Anda di halaman 1dari 15

NAMA : SULIS TIANINGSIH

KELAS : XII AP 2

SERIBU JALAN

Ika adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Ia tinggal bersama kedua orang
tuanya dan saudaranya. Adik pertamanya bernama Tina tengah duduk di kelas satu
Sekolah Menengah Pertama. Sedangkan Boby adiknya paling imut dan lucu masih
berusia empat tahun. Dan Ika sedang menempuh pendidikan tingkat tiga di SMAN 1
Jepara, sekolah itu terkenal bagus dengan berprestasinya. Ika dikenal sebagai anak
yang manis, baik hati, bertanggung jawab, ia sangat cekatan dalam mengerjakan
sesuatu tapi ia cukup ceroboh dibeberapa waktu tertentu. Ika sangat senang menolong
sesama terutama dalam hal kesehatan, oleh karena itu ia bercita-cita
sebagai.................. AHLI FARMASI.
Kenapa ia tidak menjadi dokter saja? Nah itulah pertanyaan yang sering
diutarakan teman-temannya. Alasan yang membuat Ika enggan jadi dokter sebagai
penyembuh semua orang sangatlah simpel, ia sangat takut sama namanya “jarum
suntik”.
Masalah itu muncul waktu ia duduk dibangku Sekolah Dasar. Saat itu diadakan
imunisasi campak se-Kota, awalnya ia biasa saja mendengar berita tersebut. Malahan
ia sangat antusias dan mengajukan diri untuk menjadi yang pertama. Sangking
bersemangatnya ia berlari menuju dokter yang sedang mempersiapkan peralatan. Dan
tiba-tiba.......
Gubrak ................. Ika terjatuh dan tengkurap. Namun jarum suntik yang
dibawa dokter malah jatuh menusuk paha bagian belakang Ika. Tidak hanya satu TAPI
ADA TIGA JARUM SUNTIK yang membuat Ika merintih kesakitan.
“Aaaaa..... ini apa kok sakit?” dengan mengerutkan dahi dan kebingungan.
“Aduh gimana sih nak kok jadi gini. Ayo bangun!” ucap dokter sambil
membantunya berdiri.
“Aduh.. sakit pak tolong pak. “ Sambil merintih kesakitan.
“Untung saja dua suntik lainnya belum berisi vaksin, kalau tidak bis....” sambil
melepas jarum suntik.
Belum selesai pak dokter menuntaskan kalimatnya Ika dengan cepat membuka
suara.
“Kenapa??? Kenapa pak? Apa saya akan jadi manusia abnormal?? Pak ..... ”
teriaknya dan ia menglunglai lemas.
Dokter hanya tersenyum melihat tingkah konyol siswa SD itu. Ika mulai
beranggapan bahwa kelebihan vaksin menjadikan sesesorang abnormal. Sampai
sekarangpun ia tetap beranggapan seperti itu, meski ia telah membaca berbagai buku
pengetahuan mengenai vaksin. Sempat ayah dan ibunya memberikan penjelasan, tapi
Ika tak menggubris dan tetap berpegang teguh terhadap pemikian jarum suntik.
۞۞۞
Semburat cahaya timur menyapu embun, kehangatanpun mulai terasa. Bak
seorang yang sedang kasmaran, tampak Ika sedang riang gembira memasukkan buku
miliknya.
“Yeay.. Nanananana surat cintaku yang pertama....” Ika mulai mendendangkan
lagu kesukaannya.
Cekleekkk...... tampak Tina membuka pintu dan terlihat wajah kalemnya
dengan penuh rasa penasaran nongol dari dibalik pintu.
“Kak keliatannya kok seneng banget ?? Hayo ada apa. Jangan jangan....
“Husssttt.... apaan sih dek, orang lagi nyanyi kok. Wekk (Menjulurkan lidah)
Kamu suudzon aja.”
“Ihh.. aku nanya baik-baik kok, kakak malah gitu sih.” Sambil menggerutu.
“Iya iya, aku tuh seneng banget. Karenaaa....”
“Karena ada cowok yang suka kakak.. hahahahah.” Dengan cengingisan.
“Kok cowok sih, ehm.. anak kecil ndak boleh mikir cinta-cintaan! Kakak
seneng karena ada sosialisasi kesehatan (dengan mengeja).”
