Anda di halaman 1dari 90

PERTEMUAN

LALU
HARAPAN

“.. take on me, take eme on. I’ll be gone, in a day or two...” lagu dari a-ha – Take
On Me mengalun indah lewat sepasang headset yang terselip di telinga seorang
lelaki berkacamata dengan rambut ikal seleher sehingga terkesan berantakan yang
terkadang menutupi matanya yang entah kapan terakhir kali ia cukur. Tubuh
kurusnya diselimuti kaos hitam polos dibalut jaket denim kumal dengan lengan
digulung dan celana jeans yang ujungnya digulung pula semakin menambah kesan
betapa kumalnya penampilan lelaki itu. Sepatu sneakers bergaris putih di bagian
bawah yang tanpa kaos kaki itu melangkah di trotoar jalan Diponegoro menuju
sebuah toko musik di ujung jalan.

1
Kurnia Invoice adalah tujuan dari lelaki kumal itu. Barisan album musik
zaman sekarang dan zaman dulu bahkan piringan hitam terjejer rapi di rak-rak
dengan kategori tertentu. Ia menarikan jemarinya di antara barisan album musik
pada bagian musik 90’an. Jemarinya memilah satu-persatu album musik dengan
pandangan yang memberi kesan mencermati tiap-tiap cover album itu. Jarinya tak
sengaja bertemu dengan jari yang lainnya. Jemari lentik dibalut kulit putih
keemasan yang terasa lembut ketika jemarinya bersentuhan dengan tidak sengaja,
begitu kontras dengan jarinya yang kecoklatan dan sedikit kasar.

Entah mengapa kedua jemari mereka tak bergerak setelahnya, seolah


terkejut. Perlahan, mereka pun menoleh bersamaan. Sebuah wajah imut dengan
kacamata bundar melindungi mata mungil berwarna coklat cerah serta sebuah tahi
lalat kecil di bawah mata kanannya sedang melihat dengan ekspresi canggung.
Lalu sebuah senyum simpul merekah di antara bibir merah muda mungil dengan
lekukan di ujung senyum. Lelaki itu langsung melepas headsetnya dan hendak
berkata, tetapi didahului oleh gadis itu.

“Maaf,” ucap gadis itu dengan lembut seraya menurunkan tangannya.

“Enggak apa-apa,” balas lelaki itu sambil membalas senyumannya.

Gadis itu berlalu pergi meninggalkan perasaan mendebar di dalam dada


lelaki itu. Bagaikan sebuah tepukan pada hati yang telah lama berdebu. Tepukan
yang membersihkan debu-debu itu kemudian membuatnya kembali bernapas.
Seakan mengirimkan sinyalnya kepada otak agar tidak melupakan tepukan yang
berupa; sentuhan lembut, senyuman hangat, dan ucapan “maaf” yang terasa
lembut didengar.

Lelaki itu termangu sejenak sembari tersenyum menatap ke arah gadis itu
berjalan. Tiba-tiba saja ia menggelengkan kepalanya untuk menyadarkan dirinya.
Ia berpikir sejenak, mengingat potret wajah itu yang seolah ia sugestikan agar
menjadi hal yang tak pernah ia lupakan bersama dengan “tepukan” itu. Ia
tersenyum lalu memasang headsetnya kembali, dan lagu Take On Me pun

2
berlanjut. “.. so needless to say. Of odds and ends. But that’s me stumbling away.
Slowly learning that life is ok. Say after me...”

Ia kembali memilah barisan album musik, lalu menarik sebuah album


bercover gambar seorang bayi di dalam air yang tengah berenang mengejar
selembar dollar dengan judul album Nirvana – Nevermind.

***

Lelaki itu sedang duduk di dalam sebuah kedai kopi, ia duduk di sudut
ruangan di samping jendela kaca yang langsung menunjukan pemandangan
jalanan yang ramai sembari membaca sebuah novel romansa ditemani secangkir
kopi hitam yang masih mengepul. Ia tak menghiraukan hiruk pikuk keramaian di
luar sana, dan lebih memilih larut dalam imajinasinya sendiri sambil sesekali
menyeruput kopinya yang terlampau sayang bila tak dihiraukan pula. Ia
mengangguk perlahan mengikuti alunan musik dari Sixpence None the Richer –
Kiss Me yang diputar oleh kedai kopi tersebut.

Saat matanya merasa sedikit lelah, ia mengalihkan pandangannya dari


barisan kata lalu menutup novelnya dan melihat sekelilingnya sembari kembali
menyeruput kopi dari gelasnya. Matanya melihat ke samping, ke titik air yang
menempel bersama embun dari hujan gerimis di kaca, lalu menyapu ke depan
hingga matanya membeku pada satu titik. Gadis yang pernah ia temui di toko
musik kini sedang duduk di seberang mejanya. Ia tengah mengenakan headset
dengan mulut yang komat-kamit yang entah merapalkan lirik ataupun mantra
penghipnotis sehingga membuat lelaki itu membeku.

Ruangan kedai dirasa oleh lelaki itu berubah drastis. Dunia ia rasakan
berhenti berputar, hawa dingin menjadi hangat bagaikan senyuman gadis itu saat
di toko musik, lalu ruangan itu sunyi dan di kepalanya terputar lagu Take On Me
yang membuatnya terasa seperti saat pertama bertemu.

3
Rambut lurus hitam sebahu dengan poni menutupi sebagian wajahnya
terlihat keemasan karena lampu gantung di atasnya, semakin menambah kesan
anggunnya di samping caranya membaca novel dengan memiringkan sedikit
kepalanya, serta senyum simpul di bibirnya. Ingin sekali bibir lelaki itu bergerak
untuk sekedar mengucapkan kata “hai”, namun entah mengapa dirinya terasa
membeku terkecuali hati dan matanya yang merasa hangat.

Hingga sebuah tepukan di bahu membuatnya sadarkan diri. Ia menoleh


dan dilihatnya seorang pria dengan tubuh tinggi dan berkumis tersenyum
kepadanya. Pria itu langsung duduk di sebrangnya.

“Gimana Dan? Dapat albumnya?” tanya pria itu sembari menyeruput kopi
tanpa permisi.

“Dapat nih,” balas Hildan sembari mengambil album Nirvana dari tasnya.

“Berapa ini?”

“Gratis!” jawab Hildan sambil tersenyum lebar.

“Hahaha! Aku paham maksudmu. Sudah santai saja, kopimu aku bayar
hari ini.” Sahut pria itu sembari meraih album itu.

“Enggak hanya hari ini aku harap,” ucap Hildan yang kini
menyunggingkan senyumnya.

“Iya-iya, besok dan lusa juga,” jawab pria itu yang membalas dengan
senyum pahit.

“Oh iya, minggu depan ada konser Sheila On 7 di Manahan. Mau nonton
atau enggak?” tanya Hildan masih dengan senyum yang menyungging.

“Ah! Dasar kau ini,” jawab pria itu sembari kembali menyeruput kopi
Hildan. “Kita akan nonton Duta, santai saja,” lanjutnya sambil meletakan cangkir
kopi yang sudah kosong.

4
“Nah! Itu baru Rian,” sahut Hildan sambil terkekeh dan menengok cangkir
kopinya. “Kalau yang ini sih, Rian juga,” lanjutnya.

Rian tertawa keras. “Kan aku yang bayar,” Rian lalu berdiri dan berjalan
meninggalkan Hildan. “Sudah dulu ya Dan, aku mau cek dapur dulu.”

Ucapan itu hanya ditanggapi dengan anggukan dan senyuman oleh Hildan.
Pandangan Hildan kembali mencari sosok gadis pujaannya yang berada di
depannya tadi. Tetapi ia tak menemukan sosok itu. Matanya mulai mencari
dengan panik ke setiap sisi kedai, namun tak ia temukan sosok itu. Hingga saat
lonceng yang berada di atas pintu keluar berbunyi dengan sesosok bidadari tak
bersayap sambil menggendong buku melewatinya. Yang lalu menghilang dari
pandangan tersapu dengan embun di pintu kaca.

Ah! Sial, batin Hildan yang langsung berdiri dan berjalan menuju pintu keluar.

“Dan! Mau pulang?” tanya Rian dari arah barista.

Hildan hanya menoleh lalu mengangguk dan langsung membuka pintu.

Dilihatnya hujan gerimis yang sudah berhenti dengan menyisakan


genangan di trotoar dan di jalan. Matanya kembali menyisir setiap sudut mencari
gadis itu, namun tak ia temukan. Ia berpikir mungkin saja memang sudah saatnya
bidadari itu kembali ke ujung pelangi. Atau mungkin juga memang gadis itu
adalah pelangi yang harus menghiasi langit setelah gerimis disore hari ini. Hildan
hanya berdiri termenung di depan kedai kopi sambil menatap ujung langit yang
perlahan tercipta lengkungan cahaya indah.

“Aku namai kamu, Pelangi.”

***

klik!

5
Tombol play pada sebuah DVD player yang ditekan lalu memainkan lagu
dari Alexa – Jangan Pernah Pergi. Hildan menyenderkan tubuhnya pada tembok
kamar indekosnya sembari menghisap sebatang rokok kretek lalu
dihembuskannya. Ia meletakan rokoknya lalu mengambil sebuah pena dan secarik
kertas.

Minggu ini aku rasa Tuhan sedang gembira

atau mungkin juga Tuhan sedang sedih

aku tidak tahu pasti

minggu ini, entah bidadari itu diturunkan dari


langit atau entah bidadari itu meninggalkan langit hanya untuk
menemuiku

ah! Aku naif sekali

aku bukan siapa-siapa untuk ditemui bidadari

atau mungkin juga, itu benar

aku berterimakasih kepada Tuhan karena menghadirkanmu ke dunia ini

kamu adalah ciptaan-Nya untuk aku puja

pelangi.

Ia lalu menempelkan secarik kertas itu ke dinding indekosnya bersama


dengan ratusan kertas lainnya di sana. Kembali ia hisap sebatang rokok dan
kembali ia hembuskan ke langit-langit lalu ia berimajinasi bahwa kepulan asapnya
membentuk potret wajah dari Pelangi.

Di waktu yang bersamaan pula, ia juga teringat oleh ibunya. Sudah dua
tahun ia meninggalkan rumah untuk bekerja dan hanya pulang saat lebaran saja.
Hildan adalah lulusan Fakultas Seni Rupa program studi seni rupa murni di
sebuah institut seni di kota Jogjakarta. Dulu ibunya sempat melarang dirinya

6
untuk mengambil program studi tersebut, dengan alasan akan susah mendapatkan
pekerjaan formal. Tetapi dengan beberapa kali usaha pembujukan, ibunya
akhirnya mengizinkan karena merasa luluh dengan segala bujukan Hildan.
Walaupun ia sempat nekat kabur dari rumah selama beberapa hari agar ibunya
mengizinkan. Mungkin itu adalah alasan terkuat mengapa ibunya memberi izin.
Tetapi hal seperti itu seakan dibayar tuntas oleh Hildan dengan menjadi
mahasiswa yang bisa dibilang berprestasi dan mampu lulus dengan predikat cum
laude. Dan kini, setidaknya ia mampu menghidupi dirinya sendiri lewat pekerjaan
sampingannya sebagai desainer logo maupun menggambar dan melukis objek.
Kini ia tinggal di Solo karena memiliki ikatan bisnis dengan Rian di sebuah kedai
kopi bernama Mahligai yang mereka rintis bersama.

Sekian kali ia menghisap rokoknya hingga nyaris habis lalu ia mematikan


rokoknya dan kembali mengambil selembar kertas gambar dan berbagai alat
gambar. Ia masih ingat dengan jelas setiap senti dari wajah Pelangi. Ia meletakan
gambaran itu pada selembar kertas kosong yang lalu ia goreskan garis demi garis
membentuk wajah Pelangi yang tengah tersenyum.

Dua jam berlalu setelah ia mulai menggambar, akhirnya wajah itu selesai
dibuat dengan indahnya yang hampir sama dengan aslinya, atau setidaknya seperti
bayangan Hildan. Dengan berbagai simbol love di samping-samping gambar itu,
dengan berbagai kata cinta, dan dengan berbagai kata-kata sok puitis yang bahkan
malah membuat gambar wajah itu sendiri tidak terlalu menonjol dibandingan
dengan ornamen-ornamen tidak penting yang mengelilinginya. Hildan tersenyum
kikuk, berpikir betapa konyolnya dia menambahkan semua oranamen-ornamen
itu.

Ia lalu menyandingkan gambar itu di tembok sejajar dengan gambar


perempuan setengah tua yang tersenyum dan memiliki tahi lalat di sudut mata
kanannya.

7
“Ibu, ia sama cantiknya dengan ibu,” ujar Hildan yang lalu membaringkan
tubuhnya dan tetap memandangi kedua gambar itu. “Apa dia jodoh ibu? Ah! Aku
enggak mau rebutan sama ibu ah, ibu mengalah saja. Jadikan dia menantu saja.”

8
Mengagumi adalah hal terindah dalam mencintai sepenuh hati. Engkau tak perlu
takut ia akan menjauh atau benci akanmu. Yang perlu kau persiapkan hanyalah
hati yang keras kepala. Yang tetap mengagumi meskipun engkau tahu itu tidak
akan cukup. Karena, tidak ada cinta yang tak harus memiliki.

9
HILANG
LALU
DITEMUKAN

Solo sedang beranjak menuju sore yang temaram dengan sayup-sayup suara
kendaraan yang melintasi jalan di depan sebuah bangunan berlantai dua dengan
cat berwarna putih yang mulai memudar. Petikan gitar akustik mengalun perlahan
diiringi dengan suara lirih Hildan yang menyanyikan lagu Lobow – Kau Cantik
Hari Ini. Sambil sesekali ia berhenti bermain lalu menghisap rokok dan melihat
ke arah jam tangannya.

10
Sudah sekitar tiga puluh menit Hildan bermain gitar dan menunggu di
teras indekos, dan sudah menghabiskan empat batang rokok kretek. Hingga saat
ada sebuah mobil berwarna silver berhenti tepat di depannya, barulah ia beranjak
dari kursi dan berjalan mendekati mobil itu dengan ekspresi wajah yang datar.

Kaca mobil turun secara perlahan dan terlihatlah wajah Rian yang tengah
tersenyum. “Maaf kawan,” ujar Rian yang lalu tertawa. “Macet sekali Solo
dijam-jam seperti ini,” lanjut Rian sambil melirik jam tangannya yang
menunjukkan pukul 17:35.

“Solo enggak ada macet,” sahur Hildan ketus masih dengan wajah
datarnya.

“Ayo lah! Nanti telat, enggak dapat bagian depan nontonnya,” ujar Rian
sembari kembali tertawa.

“Kalaupun telat, aku tahu siapa yang harus disalahkan,” sahur Hildan yang
langsung membuka pintu mobil dan masuk ke dalamnya.

“Jalanan Solo?” tanya Rian yang menyunggingkan senyumnya.

“Aku anggap kamu adalah ‘jalanan Solo’ itu.”

***

Suasana stadion Manahan begitu ramai sesak. Itu adalah sebuah konser
amal yang digelar sebuah yayasan non-profit yang membantu kaum difabel.
Hildan dan Rian kesulitan mencari tempat parkir. Mulai terdengar intro lagu Pria
Kesepian yang digenjreng oleh Eros mulai merambat di udara membuat mereka
berdua panik.

“Ah sial kan. Sheila sudah keluar,” gerutu Hildan.

“Santai saja,” sahut Rian santai. “Nah! Di depan ada yang kosong,” lanjut
Rian yang langsung memacu mobilnya.

11
Setelah mereka memarkir mobil, mereka langsung bergegas berlari menuju
kerumunan penonton. Dengan usaha ekstra mereka mampu merangsek masuk
hingga sampai ke tengah-tengah kerumunan. Mereka pun ikut melambaikan
tangan bersama penonton yang lainnya serta bernyanyi bersama.

Rian memasang wajah kecewa dan langsung berbisik kepada Hildan


dengan suara yang keras. “Kita maju lagi ayo!”

“Baiklah! Ayo!” sahut Hildan bersemangat.

Mereka pun kembali merangsek masuk semakin ke depan kerumunan.


Hingga mereka tiba beberapa meter di depan panggung. Hildan pun tak sengaja
menabrak seorang gadis.

“Ah, maaf,” ucap Hildan.

“Enggak apa-apa,” sahut gadis itu saat menoleh ke arah Hildan. “Eh, kamu
yang di toko musik itu ya?” tanya gadis itu keheranan.

Hildan terkejut dengan siapa yang dia tabrak. “Eh, kamu yang di keda.. ah
maksudku toko musik?”

“Iya,” sahut gadis itu dengan senyum lembutnya. “Aneh ya?” tanya gadis
itu masih dengan senyumannya.

“Iya,” jawab Hildan lirih seraya tersenyum.

Hal itu sangat tidak terduga bagi Hildan. Entah garis takdir atau benang
merah macam apa yang kembali mempertemukan dia dengan gadis itu. Di tempat
yang ramai sesak seperti itu, ia menabrak seseorang, dan seseorang itu adalah
gadis yang dipuja Hildan belakangan ini. Hildan sedikit termenung.

“Jadi, nama kamu siapa?” tanya gadis itu yang mambuat kaget Hildan.

“A- aku Hildan,” jawab Hildan sedikit terbata-bata sambil menyodorkan


tangannya.

12
“Aku Viona,” sahut gadis itu sembari menjabat tangan Hildan.

Kembali, kulit lembut yang pernah dirindu Hildan kini dirasakan kembali
olehnya.

“Aku Rian,” ujar Rian yang langsung meraih tangan Viona.

Viona memberikan senyum hangatnya kepada Rian. Dan entah mengapa,


hal itu dirasakan begitu menjengkelkan bagi Hildan.

Setelah itu entah mengapa Viona lebih tertarik untuk berbincang dengan
Rian di tengah kerumunan yang berjingkrak-jingkrak. Hildan sedikit kesal dengan
hal itu, namun ia memilih mengalihkan perhatiannya ke arah panggung ketika
intro gitar lagu Pemuja Rahasia dimainkan. Hildan ikut mengangkat dan
melambaikan tangannya seraya ikut bernyanyi bersama kerumunan.

Setelah konser Sheila On 7 ditutup dengan lagu Kita para penonton pun
membubarkan diri.

“Viona, kamu ke sini naik apa?” tanya Rian sambil berjalan menuju pintu
keluar.

