Anda di halaman 1dari 6

NASKAH DRAMA 5

Sebuah nuansa pagi hari yang cukup cerah. Jenitama dan Voni, dua orang siswa kelas VII sedang asyik membaca buku
Biologi diperpustakaan sekolah. Pasalnya nanti siang akan ada ulangan harian mata pelajaran tersebut. Kemudian datanglah
Anggira, salah satu sahabat mereka.
Anggira: Mit, Von, rajin sekali kalian berdua!
Jenitama: Iya lah, tugas kita sebagai pelajar kan memang harus belajar. Hehehe
Anggira: Iya juga sih. Eh Oya kalian tahu tidak, ada siswa baru yang akan masuk ke kelas kita hari ini.
Voni: Oh ya, siapa namanya? Lelaki atau perempuan?
Anggira: Lelaki, tapi aku juga belum tahu siapa namanya dan seperti apa rupanya.
[Bel sekolah berbunyi]
Jenitama: Eh ayo masuk kelas!
[Ketiganya memasuki ruang kelas. Bu Guru masuk bersama seorang siswa baru.]
Bu Guru: Selamat pagi, anak-anak. Hari ini kita kedatangan teman baru dari Sulawesi, ia akan menjadi teman sekelas
kalian. Silakan perkenalkan dirimu, nak!
Wantara
Wantara: Selamat pagi, sahabatku. Nama saya Muhammad Wantara. Saya berasal dari Sulawesi.
Jenitama [berbisik pada Anggira]: Jauh sekali ya, dari Sulawesi pindah ke Bandung!
[Anggira hanya mengangguk petanda setuju]
Bu Guru: Wantara, kamu duduk di belakang Voni ya [menunjuk sebuah meja kosong]. Untuk sementara kamu duduk
sendiri dahulu karena jumlah siswa di kelas ini ganjil.
[Wantara segera duduk di kursi yang disediakan]
Bu Guru: Ya baiklah, sekarang kita mulai pelajaran hari ini. Buka buku kalian di halaman 48.
[Pelajaran pun dimulai]
Tiba saatnya jam istirahat. Wantara, yang belum memiliki teman, diam saja duduk di kursinya sambil menunduk. Rupanya
belum ada yang mau mendekati Wantara. Semua siswa di kelas itu masih sungkan dan hanya mau tersenyum saja padanya
tanpa berani mengajak ngobrol lebih lanjut.
Voni: Psst, Mit, Nggi, coba lihat anak baru itu, sendirian saja ya! [berbisik pada Jenitama dan Anggira saat mereka baru
kembali dari kantin]
Jenitama: Ayo kita dekati saja. [Ketiganya menghampiri Wantara]
Anggira: Hei, Wantara. Kenalkan, aku Anggira, ini Wantara dan Jenitama [menunjuk kedua temannya].
[Ketiganya duduk di sekeliling Wantara]
Wantara: Hai, salam kenal.
Voni: Kamu kok tidak jajan ke kantin?
Wantara: Aku Aku bawa bekal makanan [pelan sekali, sambil tertunduk].
Jenitama: Oh begitu, rajin sekali kamu, Wan!
[Keempat siswa ini mulai terlibat obrolan ringan sehingga Wantara merasa ditemani]
Saat jam pulang sekolah, Bu Guru memAnggiral Anggira dan Voni yang hendak pulang ke rumah.
Bu Guru: Anggira, Voni! Ke sini sebentar. Ibu mau menanyakan sesuatu.
[Anggira dan Voni menghampiri Bu Guru]
Voni: Ada apa, Bu?
Bu Guru: Itu, bagaimana perilaku Wantara di kelas? Apakah ia bisa membaur?
Voni: Dia agak pendiam, Bu. Dan suka menunduk saat berbicara.
Anggira: Tadi di jam istirahat, kami berdua dan Jenitama berusaha mendekatinya. Kami mengobrol cukup lama, ia anak
yang baik kok, hanya saja ia seperti agak kurang percaya diri dan muram.
