Anda di halaman 1dari 63

Bab 1:

Prologue

“…mereka harus melakukannya sesuai aturannya….” Suara itu terdengar sangat-


sangat lemah dari tempat duduk gue berada di belakang kelas.

Kebetulan di semester ini, gue mendapatkan kelas yang hampir setiap harinya berakhir
sangat sore. Dosen yang gue dapatkan sebenarnya tidaklah sembarangan, melainkan
seorang ahli di bidang Politik dan pernah menjabat di jajaran staf kepemerintahan negara

Saat ini, gue sedang duduk diantara dua sahabat wanita gue, Dewi dan Diny. Mereka berdua
sama-sama sibuk sendiri dengan laptopnya. Kalau Dewi sibuk mencatat lewat Microsoft
Word-nya, Diny malah membuka situs online shop untuk mencari kosmetik baru.

            “Belajar kali.” Bisik gue ke arah Diny


            “Elah kaya lo nyimak aja Ram”

Benar juga sih. Gue juga lagi sibuk sama laptop gue, bermain game Football Manager.
Karena gue baru kelar kelas jam setengah 5, gue sudah membayangkan betapa macetnya
perjalanan pulang ke rumah. Belum lagi ketika ada BBM masuk dari Alya menanyakan
pakah bisa menjemput dirinya atau tidak.

“Engga bisa dek. Aku aja masih dikelas” kata gue lewat bbm.

Waktu yang tersisa di kelas ini tinggal satu jam lagi, tapi berasa lama sekali.

Sangat tidak produktif.

Semester baru ini memang baru dimulai, tapi sudah memberikan kesedihan yang
mendalam buat gue secara pribadi. Sudah tiga bulan ini gue engga ketemu Gina. Meski ada
Skype, tapi itu engga menjamin bakal bisa skype-an tiap hari. Perbedaan 7 jam membuat
aktivitas gue dan dia pasti berbeda. Misalnya, gue udah jam makan siang, dia bangun aja
belum. Gue udah mau tidur, disana masih sore.

Jadi kalau emang engga bisa skype-an, ya paling tetap BBM aja.

Oh iya, Gina saat ini keluar dari UI dan sedang mengambil kuliah di London School of
Economics and Political Science. Seharusnya dia memulai kuliah lagi dari awal. Cuma
karena mendapatkan special condition terms, Gina pun dianggap sebagai mahasiswa
transfer dari Indonesia. Beberapa kali dia bercerita kalau orang Indonesia yang dia temui
di sana jauh lebih hangat daripada di Indonesia sendiri.

            “Aku kemarin ketemu beberapa anak mahasiswa yang tergabung di PPI dan mereka
benar-benar asik dan cerdas gitu.” Kata Gina saat menceritakan pengalaman pertamanya di
London.
Gue bersyukur kalau Gina bisa beradaptasi dan bisa berkenalan dengan beberapa
mahasiswa Indonesia di sana. Itu bisa membantunya untuk memperlancar penyelesaian
masa kuliahnya dan paling tidak bisa mengurangi masa-masa homesick.

Bulan Juli kemarin, gue berencana ke London buat nemuin dia sekalian menjenguk ibunya.
Maksud hati sih sekalian bisa liburan bareng dia di London selepas lebaran kemarin. Eh
ternyata, gue harus promo buat album baru band gue yang baru saja liris awal bulan Juli.
Asa gue untuk bertemu dia pun harus ditunda

“Yaudalah Ram, masih ada di lain waktu” Emil mencoba menenangkan gue saat
mengetahui padatnya jadwal promo band kita tidak hanya di Indonesia tetapi di Asia
Tenggara.
“Ya sedih aja, padahal gue udah bilang kalau gue bulan ini akan ke sana…” Keluh gue
sambil merangkul Emil di kantor manajemen band kita.

Sementara itu, Alya yang sekarang menginjak kelas 3 SMA mulai sering pulang malam
karena udah mulai mengambil kursus bimbingan belajar di Inten. Dan dia milih Inten
Fatmawati persis seperti gue waktu itu kelas tiga menjelang Ujian Nasional.

“Kenapa engga yang di Sambas aja dek?” tanya gue ketika dia bercerita di kamar gue
kalau dia sudah mendaftar di sana.
“Biar deket aja pulangnya. Apalagi kalau hari Sabtu” Jawab dia sambil melengos ke
kamar.

Yap, like brother like sister.

Lain halnya dengan cerita bokap gue yang hidupnya masih flat-flat aja, meski baru saja naik
jabatan di kantor perusahaan tempat beliau bekerja. Meski begitu, dia yang membantu gue
ketika mau promo album baru….dalam segi penjualan.

            “Nanti, kamu akan mendapati satu Disc Tarra (tempat penjualan cd) yang menjual
CD kamu, akan habis!” Bilang bokap gue dengan lantang.
            “Hah karena apa pah?” tanya gue sambil keselek saat minum es buah.
“Karena papa akan membeli semua, terus bagi-bagi ke temen papa di kantor!” Jawab
bokap dengan nada excited.

Setelah gue cek ke Disc Tarra yang ada di PIM, ternyata beneran ada laporan kalau salah
satu pembeli memborong habis album band gue. Pas gue tanya ke mbak-mbaknya ciri khas
pembeli, mbak-mbaknya bilang gini:

“Hmm agak gemuk gitu mas, kumisan, mukanya serem tapi kalau ketawa kenceng banget
sampai diliatin orang-orang sini”

Dari ciri khasnya udah ketebak kalau itu adalah bokap gue.
Dari semua orang yang sudah gue ceritakan, hanya Alya yang gue rasa mengalami
perubahan cukup drastis. Biasanya dia sangat memperhatikan penampilan atau
membicarakan laki-laki untuk mendapatkan gebetan, namun entah kenapa kali ini dia lebih
nyantai kalau mau pergi dan jauh lebih serius apabila sedang belajar.

“Aku mau fokus UN sama SBMPTN aja dulu deh kak. Soal cowok mah bisa
belakangan” Kata dia ketika gue tanya mengapa akhir-akhir ini Alya tidak bersedia
membahas tentang laki-laki.
“Bener ya? Aku pegang omongan kamu!”
“Eh jangan dong… Kalau ada cowok yang oke mah gapapa”

Sebenarnya, Alya termasuk anak yang diatas rata-rata untuk masalah akademis karena
semua nilai di raportnya menembus angka 7 atau 8. Beda jauh sama gue yang malah ada
beberapa yang mendapatkan nilai 6. Pas pengambilan raport bulan Juni lalu, gue yang
mendampingi Alya. Kebetulan wali kelasnya Alya adalah wali kelas gue juga saat kelas 1
SMA.

            “Hebat nih Alya, udah cantik pinter juga…” kata Bu Sri, wali kelasnya Alya.
            “Kaya kakaknya kan bu pinternya?”
            “Lah kamu aja ulangan remed terus Rama…”

Sontak Alya hanya tertawa terbahak-bahak dan Bu Sri pun juga cengengesan di depan
muka gue yang hanya senyum masam.

Rian, yang merupakan adiknya Gina, sekarang juga sedang melanjutkan SMA di London dan
sekaligus menimba ilmu sepakbola di akademinya Arsenal.

“Semuanya beda banget deh kak! Bersyukur banget bisa masuk sini.” Kata dia pas
gue lagi skype-an sama Gina.

Yang paling membahagiakan adalah keadaan nyokapnya sekarang sudah membaik meski
harus menjalani serangkaian pengobatan dan kemoterapi. Sayangnya, baik gue, Rian, Alya
dan Gina pun masih belum tahu apakah bokapnya Rian dan Gina sudan mengetahui kabar
kalau mantan istrinya ini sedang mengidap kanker dan telah dibawa ke London.

The Generation of Y sendiri sedang memasuki masa-masa sibuk promo album, main di
acara musik on-air maupun off-air, atau diundang ke radio. Mengingat banyaknya
permintaan dan juga banyak manusia di twitter menanyakan agenda konser ke berbagai
negara, akhirnya kami sepakat bahwa mulai Januari tahun depan kita akan memulai tur ke
berbagai negara. Mungkin yang dekat dulu seperti Singapura, Australia, Thailand hingga
Jepang.

“Lumayan broooo nambah popularitas. Lebih capek sih, tapi paling engga bisa eksis
banget ye gak?” Seru Wendi pas tau kita bakal keliling dunia sambil bernyanyi ria.
Dan yang paling penting, kisah cinta gue dan Gina semakin kuat meski jarak menjadi
halangan. Semakin lama yang ada semakin sayang dan semakin kangen. Pasti salah satu
dari kita bakal nyariin kalau engga ada kabar atau gimana. Satu BBM dari dia bisa merusak
segala aktivitas gue personal, karena gue bakal terus BBM-an sama dia.

“Pacaran terussss” kata Desta melihat gue sibuk memencet keyboard BB membalas


BBM-nya Gina.
“Yaelah Des biarin aja napa sih, namanya juga super LDR” timpal Reza yang sedang
duduk di sebrang gue.

Well at least, my life is quite perfect.

For now…

Bab 2
Misteri Tetangga Lama

“Kak, bangun!” Alya mendorong-mendorong badan gue yang masih nempel sama
guling dan kasur.
“Iyeeee” Gue langsung terbangun tetapi masih menguap dulu di kasur.
“Kenapa sih?” Tanya gue masih setengah sadar.
“Eh Kak, disuruh mama anter aku. Kan aku UTS hari ini!” Bilang dia masih dengan
mendorong-dorong badan gue.
“Iye bentar ngulet dulu.”

Dan akhirnya Alya langsung turun ke bawah. Kebetulan, hari Rabu ini, gue engga ada kelas,
dan pas banget Alya itu lagi UTS. Dan pelajarannya adalah Geografi serta Bahasa Inggris.

“Aku belum belajar samsek nih kak!” teriak Alya yang masih protes dengan
keleletan gue.

“RAMAAA IH AYO CEPET BANGUN! NANTI ALYA TELAT!”

Suara yang begitu menggetarkan seisi rumah, siapalagi kalau bukan nyokap.

“Iyaaaa maaa ini cuci muka dulu” seru gue dari kamar mandi.

Setelah semuanya beres meski tanpa mandi dan ganti sempak, gue langsung berangkat
anter Alya ke Alpus. Seperti biasa, jalanan macet meski baru jam 6 pagi.

“Kak, gimana sama kak Gina? Masih sering kontak-kontakan?” Tanya Alya sambil
membuka buku Geografi-nya
“Masihlah dek. Kamu gimana? Jangan sok fokus UN deh!”
“Haha ada kok, tapi belum deket-deket amat sih dan cowok ganteng gitu. Tapi bukan anak
Alpus”
“Lah anak mana?” Tanya gue keheranan
“Dia anak 70 kak. Sekelas Inten sama aku”
“Hooo siapa namanya?”
“Adalah…”
“Namanya adalah?”
“JAYUS”

Gue hanya tertawa agar suasana tidak garing

“Siapa sih?”
“Udahlah nanti aja aku kasih taunya. Masih belum jadian ini”

Tumben banget Alya gamau kasih nama gebetannya.

“Yakin dia belum punya pacar?”


“Yakiiin. Dia anak vespa gitu”
“Serius?”
“Iya. Aku pernah dibonceng dia”
“Pake helm engga?”
“…….engga kak”
“Hayoloh…” Kata gue setengah menakuti-nakuti Alya karena kalau bokap tahu bisa
marah besar.
“Kak jangan bilang ke papa deh ke papa ya plis plis” Alya mengemis-ngemis sambil
mendorong-dorong badan gue yang masih menyetir.
“IYA IYA YA ALLAH INI LAGI NYETIR!”

Kemudian percakapan gue terhenti saat mobil ini sudah sampai di Alpus. Alya pun
langsung turun dari pintu mobil dan setengah berlari menuju gerbang pintu masuk.

“Doain aku ya kak!” kemudian dia menghilang.

Gue langsung meluncur kembali ke rumah buat melanjutkan tidur gue. Karena hari masih
jam 7, dipastikan Gina masih terlelap di benua yang berbeda. Jadi ada baiknya gue
melanjutkan tidur gue selama mungkin sebelum nyokap mengambil alih kekuasaan rumah
dan gue bakal menjadi suruhan nyokap gue seharian penuh.

“Mas, engga sarapan?” tanya Mbak Tina ketika membukakan pintu rumah.
“Mau tidur” kata gue menuju ke tangga.

Nyokap tiba-tiba entah darimana mendengar suara gue dan menghampiri gue.

“Rama, kamu sarapan sekarang aja. Abis itu jam 9-an anterin mama belanja bulanan
ya” Kata nyokap yang sudah mandi dan rapi
Gue tidak percaya kalau keinginan gue untuk melanjutkan tidur harus kandas.

Setelah makan, mandi dan ganti baju, gue berencana mengantarkan nyokap ke Lotte Mart.
Namun di tengah jalan, mendadak nyokap berubah pikiran.

“Mama mau starbucks nih, jadinya ke Bintaro Plaza aja ya.” Kata nyokap pas mobil
baru saja gue arahkan ke jalan tol.

Setelah melayani dan menemani serta menjadi supirnya nyokap, gue menikmati hari-hari
di rumah dengan bermain PS, membuka laptop, makan, tidur, bangun lagi hingga Alya
datang dan masuk ke kamar gue ketika waktu sudah menunjukkan pukul tiga siang.

            “Gimana ujiannya?” tanya gue tanpa melihat dirinya karena lagi fokus buka laptop

Alya hanya berteriak mengeluh dengan nada ‘haaaaaah’ kemudian menjatuhkan dirinya ke


kasur.

            “Susah kak”
            “Berapa soal?”
            “Standar lah 50”
            “Yang ga bisa berapa?”
            “Yang ngasal sih setengahnya”

Gue masih menganggap itu maklum karena memang di SMA kami berdua, standar soalnya
cukup sulit.

            “Kamu ga Inten hari ini?” tanya gue yang masih fokus dengan layar laptop
            “Engga kak, aku ijin soalnya kan lagi UTS”
            “Hoo kirain mau ketemu gebetan baru kamu…”
“Hmmm somehow I’m not that intend to force myself gitu deh kak ga kaya dulu-dulu yang
sampai heboh sendiri ke kamu”
            “Lagi banyak pikiran kali kamu…”
“Engga juga sih…. Mungkin sejak kejadian aku sama Rian kali ya, aku lebih kaya going with
the flow…”

Ucapan Alya membuat gue menyadari kalau akhirnya Alya berada dalam posisi ‘ah
sudahlah’ seperti gue.

            “Tapi kak…” Alya melanjutkan pembicaraannya


            “….aku pengen deh kak pergi-pergi sendiri sama temen ke luar kota…”

Tentu itu adalah pembahasan yang mengagetkan sekaligus sulit untuk dijawab

            “Kan waktu ke Singapura kemaren udah…”


“Ya itu kan tetep ada orang tuanya. Aku selalu diceritain sama si cowok ini katanya naik
Vespa keliling Jakarta malem-malem atau berhenti di Puncak sama komunitasnya tuh seru.
Aku pengen ikutan gitu kadang-kadang…”
            “Kamu kan ga bisa naik motor, apalagi nyetir Vespa…”
“Ya bukan itunya, at least aku diijinin gitu sama mama kalau diajakin pergi nginep di
Bandung atau mana gitu sama temen-temen. Ga usah sama mama papa…”

Memang beberapa kali pas liburan, Alya selalu diajak liburan menginap di vila barengan
sama teman-teman ceweknya. Nah ada beberapa alasan mengapa Alya ga diperbolehkan
oleh nyokap. Yang pertama adalah karena engga aman, apalagi kalau isinya anak sekolahan
semua. Yang kedua adalah mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan. Apalagi kalau
cuma liburan dan ada anak cowoknya ketika menginap. Makanya nyokap itu mengizinkan
Alya liburan ke Singapura karena ada orang tua murid yang bisa dipercaya nyokap kalau di
sana terjadi apa-apa.

            “Kamu tau sendiri kan Al, mama sama papa baru bolehin aku kaya gitu pas kuliah.
Paling nanti pas kamu udah jadi mahasiswi baru dibolehin.”
Alya hanya cemberut dan tidak menatap ke muka gue. Dia langsung mengalihkan fokus ke
layar iPhone-nya.

Malam pun datang dan semua orang sudah di rumah kecuali bokap yang lagi keluar kota.
Oleh karena itu, nyokap memaksa Alya buat tidur bareng.

“Kak, kamu aja deh yang nemenin mama.” Kata Alya melas
“Ogah ah, aku nanti kayaknya tidur malem.”
“Lah mau ngapain?”
“Skype sama Gina lah!”

Lagi-lagi Alya hanya cemberut kemudian berjalan meninggalkan gue duluan ke meja untuk
makan malam.

Setelah selesai makan malam, gue langsung ke kamar dan buka skype. Tapi Gina
belum online, sehingga gue langsung BBM Gina memberitahukan kalau gue sudah di depan
laptop dan siap untuk Skype.

Kemudian Alya masuk ke kamar gue dengan wajah sedikit riang.

            “Gangguin kamu Skype boleh dong?” tanya Alya meledek jahil


            “Yaaaa boleeeeh”

Tiba-tiba ada telfon Skype masuk. Itu dari Gina! Tentu langsung gue angkat secepatnya,
apalagi videocall. Pas nyala, gue dan dia memasang senyuman bodoh, seperti dua manusia
yang selalu dimabuk cinta.

Yang sungguh membuat gue segara secepat mungkin bisa skype dengan dia adalah melihat
senyuman indahnya
“Cie bisa skype-an” gue membuka percakapan sambil menutup senyum malu-malu
ini dengan tangan gue
“Hahaha iyadong, demi kamu nih”
“Eh kamu harus tau, banyak orang nanyain kita”
“Ah masa?” Wajah Gina berubah menjadi tidak percaya tetapi dengan wajah
gembira

Kebiasaan gue yang sering mem-posting foto gue dan Gina ketika sedang Skype langsung
membuat berita tentang hubungan gue dan Gina beredar. Meski cuma gosip selayang
pandang, tidak ada klarifikasi baik dari gue dan Gina. Karena cuma terlihat seperti gosip,
banyak saudara-saudara dan teman-teman yang langsung bertanya tentang berita ini.

Tentu gue menjawabnya dengan jujur.

“Ngomong-ngomong band kamu terkenal juga di London” Gina gantian memberikan


topik baru tentang keberadaan band gue di luar sana
“Hah? Kok kamu bisa tau aku terkenal disana?”
“Yaaa kan aku kuliah sama orang Indo gitu, dan orang Indo tau aku juga. Terus nanya-
nanya tentang band kamu begitu. Dan mereka juga ngasih tau ke orang-orang Inggris
tentang lagu-lagu kamu”
“Wah terus?”
“Yaaa banyak anak kuliahan di kampusku sering dengerin lagu kamu…”

Wah gue engga nyangka lagu-lagu band gue bisa diterima dengan baik di Inggris. Jadi
makin ga sabar bisa konser di sana.

