Anda di halaman 1dari 19

Terbangnya Burung Chaanakya

Hari Jumat.
Matahari berada di atas ubun-ubun. Angin berbisik lembut setiap daun telinga para
murid, seharusnya ini waktu yang tepat untuk bermalas-malasan. Bel berdering keras tanda
pelajaran keempat telah berakhir, waktunya istirahat. Murid-murid keluar dari kelas, riang
berjalan ke kantin, tapi tidak ada suasana riang di muka-muka murid XI IPS 1 yang sedang
panik, sudah panas karena pendingin ruangan mati, tambah panas pula karena tenggat
waktu karangan geografi hari ini.
“Terimakasih untuk anak-anak yang sudah mengumpulkan karangan di hari ini.
Bagi yang belum mengumpulkan, ibu harap minggu ini selesai. Kalian ini, sudah ibu kasih
2 minggu, belum selesai-selesai. Sudahlah, kalau kalian tidak mengumpulkan minggu ini
akan ibu kurangi nilainya! Kalian tahukan kalau tugas ini menjadi nilai praktik kalian?!”
Demikian Bu Lili berlalu dari kelas, guru geografi kami yang terkenal kebengisannya
dalam tugas.
Kelas menjadi bising setelah Bu Lili pergi, ada yang mengeluh, panik, bahkan ada
yang berkata “Akhirnya.” Salah satunya adalah aku.
“Kal, ayo kita ke kantin!” ucap Sabha sambil menarikku dari bangku.
Aku mengangguk, beranjak pergi bersamanya. Kantin seperti biasa ramai dengan
murid-murid yang ingin menghilangkan penat selesai belajar empat pelajaran dari pagi
hingga siang hari dan akan dilanjutkan sampai sore nanti. Wajar saja bagi kami belajar
seperti tidak ada hari esok, SMA Chaanakya Jayasri memang terbukti dengan lulusan
terbaiknya, bisa dilihat dari kualitas guru dan fasilitas yang menjanjikan masa depan.
Kalau dipikir-pikir mengapa aku bisa masuk sini, ya? Seingatku dulu, nilaiku rata-
rata. Oh iya, perkenalkan aku Kalaika Tirtayasha dan dia, Sabha Surakshita, teman
terbaikku saat TK, SD, SMP dan sekarang SMA, awalnya aku sedih tidak satu SMA
dengannya, tetapi setelah 1 tahun telah berjalan di SMA yang kulalui tanpa Sabha, aku
pindah sekolah dan kaget ternyata aku satu sekolah dengan Sabha. Aku bertemu dengannya
ketika dia sedang dimarahi oleh Bu Lili karena terlambat mengerjakan tugas dari beliau,
dankagetnya lagi ternyata kami satu kelas.
“Mau beli apa, neng?” Tanya abang bakso, membuyarkan pikiranku.
“Beli dua bakso, satu pedes, satunya tidak pedes, mang, sama es jeruk 1, kamu
mau minum apa?” ucapnya sambil menyikutku pelan.
“Es teh manis aja,” jawabku sambil memberikan uang.
Abang bakso mengangguk, kembali melanjutkan pekerjaannya dan menanggapi
pelanggan setelah kami, begitu terus sampai selesai istirahat. Lalu, kami mencari tempat
duduk, sepertinya sudah penuh, pikirku. Namun, Sabha melihat seorang murid yang duduk
sendirian di pojok kantin. Jaraknya lumayan jauh dari kami berdiri, sulit memang bagi
orang biasa untuk melihatnya. Tetapi, tak ada yang bisa luput dari pandangannya, karena
dia punya mata dan telinga yang tajam, aku sampai heran, sebenarnya dia lahir dari apa?
Mungkin dia lahir dari kepekaan dan ketajaman seluruh alam semesta.
“Di sana masih ada tempat yang masih kosong, hanya ada Nandra saja. Ayo kita
kesana!” pintanya sambil menarikku.
“Kalian tidak makan?” tanya Nandra mulai mengaduk mie ayamnya yang terlihat
masih utuh. Mungkin pesanannya baru datang, pikirku.
“Kami baru memesan bakso tadi-“ Sabha terhenti karena tiba-tiba Rifki-anaknya
abang bakso- menaruh pesanan kami berdua.
“Nih pesanannya buat Sabha dan Kalaika cantik.” Ucapnya menggodaku, sambil
menaruh pesanan kami. Aku tertawa dan mengucap terima kasih, siapa yang dipanggilnya
cantik?
Nandra memandangku, lalu menanggapi, “Tidak perlu malu-malu begitu, Kala.”
Melanjutkan makan mie ayamnya. Aku mengernyitkan dahi, mengapa raut wajah dan
nadanya berbeda?
“Emang kenapa sih, Dra? Iri ya, pengen dipanggil ganteng?” jawab Sabha sambil
tertawa. Aku tertawa karena gurauan tersebut.
Sementara itu, dalam pikiran Sabha, “Ya ampun! Kapan Kalaika paham dengan
semua kode-kode yang diberikan Nandra? Kepekaan dia dalam hal ini, sangatlah payah!”
“Gimana karangan geografi kalian?” Nandra mengalihkan pertanyaan dan
melanjutkan makanannya. Kami melanjutkan mengobrol sampai bel berbunyi, dengan
cepat melupakan kejadian tadi.
***
Semua murid kelas XI SMA Chaanakya Jayasri sempurna menghela napas, bahkan
ada yang menahan napas. Ekspresi kami penuh dengan kebingungan, isi kepala kami
berputar, kata-kata itu diukir, dan dibentuk dengan penuh seni oleh Pak Dharma, sang guru
ekonomi sekaligus kepala sekolah kami.
Semuanya saling mengisi, selesai satu, muncul yang lain, tambah rumit pula.
Membentuk gelombang kesesakan yang semakin luas. Ujian praktik. Itulah yang membuat
kami-kelas XI-sebagian besar ribut, banyak juga yang mengeluh. Ada juga yang
bernegosiasi ke Pak Dharma. Adapula yang sedang menari reog.
Saat ini aku sudah selesai makan malam, dan sekarang tiduran, sambil menatap
ponselku. Sebelum dilanjutkan lagi, aku akan menceritakan kejadian, enam jam ke
belakang.
***
Setelah bel pembelajaran ke lima berdering keras, kami kembali ke ruang kelas,
melanjutkan pelajaran masing-masing. Tinggal satu bel pembelajaran dan bangunan penuh
sejarah dan ilmu-untuk hari ini-akan berahir. Akhirnya, enam bel pembelajaran yang
berbunyi telah terlewati, bel pulang berbunyi sangat keras, membuat semakin tidak sabar
untuk keluar dari kelas. Seluruh murid senang, sebagian besar dalam otak mereka, sudah
terpikirkan rencana setelah pulang sekolah, ada yang lansung pergi ke rumah masing-
masing, berjalan-jalan bersama teman atau pergi berkencan, ekskul, dan banyak kegiatan
lainnya.
Duk, duk, duk.
Pengeras suara yang dicoba dengan diketuk-ketuk dari ruang guru terdengar ke
seluruh penjuru sekolah.
“Assalamualaikum, diberitahukan kepada seluruh murid kelas XI bahwa ujian
praktik ekonomi ditiadakan-” Semua murid berseru senang.
“Sebagai gantinya, kalian harus mengikuti perlombaan karya tulis remaja.
Ketentuannya akan dipajang di papan pengumuman kelas kalian masing-masing. Sekian
dari saya, Wassalamualaikum.” Tutup Pak Dharma, diikuti dengan keluhan dari murid
kelas XI.
Walaupun kami sudah susah payah bernegosiasi dengan Pak Dharma, tetap saja
beliau bersikeras dengan keputusannya, karena ingin semua murid kelas XI aktif dalam
mengikuti perlombaaan. Perlombaan ini akan dijadikan nilai praktik tahun depan, jelas Pak
Dharma ketika kami bilang tidak ada waktu lagi.
Bel pulang yang seharusnya menjadi kebahagiaan, menjadi malapetaka bagi murid
kelas XI. Ruangan yang seharusnya riuh dengan kegembiraan setelah pelajaran usai, kini
diisi dengan hujanan protes dan keluhan yang meluap. Membuat rencana yang sebelumnya
telah dipikirkan matang setelah bel pulang sekolah, menjadi malas untuk menjalankannya.
