Anda di halaman 1dari 9

Pulang

Dibawah sinar matahari yang terik. Dengan hiruk pikuk pasar yang ramai, serta suara
bising dari kendaraan yang melintas di jalannya. Ditambah dengan udara yang panas serta debu-
debu yang berterbangan tidak membuat orang yang sibuk berlalu lalang serta fokus dengan
kegiatannya masing-masing merasa terganggu.

Suasana tempat ini masih sama, riuh, sibuk, dan sesak tentunya. Namun hal ini tidak
menghalangi seorang pemuda yang terus berjalan menembus kerumunan pasar. Berjalan dengan
cepat, tapi tidak tergesa. Hanya saja ia ingin segera keluar dari tempat yang sedikit tidak nyaman
ini.

Wajahnya tidak menunjukan ekspresi yang berarti, sama seperti orang-orang lainnya
penghuni kota ini. Orang-orang yang dibelenggu oleh Hasrat dan tujuan masing-masing. Terus
berjalan di jalan masing-masing. Sembari mengencangkan pegangan di ransel yang ada di
pundaknya, dia terus berjalan.

Sesuatu muncul di pikirannya. Sesuatu yang telah lama bergejolak namun ia tidak kunjung
menemukan jawabannya. Sampai kapan ia akan terjebak di arus kota yang terlihat seperti sungai
madu tapi penuh duri dan ranjau ini. Tidak ada jalan keluar. Atau setidaknya dia tidak
menemukannya. Memikirkan ini terasa sedikit menggelitik, tapi ada rasa getir di dalamnya.

Ia sampai di sebuah kedai minum biasa. Iya disambut oleh seorang wanita paruhbaya
dengan senyum ramah “ehh Fahri.. ayo masuk masuk. Barangnya udah ada?”. Ia mengeluarkan
barang yang dibugkus plastik dari dalam ranselnya dan menyodorkannya pada pemilik kedai.

“ini barangnya teh, seperti biasa”


“wahh… makasih lo. Jangan lupa untuk minggu depan masih yang sama yaa…” balasnya
ramah.

Pemuda itu membalasnya dengan senyuman. “baik teh, nanti saya sampaikan sama bapak”

“oh iya,, tuh ada si Rido. Dia nungguin kamu dari tadi” kata si pemilik kedai sambil
menunjuk seseorang yang sedang duduk di tempat paling sudut. Fahri tampak sedikit kaget. “ayo
temuin, kasihan loh udah lama nungguin,, lagian kaliankan sekampung juga” tambah si pemilik
kedai mencoba meyakinkan.

Fahri melirik ke arah orang yang iya bicarakan dengan si pemilik kedai. Seorang pemuda
yang terlihat seumuran dengannya. Tepatnya adalah temannya. “baik teh” katanya. Tidak ada
alasan menghindar karena orang yang dibicarakan sudah melihatnya juga. Ia berjalan kesudut
ruarang tempat orang yang dibicarakan duduk.

“ba’a kaba ang ?? lai sehat ?” sapa Rido dengan menepuk lengannya, lalu membiarkan
duduk disampingnya. “allhamdulillah lai” jawabnya singkat sembari memberikan senyuman,
namun terlihat berat. Agaknya di sudah bisa menerka apa tujuan dari temannya ini menemuinya.
Rido memperhatikan reaksi yang di berikan temannya.

“lansuang sajo lah yoo, ba’a kok dak mambari kaba ang ka mandeh ang ? lah rusuah baliau
dek itu. Den telfon pun dak ang angkek” kata Rido dengan serius. Fahri menghela nafas, lalu
menundukkan kepalanya. Beberapa detik kemudian dia mengangkat kepalanya lagi. “iyo… dak
takana di den ka maagiah kaba”

“alasan ang sajo tu, kalau lupo ba’a kok mandeh ang manelfon dak ang angkek?? Aden
manelfon pun samo, dak sahari duo hari, dak saminggu duo minggu fahri!! Lah lapan bulan ang
dak ado maagiah kaba ka kami!!” balas Rido dengan nada yang meninggi. Jelas dia kesal dengan
jawaban asal yang diberikan Fahri.

Namu Fahri hanya diam tidak mengatahkan sepatah kata pun. Dia masih menutup
mulutnya erat, tidak berniat menyanggah, seolah-olah membenarkan apa yang dikatakan Rido.
Dan memang kenyataanya seperi itu.