“Aku kan Udah gede kak, nih lihat udah tinggikan (sambil memegang
kepalanya). Ooo.. ada sosialisasi kesehatan.” Sambil menganggukkan kepala.
“Oh ya kak aku hampir lupa, sama ibu disuruh sarapan sekarang.”
“Oke.” Mengajungkan jempolnya.
Ika bergegas menuju meja makan dan mulai menyantap masakan ibunya.
Ayahnya mulai membuka suaranya.
“Gimana kak, kamu beneran pengen jadi dokter kan?” ayahnya mulai usil
dengan anak gadisnya itu.
“Iya kak biar bisa ngobatin Boby waktu sakit.” Celetuk Boby.
“Bener tuh kak aku juga setuju.” Senyum-senyum meledek kakaknya.
“Ehm... mulai deh. Buly aja aku sampek puas.”
“Nggak gitu, kan bagus kalau cita-cita kakak tercapai. Iyakan bu?” Sambil
mengedipkan mata memberi kode ibunya.
“Siapa yang bercita-cita jadi dokter? Kamu mungkin?” dengan wajah meledek.
“Sudah sudah ... kok malah mengadakan konferensi di meja makan.” Ibunya
menghentikan keributan diantara mereka.
“Iya ibuku tersayang.. kita lanjutin makan ya.” Ucap Tina dengan nada merayu.
Seusai sarapan Ika berpamitan dan bergegas berangkat menuju sekolah. Semilir
angin sejuk membuat keselarasan bersama dedaunan yang mulai menjatuhkan diri. Di
bawah pohon beringin nan rindang tampak Suci duduk sambil membaca buku. Ika
yang baru memarkirkan motornya berlari menghampiri Suci. Tapi tiba-tiba ....
Gubrak ...... Ia menabrak anak cowok dengan wajah sangat tampan yang dipadu
dengan jaket jeans. Anak itu memakai seragam yang tak sama dengan siswa sana.
Cara berbicaranya pun berbeda dengan Ika.
“Aduh... hati-hati dong, kalau jalan pakek mata! Jangan yang laen.” Dengan
wajah sinis.
“Oh.. ya maaf maaf nggak sengaja. Ada yang luka nggak? Sekali lagi maaf ya
nggak senga..” Kata Ika sambil berdiri. Namun belum tuntas ia meminta maaf, anak
itu langsung memotong pembicaraan.
“Ih apaan sih, nggak penting.” Pergi meninggalkan Ika.
Tampak langkah kakinya menuju ruang wakasek.
“Sombong banget tuh anak, ckckck.” Menggelengkan kepalanya.
Dari kejauhan tampak Suci menghampiri Ika.
“Hey... ada apa sih. Kok keliatan kesel.” Menyenggol pundak Ika.
“Tuh ada anak baru, tapi songong bener deh.”
“Siapa siapa? Yang itu?” tanya Suci dengan penasaran, sambil menunjuk ke
arah cowok tersebut.
“Nggak tau kayaknya murid baru. Iya yang itu.”
“Ganteng juga.” Dengan penuh kagum.
“Gantengnya udah luntur karena kesongongannya. Yuk ke kelas aja.”
Tapi Suci masih terlihat penasaran dengan cowok tersebut. Ia mencoba
mengintip ke ruang wakasek namun Ika menyeretnya ke kelas. Dengan kecewa Suci
menggerakkan kaki menuju kelas.
Hari ini sosialisasi kesehatan akan diadakan setelah jam kedua selesai. Suara
nyaring bel mengrutuk telinga semua siswa pagi itu. Ika dan Suci tampak sedang asyik
mengerjakan soal-soal SBMPTN. Keduanya memang terkenal sebagai siswa yang
rajin.
Terdengar langkah kaki memasuki kelas, dibalik langkah yang anggun itu
nampak wajah bu Lily. Guru matematika yang terkenal dengan paras cantiknya, beliau
menyapa siswanya dan menuju meja. Ada hal yang mencengangkan bagi Ika dan
Suci. Anak cowok yang songong tadi masuk ke kelas mereka. Dan ...
“Anak-anak, kita kedatangan murid baru. Silakan kamu memperkenalkan diri.”