Perlombaan karya tulis remaja, sebuah tantangan yang tidak diharapkan semua murid kelas
XI, menambah deretan masalah yang sudah ada.
Walaupun kami malas dengan semua tugas-tugas ini, kami tetap akan
mengerjakannya dengan baik, mungkin. Jadi, sambil menggerutu, kami semua melihat
peraturan yang ternyata telah di tempel semenjak bel pembelajaran keenam berlangsung.
Dalam peraturan yang dirancang oleh Pak Dharma, terdapat 1 tim berisi 3 murid.
Kemudian, untuk lomba yang diadakan oleh festival atau sekolah, 1 tim ini akan
mendapatkan nilai 75 jika kalah pada seleksi awal. Namun, apabila berhasil lolos pada
seleksi awal atau selanjutnya akan ditambahkan 1 poin pada setiap sesi. Sementara itu, jika
yang mengadakan lomba karya tulis remaja adalah universitas, lembaga, atau
pemerintahan, tim akan mendapatakan nilai 80 jika lolos pada seleksi awal namun kalah di
seleksi selanjutnya. Tetapi, jika berhasil lolos pada seleksi selanjutnya akan ditambahkan 1
poin, dan di sesi pengumuman pemenang, tim yang berhasil meraih kemenangan akan
mendapatkan nilai 97 dan apabila tidak berhasil akan mendapatkan nilai 92. Untuk nilai
praktik ekonomi tahun ini dalam rapot adalah 85. Nilai yang cukup bagus, pikirku.
Namun dari sekian beragamnya tugas yang bisa dijadikan sebagai ujian praktik
ekonomi, kenapa yang pilihannya karya tulis remaja? Padahal beliau bisa saja menyuruh
kami membuat video, mengikuti lomba ekonomi yang masih banyak macam bentuknya.
Jujur saja, aku tidak terlalu suka dengan perlombaan ini.
Di sekolah ini, semua murid mesti mengikuti lomba, ini sudah menjadi syarat wajib
sebagai murid disini, aku lebih menyukai lomba non-akademik, mengikuti lomba akademik
bukan masalah, namun aku akan menghindari lomba-lomba yang berbau presentasi.
Dikatakan komunikasiku buruk, mungkin, tugas disini malah sebagian besar adalah
presentasi, jadi seharusnya aku sudah terlatih, bukan? Awalnya aku berpikir seperti itu, tapi
seiring waktu berjalan disertai dengan tugas presentasi, aku tetap merasa seperti dulu.
“Kal, jangan melamun! Nanti kamu dikira kerasukan kunti bogel!” canda Sabha
sembari menepukku.
Menurut mading BBS-Bisik Bisik Sekolah- bahwa di sekolah ini ada perkumpulan
kunti bogel, di madingnya terdapat beberapa foto, salah satunya yaitu foto berisi seorang
murid yang sedang diwawancara, katanya dia bisa melihat hal yang tidak kasat mata, suatu
hal seperti atma yang sudah tiada di, dan dia melihatnya di taman baca belakang sekolah,
ada 3 pohon membentuk segitiga dan ditengahnya, dia melihat perkumpulan itu. Sebagian
orang mengatakan mereka pernah melihat anak kecil berambut panjang dan memakai gaun
putih, sebagian dari mereka takut, namun sebagiannya lagi berteriak dan malah
mengejarnya sebab mereka terlihat menggemaskan. Aneh, namun aku ingin melihatnya
sekali saja.
“Ayo kita pergi dari sini, lama-lama kepalaku akan meledak jika memikirkan
perlombaan ini terus-menerus. Lagipula minggu depan kita ada ujian akhir semester.” Aku
sudah muak. Jadi, kami berjalan menuju gerbang sekolah.
“Hei, bagaimana kalau kita belajar bersama? Pelajaran hari pertama itu ekonomi
dan agama, bukan? Kamu kan sangat pintar dalam ekonomi, nilaimu benar-benar stabil
dalam pelajaran ini, sedangkan aku agak payah dalam pelajaran ini. Bagaimana kalau kau
mengajariku ekonomi dan aku akan mentraktir makanan yang kamu sukai?” tawarnya
dengan mata berbinar-binar.
Itu tawaran yang sangat menggiurkan, lagipula tidak ada salahnya membantu
teman dalam belajar, tapi bukan maksudnya untuk membantunya saat ujian berlangsung,
itu adalah hal yang sangat tidak terpuji.
“Hmm, baik aku akan membantumu, tapi kamu harus mentraktirku 3 croissant dan
kopi Janji Janata.”
“Yess!! Terima kasih banyak, Kala! Nanti aku kasih tahu lagi tempatnya akan
dimana, besok kamu free kan?” Sabha berseru dan mengiyakan semua permintaanku.
***
Sesampainya di rumah, aku langsung di sambut oleh Wana, kucing kami yang
berusia 6 bulan, dia mengelus-eluskan kepalanya ke kakiku. Aku senang bertemu
dengannya. Dia benar-benar sebuah pemanis yang indah dalam hidupku dan keluargaku,
bulunya yang
“Hai, Wana.” Ucapku sambil mengelus kepalanya lalu menggendongnya.
Dimana semua orang? Pikirku saat melihat ruang keluarga kosong tapi berantakan
oleh mainan. Aku mencari kemana orang-orang bersama Wana di pangkuanku, kami
mencari orang-orang berada dimana, kamar-kamar, halaman depan, halaman belakang,
ruang keluarga, teras lantai 2. Tidak ada siapa-siapa.
Saat aku memasuki dapur, aku dikejutkan dengan lemparan tepung, hanya aku
yang kena, Wana sudah lompat dari pangkuanku. Semua yang berada di dapur tertawa
melihat mukaku sekarang, disana ada 2 adikku, Kalyn dan Kafyn; mereka bukan kembar
tapi kepribadian dan wajah mereka sangat mirip, lalu Bunda, serta Kakakku yang paling
menyebalkan, Kawindra.
“Ahh Kakak, kok lempar-lempar tepung sih!”
“Memangnya kenapa? Kamu baru pulang sekolah, biar sekalian mandi, bau busuk
tahu enggak kamu?”
“Kenapa Kakak udah pulang sih, emangnya ujiannya udah selesai?”
Dia menjawabnya dengan melemparkan tepungnya. Aku sudah tidak tahan lagi.
Jadi, aku melemparkan tepung ke Kakak dalam dua genggaman sekaligus. Sebelum Kakak
melemparkan tepungnya. Bunda langsung menghentikannya.
“Udah Kak, nanti tepung Bunda habis kalian lempari! Sebentar lagi kue kejunya
jadi. Ayo, kita buat minuman. Kalian mau buat minuman apa?”
Untung saja Bunda menghentikannya. Jika tidak, lihat saja di meja dapur 2 adikku
sudah membawa mangkuk pemuh dengan tepung untuk mereka lempari, tapi mereka
menaruhnya kembali karena aku menatap tajam ke arah mereka berdua.
“Bagaimana kalau coklat panas? Sepertinya itu perpaduan yang cocok untuk
makan bersama kue keju.”
“Tidak, kopi jauh lebih cocok untuk makanan manis seperti ini.” Sergah Kakak.
“Kita mau es krim!” teriak kompak Kalyn dan Kafyn, membuat telingaku
berdengking.
“Sudah kita buat es limun saja. Kalian ini keras kepala sekali, kemarin kan kita
sudah minum coklat panas, lalu kopi hanya orang dewasa saja yang minum, kalau es krim
kalian nanti batuk, ayo kita buat sekarang, sebentar lagi sudah mau malam. Kalian akan
makan ini semua saat jam menonton, oke?” Tegas Bunda sambil mengambil bahan-
bahannya.
“Siap, Bunda!” Kompak kami menjawab dengan tangan membentuk hormat
disertai tawa Bunda.
***
Selesai kami makan malam dengan nasi goreng buatan Bunda, kami segera pergi
ke Ruang Keluarga untuk menonton film atau apapun sambil memakan kue keju dan es
limun yang sudah kami buat.
Pukul 9 malam. Saatnya kami semua masuk kamar.
Dalam kamar aku masih memikirkan ujian praktik ekonomi. Sudahlah, aku
membuka ponselku dan melihat social mediaku saat ini. Ya ampun, dia ganteng sekali.
