Anda di halaman 1dari 8

Dibalik Bianglala

Aku memandangi bayangan diriku pada cermin. Rambut lurusku kubiarkan tergerai
tanpa kusisir, mataku bengkak bekas menangis semalaman. Aku menarik napas dalam-
dalam, menghembuskannya perlahan. Aku keluar dari kamar, menggigit bibirku agar tak
menangis lagi. Hari ini adalah hari terakhirku di rumah ini. Ayah mengembangkan bisnisnya
di pulau Bali. Ia membeli rumah baru, dan memaksaku ikut serta melanjutkan SMA disana.
Ia bahkan sudah mengurus kepindahan sekolahku, tanpa sepengetahuanku. Aku harus
meninggalkan teman-temanku, sekolahku, dan juga Vino, sahabatku sejak SD.

” Vika, kamu harus pergi ya?” Keberadaan Vino disini sejak tadi pagi membuatku merasa
lebih berat untuk meninggalkannya.

Ia berhasil membuatku terisak lagi walaupun aku sudah menggigit bibirku sampai pucat.
Ayah menarik tanganku dengan paksa saat aku meronta enggan masuk ke mobil. Vino
memegangi tanganku erat-erat, tapi ayah melepaskan pegangan tangan Vino dariku. Akhirnya
mobil melaju kencang meninggalkan Vino sendirian didepan pagar rumah.

****

Dua jam perjalanan dengan pesawat membuatku bosan. Pekerja kantor ayah
menjemput kami di bandara, lalu menghantar kami ke sebuah rumah dengan pagar besar
berwarna putih. Halaman depannya sangat luas. Ada kolam ikan kecil di antara pot-pot bunga
yang tersusun rapi dan sepasang kursi yang diletakkan berhadapan, dengan meja berpayung
diantaranya. Disamping halaman ada lorong untuk garasi sebagai tempat menyimpan
beberapa mobil koleksi ayah yang membuatku muak.

Aku langsung masuk saat ibu membuka pintu depan. Aku melihat beberapa pelayan
langsung menyambut dan bersiap membawakan barang bawaan kami.

“Vika, kamar kamu diatas.” Ayah memberikan sebuah kunci padaku, “Bi, tolong hantarkan
Vika ya.”

“Vika bisa sendiri kok, yah.” Aku berjalan menaiki tangga ke lantai dua. Aku mendengar
samar-samar suara Ibu memanggiliku dari bawah.

Seharian dirumah ini aku hanya berdiam diri di kamar. Kamarku yang baru ini jauh
lebih bagus dan nyaman dari pada kamar lamaku. Aku sedih menyadari kebenaran itu. Tirai
panjang berwarna pink dengan motif bunga berwarna putih membuat kamar ini terkesan
feminin. Tembok kamar dilapisi wallpaper cantik warna pastel. Untuk apa Ayah menyiapkan
kamar sebagus ini? Aku bertanya dalam hati. Setelah berpikir lumayan panjang aku yakin
bukan Ayah yang menyiapkannya, Ia pasti menyuruh Pak Abel menyiapkan ini untukku. Pak
Abel, Ia adalah pelayan yang ditugaskan Ayah menjaga dan membantuku. Mungkin karena
Ayah terlalu sibuk dengan bisnisnya.

Aku mulai membereskan barang-barangku. Aku membuka satu persatu kardus berisi
barang-barang dari rumah lama. Saat itu aku menemukan pigura berisi foto ku saat berumur
enam tahun bersama Vino yang sedang membuat istana pasir. Kuletakan pigura itu di meja
kecil disamping tempat tidurku. Aku mengambil sebuah alat pemutar musik di tas kecil yang
tergantung dipundakku sejak tadi. Alat pemutar musik ini adalah hadiah dari Vino saat ulang
tahunku yang ke tiga belas. Aku menyetel lagu secara acak lalu naik ke tempat tidur dan
memejamkan mata. Semenit kemudian aku sudah terlelap.

Semalaman aku tidur sangat nyenyak ditemani lagu dari pemutar musik Vino.
Sesudah mandi aku menelepon Pak Abel, supaya membawakan makananku ke kamar. Aku
lebih suka makan sendiri dari pada harus makan bersama Ayah. Setelah sarapan ibu
menyuruhku berangkat ke sekolah. Ibu memberiku seragam putih abu-abu dan buku sekolah.
Aku bersiap-siap dan menemui Pak Abel, Ia juga merangkap menjadi supir pribadi
keluargaku. Sesuai jadwal, aku harus tiba di sekolah pukul tujuh.

