Anda di halaman 1dari 6

Manusia Kamar

Oleh : Seno Gumira Ajidarma

Pada umurnya yang ke-20 ini, ia mulai memasuki periode sinis kepada dunia. Aku telah
mengenalnya semenjak ia mulai mengenal dirinya sendiri. Ia muak melihat kepalsuan-
kepalsuan di sekelilingnya. Aku bilang padanya, dalam kehidupan itu semua biasa. Ia bisa
mengerti, tapi tak bisa menerima. Lima tahun yang lalu ia masih hidup dengan penuh
harapan. Tapi yang penting mungkin bukan sekadar harapan. Yang penting adalah kenyataan,
dan kenyataan telah membuatnya kecewa. Ia mulai jenuh dengan basa basi. Sikapnya mulai
kasar dan terang-terangan. Banyak kawan mulai sakit hati, dan akhirnya ia tersingkir.

Aku hanya sekali-sekali saja berjumpa dengannya, karena kau tahu, kesibukan makin hari
makin bertambah. Mungkin cuma aku yang mengerti persoalannya. Ia menghindari
persahabatan, aku maklum, persahabatan terkadang bisa membunuh. Ia terasing dan kesepian.
Tampaknya ia lebih suka demikian karena telah jadi pilihannya. Ia bahagia dalam
ketidakbahagiaannya atau ia tidak bahagia dalam kebahagiaannya. Ia memang suka
berfilsafat. Aku sering bingung mendengar kata-katanya, tapi tetap mencoba melayaninya.
Jika sudah kenal, berbicara dengan dia amat menyenangkan. Pengetahuannya luas dan apa
yang dikatakannya sering tidak terbantah. Kawan-kawan yang lain agak segan terhadapnya,
karena ia terlalu sering menelanjangi kebebalan mereka di muka umum. Mereka bilang ia
terlalu asyik sendiri, suka berkhayal, nyentrik dan tidak bisa bergaul.

Aku sendiri menganggap ia manusia biasa, yang sedang menjalani tahap-tahap kehidupannya.
Tapi tahap itu dilaluinya dengan amat serius dan penuh makna. Aku sendiri heran kenapa
bisa demikian. Selama beberapa tahun terakhir, gejala itu memang mulai tampak.

“Aku bosan lihat orang-orang itu.”

“Kenapa?”

“Munafik, penjilat, tukang onani jiwa.”

“Wah, jangan begitu dong. Itu manusiawi kan?”

“Memang, tapi sebal melihatnya. Jenuh.” Ia sangat serius, sementara banyak orang di
sekelilingnya makin hari makin mencari kemudahan dan kesantaian. Ia tak mendapat
tanggapan, dan marah.
Untung ia bisa menyalurkannya dalam latihan teater atau menulis puisi, namun ini tidak
berlangsung lama. Rupanya dunia kesenian pun tak memuaskan. Ia ketemu lagi dengan
pemimpi, pembual dan juga penjilat. Semenjak ia keluar dari perguruan tinggi dan
rombongan sandiwara itu dua tahun yang lalu, aku tak pernah lagi melihatnya.

Aku teringat ketika untuk terakhir kalinya berpapasan dengan dia di jalan.

“He kampret, dari mana saja kamu?”

“Bertapa,” katanya dengan lesu.

Dalam remang senja itu, perlahan-lahan kemudian menjadi jelas, bajunya begitu kumal
meskipun termasuk mahal. Juga celananya. Sepatunya sih normal, tapi heh rambutnya itu,
wah seperti sapujagat: kusut dan kaku, dan entah berapa bulan tidak disisir. Dulu, meskipun
ia termasuk seniman yang urakan, pakaiannya termasuk rapi dan mengikuti mode.

Pasti perubahan-perubahan semacam ini disebabkan oleh suatu hal yang sangat
mempengaruhi dirinya. “Bertapa? Bertapa di mana? Gua Langse?”

“Bertapa kok di mana! Zaman sekarang orang bertapa di kamarnya


sendiri! Tahu nggak lu?” Busyet! Ketus amat.