“Aku naik taksi dengan temanku. Tapi sekarang enggak tahu dia ada di
mana,” jawab Viona sambil tertawa kecil. “Sebentar, aku hubungi temanku dulu,”
lanjutnya saat mengeluarkan ponselnya.

Mereka bertiga berdiri di dekat pintu keluar. Hildan masih menyanyikan


lagu-lagu yang dibawakan Sheila On 7 tadi.

“Hei, Dan! Kamu ini kenapa sih?” tanya Rian sembari menepuk punggung
Hildan.

“Ah, hanya ingin asyik saja,” jawab Hildan yang sebenarnya


menyembunyikan kekesalannya.

“Terserah kamu saja,” ujar Rian yang lalu berpaling ke arah Viona.
“Bagaimana temanmu?” tanya Rian ke Viona.

13
“Katanya sudah di pintu keluar,” jawab Viona yang masih memandangi
layar ponselnya.

Hingga tiba-tiba ada seorang yang berteriak ke arah mereka. “Viona!” ucap
seorang gadis berambut panjang berombak dengan celana jeans dan kaos merah
muda dibalut blezer.

“Itu temanku,” ucap Viona yang melambaikan tangannya ke arah gadis itu.

“Vio, naik taksi lagi atau bagaimana?” tanya gadis itu kepada Viona.

“Bareng kita saja,” sahut Rian. “Kami bawa mobil dan hanya berdua.
Daripada repot menunggu taksi. Lagipula ini juga terlalu ramai, pasti susah dapat
taksinya. Iya kan Dan?” ujar Rian yang lalu kembali menepuk punggung Hildan.

Hildan hanya menanggapi dengan anggukan. Dia sebenarnya senang dapat


memiliki kesempatan satu mobil dengan Viona, tetapi dia hanya tidak suka
dengan sikap Rian yang seolah-olah menjadi pahlawan kedua gadis itu. Tetapi
Hildan sudah mafhum dengan hal itu, Rian memang orang yang seperti itu. Rian
adalah Romeo bagi semua gadis di muka bumi ini. Hanya saja baru mencakup
regional Solo saja prestasinya.

“Oh iya, kenalkan temanku. Kiara,” ujar Viona yang lalu di barengi
dengan uluran tangan Kiara kepada Hildan.

Dijabatnya tangan Kiara oleh Hildan seraya berkata. “Hildan.”

“Kiara,” balas gadis itu sambil tersenyum dan melepas jabatan tangannya.

Rian langsung mengulurkan tangannya dan memperkenalkan dirinya.


“Rian.”

“Kiara,” balas gadis itu masih dengan senyum yang sama.

Di dalam mobil, entah mengapa Hildan merasa tidak nyaman. Entah


karena ia kesal karena Viona dan Rian duduk di depan dan hal itu memberikan

14
keleluasaan Rian untuk banyak ngobrol dengan Viona atau karena Hildan harus
duduk di bangku belakang dengan orang yang tidak dia kenal.

Kiara hanya memandangi jalan melalui kaca mobil yang perlahan-lahan


berembun karena cuaca mulai gerimis. Sejenak ia menoleh ke arah yang
berlawanan dan dilihatnya Hildan yang juga sedang memandangi jalan melalui
kaca mobil. Dipandanginya sosok Hildan dengan seksama. Mulai dari rambut ikal
sebahu Hildan yang di sela-sela rambutnya mengintip cahaya keemasan dari
lampu kota. Hingga brewok Hildan yang tidak tecukur rapi yang memberikan
kesan maskulin terhadapnya. Saat ia mengalihkan pandangan ke tangan Hildan
yang menyangga dagunya, dilihatnya sebuah bekas jahitan di pergelangan tangan
Hildan.

“Hildan, tangan kamu kenapa?” tanya Kiara yang penasaran dengan bekas
jahitan di tangan kanan Hildan.

Hildan menengok ke arah Kiara dan lalu melihat tangan kanannya sendiri.
“Oh, ini dulu waktu kecil aku jatuh dari sepeda,” jawab Hildan datar yang
kemudian kembali mengalihkan pandangannya ke jalanan.

Kiara hanya mengangguk paham karena rasa penasarannya sudah hilang.

“Eh, bagaimana kalau kita mampir ke kedai kopi dulu? Mumpung hujan
seperti ini, paling enak minum kopi,” ujar Rian yang menoleh ke kursi belakang.

“Aku mau,” balas Viona. “Bagaimana Ra?” tanya Viona kepada Kiara.

“Aku ikut kamu saja Vi,” sahut Kiara.

Mobil mereka pun berhenti di depan kedai kopi Mahligai. Dan mereka pun
turun dari mobil dengan terburu-buru menghindari guyuran hujan yang mulai
deras.

ting!

15
Lonceng di atas pintu pun berbunyi ketika Rian membuka pintu dan masuk
ke dalam yang lalu diikuti oleh Viona, Kiara, dan Hildan.

“Kalian mau duduk di mana?” tanya Rian.

“Di sini saja,” jawab Viona yang langsung duduk di bangku di depan
barista.

“Mau minum kopi apa?” tanya Rian yang langsung duduk di samping
Viona.

“Mocca saja.”

“Kalau kamu Ra?” tanya Rian kepada Kiara.

“Aku enggak terlalu suka kopi, yang tidak terlalu pahit saja.”

“Latte saja ya?”

“Iya, enggak apa-apa.”

Rian lalu memanggil barista dan menyebutkan pesanannya.

“Loh, Hildan enggak ditawari?” tanya Viona yang menoleh ke arah Hildan
yang sudah duduk di sudut kedai di samping jendela.

“Barista di sini sudah tahu kesukaan Hildan,” jawab Rian.

Kiara langsung berjalan mendekati Hildan dan duduk di sebrang Hildan.

“Masih ada kedai kopi yang buka hingga jam sebelas seperti ini ya,” ujar
Kiara.

“Kedai ini buka dua puluh empat jam,” sahut Hildan datar.

“Memangnya kenapa harus buka terus? Kan sepi, sekarang saja hanya kita
berempat pelanggannya.”

16
“Kedai ini dibuat untuk orang-orang yang ingin berkumpul bersama teman
atau keluarganya, dan juga untuk orang-orang yang merasa sepi,” ujar Hildan.

“Maksudnya?”

“Sebagian orang ingin sendiri dan hanya ditemani secangkir kopi ataupun
buku. Entah kapan pun itu, kedai ini siap menunggu mereka,” jawab Hildan.

“Pantas saja di sini banyak buku,” sahut Kiara yang melihat rak-rak buku
di dinding kedai. “Kamu sering ke sini?” tanya Kiara dengan rasa penasarannya
yang tinggi.

“Sering,” jawab Hildan datar.

***

Tubuh Viona dibalut selimut di dalam kamar indekosnya. Matanya tertuju


pada layar ponsel dengan jemari yang menari-nari di atasnya. Sesekali ia tertawa
kecil ketika membaca sebuah pesan dari ponselnya. Berulang kali ia
membolak-balikan tubuhnya, entah karena tidak nyaman atau karena merasa
terlalu asyik dengan aksinya berbalas pesan dengan Rian.

Rian yang tengah duduk di depan sebuah komputer di kamarnya juga


sesekali tertawa ketika membaca balasan pesan Viona. Entah apa yang mereka
bahas, apakah itu kisah hidup Charlie Caplin atau kisah Sule. Tetapi yang jelas
bahasan mereka mampu menyita dunia mereka. Membuat mereka larut dengan
barisan huruf itu. Kalau yang cupid katakan, mereka adalah sepasang merpati
yang sedang dimabuk asmara.

Tetapi berbeda dengan keadaan Hildan yang hanya sendirian di kamar


indekosnya. Dengan gitar di pelukannya, ia mulai memetik satu-persatu senar
gitarnya. Lalu melodi lagu Peterpan – Semua Tentang Kita pun mulai terasa
familiar di telinga siapapun. Sembari bernyanyi, Hildan memandangi sebuah
potret lukisan pensil yang tertempel di dindingnya. Suara Hildan yang terasa
serak-serak basah terdengar begitu indah ketika ia bernyanyi dengan gaya Ariel.

17
Hingga pada saat reffrain ia langsung berdiri dan bernyanyi dengan suara yang
keras dan nada yang tidak karuan.

“Kita enggak pernah bersama!” teriak Hildan yang seketika langsung


membanting gitarnya ke kasur.

Hildan langsung merebahkan badannya di samping gitar dan kembali


melanjutkan nyanyiannya.

“Viona lagi ngapain ya?” tanya Hildan ketika memandang langit-langit


kamarnya.

Hingga saat sebuah gelegar petir menyambar keheningan di kamarnya


membuat Hildan langsung bersembunyi di balik selimut dengan tetap mengingat
Viona.

***

Hari-hari terus berlalu di bawah langit Solo yang sering hujan di bulan
Desember. Sejak dari bertemu di konser Sheila On 7, Rian dan Viona semakin
ketara kedekatan mereka. Bahkan seminggu setelah pertemuan pertama mereka,
Rian bercerita bahwa dia akan pergi nonton dengan Viona pada malam Minggu.
Hildan membara di kepalanya, berpikir bahwa seharusnya dia yang ada di
samping Viona ketika menonton film horror dan menjadi bahu untuk Viona ketika
ia tak berani menatap layar bioskop yang menyeramkan. Atau menjadi jemari
yang menyuapi Viona popcorn hambar, atau juga menjadi tangan yang mendekap
jemari Viona yang bergetar ngeri. Dan lebih baik lagi menjadi semua dari
kombinasi itu.

Tetapi sebagai teman, ia berpikir untuk tidak egois. Ia mencoba bersikap


biasa saja, tidak marah dan tidak juga mendukung Rian. Meskipun di dalam
hatinya, ia tidak rela dengan apa yang terjadi. Gadis pujaannya, kini seolah berada
di pelukan orang lain yang tidak lain adalah sahabatnya sendiri.

18
Sore itu tengah hujan di akhir bulan Desember di kota Solo. Rintik hujan
mengetuk-ngetuk kaca jendela kedai kopi di samping Hildan yang tengah larut
dalam imajinasinya kala ia menatap barisan kata di lembar ke seratus enam puluh
lima pada novel di tangannya. Novel itu mengisahkan tentang seorang ksatria
yang mengalahkan seekor naga buas untuk menyelamatkan sang putri yang
ditawan oleh sang naga. Hildan sejenak berimajinasi dengan menempatkan
dirinya sebagai sang ksatria dengan Viona sebagai sang putri dan tentu saja Rian
sebagai si naga. Egois memang, tetapi Hildan sedang suka dengan keegoisan itu.

Entah iri dengan keadaan si Rian yang mendapatkan perhatian lebih dari
Viona ataukah benci dengan sikap si Rian yang seolah menjadi sok lelaki idaman.
Sejenak Hildan bergulat dengan opini itu, tetapi tiba-tiba saja satu opini yang kuat
membanting keras mereka. Sebuah opini yang menyatakan bahwa Hildan tak
cukup berani untuk menunjukkan rasa kagum dan sukanya kepada Viona seterang
cara Rian.

Hildan yang cukup lelah dengan pergulatan itu langsung menutup


novelnya dan meneguk secangkir kopi hitam yang nyaris dingin.

Sedikit mengecap bibirnya ketika pahit begitu menusuk ujung lidahnya.


Lalu ia letakan cangkir kopi itu dan menolehkan kepalanya ke arah jendela kaca.
Dilihatnya rintik hujan yang melambat dan melembut. Ia menanti pelangi di ujung
langit yang mungkin saja di temani juga oleh redup sinar jingga mentari yang
bersembunyi di balik awan mendung yang berarak ke Barat.

“Dan!” tegur seorang pria yang langsung duduk di hadapan Hildan. “Viona
mau ulang tahun Minggu nanti. Enaknya ngasih hadiah apa ya?”

Hildan sedikit kesal dalam hatinya, karena Rian kembali menjadi sok lelaki
idaman dan kenapa dia tidak tahu hari ulang tahun Viona. “Yang dia suka,” jawab
Hildan datar.

“Iya apa kira-kira?”

19
Hildan kembali kesal, bagaimana Rian tidak tahu apa yang disukai Viona,
“Sudah jelas-jelas novel dan musik 90’an!” batin Hildan, tetapi ia malah berkata
yang lain. “Kenapa tidak tanya dia saja?” ujar Hildan masih dengan nada
datarnya.

“Masa’ harus tanya dia? Nanti enggak surprise lagi,” sahut Rian.

“Tanya Kiara,” entah kenapa Hildan malah memberikan saran yang


membuatnya sedikit kesal karena seakan memberikan Rian peluang untuk bisa
benar-benar menjadi lelaki idaman.

“Ide bagus! Kopimu gratis!” ujar Rian yang langsung berlalu pergi.

“Kopiku memang selalu gratis di sini,” ujar Hildan masih dengan nada
datar.

Rian hanya tertawa ketika suaranya perlahan tenggelam di balik pintu


dapur kedai kopi.

Hal itu membuat Hildan berpikir juga untuk memberikan hadiah kepada
Viona di hari Minggu nanti. Dan kini malah ia yang dibuat bingung dengan
masalah hadiah itu. Ia bingung untuk menentukan novel ataukah album musik.
Lalu ia putuskan untuk memilih keduanya saja, tetapi kembali ia bingung memilih
novel apa dan album musik apa. Hingga kopinya surut dan menyisakan kumpulan
bubuk kopi pahit yang mengendap di dasar cangkir, ia masih belum tahu apa yang
benar-benar disukai Viona dari kedua hal tersebut. Entah mengapa ia malah
menjadi orang yang terlalu berpikir keras.

Hingga pada saat yang bersamaan sebuah tepukan pada bahu dan suara
seorang gadis menyadarkannya dari lamunan. “Kamu ngapain Dan?” tanya gadis
itu yang lalu duduk dan meletakan secangkir latte di depannya.

“Oh, Kiara. Lagi ngopi ini,” jawab Hildan datar saat melihat Kiara yang
sudah duduk di sebrangnya dengan kepulan asap putih tipis menari-nari di
depannya.

20
“Ngopi apanya? Gelasmu kosong,” ujar Kiara sembari tertawa kecil yang
juga hanya dibalas tawa kecil dari Hildan yang lalu memalingkan pandangannya
ke kaca jendela.

Menit selanjutnya menjadi hening, tak ada suara selain lagu Peterpan –
Jauh Mimpiku yang mengisi penuh kedai kopi itu karena memang kedai itu
sedang sepi. Kiara yang sibuk meniup-niup lattenya dan Hildan yang menyibukan
diri dengan gerimisnya.

Hingga datang sebuah usaha dari Kiara untuk memecah keheningan yang
memekakan telinganya. “Minggu nanti kosong enggak, Dan?” tanya Kiara yang
selesai menyeruput lattenya.

Hildan menghela nafasnya sejenak guna menentukan pikiran. “Enggak


tahu,” jawabnya singkat.

“Emm, kita nonton yuk?” ajak Kiara sembari meletakan cangkir lattenya.
“Ada film bagus yang tayang,” lanjutnya bersemangat dengan senyuman.

Hildan kembali berpikir sejenak, membandingkan kondisi di mana dia


akan mati bosan dengan tumpukan novel di kamar indekosnya dan
membayangkan Viona yang tengah berbahagia dengan Rian atau lebih baik pergi
menonton dengan Kiara dan setidaknya membuat dia lupa dengan alur cerita dari
Rian dan Viona di malam Minggu nanti.

Hingga sebuah anggukan tanda setuju yang di sahut Kiara dengan senyum
lebar dan ungkapan “Yes!” yang entah mengapa juga menyulut senyum Hildan
sore itu.

Hildan memperhatikan wajah Kiara yang berseri setelah ajakannya untuk


pergi menonton ia setujui. Ia tak pernah memperhatikan Kiara sebelumnya, meski
sering sekali Kiara berada di dekatnya akhir-akhir ini. Hildan tak ingin merasa
ge’er, meski sebenarnya Kiara dengan terang-terangan mencoba mendekati
Hildan. Entah karena rasa itu atau karena memang hatinya sedang tertambat pada
gadis lain sehingga tidak terlalu menanggapi Kiara dengan serius, ia hanya

21
membalas sms dan obrolan Kiara sekadarnya saja. Ia menganggap itu adalah hal
biasa yang dilakukan seorang teman, menyapa selamat pagi dan selamat tidur
setiap hari. Bahkan Hildan juga baru saja sadar bahwa Kiara cukup sering
menemuinya di kedai kopi setiap sore hari, meski hanya untuk mengobrol dan
ditanggapi dengan dingin olehnya.

Dan saat Kiara menangkap basah tatapan penasaran Hildan yang sedari
tadi menatapnya ketika meminum lattenya, lalu sebuah senyum dengan busa latte
yang menempel di bibir Kiara merekah. Senyum yang seolah berkata
”Membekulah, aku akan menunggumu luluh.” Hildan hanya tersenyum kikuk
ketika rona merah meliputi pipinya yang kecoklatan dan ditumbuhi brewok yang
tidak rata.

“Aku cantik ya Dan?” ujar Kiara sedikit menggoda.

Hildan hanya tertawa kecil lalu mengalihkan pandangannya ke novel yang


kembali ia buka pada halaman seratus enam puluh lima.

“Ihh! Jawab Hildan!” ujar Kiara sembari mencubit tangan Hildan.

Hildan langsung menarik tangannya dan memperhatikan wajah Kiara yang


disinari cahaya keemasan dari lampu gantung di atas mereka. “Iya, kamu cantik,”
jawab Hildan yang kembali fokus pada novelnya. “Tapi lap dulu bibirmu yang
belepotan itu.”

Kiara hanya tersenyum malu dengan pipinya yang memerah. Lalu ia


menyandarkan sikunya pada meja lalu menyangga dagunya. Kini gantian Kiara
yang memperhatikan Hildan. Hildan yang melirik ke arah Kiara sedikit merasa
canggung dengan pandangan Kiara, ia lalu mengangkat novelnya hingga
menutupi wajahnya sembari sedikit tersenyum yang lalu tenggelam di balik novel.
Kiara hanya tertawa kecil dengan tingkah laku Hildan. Di balik novelnya, Hildan
kembali tersenyum. Di dalam hatinya ia tertawa atas kekikukan yang
dilakukannya barusan.

22
Begitulah sore itu berlalu yang ditemani sinar jingga yang mengintip di
balik awan mendung bersama embun di kaca jendela.