“Non, kok tasnya enteng? Non tidak bawa buku?” Pak Abel yang membawakan tasku
kebingungan.

“Enggak ah, berat.” Aku membuka pintu mobil dan bersiap masuk.

“Non, kok pakai sepatu merah muda?” Pak Abel menunjuk sepatu boots yang kupakai saat
ini.

“Bagus kan, Pak?” Aku menggoyang-goyangkan kakiku dengan bangga. “Udah ya, yuk
berangkat.”

Aku melihat jam tanganku. Pukul tujuh pas. Aku berjalan layaknya model saat
mencari letak kelasku. Aku dapat merasakan semua mata tertuju padaku. Aku balas
memandangi mereka dengan sinis. Beberapa gadis memanggilku norak dan aneh tapi aku
tidak peduli. Mendengar keributan, guru pun datang. Aku dipanggil ke ruang BK di hari
pertama, pertanda buruk. Selama sejam aku mendengarkan ocehan guru tua dihapanku.
Setelah telingaku panas aku pun diperbolehkan kembali ke kelas dengan telanjang kaki.

Hari pertama sekolah membuatku sangat lelah. Setiap guru yang masuk ke kelasku
selalu marah padaku dan berceramah panjang lebar, membuatku semakin ingin berulah. Aku
menghempaskan tubuh di kasur lalu memejamkan mata, aku teringat masa kecilku bersama
Vino.

Huaaa.. aku menangis sekencang-kencangnya. Ayah memukulku karena nilai matematikaku


jelek

“Vika, jangan nangis terus dong. Ayahmu sayang sama kamu kok,” Aku masih terus
menangis karena berulangkali Ayah memukulku.
“Aku ajak naik bianglala deh, gimana?” Vino terlihat bersemangat

“Bianglala?” Aku menyedot ingusku yang mulai mengalir keluar dari hidung.

“Iya, yang berputar-putar terus itu lho.” Cara menjelaskan Vino yang khas membuatku
terkekeh.

“Oke.” Aku berhenti menangis.

Saat itu aku benar-benar bahagia. Pertama kalinya aku naik bianglala bersama Vino. Aku
dapat melihat pemandangan yang indah dari atas, saat itu aku melihat banyak hal-hal yang
belum pernah kulihat. Balon udara, Helikopter, Vino menjelaskan cara kerja benda itu
dengan jelas. Vino memang hebat.

Semenjak kepergianku tiga tahun lalu, aku menjadi cuek dan pendiam. Aku tak peduli
masalah penampilan, pergaulan, apalagi nilai. Kemarin, karena suatu keajaiban aku telah
lulus dari SMA. Nilaiku secara keseluruhan tidak sebagus teman-teman sekelasku, sikapku
juga tidak menunjang nilai-nilaiku. Dan sekarang tambah lagi masalahku, aku harus
mendaftar kuliah karena paksaan ayah. Aku sempat marah-marah dan mengumpat pada ayah
semalam karena hal ini.

“Vika, Ibu boleh masuk?” ibu mengetuk pintu kamarku saat aku sedang mengisi formulir
pendaftaran universitas.

“Iya.” Aku menjawab malas.

Aku duduk di atas tempat tidur saat ibu menyuruhku duduk di sampingnya.

“Vika,” Ibu menggenggam tanganku. “Kamu tahu kan, kalau kamu anak Ayah dan Ibu satu-
satunya?” Aku mengangguk, lalu menghembuskan napas kasar.

“Ibu tahu ini nggak adil buat kamu. Ayah dan Ibu menaruh kepercayaan besar padamu, kalau
suatu saat nanti kamu pasti sukses. Entah apa yang menjadi pilihanmu untuk masa depanmu,
Ibu yakin kamu pasti bisa menjadi sukses. Kamu juga harus mewarisi bisnis Ayahmu suatu
saat nanti,” Ibu mengelus kepalaku. “Kita harus pindah rumah karena bisnis Ayahmu, kamu
juga terpaksa kuliah karena Ayah kan?”

