Anda di halaman 1dari 3

TAURUS: Takdir Yang Lurus

Oleh: Alya Nurul Wahidah

Aku bisa melihat mereka. Makhluk serupa Pegasus yang menari membentuk rasi
Taurus. Mereka menyebuut diri mereka Gigas (gignat alas) atau kerbau bersayap. Salah satu
dari mereka pernah berkata padaku bahwa dunia sedang berada di ambang kehancuran.
Sangkakala akan dimainkan. Para manusia sibuk berlarian. Mereka yang mengaku setia, pada
akhirnya akan mengurusi diri sendiri. Tak peduli dengan pasangan, teman, atau keluarga.
Pikiran mereka hanya tertuju pada satu kata. “Bertahan hidup.”

Pegasus itu memang terlihat meyakinkan. Tapi, aku tetap tak bisa memastikan apakah
perkataan mereka benar. Aku sempat menganggap Pegasus itu adalah malaikat. Tapi, kata
ibuku, malaikat itu terbuat dari cahaya. Tak berupa, apalagi mirip kuda. Meski para pegasus
itu bukan malaikat. Mereka selalu berhasil membuat langit malam lebih mengkilap.

“Rion! Kenapa kamu di sini? Malam-malam malah keluyuran. Kalau ada penjahat
bagaimana?” Tegur Sean tiba-tiba

Kembaranku ini memang suka datang tanpa diundang. Menyebalkan. Dari usia lima
hingga dewasa. Dia tetap sama. Selalu menganggapku seperti anak kecil yang baru bisa
mengunyah. Seakan aku begitu lemah. Nyatanya, aku lebih kuat dari siapapun di dunia.

“Gak usah sok peduli!” Ucapku sarkas sembari meninggalkan Sean di belakang.

Aku membencinya. Lebih dari benci, aku sungguh ingin Dia mati. Sayang, aku selalu
gagal membuatnya menghilang. Terlalu banyak malaikat pelindung di sisinya. Dia begitu
beruntung. Tak perlu usaha keras pun Dia sudah bisa mendapatkan segalanya. Sementara aku
harus meluruhkan ratusan tetes keringat hanya untuk satu hasil kecil. Bisa dibilang, aku
adalah hitam yang lahir bersama putih yang menyilaukan.

Jika kami sedang berjalan berdua, para tetangga selalu menyebut kami sebagai takdir
berjalan. Satu takdir baik dan satu takdir buruk. Julukan itu tentu tak jadi masalah bagi Sean.
Namun, bagiku sangat menyakitkan. Siapa di dunia ini yang mau dianggap sebuah kesialan?
Rasanya hidupku hanya berada pada dasar roda yang berhenti berputar. Tak pernah sekalipun
kurasakan berada di puncak. Melihat semua dari menara layaknya raja. Katanya, hidup itu
ada hitam dan putih. Tapi, bagiku, hidup adalah sebuah warna hitam raksasa yang
memenjara.
Pernah satu kali aku ingin mengakhiri semuanya. Kusiapkan sebuah tali dan kursi.
Pintu sudah terkunci, jendela pun sudah kututup rapat-rapat hingga cahaya tak punya jalan
untuk menembusnya. Gelap. Jika aku terlahir dengan kegelapan, sudah sewajarnya jika aku
juga berakhir dengan kegelapan. Tak ada kisah indah seperti di novel. Istilah gelap yang akan
bertemu terang pada hari mendatang hanya sebuah bualan. Aku sudah siap. Malam itu,
kukencangkan sebuah tali dileherku. Kakiku sudah siap menendang kursi agar nantinya
tubuhku tinggal menggantung pada tali ini.

Lagi-lagi, kesialan datang padaku, sebuah benda tetiba menghantam jendela kamar
dengan keras, membuat kaca pecah dan serpihannya berhambur kemana-mana.

“Persetan dengan kehidupan! Apakah tidak bisa, sekali saja. Kumohon… beri aku
satu kalo dalam hidupku untuk mendapat semua yang kumau. Toh, permintaanku tidak
muluk-muluk. Aku Cuma mau mati tenang malam ini.” Gerutuku

Aku membatalkan rencanaku. Secepat mungkin, Aku pergi menengok ke arah luar
lewat jendela. Mencari manusia seperti apa yang sudah menggangu kencanku bersama
malaikat kematian.

Sedetik kemudian, sebuah cahaya menyorot mataku. Silau. Tapi, Aku tetap berusaha
melihat benda apa yang menyerang retinaku. Mataku memicing. Kudapati siluet hitam
berbentuk kerbau dengan sayap yang lebar. Itulah kali pertama aku bertemu daann
berbincang dengan Gigas. Setelah Gigas pergi, tubuhku serasa tersambar petir. Esokny, aku
terbangun di atas ranjang. Kaca jendela sudah kembali seperti semula. Ah, mungkin hanya
mimpi.

Awalnya memang menakutkan. Setelah kejadian malam itu, aku sering melihat
makhluk raksasa terbang di atas rumah warga. Aku pikir aku sudah gila. Aku mengurung diri
di kamar selama sebulan. Tak mau pergi kemana-mana. Bahkan ke sekolah. Keluarga sempat
khawatir hingga mereka mengundang seorang dukun. Mereka pikir, aku kesurupan. Tapi,
lama-kelamaan, aku sadar bahwa Gigas memang ada. Kejadian itu bukanlah mimpi. Mereka
nyata dan apa yang mereka katakan memang ada benarnya. Tak ada yang perlu ditakutkan.
Selama mereka tidak menyerang.

“Rion tunggu. Jangan cepat-cepat!” Ucap Sean sambil terengah-engah.

“Lambat.” Ucapku tak peduli.


Aku mempercepat langkah, sementara Sean semakin terengah-engah. Tenaga Sean
memang lebih lemah dariku. Tapi, kalau urusan otak, aku kalah jauh. Sean itu sempurna.
Hanya saja, aku membencinya.

“Lelah?” Tanya sebuah suara kepadaku.

Suara itu datang seperti kilat menyambar. Seketika waktu berhenti berputar. Ada apa
gerangan?

Anda mungkin juga menyukai