Anda di halaman 1dari 4

KOTA DAN DESA

Langit perlahan mulai berubah menjadi kelabu. Senja yang tadinya masih jelas terlihat
indah tepat didepan ku perlahan mulai menghilang. Kulirik jam tangan ku, hah...masih jam set
6, pikir ku. Aku mendongak keatas melihat langit yang hampir menghitam. Astaga, setelah
sebulan tinggal di kota Jakarta aku masih belum terbiasa dengan perbuhan waktu yang cepat.
Seketika aku teringat akan desaku yang masih terang bederang sekalipun jam sudah
menunjukkan pukul 6 sore.

Tinnn... tinn....

Suara klakson yang saling sahut menyahut, aku tersontak kaget dan langsung menarik
gas motor ku secara perlahan. Astaga.. apalagi ini? Keluhku melihat sedeetan mobil dan
motor beriringan berjalan secara perlahan. Aku jengah tak kuasa melihat kehidupan di kota
metropolitan ini. Dulu aku selalu berfikir kota Jakarta yang menjadi impian setiap orang
dalam hal menempuh karir, pendidikan, dan kehidupan yang lebih baik akan menjadi pilihan
terbaik. Tapi nyatanya secara pribadi, setelah sebulan aku hidup di Kota ini, rasanya aku ingin
pulang saja ke kampung halaman ku.

Aku melihat sekeliling ku, sejak tadi motor yang ku kendarai hanya bergerak
sepanjang 1 meter lebih, di depan antrian sangat panjang, belum saja aku menempung jalan 1
meter tiba-tiba lampu lalu lintas sudah berubah menjadi warna merah. Tujuan ku ke sebuah
kafe terdekat untuk menemui temanku akan ku tempuh selama satu jam? Sejak tadi aku
menggerutu mempertanykan hal itu?

Apa ini Jakarta yang sesungguhnya? Kota yang selalu diimpikan setiap orang? Kota
yang orang-orang pikir ketika mereka menginjakkan kaki disini akan mengubah kehidupan
mereka semakin lebih baik. Ahhh.. itulah yang kupikirkan dulu. Aku berfikir dengan
menginjakan kaki di kota ini aku akan berubah menjadi lebih baik. Tapi ternyata tak semudah
yang kubayangkan.

“Mbak.. mbak..” Suara itu membuyarkan lamunan ku. Aku menoleh kesamping,
seorang anak dengan pakaian lusuh dan beberapa bagiannya sudah koyak mengangkat tangan
kanannya seperti meminta sesuatu pada ku.

“Mbak..minta sedekahnya, saya belum makan sejak tadi pagi.” Katanya dengan wajah
memelas.

Tiba-tiba saja hati ku seperti ditusuk sebilah pisau. Teramat sakit mendengar ucapan
anak itu. Tanpa pikir panjang aku mengambil uang sepuluh ribu dan memberikan padanya.
“Ini dek, maaf yang kakak Cuma bisa kasih segini.” Kataku masih sangat prihatin dengan
anak itu. Setelah satu bulan tinggal dikota ini, ini pertama kalinya aku keluar menjelajahi kota
ini sambil menemui teman ku, dan ini pertama kalinya juga aku melihat sisi terburuk kota ini.
Aku pernah mendengar banyak cerita tentang sisi kelam kota ini, tentang mereka yang tidak
punya tempat tinggal di memilih tinggal di kolong jembatan, tentang mereka yang menjadi
pengemis dan pemulung yang memprihatinkan. Selama ini aku tidak pernah memberi rasa iba
yang berlebihan karena aku hanya mendengarnya, tapi kali ini aku benar-benar terasa sakit
melihat seorang anak kecil yang kupikir masih berumur 10 tahunan meminta dengan
memelasnya dengan penampilan yang tidak terucapkan.

Jalanan memang sedang macet-macetnya, sangat sulit berjalan walaupun hany 1


meter. Aku melihat anak itu masih berjalan dari kendaraan satu ke kendaraan yang lain tapi
belum satupun dari mereka berniat untuk memberinya. Astaga? Aku terheran sekaligus
bertanya, apakah manusia disini tidak mempunyai hati.

Setelah berjuang melawan kemacetan kota Jakarta yang tidak terdefenisikan, akhirnya
aku hampir sampai ditempat yang aku tuju. Dengan bantuan google map aku menempuh jalan
sesuai arahan namun aku belum sampai di tempat tongkrongan yang aku tuju.