“Ayah tidak pernah mau mengerti Vika, Bu. Aku sudah melakukan apapun yang Ayah mau,
sejak kecil.” Sekarang ini aku merengek seperti anak bayi, berharap ibu mau memelukku dan
memukul orang yang menyakitiku.

“Ibu tahu. Ayah ingin yang terbaik untuk mu, untuk kita, Vika,” Ibu tersenyum pada ku.
“Kamu tidak boleh seperti ini terus. Kamu harus buktikan pada ayah dan ibu, kalau kamu
bisa menjadi lebih dari apa yang Ayah dan Ibu harapkan.”

****
Hari-hari berlalu begitu cepat. Keadaanku semakin membaik, setelah apa yang
diucapkan Ibu malam itu. Setiap malam ibu selalu datang ke kamarku, menasihatiku atau
hanya sekedar berbincang-bincang denganku hingga larut malam. Ini tahun ketiga aku belajar
di Universitas Fashion Internasional. Aku berusaha membuat pakaian-pakaian terbaik dan
mendapatkan nilai-nilai yang lebih dari teman-temanku. Aku sudah mengalami perubahan
yang begitu besar sejak saat itu. Aku sudah memperbaiki penampilanku, rambut panjangku
sekarang kusisir dengan rapi dan aku sudah berpakaian normal lagi. Yang lebih baik lagi, aku
sudah berkomunikasi dengan ayahku, sedikit-sedikit. Walaupun agak kaku, tapi ini
perkembangan pesat bagiku. Aku bahkan selalu makan malam bersamanya. Satu lagi, aku
juga mempunyai banyak teman saat ini, walaupun tak ada yang sebaik Vino.

Tahun ini, tahun terakhirku kuliah. Aku harus menyelesaikan skripsi dengan baik
supaya dapat lulus dengan nilai yang baik. Ibu telah meyakinkan Ayah agar bersedia
menyiapkan dana untukku supaya aku dapat membangun workshop sendiri, sebagai gantinya
aku akan menggantikan kedudukan Ayah di perusahaannya saat Ia pensiun sekuat tenagaku.
Awalnya ayah tidak yakin aku mampu melakukan dua hal bersamaan, tapi kemudian ayah
menyetujuinya. Ini pertama kalinya ayah menuruti keinginanku. Oleh karena itu, aku harus
lulus dengan nilai terbaik.

****

“Senyum yang lebar ya,” Fotografer pesanan ayah yang mengabadikan momen kelulusanku
begitu semangat memberikan arahan. “Tangan dipinggang, senyum, tahan.” Klik. Pemotretan
berakhir.

“Ayah bangga padamu, sayang.” Ayah tersenyum lebar sekali.

“Terima kasih Ayah.” Aku tersenyum tak kalah lebar.

“Ayo berangkat ke workshopmu.” Ayah merangkul pundakku mengarahkanku ke mobil.

Sepanjang perjalanan aku memandang keluar jendela. Turis-turis berlalu-lalang di


trotoar, toko-toko souvenir berjajar rapi di pinggir jalan.

“Sebentar lagi kita sampai, Vika.” Ayah menoleh kearahku. Aku mengangguk mengiyakan.

Aku begitu terpana saat kami tiba di depan sebuah bangunan tiga lantai dengan nama
merekku diukir besar-besaran diatasnya dengan warna merah jambu. Aku masuk dan melihat
sudah ada Tasia duduk dibalik meja resepsionis. Tasia adalah teman baikku di untiversitas.
Aku melakukan tur keliling bangunan ini bersamanya. Ruanganku ada di lantai dua.
Ruanganku tampak sangat elegan dengan warna paduan warna pink, hitam dan emas. Sesuai
idaman. Aku tersenyum puas.
Ruangan bekerja seluruhnya ada di lantai tiga. Mesin jahit mulai dari manual sampai
otomatis ditata rapi diujung ruangan. Beberapa kain terbaik digantung di dekat mesin jahit,
sisanya diletakkan di gudang lantai dua. Meja kerja untuk menggambar berada di tengah-
tengah ruangan. Meja untuk membuat pola juga sudah diletakkan berserta beberapa manekin
disampingnya. Dapur kecil dibuat diujung kanan ruangan bersebelahan dengan kamar pas.
Semuanya sudah tersedia disini.

