Anda di halaman 1dari 12

CAHAYA RAHMATMU

Di kala fajar menyapa, saat itu pula kudengar suara lantunan lafal yang indah
menenangkan kalbu. Umat Islam datang berbondong–bondong menuju tempat suci yang
dirahmati Allah SWT, tempat dimana mereka berdo’a dengan sejuta harapan. Pemandangan
itu telah kutemukan di hari-hariku. Tentu saja, aku adalah gadis yang terlahir di Pesantren.
Andai aku dapat memilih, maka aku lebih memilih hidup diluar sana tanpa adanya tekanan
dan paksaan. Sejak kecil, aku berkeinginan menjadi seorang jurnalis dan berbaur dengan
masyarakat, bukan hidup yang hari-harinya diwarnai dengan menghafal nadhom, Al quran,
dan terus mengaji tanpa henti.

Namaku Aisyah Nurmaulina. Gadis yang tak bisa merasakan impiannya dan hanya
patuh mengikuti perjalanan waktu ini. Di sinilah aku, Pesantren Nurul Qur’an, tempatku
menimba ilmu. Meskipun aku berada dan tumbuh berkembang di Pesantren. Tapi, Abi tetap
mengirimku ke Pesantren yang lebih besar, katanya “untuk Tabarukan.” Sebenarnya aku
melakukan semua ini bukan karena aku takut pada Abi. Tapi, aku lakukan ini untuk Umi.
Wanita yang lembut dan menyayangi anak-anaknya tanpa membeda-bedakan. Sedangkan Abi
hanya menyayangi anaknya yang penurut saja. Aku tak ingin melihat air mata menetes
dipelupuk mata Umiku.

Selepas melaksanakan Jamaah salat subuh. Aku pergi ke kamar tuk melepas mukenah
dan menggantinya dengan jilbab biru. Kuambil mushaf dan mulai ngelalar hafalanku di
bawah pohon yang rindang. Sebenarnya aku tak ingin menjadi hafiz, aku hanya ingin sekolah,
tapi karena itu adalah satu-satunya alasan agar aku tak masuk ke Pesantren Salaf.

“Ndak papa kamu sekolah. Tapi kamu harus buat Abi bangga. Kamu harus menjadi
hafiz Quran.” Itulah kalimat yang selalu Abi katakan padaku sebelum aku pergi Tabarukan.
Selain itu aku juga harus menghafal nadhom, mengaji, belajar dan lain sebagainya.

Dari kejauhan kulihat segerombolan santri berjalan tergesa-gesa menuju lapangan


yayasan. Aku penasaran, ada apa lagi di sana? Biasanya jika para santri pergi kelapangan itu
artinya akan ada pertunjukan di sana.

“Ratna!” Panggilku pada seorang santri yang kebetulan lewat di depanku.

“Dalem Neng.” Ucapnya menanggapi panggilanku. Tapi……ya ampun! Aku benci


panggilan itu, memangnya kenapa jika aku anak dari seorang pemuka agama? Tapi bukan
berarti mereka harus menghormatiku. Aku hanya ingin hidup normal layaknya anak lain tanpa
perlu memakai panggilan formalitas itu.

“Ah, Neng lagi! Saya sudah bilang, jangan panggil itu lagi, panggil Aisyah saja.”

“Njeh neng. E…. Aisyah.”

“Kebiasaan kamu tuh! Ya sudah, ada apa itu kok pada ke lapangan semua?”

“Itu... ada anak putra lagi ditakzir. Katanya ganteng orangnya.” Ucapnya sambil
tersenyum.

“Ah, kamu itu Na, tau aja yang ganteng. Tapi... ya percuma kalau ganteng nggak
berahklak. Yowis, ayo aku ikut!”

“Tapi, dia pinter lo.”

“Halah podo wae.” Ucapku menegaskan.

“Njeh, monggo.” Kemudian, Kuletakkan mushaf di tempat semula dan berjalan


mengikutinya menuju lapangan yayasan.