***

Tiga hari berlalu sejak ajakan Kiara sore itu dan Hildan tak pernah bertemu
atau bahkan berbalas pesan lagi. Entah hal apa yang membuat Hildan memikirkan
hal itu. Kamar Hildan terletak di ujung koridor yang dibatasi dinding setinggi satu
meter yang kini sedang didudukinya Hildan dengan pikiran yang bergelayut
tentang mengapa ia memikirkan Kiara malam itu. Koridor itu terasa sunyi dan
gelap, memang karena penghuni kamar lainnya sangat jarang keluar kamar dan
juga kebanyakan dari mereka sibuk dengan urusan mereka masing-masing.
Bahkan Hildan nyaris tidak kenal dengan sebagian penghuni indekos yang
lainnya.

Ia menyalakan sebatang rokok kretek favoritnya, lalu membiarkan asap


putih menari-nari di dalam mulutnya hingga akhirnya ia hembuskan. Ia berpikir,
apakah ini sudah saatnya ia melupakan Pelangi yang anggun dan indah lalu
beralih pada latte yang manis dan lucu? Kembali ia hisap sebatang rokoknya, kini
cukup lama ia menghisapnya sehingga semakin banyak pula asap putih yang ia
hembuskan. Ia mencoba membandingkan antara Viona dengan Kiara. Dengan
tidak subjektif tentunya. Ia mencoba menjadi orang lain dengan pandangan luar
dari keduanya. Viona yang selalu anggun dengan kaos oblong, rambut poni
sebahu, dan kacamata bundar melindungi matanya yang disanggah sebuah hidung
mungil. Kiara yang lebih terlihat dewasa yang juga sering mengenakan kaos
oblong berwarna monokrom dan celana jeans serta rambut panjang tergerai dan
hidung mancung yang terkadang menjadi pusat perhatian orang-orang. Yang kalau
orang bilang, Kiara seperti blasteran Indo-Eropa. Penampilan yang sangat
berbeda, sifat mereka pun sangat berbeda pula. Viona yang lebih anggun dan tidak
banyak bicara dan lebih menyukai ketenangan dan novel. Lalu Kiara yang sangat
supel, ceria dan tahu bagaimana menempatkan diri pada situasi tertentu. Sebagian
dari diri Hildan lebih condong kepada Viona, entah karena kegoisannya yang

23
memang sudah tertambat pada Viona atau entah karena Hildan sangat penasaran
dengan diri Viona. Berbeda dengan Kiara yang cukup sering menceritakan dirinya
kepada Hildan. Ia mencoba mengingat-ingat lagi, bahwa Kiara pernah bercerita
bahwa dia suka dengan es krim vanilla, yang katanya tidak terlalu manis dan tidak
membuat gemuk. Hildan juga ingat bahwa dirinya sering tidak terlalu
menganggap penting obrolan Kiara itu, sehingga sering kali ocehan Kiara
dianggap tidak penting yang lalu dilupakan olehnya. Tetapi di saat seperti ini, ia
malah ingat betul setiap hal yang pernah diceritakan Kiara.

Kembali ia hisap sebatang rokok lalu dihembuskannya kembali. Hildan


kini menyimpulkan, bahwa keduanya berbeda sehingga tidak bisa dia bandingkan.
Bahwa keduanya cantik dan menarik melalui cara mereka sendiri.

Mungkin memang saatnya Hildan melupakan rasa terhadap Viona dan


merelakannya untuk sahabatnya, Rian. Lalu ia harus memilih hati lain untuk
ditinggali, wanita yang jelas-jelas tertarik kepadanya, Kiara.

Seketika lamunannya berhenti ketika ponsel monokromnya bergetar tanda


sebuah pesan masuk ke dalamnya. Ia baca pesan yang dikirim oleh seseorang
dengan nama Fatur, “Dan, buat band lagi, ayo? Ada festival besar Maret nanti!”

24
KAMU, TUJUANKU?

Hujan tengah memeluk bumi Solo pagi ini. Dengan ditemani dengungan suara
katak yang seolah memanggil hujan agar terus-menerus datang dan membasahi
mereka, Hildan sedang menghisap sebatang kretek yang ia selipkan di sela jari
tangan kanannya. Ia sedang berdiri bersandar di sebuah jendela kayu yang
terbuka. Melihat hujan di luar sana sembari menikmati hangat bakaran tembakau
di mulutnya. Ia melirik ke arah jam dinding di belakangnya, ‘sudah pukul dua
pagi’ ucapnya seraya kembali menghisap kreteknya.

25
Sudah lebih dari dua jam Hildan bersandar di jendela memandangi langit
gelap Solo yang temaram di tutupi mega yang sedang menangis sambil sesekali
kilatan menyilaukan dan mengagetkan. Benak Hildan melayang jauh seakan
menembus mega gelap yang sedari tadi dipandanginya. Ia memikirkan ajakan
kawannya, Fatur, untuk kembali membuat band.

Fatur adalah sahabat Hildan sejak SMP hingga SMA, mereka memiliki
persahabatan yang sangat erat. Dari Fatur lah, Hildan, tertarik ke dalam dunia
musik. Atau mungkin lebih tepatnya, ia terpengaruh karena Fatur selalu
menceritakan tentang band-band terkenal dengan karya mereka lalu menceritakan
makna dari setiap lagu mereka. Bahkan ia sering kali menceritakan tentang
gosip-gosip personel band itu. Entah mungkin Hildan memang tertarik dengan
dunia musik, atau lebih karena Hildan suka dengan menulis lirik, atau karena
ajakan dan iming-iming akan menjadi seperti mereka yang setiap hari Fatur
bicarakan setiap kali bertemu, akhirnya Hildan sepakat untuk membuat band saat
menginjak kelas satu SMA dengan Fatur yang mereka sebut dengan Hopefull
band.

Ada dua hal yang kontras namun terjadi searah dan bebarengan dengan
terbentuknya hal itu. Hildan bingung bagaimana bisa hal seperti itu terjadi.
Mereka membuat band yang membuat mereka semakin akrab, tetapi sekaligus
membuat mereka semakin menjauh karena ayah Hildan tidak setuju dengan
pilihan yang mereka buat.

Hildan menghisap kembali tembakau yang nyaris memutih di ujungnya


untuk terakhir kali sebelum ia matikan kretek itu. Sembari mengingat kembali
betapa kolotnya, betapa bebalnya ayahnya saat itu. Dengan dalih tidak akan
sukses, ayahnya melarang keputusannya.

Hildan sendiri yang saat itu juga sangat kolot dan idealis bahwa ia akan
sukses dengan jalan yang ia pilih, beradu keras-kerasan kepala dengan ayahnya.
Hingga ia nekat untuk kabur dan meninggalkan sekolahnya. Dan mulai saat itu,
ayah Hildan melarangnya untuk berinteraksi dengan Fatur yang dianggap

26
mencekoki paham yang buruk : terlalu bebas. Dengan setiap larangan dan
kekangan yang di berikan kepada setiap anak muda, pasti belenggu itu akan
dihancurkan oleh semangat api membara yang berbahan bakar idealisme tanpa
pikir panjang yang saat itu dilakukan oleh Hildan.

Hildan berpikir bahwa ayahnya saat itu ada benarnya juga. Kenyataannya
memang benar, band yang ia buat mampu memuaskan egonya ketika mereka
berhasil manggung ke beberapa festival, tetapi di balik kesuksesan band
amatirnya, studinya malah berantakan. Mulai dari sering tidur di kelas karena
harus latihan hingga larut malam, hingga lebih memilih bolos sekolah dan
manggung di festival. Tetapi untungnya di detik-detik terakhir menjelang ujian
kelulusan, dirinya menepi dari Hopefull dan fokus pada studinya setelah
mendengar pesan dari ibunya yang sedang menyapu saat ia sedang bermain gitar
di teras rumah. “Impian memang penting, tetapi pendidikan dan belajar jauh lebih
penting daripada sekedar mengejar impian dengan membati buta”. Perkataan yang
pada saat itu ia hiraukan dan tetap cuek memainkan lagu Iwan Fals, hingga saat
beberapa hari berikutnya di mana sang ibu jatuh sakit dan di diagnogsis terkena
serangan jantung ringan. Langsung saja kata-kata Ibunya waktu di teras rumah itu
kembali terngiang.

Dengan pikiran bebalnya, ia mencoba menyingkirkan semua ambisi dan


egonya lalu menyisihkan tempat demi sebuah kata, “demi orang tua” yang lalu
menjadi alasannya menepi dari dunia musik yang ia geluti, dan agak menjauh dari
Fatur karena takut akan tergoda dengan ajakan bermain musik lagi.

Sejak saat itu, Hildan menjadi orang yang terlalu tertekan pada sebuah
tuntutan yang salah ia artikan : demi orang tua. Hingga pada suatu saat, ayahnya
menggugat cerai ibunya. Dan semua hal yang dari dulu disalahkan kejadiannya
karena Hildan, berubah menjadi suatu hal yang kini disalahkan kepada ayah
Hildan. Ia menganggap bahwa dirinya diberi beban yang terlalu berat hanya untuk
pelampiasan ayahnya yang saat itu juga sering bertengkar dengan sang ibu.

27
Sehingga ia harus menelan mentah-mentah segala tuntutan dan segala kemarahan
yang tidak bisa ia penuhi hanya demi menjadi sasaran pelampiasan ayahnya.

Tetapi apa mau dikata, jarak Fatur dengan Hildan sudah terlalu jauh.
Fatur merasa diludahi tepat di wajahnya oleh ayah Hildan saat mereka ketahuan
sedang manggung di sebuah festival sekolah. Hildan yang ditarik paksa untuk
turun dari panggung hanya pasrah dengan tertunduk malu, tetapi Fatur saat itu
membela Hildan, tetapi malah dibentak dan dihina oleh ayah Hildan di atas
panggung. Ayah Hildan menghina keluarga Fatur dengan menyebutkan segala
keburukan paham yang dianut keluarganya karena keluarga Fatur adalah sayap
kiri. Ayah Hildan yang seorang tentara tentu paham betul bagaimana cara
menghina penganut paham komunis itu dengan telak.

Meski beberapa minggu setelah perceraian orangtuanya, Hildan sempat


meminta maaf kepada Fatur. Memang saat itu Fatur memaafkan, tetapi hubungan
pertemanan mereka sudah terlalu renggang akibat dilerai paksa oleh sebuah
hinaan. Dan setelahnya, Hildan tak pernah lagi berhubungan dengan Fatur dan tak
pernah lagi bermain musik. Tetapi saat masuk masa perkuliahan, mereka kembali
bertemu dan kembali dipersatukan oleh pikiran dewasa mereka. Meski tidak
sampai bermain lagi dalam satu band, mereka masih berteman baik hingga
mereka kembali berpisah karena kesibukkan masing-masing setelah lulus kuliah.

Dan entah mengapa Hildan malah jauh memikirkan kekelaman masa


lalunya hanya karena mendapat tawaran bermain musik lagi, bukan karena Fatur
ataupun musiknya, tetapi karena ayahnya. Ia menginjak puntung rokoknya dengan
penuh amarah seraya bergumam dan diakhiri dengan ucapan, “bajingan!” yang
ditujukan kepada laki-laki bertubuh besar dengan pakaian dinas yang kini berdiri
dengan mimik marah di dalam benaknya.

Hildan mengeluarkan pemantik apinya yang lalu ditujukan ke arah


sebatang rokok kretek yang sudah terselip di sela bibirnya. Lidah api menjilati
ujung kretek itu sehingga munculah kepulan asap putih penenang yang
dihembuskannya perlahan. Ia kembali mengingat pesan ibunya tentang tidak harus

28
membenci orang yang menyakiti kita separah apapun. Ibunya pernah berkata,
“dunia ini sempit nak, tapi ramai”. Sebuah perkataan yang hingga kini masih
bergelayut di benaknya, apa arti dari kata itu. Hildan lalu berjalan perlahan dan
meraih ponselnya yang tergeletak di atas meja. Wajahnya tersinari warna
monokrom yang terpancar menyilaukan di tengah kegelapan kamar indekosnya.
Seketika nada dering menyambungkan terdengar nyaring.

“Selamat pagi, bu.” Ucap Hildan dengan suara lirih seolah tak mau
terlalu menggangu.

“Pagi juga nak,” sahut sebuah suara lembut di ujung sana. “Ada apa
pagi-pagi begini nelpon ibu?”

“Bu,” jawab Hildan yang kemudian berhenti sejenak. “Ibu rindu bapak?”
lanjutnya dengan suara bergetar.

Entah mengapa Hildan membangunkan ibunya pagi-pagi buta seperti ini


dan malah menanyakan hal yang sudah pasti akan membuat ibunya terluka sepagi
ini.

***

Belaian lembut sinar mentari meraba pipi Hildan melalui jendela kaca
yang terbuka. Cukup terasa hangat hingga membuat Hildan beranjak dari
posisinya dan berpindah ke tempat yang gelap lalu menutup wajahnya dengan
bantal. Sebuah dering handphone kembali mengganggu tidurnya. Dengan niat
yang setengah-setengah ia meraih handphone dan membuka sebuah pesan dari
Kiara. “Bangun!!!”

Dengan wajah malas Hildan kembali menutup wajahnya dengan bantal.


Hingga kembali handphonenya berdering lagi, kali ini sebuah panggilan masuk
dari Kiara. Hildan menjawab panggilan itu dan hanya menempelkan
handphonenya ke telinganya.

29
“Hey! Ayo, sudah siang ini,” teriak suara di ujung sana dengan nada
kesal. “Katanya mau nonton?!”

Hildan hanya berdengung dan seakan tidak menghiraukan omelan Kiara.

Tok! Tok! Tok!

Pintu indekos Hildan diketuk berkali-kali dengan suara yang bahkan


lebih bising dari demonstran di hari buruh. Hildan langsung beranjak dari tempat
tidurnya dengan raut wajah kesal, lalu membuka pintu. Didapatinya Kiara yang
sudah berdiri di ambang pintu dengan setelan necis serba hitam, berbanding
terbalik dengan Hildan yang hanya mengenakan celana pendek tanpa kaus dengan
aroma tubuh khas laki-laki saat bangun tidur. Kiara langsung menutup matanya
dan membanting pintu tepat di depan Hildan.

“Cepet mandi!” teriak Kiara di balik pintu.

“Iya,” sahut Hildan dengan nada kesal.

Sekitar lima belas menit Kiara berjalan mondar-mandir di lorong depan


indekos Hildan dengan raut wajah kesal. Hingga kembali ia mengetuk pintu
kamar Hildan, berbarengan dengan Hildan yang membuka pintu hingga nyaris
tangan Kiara mengetuk wajah Hildan.

“Sabar donk,” ujar Hildan yang keluar kamar dan mengunci pintu.

Kiara sedikit terpana dengan penampilan Hildan yang meski sangat tidak
rapi dengan kaus hitam polos dibalut jaket denim dan celana jeans yang robek di
bagian lututnya. Bahkan rambutnya tidak disisir rapi. Tetapi entah mengapa, justru
penampilan Hildan yang seperti itu malah membuat Kiara terpesona kepada
Hildan.

“Hey, jadi atau enggak?” tanya Hildan yang mengagetkan Kiara.

Dengan sedikit tersipu Kiara mengangguk dan lalu berjalan pergi.

30
Hildan hanya mengernyitkan alisnya yang lalu tersenyum melihat
tingkah Kiara yang berjalan teruburu-buru.

Solo begitu indah siang itu bagi Kiara. Dibonceng Hildan meski hanya
dengan motor tua yang tak bisa mengebut, Kiara seolah merasa sedang menaiki
kereta kuda paling mewah di kerajaan. Tangannya perlahan mulai menggenggam
ujung jaket Hildan, lalu tubuhnya pun perlahan jatuh ke depan dan menyender ke
punggung Hildan. Hanya senyum dan mata yang terpejam yang dilakukan Kiara
selanjutnya. Hildan pun juga hanya tersenyum saat merasa punggungnya disenderi
Kiara. Dan entah mengapa perasaan berdebar kini membara di dada Hildan.
Kemacetan di kota Solo yang biasanya membuat Hildan memaki tanpa henti saat
terjebak di dalamnya, kini malah membuat Hildan betah berlama-lama terjebak di
antara besi, deru, dan debu.

Setelah hampir satu jam perjalanan, mereka telah sampai di bioskop.


Sekarang, ego mereka harus diuji, dengan memilih film apa yang akan ditonton.

“Kita nonton drama saja ya?” ajak Kiara.

“Ah, aku enggak suka yang lebay-lebay.”

“Yasudah, horror ya?”

“Aku enggak mau bayar hanya untuk ditakut-takuti.”

“Action?”

“Sedang kurang mood.”

“Sebenarnya kamu mau nonton sama aku enggak sih!?”

“Enggak sih,” sahut Hildan dingin. “Kamu ikut aku saja, yuk.” Lanjut
Hildan yang langsung menggandeng tangan Kiara.

Mereka kembali ke motor dan keluar dari mall.

“Kita mau kemana?” tanya Kiara penasaran.

31
“Ini jauh lebih asyik dan lebih murah daripada duduk diam di bioskop.”

Lalu mereka kembali melaju di jalanan kota Solo, menuju ke keramaian


kota. Mereka berhenti di depan sebuah taman yang agak remang cahanya.

“Sri Wedari?” tanya Kiara keheranan.

“Iya, kita bisa lebih berkhayal daripada hanya menonton film.”

Kali ini Kiara berjalan di belakang Hildan yang tengah berjalan dengan
riang. Bahkan ia berjalan seolah di atas seutas tali sambil menjaga keseimbangan
dan hal-hal konyol lainnya. Tetapi melah membuat Kiara yang sedari tadi
dipenuhi rasa penasaran, kini malah tersenyum dan tertawa melihat tingkah
Hildan.

“Kita sudah sampai.”

“Buku?”

“Iya, buku.”

Kiara sedikit tidak paham dengan maksud Hildan.

“Kita baca buku, lalu berkhayal. Itu lebih indah daripada harus menonton
film dan membayar mahal.”

Deretan lapak penjual buku berjajaran di tepi jalan. Mulai dari buku
pelajaran, novel, sastra, hingga kitab suci dijual di sana.

“Kau suka Pramodya Ananta Toer tidak?” tanya Hildan.

“Ehh,” jawab Kiara yang bingung dengan siapa itu Pramodya.

“Kalau W.S Rendra?”

“Aku enggak tahu siapa mereka.”

32
“Hmm, jadi kamu awam ya,” Ucap Hildan sambil menahan dagunya.
“Baiklah, aku tahu buku yang cocok untuk kamu. Tunggu di sini.” Ucap Hildan
yang langsung pergi.