“Bagaimana? Apa ada yang kurang?” Ayah memastikan.

“Ini benar-benar luar biasa Ayah.” Aku memeluk Ayah erat-erat. Ayah sempat terkejut, tapi
kemudian balas memelukku.

“Ayah, pergi ke kantor dulu ya?” Ayah berpamitan padaku, lalu menggandeng tangan Ibu
pergi. “Selamat bekerja, sebentar lagi beberapa temanmu yang lain akan datang bekerja.”

Oh Tuhan, Ayah bahkan memperkerjakan teman-temanku untukku. Aku tersenyum


menyadari peubahan sikap ayah yang dingin.

Aku menggambar beberapa desain untuk dijahit. Lima temanku sudah datang dan
mulai membuat beberapa baju untuk dijual di butik. Aku memantau pekerjaan mereka,
memperbaiki apa yang harus diperbaiki.

“Permisi, Vika,” Tasia memanggilku dari balik pintu. “Ada yang ingin bertemu denganmu.”

Hari pertama? Ini benar-benar luar biasa.

“Baik, suruh kemari ya.” Aku mencoba tenang walaupun sebenarnya sangat gugup.

Tok tok tok terdengar suara ketukan pintu

“Silahkan masuk,” Aku menghentikan pekerjaanku. “Ada yang bisa saya bantu?” Aku
tersenyum pada pelanggan pertamaku.

“Ya, saya butuh setelan untuk konser debut pertamaku.”

Setelah berbincang sekian lama, aku memulai pekerjaanku dengan mengukur badan Virgo,
pelanggan pertamaku yang rupanya seumuran denganku. Lalu aku membuat desain jas sesuai
yang diinginkannya. Setelan itu diambil dua hari lagi. Aku akan sangat sibuk malam ini.

****

Virgo datang cukup awal untuk mengambil setelannya. Setelan jas itu terlihat indah di
tubuh atletisnya. Ia terlihat sangat puas dengan hasil kerja ku.

“Ini, tiket konserku.” Virgo memberiku selembar tiket konser.


“Terima kasih.” Ini mungkin akan jadi pengalaman pertamaku melihat konser. Sebelumnya
aku akan pergi menonton konser bersama Vino, tapi ayah memaksaku ikut dengannya ke
Bali.

“Pastikan kau akan datang. Aku akan menemuimu saat konser berakhir, bagaimana?”

“Boleh. Kau harus mentraktirku makan kalau konsermu berjalan lancar, bagaimana?”

“Oke, aku harus latihan bersama anggota band yang lain dulu. Sampai jumpa.”

Aku melihat tiket konser ditanganku dengan mata berbinar-binar. Dari tiket ini aku
yakin Virgo adalah penyanyi utama band ini. Aku langsung bergegas pulang dan menitipkan
workshop pada Tasia. Aku tak sabar ingin menonton konser Virgo. Aku memakai kaus santai
dengan celana jins dan sepatu convers. Aku menyetir sendiri mobilku ke lokasi konser.

Setengah jam kemudian aku tiba di lokasi konser. Tempat ini sangat ramai dipenuhi
fans. Aku memberikan tiketku pada seorang petugas lalu aku diperbolehkan masuk. Aku
duduk di kursi VIP. Lima menit kemudian konser dimulai. Lampu-lampu dimatikan dan satu
persatu member band Virgo memasuki panggung. Lagu pertama dinyanyikan dengan suara
malaikat Virgo. Aku terpesona melihat Virgo bernyanyi, apalagi dengan setelan jas yang
kubuat. Setelah lagu pertama berakhir, setiap member memeperkenalkan nama mereka.

“Saya memainkan gitar dan vokal utama band ini, nama saya Virgo Novianto. Senang dapat
bernyanyi untuk kalian.” Virgo memperkenalkan dirinya pada penonton.

Aku tercengang mendengar nama lengkap Virgo. Virgo Novianto. Vino?

****

Setelah konser berakhir, seperti yang sudah dikatakan Virgo, Ia menemuiku setelah
konser. Ia membawaku ke sebuah restoran makanan italia dan kami duduk berhadapan. Aku
tak menucapkan sepatah kata pun padanya sejak konser berakhir.

“Vika, kamu kenapa?” Virgo menepuk pundakku. “Harusnya kamu bilang selamat ke aku.”