Aku kurang bisa mengerti. Kebudayaan macam mana yang menghasilkan manusia ini. Dan
apakah yang dikerjakannya selama ini? “Baca buku! Hanya baca buku! Tidak makan dan
tidak minum!” Wah, wah, wah, ia memang sudah berubah rupanya. Semua kitab suci
dilalapnya, mulai Zabur, Taurat, Injil, Qur’an sampai Goethe, Tao, Khonghucu, Wedhatama,
Wulangreh, Upanishad, Bhagawadgita, Sartre, Heidegger, Karl Marx dan Ranggawarsita.
Kini di tangannya kulihat pula bukunya Erick Fromm, Schumacher dan sebuah buku tentang
Zen.

Rupanya ia barusan dari toko buku.

“Masih jenuh melihat manusia?”


“O tentu, tentu. Di toko buku tadi banyak orang sok pintar. Ada orang memborong
ensiklopedi. Melihat tampangnya sih, cuma buat pajangan ruang tamu. Sialan! Dasar gombal
semua orang-orang model begini!”

Aku mengajaknya nonton film. Ia bertanya dulu film apa. Ia benci film action. Maunya
nonton film-film Ingmar Bergman, Werner Herzog atau Wim Wenders. Tapi tentu saja tidak
ada. Aku bilang ini film Indonesia pemenang Citra, namun dengan hormat ia menolak, ada
hal yang lebih penting, katanya. Iseng-iseng kuajak ia ke tempat pelacuran. Lho, ia mau.

“Ini baru namanya hidup,” katanya setelah keluar dari kamar.

Ditenggaknya segelas bir. Dan sepanjang malam itu, di tengah alunan panas musik dangdut,
aku mendengar kuliah-kuliahnya tentang individualisme, eksistensialisme, kapitalisme,
ekosistem, religiusitas, dan kritik budaya. Sudah melayang aku dengan berbotol-botol bir,
ditambah pula dengan pikiran-pikirannya yang tinggi di awan itu, aku tiba-tiba saja tergeletak
di meja, tertidur pulas.

Esoknya ia sudah tidak ada. Dan tujuh hari pun menjadi seminggu. Empat minggu menjadi
sebulan. Dua belas bulan menjadi setahun. Waktu begitu saja lewat tanpa terasa. Banyak
orang merasa telah menjadi tua, sementara orang-orang lain malah merasa makin muda.
Kehidupan masih berjalan seperti biasa. Ada orang jujur yang tak pernah mujur, dan orang
yang berjiwa bunglon masih selamat. Dunia belum betul-betul kiamat. Sungai masih
mengalir, dari gunung ke desa, ke kota, ke muara, ke laut, bersama sejumlah besar sampah.

Di jendelaku masih ada burung yang bulunya kuning, yang tiap pagi masih berkicau.
Mungkin tiba saatnya nanti burung tidak bisa berkicau, kehilangan bahasa. Angin masih silir.
Senja masih jingga.
Fajar masih ungu. Telepon itu berdering.

“Halo? Ya? He! Telepon dari mana kamu?”

“Dari rumah.” “Di mana? Aku pengin ketemu kamu.”

“Sorry saja bung! Rahasia! Sekarang tidak ada sistem ketemu. Kalau ada perlu, telepon saja,
ini nomorku, 717375.”
“Tapi ini penting.”

“Takut disadap?”

“Soalnya ini masalah pribadi.”

“Apalagi itu, sorry.”

Kami bercakap sebagaimana layaknya dua kawan yang lama tidak berjumpa. Ia bertanya
tentang segala macam hal dengan suatu urutan pertanyaan yang sistematis, sehingga kalau
jawaban itu dikumpulkan, mungkin bisa merupakan laporan riset. Ha! Ini perkembangan
baru. Ia haus informasi, tapi begitu pelit akan informasi dirinya sendiri. Ketika hubungan itu
selesai, kembali lagi ia menjadi misteri bagiku. Apalagi bagi kawan-kawan yang lain.

Dengan bodoh aku masih bertanya sama mereka di mana alamatnya. Tentu saja tidak tahu.
Kutanyakan pada orang tuanya, ini pun nihil. Ternyata selama ini mereka pun hanya
berhubungan lewat telepon.
Telepon? Heh, tolol sekali aku. Kutelepon dia. “Halo?” Telepon segera diangkat.