“dak tau ang baa rusuahnyo mandeh ang dek parangai ang ko? Apo salahnyo maagiah
kaba? Kini zaman lah canggih, ang lai punyo hp, dimano salahnyo Fahri?? Dimano?” dak talulua
nasi di mandeh ang karano mamikian ang Fahri!! Dak ibo ang?” tambah Rido dengan perasaan
kesal yang masih belum surut.

“saketek-banyak den lai taruih bakirim satiok bulannyo. Den pikia lah samo jo maagiah
kaba nyo tu” kata Fahri pelan. Namun itu bukan jawaban yang diharapkan oleh sahabatnya.

“bukan intan parmato yang di harok kan mandeh ang Fahri!! Buka kayo yang di carinyo
dari wa’ang!! Anaknyo lai sanang se yang nyo nio tahu.”. “apo lah guno harato,, dak ka dibao
mati”

Rido mengambil nafas, menenangkan diri. Tidak ada gunanya berbicara keras dengan
temannya ini. “cubo kini ang caritoan ka den, apo masalah ang sampai cando iko parangai ang.
duduak surang ba sampik-sampik, duduak basamo ba lapang-lapang. Kok ado masalah jan ang
tangguang surang”

Di tengah pemukiman masih di kota yang sama. Fahri berjalan, melanjutkan pekerjaannya
sehabis pertemuannya dengan sahabatnya tadi. Masih ada banyak barang yang harus di antar ke
pelanggan.

Hidup di kota tidaklah mudah. Dia telah mencoba banyak cara untuk mendapatkan
pekerjaa, mencari uang. Dia sudah pernah berdagang sebelumnya. Namun malang tak dapat
ditolak, sebuah musibah menimpanya, semua dagangannya hangus terbakar. Semenjak itu ia
sering berganti pekerjaan, dari penjaga warnet, pegawai fotocopy, sampai supir taxi.

Mencoba mengingat-ingat apa motivasinya merantau dan datang ke kota ini sembari di
perjalanan. Dulu sewaktu kecil dia sering melihat tetangganya yang pulang dari rantau. Cerita-
cerita kesuksesan orang-orang itu sangat membuatnya kagum dan terkesan. Bagaimana mereka
pulang membawa kesuksesan, bukan hanya untuk diri mereka sendiri, tapi juga untuk keluarga,
suku dan masyarakat.

Membayangkan kampung halamannya membuat sesuatu meluap di dada dan pikirannya.


“Kerinduan”. Itu dia. Alamnya nan elok dan terjaga, gonjong rumah gadang yang menjulang ke
langit, ukiran-ukiran unik di dindingnya, persawahan yang terhampar, masyarakatnya yang
agamis, serta udara yang menenangkan jiwa. Sesuatu yang sangat nostalgia. seolah-olah ingatan
ini terus menggodanya, merayunya untuk pulang.

Minangkabau ranah nan den cinto

Pusako bundo nan dahulunyo

Rumah Gadang nan sambilan ruang

Rangkiang baririk di halamannyo

Bilo den kana hati den taibo

Tabayang-bayang di ruang mato

Seketika dia teringat dengan pembicaraannya dengan temannya tadi

#POV Flashback

“Kalau memang payah iduik ang di siko baa dak pulang se?? atau paliang ndak mangecek
ang ka den, aden ko kawan ang, dunsanak ang” kata Rido tegas

“indaklah samudah itu. Ado nan tabarek di hati den. Indak ka mungkin babaliak suruik,
sadangkan jalan lah den tampuah” . “Aden lah mamiliah jalan nan iko, jalan nan iko jo nan ka den
salasaikan.” Jawabnya tegas

#Flashback-end

Kalau di pikir-pikir, ia tidak berharap merantau, terus menjadi kaya dan bisa penuh
kemewahan dan bergelimang harta. Itu hanyalah kefanaan dunia. Tapi dia berharap setelah
merantau dia bisa menjadi sesuatu yang pengaruh bagi orang lain. Ada manfaat yang bisa dia
berikan kepada orang yang di sekitarnya. Juga pengalaman hidup yang diharap bisa berguna untuk
kehidupan nantinya.
Karatau madang di hulu

Babuah babungo balun

Karantau bujang daulu

Dirumah paguno alun

Tanjuang Alam di Ampek Angkek

Dari Gaduik pai ka Kurai

Jauah jalan banyak

diliek Lamo hiduik banyak dirasai

Namun setelah lama dia menjalani kehidupan di rantau, kehidupan yang dia jalani tidaklah
sesuai dengan keinginannya. Ia tau kehidupan di rantau sangat sulit. Tapi yang dia alami sekarang
jauh lebih sulit dari yang dia bayangkan. Jangankan untuk membantu orang lain, untuk menghidupi
diri sendiri saja sangat sulit.

