Anda di halaman 1dari 8

Bocah Bertanduk Naga

Pada hari itu, matahari terasa seperti 7 kaki di atas kepala. Kakiku terasa sakit dari dinginnya air sungai
yang berderas keras setinggi lutut. Bising di dalam kepalaku memudar saat ada yang meneriakkan
namaku. Namun tubuhku hanya terdiam, mataku lurus mengahadap kedepan tak bergeming sekalipun.

Kedua mata itu melihatku.

Dari bebayangan pohon hutan yang kelam dan dalam. Bocah itu melihatku dengan dinginnya. Matanya
menyala putih di kegelapan. Mukanya tak terlihat. Tangannya mengayun-ayun kecil dan pelan, sepertiku
mengajak untuk datang kepadanya.

Aku tidak ingat setelah itu, saat kakiku melangkah kedepan tanpa sadar. Aku juga tidak ingat setelah
teman2ku meneriakkan namaku dengan lebih lantangnya. Dan aku lebih tidak ingat setelah
pandanganku jatuh ke dalam air lalu sesuatu memukul kepalaku dengan sangat keras hingga dunia
sekelilingku menjadi hitam dalam sekejap.

Semua mendadak sunyi. Mendadak hilang.

......................................................................................................

"Nak! Ayo sudah mau siang ini!", suara ibuku terdengar dari dapur. "Nanti kelewatan lho sekolah
lukisnya! Di cariin Pak Handasa kamu nak!"

Kepalaku yang awalnya terkubur ditumpukan selimut langsung terangkat dengan sergap mendengar
nama itu. Dengan sempoyongan dan semangat yang setengah2 akhirnya aku bersiap diri lalu akhirnya
menemui ibuku yang tengah menyiapkan sarapan di meja makan kotak yang rendah.

"Pak Handasa bilang apa ke Mama?", aku pun duduk bersila di atas alas duduk yang seperti bantal di
lantai. "Kemarin Mama ketemu di pasar, Mama tanya 'pak mohon maaf, si Ardo kayaknya belum bisa ke
sekolah untuk dua hari ini' bapaknya bilang 'Tak apa2 Bu, saya sudah mendegar tentang keadaan nak
Ardo, semoga putra ibu lekas membaik', Gitu nak katanya..". Jawab ibuku sembari meletakkan segelas
air disamping mangkuk nasiku.

Aku hanya menjawab dengan dengungan kecil sambil melahap sesendok nasi. Meski jauh di lubuk hatiku
yang paling kecil hangat rasanya mengetahui ada yang mengkhawatirkanku. Namun entah mengapa
untuk kali ini, jantungku terus berdebar dan rasanya seperti dingin di sekujur kulitku. Telinga ku terbakar
panas, tengkukku juga sering gerah berkeringat. Seakan-akan seperti demam.

'Seakan-akan seperti hari itu'


'Hari itu'

"Ardo!"

Sentakan ibuku membawa ku kembali dari lamunan. Tanpa sadar dengan langsung aku menyeka
hidungku dengan lenganku. Goresan merah terlukis di sebidang kulit tanganku. Satu, dua tetes pun
mengikuti. Meski menyadari apa yang terjadi, aku hanya terdiam seperti orang baru melihat darah
seumur hidupnya.

Ibuku yang tadi nya berada diseberang meja dalam sekejap tiba-tiba berlutut di sampingku sambil
mengelapkan kain basah pada hidung dan tanganku. Matanya membelok khawatir, dahinya berkerut,
tangan satunya mengelapkan kain basah dan satunya memberikan sebungkus kain berisi es batu ke
hidungku.

"Sudah nak, Mama bilang apa?! tidak usah dipikirkan lagi! Pokoknya kalau ada yang tanya nanti, kamu
bilang saja kalau lupa. Gimana kalau nanti kamu mimisan kalau diluar Ardo nak..aduuh..". Entah ibuku
kesal karena aku hanya bisa terdiam seperti bayi yang kebingungan atau karena kondisi janggalku ini.
Entah mengapa, tiap kali aku berusaha mengingat apa yang terjadi pada 'hari itu' aku selalu mimisan dan
tubuhku membeku seperti patung.

Rasanya seperti ada yang menghalangiku untuk melihat kembali. Seperti ada yang menahanku.
Semesta? atau seseorang? aku tak begitu yakin. Namun, mereka dengan senantiasa berbisik.

~'Apa kau ingin tau?'~

Siang hari pun tiba, dan pikiranku tidak bisa melupakan hembusan angin yang menggelitik bulu kudukku
saat suara ringan dan samar itu bermain di telingaku. Bisikan itu tidak lagi terdengar, namun terus
terngiang. Seakan-akan sengaja membuatku teralih saat seorang guru mendekatiku.

Mukanya masam dan bibirnya melengos ke samping saat melihat kertas ku yang masih kosong diantara
murid-murid lain yang tengah melukis atau pura-pura menyibukkan diri agar tidak kena marah. "Mana
lukisanmu?", tanya wanita paruh baya itu dengan nada agak kasar.