Bu Guru: Hmm begitu ya. Anak-anak, Wantara adalah salah satu korban selamat tragedi tsunami Sulawesi beberapa
bulan yang lalu. Kedua orang tuanya tewas terhempas ombak. Kini hanya tinggal ia dan adik perempuannya, Annisa.
Annisa masih duduk di kelas 4 SD, di SD V kota kita ini.
Anggira: Ya Tuhan, sungguh berat cobaan yang menimpanya
Bu Guru: Iya. Untungnya, seorang pamannya tinggal di Bandung sehingga ia dan adiknya tinggal di sini. Mereka tergolong
masyarakat prasejahtera, sehingga Wantara benar-benar harus berhemat. Pamannya berkata pada Ibu tadi pagi, ia tak
mampu memberi uang jajan yang cukup untuk Wantara sehingga Wantara harus bekal nasi setiap hari agar tidak lapar di
sekolah.
Voni: Oh pantas saja tadi jam istirahat ia tidak ke kantin.
Bu Guru: Ya sudah, Ibu cuma mau bilang begitu. Kalian berbaik-baiklah dengannya. Temani dia agar tak merasa kesepian
dan terus berduka.
[Anggira dan Voni pamit kemudian pulang]
Di rumahnya, Voni terus menerus memikirkan teman barunya, Wantara. Akhirnya ia mendapatkan suatu ide.
Dikabarkannya Anggira dan Jenitama melalui SMS. Keesokan harinya di jam istirahat.
Voni: Eh, kalian membawa apa yang aku bilang kemarin, kan?
Jenitama: Bawa lah. Yuuuk kita dekati Wantara.
Anggira: Wantara, bolehkah kami bertiga makan bersama kamu?
Wantara: [kikuk dan kebingungan] Eh, eemm.. boleh saja..
Voni, Anggira, dan Jenitama mengeluarkan makanan mereka. Ketiganya juga membawa makanan cemilan untuk dimakan
secara bersama-sama, tentu saja Wantara juga kebagian. Dengan makan bersama setiap hari, mereka berharap bisa membuat
Wantara lebih ceria. Setelah makan
Wantara: Terima kasih, sahabatku. Kalian cukup baik kepadaku.
Jenitama: Kamu ini bicara apa, sih? Kita kan teman, wajar saja jika kita saling bersikap baik.
Semenjak saat itu Wantara menjadi semakin kuat karena mendapat dukungan dari sahabat barunya. Siswa-siswi lain di
kelas itu pun banyak yang bergabung membawa bekal untuk dimakan bersama-sama pada jam istirahat, dan suasana
semakin terasa cukup menyenangkan.
NASKAH DRAMA 3
Suatu ketika disaat keadilan sudah menjadi kata yang punah. Sedang diadakannya ujian semester. Adi dan Banu duduk
sebangku, Sita dan Dini duduk sebangku di depannya, sedangkan Budi duduk sendiri disamping Banu.
Mata pelajaran yang sedang di ujiankan adalah matematika, semua murid terlihat kebingungan dan kewalahan melihat
soalnya. Dan terjadi lah percakapan antara 5 sekawan, Adi, Budi, Banu, Sita dan Dini.
Dialog
Banu: Din, aku minta jawaban soal nomor 5 dan 6!
Dini: A dan C
Sita: kalau soal nomor 10,11 dan 15 jawabannya apa Ban?
Banu: 10 A, 11 D, nomor 15 aku belum
Adi: Huss, jangan kencang-kencang nanti gurunya dengar
Sita: soalnya sulit sekali, masih banyak yang belum aku kerjakan
Mereka berempat saling contek-mencontek seperti pelajar lainnya. Tapi tidak dengan Budi, ia terlihat rileks dan
mengerjakan soal ujian sendiri tanpa mencontek.
Banu: Bud,kamu sudah selesai?