Tak lama Hildan kembali sambil menyembunyikan sesuatu di balik


badannya.

“Tadaaa!”

“Buku gambar?” tanya Kiara keheranan.

“Ikut aku.”

Hildan lalu menuntun Kiara berjalan menuju sebuah pohon beringin yang
sangat rimbun. Lalu mereka duduk di sebuah bangku di bawah lampu kuning
temaram.

“Kamu bisa gambar?” tanya Hildan.

“Enggak.”

“Kamu awam sekali ya.” Ucap Hildan sembari tersenyum.

“Maafkan aku.” Sahut Kiara yang juga tersenyum lalu tertawa.

“Yasudah, aku ajari.”

Lalu mereka menggambar apapun yang mereka lihat. Sungguh sebuah


karya yang sangat abstrak. Campuran antara gambar amatir dan profesional.
Hildan menggambar sebuah angkringan dan Kiara menggambar seekor kucing
raksasa di atasnya. Hildan menggambar seorang pengamen, yang lalu ditambahi
Kiara dengan gitar raksasa di punggungnya. Hildan menggambar bintang, dan
Kiara menggambar matahari.

“Kenapa matahari? Ini kan malam, kamu lihat matahari?” tanya Hildan
keheranan yang masih sibuk dengan pensil di tangannya.

“Lihat.” Jawab Kiara sambil tersenyum.

33
Setelah satu kertas gambar ukuran A3 terisi penuh dengan coretan,
Hildan menutup bukunya lalu beranjak dari bangku.

“Mau kemana lagi?” tanya Kiara.

“Kamu takut ketinggian?”

“Enggak.”

“Bagus! Kamu satu langkah lebih dekat menuju ketidakawaman.”

Lalu mereka berjalan masuk ke sebuah taman bermain. Menuju ke


sebuah biang lala. Lalu mereka masuk, duduk berhadapan, dan berputar ke atas ke
bawah. Kali ini mereka sunyi. Masing-masing melihat ke arah yang berbeda.
Menikmati semilir angin udara malam, dan pemandangan kota di atas biang lala
yang berputar perlahan. Hingga saat mereka turun, barulah mereka kembali saling
berbicara.

“Selanjutnya apa?” tanya Kiara.

“Sesuatu yang lucu dan berputar.”

“Komedi putar?”

“Benar!”

Lalu mereka berjalan menuju komedi putar yang dihiasi berbagai lampu
kerlap-kerlip. Masing-masing menaiki kuda mereka sendiri. Dan entah mengapa,
Hildan memilih untuk menaiki kuda poni berwarna merah muda, lalu berlagak
macam cowboy.

Kiara yang tak tahan melihat tingkah Hildan tak sanggup menahan
tawanya. Lalu Kiara mengambil kamera saku dari tasnya lalu memanggil Hildan.

“Hildan!”

34
Saat Hildan menoleh, Kiara langsung menjepretkan kameranya.
Menangkap pose wajah Hildan yang tengah menoleh ke belakang dengan wajah
tololnya.

“Hey! Ulangi lagi. Aku belum gaya.”

“Biarin.” Ucap Kiara yang lalu menjulurkan lidahnya mengejek Hildan.

Semakin larut mereka bersenang-senang di taman bermain hingga


mereka kelelahan. Kini mereka duduk sambil terengah-engah di bangku setelah
berlari-lari dan tertawa di bawah langit malam yang semakin gelap. Kembali
tanpa suara di antara mereka.

“Kita pulang yuk.” Ajak Kiara.

“Hayuk.”

Mereka kini sudah melaju di atas sepeda motor tua milik Hildan. Langit
Solo semakin gelap, tetesan air kini berjatuhan dari langit dan semakin deras.
Hildan meminggirkan motornya ke emperan toko, berteduh di bawah kanopi toko.
Mereka berdiri diam menanti hujan reda. Hingga datang sepasang kekasih yang
ikut berteduh di depan mereka. Sang pria mengembangkan payungnya dan
memayungi sang gadis dari percikan hujan. Kiara melirik ke arah Hildan dan
memeluk tubuhnya yang hanya dibalut kaus, menggosok-gosok lengannya seolah
kedinginan.

“Aku mau romantis,” ucap Hildan seolah paham dengan bahasa tubuh
Kiara. “Tapi yang enggak capek.” Lanjut Hildan yang lalu melepas jaket dan
melekatkannya ke tubuh Kiara.

Kiara hanya tersenyum tersipu malu. Kemudian semakin melekatkan


jaketnya dan melirik ke Hildan yang hanya melihat hujan dengan wajah datarnya
di depan mereka. Dengan rambut di wajahnya yang sesekali tertiup angin semakin
menambah kesan keren terhadap Kiara.

35
Hingga larut malam hujan tak juga reda, kini mereka duduk di dalam
kedai kopi Mahligai dengan baju yang basah kuyup. Ditiupnya asap dari secangkir
kopi latte hangat oleh bibir Kiara yang duduk berhadapan dengan Hildan yang
lalu diminumnya perlahan.

“Ini handuknya,” ucap Rian yang muncul dari pintu belakang kedai
dengan handuk di tangannya. “Kalian ini, jam segini bukannya pulang malah
hujan-hujanan.”

“Kami enggak hujan-hujanan,” sahut Kiara yang kemudian meraih


handuk dari Rian. “Hujannya saja yang enggak mau berhenti, makanya kami
nekat.”

Kiara lalu berjalan ke belakang dan kini tempat duduknya sudah


diduduki oleh Rian yang menyalakan sebatang rokok. Dihembuskannya asap
putih dari sela bibirnya, membakar hawa dingin di samping kaca.

“Sepertinya, kamu sudah enggak kaku lagi, Dan.” Ucap Rian yang
menyodorkan rokok ke Hildan.

“Kaku bagaimana?” sahut Hildan yang lalu menyalakan rokok di


bibirnya.

“Ini pertama kalinya sejak kita berteman, kamu jalan dengan


perempuan.”

“Kebetulan saja, aku sedang bosan hari ini.”

“Yaa, kukira lebih baik kamu bosan setiap hari.”

Lalu mereka tertawa bersama.

***

Pukul tiga pagi, hujan yang tak kunjung mereda membuat mereka tak
bisa pulang. Mereka memutuskan untuk menginap di kedai kopi. Hildan yang
masih saja terjaga dengan rokok di bibirnya kini hanya duduk terdiam di sunyinya

36
ruangan. Dilihatnya Kiara yang sudah terlelap di bangku panjang dengan selimut
Hello Kitty yang membalut tubuhnya yang sesekali bergerak mencari posisi
nyaman. Hildan lalu beranjak dan mengambil sebuah kertas dan pensil, lalu
menggambar wajah Kiara yang tertidur dengan bibir tersenyum dan rambut yang
berantakan.

37
Kautahu apa yang jauh lebih deras dari hujan
di bulan Januari?

Kautahu apa yang jauh lebih hangat dari


matahari di bulan Juni?

Kautahu apa yang jauh lebih indah dari


pelangi di pagi hari?

Senyumanmu yang menghujam kalbuku tanpa


henti, sejak hari ini.

38
YANG TAK PERNAH
BISA UNTUK
DIGENGGAM
Bulan baru telah terlahir di langit Solo ketika hubungan antara dua anak manusia
semakin dekat saja setiap harinya. Sudah ribuan tawa mereka ciptakan bersama.
Di bawah pohon rindang di alun-alun, di atas becak yang melaju di kemacetan
kota, di depan es krim yang mencair dan lupa dijilat, dan di setiap malam yang
mereka lalui dengan mengurung tubuh di dalam selimut sambil bertelpon sebelum
akhirnya saling mengucapkan “Selamat malam”.

39
Suara rokok kretek yang terbakar terdengar nyaring di tengah kesunyian
malam di sebuah taman. Duduk dua sahabat yang saling membelakangi di atas
sebuah bangku.

“Dan, menurutmu sudah saatnya kita melepas masa lajang kita atau
belum?” tanya Rian sembari menghisap rokoknya.

“Entahlah, aku masih belum berpikir sejauh itu.”

“Menurutku, aku sudah jatuh hati kepada Viona.”

“Aku pun masih,” ucap Hildan dalam hati.

***

Aroma kopi menyeruak ke sela-sela hidung semua orang yang berada di


kedai kopi Mahligai. Denting lonceng berbunyi ketika pintu yang didorong oleh
gadis berkacamata. Gadis itu langsung duduk di sudut kedai, dan langsung
disajikan secangkir kopi latte dengan krim yang bertuliskan “Selamat pagi”.
Gadis itu hanya tersenyum kecil. Lalu perlahan terdengar petikan gitar akustik
yang nyaring dari balik pintu masuk. Saat pintu terbuka dengan lonceng yang

berbunyi, langsung terdengar alunan lagu dari Sheila On 7 – J.A.P dan


para pemain gitar langsung berdiri di sekitar Viona duduk. Kemudian Rian yang
membawa sebuket bunga di balik punggungnya berjalan masuk ke arah Viona
dengan pakaian rapi dari pintu belakang. Saat Rian berhenti di depan Viona, lagu
pun berhenti dan berganti petikan-petikan gitar romantis.

“Viona, kau tahu kalau kita menjalani hidup ini adalah hari demi hari?
Dan kau tahu, kalau kita haruslah menikmati setiap hari dari hidup kita dengan
bahagia. Lalu, mulai sekarang, aku ingin menjalani hari demi hari di hidupku

40
dengan bahagia,” lalu Rian berlutut dan menyodorkan sebuket bunga kepada
Viona. “Bersamamu.”

“Jadikanlah aku pacarmu, kan kubingkai selalu indahmu. Jadikanlah


aku pacarmu, iringilah kisahku.”

Viona hanya tersipu malu lalu mengangguk pelan dan meraih sebuket
bunga dari Rian. Yang kemudian mereka langsung saling berpelukan. Dan
kemudia riuh tepuk tangan menggema di dalam kedai kopi.

Hildan yang melihat dari balik meja barista hanya tersenyum. Ia senang
bahwa kini Rian dan Viona bahagia, namun ia juga sedih bahwa ternyata gadis
Pelangi pujaannya bukanlah untuknya. Hildan pun melangkah keluar dari kedai
sembari membawa tasnya, berjalan melewati Rian dan Viona yang sedang
berpelukan haru. Ia lalu duduk di sebuah kursi kayu di depan kedai, di bawah
balkoni, di bawah langit Solo yang cerah. Dikeluarkannya sebatang rokok dari
bungkusnya yang lalu dibakar dan dihisap perlahan. Dibiarkannya asap putih
menari-nari di dalam mulutnya sejenak yang kemudian ia hembuskan perlahan.
Dilihatnya bagian dalam kedai dari kaca jendela, orang-orang yang tengah
bertepuk tangan mengelilingi Rian dan Viona yang tersenyum lebar.

Merasa tak nyaman, ia bergegas pergi menaiki sepeda motornya. Entah


menuju ke mana, yang jelas ia ingin sendirian saja. Dengan sabar ia nanti setiap
lampu merah dan kemacetan. Awan berarak di langit yang semakin cerah dan
memanas, Hildan masih saja di atas motornya. Kini ia telah sampai di daerah
Gunung Kidul. Motornya masih saja melaju, menuju ke ujung Selatan, menuju ke
laut. Dilihatnya langit teduh berawan menaungi perjalanannya. Ia menuju ke
sebuah pantai sepi, yang tak dikunjungi orang-orang. Ia kini sudah terduduk di
bawah pohon kelapa di tepi pantai sembari menghisap sebatang rokok kretek. Ia
lalu mengeluarkan sebuah buku dan sebuah pena. Sebuah buku dengan sampul
yang usang, dan setiap lembar yang penuh coretan-coretan dan catatan-catatan. Ia
membalik setiap lembar bukunya perlahan, sembari mencermati setiap coretan

41
dan catatan sambil tersenyum. Ia lalu membalik ke halaman kosong. Jemarinya
mulai menggerakan pena menari-nari di atas kertas.

Hari ini,

Langitnya cerah

Udaranya sejuk

Dan kamu cantik

Tapi sayang, aku hancur hari ini

Tapi kamu, kamu senang hari ini

42
Di samping tulisannya, ia gambarkan sebuah pohon kelapa melengkung
yang buahnya banyak.

“Aku rasa, kelapa bisa berbuah dua kali.” Ucap Hildan sembari menutup
bukunya.

Hampir empat jam ia hanya duduk termenung melihat deburan ombak


yang saling bergulung menuju ke tepi hanya untuk hilang dan menjadi buih.
Hingga sore menjelang, ia masih saja betah di pantai itu. Saat senja, ia mulai naik
ke atas sebuah batu karang di tepi pantai. Melihat sunset di sebuah gazebo.

“Kalau pelangi hanya ada saat pagi atau siang. Itupun harus setelah
hujan. Tapi kalau matahari terbenam, pasti ada setiap sore. Dan aku yakin,
matahari terbenam lebih indah dari pelangi.”

Hingga malam tiba, ia telah terlelap di gazebo itu. Dinaungi langit gelap
penuh bintang berpijar. Ia tertidur dengan bibir yang tersenyum kecil, sembari
merapatkan kakinya karena dingin.

***

Sore hari pukul tiga, Hildan tengah terduduk menikmati secangkir kopi
dan imajinasi yang ditawarkan buku romansa di tangannya. Matanya asyik
memandangi tiap barisan kata di dalam buku itu. Jemarinya sesekali menyergap
cangkir kopi dan mulutnya menyeruput perlahan genangan kopi di cangkirnya.
Sudah hampir satu jam ia bergelut dengan imajinasinya, membayangkan seperti
apa adegan yang dimaksud si penulis buku, hingga akhirnya Kiara datang dan
duduk di depan Hildan sembari membawa secangkir latte. Hildan hanya

43
mengintip sedikit dari balik kacamatanya, memastikan siapa yang duduk di
depannya. Setelah itu ia kembali fokus pada lembar selanjutnya dari bukunya.

Kiara meletakan cangkir lattenya dan mengambil ponsel dari tasnya. Ia


asyik men-scroll setiap foto yang ada di lini masanya. Sambil sesekali tersenyum
ketika foto itu lucu. Hildan yang melihat kelakuan Kiara merasa geram, ia lalu
menutup bukunya dan meletakannya.

“Kalau hanya mau mainan ponsel, engga usah ke sini.”

“Habisnya, kamu sibuk sama bukumu. Aku ke sini mau ngobrol sama
kamu.” Jawab Kiara yang juga meletakan ponselnya.

“Yasudah, aku temani.” Ucap Hildan sambil tersenyum.

“Nah!” ucap Kiara yang lalu meminum lattenya. “Tapi ngobrol apa ya?”

“Engga tahu, kan kamu yang mau ngobrol.”

“Yasudah, ceritakan aku soal buku yang kamu baca.”

“Hmm, baiklah.”

Lalu mereka langsung larut dalam obrolan yang diselingi sendau gurau.

“Eh, mau jalan-jalan enggak?” Tanya Kiara.

“Ke mana?”

“Ke mana saja, jalan saja dulu.”

“Yasudah ayo.”

Mereka meninggalkan kedai, meninggalkan bunyi lonceng.


Berboncengan di atas sebuah motor tua berisik menyusuri jalanan kota Solo yang
sudah beranjak menuju sore. Di sepanjang jalan yang mereka lakukan adalah
mengobrol tentang berbagai hal yang mereka lewati. Seperti tentang mengapa
pepohonan yang dahannya selalu memayungi jalanan. Mungkin itu adalah sebagai

44
tanda bukti cinta mereka kepada yang menanam mereka. Atau juga tentang
mengapa lampu merah selalu lebih lama daripada lampu hijau. Atau pula
mengapa orang-orang selalu terburu-buru di jalanan, padahal di kiri dan kanan
mereka ada begitu banyak hal-hal indah yang mereka lewati begitu saja. Pikiran
mereka tersandra oleh kata “Telat” dan berbagai hal yang terlalu mengikat paksa.
Padahal seandainya saja setiap orang menikmati apa yang ada di sekitar mereka,
mungkin angka stress di jalanan akan menurun.

Dan, mungkin itu juga yang menjadi alasan mengapa orang yang sedang
berboncengan dengan kekasih mereka tak pernah melaju lebih dari empat puluh
kilometer per jam. Mereka menikmati apa yang sedang mereka rasakan saat itu.
Meskipun sudah pasti pikiran mereka diburu oleh kata “Pulang terlalu larut”,
tetapi tetap saja mereka melaju perlahan sambil mengobrol di antara deru bising
kendaraan. Seperti halnya Hildan dan Kiara sekarang ini, mereka melaju pelan
dan tawa mereka mungkin lebih keras dibanding suara mesin motor tua Hildan.
Deru bising motor Hildan telah sampai di taman Sri Wedari. Kini mereka berjalan
menyusuri tepi jalan bersama, hingga akhirnya mereka sampai di lapak-lapak
penjual buku-buku bekas yang berjejer di tepi jalan.

“Kau suka buku?” tanya Hildan yang sudah berjongkok sambil


membolak-balik tumpukan buku tua.

“Baru-baru ini,” jawab Kiara yang lalu berjongkok di samping Hildan.


“Dulu waktu aku kecil, aku sering dibacakan dongeng oleh Ibu sebelum tidur.”

“Itu bagus! Aku dulu juga begitu. Bahkan sampai sekarang.”

“Sekarang?”

“Iya, kalau aku sedang pulang. Sudah pasti aku akan tidur di pangkuan
Ibuku dan meminta dibacakan dongeng.”

“Kau seperti anak kecil ya.” Ucap Kiara yang lalu tertawa.

“Hahaha! Iya juga ya.” Sahut Hildan yang ikut tertawa.

45
Hildan berhenti membolak-balik buku. Diraihnya buku bersampul merah
membara dengan potret pria monokrom yang sedang merokok. Di bagian bawah
buku tercetak jelas dengan berani nama “Chairil Anwar”.

“Hey, mau dengar sesuatu enggak?” Tanya Hildan.

“Apa?”

“Puisi.” Jawab Hildan yang langsung berdiri menghadap Kiara.

Hildan membenarkan kerah bajunya, mengatur suaranya seolah-olah


hendak bernyanyi. Mengeluarkan suara serak “tes, tes, tes.” Lalu dibukanya buku
itu pada halaman dua belas.

“Sebuah puisi, karya : Chairil Anwar. Dibacakan oleh, Hildan Aji


Gumira.” Ia menghela nafas kemudian melanjutkan. “Sia-sia,” ia memulainya
dengan lantang sehingga orang-orang menoleh ke arahnya.

