jadi ingat, kalau
ibuku saat ini sedang libur dari dinasnya. Aku langsung telpon dia untuk meminta
pertolongan padanya. Setelah aku jelaskan tentang keadaan guruku, akhirnya ibuku mau
datang untuk memeriksanya.

“Bu, sebentar lagi, Mamah Raisya akan ke sini untuk memeriksa Ibu.” Ucapku
pada Bu Maryana.

“Raisya, Ibu tidak mau merepotkanmu, lagi pula Ibu tidak punya uang untuk
membayar dokter.” Ucap Bu Maryana sedikit kelu.

“Kenapa Ibu berkata begitu. Ibu jangan memikirkan masalah uang, yang penting Ibu
sehat dulu. Oh, iya Bu, ini kakak Raisya, Kak Radit. Sebenarnya ia ingin menyampaikan
sesuatu pada Ibu.” Ucapku, baru ingat kalau aku ke sini untuk mengantar kakakku. Bu
Maryana menoleh pada kakakku dan tersenyum kepadanya. Dalam sakit seperti itu pun Bu
Maryana masih bisa tersenyum. Kakakku terlihat agak kikuk. Sepertinya dia merasa ragu
untuk menyampaikan maksudnya.

“Em, sebenarnya saya memang ingin menyampaikan sesuatu pada Ibu. Tapi,
sepertinya saat ini bukan waktu yang tepat. Saya benar-benar ingin minta maaf pada Ibu.
Tolong, maafkanlah saya Bu.” Ucap kakakku.

“Ibu tidak mengerti, maksud kamu apa?” Tanya Bu Maryana terlihat


kebingungan.

Belum sempat kakakku menjawab, ibuku menelpon menanyakan letak rumah Bu


Maryana. Aku segera ke depan gang menemui ibuku dan mengajaknya ke rumah Bu
Maryana. Terlihat kekagetan di wajah ibuku, melihat kondisi rumah guruku ini. Ditambah
lagi ketika ia memasuki rumah, ia melihat Bu Maryana yang tergeletak di samping
seorang anak yang keadaannya memprihatinkan.

“Mah, ini Bu Maryana, guru Raisya di sekolah.” Ucapku.

Ibuku menghampiri Bu Maryana. Mereka saling menyapa. Lalu ibuku mulai


memeriksa keadaan Bu Maryana.

“Raisya, Bu Maryana harus segera di bawa k e rumah sakit. Demamnya tinggi sekali.
Mamah khawatir ia terkena DBD, ada bercak-bercak merah di tangannya. Ayo, sekarang
kita ke rumah sakit.” Ucap ibuku.

“Tidak perlu Bu, kalau saya ke rumah sakit, anak-anak saya bagaimana. Beri saja
saya obat Bu. Maaf saya sudah merepotkan Ibu.” Ucap Bu Maryana.

“Di rumah sakit nanti, Ibu bisa cek darah. Saya khawatir trombosit Ibu menurun.
Mengenai putra Ibu ini, saya juga akan membawanya ke rumah sakit. Apakah selama ini dia
pernah ditangani oleh dokter?” Tanya ibuku.

“Belum pernah sama sekali, Bu. Saya tidak punya uang.” Ucap Bu Maryana parau.

“Baiklah, sekarang jangan berdebat lagi, ayo Radit, bantu Mamah. Mereka berdua
harus dibawa ke rumah sakit. Raisya, putri kecil ini bawa pulang ke rumah. Tolong jaga
dia.” Ucap ibuku sambil memaksa Bu Maryana untuk bangun dan memapahnya. Sementara
kakakku menggendong Yusup. Aku sendiri menuntun Salma. Kami menuju mobil yang
diparkir di depan gang. Sebelum ke rumah sakit untuk mengantarkan Bu Maryana, aku dan
Salma diantar pulang dulu ke rumah.

Aku bangga sekali pada ibuku. Naluri dokternya begitu kuat. Tak peduli ia siapa,
dengan cekatan ia membantu pasiennya. Aku lega sekali Bu Maryana dan Yusup telah
ditangani oleh ahlinya. Mudah-mudahan mereka bisa segera disembuhkan. Sementara Salma
sepertinya senang sekali tinggal di rumahku. Aku pun senang mempunyai seorang teman
kecil seperti Salma. Gadis kecil yang pintar. Aku bahagia seandainya Salma menjadi adikku.
Aku akan menyayanginya sepenuh hati.