Aku berjalan sedikit demi sedikit, mencari sebuah cafe dengan nama Kopi Kita, tapi
aku tak kunjung menemuinya. Karena hampir menyerah mencarinya, aku melihat seorang
satpam berdiri ditengah jalan, dan hanya dia satu-satunya orang yang kutemui saat ini.

Dengan berani aku mendekat dan bertanya. “Pak, permisi, mohon maaf saya mau
tanya, kalau mau ke kafe Kopi Kita benar lewat arah sini kan pak?” Tanya kau perlahan.

Pak satpamnya hanya melirik ku sinis, kemudian dengan suara jutek dia menjawab.
“Iya.”

Nyali ku jadi sedikit ciut. Pak satpam itu tiba-tiba langsung pergi dan meninggalkan
ku dengan rasa bingung. Astaga.. aku terlalu kaget melihat sikap beliau. Melihat sikapnya
membuat takut dan aku langsung pergi meninggalkan beliau. Aku kemudian menelfon Hana,
teman ku yang berasal dari satu daerah dan sudah merantau di Kota Jakarta ini selama 2
tahun. Dengan arahan dari Hana aku kemudian sampai di Kafe Kopi Kita yang posisinya
sangat sulit di jangkau karena ternyata letaknya sangat tidak strategis.

“Lisaa...” Panggil Hana langsung berlari menemuiku dan memeluk ku. “Welcome to
Kota Jakarta.” Katanya memberi sambutan.

Aku yang merasa kesal dengan sikap-sikap orang disini tba-tiba mencerocos.
“Seandainya waktu bisa diulang kembali, aku akan memilih untuk tidak datang ke kota ini.
Ternyata di desa kita lebih aman, nyaman, dan tentram dibanding kota ini.”

Hahaha... Hana yang sepertinya sudah tau segalanya tentang kehidupan di Kota ini
hanya bisa tertawa mendengar jawaban ku. Dia mengajakku masuk ke Kafe Kopi Kata. Saat
pertama kali masuk, aku langsung terpukau dengan tempat itu, karena ternyata Kafe ini
memiliki balkon yang langsung menunjukkan kota Jakarta dengan keindahannya dimalam
hari.

“Wowwww....” Kataku. Saat aku mengatakan wow, tiba-tiba semua mata pengunjung
melihat kearah ku, tatapan mereka sangat dingin dan juga sinis.

“Lis.. jangan kelihatan banget, mereka agak risi melihat reaksi kamu.”

“Ohh aku kelihatan kampungan ya?” Kataku jadi malu.


Hani hanya tersenyum dan mengajakku duduk dibalkon. Dia kemudian memesan kopi
dan beberapa jenis makanan yang baru pertama kali aku lihat selama aku hidup.

“Bagaimana kehidupan di kota ini?” Tanya Hana membuka percakapan pada ku.

“ Sangat berbeda jauh dengan kehidupan yang ku jalani sebelumnya.” Jawab ku


mengingat-ingat apa saja hal-hal baru yang alami di Kota ini.

“Apa perbedaan yang sangat drastis?”

Aku tau Hana sudah tau apa saja perbedaan yang sangat mencolok tentang kehidupan
di Jakarta dengan kehidupan di desa kami sebelumnya. Aku menceritakan kepadanya bahwa
dulu aku berfikir kehidupan di Kota pasti sangat menyenangkan, yang aku pikirkan adalah
aku akan melihat gedung-gedung yang menjulang tinggi dan indah, aku akan melihat jalanan
yang luas dan besar, dan aku akan bertemu banyak teman-teman yang keren dan membuat ku
terlihat lebih keren. Ya, sebenarnya aku menemui semua itu, tapi harapan ku tak sesuai
dengan kenyataan yang aku dapat.

Di desa ku dulu, aku hanya akan menemui hamparan sawah yang luas, pohon-pohon
yang menjulang tinggi dan besar, kebun-kebun sayur milik warga disepanjang jalan. Bagi ku
dulu kehidupan seperti itu sangat membosakan, alam sepertinya menjadi hal yang ingin ku
hindari. Tapi itulah yang kurindukan sekarang. Jakarta terlalu sesak dengan gedung-gedung
yang tinggi, Jakarta terlalu kotor dengan polusi yang disebabkan banyaknya kendaraan yang
lalu lalang.

“Oh, begitu ya.” Kata Hana setelah selesai mendengar penjelasan ku.

