Anda di halaman 1dari 5

SAHABAT PEMBERI SEMANGAT

Pagi yang cerah bersenandungkan semangat membakar jiwa yang telah lama tidur dari dunia pendidikan.
Senandung matahari pagi menjadi awal memulai hariku menjadi mahasiswa setelah aku berhenti selama kurang
dua tahun.
Inilah niatanku setelah cukup banyak menelan dunia luar, dunia kerja, dan dunia bermain sebebas-bebasnya tanpa
batas dan tanpa halangan.
Sepatu pantopel sudah ku semir dengan begitu mengkilapnya layaknya kaca terkena sinar yang hingga
menyilaukan mata.

Baju sudah ku setrika begitu halus menyentuh bagian kulitku, sehingga sangat nyaman untuk dikenakan.
Roy yang tidak kalah bahagianya memulai harinya sebagai mahasiswa yang juga sebelumnya sempat cukup lama
berhenti dari bangku pendidikan.
Motivasi tinggi dan ingin adanya perubahan dalam hidup menjadikan kami berdua bersemangat memulai
aktivitas perdana kami sebagai mahasiswa.
Saking bahagianya hingga lupa menyebutkan namaku sendiri kepada para pembaca. Namaku adalah Udin, yang
pagi ini begitu merasa bahagianya karena menemukan dan bersatu dengan jiwa yang telah lama tidak ada dalam
hati.

Hingga sampai lupa ku memperkenalkan diri, mudah-mudahan ini bukanlah masalah besar untuk pembaca..hehe.
Roy: Apakah kau sudah siap untuk mengawali hari pertama kita kuliah dengan semangat..?.
Aku: Tentu Roy, aku begitu bersemangat dan aku juga sudah mempersiapkan peralatan kuliah untuk digunakan
pada kuliah perdana pada pagi ini, rasanya benar-benar tidak sabar aku Roy.
Roy: Bagus itu yang ingin ku dengar sahabatku, waktu sudah menunjukan jam delapan kurang sepuluh menit,
mari kita beranjak ke kampus dan memulai aktivitas kita sebagai mahasiswa.

Aku: Ayo Roy, kau yang mengendarai mobilnya ya.

Dengan kelihaian dan sedikit seni dalam menghidupkan serta mengendarai mobil aku dibawanya dengan
kecepatan mengendarai yang sedang.
Roy nampak hati-hati benar serta sangat mengutamakan keselamatan, sehingga sebagai penumpang akupun
merasa nyaman menjalani perjalanan ini.

Sepuluh menit berselang sementara mobil kami sudah di depan kampus, kami turun dari mobil serta bergegas
berlari ke kelas.
Aku: Aku begitu gemetar Roy, aku belum pernah melakukan ini sebelumnya dan juga aku juga pernah menjadi
mahasiswa sebelumnya.
Roy: Ayolah tidak ada yang hendak memakanmu di sini, jadi buatlah perasaanmu senyuman mungkin agar
tubuhmu tidak bergetar, (Memberikan semangat kepadaku).

Ujung jari tangan yang dingin, serta sedikit tubuh merasa gemetar ku paksa untuk terus berjalan masuk ke dalam
kelas serta disaksikan mahasiswa-mahasiswa baru yang lain.
Pak dosen menyapa kami,"Silahkan duduk, dan selamat datang di dunia pendidikan tingkat tinggi".

Sementara aku dan Roy hanya membalas dengan senyuman lebar, serta langsung mengambil tempat diantara para
mahasiswa baru yang sudah mendapatkan tempat duduknya.

Pak Dosen: Sebelum saya menyampaikan kuliah pertama kita, saya ingin meminta kalian memperkenalkan diri
kalian sendiri satu-persatu dari yang terdepan dan yang paling kanan.
Mahasiswa baru yang paling depan dan paling kanan memperkenalkan dirinya, kini aku sudah mendapatkan
kembali rasa nyaman dalam hati akibat semangat dari sahabatku, aku sudah merasa cukup nyaman dan berfikir
bahwa memang inilah aku sekarang.