“Vino. Kamu Vino kan?” Aku meluapkan segala rasa penasaranku.

“Iya, aku biasanya dipanggil Vino sama Vika.” Vino tersenyum usil.

“Kenapa kamu nggak bilang dari awal?” Aku ingin menangis saat ini, mataku sudah berkaca-
kaca.

“Biar kejutan dong, Vik,” Vino mulai membaca ekspresi mukaku saat ini. “Eh, kok nangis
sih?”
Aku berjalan keluar dari restoran. Vino mencegatku, ia memegang tanganku erat-erat. Aku
tak mampu menahan tangisku. Vino langsung memelukku saat itu juga.

“Vika, jangan nangis dong.” Vino mengelus punggungku pelan.

“Vino, kamu jahat.” Aku memukul dada bidang vino dengan tangan mungilku.

“Iya iya, aku minta maaf. Aku juga kaget kok saat pertama kali melihat kartu namamu dari
managerku.” Vino menggenggam tanganku. “Aku kangen banget sama kamu. Saat itu aku
ingin sekali peluk kamu, tapi aku nggak bisa, banyak pegawaimu disana kan?”

Aku memeluk Vino sekali lagi. Aku benar-benar nggak bisa percaya kalau aku akan bertemu
lagi dengan Vino.

“Vika, aku terkenal loh. Jangan disini ya, nanti banyak paparasi datang.” Vino menutupi
mukanya dengan tangan.

“Tuh kan, Vino jahat.” Aku berjalan pergi mengikuti trotoar dengan mulut manyun.

“Iya, iya Vika. Jangan ngambek dong.” Vino memegang tanganku lagi, membuatku konstan
tersenyum.

Aku menggandeng tangan Vino dan mengajaknya masuk ke sebuah butik terdekat
untuk membeli kacamata, baju dan celana santai serta topi. Aku menyuruh Vino memakainya
sebagai penyamaran.

“Nah, sekarang nggak akan ada yang tahu deh.” Aku tersenyum girang. “Sekarang aku mau
naik bianglala.”

“Kamu emang nggak berubah ya dari dulu.”

Vino memboncengku dengan motor vespa yang kami sewa di pinggir jalan. Kami pergi ke
taman malam tempat bianglala terbesar di pulau Bali. Jam menunjukkan pukul tujuh malam,
bintang-bintang bermunculan, membuat langit tampak indah.

“Pemandangan dari atas bianglala emang selalu bagus ya, Vin?” Aku melihat pemandangan
dengan semangat. Kami duduk berhadapan di salah satu gerbong bianglala.

“Iya. Dan selalu buat kamu selalu berhenti menangis, kan?” Vino membuatku malu. Ia masih
ingat kenangan kami saat kecil.

“Dulu kan aku masih kecil, Vin. Sekarang aku sudah nggak pernah nangis lagi kok,” Vino
memandangku dengan tatapan tidak yakin. “Kadang-kadang sih.”

“Aku yakin kamu pasti nangis terus saat nggak ada aku.”

Aku tak mendengar perkataan Vino. Aku menyipitkan mata untuk melihat sesuatu di
belakang Vino.
“Vino ada bintang jatuh, aku mau buat harapan apa ya?” Aku menunjuk bintang jatuh
dibelakang Vino.

Vino menoleh kebelakang lalu berbalik lagi memandangku.

“Aku harap aku tidak akan berpisah lagi dari perempuan dihadapanku saat ini,” Vino
tersenyum padaku. “Dan, kita akan selalu bersama.”

“Selamanya.” Aku tersenyum.

Dibalik bianglala ini aku merasakan pelangi dan kupu-kupu menari-nari diperutku.

****

Biodata
Hey! Namaku Winnie Nettabella. Biasanya dipanggil Netta.
Aku lahir di Bondowoso, 18 Desember 1999. Aku sekarang
berumur 15 tahun. Aku anak ke-tiga dari empat bersaudara.
Hobiku menggambar, menulis, browsing internet, dan masih
banyak lagi. Aku suka warna pink, suka makan dimsum, dan
suka banget sama ice cream. Cita-citaku jadi fashion designer,
aku mau semua orang bisa menikmati hasil karyaku nanti.
Follow instagramku ya, Winnienettabella_ Thankyou..

Anda mungkin juga menyukai