Anda di halaman 1dari 8

MISTERI TRAGEDI 1981

Matahari selalu tersenyum menyapa dan menemani hidupku yang kelam.


Hujan tidak pernah menghampiri beberapa bulan ini dan tidak pernah membasahi
hidupku. Awan membentuk relief-relief yang menenangkan hati. Sungguh, kenapa
aku ditakdirkan hidup di dunia ini?
namaku...Katty Halianson
Dilahirkan dari keluarga yang tidak pernah menyayangiku sepenuh hati. Sendiri,
sepi dan sunyi adalah teman ku sehari-hari. Andaikan aku menjadi malaikat, akan
kubantu mereka yang memiliki nasib dan takdir serupa denganku.
ayah salah satu orang yang tidak pernah mengharapkan aku lahir. Aku tidak
tahu apa salah ku kepada ayah. Ayah sangat dendam kepadaku seperti mendendam
kepada pembunuh.
Ibu satu-satunya orang yang masih menyayangiku. Sampai akhirnya, ibu
menyekolahkanku di Asrama Barbara. Asrama putri yang berada di Berg, kota yang
jauh dari rumah. Walaupun perih, mungkin ini yang terbaik bagiku, juga ayah.
Dengan berat hati, aku meninggalkan rumah dengan berbagai kenangan yang sangat
memilukan untuk diingat. Akhirnya, aku pasrah dibawa ke Asrama Barbara.
Gedung bercat putih polos berlantai tiga ini tampak menakutkan dari
kejauhan. Ibu langsung menyerahkanku kepada seorang suster yang bekerja di situ.
Suster yang dalam papan nama di dadanya tertulis “Carmel Maryam” itu
mengantarku dengan lembut menuju ruang makan. Aku melewati sederet kamar
yang begitu menyeramkan untuk dilewati sendirian. Sebuah pintu besar dan tua di
ketuk suster Carmel dengan pelan. Tidak lama, pintu besar itu terbuka dan kulihat
ratusan murid Asrama disana. Semuanya menatap kearahku dengan aneh.
Suster Carmel memintaku untuk berjalan menuju ms. Emil. Wanita itu
adalah kepala sekolah Asrama Barbara. Aku berjalan dengan pelan. Setiap langkah
kaki ku di perhatikan murid-murid Asrama.
Sesampainya, ms. Emil mengelus rambutku yang hitam panjang dengan
lembut. ms. Emil memintaku untuk memperkenalkan diri didepan semua murid dan
guru-guru Asrama Barbara. Kakiku gemetar, aku jarang sekali berdiri didepan
umum dan ditatap ratusan orang.
“Namaku Katty Halianson. Aku berasal dari desa Klim di utara kota Berg,”
kataku memperkenalkan diri dengan singkat.
Ms. Emil memintaku untuk duduk disamping dua orang perempuan yang
sedang menatapku. Seorang di antaranya menatapku, seolah-olah dia tahu isi
pikiranku. Aku langsung membawa tas ku dan berjalan menuju meja makan dekat
dua orang yang ditunjuk.
“Kamu pindah karena ayahmu, kan?” kata orang yang mencurigakan itu.
Aku tersentak kaget. Dari mana dia tahu kalau aku pindah karena ayah dendam
kepadaku? Perempuan disebelahnya yang memakai pita hitam, langsung berbisik.
“dia itu peramal dan tahu tentang orang yang baru dikenalnya ...,” bisiknya pelan
agar orang itu tidak mendengar.
Acara makan malam selesai. Aku dipanggil suster Carmel dan diberi kamar
nomor 133 yang berada dilantai paling atas. Suster Carmel tidak mengantarku
keatas. Kamar nomor 133 terletak terletak paling pojok dan paling seram di antara
kamar-kamar yang lain. Benar, itu kamar 133. Kuketuk pelan pintu kamar itu dan