Seorang mahasiswa yang sejatinya adalah ada untuk menjadi sorotan banyak orang karena kemampuan intelek
yang di atas rata-rata.
Ketika di dalam kelas ini pun aku merasa kepercayaan kepada diriku sendiri sudah bertambah, sehingga rasa
gerogi atau merasa kurang percaya diri kini sudah hilang.
TANGISAN SANG JUARA

Seorang ibu yang sedang mengendong anak bayinya berdiri di pinggir jalan melambaikan tangannya. Lambaian
tangan ini biasanya adalah isyarat untuk memberhentikan sebuah angkutan umum. Tidak jauh dari tempat
berdirinya si ibu, berdiri juga seorang siswa SMP. Tapi, siswa ini sedang menangis.

Saya rem motor secara mendadak dan berhenti sekitar 5 meter dari mereka berdiri. Si ibu menghampiri saya.
“Sampai ke Koto Raya Pak?” Tanya si ibu.

Saya menganggukkan kepala sebagai tanda iya.

“Boleh anak saya menumpang sampai ke SMP Pak?”, tanya si ibu.

“Boleh. Silakan”, jawab saya.

Lalu si ibu menyuruh anaknya untuk menumpang dengan saya. Tapi si anak enggan. Saya lihat anak ini sedang
menangis. Ibunya kembali menyuruh “Ayo Nak. Cepat! Bapak ini sudah menunggu”.

Anak SMP ini akhirnya berlari menuju saya yang sudah berhenti di pinggir jalan. Dia tetap saja menangis.
Sebelum sampai di tempat saya, si anak mengguncang sebuah papan reklame sambil menangis. Saya
menyimpulkan bahwa anak ini sedang mengekspresikan protesnya kepada ibunya.

Akhirnya si anak mengiyakan permintaan Ibunya dan menumpang dengan saya. Saya penasaran mengapa anak
ini menangis dan mengguncang papan reklame sebelum menumpang dengan saya. Saya beranikan diri bertanya
kepada anak ini. “Mengapa menangis?”

Anak ini menjawab, “Saya ketinggalan mobil berangkat ke sekolah karena tadi disuruh Ibu mengasuh adik Pak”.

Saya baru tahu mengapa ibu ini membantu anaknya mencarikan tumpangan untuk anaknya. Memang di sini tidak
setiap waktu ada mobil angkutan yang lewat. Jika telat, maka telat juga sampai di sekolah. Wajar kiranya kalau
mobil yang membawa anak sekolah ini penuh sampai ke atapnya. Lucu memang, tapi itulah keadaan di sini.
Jangan dibayangkan mobil yang mereka tumpangi adalah mobil angkutan umum seperti mini bus.

Mobil ini biasa disebut oto cigak baruak, yaitu sebuah istilah bagi mobil pick up dan dibuatkan bangku tempat
duduknya sampai tiga buah bersusun di dalamnya. Anak perempuan biasanya duduk di dalam, yang laki-laki
biasanya bergelantungan di belakang, dan bahkan duduk di atas atap tenda mobil. Ini mungkin alasan mengapa
istilah cigak-baruak (monyet-beruk) menempel pada mobil ini.

“Kok harus menangis? Takut telat sampai di sekolah?” saya kembali bertanya.

“Iya pak” jawab anak ini.

“Memang sekarang sudah telat? Itu di depan kita mobil yang membawa anak sekolah. Kita bisa kejar kok.”
Timbal saya.
Pertanyaan saya alihkan kepada uang jajan, sebab saya masih ragu bisa jadi anak ini menangis karena uang
jajannya tidak diberikan orang tua atau tidak cukup untuk bayar ongkos angkutan. “Berapa jajan sehari?”

“Tujuh ribu Pak” jawabnya.


