Anda di halaman 1dari 8

Dalam Kenangan Bunga Iris

By Nabil Fathurrahman

”Sudah lama, ‘ya?”


Sore itu, di jalan pulang dari sekolah, aku mengunjungi sebuah minimarket
dan hal yang tidak disangka-sangka pun terjadi, aku bertemu kembali dengan
teman SMP-ku, Raihan dan Starla. Kami bertiga tidak terlalu dekat, tapi kami
berteman baik karena berada di kelas yang sama selama 3 tahun dan juga kebetulan
bergabung dalam ekskul yang sama.

Kini setelah setengah tahun tidak bertemu, kami duduk di salah satu bangku
taman yang berada tidak jauh dari tempat kami berpapasan, mendadak
mengadakan reuni kecil.

“Terakhir ketemu waktu ambil ijazah, ya?” ucap Raihan, dan aku pun
mengangguk.

“Kamu sekolah di SMA 1, ‘kan, Kia?” tanya Rena yang duduk di sebelah
kiriku.

“Iya, begitulah.” kataku bertanya pada dua orang itu—yang untuk kemudian
kusadari bahwa mereka sekarang ternyata telah menjadi sepasang kekasih.

“Wah, keren banget!” Jawab mereka hampir serentak.

Aku pun mengalihkan pandanganku ke depan, melihat anak-anak kecil yang


bermain di tengah lapangan, ada yang bersepeda, bermain sepatu roda juga mobil-
mobilan. Sementara orangtua mereka memperhatikan dari tempat duduk. Angin
seketika bertiup menerpa wajah kami, membuat rambut hitamku bergerak
melambai-lambai, demikian juga dengan rambut Starla yang berwarna kecokelatan
itu.

“Oh, iya, Kia,” aku menoleh ke samping kanan.

“Kamu sudah tahu, ‘kan, soal ekskul bahasa Indonesia?” Tanya seorang
gadis yang duduk di sampingku itu.
“Iya, aku tahu, kok.” Jawabku sambil mengangguk.

Minggu lalu, grup ekskul bahasa Indonesia memberi kabar yang


mengejutkan, bahwa Bu Liana, guru bahasa Indonesia—juga sekaligus pembina
kami akan pindah mengajar, sehingga akan diadakan acara berkumpul bersama
para pengurus, anggota dan alumni.

Reuni sekaligus perpisahan, ‘ya? Batinku.

“Aku akan datang dengan Raihan mau datang, bagaimana denganmu?”

“Mau, kebetulan aku tidak ada kegiatan lain juga,” jawabku diakhiri
senyuman

Perlahan kurasakan angin sore menerpa wajahku sekali lagi. Aku kembali
melihat ke arah lapangan, memperhatikan anak-anak yang asyik bermain sepatu
roda meskipun mereka terlihat belum bisa menyeimbangkan diri dengan baik.

***

Menjadi anggota ekskul bahasa Indonesia bukanlah keinginanku, seperti


beberapa orang, aku hanya mengikuti teman. Ketika baru memasuki SMP, aku
senang karena satu bangku dengan orang yang memiliki hobi yang sama denganku.
Aira. Dia orang yang ceria dan ramah. Obrolan kami cocok karena kami suka
berkebun, kami pun sering bermain ke rumah masing-masing. Awalnya, kami
hanya saling menunjukkan tanaman-tanaman yang ada di pekarangan rumah,
hingga kami berbagi ilmu dan kemampuan yang dimiliki. Kami sangat dekat,
bahkan orangtua Aira sudah menganggapku seperti anaknya sendiri, begitupun
dengan keluargaku pada Aira. Saking seringnya kemana-mana selalu bersama,
sehingga orang-orang selalu menduga kami sebagai saudari kembar, meskipun
sangat jelas bahwa tidak ada kemiripan dalam wajah kami.

Aku bergabung dengan ekskul bahasa Indonesia setelah gadis itu


mengajakku—meskipun, sejak awal aku tidak berniat untuk memasuki ekskul
mana pun. Untungnya, kegiatan ekskulnya hanya seperti kelas tambahan saja dan
pembinanya pun salah satu guru yang kusukai karena beliau orang yang baik dan
lemah lembut. Dalam ekskul ini aku hanya anggota biasa, tidak seperti Aira yang
merupakan pengurus ekskul yaitu sekretaris. Hal wajar jika aku tidak datang nanti
ke acara perpisahan dengan Bu Liana, namun aku tetap memutuskan untuk datang.
Karena sebenarnya, walau dalam waktu yang singkat, aku seolah dianggap sebagai
menjadi pengganti Aira.