ternyata ... .
Itu adalah kamar dua perempuan yang kutemui di ruang makan. Aku
tersentak kaget, begitupun perempuan berambut keriting hitam berpita hitam
dirambutnya. Kami berdua berdiam sejenak, saling bertatapan. Tidak lama,
perempuan itu tersadar dan mempersilahkan aku masuk ke kamarnya dan
perempuan peramal itu.
“kamu yang tadi itu, kan? Namamu ...,” katanya mengingat-ingat namaku.
“Katty Halianson, salam kenal. Kamu sendiri siapa?” Tanyaku saat dia menutup
pintu. Dia langsung mengulurkan tangannya.
“namaku Elena Klooper. Panggil saja aku Elena, oh, iya ...ayo, masuk! Kita
bertemu dengan Lucy,” ajaknya sambil membantuku membawa tas. Ternyata, nama
perempuan peramal itu adalah Lucy. Aneh, kenapa Elena betah sekamar dengan
Lucy? Aku mengikuti Elena dari belakang.
Kulihat Lucy duduk di kursi goyang sambil memainkan kartu ramalannya.
Menurut Elena, Lucy sudah pindah kamar beberapa kali karena sikapnya yang aneh
dan menakutkan. Sampai akhirnya, Elena yang sendirian dikamar ini bersedia
sekamar dengan Lucy.
Lucy hanya berteman dengan Elena. Bisa dibilang, Elena adalah
sahabatnya. Lucy sangat ditakuti karena bila bertemu seseorang, dia akan
memberitahukan hal-hal mistik yang ada disekitar orang itu.
Aku masuk dan Lucy langsung menatapku dengan tajam. Tiba-tiba dia
berkata, “ dia tidak jahat, hanya
ingin mengenalmu,” katanya dengan suaranya yang menyeramkan.
Aku kaget dan melihat kebelakang. Elena langsung meminta maaf
kepadaku. Elena memperkenalkanku kepada Lucy. Aku bersalaman dengan Lucy
dan dia kembali berkata ..., “kamu adalah anak pembawa sial di keluargamu.
ayahmu sangat membencimu. Matamu tampak lelah memikirkan itu semua,”
katanya dan membuatku melangkah mundur. Sekali lagi, Lucy membuatku takut
dengan kata-katanya.
Elena dulu juga di perlakukan sama. Jika dia bertanya, pasti Lucy akan
memberi tahu apa yang ada di dalam pikirannya dan hal mistik yang ada di
sekitarnya. Tetapi, Elena cuek. Sampai akhirnya, Lucy bisa juga di ajak bicara.
Tiba-tiba, suara ketukan terdengar. Aku ketakutan, sementara Elena
beranjak meninggalkanku untuk membuka pintu. Mata Ghi selalu saja mentapku
dengan tajam dan menyeramkan. Tidak mau sedikit pun berpaling.
Elena kembali dan memberikan seragam untukku. Ternyata yang
mengetuk tadi adalah suster Rie. Aku langsung mengambil seragam berjubah itu.
Seragamnya berwarna putih dengan rok kotak-kotak berwarna hitam. Terdapat
almamater Asrama Barbara dan sebuah topi. Nanti malam, dia akan membantuku
membereskan pakaian.
Malamnya, aku dan Elena mengeluarkan semua pakaianku. Elena juga
memberi tahu jadwal besok. Suasana di asrama ini, walaupun ada hawa mistisnya,
terasa berbeda dengan di rumah. Suasana di rumah sangat mencekam. Lengah
sedikit saja, ayah dapat “menghabisiku” dalam sekejap.
Tiga bulan berlalu ....
Aku sudah mulai bisa beradaptasi dengan suasana di Asrama. Aku juga sudah
sedikit mengenal murid lain, guru-guru dan suster yang ada disitu. Begitupun
dengan Lucy dan Elena. Ghi sudah menerima keberadaan ku dan dia sudah jarang
bersikap aneh.

