Anda di halaman 1dari 3

Filosofi Sebatang Pensil

Cerpen Karangan: Rizki Pratama


Kategori: Cerpen Inspiratif, Cerpen Pendidikan
Lolos moderasi pada: 26 February 2018

Hampir tiap pagi satpam depan gerbang sekolah itu selalu menegur bila aku datang lebih awal dari guru
lainnya.
Seperti biasa, setelah kuparkirkan motor, aku bergegas menuju mejaku di ruang guru. Menyiapkan
segala materi yang nantinya akan kuajarkan pada murid-muridku. Di tengah sunyi jajaran meja di ruang
ini, sesekali terdengar gerakan sapu lidi dari petugas kebersihan yang selalu berkeliling koridor.

Mataku tak hentinya menerawang tiap sudut ruangan. Semuanya tampak tak asing lagi, walau aku baru
seminggu jadi tenaga pengajar di sini. Jelas saja, tiga tahun aku berseragam putih abu-abu dan
menampung segala ilmu yang bermanfaat dari para guru terdahulu di sekolah ini. Mungkin bila melihat
jauh ke belakang, banyak orang ikut andil membuatku sampai sejauh ini. Dari yang benar-benar
mendorong sampai yang hanya kebetulan ngoceh.

Kala itu tahun ajaran baru segera dimulai. Seluruh sekolah membuka jalur pendaftaran bagi siswa yang
akan melanjut. Termasuk kedua sekolah kejuruan yang letaknya bersebelahan ini- yang salah satunya
kini tempatku mengajar.
Aku yang saat itu bimbang akan ke mana, mencoba mendaftar di keduanya. Namun, begitu hari dimana
nama-nama siswa yang diterima terpampang, aku tak melihat namaku terselip di antara ratusan nama
calon siswa lainnya. Di kedua sekolah itu.
Terpaksa aku harus mengikuti ujian tes yang jadwalnya benbenturan. Aku bukan seperti siswa berada
lainnya yang orangtuanya rela membayar berjuta-juta agar anaknya dapat masuk di sekolah yang
katanya favorit ini. Aku harus memilih. Hingga pagi pada hari H dimana ujian itu sebantar lagi dimulai,
aku masih belum yakin dengan pilihanku.

Sampai salah seorang dari orang tua murid – yang anaknya juga ikut ujian tes – menegurku.
“Milih jurusan apa, dek?”
“Otomotif, pak.” jawabku canggung
“Baguslah, bisa jadi mekanik kalo ada modal dah bisa buka sendiri. Anak bapak Listrik.” celetuknya.

“Memang milih sendiri apa disuruh orangtua?” tanya bapak tadi.


“Sendiri, pak.” mencoba menghemat kata.

“Itu pak El itu teman bapak itu.” seraya menyasarkan telunjuk kanannya ke arah orang berbadan besar
dengan asap yang mengaung dari ujung cerutunya yang berdiri membelakangi kami di pojok sana.
“Yang besar itu?” tanyaku.
“Iya, dulu dia alumni STM sininya itu. Pandai dia jadi guru, ngajar di sini”
Seolah mata letihku terbelalak mendengar pernyataan bapak tadi. Tak menutup kemungkinan aku dapat
meraih cita-cita masa keciku itu. Apalagi kebahagian terbesar dari seorang guru ialah dapat mengajar di
tempat ia dulu belajar.
Mendengar kata itu -ngajar- seolah menjawab kegelisahanku. Iya, aku juga bisa meraih cita-citaku dari
sini. Dengan langkah pasti, aku pun berjalan menuju ruangan tempat ujian tes.

Karena do’a dan tekad besarku, alhamdulillah aku lolos ujian tes itu dan mengawali takdirku sebagai
seorang pelajar tingkat menengah atas kejuruan.
Mungkin aku aku harus berterima kasih juga pada bapak itu karena membuatku yakin, atau kepada
seorang guru agama yang menceritakan filosofi sebatang pensil ketika aku berada di kelas sebelas waktu
itu.

“Sebatang pensil dapat menjadi tambang emas bagi mereka yang berfikir layaknya emas. Coretan pensil
itu akan menjadi sebuah karya bila digunakan oleh orang yang tepat, pada dasarnya semua orang tepat.
Tetapi hidup bukanlah bagaimana kita menemukan diri kita, namun bagaimana kita menciptakan diri
kita”
“Pensil memiliki penghapus di salah satu ujungnya, artinya setiap orang wajib salah pada salah satu
perbuatan. Namun bagaimana ia dapat menghapus lalu memperbaikinya, hingga sempurnalah karya
itu.”
“Pensil itu takkan bertahan lama bila terus digunakan. Pensil itu akan habis. Tetapi ia sudah punya karya
yang ia tinggalkan, yang dapat diingat bila ia berkesan.”
Dari ceritanya seolah mulai menciptakan alasanku memiliki sebuah cita-cita itu, ia punya karya yang
dapat ia wariskan.

Bel masuk kelas berbunyi. Para siswa yang sejak tadi bertebaran di lapangan satu demi satu masuk ke
dalam kelas.
Aku baru ingat, pagi ini aku punya janji untuk menceritakan sebuah kisah pada murid-muridku, kisah
yang dahulu juga pernah diceritakan oleh seorang guru pada kami di kelas dua belas. Pesan moral yang
kini juga akan kutanamkan pada anak didikku, ukhuwah.

Lekas ku beranjak dari ruang guru menuju kelas tempatku mengajar pagi ini. Menenteng beberapa buku
bahan materi, Langkahku perlahan melambat seolah menatap sekat demi sekat ruang kelas dari koridor
dimana dulu aku ada di dalamnya.
Meraba sisa jejak yang tergerus oleh waktu. Sekararang aku bukan lagi murid Introvert yang duduk di
meja paling belakang.
Kini, aku duduk di meja paling depan ruang kelas. Dengan gelar istimewa yang melekat padaku, guru.

Dahulu, seorang guru pernah menyampaikan keresahan hati pada murid-muridnya di depan kelas.
Karena melihat muridnya seolah tak acuh dengan apa yang dirinya ajarkan.
“Gimana ya.. Sepuluh dua puluh tahun lagi, saat ibu udah banyak lupa, siapalah yang masih ingat ilmu
yang ibu ajarkan sekarang?”
Pernyataan itu telah membuatku terpacu mewariskan semangatnya, semangat para guru, semangat
dalam mengasah para tunas penerus bangsa.

Anda mungkin juga menyukai