“Kalau naik angkutan berapa ongkos pulang-pergi?” Lanjut saya.
“Dua ribu” jawabnya.
“Berarti jajannya lima ribu?” saya mencoba menyimpulkan.
“Iya Pak. Tapi saya ada ikut julo-julo (semacam arisan). Ndak semua uang jajan itu saya habiskan” imbuhnya.

Saya mulai simpatik dengan anak ini. Pertanyaan saya lanjutkan tentang sekolah. “kelas berapa sekarang?”.
“Kelas satu Pak” jawabnya.
“Semester satu dapat ranking berapa?”, lanjut saya.
Dengan semangat dia menjawab “Rangking satu Pak”.

“Hebat”. Pujian saya keluar secara spontan. Dalam hati saya berkata pantas dia menangis hanya karena takut telat
sampai di sekolah. Ternyata Dia sang juara.

“Di sini Pak” Lanjutnya. Kamipun berhenti tepat di depan gerbang SMPN 3 Lengayang.
MERINDU

Aku berjalan menyusuri jalan yang begitu padat, menunggu antrian yang begitu panjang. Begitu jauh aku
menuntut ilmu demi orangtua yang aku cintai, meninggalkan ayah, ibu dan adikku.
Akhirnya sampailah aku di depan pendaftaran ulang mahasiswa baru UIN Antasari Banjarmasin. Raut wajah
yang sedari tadi kusam dan jelek, langsung berubah menjadi senyuman yang lebar dan kegirangan.
“Ini Pak uang pembayaran UKT-nya.” Kuserahkan uang yang ada di dalam tasku.
“Iya, ini kwitansinya Nak, nanti hari senin sudah dimulai ya perkuliahannya. Jangan lupa untuk berhadir”. Sahut
Bapak yang ada di depanku. “Iya Pak, terima kasih atas informasinya. Kalau begitu Saya permisi Pak.
Assalamu’alaikum.” Pamitku sebelum keluar dari ruangan tersebut. “Wa’alaikum salam”. Sahut serentak dari
petugas penjaga pendaftaran. Sekarang statusku sah sebagai mahasiswi di UIN Antasari Banjarmasin, aku
memilih jurusan Kependidikan Islam prodi Bimbingan Konseling Islam. Sebuah kebanggan bagiku sebagai anak
kampung yang terpelesok bisa menyandang status sebagai mahasiswi.
3 hari kemudian tibalah saatnya perkuliahan dimulai, entah kondisi apa yang sedang aku rasakan aku begitu
gugup. Ya, hari dimana aku akan mendapatkan teman baru dan mata kuliah yang tak pernah kubayangkan
sebelumnya.
“Assalamu’alaikum.” Dengan wajah yang kaku dan bingung kuberanikan diri untuk mengucapkan salam di balik
pintu kelas. “Wa’alaikum salam, silahkan masuk.” Sahut seorang wanita yang duduk paling depan sambil
melontarkan senyuman kepadaku.
“kamu jurusan Kependidikan Islam juga?.” Tanyanya tanpa tahu siapa aku.
“Iii..yyaa..” jawabku dengan kondisi masih kebingungan dan gugup.
“ohh.. berarti kita satu jurusan dong. Perkenalkan namaku Muti, asal dari Banjarmasin.”
Sambil mengulurkan tangan kepadaku.
“Iya. Nama saya Rina dari Kapuas.” Mengulurkan tangan dan menjabat tangan wanita yang beberapa detik yang
lalu aku kenal.
Sejak perkenalan itu, aku dan Muti selalu bersama-sama, entah itu pergi ke kantin ke masjid maupun pulang
kuliah. Dia selalu menjadi teman curhatku, tempat keluh kesahku dan teman berbagi ilmu. Hingga suatu ketika
Muti mengajakku untuk pergi ke rumahnya, aku pun menerima ajakannya.
“Mama, Muti bawa teman nih!.” Teriak Muti di depan rumah sambil membuka pintu.
“Ayo masuk Rina!.” Aku begitu cangung masuk perlahan.
“Muti, kamu bawa siapa? Rina ya?”. Suara halus dan lembut terdengar dari dapur.
“Iya Ma.” Sahut Muti yang sedari tadi sibuk membersihkan kamarnya yang berantakan.
Muti yang sibuk di kamar dan Mama Muti yang sibuk di dapur menyuruhku duduk di kursi tamu yang empuk.
Aku hanya melongo duduk di kursi tamu, menoleh ke kiri dan ke kanan. Di tengah dinding terpampang sebuah
foto keluarga Muti, sangat indah dipandang begitu harmonis dan hangat.
Melihat foto itu membuatku teringat akan Ayah, Ibu dan adikku yang selalu menyemangatiku jauh di sana. Tetes
demi tetes tercucur dari mataku, entah itu karena aku sangat merindukan mereka atau iri dengan keluarga Muti
yang harmonis ini.
Walaupun Ayah dan Ibuku masih ada, mereka berpisah ketika aku masih SMA karena perselingkuhan Ayah. Saat
itu aku terpuruk dan tak ada semangat hidup. Sempatku berfikir untuk tidak melanjutkan kuliah karena masalah
keluarga yang makin memburuk, bisnis keluarga bangkrut, Ibu kecewa hingga ingin bunuh diri.
Ketika di hari ulang tahunku yang ke-17 tahun, aku mendapatkan hadiah yang sangat mengecewakan bagiku.
Walaupun Ibu masih mengingat hari ulang tahunku, tetapi terasa kurang lengkap tanpa kehadiran Ayah yang
pergi meninggalkan kami saat itu.
Tetapi suatu ketika, tiba-tiba Ayah datang dengan derai air mata, meminta maaf kepada Ibu dan Aku yang telah
ditinggalkannya setahun ini. Ayah sangat bersalah saat itu, hanya kata maaf yang mampu Ayah ucapkan.