Aku melihat empat ayunan dibagian utara, selatan, barat, dam timur. Setiap
ayuan sepasang. Hari ini, matahari tampak bersahabat denganku. Awan mulai
berarak-arak terbawa embusan angin. Bentuknya berbagai kreasi dan memesona.
“kamu jangan pergi ke tempat ayunan itu ....” kata-kata lucy masih
terkenang di otakku. Pantas saja ayunan itu sepi setiap minggunya. Selalu sepi.
Hanya ada suara ayunan yang bergerak karena angin. Minggu ini, terasa sepi
bagiku. Kedua sahabatku pergi terbawa angin untuk sesaat. Mereka diberi tugas
yang harus dikerjakan di luar Asrama.
Aku sendiri. Suasana sepi dan sunyi kembali terasa seperti berada berada
di rumah. Dengan kecaman dan dendam yang ada di hati ayah yang kesal padaku.
Ah ... , aku tidak tahu sampai kapan tidak kembali ke rumah.

Saat menuruni tangga, aku melihat murid lain sedang bermain bersama
sahabat-sahabat mereka. Aku ingin seperti mereka. Ini kesempatanku, ketika Lucy
dan Elena tidak ada di asrama. Aku akan mencoba menaiki ayunan yang misterius
itu. Para suster yang berada di pintu utama menyapaku. Aku hanya tersenyum.
Mereka pun membalas senyumanku.
Senangnya menjadi mereka, walaupun tidak bersama orang tua, pasti
orang tua mereka menyayangi mereka dan ada sahabat yang selalu menemani. Aku?
Jangan tanya tentang aku. Pasti aku akan menjawab, “
” seperti yang kurasakan hari ini.
Aku berjalan jauh menuju semak belukar yang dibaliknya terdapat empat
ayunan. Aku langsung tersenyum lebar melihat ayunan bagian utara. Ayunan itu
sudah berkarat dan tumbuhan menjalar di bagian ayunan itu. Aku segera berlari.
Hujan kemarin meyisakan embun di rumput yang kuinjak dan membuat sepatuku
sedikit basah.
Aku menaiki ayunan itu. Terasa senang, tapi sepi juga, tidak ada satu
orang pun, kecuali aku yang memberanikan diri menaiki ayunan itu. Aku
menggoyangkan ayunan itu tiga kali, tiba-tiba ....
Angin berembus kencang. Aku segera memejamkan mata, dunia kembali
ke sepuluh tahun yang lalu. Aku memakai almamater merah kotak-kotak yang
bertuliskan 1981. Padahal, tadi aku memakai almamater hitam tahun 1990. Aku
melihat, di balik semak belukar itu terdapat Asrama barbara.
Aku tertegun melihat ayunan selatan. Seorang perempuan memakai pita
merah tergeletak tidak berdaya berlumuran darah. Di ayunan barat, seorang
perempuan yang memakai bando terjatuh. Perempuan itu bernasib sama dengan
perempuan di ayunan selatan. Perempuan itu masih hidup, tapi darah yang keluar
dari tangannya bertambah banyak.
Aku melihat seluruh murid dan guru yang berada di taman tergeletak tak
berdaya. Aku sangat terkejut dan tertegun menyaksikan hal ini. Aku melihat
seorang perempuan membawa benda tajam dan runcing sedang berjalan kearahku
dengan senyuman anehnya. Benda berwarna perak itu mengilat terkena cahaya.
Matahari tampak bersahabat, tapi tidak bagiku. Aku segera berdiri dan ....

“ “
“ ayo, ikut aku sekarang. Semua orang yang ada di Asrama Santa
Teresia di bantai habis-habisan. Sekarang, giliran kita. Aku tak ingin
mati dengan tragis karena orang gila itu,” kata seorang perempuan yang
menarik tanganku. Aku kebingungan. Dia mengajakku ke suatu tempat, ke lantai
paling atas, sebuah atap terbuka. Aku dibawa kesana. Tidak tahu apa yang akan di
lakukannya. Aku juga tidak sempat menanyakan namanya.
“pembantaian apa?” tanyaku saat kami menaiki tangga.
“pembunuhan besar-besaran di kota berg, seluruh manusia
dengan tragis,” kata perempuan itu. Suara entakan kaki mengikuti kami kami
berdua dari belakang. bayangannya terlihat membawa benda tajam yang mengilat.
Ketika sampai, aku di ajak perempuan itu ke ujung tempat itu.
“daripada aku mati dengan cara dibunuh dan tragis, lebih baik
aku bunuh diri,” kata perempuan itu tidak masuk akal. Aku langsung
mencegahnya, tapi terlambat.

Dia sudah terjatuh dengan berlumuran darah. Persis saat itu juga, aku
kembali ke alam nyata. Dunia segera membalikkan badannya dan mengembalikan
waktu ke sepuluh tahum kedepan, saat aku duduk di ayunan.
Napasku masih terengah-engah. Masih terbayang bagaimana perempuan
itu terjatuh dan mati dengan tragis. Sungguh tragis. Aku langsung berlari
meninggalkan ayunan itu dan tidak akan kembali untuk merasakan semuanya.
Tidak akan ....

Sore itu, matahari mulai tenggelam di ufuk barat dan menghasilkan


warna oranye. Aku masih menatap lingkungan Asrama Barbara yang juga terkena
sinar oranye. Aku masih trauma dan tidak ikut makan malam. Berharap, kedua
sahabatku pulang. Aku tidak tahan dengan hari ini. Ini salahku. Mengapa aku
kesana?
Senin pagi, aku masih lemas. Aku memakai dasi Asrama Barbara dengan
lemas juga.
“Katty, maukah kamu pergi ke lantai atas?” tanya Zoe tiba-tiba, tanpa
mengetuk pintu terlebih dahulu. Aku langsung terkejut. Tempat perempuan itu
melompat dan terjatuh berlumuran darah dan semua orang di Asrama Barbara
mati dengan cara mengenaskan.
Hari yang terasa biasa-biasa saja membuatku ingin mengetahui tentang
Asrama Barbara pada 1981. Aku menuju perpustakaan mencari koran yang terbit
pada 1981. Sesaat, aku seperti orang stres yang kerasukan setan. Ms. Daime
membangunkan aku dari keadaan yang tidak tentu itu.
“Kamu mencari apa, Katty? Sepertinya sangat penting,” tanya ms.
Daime. Aku segera menceritakan semuanya.