46
“Penghabisan kali itu kau datang

Membawa kembang berkarang

Mawar merah dan melati putih

Darah dan suci

Kau tebarkan depanku

Serta pandang yang memastikan : untukmu.

Lalu kita sama termangu

Saling bertanya : apakah ini?

Cinta? Kita berdua tak mengerti

Sehari kita bersama. Tak hampir-menghampiri

Ah! Hatiku yang tak mau memberi

Mampus kau dikoyak-koyak sepi.”

47
Kiara yang sedari tadi hanya duduk diam memperhatikan Hildan kini
mulai bertepuk tangan sembari berseru “Yeay!”. Hildan kembali berjongkok di
samping Kiara.

“Bagus!” Ucap Kiara yang menyodorkan kedua jempolnya ke muka


Hildan.

“Iya dong. Ini abangku yang bikin.” Sahut Hildan kemudian tertawa.

“Yang ini berapa, mas?” Tanya Hildan kepada penjual.

“Empat puluh ribu saja, dek.”

Hildan langsung merogoh sakunya dan mengeuarkan dompet lalu


membayar buku itu.

“Kamu enggak beli buku?” Tanya Hildan kepada Kiara.

“Enggak. Pinjam kamu saja.” Sahut Kiara yang kemudian tertawa pelan.

“Ah dasar.”

Lalu mereka kembali berjalan di pinggir jalan yang mulai ramai orang
lalu-lalang. Mungkin baru pulang kerja atau mungkin juga baru hendak
kemana-mana. Mereka mampir ke sebuah warung penjual bakso. Lalu
masing-masing menikmati semangkuk bakso berkuah ditemani es teh manis satu
gelas, tak lupa juga sebungkus kerupuk kulit tipis.

Sore beranjak meninggalkan guratan oranye pada langit biru berawan


tipis di atas kota Solo. Kembali berboncengan di atas besi tua yang melaju di atas

48
tanah tua pula. Semakin erat dekapan di antara mereka. “Dinikmati saja.”
Mungkin begitu kata Semar bila memberi nasehat kepada anak muda yang sedang
saling jatuh cinta. Bahwa memang benar, bahwa cinta itu tak pernah rumit.
Mungkin hanya pikiran mereka yang membuatnya rumit, serta orang-orang di
sekitar mereka yang menuntut lebih untuk apa yang mungkin tak kalian miliki.
Benar, dinikmati saja. Perkara nanti, itu ya nanti, yang sekarang dinikmati saja.
Seperti halnya ketika kau masih kecil. Kau amat mencintai mobil-mobilan yang
dibelikan ayahmu, lalu besok kau mendapat robot-robotan keren dari ibumu.
Perkara kau lebih memilih robot atau bertahan dengan mobil itu, itu adalah biasa.
Cinta tak pernah menuntut pemiliknya, hatilah yang menentukan.

***

Hildan duduk bersila di selasar indekosnya. Memangku sebuah buku


bersampul merah. Ia sandarkan tubuhnya kepada dua tangan di belakangnya.
Memandangi awan yang berarak perlahan menyapu langit biru dengan lembut,
lalu kemudian saling memisahkan diri menjadi bagian-bagian kecil, lalu hilang. Ia
meraih sebungkus rokok kretek lalu ditariknya sebatang rokok favoritnya. Ia sulut
ujung rokok itu dengan lidah api dari mancisnya, lalu ia hisap ujung lainnya dan
ia hembuskan asap putih ke atas. Ia membuka dua kancing bajunya, lalu kembali
menghisap rokoknya.

“Ah, panas sekali hari ini.”

Handphone Hildan bergetar di sakunya. Sebuah pesan dari Kiara, ajakan


untuk jalan. “Iya” balas Hildan pada pesan singkat itu. Tak berselang lama Kiara
sudah sampai di jalan depan indekos Hildan menaiki mobilnya. Kiara keluar dan
berjalan mendekati Hildan.

“Ke mana?” Tanya Hildan.

“Ke alun-alun saja.”

“Yasudah, naik mobilmu saja. Panas.”

49
Kiara hanya mengangguk lalu kembali masuk ke dalam mobil. Hildan
lalu menyusul dan duduk di balik kemudi. Kini mereka perlahan menuju alun-alun
kota. Entah hendak mencari apa mereka siang-siang begini. Melewati jalan
berdebu dan macet, perjalanan mereka diisi dengan candaan dan gurauan.
Hubungan mereka telah jauh lebih erat dari sebelumnya. Bahkan Hildan tak
pernah menyangka mereka akan bisa sedekat ini. Akhirnya mereka pun sampai di
alun-alun. Setelah memarkir mobil, mereka berjalan menuju sebuah pohon
rindang di tengah alun-alun. Bayangan pohon meneduhkan tempat duduk mereka.
Duduk bersampingan sembari Hildan menghisap rokoknya dan Kiara yang
menyenderkan kepalanya di bahu Hildan.

Beberapa menit mereka lewati hanya dengan diam. Memandang awan


yang perlahan berarakan menuju Utara.

“Hildan,” ucap Kiara pelan dan Hildan hanya menjawab dengan lirikan
mata. “Sebenarnya, kita itu apa?”

Sebuah pertanyaan yang mungkin lazim ditanyakan oleh seorang wanita


saat mereka sudah merasa sangat dekat dengan lelaki. Mengingat kedekatan
mereka yang sudah begitu erat. Namun Hildan malah bingung hendak menjawab
apa. Apakah teman? Tetapi ia rasa semuanya lebih dari teman. Apakah pacar?
Namun Hildan sendiri sebenarnya masih suka terhadap Viona, meski kini Viona
dan Rian semakin erat saja. Tentu tak baik baginya untuk secara terang-terangan
bicara soal “suka” kepada Viona. Namun ia juga melihat lagi, sebenarnya memang
ada sedikit rasa suka terhadap Kiara. Hatinya mungkin kecil, tapi entah mengapa
di sana ada banyak nama. Ibunya, Viona, Kiara, teman-temannya, serta seni dan
sastra. Ia bimbang menjawabnya.

“Kita?” tanya Hildan lirih.

“Iya, kita.”

“Entahlah,” jawab Hildan. “Mungkin kita adalah teman. Teman yang


sangat baik.”

50
Kiara mengangkat kepalanya dan menghadap Hildan.

“Teman?” Sekali lagi Kiara bertanya, kini dengan nada yang sedikit
tinggi.

“Kurasa,” jawab Hildan pelan. “Memangnya kamu ingin kita itu apa?”

“Entahlah,” sahut Kiara bimbang. “Kurasa teman juga tak apa.”


Lanjutnya yang kembali menyandarkan kepalanya ke bahu Hildan.

“Kupikir, tak perlu ikatan. Kau sudah tahu bagaimana, bukan?”

“Iya.” Jawab Kiara lirih, bahkan nyaris tak terdengar.

Beberapa menit kemudian, mereka hanya diam. Tak saling berbicara


ataupun berpandangan. Kiara kini terpejam. Bernapas pelan.

“Hildan, kenapa kamu suka dengan buku?” Tanya Kiara.

“Hmm, entahlah. Dulu sewaktu aku kecil, aku suka dibelikan ibuku buku
ketika ulang tahun. Aku tak pernah punya mainan atau apapun itu.”

“Hmm, jadi begitu.”

“Iya, lalu kenapa kamu suka sekali mall?”

“Aku sebenarnya tidak suka. Tetapi, karena aku tidak punya teman yang
mau diajak ke tempat-tempat eksotis, makanya aku terpaksa ikut ke mall bersama
mereka.”

“Ahh, seandaianya aku punya teman seperti teman-temanmu, hahaha.”

“Tidak! Jangan! Kalau kamu punya teman seperti mereka, mungkin


kamu enggak akan jadi Hildan yang seperti ini.”

“Benar juga. Yasudah, aku bersyukur punya teman seperti


teman-temanku.”

“Nah! Begitu baru bagus.”

51
“Iya.”

Lalu hening kembali menyergap percakapan mereka.

“Eh, Hildan!” Kiara mencoba memecah keheningan. “Kamu tahu enggak


kenapa awan itu berwarna putih?”

“Enggak, kenapa memangnya?”

“Jadi, sewaktu aku SMA dulu, aku pernah baca buku. Awan berwarna
putih itu karena mata kita yang terbatas!” Kiara berbicara dengan semangat.

“Terbatas bagaimana?”

“Jadi, sebenarnya awan itu tidak berwarna. Kamu tahu air kan? Ia itu
bening, awan juga sama. Jadi, kalau air terkena cahaya matahari, pasti akan
terbelah spektrum warnanya. Kucing kalau melihat awan pasti bukan putih. Dan,
dan! Karena kalau setiap spek-ek ekt-tr-umhh...” Kiara tersengal-sengal saat
berbicara. Seperti orang yang gagap.

“Kiara?!”

Kiara terlihat seperti terhuyun-huyun dengan bibirnya yang bergetar


seolah hendak berbicara namun tertahan.

“Hi-hil-lan, a-aa-a-au.”

Pandangan Kiara mulai kabur dan kepalanya terasa pusing sekali. Lalu
perlahan tubuhnya terjatuh ke belakang. Hildan langsung menangkap tubuh Kiara
yang hendak terjatuh. Kiara tak sadarkan diri.

“Kiara!” Teriak Hildan sembari memegangi pipi Kiara. “Kiara!”


Teriaknya sekali lagi.

Hildan panik dan berteriak meminta tolong, hingga akhirnya banyak


orang yang datang mengerumuni mereka. Kiara lalu dibawa ke rumah sakit.

52
Di tempat duduk besi Hildan duduk cemas bersandar pada kedua
tangannya. Sesekali ia mengusap wajahnya. Menunggu ada orang berjas putih
keluar dari pintu membawa kabar baik. Ia kini berdiri dan berjalan mondar-mandir
di lorong rumah sakit sembari sesekali mengintip ke balik kaca ruangan periksa.
Hingga akhirnya seorang dokter keluar dan menemui Hildan.

“Bagaimana?” Tanya Hildan cemas.

“Anda keluarganya saudari Kiara?”

“Bukan, saya temannya.”

“Kalau begitu, bisa hubungi keluarganya?”

“Sudah.”

“Saudari Kiara akan kami pindah ke ruang rawat inap.”

“Memangnya Kiara kenapa?”

“Nanti akan kami jelaskan kalau keluarganya sudah tiba.”

Dokter itu pun langsung beranjak pergi meninggalkan Hildan dengan


pertanyaan-pertanyaan gelisah. Hildan pun menuju ke ruangan Kiara. Didapatinya
Kiara yang terbaring lemas di atas ranjang. Hildan langsung berdiri di sampingnya
lalu memegang tangan Kiara.

“Kamu kenapa?”

Kiara hanya menggeleng pelan.

Sungguh sebuah isyarat yang dianggap tidak perlu digunakan oleh


Hildan. Seharusnya tak ada lagi kebohongan di antara mereka. Seharusnya
katakan saja segala hal yang ada.

“Kamu jangan bohong.”

Kiara masih saja menggeleng pelan.

53
Kini Hildan berlutut di samping Kiara, menundukkan kepalanya. Kiara
menarik pelan tangannya dari genggaman Hildan, lalu mengusap rambut Hildan.
Hildan kemudian menoleh ke arah Kiara yang tersenyum.

“Ada apa?”

“Aku, ingin kita.” Jawab Kiara pelan dan lirih.

“Kita?”

Hildan sungguh sangat bingung. Ia mungkin tahu bahwa Kiara sungguh


amat membutuhkan kejelasan tentang mereka. Tetapi, Hildan merasa ini bukanlah
saat yang tepat untuk itu.

“Aku akan menjawab, asal kamu bilang kepadaku kamu kenapa?” Tanya
Hildan yang makin erat menggenggam tangan Kiara.

Belum sempat Kiara ingin menjawab, telah masuk seorang ibu paruh
baya ke dalam ruangan. Ia langsung menangis dan menghampiri Kiara. Hildan
lalu berdiri di samping ibu itu.

“Kiara.” Hanya itu yang ia ucapkan pelan saat menggenggam erat tangan
Kiara.

“Kiara enggak apa-apa, bu.”

Hildan lalu pergi meninggalkan ruangan. Di pintu, ia berpapasan dengan


seorang lelaki berbadan kekar berpakaian tentara. Hildan hanya menunduk dan
berkata “Permisi” lalu keluar dan duduk di bangku di lorong rumah sakit.

Setelah lima belas menit, lelaki kekar itu keluar dan duduk di samping
Hildan.

“Kamu temannya Kiara?”

“Iya, pak.”

“Terimakasih, sudah membawa Kiara ke rumah sakit.”

54
“Iya, pak. Sama-sama.”

Setelahnya, hanya diam yang bercakap-cakap. Pikiran Hildan digeluti


pertanyaan-pertanyaan. Namun ia tak berani bertanya kepada laki-laki itu.

“Sebenarnya, Kiara itu sakit.”

“Sakit? Kiara sakit apa, pak?”

“Kamu merokok?”

“Iya, pak.”

“Ikut saya, kita cari angin.” Ucap Lelaki itu sambil berdiri dan berjalan
keluar.

Hildan hanya mengikutinya.

Mereka kini duduk di sebuah bangku di tepi jalan. Lelaki itu menyalakan
rokoknya. Menghisapnya perlahan lalu menghembuskannya.

“Kiara terkena kanker otak.” Ucap lelaki itu yang kemudian bersandar ke
bangku.

“Kanker otak?!” Tanya Hildan yang tak percaya.

“Iya, sudah stadium tiga.” Sahut lelaki itu sembari kembali menghisap
rokoknya. “Sudah sejak ia berumur empat belas tahun.”

“Tapi, Kiara terlihat baik-baik saja?”

“Hahaha, dia memang suka menyembunyikan rahasianya. Kami, orang


tuanya saja baru tahu kalau dia sering muntah-muntah saat ia tak sengaja muntah
di meja makan.”

Hildan nyaris tak percaya dengan apa yang didengarnya. Kiara yang
selama ini terlihat begitu ceria, seorang yang selalu terlihat riang dan tak mau
terkurung itu ternyata sedang sakit. Sangat parah. Entah bagaimana ia bisa

55
menyembunyikan semua sakitnya itu di balik senyum riangnya. Seharusnya ia
bilang saja kalau ia sakit. Tak perlu berlagak kuat. Tak seharusnya ia menutupi
semuanya. Mengapa masih saja ada yang ditutupi di antara mereka? “Ah mungkin
saja karena aku juga masih tertutup padanya” pikir Hildan.

“Lalu, bagaimana kondisinya sekarang?”

“Sebenarnya, dokter sudah menyarankan untuk kemoterapi. Tapi


Kiaranya yang tidak mau dari dulu. Kalau sudah begini, mau tidak mau dia harus
kemoterapi.”

Hildan nyaris tak bisa berkata-kata lagi. Selanjutnya ia hanya diam dan
menghisap rokoknya. Melihat ke jalanan yang ramai. Ah, seharusnya kini ia dan
Kiara sedang berada di tengah-tengah kerumunan itu. Berjalan ke sana kemari.

***

56
Aku tak pernah menyangka bahwa suatu hal yang awalnya baik-baik
saja bisa nyaris hancur dengan mudah hanya karena sesuatu yang ditutupi. Entah
itu ego yang tak mau mengalah atau rasa sungkan yang terlalu besar. Atau
mungkin juga karena aku yang terlalu tertutup juga. Aku tahu, setiap hal pasti
ada sebabnya. Kau tertutup karena aku juga. Tapi, yang sebenarnya, aku tak
pernah ingin kau terluka. Aku tak pernah ingin kau tahu bahwa hatiku kini tengah
membelah diri. Untuknya, Viona dan untukmu, Kiara. Seandainya saja aku tak
pernah jatuh cinta dengannya, sekarang mungkin kita sama-sama tahu rahasia
kita. Dari aku yang masih saja mengompol hingga kelas enam sekolah dasar
hingga kamu yang sekarang sakit ini. Ah! Memang benar kata pujangga, cinta tak
pernah bisa tahu di mana dan untuk siapa ia akan jatuh. Tapi, apakah memang
ada cinta untuk dua orang sekaligus? Aku bertanya-tanya tentang segala hal. Aku
ingin kita juga, Kiara. Tapi, aku juga tak bisa menafikan perasaanku kepada
Viona begitu saja. Oh sungguh aku cinta kau dan dia.

Begini saja, aku akan egois sekali ini. Jika kau bisa sembuh kali ini, aku
janji, aku sangat berjanji akan ada kita di sini. Kita, kau dan aku. Benar-benar
kita, seperti yang kau minta. Aku akan menemanimu memetik bunga di fajar hari.
Aku akan mengajakmu berkeliling taman kota sembari bermain dengan
anak-anak. Dan akan kutitipkan salamku kepada rembulan purnama setelah kau
tidur, “Aku sayang padamu.”.

Kumohon, berjuanglah. Sembuhlah!

57
BELAJAR

Kemeja rapi membalut tubuh Hildan pagi itu. Sebelum matahari benar-benar
terbit ia sudah selesai mandi. Tak seperti biasanya. Dengan sebuah kotak kecil di
genggamannya, ia dengan mantap berjalan keluar dari kamarnya. Ia simpan kotak
kecil itu di sakunya. Lalu mengendarai sepeda motornya melintasi aspal kota
Solo.

“Tunggu aku.”

58
Pintu kamar ruangan di rumah sakit didorong perlahan. Hildan kemudian
masuk. Didapatinya Kiara yang masih terlelap. Hildan dengan hati-hati membawa
masuk sebuah kotak kardus ke dalam. Ia lalu menaruh sebuah vas bunga yang di
dalamnya ada beberapa tangkai bunga Krisan berwarna kuning. Ia kemudian
menempelkan beberapa potongan kertas bertuliskan puisi-puisi di dinding
ruangan, nyaris penuh. Serta sebuah poto polaroid Kiara dari belakang. Setelah
selesai menempelkan berbagai hal itu, ia membuka gorden jendela. Membiarkan
secarik cahaya oranye masuk ke ruangan. Ia lalu duduk di bangku di samping
ranjang. Dipandanginya wajah Kiara yang masih terlelap. Perlahan ia genggam
tangan Kiara. Wajahnya terlihat begitu pucat dan lemas. Garis hitam nyaris
melingkari penuh matanya. Tangannya begitu dingin. Tapi mungkin masih kalah
dingin dengan sikap Hildan.