**
Air mata Salma tak bisa terbendung lagi. Aku sendiri pun tak bisa menahan
tangisku. Rasanya ada bongkahan batu yang menghujam ulu hati. Aku tak percaya dengan
apa yang baru saja aku dengar. Aku harap ini semua hanya mimpi. Tapi, kenyataan tak
sesuai dengan harapan. Kupeluk Salma seolah tak ingin aku lepaskan. Aku ingin
menegarkan hatinya, walau sebenarnya aku sendiri belum bisa tegar. Kuusap air matanya,
mencoba mengahapus kesedihan yang dirasakannya. Kesedihan yang tak mungkin hilang dari
ingatannya. Bagaimana tidak, seorang anak tidak mungkin bisa begitu saja melupakan
kesedihan karena ibu tercintanya harus pergi untuk selama-lamanya. Ya, takdir telah
menggariskan kalau Bu Maryana, guruku harus pergi untuk menghadap Sang Pencipta. Ia
tidak bisa tertolong lagi karena penyakit yang dideritanya bukan hanya sekedar DBD. Ada
penyakit lain yang selama ini ia abaikan hingga akhirnya nyawanya tak tertolong. Begitu
besar pengorbanan Bu Maryana. Ia sama sekali tidak pernah mengeluhkan apa yang
dirasakannya. Di depan kami, ia selalu ceria, selalu menghibur dan memotivasi kami. Tak
ada yang t ahu dibalik senyumannya itu ia menyimpan penderitaan yang teramat dalam.

Di depan tanah merah yang masih basah ini aku masih tak percaya akan hal ini.
Begitu cepat waktu berlalu. Belum sempat aku membalas kebaikannya, bahkan hanya untuk
sekadar mengucapkan terima kasih sekali pun. Aku berjanji akan selalu menjaga Salma dan
menjadikannya sebagai adikku. Kini, Salma hidup sebatang kara. Ia harus kehilangan ibu
sekaligus adiknya. Yusup yang tahu akan kepergian ibunya, sepertinya ia juga ingin
mengikuti kepergian ibunya. Mungkin, ia tidak mau merepotkan orang lain. Atau
memang karena suratan takdir yang Allah berikan sebagai hal yang terbaik, tak berselang
lama setelah Bu Maryana menghembuskan napas, Yusup pun dinyatakan meninggal.

Salma enggan beranjak dari pemakaman ibu dan adiknya. Kebetulan mereka berdua
dimakamkan di samping makam suami Bu Maryana. Aku, kakakku, dan kedua orang tuaku
pun masih menemani gadis kecil itu. Kakakku terlihat sangat terpukul. Ia belum sempat
mengakui perbuatannya pada Bu Maryana.

“Mah, Pah, di tempat ini, aku ingin mengakui kesalahan yang telah aku lakukan.
Aku benar-benar menyesal, dan aku telah siap menerima hukuman apapun.” Ucap kakakku
tiba-tiba.

“Apa maksudmu, Radit? Kalau mau bicara nanti saja di rumah. Kita tunggu dulu
Salma, sampai ia siap meninggalkan pemakaman ini.”Ucap ayahku.
“Tidak, Pah, justru aku ingin mengatakan hal ini di depan Bu Maryana, suaminya,
Salma, dan Yusup. Penderitaan yang telah mereka alami itu karena perbuatanku, Pah.” Ucap
kakakku parau.

“Apa maksudmu Radit?” Kali ini ibuku yang bertanya.

“Mah, sebenarnya empat tahun yang lalu, akulah penyebab kematian suami Bu
Maryana. Akulah yang telah menabrak mereka. Waktu itu aku sangat takut, Mah. Itulah
sebenarnya alasan kepergianku ke Amerika. Aku lari dari tanggung jawab. Dan sekarang,
aku tidak sempat menyampaikan hal ini pada Bu Maryana. Maafkan aku, Mah, Pah. Aku
tidak pernah menceritakan hal ini pada kalian.” Ucap kakakku kelu.

Orang tuaku hanya terdiam. Mereka sangat kaget dengan apa yang disampaikan
oleh kakakku. Sementara Salma yang masih kecil hanya terpaku tak mengerti.

Gerimis mulai turun membasahi bumi. Seolah ikut menangisi kepergian guruku.
Ayahku segera mengajak Salma untuk pulang, karena hujan akhirnya tak terbendung lagi.
Mau tidak mau gadis kecil itu pun mengikuti langkah kami. Untuk yang terakhir kali
kuarahkan pandangku pada gundukan tanah merah itu. Seseaat aku seperti melihat
bayangan Bu Maryana, ia lambaikan tangannya dan tersenyum kepadaku. Aku pun hanya
bisa membalas senyumannya. Kurengkuh pundak Salma dan kami pun melangkah bersama.
BAB 7

Menyongsong Hari Baru

Tak terasa, hari ini acara perpisahan di sekolah. Setelah melalui rangkaian ujian,
akhirnya aku dinyatakan lulus dengan nilai yang sangat memuaskan. Orang tuaku
tersenyum bangga ketika aku menerima piagam penghargaan atas prestasiku. Walau
kebanggaanku ini terasa hambar karena Bu Maryana, guruku yang selama ini selalu
membimbingku tidak bisa menyaksikan keberhasilanku. Tapi, aku yakin, di alam sana, ia
pasti tengah tersenyum melihatku.