“Hu……” Suara sorakan para santri yang hadir. Pemandangan ini sudah biasa terjadi.
Melihat santri yang berdiri di tengah lapangan untuk merasakan takziran. Mulai dari berdiri 3
jam di tengah lapangan dengan membawa papan bertuliskan “MasaTakziran” sampai dengan
takziran siraman air comberan. Kutatap seorang santriwan yang kini sedang berdiri ditengah
lapangan. Kuamati wajahnya yang datar, seperti pasrah dengan takdir. Ini adalah
pemandangan langka. Melihat seorang santriwan yang pasrah saat ditakzir. Bahkan seperti tak
memiliki dendam sedikitpun. Kucermati sekali lagi wajahnya. Tapi, tetap tak kutemukan
kebohongan di ekspresinya. Bahkan aku baru melihatnya sekali. Dia bukan santri yang sering
kena takzir dan sepertinya dia baru kali ini merasakan takziran. Tapi wajah tenangnya
membuatku berfikir karena biasanya santri yang baru merasakan takziran pertama kali akan
gugup, sedih, marah, malu, bahkan ketakutan. Tapi, lain halnya dengan dia yang berdiri
dengan tenangnya.

“Byuuuur!”

Seketika air yang diambil dari selokan itu jatuh membasahi tubuhnya. Mulai dari
ujung rambut sampai kaki. Seketika suara sorakan para santri menggema di telingaku. Ada
yang bersorak iba dan ada yang bersorak kemenangan karna merasa terhibur.
“Ya Allah! kasihan!” Ucap seorang santri putri yang sedang berdiri menyaksikan
peristiwa tersebut.

“Apanya yang kasihan, salah siapa dia melanggar peraturan pondok.” Sahut teman
yang berdiri di sebelahnya.

“Kasihan wajah gantengnya kesiram comberan yang bau.”

“Wes tha, biarin!” Ucap salah satu dari mereka tuk mengakhiri perdebatan. Seketika
kubalikkan badan 360 derajat tuk pergi meninggalkan tempat tersebut.

“Loh, mau kemana Neng?” Seketika hatiku terasa memanas karena panggilan formal
itu kembali menggangguku. Ya Allah! Sungguh sulitkah para hambamu ini agar tidak
memanggilku dengan panggilan formalitas tersebut? Karena bagiku semua derajat manusia
sama, tak perlu membeda- bedakannya dengan panggilan yang membuatku risih. Kubalikkan
badan dan menatapnya seperti pemangsa yang siap menerkam mangsanya.

“Eh… maaf, maksudnya Aisyah.” Jawabnya gugup. Mungkin dia paham jika aku
mulai marah.

“Mau setoran dulu. Habis itu mau persiapan sekolah. Kamu ndak sekolah tha?”

“Ya, habis ini tunggu acaranya selesai.” Kuanggukkan kepala tanda aku mengerti dan
melangkah pergi meninggalkan kerumunan tersebut.

Setelah melakukan kegiatan pagi seperti setoran, mandi, sarapan dan mengaji, akupun
pergi ke sekolah. Saat kakiku melangkah pada lorong-lorong sekolah seketika langkahku
terhenti saat kulihat ada seorang santriwan tengah duduk tenang pada bangku yang ada di
perpustakaan. Ada beberapa tumpukan buku di depannya dan satu buku yang tengah
dipegangnya. Dapat kutebak, ia sedang memegang kitab tafsir. Tapi bukan itu yang
membuatku terpana melainkan santriwan yang tengah duduk menikmati buku yang ia pegang.

“Aisyah!” Sontak itu membuatku kaget.

“Ya Allah! Dina, kaget aku. Tak piker siapa tadi.” Sahutku dengan jantung yang masih
berdebar kaget.

“Lah, tak cari kok ternyata ada disini tho. Kamu ngapain disini?” Seketika ia
mengikuti arah pandanganku. “Ya Allah, gitu tha ternyata. Emang kenapa ngelihatin Zain kok
sampai segitunya.”
“Penasaran.” Jawabku.

“Halah, ngeles aja kamu.”

“Ya Allah beneran, kemarin itu aku menyaksikan dia ditakzir dilapangan. Emang
kamu ndak tau?”

“Ya tau lah, masak Dina kok ndak tau kabar terkini.”

“Lah ngerti gitu kok.” Sahutku, yang dibalas senyum oleh Dina. “Emang kenapa kamu
cari aku?” Tanyaku penasaran.