Dengan kaget aku melihat keatas namun secepat kilat aku langsung merunduk, menghindari tatapannya.
"M-maaf Bu Meta, kepalaku tiba-tiba agak pusing.."

"Kau yang tidak sekolah 3 hari itu kan? Kalau memang sudah tidak berminat, tidak usah datang lagi.
Merepotkan orang saja bisanya. Dirumah saja kalau tidak bisa sekolah"

Mendengar nada guru pengganti itu yang pahit, aku hanya diam merundukkan kepalaku. Yang lain
disekitarku pun juga sama, hanya saja yang membuat mereka beda adalah mereka sempat menggerutu
kecil dibawah nafas mereka.

'Tak ada angin tak ada badai tiba-tiba marah, apaan sih'

'sudah tau itu bocah habis kebentur kepalanya, ya wajarlah kalau pusing'
'Pak Handasa kemana sih'

'bikin kacau suasana saja'

Dari sisi kananku ada yang menepuk-nepuk pundakku saat Bu Meta pergi namun tanpa lupa beliau
menyuruhku menyiram kebun belakang rumah Pak guru Handasa sebagai hukuman karena alasan yang
kita-kita juga tidak mengerti jelas.

"Sabar Ardo, sebentar lagi Pak Handasa datang kok. Kamu main-main air saja dibelakang, nanti kita
lapor", kata Diyon sambil mengacungkan jempol.

"Iya jangan khawatir, kamu main saja dikebun situ", dibelakang Diyon, saudari kembarnya, Diyana ikut
berkata.

Aku memberikan mereka senyuman terimakasih sebelum beranjak ke halaman belakang rumah besar
itu. Karena sering kali berkunjung, menemukan lorong yang menuju ke kebun belakang bukanlah hal
sulit bagiku.

Melainkankan bermain air atau keliling melihat panenan yang gemuk dan besar, aku memilih untuk
duduk di teras. Tubuhku tidak terlalu kuat dibawah terik matahari, itulah mengapa kulitku cenderung
lebih cerah dari kulit anak-anak seumuranku biasanya.

Sembari duduk dalam hening, menatapi bebatuan kebun yang ikut panas di bawah sinar surya. Aku
pernah mengenalnya. Sinar matahari ini, seperti aku pernah merasakannya. Namun dimana?

~'apa kau ingin tau?'~

Aku mendekap kedua lututku dan mengubur kepalaku diataranya. Seakan-akan hal itu bisa membuatnya
pergi atau setidaknya menghalangi telingaku untuk mendengarnya, meski aku tahu bahwa itu sia-sia.

~'apa kau tidak ingin tau?'~

Aku tidak menyukainya. Aku tidak menyukai cara mereka bertanya, seakan-akan apapun yang aku
sembunyikan suara itu paksa untuk gali kembali. Aku tidak suka cara mereka bersuara, seakan-akan
mereka berbicara dari jangkauan garis lintang hutan namun juga dari kerangka kepalaku yang paling
dalam sekaligus. Terkadang saat aku berusaha untuk berserah pada kegelapan dan tingginya bulan di
malam hari untuk tidur, aku tidak bisa membedakan apakah pemilik suara itu berbisik kepadaku dari
langit atau dia menyatu dengan kegelapan yang menyelimuti kamarku.
~'apa kau tidak mengenaliku?'~

Aku menggerakkan kepalaku kesamping berulang kali dengan kecil. Mataku terasa sedikit perih.

~'Janganlah menangis'~

Di tengah bising telingaku, dapat terdengar nafasku yang mendadak terhenti di pangkal tenggorokanku.

~'karena..'~

~'apabila kau menangis..'~

~'maka..'~

~'semuanya..'~

~'..akan tenggelam..'~

Suara ledakan petir menyambar.

Seluruh tubuhku tersentak cukup hebat meski pikiranku masih mencerna keadaan sekitarku. Tidak lama
sebelum satu lagi tangan cahaya menggelegar dan membakar hangus beberapa pohon tua di kejauhan,
pohon-pohon tersebut jatuh dengan dentuman keras. Gerimis pun diikuti dengan hujan yang tidak kalah
memengingkan telinga.
Mataku terbelalak terhadap langit yang gelap gulita. Rerumputan dan jalan tergenang dan begitu juga
kebun Pak Handasa. Panenan-panenan di segenap halaman itu pun mulai tertelan air yang terus
meninggi. Hal ini belum pernah terjadi sebelumnya. Hujan selebat ini seharusnya tidak terjadi sekarang.

Apakah ini kesalahanku?

Pertanyaan itu terbesit di hati kecilku. Aku mulai mempertanyakanya, bisikan itu. Aku mulai
mendengarkannya. Seburuk apapun aku ingin menghiraukannya. Namun, disaat kedua pipiku basah oleh
aliran air mata, langit kembali terlukis dengan ledakan petir dan kedua tanganku langsung melindungi
kedua telingaku. Angin yang konstan menyertai sempitnya hujan.

"hentikan.."

