Anda di halaman 1dari 53

Prologue

Tentang aku dan pria bermata nyalang, aku bisa merasakan nafasanya yang tenang
dipucuk kepalaku, satu tanganya menekan kepalaku untuk terus menempel pada dada bidangnya,
menyesaku kala terhimpit oleh tubuh hangat.

Mendapati tubuhnya masih bertahan untuk mengukung tubuhku, agar tidak melihat
kejadian yang terus ku hindari setap hari, hingga beberapa menit kemudian aku terpaksa
mengikuti arah kakinya berjalan menjauh dari lautan manusia.

Tanganku yang terus meremat ujung long choat yang ia pakai, deru nafasku yang
tersengal-sengal seperti habis berlari beratus kilo meter, peluh yang terus keluar membasahi
keningku, serta merta menjadikan tungkaiku kaku seperti di semen.

Pemuda ini tidak mengeluarkan satu kata pun, hanya terus berjalan membawaku dalam
peluknya; rasanya seperti melihat seorang gadis yang habis di campakan dalam soal percintaan.
Hingga runguku menangkap bunyi suara lonceng kecil yang berasal dari pintu café.

“Duduk!” Perintahnya nada bicaranya kelewat datar. Menyadarkanku bahwa sepanjang


jalan aku tidak membuka mata dan melepaskan peganganku padanya. Wajahnya yang lantas
menunduk: hingga kedua irisku mendadak melebar kala menatap mata berwarna amber. Ia
Melonggarkan pelukanya untuk menuntuku ke tempat duduk dibelakang badan.

Fikiranku masih kosong melayang teringat kejadian masa lalu yang membuatku----seperti
pesakitan sekarang, Suara hentakan gelas menyadarkanku dari lamunan, menatap lurus pada
pemuda yang sedang asik menyesap minuman beraroma kopi

“Minum!” aura yang pemuda itu keluarkan seketika membuat ku bergidig ngeri, ku
tandaskan cairan bening yang ia sodorkan membuatku mengerjap kan mata beberapa kali;
sepertinya pandanganku sedikit buram akibat terlalu lama terpejam.

“Hematophobia” tembak pemuda itu dengan lantang menatapku tajam dari balik kaca
mata yang ia kenakan, membuatku tersedak ludah sendiri atas penyataanya;

bagaimana ia bisa tahu, maksudku tidak semua orang bisa menebak dengan mudah
hanya melihat ekspresi apa yang dikeluarkan bukan?

“Ba-bagaimana bisa?” jawabku terbata, lantas menyeka air yang ia sodorkan kembali ku
minum merembas dari sela-sela bibir dengan punggung tangan. pandanganya kembali
menatapku lurus tatkala kudapati pemuda di seberang itu sedang bersandar tanganya bersidekap
didada, sesekali membasahi bibirnya. Sebelum akhirnya matanya terpejam selama beberapa
waktu.

Page | 1
“Aku tidak bodoh, saat melihat air muka wajahmu pertama kali sangat pucat, darah
berceceran di aspal, jika tidak ada aku disana mungkin kau sudah dianggap orang tidak waras
karna hanya berdiam diri tanpa berniat menolong!,” jelasnya panjang lebar bisaku lihat rautnya
yang puas saat melihat wajah terkejutku.

Dia ini seorang cenayang, dukun atau apa? Memangnya wajaku begitu ketara, ya?

“Boleh aku meminta nomor ponsel mu? Anggap saja sebagai tanda terimakasih dari mu.”

Ku tatap benda persegi itu sebentar, sebelum tanganku meraih ponselnya suarnya kembali
mengusik runguku “Nomor ponselmu yang asli, jika saat ku hubungi tidak ada nada sambung,
aku akan kembali membawamu kesana” ancamnya menunjuk dengan dagu ke arah luar café,
membuatku dengan cepat menekan ponselnya memasukan nomor dengan buru-buru, lalu
menyerahkannya kembali.

“Terimakasih” mengkerlingkan sebelah matanya lantas beranjak dari kursi yang ia


duduki untuk menjauh keluar dari café,

Getaran dari dalam jaketku menyadarkan ku dari si pemuda aneh yang entah dari mana
datangnya. Menatap nomor yang tertera disana

“Hallo”

“Askara Betara Bumi” hanya nama yang ia sebutkan sebelum panggilan itu berakhir
begitu saja.

Page | 2
Chapter One
[PEMUDA MISTERIUS]

“Sial!” gadis itu mendesis atas rasa pening yang menyerang kepala, meraba nakas paling
atas mencari obat yang di resepkan untuknya sayang--nihil tabung itu kosong tidak ada satu
kapsul pun yang tersisa, sepertinya---niat kemarin untuk membeli obat harus tertunda akibat
insiden yang membuat kepalanya kembali berdenyut hebat pagi ini.

Ingatan tentang pemuda berandalan itu kembali terputar bagai kaset usang, bagaimana
cara ia memeluk mengatasi panic attack yang mendera tubuhnya, kala iris gadis itu menatap
kosong pada tabrakan hebat di sebrang sana mobil sedan yang meringsak masuk dibawah truck
pengankut bahan makanan, lengkingan suara orang-orang yang meminta bantuan, beserta aroma
anyir darah yang menyengat indra penciumanya

Sial, harusnya kemarin dia interogasi saja brandalan itu---bisa-bisanya ia mengancam


demi mendapatkan nomor ponsel, setelah dengan gamblangnya mengetahui phobia yang ia
derita. Oh----tunggu, jangan bahas manusia yang sudah enam bulan ini menghilang entah
kemana.

Menghela nafas saat melihatt pantulan bayangan diri dicermin; lusuh seperti habis
terkena badai, bersama tungkai yang lekas menapaki dinginya lantai untuk mengambil langkah
terseret menuju dapur, mengisi kembali gelas hingga suara dering ponsel menghentikan aktifitas
gadis tersebut.

“Hallo” hening sebentar sebelum sebuah suara yang bisa dia hapal diluar kepala
mengusik pendengarkan pagi ini. “Kau dirumah, hm?” membuat gadis itu kembali menatap
nomor tanpa nama yang tertera di layar ponsel, “Andara” kembali suara datar itu mengentaknya
ditempat.

Sial, padahal tidak ada sosoknya disini kenapa aku bisa merasa ketakutan hanya
mendengar suaranya.

“Y-ya aku dirumah” jawabnya dengan mulut penuh roti ,“Aku didepan rumahmu,
bukalah pintunya, dingin diluar sini” membuat Dara lekas menatap jendela dapur---hujan deras
yang turun membasahi bumi pagi ini.

Seperti terhipnotis tungkainya melangkah begitu saja untuk membukakan pintu, pemuda
yang datang tiba-tiba seperti hujan dipagi ini. Hingga perawakan pemuda yang lebih tinggi dari
Dara muncul dari balik pintu, kedua tanganya penuh membawa dua plastik belanjaan, keadanya
sudah basah kuyup bisa Dara lihat air yang menetes dari ujung rambut panjangnya.

Page | 3
Meringsak masuk begitu saja melewatiku sepertinya----sikap dinginnya belum hilang
juga rupanya, ia lantas menanggalkan jacket yang sudah basah menyisakan baju polos yang turut
basah otot lenganya tercetak jelas, membuat Dara meneguk saliva dua kali. Menaruh semua
barang bawaanya di lantai, sebelum iris nyalangnya menatap Dara yang masih membeku didepan
pintu.

Lekas gadis itu membuang pandangan kearah lain menutup pintu tersebut, “Baju aku
masih ada disini Andara?” menganggukkan kepala malas menjawab pertanyanya, melihat lantai
yang basah karna ulah pemuda brandalan itu---sabar Andara sabar, Dara pun berlalu menuju
kamar disebelah kamarnya yang biasa Askara tempati

“Aku membawakanmu daging dan beberapa bahan-bahan makanan untuk mengisi


kulkas,” membawa fokus Dara menatap dua kantong plastik diatas meja, Askara yang sudah
terduduk di salah satu kursi meja makan seraya memangku dagu; mengamati pergerakan gadis
kecilnya yang tengah disibukan memasukan bahan makanan yang ia bawa.

“Ada apa kesini? Ku kira kau amnesia atau sudah mati,” acuh Dara berusaha tidak
memperdulikan mata yang terus menatap pergerakannya. Menepuk kedua tanganya dengan
kekehan yang mengudara, Dara yang tak sadar akan pergerakan pemuda yang sudah berhasil
membalikan tubuh menghadapnya. Hingga persekian detik selanjutnya merasakan satu sisi bahu
telah terbebani oleh dagu pemuda itu.

“Aku mencoba menjauhi mu agar tidak terobsesi, tapi nyatanya kau tetap menjadi
canduku, kau dan aku saling membutuhkan bukan? ternyata antidepresan pun tidak
berpengaruh saat aku melihat wajah ketakutan mu.”bisiknya lirih membuat bulu halu gadis itu
meremang.

“Sinting!” umpat gadis itu, berusaha melepaskan cekalan tangan Askara, hingga
wajahnya kembali menatap Dara tajam dengan dahi yang menyatu, membuat tatapan gadis itu
jatuh pada bibir pemuda yang agak berisi, sial, Kenapa bibirnya sangat mengoda.

“Suka dengan pemandanganya, hm?” goda nya lantas membuat Dara dorong bahunya,
meski ya--dia lebih besar tenaganya jika dibandingkan Dara “Sudah kupustuskan aku akan
bersamamu; mulai hari ini!” ungkapnya membuat mata gadis itu mendelik, terdiam pasrah diatas
tungkai, membiarkan pemuda ini meracau sesuka hatinya

Tunggu—apa tadi katanya antidepresan?

Sepertinya pendengaran Dara belum tuli dan otak lambannya masih bekerja dengan baik.
untuk apa dia mengkonsumsi obat yang sama dengannya? Jika tidak salah ingat dari awal
pertemuan dengan Askara tidak ada tindakan atau gejala yang menunjukan ia sedang depresi,
semuanya normal. Tatkala iris gadis itu menatap bagian dalam tanganya seperti satu luka sayat
yang baru diciptakan.

Page | 4
“Cukup Askara!” pinta Dara bersama dengan mata yang terpejam, deru nafas pemuda itu
menyapu wajah Dara dengan degub jantung yang saling bertautan. Mata nyalangnya masih
menatap tajam lantas tanpa sadar satu tangan Dara memegang luka sayatan ditangan Aska,
membuat Pemuda itu terkejut melepaskan Dara dari kungkunganya.

“Tutup mata mu Andara!” ucapnya saat melihat kesadaran gadis itu mulai sedikit
terkikis akibat menghirup aroma anyir darah, pergerakannya terburu-buru kala ia mengobati luka
itu asal. Dengan sigapnya ia kembali memeluk membawa Dara kekamar.

Gadis itu hanya terduduk di ujung ranjang memijat pangkal hidung mencoba
menghilangkan pening, tak berselang lama pintu kamarnya terbuka kembali menapilkan Askara
yang sudah dibanjiri dengan wangi feromon---apa ia sengaja menumpahkan minyak wangi atau
bagaimana sih? Satu tangan Askara membawa gelas berisi air putih menyodorkanya yang
langsung disambut tanpa basa-basi menandaskannya dalam sekali teguk.

“Maaf” bibir pemuda itu mengecup telapak tangan Dara yang masih tersisa bercak darah.
“Aska..” cicit gadis itu menarik tangan begitu saja, tidak ada kalimat lagi yang keluar dari bibir
hanya tubuh mereka yang saling memeluk menyalurkan kekuatan.

“Tidurlah” pinta Aska ketika tubuh mereka berdua sudah bergumul dalam selimut
memeluk satu sama lain, padahal Dara ini lapar bukan mengantuk, lagi pula masih tengah
hari----mana bisa tertidur dengan keadaan masih syok dan isi perut bergemuruh seperti demo
mahasiswa.

Merasakan badan pemuda itu sedikit menghangat kala pelukan kiat mengerat, “Aska
kamu deman?” dengan cepat Dara menempelkan punggung tangan dikeningnya hingga tidak
menyadari bahwa jarak mereka sangat dekat----satu hentakan tangan Aska yang bertengger
manis dipinggul jelita menarik untuk lebih dekat, sedikit lagi mungkin bendal kenyal yang
menarik perhatian itu akan mendarat mulus dibibir Dara.

“Aku tidak apa-apa Andara” Aska terus mengigit bibir bawahnya kuat tanpa sadar cairan
merah itu merembes begitu saja, sial----kenapa suka sekali bermain dengan cairan anyir itu sih.

Tanpa persetujuan Askara melumat lembut bibir Dara begitu saja, benda kenyal yang
menjadi perhatian Dara itu rasanya seperti---karat besi memenuhi rongga mulut, membuat
kepalanya pening hingga meremat kaus yang dipakai Aska. merasakan jantung Askara berdegup
kencang seperti kembang api tahun baru.

“Hey jangan tutup mata mu, seperti kau sedang menikmati saja, padahal aku tahu kau
sedang berperang dengan dirimu sendiri” ucap Aska saat pangutan itu terhenti.

Page | 5
“Brengsek!” dengan brutal Dara memukul dada Aska kencang hingga ia mengaduh
kesakitan. Biar saja kalo bisa ia berniat menenggelamkan pemuda ini didalam sungai sekalian,
bisa-bisanya membuat jantung Dara rasanya turun kelambung.

Hingga fokusnya kembali menatap manik milik Dara---rasanya seperti ia di bawa


kenirvana kala menatap sepasang mata coklat terang milik Askara, menelan saliva susah payah
“Ada yang ingin ku tanyakan padamu.”

“Kita makan siang dulu agar kau kuat menanyakan pertanyaan yang bersarang di
otakmu”. Telunjuknya mendorong kepala Dara begitu saja---lihat kan? Sepertinya dia ini
mengidap bipolar.

“Aska kamu mau makanan penutup apa? Biar aku ambilin” tanya Dara yang sedang
sibuk mencuci piring bekas peralatan makan, “Aku ingin kau, sebagai hidangan penutup,
bagaimana?” tangan kekar itu melingkar diperut Dara membuat tubuh gadis itu meremang
seketika karna hembusan nafasnya di tengkuknya, merasakan dada bidang itu menempel
sempurna dipunggung.

Ingin rasanya piring yang sedang ia pegang ini menghantam kepalanya, sayang ia
urungkan niat itu karna tidak ingin melihat cairan merah yang membuatnya hilang kesadaran
untuk ketiga kalinya dalan sehari. “Lepas, kau mengangguku tahu!” menghentakan kepalanya
kebelakang—hanya ini cara yang ampuh untuk lepas dari jeratan iblis ini

“Aw..sakit dasar gadis nakal” gaduh pemuda itu, lantas dengan sigap Dara membalik
badan, berkacak pingang menatap Aska yang sedang mengusap kening.

“Jika aku gegar otak gimana? Kepalamu ini isinya batu, hah? Sakit sekali Tuhan” Dara
memuutarkan bola matanya malas, berlebihan sekali fikirnya.“Hey siapa yang mengajarimu
memutar bola mata begitu?” tidak mau meladeni omongan anehnya Dara lalu langkahkan
kakinya meninggalkan dapur.

“Benar-benar kau ingin jadi hidangan penutup ya rupanya gadis nakal?” Dara melirik
pada pemuda yang sudah menaruh bokongnya disampingnya, “Aska bisa tidak kunci mulut mu
sebentar? Berisik!” mencebik kesal satu bantal sofa melayang kearahnya. “Wajahmu yang
sedang kesal membuatku bergairah rasanya Andara” tanganya menarik dagu gadis itu untuk
menatapnya.

Page | 6
“Kenapa kamu jadi suka berbicara fetish begini Aska?” matanya bergerak gelisah saat
Dara melontarkan pertanyaan yang menyinggungnya. “TIDAK” bantahnya meluruskan
pandangan ke tv yang sedang menyala

“Apa maksud mu dengan kau mengkonsumsi antidepresan juga?” todong Dara dengan
pertanyaan yang sedari tadi tertahan di ujung lidahnya.

Hening belum ada jawaban dari Askara, sesekali lidahnya terulur membasahi bibir,
tangannya sibuk membuat pola-pola abstrak di pegangan sofa---pertanyaan ini terlalu sulit untuk
dijawab fikir pemuda itu, mendapati adam apel itu naik turun.

“Apa kau ingin benar-benar tahu?” terdiam sebentar dalam benaknya gadis itu terus
memproses; ia tidak ingin masuk dalam perangkap tipu muslihat pemuda brandalan ini, Aska ini
masih abu-abu pintar membalikan keadaan, oh--apa dia lupa meninggalkan Dara selama enam
bulan menahan rindu seorang diri. Akan ia ingatkan nanti jika Aska melupakanya begitu saja

“Ya aku ingin tahu” jawab Dara lantang tentu saja ini adalah salah satu pertanyaan yang
ingin gadis itu lontarkan pada pemuda yang sedikit misterius dan tidak tahu malu ini.

“Antidepresan ya?” katanya mengulang pertanyaan, sedikit memastikan. Lantas ia


merubah duduknya, membuat tubuh gadis itu terkesikap sedikit menjauh. Matanya yang menatap
intens membuat nyali Dara seketika menciut.

“Jika kau phobia dengan darah, maka aku sebaliknya” jeda Askara, belum sempat gadis
itu melontarkan pertanyaan kembali, ia lantas mengimbuh beberapa kalimat dengan raut tenang
yang membuat mata Dara membelalak sempurna.

