Anda di halaman 1dari 5

SABDA SISWA

Oleh: Fitri Noveilia

Namaku Amayra Grazellia Wijaya. Aku anak pertama dari dua bersauara. Ibuku seorang
dokter dan ayahku bekerja sebagai TNI-AD. Aku memilih pindah sekolah, karena ayahku bertugas
di suatu daerah disama. Ya, sebenarnya aku bisa tinggal bersama pamanku. Tapi aku lebih memilih
untuk tetap tinggal bersama keluarga di sana. Sekarang aku adalah siswi baru di salah satu SMK. Di
sanalah cerita ini dimulai.

Pada hari Senin di bulan November, sudah hampir dua bulan aku menuntut ilmu di sekolah
yang baru. Semua tampak baik-baik saja. Ada yang sedang menyiapkan persiapan upacara bendera
seperti yang biasa dilakukan setiap hari senin. duduk di depan kelas, mengobrol, bercanda,
membahas tugas, membersikan lingkungan sekolah dan juga sarapan di kantin. Bel sekolah sudah
berbunyi, siswa-siswi berkumpul dan berbaris dengan rapi. Namun ada delapan orang siswa yang
merokok di belakang kelas paling ujung. Dan beberapa siswi masih sibuk berdandan di kantin,
mereka adalah teman sekelasku. Sehingga salah satu guru BK menghampiri mereka.

“Shelly!.. Tika!..Yuri!..” Teriak bu Sri yang melihat siswi-siswi yang masih sibuk
berdandan.

“Cepat kelapangan sekarang!...” Lanjutnya.

“Baik, Bu.” Jawab Shelly, Tika, dan Yuki kompak. Dengan rasa kesal mereka bergegas ke
lapangan sekolah untuk mengikuti upacara.

Beriringan dengan Shelly, Tika, dan Yuki, aku masuk barisan kelasku. Upacara pun dimulai, di
tengah berjalannya upacara pak Ridwan menghitung jumlah anggota di barisan kelasku. Dia terlihat
kebingungan seperti ada siswa yang hilang. Dan ya, benar saja tak lama kemudian delapan orang
siswa yang tadi merokok dibariskan di depan tiang bendera.

“Tobo itu lagi.” Sahut Nisa, teman sekelasku melihat mereka dibariskan di depan tiang
bendera.

“Biasolah, langganan setiap hari senin.” Riko menyaut ucapan Nisa sambil tersenyum.

“Lah, kau ngapo idak ikut? Biasonyo kaulah satu lagi anggotanyo.” Tanya Tika kepada Riko
sambil menahan tawa.

“Pensiun aku dulu we, malu kek Amayra. Hahaha…” Jawab Riko kemudian tertawa.

“Tahu pulo kau kek malu? Padahal kaulah komandannyo. Hahaha…” Shelly membalas
jawaban Riko.

“Nah nian tu, asli” Dukung Yuki.

“Hahahaha” Riko tertawa. Sampai banyak siswa-siswi yang melihat kearahnya.

“Syut…Diam dulu, lagi upacara ini.” Sahutku memberitahu mereka untuk diam.

“Nah, dengar itu woii. Diam, lagi upacara ni bukan lagi konser. ribut nian kamu ko” Sahut
Riko menahan tawa. Mereka pun diam.
Tak terasa upacara telah selesai dilaksanakan, barisanpun dibubarkan. Para siswa-siswi masuk ke
dalam kelas dan sebagian pergi ke kantin karena ada waktu istirahat 15 menit. Para siswa yang tadi
dibariskan di depan tiang bendera mendapat hukuman. Tetapi mereka tidak bersedih, bahkan mereka
tidak tampak bersalah.

Bel sekolah yang menandakan jam pelajaran akan dimulai sudah berbunyi, semua siswa-siswi
masuk ke kelasnya masing-masing. Ketua kelas mengumumkan bahwa jam pelajaran pertama
adalah jam kosong, tidak ada tugas namun tetaplah diam. Tak lama kemudian delapan orang siswa
yang tadi mendapatkan hukuman masuk ke kelasku.