Budi: Belum, tinggal 3 soal lagi
Banu: Aku minta jawaban nomor 15 sampai 20 Bud!
Budi: Tidak Bisa Ban,
Banu: Kenapa? Kita sahabat bud, kita harus kerjasama
Dini: Iya Bud, kita harus kerja sama
Adi: Iya, kamu kan yang paling pintar disini bud
Budi: tapi bukan kerjasama seperti ini teman-teman
Sita: Kenapa memang Bud? Hanya 5 soal saja!
Budi: Mencontek atau pun memberi contek adalah hal buruk, yang dosa nya sama. Aku tidak mau mencotek karena
dosa, begitu pula member contek ke kalian. Aku minta maaf
Sita: Tapi saat ini, sangat mendesak Bud
Dini: Iya Bud, bantu kami
Budi: tetap tidak bisa
Adi: yasudah, biarkan. Urus saja dirimu sendiri Bud, dan kami urus diri kami sendiri. (marah dan
kesal)
Banu: biarkan, kita lihat di buku saja
Banu lalu mengeluarkan buku dari kolong bangkunya secara diam-diam, kemudian melihat rumus dan jawaban di
dalamnya. Lalu Sita menanyakan hasilnya.
Sita: Bagaimana Ban? Ada tidak?
Banu: ada, kalian dengar ya. 15 A, 16 D, 17 D, 18 B, 19 A, 20 C
Karena suara Banu yang agak terdengar keras, Guru pun mendengarnya dan menghampiri mereka berempat.
Guru: Kalian ini, mencontek terus. Keluar kalian
Mereka berempat di hukum di lapangan untuk menghormati tiang bendera.
Banu: Aku tidak menyangka akan seperti ini
Dini: Aku juga tidak menyangka, akan dihukum
Sita: Seharusnya kita belajar ya
Adi: Iya, Budi benar
Banu: Disaat seperti ini, baru kita menyadarinya yah!
Sita: Aku menyesal!
Adi,Dini&Banu: Aku juga bersama
Setelah itu Budi keluar dari kelas dan menghampiri mereka. Kemudian Budi ikut berdiri hormat seperti yang lain.
Dini: kenapa bud? Kamu di hukum juga?
Budi: Tidak, aku ingin menjalani hukuman kalian juga.
Kita sahabat kan? Aku ingin kita bersama
Sita: aku berharap ini menjadi pelajaran kita semua
Dini: dan tidak kita ulangi lagi
Adi: Kita sahabat sejati
Lalu mereka semua menjalani hukuman dengan penuh senyum dan tawa. Persahabatan akan mengalahkan segala
keburukan.
Suatu ketika handphone Fensa bergetar di pagi hari, suatu hal yang tidak lumrah sebab nomor yang etrtera adalah nomor
kakanya, Noftavia. Merasakan ada hal yang aneh, di pagi buta sudah menelfon padahal biasanya cukup mengirimkan pesan
singkat. Fensa langsung mengangkat pada deringan yang pertama.
Fensa:Halo.. Assalamualaikum..
Noftavia:Waalaikumsalam.. Dek, bisa pulang ke rumah sekarang?
Fensa:Ada apa mbak?
Noftavia:Pulang bisa pagi ini juga?
Fensa:Ada apa dulu, aku harus berangkat kerja. Kalau alasan tidak masuk tidak jelas bisa dikeluarkan!
Noftavia:Ibu dek, ibu masuik rumah sakit. Diabetesnya ternyata belum sembuh total. Pulang dulu, tengok ibu. Siapa tahu
keadaanya bisa lebih baik.
Seketika tumpah air mata Fensa medengar sang ibu, yang merupakan pecutnya bekerja dengan giat. Kini terbaring di rumah
sakit, ketakutan itu seketika muncul. Namun fensa berusaha menepis dengan kuat.
Fensa:Iya, aku pulang sekarang!
Telepon ditutup segera, Fensa langsung menymbar tas punggungnya ia masukkan sepasang baju yang mudah diraih.