“Iya bu, pagi semua. Nama gue Iqbal, dulu gue sekolah di Ibu kota tepatnya di
SMAN 8 Jakarta itu sekolah paling terkenal dan bagus banget. Gue pindah ke sini
gara-gara bokap gue dipindahkan tugas. Sekian terimakasih.”
“Bener-bener songong tuh anak.”
“Iya bener. Tapi bener-bener ganteng.” Bisik Suci sambil senyum-senyum
sendiri.
Ika hanya menggelengkan kepala melihat tingkah sahabatnya.
“Oke. Iqbal kamu duduk di sebelah Ika.”
“Apa bu?! Saya kan duduknya sama Suci.” sambil melotot.
“Suci kamu pindah di belakang saja ya.”
“Baik bu.” Menuju bangku belakang.
Iqbal melangkah kan kaki menuju bangku Ika, nampak Ika seperti bom yang
segera ingin meledak.
“Loe lagi loe lagi. Udah tadi jalan nggak pakek mata lagi.” Sambil membuang
mukanya.
“Terserah.” Ucap Ika dengan malas.
Jam pembelajaran kedua telah usai. Bu Murni selaku wakasek kesiswaan
memberikan pengumuman agar semua siswa menuju aula untuk mengikuti sosialisasi.
Ika dengan bersemangat mengajak Suci menuju aula, inilah yang dinantikan Ika. Tapi
di sisi lain Iqbal dengan ogah-ogahan menuju aula, dengan berbekal smartphone dan
headset. Ia paling nggak suka dengan namanya sosialisasi yang melibatkan seluruh
siswa. Ia lebih suka jika sosialisasi diadakan hanya perwakilan tiap kelas.
“Assalamualaikum anak-anak.” Sapa kepala sekolah.
“Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh.” Dengan serentak siswa
menjawab salam.
“Ika kita duduk sini aja ya.” Ajak Suci.
“Oke.”
“Mari kita mulai acara ini dengan bacaan basmallah terlebih dahulu.” Kepala
sekolah mulai mengawali acara.
“Bismillahirrohmanirrohim.”
Dengan bacaan basmallah acara sosialisasi resmi dimulai, sosialisasi diadakan
oleh rumah sakit Kasih Ibu. Seluruh siswa menyambut dengan antusias kecuali Iqbal.
Ia malah mendengarkan lagu kesuakaannya dengan berbalut jaket jeans yang
menutupi kepalanya. Ika menyadari ternyata yang tengah duduk disampingnya adalah
Iqbal, bola mata ika tak sengaja melihat apa yang sedang cowok songong itu lakukan.
Astaga anak ini udah songong, menjengkelkan, nggak taat aturan lagi. Gumannya
Petugas rumah sakit memberikan kesempatan bagi siswa untuk bertanya. Ada
beberapa siswa yang bertanya. Ika juga ikut menanyakan apa yang ia pendam.
“Iya selanjutnya kamu.” Menunjuk Ika
“Baik Assalamualaikum. Emm.. nama saya Ika dari kelas 12 IPA 2. Saya ingin
bertanya apakah benar bahwa puasa termasuk cara yang baik untuk membersihkan
tubuh dari racun secara berkala?”
“Iya terima kasih. Pertanyaan yang bagus. Iya hal tersebut memang benar.
Puasa adalah cara yang bagus mengistirahatkan tubuh dari seluruh racun dalam jumlah
besar yang berada di dalam tubuh kita. Proses pengeluaran racun dalam tubuh kita
akan semakin cepat dan aktif dari biasanya. Dan juga dapat menyebabkan
pertumbuhan jaringan abnormal yang bisa menyebabkan kanker dan tumor
kekurangan nutrisi sehingga lebih mudah hilang dan dihancurkan oleh tubuh.”
Penjelasan dari dokter perwakilan rumah sakit
“Apa boleh saya mengajukan pertanyaan lagi?” pintanya
“Boleh.”
“Apakah smartphone atau ponsel perlahan-lahan dapat mengancam
penggunanya, selain dapat menimbulkan kematian akibat kecelakaan?”
Iqbal mendengar pertanyaan Ika menjadi tersinggung dan menatap Ika dengan
sinis. Anak ini bener-bener sok banget ngajuin dua pertanyaan segala, nggak penting
banget. Guman Iqbal.