“O iya, tadi dicariin sama umi.” Jawabnya.

“Loh aku kan udah setoran tadi pagi.”

“Ya siapa tau ada urusan lain, kan aku juga ndak tau.”

“Permisi!” Tiba-tiba ada suara dari belakang, yang sontak membuatku kaget. Ya, itu
dia. Orang yang sedari tadi memenuhi fikiranku.

“Eh, Syah minggir. Kasihan itu ndak bisa lewat.” Dina menegur.

“O iya maaf.” Ucapku sambil menepi agar ia bisa lewat. Kupandangi punggungnya
yang mulai mengecil dan hilang.

“ Ayo Syah! Kasihan umi nungguin kita dari tadi.” Kuanggukan kepala dan mulai
melangkahkan kaki menuju ndalem.

“Assalamualaikum.” Salam kami ketika sampai ke ndalem, dan seketika ada


tanggapan dari dalam.

“Wa’alaikumussalam. Masuk nduk. Sudah tak tunggu dari tadi kok lama banget tho.
Emang habis dari mana kok lama?”

“Ngapunten mi, tadi habis ada urusan mendadak, jadinya lama.” Tegasku, yang
disahuti dengan deheman Dina. Kulihat Dina tersenyum memandangku, seperti sedang
mengejekku. Kutatap matanya dengan tatapan mengancam.

“Ya sudah gini, pada intinya tadi umi nyuruh Dina buat cari kamu karna umi pengen
kamu ikut lomba. Gimana kamu siap tha?”

“Insyaallah mi. Memangnya lomba nopo to mi?”


“Lomba olimpiade kitab Alfiyah. Kamu sudah hatam tho? Jadi tinggal ngelalar aja.”

Ya Allah kenapa harus olimpiade kitab lagi? Menurutku kitab-kitab itu hanya perlu
dikaji, bukan dijadikan perlombaan. Percuma saja jika lomba tersebut endingnya menerima
sumbangan haram dari orang yang terobsesi pulang dengan kemenangan. Sebenarnya aku
ingin mengikuti lomba yang berbau sastra. Seperti lomba cipta puisi, lomba membuat cerpen,
atau bahkan lomba karya ilmiah remaja yang menurutku sangat fantastic. Karna dari sana kita
bisa mempelajari bahkan menciptakan alat yang berguna bagi masyarakat pada zaman
Mutaqbal nanti. Meskipun aku seorang santri, tapi apa salahnya jika menjadi santri inovativ.

“Gimana nduk? Mau kan?” Sahut umi yang membuat lamunanku buyar seketika.

“Gimana kalau yang lain aja mi?” Tawarku. Berharap jika umi setuju dengan
pendapatku.

“Kenapa? Ndak mau tha?”

“Mboten, bukan begitu mi. Maksud saya, kan ada Najwa, Dian, Azizah. Bahkan
Neng Lubna juga gak kalah hebat dari saya! Apalagi saya kan ndak pernah menang kalau
lomba. Malah yang ada nanti bikin malu umi, abah, juga pesantren ini.” Tuturku.

“Padahal umi pengennya kamu. Umi juga sudah bilang tadi sama abah. Terus abah
juga sudah setuju. Ndak papa menang atau kalah itu ndak masalah yang penting kamu maju,
terus buktikan kalau kamu bisa. Umi percaya, kamu ndak bakal bikin umi, abah, dan
pesantren ini malu. Toh kamu juga selalu jadi kebanggaan kami. Abi sama umimu juga
bilang, kalau umpamanya ada lomba atau sebagainya, disuruh mempercayakan semuanya
pada kamu. Dan kamu juga ndak bakal berangkat sendiri kok. Ada temennya.” Kata umi
dengan tersenyum penuh pengharapan.

“Kalau boleh tau siapa tho mi orangnya?”

“Zain! Kamu tau zain kan? Dia santriwan kesayangan abah.”

Apa? Zain? Bukankah dia santi yang ditakzir tadi pagi dengan wajah tenangnya. Dan
bukankah dia santri yang kutemukan diperpus dengan tumpukan buku yang tebal didepannya..
Seorang santri yang berhasil memenuhi fikiranku.

“Ngapunten mi, boleh nanya?”


