"Ayolah!"
Selanjutnya roda sepeda kami menggelinding
menyusuri jalan aspal. Di bawah naungan rimbun jajaran
pohon asam keranji. Berbincang seperti sahabat lama. Tak
terasa aku mengiringi Adit sampai ke halaman rumahnya.
Dia mengajakku singgah dan berkenalan dengan orang
tuanya.
Saat bertemu dengan ayahnya, aku agak terperanjat.
"Krisna, teman Aditya." Aku mengulurkan tangan.
"Sentot. Ayah Adit." Senyumnya terkembang. Senyum
yang khas. Senyum jenaka yang amat kukenal. "Mari
masuk."
"Pak Sentot yang punya"
"Aha, kamu penggemar Chocky?" Senyum Pak Sentot
melebar. Terasa ada kebahagiaan. "Kamu masih ingat
rupanya? Bukankah sudah lama berlalu."
Aku mengangguk tanpa melepaskan pandangan
kagum. Ternyata Adit anak orang terkenal! Sentot Karyoto
itu pemilik boneka Chocky yang bisa bicara. Boneka yang
memiliki gerakan indah pada kepala dan rahang saat
berbicara. Semula aku terkecoh dengan permainan itu:
dialog antara Chocky dan Pak Sentot yang menjalin
dongeng atau petuah bagi anak-anak. Akhirnya aku tahu,
yang diucapkan Chocky juga suara Pak Sentot, yang
dikeluarkan melalui perut tanpa terlihat menggerakkan
bibir. Ajaib!
Tanganku ditarik Adit, seolah aku anaknya yang
membangkang dan bertahan di depan segugus mainan
menarik. Aku diseret gegas menuju ke kamarnya di bagian
serius.
"Ke mana? Tentu saja pulang."
"Di belakang sekolah kita, tebu-tebu sedang dipanen.
Kita ke ana yuk! Kamu mau menemani?"
Aku mengangguk setuju. Setahuku, jika kita minta tebu
dan makan di tempat, para mandor penjaga itu tidak
keberatan. Tengah hari itu, kami berlari di atas pematang
sambil sesekali jatuh ke tanah retak bekas ditanami tebu.
Ada serangkai lori, kereta tebu, yang memanjang di atas
rel ukuran mini. Para penebang tebu sedang sibuk
mengikat lonjoran-lonjoran yang telah memenuhi beberapa
gerobak besi itu.
Tapi ternyata, Adit tidak serakus yang kubayangkan.
Kami baru makan sebatang tebu berdua, memeras air
manis itu dengan mengunyah batang yang dikupas oleh
gigi. Cairan manis beraroma harum itu mengalir dari serat
yang menyerpih ke tenggorokan, mengalihkan panas
mentari yang menyengat. Lalu Adit mengajakku duduk di
atas tumpukan batang tebu di sisi pematang.
"Kamu suka Chocky?" tanyanya tiba-tiba.
"Hm ya dulu suka. Tapi aku sekarang bukan anak
kecil lagi."
"Kalau begitu, Chocy hanya cocok untuk anak kecil?"
Aku ragu mau menjawab. Tapi sejak semula aku ingin
jujur kepadanya.
"Mestinya begitu. Kalau sudah seusia kita, rasanya sulit
memercayai percakapan dua orang yang sebenarnya
hanya satu." Kataku. "Menurutmu bagaimana?"
Adit menggeleng. Tapi tampak wajahnya keruh. Seperti
orang marah.
"Kamu tampaknya tidak menyukai Chocky. Kita cari
gelagah saja. Kita bikin mainan dari batang bunga tebu itu.
Kamu tahu caranya?"
"Kamu tahu, berapa umur Chocky?" tanyanya tak
perduli dengan usulku.
"Wah, mana kutahu? Apakah dia juga tumbuh seperti
manusia?" Aku hampir takjub mendengar pertanyaannya.
"Dia seumur denganku. Empat belas tahun!"
Aku tertawa. "jangan-jangan dia juga disunat seperti
kamu."