Siapa dia? Orang yang sudah lama kusukai, namanya Fazwan Elan Sujana, kami pernah
menjadi teman sekelas saat SD kelas 5 dan 6, serta teman SMP, bisa dibilang kami cukup
dekat. Saat kami SD kami sering bermain bersama. Sekarang, kami tidak satu SMA, namun
kami kadang berbincang di social media, tubuhnya tinggi, kulit sawo matang, rambutnya
sedikit berantakan, kami pernah 1 grup musik dan memenangkan lomba pada event
sekolah. Bakatnya lumayan dalam bidang atletis atau non-akademik, jadi dia lumayan
mirip denganku, maka dari itu aku merasa nyaman bersamanya.
Aku merasa sangat sedih ketika aku harus pindah sekolah saat SMA ke sekolahku
yang sekarang. Aku tidak tahu apa tanggapannya tentang perpindahanku ini, dia kelihatan
sedih karena kehilangan teman grup musiknya dan aku tidak berniat untuk mengungkapkan
perasaanku. Hanya Sabha yang tahu rahasia ini, bahkan keluargaku tidak tahu jika aku
menyukai Elan, tapi jangan sampai tahu, dia pernah beberapa kali ke rumahku untuk
mengantar dan menjemputku untuk ke studio, pernah juga masuk ke dalam rumahku tapi
bersama dengan grup kami. Sudahlah, aku berhenti memerhatikan akun social media-nya
dan pergi beranjak tidur, tidak sabar besok di traktir oleh Sabha.
***
Matahari terbit timur, mulai menerobos jendela kamar tidurku, silau tapi
menyenangkan melihatnya menghiasi meja belajar yang menghadap langsung jendela dan
tempat bersantai yang memang berada dibawah jendela, tempat favoritku untuk membaca
buku atau menatap keluar, apalagi jika hujan, aku akan tertidur disana sambil
mendengarkan musik.
Saatnya untuk siap-siap, kulihat ponselku, dan menanyakan tempat pada Sabha
mau dimana, lalu dia memberikan sebuah alamat, aku ingin protes, kenapa di kafe? Kenapa
tidak di rumahnya saja, aku tidak terlalu nyaman dengan tempat makan di luar.
Sabha tahu aku tidak suka tempat untuk bercengkrama di luar, jadi sebelum aku
protes, katanya dia ingin makan di luar, dia tetap bersikeras dan menjamin akan seru,
akhirnya aku mengalah karena dia mengancam tidak akan metraktirku. Pertemuan ini
berlangsung pukul 10.00, aku masih mempunyai waktu 3 jam untuk bersiap-siap.
Aku beranjak dari tempat tidurku dan pergi mandi, selesai mandi aku pergi ke
dapur dan menyiapkan sereal, lalu membawanya ke ruang keluarga sambil menunggu
waktu, aku menonton TV. Bunda, Kalyn, dan Kafyn pergi ke pasar. Tumben sekali kedua
adikku ingin ke pasar pasti mereka ada maunya. Lalu, Kakak sudah ada janji kerja
kelompok bersama teman-temannya. Jadi, aku sendiri di rumah ini. Kulihat jam sudah
menunjukan 09.13, jarak dari rumahku ke kafe itu lumayan jauh. Aku segera bersiap-siap
mengenakan pakaian kesukaanku, memoleskan sedikit pelembab bibir dan menjepit bulu
mata, mengambil tas selempang membawa dompet, buku ekonomi dan agama, alat tulis,
dan buku coretanku. Aku siap.
Saat aku keluar, ternyata dua motor sudah dipakai. Satu dipakai Bunda dan satunya
lagi Kakak. Akhirnya aku memanggil ojek dan lalu berangkat ke kafe tersebut, ada
untungnya juga menaiki ojek ini, aku bisa melihat sepuasnya pemandangan kotaku, rindang
dengan pepohonan, jadi cahaya matahari tidak terlalu panas. Sesampainya di kafe, turun
dari motor lalu memberikan uangnya pada ojek yang kutumpangi. Baru mau masuk ke kafe,
abang ojek memanggilku, bingung kenapa aku dipanggil? Ternyata menunjuk ke arah
kepalaku, helmnya masih kupakai. Malu sekali, aku selalu lupa saat aku menaiki motor dan
memakai helm. Segera aku melepaskannya dan mengucapkan maaf, beruntung tidak ada
orang yang melihat hal ini.
Masuk ke dalam kafe, aku langsung dikejutkan dengan nuansa kafe yang bergaya
klasik, kursi kayu berlapis kain dengan pola klasik dan terlihat nyaman, pahatan-pahatan
artistik pada furnitur, lentera bergaya antik yang menggantung dari langit-langit kafe, pasti
akan terlihat indah jika di malam hari, dinding-dinding kafe berornamen-ornamen klasik,
musik jazz yang diputar menciptakan suasana yang tenang dan anggun, membuat kafe ini
menjadi kenyamanan yang abadi. Aku tidak pernah ke kafe ini, aku hanya pernah memesan
kopi dan rotinya karena Sabha yang merekomendasikan. Kalau kafenya seperti ini, aku
akan sering kesini.
Masih ada 10 menit lagi sebelum Sabha datang, jadi aku duduk di dekat jendela,
dan memesan 1 kopi susu, sambil menunggu aku melihat-lihat sekitar, memfotonya dan
memposting-nya di akun social media-ku. Salah satu pelayan datang membawa pesananku,
dan-
“Kala.”
“Hai, Nandra! Eh, kamu kerja disini?” Ucapku sambil melihat pakaiannya.
“Kamu ngapain disini-” Seperti menyadari sesuatu, dia menaruh pesananku, pergi
langsung ke dapur kafe.
Kenapa dia pergi? Padahal aku ingin memuji tempat ini. Tiba-tiba seseorang
menepukku dari belakang, ternyata Sabha dengan muka tersenyum-senyum. Anak ini
kenapa? Apa jangan-jangan dia kerasukan kunti bogel?
“Cepat sekali kamu datang kesini, sudah lama menunggu?”
“Tidak terlalu lama, eh kamu tahu tidak Nandra kerja disini?”
“Tahu, dia pernah memberi tahuku kalau dia punya kafe. Dia ingin sekali kerja
sebagai barista dan kafe ini lumayan terkenal, walaupun tidak memiliki cabang satupun.”
“Kenapa kamu tidak memberi tahuku? Aku sangat bangga sekali saat tahu ini
semua hasil jerih payah temanku. Lagipula kafe ini nyaman sekali, kita harus sering-sering
kesini.”
“Untuk apa aku memberi tahumu, sudahlah ayo kamu ajari aku. Oh iya, tadi aku
sudah memesan pesananmu. Lalu, Nandra juga akan ikut belajar bersama kita.”
Baiklah, mari kita mulai pembelajaran ini, ada 4 bab yang akan di pelajari, kami
memulainya dengan bab yang banyak hitungannya, ini Pelajaran yang menurutku seru, jadi
senang saja bagiku untuk mengajar. 1 setengah jam telah terlewati dan Nandra datang
membawa pesanan dengan memakai pakaian kasualnya, bergabung bersama kami.
Kemudian, kami bertiga istirahat sebentar dengan berbincang-bincang sambil memakan
camilan yang diberikan gratis oleh Nandra.
***
Pukul 14.00, kami sudah Lelah, akhirnya kami berdua beranjak pulang dan
berpamitan dengan Nandra yang masih akan bekerja.
“Hati-hati dijalan, sampai bertemu hari senin.”
“Dra, minggu depan kita ujian. Kamu akan mengambil cuti, kan? Jangan sampai
itu menganggu sekolahmu.” Kataku sebelum menaiki ojek.
“Tenang saja, aku akan belajar dengan baik.” Jawab Nandra
“Ehm, ojekmu sudah menunggu, Kal.” Sabha berkata sambil berdeham.
“Iya, kamu tidak naik ojek, Sab?” Jawabku sambil menaiki ojek.
“Nanti aku dijemput supirku. Bye, Kala!” ucapnya sambil melambaikan tangannya.
Aku melambaikan tangan kepada mereka dan mulai berlalu dari pandangan kafe
tersebut. Sedangkan di kafe-
“Waduh, mukanya merah banget tuh!”
“Diam, kenapa kamu tidak memberi tahuku, kalau kalian akan belajar disini?”
