Anda di halaman 1dari 4

Filosofi Sebatang Pensil

Cerpen Karangan: Rizki Pratama

Hampir tiap pagi satpam depan gerbang sekolah itu selalu menegur bila
aku datang lebih awal dari guru lainnya.
Seperti biasa, setelah kuparkirkan motor, aku bergegas menuju mejaku di
ruang guru. Menyiapkan segala materi yang nantinya akan kuajarkan
pada murid-muridku. Di tengah sunyi jajaran meja di ruang ini, sesekali
terdengar gerakan sapu lidi dari petugas kebersihan yang selalu
berkeliling koridor.
Mataku tak hentinya menerawang tiap sudut ruangan. Semuanya tampak
tak asing lagi, walau aku baru seminggu jadi tenaga pengajar di sini.
Jelas saja, tiga tahun aku berseragam putih abu-abu dan menampung
segala ilmu yang bermanfaat dari para guru terdahulu di sekolah ini.
Mungkin bila melihat jauh ke belakang, banyak orang ikut andil
membuatku sampai sejauh ini. Dari yang benar-benar mendorong sampai
yang hanya kebetulan ngoceh.
Kala itu tahun ajaran baru segera dimulai. Seluruh sekolah membuka
jalur pendaftaran bagi siswa yang akan melanjut. Termasuk kedua
sekolah kejuruan yang letaknya bersebelahan ini- yang salah satunya kini
tempatku mengajar.
Aku yang saat itu bimbang akan ke mana, mencoba mendaftar di
keduanya. Namun, begitu hari dimana nama-nama siswa yang diterima
terpampang, aku tak melihat namaku terselip di antara ratusan nama
calon siswa lainnya. Di kedua sekolah itu.
Terpaksa aku harus mengikuti ujian tes yang jadwalnya benbenturan. Aku
bukan seperti siswa berada lainnya yang orangtuanya rela membayar
berjuta-juta agar anaknya dapat masuk di sekolah yang katanya favorit
ini. Aku harus memilih. Hingga pagi pada hari H dimana ujian itu sebantar
lagi dimulai, aku masih belum yakin dengan pilihanku.
Sampai salah seorang dari orang tua murid – yang anaknya juga ikut
ujian tes – menegurku.
“Milih jurusan apa, dek?”
“Otomotif, pak.” jawabku canggung
“Baguslah, bisa jadi mekanik kalo ada modal dah bisa buka sendiri. Anak
bapak Listrik.” celetuknya.
“Memang milih sendiri apa disuruh orangtua?” tanya bapak tadi.
“Sendiri, pak.” mencoba menghemat kata.
“Itu pak El itu teman bapak itu.” seraya menyasarkan telunjuk kanannya
ke arah orang berbadan besar dengan asap yang mengaung dari ujung
cerutunya yang berdiri membelakangi kami di pojok sana.
“Yang besar itu?” tanyaku.
“Iya, dulu dia alumni STM sininya itu. Pandai dia jadi guru, ngajar di sini”
Seolah mata letihku terbelalak mendengar pernyataan bapak tadi. Tak
menutup kemungkinan aku dapat meraih cita-cita masa keciku itu.
Apalagi kebahagian terbesar dari seorang guru ialah dapat mengajar di
tempat ia dulu belajar.
Mendengar kata itu -ngajar- seolah menjawab kegelisahanku. Iya, aku
juga bisa meraih cita-citaku dari sini. Dengan langkah pasti, aku pun
berjalan menuju ruangan tempat ujian tes.
Karena do’a dan tekad besarku, alhamdulillah aku lolos ujian tes itu dan
mengawali takdirku sebagai seorang pelajar tingkat menengah atas
kejuruan.
Mungkin aku aku harus berterima kasih juga pada bapak itu karena
membuatku yakin, atau kepada seorang guru agama yang menceritakan
filosofi sebatang pensil ketika aku berada di kelas sebelas waktu itu.
“Sebatang pensil dapat menjadi tambang emas bagi mereka yang berfikir
layaknya emas. Coretan pensil itu akan menjadi sebuah karya bila
digunakan oleh orang yang tepat, pada dasarnya semua orang tepat.
Tetapi hidup bukanlah bagaimana kita menemukan diri kita, namun
bagaimana kita menciptakan diri kita”
“Pensil memiliki penghapus di salah satu ujungnya, artinya setiap orang
wajib salah pada salah satu perbuatan. Namun bagaimana ia dapat
menghapus lalu memperbaikinya, hingga sempurnalah karya itu.”
“Pensil itu takkan bertahan lama bila terus digunakan. Pensil itu akan
habis. Tetapi ia sudah punya karya yang ia tinggalkan, yang dapat diingat
bila ia berkesan.”
Dari ceritanya seolah mulai menciptakan alasanku memiliki sebuah cita-
cita itu, ia punya karya yang dapat ia wariskan.
Bel masuk kelas berbunyi. Para siswa yang sejak tadi bertebaran di
lapangan satu demi satu masuk ke dalam kelas.
Aku baru ingat, pagi ini aku punya janji untuk menceritakan sebuah kisah
pada murid-muridku, kisah yang dahulu juga pernah diceritakan oleh
seorang guru pada kami di kelas dua belas. Pesan moral yang kini juga
akan kutanamkan pada anak didikku, ukhuwah.
Lekas ku beranjak dari ruang guru menuju kelas tempatku mengajar pagi
ini. Menenteng beberapa buku bahan materi, Langkahku perlahan
melambat seolah menatap sekat demi sekat ruang kelas dari koridor
dimana dulu aku ada di dalamnya.
Meraba sisa jejak yang tergerus oleh waktu. Sekararang aku bukan lagi
murid Introvert yang duduk di meja paling belakang.
Kini, aku duduk di meja paling depan ruang kelas. Dengan gelar istimewa
yang melekat padaku, guru.
Dahulu, seorang guru pernah menyampaikan keresahan hati pada murid-
muridnya di depan kelas. Karena melihat muridnya seolah tak acuh
dengan apa yang dirinya ajarkan.
“Gimana ya.. Sepuluh dua puluh tahun lagi, saat ibu udah banyak lupa,
siapalah yang masih ingat ilmu yang ibu ajarkan sekarang?”
Pernyataan itu telah membuatku terpacu mewariskan semangatnya,
semangat para guru, semangat dalam mengasah para tunas penerus
bangsa.
Pidato tentang pendidikan