Rang lubuak Aluang ka pasa Usang

Mambao ragi tapai jo lamang

Manangih badan di rantau urang

Taragak badan nak pulang

Pakan baru taratak buluah

Labuhan kapa dari siak

Jawek pakirim dagang jauah


Sayang bacampua jo taragak

Singkarak kotonyo tinggi

Sumaniak mandado dulang

Awan bararak den tangisi

Badan jauah di rantau urang

bukik putuih jalan ka padang

dirandang jaguang di kuali

takaik putuih nak batualang

dipandang kampuang ditangisi

Dia mencoba yang terbaik. Terus bekerja keras, tampa lupa berdoa dan memasrahkan
dirinya kepada yang Maha kuasa. Bahkan dalam kondisi sulit pun masih mencoba membantu
orang yang membutuhkan walaupun dirinya masih kesusahan. Itulah dia, tampa meninggalkan
ajaran adat dan agama.

Namun sekian lama di pendam, rindunya akan ranah minang, tempat kelahirannya kian
hari makin memuncak. Seakan-akan seperti bom waktu yang siap meledak kapan saja. Seperti
sesuatu yang akan meluap dan menenggelamkannya sedalam-dalamnya. Rindu ini sudah tidak
tertahankan. Seolah-olah lusa dia sudah akan kembali ke sana.

##

Ia sedikit tersentak dengan suara telepon genggam yang berdering di jaketnya. Tangannya
merogoh sakunya, mengambil, dan memeriksa nomor yang tertera di layar ponselnya. Tapi setelah
melihat nama yang tertera di sana, dia hanya diam. Tidak melakukan apa-apa sampai telllepon itu
tidak mengeluarkan suara lagi. Ada rasa berat dan sedikit penyesalan di wajahnya. Dia lalu
memasukkannya ke sakunya lalu melanjutkan pekerjaanya.
Ia berjalan melalui trotoar dengan kendaraan yang melintas disampingnya. Kemudian
berbelok ke sebuah gang. Sebenarnya iya tidak suka melewati tempat ini. Bahkan orang lain pun
akan lebih memilih melewati jalan memutar daripada melewati tempat ini. Namun dia sudah
dikejar waktu, melewati jalan ini akan lebi cepat, dan pekerjaannya akan segera selesai.

Sepanjang jalan jarang terlihat orang lain. Hanya bangunan tua, kotor dan tidak terawat.
Banyak fandalisme acak yang yang terlihat di dinding2 bangunan. Yang paling ditakuti orang
bukanlah ini, tetapi rawannya aksi kejahatan yang terjadi disini.

Tapi dia mencoba tidak memikirkan itu, tujuannya sekarang adalah mencapai tempat
tujuan secepat mungkin dan bisa pulang. Itu saja.

Tepat dia mengecek alamat pesanan yang harus dia antar, belok kanan dari gang di depan,
lurus sekitar 200 meter, lalu belok kanan lagi. Ia mempercepat langkah kakinya. Tepat berbelok
Kearah kanan, langkah cepatnya tiba-tiba terhenti diikuti ekspresi kaget yang muncul di wajahnya
atas apa yang dia saksikan di depannya.

Seorang perempuan muda terduduk di tanah dengan ekspresi ketakutan yang terpancar
sangat jelas di wajahnya. Dua orang laki-laki berdiri di depannya seraya mengobrak-abri isi tas
yang jelas saja merupakan tas perempuan dan tidak mungkin kedua laki-laki itu pemiliknya.

Ini adalah masalah, pikirnya. Dan dia hanya perlu mengantarkan barang pelanggan dan
kemudian pulang. Ia berbalik kearah jalannya masuk tadi. Hal yang dia lihat sekarang bukanlah
urusannya.