“Untuk apa? Kamu senang juga bukan? Kamu seharusnya berterima kasih dengan
mentraktirku kopi nanti kirim saja ke rumahku, oke?”
“Iya-iya, terima kasih.”
***
Hari Senin tiba, pagi yang sejuk diawali dengan desau angin yang membuat embun
berjatuhan dari daun ke tanah, siulan burung seperti biasa bernyanyi tiada bosan untuk
mendengarkannya, tupai-tupai berlompatan dari pohon ke pohon lainnya, saling mengejar
dengan riang. Tetapi, tidak dengan murid SMA Chaanakya Jayasri muka para murid yang
datang ke sekolah sebagian besar tegang, ada yang tinggal menghafal kembali, belum
belajar beberapa hal, ada juga yang santai, dan berbagai aktivitas lainnya dalam
menghadapi pekan ujian ini.
Ujian pertama adalah ekonomi dimulai pukul 07.10, wajah-wajah kaku ketika bel
berdering tanda masuk ke kelas, lalu kami duduk di meja sesuai dengan nomor kartu ujian,
banyak mengeluh ketika melihat 1 lembar penuh dengan soal menghitung, setiap goresan
pulpen terasa begitu berat karena merasa tidak yakin dengan jawaban yang dituliskan,
semakin berat pula ketika tidak boleh memakai kalkulator dalam ujian ini, kata Pak Dharma
agar kami terlatih.
Ujian pertama selesai dan berakhir pada pukul 09.00, diselingi dengan istirahat
yang memiliki waktu selama 1 jam. Aku harap kami semua bisa menghadapi dengan baik
dan tidak mencontek selama 7 hari kedepan, berati 15 mata pelajaran yang tersisa.
***
Seminggu lebih liburan telah terlewati, masih ada beberapa hari sebelum
memasuki sekolah. Aku bersama Sabha dan juga Nandra akan membahas tentang ujian
praktik ekonomi. Namun sebelum membahasnya, kami pergi ke Trans Studio terbesar di
Indonesia, untuk lebih bersenang-senang menghabiskan waktu liburan sebelum kembali ke
realita sekolah yang penuh tugas, kami yakin saat nanti kami-para murid-masuk sebagai
kelas XI semester 2, akan langsung dibanjiri dengan tugas-tugas yang telah para guru
timbun selama liburan berlangsung.
Sabha menghitung situasi dan pengalaman, bahwa kemungkinan besar Bu Lili
pasti sudah menemukan banyak tugas untuk kami kerjakan. Nandra mengingatkan kita,
tentang sejarah tugas yang rutin guru kami targetkan pada murid kelas XI semester 2.
Kemudian sekolah melirik karya-karya tersebut, memujinya, dan menjadikannya tugas
turun-temurun oleh sekolah dan guru Bahasa Indonesia.
“Tetapi, menurut kalian apakah Pak Dharma akan memberi tugas lagi?” Tanyaku
sambil meminum es lemon yang tinggal setengah.
Saat ini kami sudah berada dalam studio, namun kami bertiga sangat lapar dan
haus, jadi kami pergi ke kafetaria yang berada di dalam studio, sebelum kami bermain
sepuasnya.
“Seharusnya sih tidak, karena beliau sudah memberi kita tugas yang sangat susah.”
Jawab Nandra sambil ber-hah kepedasan menghabiskan katsunya, tadi dia tidak sengaja
menumpahkan saus pedasnya, padahal dia tidak bisa makan pedas.
“Setuju, sampai ada tugas lainnya, itu sangat keterlaluan.” Sabha menambahkan
pendapat Nandra sambil mengeleng-geleng.
“Kalian harus tahu, kalau Bu Lili dan suaminya pergi ke sebuah kampus!” Kataku
sambil bergidik ngeri, kemarin aku iseng membuka status Bu Lili di WhatsApp, dan melihat
beliau dan suaminya pergi ke kampus.
“Lalu kenapa?” Tanya Nandra yang kebingungan, mengapa itu sebuah masalah?
“Pernah ada satu guru yang memberi kita tugas rumit, setelah terinspirasi melihat
karya-karya mahasiswa setelah mengunjungi kampus!” Seru Sabha, kami sekelas sangat
mengingatnya, dan itu membuatku bergidik untuk kedua kalinya.
“Ya ampun! Jangan sampai itu terjadi dengan Bu Lili.” Jawab Nandra sambil
tangannya mengadahkan ke atas, seperti berdoa meminta pertolongan.
Lalu kami berbincang-bincang lagi mengenai masalah tugas dan lainnya, sambil
menghabiskan makanan kami.
Selesai kami makan, menyiapkan perut agar tidak lapar di tengah permainan, kami
segera beranjak dari duduk. Saatnya kami pergi bersenang-senang.
Sebenarnya kami bingung ingin bermain yang mana dulu, karena terlalu banyak
wahana. Jadi, kami memutuskan mencoba semua wahana, pertama kami bermain Vertigo,
karena itu tepat berada di depan mata kami setelah makan, aku tidak mengira wahana ini
akan sangat memicu adrenalin karena kami melihatnya saat tidak ada orang yang
menaikinya dan itu terlihat biasa saja, tetapi saat kami naiki, aku kira ini akan berputar
dibawah, ternyata kami dibawa ke atas lalu kami di putar-putar, layaknya sebuah kincir
angin, ini seperti Halilintar di Dufan namun versi kecil.
Wahana kedua, tidak bisa dikatakan wahana kedua sebab kami tidak cukup orang
untuk menaiki Car Racing, sebenarnya bisa saja kami naik, tapi nanti ada satu orang yang
tidak naik wahana ini karena tidak ada pasangannya. Tadinya Sabha menyarankan untuk
aku dan Nandra saja yang naik, dia tidak apa-apa. Dengan kompak kami berdua
menggeleng, itu ide yang buruk menurutku, walau Nandra tidak berkata apa-apa, tetapi
mukanya merah sekali sampai-sampai daun telinganya ikut memerah, mungkin dia marah
kenapa kursinya hanya ada dua, kenapa tidak tiga atau empat, pikirku.
Jadi kami lanjut ke wahana ketiga yaitu, Giant Swing, wahana yang selalu menjadi
pembicaraan teman-teman kami yang sudah pergi ke Trans Studio ini. Mungkin ini hanya
kebetulan saja, namun tempat yang aku duduki, setiap ayunan besar ini bergerak ke titik
yang paling tinggi, aku selalu saja berada di titik itu, dan itu benar-benar membuat
jantungku seperti berhenti beberapa detik pada setiap ayunan dari wahana ini. Beruntung
bukan hanya aku saja yang mengalaminya, ternyata Nandra juga mengalaminya. Aku dan
Sabha duduk bersebelahan, sedangkan Nandra dia tidak mendapatkan tempat duduk
sebelah kami karena orang lain sudah mengisinya terlebih dahulu, jadi dia berada di sisi
lain.
Kemudian wahana kesepuluh, wahana terakhir yang kami mainkan hari ini, kami
memutuskan bermain Racing Coaster, itu sangat menyenangkan, aku dan Nandra tertawa
kencang saat Sabha berbicara usai wahana tersebut, karena suaranya benar-benar berat dan
serak seperti laki-laki, teriakannya benar-benar membuat semua yang mendengarnya
menutup kuping, bahkan kuping Nandra berdenging, apalagi aku yang berada di
sebelahnya, sudahlah aku tidak bisa berkata apa-apa lagi. Jadi, aku memberi saran untuk
membeli minuman terlebih dahulu, sebelum memasuki Trans City Theater yang menjadi
tujuan terakhir kami dalam Trans Studio ini dan hari ini, dan sebelum membahas ujian
praktik ekonomi di rumah Sabha. Nandra memesan air putih saja dan Sabha ingin minuman
yang bersoda. Untuk kesekian kalinya, Nandra bertanya kepadaku-
“Kamu tidak apa-apa sendirian membelinya? Biar aku saja yang membelikan,
kamu duduk saja dengan Sabha. Atau… mau aku temani?” Pintanya yang masih gigih
untuk menawarkan bantuan.
Ya ampun di keras kepala sekali! Pikirku.
“Nandra.” Jawabku dengan menarik tangannya sebelum dia pergi membeli minum.