“Aku mengkonsumsi antidepresan untuk mengurangi gejala hematolagnia. Gangguan


hiperseksualitas yang membuat ku begitu terangsang secara seksual jika melibatkan darah, saat
melihatmu waktu itu aku langsung terangsang dengan wajah ketakutanmu. Jadi kau sekarang
sudah mengetahui bukan, mengapa aku begitu terobsesi padamu? Aku pergi selama enam bulan
untuk pengobatan yang nyatanya tidak membuahkan hasil sama sekali, rasanya beda saat aku
dekat denganmu, aku bisa menahan gairah itu, aku juga tidak ingin menyakitimu, bukan kah kita
sama? Sama-sama takut akan dunia yang begitu kejam. Jadi mari saling melengkapi, aku takan
meninggalkan mu lagi.”

Sinting—nyaris rasanya Dara mengeluarkan semua umpatan untuk pemuda ini sudah
hilang akal sehat dengan gamblangnya-----ia berucap sedemikian rupa, sampai bulu halus gadis
itu merinding mendengar kata demi kata yang lolos bergitu saja dari mulutnya. Apa katanya
saling melengkapi? Bagaimana bisa Dara yang takut setengah mati dengan darah dan Aska yang
bisa terangsang saat melihat darah, Konyol.

Page | 7
Chapter Two
[ASKARA SI IBLIS]

Siapa sangka saat jam makan siang tadi, Askara sudah menunggu sang gadis dilobby
entah berapa lama ia duduk disana sibuk membolak balikan majalah bisnis yang tersedia diatas
meja, hingga iris mereka bertemu Aska lantas berdiri melambaikan tangan.

Iya, aku melihat mu tuan sok tampan! Batin Dara

Rasanya setiap lengkah yang Aska ciptakan bagai hitungan mundur kematian yang
menghampiri Dara, benar-benar aura yang keluar dari tubuhnya sungguh mematikan, tidak ada
senyum yang menghiasi wajah rupawanya, hanya raut datar dan mata nyalang yang menatap
tajam dari balik kaca mata.

Kenapa Aska terus memakai kaca mata sih? Apa matanya sudah mulai rabun senja,
kelihatan seperti pria lugu nan menggemaskan, padahal….iblis saja takut denganya fikir Dara

Hingga satu tarikan tanganya membawa Dara kesebuah tempat makan di sebrang kantor,
belum ada kata nya keluar dari mulut Aska sampai ucapan pelayan membuat gadis itu
mengerjabkan mata beberapa kali “Mau pesan apa bos? Tumben makan disini biasanya minta
dibungkus,” katanya ramah.

Hanya di balas kekehan “Seperti biasa bikin dua porsi ya, minumnya air mineral aja”
belum sempat Dara memilih makanan, lagi seorang Askara sang otoriter memutuskan sepihak.

Memang siapa yang tahu makanan seperti biasa yang Aska pesan itu apa. Kalo tiba-tiba
sepiring penuh cacing-cacing hidup yang----mengeluarkan darah bagaimana? atau…atau ah-
sudahlah sepertinya Dara melupakan jam minum obatku semalam; sehingga fikirannya terus
meracau; emosi naik turun yang membuatnya ingin sekali menusukan sumpit kedalam kepala
Aska.

Jadi Pemuda dihadapannya ini seorang bos? Perusahaan mana yang mau dipimpin oleh
manusia setengah iblis sepertinya, rasanya tidak percaya sungguh.

Dara mengunus tajam menatap pemuda yang sedang duduk manis dihadapannya berharap
ia menjelaskan apa maksud perkataan pelayan tadi, memakan makannya dengan nikmat tanpa

Page | 8
terusik akan suara bising orang-orang yang memandangnya takjub sesekali rungu gadis itu
mendengar pujian yang mereka lontarkan.

Ah--andai wanita-wanita ini tahu betapa bahayanya pria yang sedang mereka
bicarakan. Memang tubuh atletisnya saja bisa membuatku membayangkan fantasi-fantasi liar,
sial—pasti wajahku memerah sekarang, menggelengkan kepala; apa yang kau fikirkan bodoh.

“Ingin aku suapi? Kenapa terus menatapku, hm?” merotasikan matanya malas, kenapa si
pemuda ini rasa percaya dirinya tinggi sekali melebihin gunung Everest fikir Dara. “Dua kali”
ucapnya yang masih sibuk menghabiskan nasi goreng, “Apa?” gadis itupun tersulut emosi.

“Dua kali merotasikan mata mu didepanku, mau jadi hidanganya penutup disini Andara?”
tantang Aska dengan sebelah alisnya naik, tersenyum miring menapilkan smirk. Sayang hari ini
gadis itu tidak bernafsu untuk merusak muka seseorang. Sepertinya lebih baik ia melanjutakan
kembali makan siang yang tertunda.

“Sudah sana pergi dasar pengangguran!” sungut Dara sambil terus mendorong tubuh
Aska untuk menjauh dari lobby kantor, “Siapa yang kau sebut pengangguran!?” telunjuknya
mendorong kepala gadis itu sedikit terhuyung kebelakang tentu saja.

“KAU!!” pekik Dara, “Aku bekerja, asal kau tahu gadis nakal, sudah sana masuk tidak
ingin dipecatkan?” tanpa basa-basik gadis itu rotasikan tungkai melangkah terburu-buru
menjauhi Askara Aneh Betara Bumi.

Hingga satu tepukan dibahu mengagetkannya, “Hei nona muda” nyaris Dara mengira si
sinting kembali menganggu “Mbak Hana ini apa sih? Ngagetin aja” Hana salah satu seniornya
dikantor hanya ia yang mau berbicara dengan gadis aneh seperti Dara.

Ya—Dara tahu saat semua orang tidak menganggap keberadaannya, banyak yang bilang
bahwa ia adalah ‘gadis kutukan’ entah apa maksud mereka me-lebeli seperti itu. Memangnya
siapa yang mau hidup dalam momok yang menakutkan?

“Bagaimana kencan mu dengan presdir? Menyenangkan sepertinya ya?” oh—tunggu


apa? Presdir? Sepertinya kepala Hana ini terbentur saat makan siang batinya , jelas-jelas iblis
yang menyamar jadi manusia Dara temui tadi.

“Presdir? Mbak Hana ngomong apa sih? Hahaha tadi Cuma temen mbak yang mampir
kesini” jawabnya acuh, menaruh bokong di kursi kerja mencoba menyibukan diri. Hana masih
berdiri disamping gadis itu menatap penuh selidik.

Page | 9
“Jangan bilang kamu itu gak tau siapa presdir kita? Udah satu tahun lho kamu kerja disini
Andara” tuduh Hana, Dara hanya mengidikan bahu tidak perduli.

“Ya tuhan Dara, Presdir kita itu Askara Betara Bumi, kamu tuh bener-bener bodoh atau
apa sih Dara?.”

Sungut Hana berapi-api, blank---otaknya tidak bisa mencerna kalimat yang Hana
ucapkan, “Presdir?” tanya gadis itu, Hana menganggukan kepalanya menyetujui.“Askara?”
tanyanya lagi “IYA ANDARA” habis sudah rasa sabar Hana menghadapi juniornya yang benar-
benar lemot ini.

Brak. Tidak, ini pasti tipuan Askara lagi, bisa saja ia mengaku-ngaku bahwa dia presdir
disini kan? Kau yang paling tahu dia Andara picik seperti biasa!

“Kau ini apa-apan sih? mengagetkan bodoh!” mata Dara memicing menatap Hana,
“Mbak Hana ini lagi bercanda ya?” nyaris bola mata Hana keluar dengan sebuah pukulan
mendarat di kening gadis itu.

“Kau yang bercanda! Sudah sana kerja lagi, kalau masih tidak percaya lebih baik kau
tanya pada pacarmu si presdir misterius!” putus Hana meninggalkan Dara dengan tanya besar
dikepalanya.

Lihat saja nanti Askara, jika tidak mau mengaku akan ia tendang dari rumahku, atau
niatnya untuk menenggelamkan tubuh Aska di sungai akan terlaksana. Ternyata dia bos iblis
yang memimpin perusahaannya, augh rasanya ingin sekali menarik kata-kata yang ia lontarkan
barusan.

Dehem singkat yang Askara ciptakan, tak pelak membuat Dara meliriknya, sungguh
rasanya gadis itu ingin melompat ke arah Aska, mencekik lehernya sampai mukanya membiru;
tapi sepertinya ia juga tidak ingin mati muda karna kecelakaan.

“Jangan membunuhku sekarang, jika kau masih takut akan darah, nanti ketika sampai
rumah baru boleh kau puas mencekikku” tebak Aska saat melihat wajah sang gadis menahan
kesal, membuat Dara menoleh kearahnya menatap tidak percaya---dia ini benar-benar seorang
cenayang?

“Aku ingin melakukannya sekarang padamu, pembohong!” sungut Dara kembali


membuang pandangan kearah lain ,“Ya lakukan lah, jika kau ingin mati berdua” ia melirik Aska
yang sedang tersenyum meremehkan, fokusnya tidak berpindah pada jalanan didepan.

Page | 10
Mendengus kesal, sepertinya Askara belum puas jika tidak membuat darah gadis itu
mendidih setiap saat. Menghela nafas kasar----rasanya beban dipundanya bertambah banyak saat
ini. Melepaskan seatbelt ia meniggalkan Askara yang masih sibuk memarkirkan mobil di garasi,
ia rasanya butuh berendam kepalanya terlalu penuh dengan pertanya untuk si iblis itu.

“Mau makan malam apa Andara?” tanya Aska saat memasuki kamar gadis tiba-tiba.
“Emang kamu gak bisa ketuk pintu dulu ya? Seorang presdir lho!!” sarkas Dara, mengeratkan
bathdrope takut-takut jika jiwa iblisnya keluar saat melihat tubuh telanjang gadis itu, “Cepet mau
makan apa? Setelah makan baru kau mau mencekikku terserah, pastikan tenagamu terisi dulu”
Askara pun melangkahkan kakinya kembali keluar dari kamar.

“Dasar iblis.” desis Dara saat pemuda itu keluar diiringi dentuman keras pintu.

Sumpah rasanya kepala Dara pening bukan main, terlalu banyak pertanyaan yang
mengganjal membuat otaknya bekerja dua kali lipat. Melirik pemuda yang sedang asik bercinta
dengan laptop dan berkas-berkas yang menumpuk di depanya, kaca mata yang membingkai
wajahnya lebih terlihat---uhm---seksi, belum lagi kaus putih polosnya dari sini ia bisa melihat
dada bidang yang menerawang; bagaimana jika baju itu ditanggalkan?

Terserah otak kotormu itu Andara!

Gadis itu mengakui penampilan Askara yang mengenakan baju rumahan seperti ini
terlihat lebih--mengairahkan dari pada dia yang mengenakan kemeja membuatnya terlihat seperti
om-om pedofil—padahal usianya terpaut empat tahun lebih tua darinya. Terlalu banyak topeng
yang Aska pakai sampai Dara tidak bisa menerka-nerka sifatnya yang acap kali berubah drastis.

Memangku dagu keningnya mengerut aneh seperti sedang memikirkan sesuatu, sesekali
satu tangan Aska membetulkan kaca mata yang merosot dari hidung bangir miliknya atau bibir
yang mengerucut seperti tidak puas akan laporan yang ia baca disana.

Dara memukul kepalanya pelan mengusir pening yang mendera belum lagi suhu
tubuhnya yang tiba-tiba memanas karna membayangkan fantasi-fantasi liar tentang Askara.

Pun saat gadis merebahkan diri di sofa, kalimat yang Askara ucapkan membuat tubuhnya
bangkit. “Jika mengantuk tidur dikamar, aku tidak ingin membopong badanmu yang berat seperti
anak gajah itu!” lihatkan. Hanya Askara Betara Bumi seorang yang---mulutnya ini tidak ada
filter guna menyaring kalimat yang ia ucapkan.

Page | 11
Mengeram kesal, Dara memijit pangkal hidungnya.“Pulang sana kehabitatmu!” ketus
gadis itu yang membuat fokus Aska beralih menatap Dara, tak kalah tajam Dara balas tatapan
tajam yang memancarkan kilatan intimidasi, hingga ia beranjak dari duduknya berjalan kearah
Dara.

Ah sial, Dara lupa pemuda ini titisan iblis.

Mengambil posisi duduk disebelah Dara, iris mereka masih saling beradu sepersekon
kemudian Aska membuang tatapnya kearah lain, rahangnya mengeras sesekali memainkan
lidahnya di dalam mulut oh— jangan lupakan Aska lebih seram dari iblis ketika sedang kesal
seperti ini.

Melepaskan kaca mata seraya satu tanganya mengusap wajah kasar, “Kamu ngusir aku?”
tanyanya menatap kosong pada meja didepanya.

“Iya, kamu tuh kaya gak punya rumah tau gak Aska! Datang seenaknya kesini, kamu fikir
aku apa? Enam bulan lho aku nunggu kamu tanpa kejelasan, dan sekarang kamu datang mau
ngehancurin perasaan aku lagi gitu? Kalo itu tujuan kamu selamat! Kamu berhasil! Dan satu lagi
aku gak tau Tentang diri kamu, bagaimana aku bisa percaya sama kamu?!” jelas Dara berapi-api,
menyuarakan perasaan yang tertahan sukses membuat Askara melongo dengan bibir yang sedikit
terbuka.

“Yaudah kalo gitu kamu yang tinggal dirumah aku, apa perlu aku nikahin kamu
sekalian?” ucap Aska gamblang, menoleh menatap Dara yang mendelik atas penyataanya. “Aku
rasa syaraf otak kamu ada yang putus deh, kamu kira nikah itu gampang, hah?!” berdecak sebal
lantas Dara bersidekap tangan didada.

Tahu tidak sih rasanya ingin memukul kepala seseorang, tapi kepala yang ingin kau pukul
itu orangnya lebih menakutkan dari pada iblis? Ughhh---habis sudah rasa sabar Dara.

“Jadi apa yang mau kamu tahu tentang aku, hm?” nada bicaranya berubah sedikit lembut,
meringsak maju mengikis jarak satu tanganya mengusap sudut bibir gadis itu dan satu tanganya
lagi menahan punggungnya agar tidak jatuh, sontak Dara menahan nafas merutuki diri sendiri;
betapa bodohnya mempertaruhkan nyawa demi pria se-egois ini.

“Semua, semua hal yang gak aku tahu tentang kamu Aska!” suara Dara bergetar saat
menjawab pertanyaannya, Askara memejamkan matanya sebentar sebelum menarik mundur
wajahnya menjauh dari hadapan Dara. “Pertanyaan pertama?” perhatianya masih tertuju pada
gadis itu dengan kedua tangan mencengkram sisi-sisi pinggangnya.

“Kamu ini sebenarnya siapa?” tanya Dara hati-hati, “Aku? Askara Betara Bumi, Pewaris
tunggal ARTOMORO GRUP, yang tidak lain adalah bos anda nona Andara Britania yang

Page | 12
terhormat!” terangnya membuat gadis itu tercengang ditempat---benar jadinya si iblis ini
Presdir dikantornya.

“Next” tatapan Aska semakin intens.“Kamu tuh punya rumah gak sih? Kenapa betah
banget disini? Aku yakin rumah kamu tuh 10 kali lipat lebih besar dari rumah aku ini Aska”
imbuh Dara lagi kenapa ia malah tinggal disini? Padahal rumahnya saja pasti besar fikirnya.

“Punya, tapi aku gak suka sendirian, Orang tua aku ninggalin semua warisan yang gak
habis untuk anak kita kelak, jadi aku lebih suka disini sama kamu Andara” ah—Dara melupakan
fakta bahwa pemuda ini memang percaya diri sekali---siapa juga yang mau nikah dengannya.
Dasar sinting

Berdecak sebal .“Terus aku ini bagi kamu apa, hah?!” entah mengapa malah pertanyaan
bodoh ini yang terlontar begitu saja dari mulutnya. “Mengingatkan jika kamu lupa, bahwa
kemarin aku udah bilang ‘gak akan ninggalin kamu lagi dan kamu milik aku sekarang’ jadi
sudah paham nyonya Askara?” belum sempat Dara sanggah ucapnya Aska mengecup sekilas
bibir gadis itu, membuat mata Dara membelo sempurna.

“I’m stuck with you Andara, bukan hanya terobsesi sekarang, rasanya aku ingin memiliki
kamu seutuhnya.”

Kalimat yang Askara ucapakan sukses menimbulkan buncahan perasaan yang


melambung tinggi seperti jutaan kupu-kupu terbang bebas, seiring dengan debar jantung yang
menggila; hingga kesadaran Dara hilang mana kala membalas pangutan bibir Aska.

Page | 13
Chapter Three
[MR. DOMIMANT]

Bias cahaya mentari sedikit mengintip dari tirai yang begoyang akibat hembusan angin;
sepertinya ia lupa menutup jendela kemarin malam. Irisnya kembali terkatup, menggumpulkan
sedetik kesadaran.

Kala ia dapati pria yang tertidur dengan damai disampingnya, selimut yang menutupi
setengah tubuh telanjangnya, shit---telanjang? Gadis itu meraba semua bagian tubuh ah--
syukurlah tidak ada yang pakaian yang terlepas rupanya; tapi kenapa Aska bertelanjang dada
begini apa kami…..