Membawa barang seperlunya, dan bergegas menuju ke halte bus terdekat. Sepanjang perjalanan, air mata tak bis
adibendung seperti air bah banjir Jakarta yang turun dari wilayah Bogor. Fensa sudah tidak peduli dengan sekeliling yang
terus mengamati, sebab dalam benaknya hanya ada ibu, ibu, dan ibu. Tidak ada yang lain lagi.
Setelah tiga jam perjalanan yang melelahkan dan panjang, akhirnya Fensa sampai di rumah sakit di kabupaten kota
kelahirannya. Ia bergegas memencet nomor kakaknya, Noftavia menanyakan ruang rawat sang ibu.
Noftavia:Di ruang manggis, kamar no 4 ya dek. Disini ada dokter yang masih memeriksa ibu..
Fensa:Iya kak..
Sampailah Fensa di kamar sang ibu, di samping ranjang ada dokter dan perawat serta kakanya tersayang. Sementara di
ranjang pesakitan, kini terbaring tubuh malaikat penyemangatnya selama ini. Kaget Fensa melihat keadaan ibunya, namun
sang ibu bukannya terlihat sakit tak berdaya. Justrus eulas senyum tersungging penuh ikhlas dan penawar rasa khawatir.
Fensa:Ibu wajahnya kok bisa begini?
Ibu:Tidak apa-apa..
Fensa:Dok, ibu kok bisa begini kenapa?
Dokter:Ada komplikasi yang cukup rumit dari diabetes yang diderita ibu anda.
Fensa:Apa itu?
Dokter:Ada komplikasi di saluran pencernaan, yakni usus dan lambung. Paling para komplikasi di ginjal. Sehingga
membuat ibu anda sukar membuang sampah dlaam tubuhnya mbak.
Noftavia:Sudah 2 hari kemarin ibu tidak bisa buang air kecil maupun besar, tidak juga bisa keluar keringat dek..
Dokter:cairan yang tidak bisa keluar, baik keringat maupun air seni karen aginjal yang terganggu. Mengakibatkan kulit ibu
anda menggembung berisi cairan. Untuk sementara mengguankan infus khusus agar bisa kencing dan berkeringat.
Fensa:Apakah bisa diatasi dok?
Dokter:Untuk sementara bisa dengan infus ini. Namun selebihnya semoga diberikan kemudahan dari-Nya!
Noftavia:Saya masih bingung dok, apa penyebab komplikasi ginjal ini?
Dokter:Dari hasil pemeriksaan, ibu saudara sepertinya sering mengkonsumsi minuman instan. Padahal tidak baik bagi
penderita diabetes, penumpukan ini berakibat pada ginjal ibu anda.
Terkejut sudah pasti, namun tetap saja hanya bisa tabah dan berusaha menjalani cobaan ini dengan selalu berhusnuzdon
pada-Nya. Sang dokter meninggalkan ruangan, beserta perawatanya.
Noftavia:Tadinya ingin rawat jalan saja agar lebih hemat, tapi dokter tidak mengijinkan. Kondisi ibu tidak stabil dek, obat
infus ini mahalnya luar biasa. Ibu juga tidak mau makan nasi, hanya mau makan buah. Itupun tidak seberapa jumlahnya.
Tangisan kini berderai makin deras, Fensa tidak kuasa untuk tidak menahannya. Merasa bersalah, membiarkan ibunya
memperburuk kesehatan yang sudah kurang baik sedari dulu oleh diabetes. Sang ibu memang gemar minum minuman yang
manis, apalagi jika minum minuman instan yang praktis cara membuatnya. Namun nasi sudah menjadi bubur, berharap
ibunya bisa bertahan dan melalui ini semua adalah jalan yang terbaik.
Fensa:Soal biaya nanti dipikirkan, sekarang biar ibu sehat dulu.
Noftavia:Iya dek, tapi mau dapat uang darimana? Seharusnya kita ikutkan ibu asuransi kesehatan agar tidak tunggang
langgang begini.