Nandra mematung ketika aku memegang tangannya dan menariknya.
“Enggak apa-apa aku yang belikan, kamu temani Sabha saja. Aku yang akan
mentraktir kalian. Lagipulakan, aku yang menawarkan, jadi kamu duduk yang manis saja,
oke?” Jawabku sambil memegang pundaknya dan menyuruhnya duduk.
Akhirnya Nandra mau mengikuti arahanku, dan lagipula juga aku tidak terlalu jauh
membeli minumannya dengan tempat duduk mereka, hanya saja aku hanya bisa melihat
belakang mereka, jadi mereka tidak bisa melihat ke arahku kecuali menengok ke belakang.
“Kak, aku pesan air putih dua dan sodanya satu.” Jawabku ketika aku ditanya ingin
memesan apa saja.
“Mau sekalian sama popcorn-nya, enggak Kakak? Soalnya hari ini kami lagi
diskon, beli dua dapat 1.” Tawar dari Kakak penjual popcorn.
“Hmmm, boleh deh. Satu rasa jagung, caramel, sama-”
“Asin.” Kompak aku dan orang dibelakangku.
“Nandra kan gue bilang enggak usah-” Aku sangat terkejut saat menengok ke arah
belakang.
“Hai, Ala.” Ujar seorang lelaki yang pernah satu grup musik bersamaku.
“Lama kita tidak bertemu. Ya ampun, kamu sudah seleherku, terakhir kita bertemu
kamu memang sudah sepundakku. Oh iya, bagaimana kabarmu?” Lelaki yang begitu lama
aku kagumi. Laki-laki yang membuatku terbiasa berkata “Ya ampun.”.
“Elan, ya ampun, kabarku baik. Aku sendiri yang bilang akan mengalahkanmu
dalam pertinggian ini, lihatkan sekarang perbedaan kita, aku minum susu tiap hari.
Ngomong-ngomong, kamu sendiri kesini?” Ucapku sedikit bergetar dan melantur kesana-
kemari, karena aku sangat senang bertemu dengannya. Dan sedikit bingung, mengapa dia
sendirian saja?
“Aku tidak sendirian saja, aku kesini bersama-” ucapnya terpotong seiring dengan
datangnya seseorang menuju ke arah kami dan berdiri di sampingnya.
“Eh Rhe, kenalin dia temen aku yang pernah aku ceritain jadi drummer di band
aku. Ala, kenalin ini Rhea, dia murid baru di sekolah setelah kamu pindah sekolah dan dia
juga pacarku.” Ucap Elan berdeham memperkenalkannya sambil menggaruk kepalanya
yang tidak gatal.
“Kenalin aku Rhea. Kamu cantik dan tinggi sekali!” Sambung dari gadis riang
yang tersenyum manis, aku bisa melihat gigi gingsulnya yang imut. Dia benar-benar
periang, manis, kecil dan cantik. Sesuai dengan tipe Elan yang pernah dia beri tahu, dan
aku menyadarinya, bahwa itu jauh berbeda denganku.
“Perkenalkan aku Kalaika. Terima kasih atas pujiannya, kamu juga cantik dan
mungil. Hei, sejak kapan kalian pacaran? Kamu belum pernah sama sekali mengupload
gadis cantik ini?" Sebenarnya pikiranku saat ini benar-benar di luar nalar, untungnya
komunikasiku berjalan lancar. Ini pernah sekali terpikirkan olehku. Tetapi, aku tidak
menyangka akan secepat ini terjadi.
"Eh, sebenarnya kami baru berpacaran beberapa hari lalu, dan ini hari pertama
kami berkencan." Jawabnya sambil merangkul Rhea.
Lalu, dari belakang muncul seseorang menepuk pundakku.
"Kala."
"Ya ampun, Nandra! Kamu membuatku kaget. Oh iya kenalkan, ini Nandra, dia
temanku. Nandra, ini Fazwan, teman sekolahku sekaligus mantan satu grup musikku, dan
gadis ini, Rhea, pacarnya." Aku memperkenalkan Nandra kepada mereka dan begitu
sebaliknya. Kamu benar-benar penyelamatku, Nandra! Pikirku karena sepertinya pikiranku
jernihku mungkin sudah mencapai batas masksimal.
"Ohh." Hanya kata itu yang keluar dari mulut Nandra. Hanya itu.
“Mantan satu grup? Hei, aku tidak pernah menganggapmu sebagai mantan
drummer, wah aku sakit hati. Padahal jika kamu mau masuk ke grup lagi, kami akan
menerimanya.” Canda Elan karena aku menganggapnya sebagai mantan grup musiknya.
Ngomong-ngomong, di aitu ketua dari grup musik, dan bagiannya itu vocalist.
“Eh Fazwan, kenapa kamu disini?” Tanya Sabha yang baru saja datang, entahlah
mungkin dia baru selesai dari toilet.
“Sabha? Ya ampun kalian satu sekolah lagi? Kenapa kamu tidak bilang satu
sekolah lagi dengan Sabha? Kalian ini memang tidak bisa dipisahkan, ya?” kami bertiga,
sebagai teman sekolah yang pernah bersama merasa ini seperti reuni, Elan mungkin kaget
dengan kabar kita satu sekolah lagi.
“Oh iya, Sab. Kenalin ini Rhea, dia pacarku.” Ucapnya dengan santai.
Aduh, aku sangat tahu pasti anak ini akan mengoceh-oceh saat di WhatsApp. Dia
tidak mengoceh tentang pacarnya, hanya saja di mengomeliku karenaku bersikap biasa saja
dan tidak menyatakan perasaanku. Lagipula itu tidak akan berpengaruh jika aku
menyatakan perasaanku, karena tipenya benar-benar bukan diriku. Masa aku harus menjadi
mungil, aku apakan kakiku? Dipotong?
“Pesanan atas nama Kalaika!” sebut dari Kakak penjual popcorn.
“Makasih ya, kak.” Jawabku sambil menerimanya.
“Yasudah, Elan, Rhea, kami mau pergi lagi, ingin menonton theater. Bagaimana
dengan kalian berdua?” Sabha bertanya kepada pasangan tersebut.
“Kami sudah mau pulang, dia tidak boleh pulang terlalu lama.” Jawab Elan sambil
bermesraan di depan kami bertiga, yang berstatus “Jomblo” ini.
“Kami masuk dulu. Hati-hati di jalan.” Ucap Nandra sambil berjalan ke arah
theaternya.
“Eh, Nandra tunggu dulu. Kalian hati-hati ya, langgeng terus ya hubungan kalian.
Oh iya, aku lupa mengatakannya, selamat ya!” Aku melambaikan tangan ke mereka dan
menggandeng Sabha.
“Kalian sehat terus ya, Rhea kalau Fazwan jahat ke kamu, nanti kamu pukuli saja
dia, yang keras. Bye!” ujar Sabha sambil berjalan.
***
Selama perjalanan ke rumah Sabha, aku dan Sabha menaiki mobil Sabha bersama
supirnya, sedangkan Nandra menaiki motornya mengikuti dari belakang, aku benar-benar
terdiam, sedikit terpukul tidak apa-apa. Tetapi, aku hanya tidak menyangka akan bertemu
mereka di saat mereka baru pacaran, dan ini kencan pertama mereka. Bukannya aku-sangat-
mengganggu? Tiba-tiba saja mencubit pipiku, dan mengacak-acak rambut, sepertinya dia
sangat gemas karena hal itu, dan saat aku memberi tahunya tentang mereka baru berpacaran
dan itu kencan pertama, dia langsung berteriak kesal karena aku bersikap biasa saja.
“Yasudahlah, kan itu sudah lama aku menyukainya, itu telah berlalu. Dan sekarang
dia sudah punya pacar.” Ucapku menenangkan.
Aku memang menenangkannya, namun dia tetap merasa sedih dan tetap mencubit-
cubitiku. Kalian harus tahu cubitannya benar-benar sakit.
Akhirnya kami sampai ke rumah Sabha. Nandra sedang memakirkan motornya dan
turun dari motornya, sambil melepaskan helmnya. Motornya benar-benar keren sekali,
pikirku saat melihatnya pertama kali.