Tidak, tidak mungkin bukan, Andara fikiramu kotor sekali sumpah! Lagi pula kenapa
Askara tidur dikamarnya sih?Dara menggelengkan kepalanya.

Gadis itu meneliti wajah Aska mulai dari kening yang mengintip dari sela-sela rambut
yang sudah mulai panjang, turun ke mata menampilkan bulu mata yang lentik; hidung bangir
miliknya—bisa tidak sih bagi hidungmu sedikit tuan batinya, otot bisep yang terbentuk ia tahu
Aska sering workout.

Dada bidangnya belum lagi---uhm---kau tahu kan—perut kotak-kotak entah six atau
eigh pack. Fokusnya terhenti di bibir tipis nan merekah sedikit terbuka. Jika dalam keadaan
tertidur kenapa menggemaskan sekali wajahnya fikir gadis itu. Tidak ada raut tegang atau
ekspresi yang menyebalkan.

“Sudah puas menikmati pemandanganya nyonya?” suara serak itu menginterupsi


pergerakan Dara, mendapati kelopak mata pemuda itu sedikit terbuka, disajikan tatapan mata
amber yang mengerjap menyesuaikan cahaya masuk; sebelum pergerakanya mengkis jarak
meraih pinggangnya, refleks tangan Dara menahan dada bidang itu merasakan irama jantung
Aska yang berdetak teratur.

Ia menahan nafas mana kala Aska terus menarik tubuhnya untuk menempel pada
tubuhnya, “Kenapa tidak membangunkan ku, hm?” bisiknya kelewat seduktif Dara merasakan
nafas Aska menyapu wajahnya, pergerakan gadis itu terkunci dengan kaki besar yang
menghimpit dibawah sana.

“Kok kamu tidur disini sih?” tanya Dara mencoba menetrakan rasa gugup, bagaimana
tangan kekar itu terus mengelus punggungnya membuat gadis itu mengigit bibir dalam agar tidak
meloloskan desahan.

Page | 14
“Kamu gak inget apa-apa emang?” memang apa yang terjadi semalam hanya berciuman
dan oh—tuhan, “Aku pingsan?” tanya Dara menutup mulut dengan tanganya

“Baru di cium aja pingsan, gimana kalau….” Pukulan brutal didada Aska agar mulutnya
berhenti berbicara fetish.

Dari apa yang Dara fikirkan sepertinya Askara ini memiliki dualism yang jauh berbeda
jelas, ia seorang presdir pewaris tunggal sebuah perusahaan dengan pesona yang mematikan,
tidak ingin di cap ‘bobrok’ ia menutupi peragai dengan sempurna,

Dan sial—nya ialah yang melihat sisi iblis Aska kala kekehannya mengudara,
melayangkan satu tangannya untuk memukul kembali dada Aska, rasanya ia lebih suka Aska
yang dingin tidak banyak bicara seperti ini menyebalkan.

“Minggir, aku ingin mandi” pintanya lekas menatap manik sayu milik Aska, sebelum
sebuah satu pergerakan dengan cepat Aska merubah posisi berada diatas gadis itu, “Mau apa
kau?” menyilangkan kedua tangan didada takut-takut jika Aska merobek baju tidurnya.

Tubuhnya terus menekan Gadis itu hingga ia merasakan ada yang mengeras di bawah
sana, sial—Aska ereksi rupanya batin Dara

“Cuma mau meminta jatah morning kiss milikku” ungkap pemuda yang hendak memagut
bibir Dara, namum sedikit tertahan; kala suara gadis itu kembali mejeda “Mulutmu bau Aska!”
pun wajah Dara melengos acuh, matanya suskses terbuka lebar dengan mulut sedikit menganga,
membuat Dara menahan tawa akan ekspresi Aska kelewat polos ini.

“Aska!”pekik Dara tatkala satu tangan Aska bergerak acak menelusup kedalam gaun
tidur yang ia kenakan, menampilkan raut wajah mengejek kala tangan Dara mencengram kuat
kedua sisi lengan pemuda itu.

“Gimana? Mau bermain dengan ku sebentar?” ucap Aska kelewat seduktif mengisi daun
telinga gadis itu, langsung saja Aska mencium singkat leher sang gadis; menyisakan Dara yang
mengeram hebat, menahan desahan agar tidak lolos begitu saja.

“Minggir brengsek, kau membuat ku sesak tahu!” cekalan tangan pemuda itu mengkunci
pergerakan Dara, bodoh saja jika menganggap Askara akan menuruti perintahnya. Faktanya, ia
terus saja menekan tubuh gadis itu membuat dadanya semakin sesak.

Jika menendang kuat aset berharga milik seorang pemuda di saat posisi terancam
memang dianjurkan, menyisakan tawa Dara yang mengudara ringan, sebelum ia putuskan
melarikan diri dibanding menyerahkan diri menjadi santapan iblis—yang bisa menyesap
darahnya hingga habis.

Page | 15
Mengunci diri didalam kamar mandi, menatap pantulan wajahnya yang memerah dan
irama jantung abnormal, sial—rasanya seperti menaiki wahana bianglala; ah begiini ya rasanya
bahagia.

“Kamu gak kekantor?” tanya Dara saat melihat Pemuda itu bertelanjang dada didapur,
tangannya dengan telaten mengoleskan selai pada roti. “Aku ada meeting nanti jam 10, sarapan
dulu Dara, aku buatin roti sama susu” ungkapnya, mendapati meja makan yang sudah tersaji dua
buah roti dan segelas susu.

“Pakai baju mu Askara!” pinta Dara dengan mulut yang penuh dengan roti, sebelum
tawanya mengudara tatkala mendapati pemuda yang duduk satu kursi di hadapannya mengimbuh
kalimat.

“Kenapa? kamu merasa terangsang?” nyaris saja Dara menyemburkan makanannya. Kala
ia dapati senyum menawan yang jarang Aska tampilkan. Cih

Membuat Dara lupa diri, jika pemuda ini titisan iblis, ya—ia akui memang pemandangan
ini sedikit menganggu kinerja jantungnya. Tiga tahun hidup dirumah sendiri mana pernah ia
membawa lelaki asal masuk sini. Ditambah kakaknya yang over protektif apa yang akan
kakaknya lakukan jika tahu adiknya tinggal satu atap dengan pria sinting.

“Tidak, ini rumah ku dan kau tidak bisa seenaknya saja bertelanjang dada disini!” ketus
gadis itu segera beranjak dari meja makan, tidak baik untuk kesehatan jantungnya jika lama-lama
berhadapan dengan pria sinting yang bertelanjang dada. Lekas ditanggapi dengan kekehan kecil
Askara—seraya memangku dagunya.

“Tunggu aku sebentar, kita berangkat bareng kekantor Dara” titahnya membuat Dara
mendecak sebal, “Cepat nanti telat Aska!” mendapati satu alisnya naik kala kalimat yang
diimbuhnya membuat gadis itu benar-benar ingin menusuk jantungnya

“Kau lupa siapa bosnya?” benar, Dara bahkan melupakan fakta bahwa raja iblis
didepannya ini adalah bosnya.

Merotasikan tungkainya malas meninggalkan Askara, dosa apa yang ia perbuat dimasa
lalu hingga terjebak dengan Askara mesum Betara sinting Bumi. Ya--Tuhan tolong aku batin
gadis itu.

Mungkin jika yang ia tunggu ini bukan lah orang terpenting dikantor, sudah pasti Dara
tinggalakan seorang diri, dengan kurang ajarnya menyuruh menunggu selama satu jam; ia ini
mandi atau betapa sih didalam sana gerutu Dara.

Benar fikirannya perihal Askara yang memiliku dualism yang berbeda, aura yang ia
pancarakan kala mengenakan kemeja hitam di padukan jas yang membalut tubuh kekarnya

Page | 16
dipadukan celana bahan yang senada dengan jas membuat gadis itu terkesikap beberapa detik
sebelum bibir Aska mengecup lama keningnya.

“Nanti dikantor aku gak bisa cium kamu” ungkap Aska meremat sebelah sisi pinggang
gadis itu membuat matanya terpenjam erat, Dara yang masih belum terbiasa terlibat skinship
seperti ini hanya bisa pasrah----sabar ya jantungku.

Sepanjang perjanan tidak ada pembicaraan hanya terdengar suara musik yang mengalun
memecah keheningan, Askara yang focus mengemudi dan Dara yang focus memikirkan pemuda
disebelahnya ini. Dia ini seperti binatang bunglon benar-benar ahli dalam penyamaran, tidak
hitam tidak pula putih polos; ia abu-abu membuatnya berfikir dua kali ketika melihat ekspresi
Aska yang kelewat datar.

“Nanti pulang tunggu aku di lobby” lagi titah Aska sepihak belum sempat gadis itu
menyangkal kecupan sekilas dipipi membuatnya menoleh menatapnya sinis, mendapati Askara
dengan senyuman jenaka. Ck dasar brandalan ini benar-benar.

Tidak ingin menguras emosi karna berdebat sepagi ini gadis itu beranjak meninggalkan
Aska yang masih memperhatikan pergerakan Dara memasuki lobby kantor dari balik kaca mobil.

“Dara makan siang gak?” teriak Hana dari balik pintu dengan kepala sedikit mengintip,
ruangannya dan Hana sebenarnya berdampingan, hanya dipisahkan bilik kaca persegi empat,
masing-masing karyawan yang memiliki jabatan lumayan penting seperti Dara dan Hana
memang mempunyai ruang kerja sendiri; menjaga privasi katanya.

“Iya mbak, sebentar ya” balas Dara dengan anggukan kepala pergerakan gadis itu terhenti
kala Hana membuka pintu lebar menapilkan Office Boy yang membawa kotak makanan
menumpuk dihadapanya, “Permisi ibu Andara ini ada kiriman” katanya kening gadis itu
mengkerut tanda tidak mengerti-----siapa yang mengirimkan makanan banyak ini.

“Dari siapa pak?” Hana menatap Box makanan itu aneh tatkala lebel yang tertera di box
makanan dari restoran bintang lima, aroma makanan yang menguar membuat air liur Dara
menetes.

Augh---- siapapun yang mengerimkan ini benar-benar malaikat.

“Mbak Hana ini banyak banget makananya” terkesima dengan sajian yang dikirimkan
oleh orang misterius ah---Dara sudah tidak perduli lagi yang penting perutnya terisi siang ini dan
uang makan siangnya bisa gadis itu alokasikan untuk belanja keperluan rumah nanti.

“Gak ada nama pengirimnya Ra.”

Page | 17
“Udah mbak gak usah difikirin yuk makan disini aja, mumpung ge ra tis.” lantas Dara
menyuap satu sendok penuh daging pangang kemulutnya.

Suara dering ponsel menghentikan kunyahan Dara, membaca nama yang tertera disana ia
melirik Hana yang sedang mengacukan dagunya, sepersekon detik suara datar itu kembali
mengisi rungu gadis itu.

“Sudah sampai makananya?,” tanyanya diseberang sana, “Jadi kamu yang ngirim ini?.”

“Iya aku yang kirim, pasti kerjaan kamu banyak kasian kalo telat makan” rasanya ingin
Dara muntahkan lagi semua makanan yang sudah masuk kelambung, menatap nanar makanan
yang hampir habis tak tersisa di meja.

“Oke terimakasih” oh—sungguh mulutnya terbakar kala menyebut Askara adalah


malaikat. Segera ia akhiri panggilan secara sepihak

“Ini pajak jadian Ra?.”

Nyaris Dara mati tersedak kala pertanyaan yang dilontarkan Hana tanpa basa-basi, “Gak
mbak ini ada orang gila yang ngirim, udah abisin mbak, aku kenyang” Hana terkekeh geli
mendengar jawaban asal Dara.

Lantas ia menandaskan air yang disodorkan Hana, sekali lagi benda persegi itu bergetar;
ya tuhan apakah memang; hobby baru Askara menganggu hidup orang lain geramnya.

“Kenapa lagi sih Aska?!!” sungut Dara tanpa melihat nama yang tertera dilayar ponsel.

“Siapa Aska?” satu tangannya menutup mulut yang menganga, kembali ia tatap nomor
yang tertera dilayar, terkesikap memejamkan mata, “Bukan siapa-siapa mas Bimo, kenapa mas?”
tanya gadis itu kikuk; benaknya dipenuhi oleh pemuda setengah iblis itu.

“Mas mau kerumah kamu nanti, pulang kantor mas jemput ya?” sementara fikiran gadis
itu melayang dengan ucapan Askara tadi pagi. “Ngg..gak usah mas, ketemu dirumah aja ya”
hening sejenak ,“Oke mas tunggu dirumah ya” ia akhiri panggilan secara sepihak. Lututnya
lemas seperti jelly---ada apa denganmu Andara hari ini?

“Siapa Ra?,” tanya Hana tanpa melirik Dara .

“Kakak aku mbak, mas Bimo namanya” jawabnya santai, membuat Hana menghentikan
kunyahanya melirik gadis itu dari sudut matanya.

“Kenapa mbak? Kenal sama mas Bimo?” Hana menggeleng pelan dengan satu senyuman
miring, “Aku juga pernah punya pacar namanya Bimo Ra” imbuh Hana membuat Dara
menganggukan kepala paham---mungkin saja namanya sama bukan?

Page | 18
Sepertinya mas Bimo juga hanya punya satu kekasih dari dulu, itupun gak pernah
ketemu dan ia tidak tahu namanya siapa, sudahlah kenapa jadi mas Bimo sih? Askara loh ini
bikin hari-hari mu ambyar Dara fikirnya.

Ini sudah panggilan ke lima dari Askara mencecar gadis itu lewat sambungan suara.
“Aska kamu itu bisa sabar sebentar gak sih?!” gerutunya mana kala kedua tangan Dara sibuk
memasukan barang ke dalam tas, ponsel yang ia selipkan diantara bahu dan telinga terus
mengeluarkan suara berisik.

“Kamu tuh lama banget, apa perlu aku gendong dari lantai atas?” mendecak sebal lantas
membuat Dara memutarkan bola mata malas “Bawel,” melangkahkan tungkainya dengan
terburu-buru.

Tidak perduli dengan bisik-bisik karyawan di lobby saat melihat Dara memasuki mobil
mewah milik Askara, biarkan saja mereka berbicara semaunya sampai terlontar ‘apa dia jalang
presdir kita’ sudah biasa bagi gadis itu direndahkan.

Ia hanya mempunyai dua tangan untuk menutup telinga. Beres. Dara Lelah rasanya saat
menjelaskan satu-satu tetang apa yang terjadi padanya, menyangahpun tidak akan membuahkan
hasil, lihat saja fikiran mereka masih tertanam kebencian yang mendarah daging

Selain menyebalkan ternyata seorang Askara Betara Bumi ini cerewetnya bukan main,
pening rasanya kepala Dara mendengan ocehanya yang bertanya ‘ini mobil siapa’ atau ‘kamu ini
selingkuh ya’ padahal pacaran saja belum bagaimana bisa ada kata ‘selingkuh’. Dasar sinting.

“Andara jawab!” mengeram kesal gadis itu menatap manik milik Aska tidak kalah
garang, “Ini mobilnya mas Bimo, aku kenalin nanti didalam, kamu kaya perempuan lagi datang
bulan tau gak? Cerewet!!” sumpah rasanya isi kepala Dara ingin meledak keluar, belum lagi
memikirkan pertanyaan aneh dari kakaknya saat tahu pemuda ini tinggal satu atap dengannya.

“Mas Bimo” panggil Dara melangkahkan kaki mencari keberadaan kakaknya hingga
mendapati pintu kamar Askara sedikit terbuka, menapilkan pria yang ia cari keberadaanya sedari
tadi sedikit berlari kecil menghampiri lantas memeluk, hingga sang kakak sedikit terhuyung
kebelakang.

“Astaga Andara, kaget mas Bimo, untung gak kena serangan jantung” ucap Bimo
membalas pelukan adiknya, “Mas kapan sampe Jakarta? Kok gak bilang-bilang sih kalau udah
pulang, sibuk banget kayanya” cecar gadis itu, “Mas baru sampe tadi pagi, sengaja gak bilang
biar kaya kejutan gitu” mendecak kesal lantas Dara mengigit sebelah bahu kakaknya.

“AW—loh itu siapa Ra?” ahiya---Dara melupakan satu mahluk hidup didalam rumahnya
ini, melepaskan pelukan lantas melangkahkan tungkai menghampiri Askara, membawa

Page | 19
jemarinya untuk ia genggam.“Mas Bimo, ini Askara dan Aska ini mas Bimo kakak aku” jelas
Dara, saat ini hanya Bimo yang ia punya, Askara? Pemuda ini saja masih abu-abu entahlah Dara
belum yakin atas perasaannya sendiri.

“Lho mas Bimo sama Aska dari mana? Aku cariin dari tadi, makan malam udah siap
tahu” kata Dara saat melihat Bimo dan Aska berjalan beriringan memasuki ruang makan.

“Uwaaa..keliatanya enak nih makan malamnya, selamat makan” sudah pasti ini bukan Askara,
bisa turun pamor dia kalo mengucapkan ‘selamat makan’. Dasar manusia kutup

Sejak mereka berdua memasuki rumah hingga duduk di kursi makan, Dara terus
memperhatikan raut wajah milik Askara, datar seperti biasanya tapi ada sesuatu yang ia coba
sembunyikan. Hingga makan malam selesai dengan Bimo yang bertanya ini itu; bercerita tentang
kerjaanya dengan Aska dan Dara yang tidak dianggap keberadaanya sama sekali.

