Anda di halaman 1dari 6

Problema Kepala Sekolah Baru

Semua suasana sekolah mendadak berbeda 180 derajat. Dimulai dari warna cat bangunan yang menjadi
hijau sampai dengan beberapa peraturan diperketat. Hal itu dikarenakan kedatangan kepala sekolah
baru, yang bernama Pak Wira.

Anto murid kelas 9 SMP muak dengan perubahan sekolah yang drastis. Bagaimana tidak sekolah dimulai
dari jam 6.45 lalu dilanjutkan sholat dhuha berjamaah. Sementara sebelum kedatangan kepala sekolah
baru, gerbang ditutup pukul 07.10. Apalagi sekarang, waktu jam istirahat dikurangi 10 menit.

Sebenarnya Anto tergolong anak yang rajin dan pintar. Tetapi, ia selalu mendengar keluhan dari teman-
temannya tentang hal tersebut, sampai akhirnya ia pun ikut kesal terhadap peraturan yang baru.

Suatu hari, ketika Anto sedang asik bercanda bersama teman-temannya di depan kelas, Pak Wira
melintasi kelas Anto tersebut. Reaksi pertama kali anak-anak ketika mengetahui Pak Wira mendekat
adalah berhamburan dan segera memasuki kelas. Sementara Anto dengan santai mengikuti teman-
temannya dari belakang, sambil disusul Pak Wira yang memasuki kelas juga.

“Lagi nggak ada guru ya? Pelajaran siapa?” Tanya Pak Wira dengan nada tegas.

“Pelajaran Olahraga, Pak. Cuma gurunya berhalangan hadir dan dikasih tugas menulis,” jawab Lala yang
duduk di kursi depan.

“Yaa dikerjain, waktunya belajar ya belajar, waktunya istirahat ya istirahat,”

Tiba-tiba dari kursi belakang Anto bersuara,“Gimana mau istirahat, Pak. Waktu istirahatnya aja
dikurangin.”

Sontak anak-anak pun bersorak. Celetukan Anto yang berani seolah menyuarakan isi hati murid-murid
kepada kepala sekolah. Sementara, Pak Anto hanya tersenyum legowo. Mimik mukanya yang tadinya
serius berubah menjadi lebih ramah.

“Kalian tau nggak, skill yang dibutuhkan di masa depan adalah time management? Orang yang nggak
punya skill tersebut, bakal males-malesan dan menunda pekerjaan sampe akhirnya nggak bisa
berkembang. Itulah fungsinya peraturan di sekolah ini. Gunanya ya biar kalian terbiasa mengatur
kegiatan yang efektif walaupun waktunya mepet.”

“Tapi Pak..” Anto berusaha menyangkal kembali.

“Tapi apa? Toh saya juga buat jadwal pulang jadi lebih cepet kan?”

Anak-anak pun terdiam dan suasana senyap. Waktu istirahat dipersingkat dan jadwal masuk lebih pagi
memang berguna untuk mereka. Apalagi waktu pulang menjadi lebih awal di jam 14.00, padahal
sebelumnya pukul 15.00. Mereka pun akhirnya setuju dan tidak ada yang memperdebatkan peraturan
tersebut lagi.
Perpisahan Sekolah

Waktu di sekolah memang hanya tiga tahun, tapi kenangannya tak pernah hilang dari ingatan. Begitulah
aku mengingat kisahku di umur 17 tahun. Di umur tersebut memang masa terbaik yang tak akan
kembali. Masa mencari jati diri, melakukan hal-hal yang salah, serta mengenal arti pertemanan.

Semua itu dimulai ketika aku masuk SMA dan bertemu dengan teman-teman sekelas yang sangat
menyenangkan. Di sela-sela kepenatan tugas, kami selalu berbincang dan bermain gitar. Bahkan diam-
diam keluar kelas dengan izin ke kamar mandi, padahal pergi ke kantin.

Sampai suatu hari kegiatan nakal tersebut diketahui oleh Pak Yanto yang terkenal tegas dan galak. Aku
dan kelima temanku bergiliran izin ke toilet, padahal kami sedang ada pelajaran Fisika. Awalnya masih
merasa aman saja, aku dan teman-temanku membeli siomay dan bercengkrama.

Lalu tiba-tiba Pak Yanto yang sedang piket menemukan kami dan membawa kami ke tengah lapangan.
Pak Yanto semakin marah ketika ia mengetahui bahwa ada guru yang sedang mengajar di kelas kami.

“Kalian ini nggak menghormati guru!” Bentak Pak Yanto sambil menjemur kami di lapangan beraspal ini.
“Kamu lagi Rudi! Nggak biasanya kamu nongkrong waktu kelas berlangsung. Atau ini baru ketauan ya?
Kamu biasanya ikut nongkrong juga kan?” Ia mencecarku karena sebenarnya aku bisa dibilang sebagai
anak yang rajin.

Setelah Pak Yanto puas memarahi kami, bel istirahat pun berdering. Banyak murid-murid di sekolah
yang melihat. Pak Yanto pun menyuruh kami kembali ke kelas dengan syarat tak mengulanginya lagi.

“Rud, kalo orang lain nggak mau nilai kamu buruk, mending nggak usah gabung sama kami” Toni
bersuara ketika aku dan teman-teman berjalan menuju kelas.

“Loh, kok gitu?” Aku cukup bingung “Aku baik-baik aja dan dibuat seneng aja, kok. Lagian aku emang
mau dan senang main sama kalian.” tegasku kepadanya.