Sabha bilang orang tuanya sedang tidak ada, mereka sibuk akhir-akhir minggu ini
katanya. Saat aku masuk ke rumahnya, memang aku sudah beberapa kali ke rumahnya,
namun aku masuh kagum dengan rumahnya yang benar-benar seperti istana. Kami di ajak
ke kamar serbaguna. Jadi, disini bisa buat apa saja, menonton, rapat, belajar, dan lain
halnya.
Kami masing-masing memang sudah membawa laptop dari awal. Jadi, saatnya
kami mencari lomba.
“Hei, kalian kan sering lomba ini, jadi aku mohon bantuannya ya.” Ujarku saat
kami mencari lombanya.
“Tenang saja, Kal. Kalau kamu ingin bertanya dan butuh bantuannya, kamu bisa
ke Nandra dia benar-benar jago di bidang ini, ya kan, Nandra?”
“Apaan sih, tapi kalau kamu memang membutuhkan bantuan, aku siap
membantumu.” Ucapnya sambil menggarukkan kepalanya.
“Hei, lihat aku menemukan lomba yang lumayan. Nih liat.”
Lalu, kami bertiga hanyut dalam pembicaraan lomba ini dan melupakan kejadian
tadi. Syukurlah ini bisa membuatnya tidak kepikiran hal tadi, pikir Sabha.
Setelah kami berdiskusi lebih lanjut mengenai lomba ini, akhirnya kami setuju
karena kami masuk persyaratannya, sekarang kita menunggu masuk sekolah dan akan
bilang akan ke Pak Dharma, untuk dilihat dulu lalu pendaftaran lebih lanjut.
“Wah sudah jam sebelas kurang, kamu pulang mau diantar supirku, Kala?”
“Tidak usah, aku akan mencoba menghubungi kakakku dulu.”
“Tapi ini sudah malam sekali, memangnya kakakmu masih bangun? Oh iya
bagaimana kalau kamu diantar sama Nandra saja? Dia kan bawa motor.”
“Eh, apa enggak ngerepotin?” Tanyaku ke Nandra.
“Tidak sama sekali, kalau kamu telfon kakakmu nanti malah dia marah-marah.”
“Tuh lihat, dia berharap banget malah.” Usil Sabha.
“Baiklah, kalau begitu sampai nanti bertemu di sekolah, Sab!” Aku melambaikan
tangan pada Sabha.
“Hati-hati di jalan! Nandra, awas kalau kamu apa-apain Kala!”
Lalu kami berdua pergi meninggalkan rumah Sabha. Aku merasa keren sekali
memakai helm yang Nandra berikan, seperti di film aksi begitu, hehehe. Tapi-
“Kal, kamu ngak takut jatuh?”
“Enggak kok, aman, tenang saja.” Ucapku sedikit teriak.
Aku tidak berpegangan kepadanya, kalau aku berpegangan padanya aku harus
memeluknya, dan itu akan canggung sekali.
“Yasudah, hati-hati, kuatkan peganganmu.”
Perjalanan dari rumah Sabha dan aku lumayan jauh, dan kami berdua berdiam diri.
Kalau dipikir-pikir, kami jarang sekali mengobrol hanya berdua, biasanya selalu ada Sabha,
jadi kami selama perjalanan hanya diam saja sampai-
“Kal, tadi kamu kenapa dari tadi diam saja? Apa karena yang Namanya Fazwan
tadi?”
“Mmm sebenarnya sedikit kepikiran, hehehe.”
“sedikit kepikiran tapi banyak ngelamun.”
“…”
Kami berdua diam lagi.
“Kal, kamu suka Fazwan, ya?”
Ketahuan.
“Ehh, Sebenarnya udah lama banget sih sukanya, tapi sekarang udah enggak lagi,
sih. Memangnya kelihatan banget aku masih sukanya?”
“Iya.” Hanya itu komentarnya
“Hei, kan aku sudah bilang aku tidak menyukai Elan lagi.”
Dengan tiba-tiba dan pastinya disengaja, Nandra melaju dengan sangat kencang.
Aku yang sangat kaget, refleks memeluknya.
“Nandra, jangan kecang-kencang! Nanti kita kecelakaan.” Teriakku sambil
memukulnya ketika dia sudah memelankan kendaraannya.
“Hei, kenapa kamu memanggilnya Elan dan dia memanggilmu Ala?”
“Tidak tahu, dia tiba-tiba memanggilku dengan nama itu, jadi aku memanggil nama
tengahnya, dan saat aku bertanya kenapa dia memanggilku, dia bilang hanya ingin.”
“Ohh.” Lagi-lagi hanya itu komentarnya.
“Ala, Ala, Ala, Ala, Ala.” Dia mengulanginya berkali-kali.
“Kamu ingin memanggilku seperti itu, mmm.., Duta?”
Oh iya, nama lengkapnya Nandra itu, Genandra Paraduta. Nama yang unik, bukan?
“Tidak, aku hanya mencobanya. Aku lebih menyukai Kala daripada Ala.”
“Apa, bisa kamu ulangi lagi?” Candaku memintanya mengulanginya lagi, aku tahu
tadi dia ngomong apa, hanya saja dia lucu.
“Tidak mau.”
“Ayolah, ulangi lagi aku tidak mendengar apa yang kamu katakan.”
“Kamu ingin turun atau tidak? Ini sudah sampai di rumahmu.”
Ya ampun, ternyata kami sudah sampai di depan pagar rumahku. Terdiam kaget
sudah sampai rumah, tapi aku akhirnya turun dari motornya. Kemudian, Aku melambaikan
tangan, dan membuka pagar.
“Kala.”
“Apa?”
Lalu, dia menunjuk ke kepalaku. Ternyata helmnya masih aku pakai. Ahh, malu
sekali aku, sampai-sampai aku kesusahan melepaskan helmnya.
“Sini aku bantu.”
Mungkin dia tahu aku kesusahan melepaskannya. Jadi, dia turun dari motornya dan
membantuku. Saat Nandra membantuku melepaskannya, yang bisa aku lakukan yaitu
menatap ke depan, otomatis aku menatap ke helmnya, akutidak bisa melihat apa-apa dari
helm yang Nandra pakai, apalagi dia membelakangi lampu dari depan pagar rumahku, jadi
yang kulihat hanyalah silau. Tetapi, aku yakin dia melihat mataku. Lama sekali. Sampai
aku harus memukulinya agar dia tersadar dari sesuatu.
“Hei, kamu tidak apa-apa? Kamu tidak kerasukan kunti bogel, bukan?” Kataku
berjaga-jaga.
“Tidak, tiba-tiba saja kepikiran sesuatu.”
Aku tidak bisa melihat mukanya sama sekali, helmnya benar-benar gelap. Jadi, aku
menyuruhnya hati-hati di jalan dan melambaikan tangan. Semoga saja dia tidak benar-
benar kerasukan kunti bogel.
***
Setelah 2 minggu terlewati, liburan berakhir, kegiatan alam masih seperti biasanya,
sinar matahari yang tanpa ampun membanjiri lapangan sekolah, namun, desau angin masih
mampu membisikkan kata-kata yang bisa membuatmu tertidur pulas, kicauan burung yang
bernyanyi dimanapun itu, pohon, kabel-kabel listrik, dan tempat lainnya atau mungkin saja
mereka menjatuhkan kotoran ke lapangan, mobil, bahkan kepala orang, membuat buruk
awal harinya.
Kami akhirnya kembali memasuki sekolah. Ini benar-benar liburan yang sangat
singkat, untuk hari-hari yang akan kami tempuh selama enam bulan kedepan. Setelah
istirahat pertama berbunyi, kami akan memberi tahu pada Pak Dharma untuk perlombaan
tersebut.
Pelajaran pertama kami yaitu Bu Silva, beliau kembali mengingatkan kepada kami
tentang tugas akhir, kami murid kelas IPS tahu Bu Silva akan berbicara tentang itu.
Setelahnya itu, lanjut memberi tahu akan belajar bab apa dalam semester ini. 8 bab.
Kemudian, pelajaran kedua diajarkan oleh guru geografi kami, Bu Lili. Kami tadi
sudah berbicara tentang liburan Bu Lili berjalan-jalan ke kampus. Kami semua berharap
tidak mendapatkan tugas lagi untuk di pagi hari yang cerah ini. Saat Bu Lili memasuki
kelas, beliau hanya memberi tahukan akan belajar bab apa saja, lalu melanjutkannya
dengan belajar.