Fensa:Sudah kak, jangan disesali. Kalau sudah rezeki tidak akan kemana, toh ini ibu kita, ibu yang baik. Dan selalu
beramal dengan sesamanya. Pasti kita diberikan jalan.
Noftavia:Semoga saja
Siang ini kedua saudara saling menguatkan satu sama lain, saling berjanji saat ibu sudah sehat mereka akan memperhatikan
hal remeh sekalipun. Tanpa terkecuali perihal minuman yang dianggap sepele.
Ibu:Kapan sampai sa?
Fensa:Barusan bu.. ibu kenapa tidak mau makan? Nanti gak bisa minum obat, kapan sembuhnya?
Ibu:gak apa-apa.
Fensa:Ibu selalu saja bilang gak apa-apa. Yang sakit apa bu? Perutnya sakit kalau makan?
Pertanyaan ini hanya dijawab dengan gelengan, Fensa semakin sedih. Wajah dan sekujur tubuh ibunya terlihat penuh
keriput. Karen akulit yang tadinya menggembung karena penumpukan cairan kini tepah kempis dan meinggalkan bekas.
Bekas yang sangat menyakitkan, mencerminkan penderitaan ibunya yang tidak perbah diungkapkan kepada kedua putrinya.
Setelah seminggu di rumah sakit, akhirnya sang ibu boleh pulang. Namun setelah melakukan permohonan dengan sangat
kepada tim dokter. Sebab keterbatasan biaya, yang membuat merawat di rumah sakit menjadi amat sangat berat. Keputusan
yang diambil sudah bulat, ibu akan dirawat di rumah oleh Noftavia. Sebab fensa harus ebkerja untuk mencari biaya berobat
sang ibu setiap bulannya. Semakin hari keadaan ibu memang semakin membaik, meskipun sejak keluar dari rumah sakit.
Sang ibu suda tidak pernah lagi berpijak di tanah dengan kedua kakinya. Kesehatan itu mahal harganya, sakit berat
seharusnya tetap dijaga asupan konsumsi hariannya
Brandon : Pesen yang banyak deh! Nanti aku yang bayar. Pokoknya kalian harus makan sampe kenyang.
Tommy : Baru gajian ya? Kok royal banget sih?
Brandon : Bawel ah! Mau ditraktir nggak nih?
Anna : Ya jelas mau lah! Hari ini kan giliran kamu yang keluar duit.
Tidak lama kemudian Elsa datang menghampiri meja dimana mereka duduk. Ia baru pamit dari toilet untuk menerima
telepon.
Anna : Elsa kenapa? Kok sedih? Pamali loh sabtu-sabtu murung gitu!
Ivan : Iya kenapa sih, Sa? Dompetmu hilang?
Brandon dan Tommy tertawa menimpali lelucon Ivan tesebut.
Elsa : Mamaku barusan telepon. Dia bilang papaku bangkrut. Semua rumah, mobil dan tabungan di bank ludes. (Terisak
pelan) kami harus pindah ke tempat tinggal yang lebih kumuh. Parahnya lagi semua kebangkrutan ini karena papa terlibat
kasus korupsi dan sekarang dia menjadi buronan polisi (Menangis)
Brandon : HAH? Yang bener?!
Ivan : Berarti kamu anak buronan?!
Anna : Kamu jatuh miskin sekarang, Sa?
Brandon, Ivan, Anna dan Tommy memasang raut muka tegang dan memandang hina kepada Elsa yang sedang menangis.
Elsa : Aku sudah nggak punya apa-apa sekarang, tapi kalian masih mau kan temenan sama aku? Kita kan bersahabat sejak
lima tahun lalu.
Anna menjauhkan kursinya yang tadinya berada di dekat kursi Elsa. Ia merapat kearah Brandon yang berada disebelahnya.