Ibu masih teguh pendiriannya tidak ingin menerima kembali ayah lagi, tetapi aku memiliki persyaratkan pada
Ibu. Jika Ayah dan Ibu tidak bersatu aku tidak akan lanjut kuliah. Muka marah Ibu semakin menjadi-jadi setelah
mendengar persyaratan dariku itu. Ibu hanya diam dan tak berbicara denganku selama seminggu.
Hingga suatu hari ibu mengiyakan rujukan dari Ayah, demi aku dan adikku.
“Ini demi masa depan anak kita, jika kamu melakukan hal ini lagi ingat saja jangankan bertemu denganku,
bertemu dengan anakmu pun aku akan melarangnya!.”
Terlihat jelas senyum bahagia dari Ayahku yang memeluk aku dan adikku. Perjanjian itu sampai sekarang tidak
dilanggar Ayahku.

Tangisan ini hanya pelampiasanku teringan akan masa laluku. Air mata yang telah membengkakkan mataku kini
telah kuhapus dan membuat semangat baru. Aku akan bersungguh-sungguh menuntun ilmu demi keluargaku
yang jauh di sana.
Rindu yang selama ini kutahan dengan tangisan, sebagai penawar yang ampuh bagiku saat ini. Suara Ayah, Ibu
dan adik lewat telepon membuat segala yang kulakukan terasa ringan dan mudah.
Ayah, Ibu dan adikku yang kusayang, tunggu aku dengan kebanggaan mendapat gelar sarjana yang kita impikan
bersama. Walaupun kalian jauh di sana aku akan tetap menjaga kepercayaan dan janjiku pada kalian.
GENERASI KARTINI