Bel istirahat pertama terdengar, murid IPS dalam hati bersorak-sorai, ketika Bu Lili
menutup kelas dan berjalan keluar.
“Anak-anak, nanti kalian liat papan pengumuman kelas di depan ini, ya!” Tunjuk
Bu Lili ke arah papan pengumuman kelas kami.
Kami semua terdiam mendengar hal tersebut, dengan cepat-cepat kami melihat
papan pengumuman kami.
“TIDAK!!!” Kompak kami murid kelas XI IPS yang melihat di papan kami, 2
lembar kertas.
Berisi tentang proyek, sebuah inovasi atau maket dengan tema alam, yang akan di
lombakan pada sebuah pameran besar yang berpusat pada Jogjakarta. Dan ada catatan dari
Bu Lili, beliau mendapatkan inspirasi dari anak mahasiswa kampus yang paling terkenal di
Indonesia, dan ini juga direkomendasikan oleh suaminya, yaitu Pak Dharma.
Kalian jangan berpikir kami akan selalu kuat menghadapi ini semua, sebagian kami
berpelukkan, menangis, perempuan maupun laki-laki, aku dan Sabha juga ikut menangis,
memangnya aneh menangis karena banyak tugas? Padahal kami baru saja selesai liburan.
Tetapi, bukankah ini terlalu tiba-tiba? Walaupun waktu pamerannya masih lama, tetapi
bukankah akan ada tugas lainnya?
Sebagian besar juga ada yang menguatkan, adapun yang marah-marah. Walau
begitu, kami tidak bisa berbuat apa-apa, mau protes juga susah untuk bertemu dengannya
di luar jam pelajaran, kami sangat letih berada di lingkaran yang sama, tapi kami sekelas
akan berusaha, kami tahu akhir dari sebuah pencapaian akan selalu ada pencapaian, jika
kita berusaha yang terbaik, namun tidak ada salahnya menangis dulu, bukan?
Dengan mata sembap, beberapa murid pergi ke kantin, tidak ingin waktu istirahat
berakhir karena tugas ini, sebagian juga ada yang menitip karena malu matanya sembap,
tapi kami berdua tidak tahu ingin nitip ke siapa, jadi kami ikut pergi ke kantin. Kami juga
ingin pergi ke Pak Dharma mengenai lomba ini. Malas sekali.
“Hei, kalian tidak apa-apa?” Nandra melihat kondisi mata kami yang seperti habis
menangis.
“Kamu harus tahu, kami dapat tugas dari Bu Lili untuk membuat maket atau apalah
itu.” Jawab Sabha dengan suaranya yang bergetar, seperti ingin menangis lagi.
“Benar-benar menyebalkan!” Tambahku. Jika diingat lagi, membuatku ingin
menangis lagi, namun aku menahannya, tetapi karena aku tadi berteriak salah satu air
mataku lolos jatuh ke pipiku.
Aku tidak tahu apa yang dipikirkan Nandra, tetapi dia tiba-tiba menghapus air
mataku dan memelukku. Aku terdiam, sepertinya mukaku sekarang seperti kepiting rebus.
Apa yang Nandra lakukan? Ini di kantin, apa dia tidak malu memelukku?
Seperti yang apa yang kupikirkan, seluruh kantin yang tadinya ramai karena
mengobrol, mendadak lebih ramai lagi setelah melihat kejadian tersebut. Aku tidak tahu
harus mengatakan apa. Nandra melepaskan pelukannya dan kulihat mukanya juga
memerah. Seluruh kantin tertawa menggoda kami, apalagi Sabha. Ya ampun, padahal dia
baru saja menangis, sekarang dia yang paling kencang tertawa dan menggoda kami. Dasar
menyebalkan.
Setelah kami makan dan, mungkin, seluruh murid di kantin sudah tidak
membicarakan kejadian tadi, kami bertiga pergi ke ruang guru. Dalam perjalanan, Nandra
mungkin merasa aku tidak nyaman, jadi, dia minta maaf karena perilakunya tadi. Aku
memaafkaannya, lagipula dia tidak seharusnya minta maaf, seharusnya itu Sabha, yang
selama perjalanan hanya ketawa dan menggoda kami.
“Assalamualaikum, Pak, Bu. Ada Pak Dharma, enggak?”
“Wa’alaikumsalam, Pak Dharmanya ada ruang kerjanya, nak.”
“Oh begitu, pak. Terima kasih, pak. Kami permisi. Wasalamualaikum.”
“Wa’alaikumsalam.”
Kami bertiga keluar dari ruang guru.
“Kita harus cepat sebelum bel istirahat selesai.” Suruh Nandra bergegas ke ruang
kepala sekolah.
Untungnya ruangan beliau tidak terlalu jauh, hanya melewati lapangan, lalu masuk
ruang TU dan kami bisa melihat tanda ruangan kepala sekolah. Saat aku mengetuk pintu,
Pak Dharma menyuruh kami masuk. Lalu, kami dengan cepat menjelaskan kedatangan
kami. Syukurlah, beliau langsung menerima lomba tersebut dan menyuruh kami kembali
ke kelas, beliau juga menyuruh kami datang kembali ke ruangannya untuk mengatur
pendaftarannya.
Sebelumnya, beliau memuji kami bertiga karena semangat kami dalam mengikuti
perlombaan ini, dan beliau memberi kami poin tambahan. Sebenarnya kami sudah
merencanakan ini saat di rumah Sabha, kami para murid tahu jika Pak Dharma menyukai
orang yang semangat dan disiplin dalam mengikuti suatu hal yang baik, dan beliau selalu
memberi poin tambahan.
***
Bagian ini adalah proses kami membuat karya ilmiah remaja, tema dari lomba yang
kita temukan itu mengenai pencemaran lingkungan. Jadi, kami harus mencari ide-ide
inovasi tentang solusi dari pencemaran lingkungan.
Awalnya kami eleminasi terlebih dahulu, ingin menemukan solusi serta inovasi di
lingkungan bagian mana dahulu, karena lingkungan itu cakupannya terlalu luas. Setelah
mengeleminasi beberapa lingkungan dengan melihat kemungkinan besar masalah dan
solusinya, banyak solusinya daripada masalahnya, kelebihan dan kekurangannya, jadi kami
memilih linkgungan air.
Selanjutnya kami membuat abstrak mengenai ini, sebenarnya aku sedikit banyak
membantu di bagian ini karena aku paham sedikit, namun aku tidak bisa menceritakan
dengan baik tentang ini.
Dilanjutkan dengan pengumpulan abstrak, intinya abstrak ini ringkasan singkat
yang mencakup informasi penting dari seluruh karya ilmiah. Abstrak biasanya menjadi
bagian yang sangat penting, karena juri pertama kali akan membaca abstrak untuk
mendapatkan gambaran cepat tentang penelitian yang dilakukan.
Aku yakin sekali kami akan lolos dengan inovasi kami yang menurutku benar-
benar keren ini. Dan benar saja, apa kataku. Kami bertiga lolos masuk ke pengumpulan
Full Paper, kata Nandra itu mengacu pada dokumen lengkap yang memuat semua bagian
yang biasanya ditemukan dalam sebuah karya ilmiah.
Jadi kami akan membuat versi lengkapnya, ayo, Kala, kamu pasti bisa. Mulailah
kami membuat pendahuluan, perumusan masalah, kerangka teori, rumusan hipotesis,
analisis dat, dan lain-lain. Sampailah kami pada tahap pembuatan barangnya, aku
beruntung bisa menguasai pelajaran geografi dan melakukan penelitian, jadi aku lumayan
banyak mengerjakan di bagian ini.
Kami sudah siap dengan semua hal yang diperlukan untuk lomba, tahapan terakhir
kami adalah presentasi. Jadi, kami berlatih dan mempersiapkan semua hal. Presentasi ini
bersifat daring, tetapi tetap saja aku tidak menyukainya.
Nandra berkata kita harus menyusun strategi dan menyiapkan data yang
mendukung atau menolak hipotesis kami, agar kami bisa berlatih. Hal ini terbukti benar
adanya setiap Nandra mengikuti lomba ini dan melakukan hal tersebut.
Akhirnya hari yang ditunggu-tunggu telah tiba. Hari kami akan melakukan
presentasi bersamaan dengan finalis lainnya. Sekarang kami berada di sekolah, di
perpustakaan, kami bertiga izin dispensasi lomba. Kami berlatih-latih lagi dengan peran
kami masing-masing.