Anna : Ya, kamu tahu sendiri lah, Sa kita ini sekumpulan pemuda-pemuda kaya. Jadi, mana mungkin kamu bisa menuruti
gaya hidup kita?
Tommy : Mending kamu pulang dan tengok keadaan orang tuamu, Sa.
Ivan dan Brandon hanya memandang dingin kearah Elsa. Elsa pun menatap mereka dengan tatapan yang sangat sedih.
Elsa : Kupikir persahabatan kita selama lima tahun ini berarti. Tetapi kita aku jatuh miskin, kalian menempakku begitu
saja!
Brandon : Sudahlah, Sa. Pulanglah. Betul tadi apa kata Tommy. Sudah bagus makananmu kubayari!
Elsa bangkit berdiri dari kursinya kemudian menatap sedih keempat temannya. Kemudian ia meninggalkan mereka dan
keluar dari cafe.
Ivan : Gila si Elsa, masa kita disuruh anggep dia teman sih. Sementara dia udah melarat. Aku jadi nggak nafsu makan.
Brandon : Sama nih, ya udah minta bill aja deh!
Tiba-tiba Anna yang sudah hampir sampai ke mobilnya, berlari menghampiri Brandon dan Ivan.
Anna : Guys! Barusan aku dapat kabar kalo ada seorang gadis yang ciri-cirinya mirip Elsa hendak lompat dari fly over!
Ivan : Serius?!
Anna : Masa kayak gini bohong? Coba cek handphone kalian!
Brandon dan Ivan mengecek handphone masing-masing dan menerima kabar yang sama dari pesan broadcast.
Brandon : Yuk, kita langsung ke fly over itu! Kamu bareng kita aja, Anna! Hubungi Tommy, suruh dia langsung kesana.
Anna, Ivan dan Brandon masuk kedalam mobil. Brandon mengemudikan mobil kearah fly over tempat dimana Elsa hendak
bunuh diri. Tiba-tiba di separuh perjalanan, handphone Ivan berbunyi dan raut muka Ivan berubah menjadi sangat tegang.
Ivan : Guys. Kita terlambat. Elsa melompat dari fly over tersebut dan ia tewas.
Brandon langsung menghentikan mobilnya. Anna menangis tersedu-sedu di jok belakang mobil.
Ivan : Kita langsung ke Rumah Sakit Permata Biru aja, jenazah Elsa dibawa kesana.
Brandon menarik nafas panjang kemudia mengemudikan mobilnya kearah rumah sakit itu.
Sesampainya disana, mereka bertiga berlari dan didepan ruang jenazah sudah ada ibu dan Helen, kakak Elsa yang duduk
membisu.
Anna berlari memeluk Helen.
Anna : Kak, maafkan kami. Ini semua salah kami. Kalau kami kasih support ke Elsa, pasti jadinya tidak akan begini. Tetapi
kami malah meninggalkan Elsa begitu saja saat ia membutuhkan kami.
Helen membalas pelukan Anna dan mengusap punggung Anna dengan lembut. Helen tidak dapat menahan air matanya.
Helen : Sudahlah, kami sudah memaafkan kalian. Ini semua sudah digariskan oleh Yang Maha Kuasa. Aku Cuma
memohon agar kalian terus mendoakan Elsa agar ia tenang disana.
Brandon dan Ivan terkesiap menatap Helen yang tidak marah kepada mereka dan malah memaafkannya.
Ivan : Kami mohon maaf sebesar-besarnya, Kak. Kami pasti terus mendoakan Elsa.
Helen : Tidak perlu minta maaf terus menerus, Van. Elsa hanya tidak kuat menerima kenyataan bahwa kami semua jatuh
miskin. Aku sangat mengerti karena sejak kecil ia hidup dengan bergelimang harta.
Brandon, Ivan dan Anna takjub akan kebesaran hati Helen dan semenjak itu mereka bertekad untuk lebih menghargai orang
lain dan tidak menggunakan uang sebagai tolak ukur.

Anda mungkin juga menyukai