Kepala Adit tertunduk. Membuat aku menyesal
menanggapinya dengan bercanda.
"Begitu aku lahir, ayahku membuat boneka itu." Adit
bergumam.
Aku pun memandangnya dengan serius. "Apakah
bermaksud membuat mainan untukmu?"
"Tidak. Ia menganggap Chocky sebagai diriku yang
lain"
"Maksudmu?"
"Setiap kali ia memainkan Chocky di televisi, ia
menganggap sedang bermain denganku. Bercakap-cakap
denganku."
"Wah, asyik sekali!" ujarku iri.
"Mulanya demikian. Ibuku menganggapnya lucu.
Karena ibu sering keguguran, dan aku dianggap anak
kesayangan."
"Siapa lebih dulu pandai bicara? Kamu atau Chocky?"
"Tentu saja Chocky lebih dulu bisa ngomong, karena
apa maumu?"
Aku tersenyum sabar. "Aku hanya ingin menjadi
sahabatmu. Aku akan menghalau seluruh temperamenmu
yang hanya akan membuatmu putus asa. Aku akan
menjaga perasaanmu yang paling rapuh."
Noriyu menggeleng. "Aku tidak mengerti"
"Sesungguhnya kamu mengerti. Kamu tahu. Seperti
aku tahu siapa kamu sesungguhnya."
"Siapa namamu?"
"Kamu bisa memberi nama siapa pun untukku."
Noriyu terdiam. Ia memandangku demikian cermat.
Lalu terdengar suaranya perlahan, pertanda emosinya
reda. "Kamu laki-laki atau perempuan?"
Aku tidak menjawab. Karena aku tahu, Noriyu pasti
tahu, aku laki-laki atau perempuan. Dia sangat tahu, aku
adalah bagian dirinya yang memisahkan diri saat
perasaan kecewa, sedih, marah, atau kehilangan sedang
meremas hatinya. Aku yakin dia tahu.
***
(untuk Nova Riyanti Yusuf)
Jakarta, 23 September 2005, 22.00 -23.54
Keterangan Sriti.com : Cerpen dikirim melalui surat
elektronik dari pengarang bersangkutan
Ziarah
Cerpen: Soeprijadi Tomodihardjo
Sumber: Koran Tempo, Edisi 08/28/2005
SEPERTIGA dinding rumah Yu Rah tembok biasa,
rumah!"
"Lho...., sampeyan ini! Memang sudah lama wafat, saya
sendiri tidak menangi. Tetapi saya tahu makamnya di
dekat Penataran. Banyak orang ziarah ke sana, lebih-lebih
menjelang Lebaran. Terkadang beliau datang waktu
malam, menyalakan lampu, tetapi selalu menutup pintu."
Aku sendiri sukar menghindar dari ihwal supranatural
nenek moyang orang Jawa. Lampu senter kunyalakan
ketika kami melangkah di halaman rumah Yu Rah. Aku
sangat cemas mendengar suara kemerasak sepatu kami
sendiri ketika menginjak kerikil yang terhampar di
halaman. Dalam bayangan sinar lampu senterku Luk
menotok pintu kayu bercat coklat yang nampak masih
mengkilat. Beberapa kali Luk mengulang tetapi tak ada
jawaban. Keset dan sandal kulit kulihat masih ada di
undakan. Aku heran Luk nekad melangkah ke belakang
rumah setelah gagal menunggu sahutan.
"Sini Mas, senternya!" seru Luk.
Aku menyusulnya dengan langkah sangat hati-hati. Luk
menatapku, seperti ingin mengucapkan sesuatu.
Kusilangkan telunjuk jari di bibir, kuatir dia berbicara terlalu
keras. Kami mengitari dinding belakang yang agak
menjorok ke kanan, tentunya bagian dapur. Di belakang
rumah kulihat ada jemuran kawat. Cuma segumpal gombal
bekas ngepel tersampir di situ, tanda pernah ada
orangnya. Sebatang pohon rambutan sedang berbuah
kuning dan merah dalam sorotan lampu senterku. Kami
terkejut, entah burung apa tiba-tiba beterbangan
menggoyang rumpun daun rambutan. Ternyata beberapa
"Nok, Denok!"