“Wes tanya aja ndak usah sungkan. Kayak sama siapa aja tho? orang kamu aja udah
tak anggap anak umi sendiri, sama kayak Lubna. Dan umimu juga udah seperti saudara umi.”

“Ngapunteeen banget mi. Jadi gini, kemarin kan ada santriwan yang ditakzir
ditengah lapangan yayasan bukannya itu zain tho mi?”

“Lah, kamu kira siapa? Iya itu Zain. Wes ndak usah bingung suatu hari nanti kamu
bakal tau sendiri alasannya.” Sontak aku kaget. Bagaimana mungkin umi tau kalau aku
sedang penasaran dengan kehidupannya.

“Besok lombanya tanggal 22 november. Tempatnya di surabaya. Zain kemarin sudah


tak bilangin kalau besok lombanya sama kamu. Tapi kamunya siap tha nduk?”

“Insaallah siap mi.”

“Alhamdulillah, umi seneng dengernya.”

“Ya sudah mi saya pamit.”

“Oh iya silahkan. Tapi jangan lupa dipersiapkan!”

“Njeh! Assalamualaikum.”

“Waalaikumussalam.” Setelah pamit dengan umi, aku langsung bergegas pergi.

Setelah berhari-hari mempersiapkan segalanya untuk perlombaan. Akhirnya tibalah


dimana hari yang membuatku harus berjuang tanpa keinginan dari kalbuku sendiri. Hari
dimana perlombaan itu dimulai. Dan aku akan pergi bersama zain. Santriwan misterius,
hidupnya penuh teka teki yang sulit dipecahkan. Bahkan setelah kejadian takziran dipagi hari
itu Zain malah rutin mengisi poin takziran. Hampir setiap hari dia ditakzir. Tapi tetap dengan
kasus yang sama, yakni blegar. Dan hari ini ia duduk di depanku, disamping abah yang
sedang menyetir. Memandang keluar jendela kaca mobil abah. Kali ini abah dan umi yang
mengantarkan kami ketempat perlombaan.

“Kenapa Syah?” Tanya umi yang seketika membuyarkan lamunanku.

“Ndak papa mi! Aisyah Cuma grogi.”

“Loh kenapa? wong kamu kan wes terbiasa ikut lomba. Harusya yang grogi itu Zain!
Karna Zain yang baru pertama kali ikut lomba. Ini kok malah terbalik.” Kata umi yang duduk
disampingku. Dan hanya kubalas dengan senyuman. Sebenarnya bukan itu yang membuatku
sempat berfikir, tapi karna orang yang akan pergi lomba bersamaku ini yang merasuki otak
dan fikiranku.

Satu jam kemudian, akhirnya kami sampai di sebuah gedung yang akan menjadi
tempat perlombaan dimulai. Akupun turun dari mobil abah dan bergegas membantu umi
keluar dari mobil. Zain masuk terlebih dahulu dengan abah, dan kini umi berjalan bersamaku,
bagaikan sepasang ibu dan anak. Sebenarnya aku juga sangat menyayangi umi dan abah.
Sama halnya dengan mereka menyayangiku seperti anak sendiri. Tapi karna satu hal yang
terkadang membuatku tak nyaman. Hingga aku lebih memilih menghormatinya. Aku tak suka
dikekang, dipaksa, dan ditentukan segalanya terutama masa depan. Karna menurutku itu
adalah hal yang menentang Hak Asasi Manusi (HAM). Hingga aku seperti tak memiliki hak
untuk menentukan. Hakku hilang sejak aku dilahirkan. Bagaimana tidak? Semua keinginanku
termasuk mimpiku pun terenggut paksa.

“Aisyah!”

“Dalem.” Seketika aku kaget saat ku tau siapa yang memanggilku. Hatiku risau tak
karuan saat kulihat zain mendekat menghampiriku. Selama ini aku tak pernah sekalipun
bertatap muka dengannya, apalagi berbicara dengannya. Tapi hari ini dia memanggilku, dan
bahkan menghampiriku.

“Ini kamu dapat nomor 37.” Aku tetap diam, fikiranku melayang kemana-mana.

“Syah!”

“Eh, iya dalem. kenapa?” Ya Allah kenapa aku jadi tak fokus setelah dihadapannya?
Ia seperti memiliki karisma yang menarikku ke alam bawah sadarku.