Memang tujuan Ika mengajukan pertanyaan hanya untuk menyindir Iqbal. Dan
dokter menjelaskan bahwa smartphone atau ponsel dapat menggangu penggunanya.
Radiasi yang dihasilkan oleh ponsel dapat menyebabkan penyakit diantaranya adalah
kanker otak. Menurut World Health Organization (WHO) mengungkapkan bahwa
radiasi yang dihasilkan ponsel dapat menyebabkan kanker otak. Radiasi ponsel
dikategorikan dengan zat karsinogenik berbahaya seperti timbal, asap knalpot, dan
klorofrom. Penelitian tersebut dilakukan oleh 31 ilmuwan dari 14 negara, menemukan
bukti peningkatan glioma dan peningkatan resiko kanker otak akustik neuroma bagi
pengguna ponsel.
Setelah usai sosialisasi seluruh siswa kembali ke kelas dan boleh beristirahat
sejenak. Ika dan Suci segera membeli jajanan di kantin karena merasa perutnya tengah
mengadakan konser, mereka menyantap dengan lahap sambil duduk dideket KOPSIS.
Tiba-tiba Iqbal datang dan menggebrak meja.
Braaakkkk... Ika dan Suci tersentak dibuatnya.
“Loe apa apan sih, tadi loe nyindir gue.”
“Emang kenapa? Aku emang pengen tanya seputar ponsel kok.”
“Kalau loe emang nggak suka sama gue. Bilang aja, atau loe malah suka sama
gue.”
“PeDe banget. Aku bukannya nggak suka sama kamu. Tapi kamu koreksi dir..”
Belum selesai Ika berkata, lagi-lagi Iqbal pergi dengan menatapnya tanpa arti.
Lantas Suci mendekatinya.
“Udahlah biarin aja anak kayak gitu. Bener omongan kamu gantengnya udah
luntur. Kita ke UKS aja yuk, kepalaku agak pusing nih mau minta obat gara-gara
gebrakan cowok itu.”
“Yaudah yuk.”
۞۞۞
Mentari mulai bersembunyi, rembulan datang dengan pengawal kecilnya yang
senantiasa bersamanya. Tumpukan buku tampak tertata rapi, banyak novel remaja
memenuhi. Di meja belajar, Ika sedang berkonsentrasi mengerjakan tugas kimia dari
bu Asih tadi siang. Tiba-tiba adiknya menggedor-nggedor pintu sambil berteriak.
“Kakak kak kak ... bukain pintu kak!”
“Ada apa Tina?”
“Dek Boby kak, muntah-muntah!” Dengan penuh kepanikan.
Ika langsung menuju kamar adik bungsunya. Boby terlihat muntah-muntah. Ika
bergegas mencari ibunya sambil berteriak.
“Bu ... ibu..” teriak sambil bergegas menuju kamar ibunya.
“Kak ibu keluar sama ayah beli nasi goreng.” Sahut Tina.
“Ya sudah, kamu telepon ayah dan beritahu apa yang terjadi sama dek Boby.”
Perintah Ika.
Tina bergegas menelepon ayahnya. Sedangkan Ika dengan sigap mengganti
pakaian Boby yang kotor dan mengolesi minyak telon. Sambil menunggu kedatangan
ayahnya, ia membuatkan teh manis. Tak lama kemudian yang dinantipun datang,
kedua orangtuanya bergegas menemui Boby. Ika mengutarakan sebuah pertanyaan
pada ibunya, mengenai apa yang sudah dimakan Boby tadi. Ternyata tadi siang Boby
makan jajanan yang dijual dideket komplek rumahnya, Ika menduga bahwa Boby
keracunan atau terserang muntaber. Ia mengetahui tanda-tanda dari beberapa penyakit
dari buku-buku yang dibacanya. Dengan cekatan Boby langsung dibawa ke dokter.
Sesampainya di sana, dengan cermat dokter memeriksa Boby. Dokter meminta
keterangan apa yang dimakan Boby seharian ini, ayahnya memberi penjelasan.