Perlahan-lahan Kiara membuka matanya yang disirami sinar kosmos


keemasan. Dilihatnya Hildan yang tertunduk di tengan kirinya. Hildan menengok
ke muka Kiara lalu beranjak duduk tegap di kursinya dan melepaskan tangan
Kiara.

“Ah maaf. Kamu sudah enakkan?” Ucap Hildan.

“Enggak apa-apa, Dan. Aku suka.” Sahut Kiara lirih.

“Oh, iya! Aku bawa bunga.” Ucap Hildan yang menunjuk ke vas bunga
di samping kanan Kiara.

59
“Terimakasih, Hildan,” Ucap Kiara lirih, “Sejak kapan kamu suka bunga,
Dan?”

“Sejak dulu sebenarnya.”

“Aku jadi sedang merasa ada di indekosmu, banyak kertas puisi di


tembok,” ucap Kiara yang kembali memerhatikan dinding kamarnya. “Eh! Itu
fotoku ya? Kapan kamu memotretnya, Dan?”

“Seminggu yang lalu, saat kamu pulang dari kedai kopi itu.”

“Bagus ya! Aku kelihatan cantik kalo dari belakang ternyata.” Ucap
Kiara yang kemudian tertawa.

Hildan hanya tersenyum

Hildan hanya terdiam memandangi mata sayu Kiara sembari


berpegangan di sisi ranjang Kiara dengan tangan yang berkeringat. Kepalanya
tertunduk lesu.

“Hildan, aku takut.” Ucap Kiara dengan bibir yang bergetar.

Hildan kaget dengan apa yang diucapkan Kiara. Sebuah ucapan yang
terasa begitu jujur di telinganya. Ketakutan. ‘Ya! Aku juga takut! Sangat amat
takut saat ini!’ hati Hildan berteriak, namun hanya di hati. Tertahan tangannya
yang semakin berkeringat dan gemetar. Perlahan ia angkat kepalanya, menghadap
Kiara yang pucat pasi. Matanya berkaca, menatap dalam-dalam ke mata Hildan.

“Aku akan ada di sini, di sampingmu.” Ucap Hildan yang lalu tersenyum
dan menggenggam tangan Kiara dengan lembut.

“Terima kasih.” Sahut Kiara yang lalu tersenyum dan balas


menggenggam tangan Hildan.

***

60
Angin sedang berhembus dengan malas, membelai rambut Kiara yang
terduduk di kursi roda. Hildan mendorongnya perlahan dan berhenti di bawah
pohon beringin rimbun di tengah taman. Matahari sedang menuju senja dan
tengah bersinar malu-malu di balik awan. Mereka hanya berdiam diri saja,
memandangi keramaian di tepi jalanan. Membiarkan angin mengisyaratkan
perasaan nyaman mereka kepada keduanya. Seandainya waktu tidak perlu
terburu-buru berlalu, aku tak keberatan tinggal di sini selamanya. Begitulah
kira-kira pikir Hildan.

“Hildan, aku takut.”

“Kamu takut apa?”

“Aku takut,” Kiara diam sejenak sebelum melanjutkan. “Aku takut kalau
besok atau lusa, tidak ada angin atau hari-hari seperti ini lagi.”

Hildan memaki dirinya sendiri, ketika ia merasa malah membuat Kiara


semakin takut karenanya.

“Jangan bilang begitu,” ucap Hildan mencoba menenangkan. “Besok,


atau lusa, atau kapan pun akan ada hari-hari seperti ini lagi.”

“Mungkin.” Kiara lalu terdiam lama.

Selalu saja ada yang sebaliknya dari mungkin. Itulah yang ditakutkan
Hildan. Bahwa kata-katanya selalu akan terwujud dengan ‘mungkin’nya Kiara,
atau sebaliknya. Jangan bilang mungkin, tolong, Kiara. Bilang saja pasti. Akan
jauh lebih memberi harapan daripada mungkin. Tetapi untuk sekarang, pasti
hanyalah topeng dari mungkin, dan yang sebaliknya akan selalu ada pula. Tetapi
pula, masih ada yang pasti setidaknya dari yang Hildan pikirkan : membahagiakan
Kiara. Itu adalah kepastian yang akan terus ia jaga, pasti!

***

61
Angin sedang malas berhembus di sebuah tanah lapang di tepian kota.
Suasana gerah yang nantinya akan menurunkan hujan sudah mulai terasa.
Megamendung tengah berarak perlahan menuju Solo, siap menghujani tanah dan
menyeburkan kenangan bagi mereka yang hatinya tengah gersang.

Hildan tengah duduk di teras indekosnya ketika sebuah pesan masuk ke


handphonenya, “kamu bisa ke rumahku enggak?”. Pesan dari Kiara yang
disambut Hildan dengan penuh kegembiraan. Selepas mandi dan berpakaian rapi,
Hildan melaju menuju rumah Kiara.

Setelah dipersilahkan masuk dan duduk di ruang tamu oleh ayahnya


Kiara, Hildan menunggu di sana dengan sabar. Melihat-lihat seisi dinding ruang
tamu yang dipenuhi figura foto keluarga Kiara, sebelum akhirnya Kiara datang
dengan tampilan yang sudah menjadi ciri khasnya.

“Wah! Kamu rapi sekali, Dan.”

“Hehe, aku enggak tahu harus pakai baju apa ke rumahmu.”

“Padahal kalau kamu seperti biasanya, akan cocok dengan stelanku


sekarang.”

“Apa aku harus pulang dulu ganti baju?”

“Enggak usah, kelamaan nanti!”

“Memangnya mau ke mana?”

“Aku mau ke Ngarsopuro, nih!”

“Yakin diizinkan keluar?”

“Aku sudah izin kok, ayah juga sudah mengizinkan. Kan perginya
denganmu,” ucap Kiara sembari mengikat rambutnya, “Ayah, aku pergi sama
Hildan dulu, ya!”

62
“Iya, jangan larut-larut pulangnya.” Sahut ayah Kiara dari dalam rumah
yang sedang menonton televisi dengan istrinya.

“Sama Ibu? Enggak izin?” Tanya Hildan.

“Ibu pasti menurut sama Ayah, kok, tenang saja. Hayuk ah!”

Akhirnya Kiara dan Hildan berboncengan menuju Ngarsopuro dalam


suasanya Solo yang sedang mendung-mendungnya. Sangat erat Kiara memeluk
pinggang Hildan, seakan-akan tak ingin lepas. Kepalanya ia sandarkan pada bahu
Hildan yang sedikit memiringkan kepalanya agar tak mengganggu senderan
Kiara.

“Kamu yakin sudah baikan sekarang, Ra?”

“Yakin kok!” Sahut Kiara yang semakin erat memeluk Hildan.

“Jangan kenceng-kenceng meluknya! Aku enggak bisa nafas nanti!”

“Nanti aku kasih nafas buatan!”

Lalu mereka tertawa bersama.

Hildan memarkirkan sepeda motornya pada sudut jalan. Membeli dua


cone es krim, lalu duduk di sebuah bangku di bawah pohon. Sejenak kesunyian
hadir di antara mereka, hanya suara bising kendaraan yang lewat di jalanan di
depan mereka dan sesekali suara es krim yang dijilat.

Kiara menyenderkan kepalanya pada bahu Hildan, “Dan, aku mau pergi
ke suatu tempat.”

“Sama, di sini membosankan.”

“Kamu bosan duduk denganku?”

“Sedikit, kalau enggak ada obrolan begini.”

“Dasar!” Kiara lalu mencubit perut Hildan.

63
“Sakit!”

“Enggak kerasa di aku.”

“Dasar!” Hildan lalu mencubit lengan Kiara.

“Sakit!” Kiara lalu memalingkan wajahnya dengan ekspresi jutek.

“Maaf, Ra, aku hanya bercanda tadi.”

Kiara masih saja sibuk menjilati es krimnya dan menghindari tatapan


langsung dengan Hildan dengan terus membuang muka ketika Hildan ingin
menatapnya.

“Ra, aku minta maaf,” ucap Hildan, “Aku belikan es krim lagi, ya?”

Kiara masih saja diam dan terus memalingkan wajahnya. Ekspresi Hildan
kini panik, karena telah membuat Kiara marah. Tetapi sebaliknya, Kiara tengah
menahan agar tidak tertawa dengan tingkah laku Hildan yang ingin meminta
maaf. Namun akhirnya Kiara tidak kuat lagi menahan tawanya, dihadapkannya
wajahnya ke Hildan. Sejenak Kiara memandangi wajah panik Hildan.

“Kamu jelek ah!” Ucap Kiara yang lalu menyodorkan es krimnya ke


hidung Hildan, lalu menjulurkan lidahnya.

“Dasar!” Hildan membalas perbuatan Kiara namun Kiara berhasil


menghindarinya.

Kiara lalu berlari dan terus mengejek Hildan dengan menjulurkan


lidahnya. Hildan terus mencoba mengejar Kiara untuk membalas perbuatannya.
Hingga akhirnya, es krim Kiara terjatuh dan Kiara kembali duduk di bangkunya.
Hildan menghampirinya, menyodorkan es krimnya.

“Nih, buat kamu. Punyamu jatuh, kan?”

64
Kiara sedikit tersipu, lalu meraih es krim yang diberikan Hildan. Namun
Hildan malah mendorong es krimnya dan mengenai hidung Kiara. Lalu balas
mengejeknya dengan menjulurkan lidahnya.

“Dasar, Hildan!”

Lalu mereka tertawa bersama.

Selepas dua cone es krim yang mereka beli lagi, kini mereka kembali
duduk dengan damai.

“Aku ingin pergi ke suatu tempat, Dan.”

“Aku tahu, kamu sudah bilang tadi, kan?”

“Memangnya kamu tahu aku mau pergi ke mana?”

“Enggak tahu.”

“Aku mau pergi ke tempat yang ada airnya, terus ada pohonnya, ada
gunungnya, ada ikannya,”

“Ada apa lagi? Banyak sekali maumu.”

“Dasar!” Ucap Kiara yang kembali mencubit perut Hildan, dengan lebih
lembut kali ini.

“Sakit tahu!”

Sejenak kembali hening, “Ada kamunya juga, Dan.” Ucap Kiara


memecah keheningan.

“Sebentar,” sahut Hildan sembari masih menjilati es krimnya. “Ada air,


pohon, gunung, ikan, dan aku, ya?”

“Iya!”

“Ada sih, tapi jauh. Dan belum tentu ada akunya juga.”

65
“Ya kamu harus ikut aku ke sana!”

“Baiklah. Di Embung Kledung, di Temanggung.”

“Jauh sekali, Hildan!”

“Sudah kubilang, kan?”

“Tapi kamu mau menemani aku ke sana?”

“Mau, kok, Ra.”

“Sabtu nanti, ya?”

“Baiklah.”

***

Hari Sabtu tiba dengan udara pagi yang sejuk selepas hujan pada pagi
buta. Menyisakan embun-embun pada dedaunan yang menitipkan salam pada
mentari pagi. Yang lalu, dihirup dalam-dalam aroma tanah oleh Hildan yang
mengenakan kaos oblongnya. Dengan wajah mengantuk, ia paksakan untuk
terjaga sembari mengumpulkan sebagian nyawanya di balik jendela indekosnya.
Hari ini, ia telah berjanji akan mengajak Kiara ke Temanggung. Namun sialnya,
semalam, Hildan terlalu larut pada film-film noir tahun 40an yang bertema
thriller. Hingga membuatnya baru tertidur ketika pukul 4 pagi.

Kini sudah pukul 6 pagi, rasa kantuk masih menggelayuti kantung mata
Hildan. Dinyalakan saja sebatang rokok, agar bisa mengusir sedikit kantuknya.
Yang memang sedikit membantunya mengusir kantuk, hingga suara dering
handphone benar-benar mengagetkannya, sebuah telefon dari Kiara.

“Dan! Jadi kan? Aku sudah siap, nih!”

“Iya bawel, baru saja selesai mandi, nih.”

“Bohong! Enggak mungkin kamu mandi jam segini, Hildan!”

66
“Iya ah, bawel, ini mau mandi!”

“Cepetan! Aku sudah siap, loh!”

Hildan langsung menutup telfonnya, segera menghabiskan rokoknya, lalu


beranjak mandi. Berpakaian lalu menyiapkan peralatan camping, sebuah tenda,
sepasang sleeping bag, kompor portable, dan peralatan memasak lainnya. Bahan
makanan dan sisanya sudah dipersiapkan oleh Kiara. Kini, hanya harus
mem-packingnya ke dalam tas kerilnya. Selepasnya, Hildan bergegas menuju
rumah Kiara. Pukul delapan, Hildan baru sampai di rumah Kiara. Dan Kiara telah
berdiri di pintu rumah dengan wajah cemberut dengan kedua tangannya di
pinggangnya.

Hildan yang turun dari motornya dengan wajah canggung tersenyum


berjalan perlahan menghampiri Kiara. Lalu menyodorkan setangkai bunga Mawar
yang baru saja ia petik dari potnya ketika hendak berangkat.

“Tuan Putri, jangan cemberut terus.” Ucap Hildan sembari berlutut di


depan Kiara dan memberikan setangkai mawar.

“Dasar tukang rayu!” Sahut Kiara yang tersipu dan mengambil bunga
dari Hildan, “Sebentar, aku taruh di kamar dulu.” Ucapnya yang lalu masuk ke
dalam rumah.

Hildan kemudian duduk di bangku di teras rumah Kiara. Sebelum


kemudian Ayahnya Kiara keluar.

“Tolong jaga Kiara, ya nak Hildan.”

“Iya, pak! Pasti saya jaga baik-baik.”

“Ini, obatnya Kiara. Dia pasti enggak mau bawa ke sana. Oh ya, pakai
mobil saja. Bisa menyetir kan?” Ucap Ayah Kiara yang menyodorkan sebuah
tabung dan kunci mobil.

67
“Iya, pak, pasti saya ingatkan dia untuk minum. Terima kasih, pak. Saya
bisa menyetir, kok.” Sahut Hildan yang langsung mengangambil tabung itu dan
kunci mobil ke dalam sakunya.

Sesaat kemudian Kiara keluar dari dalam rumah membawa sebuah ransel
daypack berisi bahan makanan.

“Ayah ngobrolin apa saja sama Hildan?”

“Enggak apa-apa, hanya pamitan saja, sama nitipin kamu ke nak Hildan.”

“Ah, Ayah! Hildan pasti jagain aku, kok!” Ucap Kiara yang lalu menarik
tangan Hildan.

“Kami pamit dulu, pak.” Ucap Hildan seraya berjalan keluar digandeng
Kiara.

“Iya, titip Kiara, ya!”

“Iya Ayah! Hildan pasti ngejagain aku!”

Setelah mereka memasukkan tas-tas mereka ke dalam bagasi mobil, kini


mereka telah siap untuk berangkat. Mobil mereka kini telah melaju dengan ceria
menembus jalanan kota menuju kota-kota lain. Diiringi lagu-lagu Rock kesukaan
Kiara, apalagi saat lagu Grunge Rock dari Nirvana – Smells Like Teen Spirit
terputar, Kiara melakukan headbang diiringi suara Hildan, “Load up a gun, and
bring your friends. It’s fun to lose and to pretend...”.

Setelah lebih dari dua jam perjalanan, kini mereka telah sampai di kota
Salatiga, dan mereka memutuskan untuk makan di sebuah warung soto di tepi
jalan.

“Eh, Dan, kenapa sih ngajaknya ke situ?”

“Pemandangannya bagus, udaranya sejuk. Kita itu butuh udara sejuk, kan
di Solo sekarang mulai banyak polusi dan panas.”

68
“Bener juga, apalagi indekosmu itu. Sumpek banget! Betah banget sih
tinggal di tempat kayak begitu?”

“Murah soalnya.”

“Apa enggak mau nyari yang lebih mendingan?”

“Sudah terlanjur nyaman di situ. Sunyi, enggak ramai kalau malam. Jadi
bisa tidur nyenyak.”

“Tapi sumpek!”

“Makanya aku menanam banyak tanaman sama bunga.”

“Enggak ngaruh juga kali, Dan!”

“Apa iya?”

“Kamu, ihh!”

***

Ketika mobil mereka sudah mencapai dataran tinggi, Hildan membuka


kaca pintu dan membiarkan angin masuk memenuhi seisi mobil. Udara sejuk
pegunungan sudah mulai membelai rambut Hildan dan Kiara. Bersamaan dengan
aroma embun di dedaunan yang mulai menusuk hidung. Udara yang sangat sejuk
memantik hidung mereka untuk menghirup dalam-dalam oksigen dan
menahannya lebih lama di dada. Setelah hidung mereka puas dimanjakan
kesejukan udara, kini mata mereka yang menagih untuk dipuaskan pula. Mereka
sapu deretan pepohonan pinus yang berjajar di perbukitan dan dataran sawah
terasering yang luas dengan suara gemericik air yang mengalirinya. Gunung
Sindoro dan Sumbing yang berjajar seakan memecah angin dan mengalirkannya
ke seluruh penujuru kaki gunung. Lalu menyuguhkan kenampakan alam yang
indah.

Kini mereka melaju lebih pelan, demi untuk memuaskan dahaga jiwa
mereka yang terlalu lama berada di sumpeknya kota Solo dengan pemadangan

69
rumah-rumah dan suara bising kendaraan yang lalu lalang tanpa libur atau jeda.
Jalanan menanjak diisi dengan petani-petani yang menuju ke ladang mereka.

Lalu mereka mulai berbelok ke arah wisata Embung Kledung. Mencari


tempat parkir, mengeluarkan tas keril dan mulai berjalan mencari spot untuk
mendirikan tenda. Menghadap ke arah gunung Sindoro adalah pilihan terbaik.
Dengan hamparan embung di depan mereka.

Setelah selesai mendirikan tenda, mereka berjalan melalui jalan setapak


ke arah pinggiran embung. Lalu duduk berjajar dengan mencelupkan kaki mereka
ke dalam air embung yang dingin.

“Sejuk banget, ya!” Ucap Kiara sembari menggoyangkan kakinya.

“Jangan banyak gerak! Nanti ikannya enggak mau mendekat.” Ucap


Hildan sembari mengeluarkan sebungkus roti tawar.

“Memangnya ada ikannya?”

“Ada! Lihat ini!” Seru Hildan yang lalu menebar potongan-potongan


kecil roti tawarnya ke dalam air.

Dengan seketika, segerombolan ikan Koi mulai menghapiri taburan itu.


Saling berebut memakan roti hingga menimbulkan cipratan air.

“Ihh! Banyak banget ikannya!”

