Aku melihat empat ayunan dibagian utara, selatan, barat, dam timur. Setiap
ayuan sepasang. Hari ini, matahari tampak bersahabat denganku. Awan mulai
berarak-arak terbawa embusan angin. Bentuknya berbagai kreasi dan memesona.
“kamu jangan pergi ke tempat ayunan itu ....” kata-kata lucy masih
terkenang di otakku. Pantas saja ayunan itu sepi setiap minggunya. Selalu sepi.
Hanya ada suara ayunan yang bergerak karena angin. Minggu ini, terasa sepi
bagiku. Kedua sahabatku pergi terbawa angin untuk sesaat. Mereka diberi tugas
yang harus dikerjakan di luar Asrama.
Aku sendiri. Suasana sepi dan sunyi kembali terasa seperti berada berada
di rumah. Dengan kecaman dan dendam yang ada di hati ayah yang kesal padaku.
Ah ... , aku tidak tahu sampai kapan tidak kembali ke rumah.
Saat menuruni tangga, aku melihat murid lain sedang bermain bersama
sahabat-sahabat mereka. Aku ingin seperti mereka. Ini kesempatanku, ketika Lucy
dan Elena tidak ada di asrama. Aku akan mencoba menaiki ayunan yang misterius
itu. Para suster yang berada di pintu utama menyapaku. Aku hanya tersenyum.
Mereka pun membalas senyumanku.
Senangnya menjadi mereka, walaupun tidak bersama orang tua, pasti
orang tua mereka menyayangi mereka dan ada sahabat yang selalu menemani. Aku?
Jangan tanya tentang aku. Pasti aku akan menjawab, “
” seperti yang kurasakan hari ini.
Aku berjalan jauh menuju semak belukar yang dibaliknya terdapat empat
ayunan. Aku langsung tersenyum lebar melihat ayunan bagian utara. Ayunan itu
sudah berkarat dan tumbuhan menjalar di bagian ayunan itu. Aku segera berlari.
Hujan kemarin meyisakan embun di rumput yang kuinjak dan membuat sepatuku
sedikit basah.
Aku menaiki ayunan itu. Terasa senang, tapi sepi juga, tidak ada satu
orang pun, kecuali aku yang memberanikan diri menaiki ayunan itu. Aku
menggoyangkan ayunan itu tiga kali, tiba-tiba ....
Angin berembus kencang. Aku segera memejamkan mata, dunia kembali
ke sepuluh tahun yang lalu. Aku memakai almamater merah kotak-kotak yang
bertuliskan 1981. Padahal, tadi aku memakai almamater hitam tahun 1990. Aku
melihat, di balik semak belukar itu terdapat Asrama barbara.
Aku tertegun melihat ayunan selatan. Seorang perempuan memakai pita
merah tergeletak tidak berdaya berlumuran darah. Di ayunan barat, seorang
perempuan yang memakai bando terjatuh. Perempuan itu bernasib sama dengan
perempuan di ayunan selatan. Perempuan itu masih hidup, tapi darah yang keluar
dari tangannya bertambah banyak.
Aku melihat seluruh murid dan guru yang berada di taman tergeletak tak
berdaya. Aku sangat terkejut dan tertegun menyaksikan hal ini. Aku melihat
seorang perempuan membawa benda tajam dan runcing sedang berjalan kearahku
dengan senyuman anehnya. Benda berwarna perak itu mengilat terkena cahaya.
Matahari tampak bersahabat, tapi tidak bagiku. Aku segera berdiri dan ....
“ “
“ ayo, ikut aku sekarang. Semua orang yang ada di Asrama Santa
Teresia di bantai habis-habisan. Sekarang, giliran kita. Aku tak ingin
mati dengan tragis karena orang gila itu,” kata seorang perempuan yang
menarik tanganku. Aku kebingungan. Dia mengajakku ke suatu tempat, ke lantai
paling atas, sebuah atap terbuka. Aku dibawa kesana. Tidak tahu apa yang akan di
lakukannya. Aku juga tidak sempat menanyakan namanya.
“pembantaian apa?” tanyaku saat kami menaiki tangga.
“pembunuhan besar-besaran di kota berg, seluruh manusia
dengan tragis,” kata perempuan itu. Suara entakan kaki mengikuti kami kami
berdua dari belakang. bayangannya terlihat membawa benda tajam yang mengilat.
Ketika sampai, aku di ajak perempuan itu ke ujung tempat itu.
“daripada aku mati dengan cara dibunuh dan tragis, lebih baik
aku bunuh diri,” kata perempuan itu tidak masuk akal. Aku langsung
mencegahnya, tapi terlambat.
Dia sudah terjatuh dengan berlumuran darah. Persis saat itu juga, aku
kembali ke alam nyata. Dunia segera membalikkan badannya dan mengembalikan
waktu ke sepuluh tahum kedepan, saat aku duduk di ayunan.
Napasku masih terengah-engah. Masih terbayang bagaimana perempuan
itu terjatuh dan mati dengan tragis. Sungguh tragis. Aku langsung berlari
meninggalkan ayunan itu dan tidak akan kembali untuk merasakan semuanya.
Tidak akan ....
Esoknya, matahari masih bersembunyi di balik awan seperti sedang ingin bermain
bersama para awan yang sedang berarak. Aku keluar pada senin yang cerah
memakai seragam Asrama Barbara dan membawa sekeranjang bunga.
Berjalan dengan penuh arti. Kenapa raja kaois begitu tega
membunuh seluruh orang di kota berg? Sangat tidak manusiawi. Hatinya beku dan
terbuat dari baja yang tidak bisa luruh oleh apa pun.
Aku berjalan menuju ke taman itu. Saat masuk ke semak belukar,
aku melihat garis polisi yang telah sobek dan tidak berbaca tulisannya. Keempat
ayunan itu masih seperti kemarin. Karat masih menghias ayunan itu. Daun yang
menempel di ayunan itu pun masih sama. Aku masih ingat melihar tiga
perempuan yang tergeletak tidak bernyawa. Terbunuh dengan tragis, sangat tragis.
Aku menebarkan bunga di setiap ayunan dan berdoa agar Caroline
tenang di alam sana. Terima kasih, Caroline. Aku bisa mengetahui semua
tentangmu dan tragedi di kota berg pada 1981.