Di sebuah desa kecil, di bawah kaki bukit, hiduplah 1 keluarga yang kurang mampu. Sang ayah bekerja sebagai
Petani, sang ibu hanya penjual makanan di pasar yang terletak jauh dari desa. Mereka memiliki 3 anak. Si sulung
bernama Bella, dia putus sekolah karena ingin membantu ibu menjaga kedua adiknya. Si tengah bernama Kayla,
dia bersekolah jauh dari desa. Dan si bungsu bernama Sania, Sania masih belum sekolah.
Suara ayam membangunkan si sulung. Dia segera mandi lalu shalat subuh. Dia membantu ibu memasak makanan
untuk kedua adiknya dan ayah yang akan berdegas pergi ke sawah.
“ibu, ada yang bisa aku bantu?” tanya Bella
“tidak usah sayang… kamu bangunkan adikmu dan menyuruh Kayla mandi saja” balas ibu
“baik bu” jawab Bella singkat
Bella berlari ke kamar Kayla, dia membangunkan Kayla.
“kay! Bangun! Ayo dong, sekarang hari pertama kamu sekolah” teriak Bella mengoyang tubuh Kayla
“uhmmm… apa sih kak? Masih jam segini kali” bantah Kayla
Kayla, jarak rumah ke sekolah itu jauh, sudahlah nanti kakak antar kamu mengunakan sepeda saja. Cepat mandi!”
suruh Bella
Setelah membangunkan Kayla. Bella membantu ibu menyiapkan sarapan dan bekal untuk Kayla dan ayah.
Setelah sarapan pagi, ayah dan ibu berangkat bekerja, ayah mengantar ibu ke pasar mengunakan motor, lalu ayah
berdegas ke ladang. bella pun segera mengambil sepeda dan membonceng adiknya ke sekolah, di desa seberang.
Di perjalanan, Bella bercerita tentang R.A Kartini, pahlawan wanita yang memperjuangkan nasib wanita, hingga
dapat bersekolah seperti adiknya sekarang ini.

“Kay! Harusnya kamu bersyukur bisa sekolah dengan mudah. Biaya ditangung pemerintah, tiada perang perang.
Jadi… kamu harus rajin ya di sekolah” ucap Bella
“memangnya? Saat zaman peperangan tidak ada sekolah kak?” tanya Kayla
“bukannya tidak ada, tapi wanita seperti kita tidak diperbolehkan bersekolah. Bersekolah yah Cuma sampai kelas
6 SD, setelah kelas 6 para wanita dipingit. Akhirnya Kartini bertanya kepada ayahnya, namun sang ayah hanya
diam. Dan Kartini pun membuat sekolah gratis untung rakyat Indonesia. Kartini pun sering membuat buku buku
novel yang memotivitas rakyat Indonesia” cerita Bella panjang lebar
“lalu apa hubungannya sama Kayla?” tanya Kayla
“harusnya kamu bersyukur bisa bersekolah. Kartini bersekolah SD saja membayar dengan biaya mahal, kamu
sekolah sekarang kan ditangung pemerintah. Sedangkan kakak yang ingin bersekolah malah tidak bisa. Ya sudah,
sudah sampai di sekolahmu, belajar yang rajin ya Kay! Nanti kakak jemput jam 12 siang ya!” teriak Bella
melambaikan tangan ke adiknya
“byee kak!” teriak Kayla balik

Setelah sampai di rumah, Bella mengelar tikar di depan rumahnya. Bella pun mengajar anak anak yang tak
mampu bersekolah, dia membuat sekolah kecil kecilan, sedangkan Sania dititipkan ke tetangga Bella
“kak Bella, mari belajar. Sudah tak sabar nih” teriak salah satu anak laki laki
“iya iya, semua duduk dengan tertib ya! Kakak akan mengajari kalian menghitung” teriak Bella menenangkan
anak anak yang berlari sana sini
“asikkk!!!” teriak semua anak “Aldo, coba kamu hitung. Misalnya, kak Bella memberi kamu 20 permen, lalu
adikmu memintanya 5, lalu kakak memberimu 10 permen lagi, jadinya?” tanya Bella kepada Aldo
“saya menjawabnya… terima kasih kak Bella, hehehe” canda Aldo. Semua murid pun tertawa, Bella hanya bisa
tersenyum ke Aldo, “okey okey, tadi kan ada 20 – 5 + 10 jadinya 25 kak Bel” jawab Aldo dengan tersenyum
malu. Bella bangga akan anak anak itu. Mereka yang kurang mampu saja mau belajar, sedangkan adiknya sendiri
yang cukup mampu malas malasan sekolah. Sekolah ini dipulangkan pukul 10.