“Di mana sih rumah kamu?”

“Lu ngga perlu tau gue punye rume. Kalok perlu telepon aje bung!”

“Gue ade perlu ni ame lu!” Eh, kenapa aku jadi ikut-ikutan bergaya Betawi?

“Sampaikan saja lewat telepon!”

Ia tampak terganggu.

“Pertemuannya yang penting!”

“Maaf, aku tidak terima tamu.”


Klak.
Nging.
Tut tut tut.
Bangkek orang ini. Sombong sekali dia.

Tapi aku jadi penasaran. Seperti detektif film seri televisi, kucoba menyelusuri jejaknya.
Namun ia sungguh pintar. Berbagai tabir tidak bisa disingkapkan dengan segera. Banyak juga
waktu terbuang untuk mencari batang hidungnya. Mula-mula kuhubungi kantor telepon.
Nomor teleponnya memang ada alamatnya, kudatangi rumah itu, ternyata sebuah rumah kecil
yang kosong. Pintunya terkunci dari luar, kudobrak. Dan tetap kosong. Apa artinya ini?
Kutunjukkan pada kantor telepon, mereka bilang memang itu alamatnya, dan tiap bulan
menerima uang ongkos telepon. Tapi siapa yang masang? Segera petugas dicari, tapi ke mana
petugas itu? Ia sudah dipindahkan ke luar kota.

Aku benar-benar penasaran. Segala alamat rumah di kantor kotamadya kucek dan cek
kembali, kalau-kalau ada namanya. Tapi sungguh rumit.
Biasa, administrasi yang kacau. Jadi? Nihil. Lantas bagaimana? Ha!
Malam hari! Ia suka keluar malam, aku harus begadang sepanjang malam menelusuri kota
ini.Maka ketika malam dengan jubahnya yang hitam telah tengkurap menelungkupi kota.

Ketika dingin mulai menyerbu jalanan yang mulai basah oleh gerimis, dengan krah jas hujan
yang tegak menutupi telinga, dengan topi model bandit Itali, lengkaplah aku sebagai intel
Melayu yang amatiran.Tapi jadinya aku lebih mengenal kehidupan. Aku tahu apa yang terjadi
di hotel-hotel, aku tahu dari desa mana pelacur jalanan itu berasal, aku bisa mengendus mobil
pejabat siapa yang diparkir di motel itu. Kutelusuri segala tempat hiburan malam,
perpustakaan, restoran, kompleks gelandangan, warung-warung kopi, tempat banci-banci
mangkal, tempat homo-homo berkencan, mesjid, gereja, vihara, klenteng …
Bermalam-malam sudah dan hasilnya nol besar.

Tak terasa sebetulnya aku mendapatkan sesuatu yang lain, sesuatu yang berharga. Malam
memang menyingkapkan kepalsuan. Di balik kekelaman itu topeng-topeng dibuka dan
bentuk asli yang serba gombal itu pun bisa kutangkap, kekelaman seperti memberikan
perasaan aman dan
terlindung. Bisa kudengar bisik-bisik sekongkol politik, kasak-kusuk para penyebar gosip.
Bisa kulihat para penipu diri beraksi. Antara strip-tease dan lonceng gereja, antara
penggarongan dan azan subuh, antara perzinahan terbuka dan perzinahan tertutup.Agak sulit
mencari orang normal. sebagian terlalu fanatik, sebagian lain dekaden. Aku jadi maklum
kenapa kawanku jadi jenuh. Ia tidak menerima mereka sebagaimana adanya. Ia mencari yang
baik-baik saja, dan itu memang
sulit, dan bisa jadi malahan tidak ada. Sedangkan kalau ada, mungkin juga tidak menarik dan
tidak menyenangkan. Kata orang, dunia memang mengecewakan. Dunia menjadi buruk
karena ulah manusia. Dia memang makin lama makin pesimistis. Aku melihat ia agak kacau.
Dan aku jadi
makin penasaran saja. Ke mana dia, kenapa tidak ada seorang pun yang tahu? Kenapa pula ia
harus menghilang?

Anda mungkin juga menyukai