“Dan satu lagi.” Aku kemudian teringat betapa dinginnya orang-orang di kota ini. Di
desa ku dulu aku masih bisa merasakan kehangatan yang terjalin antara aku dan warga
setempat. Tata krama yang sangat kental, rasa peduli satu sama lain. Bukannya aku tidak
menemukan rasa peduli di kota ini, tapi aku merasakan solidaritas yang sangat kurang. Aku
menceritakan kepada Hana tentang anak pengemis yang sama sekali tidak digubris oleh
masyarakat, juga menceritakan tentang pak satpam yang sama sekali tidak mau membantu ku
menemukan alamat kafe ini.

Hana tersenyum penuh arti setelah mendengar cerita ku. “Lisa... Ini Kota Jakarta, kota
metropolitan, kota yang penuh tantangan, apapun segala keindahan yang kamu pikirkan
tentang jakarta itu bisa benar dan bisa tidak. Ya, tentang gedung pencakar langit, memang
kota ini sangat indah dengan kemegahannya, tapi desa kita juga sangat indah dengan alamnya.
Jadi setiap tempat itu memiliki keindahannya dan ciri khasnya sendiri.”

“Iyaaa.. aku tau, tapi apakah tempat akan menentukan seseorang berperilaku.
Bagaimana dengan anak pengemis tadi yang katanya sudah sejak pagi tidak makan. Kenapa
mereka sama sekali tidak punya rasa iba?” Tanyaku heran.

“Kamu penduduk baru disini. Jadi, kamu belum tau segala bentuk-bentuk kebohongan
di kota ini. Orang-orang disini bisa berperilaku seperti itu karena mereka sudah tau bahwa
anak tersebut bukan hanya sekali dua kali seperti itu, tapi setiap hari, Aku tau anak yang kamu
maksud, dia sudah terkenal dengan cara memintannya yang seperti itu. Dia memiiki orang
tua, tapi orang tuanya yang menyuruhnya melakukan hal seperti itu.”

“Hah?” Aku terbelalak tidak percaya. “Kenapa begitu?”

“Iya, karena kehidupan disini terlalu keras jadi terkadang orang menggunakan hal
yang tak lazim untuk mendapatkan uang. Di desa kita, jika kita tidak memiliki uang untuk
membeli makanan, kita bisa datang dan permisi ke kebun seseorang untuk mengambil sayuran
atau buah-buahan. Disini, orang-orang hanya bisa mencari sisa-sisa makanan orang di tong
sampah. Yang kamu lihat ini hanya baru permulaan, kamu akan menemukan kehidupan-
kehidupan yang lebih parah.”

“Lalu kenapa mereka tetap memilih tinggal di tempat seperti ini.”

“Ntahlah, mungkin mereka tinggal disini sejak lahir tapi tidak mampu mengikuti arus
kehidupan.”

“Hah... bersyukur banget orang-orang yang bisa tinggal di tempat ternyaman seperti
desa kita.”

“Tidak juga, setiap tempat punya cara hidup dan gaya hidup masing-masing. Punya
standart tertentu dalam menjalani hidupnya. Contohnya, kamu datang ke tempat ini karena
kamu gak menemukan apa yang ingin kamu dapat di desa kita. Lowongan pekerjaan yang
kamu inginkan, pendidikan yang kamu butuhkan. Untuk itu, ada beberapa orang yang
memilih studi diluar pulau atau kota karena mereka tidak menemukannya di desa.”

Ohhhh.. aku mengangguk mengerti. Melihat cara pandang Hana yang luas membuat
ku berfikir bahwa dia sudah banyak belajar hidup di kota ini.

“Kamu hanya perlu menyesuaikan cara hidup mu disini. Jika dulu di desa kamu
menemukan banyak orang-orang yang ramah dan peduli pada mu, maka disini jangan terlalu
berharap, ini kota pekerja tapi tetap juga percaya masih ada orang-orang baik disini. Jika di
desa kamu selalu merasa aman dan nyaman dalam perjalanan maka jangan heran jika disini
kamu akan merasakan kemacetan setiap hari. Semuanya perlu proses untuk dijalani agar
terbiasa.”

Aku mengangguk-angguk mengerti.

“Oh yang jangan lupa juga, disini cepat atau lambat kamu akan terpengaruh dengan
gaya hidup modern, fashion yang sedang trend, nongkrong di kafe, jadi kamu harus bisa
menyesuaikan diri dan jangan sampai hilang kendali.”

Aku mengangguk lagi, tersenyum hangat sebagai tanda terima kasih ku karena telah
mengajarkan ku banyak hal dalam pertemuan ini. Benar kata Hana setiap tempat memang
memiliki cara hidup yang berbeda, dari pola pikir masyarakat, gaya hidup, dan lain-lain dan
aku hanya bisa mengikutinya dengan cara terbaikku sendiri.

Anda mungkin juga menyukai