Anda di halaman 1dari 8

**✿❀ HAPPY READING ❀✿**

Pagi-pagi buta Anasya sudah terbangun dari tidurnya. Cewek itu segera menunaikan
ibadah shalat subuh danmemanjatkan doa yang tak pernah absen dalam setiap doa yang
diutarakan. Ia ingin adiknya segera siuman dan keluarganya kembali damai.

Anasya melipat mukena serta sajadahnya dan memasukkannya ke dalam lemari. Anasya
membuka lemari baju yang ada di sebelah lemari tadi, Anasya mengambil stelan baju
seragamnya dan segera memakainya. Anasya tahu jika ini masih pagi, tapi ia ingin pergi ke
rumah sakit sebentar untuk melihat keadaan adiknya.

Setelah siap, Anasya bergegas turun ke lantai bawah. Ia menemukan ibunya yang sedang
berkutat di meja makan. Menata sarapan yang simple dan tidak berisi makanan berat.

“Pagi Mah!” sapa Anasya sambil mengecup pipi mamanya.

“Pagi juga anak mama,”

“Gimana kak sekolahnya?” tanya Indri.

“Ya gitu deh ma,” ujar Anasya sambil mengambil selembar roti tawar dan selain coklat.

“Akhir-akhir ini Mama juga nggak dapet laporan dari Bu Indira tentang kamu lagi, jadi
Mama harap kamu pertahankan.” ucap Indri.

Anasya mengangguk, “Kakak, gimana olim yang waktu itu?” tanya Indri.

“Nggak mungkin sih kalo kakak bakalan lolos, kakak juga males belajar akhir-akhir ini.”
sahut Anasya membuat Indri menggelengkan kepalanya.

“Anak Mama itu nggak ada yang pesimis, Mama yakin kalo kakak bakalan lolos.” ujar
Indri menyemangati putrinya.

Anasya tersenyum lebar, ia sangat menyayangi wanita dihadapannya ini. Wanita dengan
gelar seorang dokter ini sungguh wanita hebat, wanita yang menjadi panutan Anasya.
“Anasya dulu ya? Mau mampir ke Rumah Sakit dulu,” Anasya bangkit dari tempat
duduknya saat ia sudah menghabiskan susunya.

“Nggak telat kak ke sekolahnya?”

Anasya menggeleng, “Aman Mah, tenang aja. Anak Mama ini titisan Valentino Rossi,”

“Ngebut boleh, tapi tetep hati-hati juga. Ngebut ya jangan sembarangan.”

“Iya Mah, kalo gitu Asya berangkat dulu ya mah, assalamualaikum!!”

✿✿✿

“Vitamin Q?” gumam Alaska ketika cowok itu membaca salah satu buku matpel Kimia.

“Ubikuinon. Koenzim pada rantai pernafasan atau transpor elektron dalam mitokondria,”
sahut seorang cewek yang duduk di samping Alaska, Anasya. Cewek itu baru saja dari kantin
dan rencananya cewek itu hendak ke rooftop gedung IPS untuk membolos. Tetapi saat ia di
rooftop gedung IPS, ia melihat Alaska yang ada di rooftop gedung IPA. Alhasil cewek itu
merekahkan senyumannya dan langsung menghampiri Alaska.

“Ngapain lo di sini?” tanya Alaska.

“Nyamperin lo,” Alaska hanya berdehem lalu melanjutkan membaca bukunya.

“Lo kenapa belajar Kimia? Bukannya bidang lo di Fisika?” tanya Anasya.

“Kenapa?”

“Ya aneh aja atau jangan-jangan lo mau ngikutin jejak gue ya? Gue suka Kimia,” tebak
Anasya.

“Cih! Ngimpi lo! Halu mulu lo!”

“Kalo gue nggak ngimpi, gimana mau wujudin mimpi gue?”


“Cita-cita itu kayak mimpi, sesuatu hal yang emang harus buat diperjuangin. Tapi kalo
halu, menurut gue angan-angan. Suatu rancangan atau rencana yang pengen kita wujudin,”
tambah Anasya.

“Cita-cita lo apa Al?” tanya Anasya.

“Dokter, maybe.”

“Lo nggak mau nanya cita-cita gue apa?” tanya Anasya.

“Nggak!”

“Ya udah, gue kasih tahu aja. Kali aja lo kepo, cuma gengsi buat nanya.”