Jam menunjukan pukul 11.00. Saatnya Bella menjemput Kayla dari sekolahnya, dan mengantarkan bekal untuk
kedua orangtuanya yang bekerja. Bella pun mengambil 2 rantang makanan yang telah disiapkannya tadi. Bella
mengambil sepedanya dan segera mengayuh sepedanya ke ladang ayah, lalu ke pasar ibu, setelah itu, barulah
Bella menjemput adiknya.

“kak Bella, sekolahku tadi asik lo kak! Aku perkenalan ke depan, lalu aku diceritain kehidupan Kartini dimasa
lalu. Ceritanya mirip banget sama cerita kakak! Kak, aku meminjam buku ‘Kehidupan Kartini’ di perpustakaan
sekolah, aku janji, aku bakal rajin sekolah” kata Kayla bersemangat. Bella hanya menangapi dengan senyuman
manisnya.
Jadi… Kartini adalah pahlawan yang memperjuangkan pendidikan wanita. Dahulu memang Belanda melarang
wanita bersekolah. Setelah melalui pendidikan SD, Kartini dipingit, dia hanya terdiam di kamar sambil membaca
buku pendidikan. Akhirnya dia membuat sekolah kecil kecilan, untuk membantu Rakyat indonesia menjadi maju
dan pandai.
Jasa Kartini masih dikenang hingga sekarang, novel novelnya pun masih ada. Dia juga sering dijadikan nama
jalan, dan… setiap hari kelahirannya, dirayakan sebagai hari Kartini.
AKU DAN HARAPANKU

Langit terlihat begitu sendu, matahari terlihat bersembunyi di balik awan tebal, hujan seakan ingin menyapa tapi
angin menolaknya.
Ketika harapan tidak sesuai dengan keinginan? Mungkin hati akan merasa sakit, tapi aku mencoba menyakinkan
hati kalau semua adalah garis hitam di dalam hidupku. 1 tahun yang lalu, ketika aku menduduki kelas 3 SMP aku
dibuat bingung dengan berbagai pilihan. Anak remaja yang tidak tahu dunia seluruhnya, harus memilih antara
aku harus sekolah dan berkerja ketika keinginanku untuk bersekolah terhenti begitu saja aku terpaksa mengubur
semua mimpi, cita-cita, harapan dan semua yang ada di dalam imajinasi kecilku.

Aku memang bukan seorang anak yang terlahir dari keluarga yang kaya raya, bukan anak yang bisa melanjutkan
sekolah hingga ke perguruan tinggi. Tapi aku hanya seorang anak yang terlahir dari keluarga sederhana, ayahku
berkerja sebagai pedagang sedangkan Ibuku hanya sebagai ibu rumah tangga. Sedih memang, tapi aku coba untuk
ihklas menjalani kehidupan di dunia yang fana ini. Aku masih percaya akan sebuah keajaiban dan mukjizat yang
datangnya dari Allah asal aku berusahan sekuat tenaga dan terus berdoa sebaik baiknya kepada Allah SWT. Agar
aku bisa melanjutkan sekolah dan bisa membuat kehidupan ini berubah.

Hari pertama aku berkerja di sebuah warung makan, di dalam hati aku bertekad untuk berkerja keras supaya bisa
membantu perekonomian keluargaku, setelah aku berkerja ternyata aku merasakan bahwa mencari uang yang
halal itu sangat sulit tidak semudah kita menghambur hamburkannya untuk sekedar barang yang tidak penting.