“Eh Ram, aku mau nanya deh ke kamu” Tiba-tiba Gina kembali membuka topik baru
“Apa itu Gin?”
“Have you ever met someone that seems so scary?”
“Maksud kamu kuntilanak?”
“BUKAN!” Gina merespon bercandaan gue dengan setengah berteriak sampai telinga
gue pengang.

“Hahaha terus apa dong?”


“Ya I mean a person that is so so so so freak”
“Hmmm yes I had once when I was a kid in my school”
“Like what?”
“Like… he was mad because there were group of people bullied him and then he was runaway.
This group still tried to chased him until one of them knew that he’s came back to haunted
them with… apa tuh kaya tongkat pramuka gitu. Terus pada kabur”

Kemudian mimik Gina sedikit serius dan matanya melirik ke atas

            “How about someone that always watching you and you feel that he is targeting you?”
Tanya Gina lagi kepada gue
            “Nope…. Maybe it’s like someone that hates me because my success”
            “But it’s not about your existence Ram… Ini kaya lebih ke spooky gitu…”

Kalau Gina sudah mulai mencari-cari argumen agar dia bisa menjelaskan ceritanya, artinya
ini adalah hal yang cukup serius. Padahal gue masih ga paham maksudnya apa.

            “Yaudaah terus apa dong Gin?”


“Jadi tuh dulu aku punya tetangga freak banget pas masih tinggal di rumah yang lama”
“Rumah lama kamu di mana sih?”
“Ada di Pondok Indah”
“Hooo lanjut lanjut”
“Awalnya biasa aja. Terus mendadak dia dan keluarganya menjadi menyeramkan. Jadi
engga bersahabat sama semua tetangganya. Termasuk ke keluarga aku. Keadaan rumahnya
juga gelap gitu.”
“Masalahnya apa?”
“Nah aku tuh gatau apa masalahnya, karena pas aku masih kelas 3 apa 4 tuh dia udah
pindah. Dulu dia selalu ada di sebrang rumahku, karena rumahnya emang ada di sebrang.
Aku selalu lihat dia ada di depan jendela rumahnya dan itu selalu ada dari aku mau
berangkat sekolah atau pas aku pulang sekolah. Dan dia sampai hafal rutinitasku.”

Gue mendengarkan cerita itu dengan sangat serius.

“Dan sekarang?”
“Wah aku engga tau deh kalau sekarang. Sejak aku pindah ke Cilandak sih engga ada kabar.
Oh terus dia pernah ngejar-ngejar anak kecil yang berisik di depan rumahnya dan lemparin
pake petasan yang dia nyalain. Aku cuma liatin dari dalem rumahku, dari dalem jendela
rumahku sih… Dan dia abis mukulin anak-anak kecil itu, dia nengok ke rumah aku dan
tampangnya tuh kaya ngincer rumahku gitu loh… Untung aku ngumpet-ngumpet gitu pas
liatin dia…”

Kayanya anak ini dibesarkan oleh keluarga yang emosional dan pemarah

“Jangan-jangan keluarganya psycho….” Kata gue mencoba memberi kesimpulan


“Gatau juga, aku kan cuma tahu dia sama ibunya aja. Cuma aku gatau bapaknya deh…. Ga
pernah ketemu sampai aku pindah…”
“Emang bapaknya kemana?”
“Engga tau deh Ram….”
“Hm terus tadi nama anaknya siapa?
“Namanya tuh….”

Ziiiingggg…..Dep

Yaelah.
Seketika kamar gue mendadak gelap gulita. Benar-benar sebuah bencana bagi gue karena
otomatis gue kehilangan koneksi wi-fi di rumah dan ditambah BB gue sudah mati
karena low battery.

“RAMA COBA TURUN KE BAWAH CEK SIKRINGNYA!” Suara nyokap dari kamar
membuat gue langsung reflek bangun dari duduk sambil melihat jendela rumah.

“Kayanya mati lampu se kompleks maaa” teriak gue sambil mencari alat penerang
ruangan seperti senter.

Sayang di dekat gue engga ada senter. Mau minjem iPhone Alya buat dijadikan sinar untuk
memandu langkah gue mencari lilin atau lampu-lampu yang lain pun diprotes Alya

“Kak kak kak kak pake BB kamu aja deh.” Bilang Alya kesal karena kebahagiaannya
yang lagi chat sama gebetannya gue rebut.
“BB ku mati deek…”

Kebiasaan buruk PLN adalah kalau mati lampu momennya engga pernah pas. Lagi pula kita
udah bayar listrik mahal-mahal kok sering mati lampu sih.

Sementara itu gue meminta tolong Alya untuk kontak ke Gina buat bilangin kalau tiba-tiba
di Bintaro mati lampu dan BBM gue off. Sambil menunggu listrik menyala lagi, gue
bersandar ke tembok sambil menemani nyokap yang lagi di kamar gue bersama Alya

Kira-kira itu siapa ya yang disinggung Gina?

Bab 3
Pertemuan Dengan Anak Vespa

Weekend pertama dibulan November pun tiba dan gue harus manggung di Piazza Gandaria
City. Karena sekalian peluncuran album, jadinya gue harus memenuhi agenda untuk
bertemu langsung dengan fans. Belum lagi ketika harus menemui wartawan dan bakal
diterjang berbagai pertanyaan, dan banyakan sih kalau yang meliput dari wartawan TV
acara gosip yang sering ada setiap pagi atau sore, nanyanya bukan tentang album lagu, tapi
cenderung ke kehidupan pribadi.

Beginilah aktivitas jadi anak band yang sebenarnya gue tidak ingin kehidupan pribadi gue
terekspos. Karena kalau sudah menjadi figur publik, perilaku-perilaku gue akan
menimbulkan dugaan dan prasangka-prasangka negatif di mata orang-orang, contoh ya
kalau lagi jalan sama teman atau keluarga yang merupakan seorang wanita
Pernah suatu hari gue lagi pergi ke Dufan bersama Alya dan sepupu yang lain, ada yang
engga tau kalau Alya itu adek gue. Emang sih posisinya gue lagi rangkul Alya. Lalu tiba-tiba
ada aja yang ngerocos di twitter,

“Td aq lyt k’ Rama sm cwek, pcrnyah y??”.

Karena tulisan itu sungguh sulit untuk dibaca, gue minta Alya buat menerjemahkannya,

“Oh itu dia nanya, ‘Tadi aku liat kak Rama sama cewek, pacarnya yah?’ maksudnya
kan tadi kita jalan kak, itu dia mikir kita pacaran”.

Setelah mengerti maksudnya, tweet tadi lebih baik engga gue bales.

Selepas manggung, jumpa pers dan segala macem, gue sendirian naik ke XXI bertemu
dengan Alya yang katanya sedang bersama gebetannya. Memang dari awal, Alya dan gue
sudah berjanjian agar setelah gue manggung dan sebelum dia menonton film, gue
menghampiri dia dahulu.

Selama gue naik dari Piazza ke XXI, masih ada wartawan yang membuntuti gue. Dan ketika
masuk gerbang XXI pun tak lupa banyak orang yang meminta foto bareng sama gue, mau
tua ataupun muda, sekaligus masih balita.

Tentu hal ini gue lakukan untuk melayani mereka entah mereka tahu karena apa karya gue
atau karena status sosial gue.

Dari dalam, gue melihat Alya berdiri dengan dress hitam melihat gue dari dalam dekat
tempat membeli Popcorn. Di sebelahnya terlihat cowok menggunakan jaket vest hitam dan
jeans denim hitam dan berpostur tubuh tinggi.

“Kak. Tadi kenapa banyak orang masih foto-foto sama kakak?” tanya Alya sambil
menghampiri gue.
“Yaaa mereka kan masih pengen punya kenang-kenangan sama aku” Jawab gue
sambil melihat ke belakang gue, dan melihat satpam berusaha keras menghentikan
keinginan beberapa orang yang ingin foto sama gue.

Kemudian gue menatap Alya, dan berpaling ke cowok di sebelah yang tinggi itu.

“Ohya kenalin kak, ini Dion, cowok yang aku ceritain” Kata Alya memperkenalkan si
cowoknya ini.

Tampangnya lumayan kalem dan tidak seperti anak berandalan

“Halo gue Dion” Dia memperkenalkan terlebih dahulu kepada gue


“Oh temennya Alya ya?”
“Iya kak”
Anak ini suaranya sangat nge-bass, dan perawakannya jauh lebih dewasa daripada Rian.
Tampilannya juga lebih kece dibanding Rian. Ga heran kalau Alya jatuh hati kepadanya.

“Tinggal dimana?” Tanya gue setelah berjabat tangannya.


“Di Pondok Indah kok kak, belakangnya PIM 2”
“Ohhhh disitu. Lo berdua aja atau gimana?
“Engga kok, gue sama anak Inten yang lain” sambil menunjuk ke arah kerumunan
kumpulan anak-anak SMA di sisi dekat tempat duduk.

“Hooo begitu. Terus naik apa kesini?”


“Naik vespa kak”
“Hooo hati-hati kalau naik vespa ya. Yaudah mau nonton sama Alya?”
“Iya kak. Lo engga ikut nonton?”
“Hahaha gue masih harus ladenin orang-orang nih”

Kemudian gue berjabat tangan dan pamit ke Dion. Ketika gue bersalaman, gue bilang
setengah berbisik sambil menatap dia cukup serius.

            “Gue titip Alya ya.”


            “Siap” kata Dion sambil mengangguk

Setelah itu, gue bilang sama Alya kalau sudah selesai menonton filmnya tolong segera
menghubungi gue. Mengingat banyaknya wartawan yang masih menunggu di luar XXI, gue
akhirnya melangkah ke Starbucks dan mengadakan sesi tanya-jawab disana. Sementara
Wendi dan Emil juga begitu, dikerubungi kamera. Bedanya, mereka lagi sama pacar
masing-masing. Gue sendirian gaada yang menemani.

            “Gimana Mas Rama sama albumnya?” tanya wartawan pertama yang diketahui dari
majalah Rolling Stone.
            “Ya gue sangat puas dengan albumnya. Isinya memang masih banyakan tentang
cinta-cintaan. Tetapi eksplorasi lirik dan tingkat kompleksitas lagunya agak lebih sulit.”
            “Bagaimana dengan wacana tur keliling negara?”
            “Sedang didiskusikan”

Setelah sesi tanya jawab selesai, beberapa wartawan meminta foto berdua dengan gue,
kemudian pamit untuk pulang. Satu jam kemudian, Alya menelfon gue. Tanda mereka
semua sudah selesai menyaksikan film yang mereka tonton.

Gue pun bergegas ke XXI, dan menemui mereka berdua di tempat yang sama.

            “Sudah nontonnya?” tanya gue ke mereka berdua


            “Ahahaha sudah kak!” jawab Dion dengan mimik malu-malu.

Alya juga senyum-senyum malu berdiri di samping Dion.

            “Yuk pulang?” tanya gue ke Alya


Kemudian Alya segera berjalan memutar, menghadap ke Dion dan tos-tosan dengannya.

“Hati-hati ya Al” Kata Dion saat tos-tosan. Gue melihat tangan Dion seperti ingin
menggenggam tangannya Alya. Tapi Alya langsung menarik tangannya. Mungkin dia takut
gue komentari di mobil. Tapi tetap gue yang disisi dia cuma bisa ber-‘ehm’ sambil ketawa
kecil. Dion juga hanya tersenyum lebar.

Melihat mereka, gue hanya memandang seperti malaikat yang melihat gue pas PDKT sama
Gina. Cuma, kok gue kasian sama Rian ya? Kalau dia tahu Alya lagi deket sama cowok lain,
Rian bakal patah hati. Apalagi kan si Rian nyesel banget udah nyakitin Alya.

“Gimana kak menurut kamu tentang Dion?” Tanya Alya sambil berjalan menuju
parkiran
“Biasa ajaaa”

Alya tidak setuju dengan respon gue.

            “He’s miles better than Rian kak!” protes dia dengan suara lantang.
            “Ya I know him for a day. Your comparison is not valid Al”
            “Bagaimana bisa ga valid kak?”

Gue tahan dulu jawaban gue hingga kami masuk ke mobil untuk berangkat pulang menuju
ke rumah.

“Pertama, aku baru ketemu dia hari ini dan detik ini. Jadi aku ga bisa bilang dia lebih baik
dari Rian. Oke lah mungkin kalau penampilannya jauh lebih terlihat dewasa, tapi kan kamu
sendiri udah pernah kena PHP sama cowok”

Penjelasan gue cukup mendasar, karena Alya adalah orang yang keras kepala kalau sudah
membicarakan suka sama orang.

            “Lagian, kamu sendiri yang bilang kalau kamu lagi gamau deketin cowok kan?”
tambah gue sambil memperhatikan suasana jalan raya yang masih dipenuhi lampu-lampu
kendaraan.

            “Iya, but if he’s good enough, I won’t refuse it kak”


            “But what if he’s a bad influence for you?”

Alya hanya terdiam, mungkin gue sukses membuat dia berpikir ulang.

            “Gini loh kak, I always watching him hangout with his community and he always ask
me to go with him just for free ride. It’s not a bad influence right? For me, it’s a new colour of
my life if I’m allow to get a chance with him” dia memberikan penjelasan yang menurut gue
sok ngerti tentang ‘suasana baru’
            “Ya aku tahu, but that’s too risky Al. Kamu tahu sendiri mama sama papa khawatirnya
kaya gimana. But it’s up to you, but you have to accept all the consequences if something bad
happen”

Alya langsung diam lagi. Tapi sepertinya dia masih belum puas dengan jawaban-jawaban
gue.

            “Apa sih yang bikin image seorang komunitas Vespa itu jelek?” tanya Alya dengan
nada agak setengah galak

            “Ya gaada. Temenku sih ga masalah. Cuma ini kan kondisinya kamu deket sama anak
Vespa, bukan kamu yang masuk ke komunitas Vespa-nya. Kan kamu gatau secara langsung
anak-anaknya kaya gimana. Contohnya gini, seandainya si Dion itu using you for pleasure,
terus menyebarluaskan info tentang kamu ke kumpulan anak-anak Vespa yang cowok,
terus ujung-ujungnya kamu ‘digilir’, mau ga?”

Kali ini Alya hanya menggumam. Mungkin jawaban gue agak ampuh untuk mematikan
kesempatan untuk menjawab pertanyaan

            “Ya forget it. Kalau aku bisa punya kesempatan untuk deket terus dengan Dion, I’ll
try”
            “It’s up to you ya Al”

Setelah respon gue mematikan pembahasannya, akhirnya Alya meninggalkan gue tidur di
jalan. Kadang gue berpikir bagaimana agar Alya ini bisa mendengarkan maksud dan saran
gue sebagai kakak. Karena kalau dia sudah ngebet untuk mendapatkan sesuatu, dia
berambisi untuk mendapatkan hal tersebut. Makanya, Alya menjadi keras kepala kalau
semua saran-saran gueeselalu bertentangan dengan maksud dia yang ada di otaknya.

“Eh anak mama udah pulang. Tadi gimana manggungnya?” sambut nyokap sesaat
kami berdua tiba di rumah
 “Yaaa begitulah.” Kata gue sambil membalas pelukan nyokap
“Kalau Alya gimana hari jalannya? Seruuu?” Nyokap kali ini gantian tanya ke Alya
“Yaaaa lumayanlah” jawabnya sambil membuka sepatunya dan bergegas menuju
kamarnya.

Saat gue berjalan mengambil minum, gue melirik ke ruang santai dan mendapati
bokap gue masih asik main PS. Terkadang, emosi bokap kalau lagi kalah lawan komputer
pasti marah-marha sendiri, atau mukul stik PS-nya. Kalau lagi menang ya lanjut main
sampai tengah malam.

“Eh Rama, kamu besok anterin mama bisa engga?” tanya nyokap sebelum gue naik
ke atas menuju kamar
“Kemana?”
“Ke LP Cipinang, ketemu Tante Betty”
“Kalau engga capek ya ma. Kayaknya aku juga ada tugas”
“Hoooo ada tugas ya…. Yaudah kalau engga bisa, biar mama telfon minta Pak Karjo.”

Pak Karjo ini adalah supir kesayangan keluarga gue. Usianya sudah hampir 60, dan sudah
menjadi supir keluarga kami sejak gue masih TK. Saking dekatnya, Pak Karjo sudah
dianggap anggota ke lima kalau di rumah. Kerjaannya setiap hari adalah menjemput Alya
pulang sekolah. Sementara di hari Sabtu dan Minggu, Pak Karjo dibebas tugaskan.

 “Mas Rama sama Mbak Alya tuh udah saya anggep anak” Kata Pak Karjo suatu hari
ketika mendapatkan THR dari bokap.

Gue masih melek di kamar, masih BBM-an sama Gina hingga mendadak gue setengah sadar
lalu tertidur.

Tiba-tiba, gue terbangun pas pukul 3 pagi. Gatau kenapa gue bisa kebangun tiba-tiba.
Kemudian gue melihat BBM dari Gina udah penuh dengan ‘PING’.

“Eh maaf maaf aku ketiduran. Aku capek banget soalnya….” Balas BBM gue ke Gina.

TOK TOK TOK!

Gue kaget. Tengah malam begini siapa yang mengetuk pintu gue coba.

Gue parno.

Gue menghela nafas….

TOK TOK TOK!

Gue masih berkutat sama selimut. Jangan-jangan ada penculik yang mau nikam gue….

‘Kaaaaak masih melek engga?’

Oh kampret ternyata Alya.

“Hah? Masiiih, masuk aja” kata gue sambil menyalakan lampu kecil yang ada di
samping tempat tidur

Lalu pintu pun terbuka dan Alya pun datang dengan memakai kaos tipis serta celana rumah
agak gombrong.

“Kenapa malem-malem bangun deh?” tanya gue kebingungan.


“Aku kebangun, terus kepikiran sama apa yang tadi kita bahas di mobil” Jawab dia
sambil duduk bersila di kasur, menghadap ke gue.

“Iya, terus?”
“Dia ngajak aku untuk ikut night ride sama anak-anak vespa.”
“Kemana?”
            “Ke daerah Anyer”
            “Sekalian nginep?”

Alya mengangguk pelan dengan ragu. Ragu mendapatkan izin dari gue dan bokap.

“Kamu mau ikut?” Tanya gue mencoba meyakinkan Alya.


“Mau-mau aja sih. I wanna prove to you and mom and dad that he’s not that bad dan doing a
night ride is fun”
“Hmmm…”

Gue tidak menjawab secara tegas, kemudian setelah dia langsung ke kamarnya lagi. Gue ga
mau nantinya Alya jadi marah ke gue hanya karena gue tidak mengizinkan. Tetapi gue juga
takut karena Alya tidak pernah bepergian jauh, apa lagi naik motor berdua. Hal ini langsung
gue tanyakan ke Gina yang tentu masih melek di London

“Ya kamu sebagai kakaknya harus bisa melihat si cowoknya. Jangan main lepas tangan aja.
Kan kamu yang paling deket sama Alya”
Kata Gina di BBM

“Paham sih. Cuma di sisi lain, kasian juga liat Alya sering diperlakukan anak kecil sama
mama dan papa. Dia jadinya merasa terkekang”

Alya pernah mengadu ke gue suatu hari kalau dia sangat iri liat teman-temannya bisa jalan-
jalan ke Bandung dan menginap di hotel, sementara Alya tidak pernah mendapatkan izin
kecuali ada saudara yang ikut dan tinggalnya juga di rumah salah kerabat keluarganya.