Menyedihkan nasib mu Andara.

Ya—mereka berdua memang sama-sama petinggi diperusahaan keluarga masing-masing,


Bimo yang meneruskan perusahan mendiang papahnya dan Askara pewaris tunggal dari
perusahaanya.

“Mas Bimo pulang ya Ra.” Ucap Bimo sambil memakai jaket kulitnya, “Loh mas bimo
gak nginep disini?” tanya Dara dengan kening mengkerut menatap aneh pada sosok yang sedang
bersiap-siap untuk pergi “Engak, kan udah ada Aska disini jagain kamu” katanya dengan dagu
menunjuk pada pemuda yang sedang asik bercumbu dengan laptop didepanya.

“Emang mas gak marah, dia tinggal disini?” bisik gadis itu sambil sesekali melirik Aska
yang masih fokus. “Enga kok, mas percaya sama Askara, udah ya mas pulang dulu, dadah
sayang” Bimo mengecup sekilas kening adiknya.

“WOY BRO GUE PULANG YAA, TITIP ANDARA, AWAS LO MACEM-MACEM”


membuat Dara bergantian menatap aneh pada interaksi kedua orang ini; kenapa mereka sudah
akrab sekali bukannya baru pertama kali bertemu ya fikirnya.

Satu jam setelah Bimo pulang, Dara yang sudah mulai menguap merasakan kantuk kala
melihat jam didinding bercat biru sudah menunjukan jam 10 malam. Lantas menutup novel yang
sedang ia baca----Baiklah rasanya tubuh Dara butuh istirahat, mengayunkan tungkai menuju
kamar tidak memperdulikan Askara yang benar-benar dari tadi tidak merasa terusik sama sekali.

Baru ingin menyambangin alam mimpi ketika sebelah sisi kasurnya bergoyang mendapati
Askara dengan santainya merebahkan dirinya membuat gadis itu lantas membalikan badan guna
memunggungi pemuda itu.

“Aku capek banget” ungkapnya, deru nafas nya terasa ditengkuk membuat darah Dara
berdesir dasyat tangan kekarnya memeluk pinggang agar sedikit lebih dekat dengan Aska,
Page | 20
Berdehem kecil untuk menghilangkan rasa gugup “Tidur Aska” cicitnya. “Good night Love”
mengecup sekilas pundak sang gadis sial—Askara apa yang kau lakukan dengan jantungku.
Rasanya malam ini tidur yang paling nyenyak bagiku.

Chapter Four
[BAYI BESAR]

Ini hari minggu waktunya semua orang sibuk menghabiskan waktu dengan keluarga,
pasangan atau teman, sekedar menikmati semilir angin dipantai, melihat indahnya sang fajar
yang pulang keperaduan, atau menikmati segelas kopi sambil menonton film; baiklah semua itu
hanya hayalan semata. Nyatanya Dara masih duduk disofa ruang tamu membantu Askara
menyeslesaikan beberapa pekerjaanya.

Menghela nafas kasar----bosan, ia ingin pergi keluar rasanya, kepalanya sudah pening
melihat angka-angka yang tercetak dikertas ini dari pagi. Ia putuskan untuk beranjak ke dapur
sepertinya membuat kopi boleh juga, ya—walaupun bukan buatan seorang barista tapi kopi
sacset warung.

Menatap wajah pemuda yang fokus nya tidak terganggu sama sekali, melihat wajah
seriusnya mengingatkan Dara dengan raut datar yang ia lihat setiap hari, ah---seminggu ini
rasanya gadis itu merasakan rindu bertengkar dengan Aska, benar-benar pekerjaan ini menguras
tenanganya. Kantung matanya sedikit menghitam dibawah sana, wajahnya lusuh tidak ada aura
mematikan yang ia biasa pancarkan. Sesekali menguap mengusir rasa kantuknya

“Aska istirahat dulu, kamu udah 8 jam didepan laptop” Aska mengangukan kepala,
menjatuhkan diri pada senderan sofa. Satu tanganya memijit pangkal hidung, merasakan
kepalnya pening akibat kerjaan yang menumpuk .

Lantas Dara mengeser duduknya mendekat kearah pemuda itu menyugar surai hitam
milik Askara, ia penasaran apakah rambut Aska kaku atau tidak dan baru kali ini ia mengelusnya
rasanya---halus dasar pria metroseksual.

“Andara.”

“Ya?” Dara menolehkan wajah kearah Aska sebelum tubuh kekar itu bersender di bahu
sang gadis “Aska kamu gak papa?” panik Dara mengecek suhu tubuh lalu ia mengangkat kepala
Aska menghadapnya

“Hey, kamu gak papa” matanya masih terpejam dengan anggukan kecil mengiyakan
pertanyaan Dara

“Mau liburan gak?.”

Page | 21
Otak pintar Askara ini memang dirancang picik, bagaimana ia terus merayu gadis itu
seharian ini agar mengiyakan ajakannya pergi berlibur ke negeri nan jauh disana selama satu
minggu. Ia butuh liburan tapi ia juga butuh Dara jadi ya----sekalian saja ia mengajak Dara.

Aska masih belum menyerah segala kalimat ancaman agar terus mendesak gadis itu
meng-iyakan ajakanya untuk pergi belibur.

Bersandar pada headboard satu tangannya ia selipkan dibelakang kepala sebagai


bantalan, matanya terus mengamati pergerakan gadis yang sedang duduk di meja rias asik
mengolesakan cream wajah, menatap Aska dari pantulan kaca—tidak sampai hati melihat wajah
Aska yang kusut bibirnya terus mengerucut karna tidak menapat kata ’iya’ dari Dara.

Sebenarnya ia juga butuh liburan, tapi Dara terlalu takut untuk memulai perjalanan jauh,
membawa momok menakutkan dalam diri kemana-mana saja sudah membuatnya kerepotan,
apalagi ini? Pergi liburan berdua dengan pemuda setengah iblis—bisa-bisa ia menjadi
makananya selama liburan.

Lantas gadis itu mensejajarkan bersandar mengikuti Aska pada headboard. Seorang
Askara Betara Bumi pewaris tunggal dari ARTOMORO GRUP ternyata gemar merengek karna
hal-hal kecil yang tidak sesuai kemauanya; lihat lah bibirnya yang masih mengerucut seperti
anak itik.

Ughh, rasanya ingin Dara habisi saja bibir itu jika melihat pemuda menggemaskan dalam
mode merajuk seperti ini

“Memang Negara mana yang mau kamu datangin Aska?” pertanyaan Dara membuat ia
menegakan tubuhnya, duduk bersila mengadap gadis itu, matanya berbinar antusias, kala kalimat
selanjutnya membuat semburat merah dipipi Dara

“Kemanapun asal itu denganmu Andara.”

Tak pelak membuat Dara menggulum senyum; serta merta memberikan cubitan pada
sebelah pipinya, sungguh rasanya sangat mengemaskan melihat tingkah Aska ini. “Bagaimana
jika kita ke Raja Ampat aja, tiga hari disana cukup kok” tawarnya membuat wajah Aska kembali
menekuk lantas dengan cepat ia menggelengkan kepalanya kekanan dan kekiri;

Persis seperi anak Tk yang sedang benegoisasi dengan sang ibu perihal tidak boleh
membeli mainan yang harganya mahal.

“Kenapa harus seminggu sih?” bahunya lemas turun begitu saja, “Kalau satu hari
namanya bukan liburan Andara, itu piknik!” mendecak sebal ia merotasikan badanya
memunggungi Dara masih dengan posisi duduk bersila.

Page | 22
“Yaudah, kamu mau kemana aku ikut aja deh Aska” luluh sudah pertahanan Dara melihat
tinggah merajuk pemuda itu, selama ia tidak mengeluarkan sepeser uang dan tidak merugikan
dirinya juga, tidak baik menolak rejeki bukan?

Sukses kalimat yang Dara ucapkan membuat bayi besar ini memrotasikan badannya,
kembali jantung gadis itu rasanya mau merosot jatuh; kala Askara yang langsung saja memeluk
tubuhnya.

“Serius?.” ulangnya lagi menyakinkan, Dara menganggukan kepala sebagai tanda


mengiyakan.

“Oke kalo gitu kita ke New Zealand” lantangnya membuat Dara sukses melonggo tidak
percaya, tunggu—New apa? New Zealand? Apa telinganya tidak salah dengar, itu jauh sekali
bukan perjalanan dekat seperti dari rumahnya kepasar tanah abang yang hanya di tempuh satu
jam perjalanan,

13 jam perjalanan udara, belum lagi harus transit dari bandara ke bandara, wow—benar-
benar seorang Askara membuat darah gadis itu mendidih seketika.

“Yang bener aja kamu, itu jauh banget Aska!” ketus gadis itu mendorong bahu Aska
melayangkan tatapan nyalang. “Emang siapa yang bilang deket? Kaya dari sini keancol?.”

Menggeram kesal, Dara memejamkan mata sebentar sebelum kalimat yang diimbuh
pemuda ini membuatnya ingin memukul kepalanya dengan palu “Kan enak tau dingin-dingin
berduan sama kamu Dara.”

“Kalau mau dingin tinggal kepuncak aja Askara atau masuk kulkas sana!” merotasikan
matanya malas tidak habis fikir. “Hey minta dihukum merotasikan mata didepanku, hm?” malas
meladeni tingkah pemuda yang selanjutnya semakin meringsak maju menghimpitnya.

Membuat tangan gadis itu spontan menahan dada Aska, pemuda yang sepasang iris
ambernya ia tatap lekat; sebelum bibir merekahnya melumat lembut bibir sang gadis, meredakan
degup jantung yang abnormal Dara memejamkan mata, mencoba meraih akal sehat agar tidak
membalas pangutanya yang begitu mendominasi; hingga satu gigitan membuatnya melayangkan
satu pukulan kedada pemuda itu.

“Sakit! Bodoh!” umpatnya sebelum pangutan itu kembali meringsak masuk menerobos
rongga mulut Dara .“Balas” pinta Aska dalam sela-sela pangutan, mengecap rasa besi berkarat
yang ternyata merembas dari bibirnya akibat gigitan kasar Askara; lantas membuat gadis itu
membalas pangutan Aska, hingga kesadarannya sedikit terkikis kala Aska menyesap habis
darahnya yang merembes dari bibir.

Dara mengkalungkan kedua tangan di leher Aska, satu tangan pemuda yang bebas
mengelus paha Dara dari luar celana tidur yang ia kenakan, satunya lagi menarik tubuh gadis itu

Page | 23
untuk duduk pangkuanya, memutuskan pangutan secara sepihak selanjutnya kalimat yang
pemuda itu ucapkan menyadarkan Dara bahwa sisi iblisnya hampir saja keluar.

“Cukup Andara, darah mu sudah berhenti, aku tidak ingin menyakitimu lebih jauh lagi,
aku akan tidur dikamar samping kau tidur yang nyenyak tidak usah memikirkan apapun, besok
pagi kita berangkat, ya?.” Ucapnya.

Menghabiskan semalam suntuk tanpa sempat sambangi peraduan padahal pagi ini Dara
dan Askara akan memulai perjalanan jauh, membuat Dara yang tak henti mengusapkan wajah
dengan telapak tangan; fikiranya melayang pada kejadian semalam bagaimana pangutan kasar
yang menyesap habis darah hingga bibirnya kebas pagi ini.

Menyisakan banyak tanda tanya dikepala gadis itu, bagaimana Askara tidur semalam
dengan menahan hasrat yang meraung minta dikeluarkan atau bagaimana perasaanya setelah;
menciumnya, ah—sudahlah rasanya kepala Dara semakin pening memikirkanya.

Tatkala Pemuda disebelahnya sedang duduk bersantai seperti tidak terjadi apa-apa
kemarin malam, memainkan ponsel sesekali lidahnya terulur membasih bibir mendapati Dara
yang sedang meliriknya lantas membuat tangan kekarnya menarik bahu gadis itu agar mendekat
kepadanya, mengecup sekilas pucuk kepala milik Dara seraya menggesekan hidungnya disana.

“Rambutmu wangi” kata Aska menyederkan kepalanya disana, “Tadi aku keramas, Aska
ini masih lama?” tanya Dara ketika rasa lelah benar-benar sudah menghantui, matanya yang
semakin terasa berat akibat elusan lembut dari Aska pada surainya. Melirik jam ditangannya
sekilas, “30 menit lagi kita berangkat kok.”

Ini adalah perjalanan jauh pertama Dara sebelum transit di Negara yang terkenal dengan
patung Merlion ia sempatkan mengubungi kakaknya, difikirannya sudah pasti Bimo akan
berteriak-teriak lewat sambungan suara itu, atau yang lebih parahnya lagi ia akan menyusuli
adiknya sampai ke New Zealand.

Ya—memang kalimat diatas sedikit hiperbolla, kenyataanya Bimo memberikan izin


dengan mudah sedikit memberi acaman kepada Askara. Biasanya Bimo akan berubah menjadi
bapak-bapak super protektif kala ada lelaki yang mendekati adiknya, sepertinya pengecualian
untuk Askara.

13 jam perjalanan udara yang Dara isi hanya dengan; tidur akibat pening yang mendera
sejak kemarin malam, satu gelas kopi ia tandaskan sebelum burung besi ini landing di bandara
Auckland, Selandira Baru.

Page | 24
Kurang tidur beserta jet-lag yang menyerang membuat tubuh gadis itu lemas tidak
bersemangat, menjawab pertanyaan Askara hanya dengan anggukan atau gelengan kepala,
perutnya mual seperti ada yang mendesak ingin dikeluarkan. Sedikit saja ia berbicara sudah
dipastikan akan muntah saat ini juga.

“Kamu pucat banget Dara, tunggu sini ya aku minta obat dulu sama pihak hotel” lagi
hanya anggukan kepala yang Dara lakukan, hingga rasanya benar-benar perutnya mual bukan
main berlari menuju kamar mandi mengeluarkan semua isi perut.

Sial----belum sempat ia menikmati liburan kenapa sudah sakit duluan, payah

Dengan terpogoh-pogoh Askara menghampiri Dara tanganya terus memijat tengkuk guna
membantu mengeluarkan semua isi perutnya. “Udah?” anggukan kepala tanda mengiyakan
pertanyaan Aska, membopong tubuh gadis itu dengan hati-hati seakan-akan ia ini barang langka
yang tidak boleh rusak sedikitpun.

Rasanya sedikit lega ketika isi perut keluar dan pening dikepalanya mereda karna obat
yang disodorkan Askara. Mata Dara mengerjab berulang kali mengumpulkan kesadaran;
sepertinya ia tertidur lumayan lama. Hingga sosok yang gadis itu cari muncul dari balik pintu
kamar membawa nampan berisi makanan.

“Udah enakan? Makan dulu yuk, udah jam 10 malam disini dan perut kamu belum diisi
apa-apa semenjak tiga jam lalu.”

Sepertinya ungkapan Dara beberapa waktu lalu tentang—pemuda; kaya raya yang sedari
tadi tidak berhenti membanggakan dirinya sendiri ini benar, bagaimana pesawat yang membawa
dirinya kesini saja harga tiketnya setara gaji ia selama satu bulan.

Belum lagi fasilitas yang Aska sugguhkan dan hotel tempatnya menginap ini seperti
sebuah pent-house lengkap dengan ruang tamu satu kamar mewah dan dapur.

Balkon kamar yang langsung menghadap pada sebuah padang rumput memanjakan mata
gadis itu, hingga tangan kekar melingkar dibahu Dara.

“Suka?” siapa yang tidak suka dengan suasana seperti ini, mungkin kalau di Indonesia
bisa ditemui pemandangan seperi ini dikota-kota terpencil yang masih belum terjamah
peradaban.

Page | 25
“Suka banget, terimakasih Aska” Dara menyandarkan kepalanya didada bidang Aska
agar bisa mendongak melihat pahatan luar biasa maha karya tuhan, sepertinya saat pembagian
wajah Askara ini mendapat giliran pertama; lihat saja tidak ada cacat sedikitpun diwajahnya.

“Mau jalan-jalan?” tawar pemuda itu, Dara pun mengangguk antusias tidak banyak yang
bisa dilakukan disini, ini bukan seperti bertamasya di Taman Impian Jaya Acol atau sekedar
duduk melepas penat di Taman Barito.

Hanya hamparan pandang rumput hijau yang luas sejauh mata gadis itu memandang,
para ternak yang dibiarkan berkeliaran bebas dihalaman perternakan.

Jelas disini tidak ada suara bising klakson kendaraan yang bersautan meneriaki
pengendara lain, tidak ada teriakan ibu-ibu kala berebut duduk di angkutan umum dan paru-paru
Dara seperti di regenerasi kembali menghirup udah rakus aroma Green Leaf Volatiles yang
bercampur dengan tanah memanjakan penciumannya.