Saat ini aku yang berbisik. Sembari memandangi cipratan air hujan yang membasahi lantai teras. Aku
bisa merasakan air terus mengalir dari mataku. Aku tahu bahwa apabila semakin aku menangis maka
semakin dahsyat badai ini. Meski begitu aku tetap menangis, karena aku tidak ingin mempercayai hal
itu.

~'Berhentilah menangis..'~

Aku tidak menyukai bagaimana suara itu berbisik dengan sangat lirih namun aku masih dapat
mendengarnya membelah melalui kacaunya gemparan badai. Aku menggelengkan kepala. Aku tidak
mau mendengarnya.

"tolong hentikan...."

Mataku terpejam erat. Kedua telapak tanganku menekan keras di kedua sisi kepalaku. Celanaku basah
kuyup dari lutut ke telapak kaki. Permohonanku bukanlah agar badai tersebut mereda. Di tengah
kegelapan aku bermohon, agar suara itu, siapapun mereka, untuk pergi.

Namun melainkan keheningan dan hilangnya segala kekacauan. Yang terjadi adalah yang terburuk.
Suaranya itu berteriak.

~'Buka matamu Ardo!'~


Dalam sekejap mataku membuka terbelalak. Aku berada diteras, memandangi hujan yang bukan lagi
merupakan air, namun darah. Di depanku bukanlah halaman Pak Handasa yang rapi dihias dengan
bunga-bunga kecil dipagarnya, melainkan danau yang terbentang luas. Bulan diatas menyala merah
memandang marah kepada rakit-rakit yang mengapung ramai diatas danau.

Aku berusaha untuk berdiri namun tubuhku tidak beranjak. Dari kejauhan rakit-rakit itu terlihat
membawa sesuatu diatas mereka. Banyak diantaranya yang memantulkan sinar tajam dan bergelimang
dibawah sinar rembulan. Harta. Rakit-rakit itu adalah sesajian.

Namun kepada siapa.

Diantara rakit-rakit itu ada satu yang paling besar. Perlahan-lahan rakit itu mendekati garis
pandanganku. Ada benda yang dibawanya. Wujudnya abstrak dengan satu cagak besar yang berdiri
ditengahnya. Lalu rakit itu mendekat dan mendekat.

Saat melihatnya, nafasku terhenti.

Rakit itu diatasnya tertancap tiang kayu besar yang dibawahnya terdapat tubuh seorang bocah. Sinar
bulan yang benderang menunjukkan siluet kayu besar itu menyatu dengan bagian tengah tubuh bocah
yang berbaring tak bergerak diatas rakit itu.

Perih dimataku semakin menjadi-jadi. Darah mengalir membasahi pipiku, menetes ke bajuku. Lalu tiba-
tiba seperti sebilah tombak menembus kepalaku. Tubuhku terbanting keras ke lantai, kedua lenganku
mencengkeram kepalaku. Telapak tanganku menjambak rambutku, mulutku berteriak tak karuan tetapi
tidak ada suara yang terdengar.

Tiba-tiba aku melihat semuanya.

Tembok kayu tua dengan gembok berkarat.

Jalan setapak.

Rumput liar nan tinggi.

Bebatuan besar dan licin.

Sungai perbatasan.

Hutan yang kelam mengerikan

dan juga..

Bocah itu.

~'cepat atau lambat..'~


~'takut atau tidak...'~

~kau akan ingin menemuiku...~'

"Ardo?"

Mendengar suara itu aku membuka mataku dan memutar kepalaku kesamping. Wajah Pak Handasa
yang muncul. Tangannya mengelus dada karena terkaget saat aku tiba-tiba terbangun. Lalu aku mulai
sadar. Aku baru saja terbangun. Apakah aku tadi tertidur?

Mendadak melihati sekitarku, jantungku berdebar kencang. Anehnya, semua itu hilang. Kebun sayur Pak
Handasa pun kembali. Matahari bersinar tanpa malu dilangit tanpa ada sertanya awan. Tidak ada
pohon-pohon tumbang. Tidak ada danau. Tidak ada hujan air maupun darah. Semuanya baik-baik saja.

Tanganku terlempar keseluruh permukaan wajahku. Keduanya menyeka hidung dan mataku. Saat aku
menarik dan melihat telapak tanganku. Tidak ada apa-apa.

'aku tidak berdarah?'

'apa yang terjadi?'

Tangan Pak Handasa bertengger di pundakku. "Kamu sedang apa sampai tidur disini? Ayo, masuk aku
bawa oleh-oleh pangsit udang". Tersenyum seperti senantiasanya. Pak Handasa berjalan ke lorong
sambil menyingsingkan lengan bajunya. "Ayo Ardo cepat, Tuan dari kota besar datang untuk
menemuimu lho, ayo"

Aku bisa terdiam melihat Pak Handasa menghilang kebalik lorong seperti orang bodoh yang tidak pernah
belajar bicara. Untuk terakhir kali aku menoleh ke halaman Pak Handasa. Saat aku yakin pemandangan
kebun itu tidak berubah aku berdiri lalu bergegas mengikuti Pak Handasa ke dalam.

'Semoga aku bisa melupakannya saat langit malam tiba..'

Anda mungkin juga menyukai