“Ini kamu dapat nomer 37!” Ulangnya.

“Oh, iya terima kasih.” Ucapku masih dengan hati yang gugup. Maklum saja karna
baru kali ini aku mendengar suaranya. Bertatap muka langsung dengannya. Bahkan berbicara
dengannya.

“Ndak perlu gugup, santai saja. Dan ada satu hal yang perlu kamu lakukan, yakni
keikhlasan! Percaya padaku jika kamu ikhlas melaksanakan lomba ini maka kamu akan
kembali dengan bangga.”

“Bagaimana kamu tau kalau aku melakukannya karna rasa hormat.”


“ Semuanya bisa ditebak dengan mudah, mulai dari penolakanmu kemarin kepada
umi sampai ekspresimu pagi ini. Kamu harus bersyukur Syah! Kamu terlahir dilingkungan
yang kental akan agama, jad kamu takkan tersesat Sudahlah, tak perlu dibahas. Ayo kita
masuk.” Kuanggukan kepala tanda mengerti. Seketika kulangkahkan kaki mengikutinya dari
belakang. Dengan sejuta pertanyaan terngiang di benakku.

Beberapa saat kemudian. Akhirnya perlombaan selesai, tinggal menunggu


pengumuman. Tapi entah kenapa kali ini kalbuku merasa resah, aneh, tak seperti biasanya.
Rasanya seperti baru kali ini aku menaruh harapan akan kemenangan. Setelah tadi Zain
menyuruhku untuk mencoba ikhlas dan menerima takdirku, aku mencobanya. Dan benar saja.
Rasanya perlombaan ini berbeda.

Setelah sekian lama akhirnya pembawa acara mulai memasuki panggung dan mulai
memanggil para pemenang lomba.

“Juara satu, lomba baca kitab kuning diraih olee...h Shofia Anindya Putri dari ponpes
Al-Hikmah.” Seketika semua penonton bertepuk tangan.

“Sekarang giliran pengumuman pemenang lomba olimpiade kitab alfiyah.” Seketika


jantungku berdegup kencang.

“Juara tiga diraih olee...h Siti Khumairoh dari ponpes An-Nur.”

“Juara dua diraih olee...h, Zain Muhammad dari ponpes Nurul Qur’an.” Aku
tersenyum melihat Zain yang kini naik kepanggung bersama dengan suara gemuruh dan tepuk
tangan para penonton. Kuperhatikan umi dan abah yang kini tersenyum bangga pada Zain.
Dia baru kali ini mengikuti lomba, tapi ia langsung menjadi juara. Dan sekarang jantungku
kembali berdegup kencang menunggu pengumuman selanjutnya.

“Juara satu diraih olee...h, Aisyah Nurmaulina dari ponpes Nurul Qur’an.” Bagaikan
petir disiang bolong. Aku terkejut bukan kepalang. Aku tak percaya, selama ini aku tak
pernah mendapatkan juara ketika lomba. Kulihat abah dan umi yang tersenyum bangga
melihatku naik keatas panggung. Kuterima piala penghargaan dengan tangan yang mergetar
hebat. Kulirik Zain yang dibalas senyum olehnya.

Sesampainya dipesantren, kulihat seluruh santri menyambut kedatangan kami.


Senyum mereka merekah saat melihat piala besar milikku.
“Hari ini pesantren kita mendapat dua kebanggaan sekaligus. Oleh karna itu kita
patut berterima kasih atas usaha Aisyah dan Zain yang telah membawa nama baik untuk
pesantren kita ini.” Ucap abah dengan bangganya kepada seluruh santri.

“Syah! Keren kamu. Bisa langsung dapat juara satu.” Sahut Neng Lubna.

“Iya, hebat kamu. Bangga aku.” Ucap Ustadzah jihan menimpali.

“Terima kasih Neng, ustadzah.” Jawabku

Seketika suara adzan yang berkumandang membuat seluruh santri bubar tuk
memenuhi panggilan-Nya. Melaksanakan kewajiban sebagai umat muhammad. Kutatap mega
merah sekilas sebelum kumelangkah pergi meninggalkan tempat tersebut.