            “Gimana aku bisa deket sama mereka kalau kaya gini aja aku ga dibolehin sama
mama?” keluh Alya suatu hari
“Ya kan mereka hanya ingin menghindari dari hal-hal yang tidak diinginkan kok”

Memikirkan keinginannya Alya rasanya ga bisa tenang seharian.

Bab 4
Alya Menghilang Tanpa Jejak

            “YES AKU BOLEH IKUT KAK!” Kata Alya setelah berdebat panjang dengan bokap dan
nyokap, dua hari setelah dia bertanya ke gue.

Gue hanya bisa menggelengkan kepala karena terkejut nyokap dan bokap memberikan
lampu hijau kepada Alya.

            “Dikasih wejangan apa aja kamu sama papa?” tanya gue keheranan
“Yang pasti sih kalau lagi ngapain dan di mana ya dikabarin. Terus minta nomer telfonnya
Dion. Kalau aku ga bisa dihubungin nanti mama telfon Dion”
            “Aku minta juga dong nomor telfonnya”

Kemudian nomornya Dion pun gue catat. Paling tidak seandainya Alya sulit untuk dikontak,
gue bisa menghubungi Dion.

Semenjak dia diperbolehkan ikut acara Vespa oleh bokap gue, Alya dan Dion selalu terlihat
lebih dekat. Entah itu telfonan atau BBM-an atau Skype, pasti dia lakukan itu dengan Dion.
Kadang gue ingin bertanya ke Alya, apakah ada sedikit ruang untuk memikirkan Rian yang
sedang merintis karir di London?

Saking dekatnya, tak jarang kalau beberapa kali ini Alya kalau pulang dari Inten selalu
diantar oleh Dion. Yang jadi permasalahan bagi nyokap dan bokap adalah Alya naik Vespa
ke rumah malem-malem. Hal ini tentu membuat mereka was-was dan bokap gue jadi rada
gasuka sama Dion, dan tentu saja mulai merasa menyesal memperbolehkan Alya menginap
ke Anyer.

Dan permasalahan berikutnya, nyokap selalu saja melempar keluh kesah ini ke gue.

“Rama, coba tolong kapan gitu kamu kasih tau lah ke Alya kalau mama sama papa
rada ga terlalu suka sama Dion.” Kata nyokap suatu hari pas Alya masih menjalani hari
sekolah
“Lah kenapa ma?”
“Ya mama mah ngeri liat Alya sering dianterin Dion malem-malem naik Vespa”
“Yailah ma, Alya udah gede….”

Pembicaraan gue dipotong sama nyokap

“Bukan masalah udah gedenya Rama!” Tiba-tiba nyokap meninggikan suaranya.

Gue kaget bukan main. Tidak seperti biasanya nyokap bisa meninggikan suaranya.

“Mama cuma takut Alya kaya Tante Betty”


“Maksudnya ma?”
“Tante Betty tuh dari awal bandel meskipun pinter. Ngerokoklah, minumlah… sering pergi
sama cowok, pulangnya bisa besok pagi… Yang kena marah sama eyang malah mama
karena dianggap ga bisa ngejagain adik sendiri. Sekarang kamu liat kelakuan Tante Betty.
Dia dipenjara karena percaya sama laki-laki lain untuk melakukan kejahatan, dan uang
haram yang dia dapat itu dia money laundring untuk jadi suatu aset. Setelah bertahun-
tahun kaya gitu, akhirnya ketahuan karena laki-laki itu ditangkap dan membongkar semua
rahasia praktek korupsinya…”

Gue cuma diam. Lagi berpikir apa kaitannya sama Alya.

“Terus hubungannya sama Alya apa?”


“Mama cuma wanti-wanti aja ya, karena Alya kan suka deket sama cowok nih, bisa-bisa dia
kebawa arus pergaulan sama cowok ini. Laki-laki tuh juga racun buat perempuan.”
“Kenapa mama baru bilangnya sekarang? Kenapa ga dari dulu?”
“Ya karena Alya baru kita kasih izinnya sekarang setelah dia akhirnya kemarin pas izin tuh
ngomong dia merasa terkekang dan ga punya sosialsasi di luar kegiatan sekolah. Mama sih
sudah mengingatkan Alya, cuma kamu sebagai kakaknya wajib memantau dia loh ya”

Gue kembali diam. Sebenarnya masuk akal sih kalau nyokap dan bokap sangat khawatir
dengan perilaku Alya akhir-akhir ini.

“Ma, How do you know that Dion could give a bad impact for Alya?” tanya gue sambil
meneguk segelas teh tawar hangat
“Insting seorang orang tua ga pernah salah nak”
“Tapi mama juga belum pernah ketemu Dion kan?”
“Siapa bilang belum? Kan setiap dia pulang dianterin Dion, dia ketemu mama atau papa”
“Yaudah deh nanti aku bilangin.”

Semakin hari, ucapan nyokap tentang kekhawatiran tentang Alya ada benarnya sih. Saking
dekatnya sama Dion, dia pernah menolak gue jemput agar bisa berduaan sama dia.

“Kamu tumben amat gamau aku jemput….biasanya ngehubungin aku” keluh ke gue
pas dia baru tiba di rumah setelah dianterin Dion pas malam setelah jam makan malam.
“Yeeeh kak, sekali-kali aku jalan sama cowok lain.” Kata dia sambil ke kamar.

Gue hanya berharap dia baik-baik saja selama dekat sama Dion. Mungkin karena gue lagi
capek dan sibuk juga, gue engga bisa meng-handle dia sesering pas gue lagi engga promo
kemaren.

“Cobalah kamu luangin waktu sama Alya sebentar” Kata Gina setelah gue
menceritakan permasalahan di rumah saat ini.
 “Ya nanti aja deh, aku masih sibuk nge-band banget buat promo”.

Tapi lama-lama kecemasan gue juga bertambah seiring adanya perubahan dengan Alya
hingga awal bulan Desember. Dari penampilan yang agak lebih ‘terbuka’, sering minum-
minum, ke bar, dan itu sama Dion. Gue bisa saja main larang dia, tapi itu bukan gaya gue
sih. Gue selalu memperingatkan dia buat jaga diri karena dia sudah harus belajar untuk
bertanggung jawab dengan dirinya

Teman-teman dia juga mulai membicarakan perubahan Alya, salah satunya ya sahabat
terdekatnya yaitu Karina.

“Dia emang gimana sekarang kalau di sekolah?” Tanya gue suatu hari pas gue ke
Alpus.
“Ya gitu kak, dia berubah banget. Jadi centil entah gimana. Kasarnya nih ya kak, jadi
makin ga jelas” Karina menerangkan gue dan disaat yang bersamaan dia dijemput.
“Kamu tau ga Dion tuh kaya gimana?”
“Engga kak.”
“Tapi pernah ketemu kan?”
“Ya pernah”
“Menurut kamu gimana?”
“I think, he’s a metropolitan guy gitu deh kak”
“Maksudnya?”
“Yaaa gambaran cowok jakarta tajir gitu loh. Aku denger-denger nih, dia itu tajir banget
sebenarnya. Sering tubir karena nama dia di SMA 70 tuh udah terkenal karena dia jagoan di
angkatannya. Di sekitar Bulungan sama di Sisingamangaraja, pasti semuanya tahu Dion”
“Hooo I get it…”
“Nah menurut aku nih, karena Dion ini pentolan plus anak Vespa, dia merasa apa yang dia
mau tuh saat ini bisa dicapai gitu kak. Termasuk pacaran sama Alya”

Ya bisa saja sih, kalau gue jagoan di SMA, gue bisa aja mendapatkan apa yang gue mau
dikalangan anak-anak sepantaran gue. Selama dia bandel di luar aktivitas sekolah ya masih
okelah. Tapi kalau bandelnya yang sering minum sama nginep di luar kota, rasanya untuk
ukuran anak SMA itu masih belum wajar.

Lalu semua perubahan dan kecemasan ini mengingatkan gue sama cerita Gina, kalau dia
kenal mantan tetangganya yang psycho. Tapi Dion bukan psycho seperti yang diceritakan
gue dan Gina saat Skype waktu itu. Dion lebih ke gambaran anak muda Jakarta saat ini.
Pergaulannya mungkin dikarenakan tidak ada kontrol yang ketat oleh orang tuanya. Dan
dia mendapatkan seorang wanita yang sedang membutuhkan kebebasan.

Dan wanita itu adalah Alya.

Kecemasan itu terus datang hingga hari kamis ini, di mana gue lagi sibuk mempersiapkan
presentasi kuliah. Dan malam ini, gue ditugaskan untuk menjemput Alya di Inten. Tapi
seperti yang sudah-sudah, gue pasti akan disuruh pulang sama Alya karena pasti dia akan
dianterin oleh Dion. Tapi gue tadi BBM ke dia kalau gue bakal jemput dia.

“Al, kamu inten jam berapa?”


“Seperti biasalah kak. Why?”
“Yaudah ntar aku jemput ya, sekarang aku di Citos”
“Nanti aku kabarin lagiiii”

Karena dia keluar Inten pasti malam, jadi lebih baik gue menunggu di kampus. Untung ada
Desta dan Reza bersama Dewi dan Diny, sehingga hari-hari gue hingga malam nanti tidak
terlalu membosankan.

            “Gelisah amat Ram” celetuk Diny ketika gue lagi berpangku tangan melihat layar BB
gue
            “Iya nih. Pusing gue ngurusin Alya”
            “Alya adek lo ya? Kenapa dia?”
            “Dia lagi kasmaran sama cowok anak vespa gitu. Sebenernya sih ga masalah dia lagi
deket sama siapa aja. Cuma behavior dan penampilan dia tuh berubah dan dikritik nyokap
sama sahabatnya. Gue juga ga nyaman liat dia jadi begini.”

Dari samping kiri gue, ternyata Desta menyimak pembahasan gue

“Cewek emang gitu bro. Mudah berubah kalau udah punya laki kesayangan. Apapun bakal
diturutin, apalagi kalau cowoknya oke ga kaya kita-kita”
            “Nah itu dia Des masalahnya, cowoknya ini jagoan di sekolahnya”
            “Lo ga coba ngomong ke dia?” tiba-tiba Reza ikut masuk ke dalam pembahasan
sambil menyantap gado-gado
            “Udah pernah gue bahas, dan dia bilang kalau dia mau nunjukkin ke gue kalau dia itu
baik dan cocok buat dia. Cuma sabda nyokap udah berkumandang”

Mendadak Dewi dan Diny menatap gue kebingungan apa maksudnya

            “Maksudnya sabda nyokap?” tanya Dewi menatap gue dengan tajam


“Kalau nyokap udah mulai ceramah ke gue, mengandalkan insting dan feeling, artinya ada
yang ga beres”

Kami berlima pun diam. Mungkin sahabat-sahabat gue juga bingung bagaimana harus
bertindak

            “Orang tuh harus ada trigger-nya dulu Ram biar nyadar kalau dia salah” kata Dewi
yang sedang asik merokok di depan gue dan Reza
            “Ya bener tuh Ram!” Diny pun juga mengamini perkataannya Dewi

            “Harus kaya gimana trigger-nya? Kaya main kucing-kucingan kalau nungguin Alya


kena getahnya dari main sama si cowoknya ini” Gue bertanya balik kepada mereka yang
juga jadi ikutan mikir

            “Trigger-nya ya dari Dion sendiri Ram kalau menurut gue. Ga mungkin lo


menciptakan skenario busuk buat jatohin si cowoknya ini di mata Alya. Karena yang ada,
Alya malah kesel sama lo dan terburuknya makin belain dia. Tungguin aja deh” kata Reza
sambil menepuk pundak gue.

Gue hanya mengangguk kebingungan. Sementara hari sudah melewati masa senja, dan
bulan pun lagi-lagi menyapa dengan cahaya yang terang.

Karena Alya ini selesai kelas pukul 8 malam, gue berangkat dari kampus pukul 19.00 untuk
mengantisipasi kemacetan. Tanpa basa-basi atau mampir ke mana, gue langsung bergegas
ke Inten. Namun yang bikin gue gelisah adalah Alya tidak bisa gue telfon atau BBM pun
tidak dibalas sejak pukul 5 sore. Mungkin Alya sedang kelas dan fokus dengan pelajaran,
atau HP-nya memang mati.
Kemudian gue memilih parkir sebentar di pom bensin Shell, yang persis sebelah Inten. Gue
jalan dan mencoba masuk ke Inten itu sendiri. Karena dulu les disana, jadi gue hafal dengan
guru-guru disana. Lalu ketemulah sama mantan guru matematika gue, dan sekarang
gurunya Alya, bernama Bu Lia.

“Eh, Rama!” sapa Bu Lia yang sedang berada di meja resepsionis bersama murid-
muridnya
“Sore Bu!” Kemudian gue salim ke Bu Lia.
“Apa kabar kamu sekarang nak?”
“Baik bu! Oh ya mau nanya, liat Alya engga bu?”
“Alya adikmu itu? Tadi dia engga ada di kelas kok”
“Loh dia sih katanya Inten bu”
“Kamu engga nelfon dia gitu Rama?”
“Engga bisa dihubungin bu”

Ah sial!

Kepanikan gue muncul. Alya benar-benar cabut Inten. Dan parahnya lagi engga ada kabar.
Gue coba BBM Karina untuk menghubungi Alya entah lewat telefon atau BBM.

 “Engga bisa ditelfon dan engga kekirim juga kak bbmku”

Jawaban yang sangat tidak gue harapkan.

Gue mulai cemas. Bingung harus nyari kemana.

Gue coba tanya nyokap apakah Alya udah ada dirumah atau belum.

“Belum Ram. Emangnya di Inten engga ada?” tanya nyokap lewat bbm. “Engga ada maa” gue
hanya bisa menggaruk-garuk rambut.

“Bu, tadi di kelas ada anak yang bernama Dion engga bu?” gue masih berusaha
mencari jejak ke mana dan di mana Alya berada.
“Hmmm engga ada juga sih tadi…”

Gue mulai berpikir kalau Dion pasti ada di suatu tempat dengan Alya. Pasti Dion adalah
orang terakhir yang tahu Alya di mana.

“Bu, punya nomer telfon temennya Alya yang namanya Dion engga?” Tanya gue ke
Bu Lia, sambil berharap

Namun Bu Lia hanya menggelengkan kepala, menandakan kalau Bu Lia sendiri engga
punya.
It’s Clueless. Gue menyesal karena selama ini engga pernah mau tau Alya sering main
kemana aja sama Dion kalau di Inten, dan sekarang ketika gue membebaskan Alya,
akhirnya dia menghilang.

Karena engga ada hasil setelah sejam disini, gue memutuskan pulang.

Di mobil pun gue masih mencoba menghubungi Alya, namun sepertinya iPhone dia mati.
Gue lebih baik menunggu hingga esok hari atau mungkin jam 1 pagi untuk memastikan dia
pulang apa engga.

Mana udah mau pukul 10 malem, jarang banget dia gabisa ngabarin siapapun sampai
malem begini.

            “Alya kemana sih?” itu lah kalimat yang terucap dari mulut gue, nyokap, bokap dan
mbak Tina.

Dia mungkin pernah pulang malem, tapi ga sampai ada acara gabisa dihubungin.

            “Ini pasti gara-gara dia deket sama Dion!” Seru nyokap gue sambil linglung dan
matanya memerah.
“Udahlah ma, nanti kalau ketemu harus kita bilangin ke anak itu” Kata bokap gue
sambil megang pundak nyokap.

Karena semalin malam hingga pukul 12 malam tetap tidak ada kabar-kabar dari Alya,
akhirnya kami memutuskan untuk tinggal tidur Alya, taruh kunci diluar, dan sms atau BBM
dia sebisa mungkin.

Dan gue, sambil bilang Gina keadaan hari ini, terlelap tidur.

Bab 5
Pertaruhan Nyawa di hari Sabtu I

Hari kedua setelah hilangnya Alya, gue belum bisa mendapatkan kabar. Nyokap udah nanya
ke guru BK Alpus dan gaada kabar. Gue belum bisa mengabari Gina karena dia lagi sibuk
banget.

Karena terlanjur panik, akhirnya gue memberitahukan hal ini ke Rian lewat BBM

“Rian, lagi dimana?”


“Dirumah sih kak, kenapa?”
“Kak Gina belum pulang ya?”
“Engga kak, dia masih sama temen-temennya”
“Hooo eh gue mau kasih tau lo kalau Alya menghilang”
“Maksudnya menghilang?”
“Yaaa dia menghilang, udah dua hari ini dia engga pulang dan gaada kabar”
“LAH…Kok bisa?”
“Gue engga paham juga nih. Tolong bilangin Gina ya.”

Setelah gue kasih tau Rian dan nanti dia kasih tau ke Gina, gue hari ini mencoba ke Inten
lagi, karena kebetulan hari ini hari Sabtu dan seharusnya Alya les.

“Coba ya aku samperin dulu kesana. Kalau engga ada, kita telfon Polisi” kata gue
sambil mencoba menenangkan nyokap yang nangis terus.

Nyokap mukanya langsung pucat selama dua hari ini. Wajar rasanya kalau nyokap sangat-
sangat kepikiran karena mungkin seandainya Alya tidak ditemukan, nyokap tidak akan
pernah memaafkan dirinya.

Selama perjalanan, gue masih mencoba menunggu kabar lewat telfon atau BBM gue.
Sayangnya hinggu mencapai Inten pun tidak ada kontak apapun dari Alya.

Kepala gue rasanya mau pecah mencoba memikirkan di mana Alya sekarang

Sesampainya di Inten, gue ketemu Bu Lia lagi, dan lagi-lagi dia bilang kalau Alya engga ada
di tempat. Dan lucunya engga ada Dion juga.

Gue sudah mulai mencium aroma ketidakberesan dari Dion. Bukanlah suatu kebetulan
kalau dua sesi les Inten ini baik Dion dan Alya sama-sama tidak ada.

Keluar dari sana, gue buru-buru ke mobil yang gue parkir di Shell. Gue tidak bisa fokus apa-
apa selain memikirkan Alya.

Entah dari mana asalnya tiba-tiba ada orang badannya sebesar gue, kulitnya putih,
memakai topi, menggunakan kacamata hitam, berjalan menghampiri gue sambil
memberikan kertas memo kecil dan menabrak badan gue,

Pas gue liat memonya, ada tulisan:

Gue tahu dimana Alya.

Gue langsung menengok kearah dia yang berdiri di samping pintu penumpang depan.
Terus kepalanya dia bergerak menunjukkan untuk gue harus masuk mobil dan bergegas.
Mungkin karena gue masih panik, gue buru-buru aja nanya identitas dia.