Pulang dari acara perpisahan aku, kedua orang tuaku, dan Salma pergi ke suatu
tempat untuk merayakan kelulusanku. Kini, Salma sudah menjadi bagian dari keluargaku.
Ibuku sudah mengadopsinya sehingga ia resmi menjadi adikku.

Kami pergi ke sebuah tempat yang sebenarnya bukanlah tempat untuk perayaan.
Sebuah tempa t penebusan dosa untuk orang-orang yang pernah melakukan kesalahan.
Kakakku salah satunya. Ya, setelah kepergian Bu Maryana, kakakku akhirnya
menyerahkan diri ke pihak yang berwajib. Dengan ikhlas ia menerima hukuman yang
ditetapkan. Sebenarnya kalau mau, ayahku bisa saja membayar pengacara untuk
meringankan hukuman atau bahkan membebaskannya. Tapi, keputusan kakakku untuk
menerima hukuman apapun tak bisa diubah. Ia betul-betul ingin menebus kesalahannya.
Aku kagum pada kakakku karena pada akhirnya ia mau mempertanggungjawabkan
perbuatannya itu.

Di ruang tamu Lembaga Pemasyarakatan itu aku merasa bahagia bisa berkumpul
dengan keluarga untuk merayakan keberhasilanku. Kakakku juga terlihat lebih bahagia
karena bebannya kini telah berkurang. Katanya, ia sangat bersyukur berada di tempat ini. Ia
jadi lebih khusyu beribadah dan mendekatkan diri pada Ilahi. Ia berharap di akhir
hukumannya nanti, ia bisa menjadi manusia yang lebih baik. Aku tersenyum bangga
melihat ketegaran kakakku.

**

Keputusanku melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi Islam sempat


mengejutkan orang tuaku. Karena dulu aku ingin sekali kuliah di Amerika seperti kakakku.
Sekarang, semuanya memang sudah berubah. Aku ingin benar-benar mempelajari ilmu
agama secara mendalam. Di sisi lain, aku tidak ingin meninggalkan Salma. Aku sudah
berjanji pada diriku sendiri untuk selalu menjaganya. Kini, ia adalah tanggung jawabku.
Dekat dengannya membuatku merasa dekat dengan Bu Maryana. Walau bagaimanapun,
kenangan akan Bu Maryana tak bisa lekang dari ingatanku.

Akhirnya, orang tuaku mau menerima keputusanku. Peristiwa yang telah terjadi
akhir-akhir ini menyadarkan mereka akan hal-hal yang selama ini mereka abaikan. Ibuku
tidak lagi egois yang selalu memaksakan kehendaknya. Begitu juga dengan ayahku, kini ia
lebih banyak meluangkan waktu untuk keluarga. Bahkan yang membuatku terharu, kini
mereka lebih giat beribadah. Solat berjamaah, mengaji bersama, dan berbagai ritual ibadah
yang lain. Aku bersyukur pada-Nya yang telah memberikan cahaya untuk menerangi hidup
keluarga kecilku.

Rasa syukurku kuwujudkan salah satunya dengan memenuhi kewajibanku sebagai


seorang muslimah yaitu menutupi seluruh aurat kecuali wajah dan telapak tangan.
Kutanggalkan pakaian lamaku yang selama ini tidak sesuai dengan syariat, kuganti
dengan jilbab yang mudah-mudahan dapat membuat akhlakku menjadi lebih baik.

Hari baru, semangat baru. Mudah-mudahan aku betul-betul bisa istiqomah


menapaki langkah hidup ini dengan selalu berada di jalan-Nya.

**

Hari pertama kuliah, kulangkahkan kaki dengan penuh semangat. Tiba di gerbang
kampus membuat hatiku sesaat terhenyak. Aku melihat dua orang yang tidak asing lagi
bagiku sedang duduk di teras gedung utama kampus. Aku heran, kenapa mereka ada di sini.
Kucoba menguatkan hati. Mau tak mau aku harus melewati mereka. Begitu berada di
hadapan mereka aku berhenti sejenak untuk menyapa mereka. Sejak kejadian waktu itu,
kami bertiga tidak pernah saling menyapa. Tapi, kini aku telah belajar menata hati untuk
mau memaafkan orang lain. Apalagi mereka adalah orang-orang yang pernah dekat
denganku. Kulihat mereka terkejut.