“Woii…” Panggil Deki. Salah satu dari mereka.

“Woii woii woii, punyo namo aku ko” Jawab Riko.

“Ai, lah lain nian kawan kito yang satu ko semenjak ado anak baru.” Sahut Deki mengejek
Riko.

“Hahaha…” Mereka tertawa.

Suasana menjadi ribut. Ditambah dengan teman sekelasku yang berkumpul dan membuat kelas
menjadi berantakan, serta tidak lagi duduk pada tempatnya masing-masing. Hanya beberapa orang
yang menaati perintah. Bahkan yang lebih parahnya lagi sebagian dari mereka membully orang-
orang yang tidak bersalah dan melakukan hal-hal yang negative. Aku dan tiga orang temanku yang
lainnya termasuk ketua kelas juga, berusaha untuk tidak terpengaruh dengan mereka. Kami tetap
membahas dan memahami materi pelajaran yang belum dimengerti sebelumya bersama-sama.
Hingga terdengar suara teriakan Daniel si ketua kelas.

“Diam dikit, Jangan ribut nian! Kelak dimarah guru!” Perintah Daniel. Tapi nampaknya
tidak ada yang menghiraukan perintahnya.

“Woi, diamlah!” Daniel kembali memberikan perintahnya. Namun tetap tidak ada yang
perduli.

“Dengar dak kamu ko? Diam dikit!” Daniel memberikan instuksi untuk yang ketiga kalinya.

Tetapi mereka tetap sibuk masing-masing. Hingga tanpa sadar aku memukul meja dan berteriak.

“Woi… diamlah! dengarlah dikit apo kato Daniel tu!” Teriakku. Semuanya melihat kearahku
dan terdiam.

“Janganlah kamu icak-icak dak tahu tu yo! Hargoinyo sebagai pemimpin kelas ko, jangan
sekendak kamu bae! Maso sekelasko tuli galo?!” Ucapku.

Mendadak kelas yang tadi sangat berisik ,menjadi hening karena semua diam mendengar ucapanku.

“kamu ko yang dari tadi bully-bully anak orang, lah sempurno nian kamu tu?!” Kataku.

“ Yakin kamu lah hebat nian?!” Lanjutku.

“Alang ke sok padeknyo anak baru ko!” Shelly memotong ucapanku.

“Jangan lah meraso paling iyo padahal aslinyo idak tu! Yang orang tu ado, tapi idak
dinampakkan nian cak kamu!” Aku membalas ucapan Shelly.
“Kami cek ko lah selamo ko, biaso ajo sebelum ado kau. Dak do kami yang sok ige cak kau
tu” Bela yuki.

“Karno kamu lah biaso cek ko lah perlu diubah Kelakuan kamu tu, perilaku buruk kamu tu
lah jadi kebiasan.”Jelasku.

“Sibuknyo kau kek urusan orang, kendak-kendak lah orang! Hidup-hidup orang bukan hidup
kau!” Banta Tika.

“Jadi mati kelak bisa ngubur dewek?!” Ucapku. Mendengar ucapanku, semuanya kembali
terdiam.

“Ngapo diam?” Tanyaku.

“Itulah kamu tu, ketemu lawan baru bungkam!” Sambungku.

“buat kerjo yang dak beguno tu lah berenti, galak ngebully orang tu jadilah pulo. Kecuali
kalu kamu ngebully orang ado jaminan masuk surgo bolehlah, iko yang ado nambah duso iyo.kamu
pulo ngapo ndak bae dibully?” Lanjutku.

“Idak…” Jawab seseorang yang tadi dibully.

“Idak apo? Idak berani?” Tanyaku, namun tidak ada yang menjawab.

“ Jangan takut nian jadi orang, lawan! Jangan ndak dibully! Baik kek orang lain ataupun kek
aku dewek! Iko disuruh apo bae jadi. Itulah fungsi tuhan ngasih nyo anggota tubuh yang lengkap tu,
biar nyo bisa ngelakuin dewek. Kecuali nyo cacat, yang cacat ajo tahu diri!” sambungku.

