Anda di halaman 1dari 4

Pisau Karatan Pak Guru

Sarwito

Sebetulnya tidak ada yang istimewa. Usianya sekitar limapuluh tahunan. Separo
rambutya sudah mulai memutih. Gayanya biasa-biasa saja seperti kebanyakan guruku waktu
di SD dan SMP. Guru produk lama. Sekali waktu memonopoli pembelajaran dengan terus
berbicara dan bercerita. Lain waktu kami diberi tugas berlembar-lembar. Entah dikoreksi atau
hanya ditumpuk di ruang guru.

Kini setelah lebih dari sepuluh tahun aku tamat SMA, rasa ingin bertemu begitu
mengebu. Entah mengapa. Rasa rindu ingin bertemu. Berucap syukur dan terima kasih atas
bimbingannya. Gurauan yang kadang bernada ancaman. Gurauan yang memacu semangatku.

Aku anak IPS. Dengan menyebut kelas, sebagian besar orang sudah maklum. Karakter
anak sosial dari dulu sampai saat ini memang seperti itu. Tidak perlu diceriterakan.

“Kamu tahu berapa umur ayam potong ketika mengakhiri hidupnya,” tanya Pak Is suatu
pagi ketika mendapati kami ogah-ogahan dalam belajar.

“Empat puluh hari pak,” jawab kami

“Dan kamu dengar apa suara ayam-ayam itu,”

“Piyik... piyik ...piyik,”`

“Ya mereka bersedia harus mati di usia muda, bahkan baru beberapa hari, demi nafsu
manusia. Masih bayi. Tidak perlu jadi dewasa. Yang penting badannya sudah besar. Mereka
segera mati. Menjalani takdir hidupnya”.

“Beda dengan ayam kampung. Tidak ada seorangpun yang tega menjadikanya santapan
diusia empat puluh hari.” Jadi kalau kalian ke sekolah hanya untuk membesarkan badan saja,
tanpa tambah ilmu dan keterampilan maka derajatmu tidak lebih tinggi dari pada ayam-ayam
itu. Kata-kata yang pedas sekaligus menyakitkan. Masak sudah berdandan rapi, pakai komet
agar rambut lincin lebih rendah dari ayam potong derajatnya.

Mau protes terhadap pernyataan beliau. Tetapi belum lagi kumpul keberanian, Pak Is
melanjutkan dengan pertanyaan berikutnya.

“Kalau mau memotong ayam, apa yang harus kita lakukan?” kata Pak Is
“Harus membaca doa terlebih dahulu, Pak,” jawab kami hampir serempak.

“Trus,” tanya Pak Is lagi.

“Trus potong lehernya lah, Pak,” jawab Toni.

“Pakai apa motongnya,” tanya Pak Is.

“Pakai pisau lah, Pak. Masak di gigit. Memangnya kami musang,” jawab Ali yang
diikuti tawa teman-temannya.

“Betul, pakai pisau. Pisaunya harus tajam atau tidak?”

“Tajam, Pak,” jawab kami serempak.

“Mengapa harus tajam,”

“Supaya cepat mati dan tidak menyiksa,” jawab Toni lagi

“Bagus, berati kamu tahu syariatnya,”

“Tetapi jika nanti diberi kesempatan untuk menyembelih kamu, seperti ayam-ayam itu
maka saya akan menggunakan pisau tumpul dan karatan.”

Lagi-lagi kami mau protes, tetapi belum cukup keberanian kami, Pak Is melanjutkannya
lagi kata-katanya yang membuat kami semakin terdiam.

Pisau tumpul dan karatan bapak gunakan agar kamu bisa merasakan rasa sakit yang
bapak rasakan. Ketika dijelaskan materi, bapak tanyakan adakah yang tidak diketahui, kalian
diam semua. Ketika diminta mengerjakan tugas kalian tidak kerjakan. Ketika diminta
membacakan hasil kerja tidak mau. Ketika ada temanmu yang membacakan hasil kerjanya
kalian tertawakan. Ketika diminta memberikan tanggapan kalian diam semua. Jadi apa kalian
hanya mau menambah besar badan kamu seperti ayam-ayam itu. Ketahuilah sikap kalian ini
menyakitkan, seperti dipotong dengan pisau karatan

Kata-kata betul-betul menghunjam ke dalam hati kami. Menancap dalam. Tetapi kata-
kata itu juga yang memotivasi kami untuk membuktikan bahwa kami dilahirkan tidak seperti
ayam potong. Derajat kami jauh lebih tinggi. Setinggi yang mungkin tidak pernah dibayangkan
guru-guru kami.

… dst (bersambung, masih ada 3 halaman lagi)


SALAH SAYA APA?

Sarwito

Hatiku serasa mendidih ketika melihat wajah Joni dan Mamat berjalan santai menuju kantin.
Dua wajah yang tidak kutemukan pada jam pertama tadi. Ingin sekali aku memanggil dan
menginterogasinya, tetapi segera aku urungkan. Bukan cara yang tepat pikirku. Belum tentu bisa
menyelesaikan masalah. Harus ada cara lain.