Setelah melaksanakan jama’ah sholat maghrib dan isya’, serta rutinitas santri pada
malam hari seperti mengaji dan setoran. Aku melangkah pergi menuju kamarku dan
mengambil mushaf untuk ngelalar hafalanku untuk esok pagi. Saat aku ngelalar hafalanku
diluar kamar, aku seperti melihat seseorang santri yang sedang berjalan terburu-buru menuju
gerbang. Kututup mushaf dan kuletakan kembali ditempatnya semula dan langsung
menyusulnya. Kutebak itu adalah Zain yang sedang melakukan aktivitas rutinnya, yakni
blegar. Rasa penasaranku semakin tinggi.

Kuikuti dia dari jarak yang cukup jauh. Dan sampailah kesebuah gang yang kecil.
Kuikuti ia yang masuk kedalam gang tersebut. Alangkah terkejutnya aku saat kutau bahwa
ada perkampungan disana. Kulihat sekelilingku, ada beberapa perumahan sederhan. Lampu-
lampu temaram menghiasi malam yang sepi saat itu. Langkahku terhenti saat Zain tiba-tiba
menatapku, membuatku salah tingkah sendiri. Zain mendekat, membuatku bingung harus
berkata apa jka ia bertanya padaku, apa yang sedang kulakukan disini.

“Ayo masuk! Ndak capek ta berdiri disitu? Sekalian bantu aku mengajar.”

“Ha? Mengajar?” Sontak itu membuatku kaget.

“Wes sekarang bantuin aku dulu, nanti baru tak ceritain.” Ujarnya.

Kuikuti langkahnya masuk kedalam sebuah rumah bercat hijau yang sederhana, tapi
tertata rapi. Disana ada foto anak kecil laki-laki yang bergigi ompong. Dan kutebak itu adalah
foto masa kecil Zain. Disebelahnya lagi ada foto keluarga yang harmonis. Dan diatasnya
terdapat tulisan ayat kursi yang berdampingan dengan lafal Allah disebelah kanan dan lafal
Muhammad disebelah kirinya. Langkah kami terhenti saat memasuki sebuah ruangan
sederhana. Didalamnya sudah terdapat beberapa orang yangduduk menghadap sebuah papan
yang ada didepannya. Seluruh pandanga melihat kami, sdeperti tatapan heran.

“Siapa itu Zain?” Tiba-tiba muncul seorang wanita paruh baya dari belakang kami.

“Ini teman Zain! Namanya Aisyah.” Jawab Zain.

“Oh! Ini tha yang namanya Aisyah, Anaknya kyai Somad?” Tanyanya.

“Njeh buk.” Jawabku sambil kucium punggung tangan kanannya.

“Saya Risa, Ibunya Zain. Panggil saja Ibuk! Sama kayak Zain.” Katanya
memperkenalkan diri.

“Ini buk anaknya yang sering Zain omongin. Cantikan?” Ucap Zain dengan
tersenyum. “Wes, Zain tak ngaji dulu ya buk, sekalian ini mau dibantuin sama Aisyah.”
Sambung Zain.

“Oh iya silahkan! Ibuk tak kedapur dulu.” Yang kemudian tersenyum, lalu pergi
meninggalkan kami. Aku masih tak percaya bahwa Zain mengajar ngaji para penduduk
desanya. Segala pertanyaan terngiang dikepalaku. Apakah ini yang membuatnya harus blegar
setiap malam?

Setelah beberapa saat, Kegiatan itu pun selesai pada jam 24.00. Rasa kantukku mulai
terasa menyerang. Tapi seketika kutepis untuk mulai bertanya pada Zain.

“Terimakasih syah.” Ucapnya mengawali. Dan kini ia duduk bersebrangan


denganku.

“Zain aku boleh nanya sama kamu?”

“Akan kuceritakan.” Sahut Zain seketika. Sepertinya ia telah mengetahuia apa yang
ingin kutanyakan. “Aku adalah anak yang terlahir dilingkungan yang tak begitu faham agama.
Yang menganggap agama hanyalah formalitas KTP saja. Dan desa ini adalah desa para
kriminal, seperti perampok, maling, pejudi, pemabuk, preman, dan sejenisnya. Dan yang
terpenting, ayahku adalah pemimpinnya.” Zain menarik nafas berat, kemudian
melanjutkannya.