“Lo siapa?” Tanya gue setengah berteriak di bawah teriknya sinar matahari
“Temennya Dion”
“Hah?”
“Udah jalan dulu aja kerumah lo”

Dan seketika gue masuk ke mobil tancap gas menuju tol JORR menuju rumah.
“Lo siapa?” Tanya gue lagi dengan nada gelisah
“Gue Reno, kenalanannya Dion”
“Dan…urusan lo sama adek gue apa?”
“Lo tau kan Dion deket sama Alya?”
“Ya taulah!”
“Gue salah satu temen deketnya Dion”
“Oke, lalu?”
“Ya gue orang terdekatnya dia gitu”
“Terus dia yang culik Alya?”
“Iyap”
“Dengan alasan?”
“Dia mau balas dendam”

Gue langsung nge-blank satu detik di jalan sambil menyetir di jalan

“Balas dendam kenapa?”


“Gini, lo pacaran sama Gina kan?”

Dan sekarang Gina dibawa-bawa. Gue mulai mencium hal yang engga beres di sini.

            “Iya….”
            “Nah dia sebenernya pengen culik Gina”

Tiba-tiba pemikiran gue kembali terbayang ke ceritanya Gina yang masalah anak psycho.
Bener nih jangan-jangan orang yang dimaksud Gina itu adalah Dion.

“Apa alesannya dia mau culik Gina?” Tanya gue lagi terengah-engah saking engga
bisa mengatur nafas
“Hmm Lo belum diceritain tentang bapaknya ya?”
“Belum. Eh by the way lo kenal Dion darimana?”
“Dari komunitas Vespa”
“Oh lo anak Vespa?”
“Yoi”
“Oke jadi lo tau apa kasus ayahnya Gina?”
“Jadi gini, lo taukan Gina pergi kenapa?”
“Engga terlalu tau sih. Emang lo siapanya Gina sihh?”
“Gue adalah…..” Reno menghela nafas panjang

“…kakaknya”

Sebentar. Ini sebuah hal yang di luar pemikiran gue karena Gina sama sekali engga pernah
cerita kalau dia punya kakak. Dan kok bisa-bisanya kakaknya ini tau masalah Dion dan
Alya.

Apa ada cerita yang kelewat?


Sesampainya di rumah gue, gue langsung memperkenalkan Reno ke bokap dan nyokap gue
dan kami duduk berempat sambil melanjutkan cerita yang terpotong tadi.

“Ren, kok Gina ga pernah kasih tau kalau dia punya kakak?” tanya gue ke Reno yang
sedang mengamati wajah gelisah nyokap gue.
“Emang ga pernah, karena dia gatau gue”
“Lah lo gimana sih…”
“Jadi gini, Ayahnya dia itu adalah ayah gue juga. Yang membedakan adalah beda ibu aja.
Ketika gue usia 4 tahun, orang tua gue cerai. Gue ikut ke nyokap, dan bokap gue nikah sama
ibunya Gina.”
“Dan terus?”
“Bokap gue itu cerai lagi dari nyokapnya Gina, karena dia selingkuh dan main cewek gitu
deh punya banyak duit. Gue juga tau dari nyokap gue. Makanya itu yang membuat
nyokapnya Gina stres berat.”
“Dan lo tau keluarga Gina dari siapa?”
“Dari Dion”
“Dan Dion adalah…?”
“Nah, Bokap gue selingkuh sama ibunya Dion.”
“LAH KOK….terus bapaknya Dion?”
“Bokap gue….. membunuhnya”

That’s come out of nowhere

“Ah becanda nih….” Gue mencoba meyakini diri sendiri kalau ini cuma rekayasa.
“Lah seriusan Ram…. karena bokap gue ini udah deket banget sama nyokapnya Dion.
Bapaknya Dion itu awalnya udah mau lapor ke polisi gitu-gitukan, tapi disuruh bapak gue
buat diem dan dikasih duit gitu. Tapi bokapnya Dion menolak, akhirnya suatu malam
dibunuhlah dia”
“Dibunuhnya gimana? Ditangkep polisi engga?”
“Gatau deh gue, dan masih jadi buronan”
“Terus Dion tau engga kalau yang bunuh adalah bokap lo?”
“Dia engga tau kalau gue ini anaknya bokap yang ngebunuh bapaknya. Dia cuma tau orang
yang ngebunuh adalah bokapnya Gina.”
“Dan dia cerita-cerita ke lo tentang hal ini?”
“Iya”

Reaksi nyokap semakin stres mendengar cerita killer-theme yang sangat kompleks


tentang affair.

“Ya Allah Ya Rabb…..Astaghfirullah…. Tuhkan udah mama bilang apa, laki-laki tuh
racun!” nyokap gue cuma bisa ngomong gitu aja sampai harus dikontrol emosinya sama
bokap.

            “Kalau Gina ga dateng….” Gue mulai berpikir yang engga-engga


            “Ya… you know Ram….” Kata Reno menatap gue dengan tajam

Artinya, nyawa Alya bisa terancam.

“Eh tunggu Ren, dia cerita ke lo apa aja tentang Alya sampai dia mau culik Alya?”
Gue masih ingin tahu apa yang membuat Dion bisa menculik Alya.

“Oh Iya dia cerita ke gue. Jadi pertamanya tuh engga ada rencana buat ngapa-ngapain Alya,
karena pada awalnya dia memang suka Alya”
“Terus terus?”
“Lalu suatu hari, Alya memberikan novelnya Gina ke Dion. Dari situ lah dia tahu kalau lo
sama Alya punya hubungan khusus sama Gina pas dia baca-baca novelnya Gina di toko
buku. Disitukan tertulis nama lo dan Alya, ditanyalah Alya ke Dion soal kedekatan dia sama
Gina dan juga Rian”

Entah gue merasa Alya melakukan blunder yang sangat fatal, tapi maksudnya dia
sebenarnya ga jelek sih.

“Waduh…..terus?”
“Dia emang udah niat balas dendam sih ke Gina dan Rian atas perbuatan bokap gue dan
mereka, cuma gue ya gue gatau apa-apa sampai pada suatu hari dia BBM gue dan bilang,
kalau dia mau culik Alya sebagai penggantinya Gina dan di tempatin di satu tempat kosong
di deket Museum Fatahillah”
“Duh…. Dan lo ga bilang buat jangan diculik gitu?”
“Udah Ram. Tapi dia ngotot, malah yang ada dia ngancem gue buat ga bilang siapapun. Dia
malah minta gue bantuin nemuin Alya dan dia plus lo sebenarnya. Udah dari lama kalau dia
informasikan rencana dia untuk nyuruh gue cari lo Ram karena Dion tahu dari Alya kalau
Gina dan Rian sudah pindah ke London”

Rasanya pusing untuk mencerna kebenaran cerita ini.

Nyokap masih nangis histeris sambil membaca istighfar dan bokap daritadi berusaha untuk
menenangkan nyokap. Sementara gue masih mikir apa yang harus gue lakukan biar
semuanya aman dan lancar.

“Udah deh, mending sekarang mama telfon Om Bambang dulu deh” kata nyokap
sambil ambil HP-nya.

Om Bambang ini kerja di Mabes Polri yang di deket Alpus. Karena dia termasuk orang yang
handal dan berpengalaman buat masalah menangkap orang-orang yang kabur atau
tersembunyi, akhirnya nyokap gue minta bantuan dia. Paling engga ada polisi yang bisa
memberikan strategi-strategi jitu.

“Terus Dion bilang apa aja ke lo Ren?” gue masih berusaha untuk menggali
informasi tentang apa saja rencana Dion setelah sukses menculik Alya.
“Nah, jadi dia bilang kalau hanya gue yang tahu soal ini. Anak Vespa yang lain engga ada
yang tahu. Terus rencananya, dia mau menyandera lo. Terakhir, ada kemungkinan mau
bunuh lo atau Alya….”

Gue cuma menelan ludah.

“Wah gila…terus?”
“Nah, gue itu emang selalu nongkrong di warung pojokan jalan kecil sebelah Shell sama
yang lain. Gue udah punya feeling kalau lo bakal ke Inten lagi jadi gue dari pagi pas jam
kelasnya Dion. Ditambah juga Dion nyuruh gue nyulik lo Ram, jadi ya pas lah”
“Hmmm okedeh jadi udah jelas nih semuanya. Gue harus kesana sekarang kayanya”
“Tunggu Ram, gabisa segegabah itu. Dion itu ga bisa semudah itu lo taklukin. Dia selalu
bawa pisau dikantongnya, dan dia jago berkelahi. Salah langkah ya lo mati.”
“Terus gimana dong?”
“Kelemahan dia ada di sini” kemudian Reno menunjukkan titik lemahnya Dion, yaitu
di otaknya

“Kenapa disitu?”
“Kalau dia udah membicarakan masa lalu, dia gabisa terkendali, gabisa berpikir jernih.
Kalau lo bisa psywar sampai dia tertekan dan bisa jaga emosi lo, lo menang. Nah nanti lo
yang maju deh satu lawan satu sama dia sebagai pemancingnya dia”
“Pemancing buat?”
“Biar Alya bisa balik dan selamat”

Sambil menunggu kabar dari Om Bambang, akhirnya gue dan Reno beranjak ke atas dan
berdiri di depan balkon kamar gue sambil menatap ke langit dan sambil mencoba buat
menenangkan diri.

            “Life sucks ya Ram” Kata Reno sambil merokok

Gue hanya tertawa kecil sambil mengangguk. Mungkin pikiran gue hanyalah tertuju oleh
apa yang Alya alami selama diculik oleh Dion.

            “You never know what is the problem until you get those trigger and obstacle” lanjut
Reno
            “Kenapa lo mau bantuin gue dan Alya? Bukankah lo bisa aja di posisinya Dion juga?”
tanya gue sambil memindahkan posisi badan gue menghadap dia

Reno masih mengebulkan asap rokoknya kemudian dia menunduk ke arah balkon.

“Perbedaan gue dan Dion adalah, sebrengseknya bokap gue sampai menghilang begitu saja
setelah membunuh bokapnya Dion, gue masih diasuh oleh orang yang tepat, yaitu tante
gue. Tante gue sudah kaya nyokap gue sendiri dan dia mengasuh gue sangat-sangat ulet
dan tegas. Sementara Dion, semenjak bokapnya tewas, nyokapnya meninggal bunuh diri
karena depresi. Dion yang dulu tetanggaan sama Gina pun kabur dari rumah…”
            “Loh kok bisa masuk SMA 70?”
“Dia diangkat jadi anak oleh salah satu rekanan nyokapnya dan hak asuhnya pun
diserahkan ke keluarga barunya. Dia masuk 70 pun juga lewat ‘orang dalem’. Nyaris
beberapa kali veter, tetapi karena anak angkat dan orang tuanya merasa kasihan kali ya,
bokap angkatnya selalu menyogok ke sekolah untuk diluluskan hingga naik ke klas 3 ini.
Nah masalah lainnya, ga ada yang urusin Dion di rumah. Bokap angkatnya sering ke luar
negeri dan tahu beres aja ga pernah nanya kabar-kabar. Nyokap angkatnya pun setali tiga
uang. Ada krisis kasih sayang yang gue lihat dari dalam dirinya Dion, karena sebenernya
dia sangat ga bisa mengendalikan emosinya kalau sudah membicarakan masa lalunya
saking traumanya.”
            “Kenapa sampai segitunya?”
            “Ya karena Dion melihat dengan matanya sendiri pas bokapnya dibunuh”

That is the biggest problem in post-trauma syndrome. Ditambah juga kurangnya perhatian


dari orang tua angkatnya.

Beberapa saat kemudian, ada BBM masuk dari Gina:

“ALYA KENAPA BISA DICULIK???”

Dan dilanjutkan oleh,

“Aku pulang ke Jakarta deh ya!”

Gue belum bales bbm itu, tapi Reno melirik ke layar BB gue saat gue masih fokus membaca
BBM dari Gina

“Gina ya?” tanya Reno sambil melirik ke bb gue.


“Iya nih. Dia mau balik ke Jakarta…”
“Hoo” kemudian dia membuang puntung rokoknya ke pot kecil

“Dion tuh orangnya kaya gimana sih Ren?” gue kembali membuka topik tentang
Dion ke Reno
“Hmm dia itu suka mabuk, ke klub atau bar malem-malem, boros, suka ngabur dari
rumah…. Karena itu lah dia dicap bad boy sama anak-anaknya. Sayangnya, cewek-cewek
tuh melihat dia keren, termasuk Alya. Dia sering kok curhat ke gue kalau dia merasa
kesepian, masih merasa trauma kalau ke makam bokapnya sendirian... Gue tau sih berat,
tapi gue selalu ngingetin kalau untuk melupakan itu semua…”
“Responnya dia gimana?”
“Dia bilang dia gamau sampai dia puas bisa ketemu anak dari pelaku pembunuhan itu, yaitu
Gina dan Rian”

Gue bisa memahami kalau cara manusia menghadapi suatu kejadian tindak kejahatan bisa
berbeda-beda. Tetapi gue sangat benci dengan mereka yang memilih untuk balas dendam.
Tidak ada gunanya untuk balas dendam, yang ada membuat capek diri sendiri.
Tiga puluh menitan setelah gue dan Reno berbincang dan menatap langit dari balkon, Om
Bambang tiba di rumah bersama pasukannya. Dia menginterogasi gue dan Reno bagaimana
kejadiannya. Kalau dipikir-pikir, Reno sebenarnya bisa saja didakwa karena dia
mengetahui kejahatan berencana tapi tidak melaporkan ke polisi sebelumnya. Namun
karena dia sekarang lagi sama gue dan Om Bambang plus keadaannya sedang darurat, dia
hanya dijadikan saksi saja nantinya kalau harus sampai ke pengadilan.

“Sekarang begini, kamu telfon Dion, terus kasih telfonnya ke Rama, biar Rama yang
ngomong. Nanti di loud speaker aja, biar Om sama yang lain bisa denger…”
Om Bambang memberi perintah kepada Reno untuk menghubungi Dion.

Kemudian lewat telfon rumah gue, Reno menekan nomer hp Dion dan diangkat sama dia.

“Halo?” Dion menyapa dari gagang telfon rumah.


“Dion? Ini gue Reno”
“Oh ya Ren, kenapa?”
“Lo dimana?”
“Di markas”
“Gimana Alya?”
“Masih, sampai gue bisa nemuin kakaknya dan Gina”
“Eh ada yang mau ngomong nih”
“Siapa?”

Kemudian gantian gue yang harus berbicara. Gue sebenarnya deg-degan setengah mati
karena bingung mau bicara apa.

“Kalem aja oke” sambil nepuk pundak gue.

Dan pembicaraan paling menegangkan dalam sejarah hidup gue pun dimulai

“Halo?” gue menyapa Dion duluan


“Halo. Ini siapa?”
“Ayo tebak ini siapa…”
“Gatau. Ini siapa?”
“Cupu.” Rasanya indah bisa merendahkan derajat orang dengan satu kata saja,
apalagi kalau orang ini sudah bertindak kriminal

“Anjing lo! Siapa sih lo?” Emosi dia mulai meledak


“Payah lo!”
“WOY LO GABISA MAIN-MAIN SAMA GUE YA!”

Gue hanya tertawa kecil. Om Bambang cuma kasih jempol gue. Reno malah memberikan
jari telunjuk di depan bibirnya.

            “Gue adalah orang yang lo incer detik ini”


“Ohhhhhh ternyata si Mas Rama. Gimana rasanya kebahagiaan lo direnggut? Gimana hah?!”
“Mau lo apa sih? Apa salah Alya?”
“Salah Alya? Lo mau tau salah Alya dan salahnya lo? Kalian deket sama cewek yang
bapaknya bunuh ayah gue! Kesalahan mahal itu membuat lo harus merelakan Alya untuk
gue cincang satu persatu…. Atau, kalau mau lo berdua selamat, serahin Gina ke gue!”

Tensi mulai meningkat. Gue melirik Reno dan dia menunjuk kepalanya, tanda gue harus
menggunakan akal sehat daripada emosi

“Sekarang mau lo apa? Gina lagi ga ada disini.”


“Gue tau itu. Makanya gue jadiin adek lo adalah tawanan gue. Dan kalau lo mau adek lo
masih bernafas, dateng lo kesini!”

Lalu dari kejauhan, terdengar suara plester terbuka dan kemudian ada suara Alya
berbicara sambil terisak. Sebelumnya, karena gue dikira tawanannya Reno, gue mohon
sama nyokap dan bokap untuk tidak bersuara apapun.

“Kak….ka..kakk, to…long…a…ku…”

Terus tiba-tiba telfon balik lagi ke Dion dan gue hanya bisa pasrah meski tangan ini rasanya
bergetar sangat hebat saking emosinya, namun Reno memegang pundak gue buat
mengingatkan untuk tetap kalem.

“Udah denger suara adek lo kan? Kalau sampe nanti malem lo ga dateng, liat sendiri jasad
adek lo didepan mata”
“….Oke! nanti gue bakal datang! Asal lo janji, lo ga boleh ngapa-ngapain Alya!”
“Baik!”

Kemudian dia mematikan telefonnya, gue pun juga mengembalikan gagang telfon ke
tempat semula.

Agak mengherankan, kok dia tidak minta uang tebusan ya?

“Karena duit bukan segalanya buat dia. Dion tuh hanya memikirkan nyawa dibalas
dengan nyawa” Kata Reno yang duduk di samping gue.

Hari Sabtu itu merupakan hari yang paling panjang dalam sejarah kehidupan gue. Dan tiada
yang lebih menyedihkan melihat semua raut muka yang ada dirumah penuh dengan
kegetiran dan kecemasan yang hebat.

But the show must go on now!

Bab 6
Pertaruhan Nyawa di hari Sabtu II

Tidak lama setelah menghubungi Dion, Emil bersama pacarnya dan Wendi yang datang
sendirian tiba di rumah setelah gue beritahu keadaan terkini. Ketika semua pasukan di
rumah gue sudah berkumpul, akhirnya kita membuat strategi. Karena perjalanan dari
Bintaro ke area Kota Tua memakan waktu 1,5 jam jika naik mobil pribadi. Gue disarankan
naik Busway, dan nanti anggota kepolisian yang di dekat daerah sana akan menemui gue di
depan museum. Menggunakan Busway dirasa Om Bambang adalah untuk mengantisipasi
menjadi daya tarik warga di sana ketika gue baru tiba, jadi gue lebih baik datang ke sana
layaknya warga biasa.

“Om udah telfon sama kepolisian di Polda Metro Jaya, nanti kamu sama Reno ketemu orang
namanya Om Rico, dia memakai kemeja kotak-kotak dan agak gemuk. Tapi dia udah
bawain kamu pelindung badan anti-peluru. Jaga-jaga kalau dia bawa pistol.”
Kata si Om Bambang sambil suruh supir Mabes, Pak Anto untuk anterin gue ke halte
busway dari Terminal Blok M.

“Bismillah deh semoga lancar” gumam gue sambil berjalan menuju mobil.

Gue jalan menuju terminal Blok M dan tiba di sana pukul 15.00, Ketika sampai, gue yang
memakai jaket hitam dan kacamata hitam langsung lari bersama Reno mengejar busway.
Dibantu Pak Anto yang membawa ID card Mabes Polri, gue masuk Busway secara cepat
tanpa bayar. Pak Anto langsung kembali ke mobil dan menyetir ke Kota Tua.