Anasya menghembuskan nafasnya, “Pas gue kecil, gue pernah punya cita-cita kalo gue
pengin jadi Guru. Tapi, ada satu kejadian yang buat gue bertekad buat pengen jadi dokter. Dari
kecil, gue giat buat belajar biar gue bisa jadi dokter. Tapi sekarang gue malah males-malesan
buat belajar. Belajar aja pas gue lagi mood buat ngerjain tugas,” jelas Anasya, cewek itu terkekeh
pelan.

“Dasar!”

“Al,”

“Kalo lo mau gangguin gue, mending lo pergi deh! Gue mau fokus belajar!”

“Nggak kok, gue malah mau bantuin lo belajar. Gimana?”

“Nggak!”

“Ih nggak boleh gitu! Gue tuh punya niat baik sama lo, nggak boleh dilarang.”

“Pergi nggak lo?”

“Nggak!”
“Pergi Sya!”

“Nggak Al!”

“Lo punya telinga nggak sih?! Gue bilang pergi ya pergi! Budeg lo ya! Gue tuh risih
sama lo!”

Anasya tertegun sesaat, tetapi gadis itu kembali tersenyum manis. “Ya udah gue pergi
dulu. Sorry udah buat lo risih, tapi tenang aja kok. Gue nggak akan nyerah sebelum gue capek,”
Anasya bangkit dari tempat duduknya dan berjalan meninggalkan rooftop gedung IPA. Cewek
itu memilih menuju rooftop gedung IPS, hari ini ia ingin membolos di jam pelajaran Sejarah
Indonesia. Padahal ia berada di jurusan IPA, tapi entah kenapa pelajaran Sejarah Indonesia
dilibatkan di dalamnya.

“Sya!” Anasya menoleh ke arah samping, ada gadis yang berlari menujunya.

“Iya?”

“Lo Anasya anak IPA 2 kan?”

“Iya, lo siapa?”

“Kenalin gue Maura, gue anak IPA 1.”

“Ah iya, btw kenapa lo manggil gue?” tanya Aenasya.

“Lo mau nggak bantuin gue?”

“Bantuin apa?”

“Gue denger-denger lo pernah juara satu Olimpiade KSN Nasional,”

Kening Anasya berkerut, perasaan dulu ia mengikuti lomba itu bukan karena sekolaham
tetapi atas dasar pribadi. Ya walaupun masih meminjam nama almamater sekolahan, tapi tetap
saja gadis itu tidak pernah membeberkan soal ini. “Lo tau dari mana?”
“Gue pernah baca di laman web, soal daftar juara Olimpiade KSN. Jadi intinya gue minta
tolong sama lo buat ajarin gue ya? Bulan depan gue dipilih buat Olimpiade KSN bidang Kimia
tingkat kabupaten, mau ya?”

“Sorry gue nggak bisa, gue akhir-akhir ini sibuk. Minta tolong sama yang lain aja ya?
Kan bukan gue doang yang pernah KSN nasional,”

“Lo doang di sekolahan ini yang juara Olimpiade KSN Nasional, please ya? Bantuin
gue?” mohon Maura.

“Kalo gitu, gue bisa ajarin pas di sekolah aja. Selebihnya gue nggak ada waktu lagi,”

“Serius lo?!” pekik Maura, suara cewek itu banyak mengundang pandangan orang-orang
tertuju padanya.

“Hehe sorry, gue terlalu bersemangat ya?” ucap Maura dengan canggung.

“Biasa aja, jadi kapan lo mau belajarnya?”

“Besok aja gimana? Di kelas gue pas istirahat pertama? Soal lo laper atau haus, nanti biar
gue siapin stok makanan sama minuman. Gimana?”

Anasya mengangguk, sebuah keberuntungan jika seperti itu. Ia bisa ke kelas Alaska
setiap istirahat, ia bisa melihat cowok itu dari dekat. “Oke. Kalo gitu gue cabut dulu,” Anasya
berjalan meninggalkan Maura yang masih menatap kepergian Anasya dengan tatapan yang sulit
diartikan.

“Cuma dengan ini gue bisa deket sama lo Sya,” gumam Maura.

