Anda di halaman 1dari 5

Cerpen Filosofi Sebatang Pensil

Nama Kelompok

Tan Mey Chu

Yulin Ayu K

Viory Audrie

Sigit Nugroho

Yoga Rianto

Sholikin

Sanjaya

SMP Negeri 3 Nglegok

Kabupaten Blitar Tahun 2018/2019


Filosofi Sebatang Pensil

Hampir tiap pagi satpam depan gerbang sekolah itu selalu menegur bila aku
datang lebih awal dari guru lainnya.
Seperti biasa, setelah kuparkirkan motor, aku bergegas menuju mejaku di
ruang guru. Menyiapkan segala materi yang nantinya akan kuajarkan pada
murid-muridku. Di tengah sunyi jajaran meja di ruang ini, sesekali
terdengar gerakan sapu lidi dari petugas kebersihan yang selalu berkeliling
koridor.

Mataku tak hentinya menerawang tiap sudut ruangan. Semuanya tampak


tak asing lagi, walau aku baru seminggu jadi tenaga pengajar di sini. Jelas
saja, tiga tahun aku berseragam putih abu-abu dan menampung segala
ilmu yang bermanfaat dari para guru terdahulu di sekolah ini. Mungkin bila
melihat jauh ke belakang, banyak orang ikut andil membuatku sampai
sejauh ini. Dari yang benar-benar mendorong sampai yang hanya kebetulan
ngoceh.

Kala itu tahun ajaran baru segera dimulai. Seluruh sekolah membuka jalur
pendaftaran bagi siswa yang akan melanjut. Termasuk kedua sekolah
kejuruan yang letaknya bersebelahan ini- yang salah satunya kini tempatku
mengajar.
Aku yang saat itu bimbang akan ke mana, mencoba mendaftar di
keduanya. Namun, begitu hari dimana nama-nama siswa yang diterima
terpampang, aku tak melihat namaku terselip di antara ratusan nama
calon siswa lainnya. Di kedua sekolah itu.
Terpaksa aku harus mengikuti ujian tes yang jadwalnya benbenturan. Aku
bukan seperti siswa berada lainnya yang orangtuanya rela membayar
berjuta-juta agar anaknya dapat masuk di sekolah yang katanya favorit ini.
Aku harus memilih. Hingga pagi pada hari H dimana ujian itu sebantar lagi
dimulai, aku masih belum yakin dengan pilihanku.

Sampai salah seorang dari orang tua murid – yang anaknya juga ikut ujian
tes – menegurku.
“Milih jurusan apa, dek?”
“Otomotif, pak.” jawabku canggung
“Baguslah, bisa jadi mekanik kalo ada modal dah bisa buka sendiri. Anak
bapak Listrik.” celetuknya.

“Memang milih sendiri apa disuruh orangtua?” tanya bapak tadi.


“Sendiri, pak.” mencoba menghemat kata.

“Itu pak El itu teman bapak itu.” seraya menyasarkan telunjuk kanannya
ke arah orang berbadan besar dengan asap yang mengaung dari ujung
cerutunya yang berdiri membelakangi kami di pojok sana.
“Yang besar itu?” tanyaku.
“Iya, dulu dia alumni STM sininya itu. Pandai dia jadi guru, ngajar di sini”

Seolah mata letihku terbelalak mendengar pernyataan bapak tadi. Tak


menutup kemungkinan aku dapat meraih cita-cita masa keciku itu. Apalagi
kebahagian terbesar dari seorang guru ialah dapat mengajar di tempat ia
dulu belajar.
Mendengar kata itu -ngajar- seolah menjawab kegelisahanku. Iya, aku juga
bisa meraih cita-citaku dari sini. Dengan langkah pasti, aku pun berjalan
menuju ruangan tempat ujian tes.

Karena do’a dan tekad besarku, alhamdulillah aku lolos ujian tes itu dan
mengawali takdirku sebagai seorang pelajar tingkat menengah atas
kejuruan.
Mungkin aku aku harus berterima kasih juga pada bapak itu karena
membuatku yakin, atau kepada seorang guru agama yang menceritakan
filosofi sebatang pensil ketika aku berada di kelas sebelas waktu itu.

“Sebatang pensil dapat menjadi tambang emas bagi mereka yang berfikir
layaknya emas. Coretan pensil itu akan menjadi sebuah karya bila
digunakan oleh orang yang tepat, pada dasarnya semua orang tepat. Tetapi
hidup bukanlah bagaimana kita menemukan diri kita, namun bagaimana
kita menciptakan diri kita”
“Pensil memiliki penghapus di salah satu ujungnya, artinya setiap orang
wajib salah pada salah satu perbuatan. Namun bagaimana ia dapat
menghapus lalu memperbaikinya, hingga sempurnalah karya itu.”
“Pensil itu takkan bertahan lama bila terus digunakan. Pensil itu akan habis.
Tetapi ia sudah punya karya yang ia tinggalkan, yang dapat diingat bila ia
berkesan.”
Dari ceritanya seolah mulai menciptakan alasanku memiliki sebuah cita-cita
itu, ia punya karya yang dapat ia wariskan.

Bel masuk kelas berbunyi. Para siswa yang sejak tadi bertebaran di
lapangan satu demi satu masuk ke dalam kelas.
Aku baru ingat, pagi ini aku punya janji untuk menceritakan sebuah kisah
pada murid-muridku, kisah yang dahulu juga pernah diceritakan oleh
seorang guru pada kami di kelas dua belas. Pesan moral yang kini juga akan
kutanamkan pada anak didikku, ukhuwah.

Lekas ku beranjak dari ruang guru menuju kelas tempatku mengajar pagi
ini. Menenteng beberapa buku bahan materi, Langkahku perlahan melambat
seolah menatap sekat demi sekat ruang kelas dari koridor dimana dulu aku
ada di dalamnya.
Meraba sisa jejak yang tergerus oleh waktu. Sekararang aku bukan lagi
murid Introvert yang duduk di meja paling belakang.
Kini, aku duduk di meja paling depan ruang kelas. Dengan gelar istimewa
yang melekat padaku, guru.

Dahulu, seorang guru pernah menyampaikan keresahan hati pada murid-


muridnya di depan kelas. Karena melihat muridnya seolah tak acuh dengan
apa yang dirinya ajarkan.
“Gimana ya.. Sepuluh dua puluh tahun lagi, saat ibu udah banyak lupa,
siapalah yang masih ingat ilmu yang ibu ajarkan sekarang?”
Pernyataan itu telah membuatku terpacu mewariskan semangatnya,
semangat para guru, semangat dalam mengasah para tunas penerus
bangsa.

Anda mungkin juga menyukai