Selama perjalanan, yang ada dibayangan gue hanyalah bagaimana gue bisa pulang dengan
Alya selamat di tangan gue. Lalu bagaimana gue bisa menaklukan Dion yang digadang-
gadang sebagai jagoan di SMA-nya.

Tapi gue yakin, Tuhan maha melihat dan tidak pernah tidur.

Hanya 40 menit perjalanan kami berdua dari terminal, gue dan Reno sudah sampai di area
Kota Tua. Lalu kami berjalan mengarah ke suatu tempat di samping Museum Fatahillah. Om
Rico pun melambaikan tangannya ke arah kami dengan pakaian sesuai yang dikatakan Om
Bambang, yang ternyata juga udah bersama pasukannya.

“Selamat siang, anda saudara Rama? Saya Rico, anak buahnya Pak Bambang” Dia
mengulurkan tangannya untuk saling berjabat tangan dengan gue dan kemudian menjabat
tangannya Reno

“Begini, kebetulan kita udah tau tempatnya dari orang sekitar, dan ada beberapa saksi juga
liat kalau ada dua orang masuk ke gedung yang itu dan engga keluar.”
Om Rico kemudian menunjukkan kami ke arah gedung tua yang dimaksud.
Gedung itu adalah suatu gedung tua, yang berpintu merah dan itu adalah lokasi
syuting video klip gue pas album band gue yang pertama. Seinget gue, bagian belakang
gedung itu kosong, hanya rangka saja, jadi orang dari atas bisa liat lantai 2.

“Nah strateginya, ada empat mata-mata yang akan bantuin kamu. Yang satu akan
ada pasukan penembak jitu berada di sebrang gedung situ, satunya lagi dibelakang gedung
situ…” Om Rico memberikan dua arah yang berbeda tentang posisi gedung”

“Terus om?”
“Nah dua orang lagi akan menyusup ke dalam tapi engga sampai ke tempat saudari
Alya disandera, yang satu akan memonitor gerakan kamu dari sini. Sekarang saudara Rama
gunakan kacamata ini”

Kemudian gue dikasih kacamata yang bisa merekam segala aksi apapun serta rompi anti-
peluru yang disediakan ke gue.

Dan rekaman video ini juga bisa dilihat khusus kerumah gue. Lalu kemudian Om Rico
berbisik dengan Reno, mengajaknya berjalan jauh dari gue. Mungkin suatu rencana
tambahan yang engga gue ketahui.

Setelah selesai, Reno kembali menghampiri gue dan memegang pistol berupa Colt 911A1.

“Kamu masuk layaknya tawanan Reno aja” kata om Rico sambil memberi kode ke
mata-mata kalau gue sudah berjalan menuju TKP.

Langkah gue menuju gedung bersama Reno pun dimulai. Gue hanya berzikir dalam hati,
berharap semuanya sesuai rencana. Tatapan mata gue seolah kosong, memikirkan kalimat
apa yang akan terucap dari gue, Reno, Dion dan Alya nanti.

“Siap ya Ram” Reno kemudian memulai aksinya dengan pura-pura mengikat tangan
gue dengan tali tambang, padahal mah ga ada talinya.

Kemudian Reno mengetuk pintu merah itu sambil tangan tersekap oleh Rico. Rencananya,
satu jam setelah gue sampai, Polisi siap mengepung gedung ini dari darat dan udara.
Kemudian pintu merah itu terbuka dan Dion pun menerima gue serta Reno.

“Akhirnya! Ini dia, artis beken yang sedang lemah tak berdaya, bawa dia masuk Ren!” Dion
menatap gue dengan tatapan keji.
“Oke”

Kemudian gue dituntun ke lantai dua dan mendapatkan Alya sudah diikat tangannya ke
belakang kursi dan mulutnya juga di plester.

“Lihatlah adek lo yang engga berdaya. Oh kasian sekali…” jemari Dion bermain
sambil membelai rambut Alya
Tentu gue ingin sekali menangkis lengannya Dion.

“Jauh-jauh dari adek gue!”


“Oh, baiklah..”
“Sekarang gue udah ada disini sesuai permintaan lo, sekarang lo mau apa?”
“Gue mau nyawa lo. Kalau engga ada Gina, lo harus jadi tumbalnya”

Tanpa pikir panjang, gue menjawab setuju dalam alam bawah sadar gue

“Baiklah. Asal adek gue selamat”

Alya dari kejauhan matanya terbelalak memandang gue seolah berkata,

“GILA KAMU KAK!”

Kemudian Reno menunduk saja dan tiba-tiba dia melepaskan sekapan gue lalu berjalan
keluar.

“Lo kemana Ren?” Teriak Dion dari jarak deket.


“Ambil tali, lo katanya pengen dia tersiksa?” tanya Reno kepada Dion di hadapan gue
dan Alya.
 “Oh iya, ya sudah baiklah” jawab Dion, dan Reno pun pergi.

Apa maksud dia buat pergi….?

“Sekarang cuma ada lo dan gue Ram. Lo mau apa sekarang?”


“Lepasin Alya!” Teriak gue lagi meminta untuk melepas Alya
“Hoho engga semudah itu gue akan melepas adek lo. Lo tau ga apa yang terjadi sama hidup
gue hah??!”
“Enggalah bego”

Balasan gue membuat mata Dion terbuka lebar dan melotot ke arah gue. Gue bisa melihat
badannya bergemetar dan uratnya pun semakin keluar

“Wey sembarangan lo ya!” Dion mengarahkan pistolnya ke gue, kemudian


melanjutkan kalimatnya,
“….Bapak gue mati! Mati karena dibunuh! Dan apakah lo tahu siapa yang membunuhnya?”
“Siapa?”
“BAPAKNYA CEWEK LO JING!”

Gue melirik ke Alya langsung menengok ke Dion seolah-olah dia tidak percaya dengan apa
yang dikatakannya

“….Terus lo mau apa?”


“Gue mau balas dendam”
“Kenapa harus culik Alya?!”
“Karena lo dan dia dekat sama Gina. Asal lo bisa menghadirkan Gina kesini, kalian
selamat. Tapi kalau engga, hmmm…..” Dion kemudian mengarahkan pistolnya ke arah leher
Alya.
“Jauhin adek gue! Itukan perjanjiannya!”

Dion hanya tertawa puas melihat posisi gue dan Alya saling tidak berdaya. Dia merasa
sangat mudah mempermainkan emosi gue di depan matanya dengan menggoda Alya dan
mengancam nyawanya. Gue harus tetap tenang.

Kemudian dari posisi belakangnya Dion, gue melihat Reno sedang memanjat gedung
tersebut. Entah apa yang dia pikirkan.

“Lepasin Alya, dan kita bertarung layaknya laki-laki sejati” Kata gue sambil menatap
tajam ke arah Dion

Rasanya gue ingin menonjok Dion sangat telak saat ini, patah tulang jari gue pun gue ikhlas

 “Oke gue akan lepasin Alya, tapi serahin barang-barang lo ke gue!”

Wah jangan-jangan dia tahu sepertinya kalau gue memakai barang-barang penyeludup.

“Apa yang mau lo ambil?” tanya gue ke Dion.


“Semuanya, kecuali pakaian lo”

Gue serahkan saja dompet, BB kesayangan gue, dan juga kacamata yang ada kameranya.
Semuanya gue taruh di kursi yang posisinya di sebelah kanan jauh gue. Nah khusus
kacamata, gue posisikan menghadap ke arah gue dan Dion agar polisi bisa memantau
aktivitas apa saja di sana. Ditambah gue tidak memegang pistol kecuali rompi anti-peluru
yang gue masih merasa sangat tidak ada gunanya kalau dia menembak ke kepala gue.

Gue berjalan ke arah Alya yang sudah banjir air mata. Gue pelan-pelan membuka ikatan
talinya Alya. Ketika tangan dia bebas dari ikatan, dia langsung memeluk gue erat sambil
menangis.

“Cepet ke bawah” bisik gue sambil menatap matanya yang masih penuh dengan air
mata.
“Jangan mati kak…” bisik dia ke telinga kanan gue, dan dia langsung berlari yang
masih pake seragam Alpus.

“Oke Dion. Sekarang cuma ada gue dan lo. Lo punya pistol dan pisau. Gue engga
punya apa-apa. Apa mau lo sekarang? Membunuh gue?” Gue hanya bisa mengepalkan
kedua tangan, berjaga-jaga seandainya pertarungan dengan tangan kosong terjadi.

“Ya…… Sepertinya begitu”


Kemudian Reno kembali datang untuk menyekap gue. Tangan gue dibelakang dan kali ini
beneran diikat menggunakan tali, cuma agak longgar sehingga kelihatannya bisa gue lepas,
Sementara Dion melangkah ke gue semakin lama semakin dekat. Gue hanya bisa dzikir aja
dalam hati, dan gue merasa sepertinya ajal gue semakin dekat.

Dalam rentang tiga meter, pistol sudah ada dihadapan gue ke arah kening gue.

“Apa pesan terakhir lo?” kata Dion dengan nada keras ke gue.

Gue diam saja. Namun gue merasa kalau Reno, sambil menyekap tangan gue, memberikan
pistolnya ke gue.

Gue keringet dingin.

“APAA?!!” Dion membentak gue dan memaksa gue untuk menjawab pertanyaan gue.

Tiba-tiba gue melihat tali-tali bergelantungan dari belakang jendela. Dan gue melihat ada
penembak jitu yang melambaikan tangannya untuk segera bersiap-siap.

            “Sebelum gue mati karena peluru dari pistol lo….” gue memulai merangkai kata.
           
            “Pernah ga sih lo memaafkan kesalahan orang?”

Dion sepertinya tidak suka dengan permainan mengulur waktu gue.

            “AH TAI! Lo mau ngomong apa sih?!”

Otak gue buntu ga bisa merangkai kalimat lagi. Gue mengeluarkan jurus analan
gue: straight to the point.

“Gue mau lo lihat ke belakang”

Dia memutarkan badannya, dan dia sangat-sangat terkejut ternyata banyak anggota Polisi
yang sudah memanjat, dan memakai pakaian seragam anti peluru sudah ada di lantai dua.
Satu persatu polisi yang menggunakan pakaian rompi anti-peluru pun masuk ke gedung
dari berbagai sisi.

Dion kaget bukan kepalang dan melakukan posisi siaga untuk menembak. Gue pun melepas
ikatan gue sendiri dan bersiap menembak dia. Reno pun juga demikian, sekarang dia
memperlihatkan dirinya ke Dion kalau dia berada di pihak gue.

Sekarang satu lawan banyak. Posisi Dion terdesak. Engga ada pilihan lain selain nyerahin
diri sendiri.

“Kasih senjata lo ke gue, dan kita akan selesaikan ini kalau lo mau ngomong apa
yang sebenarnya terjadi” kata gue.
“Amazing, ternyata kalian udah saling bersekongkol ya ckck!” Dion murka dengan
Reno dan keliatan dari tatapan matanya kalau dia udah siap buat nembak Reno.
“Gue engga nyangka ya lo sebegininya. Kenapa lo ga bunuh gue aja? Gue kakaknya
Gina!” Kata Reno ke Dion dengan hentakan suara yang tegas
“Hah? Kenapa lo tiba-tiba menyatakan lo kakaknya Gina? Mau sok jadi pahlawan
banget mas?” Seru Dion mencoba memancing emosinya kita berdua.

Gue cuma berbisih ‘ssssshh’ ke Reno biar dia engga menarik pelatuknya

“Sekarang apasih yang lo cari? Balas dendam emang ada gunanya?” Gue ingin tahu
sebenarnya apa maksud si Dion sampai mau membunuh Gina.

Tapi Dion hanya diam saja dengan menatap gue tajam.

“Lo bisa bunuh gue karena gue tahu segalanya, tapi lo gabisa bunuh Alya karena dia
gatau apa-apa. Lo bisa bunuh gue berdua sekarang. Lagi pula, kalau lo berhasil bunuh gue,
lo mau ngapain? Jumpalitan di gedung?”
Gue coba tanya lagi. Dan dia masih diam. Terfokus untuk mengambil tembakan.

Gue bisa melihat keringat bercucuran deras dari setiap bagian tubuhnya.

Tensi di ruangan ini semakin memanas sepanas udara Jakarta. Setiap polisi masih bersiap
dengan pistolnya untuk berjaga-jaga jika ada manuver Dion yang agresif.

“Lo gatau kan Ram betapa sakitnya, perihnya, dan pedihnya hati gue ketika tau
bokap gue mati di depan mata gue bercucuran darah?! Coba bagaimana rasanya kalau ada
orang lain yang merebut kebahagiaan lo dan seketika hancur??!”
Sambil bergetar menumpahkan emosinya, Dion mengarahkan pistolnya ke gue.

“Lo engga pernah ngerasain kan rasanya keluarga lo hancur gara-gara orang lain
masuk dan mampu merebut segalanya??! Dan pernah ga rasanya lo kekurangan kasih
sayang hingga lo besar?!”
Dion melanjutkan kalimatnya sambil memandang tajam ke gue.

Gue dan Reno masih diam sambil menatap dia.


           
            “GA PERNAH KAN??!!” Mendadak suara Dion meninggi hingga dia gemetar.

“Gue udah pernah ngerasain kok rasanya. Dan emang engga enak. Tapi ketika orang
tua lo membunuh, dibunuh atau terbunuh, bukan berarti lo harus balas dendam kan?
Bukankah kita diajarkan untuk memaafkan dan berbuat sesuatu yang lebih baik? Masa
depan lo masih cerah! Masih ada waktu untuk membenarkan semuanya.”
Reno memberi tanggapan sambil mengarahkan pistolnya ke Dion.

Sekarang bisa saja salah satu dari kita bertiga, atau juga para polisi yang ada diatap sana
akan mati kenapa peluru ini.
            “Buat gue, balas dendam itu perlu kok. Dan ga ada lagi yang gabisa gue benerin kalau
pistol sudah di hadapan gue.”
Dion mulai berpeluh dengan keringat, sementara fokusnya dia terlihat agak goyah.

“Kenapa harus gue yang menerima kenyataan ini?? Kenapa engga lo aja?!“ Dion
mengarahkan pistolnya ke wajah gue.
“Atau kenapa engga lo??!” Kemudian pistolnya berubah fokus ke arah Reno.

Baik gue dan Reno tidak menanggapi, sementara gue mulai mendengar beberapa pistol
yang digenggam polisi menarik pelatuknya.

“Oh atau mungkin sudah saatnya gue yang harus mati . Itu lebih baik” Dan Dion
sekarang malah mengarah pistolnya ke bawah dagunya.

“Wey gue gaada yang berharap ada yang mati ya hari ini. Gue mau lo bisa jelasin
semuanya! Dan lo masih punya masa depan, masih punya nyokap yang udah ngelahirin lo
kan?”
Kata gue berteriak sambil mencoba mencegah niat dia buat bunuh diri.

“Engga, gaada siapa-siapa lagi disini. Nyokap gue udah mati karena menyesal
menduakan bokap gue! Gue tinggal cuma sama orang lain, dan itu juga terasa kosong. Gue
terasa sia-sia hidup disini”
Dion mulai menarik pelatuknya.

“Saudara Dion harap lepaskan senjata dan angkat tangan!” Om Rico yang sekarang
sudah masuk ke ruangan memberi peringatan pertama.

“Gue emang punya banyak duit, gue emang bebas kemana aja. Tapi hingga detik ini,
gue ga pernah menemukan kebahagiaan dari orang yang terkasih. Gue ga kenal kasih
sayang orang tua. Gue hidup di tempat dan waktu yang salah”
Perlahan, Dion mulai menarik pelatuknya.

“Saudara Dion harap lepaskan senjata dan angkat tangan! Ini peringatan kedua!
Jangan main-main dengan kami!”
Om Rico masih mencoba membujuk Dion yang sekarang gemetar dan siap buat
menembak dirinya sendiri.

            “Dion, sekarang jatuhin pistolnya oke? Ikutin gue” kata gue sambil mengangkat
kedua tangannya dan pelan-pelan meletakkan pistol ke lantai.

Reno pun mengikutinya

“Gue bakal lepas senjata setelah gue nembak diri gue sendiri. Semoga kalian engga
ada yang sakit hati dan kecewa sama keputusan gue” Kata Dion.
Gue dan Reno kaget kalau Dion tidak mengikuti keputusan gue. Badannya semakin
bergemetar dan uratnya semakin terlihat jelas dari lehernya

            “WOY HENTIKAN!” Teriak Reno sambil berlari ke arah Dion


            “Halo ayah” Dion memenjamkan matanya dan…

DOR!

Darah bermuncratan dimana-mana, Reno langsung melangkah mundur. Gue tidak sanggup
melihat ke arah Dion. Sementara polisi-polisi yang ada di gedung atas itu langsung masuk
ke gedung dan mecoba mengecek Dion apakah masih ada detak jantungnya atau sudah
meninggal.

Setelah dipastikan telah wafat meski dengan mata masih terbuka, mereka membawa jasad
Dion kebawah memakai kantung mayat. Beberapa polisi berjalan mengarah ke gue dan
Reno sambil mengecek apakah ada luka atau barang-barang yang rusak,

Kemudian gue melangkah ke kursi yang tadi gue taruh barang-barang pribadi gue untuk
mengambil lagi barang-barang tersebut.

“Gaada yang ilang kan?” Tanya Reno ke gue.


“Engga ada sih Alhamdulillah”

Setelah dinyatakan aman, gue dan Reno turun sambil dikawal polisi-polisi berhelm ini.
Hingga gue turun kembali ke luar gedung pun gue masih merasakan adrenalin yang sangat
tinggi, layaknya film-film laga yang ada tembak-tembakannya. Tapi ini bukan soal
jago acting atau urusan siapa yang menang dan siapa yang kalah. Ini urusan nyawa. Dion
menurut gue sudah hampir berhasil menuntaskan balas dendamnya. Namun dia sendiri
yang membunuh dirinya, dan akhirnya balas dendam itu selesai dengan tidak ada
konklusinya untuk kasus ini

Ketika gue turun, gue melihat kerumunan orang-orang sekitar yang tentunya penasaran
dengan apa yang terjadi dari tadi siang. Gue masih mampu melihat beberapa telfon
genggam milik warga mengarahkan kameranya ke gue. Ada beberapa polisi dengan sopan
meminta untuk tidak merekam atau mengambil gambar wajah gue dan Reno dari dekat.

Namun gue belum bisa memerdulikan mereka.

Kemudian gue dan Reno masuk melangkah ke Batavia Café, namun mendadak penasaran di
mana Alya saat ini.

            “Alya mana?” tanya gue kepada salah satu petugas polisi yang ada di sana
            “Di ambulans mas”
            “Loh kenapa?”
           “Dia mengalami dehidrasi dan trauma, jadi sepertinya harus kita bawa ke rumah
sakit”

Sambil menunggu kabar keputusan selanjutnya mau dibawa ke mana Alya, gue duduk
dengan Reno persis di area ruang tunggu sambil didampingi Om Rico yang sedang
memeriksa perlengkapan yang telah kita gunakan.

