Anda di halaman 1dari 2

Rumah Kertas oleh Carlos Maria Domingues dan Selembar Nota Pembelian.

Kopi AGM seharga 5.000 dan Snack 2000 seharga 2.000, totalnya menjadi 7.000 setara
dengan harga nasi telur satu atau dua tahun yang lalu.
Aku harus mengumpulkan seratus lima puluh nota untuk mengganti bajuku yang bolong
di kedua ketiak dengan baju yang betuliskan 'basabasi'.
Dua orang teman duduk di depanku, mareka berdiskusi tetang pajak, hukum pajak
maksudku. Ah, seharusnya aku bisa ikut dalam perbincangan itu. Di kartu tanda
mahasiswa, aku dicatat sebagai mahasiswa fakultas Syariah dan Hukum.
Sangat kusayangkan, aku sudah sejak lama tidak membaca buku-buku hukum, apalagi
hukum acara yang terkhu... Ah, sudahlah. Bagaimanapun dunia ini diimpikan sebagai
tempat yang nyaman, tapi para bandit akan tetap dirindukan, setidaknya oleh hakim,
jaksa dan pengacara, karena kalau tidak dengan itu mereka akan menghantamkan godam
sidang itu ke kepalanya sendiri.
"Kita haus kasus. Kita ingin menunjukkan keadilan" mungkin begitu histeria mereka di
pengadilan. Tampak sedikit lucu, seorang hakim ketua dengan badan gemuk yang
disembunyikannya di dalam baju jubah, berteriak sampai melompat-lompat,
menciptakan kasus untuk mereka adili sendiri.
Ah, aku tidak mengerti apa-apa tentang pajak. Aku hanya mengenal satu istilah pajak,
yaitu pajak nanggroe yang praktiknya mirip seperti aksi pemalakan. Pajak untuk
membeli amunisi dan bungkus-bungkus rokok. Karena kemerdekaan tinggal menyedot
satu batang rokok saja. Persetan dengan segala kemerdekaan simbolis.
Selanjutnya aku hanyut dalam bacaan. Sebuah buku hasil barter dengan seorang
mahasiswi ilmu perpustakaan. Buku yang tipis, cocok untuk diejek. Gila saja, aku malah
ingin hidup seperti kegilaan tokoh di dalam novel tipis itu. Ah, tapi tidak mungkin. Hidup
ini tentang, ya tentang segala yang bertentangan. Seperti pertengkaran kopi dan gula di
dapur warung ini, atau perdebatan kecil para penyeduh.
Di tengah rimba yang sudah diiris menjadi Kertas-kertas tipis ini, seorang kawanku
menghampiri. Membuka sebuah obrolan yang agak serius. Ini menyangkut nasib
organisasi untuk tahun-tahun yang akan datang. Kabarnya tidak ada yang mau menjadi
kepala suku IMM Cabang Sleman, karena tim formatur tidak ada yang merasa mampu.
Ada dua nama yang diusung, dua orang kawan yang sedikit kukenal, sedikit vokal
memang. Tapi naasnya dua manusia ini terbentur dengan syarat administratif untuk
menjadi kepala suku.
Ah, apa yang terjadi pada hari Minggu besok. Seperti menunggu kejutan. Menyaksikan
sedikit perselisihan tim panitia pemilihan, antara yang mempertahankan dengan yang
ingin menabrak.
Dengung-dengung struktural dengan gaung-gaung kultural nampaknya akan kembali
mencuat. Dua pendekatan yang membuat sedikit bulu kuduk bangkit. Sejak dua tahun ini,
kurasa dua kata itu menjadi hantu yang bertengkar tidak menemukan titik kecuali
kembali pada masing-masing.
Aku tidak akan mengurusi hal sebesar itu. Sebagai tim hore alis tim joget tentu aku hanya
sekedar tim goyang. Kemana arah musik, kesanalah aku bergerak. Musik yang
berterbentur, antara mengikuti partitur atau mengikuti lidi di tangan komposer.
Masalahnya, para penganut partiturian tahu belaka instruksi komposer itu untuk
keindahan orkes selama satu tahun ke depan, tapi mereka tidak mungkin menbabrak
hukum-hukum yang tertulis di partitur. Mereka takut terdengar fales. Sangat takut. Lebih
baik membiarkan orkes kacau balau dari pada membiarkan satu nada pembuka menjadi
fales.
Kutinggalkan catatan ini sebagai sebuah ketidak tahuan sekaligus sebagai tanda ketidak
pedulian, serta warna kecondonganku. Ya, aku sudah sejak lama menganut hukum yang
fleksibel ketimbang hukum positifis yang kaku. Catat itu!

Yi Lawe.
Yogyakarta, 2018.

Anda mungkin juga menyukai