Nama Kelompok
Yulin Ayu K
Viory Audrie
Sigit Nugroho
Yoga Rianto
Sholikin
Sanjaya
Hampir tiap pagi satpam depan gerbang sekolah itu selalu menegur bila aku
datang lebih awal dari guru lainnya.
Seperti biasa, setelah kuparkirkan motor, aku bergegas menuju mejaku di
ruang guru. Menyiapkan segala materi yang nantinya akan kuajarkan pada
murid-muridku. Di tengah sunyi jajaran meja di ruang ini, sesekali
terdengar gerakan sapu lidi dari petugas kebersihan yang selalu berkeliling
koridor.
Kala itu tahun ajaran baru segera dimulai. Seluruh sekolah membuka jalur
pendaftaran bagi siswa yang akan melanjut. Termasuk kedua sekolah
kejuruan yang letaknya bersebelahan ini- yang salah satunya kini tempatku
mengajar.
Aku yang saat itu bimbang akan ke mana, mencoba mendaftar di
keduanya. Namun, begitu hari dimana nama-nama siswa yang diterima
terpampang, aku tak melihat namaku terselip di antara ratusan nama
calon siswa lainnya. Di kedua sekolah itu.
Terpaksa aku harus mengikuti ujian tes yang jadwalnya benbenturan. Aku
bukan seperti siswa berada lainnya yang orangtuanya rela membayar
berjuta-juta agar anaknya dapat masuk di sekolah yang katanya favorit ini.
Aku harus memilih. Hingga pagi pada hari H dimana ujian itu sebantar lagi
dimulai, aku masih belum yakin dengan pilihanku.
Sampai salah seorang dari orang tua murid – yang anaknya juga ikut ujian
tes – menegurku.
“Milih jurusan apa, dek?”
“Otomotif, pak.” jawabku canggung
“Baguslah, bisa jadi mekanik kalo ada modal dah bisa buka sendiri. Anak
bapak Listrik.” celetuknya.
“Itu pak El itu teman bapak itu.” seraya menyasarkan telunjuk kanannya
ke arah orang berbadan besar dengan asap yang mengaung dari ujung
cerutunya yang berdiri membelakangi kami di pojok sana.
“Yang besar itu?” tanyaku.
“Iya, dulu dia alumni STM sininya itu. Pandai dia jadi guru, ngajar di sini”
Karena do’a dan tekad besarku, alhamdulillah aku lolos ujian tes itu dan
mengawali takdirku sebagai seorang pelajar tingkat menengah atas
kejuruan.
Mungkin aku aku harus berterima kasih juga pada bapak itu karena
membuatku yakin, atau kepada seorang guru agama yang menceritakan
filosofi sebatang pensil ketika aku berada di kelas sebelas waktu itu.
“Sebatang pensil dapat menjadi tambang emas bagi mereka yang berfikir
layaknya emas. Coretan pensil itu akan menjadi sebuah karya bila
digunakan oleh orang yang tepat, pada dasarnya semua orang tepat. Tetapi
hidup bukanlah bagaimana kita menemukan diri kita, namun bagaimana
kita menciptakan diri kita”
“Pensil memiliki penghapus di salah satu ujungnya, artinya setiap orang
wajib salah pada salah satu perbuatan. Namun bagaimana ia dapat
menghapus lalu memperbaikinya, hingga sempurnalah karya itu.”
“Pensil itu takkan bertahan lama bila terus digunakan. Pensil itu akan habis.
Tetapi ia sudah punya karya yang ia tinggalkan, yang dapat diingat bila ia
berkesan.”
Dari ceritanya seolah mulai menciptakan alasanku memiliki sebuah cita-cita
itu, ia punya karya yang dapat ia wariskan.
Bel masuk kelas berbunyi. Para siswa yang sejak tadi bertebaran di
lapangan satu demi satu masuk ke dalam kelas.
Aku baru ingat, pagi ini aku punya janji untuk menceritakan sebuah kisah
pada murid-muridku, kisah yang dahulu juga pernah diceritakan oleh
seorang guru pada kami di kelas dua belas. Pesan moral yang kini juga akan
kutanamkan pada anak didikku, ukhuwah.
Lekas ku beranjak dari ruang guru menuju kelas tempatku mengajar pagi
ini. Menenteng beberapa buku bahan materi, Langkahku perlahan melambat
seolah menatap sekat demi sekat ruang kelas dari koridor dimana dulu aku
ada di dalamnya.
Meraba sisa jejak yang tergerus oleh waktu. Sekararang aku bukan lagi
murid Introvert yang duduk di meja paling belakang.
Kini, aku duduk di meja paling depan ruang kelas. Dengan gelar istimewa
yang melekat padaku, guru.