Anda di halaman 1dari 5

Judul : guruku pahlawanku

Indonesiaku, negaraku..

Bila berbicara tentang guru, tidak ada yang bisa ku katakan, selain berucap bahwa “Guruku adalah
pahlawanku” tanpa beliau saya bukanlah siapa-siapa, tanpa beliau saya bukanlah apa-apa, ilmunya akan
selalu terkenang dalam kepalaku.

Saya teringat pagi itu, sehabis sholat subuh, ibu saya membangunkan saya dari mimpi malamku, dan
berpesan agar segera merapikan buku pelajaran karena hari ini adalah hari senin, dimana saya akan
menjalani hari-hari di sekolah lebih awal.

Karena waktu itu saya sudah duduk di bangku kelas 6, maka Les pagi di sekolahku adalah kegiatan yang
wajib, maka tanpa pikir panjang, saya segera merapikan buku-buku hari itu dan bergegas segera
membasuh badan saya dengan air, waktu itu masih sekitar tahun 2002’an dimana transportasi motor
belum sebanyak saat ini, dan kebanyakan aktifitas warga kebanyakan menggunakan sepeda onthel.

Embun masih terasa segar, singsing fajar masih terlihat nanar, suara petok ayam terdengar di sepanjang
jalan, dan saya menapaki jalanan selangkah-demi selangkah, melewati sawah, rerumputan lapang dan
rimbunan pepohonan seperti mengamati saya, oh negaraku, indonesiaku, suasana itu tak akan pernah
saya lupakan.

Saya berjalan pelan, hingga suara riuh anak-anak bermain mulai terdengar, dari jauh saya melihat anak-
anak sebaya saya bermain dengan riang, tanpa melihat dari dekat saya sudah tahu bahwa mereka adalah
teman sekelasku, ini adalah hal yang biasa, karena ketika menginjak bangku kelas 6, kewajiban
pertamanya adalah melaksanakan les yang di mulai lebih pagi, alasanya saat siang adalah waktu yang
tepat untuk tidur, karena jaman dahulu guru benar-benar memikirkan apa yang baik bagi murid-
muridnya.

Saya segera bergabung bersama yang lainya setelah meletakkan tas saya di atas bangku. Kami pun mulai
bermain, tak terasa keringat di dahi kami, mengingatkan kami alasan kenapa kami sudah tiba di sekolah,
tanpa ada yang memulai, kami saling menatap kemudian berujar.
“Pak Cahyo belum datang ya?” kata salah satu temanku yang di sambut lirikan yang menyapu halaman
sekolah,

Kami serempak menggeleng, lalu berubah dengan tatapan cemas.

“ini gak biasanya loh. Biasanya pak Cahyo kan udah tiba jam segini” kata salah satu teman perempuan.

“iya nih” jawab kerumunan teman perempuan yang lain.

“udah, kan enak jadi gak usah les, langsung pelajaran pertama. Lagian pak cahyo kan serem!!” ucap
temanku Dio, salah satu anak yang terkenal bandel.

Namun apa yang baru saja di katakan oleh Dio tidak sepenuhnya salah.

Iya, namanya adalah Pak Cahyo, seorang pria paruh baya, dengan kumis tebal yang menghiasi wajahnya,
tatapanya tenang, namun berwajah muram, bibirnya hitam karena rokok selalu menjadi temanya,
rambut plontos.. namun tegas dan berwibawa.

Kami semua mengenalnya, satu sekolah sangat mengenalnya.

Pak Cahyo mungkin tidak begitu di kenal di antara murid kelas 1 sampai kelas 3, karena pak Cahyo sendiri
mengajar untuk murid kelas 4 sampai kelas 6 di Sd kami.

Beliau sendiri yang seorang guru SD di tuntut untuk bisa mengajar banyak pelajaran, berbeda dengan
SMP dan SMK dimana setiap guru memiliki spesialis sendiri, di SD guru di wajibkan harus menguasai
banyak bidang pelajaran, karena itu saya berharap kelak, siapapun yang memimpin negeri ini akan
memberikan upah yang layak untuk semua guru SD di pelosok negeri, karena merekalah orang
berpendidikan pertama yang membentuk pribadi seorang anak penentu masa depan.

Kembali kepada guru saya, Pak Cahyo.


Pak cahyo sendiri biasa mengajar pelajaran IPA , terkadang mengajar Sejarah dan yang paling sering
adalah matematika, meski kadang saat guru olahraga tidak masuk, maka beliaulah yang mengisi posisi
tersebut. Sungguh saya sangat menghormatinya.

Seperti apa yang di katakan teman saya tadi, dia sepenuhnya tidak salah, karena Pak Cahyo sendiri
adalah guru yang sangat-sangat tegas, hingga tidak ada satupun murid yang berani menentangnya, tidak
perlu menghukum fisik, karena satu tatapan dinginya saja sudah cukup membuat nyali kami semua
menciut. Jujur saja, beliau adalah guru yang paling saya takuti serta hormati.

Suara motor honda lama butut terdengar dari jauh, tatapan kami menerawang tanah lapang milik pak
haji samuut, dan dari kejauhan saat pagi masih terlalu gelap, terlihat cahaya motor yang bergerak
menyinari, saat itu lah kami semua berkerumun lalu berlari segera masuk ke kelas, menyiapkan buku
matematika yang sudah kami persiapkan serta mulai memasang wajah tenang sembari duduk di atas
bangku kelas kami yang sudah rapi.