“Setahun yang lalu, Keluargaku mengalami kecelakaan. Mobil yang kami tumpangi
masuk kedalam jurang, didaerah yang sepi kendaraan. Hingga kami harus berjuang tuk tetap
bertahan. Tapi untung saja kecelakaan itu tak begitu parah. Sehingga kami masih bisa
membuka mata. Sekitar 2 hari kami terjebak didalam jurang sebab tak ada yang bisa
menemukan kami. Hingga kami mulai putus asa dan pasrah dengan apa yang terjadi. Adikku
sudah mulai mengejang karna tak makan selama 2 hari dan kedinginan. Hingga ayah
bersumpah jika ada orang yang bisa membantu kami, maka ayah akan mengabulkan segala
keinginannya, bahkan jika perlu jiwa dan hartanya. Selang 10 menit setelahnya, ada sebuah
mobil yang berhenti ditepi jalan. Kemudian ayah berteriak sekencang kencangnya sambil
melemparkan batu keatas. Dan benar saja ia mendengrnya dan segera mencari bantuan untuk
kami. Sesampainya kami dirumah sakit untuk menyelamatkan adikku, takdir berkata lain.
Adikku menghembuskan nafas terakhirnya.” Kulihat air mata mulai jatuh memebasahi
pipinya. Aku bangkit dan duduk disebelahnya. Kemudian kuusap punggungnya tuk
menenangkannya. Sejenak ia menghembuskan nafas panjang dan menyeka air mata. Ia mulai
bercerita kembali.

“Dan kau tau siapa orang yang menolong kami? Itu adalah kyai Fattah. Oleh sebab
itu aku menjadi santri di pesantren Nurul Qur’an, karna itu adalah permintaan dari kyai Fattah
sendiri dari sumpah ayahku. Dan kau tau mengapa aku selalu kena takziran atas dasar blegar?
Itu karna aku pulang untuk mengajar ngaji orang dikampungku. Setelah ayahku memutuskan
tuk lebih iman kepada Allah, seluruh desa pun akahirnya mengikuti cara ayahku karna ayahku
adalah pemimpin disini.”

“Tapi mengapa kamu tetap mendapat takziran?” Tanyaku yang masih penasaran.

“Itu karna aku tak ingin seluruh pondok membicarakan bahwa kyai Fattah tak adil.
Karna aku yakin mereka akan sulit memahami ceritaku. Oleh karna itu aku memilih diam.
Dan kau seharusnya bersyukur karna mengenal islam sejak lahir apalagi keluargamu memiliki
nasab yang jelas. Kau harus mengerti bahwa keluargamu menentukan takdirmu karna mereka
tau kalau kau bisa saja tersesat jika memilih jalanmu sendiri. Dan kau harus berusaha
menerima takdir yang dfitetapkan. Abimu melakukan ini bukan karna ia tak menyayangimu
tapi ia melakukan ini karna ia tak ingin kau tersesat. Coba sekali saja kau renungkan, jika
abimu tak menyayangimu maka ia akan membuangmu. Bayangkan seberapa banyak do’a
yang ia panjatkan untukmu. Dia hanya ingin satu kau berjalan dijalan yang benar.” Seketika
air mataku mengalir dengan sendirinya seperti ada batu besar yang menghantam kalbuku.

“Dan sikapmu kepada para santri bahwa kau tak ingin mereka memanggilmu Neng
adalah wujud ketidak syukuranmu. Sekarang aku yakin kau telah mengerti.”Ujarnya
kemudian.
Ya Allah apa yang kulakukan? Aku telah menentang takdir. padahal kita tak
selamanya memilih takdir, terkadang takdirlah yang akan memilih kita, dan menuntun kita
kejalan yang seharusnya kita lalui. Mulai hari ini aku berjanji bahwa aku tak akan pernah
menantang takdir lagi. Menerimanya tanpa harus mengeluh. Karna aku yakin itulah yang
terbaik. Terimakasih Ya Allah karna telah menyadarkanku. Aku yakin dia adalah hambamu
yang kau kirim untukku sebelum aku terlambat.

TAMAT

Anda mungkin juga menyukai