Hampir tiap pagi satpam depan gerbang sekolah itu selalu menegur bila
aku datang lebih awal dari guru lainnya.
Seperti biasa, setelah kuparkirkan motor, aku bergegas menuju mejaku di
ruang guru. Menyiapkan segala materi yang nantinya akan kuajarkan
pada murid-muridku. Di tengah sunyi jajaran meja di ruang ini, sesekali
terdengar gerakan sapu lidi dari petugas kebersihan yang selalu
berkeliling koridor.
Mataku tak hentinya menerawang tiap sudut ruangan. Semuanya tampak
tak asing lagi, walau aku baru seminggu jadi tenaga pengajar di sini.
Jelas saja, tiga tahun aku berseragam putih abu-abu dan menampung
segala ilmu yang bermanfaat dari para guru terdahulu di sekolah ini.
Mungkin bila melihat jauh ke belakang, banyak orang ikut andil
membuatku sampai sejauh ini. Dari yang benar-benar mendorong sampai
yang hanya kebetulan ngoceh.
Kala itu tahun ajaran baru segera dimulai. Seluruh sekolah membuka
jalur pendaftaran bagi siswa yang akan melanjut. Termasuk kedua
sekolah kejuruan yang letaknya bersebelahan ini- yang salah satunya kini
tempatku mengajar.
Aku yang saat itu bimbang akan ke mana, mencoba mendaftar di
keduanya. Namun, begitu hari dimana nama-nama siswa yang diterima
terpampang, aku tak melihat namaku terselip di antara ratusan nama
calon siswa lainnya. Di kedua sekolah itu.
Terpaksa aku harus mengikuti ujian tes yang jadwalnya benbenturan. Aku
bukan seperti siswa berada lainnya yang orangtuanya rela membayar
berjuta-juta agar anaknya dapat masuk di sekolah yang katanya favorit
ini. Aku harus memilih. Hingga pagi pada hari H dimana ujian itu sebantar
lagi dimulai, aku masih belum yakin dengan pilihanku.
Sampai salah seorang dari orang tua murid – yang anaknya juga ikut
ujian tes – menegurku.
“Milih jurusan apa, dek?”
“Otomotif, pak.” jawabku canggung
“Baguslah, bisa jadi mekanik kalo ada modal dah bisa buka sendiri. Anak
bapak Listrik.” celetuknya.
“Memang milih sendiri apa disuruh orangtua?” tanya bapak tadi.
“Sendiri, pak.” mencoba menghemat kata.
“Itu pak El itu teman bapak itu.” seraya menyasarkan telunjuk kanannya
ke arah orang berbadan besar dengan asap yang mengaung dari ujung
cerutunya yang berdiri membelakangi kami di pojok sana.
“Yang besar itu?” tanyaku.
“Iya, dulu dia alumni STM sininya itu. Pandai dia jadi guru, ngajar di sini”
Seolah mata letihku terbelalak mendengar pernyataan bapak tadi. Tak
menutup kemungkinan aku dapat meraih cita-cita masa keciku itu.
Apalagi kebahagian terbesar dari seorang guru ialah dapat mengajar di
tempat ia dulu belajar.
Mendengar kata itu -ngajar- seolah menjawab kegelisahanku. Iya, aku
juga bisa meraih cita-citaku dari sini. Dengan langkah pasti, aku pun
berjalan menuju ruangan tempat ujian tes.
Karena do’a dan tekad besarku, alhamdulillah aku lolos ujian tes itu dan
mengawali takdirku sebagai seorang pelajar tingkat menengah atas
kejuruan.
Mungkin aku aku harus berterima kasih juga pada bapak itu karena
membuatku yakin, atau kepada seorang guru agama yang menceritakan
filosofi sebatang pensil ketika aku berada di kelas sebelas waktu itu.
“Sebatang pensil dapat menjadi tambang emas bagi mereka yang berfikir
layaknya emas. Coretan pensil itu akan menjadi sebuah karya bila
digunakan oleh orang yang tepat, pada dasarnya semua orang tepat.
Tetapi hidup bukanlah bagaimana kita menemukan diri kita, namun
bagaimana kita menciptakan diri kita”
“Pensil memiliki penghapus di salah satu ujungnya, artinya setiap orang
wajib salah pada salah satu perbuatan. Namun bagaimana ia dapat
menghapus lalu memperbaikinya, hingga sempurnalah karya itu.”
“Pensil itu takkan bertahan lama bila terus digunakan. Pensil itu akan
habis. Tetapi ia sudah punya karya yang ia tinggalkan, yang dapat diingat
bila ia berkesan.”
Dari ceritanya seolah mulai menciptakan alasanku memiliki sebuah cita-
cita itu, ia punya karya yang dapat ia wariskan.
Bel masuk kelas berbunyi. Para siswa yang sejak tadi bertebaran di
lapangan satu demi satu masuk ke dalam kelas.
Aku baru ingat, pagi ini aku punya janji untuk menceritakan sebuah kisah
pada murid-muridku, kisah yang dahulu juga pernah diceritakan oleh
seorang guru pada kami di kelas dua belas. Pesan moral yang kini juga
akan kutanamkan pada anak didikku, ukhuwah.
Lekas ku beranjak dari ruang guru menuju kelas tempatku mengajar pagi
ini. Menenteng beberapa buku bahan materi, Langkahku perlahan
melambat seolah menatap sekat demi sekat ruang kelas dari koridor
dimana dulu aku ada di dalamnya.
Meraba sisa jejak yang tergerus oleh waktu. Sekararang aku bukan lagi
murid Introvert yang duduk di meja paling belakang.
Kini, aku duduk di meja paling depan ruang kelas. Dengan gelar istimewa
yang melekat padaku, guru.
Dahulu, seorang guru pernah menyampaikan keresahan hati pada murid-
muridnya di depan kelas. Karena melihat muridnya seolah tak acuh
dengan apa yang dirinya ajarkan.
“Gimana ya.. Sepuluh dua puluh tahun lagi, saat ibu udah banyak lupa,
siapalah yang masih ingat ilmu yang ibu ajarkan sekarang?”
Pernyataan itu telah membuatku terpacu mewariskan semangatnya,
semangat para guru, semangat dalam mengasah para tunas penerus
bangsa.
Pidato tentang pendidikan
Wassalamualaikum Wr Wb.