Suara motor butut masih terdengar dari luar kelas, setelah beberapa lama menunggu, suara motor itu
sudah tidak terdengar, berganti dengan suara derap kaki tenang dan kemudian seorang pria paruh baya
menatap kami, menerawang sepanjang kelas lalu melangkah ke tempat duduknya dengan tegas, ketua
kelas kami berdiri, memberi hormat di ikuti semua murid, dan suara bijaknya mulai terucap.. saya ingat
betul apa yang akan beliau katakan, karena ini sudah menjadi hal yang selalu beliau lakukan.

“ayo anak-anak, keluarkan PR’nya dan letakkan di meja kalian. Bapak mau periksa satu-satu”

Seperti apa yang saya duga, kalimat itu benar-benar terucap dari bibirnya, sontak, kami saling
memandang untuk beberapa detik lalu memeriksa isi tas kami, puluhan wajah terlihat berbeda, serta
gemuruh suara yang terdengar cemas memenuhi isi kelas. Aku bersikap tenang dan membuka isi tasku,
namun bagai tersambar petir di siang bolong ketika saya menyadari bahwa saya meninggalkan buku PR
saya di rumah, maka saat itu saya menatap sekeliling, berharap bertemu dengan murid yang senasib
dengan saya..karena apa yang terjadi selanjutnya, akan membuat saya ketakutan sekaligus terkekeh bila
mengingatnya, coba saja kalian pikir, hukuman yang akan kami terima ini akan menjadi kenangan yang
tak terlupakan bahkan hingga saat ini.

Satu persatu murid mulai di periksa, suasana semakin membuat jantung saya berdebar ketika murid-
murid di depan yang di dominasi perempuan mampu memberikan bukti bahwa mereka sudah
mengerjakan PR, dan ketika melihat akan tiba giliran saya, maka saat itu yang saya pikirkan hanya pasrah
menerima nasib, karena apa yang saya terima adalah karena kesalahan saya sendiri, namuntiba-tiba
Arip, teman yang duduk di depan saya tiba-tiba menerima cubitan panas di area dadanya, maka saat itu
saya merasa lega karena sepertinya tidak hanya saya yang mendapatkan hukuman.

Ya, Pak Cahyo sangat terkenal dengan hukuman cubit di dada, namun untuk perempuan biasanya pak
Cahyo hanya menyentil jidadnya itu pun sepertinya gak terlalu keras setidaknya itu yang membuat
sebagian anak lelaki iri, namun apa mau di kata, perempuan lebih lemah dari lelaki. Setidaknya itu dulu
sebelum perempuan meminta untuk di setarakan.

Pagi itu pelajaran pun di mulai, Pak Cahyo mengajarkan segalanya, memberikan segalanya untuk bekal
kami di masa depan. Ketika kami sedang serius dengan pelajaran yang beliau ajarkan, tiba-tiba beliau
menatap kami dengan tatapan kosong lalu bertanya sesuatu di luar pelajaran yang tentu, momen itu
masih teringat rapi di dalam kenangan saya.

“anak-anak, boleh bertanya sesuatu pada kalian??” tanyanya menatap kami satu persatu. “selama kalian
bersekolah disini, sejak kelas 1 hingga sampai kelas 6 seperti sekarang, kalian merasa gak sih bahwa
kalian mengalami kemajuan dalam berilmu??”

Sontak pertanyaan sederhana itu membuat kami semua berpikir, pertanyaan yang menurut saya sangat
aneh namun membuat bingung saya saat itu.

Serempak teman kami, yang kebanyakan adalah perempuan menjawab dengan kompak “tidak pak,
kayanya ilmu kami gak bertambah”

Wajah Pak Cahyo terlihat nyengir, membuat kami bertanya-tanya. “sudah bapak duga jawaban kalian
pasti seperti itu. Tapi coba kalian ingat-ingat lagi, ilmu kalian itu bertambah atau tidak sebenarnya”
“simplenya begini, kalian ingat pada saat kalian dulu masih kelas 1, apa kalian bisa baca surat al-
fatihah?? “
“tidak pak” jawab semua teman saya.

“sekarang, bisakah kalian membaca surat al- fatihah diluar kepala?” tanya beliau lagi.

“Bisa pak” jawab semua murid sembari nyengir.

“nah itu artinya ilmu kalian bertambah” jawab beliau dengan nada bergurau, saya terkejut saat itu,
karena untuk pertama kalinya saya melihat beliau tertawa dan begitu hangat, pesona guru nya benar-
benar menyejukkan dimana kami akan menghadapi ujian negara Ebtanas sebelum masuk ke jenjang
yang lebih tinggi, SMP.

“bapak Cuma berpesan kepada kalian, ini adalah tahun ajaran terakhir buat kalian, kelak saat kalian
sudah meninggalkan sekolah ini, bapak ingin berpesan agar kalian mencontoh bagaimana cara ilmu padi
di terapkan..” ucapnya dengan mata sejuk,

“ya, kalian harus seperti padi, semakin berisi, berilmu,semakin merunduk.. menaruh hormat pada setiap
orang. Bapak gak perlu apa-apa, karena nanti ketika melihat kalian sukses, itu sudah cukup membuat
bapak senang, karena itu adalah bayaran termahal bapak dari kalian”

Mendengar itu saya seperti ingin menangis, momen itu masih teringat jelas, meskipun beliau adalah
guru yang tegas, suka menghukum namun di balik itu semua, beliau adalah guru terbaikku, mengajar
tanpa meminta. Memberikan tanpa menagih.

Guruku, semoga engkau senantiasa mendapat berkah dari ilahi. Pak Cahyo’ pahlawanku.

Anda mungkin juga menyukai