Lalu setelahnya, kegiatan mereka hanya diisi dengan memberi makan


ikan dan bercanda.

Tiba-tiba saja ada semacam angin dingin yang berhembus di tengkuk


Kiara. Membuatnya diam terpaku. Seperti ada yang menyiram otaknya dengan air
dingin, membuatnya membeku tak bersuara lagi. Hildan yang masih sibuk dengan
ikan, mulai merasakan keheningan Kiara. Saat ia lihat ke arah wajah Kiara, yang
dia dapati adalah tatapan sendu Kiara padanya. Nyaris berkaca-kaca dan berair.

“Kamu kenapa, Ra?”

70
“Enggak apa-apa, Dan.” Jawab Kiara dengan suara sendu.

“Kamu kenapa?” Tanya Hildan sekali lagi.

“Aku,” Kiara mulai sedikit terisak.

“Kenapa?”

“Aku, takut, Dan.” Ucap Kiara yang langsung menundukan wajahnya.

“Takut? Takut gelap? Kan ada senter.”

“Bukan itu, ih!” Sahut Kiara yang memukul pelan lengan Hildan.

“Terus, takut apa?”

“Aku takut,” Kiara menghirup napas dalam lalu melanjutkan kalimatnya,


“Aku takut enggak bisa menemani kamu selamanya.”

“Enggak perlu! Aku juga enggak mungkin menemani kamu selamanya,


Ra.”

Bibir Kiara bergetar dan air matanya mulai leleh. Semakin dalam ia
menundukkan kepalanya. Lalu Hildan memegang bahu Kiara dan membuatnya
kembali menghapkan wajahnya pada Hildan.

“Selamanya terlalu lama, Ra. Seumur hidup sudah cukup untukku.”

Ucapan Hildan mampu memantik senyum Kiara. Kemudian dengan


lembut, ia mengusap air mata Kiara dan ikut tersenyum.

“Mau roti?” Ucap Hildan yang langsung menyuapi Kiara dengan


sepotong roti tawar dan memicu tawa keduanya.

***

Genjrengan gitar Hildan mengisi kesunyian bersamaan dengan suara api


unggun yang dibakar di depan tenda mereka. Chord D yang disambung Dmaj7
lalu D7 itu mengalun nyaring dibarengi dengan lirik “Kiss me, out of the bearded

71
barley. Nightly, beside the green, green grass...” disambung lagi dengan chord A
dan genjrengannya berhenti sejenak, saat mata mereka bertemu dan membeku,
“So kiss me....”. Lalu, tatapan merekapun kian mendekat perlahan, napas mereka
bertemu. Napas mereka agak sedikit tergesa keluar dari mulut dan hidung mereka
bersama dengan hawa dingin yang justru terasa hangat bagi mereka. Sedikit
canggung, senyum canggung, lalu mata mereka terpejam dan bibir mereka
bertemu. Meleburkan segala tanya tentang ketidakpastian pada ungkapan cinta
paling nyata : kecup.

Tak diperlukan lagi ungkapan cinta yang berbuih-buih kalimat romantis


untuk meyakinkan orang yang kau cintai. Saat dengan sadar dan tak sadar,
hatimu menuntun bibirmu menuju bibirnya untuk saling membantu mengecap
lima huruf yang sangat sulit diucapkan itu. Menyatakannya dengan lantang, lebih
lantang dari Rahwana yang menculik Shinta. Bahkan lebih lantang dari racun
yang ditenggak Romeo dan belati yang ditikam Juliet pada jantungnya untuk
ungkapkan cinta mereka.

Mulai saat ini, bibir Hildan pun juga telah mengucap sumpah untuk tak
menyakiti Kiara. Sebab ketulusan dan kelembutan pada ciuman itu adalah bukti
dari kasih sayang tanpa menyakiti, dari Hildan, untuk Kiara.

***

Embun pagi mulai saling menyusunkan diri di dedaunan. Seiring dengan


kicauan burung dan hembus angin yang membelai pepohonan, Hildan telah duduk
di tepi embung dengan secangkir teh hangat di tangannya menghadap Sindoro
saat Kiara beranjak dari dalam tenda dan duduk di sebelahnya.

“Tahu tidak, teh hangat adalah minuman yang paling pas dinikmati saat
menanti matahari terbit seperti ini.”

“Kukira, kamu lebih suka kopi daripada teh.”

72
“Benar. Tapi, yang kusuka tak selalu harus dipaksakan pada setiap tempat
dan saat,” Hildan menyodorkan secangkir tehnya, “tuan putri mau secangkir teh
hangat di pagi hari?”

Dengan sebuah senyuman, Kiara meraihnya dengan menundukkan


kepalanya sedikit dan membuat rambutnya turun menutupi wajahnya, “Dengan
senang hati, pangeran.”

Tangan Hildan menyibak rambut Kiara ke belakang telinganya. Mata


mereka kembali bertemu, kembali membeku. Dengan lembut Hildan mencium
kening Kiara, yang juga mulai ikut dibelai cahaya keemasan matahari terbit yang
menembus kabut tipis. Menghangatkan genggaman tangan mereka pada cangkir
teh hangat. Menghangatkan hati mereka.

“Sekarang, wajahmu yang tertutup rambutmu.” Ucap Kiara yang


menyibak rambut yang menutupi mata Hildan.

“Sekarang gantian kamu yang mau mencium keningku?”

“Ih! Enggak! Jangan ngarep!” Ejek Kiara yang menjulurkan lidahnya.

Hildan membalas dengan menggelitiki pinggang Kiara yang malah


membuat keduanya tertawa lepas dan lalu berhenti tertawa. Kiara menyandarkan
kepalanya pada bahu Hildan, dan Hildan mendekap erat Kiara.

“Terima kasih, Dan.”

“Aku juga berterimakasih.”

“Enggak, aku enggak ngasih apa-apa.”

“Aku berterimakasih karena, dengan adanya kamu, aku bisa memberi.


Terima kasih sudah hadir di hidupku. Kamu enggak perlu ngasih apapun, pun
enggak perlu meminta apapun. Untukmu, apapun itu, kuusahakan.”

“Tapi tidak selamanya.”

73
“Iya, karena-“ belum sempat Hildan menyelesaikan kalimatnya, bibirnya
telah dihalangi jari telunjuk Kiara.

“Karena selamanya terlalu lama, cukup seumur hidup saja.” Ucap


mereka berdua bersamaan.

MEKAR

Kini asmara sepasang manusia di Solo itu telah mekar seutuhnya. Wanginya ke
mana-mana, mengikuti mereka dan menyebar ke berbagai tempat yang mereka
kunjungi berdua. Berbagi kemesraan saat duduk bercengkrama di kedai kopi atau
di bangku taman. Bahkan saat mereka tak bersama pun, wanginya masih saja ke
mana-mana, lewat tutur lembut perihal perhatian saat mereka saling menelpon.

74
Segala sesuatu memiliki umur, kadaluarsa, masa berlaku atau apapun
yang sejenisnya. Sebotol susu, sepotong roti, kartu sim, Anggrek yang kau tanam
di perkarangan rumah : memiliki masa mereka sendiri untuk pada akhirnya
menemui kesunyian mereka masing-masing. Dan apa yang ada di antara kata
“lahir” dan “mati” ada “belajar, tumbuh, dan mungkin layu”. Pun sama dengan
cinta. Ia lahir, belajar, tumbuh, layu, dan akhirnya mati. Adalah permasalahan apa
yang seharusnya lahir sebelum atau sesudah cinta itu mati untuk meneruskan
asmara atau hubungan dan membawanya terus hidup sampai sang empu yang
mati.

Bahkan, pada beberapa kasus, asmara tak juga mati meski sang empu
sudah berada dalam kesunyian. Lihat saja sebuah kubur di Lebanon yang masih
saja menumbuhkan hawa sejuk dan rindu pada kekasihnya yang juga menemui
sunyinya di atas gundukan tanah itu. Apakah asmara mereka benar-benar
dilanjutkan ke keabadian setelah kefanaan dunia? Entahlah, belum ada yang
pernah merasakannya dan kembali untuk menceritakannya pada yang masih hidup
di kefanaan.

75
Kembali lagi, sebelum atau sesudah cinta itu mati, apakah yang
seharusnya tumbuh dan menggantikan cinta itu untuk meneruskan asmara? Cinta.
Cinta yang lebih besar lagi, yang sering disebut kasih sayang. Rasa yang sama
yang diberikan Ibu pada anaknya. Rasa yang yang tak berunjung. Yang tak pernah
usai. Yang hanya akan mati dan lahir kembali menjadi lebih besar lagi.

Namun lagi, tak semua Ibu berhasil melahirkan kembali cinta pada
anak-anaknya. Tak semua pasangan berhasil menciptakan rasa yang lebih besar
lagi untuk kehidupan asmara mereka. Layu, dan mati, kemudian tergantikan rasa
lainnya lagi. Saat itu, asmara telah menemui kesunyiannya. Untuk kemudian
dilupakan.

Saat cinta Hildan dan Kiara tengah mekar-mekarnya, dan


harum-harumnya, cinta Rian dan Viona yang telah lebih dulu mekar dan harum
kini menemui fase layunya.

Candaan dan tawa saat bertemu lewat suara di kamar masing-masing


mulai berganti dengan ucapan-ucapan dengan nada tinggi. Bukan lagi perihal
perhatian, namun perihal ketidakpercayaan dan kekecewaan. Segala buih-buih
kalimat romantis yang sering diucapkan kini telah memenuhi mulut mereka. Lalu
ditagih kebenarannya.

Adalah yang paling sulit membuktikan kata cinta yang pernah kau
janjikan. Apalagi saat kau tak pernah bersungguh-sungguh mengucapkan pada
awalnya. Panah asmara yang ditujukan ke hati kini berbalik arah menikam
jantungmu sendiri saat kau gagal menepati cintamu dan ditagih kesungguhanmu.

Hanya air mata yang kering di pipi dan mata yang sembap yang menyapa
pada kaca di hadapan Viona di pagi hari. Tangis yang tak usai, dan kemungkinan
tak pernah usai itu gagal terbendung malam sebelumnya. Membuatnya
sesenggukan menutupi wajahnya dengan bantal yang sudah basah kuyup didera
air mata.

76
Puluhan panggilan tak terjawab yang diisi rasa cemas dan khawatir yang
kemudian terjawab dengan rasa kaget dan kecewa di telinga Viona yang lalu
melelehkan air mata kembali menuruni pipinya.

***

Dering telepon genggam yang tak berhenti hanya dibiarkan tak terjawab
di atas meja saat Rian berjalan mondar-mandir dengan keringat dingin dan rasa
cemas di sebuah kamar. Ia lihat lagi nama di layar ponselnya, Hildan, semakin
menambah rasa cemasnya.

“Pasti Viona cerita ke Hildan!”

Ia sedang memikirkan banyak hal tentang bagaimana menyelesaikan


permasalahan mereka ini.

***

Kembali menuju sore hari ketika sepasang kekasih itu melepas rindu
setelah dua minggu tak bertemu. Rian dan Viona tengah duduk di tepi jalan, di
sebuah bangku di trotoar dengan es krim di tangan mereka. Tangan Viona
menggenggam erat cone es krimnya, dengan wajah bengong ia hanya menatap
jalanan yang ramai lalu-lalang kendaraan, ketika setetes es krimnya yang mencair
jatuh di jarinya membuatnya tersadar dari kebengongannya. Ia langsung
mengarahkan pandangannya ke wajah Rian, dengan bibir yang bergetar seolah
ingin mengatakan sesuatu.

“Rian,” ia berhenti seketika saat Rian mengalihkan pandangannya


kepada dirinya.

“Kenapa?”

“Aku mau ngomong sesuatu.”

“Ngomong apa?”

77
Viona menenggak ludahnya sedalam mungkin, mengumpulkan
keberanian ke ujung lidahnya, menarik napas panjang dan bersiap, “Kamu masih
ingat saat kita ke Malang waktu itu?”

“Oh! Ingat, kenapa?”

“Malam itu, saat di hotel.” Viona kembali menenggak ludahnya


dalam-dalam, “Saat kamu bilang bahwa kamu mencintaiku dan tidak akan
meninggalkanku, lalu kita melakukan itu,”

“Iya Viona, aku mencintaimu. Berapa kali harus kukatakan untuk


membuatmu yakin dan tidak lupa kalau aku mencintaimu, selalu.”

“Kamu janji? Enggak akan ninggalin aku?”

“Iya, Viona. Aku janji.”

“Rian, aku hamil.”

Rian seketika langsung berhenti menjilati es krimnya. Menatap mata


Viona dalam-dalam. “Kamu yakin?”

“Iya, aku sudah cek.”

“Sudah berapa lama sejak saat itu?”

“Dua bulan.”

Rian langsung panik dan beranjak dari tempat duduknya, keringat dingin
mengucur di dahinya. Perkataan Viona langsung membuyarkan pikirannya.
Terlintas segala konsekuensi yang harus dihadapinya. Bertanggungjawab dan
menikahi Viona adalah apa yang harus ia lakukan. Yang tentu saja
menghancurkan masa mudanya yang ingin ia nikmati dengan bebas. Bahkan
segala kata-kata perihal cinta, selamanya, tidak akan meninggalkan : hanyalah
kata-kata manis yang ia temukan di ujung lidah saja. Tak ia sungguhkan di hati
dan pikirannya. Ia tentu masih ingin berganti wanita di hidupnya, menikmati
bunga-bunga lain untuk ia nikmati harumnya. Dan menikahi satu untuk sekarang

78
ini, adalah apa yang belum ia pikirkan atau rencanakan sebelumnya. Teruntuk
Viona pula, ia hanya penasaran dengan paras Viona saja.

Segala kepanikan itu akhirnya mendorongnya untuk berkata, “Kamu


gugurkan saja.”

Viona yang kaget dengan ucapan Rian pun ikut beranjak dari tempat
duduknya, menjatuhkan es krimnya ke trotoar. “Enggak! Aku ibunya!”

“Tapi aku belum siap, Vio!”

“Katamu, kamu akan mencintaiku selamanya? Maka kamu juga harus


mencintai anak ini!”

“Tidak sekarang! Aku belum siap menikah! Aku belum mampu


menghidupimu sepenuhnya!”

“Kita bisa sama-sama berjuang untuk itu. Aku bisa kerja.”

“Kuliahmu? Bagaimana?”

“Aku akan berhenti.”

Kalimat itu pun juga sebenarnya perlu diucapkan dengan penuh


keberanian pula. Mengubur segala keinginannya untuk menjadi seorang guru.
Yang sudah ia sungguhi sejak kecil. Cita-citanya rela ia korbankan demi
melahirkan dan membesarkan anaknya nanti.

“Orangtuamu?”

“Kita akan bicara dan membujuk mereka, Rian.”

“Tidak Viona. Kamu gugurkan saja, atau,” belum sempat Rian


menyelesaikan kalimatnya, sudah dipotong oleh Viona.

“Atau apa? Kamu akan pergi dariku?!”

79
Rian menggeram kesal dan langsung menarik tangan Viona menuju
mobilnya. Viona menarik tangannya dengan keras dari genggaman Rian sesaat
sebelum Rian membuka pintu mobilnya. Sebuah tamparan keras mendarat ke pipi
kiri Rian.

“Kamu harus tanggungjawab!” Viona berteriak di depan Rian dan


menarik perhatian banyak orang di sekeliling mereka.

Rian yang semakin panik langsung saja menarik tangan Viona dengan
keras pula, membawanya masuk ke dalam mobil. “Kita cari tempat lain untuk
membicarakannya.”

Mereka pun pergi dan menyusuri jalanan Solo, tanpa tujuan, untuk
melanjutkan perdebatan mereka.

“Vio, kamu harus menggugurkannya!”

“Enggak! Aku enggak mau! Dia anakku, anakmu!”

Mata Viona mulai berair dan bicaranya mulai sesenggukkan.

“Kamu harus menggugurkannya, atau,” Rio menatap ke arah Viona


dengan wajah penuh emosi, “atau kita putus.”

“Kamu jahat, Rian!”

Rian hanya diam dan mengarahkan mobilnya ke bahu jalan. Membuka


kunci pintu mobilnya, “Kita putus.”

Viona semakin deras mengucurkan air matanya. Ia tundukkan kepalanya


dalam-dalam, meremas erat tangannya sendiri.

“Kamu turun sekarang.”

Viona kembali mengarahkan pandangannya ke Rian, dengan sekuat


tenaga ia remas tangannya dan ia ayunkan telapak tangannya dengan telak ke pipi
kiri Rian lagi. Lalu ia keluar dari mobil dan membanting pintu mobil dengan

80
keras. Ia acuhkan tatapan sinis dan penasaran orang-orang di sekitarnya. Mobil
Rian langsung melaju meninggalkan Viona sendirian.

Segala kepercayaan telah runtuh dan lebur bersamaan dengan melajunya


mobil Rian. Pun begitu akhiran asmara Viona dan Rian. Layu dalam pertengkaran
dan perbedaan, kemudian mati tanpa diganti. Kini, langkah kaki Viona diayunnya
sendiri, tanpa tujuan, tanpa sandaran, tanpa Rian.

Ia istirahatkan pikirannya ke sebuah kedai kopi, Mahligai, duduk di tepi


jendela, memesan Vanilla Latte yang dinikmati dengan mata sembap dan alunan
lagi dari Extreme – More Than Words.

Lonceng di atas pintu kedai berbunyi ketika pintu didorong oleh Hildan
yang kemudian masuk dengan menggandeng Kiara. Tawa mereka terhenti ketika
melihat Viona yang duduk termuram di sebuah bangku di tepi jendela. Perlahan
mereka berjalan dan duduk di depannya. Viona yang menundukkan wajahnya
kaget dengan kehadiran mereka.

“Kamu kenapa, Na?” tanya Kiara yang ikut menundukkan wajahnya


untuk melihat wajah Viona.

Viona mengangkat wajahnya, menunjukkan matanya yang sembap dan


mulai membiru, “Enggak apa-apa, Ra.” Dengan cepat ia seka matanya yang berair
itu.

“Kamu kenapa, Na?” kini gantian Hildan yang bertanya.

Viona menggelengkan kepalanya dan mulai meminum Vanilla Lattenya.


Kembali menyembunyikan perasaannya.

“Na, kamu kenapa?” Hildan kembali bertanya, kini ia tak bisa


menyembuyikan rasa takut dan penasarannya.