“Andara” gadis itu menolehkan wajah menghadap Askara, mereka berdua sedang duduk
disebuah bukit dekat peternakan, pemandangan yang disajikan secara percuma disini dipadukan
dengan mahluk indah ciptaan tuhan; Askara Betara Bumi

Aska lantas mengeser duduknya sedikit lebih dekat dengan Dara, tanganya menggegam
lembut jemari yang lebih kecil dari tanganya; kala kalimat yang pemuda itu ucapkan sambil terus
mengusap pundak tangan Dara , membuat jantung gadis itu meronta ingin keluar dari rongga
bersama degup yang menggila

“Kamu mau jadi pacar aku Andara?.”

Bibir Dara kelu rasanya, beradu tatap dengan mata berwarna—amber sepersekon detik
kemudian gadis itu putuskan membuang pandangan menatap kearah lain; sekarang logika dan
hatinya tidak singkron sama sekali, bagaimana si logika ingin menolak mentah-mentah
permintaan Askara dan hati yang ingin menerima karna---ini kesempatan emas bukan? ia yang
menawarkan dirinya sendiri.

“Diammu ku anggap sebagai jawaban ‘iya’” tubuh Dara bangkit; seraya menepuk
beberapa bagian dress yang ia gunakan guna menghilangkan tanah merah yang menempel,
merotasikan badan tak berniat menangapi Askara karna jujur saja masih banyak fikiran
menganjal tentang pemuda yang lima menit lalu menyakatan perasaanya.

“Apa kamu udah gak punya perasaan lagi sama aku Dara?” lekas Dara hentikan
langkahnya; mengadahkan kepala menghadap langit; otaknya terus berfikir apa kata yang tepat
untuk menjawab pertanyaan Aska. Sebelum ia melangkahkan tungkainya kembali; tubuh gadis
itu dipaksa berbalik menghadap Askara dengan sorot mata tajam yang terus mengikis jarak.

Page | 26
“Kenapa?” katanya kesepuluh jemarinya meremat kuat kedua sisi bahu Dara membuat
kepala gadis itu terdunduk menatap tanah yang ia pijak, “Apa kamu gak jijik sama aku Aska?”
Dara mendongak, seperti de-javu melihat posisi mereka berdua kala pertemuan pertama di
kecelakan satu tahun lalu, mata—amber milik Aska menatap gadis dihadapnya ini nyalang.

“Aku ini pesakitan, kamu tahu kondisi aku gimana, orang lain aja jijik sama aku, aku ini
gila Aska..aku gila” lantas Dara menjatuhkan kepala di dada bidang Aska, membawanya dalam
pelukan membuat isakan yang keluar dari bibir gadis itu semakin kencang.

“Kamu sama aku berbeda Aska, aku dengan penyakit aneh ku, dan kamu dengan
kondisi…”

“Hiperseksualitas, itu masalah kamu? Andara apa pernah aku celakain kamu? Come on
Andara, kita bisa mengatasi masalah itu berdua sayang!” potong Askara, lekas mendongak
mencerna kalimat yang ia lontarkan. Isi kepala Dara terus bekerja untuk mendapatkan sebuah
alasan valid guna menyangkal pernyataanya.

Anggaplah ia gila menolak sodoran kesepakatan Askara untuk memiliki suatu hubungan,
bukan ingin membalas dendam atas yang pemuda ini lakukan dahulu; tapi benar-benar ia takut
akan dirinya sendiri dan lebih takut akan pemuda yang sedang memeluknya ini.

Menyisakan iris terpejam, agar tembok yang Dara bangun tetap utuh untuk membatasi
perasaan sendiri. bukan kah jika mereka terikat suatu hubungan akan membahayakan satu sama
lain, lalu siapa pihak yang paling dirugi kan nanti?

“Bimo udah cerita semuanya sama aku tentang kamu, jadi biarin sekarang aku yang jaga
kamu Dara, kita berdua sama, saling membutuhkan satu sama lain” alis gadis itu bertaut kala
mendapati kalimat janggal yang Aska ucapkan.

Masih dengan posisi yang sama; Dara didalam pelukan Aska “Kita sama? Apanya yang
sama? Jangan becanda kamu Askara!!” lantas mendorong tubuh Aska untuk membuat jarak
dengannya, mengepal kuat tangan sampai rasanya kuku-kuku Dara bisa menembus kulit,
pandangannya sudah buram akibat air mata yang turun begitu saja.

Kembali merotasikan tubuh tungkainya berjalan menjauhi Askara yang membeku


ditempat; ia yang tidak pantas bersama Aska, memang siapa yang mau hidup dengan momok
menakutkan? Dara juga manusia biasa bisa merasakan sakit hati; kala setiap orang yang ia temui
berkata ‘aku juga merasakan menjadimu kok;’

Apanya yang merasakan? Apa pernah orang lain bertanya tentangnya yang hampir mati
kala melihat darah menstruasinya sendiri? atau tangan Dara yang tanpa sengaja teriris pisau.

Sumpah mati ia tidak butuh kata-kata; mereka merasakan menjadi Dara.

Page | 27
Dara hanya butuh diterima dengan kekurangan yang ia miliki, pengecualian untuk
pemuda yang baru saja ia tinggalkan seorang diri sana---biarlah kalau-kalau Aska mau mati
bunuh diri. Dengan gamang nya pemuda brandalan itu berkata ‘kita sama’ maksudnya sama
dalam hal memiliki penyakit gila?

Air mata terus membasahi wajah Dara, berjalan teburu-buru hingga membuat lututnya
mencium aspal dengan mulusnya kala satu kaki membentur batu besar yang entah dari mana bisa
ada didepannya, meringis mendapati darah segar mulai merembas keluar dari lutut---sial.

Dengan berat hati Dara sobek sedikit ujung dress yang baru saja ia beli dua minggu lalu
guna menutupi luka agar darah tidak terus keluar.

kesadaran gadis itu mulai menipis akibat bau anyir membuat kepalanya pening
pandangannya mulai menggelap tatkala rungu Dara menangkap suara pemuda yang habis ia
tinggakalkan seorang diri.

sesebelum mata Dara mengatup sempat melihat sekilas raut wajah Askara yang sama
hancur nya dengannya.

Entah sudah berapa jam gadis itu tertidur; ralat pingsan, mengerjabkan matanya berulang
kali guna menyesuaikan cahaya lampu kamar, ah--benar ternyata sebelum kesadarannya hilang
tadi wajah Aska lah yang terlintas di benaknya. Meringis memegangi kepala—sial pusing sekali
rasanya.

Tatkala tubuh gadis itu mencoba untuk duduk menyadar pada headboard terhenti akan
sosok yang muncul dari daun pintu, sedikit berlari menghampiri Dara, “Kepalanya masih sakit?
Lutut kamu gimana? Mana lag---“ membuat Dara mengambur kepelukan Aska; bagaimana nada
bicaranya yang terdengar panik, matanya yang menelisik luka dilutut Dara; sungguh manis.

“Maaf” cicit Dara dengan suara bergetar nyaris ingin menangis lagi---dasar logika sialan
jika saja ia tidak memakan habis pemikiran konyolnya sendiri, mungkin sekarang tidak ada
adegan berdarah seperti ini.

Manakala jawaban yang Askara berikan membuat isakan Dara kembali terdengar,
menghancurkan benteng pertahananmya tentang; dua orang penyakitan menjalin hubungan
konyol .“No, kamu gak salah sayang, aku yang terlalu maksa kamu untuk masuk dalam hidup
aku.”

Mengeratkan pelukan, telinga Dara berdengung akibat detak jantung yang berpacu
kencang kala nada bicara Askara kelewat lembut menekan kata ‘sayang’ di ujung kalimat. Ia
pastikan wajahnya ini memerah bak buah tomat.

Page | 28
“Kita disini buat liburan Andara, jangan buang air mata kamu, hm, dan sekarang isi
tenaga dulu yuk biar kuat sampai sepuluh ronde” oh—tuhan rasanya ingin menarik kembali
pujian yang Dara lontarkan dalam hati tentang iblis yang berubah menjadi malaikat; ternyata
hanya penyamaran semata.

Mencebik kesal, gadis itu melepaskan pelukan Aska dengan kasar “jangan macem-
macem kamu!” ancamnya, tak pelak membuat Askara terkekeh---lihat kan Aska sudah kembali
dalam mode iblisnya.

Page | 29
Chapter Five
[NEW ZEALAND]

Satu hari sudah terlewat di sini dengan adegan yang kurang meng-enakan hati. Dara juga
tidak ingin jauh-jauh kesini hanya menangisi nasip dan pemuda yang menyebalkan duduk di
hadapannya.

Mulutnya yang penuh dengan makanan terus mengomentari tentang ini itu. Ck---
seharusnya Dara mengajak Hana kesini agar ia tau bagaimana sikap seorang Askara Betara Bumi
yang terkenal dengan misterius serta dingin.

“Habis ini kita mau kemana Aska?” tanya Dara mengalihkan perhatianya saat Aska sudah
meracau berbicara fetish di restoran hotel. Andai tidak ada larangan menusuk orang itu kena
pasal, sudah Dara pastikan dengan amat sangat bahwa garpu yang ia pegang cukup untuk
menusuk jantung pemuda brandalan dihadapanya.

“Kita mau naik Skyline di deket sini Ra.” Jawabnya tanpa melihat Dara.

“Udah itu aja?” tanya Dara lagi meyakinkan; untuk apa naek gondola disini? Kenapa gak
ke Taman Mini aja kalau mau naik itu. Ck--sepertinya salah keputusannya meng-iyakan ajakan
Aska kesini.

“Nanti kita nginep disana satu hari, kamu tenang aja gak bakal nyesel deh.”

“Emang kamu pernah kesini sebelumnya? Kok bilang aku gak bakal nyesel?.”

Askara menegakan kepalanya, berhenti menggerakan sendok dari makanannya,


mendapati Dara yang menatapnya penuh selidik.

“Aku pernah kesini sekali sama papah dan mamah, makanya aku ngajak kamu kesini,
karna Cuma buat orang yang aku sayang aja.” katanya sambil meneguk jus yang ia pesan.

“Cheesy!.”

“Cheesy, tapi bisa bikin wajah kamu memerah lho,” benar, jantung gadis itu saja sudah
merosot ke mata kaki saat Askara mengucapkan kalimat menggoda jelas sudah wajah Dara pasti
merah padam.

“Udah ah kenyang, dikasih gombalan terus, dibuat melayang abis itu dijatuhin lagi deh
huhu makasiih aku gak mau berharap lebih!” sindir Dara mengkerlingkan sebelah mana
membuat Askara melongo ditempat duduknya.

Page | 30
“Siapa juga yang Cuma kasih harapan? Aku bakal buktiin kok omongan aku!” balas Aska
tak mau kalah, oke---lebih baik Dara mengalah kali ini tidak ingin merusak mood, ingatkan gadis
itu kesini untuk liburan bukan untuk menjadikan Negara ini ajang adu urat dengan tuan otoriter.

“Aska sumpah ya, aku baru pertama kali naik ini please jangan di goyang-goyang gitu
kalo jatuh gimana ya tuhan kamu gak liat tuh dibawah itu langsung laut lho!” gerutu gadis itu
kala Askara terus saja mengoyangkan skyline dengan sengaja kekanan dan kekiri.

Saat ingin menaiki skyline Askara sempat meminta kepada petugas untuk tidak
memperbolehkan wisatawan ikut naik; dengan alasan ia ingin melamar gadisnya. Padahal ya---
bisa kau lihat sendiri bertapa ingin rasanya Dara melempar dia dari sini.

“HAHA sumpah ya muka kamu kenapa gemesin banget sih, rasanya mau aku abisin
disini tau gak?”

“Kamu fikir aku makanan? Ada-ada aja sih, udah deh diem duduk anteng Askara!”
bentak Dara dengan nada sedikit keras, membuat Aska seketika memberengut ditempatnya--nah
kalo gini kan manis nurut jadi mau beneran lempar dari atas skyline batin Dara.

Sepanjang perjalanan tidak hentinya gadis itu berdecak kagum. Tanpa mulutpun alam
bisa jujur menampakan keindahanya, Askara dan alam semesta adalah keindahan yang tak bisa ia
gapai hanya dengan kata-kata.

“Aska serius ini hotelnya?” tanya Dara saat memasuki cottage bernuansa minimalis
dengan pemandangan langsung menjutu ke Lake Wakatipu terdapat satu kamar utama dengan
ranjang king size, satu kamar mandi dengan kaca besar yang memisahkan tunggu----kaca? Terus
ini kalau mandi gimana, benar-benar iblis ini.

“Aska ini kalau mandi gimana? Kenapa gak ada tirainya gini sih? Ini mah sama aja aku
kasih kamu tontonan geratis dong?” tanya gadis itu sebal membalik badan menghadap Askara
yang sedang sibuk merapihkan barang-barang yang mereka bawa.

“Ya tinggal mandi aja Ra, gampangkan?.”

“Aku juga tahu Askara, ini maksudnya kaca nya tuh tembus pandang iiih” sudahlah
rasanya percuma membuang tenaganya menghadapi Aska, melangkahkan tungkai membuka
pintu balkon. Pemandangan di sebelah kirinya terdapat gunung Double Cone ingat gambaran
anak Sd yang suka menggambar gunung? Ya seperti itulah sekarang lukisan alam yang ia lihat.

Meski cuaca disini teramat dingin bagi Dara yang baru menginjakan kaki di Queenstown,
padahal sudah dua lapis baju yang ia pakai; belum lagi mantel yang ia kena kan cukup besar,
bibirnya saja beku dan mendapati kepulan asap menguar dari hela nafasnya

Apa kabar papah dan mamah ya? Apa mereka bahagia sekarang melihat anaknya seperti
ini disini, Dara rindu sungguh rindu---rasanya menyesakan dada tatkala benaknya memutar
Page | 31
begitu saja kejadian lima tahun lalu. Mungkin sekarang jika papah dan mamah masih hidup,
mereka akan merasakan bahagia yang akan Dara bagi pada mereka saat ini tanpa sadar air
matanya keluar begitu saja.

Ia merindukan papah…mamahnya…Andara rindu

“Hey kenapa nangis?” tanya Aska yang sudah berdiri disamping Dara, menarik tubuh
gadis itu dalam pelukanya, “Ada apa Dara, hm?.”

“Aku kangen papah mamah Aska…”

Tanganya menangkup kedua pipi gadis itu untuk menghadapnya, “Berdoa untuk mereka,
kapan terakhir kamu ke makam papah sama mamah?.”

“Satu bulan lalu kayaknya,” kata Dara mengerutkan kening berfikir sebentar---sepertnya
sudah lama juga ia tidak berkunjung ke makam papah dan mamahnya.

“Pulang dari sini kita kunjungin papah sama mamah, oke?.”

“Kita?,” tanya Dara tidak mengerti akan kata ‘kita’ yang Askara ucapkan.

“Kamu sama aku kemakam, sekalian aku mau kenalan sama calon mertua” ucapnya
mengecup kedua mata Dara lembut, ibu jarinya mengelus sisa-sisa air mata yang membasahi pipi
merona gadis itu akibat dingin. Sontak lontaran kata yang Aska ucapkan membuat Dara
membatu ditempat.

Mendecak sebal Dara menghempaskan tangan Aska, “Ck, mau nikah sama mas Bimo
kamu?” sarkas gadis itu, kenapa sih pemuda ini selalu saja sukses membuat----kinerja
jantungnya berdegup kencang--- Sadar Andara ia ini pria seperti apa batinnya terus
mengucapkan kalimat itu.

“Gila ya kamu, masa batang sama batang sih? Ya sama kamu lah!” kata Aska percaya
diri, memang siapa pula yang bisa menolak pesona seorang Askara Betara Bumi? Hanya wanita
bodoh yang menolak dirinya dan wanita bodoh itu adalah-----Andara.

“Jangan terlalu percaya diri anda tuan!” Dara menaikan sebelah alis tangannya
bersidekap didada, “Yakin kamu nolak aku? Banyak lho wanita yang minta aku nikahin.”

Oh---sungguh benar-benar rupanya pemuda ini minta ia lempar dari balkon kamar ya?
Dengan percaya dirinya ia mengatakan ‘banyak wanita yang mau dinikahi?’

“Mau tahu aku wanita mana yang mau sama iblis kaya kamu?.”

“kamu, buktinya mau aku ajak kesini.”

Page | 32
Sial----ternyata ini perangkap rupanya, mendengus kesal satu tangan Dara hampir saja
memukul kepalanya sebelum cekalan tangan Askara, membuat tarikan kuat kembali dalam
pelukanya.

“Gunakan ini jika ingin melawanku!” menunjukan satu cutter dihaapan gadis itu—yang
entah dari mana ia simpan, meneguk saliva susah payah sial---kenapa tiba-tiba tengorokannya
menjadi kering.

Askara terus meringsak maju, memangut bibir Dara terburu-buru seakan tidak
mengizinkan gadis itu untuk menjawab pernyataanya. Kendati saat pangutan itu terlepas ia
segera meraih satu tanganku menaruh cutter yang sebelumnya ia tunjukan ditelapak tangan.

“Coba hentikan aku jika kau bisa----jika pada akhirnya akulah yang akan terus
bersamamu.”

Apakah ini Askara yang tengah bersamanya adalah orang yang sama kemarin-kemarin, ia
bukan lagi pria yang menggemaskan. Bahkan sepasang manik itu menikmati sang lawan yang
tengah tidak berdaya dibawah kendalinya.

Tatkala rasa kebas pada tangan Dara muncul akibat cekalan Askara, kurasa pemuda ini
memang sudah memiliki tujuan untuk menghabisi nyawanya disini. Mata Dara tidak lepas
menatap cutter yang ditaruh di telapak tanganya.

