Anda di halaman 1dari 1

SENYUMKU TAKKAN HILANG

Namaku Laras, usiaku 13 tahun dan sekarang aku duduk di kelas 8 SMP. Tidak ada yang istimewa dalam kehidupanku.
Setiap hari aku bangun sebelum shubuh, lalu bersiap untuk sholat. Aku membantu ibuku beres-beres di rumah sebelum aku
menyiapkan seragam, buku-buku, dan alat-alat sekolahku. Aku selalu makan sarapan bersama kakakku, Aldi, kami sering sekali
berbagi lauk pagi, sungguh hampir tidak pernah kami berselisih.
Kucium tangan ibu begitupun kakakku melakukannya dan kami berangkat bersama ke sekolah. Kami berjalan kaki,
karena jarak sekolah tidak terlalu jauh, hanya sekitar 10 menit, sampai. Aku berpisah dengan kakakku di gerbang sekolah lalu
menuju kelas masing-masing, aku ke gedung SMP dan ia ke gedung SMK.
Ku berjalan menuju gedung bercat warna hijau, di sepanjang lorong kelas-kelas sesekali ku tersenyum melihat siswa
lain, meskipun ku tak tahu siapa nama atau dari kelas mana. Hanya mencoba untuk ramah terhadap sesama siswa satu sekolah.
Selalu kuingat dan terngiang pesan ayah, beliau berkata bahwa kita tidak hidup sendiri di dunia ini, maka selayaknya sesama
manusia harus beriringan hidup bersama-sama di dunia. Ia juga mengatakan, ‘senyum adalah sedekah kita bagi orang lain’,
pesan inilah yang menjadi motivasiku untuk selalu menjaga senyumku.
Aku duduk di bangku tengah, dua baris dari depan, bersama sahabatku Nana, ia adalah sahabatku sejak sekolah SD
dulu, selalu ceria dan sangat manis. Kehadirannya selalu membuat aku ingin lebih mengembangkan senyuman dan hatiku terasa
ringan dibuatnya. Seringkali ia mengingatkan aku untuk selalu menjaga senyuman, karena melihat cara berjalanku dengan
kepala tertunduk dan melangkah perlahan. Ia mengatakan, ‘meskipun kita sedang sedih, capek, letih tetaplah tersenyum karena
itu akan mencerahkan hari-hari kita, Ras’. Nana sudah hapal dengan tabiat sehari-hariku di sekolah, ia sahabat yang sangat
peduli dan aku tak ingin kehilangan ia.
Bel sekolah pun berbunyi panjang, kami bersiap untuk mengawali pelajaran pertama dengan berdoa bersama.
Tak terasa pukul 10.00, bel istirahat pun berbunyi.
Nana mengajakku ke kantin, tetapi aku diminta untuk menunggu lebih dulu di meja tempat biasa kami istirahat, dekat
dengan tukang batagor dan di sebelah kanannya tukang aneka minuman segar. Suasana istirahat di sekolah begitu riuh dan
ramai, hampir seluruh siswa terlihat bahagia dan berhamburan begitu saja dari kelas-kelas. Seolah-olah mereka baru saja
melepaskan beban berat yang mengekang selama pelajaran berlangsung. Ada siswa yang berlari-lari seperti berlomba menuju
kantin, ada juga yang hanya duduk bercanda di depan kelas, tertawa bercengkrama bersama kawannya. Ada yang bermain bola
di lapangan, tetapi ada juga yang membaca buku di taman. Setiap siswa memiliki cara sendiri untuk mengisi waktu istirahat yang
singkat ini. Pemandangan ini aku saksikan selama perjalananku ke kantin, lalu terbesit ada rasa sendu di balik keramaian saat itu.
Muncul pertanyaan dalam diri, apakah aku bisa terlihat seceria mereka?
Di kantin aku duduk sambil menunggu Nana datang, aku pesankan minuman segar favoritnya, minuman segar rasa
nanas. Entahlah, seperti namanya, Nana, dengan nama buah nanas itu terdengar selaras. Rasanya yang asam dan ada manisnya,
juga seperti menggambarkan dirinya, ceria, selalu ada kejutan tetapi menyegarkan. Sosok itu pun terlihat, datang dengan wajah
ceria disertai lambaian tangannya yang khas melambai tinggi di atas kepala. Aku pun tersenyum, dan seketika perasaan tenang
menyibak senduku sedari tadi menyelimuti. Kami pun berbincang, bercerita, meskipun lebih antusias Nana yang membuat aku
hanya ingin mendengarkan saja.
Waktu pun berlalu, detik-detik pelajaran terakhir akan segera usai, aku dan Nana terbiasa berjalan bersama ke gerbang
sekolah. Selama itu pula dengan antusias dia masih bercerita tentang kucing peliharaannya, Ciko, aku hanya tersenyum
mendengarkan celotehannya yang bergitu bersemangat. Tiba-tiba aku merasakan ada rasa yang begitu indah dalam hati, aku
sangat bersyukur bahwa aku masih memiliki sahabat yang selalu mencerahkan pikiranku, menentramkan hatiku, seakan
membuat hidup ini terasa indah.
Tak lama ia pun dijemput oleh ayahnya dengan sepeda motor karena rumahnya cukup jauh. Sebelum pamit aku
berkata, ‘Terima kasih Nana.’ Nana sempat mengernyitkan dahinya, sedikit bingung dengan perkataanku, hanya itu yang bisa
aku ucapkan, tidak ada lagi yang dapat mewakilkan perasaan yang aku rasakan. Tetapi dengan segera Nana tersenyum dan
langsung memelukku dengan erat, seolah mengerti apa yang aku rasakan. Ia pun berkata, ‘Laras tetap semangat ya, banyakin
senyum, dan harus banyak bersabar atas segala sesuatu menimpa kita, meskipun itu membuat hati kita sangat sakit. Nana tau
Laras kuat. Senyum dulu ayok!’, kata Nana tersenyum tipis, seraya memegang kedua pipiku. Aku pun hanya bisa menatapnya
dengan memberikan senyuman terbaikku.
Ia berkata begitu karena ia tahu, belum lama ini, sosok yang begitu aku cintai, yang aku sayangi dan aku kagumi itu
telah pergi, Ayah, aku sangat mencintai dan merindukanmu. Namun, Allah Yang Maha Kuasa lebih mencintaimu, aku ikhlas,
semoga Ayah tenang di sana. Laras selalu ingat pesanmu, senyuman di bibir ini akan Laras pertahankan meski merasa sedih dan
terpuruk, tetapi ketahuilah ayah, senyumku takkan hilang.

Anda mungkin juga menyukai