Man Wignya dan istrinya keluar kamar. Kudengar
beliau pamitan:
"Aku berangkat Nggrr, jam empat mereka menunggu
di gardu. Titip Lukita, biar tetap sekolah di Kediri agar
kelak jadi priayi, jangan buron seperti ayahnya."
Bulik Wignya terhisak memohon restu. Sebuah
perpisahan yang mengharukan. Lalu kudengar lelaki itu
melangkah ke kamar Yu Rah. Tentulah untuk berpisah.
Lukita pasti sudah mengecewakan lelaki itu, sebab
sejak jaman Jepang HIS sudah dirubah jadi Sekolah
Rakyat biasa, bukan lagi sekolah putra-putri priayi yang
mendidik calon priayi. Luk masih bisa mengingatnya,
"Yu Rah nampak terhisak Mas, waktu melepasku
meninggalkan desa ini bersama orangtuaku. Seharusnya
dia ikut pindah bersama kami. Dia gati sekali sejak aku
bayi."
Tetapi cerita itu sudah lewat setengah abad. Aku
nasehatkan, "Lupakan saja Luk, tugas kita kan cuma
melaksanakan kehendak Yang Maha Kuasa!"
"Iyalah Mas, Yu Rah pun pasrah. Aku cuma teringat dia
meratap. Ibu menarik lenganku, memaksaku agar ikut naik
dokar menuju Wlingi, dari sana naik kereta-api. Dan itulah
hari terakhir aku meninggalkan desa ini, berpisah dengan
Yu Rah."
*
DOKAR menunggu di luar. Kami memasuki halaman
pekuburan. Tak ada penjaga. Hanya seorang perempuan
penjual kembang doprok dengan anak balitanya di luar
"Oallah Maaas...."
"Sudahlah, Luk. Maafkan aku. Kau tahu, mereka ayahibumu."
Lukita sontak tersedu. Kurangkul adik misanku ini.
Mesti kupanggil apa dia sekarang? Paman, barangkali?**
Paran, September 2004
____________Soeprijadi Tomodihardjo tinggal di
Jerman, pensiunan pegawai sekertariat Rumahsakit
Universitas Kln.
1) Man - Paman
2) Sugeng dalu - selamat malam
3) RP - Raden Panji
Catatan Sriti.com : Cerpen ini dikirim melalui surat
elektronik dari pengarang bersangkutan. Cerpen yang
dipublikasikan di media yang memuatnya dapat berbeda.
Film Noir
Cerpen: M. Iksaka Banu
Sumber: Koran Tempo, Edisi 08/07/2005
Keterangan : Cerpen ini adalah cerpen sebelum
dimuat (versi pengarang)
Raung sirine terdengar lagi. Kadang menjauh, kadang
begitu dekat. Apakah polisi telah mencium kehadiranku di
sini, dan sedang menyisir kota?
Tanpa kesadaran penuh, kususupkan tubuh ke pintu
bangunan temaram di sisi kiri, untuk kemudian terkesiap.
Ini Blue Saxophone. Satu-satunya pub dengan nuansa jazz
di wilayah ini. Sebuah pub kecil. Tempat seluruh kisah ini
"Action!"
Anggi memulai kalimatnya dengan gugup. Tapi
berikutnya, jagat raya seolah tercipta untuknya: Bahasa
tubuh yang lentur. Tarikan wajah yang sangat cair. Kalimatkalimat sulit yang berhasil meluncur tuntas dari bibirnya.
Maizura Van Eyk hadir utuh di hadapan kami.
Kami jabat tangan Anggi. Kami beri ia ciuman.
Seorang bintang telah lahir. Dan cahayanya terus bersinar,
sampai seluruh adegan selesai tiga minggu berikutnya.
Hasil syuting dibawa ke Australia untuk diproses. Lusa,
tentu aku menyusul. Namun petang itu, ketika seluruh kru
telah bubar, kuajak Anggi keBlue Saxophone. Tak ada
salahnya sedikit hiburan setelah kerja keras berbulanbulan, bukan?
