Anda di halaman 1dari 3

SALAH SIAPA?

Oleh : Endah Wahyuningtyas

Hari itu hari Senin, setelah upacara bendera jadwalku adalah supervisi seorang guru
senior yang sudah berpengalaman mengajar sekitar dua puluh atau dua puluh lima tahun.
Insya allah pengalaman mengajar selama itu tidak akan membuatku khawatir beliau akan
gugup atau bingung ketika aku ikut serta di dalam kelasnya.
Guru perempuan berjilbab itu menyalamiku dengan takzim.
"Monggo, Pak. Hari ini saya mengajar IPA," kata beliau dengan penuh hormat.
"Njih, Bu," Aku mengangguk.
Sudah kuduga, sejak awal semua tindak tanduknya menunjukkan seorang guru yang
sudah mendarah daging dalam kehidupannya.
"Ini rencana pembelajaran saya, Pak, dan ini lembar kerja siswanya," kata beliau lagi
sambil memberikakan beberapa tumpuk dokumen kepadaku.
Aku mengangguk lagi.
"Sudah berapa lama mengajar kelas lima, Bu?"
"Ini tahun keempat, Pak, sebelumnya saya mengajar kelas enam," jawab beliau.
"Wah, turun kelas, Bu?" candaku. Kami tertawa.
"Njih, Pak. Katanya diturunkan untuk menyiapkan anak kelas lima naik kelas enam."
"Wah, benar itu. Guru kelas enam biasanya tahu apa saja yang dibutuhkan untuk
ujian. Kepala sekolah panjenengan sudah tepat menurunkan panjenengan di kelas lima,"
kataku sambil memeriksa dokumen beliau. Setelah memeriksa semua dokumen yang
dibutuhkan dan berbasabasi secukupnya, aku mempersilahkan beliau untuk memulai
mengajar.
Sejak awal aku merasa beliau mengajar dengan sangat baik. Guru senior itu memulai
pembelajaran dengan ceria, sehingga anak yang baru saja upacara tidak merasa capek dan
kelelahan. Materi yang sulit pun diajarkan dengan mudah dan anak-anak mengikuti
pembelajaran dengan baik tanpa rekayasa, menurutku semua itu memang butuh jam terbang
yang lama.
Namun, ditengah-tengah pembelajaran, ketika menulis di papan tulis ada suatu
keanehan. Tiba-tiba ibu guru itu berkata dengan lantang.
"Siapa yang melempar Bu Guru?" tanya guru senior itu sambil memandang sekeliling
kelas.
Aku cukup terkejut, karena sejak aku mengawasi guru itu mengajar, sepertinya anak-
anak tenang dan antusias, agak tidak mungkin kalau ada yang iseng melempar gurunya.
Lagipula anak kelas lima di daerah pedesaan seperti ini sepertinya tidak akan berani
melempar gurunya. Aku merasa melewatkan adegan 'melempar' itu, kalau memang benar ada
yang melempar, karena mungkin aku sedang menulis. Jadi kuletakkan bolpoin dan
mengamati guru tersebut. Karena tidak ada yang menjawab ibu guru itu melanjutkan
pelajarannya lagi. Beliau kembali menulis dan bertanya kepada siswanya.
Ketika beliau menengokkan kepalanya ke belakang, ternyata bros panjang menjuntai
yang ditata dibagian belakang kepalanya --yang mengaitkan tatanan jilbab yang dipakainya--
mengenai pipinya. Sehingga beliau menjengit terkejut sendiri ketika bros itu mengenai
pipinya.
Walaupun menahan tawa, aku sekarang tahu apa yang terjadi. Tapi sayangnya Bu
Guru itu masih marah dan mengira ada siswa yang melemparinya dari belakang. Beliau
masih melihat sekeliling kelas dengan pandangan tajam dan marah. Anak-anak ketakutan dan
tidak ada yang berani memberitahu guru mereka, bahwa bros guru mereka sendiri yang
menyebabkan masalah.
Aku merasa sebagai orang yang paling tua, harus segera bertindak. Aku segera maju
dan menghampiri guru itu.
"Maaf, Bu," potongku setelah sampai di depan, "boleh bicara sebentar di luar,"
kataku.
Ketika sampai di luar aku menceritakan apa yang terjadi. Beliau beliau hampir
menangis karena malu setelah ceritaku selesai.
"Maaf, njih, Pak, malah jadi seperti ini," kata beliau buru-buru. Aku mengangguk
paham.
"Jadi sebenarnya tadi tidak ada yang melempar ibu, yang membuat ibu merasa
dilempar dari belakang itu adalah karena bros ibu yang di belakang, Bu. Maaf, ya Bu, kalau
Ibu menengok ke belakang brosnya ikut bergerak mengenai pipi ibu," jelasku.
Sang Ibu Guru mengangguk, wajahnya merah padam.
"Astaghfirullah," bisiknya berulang kali, "sekali lagi maafkan saya, ya, Pak," katanya.
"Iya, bu. Saya juga minta maaf," kataku.
Untunglah masalah hari itu bisa terselesaikan dengan baik. Ibu Guru senior itu masuk
ke dalam kelas dan minta maaf kepada siswanya dan menjelaskan masalah yang terjadi. Aku
sangat senang karena guru itu mau jujur dan terbuka kepada muridnya. Suasana kembali cair,
dan beliau mengajar sampai selesai dengan lancar.
Kalau seperti itu kejadiannya sebenarnya salah siapa?

Anda mungkin juga menyukai