Anda di halaman 1dari 2

Aku bisa melihat mereka.

Makhluk serupa Pegasus yang menrai membentuk rasi


Taurus. Salah satu dari mereka pernah berkata padaku bahwa dunia sedang berada di ambang
kehancuran. Sangkakala akan dimainkan. Para manusia sibuk berlarian. Mereka yang
mengaku setia, pada akhirnya akan mengurusi diri sendiri. Tak peduli dengan pasangan,
teman, atau keluarga. Pikiran mereka hanya tertuju pada satu kata. “Bertahan hidup.” Pegasus
itu memang terlihat meyakinkan. Tapi, aku tetap tak bisa memastikan apakah perkataan
mereka benar.

Aku sempat menganggap Pegasus itu adalah malaikat. Tapi, kata ibuku, malaikat itu
terbuat dari cahaya. Tak berupa, apalagi mirip kuda. Meski para pegasus itu bukan malaikat.
Mereka selalu berhasil membuat langit malam lebih mengkilap.

“Rion! Kenapa kamu di sini? Malam-malam malah keluyuran. Kalau ada penjahat
bagaimana?” Tegur Sean tiba-tiba

Kembaranku ini memang suka datang tanpa diundang. Menyebalkan. Dari usia lima
hingga dewasa. Dia tetap sama. Selalu menganggapku seperti anak kecil yang baru bisa
mengunyah. Seakan aku begitu lemah. Nyatanya, aku lebih kuat dari siapapun di dunia.

“Gak usah sok peduli!” Ucapku sarkas sembari meninggalkan Sean di belakang.

Aku membencinya. Lebih dari benci, aku sungguh ingin Dia mati. Sayang, aku selalu
gagal membuatnya menghilang. Terlalu banyak malaikat pelindung di sisinya. Dia begitu
beruntung. Tak perlu usaha keras pun Dia sudah bisa mendapatkan segalanya. Sementara aku
harus meluruhkan ratusan teteas keringat untuk hanya untuk satu hasil kecil. Bisa dibilang,
aku adalah hitam yang lahir bersama putih yang menyilaukan.

Jika kami sedang berjalan berdua, para tetangga selalu menyebut kami sebagai takdir
berjalan. Satu takdir baik dan satu takdir buruk. Julukan itu tentu tak jadi masalah bagi Sean.
Namun, bagiku sangat menyakitkan. Siapa di dunia ini yang mau dianggap sebuah kesialan?
Rasanya hidupku hanya berada pada dasar roda yang berhenti berputar. Tak pernah sekalipun
kurasakan berada di puncak. Melihat semua dari menara layaknya raja. Katanya, hidup itu
ada hitam dan putih. Tapi, bagiku, hidup adalah sebuah warna hitam raksasa yang
memenjara.

Pernah satu kali aku ingin mengakhiri semuanya. Kusiapkan sebuah tali dan kursi.
Pintu sudah terkunci, jendela pun sudah kututup rapat-rapat hingga cahaya tak punya jalan
untuk menembusnya. Gelap. Jika aku terlahir dengan kegelapan, sudah sewajarnya jika aku
juga berakhir dengan kegelapan. Tak ada kisah indah seperti di novel. Gelap yang akan
bertemu terang pada hari mendatang hanya ssebuah bualan. Aku sudah siap. Malam itu,
kukencangkan sebuah tali dileherku. Kakiku sudah siap menendang kursi agar nantinya
tubuhku tinggal menggantung pada tali ini.

Lagi-lagi, kesialan datang padaku, sebuah benda menghantam jendela kamar dengan
keras, membuat kaca pecah dan serpihannya berhambur kemana-mana.

Anda mungkin juga menyukai