Hari itu hari Jumat. Sama seperti malam ini. Terekam
jelas di benak. Serasa kemarin. Anggi berpamitan kepada
rekan-rekannya di pub, dan sempat berperan sebagai
bartendris untuk terakhir kalinya sebelum duduk
menemaniku.
Sambil meniti malam, melalui beberapa shot tequila
kucoba menghapus peran guru-murid yang terlanjur
terbentuk selama syuting.
"Berhentilah berterimakasih," kataku. "Semua sudah
ada dalam dirimu. Aku sekadar memanggil. Yang penting,
mulai sekarang lupakan sosok Maizura. Jangan mengulang
bahasa tubuh dan air muka serupa di film berikutnya."
Anggi tertawa. "Lihatlah. Kurasa aku masih butuh
banyak bimbingan. Kau tetap guruku."
Kami saling tatap. Musik live dengan terbata menirukan
dipersandingkan.
Ketenaran adalah telepon selular yang berdering pada
jam-jam mustahil, berisi perintah agar bersiap untuk
dijemput syuting, mengisi kuis TV,talkshow, atau memenuhi
jadwal pemotretan. Ketenaran juga berarti masuknya
orang-orang asing ke pekarangan rumah untuk
wawancara, syuting reality show atau sekadar foto
bersama. Dan pemilik kebisingan di atas adalah istriku.
Rumah tangga, sementara itu, berarti jam-jam makan
yang ngungun di ruang tengah yang terlalu besar untuk satu
orang. Rumah tangga juga berarti percakapan tentang
masa depan yang semakin kabur, serta perdebatan tak
berujung tentang hal-hal remeh. Kesepian, kejenuhan,
kejengkelan. Semua sepenuhnya milikku.
Sebelum menikah, aku sudah lama hidup sebagai
pesohor dengan sebagian hak-hak pribadi yang juga
terampas. Tapi setidaknya, aku kenal betul diriku,
sehingga tahu bagaimana bertahan hidup sebagai
manusia biasa, dan mematahkan setiap kabar miring
dengan cerdik.
Setelah menikah, aku memang tak selalu siap bicara
apabila pertanyaan wartawan berkaitan dengan perilaku
istriku. Misalnya: "Siapa pria di kamar 301 Grand Duchess
Hotel bersama Anggi pekan lalu?" atau "Benarkah pria
muda yang berjalan bersama Anggi di pantai Marina itu
pacar gelapnya?"
Aku bukan pencemburu. Bukan pula orang asing dalam
hal manipulasi fotografi, sehingga tak pernah risau dengan
gambar-gambar bodoh hasil rekayasa para amatir di
teler.
Kuturuni tangga menuju ruang koleksi kerisku. Kuraih
botol kecil berisi cairan bening. Cairan yang selalu
kuoleskan pada bilah keris setiap selesai menjamasinya
tiap tahun. Lalu aku mulai menelepon biro perjalanan untuk
memesan tiket kereta api terpagi ke Bandung.
Itu peristiwa sepekan yang lalu.
Dua ratus jam sebelum seluruh stasiun televisi
menayangkan wajah Anggi dan wajahku berulang kali
seraya membubuhkan judul Tragedi pada rentetan berita
yang menyertainya. Itu sepekan lalu.
Sementara malam ini, di meja bar Blue Saxophone,
potongan adegan akhir Wanita Sebelum Malam kembali
menari-nari dalam pikiran: Pesta tahun baru 1938. Maizura
Van Eyk yang setengah mabuk selesai berdansa, lalu
pergi sebentar mengambil mantelnya. Ia baru saja
memberi tahu suaminya bahwa ia memiliki kekasih lain,
seorang pribumi, dan ingin bercerai.
Jakobus Van Eyk menerima berita itu dengan senyum
terkembang. Lalu menuang arsenik ke dalam gelas anggur
Maizura. Kematian datang lima jam kemudian. Waktu yang
cukup untuk pergi jauh atau menyusun alibi.