Akhirnya dokter mengatakan bahwa Boby keracunan, jajanan yang telah dimakan
kemungkinan besar telah kadaluwarsa. Saat Boby diperiksa Ika mengamati beberapa
hiasan yang ada di ruangan tersebut. Pandangannya tertuju pada nama dokter yang
menangani adiknya, namanya adalah dokter Ahmad Tawaqal. Diotaknya langsung
terlintas sosok Iqbal yang menjengkelkan. Iqbal memiliki nama dengan akhiran
Tawaqal. Yang mirip dengan dokter tersebut, Ika menepis jika Iqbal anak dari dokter
itu.
Ah, nggak mungkin banget kalau Iqbal anak dokter itu. Ada sosialisasi tentang
kesehatan aja nggak ndengerin sama sekali. Lamunnya terbuyarkan saat ayahnya
mengajak pulang.
Saat sampai di rumah Ika langsung bergegas menuju dapur, ia mencari bungkus
jajan yang adiknya makan.
“Bu tadi adek makan jajan apa?” sambil melirik ke sana ke mari.
“Kayaknya tadi masih ada bungkus di depan TV.”
Ika langsung menuju TV dan melihat ada bungkus jajan yang tergeletak. Ia
mengamati dan mencari tanggal expired, ternyata jajan tersebut telah tak layak makan
beberapa bulan yang lalu. Lantas ia manuju kamar, ibunya menghentikan langkahnya
sejenak.
“Kak kok buru-buru mau kemana?” tanya ibunya.
“Bentar, mau ambil sesuatu.” Melanjutkan langkah kakinya.
Tak lama kemudian ia nampak membawa buku berbentuk seperti majalah
menuju kamar adiknya. Ia mulai menunjukkan sesuatu pada Boby.
“Dek gimana masih sakit perutnya?”
Boby hanya menggelengkan kepalanya.
“Alhamdulillah. Kakak mau nunjukin sesuatu, Boby mau lihat.”
“Iya kak. Aku udah minum obat pasti sekarang sudah sembuh.”
Boby tampak antusias untuk melihat apa yang dibawa kakaknya itu. Ika mulai
membuka buku tersebut halaman demi halaman saat menemukan gambar, ia
mengatakan pada Boby.
“Dek lihat ini apa?”
“Jajan kak, tapi... kok banyak lalatnya ya.”
Ika menjelaskan dari gambar tersebut dapat diketahui bahwa jajanan diluar itu
tidak menyehatkan karena banyak lalat menghinggap. Lalat tersebut suka terbang ke
sana dan ke mari, biasanya lalat suka di tempat yang kotor. Kalau lalat terbang dari
tempat kotor menuju jajajanan, jajan tersebut akan membuat sakit perut. Boby
langsung mengajukan pertanyaan.
“Boby tadi makan jajanan dari luar kak, jadi yang bikin Boby sakit tadi lalat itu
ya kak?” bertanya dengan polos.
Ika tersenyum.
“Salah satunya itu, tapi jajanan yang kamu makan tadi sudah kadaluwarsa.”
“Aku ndak tau apa itu kadaluwarsa kak?”
“Kadaluwarsa itu sudah lewat tanggal boleh dimakannya suatu makanan. Jadi
kalau udah kadaluwarsa makanan atau minuman nggak boleh dikonsumsi.” Jelas Ika.
Boby mengangguk.
“Jadi sekarang kalau Boby jajan dilihat dulu ya bersih nggak tempat
penjualnya, kalau jajan harus ditemani ibu atau kakak ya.”
“Sama ayah?” celetuk Boby.
“Boleh lah. Sekarang Boby tidur ya.” Ika menarikkan selimut hingga menutupi
tubuh adiknya.
“Selamat malam Boby.” Sambil menutup pintu.
۞۞۞
Pagi yang cerah seperti biasa Ika berangkat sekolah. Kali ini ia harus
mengantarkan adiknya terlebih dahulu, karena ayahnya ada rapat yang mengharuskan
berangkat amat pagi. Saat Ika dalam perjalanan menuju sekolah ada kejadian yang
membuat hatinya tergerak untuk menolong. Kejadian itu bermula saat ia mengendarai
motor dengan kecepatan standart bekisar 40 Km/Jam, ada pengendara lain yang
menyalipnya dengan kecepatan tinggi. Pengendara tersebut menggunakan MoGe
(Motor Gede). Hal seperti itu sudah biasa baginya, ia hanya menanggapi dengan
senyum manis dibibirnya.