“Ram, seandainya lo cerita ke Gina, bilang kalau semua masalah ini biar gue yang
tanggung. Jangan sampai dia kepikiran dan merasa bersalah.”
Kata Reno sambil dia diperiksa oleh Om Rico.

“Siap, terima kasih Ren!” kata gue sambil menepuk pundaknya kemudian mengecek
BBM dari Gina.

Dari balik jendela, gue melihat sekerumunan orang-orang masih mengumpul di sana. Gue
malas untuk menemui mereka. Masih tidak ingin untuk menjawab pertanyaan orang-orang.
Hati dan pikiran gue terkuras hanya memikirkan nasib Alya.

Untung polisi membubarkan kerumunan warga yang masih berusaha untuk menemui gue.

Setelah Om Rico memberikan lampu hijau apabila mau pulang, akhirnya gue berangkat
pulang bersama Alya naik ambulans yang disewa dari kepolisian.  Kondisi Alya masih
terbilang lemah karena tidak makan, hanya minum seadanya, dan juga masih terguncang.
Dia pun diharuskan berbaring dan menggunakan tabung oksigen.

“Makasih banget ya Om udah ngerepotin” gue sekalian pamit dan memeluk Om Rico
yang masih harus menyelesaikan berkas-berkas untuk mencari titik terangnya.

“Oh ya sama-sama Rama. Tadi Reno udah cerita semuanya. Permasalahannya kan
ada di ayahnya dia, jadi mungkin Reno belum bisa bebas karena masih harus dimintai
keterangan yang jelas biar polisi bisa meringkus tersangka ini.”
Kata om Rico sambil menepuk pundak gue.

“Yaudah om, nanti kabarin lagi yaa ke saya. Lewat Om Bambang aja” bilang gue
sambil memasuki mobil ambulans dan duduk menemani Alya di kursi belakang.

Seketika ada BBM masuk dari Gina

“Rama sayang, aku baru bisa berangkat ke Jakarta besok pagi. Ya paling lusa aku baru
sampai sama Rian. Kamu gausah jemput aku ya, nanti aku naik taksi.”

Agak lega juga sih dia bela-belain pulang ke Indonesia cuma buat gue. Drama dua hari ini
sepertinya akan kekal dalam ingatan gue dan tentunya Alya selamanya.

Keadaan Alya sangat lemah, bahkan dia tidak berbicara banyak ke gue. Hanya menangis
dan menggenggam tangan gue.
“Aku takut kak, mau pulang.” Kata dia dengan nada terbata-bata.
“Iya kita akan pulang, tapi kamu harus pulih dulu”

Kemudian mobil ambulans ini langsung ke Rumah Sakit Internasional Bintaro atas
permintaan nyokap via Om Bambang.

Bab 7
Kenyataan Yang Harus Kamu Ketahui

“ALYAAA! Duh kamu gapapakan naak?!” isak tangis nyokap dan bokap melihat
tubuh Alya yang akhirnya selamat meski keadaannya lemah dan berbaring di tempat tidur
ambulans.

Dan jangan salah, sampai rumah sakit pun banyak mobil polisi berjejeran di dekat pintu
gerbang karcis rumah sakit tersebut. Ketika mobil ambulans datang, ada beberapa
wartawan yang langsung menyerbu ke pintu belakang. Tentu kondisi ini sangat tidak
nyaman.

Alya kemudian langsung masuk ke ICU selama semalam agar mengembalikan cairan dalam
tubuhnya. Karena Alya dipastikan akan tidur semalaman, gue lebih baik menunggu di
ruang tunggu khusus keluarga pasien bersama nyokap dan bokap.

Ternyata Emil dan Wendi juga ikut ke rumah sakit, karena mereka yang mengantarkan
nyokap dan bokap ke sini.

            “Gimana tadi?” Emil bertanya sambil memberikan segenggam roti coklat


            “Gue ga percaya gue bisa lihat orang bunuh diri di depan mata gue”
            “Ah serius lo yang bekap Alya bunuh diri?”

Gue mengangguk lesu

            “Terus Reno gimana tuh?” Kali ini giliran Wendi yang bertanya
            “Dia masih ditahan sama kepolisian”

Tiba-tiba gue melihat dari kejauhan ada cewek remaja berlari ke arah ruang tunggu ICU
menggunakan sweater hitam. Ternyata itu Karina yang merupakan sahabat sejatinya Alya.
Mukanya menahan tangis tetapi memerah. Dia hanya menutup mulut dan hidungnya ketika
melihat gue yang menatap dia. Gue pun langsung berdiri untuk menghampirinya

            “Need a hug?” tanya gue sambil membuka kedua lengan gue, menawarkan pelukan
untuk Karina
Tanpa pikir panjang, Karina pun memeluk gue sambil menangis sesenggukan.

            “Alya ga kenapa-kenapa kan kak?” Tanya Karina sambil menangis tersedu


            “Gapapa kok dia stabil. Dia cuma shock sama dehidrasi aja”

Setelah agak tenangan, Karina gue persilahkan duduk didampingi Wendi dan Emil.

Ternyata butuh dua hari agar Alya bisa keluar dari ICU dan dipindahkan ke kamar VIP.
Keadaan Alya masih lemah, masih belum bisa banyak berbicara, dan masih menggunakan
selang oksigen. Meskipun terlihat jauh lebih segar dibandingkan ketika gue
membebaskannya.

            “Duh nak cepet sehat biar kita pulang yaa” bisik nyokap sambil mengelus rambutnya.

            “Ma…afin….” Kata Alya yang masih belum bisa berbicara secara lancar, tapi dia tahu
dia telah melakukan kesalahan besar yang nyaris mengancam nyawa dirinya.
            “Iya mama maafin nak. Sekarang kamu sembuh dulu aja ya” kata nyokap sambil
menitikkan air mata.

Sementara itu, Polisi sudah menyarankan akan menaruh dua personelnya di depan rumah
gue buat berjaga-jaga dan menetralisir keadaan terlebih dahulu. Bahkan ada juga polisi
yang beberapa kali datang ke rumah sakit untuk memberi dukungan untuk Alya secara
personal.

Karena Alya masih tidak stabil keadaannya, gue menyarankan agar jangan ada yang
menjenguk dulu sampai Alya bisa kembali diajak mengobrol meski yang ringan-ringan.

“Ma, nanti malam Gina mau langsung ke sini pas aku kasih tahu kalau kita di rumah
sakit. Katanya mau nemenin kita dulu selama semingguan. Terus kan lusa udah tahun baru,
dia mau tahun baruan bareng kita” kata gue sambil membuka BBM Gina yang sudah berada
di Singapura untuk transit perjalanan ke Jakarta
“Oh syukurlah kalau dia mau datang. Dia mau nginep di sini?”
“Ga tau deh, nanti aku tanya”
“Yaudah mama sama papa pulang dulu ambil baju ya, nanti ke sini lagi”

Setelah nyokap pergi, gue duduk di sofa sambil membaca koran. Sambil menanti dokter
jaga untuk mengetahui perkembangan Alya yang masih tertidur karena efek obat.

            “Kak……” tiba-tiba Alya terbangun dan memanggil gue.

Gue langsung berdiri dari sofa dan langsung memegang tangan kirinya dan mengelus
rambutnya

“Kak….. maaf…..” Kata dia terbata-bata sambil menangis

Gue ga bisa apa-apa. Mau nangis pun kayanya sudah tidak bisa.
            “Iya dek gapapa kok…. Kamu mau cerita?”
            “Iya….”

Kemudian gue mengambil kursi dan duduk. Alya juga meminta gue untuk menaikkan
sandarannya agar posisi kepalanya bisa agak lebih tinggi.
“Jadi….. Pas Kamis aku mau Inten…. bareng Dion….. Dia jemput aku ke Alpus, terus dia itu
bawa mobil….. Nah dia menawarkanku minum, dan kebetulan karena aku haus, ya aku
minum…… Terus aku ngantuk dan ketiduran….. Pas bangun udah diiket….”
“Dikasih makan engga?”
“Roti aja…”
“Minum?”
“Dikit aja…”

Alya hanya menatap gue sambil menunjukkan raut muka sesal teramat dalam.

“Maaf ya kak…. Aku ga…dengerin kamu….” Kata Alya sambil menangis kencang dan
menggenggam tangan gue.
“Sometimes, we need a trigger to understand what we really scared most right?”

Dia hanya mengangguk dan masih menangis.

Gue bisa membayangkan rasa kesal dan sesal yang membelenggu perasaannya Alya
sepanjang hayat. Trauma setelah diculik hingga kehabisan tenaga untuk bertahan.
Selemah-lemahnya kondisinya, gue masih merasa Alya selamat oleh tangan Tuhan.

            “Kak……” Tiba-tiba Alya kembali memanggil nama gue


            “Ya Al?”
            “Apa aku bakal baik-baik aja?”
            “Everything is gonna be okay Al” Jawab gue sambil mencium keningnya.

Dia kayanya masih kelelahan dan kembali memenjamkan matanya. Gue pun kembali duduk
di sofa. Akhir pekan telah gue lewati di rumah sakit, dan memulai pekan yang baru juga
masih di rumah sakit. Sementara dari balik jendela ruang kamar rumah sakit ini, bulan
sudah terang benderang.

Tok tok tok!

Terdengar suara ketukan dari pintu rumah sakit. Kemudian gue beranjak ke sofa dan
membukakan pintu.

            “Loh Gina….” Gue kaget karena Gina tidak mengabarkan gue kalau sudah mendarat di
Jakarta.

Kemudian Gina langsung memeluk gue erat-erat, sementara Rian hanya berdiri
dibelakangnya.
            “Gimana Alya?” tanya Gina setengah berbisik ke gue
            “Baru aja tidur”

Gina kemudian melangkah ke dalam membawa tasnya sementara Rian gantian memeluk
gue

            “Alya baik-baik aja kok” kata gue sambil menenangkan Rian yang nampaknya
menangis hingga badannya gemetar

Dan benar saja Rian menangis.

            “Gue kepikiran pas lo kasih tau Alya diculik kak. Pas tadi kita transit dan lo bilang
Alya di rumah sakit, makin mikir yang aneh-aneh” Kata dia sambil menghapus air matanya.
            “Tidak seburuk itu kok, tenang aja” kata gue sambil merangkul dirinya

Kemudian gue mempersilahkan masuk dan mereka langsung berdiri persis di samping
ranjangnya Alya. Gina hanya mengelus rambutnya sementara Rian hanya menggenggam
tangan kanan Alya yang diberikan jarum infus.

            “Kapan dia pulang?” tanya Gina dengan mata tertuju ke Alya


            “Kalau perkembangan kesehatannya pesat ya dua atau tiga hari lagi.”
            “Dia tapi mau makan kan?”
            “Mau, cuma ga bisa langsung banyak. Harus sedikit-sedikit”

Gue tiba-tiba teringat Reno. Teringat kisah asal-muasal dan penyebab diculiknya Alya.

            “Rian, gue boleh pinjem Gina dulu ga sebentar?” tanya gue ke Rian yang masih
mengelus-elus jari jemari tangannya Alya.
            “Boleh kok kak, gue temenin Alya di sini”
            “Mau kemana Ram?” Tanya Gina penasaran
            “Starbucks aja”

Kemudian gue melangkah turun ke Starbucks RSIB dengan Gina menggenggam tangan gue.
Dia mungkin mencoba memberikan dukungan kepada gue. Padahal sebenarnya, dialah
yang nantinya akan membutuhkan dukungan dari semua cerita ini.

            “Gin…” kata gue sambil menyeruput segelas Americano


            “Iya Ram?”
“Ada banyak hal yang kamu harus tau. Hal-hal yang kamu ga pernah ketahui sebelumnya”
“Maksudnya?”

Gue bingung harus berbicara dari mana. Takut salah pemahaman nantinya.

            “Gin, kejadian Alya ini ada kaitannya sama kamu….”


            “Hah?!”
Wajah Gina sontak terbengong dan menunjukkan ekspresi tidak percaya

            “Seriusan”
            “Maksud kamu?”
“Kamu inget kan waktu itu kamu pernah cerita tentang tetangga yang ga jelas itu?”

Gina mengangguk pelan sambil menatap gue serius

            “Dia itu penculiknya Alya”

Mulut Gina semakin terbuka dan makin melongo.

            “How come?!”
“Ya Alya lagi deket sama si ini cowok di Inten. Nah si cowok ini tuh anak Vespa dan bisa
dikatakan bad boy lah…”
            “Terus?”
“Suatu hari, dia tahu sesuatu yang bikin dia emosi dan akhirnya menculik Alya”
            “Apa? Apakah ternyata selama dia suka sama aku dan tau kita deket?!”

Gina masih kaget dan berpikir kalau cowok ini suka dan fanatik sama dirinya

            “Bukan sayang”

Dia langsung membuang nafas secara lega…

            “Tapi ini berkaitan sama papa kamu….”

Dia kembali kaget dan menghela nafas dengan mata terbelalak

            “Papaku….? Papaku kenapa?”


            “Jadi gini….. Kamu tahu kan kalau Papa kamu itu selingkuh?”
            “Iya tahu kok…That’s why I hate him!”
“Selama ini selingkuhnya sama tetangga kamu… dan anaknya yang sering liatin kamu itu ya
cowoknya Alya ini..…”

Gina semakin mumet mendengarkan penjelasan gue. Mungkin dia tidak mengira ini
terkesan relatable sama dia.

            “Terus Ram?”
“Papa kamu selingkuh sama istri orang. Suami dari si selingkuhan papamu ini… mati
dibunuh di depan si tetangga kamu”
            “What….?”
            “Kemudian istrinya bunuh diri karena depresi….”
            “And then?”
“Ya dia dendam sama keluarga kamu. Dia ngincer kamu dari lama, cuma bisa ketahan. Lalu
pas dia tahu Alya deket sama kamu yaudah deh dia mikir ini kesempatan emas….”

Gina hanya menggelengkan kepala. Butuh 10 detik baginya untuk bisa merespon apa yang
gue maksud.

            “So…. It’s because of me?” Gina kemudian menunjuk dirinya sebagai kambing hitam
atas segala permasalahan ini
            “Don’t thinking like that….”
            “Oh shit happens Ram….”

Lalu dia beranjak pergi dari kursinya dan keluar dari Starbucks lewat pintu samping
dengan berjalan cepat. Tentu aksinya dilihat oleh orang sekitar

            “GINA! It’s not your fault!” Teriak gue sambil mengejarnya yang berjalan ke arah
keluar rumah sakit

Gina tidak bergeming. Dia malah semakin berjalan cepat entah menuju ke mana malam-
malam gini.

Kemudian gue berlari dan menarik tangannya. Untungnya dia nurut dan langsung berhenti.

            “It’s not your fault Gin…” Kata gue sambil memeluknya yang menangis
“But… the sin of my dad is too much for me to carry it on my shoulder now…”
            “Ya still, it’s not your fault…”
            “But now it’s my responsibility either is necesarry or not!”
            “Well still not your responsibility…”
            “How do you know Ram?!”

Sebelum gue jawab, gue kembali membawa dia ke Starbucks. Tentu mbak-mbak Barista-
nya melihat tingkah laku kami berdua. Gue hanya memberikan gestur jempol, tanda kalau
semuanya baik-baik saja.

            “Gin, there’s one last story of even a fact you should know now” gue akhirnya memulai
topik pembicaraan tentang kakaknya
            “What is it?”
“You have a big brother from another mother”
            “ME? ME HAVE A BIG BROTHER?!”

Gue hanya mengangguk tanpa melirik dia

            “HOW… How the hell I never know about this fun-fact on my family?” keluh Gina sambil
membanting HP-nya ke meja
            “Gin! Tahan emosinya….”
Gina masih merengut kesal. Gue mengamankan barang-barang yang ada di depan gue.
Takut gelas atau piring beterbangan.

            “Tell me all the things that I never know!” Kata Gina setengah membentak ke gue
“Well…. You have a big brother but from another mother. He’s stayed with his mum after
divorce, and then his dad marrying your mum. You and Rian were born and then boom! That
happened… Those triangle love affair killed a man, led his wife to deep depression until
suicide, and their only son was raised by one of his mum’s friend…”
            “And then?”
“Your dad is missing, Your big brother still trying to find it. While this poor kid was in love
with Alya until he knew there’s connection between you and Rian with Alya. That’s the main
factor and his biggest motivation to revenge”
            “So did he love Alya for revenge?”
            “At first was no. But later was yes”

Gina diam saja sambil menunduk kemudian melihat jendela. Dia masih terguncang.

Tiba-tiba dia mengambil tasnya dan berdiri

            “Kamu mau kemana?” tanya gue kebingungan melihat dia ingin pergi beneran kali ini
            “I need to go”
            “Where?”
            “Somewhere quiet…”

Gue tahan tangannya agar dia tidak kemana-mana

            “Alya’s room is quiet”

Kemudian dia membalikkan badannya ke arah gue dan menatap tajam

“Ram, don’t see your sister is sick because of me?! Because what my dad had done for many
years!”
            “Don’t you dare….”
            “I shouldn’t let my heart in love with you…”

Tentu ini membuat gue terkejut dengan ucapannya yang seperti tidak terkontrol

            “Why? Why can’t I help you to heal your heart?”


“Me and Rian are suffering and I thought with you come in, everything is change. But after
seeing your sister is injured and weak because my dad’s post-behavior, I could be the curse for
your family…”
“Gin…. Don’t leave me like this, while I still thinking how Alya can recover from it”

Dia hanya menatap gue dengan wajah bergetar dan mata memerah. Gue hanya ingin dia
tetap disini hingga larut malam.
Namun dia tidak bergeming, kemudian dia pergi.

Kali ini, gue tidak kejar dirinya karena ga akan ada gunanya kalau gue kejar. Semua orang
di Starbucks terpaku ke arah gue dan pintu yang dibiarkan terbuka oleh Gina.

Gue kemudian duduk dengan muka tertekuk dan bingung harus bagaimana. Apa gue salah
telah menceritakan ini semua?

            “Mas, gapapa kan?” salah satu barista Starbucks bernama Kevin datang menghampiri
gue
            “Hah? Gapapa kok”
            “Kalau cewek lagi emosi, biarin aja. Nanti juga balik lagi” katanya sambil mengambil
gelas kopi gue yang telah kosong.

Gue hanya menggangguk dengan senyum kecut. Dia mungkin berpikir ini masalah cinta-
cintaan.

Karena gue engga tahu Gina kemana dan hari juga sudah malam, gue memilih untuk
kembali ke kamarnya Alya. Gue sejujurnya khawatir ke mana Gina berada. Takutnya dia
diculik sama orang yang ga dikenal terus masalahnya kaya Alya tadi.

Bahkan detik ini setelah melihat Rian tertidur dengan posisi duduk sambil menggenggam
tangannya Alya, gue masih berpikir apakah gue harus mencari Gina atau membiarkannya
pergi menenangkan pikirannya.

Bab 8
Biarkan Semua Berlalu

            “Maafin aku ya kalau semalam sikapku mengecewakan kamu.”