Tapi aku bukan Jakobus. Aku tidak lari. Aku memilih
berkunjung kembali ke Blue Saxophone malam ini.
Mencoba berkawan dengan rasa sakit dan kenangan.
Belajar menyadari, bahwa seluruh hidupku ibarat ramuan
Film Noir yang nyaris usang: Getir, gelap, berdarah. Dan
kurasa aku berhak membuat ending sekehendakku. Aku
sutradara.
Mungkin tak ada mimpi tadi malam. Aku tak ingat apaapa. O, pukul tujuh lebih beberapa menit.
Ah, berapa jam, menit, dan detik lagi menuju kematian?
Entahlah, pagi ini aku sudah terseret pada pertanyaan
tentang kematian. Betulkah kematian tak kenal waktu?
Yang jelas ia pasti datang menjemput. Demikian pernah
kubaca dalam kitab suci dan kata-kata yang sempat
dikutip orang dari mulut para filusuf.
Tirai kusingkap. Di luar, orang-orang masih nampak
bergegas. Sekolah, kantor, dan pasar adalah sebagian
medan laga dalam menghadapi tantangan dan
pertarungan hari. Alangkah akan menjadi sejarah dari
sebuah peradaban yang statis bagi kaum yang tak mau
berkembang. Dunia begitu terbentang. Berkabut atau tak
berkabut. Lalu panas. Lalu hujan. Lalu musim berbicara
pada mereka yang peka pada tanda-tanda. Ah, siapa aku
di hadapan semesta?
Pintu depan terdengar diketuk. Lunak. Tukang pos
tersenyum di balik kaca.
"Untuk anda, surat perdana di tahun ini," katanya.
"Terima kasih."
Pagi yang indah.
Kenapa aku harus mengatakan ini pagi yang indah,
sedang saat kematian belum juga kudapat jawabannya.
Harus kukatakan kata mungkin. Banyak kemungkinan
dalam hidup. Bukan. Bukan karena datangnya sepucuk
surat. Bukan karena matahari mucul lagi. Bukan karena
sehimpun tangkal bunga di halaman masih terlihat segar.
Kemungkinanku lebih karena sebenarnya harapan tak bisa
menerbitkan rasa
manis atau asam dari sana. Ayahku adalah lada bubuk
yang membuat
tenggorokanku terbakar dan hidungku bersin-bersin.
Tomat dan Lada harusnya
berguna. Tapi aku malas membersihkan keduanya.
Wastafel di dapur tinggi
tempatnya.
Jadi bagaimana kalau tomat dan lada di dapurku
berdebu? Kubersihkan
dengan vacuum cleaner itu juga.
Bubuk lada itu terhisap begitu mudah. Biji, air dan
kulitnya terburai
keluar. Sudah kubilang kalau aku juga tak suka hal-hal
basah yang bisa
mengotorkan lantai, bukan?
AKU tidak tahu bagaimana semuanya terjadi. Ketika itu
aku masih bayi.
Ibulah yang menceritakannya padaku.
Aku pernah terjatuh dari pangkuan Ibu pada umur
sebelas bulan. Bibi
Anna lupa membersihkan lantai setelah kuah baksonya
terjatuh. Dan Ibu yang
terburu-buru mencari asbak untuk tamu Ayah pun
tergelincir. Aku dalam
gendongannya. Ibu berhasil meraih ujung meja makan
dan meraih
keseimbangan. Tapi aku terlepas dari gendongan.
Ada sebuah memar sebesar telapak tangan bayi
membekas di belakang
kepala.
Dan sebuah kantung darah di belakang telinga sebelah
kananku. Baru
setelah beberapa minggu aku dirawat di rumah sakit,
kantung aneh itu
berhasil dikempiskan.
Bila aku berbicara sekarang, orang perlu memintaku
mengucap
berkali-kali supaya mereka paham. Hanya kalau mau,
aku sudi melakukannya. Tapi
bila lagi enggan, aku biarkan saja mereka tidak paham.
Mengapa harus
membuat mereka mengerti? Mereka pun tak pernah
jelas bagiku.