Saat ini aku benar-benar gugup, seluruh tubuhku sangat dingin, aku merasa sakit
perut, di tanganku sudah ada kertas presentasi dan di hadapanku ada laptop untuk melihat
lagi Full Paper, namun pikiranku kemana-mana. Bagaimana kalau aku mengatakan hal
yang membuat kami kalah? Bagaimana jika aku lupa ingin mengatakan apa? Pastinya aku
selesai melakukan presentasi akan menyesal tidak mengatakan ini atau itu.
“Kala, kamu enggak apa-apa?” Sepertinya Nandra heran melihatku seperti
mematung begitu.
“Enggak apa-apa kok, cuman gugup dikit aja.” Jawabku sambil memegangi
perutku yang tiba-tiba mulas.
“Kal, kamu pasti bisa. Tarik nafas terus buang, aku tahu kamu pasti bisa. Enggak
apa-apa kalau kita kalah, enggak ada yang peduli, enggak ada yang marah, tapi dengan
kamu percaya diri dan enggak berpikir kalau kamu adalah penyebab dari suatu kekalahan,
menurutku kamu sudah menang, oke?” Sabha mengatakannya dengan sangat tulus dan
tangannya erat memegang tanganku, matanya menatapku sungguh-sungguh. Dia tahu
dengan keadaanku sekarang.
“Kala, kamu sudah mau mengikuti perlombaan ini saja, sudah keren sekali karena
kamu mau menghadapi ketakutanmu. Kamu mau menghilangkan rasa takutmu dengan
menantangnya kembali. Kamu jangan menyalahkan dirimu sendiri, itu bukan salahmu,
dirimu itu sangatlah berharga.” Nandra benar-benar peka dengan semua hal, dia seperti
membaca sebuah buku, tahu aku memiliki rasa takut dalam berkomunikasi, dia
menyemangatiku sampai mukanya memerah.
“Teman-teman ini sebentar lagi giliran kita. Kita harus bersiap-siap, Nadra kamu
yang pertama kali membuka presentasi, bukan? Kamu duduk di tengah.” Seru Sabha yang
mendengar bahwa presentasi kelompok ketiga sudah mau selesai dan dimohon untuk
kelompok keempat siap-siap.
Kami segera duduk di tempat masing-masing, mereka benar aku seharusnya tidak
menyalahkan diriku. Aku tidak seharusnya terus-menerus memikirkan bagaimana dan apa.
Sebaiknya, aku fokus berlatih dan mempersiapkan diri lebih baik.
Aku menyadari, di akhir presentasi, tidak ada gunanya memikirkan penyesalan.
Aku tidak bisa memutar waktu kembali. Sebagai gantinya, lebih baik aku menjadikan
momen ini sebagai pembelajaran berharga untuk presentasi selanjutnya. Daripada terus-
menerus menyesal, aku akan menggunakan pengalaman ini untuk tumbuh dan berkembang
sebagai seorang pembicara yang lebih baik.
Sebelum juri mempersilahkan kami untuk membuka presentasi kami, Nandra
memegang erat tanganku, aku kaget tapi aku membiarkannya. Hanya saja aku takut itu
akan mengganggunya, lihat telinganya merah sekali. Beruntung Sabha tidak melihat ini
karena tangan kami berada di bawah meja, jadi kami memang tidak bisa melihatnya, hanya
merasakan kehangatan dari tangannya.
“Tim kelompok empat sudah boleh membuka presentasi.”
Baiklah, Kala. Inilah waktunya. Kami pasti bisa.
***
Satu tahun kemudian.
Pagi hari, cahaya matahari menyinari lembut trotoar, jalanan, juga pohon-pohon
besar. Tetapi pagi ini adalah pagi yang kami tunggu-tunggu. Sekarang kami tidak lagi
berada di depan sekolah, mengikuti upacara, mengerjakan tugas-tugas yang menggunung.
Pagi ini, semua murid, guru, serta orang tua merayakan kelulusan kami. Kami bukan lagi
murid SMA Chaanakya Jayasri, sekarang kami semua keterima 100% PTN. Ini benar-benar
perjuangan habis-habisan.
Tema kelulusan kami itu outdoor, banyak murid yang takut kepanasan karena
tempatnya yang outdoor. Namun, setelah dirapatkan dengan para guru, akhirnya kami
semua setuju, untuk melakukannya outdoor, karena banyak kelebihannya. Memang banyak
yang takut karena suatu alasan, terutama perempuan.
Kami semua menggunakan pakaian berwarna putih. Sepertinya semesta di pagi
hari ini ikut merayakan kelulusan kami, karena cuacanya sangatlah menyenangkan.
Walaupun langit seperti tersapu bersih dari awan, namun angin tetap berjalan mengiringi
kami satu per satu untuk melakukan penyerahan dan pengesahan kami sebagai alumni di
sekolah ini. Untuk pernyataan kami lulus secara bersama, kami sepakat tidak menggunakan
toga, karena itu akan kami lakukan ketika kami lulus sebagai mahasiswa, jadi kami
menggunakan burung.
Sekarang saatnya kami melepaskan burung indah ini, tandanya kami akan
melepaskan status kami sebagai anak SMA, dan melanjutkan ke tingkatan selanjutnya,
mahasiswa. Kalian harus tahu, aku, Sabha, dan Nandra berada di kampus yang sama,
namun di jurusan yang berbeda, walaupun di satu fakultas yang sama. Pada fakultas
ekonomi dan bisnis pada Universitas Indonesia, aku dan Sabha masuk ke manajemen,
sedangkan Nandra, dia tertarik akuntasi, dan syukurlah dia masuk.
Kalian penasaran dengan karya ilmiah remaja kami selanjutnya, bukan? Ini bagian
yang tidak kami duga sama sekali. Awalnya ketiga juri memuji kami karena inovasi kami
yang terbilang sangat bagus, untuk seusia kami. Mereka menghitung poin dan bilang ada
beberapa kelompok memilik poin yang sama, jadi mereka menyuruh kami untuk
mengirimkan karya kami.
Ini bagian sedihnya, kami sudah mengirimkannya, namun truk yang membawa
karya kami kecelakaan di jurang, sebagian paket termasuk karya kami masuk ke dalam
jurang dan tidak bisa diselamatkan, pengemudinya juga mengalami kecelakaan, jadi dari
pihak kantor pos mengganti semua kerugian, dengan uang. Tetapi kami tetap juara,
walaupun juara ketiga. Kami memang sedih tapi ini awalan yang bagus untukku, walaupun
tidak untuk mereka yang selalu berada di posisi pertama ataupun kedua.
Namun, kalian masih ingat dengan pameran di Jogjakarta? Sebenarnya aku sangat
senang dengan lomba yang seperti itu. Kelompok memang terdiri dari 2 orang, namun
Nadra memaksa dia tetap akan membantu, walaupun tidak disebutkan sebagai anggota, dan
hasilnya benar-benar di luar dugaan. Kami menang juara pertama dengan kategori inovasi
terbaik, dan aku sangat bangga dengan diriku yang mempresentasikan dengan baik karena
belajar dari pengalamanku yang sangat berharga.
Aku benar-benar mengucapkan banyak terima kasih kepada Sabha, teman
terbaikku, dan juga Nandra karena sudah membantuku sangat banyak. Kami tidak terlalu
sedih akan berpisah karena kami berada di satu fakultas serta universitas yang sama. Tetapi,
kami akan selalu mengenang semua cerita kami di SMA Chaanakya Jayasri.

Biodata Penulis
Seorang murid di SMA PU Al-Bayan Putri Sukabumi bernama Maleeka Kheysa
Azzalia Giantoro atau kerap dipanggil leka. Dalam perjalanannya menulis sebuah cerpen
pertamanya, ia berumur 16 tahun. Lahir di sebuah kota angin yang tak lain di Majalengka,
pada tanggal ketika setiap presiden berpidato kenegaraan presiden, yaitu tanggal 16
Agustus tahun 2007. Demi masa, sebenarnya orang yang yang sangat malas, membuat
karya yang dipaksa. Tetapi tak mengapa, kalau ini ‘kan berakhir dengan perasaan puas.

Anda mungkin juga menyukai