Aira merupakan anak tunggal, dan dibanding manja, ia selalu berusaha


bersikap dewasa dan jarang mengandalkan orang lain. Itulah sebabnya ia selalu
menanggung dan menyembunyikan semuanya sendirian, semuanya, bahkan
penyakitnya. Aku, yang bahkan sebagai sahabatnya, ternyata tidak mengetahui
semua tentang gadis itu.

Aku pikir tidak ada yang salah. Aira yang selalu bersemangat dan selalu
tersenyum, ternyata jauh dari kata “baik-baik saja”. Kala itu, di tengah kegiatan
upacara bendera seperti biasanya pada hari Senin, tiba-tiba, Aira jatuh pingsan.
Lalu, Tante Zahra, ibunya Aira, menceritakan semuanya padaku dan saat itulah
aku baru mengetahui kondisi Aira yang sebenarnya. Ternyata, sedari SD, gadis itu
sudah sering keluar-masuk rumah sakit. Pada awalnya, aku kecewa pada Aira
karena telah menyembunyikan hal penting tentang dirinya, namun aku tidak bisa
marah terlebih lagi setelah mendengar alasannya. Selama ini, jika orang-orang
mengetahui tentang penyakitnya, mereka akan menatapnya dengan kasihan.
Padahal, gadis itu hanya ingin orang lain bersikap biasa saja pada dirinya. Karena
dia tidak selemah itu.

Jujur saja, semenjak saat itu, aku selalu khawatir pada kondisi Aira
sementara ia selalu meyakinkan bahwa dia bisa sembuh. Dan itu adalah sebuah
kebohongan. Nyatanya, ketika semester 2 kelas 3, kondisinya tidak membaik. Aira
harus menjalani pengobatan di rumah sakit, dengan ayah dan ibunya yang setia
menemaninya. Secara bergantian, Tante Zahra dan Om Ryan menginap di rumah
sakit. Terkadang, aku juga ikut menemani Tante Zahra untuk menginap menemani
Aira. Tapi, karena kegiatan sekolah yang semakin padat, aku hanya dapat
menjenguk gadis itu setelah pulang sekolah, dan juga sempat beberapa kali
bersama Raihan dan Starla.

Dari hari ke hari, kondisi Aira berubah, tubuhnya semakin kurus dan wajah
yang selalu terlihat cerah itu menjadi pucat. Walau tubuhnya terbaring lemah, ia
tidak mengeluh dan selalu memperlihatkan senyuman terbaiknya. Ucapannya saat
itu benar, bahwa ia tidak lemah, ia kuat.

Bahkan, sangat kuat.

Saat berada di rumah sakit rasanya sesak, melihat Aira juga kedua
orangtuanya. Kantung gelap di bawah mata mereka menjadi bukti bahwa kondisi
mereka saat ini sedang berat, hingga ada hari ketika Aira menyuruh orangtuanya
beristirahat di rumah sebab sudah lelah bekerja dan ditambah keseharian mereka
kini dipenuhi kecemasan.

Dalam sekejap, semuanya berubah, keseharianku berubah. Kami yang selalu


bersama kemana-mana, sekarang, aku hanya sendiri. Aku merasa kesepian dan
selalu bertanya-tanya, apa kami dapat seperti dulu lagi? Dan yang dapat kulakukan
hanyalah berdoa.

Tidak lama setelah itu, Aira menjalani operasi.

Saat itu pula bertepatan dengan ujian sekolah. Rasanya baru pertama kalinya
aku mengerjakan soal-soal dengan tidak karuan. Hingga waktu yang seakan
melambat, ujian hari itu pun akhirnya selesai dan dengan segera aku bergegas
menuju rumah sakit. Dalam bus, berlari dari halte, memasuki rumah sakit,
jantungku terus berdebar. Dan ketika aku berhenti, waktuku pun terhenti.