“kamu, yang sibuk bedandan, yang kerjonyo merokok, yang suko buat onar, yang sering
keno hukuman, bangga kamu cak itu?” Aku kembali bertanya. Namun, tetap tidak ada yang
menjawab.

“Idak malu kamu jadi omongan satu sekolah? Berubah woii! Kasihan nengok orangtuo
kamu tu, aku yakin kamu bukan dari keluargo berado galo!” Lanjutku. Dan mereka tetap diam
mendengarkan.

Semuanya masih tetap saja terdiam mendengar ocehanku. Ntahlah mereka menyukainya atau tidak,
tapi setidaknya aku sudah memperingati mereka berdasarkan pendapatku. Tidak tahu pendapatku
benar atau salah, tapi semoga saja mereka mendengarkannya. Melihat mereka terdiam aku jadi
merasa bersalah.

“Maaf, maaf jika aku bersalah dan terlalu mengekang kalian” Permintaan maafku dengan
nada rendah.

“idak, kau idak salah. Kau cuman ngasih tahu kami apo yang baik kek apo yang idak” jawab
Vian.

“Iyo, bahkan kami yang mokasi kek kau, kau lah buat kami sadar” Saut Deki.

“iyo, sekali lagi maaf nian. Jadi cak mano? Ndak berubah dak kamu?” Tanyaku.

“Insyaallah, diusahakan” Jawab mereka kompak.


“Kini baliklah ke tempat duduk masing-masing. Dan kamu yang bukan siswa kelas ini
baliklah ke kelas kamu masing-masing.” Perintahku.

“iyo,,,” Jawab mereka.

“Maaf, bukannyo ngusir tapi jam kosong lah selesai, bentar lagi guru datang.” Aku
memberitahu.

“iyo, dak papo. Kami jugo ndak belajar, kalu lah sampai guru kami” Jawab Deki.

Mereka bergegas kembali ke bangku dan kelasnya masing-masing.

“Kamu yang PR kemaren belum sudah kerjokanlah, walaupun belum sudah galo setidaknyo
kamu lah usaha ngerjokan” Ucapku.

“Iyo…” Sahut mereka.

Mereka mulai mengeluarkan buku-bukunya. Tak lama kemudian guru pembimbing pun datang, Jam
pelajaran yang selanjutnya dimulai. Mereka tampak lebih tertib dan sopan, sampai pada waktu
pulang.

Tak terasa hari pun berlalu. Sejak kejadian itu kelihatannya mereka mulai merubah sikapnya.
Tidak lagi suka membuat onar dan sibuk dengan dirinya masing-masing. Sudah mulai rajin belajar,
memperhatikan guru, dan belajar menghargai sesama. Kelas yang dulunya menjadi kelas terburuk
bahkan selalu menjadi bahan pembahasan para guru saat rapat. Kini perlahan menjadi lebih baik.
Walaupun sudah banyak yang memperingati mereka, baik guru, teman-teman, ataupun dari kalangan
lainnya, tetap saja mereka tidak perduli. Namun berbeda saat aku memberi tahu mereka. Sebenarnya
aku juga tidak percaya dengan apa yang terjadi. Semua perkataanku membuat mereka mau merubah
sikap dan perilakunya.

Tapi ya, itulah kenyataannya. Mereka yang dulu menganggapku hanya sebagai anak baru
dan orang asing. Bahkan, mungkin mereka menganggap sebagai musuh. Tetapi, sekarang aku dan
mereka sudah menjadi teman baik dan bekerja sama. Aku bangga dengan mereka!.
BIODATA PENULIS

Penulis bernama Fitri Noveilia. Lahir di Bengkulu, pada tanggal 19 November 2004. Anak
pertama dari dua bersaudara. Beralamatkan Merigi, Kepahiyang, Bengkulu. Sekarang duduk di
bangku kelas X SMK S3 IDHATA CURUP.

Anda mungkin juga menyukai