Dari 40 orang murid, Pak Haris membaginya empat kelompok. Aku dinobatkan menjadi
ketua kelompok satu yang beranggotakan Via, Guntur, Dini, Kiara, Joni, Ridwan, Bakti,
Winda, dan Tasya. Padahal, keterampilan mengedit video sangat mengkhawatirkan.
Setelah berdiskusi panjang, akhirnya kami membagi tugas dan menemukan tema video.
Untungnya ada Guntur dan Winda yang bisa mengedit video, maka tugas tersebut kuserahkan
pada mereka.
Teman-teman yang lain membantuku untuk membuat konsep, menyiapkan properti, dan
pengambilan video nantinya.
“Kata Pak Haris dikumpulin dua minggu lagi. Tapi, kita mulai besok ya bikin videonya. Biar
cepet beres.” ajakanku tersebut disepakati oleh yang lain.
Kami pun memulai shooting video di hari berikutnya. Tema yang diambil untuk tugas
tersebut berkonsep ‘A day in my life’ dan yang menjadi talent-nya adalah Kiara.
Kami pun merekam kegiatan Kiara dimulai dari bangun tidur, pergi ke sekolah, belajar,
sampai kembali lagi ke rumah.
Setelah selesai merekam video, tahap berikutnya adalah editing. Namun ternyata, file
rekaman ketika Kiara berada di sekolah terhapus.
“Kamu sih nggak hati-hati Joni. file-nya ilang kan,” ujar Via menyalahkan kecerobohan Joni.
“Ya ku kira udah dimasukan ke laptop, Via. Makanya kuapus, memori kameranya penuh
tau,” Joni membela diri.
“Udah-udah. Mau nggak mau kita rekam ulang,” Aku menengahi perdebatan mereka.
Untungnya, waktu pengumpulan masih lama. Akhirnya kami pun merekam ulang bagian
yang hilang tersebut.
Dua minggu berlalu dengan cepat, proses editing pun cuma menghabiskan waktu sekitar lima
hari. Di hari H tugas video kami pun dikumpulkan.
Ada video yang mewawancarai murid serta wali kelas, ada juga yang membuat video tentang
hal-hal konyol di dalam kelas. Hingga tiba lah penampilan video dari kelompok kami.
Dari video-video yang ditampilkan, aku menjadi mengerti mengapa Pak Haris menyuruh
kami membuat tugas video yang cukup rumit.
Walaupun banyak rintangan dalam membuatnya, ternyata kami sangat senang melakukannya.
Beragam video tersebut juga bisa menjadi kenang-kenangan ketika kamI sudah tidak
bersekolah.
**Sumber: tambahpinter.com
Lalu dibukakannya pintu gerbang itu, namun aku dan beberapa murid lain dihukum dengan
berdiri di halaman depan sekolah sampai jam pertama selesai. Aku melirik pos satpam,
sebuah tempat dimana laki-laki itu setiap pagi datang dan bekerja sampai sore hari tiba.
Namanya adalah Pak Bejo, tapi anak-anak sering memanggilnya “Mang Ojo”, entah aku tak
tau siapa pencetus panggilan tersebut pada Pak Bejo.
Dia sangat popular di SMA Negeri 4 Surabaya karena dekat dan ramah dengan murid-murid,
khususnya murid laki-laki.
Konten promosi
HERBEAUTY
Komnas Anak Peringatkan 1 Hal Pada Orang Tua yang Tiru Ria Ricis
PELAJARI LEBIH
Lama setelah itu aku juga semakin akrab dengan satpam tersebut, yang kawan-kawanku
selalu memanggilnya Mang Ojo. Pernah suatu ketika dia menceritakan kepadaku dan kawan-
kawanku tentang dia sewaktu seusia kami.
“Dulu, Mamang pernah sekolah seperti kalian. Tapi mamang tidak bisa melanjutkannya
hingga selesai, karena orang tua mamang tidak bisa membiayainya” imbuh dia dengan
senyum menutupi.
“Kalian, harus memanfaatkan kesempatan kalian untuk mengais ilmu disini, makanya
mamang suka marah pada kalian yang suka terlambat masuk” sambungnya.
Dia kemudian melanjutkan ceritanya. Ternyata di rumahnya dia menyediakan perpustakaan
mini untuk para tetangganya yang ingin sekolah namun terkendala ekonomi keluarga. Aku
pun sangat kagum dengan perjuangan Pak Bejo.
Ditengah biaya hidup yang semakin susah, kulit kian keriput serta rambut kian memutih, dia
masih bisa membantu orang-orang di sekitarnya. Terimakasih, Pak.
**Sumber: brainly.co.id
Ya, aku adalah penggemarnya. Awalnya, aku pertama kali melihatnya di kejuaraan bulu
tangkis. Dengan semangatnya yang membara dan cara bermainnya yang bagus, ia berhasil
menduduki peringkat satu tingkat nasional.
Ini membuatku termotivasi untuk bisa masuk ekskul bulu tangkis dan akhirnya aku
mendaftarkan hari ini.
Awalnya aku tidak mengenalnya, namun aku beranikan diri untuk berkenalan karena
kekagumanku dengan cara bermainnya yang memukau.
“Hai gue Yeni. Tadi gue sempet liat lo main bulu tangkis. Gila, keren banget sih.. Aku boleh
dong diajarin,” kataku.
“Hai Yeni, gue Violet. Kalau begitu, ayo kita tanding. Nanti, lo juga akan lancar dan bisa
main kayak gue,” sambutnya.
Akhirnya kami berduel. Rasanya mengasyikkan bermain bersamanya. Tak terasa waktu
sudah sore, keringat kami bercucuran. Karena lelah kami istirahat sambil bersandar di
tembok.
“Mainmu asyik juga. Lo gak terlalu kaku pasti udah pernah belajar bulu tangkis sebelumnya
ya?,” tanya Violet.
“Iya, gue belajar dari ayah. Tapi, ya itu hanya tidak profesional. Gue baru hari ini masuk
ekskul bulu tangkis,” jawabku dengan gugup berada di samping orang yang kukagumi.
“Wah… baru pertama kali masuk ekskul ya. Pantas saja aku tidak pernah melihatmu
sebelumnya. Kalau gue nilai-nilai sih permainan lo sebagai pemula oke juga. Tinggal diasah
aja. Kali aja lo bisa lebih dari gue,” tuturnya sambil tersenyum.
Aku dan Violet juga semakin dekat. Ia pada dasarnya adalah anak yang baik dan tidak pelit
membagikan ilmunya. Beruntungnya aku menjadi penggemarnya dan aku tidak menyesal
dulu memberanikan diri untuk berkenalan.
Kini, aku tidak hanya penggemar, tapi juga sahabat dari Violet. Kita juga saling support
ketika mengikuti perlombaan kejuaraan.
**Sumber: yuksinau.id