“Jangan Gila kamu Askara!” bentak Dara, tak pelak meciptakan tawanya yang
mengudara. “Berarti kamu sempet suka sama orang gila dong?” decihan ketara seraya satu
tangan Dara yang bebas membuang cutter kesembarang arah. Tidak ingin ada pertumpahan
darah di balkon kamar ini.

Kesepuluh jemarinya mengisi sela-sela jemari gadis itu matanya masih menghunus tajam
menatap Dara yang bergeming akan kalimat yang ia lontarkan barusan.

Lantas Dara menelaah beberapa kejadian yang ia lalui saat Askara ada di alam bawah
sadarnya; tentang awal pertemuan yang membuatnya terangsang dengan wajah ketakukan
miliknya dan pangutan bibir yang Aska lakukakan untuk menyesap cairan anyir.

“Siapa bilang aku suka pada mu, hah?” tantang Dara, membuat Askara melebarkan
irisnya, serta merta kaki gadis itu yang mundur membuat jarak sedikit menjauh; tak perduli akan
sorotan mata yang Aska ciptakan.

“Kamu tahu aku phobia sama darah, dan bukannya ucapanmu kemarin tentang
Hematolagnia itu adalah gairah terhadap darah? Berarti kamu mau nyakitin aku gitu?.”

“Siapa yang bilang aku mau nyakitin kamu? biarkan aku yang merasakan sakitnya
Andara, aku bisa tahan dengan itu.”

Page | 33
Sebentar apa katanya? Sumpah otak tumpul Dara susah sekali mencerna kalimat yang
Askara ucapkan “maksudnya?.”

“Pergunakanlah tubuhku, aku takakan menyakitimu barang seujung kuku pun.”

Jadi----maksudnya Dara harus menyiksa Aska membuat beberapa luka gitu? Sinting!!!

“Sinting!” umpat Dara pada akhir membuat kekehan kecil dari Askara

“Ya---aku memang pria sinting yang tergila-gila padamu!” ungkap pemuda itu tak pelak
iris Dara menatap manik tajam yang sedikit tertutup oleh rambut panjangnya.

“Kamu akan menyesali keputusan kamu ini Askara!” lagi Aska terkekeh mendengar
jawaban gadisnya ini, layaknya sedang mendengarkan sebuah lelucon. Satu langkah yang Aska
buat membuat Dara berjalan mundur menghimpit tubuh dengan pagar pembatas balkon.

“Coba saja buat aku menyesal jika kau bisa” satu tangannya menarik dagu gadis itu,
memejamkan mata merasakan deru nafas Aska berhembus di wajahnya.

Ingin rasanya Dara merobek kepalanya guna---mencari tahu otaknya berisi atau tidak,
fikirannya masih terus berkutat bagaimana cara melepaskan diri dari jeratan iblis ini----meski
hasil presentasenya hanya satu persen saja.

Askara kian mendesak untuk mendapat persetujuan dari bibir gadis itu akan ide gilanya
tentang; mari kita menjalin suatu hubungan, hampir saja kewarasan Dara hilang kala satu
pangutan dibibirnya kelewat lembut; besama dengan degup jantung yang menggila.

Tangan Dara memukul dadanya untuk membiarkan ia maraup udara sedikit, pangutanya
yang begitu seduktif membuat kepala gadis itu pening tiba-tiba. Seakan memahami bahwa Dara
hampir saja mati karna kehabisan nafas Aska menyudahi pangutanya. Mengusap salivanya yang
tersisa diujung bibir gadisnya ini.

“Lalu apa alasanmu menyanggupi ajakanku pergi kesini, hm?” sebuah alasan ya? Jelas
Dara belum mempunyai alasan apapun untuk menjawab yang satu itu, tidak ada alasan apapun
saat ia bersama Askara, Dara memang mencintai pemuda ini tapi jika mereka disatukan dalam
suatu hubungan, siapa yang akan mati duluan dirinya atau pemuda ini?

Belum sempat Dara menjawab bibirnya mengatup kembali akan pertanyaan selanjutnya
yang membuat gadis itu bergeming “Tidak ada alasannya bukan?.”

Dara memang tidak mempunyai sangkalan untuk pertanyaanya Aska, sekali lagi ia
tegaskan saat bersama Askara ia tidak butuh alasan apapun, Dara hanya mengikuti apa yang
hatinya mau---naif sekali bukan, kenapa ia tidak jatuh cinta pada pria normal saja sih?

Page | 34
Meneguk saliva dengan paksa, pria ini gila sunggu gila---Dara benci situasi seperti ini
yang membuat dadanya kian sesak, menggelengkan kepala sarat akan permohonan; agar pemuda
ini tidak terus mendesak Dara dengan pertanyaan yang ia sudah tahu jawabanya.

“Iya aku mengakui, aku memang tidak memiliki alasan apapun untuk mengikutimu
kesini, aku mohon Aska jangan terus mendesaku dengan pertanyaan yang kamu sudah tahu
alasanya!” katanya susah payah, berpegangan pada ujung balkon kepala Dara semakin terasa
pening kala mendengan decakan sebal dari Aska sarat akan rasa tidak puas mendengar
jawabannya.

“Lalu aku bagimu apa Andara?.”

Meremas surainya frustasi---apa sebenarnya mau pria ini sih? “Aska…kita gak bisa
bersama, kamu udah tahu jawaban itu!.”

Satu pukulan mendarat di pintu kaca pembatas balkon dan kamar tidur hancur begitu saja
seperti semua emosi yang tertahan dan pecah berkeping-keping, membuat Dara terperanjat kaget
akan tindakan Aska yang diluar kendali “ASKARA” jeritnya melihat pundak tangan Aska sudah
berlumuran darah.

“JANGAN PERDULIIN AKU!!!” bentak Aska keras melangkahkan tungkainya


menyisakan Dara yang mematung menatap punggung kokoh itu kian tenggelam dalam daun
pintu dengan sebuah dentuman kasar.

Sudah berpuluh-puluh kali Dara mencoba menghubungi ponsel Askara yang belum ada
jawaban sama sekali, pesan singkatpun tidak ada yang ia balas, ini sudah jam 9 malam waktu
Queenstown.

Sejak pertengkaran siang tadi Askara belum kembali ke hotel bahkan saat petugas hotel
menyuruh gadis itu untuk pindah kamar karna akan menganti kaca yang pecah akibat pukulan
keras Askara.

Ia sempat memikirkan; apa Aska sengaja meninggalkannya sendiri disini? Atau siapa
yang akan menangung biaya perbaikan atas kaca yang ia pecahkan. Ya--tuhan pening sekali
kepalanya memikirkan pria gila yang entah sekarang berada dimana.

Menatap kosong pada satu cangkir coffe yang baru saja ia buat, duduk meringkuk di
bangku balkon fikirannya terus melayang mencari kemana perginya sosok pria yang membuat
Dara khawatir sepanjang hari.

Page | 35
Belum sempat ibu jarinya menekan layar ponsel rungu gadis itu mendengar seperti ada
yang sedang memasukan kode pin kamar hotel, dengan sigap ia beranjak, langkahnya terhenti
kala mendapati sosok yang ia khawatirkan memasuki kamar dengan keadaan yang sudah tidak
bisa dijelaskan lagi

Rambutnya acak, mantel yang Aska gunakan sudah terseret besama tungkai yang terus
melangkah maju tercium bau alcohol yang menyengat dari tubuhnya dan tanganya yang sudah
terbungkus rapih oleh perban—syukurlah setidaknya ia masih ingat dengan luka ditanganya fikir
Dara.

“Askara” panggil Dara belum sempat pemuda itu menjawab tubuhnya sudah jatuh begitu
saja membentur lantai.

“Aska hei Askara!” Dara terus menepuk kedua pipinya mencoba membangunkan yang
ternyata nihil, sial------berapa gelas yang ia minum sampai pingsan begini.

Tertatih gadis itu membopong tubuh Aska yang---luar biasa beratnya---mungkin isinya
dosa sampai nafasnya tersengal-sengal kala menjatuhkan tubuh kekar itu diatas kasur.

“Nyusahin!” kesal Dara melepaskan sepatu yang masih Aska pakai. Dara tidak berniat
menganti baju pemuda itu nanti yang ada dia semakin percaya diri, tapi tidak tega juga melihat ia
yang sedang teler seperti ini.

Memutuskan untuk membiarkan Aska tertidur sebentar, lebih baik ia memesankan


makanan malam untuk Aska saja.

Kembali Dara mendudukan diri didepan perapian yang tersedia di kamar hotel ini,
memangku satu buku yang sengaja ia bawa jaga-jaga jika bosan. Hingga suara desisisan
menginterupsi pergerakan gadis itu menoleh mendapati Askara yang tengah terduduk memegang
kepalanya.

“Minum dulu” ucap Dara menyodorkan satu gelas berisi air minum mendudukan bokong
di pinggir ranjang masih menatap Askara yang menandaskan minumnya kembali menyodorkan
gelas kosong ke Dara.

“Mau aku cariin obat pengar?” tawar Dara saat melihat Aska terus saja memukul-mukul
kepala. Menggelengkan kepalanya lemah sarat akan tolakan. “Hei jangan di pukul nanti otakmu
hilang” sumpah ingin rasanya Dara memukul mulut bodoh ini saat manik Askara menghunus
tajam.

“G-gak gitu maksud aku nanti kepala kamu makin sakit.”

Tanpa mengucapkan satu katapun Askara menyibakan selimutnya berjalan melewati


Dara yang masih terdiam, hingga dentuman pintu kamar mandi membuat gadis itu merutuku diri
sendiri; bodoh dasar bodoh kau membahayakan dirimu sendiri Andara.
Page | 36
Setengah jam lamanya Aska menghabiskan waktu dikamar mandi mendengar pintu
kamar mandi terbuka sudut mata Dara melirik Aska yang hanya mengenakan celana training
panjang satu handuk kecil bertengker di tengkuknya jangan lupakan dia shirtless----diudara
sedingin ini,

Melirik Dara sekilas hingga iris mereka bertemu lalu melengoskan wajahnya acuh
berjalan mengarah kelemari pakaian, gadis itu hendikan bahu tanda tidak perduli kembali
berkutat dengan buku yang sedang ia baca.

“Aku lapar” ucap Aska sudah berdiri di samping Dara dan sudah memakai----baju tentu
saja jika tidak mungkin buku yang sedang Dara baca akan mendarat di kepalanya.

“Makan,” balas Dara tidak kalah singkat

“Temani” lihat bayi besar ini batin Dara? Merotasikan matanya malas lantas menyudahi
kegiatan, beranjak mengekor Askara kemeja makan, mengambil duduk di sebrangnya.

Page | 37
Chapter Six
[SEBUAH KETAKUAN]

Mungkin benar kata pepatah yang mengatakan ‘Saat manusia marah ia hanya
mengkedepankan egonya, ia tidak memikirkan dari sudut pandang lain, dan disitulah rasa
penyesalan baru muncul’

Ungkapan itu terasa pas dengan konsdisi sekarang---Dara yang sedang duduk meremaas
pegangan sofa dan Askara yang bersimpuh menyesal akan perbuatanya beberapa jam lalu.

Rasanya kepala gadis itu seperti dihantam godam besar begitu menyesakan dada kala
pengakuan Aska melakukan ‘one night stand’ dengan jalang dari club sekitar sini.

Habis sudah rasa sabarnya kali ini.

“Terus kenapa kamu balik kehotel? Kenapa kamu gak tidur aja seharian disana biar
puas!!” lagi amarah Dara meledak. Ingin rasanya ia menendang muka Aska yang sedang
memeluk lutut sebagai tanda pengampunan.

Hening Askara belum berkata apapun sehabis kalimat yang membuat dadanya sesak
mulut Aska seperti terkunci rapat hanya terus memeluk lutut gadisnya. Menggeram kesal.
“JAWAB JANGAN DIEM AJA, KALAU KAMU MASIH BISU GINI AKU YANG BAKAL
PERGI!!.”

Kenapa kau teriak-teriak dan memarahi dia Andara? Memangnya kau siapa? Istri?
Pacar? Bukan keduanya kan? Lebih baik kau biarkan ia melakukan semaunya. Dari pada kau
memperdulikanya hanya semakin menyakitimu.

“Oke, kalau kamu masih mau diem gini, kita pisah kamar dulu!” putus Dara sumpah
rasanya ingin mencekik Askara, tidak ada penjelasan sama sekali membuatnya muak.

Askara menegakan kepalanya wajahnya sudah basah oleh air mata---cih, air mata palsu
—jangan termakan Andara.

“Aku jelasin detailnya, tapi please aku mohon jangan pindah kamar yaa disi---.“

“Tergantung kalau penjelasan kamu masuk logika, aku gak akan pindah kamar tapi kalau
sebaliknya aku bakal bilang sama mas Bimo untuk jemput aku disini!.” potong Dara menatap
manik Askara yang terus mengeluarkan air mata.

Page | 38
Aska beranjak mendudukan dirinya disamping Dara, kedua tanganya bertautan matanya
memejam sebentar sebelum menoleh menatap gadisnya, tatkala kalimat yang Askara imbuh
membuat Dara menelan saliva susah payah.

“Kamu tahu tentang penyakit aku kan? Kamu lihat tangan aku berdarah?” tanyanya
membuat Dara menatap tangan Aska yang sudah terbungkus perban, menganggukan kepala
sebagai jawaban.

“Ingat aku pernah bilang gak akan nyakitin kamu seujung kuku pun? Aku gak mau
nyakitin kamu saat melihat darah keluar dari jari-jari aku, jadi aku putusin untuk pergi ke club
dan yaa aku melakukan ‘itu’, aku gak mau melampiaskan semuanya sama kamu Andara.”

Lagi Dara sukses melongo akan pernyataanya, fikirannya terus berkutat bagaimana
Askara benar-benar menepati omonganya, dia bahkan berfikir sampai sejauh itu sedangkan
dirinya? Sudah habis termakan emosi.

Dara hanya memikirkan dirinya seperti--dicampakkan begitu saja seolah melupakan fakta
bahwa Askara berusaha sangat keras untuk tidak melampiaskan napsu binatang buasnya
kepadanya.

Lihat lah Andara apa kau masih meragukan nya? Askara mati-matian agar tidak
menyakitimu, namun kau?

Mati saja kau Andara----tambahkan emosimu agar semakin menyesal melihat pria ini
sungguh mencintaimu..

Aku….Sunggu wanita terbodoh

“Maafin aku Aska…” hanya maaf yang bisa Dara ucapkan setelah berhambur kepelukan
Aska sesak dadanya melihat dia yang terisak dipelukan.

Ternyata benar penyesalan itu datangnya belakangan, jika penyesalan datangnya awal itu
namanya pendaftaran, bukan?

Tidak ada lagi emosi dalam diri gadis itu yang meledak-ledak, lenyap sudah digantikan
pelukan yang kian mengerat merebahkan tubuh masih dengan Askara yang memeluk begitu
posesive-----Dasar bayi besar.

“Aku mau tidur sambil memeluk mu Andara” katanya membuat wajah Dara bersemu
lantas menganggukan, memeluk tubuh Askara mengusak hidungnya didada bidang itu.

Akal-akal sehatnya entah sudah pergi kemana, Dara tidak tahu hubungan apa yang
sedang ia jalanin ini, friends with benefit atau dua anak manusia yang sedang mencoba
peruntungan dengan dunia yang kejam bagaimana orang-orang seperti Dara dan Askara
dianggap sebagai ‘kutukan’, tidakkah itu terlalu kejam? Apakah orang-orang seperti mereka yang

Page | 39
mempunyai momok menakutkan tidak boleh merasa beruntung dalam hal percintaan? Entahlah
mereka juga manusia sama seperti kalian yang ingin merasakan bahagia.

“Udaranya seger banget, meski terlalu dingin buat aku hehe” tungkai gadis itu terus
melangkah menyusuri jalanan di Queenstown Garden, sekarang musim semi disini tapi mungkin
karna tubuhnya yang norak dengan suhu se-dingin ini, jadilah gadis itu yang memakai jaket tebal
sendirian; sedangkan Askara ia hanya mengenakan long choat coklat saat pertama kali mereka
bertemu.

Askara hanya terkekeh mendengar ucapan Dara,“Ini belum seberapa saat musim dingin
tiba, aku pastiin kamu membeku disini hahaha” katanya membuat Dara mendengus kesal, “Iya,
kalo kamu cocok hidup disini, dasar manusia es!.”

“Kalau aku manusia es dan kamu adalah lava gunung berapi, penuh amarah” ucapnya
dramatis membuat Dara membeku walau hanya ucapan asal tapi ia memikirka--- bukan kan es
dan lava tidak bisa bersatu? Apakah mereka berdua juga begitu. Pikirannya melayang memutar
pernyataan tentang menerima tawaran Askara untuk memulai suatu hubungan.

Belum ada sebulan atau tahunan mereka menjalanin hubungan ini, Dara sudah
memikirkan apa yang akan terjadi kedepan, kemungkinan yang akan terjadi serta momok
menakutan yang mereka punya masing-masing. Bagaimana mereka menghadapi ini.

“Jangan difikirin omongan aku, Cuma asal aja” ucap Aska saat melihat Dara diam, ia
tahu Dara masih menyimpan ragu yang amat sangat besar akan pertanyaan-pertanyaan yang terus
mengusik.