Waktu aku ke perpustakaan aku bertemu beberapa teman Joni. Kucoba mengorek informasi
tentang Joni dan Mamat. Aku coba gabung dengan anak-anak yang lagi nonton tayangan film Warkop
DKI. Ya, perpustakaan sekolah sering menayangkan film atau video klip musik ketika jam istirahat.

“Wah, seru nih nonton filmnya,” sapaku.

“Iya, Pak. Stres habis ulangan matematika,” jawab mereka hampir serempak.

“Memangnya kamu tidak belajar,” tanyaku lagi.

“Belajar sih, Pak, tapi Pak Nopri keliling terus jadi kami kurang konsentrasi,” jawab Moni.

“Ooo, kurang konsentrasi atau ndak bisa nyontek?” kataku lagi.

“Ih, Bapak tahu aja …,” jawab Shinta.

“Ooo iya, jam berapa tadi Joni masuk kelas,” kataku mengalihkan pembicaraan.

“Ndak masuk hari ini, Pak,” jawab Moni.

“Yang betul?” tanyaku menyelidik.

“Betul, Pak, kan Bapak tadi dari kelas kami,” jawab Tiwi.

“Itu tadi Bapak lihat Joni dan Mamat pergi ke kantin,” kataku lagi

“Eh, anu, Pak …,” jawab Tiwi dengan gugup. Seperti ada sesuatu yang ditakutkan. Dua orang
temannya juga ikut-ikutan diam. Pura-pura asyik nonton film Warkop. Sepertinya ada sesuatu yang
disembunyikan. Sebetulnya bisa saja akun mendesak mereka mengatakan yang sebenarnya. Tetapi
karena semakin banyak siswa yang masuk ke perpustakaan niat itu aku urungkan.

Segera aku tinggalkan ruang perpustakaan, bergegas ke ruang guru untuk sekadar minum teh
hangat dan beberapa potong kue yang telah disediakan sekolah. Bersendau gurau bersama rekan
sejawat. Sekedar berbagi cerita tentang mengajar ataupun cerita keluarga. Kulihat Pak Nopri sudah
asyik mengoreksi hasil ulangan. Beliau memang salah satu guru favorit di sekolahku. Kata anak-anak
cara menjelaskan materi matematika enak dan mudah di pahami. Banyak yang dulunya tidak suka
pelajaran matematika sekarang jadi suka.

“Serius amat, Pak,” sapaku ketika mendekati mejanya,

“Ah, tidak Pak Totok, mumpung masih dikit langsung dikoreksi,” jawabnya sambil meletakan
hasil pekerjaan siswa.

“Tadi semua siswa ikut ulangan, ya?” tanyaku.

“Iya, tiga puluh enam siswa,” jawab Pak Nopri setelah nyeruput teh.

“Termasuk Joni dan Mamat?” tanyaku lagi

“Iya, Pak, Memang ada apa?” jawab Pak Nopri agak heran.

“Pas jam pelajaran saya tadi dia tidak ada. Kata temannya sih tidak masuk. Tetapi pas jam
istirahat saya lihat dia berjalan ke kantin,” kataku memberi penjelasan.

“Memang seperti itu, Pak, kalau jam pertama sering tidak ada,” kata Bu Umi guru sosiologi.

“Hari senin kemarin dia juga tidak ikut upacara,” celetuk Bu Dewi.

“Kemarin pas saya mengajar ada kok,” kata Pak Abu guru agama menimpali.

“Jadi tidak dengan semua guru dia bersikap demikian,” kataku.

“Sepertinya tidak. Suka-suka dia nampaknya,” jawab Bu Umi.

Diskusi tentang perilaku Joni terpaksa berakhir ketika bel tanda masuk berbunyi. Waktu
istirahat telah habis. Sebagian besar guru segera bergegas menuju kelas. Hanya beberapa orang yang
masih berada di ruang guru. Semuanya asyik dengan pekerjaan masing-masing. Mengajak mereka
ngobrol tentu bukan pilihan tepat. Untuk mengatasi rasa gabut menunggu jatah mengajar pada jam
terakhir aku jalan-jalan di lingkungan sekolah. Naluriku mengajak memastikan informasi yang samar-
samar kudengar. Ada beberapa tempat favorit yang katanya jadi tempat nongkrong siswa ketika
mereka terlambat masuk atau ada jam pelajaran kosong.

Pintu gerbang sudah dikunci lagi. Kulihat Pak Hari sudah duduk di pos satpam. Dia asyik nonton
tivi 14 inch pemberian siswa yang lulus tahun kemarin.

“Apa acara tivi, Pak Hari?” sapaku.

… dst (bersambung, masih ada 3 halaman lagi)

Anda mungkin juga menyukai