Apa bedanya perkakas dan pajangan? Aku tahu
jawabnya. Perkakas dipakai,
tapi pajangan hanya diperlihatkan. Perkakas ditaruh di
dalam laci
supaya ruangan terlihat rapi. Tapi ada lemari khusus
untuk menyimpan
benda-benda pajangan.
Aku tak suka jadi pajangan. Aku tak ingin berada di
balik lemari kaca.
Aku ingin jadi perkakas, tapi yang tak harus
disembunyikan di laci-laci
penyimpanan. Meski Ibu punya kehendak lain. Ia ingin
aku jadi lampu
kamar. Ditempatkan di suatu sudut. Dibersihkan bila
membersihkan ruang
makan. Menghilangkan pecahan kaca piring dan gelas
yang bikin ruang makan
berantakan. Menyedot taburan lada dan tomat terburai
yang mengotori
lantai.
Jarum jam pendek di dinding menunjuk angka dua.
Jarum panjangnya
menunjuk angka empat. Tapi kenapa tabung
penyimpan debu dan kotoran vacuum
cleaner-ku terlihat bergerak-gerak? Ah, pasti cuma aku
yang salah lihat.
Tapi sudahlah. Jam enam pagi besok, Ibu akan
menjambak leher baju
tidurku dan menyeretku ke kamar mandi. Menyiram
kepala dan badanku.
Menggosok Perutku. Jangan kencang-kencang
menggosok bagian belakang telingaku,
Ibu... Perutku kerap mual kalau kepala dan telingaku
kesakitan. Aku
sering lupa pada banyak hal. Dan tentu saja, seperti
yang sudah kubilang
pada kalian, aku selalu kesulitan mengucap dengan
jelas apa yang ingin
kukatakan.
Ah, kalau begitu, baiknya aku tak boleh lama-lama di
ruang makan ini.
Aku harus segera tidur lagi.
BELUM ada tangan yang menarik kerah leher baju
balik pintu
adalah seorang perempuan berbaju putih-putih dan
mengenakan topi putih.
"Wellin, Wellin tenang, ya," perempuan berbaju putihputih itu
mengucapkan kalimat yang sama dengan perempuan
bermata sipit. Mereka tak
mengerti, aku begitu panik. Ini bukan tempat tidurku. Ibu
akan marah kalau ia
tahu. Ini bukan kamarku. Tak ada gambar ikan di
tembok, tak ada lapis
warna biru, hijau dan bintik-bintik kuning. Dinding
kamarku kini
berwarna krem semua.
"Ibbh... ak maw Ibbhh..." Aku memang hanya
menginginkan Ibu.
"Hhm, sebentar ya. Suster tahu Wellin mau apa," kata
perempuan berbaju
putih-putih itu tersenyum. Rasanya senyum itu kukenal.
Aku jadi tenang.
Perempuan bermata sipit itu meraihku lagi. Kali ini aku
mendekat dan
mengikuti arahannya. Aku duduk lagi di atas kasur.
Suster itu
mengeluarkan sesuatu dari lemari di samping tempat
tidur. Benda itu berwarna biru,
berbentuk lonjong gemuk terbuat dari alumunium dan
plastik. Aku kenal
benda itu dan aku tersenyum.
Pada suatu hari satu atau dua tahun yang lalu seorang
perempuan asing, entah dari Cina atau Jepang yang
mengaku sebagai pengamat burung, pernah datang ke
bioskop. Dalam bahasa yang terbata-bata ia menyatakan
keheranannya: ia bercerita bahwa ia telah mengamati
seluruh kota ini dan menyimpulkan bahwa habitat burung
gereja sudah rusak karena polusi, kecuali di gedung ini.
Bagi Rusdi, perempuan itu pun tak bisa mengusir burungburung. Beberapa hari ia hanya menyodor-nyodorkan
mikrofon perekamnya ke seluruh sudut gedung. Ia tidak
pernah membantu Rusdi membersihkan kotoran burung.
Selain perempuan Cina itu, tidak ada yang peduli.