Bagaimana kami menjalani hubungan ini?

Bagaimana cara kami berdua bertahan akan perasaan masing-masing?

Akan kah kami berdua berakhir bahagia?

Aku takut…

Aku takut salah mengambil keputusan dengan meng-iyakan tawaranya, aku takut kami
saling menyakiti satu sama lain, aku takut akan menaruh perasaanku padanya lebih jauh.

“Hey apa yang mengusik fikiranmu?” lantas menggelengkan kepala tidak ingin membuat
fikiran negative itu mengusik Dara “Gak kok, enga ada yang aku fikirin Aska, hanya terlalu
kagum sama tempat ini” kilahnya sebisa mungkin menutupi gugup.

“Apa kamu takut?” tanya Aska yang meremat jemari milik Dara, menolehkan wajah
menatap Askara dengan pandangan kosong irisnya bergerak gelisah, Dara juga tahu Aska juga
merasakan takut sepertinya; tapi Askara sepertinya sudah memikirkan apa yang mereka berdua
takutkan. Mereka berdua hanya takut saling menyakiti.

Page | 40
Karna Dara begitu mencintainya sama seperti Askara yang begitu mencintainya.

Sudah setengah jam tidak ada percakapan mereka berdua tenggelam dalam fikiran
masing-masing, hingga kopi yang mereka pesan sampai dingin tidak ada lagi asap yang
mengepul dari gelas itu.“Aku Cuma takut kita saling nyakitin satu sama lain Askara” Dara
membuka suara menatap pria dihadapaannya yang sedang menyesap secangkir kopi.

“Ya..aku juga berfikiran seperti itu, aku takut menyakitimu Andara, kau tahu? Aku ini
serigala berbulu domba dan kamu gadis berkerudung merah, tapi dengan senang hati justru kau
menerima serigala ini menjadi pacarmu, aneh bukan?.”

Sudah jelas jangan ditanya bagaimana ekspresi wajah Dara kali ini rasanya ingin ia siram
kopi panas yang baru saja diantarkan pelayan. Hatinya bergemuruh ----apa dia bilang aku si
‘gadis berkerudung merah’ jadi menurutnya aku ini bodoh karna di tipu oleh bulu halus domba
yang menyelimutinya? Dasar benar-benar iblis.

Belum sempat gadis itu menyangah kalimatnya, Askara menggenggam tangannya begitu
hangat diudara sedingin ini. “Tapi serigala ini bodoh, bisa-bisanya ia jatuh cinta dengan
mangsanya sendiri, padahal sudah tahu resikonya jika bersama, serigala ini hanya ingin
merasakan dicintai dengan tulus, bukan begitu mangsa?.”

Mata Dara memanas, setetes air mata turun membasahi pipinya, Dara juga ingin merasa
dicintai teramat sangat, mencintai orang yang merasa ia bukanlah ‘gadis kutukan’, mungkin
benar adanya tuhan itu adil ia mendapatkan pasangan yang begitu tulus mencintai dirinya tidak
perduli dengan penyakit yang Dara idap dan ia juga tidak perduli akan apa yang terjadi didepan.

Dara hanya ingin menjalanin dengannya; Askara Betara Bumi pemilik hati Andara
Britania mulai sekarang.

Askara tersenyum, senyum terhangat yang pernah Dara lihat hingga mengetarkan hati
yang sempat meragu akan keputusan yang ia buat---Aku akan terus bersamamu Askara.

“Aku mencintaimu Askara..”

“Aku lebih mencintaimu Andara..”

Pernyataan Dara tentang ia yang mencintai Askara memang tidak main-main, tetap saja
fikirannya terbang jauh memikirkan apa yang akan kakaknya katakan jika tahu ia dan Askara
menjalin hubungan, dari kemarin Dara sengaja mengabaikan panggilan dari kakaknya.

Page | 41
Dara belum siap menghadapi bapak-bapak posesif itu, padahal belum menjadi bapak-
bapak kenapa itu sudah se-bawel ini fikir Dara.

“Andara mas Bimo mau ngomong nih” menatap ponsel dan Askara bergantian sarat akan
permintaan tolong untuk menyelamatkannya dari amukan bapak-bapak posesive ini. tapi ternyata
si iblis ini tidak bisa membantu rupanya justru semakin menjebloskan Dara. Sialan

“Bim adek lo bisu kayaknya, dia gak mau ngomong sama lo!” dengan sigap merampas
ponselnya begitu saja.

“Hallo mas Bimo.”

“Kenapa mas telpon gak diangkat, hm?.”

“Anu…aku gak dapet sinyal mas disini” kilah Dara menepuk kening bodoh alasan apa itu
Andara, bodoh “Lha ini Aska bisa mas hubungin buktinya, kenapa? takut mas omelin? Gak kok
mas Cuma mau tanya keadaan kamu sama Askara aja, mas juga udah balik ke Aussie” ah---
syukurlah fikirnya.

“Kenapa buru-buru balik ke Aussie mas? Bukanya masih ada masalah ya sama kantor
papah yang diIndo?.”

“Nanti kamu pulang dari sana langsung ke Aussie sama Askara, ada yang mas mau
bicarain” kalima Bimo membuat Dara terperajat dari duduk, bagaimana dengan kerjaannya?
Kenapa si semua orang memutuskan sepihak begini.

“HAH?????!!! Ini mas Bimo becanda ya?” teriakannya membuat Askara tersedak
minumannya, “Dasar lava gak bisa kecilin dikit apa suaranya!” mencebik kesal gadis itu tidak
memperdulikan Askara yang menggerutu.

“Mas gak lagi becanda, turutin aja! Udah telponya mas matiin dulu, bye”

Kenapa tiba-tiba seperti ini, apa yang penting? Apa---kantor papah mengalami
kebangkrutan? Tidak mungkin bukan, menggelengkan kepala lantas beranjak menuju Askara.
“Askara menurut kamu kenapa mas Bimo tiba-tiba minta kita ke Aussie?” tanya Dara seraya
menyodorkan kembali ponselnya. Askara hanya menghendikan bahu acuh matanya fokus
menatap laptop.

“Aku lagi ngomong lho Aska!” dengan sigap Askara menutup benda kecintaanya itu,
berpangku dagu menatap gadis manis yang sudah melayangkan tatap sinis. “Kamu kenal Hana
Queena Syah? Satu divisi sama kamu kayaknya” tanya Askara membuat kening Dara mengeryit
menaikan satu alis, “Iya aku kenal, kenapa tiba-tiba jadi mbak Hana?” sumpah Dara tidak
mengerti mengapa Hana jadi pembahasan kali ini----apa hubunganya dengan Aska?

Page | 42
“Hana punya anak dari Bimo, sekarang anak itu berusia lima tahun.”

“Mbak Hana?” kepala Dara seperti dihantam berton-ton batu mendengar kalimat Askara,
sesak rasanya dada bagaimana bisa kakaknya kenal dengan Hana bahkan sudah memiliki anak?

“Bagaimana bisa? Mas Bimo kenal sama mbak Hana Aska? Bahkan udah punya anak”
suara Dara bergetar apalagi ini tuhan, kenapa? kenapaaaa? Sepertinya nasip sial terus saja
mengekori keluarganya.

Askara hanya menghendikan bahunya, “Aku gak tahu ceritanya Cuma tadi Bimo bilang
gitu di telepon sama aku.”

Flashback

“Hallo kenapa Bim?.”

“Lo bisa balik dari New Zealand langsung ke Aussie gak? Gue udah disini tolong ajak Andara
ada yang mau gue bicarain.”

Kening Askara mengkerut tumben Bimo menghubunginya apa ada masalah serius, “Ada apa
Bim? perusahaan lo gimana? Gue cek jadwal gue dulu nanti” jelas Askara membuat helaan
nafas kasar dari Bimo.

“Karyawan lo ada yang namanya Hana Queena Syah?” Askara semakin tidak mengerti kenapa
Bimo sampai kenal dengan karyawanya.

“Y-ya ada, satu divisini sama Andara.”

“Brengsek!” umpat Bimo,“Ada apa sih Bim sebenernya? Gue gak ngerti sumpah” sungut
Askara terpancing emosi.“Gue…g-gue punya anak dari dia, sekarang usianya lima tahun” deg
—jantung Askara seperti dipaksa keluar dari rongga dadanya, bagaimana jika Andara tahu
masalah ini?

“Lo jangan becanda, SIALAN!” Askara menekankan suaranya agar tidak terdengar oleh
Andara. Terdengar isakan dari sebrang sana membuat Askara semakin kesal, “Lo serius Bim?”
tanya Askara sekali lagi ia benar-benar tidak habis fikir----bagaimana bisa Bimo tidak tahu
bahwa Hana hamil anaknya. Bodoh

“Gue gak becanda Aska!! Gue gak sengaja ketemu Hana di depan kantor lo saat gue mau
meeting, di-dia ngejelasin semuanya kejadian lima tahun lalu saat gue ninggalin dia karna
keluarga gue kecelakaan dan gue harus balik ke Indo ternyata Hana hamil anak gue,
brengseknya gue sama sekali gak pernah nyari keberadaan Hana!” jelas Bimo panjang lebar,
Askara memijat pangkal hidungnya.

Page | 43
Apalagi ini fikirnya, belum selesai masalah ia dan Andara “Gue minta tolong sama lo Askara,
bawa Andara ke Aussie, tolong” lirih Bimo entah sekarang Askara harus menjawab apa,
benaknya terus mencerna bagaimana jika Andara bertanya, apa yang akan terjadi dengan
Andara.

“Gue bakal tolongin lo, tentang Andara lo gak usah khawatir ada gue sekarang.”

“Thanks banget Aska, tolong jaga Andara ya.”

Tangan Aska terus mengelus punggung sang gadis, bahunya bergetar tangisnya pecah
mendengar kakaknya sudah memiliki anak berusia lima tahun, berarti saat keluarganya
mengalami kecelakaan hebat saat itu Hana sudah hamil dan bodohnya kakaknya sama sekali
tidak tahu tentang itu.

“Sekarang aku harus apa Aska?” tanya Dara di sela isakanya “Kita gak bisa apa-apa
sayang, sehabis kita liburan langsung ke Aussie yaa, aku udah hold kerjaan aku kok, kamu
tenang dulu yaa.”

“Aku gak bisa tenang Aska, mas Bimo ninggalin anak usia lima tahun sendiri tanpa ayah,
berarti itu saat keluarga aku kecelakaan kan kejadianya Ya--tuhan…” hening Aska juga bingung
apa yang harus ia lakukan sekarang melihat Dara yang sangat syok.

“Ini semua salah aku, an-andai aku gak memaksakan kehendak jemput mas Bimo di
bandara pasti sekarang papah dan mamah seneng punya cucu Aska, dan mas Bimo mungkin
sudah menikah dengan mbak Hana” ucap Dara panjang lebar membuat hati Aska linu
mendengarnya.

“Ini bukan salah kamu sayang, sudah takdir tuhan kamu gak boleh nyalahin diri kamu
sendiri, ya?.”

“Lima tahun lalu perusahaan papah hampir bangkrut, mas Bimo yang tahu akan hal itu
memutuskan pulang ke Indo, aku maksa papah untuk jemput di bandara, ta-tapi kecelakaan
itu….” Pecah tangis Dara semakin keras benaknya kembali menyusun satu-satu kenangan
dengan orang tuanya, kecelakaan yang merengut kedua orang tuanya menyisakan ketakutan Dara
akan Darah.

Semenjak kejadian itu Dara menjadi phobia terhadap darah, melihat kedua orang tuanya
tewas didepan mata sendiri---papahnya yang terhimpit dibangku kemudi, mamahnya yang
meninggal diperjalanan akibat kehabisan darah. Beruntunglah tuhan menyelamatkan nyawa
Dara, ia terlempar dari dalam mobil.

Page | 44
Tubuhnya mengempas trotoar jalan, tulang rusuk serta kakinya patah akibat kecelakaan
hebat itu. Serta meninggalkan momok yang menakutkan percuma ia menjalani terapi selama
bertahun-tahun, fikiranya terus menampilkan kecelakaan itu seperti layar proyektor.

Aska yang mendengar itu teringat akan cerita Bimo saat ia pertama kali bertemu, Bimo
yang sangat khawatir dengan Dara, adiknya ini tidak seperti wanita seumurnya; ia bisa pingsan
hanya melihat darah menstruasinya atau bahkan darah nyamuk yang tidak sengaja Dara tepuk.

Bimo menjelaskan semuanya pada Aska, sekarang ia faham kenapa Dara mengalami
Hematophobia akibat trauma masa lalu tentang kecelakaan dan bukan bawaan dari lahir.

Tidak ada yang bisa Aska ucapkan lagi ia terus memeluk tubuh gadis kecilnya ini,
menguatkan semuanya akan baik baik saja.

Page | 45
Chapter Seven
[PENJELASAN]

Aska tidak tega melihat Dara yang terus terdiam lesu, pandanganya kosong menatap
bulir-bulir air yang jatuh dari langit. Hujan yang menguyur kota Queenstown semenjak kemarin
malam tidak bisa membuat ia mengajak Dara keluar hotel sekedar melepas penat.

Ini sudah hari ke empat mereka ada di Queenstown, Dara hanya diam membuat Aska
bingung harus berbuat apa ,“Dara makan siang dulu, yuk?” ajaknya mencoba membujuk gadis
itu untuk mengisi perut. Dara menggelengkan kepalanya menolak untuk mengisi perutnya.

“Kamu nanti sakit sayang” ucap Aska lembut tanganya mengusap surai milik Dara, gadis
itu menoleh menatap Aska wajahnya sembab akibat menangis sepanjang malam, kepalanya
terasa pening “Bisa kita sekarang ke Aussie Aska?.”

“Kamu mau berangkat sekarang?” tanya Aska lagi meyakinkan pasalnya keadaan sedang
tidak mendukung untuk melakukan perjalanan, Dara menganggukan kepalanya, tanganya
menggenggam jemari Aska. “Lebih cepat lebih baik Aska, ak-aku khawatir sama mas Bimo..”

Isak Dara fikiranya terus melayang memikirkan kakaknya. Aska lantas menarik tubuh
gadis itu membawa dalam pelukanya, “Tunggu hujan reda, ya? Kita gak bisa melakukan
perjalanan dalam keadaan seperti ini Ra.” Dara pun mengerti, ia juga tidak mungkin
memaksakan kehendak jika keadaan seperti ini.

Ponsel Aska bergetar menampilkan nama Hana disana, melirik Dara yang mengangguk
agar ia mengangkat panggilan itu,“Ya Hallo Han” sapa Aska “Pak maaf saya lancang ganggu
acara liburannya, tapi saya Cuma mau kasih tahu. Mulai besok saya mengundurkan diri, surat
pengunduran diri sudah saya titip pada sekertaris bapak, terimakasih pak” jelas Hana panjang
lebar.

“Kenapa tiba-tiba Han? Apa ada masalah dengan kantor?” Selidik Aska “Gak ada
masalah kok pak, saya harus pulang ke Carlifornia untuk mengurusi ayah saya”kilah Hana tidak
mungkin juga ia menjelaskan duduk permasalahanya lewat sambungan telepon.

“Baik kalau begitu, terimakasih banyak ya Han” mematikan telepon, Aska memijit
keningnya; apalagi ini tuhan batinya; Hana yang mengundurkan diri secara tiba-tiba. Bagaimana
dengan nasip Bimo?

“Kenapa mbak Hana?” tanya Dara saat melihat Aska berjalan kearahnya, menarik nafas
panjang menghembuskan kasar Aska masih bimbang ia akan bilang atau tidak tentang
pengunduran diri Hana. Ia takut menambah beban fikiran pada Dara, tapi jika tidak diberi tahu ia
juga akan jadi sasaran kemarahan gadis itu. “Hana mengundurkan diri Ra.”

Page | 46
“Ka-kamu bohong kan Aska?” suara Dara bergetar sesak didadanya semakin
menghimpit, Aska menggelengkan kepalany. “Aku gak bohong” pecah tangis gadis itu,
bagaimana dengan kakaknya, ia saja belum bertemu dengan anaknya tapi Hana sudah pergi
menjauh. Apa yang harus Dara lakukan sekarang?

“Jam 2 siang kita berangkat ya sayang, langsung ke Aussie” syukurlah cuaca


Queenstown hari ini cukup cerah setelah dua hari berturut-turut hujan lebat. Aska memutuskan
untuk menyudahi liburanya dengan cepat; pekerjaanya pun sudah di hold oleh sekertarisnya, ia
akan mengantar Dara sampai Aussie dengan selamat, sehabis itu baru ia akan kembali ke tanah
air.

Dara menganggukan kepala dengan mulut penuh makanan, perutnya baru terasa lapar
setelah menangis semalaman. Ia harus mengisi tenaganya kembali siapa tahu Dara akan
menangis lebih keras dari pada kemarin.

“Aska kamu udah telepon mas Bimo?” tanya gadis itu dari dapur yang sedang sibuk
merapihkan bekas sarapanya ,“Ini aku baru mau telepon Ra, sebentar ya?.” Pamit Aska berjalan
kearah balkon kamar.