Tapi saat sekitar 150 meter ia melintas, dilihatnya ada insiden kecelakaan.
Ternyata pengendara MoGe yang menyalipnya tadi mengalami kecelakaan. Ika
langsung menepikan motorya, dan melihat siapa yang terkena musibah tersebut. Ia
sangat terkejut saat beberapa warga membuka jaket dan helm pengendara itu. Seragam
yang dipakai sama sepertinya dan ternyata itu adalah Iqbal, anak songong itu terkena
musibah.
“Iqbal!!” teriaknya dengan kepanikan.
“Kamu mengenalnya?” tanya seorang warga.
“ Iya pak saya mengenalnya, ini teman saya sekelas.”
“Iya dek, segera kita bawa ke rumah sakit saja.”
Warga langsung menelepon ambulance, beberapa menit kemudian sirine
ambulance terdengar mendekat. Dengan sigap para petugas membawa Iqbal menuju
rumah sakit. Ika ikut mendampingi Iqbal. Setibanya di rumah sakit, Iqbal yang terluka
cukup parah di bawa ke UGD. Ika langsung menelepon Suci untuk memberitahukan
apa yang terjadi. Ika melihat tas Iqbal yang tergeletak disampingnya, ia mencoba
mencari ponsel milik Iqbal. Untung saja ponsel tersebut tidak di password. Ia langsung
mencari kontak ayah Iqbal dengan jemari yang lincah. Lalu memberi tahu apa yang
terjadi.
“Assalamualaikum, ini temannya Iqbal om. Saya ingin memberitahu bahwa
Iqbal mengalami kecelakaan.”
“Astagfirullah, sekarang dia dimana?”
“Di rumah sakit Budisentosa.”
“Baik, saya segera ke sana.”
Ika dengan cemas menunggu ayah Iqbal. Ia mondar mandir di depan UGD,
tampak laki-laki bertubuh sedang menghampirinya.
“Kamu temannya Iqbal?”
Ika mengangkat wajahnya dan ia menyadari bahwa orang tersebut adalah dokter
yang minggu kemarin menangani adiknya.
“Dokter Ahmad? Iya saya temannya Iqbal.”
“Kamu kok mengenal saya?”
“Iya, saya kakak dari Boby yang kemarin sakit itu dok.”
Sambil mengingat-ingat.
“Oh iya iya, saya ingat. Bagaimana Iqbal bisa mengalami ini?”
Ika mencoba menjelaskan bagaimana kejadiannya. Dan memberikan tas Iqbal
kepada beliau. Tiba-tiba dokter keluar dari ruang UGD.
“Bagaimana dok?”
“Lukanya cukup serius pak. Mari kita bicara lebih lanjut.”
Dengan begitu pak Ahmad segera masuk ruangan mengikuti langkah dokter
yang menangani Iqbal. Tapi disisi lain Ika bergegas pergi.
۞۞۞
Udah seminggu ini Iqbal nggak masuk sekolah. Seperti biasa Ika dan Suci
mengerjakan soal-soal. Tampak dari luar anak-anak berhamburan masuk ke kelas.
Diantara anak-anak tersebut ada sosok yang tidak asing lagi bagi Ika, Iqbal masuk hari
ini.
“Ika anak itu udah masuk tuh.”
“Siapa? Iqbal maksud kamu Suci?”
Suci menganggukan kepala dan pindah dari bangku yang didudukinya ke
bangku belakang. Iqbal duduk dan menaruh tasnya di meja, tampak ia mengeluarkan
sesuatu dari tasnya. Jam tangan.
“Ini punya loe kan?” sambil memberikan jam tersebut pada Ika.
“Iya bener, kok ada sama kamu?” tanya Ika dengan kebingungan.
“Iya.”
“Gimana masih ada yang luka?” tanya Ika yang mulai perhatian.
“Nggak lah Ika, Iqbal kan anak tangguh.” Dengan cengingisan, Suci bergabung
dalam obrolan.
Iqbal mengulas senyuman yang menorehkan tanda tanya.
“Loe kan yang udah nyelamatin gue?”
“Oh itu.. iya kok kamu tau?”
“Suci yang bilang ke aku.”
Ika menoleh ke belakang sedangkan Suci malah tersenyum padanya dan
memainkan alisnya ke atas ke bawah memberikan kode pada Ika.