Marni atau suaminya hanya sesekali menyinggung perkara
burung-burung ini. Itupun lebih sering dalam bentuk
sindiran. Mereka baru tampak bersungguh-sungguh jika
membicarakan perihal hantu. Marni selalu membuat Rusdi
merasa berada dalam sebuah adegan di mana tokohtokoh utama bertemu dengan tokoh-tokoh jahat
perempuan. Ada yang culas pada senyumnya, tatapan
matanya, cara bicaranya. Ada yang selalu bisa tidak
dipercaya. Sementara suaminya selalu berperan sebagai
laki-laki bodoh suruhan penjahat yang tak perlu diingat
namanya, bahkan sampai kisah berakhir.
Sepasang suami istri inilah yang menyebar cerita tak
sedap tentang Rusdi, beberapa tahun yang lalu. Setiap
pedagang di ruas jalan tempat bioskop itu berada akan
menjauh setiap kali Rusdi lewat dan menyapa. Ia
mendapati dirinya dicurigai sebagai pawang hantu di
bioskop itu dari suatu percakapan yang kebetulan
ditinggalkannya itu.
Pagi itu, kau sudah tahu sejak awal kisah ini kututurkan,
efek kupu-kupu bekerja. Ayah Alit meninggal di rumah
kontrakannya di kampung dekat pelabuhan yang ia tempati
sejak lama. Malaikat datang menjemput nyawanya dan
tidak membawa bunga-bunga. Baru pada siang hari orangorang yang merawat jenazahnya menaburkan bunga-bunga
di gundukan makam.
Perawan Yang Bersemayam Di Mata Loth
Cerpen: Ucu Agustin
Sumber: Koran Tempo, Edisi 09/22/2002
Buliran itu selalu terlihat begitu sempurna, kadang
umpama tirai, kadang laksana badai. Seumpama kode,
penuh rahasia, tak pernah bisa diduga artinya.
Musim itu telah datang lagi kini. Selama 30 hari, 720
jam, 43.200 menit, 2.592.000 detik aku terkurung di sini,
hujan membadai di luar. Dan ketika Musim ini telah mulai
menyemai, aku kembali berada di tengahnya, terjebak
dalam rintiknya, tak menemukan jalan keluar, hingga
malam yang benar-benar berhujanpun datanglah
Aku melihat seorang perawan tanpa pakaian di tengah
hujan. Sebuah perasaan aneh menyergap seketika. Rasarasanya aku jatuh cinta. Bukan pada tubuhnya, bukan pada
kelam rambutnya, namun pada kesucian yang tak terkoyak
meski mungkin ia sudah bukan perawan. Dalam sebulan,
itulah untuk pertama kalinya aku mendapat kekuatan,
berani menerobos badai.
Perawan cantik, apa yang kau lihat di sana? Tanyaku
daun-daunnya.
Kanakar adalah saat semua kejadian yang pertama
kali dilihat Dmitri dua tahun silam akan tampak kembali
sebagai mimpi nyata yang menjelma. Hutan bersinar,
bintang kerdipnya lembut, malam seperti diperkosa
malaikat. Heningnya sangat pekat tapi terangnya lebih pijar
ketimbang ratusan lampu bohlam.
Pada dini hari pembuka di bulan pertama setiap
pergantian tahun itulah, saat orang-orang di kota ramai
merayakan berlalunya waktu dan menyambut datangnya
satu fase putaran baru dengan kemeriahan kerlip kembang
api dan keriaan sumbat-sumbat minuman yang dibuka
dengan paksa, lelaki itu cukup mengenang saat yang
seperti itu sebagai saat Kanakar saja.
Kanakar?
Dmitri melihat mereka dari sela-sela antara akar-akar.
Tujuh puteri bersaudara Seven sisters, begitu orangorang berkulit putih menyebut mereka dalam bahasanya.
Bagai laluby panjang yang menyobek malam hening di
suatu kampung. Seperti kisah dalam cerita kanak-kanak
tentang seseorang yang dikejar mahluk raksasa hijau.