✿✿✿

Anasya duduk di sebuah boxs yang terbuat dari kayu, cewek itu
mengeluarkan airpodsnya dan mulai mendengarkan musik lewat airpods warna putih itu. Bibir
Anasya juga sesekali mengikuti lirik lagu yang mengalun indah di telinganya. Jam kosong,
membuat Anasya bisa berkeliaran dengan bebas di sekolah. Anasya memejamkan matanya
sebentar lalu bangkit dari tempat duduknya.
Cewek itu berjalan menuju pembatas rooftop dan menatap ke arah bawah, tepat dimana
lapangan basket berada. Dari atas situ, Anasya bisa melihat kelas 12 IPS 1 tengah bermain
basket. Sebagian dari mereka malah sudah melepas kemeja mereka dan hanya meninggalkan
kaos oblong yang mereka pakai.

Hingga tatapan Anasya memincing saat melihat sesosok pria dari arah lobby, berjalan
dengan tegap dan juga tatapan yang menghunus. Anasya langsung melepaskan airpodsnya dan
memasukkannya kembali. Anasya masih mengikuti arah kemana pria berjas itu melangkah.
Hingga mata Anasya membulat saat melihat pria itu mendongak dan menatap tepat ke arah
Anasya yang berada di rooftop gedung IPS.

“Mampus!” Anasya bergegas segera turun dari rooftop dan berlari menuju lapanga
basket.

Nafas Anasya terengah-engah, cewek itu membungkuk untuk mengatur nafasnya. Anasya
menegakkan tubuhnya dan berjalan menuju pria berjas itu.

“Ngapain sih ke sekolahan segala?” tanya Anasya dengan nada ketusnya.

“Ikut gue sekarang,” ujarnya sambil menarik tangan Anasya.

“Eh—Eh mau kemana?” Anasya menahan tangan pria itu yang hendak menggapainya.

“Ke Rumah Sakit, adik lo udah siuman.” ucapnya.

“Gu—Gue ambil tas dulu! Lo ke parkiran, tungguin gue!” Anasya segera berlari menuju
kelasnya

“Sya, lo mau kemana?” tanya Daniel ketika melihat Anasya berbenah.

“Mau ke Rumah Sakit, tolong ijinin gue ya?” pinta Anasya sambil memanggul tas
punggungnya.

Daniel yang paham pun langsung mengangguk, “Hati-hati,” Anasya mengucapkan terima
kasih kepada Daniel dan berjalan menuju keluar kelas.
“Anasya! Mau kemana kamu?”

Dalam hati, Anasya mengumpat berkali-kali. Cewek itu berbalik dan menatap Bu Indira
yang tengah menatapnya sambil berkacak pinggang.

“Saya mau ke Rumah Sakit bu, kakak saya udah jemput di parkiran. Saya udah nitip ijin
kok bu,” ujar Anasya.

“Ya sudah kalau begitu, hati-hati di jalan.”

“Permisi bu,” Anasya bergegas menuju parkiran, agar tak membuat pria menyebalkan itu
menunggunya lebih lama.

Bruk!

“Aduh sorry banget,” ucap Anasya kepada pemuda yang ia tabrak.

“Duh Sya! Pantat gue nanti tambah semok gimana?”

“Sorry banget Bi, gue buru-buru banget soalnya.” ucap Anasya dengan rasa bersalah.

“Mau bolos lo?” tanya Abi.

“Cewek pemalas kayak lo malah bikin gue ilfeel,” celetuk Alaska yang entah kapan
memperhatikannya. Anasya menatap Alaska dengan sendu, cewek itu tersenyum singkat dan
berlalu dari hadapan ketiga pemuda itu.

Anasya bukannya tidak ingin membantah ucapan Alaska yang tentunya salah besar.
Tetapi jika Anasya menanggapi Alaska dengan segala penjelasan Anasya, bisa-bisa ia telat
menuju rumah sakit dan membuat pria berjas itu mengomel-ngomel tidak jelas.

“Ayo om!” seru Anasya saat ia sampai di dekat mobil BMW hitam.

“Dibilangin jangan panggil gue om juga! Gue jitak lo!” ucapnya dengan kesal. Pria
berusia 21 tahun itu adalah adik dari Mamanya Anasya, Andika Bramastya Wiguna. Pria itu
sudah ia anggap sebagai kakaknya sendiri, apalagi usia mereka tidak terpaut jauh.
“Iya-iya! Udah ayo ke rumah sakit sekarang!” Anasya segera masuk ke dalam mobil itu
dan diikuti oleh Bram.

“Pertama kali dia sadar, dia manggil nama lo terus.”

**✿❀ TO BE CONTINUE ❀✿**

Anda mungkin juga menyukai