Semuanya telah berakhir.

Benar-benar berakhir.

Lantas mengapa aku harus berlari ketika aku sendiri tahu bahwa semuanya
sudah berakhir? Karena hanya satu hal yang aku sadari, meskipun kecil, aku masih
berharap—aku memiliki secercah harapan—yang meskipun itu sangat dipaksakan,
bahwa Aira masih ada, dan akan tetap ada di dunia ini.

Sejak pertama mengetahui Aira sakit, yang tersisa hanyalah kebohongan.


Bahwa gadis itu dapat kembali ke sekolah, bahwa semuanya akan seperti dulu lagi,
bahwa kami dapat tumbuh dewasa bersama. Aku hanya bisa menangis sewaktu
memikirkan masa depan, masa depan tanpa ada Aira di sana. Dan sementara Aira
berusaha melawan penyakitnya, aku berbincang mengenai lanjut sekolah ke SMA
bersama teman yang lain, aku pun merasa bersalah padanya.

Siapa yang kubohongi? Bahkan ketika aku baru sampai di rumah sakit lalu
melihat Aira kesakitan, aku pergi menangis dan kembali dengan suara serak
bersama alasan sedang pilek ketika ditanya olehnya. Tapi aku tahu, dia tahu.
Sebelum dioperasi pun dia menyuruhku agar jangan menangisinya, dan aku tidak
mengiyakan atau berjanji padanya. Karena tidak peduli seberapa banyak aku
menangis, pada akhirnya aku akan menangis lagi disaat kepergiannya. Dalam
waktu yang lama, aku selalu mengatakan pada diriku sendiri bahwa gadis itu dapat
sembuh dan kami dapat melanjutkan ke sekolah yang sama lagi, menjadi seseorang
yang kami cita-citakan. Namun, itu tidak pernah terjadi. Tidak akan terjadi.
Semuanya menjadi sangat nyata ketika kulihat orangtua Aira menangis di
depan ruang operasi dan yang dapat kudengar hanyalah detak jantungku.
Sejujurnya, aku sudah mengira ini akan terjadi, dan semuanya juga berpikiran hal
yang sama.

Selama proses pemakaman, aku tidak berhenti menangis. Setelah pulang ke


rumah pun, aku hanya duduk di tempat tidur dan merasa hampa. Tanpa jeda, aku
ditarik ke kenyataan, seakan agar aku tidak terlarut dalam kesedihan. Esok harinya,
aku kembali menjalani ujian sekolah. Semuanya berjalan sangat lambat, hari-
hariku terasa kosong, seperti sebelumnya. Kami yang selalu melalui jalan yang
sama sepulang sekolah sambil membicarakan banyak hal, kini sudah tidak ada.
Yang tersisa hanya kenangan dan aku bersama bayanganku.

Sudah 2 bulan berlalu, setiap hari aku berziarah ke makamnya, dan


terkadang berkunjung ke rumahnya menemui Tante Zahra. Semua tugas akhir telah
selesai, acara perpisahan, pendaftaran SMA, MPLS, dan tahun ajaran baru.
Semuanya kulalui dan kujalani tanpa dirinya.

Karena sekali lagi kutegaskan, bahwa ia t’lah tiada.

Aku tersentak ketika melihat seorang anak perempuan yang sedang bermain
sepatu roda itu terjatuh, namun ia tidak menangis dan segera kembali berdiri
sambil tersenyum pada ibunya yang hendak membantunya. Ia pun kembali
bermain dan ibunya pun kembali duduk dan memperhatikannya sembari
tersenyum. Melihat pemandangan itu aku pun ikut tersenyum.

Akhirnya, aku pun sadar. Aku telah kehilangan sosoknya sejak lama, dan
perlahan waktu membuatku bangkit dari kesedihan ini. Aku telah
mengikhlaskannya. Aku yang seakan menunda hidupku pun kembali melangkah,
berjalan, berlari, menjalani hidup.

Perjalanan untuk mengikhlaskan dirinya memang tidak mudah dan detik ini
pula ketika aku, Raihan, dan Starla berbincang di bawah langit sore, aku tidak
pernah berhenti mendoakannya.

***

“Sampe ketemu di acara reuni ya!” ucap Starla setelah beranjak dari
duduknya, memecah lamunanku.
Aku kemudian menoleh dengan setengah terkejut.