Angin sepoi-sepoi masuk dari jendela perpustakaan dan membuat


koran-koran yang tertata rapi berserakan tidak teratur dalam waktu singkat. Aku
merapikannya sesuai tanggal, sampai aku menemukan sesuatu yang kucari.

Aku tertegun. Suasana hening sejenak. Bulu kudukku berdiri,


tubuhku dingin. Seperti ada orang di sampingku. Tapi itu mustahil ....
Saat mencari berita tentang pembantaian 1981, sebuah foto dari timbunan
koran muncul. Seorang perempuan berambut pendek memakai almamater Asrama
Barbara berwarna merah. Aku langsung mengenalinya. Di bawahnya tertulis
“Caroline Shadih”. Perempuan yang bunuh diri, yang melompat dari lantai atas.
Meninggal dengan cara yang tragis.
“Caroline ...? ada apa denganmu, sepertinya kamu tahu siapa Caroline,
Ketty?” tanya ms. Daime yang melihatku memegang foto Caroline. Aku masih
tidak percaya. Wajah dan tubuhku tidak bisa bergerak.
“hanya sepuluh orang yang selamat dalam peristiwa itu, termasuk ibu,”
kata ms. Daime yang memegang pundakku
Cerita ini harus kuketahui. Rasa ingin tahu ku tentang Caroline semakin
menjadi. Mengetahuinya seolah akan membuat hidupku kembali seperti semula.
Damai tanpa ketakukan atas kejadian kemarin.
Komunis kill mengetahui Asrama Barbara sebagai asrama terbesar di
kota Berg. Kota Berg dulu dipimpin oleh Raja Kaois, seorang komunis besar yang
sangat mendukung pembantaian itu. Hari itu adalah hari paling menyeramkan.
Suara tembakan dan suara jeritan terdengar dimana-mana. Orang tidak berdosa
terbunuh dengan cara yang tragis.
Suatu ketika, Raja Kaois memerintahkan untuk mencari Caroline, gadis
kecil yang sangat lantang mencegah pembantaian di Asrama Barbara. Pencarian itu
mengarah pada pembunuhan Caroline. Namun, semua murid mencoba melawan
komunis kill. Para guru menjadi korban di tempat ayunan.
Caroline meninggal dengan cara bunuh diri. Dia tidak sudi mati dibunuh
anggota Komunis Kill.
“apa hubungannya dengan ayunan itu?” tanyaku dengan rasa
keingintahuan yang membara.
“karena banyak korban yang meninggal disana dengan cara tragis,
maka tidak ada yang berani bermain di taman itu. Apa kamu pernah kesana?” tanya
Ms. Daime.
“Tidak,” elakku.
Seluruh tubuhku tidak bisa bergerak ketika mendengar cerita Ms.
Daime yang seratus persen asli. Angin berembus, hanya sedikit yang terasa oleh
tubuhku. Sekarang, semua itu telah terjawab. Semuanya ....

Esoknya, matahari masih bersembunyi di balik awan seperti sedang ingin bermain
bersama para awan yang sedang berarak. Aku keluar pada senin yang cerah
memakai seragam Asrama Barbara dan membawa sekeranjang bunga.
Berjalan dengan penuh arti. Kenapa raja kaois begitu tega
membunuh seluruh orang di kota berg? Sangat tidak manusiawi. Hatinya beku dan
terbuat dari baja yang tidak bisa luruh oleh apa pun.
Aku berjalan menuju ke taman itu. Saat masuk ke semak belukar,
aku melihat garis polisi yang telah sobek dan tidak berbaca tulisannya. Keempat
ayunan itu masih seperti kemarin. Karat masih menghias ayunan itu. Daun yang
menempel di ayunan itu pun masih sama. Aku masih ingat melihar tiga
perempuan yang tergeletak tidak bernyawa. Terbunuh dengan tragis, sangat tragis.
Aku menebarkan bunga di setiap ayunan dan berdoa agar Caroline
tenang di alam sana. Terima kasih, Caroline. Aku bisa mengetahui semua
tentangmu dan tragedi di kota berg pada 1981.

Anda mungkin juga menyukai