Letih, mungkin orangtuaku lebih…


Cape, mungkin orangtuaku lebih..
Mengeluh mungkin orangtuaku tidak pernah… Tapi beda dengan aku sekarang baru sebentar berkerja sudah
merasakan yang namanya cape tapi aku coba menepisnya aku kembali semangat, demi untuk membuat orang
orang yang aku sayangi di dunia ini yaitu orangtuaku bisa tersenyum penuh bangga terhadapku bisa membuat
mereka bahagia dengan caraku yang sederhana. Setelah beberapa bulan aku berkerja akhirnya aku sudah bisa
mengumpulkan sedikit demi sedikit uang untuk hari minggu nanti aku bawa untuk pulang ke kampung halaman,
rasa rinduku terhadap orangtuaku yang jauh di sana sudah mulai terasa aku mencoba menguatkan diri sendiri.

“sabar masih hari minggu”


Sambil ku duduk termenung di teras kosanku di dalam setiap doaku aku masih berharap bahwa ini bukan akhir
dari segalanya, aku selalu percaya akan sebuah kejutan yang Allah berikan di hari yang akan datang. Hari minggu
yang aku tunggu pun telah tiba rasa rindu yang memuncak seakan bisa kulepaskan di hari ini, cairan bening itu
menetes tak henti aku terus memeluk orang yang paling berjasa dalam hidupku ini seorang wanita yang sangat
aku hargai dan cintai wanita itu, adalah Ibuku. Aku memeluk ibuku begitu erat rasanya rindu ini begitu besar.
Setelah melepas rasa rindu itu ibu ayahku dan aku sedang berkumpul di ruang tengah kami sedang ngobrol santai
dan menceritakan pengalaman aku pertama kali berkerja. Tapi di tengah obrolan santai tersebut tiba tiba ayahku
berkata..
“nak ayah boleh bertanya?”
“boleh, memangnya ayah ingin bertanya apa?”
“ayah ingin bertanya apakah di dalam hati kamu masih ada keinginan untuk melanjutkan sekolah?” tiba tiba ku
terdiam memikirkan pertanyaan itu rasannya aku ingin menjawab segera semua pertanyaan itu, tapi hatiku
mencoba untuk terlihat tenang di hadapan ayah.
“sejak dulu sampai sekarang jawabanya masih sama ayah, aku masih bertekad untuk bisa melanjutkan sekolah”
“memangnya untuk apa kamu sekolah?”

“agar aku bisa membuat ayah dan ibu bisa bahagia dan merubah kehidupan kita menjadi lebih baik lagi”
sekarang giliran ayahku yang tiba tiba terdiam entah apa yang dia pikirkan tapi aku melihat sorot matanya yang
seperti ingin menangis tapi dia mencoba untuk menahanya untuk keluar.
“tahun ini kamu lanjutkan sekolah lagi” tiba tiba ayahku berkata seperti itu dan entah apa yang aku rasakan
intinya aku merasakan kebahagian yang luar bisa
“tapi ayah…”

“nggak ada tapi tapian ayah yang akan berkerja keras agar kamu bisa sekolah dan bisa melanjutkan pendidikan
yang layak” Pada saat itu aku benar benar bahagia sampai aku bersujud syukur kepada allah dan inilah keajaiban
yang Allah janjikan untuk aku dan aku merasa bersyukur atas apa yang telah aku lalu karena itu sebagai pelajaran
yang berharga yang bisa aku ambil hikmahnya di suatu saat nanti.
Sekarang aku sudah bersekolah kembali di sebuah sekolah SMA, aku merasa bahagia karena aku bisa
melanjutkan impian dan cita citaku yang sempat terhenti dan aku akan mewujudkanya dengan cara bersekolah.
Sekarang aku akan berjuang untuk orang yang memperjuangkanku. orangtuaku berjuang untuk bisa
menyekolahkanku dan aku berjuang untuk bisa membanggakan kedua orangtuaku dengan semangat untuk
sekolah dan belajar.

Anda mungkin juga menyukai