Sejak kejadian yang menimpanya, Iqbal mulai membuka hati untuk lebih
bersosialisasi dengan teman-temannya. Memang dari awal, saat ia menapakkan kaki
disekolah barunya tak ada teman yang ia akrabi. Ia mulai memberanikan diri untuk
menghubungi Suci pasca kejadian yang menimpanya, ia tidak menghubungi Ika
terlebih dahulu karena ia merasa canggung.
Sejak saat itu gaya bicara Iqbal udah mulai berubah, ia lebih berperilaku wajar
dan nggak ngomong loe gue lagi. Ditengah perbincangannya lewat smartphone dengan
Suci ia menyempatkan diri untuk bertanya mengenai kabar Ika dan hal-hal seputar Ika.
Dan akhirnya ia mengetahui bahwa jam tangan yang ia temuin pas di perpustakaan
adalah milik Ika.
Ika tengah duduk di bawah pohon nan rindang sambil membaca buku novel
kesukaannya. Langkah kaki terdengar menghampirinya dari belakang.
“Boleh aku duduk di sini?” tanya sosok laki-laki itu.
Ika menoleh dan menganggukkan kepalanya.
“By the way, thanks ya udah mau nyelamatin gue.. eh maksudku aku.”
Tampak Ika tersenyum dan menganggukkan kepala untuk kedua kali.
“Oh.. ya aku mau nanya sama kamu. Kamu itu suka hal-hal yang berbau
kesehatan ya?”
Tampak kebingung “Iya suka.”
“Oh.. sama aku juga suka.”
“Tapi ngapain kamu pas sosialisasi kesehatan malah ndengerin musik sama
mainan handphone?”
“Aku paling nggak suka kalau sosialisasi yang melibatkan seluruh siswa.”
“Kok gitu?”
“Kebanyakan dari mereka pasti ngobrol sendiri nggak ndengerin.”
“Tapi disekolahku kan nggak gitu, siswanya itu antusias banget sama namanya
sosialisasi yang berbau kesehatan, anti narkoba, pokoknya hal yang bermanfaat.” Bela
Ika terhadap sekolahnya.
“Eh kok gitu, ini kan juga sekolahku. Iya sih di sini emang beda anak-anaknya
pada tertib dan rajin semua.”
“Iya maksudku sekolah kita. Nah jangan suudzon dulu dong.”
“Iya aku ngaku salah. Oh ya kenapa kamu kok mau nolongin aku? Padahal ya,
aku tuh songong sama kamu dan teman-teman yang laen.” Sambil menundukkan
kepala.
“Biasa aja, itu kan udah jadi kewajiban sesama manusia. Pasti kalau orang lain
yang liat kamu ngalamin hal kayak kemaren pasti ditolongin lah.”
“Iya juga, maaf ya dulu waktu pertama kita ketemu. Aku ngeselin.”
“Oh.. iya santai aja.”
Bel berdering nyaring memutuskan pembicaraan kedua siswa tersebut. Seluruh
siswa berlarian menuju kelas masing-masing.
۞۞۞
Pagi ini langit tak menampakkan kemilaunya, ia menangis sejadi jadinya. Hawa
dinginpun menyergam tubuh Ika yang sedang berdiri memandangi foto-foto
persahabatannya dengan Suci dan Iqbal. Sejak kejadian beberapa bulan yang lalu ia
mulai merajut persahabatan dengan Iqbal yang memberikan kesan pertama yang
menjengkelkan, tapi siapa sangka mereka malah menjadi sahabat. Ketukan pintu
membuyarkan lamunnya, ternyata ibunya.
“Kak udah dateng tuh.”
“Iya bu, aku berangkat.” Bersalaman dengan ibunya.
Tampak diruang tamu ada dua sahabatnya yang sudah menanti. Terkadang
mereka bertiga berangkat bersama-sama menuju sekolah.
“Hai, yuk berangkat.” Ajakan Iqbal
Ika tersenyum dan mereka bergegas menuju mobil Iqbal. Sejak kejadian yang
menimpanya, Iqbal selalu diantar sopir menuju sekolah. Bukan merasa trauma, tapi ia
ingin bisa membantu temannya dengan mengendarai mobil apalagi ini musim hujan
yang dibilang cukup lebat. Saat berpapasan dengan temannya yang sedang jalan kaki
menuju sekolahan ia selalu mengajaknya berangkat bersama.