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Yang Saya hormati Kepala Sekolah


Yang saya hormati Wakil Kepala Sekolah
Yang saya hormati guru-guru
Beserta seluruh murid yang berbahagia.
Pertama, marilah kita panjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT, karena
atas limpahan rahmat-Nya kita dapat berkumpul pada siang ini dalam
keadaan yang sehat.
Mungkin sudah banyak diantara hadirin yang paham mengenai pengertian
globalisasi, atau mungkin masih ada yang belum memahaminya?
Kali ini saya ingin sedikit mengajak hadirin semua untuk mengingat kembali
beberapa pola hidup yang mengakibatkan globalisasi. Apa pengaruhnya
bagi kita semua dan bagaimana kita menghadapi pengaruhnya.
Globalisasi berasal dari kata global yang memiliki arti menyeluruh.
Globalisasi berarti proses penyebaran unsur-unsur baru yang mencangkup
informasi dari seluruh dunia melalui media cetak atau elektronik.
Globalisasi mempunyai pengaruh yang hampir meliputi semua aspek lini
kehidupan.
Misalnya, dalam bidang transportasi. Ada begitu banyak kendaraan yang
dapat kita jumpai di jalan raya setiap harinya. Transportasi ini membuat
orang lebih mudah untuk melakukan aktivitas ataupun pekerjaannya.
Hal ini tentu berbanding terbalik dengan zaman dahulu yang untuk ke
suatu tempat yang diinginkan, seseorang harus rela menempuh perjalanan
dengan jalan kaki.
Selain transportasi, sistem telekomunikasi juga mempunyai dampak global
dalam aspek kehidupan. Sebagai contohnya adalah handphone. Zaman
canggih seperti sekarang ini, handphone nampaknya sudah tidak dapat
dipisahkan lagi dengan kehidupan kita.
Internet adalah salah satu contoh lain dari pengaruh globalisasi tersebut.
Baik yang sudah tua maupun yang muda semua berlomba untuk dapat
menggunakannya. Bahkan, tidak sedikit dari generasi muda yang bisa
menemukan penemuan terbaru hanya melalui internet.
Dampak globalisasi juga mempengaruhi dunia kuliner di indonesia.
Perlahan namun pasti masyarakat kita sudah dapat menerima makanan-
makanan yang berasal dari luar negeri. Misalnya pizza, hamburger, kebab,
spaghetti, ramen dan lainnya.
Aspek berikutnya adalah fashion. Tampak jelas sekali berbagai jenis
pakaian yang booming di luar negeri segera di ikuti masyarakat kita.
Bidang lain yang tidak kalah heboh adalah olahraga. Kita sekarang sudah
bisa menyaksikan melalui channel televisi yang menyiarkan secara
langsung pertandingan olahraga dimanapun berada.
Begitu banyak aspek yang mampu dipengaruhi globalisasi. Hal ini jelas
sebagai bukti bahwa setiap masyarakat mampu merasakan pengaruhnya.
Beberapa aspek yang telah dijelaskan di atas, menandakan bahwasanya
pengaruh global sudah hampir merasuk dalam seluruh lini aspek
kehidupan.
Semua orang tentunya merasakan pengaruh yang terjadi akibat
globalisasi. Untuk itu, sebagai masyarakat kita harus bisa memilah dan
memilih globalisasi ini dengan hanya mengambil manfaat baiknya saja dan
menghiraukan unsur negatifnya, sehingga budaya dari manapun yang
akan masuk ke Indonesia dapat terfilter dengan baik.
Apabila hal ini dapat dilakukan oleh semua masyarakat, maka ciri khas
kearifan budaya Nusantara ini akan dapat dijaga dan dipertahankan
dengan baik.
Semoga apa yang saya sampaikan ini dapat memberikan manfaat kepada
kita semua. Harapan kita bersama, semoga pengaruh globalisasi ini tidak
akan merusak keutuhan kita berbangsa dan bernegara. Terima kasih.

Wassalamualaikum Wr Wb.

Anda mungkin juga menyukai