“Bagus deh kalo kamu ngerasa gitu. Semoga kita semua punya banyak kenangan ya di SMA” Toni
bernapas lega mendengar jawabanku. Ia pun tidak mau kehilangan momen SMA nya, hingga akhirnya
kami pun sering melakukan hal-hal yang positif. Seperti mengikuti ekstrakulikuler band.
Waktu terus berlalu. Hingga di hari perpisahan, aku memeluk kelima sahabatku, terutama Toni. Kami
akan berpisah jauh, karena aku mendapatkan beasiswa kuliah di luar negeri.

Sampai saat ini, hingga umurku sekarang menginjak 30 tahun, aku masih tidak melupakan kenangan
masa SMA ku.
Problem Sekolah Menjadi Cerita Saat Berpisah

Semua suasana sekolah mendadak berbeda 180 derajat. Dimulai dari warna cat bangunan yang menjadi
hijau sampai dengan beberapa peraturan diperketat. Hal itu dikarenakan kedatangan kepala sekolah
baru, yang bernama Pak Wira.

Sebenarnya Anto tergolong anak yang rajin dan pintar. Tetapi, ia selalu mendengar keluhan dari teman-
temannya tentang hal tersebut, sampai akhirnya ia pun ikut kesal terhadap peraturan yang baru.

Suatu hari, ketika Anto sedang asik bercanda bersama teman-temannya di depan kelas, Pak Wira
melintasi kelas Anto tersebut. Reaksi pertama kali anak-anak ketika mengetahui Pak Wira mendekat
adalah berhamburan dan segera memasuki kelas. Sementara Anto dengan santai mengikuti teman-
temannya dari belakang, sambil disusul Pak Wira yang memasuki kelas juga.

Tiba-tiba dari kursi belakang Anto bersuara,“Gimana mau istirahat, Pak. Waktu istirahatnya aja
dikurangin.”

Sontak anak-anak pun bersorak. Celetukan Anto yang berani seolah menyuarakan isi hati murid-murid
kepada kepala sekolah. Sementara, Pak Anto hanya tersenyum legowo. Mimik mukanya yang tadinya
serius berubah menjadi lebih ramah.

“Kalian tau nggak, skill yang dibutuhkan di masa depan adalah time management? Orang yang nggak
punya skill tersebut, bakal males-malesan dan menunda pekerjaan sampe akhirnya nggak bisa
berkembang. Itulah fungsinya peraturan di sekolah ini. Gunanya ya biar kalian terbiasa mengatur
kegiatan yang efektif walaupun waktunya mepet.”

Anak-anak pun terdiam dan suasana senyap. Waktu istirahat dipersingkat dan jadwal masuk lebih pagi
memang berguna untuk mereka. Apalagi waktu pulang menjadi lebih awal di jam 14.00, padahal
sebelumnya pukul 15.00. Mereka pun akhirnya setuju dan tidak ada yang memperdebatkan peraturan
tersebut lagi.
Waktu di sekolah memang hanya tiga tahun, tapi kenangannya tak pernah hilang dari ingatan. Begitulah
aku mengingat kisahku di umur 17 tahun. Di umur tersebut memang masa terbaik yang tak akan
kembali. Masa mencari jati diri, melakukan hal-hal yang salah, serta mengenal arti pertemanan.

Semua itu dimulai ketika aku masuk SMA dan bertemu dengan teman-teman sekelas yang sangat
menyenangkan. Di sela-sela kepenatan tugas, kami selalu berbincang dan bermain gitar. Bahkan diam-
diam keluar kelas dengan izin ke kamar mandi, padahal pergi ke kantin.

Sampai suatu hari kegiatan nakal tersebut diketahui oleh Pak Yanto yang terkenal tegas dan galak. Aku
dan kelima temanku bergiliran izin ke toilet, padahal kami sedang ada pelajaran Fisika. Awalnya masih
merasa aman saja, aku dan teman-temanku membeli siomay dan bercengkrama.

“Kalian ini nggak menghormati guru!” Bentak Pak Yanto sambil menjemur kami di lapangan beraspal ini.
“Kamu lagi Rudi! Nggak biasanya kamu nongkrong waktu kelas berlangsung. Atau ini baru ketauan ya?
Kamu biasanya ikut nongkrong juga kan?” Ia mencecarku karena sebenarnya aku bisa dibilang sebagai
anak yang rajin.

“Rud, kalo orang lain nggak mau nilai kamu buruk, mending nggak usah gabung sama kami” Toni
bersuara ketika aku dan teman-teman berjalan menuju kelas.

“Loh, kok gitu?” Aku cukup bingung “Aku baik-baik aja dan dibuat seneng aja, kok. Lagian aku emang
mau dan senang main sama kalian.” tegasku kepadanya.

“Bagus deh kalo kamu ngerasa gitu. Semoga kita semua punya banyak kenangan ya di SMA” Toni
bernapas lega mendengar jawabanku. Ia pun tidak mau kehilangan momen SMA nya, hingga akhirnya
kami pun sering melakukan hal-hal yang positif. Seperti mengikuti ekstrakulikuler band.

Waktu terus berlalu. Hingga di hari perpisahan, aku memeluk kelima sahabatku, terutama Toni. Kami
akan berpisah jauh, karena aku mendapatkan beasiswa kuliah di luar negeri.

Sampai saat ini, hingga umurku sekarang menginjak 30 tahun, aku masih tidak melupakan kenangan
masa SMA ku.

Anda mungkin juga menyukai