Itu adalah kalimat pertama Gina ketika dia membangunkan gue dari tempat tidur rumah
sakit setelah lama menunggu dia tidak kembali ke ruangannya Alya. Gue pun langsung
melek dan duduk di kasur lipat.

“Aku salah mencerna semua cerita kamu semalam… Aku jalan sendirian, duduk di Sevel,
jalan lagi ke McDonald, duduk sendiri kaya orang bego cuma berpikir does anyone have a
similar storyline like me… Terus aku akhirnya memberanikan diri ke rumah kamu dan
ngobrol sama mama kamu, kemudian tidur di kamar kamu…”

Gue hanya melirik wajahnya yang penuh sesal. Gue masih tidak kuat untuk berbicara
karena masih mengantuk. Mata gue pun masih setengah terbuka.

“Sebelum aku tidur, mama kamu bilang kalau aku adalah wanita pertama yang bisa bikin
kamu bahagia meskipun aku pergi ke London. Wanita pertama yang kamu bela-belakan
untuk ketemu dan memikirkan aku sepanjang hari kamu. Kemudian aku minta maaf sama
mama kamu atas kejadian ini setelah aku menceritakan lagi apa yang kamu ceritakan
semalam. Aku sudah berpikir bahwa aku akan disalahkan oleh mama kamu… Ternyata
mama kamu sangat baik Ram ke aku, bahkan dia tidak sama sekali menyalahkan aku. Dia
cuma ingin sekarang untuk menemani kamu dan Alya hingga aku pulang lagi ke London”

Gue hanya tersenym sambil duduk bersila, lalu memberikan dia ruang untuk duduk
disebelah gue. Gue menepuk tangan gue ke kasur lipat yang sudah gue
berikan space untuknya. Dia pun duduk disitu.

            “Maafin aku Ram kalau kehadiranku justru membuat kamu dan Alya dan semuanya
menjadi serba susah…”
Kata Gina sambil sesenggukan dan memeluk gue.

“Sudahlah. Masa lalu ayah kamu yang menimpa Alya di masa sekarang bukanlah kesalahan
kamu. Sekarang kamu gausah nangis, bantu Alya agar bisa pulih lebih cepat. Dan kita bisa
tahun baruan di rumahku.”

Gina hanya mengangguk sambil mengadahkan kepalanya ke bahu gue.

Setelah lima hari dirawat intensif di rumah sakit, dan dijenguk oleh teman-teman Alya
kemudian teman-teman gue serta om-tante dan sepupu-sepupu, akhirnya Alya
diperbolehkan pulang. Lima hari di rumah sakit membuat gue sama sekali tidak
memikirkan agenda ngeband ataupun promo gue. Gue hanya fokus kepada pemulihan
psikisnya Alya, dan fokus kepada Gina yang juga ikut terguncang dengan kejadian Alya.

“Ga ada yang ketinggalan kan?” Tanya bokap ke gue sambil membawakan kursi roda
untuk Alya
“Engga kok pah”

Gina dan Rian tidak ada di ruangan rumah sakit karena dia ingin memberikan kejutan
ketika Alya sampai di rumah. Gue juga engga tau kejutan macam apa yang ingin diberikan.

            “Kak, Kak Gina sama Rian kemana?” Tanya Alya dengan suara yang masih agak lemah
meski sudah jauh lebih baik dari hari-hari sebelumnya
            “Lagi ada urusan, nanti dia nyusul ke rumah”

Dari kami keluar ruangan hingga ke lobi penjemputan di rumah sakit tersebut, banyak
suster dan satpam bertepuk tangan kepada Alya. Mungkin sampai ada beberapa
pengunjung yang kebingungan apa yang sedang terjadi.

            “Semoga lekas pulih ya Alya, biar pas sekolah sudah sehat!” kata salah satu susternya
sambil memberikan buah-buahan dalam bentuk parcel.
Setelah Pak Karjo datang, gue dan bokap mengangkat Alya dari kursi roda ke kursi
penumpang belakang karena dia masih tidak kuat berjalan. Kursi roda pun kami beli dan
sudah disediakan di rumah.

            “Akhirnya anak mama pulang!” seru nyokap ketika duduk di kursi belakang
menemani Alya.

Alya hanya tersenyum sambil melihat ke jendela mobil. Gue yang duduk disampingnya
membiarkan dirinya untuk merebahkan kepalanya ke gue. Gue juga membiarkan semua
pikiran yang ada dibenaknya dia nikmati selagi bisa. Mungkin baik dia maupun gue
menyadari kalau kejadian penculikkan hari Sabtu itu tidak akan pernah terlupakan.
Mungkin Alya yang sangat menderita.

            “Yuk Alya kita turun!” Nyokap masih mencoba meriangkan hatinya Alya setelah kita
tiba di depan rumah.

Alya kemudian menggeserkan badannya dan membiarkan gue dan bokap mengangkat
dirinya ke kursi roda yang telah disediakan oleh bokap. Kursi roda Alya dituntun bokap
hingga masuk ke pintu rumah. Tiba-tiba pintunya terbuka dari dalam

            “SURPRISEEEEE!”

Ada confetti berterbangan dan juga kue serta tulisan “WELCOME HOME ALYA” di ruang
tamu. Kemudian Gina memegang kue yang ada lilinnya, lalu Rian membuka confetti, Emil
dan Wendi seperti biasa mengiringi lagu kesukaan Alya yaitu lagu Imagine, sementara
sahabatnya Alya yaitu Karina membawakan kado berupa boneka teddy bear yang Alya
sangat idam-idamkan.

Gue yang berdiri di belakangnya bisa merasakan emosinya Alya yang pasti terharu karena
gue melihat Gina, Rian dan Karina sama-sama menitikkan air mata ketika memeluk Alya.
Bahkan gue melihat nyokap juga sesenggukan.

            “Welcome home sayangku!” kata Karina sambil memeluk Alya

Melihat adik kesayangan gue sudah kembali ke rumah membuat hati gue lega.

Lega karena bisa menjadi penyelamatnya dia. Lega karena masih ada orang yang mau
bantuin gue untuk menyelamatkan dia. Dan lega karena masih ada orang-orang tersayang
yang rela pulang untuk menjenguk dan menemaninya. Gue sangat bersyukur dengan itu
semua.

Gue membiarkan Alya having a moment sama Karina dan Rian, sementara gue naik ke atas
dan merebahkan badan gue di karpet sendirian. Ingin rasanya gue melupakan tragedi
kemarin, tapi gue tahu sejak kejadian itu, kita semua berubah.

            “Kamu gapapa?” Gina datang menghampiri gue dan duduk di samping badan gue.
            “Gapapa kok”
            “Capek?”
            “Yaa…”

Kemudian dia ikut tiduran dan kepalanya berada persis menindih lengan kanan gue.

            “Ram, aku tadi sama Rian membahas tentang kita punya kakak…”
            “Terus?”
            “Kita sepakat untuk bisa ketemu sama dia”
            “Serius?”
            “Iya”

Mungkin ada tembok penghalang yang harus diruntuhkan oleh Gina, agar kepingan kasih
sayang tentang keluarganya bisa disusun kembali, meski tidak sempurna. At least, you still
have a chance to fix it.

            “Baiklah, nanti aku tanyain dia bisa ketemu kapan”

Gue kemudian bangkit dari posisi berbaring dan melihat Emil dengan Wendi sedang
berjalan menuju ke gue. Gue menatap mereka, dan kemudian mereka duduk selonjoran di
hadapan gue.

            “Lo gapapa kan?” Tanya Wendi ke gue dengan nada serius

Gue hanya mengangguk tanpa mengeluarkan sepatah kata pun

            “Serius?” Kali ini giliran Emil yang memastikan kalau gue baik-baik saja
            “Seriusan. Santai aja…”
            “Ya soalnya gue perhatiin lo lebih banyak diemnya selama Alya dirawat…”

Entah kenapa gue baru menyadari hal itu. Mungkin memang gue kepikiran sama Alya.

“Iya Ram. Gue sama Wendi bisa paham kalau lo shock. But we hope that you can recover”
“Hmm that is what I’m afraid of….”
“Why?” Tanya Emil sambil mendekatkan kepalanya ke gue
“Ya this has taught me a lesson. Lesson about revenge. Someone out there who have a hatred
feeling with us, still haunting us and any time can bite and kill us without any call. Just be
ready because you never know. Siapa tahu kita pernah nyakitin orang selama hidup kita,
terus dendam tersebut masih ada hingga kita tua nanti.”

Ucapan gue membuat suasana mendadak hening. Masalahnya, hal itu memang benar
adanya.

            “Ram, kita berdua paham dengan apa yang terjadi dan gue tau lo takut ada hal seperti
ini lagi kedepannya. Kita cuma pengen lo bangkit. Alya bakal baik-baik aja kok”
kata Wendi melanjutkan pembahasan

            “Emangnya gue terlihat seperti orang terpuruk kah?” tanya gue ke mereka berdua.

“Bukan gitu Ram. Kita cuma takut emosi yang lo rasakan dan mengurung diri lo itu akan
berdampak sangat besar untuk hidup lo…”
            “….dan karir musik kita? Iya kan?”

Gue benci sebenarnya untuk membahas hal bermusik di saat gue butuh ruang untuk
memikirkan Alya. Gue memang ingin reboot mental gue kemudian baru kembali terjun ke
studio.

Tapi saat ini, gue lelah mental.

Sayangnya, Emil dan Wendi mencoba mengajak gue untuk kembali ke studio terlalu cepat.
Entah gue yang kepedean kalau mereka ngajak ke studio apa gimana cuma gue yakin
arahnya kesana karena sudah seminggu lebih gue ga mampir ke studio ataupun ngomongin
musik. Ditambah kita lagi gencar-gencarnya latihan untuk tur keliling negara

            “Ya…. Gue paham kalau lo masih gamau ke studio Ram. Cuma, jangan kelamaan. Kan
lo sering ke studio untuk melampiaskan emosi lo…”
Emil masih mencoba memberi penjelasan

“Wen, Mil, gausah diingetin gue juga bakal ke studio. Tapi gue ga bisa dipaksa kaya gini. I
will recover, but not today.”

Emil dan Wendi hanya menunduk. Mungkin karena mood gue lagi jelek, rasanya mau
diingetin apapun ga akan mempan.

            “Yaudah Ram, jangan biarin diri lo terlalu terpuruk.” Kata Emil sambil berdiri, diikuti
Wendi

            “Iya Ram. Kita balik dulu ya. Kalau ada apa-apa hubungin kita aja” Kemudian Wendi
dan Emil menepuk pundak dan mengelus rambut gue dan melangkah pergi meninggalkan
gue dan Gina.

Lalu gue bertanya kepada diri sendiri, sebenarnya yang paling sulit untuk bisa memulihkan
mental siapa ya. Entah kenapa gue juga merasa diri gue down karena ada orang yang tega
berani menyakiti perasaan dan psikis adik gue. Terkadang, semesta ingin bermain mata
dengan caranya sendiri.

            “Kamu gapapa?” Gina bertanya kepada gue setelah Emil dan Wendi hilang ditelan
bumi

            “Actually no”
            “Kenapa?”
Gue hanya menghela nafas panjang

            “Aku gatau Gin. Aku cuma takut ini kejadian lagi. Aku nyaris mati, Alya nyaris mati.
Kadang aku nyesel kenapa aku belum bisa melindungi dia, padahal mama sama papa udah
memberikan amanah ke aku untuk jaga dia.”

Mendadak air mata dari mata gue ini menetes deras. Memikirkan penyesalan dan dosa gue
sebagai kakak. Gue ga bisa membendung tangisan ini karena gue sadar betapa
beruntungnya gue dan Alya bisa lolos dari ancaman kematian.

“Gina, lagi-lagi aku ingetin jangan pernah salahin diri kamu..” Gue menegaskan apa
yang pernah gue katakan sambil mencium keningnya Gina

Gina pun juga kembali menangis.

Kita berdua hanya takut hal seperti ini kembali menghantui.

Bab 9
A Family Reunite

            “Ram, ketemuan di PIM aja ya jam 1 siang” Kata Reno lewat BBM ke gue, tiga hari
setelah kepulangan Alya.

Reno dan gue mengatur pertemuan setelah Gina mengutarakan keinginannya untuk
berkenalan dengannya sebagai sang kakak. Padahal, Reno saat ini sedang sibuk mencari
jejak ayahnya yang menjadi buronan polisi.

Sambil mencari baju, tiba-tiba Alya membuka pintu kamar gue.

            “Kak” kata dia yang sekarang sudah mulai berjalan lagi.


            “Ya?”
            “Sibuk ga?”
            “Engga kok cuma lagi cari baju aja. Kenapa Al?”

Kemudian dia melangkahkan kakinya masuk kamar dan duduk di kasur gue.

            “Kamu udah gapapa badannya?” gue berhenti mencari baju kemudian melirik ke dia

            “Udah lumayan kak”


            “Ada apa Al?”
            “Gapapa sih, aku capek diem aja”

Nampaknya Alya sudah perlahan pulih psikologisnya.

            “Heboh lagi dong hahaha”


            “Hahaha.. gatau kak, belum pengen haha-hihi lagi…”

Gue hanya melemparkan senyuman ke dia, begitu pula dengan Alya.

            “Everybody has changed ya kak” tiba-tiba suasana pembicaraan mendadak serius


           
            “Maksud kamu?”
            “We’re changed. Entah menjadi lebih baik atau lebih buruk hanya karena kejadian
kemarin” Alya hanya menunduk lesu, mungkin dia masih menyalahkan dirinya.

Seketika raut muka Alya penuh dengan penyesalan. Tentu gue menyadari hal ini dan
langsung menutup pintu lemari baju gue, kemudian duduk disampingnya.

“Kalau kata iklan, life is never flat. Kamu tahu kan detak jantung? Kalau kamu lihat kan dia
naik turun grafiknya. Kalau lurus aja ya mati. Sama kaya kehidupan kita. Kadang ada
dimana kita benar-benar ada di posisi paling puncak karena kita sukses. Nanti ada masanya
kita benar-benar jatuh hingga terpuruk. Jatuh dan terpuruk itu lumrah, tapi bagaimana kita
belajar dari keterpurukan dan bereaksi itu yang paling penting”

Hanya ada anggukan dari kepalanya Alya.

            “Jadikan yang sudah berlalu sebagai pelajaran.” Kata gue mengakhiri petuah seorang
kak.

Kemudian Alya berdiri dan memeluk gue yang masih duduk di kasur.

            “Terima kasih kak”


            “Untuk?”
            “For being my superman”
            “That is one of million brother’s job to take care his sister”

Alya hanya tersenyum dan mencium pipi gue. Kemudian dia kembali melangkah ke
kamarnya.

Senang rasanya melihat Alya sudah bisa tersenyum lagi.

Ketika waktu sudah menunjukkan pukul 11.30, gue memanggil Gina yang sedang
menemani Alya di kamar. Gue sudah bersiap-siap dengan pakaian nyantai ala gue. Rian pun
juga sudah siap dengan celana jeans biru andalannya.

            “Udah siap belum?” gue bertanya sambil mengetuk kamarnya Alya


            “Udaah udaah”

Kemudian pintu kamarnya Alya terbuka dari dalam, dan ternyata dia lagi mendandani Alya.
Untuk pertama kalinya gue melihat Alya didandani oleh orang lain, karena biasanya dia
kalau mau merias wajah pasti sendirian.

Dan hasilnya sangat membuat Rian, yang ada di belakang gue, takjub.

            “Alya….?” Rian mendadak memanggil namanya Alya dengan nada romantis

Alya pun yang berdiri pun hanya tersenyum melihat Rian.

Padahal ini siang-siang, dan sejujurnya Alya pun pakaiannya juga santai. Cuma mungkin
karena Alya belum pede untuk make-up sendiri lagi, akhirnya Gina yang membantunya
untuk make-up dan memberikan pilihan baju untuk Alya.

            “Ehm…” Gue berdehem untuk merusak suasana, “Jadi Alya mau ikut nih?”
            “Ikut deh kak, bosen kalau di rumah aja”

Kemudian Gina keluar terlebih dahulu dari kamarnya Alya dan berdiri di sebelah gue,
sementara Rian jalan ke kamarnya Alya seolah-olah ingin menjemputnya.

            “Let’s leave them for a while” bisik Gina di telinga gue.

Dari pada gue dan Gina menganggu momennya Alya dan Rian, gue lebih baik turun duluan
mencari kunci mobil. Karena nyokap dan bokap lagi pergi menjenguk tante Betty, rumah
pun dikuasai oleh kami berempat dari tadi pagi.

            “Ga makan di rumah kan mas?” tanya Mbak tina ketika sedang mengambilkan sepatu
gue
            “Engga mbak, kenapa?”
            “Gapapa, saya belum masak soalnya”

Kemudian Alya turun ke bawah untuk pertama kalinya setelah tiga hari mendekam di atas
saja sambil dipegangin oleh Rian.

            “Yuk jalan?” sahut gue menandakan kami harus segera berangkat karena sudah mau
pukul 12.00

Di perjalanan, gue melihat Alya tak henti-hentinya memandang ke jendela sambil


bersandar ke pundak Rian. Dia belum heboh seperti dahulu dan belum mau banyak
berbicara, tapi gue bisa merasakan dia akhirnya bisa menikmati that moment  bersama
Rian. Sesuatu hal yang mungkin dia sempat idamkan dan pupus dalam waktu yang singkat.

            “Mau makan dimana nih nanti?” Gina memecah keheningan di dalam mobil
            “Mana aja kak!” jawab Alya dengan suara keras
            “Rian lagi pengen apa?”
            “Masakan Indonesia aja deh kak” kata Rian sambil mengelus rambutnya Alya
            “Kamu Ram?”
            “Ngikut aja deh”

Setelah melalui perundingan hingga sampai parkiran PIM, akhirnya kami berempat sepakat
makan di Sushi Tei.

            “Lah katanya tadi Rian mau makanan Indonesia?” Gina protes ke kita semua karena
memilih makanan jepang
            “Alya pengen sushi katanya” Kata Rian sambil tertawa

Sebelum kita melangkah ke Sushi Tei, kita tentu saja tak lupa untuk melaksanakan Shalat
Dzuhur. Dalam do’a gue setelah shalat, gue sangat bersyukur tentang berkah keselamatan
dan karunia yang diberikan oleh Yang Maha Kuasa selama ini. Gue bersyukur masih bisa
melindungi Alya meski ini berdampak kepada psikis kami semua. Gue tentunya berharap
Alya bisa pulih total dan melupakan traumanya

            “Panjang amat kak do’anya?” Rian ternyata daritadi memperhatikan ekspresi gue
ketika berdo’a.
            “Biar diijabah”

Ketika selesai shalat, gue dan Rian melangkah terlebih dahulu ke Sushi Tei meninggalkan
Alya dan Gina yang masih shalat. Gue lupa, kalau jam makan siang tuh Sushi Tei selalu
penuh.

            “Masih ada berapa antrian lagi ya mbak?” tanya Rian ke mbak-mbak yang berdiri di
depan

            “Ya sepuluh antrian lagi lah mas”


            “BUSET”

Akhirnya kita berdua mengurungkan niat makan di Sushi Tei.