۞۞۞
Bu Murni memanggil Ika ke ruang wakasek. Ika diberitahu bahwa ia akan
ditunjuk menjadi perwakilan kesehatan bagi siswa yang diadakan oleh rumah sakit
Kasih Ibu. Bu Murni menjelaskan bahwa tugas yang dilakukan seputar alat-alat yang
digunakan dokter tetapi hanya pada fungsi dan penggunaannya saja serta tanda-tanda
beberapa penyakit. Mendengar hal itu Ika menyatakan ketidaksanggupunnya.
“Maaf bu kalau seperti itu saya tidak sanggup.”
“Mengapa?”
Memang belum banyak yang mengetahui mengenai ketakutan Ika pada jarum
suntik. Tiba-tiba Iqbal masuk.
“Permisi bu, apa ibu memanggil saya?”
“Iya silakan kamu duduk.”
Iqbal duduk disamping Ika dan ia memberi isyarat, mengapa ia juga disini. Ika
ingin menjawab tetapi bu Murni keburu memulai pembicaraan lagi.
“Mengapa Ika kamu nggak bisa?”
“Maaf bu kalau boleh saya tau kenapa ya saya dipanggil ke sini?” tanya Iqbal.
“Gini sekolahan membutuhkan dua siswa untuk menjadi perwakilan kesehatan
bagi siswa yang diadakan rumah sakit Kasih Bunda. Dan kalian berdualah yang
ditunjuk.”
“Tapi bu, sekali lagi saya minta maaf. Saya tidak bisa mengikuti kegiatan
tersebut.” Pinta Ika.
“Kalau boleh tau apa saja tugas yang dilakukan nantinya bu?” tanya Iqbal.
“Tugas yang dilakukan seputar alat-alat yang digunakan dokter tetapi hanya
pada fungsi dan penggunaannya saja serta tanda-tanda beberapa penyakit.”
Iqbal dan Ika nampak terdiam sejenak, dan ia memberikan pendapatnya.
“Bu, alasannya Ika tidak bisa ikut karena...” menengok Ika.
Dipikirannya teringat saat mereka sedang mengerjakan tugas kelompok di
rumahnya beberapa saat lalu. Saat itu ia sedang membuat minuman untuk kedua
sahabatnya, ayahnya meminta bantuan Ika untuk memegangi kotak yang berisi jarum
suntik. Iqbal yang tengah menyiapkan cemilan melihat Ika yang pucat pasi dan mulai
melemas. Dari kejadian itu ia mengetahui bahwa sahabatnya takut dengan salah satu
peralatan kedokteran.
Ika yang melihat tatapan Iqbal pun mengangguk. “Karena ia takut pada jarum
suntik bu.” Jelas Iqbal.
“Oh.. yang jadi masalah itu. Tenang saja ada solusinya, perwakilan yang
dibutuhkan sekolah adalah dua orang siswa. Yang pertama yang sudah ibu jelaskan
tadi dan yang kedua bertugas untuk mengetahui obat-obatan bagi pasien penderita.”
“.....” nampak ada keheningan sejenak.
“Hallo, bagaimana anak-anak? Kok pada bengong?”
“Iya bu, Ika pantas ditempatkan menjadi perwakilan kedua.” Sahut Iqbal.
“Bagaimana Ika kamu mau kan?” rayu bu Murni.
“Iya bu, saya bersedia.” Tegas Ika.
Akhirnya Ika dapat menolong sesamanya tanpa harus bergelut dengan jarum
suntik yang ia takuti. Ia bekerja sama dengan Iqbal untuk membantu semua orang
terutama di lingkungan sekolahnya. Iqbal menikmati kebersamaan dengan Ika untuk
menggeluti bidang kesehatan yang menjadi kegemarannya. Mereka terlihat semakin
akrab, jalinan persahabatan mereka juga terasa erat. Sedangkan Suci lebih
menyalurkan hobi menulisnya dengan bergabung dengan komunitas sastra di kota
mereka dan dapat menciptakan beberapa karya yang terkenal dikalangan pelajar.

›TAMAT‹
҉ ҉ ҉

Anda mungkin juga menyukai