“t-to.. t-tolong….” Terdengar suara perempuan itu bergetar dan ketakutan. Satu kata itu
cukup untuk membuatnya menghentikan langkahnya. Suara yang hanya terdengar pelan di
telingnya, namun menusuk di hatinya.

Ia membalikkan badannya, menghadap ke arah gadis itu, dua orang pria tadi berada di
antara mereka. Secepat kilat dia melempar tas yang dia bawa ke arah salah satu preman itu, lalu
melayangkan tendangan ke arah satunya sehingga mereka berdua surut kebelakang perempuan itu
beberapa meter. Tampa membuang-buang kesempatan ia segera menarik perempuan itu ke
belakangnya sehingga dia sekarang berada diantara perempuan itu dengan kedua preman.
Tubuhnya sudah siap dengan kuda-kuda siap melawan kelua preman tersebut. Kemudian
menoleh ke belakang ke arah perempuan itu dan berkata “lari saja!!!”. Perempuan itu tampak ragu
meninggalkan orang yang telah membantunya.

“LARI!!!!” teriaknya lalu perempuan itu lari secepat yang dia bisa.

Kini tinggal dia dan kedua preman itu. “ada yang sok pahlawan rupanya” seru kedua
preman itu mengejek. Dia masih siaga dengan kuda-kudanya. Salah satu dari kedua preman itu
mulai menyerangnya dengan melayngkan tinju. Namun dengan tenang iya bisa menghindarinya
dengan sedikit menggeser tubuhnya kekiri, lalu melayangkan tinju balasan yang tepat mengenai
wajah preman itu. Kakinya tak tinggal diam, melayangkan tendangan lurus yang membuat preman
itu terpental jauh.

Preman satunya mencoba memukulnya dari belakang, tapi dia sudah menyadarinya
terlebih dahulu, dengan cepat menyikut perut preman itu dengan keras hingga mebuatnya
tersungkur. Kini kedua preman itu telah tumbang. Ia kemudian berjalan lalu membugkuk untuk
mengambil tas yang dia lempar tadi. Masi ada barang pelanggan yang harus dia antar di dalamnya.

Namun sesuatu yang tak dia sangka dan tak dapat dia hindari. Salah seorang preman
dengan diam-diam mengeluarkan senjata yang mengkilap dari sakunya dan berjalan ke arah fahri.
Fahri yang sudah berdiri dan hendak berbalik terlambat menyadari preman itu yang sudah
melayangkan tusukan.

Cairan merah menyiprat dan tumpah ke tanah, diiringin dengan bau anyir serta tubuhnya
yang mulai kehilangan ke seimbangan. Rasa sakit yang tak tertahankan menjalar di perutnya.
Begitu ngilu dan perih. Seiring darah yang terus bercucuran keluar dari perutnya, tubuhnya pun
mulai roboh ke tanah. Ambruk. Kemudian dengan santainya kedua preman itu meninggalkannya.

Ini tidak baik-baik saja. Ia mulai tidak bisa mengendalikan lagi tubuhnya. Begitu lemah.
Pandangan matanya mulai buram, dengan deru nafas yang tidak stabil lagi. Matanya mulai begitu
berat untuk tetap terjaga.

Pada saat ini banyak bayangan muncul di kepalanya. Ingatan-ingatan yang berasal dari
hidup yang telah ia lalui. Bayangan kehidupan masakecilnya, semua yang telah dia lalui sampai
sekarang, orang-orang yang telah hadir dalam hidupnya. Seperti bayangan ibunya yang mungkin
sedang duduk di depan rumah termenung sembari menunggunya pulang.

Iya tersentak dari bayangan-banyangan yang muncul di kepalanya sekarang karena bunyi
dari telepon yang berdering di sebelahnya. Dengan mengumpulkan segenap tenaga yang tersisa
dia meraihnya dan melihat nama yang tertera di sana walaupun nampak suram. Itu ibunya. Iya
menekannya lalu menempelkannya ke telinganya.

Dia merasa sudah di ujung kesadarannya. Bahkan sekarang sudah tidak merasakan apa-apa
lagi. Dengan suara yang parau serta rasa terjegal di tenggorokanya dia berusaha mengeluarkannya.
“Mandeh,, Denai Pulang”

#TAMAT#

Anda mungkin juga menyukai