            “Maaf Alya, keinginan kamu makan di Sushi Tei gagal terlaksana” kata gue sambil
merangkul Alya yang baru saja datang
            “Yaudah makan steak aja deh”

Entah dari mana Alya mendadak pengen daging steak. Padahal dia selama ini makannya
sedikit dan makannya pun makan sayuran dan buah-buahan. Kita pun bergegas ke
Outback. Tak lupa pula gue mengabarkan Reno kalau gue menyuruhnya agar bertemu di
Outback.

Saat kita lagi memesan makanan, tiba-tiba gue melihat laki-laki dengan kaos t-shirt abu-
abu dan celana jeans hitam berjalan ke arah gue.
Ternyata itu Reno

            “Ram” Reno menyapa gue terlebih dahulu.


            “Wih Ren!” gue membalas sapaan Reno kemudian menjabat tangannya

Gue bisa merasakan kekakuan diantara kami berlima. Tapi Alya memecahkan kekakuan itu
dengan bangkit dari kursinya dan memeluk Reno.

            “Thank you banget kak Reno!”


            “Hah? Buat apa Alya?” Reno kaget tiba-tiba badannya dicengkram oleh pelukan Alya
            “For being my second superman”
            “Hah?”

Reno keliatannya bingung maksudnya apa

            “Gue superman yang pertama Ren, superman di kota tua” kata gue untuk
menjelaskan apa maksudnya sambil tertawa.
            “Ohhh hahaha sama-sama ya Al, nanti kita kapan-kapan ngobrol-ngobrol lagi ya”
kemudian Alya melepaskan pelukannya dan kembali ke kursinya.

Alya dan Reno ternyata memang saling mengobrol setiap kali habis kelas Inten sebelum
pulang. Alya bahkan selalu datang ke tempat Reno dan teman-teman vespa-nya meskipun
Dion engga ada di sana. Gue jadi ingat kalau Alya pernah bercerita kalau ada anak Vespa
yang dia deket banget layaknya kakak kelasnya sendiri

            “Dia tuh dewasa banget kak! Dia cerita baik buruknya selama di SMA dan kasih
petuah bijak tapi yang gaul gitu deh” kata Alya suatu hari ketika pulang dari Inten beberapa
bulan yang lalu

Dia yang dimaksud adalah Reno

Kemudian setelah Alya kembali ke kursi, giliran Gina yang berdiri di hadapannya Reno.
Mereka saling menatap kaku tanpa ada ekspresi. Dari situ, gue bisa melihat adanya
kemiripan di wajah mereka berdua. Berarti mereka benar-benar dari satu ayah kandung.

            “Jadi…” Gina memulai kalimatnya, “lo kakak gue?”


            “Sepertinya begitu”

Mereka berdua tertawa dan saling berpelukan. Mereka sukses menghancurkan tembok
penghalang yang selama ini dibangun oleh ayahnya sendiri.

Setelah Gina memeluk Reno, gantian Rian yang menghampiri Reno dan melakukan a
gentleman handshake and hug. Kemudian Reno duduk persis di tengah, berdekatan dengan
Gina dan Rian.
            “A family has reunite!” Kata Reno dengan nada ceria dan kedua tangannya menepuk
pundak Gina dan Rian.

Tentu kami semua tersenyum ceria.

Selama menunggu makanan hingga makanan habis, semua topik yang seru-seru kita
habiskan di meja itu. Baik dari cerita tentang Reno pribadi hingga ceritanya Alya kita bahas.
Sepertinya Reno menghindari pertanyaan sensitif di saat jam makan siang. Dan gue yakin
Gina dan Rian sangat menikmati percakapan ini.

            “Gina dan Rian, abis ini mau kemana?” Reno kemudian bertanya ke mereka berdua
setelah menyelesaikan santap siangnya
            “Gatau, kenapa Ren?” tanya Gina sambil meneguk ice lemon tea.
            “Hmmm Ram, gue boleh ajak Gina sama Rian jalan bentar ga? Jalan bertiga.” Reno
kemudian melemparkan pertanyaan ke gue
            “Boleh aja”
            “Emang ada apa kak?” Rian bingung apa yang ingin dilakukan Reno
            “Ya gue pengen punya quality time sama kalian sebagai adik gue” jawab Reno sambil
tersenyum

Well, at least sekarang Gina dan Rian tidak lagi harus merasa sedih karena Reno telah
datang dan membaur menjadi satu keluarga yang utuh, terlepas dari problema ayah
mereka.

Gue dan Alya membiarkan Gina dan Rian spending a time sama Reno, entah itu makan-
makan atau sekedar duduk-duduk di kafe. Gue yakin, Reno adalah orang baik yang mau
beradaptasi dengan perilaku Gina dan Rian, dan bisa berkomunikasi seperti kakak-adik
yang tumbuh normal.

Ada kali sekitar dua jam, gue dan Alya menanti kabar mereka sambil menonton film di XXI.
Tak lama film selesai, ada BBM masuk dari Gina

            “Aku bentar lagi selesai nih, ketemu di Excelso aja ya”

Gue pun langsung bergegas ke Excelso bersama Alya. Nyatanya, mereka belum ada di sana.

Tapi sepuluh menit setelah kita duduk, Gina datang sendirian dengan membawa kantongan
belanjaan.
“Mana Reno sama Rian?”
“Lagi ambil belanjaannya Rian tadi di Nike” jawab Gina sambil duduk di samping
gue
“Hoo terus tadi ngapain aja sama Reno?”
“Ya dia cerita tentang sang ayah siapa sebenarnya hingga dia bisa menjadi buronan, kenapa
dia bisa membunuh ayahnya Dion, kenapa dia menghilang begitu aja dari mamaku tuh
sekarang paham”
            “Lalu?”
            “Aku juga tadi ketemu ibunya Kak Reno”
            “Oh ya?”
            “Iya, ya kita tadi nangis mengharu biru karena aku kepikiran mama kan…”

Gina kemudian menyeka air matanya sambil duduk bersender dengan memegang tasnya.
Tak lama kemudian, Rian pun datang bersama Reno.

            “Ram, makasih ya udah meluangkan waktu buat gue sama Gina dan Rian” kata Reno
sambil memeluk gue
            “Sama-sama Ren”
            “Titip adik-adik gue. Gue percaya sama lo”

Mendengar hal itu, gue menjadi terharu. Entah apa yang dipikiran gue cuma kalau sudah
urusannya titip menitip, rasanya ada amanah yang mesti gue jalankan dan tepati

            “Siap Ren”

Reno kemudian memeluk Gina, Rian dan Alya untuk berpamitan. Tak lupa kita foto berlima
dengan cara selfie, kemudian sama Alya dan Gina di-post di Path dan Instagram
dengan hashtag #family.

            “Kalau Gina sama Rian mau nginep di rumah gue kabarin aja ya” Kata Reno sebelum
dia melangkah pergi.

Kalimat itu dijawab oleh Gina dengan mengangguk

 Bab 10
Penutup
           

Tahun 2013 pun pergi dan kita semua menyapa tahun 2014 pun. Ketika acara malam
pergantian tahun baru, Gue membuat acara barbeque-an kecil-kecilan di rumah. Tentu
selain nyokap, bokap, Alya, Gina dan Rian, ada Wendi dengan Emil yang masing-masing
membawa pacarnya, dan juga Karina yang membawa pacarnya. It’s a good way to end the
year and start the new one.

Sayangnya pesta tahun baru pun harus berakhir dengan cepat, Alya harus segera masuk
sekolah karena libur tahun barunya hanya berkisar dua hari. Memang Alya masih belum
terlalu pulih dari trauma, sehingga ketika hari pertama masuk sekolah, dia meminta gue
untuk menemaninya sepanjang hari sekolah.

Masalah berikutnya adalah ketika Alya diculik, pekan UAS baru dimulai. Oleh sebab itu,
Alya kehilangan waktu untuk belajar dan juga mengikuti UAS bareng temen-temennya.
Untung saja para guru dan kepala sekolahnya Alya memberikan keringanan yaitu Alya bisa
mengikuti UAS dua minggu setelah hari pertama semester baru.
Ketika dia masuk ke halaman sekolah, dia disambut dengan tepuk tangan meriah baik dari
teman-teman, adik kelas, dan juga gurunya. Bahkan ketika upacara, dia menceritakan
pengalamannya hingga harus recovery di rumah. Yang pasti, senyuman khas Alya kembali
mengembang.

Hubungan Alya dan Rian kembali dekat seperti saat mereka pertama kali bertemu. Tapi
kali ini dekatnya bukan karena saling suka, melainkan saling membutuhkan dan saling
menyayangi satu sama lain. Gue tahu kalau Alya bisa ikut terbang ke London, dia akan ikut
Rian ke London. She just need a person to listen her chit-chat after me.

Selain itu, Alya dihadapkan pilihan oleh bokap apakah Alya mau melanjutkan Inten apa
tidak. Setelah berunding berempat dan memberikan alasan yang masuk akal, Alya pun
akhirnya keluar dari Inten karena trauma dan tidak mau menginjakkan kaki ke sana lagi,
dan akhirnya memutuskan untuk mengambil universitas swasta.

Seminggu setelah tahun baru, Gue, Gina dan Rian kembali janjian dengan Reno bertemu di
Beer Garden, SCBD pas hari biasa. Kedatangan Gina dan Rian sekaligus berpamitan dengan
Reno karena besok malamnya mereka harus kembali ke London. Di saat yang bersamaan,
Reno memperkenalkan pacarnya.

            “Lah kenapa jadiannya sama elu sih?!” tanya gue protes

Ternyata pacarnya Reno adalah Diny yang merupakan sahabat gue di kampus.

“Lo kenal darimana deh Ren?” tanya gue keheranan.


“Kenal udah lama kok. Dulu mantannya dia anak satu SMA gue” kata Reno sambil
lirik Diny yang hanya tersenyum

Sementara itu Reno bercerita bahwa posisi dia dalam keterlibatan kasus penculikan, Reno
dibebaskan secara bersyarat. Syarat yang dimaksud adalah apabila dia terlibat dalam kasus
yang meyangkut hukum, tidak akan ada pengampunan.

“Ini untung banget ada lo Ram, kalau lo engga ada kenalan polisi, udah di penjara
kali” kata dia sambil tertawa ke semuanya

Setelah kami berbincang-bincang, gue baru tahu bahwa nama ayahnya Reno, Gina dan Rian
adalah David Hertanto, atau gue panggil Om David. Dia merupakan pengusaha yang paling
dihormati oleh koleganya. Dan memang kata Reno, dia dulu sering nyeleweng sama cewek
lain.

“Makanya nyokap gue minta cerai sama bokap. Terus bokap nikah lagi sama
nyokapnya Gina” kata Reno ke gue.
“Kenapa nikah lagi? Lo tau engga alesannya?” tanya gue sambil meneguk minuman
yang gue pesan
“Engga tau juga sih… Ga mau tau juga gue” sambil menghela nafas dan merokok.
Tapi gue belum bisa beranjak dari topik ini. Om David mungkin seperti Tante Betty dulu,
menjadi buronan polisi. Kata Reno, dia mendapatkan info dari salah satu saudaranya kalau
Om David sangat tajir dengan total aset hartanya mencapai miliaran dollar amerika.
Dengan uangnya, dia sering mengganti-ganti passport serta KTP atau SIM agar dia bisa
kemana saja tanpa dicekal.

“Bokap emang udah jadi buronan sejak dulu bunuh bokapnya Dion beberapa belas
tahun yang lalu. Gue sebenarnya masih sering kontak dia sebelum akhirnya bener-bener
menghilang pas 2 tahun yang lalu” Kata dia dengan tatapan layu.
“Terus lo sama sekali engga tau keberadaan bokap lo?” tanya Gue dengan muka
penasaran.

Namun Reno hanya menggelengkan kepala.

Sementara dari cerita yang lain, Gina sedang mempersiapkan novel keduanya yang akan
diterbitkan di London dan seantreo eropa, melanjutkan kesuksesan novel yang
pertamanya. Kata dia, novel yang pertama tahun lalu dia terbitkan telah terjual habis dalam
kurun seminggu di Jakarta, dan kota-kota besar. Selain angka hasil penjualan yang
mengagumkan, Gina juga meraih penghargaan di lingkup Indonesia dan Asia kategori best
writer fiction novelist of the year.

“Kok bisa sampai eropa?” tanya gue ke Gina saat mau mengantarkan dia ke rumah
eyangnya di Cilandak.
“Ternyata temen-temenku disana suka baca, terus orang bule disana penasaran kok pada
baca buku yang sama, terus akhirnya temen-temenku translate-in ke inggris buat temen-
temen bulenya. Dan langsung jadi most recommended dan akhirnya salah
satu publisher disana berminat untuk menerbitkan novelku dalam bahasa Inggris”

Rian sendiri sudah ada di skuad Arsenal U-19. Dan malah sesekali dia udah main di reserve
team dan berlatih sama beberapa pemain senior.

“Seru banget kak kenalan sama orang luar. Terus latihan bareng pemain-pemain
jago kayak Rosicky” kata Rian menggebu-gebu.

Meski gue membela Manchester United, tapi gue sangat senang dan bangga sama Rian.
Siapa tahu dia menjadi pemain Indonesia pertama yang merumput di Liga Primer Inggris.

“Minta tanda tangan engga lo Ri?” tanya gue.


“Iyalah kak! Sekalian foto bareng juga.” Katanya sambil nunjukin foto dia sama
Rosicky, Mertesacker, Koscielny, Gibbs, Arteta, Cazorla, dan tentu saja Arsene Wenger.

Dan, dia juga udah dijadiin idola gitu sama cewek-cewek asli domisili London. Katanya dia
denger kalau beberapa cewek nonton reserve team kalau pas ada Rian.
“Ga heran sih kalau lo banyak fans.” Kata gue ketika sedang mengantarkan dia dan
Gina ke bandara.

Kejadian penculikkan Alya itu membuat gue, Alya serta nyokap sempat diundang ke
berbagai acara talk show interaktif. Dalam suatu sesi di acara Hitam Putih, Deddy
Corbuzier sempat bertanya ke gue saat syuting secara live,

“Menurut anda, seberapa dekat anda dengan kematian saat itu?”.

Gue berpikir-pikir, karena kecepatan peluru saat ditembakkan sangatlah cepat. Lalu gue
taruh dua jari gue ujung hidung dan menandakan sedekat itulah gue dengan kematian saat
berhadapan dengan Dion. Betapa kehidupan gue nyaris terenggut oleh satu tembakan yang
akan mengarah ke gue

Namun ketika semuanya telah berlalu dan kembali normal, gue bisa kembali ngeband
sambil kadang-kadang ke studio dan rasanya masih sedikit trauma dan takut untuk
berjalan keluar. Kadang gue masih merasa engga nyaman untuk bepergian sendiri, takut
mendapatkan kabar yang aneh-aneh. Untuk itu, sebelum Gina dan Rian pulang ke London,
kami berempat beserta nyokap-bokap jalan-jalan ke Singapura dari hari Jum’at hingga
Minggu sore buat liburan sekaligus membantu memulihkan traumanya Alya, yang sekarang
jadi agak kurusan setelah peristiwa itu.

Gina menceritakan apa saja yang gue dan dia alami lewat blognya dan mendapat perhatian
khusus dari netizen, dan juga dari komnas HAM serta YPAI (Yayasan Perlindungan Anak
Indonesia). Kemudian, kedua lembaga tersebut berjanji akan melindungi seluruh anak
Indonesia yang statusnya diasuh oleh orang tua tunggal. Tulisannya Gini ini juga masuk ke
beberapamedia massa di Indonesia, yang akhirnya menginspirasi ribuan anak-anak untuk
lepas dari belenggu kehidupan suram akibat masalah rumah tangga orang tuanya. Suatu
kutipan yang gue dapat di salah satu koran langganan gue adalah:

Aku dibesarkan oleh mama


Papa pergi meninggalkanku tanpa jejak
Selama hidupku, mama harus membanting tulang
Memastikan aku bisa berdiri tegak
Aku tak tahu papaku di mana
Aku merindukan sosoknya
Tetapi aku tidak memaksa
Seandainya papa tidak ingin berjumpa
Dengan anak yang telah ia ciptakan
Aku hanya berdo’a untuk papa
Agar suatu hari kita bisa saling menyapa
Dan kembali menjadi satu keluarga

Jeritan hati seorang anak yang tidak pernah tahu ayahnya kemana menjadi terasa
pedihnya. Gue bersyukur dilahirkan oleh bokap dan nyokap yang selalu bisa menjaga
keharmonisan dan komunikasi meski di usia yang tidak lagi muda. Gue dan Alya pun selalu
melihat mereka menjadi contoh yang baik untuk kita berdua.

“So, here we go again….” Kata gue sambil mengangkat koper-koper yang dibawa
Gina dan Rian.

Kali ini, Alya ikut mengantarkan Gina dan Rian pulang ke London. Maksudnya
mengantarkan hingga Bandara Soekarno-Hatta aja.

“Ga ada yang ketinggalan kan kak?” tanya Alya yang juga membantu mengangkat
tasnya Gina
“Engga kok Al” kata Gina

Kami masing-masing saling menatap sedih karena lagi-lagi harus berpisah. Sebulan
bersama Gina sangat tidak terasa. Andai kata Alya tidak diculik, mungkin Gina tidak akan
pulang karena harus mengurusi ibunya. Kadang, ada sisi positif dibalik kejadian-kejadian
yang merugikan kita.

Tanpa sadar, gue mengecup bibirnya Gina sebagai tanda sayang dan tanda perpisahan.
Kemudian gue menatap matanya, dan gue merasakan kasih sayang yang selalu gue cari.

            “Take care dear” kata gue sambil melambaikan tangannya ke Gina
            “Siap sayang, I love you”
            “I love you too”

Perpisahan Rian dengan Alya tak kalah mengharukan. Alya memberikan


sebuah scrapbook yang diisi foto-foto Rian dan Alya selama mereka berjalan-jalan di
Jakarta.

            “Kapan kamu bikinnya? Tanya Rian sambil membiarkan Alya bersandar ke dirinya
dan melihat scrapbook tersebut berdua.
            “Semalem, dibantuin kak Gina”
            “Makasih ya”

Kemudian mereka saling menatap dan Alya mencium pipinya Rian sambil memeluk erat

            “Thank you Rian”


            “For what Al?”
            “For being my sunshine when it’s raining”

Gue bingung dari mana Alya bisa mendapatkan istilah gombal seperti itu. Kalau Gina yang
ngomong kaya gitu ke gue, mungkin gue juga udah senyum-senyum kegeeran.

Ketika mereka hilang di tengah hingar bingar penumpang pesawat yang lain, kita pun
bersiap melangkah pulang ke rumah. Namun ternyata tatapannya Alya belum beranjak dari
ruang check-in Terminal Keberangkatan.
“Pulang?” tanya gue menginterupsi momennya

Alya pun hanya mengangguk sambil menghela nafas

Begitu pula dengan berakhirnya cerita dramatis yang memberikan kami semua pelajaran
betapa berartinya keluarga bagi kehidupan kita.

Anda mungkin juga menyukai