Dara kembali merapihkan barang-barang yang akan ia bawa ke Aussie, tidak banyak
memang hanya dua koper besar dan satu tas tangan. “Udah?” tanyanya saat melihat Aska
memasuki kamar, pemuda itu menganggukan kepala mengiyakan.”Udah, dia lagi ada meeting
katanya.” Jelas Aska “Apa yang harus aku lakuin kali ini Aska?.”

Pergerakan gadis itu terhenti menunduk menatap koper-koper yang akan ia bawa, Aska
menghela nafas pelan ia juga merasa bingung harus melakukan apa sekarang. Tubuh Dara
merosot terduduk dilantai kedua tanganya menopang bobot tubuhnya agar tidak rubuh fikiranya
sudah kacau.

“Hei, pasti ada jalan keluarnya sayang” ucap Aska memeluk gadis itu erat sesekali
bibirnya mengecup pucuk kepala Dara. Pelukan Dara semakin mengerat melepaskan semua
tangisnya dipelukan pemuda itu,

“Barang-barangmu sudah semua sayang?.” Dara menganggukan kepalanya “Iya sudah


semua Aska.”

“Yaudah sekarang kita berangkat yaa, sudah-sudah jangan sedih lagi mukamu jelek.”
Ucap pemuda itu ibu jarinya mengelus kedua pipi Dara menghapus air mata yang terus
membasahi wajah gadis tersayangnya.

Page | 47
“Jadi aku jelek?,” suara Dara berubah menjadi manja dengan bibir mengerucut merajuk
pada kekasihnya ini, Aska terkekeh geli lucu sekali fikirnya kala melihat wajah merajuk
kekasihnya ini.

“Iya jelek kalau nangis terus!” ketus pemuda itu membuat Dara tersenyum disela-sela
tangisnya, ah-----kenapa pemuda ini manis sekali batin Dara.

Menginjakan kaki di bandara Auckland, Selandia Baru pasangan yang sedang kasmaran
itu tidak melepas pegangan tangan mereka, Aska terus menggenggam jemari lentik milik
kekasihnya. Sekarang ia merasakan jantungnya berdetak abnormal tiap kali melihat sebuah
senyuman terbit dari wajah Dara.

Semenjak orang tuanya meninggal Aska hanya hidup dengan supir dan pembantu yang
sudah bekerja lama dikediamanya, mengidap penyakit HiperseksualitasI membuat ia dijauhi oleh
saudaranya bahkan saat orang tuanya meninggal tidak ada satupun saudara yang mau
merawatnya. Berjuang sendirian ditengah momok menakutkan.

Tidak ada uluran tangan siapapun, hingga suatu saat pemuda itu bertemu dengan Dara
dengan wajah ketakutanya membuat libido yang ia kubur dalam-dalam berontak ingin
dilepaskan, awalnya memang ia hanya terobsesi dengan gadis itu. Ia fikir Dara bisa menjadi
partner dalam hal sex---ternyata salah justru Aska merasa terjebak dengan perasaanya sendiri
setelah mengetahui apa yang diderita Dara.

Dan sekarang disini lah Aska duduk didalam pesawat bersama kekasihnya, sekarang ia
punya alasan untuk tetap hidup meski dalam momok menakutkan, Aska bahkan berjanji dengan
dirinya sendiri tidak akan pernah menyakiti Dara. Ia ingin sembuh mungkin setelah pulang dari
liburan Aska akan mengatur jadwal terapinya; pemuda itu ingin hidup normal mempunyai
pasangan yang mencintainya.

Berjalan-jalan ketaman bermain, menonton bioskop atau sekedar duduk manis dipinggir
pantai menikmati senja yang berganti tugas dengan bulan. Ia ingin melakukan semuanya itu
dengan---Dara, bahkan jika gadis itu siap akan ia nikahi sekarang juga, memiliki anak yang
banyak dari Dara. Menghabiskan masa tuanya duduk di teras dengan anak-anak mereka yang
berlarian di halaman belakang. Ah----apakah hayalan pemuda itu terlalu jauh.

Menatap tautan tangan yang mengerat sesekali ibu jarinya mengelus pundak tangan Dara,
menarik Dara hingga manik-manik mata mereka beradu.

“I Love you Andara.” Katanya dengan sebuah kecupan lembut pada bibir Dara, membuat
mata gadis itu membelalak tubuhnya seketika menjadi kaku mendapat perlakuan yang kelewat
manis. “I Love you Askara,” balas Dara membuat sebuah senyuman terbit begitu saja diwajah
pemuda itu.

Page | 48
Bandara Internasional Melbourne, 19:00 PM.

Mereka berangkat dari Bandara Internasional Auckland saat matahari masih bertengger
diatas kepala, dan tiba di Bandara Internasional Melbourne saat matahari sudah pulang
keperaduan, Aska terus menggengam tangan Dara dari mulai turun pesawat sampai ke lobby
menunggu supir Bimo menjemput mereka.

Mobil mewah Audi SUV Q7 berwana hitam itupun berhenti dihadapan mereka, seorang
pria setengah baya keluar dari mobil memperkenalkan diri pada Dara dan Aska sebagai supir
suruhan Bimo yang menjemput mereka. Sepanjang perjalanan menuju rumah milik kakaknya
jantung gadis itu tidak berhenti berpacu beriringan dengan deru ban mobil yang tergesek dengan
aspal.

Matanya bergerak gelisah menatap kosong pada pemandangan dari balik kaca mobil,
Aska yang menyadari perubahan pada diri Dara pun mengelus punggung tangan itu
“Everythings gona be allright sayang” gadis itu menoleh tersenyum getir beruntungnya ia
sekarang memiliki Aska.

Tidak memakan waktu lama mereka berdua sampai dirumah berlantai dua minimalis
milik Bimo, halaman rumah luas tertata rapih dengan berbagai macam bunga warna –warni, ada
bangku santai dipojok kanan taman. Hingga kaki dara berdiri didepan pintu kayu mahoni besar,
menarik nafas sebelum membuka knop pintu.

Perabotan dirumah Bimo tidak terlalu banyak karna jarang ia tempati, pria itu lebih
banyak menghabiskan waktu dikantor jika sedang berkunjung ke Melbourne, Bimo sengaja
membeli rumah ini jaga-jaga jika suatu saat ia akan memiliki keluarga kecil---sayang belum
sempat harapanya terwujud wanita yang ia cintai sudah pergi kembali.

Suara ketukan sepatu menyadarkan Dara menaruh kembali figura foto keluarga mereka,
menoleh menatap kakaknya dengan kondisi berantakan, dari tempat Dara berdiri ia bisa
mencium aroma alkohol yang menguar dari tubuh kakaknya.

Matanya memanas melihat kondisi Bimo seperti mati segan hiduppun tak mau, berlari
kecil menghampiri Bimo. “Mas Bimo…” isak gadis itu didalam pelukan Bimo. Tidak ada kata
yang keluar dari mulut kakak beradik itu mereka tenggelam dalam pelukan dan tangisan yang
bersautan.

Meregangkan pelukanya Bimo menatap manik-manik milik Dara, “Mas gak papa kok Ra,
sekarang kamu kekamar gih beresin barang, dan suruh Aska juga istirahat ya Ra” titahnya
menatap Aska sekilas sebelum melepas pegangan pada bahu adiknya.

“Thanks Bro.” Aska pun menganggukan kepalanya membalas pelukan Bimo.

Page | 49
Sudah lama sekali rasanya Gadis itu tidak merasakan hembusan angin pagi menbelai
lembut wajahnya, ramputnya melambai pelan terhembus oleh angin. Dara menarik kedua sudut
bibirnya, merasakan hangatnya matahari yang menerpa kulit putih susu miliknya. Jauh diambang
pintu Aska melihat sang gadis sedang berdiri dihalaman belakang.

Pemandanganya sama dengan Queenstown waktu itu bedanya disini tidak sedingin disana
jadi Dara bisa berjemur sebentar. Berjalan menghampiri Dara dari sini pemuda itu bisa mencium
aroma lemon yang menyengarkan. Membawa Dara dalam rengkuhanya.

“Kenapa disini pagi-pagi sekali, hm?” ucap Aska menaruh kepalanya pada bahu gadis
itu. “Kenapa kamu tahu aku disini?” Gadis itu berbalik bertanya. “Tadi maidnya Bimo bilang
kamu disini” Aska semakin mengeratkan pelukanya, mengecup lamat-lamat pipi gadisnya.
Membuat Dara membeku ditempat akan kecupan singkat yang Aska berikan.

Aska lantas membalikan tubuh gadisnya hingga mereka berhadapan, menyatukan kedua
dahi mereka “Andara..” gadis itu beralih menatap iris berwarna amber milik Aska. “Apa?” balas
Dara sambil matanya meneliti wajah kekasihnya dari jarak dekat seperti ini gadis itu bisa melihat
dengan jelas bulu mata lentik milik Aska.

“Hei kalian berdua kalau ingin berbuat asusila silakan kekamar sana! Menganggu
pemandangan tahu!” ketus Bimo sambil bersidekap tangan didada bersandar pada pintu kaca
pembantas halaman.

Dara tertawa terbahak-bahak melihat kakanya merajuk, “Kebawa susasana Bim, sorry” ,
Aska yang menjadi kikuk menggaruk tengkuknya yang tidak gatal sama sekali. Mendecih kesal
lantas Bimo meninggalkan kedua pasangan yang sedang dimabuk asmara itu. Syukurlah---
sekarang adiknya sudah menemuka kebahagianya, semoga ia juga bisa menyusul menemukan
kebahagiaanya kelak.

Aska masih menatap Dara yang masih puas tertawa hingga sudut matanya mengeluarkan
air mata. “Kok malah nangis Ra?” tanya Aska tawa gadis itu mereda, “Aku seneng banget bisa
godain mas Bimo, liat gak muka keselnya? HAHAHA” lagi tawa Dara lepas begitu saja,
membuat hati pemuda itu menghangat.

“Aduh maaf maaf aku ketawanya kenceng banget ya?” ucap gadis itu nafasnya tersengal-
sengal, tawanya yang lepas meringankan sedikit bebannya setidaknya Dara tidak lupa cara untuk
tertawa. Aska menggelengkan kepalanya, “Gak kok, aku seneng lihat kamu ketawa gini sayang.”

Semburat merah timbul dari pipi Dara, membuat Aska mencubit pipi gadis itu gemas
“Gemesin kamu, jadi mau aku makan hidup-hidup.” Dengan sigap satu tangan Dara mencubit
perut pemuda brandalan ini hingga ia mengaduh kesakitan.

Dilantai dua Bimo tersenyum lirih melihat dari balik kaca kamar, sekarang hanya tinggal
ia yang akan memperjuangkan Hana kembali.

Page | 50
Sudah lebih dari seminggu Aska kembali ke tanah air meninggal kan Dara sediri, dan
sudah seminggu pula Bimo berusaha menghubungi Hana yang tidak mendapat respon sama
sekali. Bukan perkara mudah melupakan Hana begitu saja, wanita yang ia pacari selama tiga
tahun lamanya, belum lagi sekarang ia memiliki seorang anak.

Ia akan memperjuangkan Hana kembali meski di usir sekalipun, Bimo ingin melihat
anaknya, pria itu merasa dirinya sangat amat brengsek bagaimana bisa meninggalkan Hana
begitu saja dengan seorang anak yang tumbuh tampa perhatianya.

Bagaimana Hana menghadapi masa kehamilanya tanpa kasih sayang, membawa perut
yang besar selama Sembilan bulan, berjuang melahirkan anak mereka. Merawatnya hingga
tumbuh sehat sampai sekarang.

Lelaki macam apa ia ini fikir Bimo, menatap pantulan dirinya pada kaca pembatas
kantor. Apa yang harus ia lakukan sekarang?

“Sir Bimo..” Bimo membalik kursinya menatap pada sang sekertaris Mr. Richard
“Yes..what’s worng?” tanya Bimo melirik map biru yang disodorkan sekertarisnya “This file as
you request, Sir” tersenyum tipis lantas Bimo segera meraih map itu “Thank you Mr. Richard”.

Membuka lembar demi lembar, membacanya dengan teliti file yang berisi informasi
tentang wanita yang sangat ia cintai. Bimo menyuruh orang kepercayaanya untuk mencari tahu
keberadaan Hana dimana, ia tidak akan diam kali ini “Carlifornia…” gumamnya.

Lamunan Dara terhenti kala ponselnya bordering, dengan malas ia meraih benda tersebut
menampilkan nama Aska disana “Hallo Aska” jawab gadis itu kelewat senang pasalnya
kekasihnya ini tidak menghubungi selama dua hari, belum lagi perbedaan waktu yang semakin
susah untuk berkomunikasi.

“Selamat malam sayang” Aska menyapanya dengan nada lembut membuat gadis itu mengigit
bibirnya “Cih, sok manis kamu!” ejek Dara mungkin jika kekasihnya sekarang ada disini sudah
habis gadis itu menjadi sasaran pangutan kasar Aska “kalau mau nge-godain aku nanti aja,
sebentar lagi aku sampai nih dirumah Bimo.”

Gadis itu memukul mulutnya dua kali—merutuki diri sendiri; Tuhan kekasihnya ini iblis
tidak bisa ya disekap saja dineraka batin Dara. “Lho kenapa gak ngasih kabar dulu sih?!” tanya
Dara “Ini aku lagi ngabarin kamu sayang” mendecak sebal gadis itu terheran-heran dengan
sikap kekasihnya ini “Yaudah hati-hati dijalan.”

Page | 51
Menghempaskan diri diranjangnya, tak berselang lama ia mendengar suara kakaknya
sedang berbicara dengan maid dari arah luar, buru-buru ia beranjang menghampiri Bimo “Mas
Bimo tumben udah pulang?” kening gadis itu mengkerut menatap jam ditanganya. Ini masih sore
tapi kakaknya sudah pulang kantor. Apa Bimo sakit fikir Dara.

“Mas mau ke Carlifonia sekarang, Aska udah sampai mana Ra?” lagi Dara menatap aneh
pada Bimo “Udah deket katanya, kok mas Bimo tahu?” tanya gadis itu menyipitkan mata “Mas
yang suruh dia kesini untuk temenin kamu, gak papa kan? Mas mau ketemu Hana disana Ra.”

Gadis itu menganggukan kepala tersenyum lega mengetahui bahwa kakaknya akan
menemui Hana kembali. “Selamat berjuang ya mas ku yang ganteng” goda Dara menoel pipi
Bimo sekilas “Makasih ya, beruntungnya Angkasa Bimo punya adik kaya Andara Britania” ucap
Bimo membuat Dara terkekeh geli “Makan malam dulu yuk mas, sebelum berangkat.”

Setelah keberangkatan Bimo ke Carlifonia untuk menemui Hana, gadis itu masih
termeung didalam kamar menatap kosong pada kerlap kerlip kota Melbourne, rumah kakaknya
ini berada di dataran tinggi jadi bisa melihat setengah kota Melbourne yang indah pada saat
malam hari. Ketukan dipintu membuat ia menolehkan wajahnya “Miss, there is a man looking
for you” ucap maid itu sambil menunduk “Who?” tanya gadis itu “Sir Askara.”

Dara pun menganggukan kepalanya beranjak menatap cermin sebentar merapihkan


rambutnya, berjalan terburu-buru menurunin anak tangga, ia sunggu rindu dengan kekasihnya ini
manusia paling menyebalkan sekaligus membuatnya rindu dalam satu waktu.

Mendapati pemuda yang sedang duduk memijat pangkal hidungnya, “Aska..” panggil
Dara dari tangga, membuat pemuda itu menoleh kebelakang “Hay sayang” berlari kecil gadis itu
menghampiri Aska.

“Aku rindu pada mu Andara..” kalimat pertama yang diucapkan pemuda itu tatkala Dara
duduk disampingnya, Aska rindu memeluk gadisnya ini rindu melihat muka kesal sang kekasih,
rindu mendengar nada bicaranya yang cempreng. Ah---pokoknya Aska sangat rindu semua yang
ada pada Dara.

Menghirup aroma lemon yang menjadi candunya sekarang, menggusak hidup di pucuk
kepala sang gadis. Dara yang masih membeku dalam pelukan Aska tidak bisa berbuat apa-apa
kendati jantungya sudah hilang entah kemana. Ia juga rindu dengan Aska berpisah selama
seminggu saja seperti beberapa abad baginya. Cih---dasar pasangan budak cinta.

Page | 52
“Kamu sampai kapan disini?” tanya Dara “Sampai Bimo Pulang kesini” jelas pemuda itu
membuat Dara mendelik “Lho kalau mas Bimo lama, kerjaan kamu gimana?” Aska menaikan
satu alisnya “Kan aku bos nya suka-suka lha.”

Sepertinya niat gadis itu untuk menusuk jantung kekasihnya akan terlaksana, mendecak
sebal ia melepaskan pelukan begitu saja “Sombong!” sinis Dara “Bukan sombong, memang
kenyataanya” pemuda itu hanya menghendikan bahunya acuh.

“Udah gih sana taruh barang-barang kamu, mandi, terus makan aku tungguin dibawah”
titah Dara membuat Bimo menaruh telunjuknya di dahi seperti hormat kepada kekasihnya ini
“Siap nyonya Askara.”

Sebelum beranjak Aska sempat mengecup sekilas bibir gadis itu membuatnya termenung
ditempat duduk, pipinya merona dengan degup jantungnya yang sudah tidak bisa dijelaskan
dengan kata-kata.

Page | 53

Anda mungkin juga menyukai