Ia tak tahan lagi berpura-pura biasa saja melihat keadaan Viona yang
terlihat sangat sedih dan kini menangis di hadapannya. Ia meraih tangan Viona
dan kembali bertanya, “Kamu kenapa?”

81
Viona kembali terisak, namun tubuhnya kini terasa aneh saat tangannya
digenggam Hildan. Seakan perasaan nyaman dan tenang menjalar dari tangan ke
seluruh tubuhnya. Kiara menatap ke tangan Hildan dan Viona, ia rasakan perasaan
cemburu, seperti semacam genggaman tangan yang penuh kecemasan yang
diberikan Hildan kepada Viona. Sama seperti saat tangannya digenggam Hildan
saat terbaring ranjang rumah sakit.

Ia kembali mengumpulkan keberaniannya. Menatap mata Hildan


kemudian Kiara. Bibirnya kembali bergetar sesaat sebelum melontarkan kata-kata.

“Aku hamil.”

Kini gantian Hildan dan Kiara yang kaget dan tersentak. Hildan menarik
tangannya dan berdiri. Ia langsung meraih sakunya dan mengeluarkan
handphonenya. Ia tekan nomor telepon Rian. Tak terjawab. Ia coba lagi. Tak
terjawab lagi. Ia kembali duduk. Kiara telah mencoba menenangkan tangis Viona.

“Rian ke mana? Rian tahu?” tanya Hildan.

“Enggak tahu dia ke mana,” Viona kembali menyeka air matanya. “Dia
tahu, lalu pergi. Enggak tahu ke mana.”

“Bangsat!” Hildan mengumpat lirih dan kembali mencoba memanggil


Rian, tak terjawab lagi.

“Udah, enggak usah hubungin dia lagi, Dan.”

“Dia harus tanggungjawab, Na! Dia laki-laki!”

“Dia sudah enggak mau tanggungjawab, dia pergi. Dia bukan laki-laki.”

Hildan kembali beranjak dari tempat duduknya, menuju konter barista.

“Tahu Rian ke mana?”

“Enggak tahu, kenapa?” jawab salah satu barista yang ia tanyai.

“Coba telepon dia.”

82
Barista itu meraih telepon genggam dalam sakunya, ia panggil Rian. Tak
terjawab lagi. Rian seakan menghilang dari jangkauan orang-orang. Menghilang.
Hildan tak mengira jika Rian akan bertindak seperti ini dan kemudian lari. Ia
sendiri ikut merasa malu. Tak hanya karena Rian adalah sahabatnya, pun
pertemuan Rian dan Viona terjadi juga karena dirinya. Pikirannya kian kusut,
berseliweran segala hal-hal yang menyangkut amarah, malu, cemas, sedih,
kecewa, amarah, amarah, dan amarah. Amarahlah yang paling menguasai
pikirannya saat ini.

Ia raih sebuah kursi dan duduk dengan memegangi kepalanya yang mulai
pening. Sekali ia tatap Viona yang sesenggukan menahan tangisnya dan Kiara
yang mencoba menenangkannya. Sial! Pikirnya, dua wanita yang
sebenar-benarnya ia sayangi dalam sekali waktu ini, sedang tertimpa musibah.
Bahkan saat mereka tak begitu jauh dari jangkauannya. Masih, ia tak berdaya.
Tangannya tak cukup lebar untuk peluk, bahunya tak cukup luas untuk sandaran.

Napasnya ditarik dalam, seiring dengan rokok yang ia keluarkan dari


sakunya, ia sulut dengan gagap pemantiknya. Menyala! Ia hisap dan hembuskan.
Ia coba tenangkan pikirannya. Buang satu-persatu hal yang tak penting. Temukan
Rian, adalah yang terpenting sekarang. Ia pikirkan ke mana kemungkinan Rian
pergi. Rumahnya, rumah orangtuanya, atau di rumah temannya? Atau, tempat
lain. Ia putuskan untuk memulai dari rumah Rian. Bergegaslah ia menuju
motornya di luar.

“Dan! Mau ke mana?” tanya Kiara.

“Tunggu di sini saja, temani Viona.” Sahut Hildan yang kemudian pergi
seketika dengan motornya.

Melaju dengan cepat di jalanan Solo, menyalip dari kiri dan kanan,
beberapa lampu merah ia terobos. Pada sebuah persimpangan jalan, ia masuk ke
dalam jalan kecil. Berhenti di sebuah rumah bercat putih tanpa pagar. Dengan
tergesa ia turun dan mulai mengetuk pintu dengan tak sabar. Tak ada jawaban. Ia
mengintip melalui kaca jendela, sepi. Kini tangannya mulai meraih-raih di atas

83
pintu, mengambil sebuah kunci. Dengan segera ia masuk ke dalam rumah.
Dicarinya setiap sudut rumah. Masih rapi. Kembali Hildan menarik napasnya,
merapikan rambutnya ke belakang. Memperlihatkan matanya yang menajam
disepuh amarah. Dipukulnya pintu kamar Rian, bajingan!.

Hildan kembali menuju motornya, dan tujuannya kali ini adalah rumah
orangtua Rian. Kembali mengebut, tak memperdulikan urusan pengguna jalan
lain. Tak ia pedulikan klakson dan makian dari orang-orang yang ia salip. Hingga
saat motornya mulai melambat, bersamaan dengan matahari yang mulai
tenggelam, ia sampai di rumah orangtua Rian. Ia turun dari motornya, kini tak
tergesa-gesa lagi. Ia berjalan perlahan, dan mengetuk pelan pintu rumah.

“Iya, sebentar.” Sahutan dari dalam rumah, sebuah suara wanita yang
sudah terdengar parau dan berjalan mendekat. Di bukanya pintu, “Eh! Nak
Hildan, tumben datang ke sini. Ada apa? Padahal Rian enggak ada di rumah.”

Hildan kecewa mendengar ucapan wanita paruh baya di depannya ini,


namun ia coba sembunyikan dengan sebuah senyum canggung, “Wah, Riannya
enggak ada ya, Bu? Kira-kira ke mana ya?”

“Ibu juga enggak tahu, kan biasanya sama nak Hildan. Sekarang kan
Rian lebih sering sama nak Hildan daripada sama Ibu. Mari nak, duduk dulu.”
Tangannya mempersilahkan Hildan untuk duduk di bangku di teras rumah.

“Enggak, Bu, saya buru-buru.”

“Tumben, biasanya kamu doyan ngobrol sama Ibu.”

“Lagi ada urusan penting sama Rian, Bu, maaf.”

“Urusan bisnis kedai kopimu itu? Memangnya Rian kenapa? Sudah


kamu coba telfon?”

“Sudah, bu, tetapi tidak diangkat.”

84
“Nanti Ibu bantu mencari, siapa tau ada di rumah pamannya. Nanti, kalau
sudah dapat kabar soal Rian, Ibu kabari nak Hildan.”

“Baik, bu, terima kasih. Kalau begitu, saya permisi dulu, bu.”

“Iya, nak, hati-hati.”

Hildan lalu pergi dengan hati yang semakin menderu. Kegelisahan yang
belum terjawabkan membuatnya merasa semakin marah pada Rian.

***

Isakan tangis masih mengisi kedai dan memenuhi cangkir Vanilla Latte
yang tak tersentuh dan telah mendingin di meja. Viona menatap kosong ke jendela
kaca. Hidungnya memerah. Matanya berair. Dan bibirnya bergetar. Kiara yang
duduk di sebelahnya hanya bisa mengelus bahu Viona. Ia tak tahu harus berbuat
apalagi selain mendengarkan isakan Viona.

Hildan memasukki kedai dengan rambut yang berantakan dan nafas yang
terburu-buru. Ia segera duduk di seberang Viona yang masih saja memandang
kosong jendela kaca. Ia melirik ke arah Kiara, sebelum kembali lagi menatap ke
arah Viona.

“Na,” Hildan menarik nafas sebelum melanjutkan ucapannya. “Aku pasti


bantu kamu.” Hildan meletakan tangannya ke atas tangan Viona dan menggemnya
dengan erat, membuat Viona tersentak.

Viona menarik tangannya dari genggaman Hildan dan mengusap


matanya yang berair, “Iya, Dan, terima kasih.”

Kiara tersenyum melihat Viona namun juga merasa tidak nyaman dengan
tindakan Hildan.

“Na, sekarang kamu pulang dulu. Tenangkan dirimu. Jangan pikirkan ini
dulu. Urusan mencari Rian biar aku yang lakukan.”

“Iya, Dan, terima kasih. Maaf merepotkan kamu.”

85
“Enggak apa, Na. Mau kuantar pulang?”

“Enggak usah, Dan. Aku naik taksi saja.” Jawab Viona dan langsung
berdiri, “Terima kasih, Ra, maaf merepotkan kamu juga.”

“Na, kita ini sahabat.” Sahut Kiara yang tersenyum lembut kepada Viona.

“Kalau begitu, hati-hati.” Ucap Hildan saat mengantarkan Viona keluar


kedai.

Denting lonceng terdengar saat pintu kedai tertutup, dan mengunci


suasana haru yang tertinggal dari seorang calon ibu yang patah hati. Suasana biru
masih juga menyelimuti penghuni kedai, membuat mereka yang tahu haru apa
yang dibawa dan ditinggalkan Viona tertunduk lesu. Hildan tertunduk dengan
pikirannya yang melayang-layang. Ia masih tak sanggup menahan rasa sakit dari
mengtahui wanita yang ia cintai menangis tersedu-sedu karena sahabatnya sendiri.
Tangannya mengepal keras di atas meja. Lalu tangan lembut Kiara meraihnya,
melunakkan genggamannya. Hildan tersentak dan menatap Kiara yang
melihatnya. Matanya sayu dan khawatir.

“Dan, aku percaya Rian akan tanggungjawab. Mungkin dia sedang


tertekan dan ingin waktu sendiri.”

Kiara salah menanggapi perasaan Hildan. Ia tidak memikirkan Rian,


tetapi Viona. Namun Hildan mencoba menanggapi Kiara dan tersenyum, lalu
membalas genggamannya.

“Iya, Ra. Aku harap begitu.”

Kiara pun ikut tersenyum melihat kekasihnya yang tersenyum hangat


padanya. Ia juga merasa tersentuh dengan kekhawatirannya pada sahabatnya,
Viona. Ia juga ikut merasakan kekesalannya kepada Rian. Lalu Kiara mengusap
lembut tangan Hildan, dan mereka pun seakan lupa dan menghapus haru di seisi
kedai dengan aroma bunga cinta mereka yang mekar.

***

86
Setelah puluhan dering yang terlewat dan jawaban nomor yang
dihubungi tidak aktif, Hilda duduk di jendela kamarnya. Menatap kosong ke arah
pepohonan, dengan alunan lagu Cokelat – Jauh terputar memenuhi kamarnya.

Aku tak tahu entah apa yang harus aku lakukan. Aku mencintai Viona
hingga aku tak sanggup melihatnya terluka. Aku bahkan tak sanggup melihat
matanya memerah karena perih. Aku tak sanggup menatap bibirnya yang
gemetaran. Bibir yang biasanya tersenyum hangat itu kini kuyup oleh air mata.
Tetapi aku juga punya cinta lain. Yang juga cinta aku.

Aku juga tak sanggup melihatnya terluka. Karena aku mencintai yang
lain. Aku juga tak sanggup untuk tak membuatnya bahagia.

Cinta bukanlah perbandingan atau pun perhitungan. Entah bagaimana


cinta bisa terbagi, padahal pada awalnya hanya satu. Cinta pasti hanya satu, tak
mungkin terbagi. Manusianya lah yang membaginya. Dan manusia tak mungkin
bisa adil dalam membagi perasaan. Dan Hildan pun pasti begitu. Cintanya tak
pernah benar-benar ditentukan pada Kiara. Ia hanya mengalihkannya. Lalu kini, ia
kembali teralihkan.

***

Satu minggu telah berlalu setelah tangisan Viona di kedai Mahligai,


Hildan telah mencoba menenangkan perasaannya. Kini ia duduk di ranjangnya,
memutar-mutar handphone di tangannya sebelum menekan tombol dan menelfon
Viona.

Suara dering di ujung sana membuat jantungnya berdetak seirama hingga


sebuah suara menjawab di ujung sana, “Halo?”

“Halo, Na,” Hildan menarik nafas panjang dan melanjutkan, “Kamu udah
baikkan?”

“Iya, Dan, udah kok. Kenapa? Ada kabar soal Rio?”

87
Hildan terdiam sejenak sebelum menjawab pertanyaan Viona,
“Syukurlah kalau kamu sudah baikkan. Soal Rian, aku belum dapat kabar.
Telfonku enggak diangkat dan beberapa hari yang lalu nomornya sudah tidak
aktif. Ibunya Rian juga sudah cari ke kerabat-kerabatnya dan mereka enggak
ketemu Rian. Sejujurnya, aku enggak tahu harus cari Rian ke mana lagi,” Hildan
menarik nafas panjang dan melanjutkan, “Maaf, Na.”

Sunyi menyambut kata-kata Hildan di ujung telefonnya untuk beberapa


saat, “Iya, Dan, enggak apa-apa kok. Bukan salahmu juga. Kamu enggak harus
minta maaf.”

“Na,” Hildan mengepalkan tangannya sebelum melanjutkan ucapannya,


“Kamu ada waktu sore ini?”

“Iya, Dan, kenapa?”

“Nanti aku jemput ke rumah, ya?”

“Mau ke mana?”

“Aku mau ajak kamu jalan-jalan sebentar. Yaaa, sekedar cari angin. Mau,
ya?”

“Iya, Dan. Kiara diajak?”

Pertanyaan Viona membuat Hildan sedikit tersentak. Butuh pertimbangan


yang sangat lama baginya untuk memutuskan kembali membagi cintanya kepada
Viona, lagi, “Enggak, Na.”

“Yasudah, Dan, aku tunggu nanti sore.” Dan telepon ditutup.

Hildan terduduk kaku di ranjangnya. Ia letakkan telfonnya dan berbaring


menatap langit-langit kamarnya. Ia melirik ke arah jam dinding yang dengan
malasnya menyeret jarum-jarum itu itu menuju sore. Udara panas yang terbawa
angin siang hari menerpa barisan kertas di dinding kamar indekos Hildan. Seolah
angin-angin dan terpaan itu merontokkan huruf-huruf dan barisan kata ke benak

88
Hildan. Menumbuhkan imagi Viona yang pernah ia sangka sebagai pelangi lalu
cahaya keemasan sore menimpa langit tempat tinggal pelangi itu. Dan “sore” itu
adalah Kiara.

Kini kepala dan dada Hildan terisi penuh keindahan-keindahan angkasa.


Yang mana, ketika keindahan itu berkumpul malah menjadi kenestapaan di ujung
lidahnya. Melahirkan kata-kata pahit dari setiap ucapannya. Termasuk yang
pernah ia ucapkan pada dirinya sendiri, “Ini untuk Kiara juga. Jika Viona
kenapa-kenapa, Kiara pasti akan sedih.” Setidaknya, begitulah kenaifannya
pernah ia paksa telan agar kini ia punya alasan untuk membahagiakan Viona.
Meski mungkin, menyakiti Kiara.

***

Langit sore dengan awan yang berarak mengisi pandangan mata Hildan
ketika ia melaju di atas motornya dengan Viona di bangku belakang. Sesekali ia
lirik pada kaca spionnya, di dapatinya mata Viona yang masih saja berair dan
kantung mata yang bergelantungan menandakan bahwa Viona masih belum
selesai dengan tangisnya. Sepeda motornya melaju perlahan di jalanan di tepi
sawah. Angin sore hangat nan lembut membelai rambut sebahu Viona dan
mengeringkan kelopak matanya. Dan tetap saja, tak ada kata-kata yang keluar dari
mulut keduanya bahkan setelah sudah berjalan sejauh ini.

Langit sore dengan awan yang berarak mengisi pandangan mata Hildan ketika ia
melaju di atas motornya dengan Viona di bangku belakang. Sesekali ia lirik pada
kaca spionnya, didapatinya mata Viona yang masih saja berair dan kantung mata
yang bergelantungan menandakan bahwa Viona masih belum selesai dengan
tangisnya. Sepeda motornya melaju perlahan di jalanan di tepi sawah. Angin sore
hangat nan lembut membelai rambut sebahu Viona dan mengeringkan kelopak
matanya. Namun tetap saja, tak ada kata-kata yang keluar dari mulut keduanya
bahkan setelah sudah berjalan sejauh ini. Jalanan menurun dan berliku menarik
tangan Viona untuk menggenggam jaket Hildan dan membuat Hildan tersentak.

89
Dan ketika Viona menyadari perbuatan tanggannya, segera ia tarik kedua
tangannya lalu ia pelukan pada tubuhnya sendiri.

Sinar keemasan matahari memantul dari cermin raksasa di depan jalanan menurun
yang mereka lalui. Sebuah danau menghampar dengan sawah-sawah yang luas
mengelilinginya. Mereka berhenti di padang rumput yang cukup luas untuk
orang-orang yang berbondong-bondong menggelar tikar dan meminum teh atau
kopi selagi menikmati matahari yang mulai tenggelam.

Keduanya lalu turun dari motor dan duduk di atas rumput. Keramaian
cakap-cakap juga canda dan tawa memenuhi suasana sore di tepi danau.
Burung-burung walet yang saling berkelebatan menyanyat lingkar sinar matahari
ikut memeriahkan pemandangan langit yang mulai menjadi jingga. Angin yang
mendorong-dorong dan memisahkan segumpalan-segumpalan awan pun tak ingin
ketinggalan meramaikan angkasa sore itu. Namun segala hiruk-pikuk dunia kala
sore itu, tak mampu memecahkan keheningan di antara Hildan dan Viona.

Sepertinya matahari telah terlebih dahulu jatuh dan tenggelam di antara keduanya.
Malam mungkin sudah mendingin dan membawa senyap ke hati mereka. Dan
malam tak pernah lebih menggairahkan seperti sore. Sore yang dihiasi
pernak-pernik tingkah manusia dengan tawa mereka, sore yang langitnya dilalui
berbagai burung dengan kicauan mereka, sore yang angkasanya berpendar
merajam berbagai warna. Lalu malam, adalah ketiadaan dari itu semua. Mereka
hanya duduk termangu memegangi lutut dan memandang kosong langit barat. Tak
ada canda, tak ada kicau, dan tak ada warna. Hanya kesayuan saja yang
ditampakkan wajah keduanya. Berperang melawan pendar ceria langit sore yang
mereka tatap.

90

Anda mungkin juga menyukai