“Raisya? Ini, betul Raisya?” Tanya Anindia seolah tak mengenalku. Mungkin karena
penampilanku sekarang yang bebeda.
“Iya, Anin, ini Raisya. Kalian berdua sedang apa di sini?” Tanyaku.

“Em, Kami sedang menemui sepupunya Dion.” Masih anin yang menjawab,
sementara Dion hanya diam. “Kamu sendiri kenapa ada di sini? Bukannya kamu mau pergi
Amerika?” Tanya Anin.

“Tidak, Nin, Aku tidak jadi pergi ke Amerika. Aku sudah memutuskan untuk
kuliah di sini. Kamu sendiri, bagaimana jadi dilanjutkan ke perpajakan?” Tanyaku.

“Iya, Aku dan Dion sama-sama kuliah di sana.” Ucap Anin.

Aku hanya tersenyum mendengarnya. Sepertinya mereka memang tidak bisa


dipisahkan. Aku berharap Dion adalah cinta sejati Anin. Walau bagaimanapun Anindia
adalah sahabatku. Aku harus mengahapus rasa dendamku. Tiba-tiba entah dorongan apa,
aku memeluk Anindia.

“Anin, maafkan aku ya, kita ini sudah bersahabat dari kecil. Tak seharusnya kita
berpisah. Aku ingin kita bisa bersama lagi.” Ucapku sambil melepas pelukanku. Kulihat
Anin tersenyum walau matanya berkaca-kaca.

“Iya, Sya, Aku yang seharusnya minta maaf, aku kangen dengan kebersamaan kita.
Aku ingin kita bisa seperti dulu lagi.” Ucap Anindia.

“Dion, aku juga minta maaf. Sekarang aku sadar bahwa cinta memang tidak bisa
dipaksakan. Mudah-mudahan kalian adalah pasangan sejati.” Ucapku pada Dion.

Dengan tersenyum Dion berkata, “Aku juga minta maaf Sya, mudah-mudahan kita
bisa menjadi teman yang baik.”

“Iya, mudah-mudahan kita bertiga bisa menjadi teman yang baik seperti dulu lagi.”
Ucapku penuh harap.

“Kami pergi dulu ya Sya, jangan lupa hubungi aku. Nomorku masih disave kan?”
Ucap Anindia.

“Tentu, Anin. Hubungi aku juga ya, nomorku masih yang dulu.” Ucapku.

Akhirnya mereka pergi berlalu. Rasanya lega sekali aku, Anindia, dan Dion bisa
saling memaafkan. Aku benar-benar telah mengikhlaskan Dion pada Anindia. Aku yakin
Allah telah menyiapkan pasangan hidupku yang terbaik yang akan menjadi imam
bagiku. Entah kapan dan dengan cara yang seperti apa Dia mempertemukan kami.

Tiba-tiba seseorang menabrakku. Buku-buku yang dibawanya berjatuhan.

“Maaf, Ukhti, maaf, saya betul-betul tidak sengaja.” Ucapnya sambil memunguti
buku-buku yang berserakan. Refleks, aku ikut membantunya. Tanpa sengaja tangan
kami bersentuhan. Sesaat kami saling berpandangan. Dug, ya Allah kenapa hatiku jadi
berdebar.

“Astagfirullah, maaf Ukhti, terima kasih telah membantu saya. Mari,


Assalamu’alaikum!” Ucapnya.

Belum sempat aku berkata apa-apa, ia sudah beranjak pergi. Aku terdiam melihat
punggung tegapnya yang mulai menghilang. Dalam hati aku bertanya. Rabb, mungkinkah
ia jodohku? Iakah yang akan menjadi imam dan pelita hatiku? Aku hanya tersenyum
dan menggelengkan kepala. Mencoba menepis khayalanku.

Kulangkahkan kaki menyusuri koridor kampus dengan penuh semangat.


Kuniatkan dalam hati untuk selalu mencari keridhoan Sang Khalik. Biarlah waktu yang
akan mempertemukanku dengan jodohku. Ia yang akan menjadi imam bagi hidupku dan
pelita hati yang akan selalu menerangi langkahku.

SELESAI
BIODATA

Penulis bernama Iin Lina Setiawati, Ibu dari tiga orang


putra ini merupakan guru di MAN 5 Garut. Lahir di
daerah perkebunan Pasir Malang, Pangalengan Bandung,
kini tinggal di Desa Citangtu Kec. Pangatikan Garut.
Lulus dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI)
Jurusan Pend. Bahasa dan Sastra Indonesia tahun 2003.
Mulai menulis cerita sejak SMP. Beberapa cerpen dan
artikel sudah diterbitkan dalam bentuk antologi bersama.
Penulis berharap, tulisannya dapat memberikan inspirasi
bagi pembacanya.

Anda mungkin juga menyukai