“Kita duluan ya, Kia, bye,” kata Starla seraya berjalan pergi diikuti Raihan.

“Bye!” aku pun membalas lambaian tangan mereka—meski sedikit kaku dari
sebelumnya, aku tetap memaksakan diri untuk tersenyum.

Setelah mereka tak terlihat lagi, aku pun bangkit dari dudukku lalu
melangkah pulang.

Sesampainya, sesuai dugaanku, tidak ada satu pun orang di rumah. Sesudah
menyimpan ransel, aku langsung ke pekarangan rumah yang telah dipenuhi oleh
berbagai macam tanaman dan bunga.

Aira pernah bilang padaku kalau aku memiliki “green finger”, tanaman
apapun pasti selalu berhasil tumbuh dengan baik. Mungkin karena itu aku suka
berkebun, tapi aku bukanlah seorang expert, banyak tanaman terutama bunga yang
tidak kuketahui. Sementara Fia tahu banyak tentang bunga, bahkan arti setiap
bunga. Jika ada bunga yang kami temui, ia selalu memberitahuku nama dan bahasa
bunganya tanpa diminta.

“Ini untukmu, Kia,” Sore seperti biasanya, aku menjenguk Aira sepulang
dari sekolah dan tiba-tiba ia memberiku sebuah kantung kecil berwarna coklat.

“Apaan nih?” tanyaku sambil menerimanya.

Ia terkekeh.

“Hadiah,” Jawabnya. Aku menautkan alisku.

“Hadiah? Ulang tahunku, ‘kan, masih lama, Aira?”

Tanpa meminta izinnya, aku langsung membuka kantung itu.

“Ini… bibit tanaman?” tanyaku ragu setelah melihat isinya.

“Bibit bunga, aku membeli bibit itu udah lama sebelum masuk rumah sakit
ini, dan tadi pagi aku minta ibuku untuk membawakannya ke sini. Belum pernah
kutanam, sih, tapi, untukmu saja,” Jawabnya menjelaskan.
“Bunga apa? Terus kenapa dikasih ke aku? Aira, Kamu… masih bisa
menanam ini, ‘kan… kalau sudah sembuh?” Aku pun langsung terdiam, menyesali
pertanyaanku yang ragu.

Gadis itu hanya tersenyum, lalu menatap ke arah jendela.

“Aku belum pernah menanam bunga itu, dan aku yakin bunga itu akan
tumbuh indah kalau kamu yang yang menanamnya. Bunga itu…” Sambil
menggantungkan kalimatnya, Aira menoleh padaku.

“Kamu akan mengetahuinya sendiri kalau bunga itu sudah mekar, dan aku
akan berusaha dan berdoa untuk diriku agar cepat sembuh,”

“Kamu juga, jangan lupa doakan aku terus, ‘ya? Supaya aku sehat lagi dan
bisa lihat bunga itu tumbuh indah di kebunmu, Kia!” Lanjut Aira dengan
semangat, lalu tersenyum lebar sambil memamerkan deretan gigi-giginya yang
berwarna putih terang. Saat itu, aku dapat merasakan bahwa hatiku terguncang,
melihat dia—seorang yang mengalami masa-masa kritis itu—tersenyum dengan
amat tulus dan penuh kebahagiaan. Itu sungguh menggetarkan diriku.

Aku pun balas menyunggingkan senyum pada dirinya, dan mengangguk.

Angin sejuk berhembus lembut saat aku telah berada di pekarangan rumah,
lalu aku berlutut tepat di depan bunga-bunga yang kini telah mekar dengan indah.
Aku menyunggingkan senyum sambil menatap bunga-bunga yang bergoyang
tertiup angin itu.

Aku bersyukur menjadi sahabat Aira. Aku senang mengenalnya. Aku tidak
akan pernah melupakan semua ini, kenangan tentangnya, kenangan bersamanya.

Banyak hal telah kita lalui bersama dan selalu ada untuk satu sama lain,
sahabat yang sangat berarti.

Dan bunga yang dimaksudnya waktu itu adalah bunga yang ada di hadapan
ku saat ini,

Bunga iris.

***

Anda mungkin juga menyukai