Seperti fabel-fabel yang dituturkan lewat lisan tapi kini
menjelma dengan nyata di depan mata. Itulah yang terjadi
pada saat itu. Waktu kanakar
Gelap menggelayuti hutan. Pohon-pohon seperti
raksasa berbulu kaki lebat yang siap membuat siapa saja
tersasar di antara bulu kakinya. Angin seperti meniupkan
nafas salju yang bisa menyumbat laju peredaran darah.
Lelaki itu memeluk tubuhnya. Hanya sebuah jaket kain
itu, dua temannya lebih serius mengurusi perempuanperempuannya dari pada berembuk tentang rencanarencana masa depannya, Dmitri bisa maklum.
Dan pada malam pergantian tahun ketika kedua
temannya pergi ke kampung terdekat itulah, Dmitri
menemukan waktu yang hilang. Saat yang kemudian
dikenang Dmitri sebagai saat Kanakar* * *
Dua tahun yang lalu, di tengah kelebatan hutan, saat
gigil mulai menggigit, ketika satu persatu Dmitri
mengumpulkan dahan-dahan pohon tua untuk tambahan
kayu bakar, ia melihat mereka dari antara gelantungan
akar-akar yang bersuluran dari badan pepohonan. Mereka
melayang, terbang. Mengambang dan berkeliaran dengan
udara sebagai pijakan, mungkin itu kalimat yang paling
tepat untuk menggambarkan cara berjalan tujuh
perempuan yang dilihatnya dari antara akar-akar. Tubuh
mereka bersinar seperti kunang-kunang. Rambut mereka
tergerai berwarna emas dan api. Mereka tak bersuara tapi
tampak mereka tertawa-tawa. Roman muka bahagia
terpancar dari wajah mereka yang seterang siang.
Dmitri membeku. Dia hanya bisa menatapi gadis-gadis
cahaya itu dari jauh tanpa bisa melakukan apa-apa. Gigil
dingin tak lagi dirasakannya. Ia begitu terpesona. Dari
antara akar-akar ia melihat perempuan-perempuan
seumpama peri itu mengambil tanah dan lantas
meniupinya dengan nafasnya. Saat tanah-tanah itu ditabur
kembali dari tempat mereka berdiri mengambang, tanahtanah itu tampak seperti debu yang berpijar. Itukah debu
sihir yang ditaburkan Peter Pan dan membuat teman-
awan. * * *
Hanya hujan yang bisa menidurkanku. Ketik Dmitri
pada keypad Handphone-nya. Ia membaca sekilas pesan
yang telah dibuatnya. Jam digital di atas meja kerjanya
menunjukkan angka dua tiga dua. Suara riuh jalanan yang
tadi pecah dengan bunyi terompet dan aneka bunyi
petasan kini tak lagi ia dengar. Para pemakai jalan itu
pasti sedang bermimpi sekarang. Ia mengirimkan smsnya.
Tentu saja, karena mungkin seperti yang kerap kau
ceritakan, saat purnama bintang-bintang selalu
memanggilimu. Pasti itu yang membuat kau tak bisa
menutup matamu. Maia.
Dmitri baru mengenalnya satu bulan yang lalu. Kejadian
tak sengaja; berebut sebuah buku yang sama di sebuah
toko buku. Sebuah sore di akhir November. Entah kenapa
Dmitri merasa seolah perempuan itu bisa memahaminya.
Balasan sms itu adalah jawaban paling masuk akal yang
pernah diterimanya sejak ia mengalami masalah sulit tidur.
Sejak ia menemukan saat Kanakar.
Dmitri memang merasa selalu dikerdipi bintangbintang. Mungkin benar, itulah kenapa ia jarang sekali
menutup matanya bila datang waktu malam. Ia hapal
dengan pasti letak rasi-rasi; Lira, Lepus, Taurus. Juga
bintang-bintang besar Casiopea, Al Nath, Borea, dan yang
paling sering membuatnya gemetar adalah Pleiades.
Posisi bintang itu dan cara mereka mengerdipinya.
Adalah seorang putri cantik yang sangat suka berlayar,
Pleione. Menikah dengan Atlas dan dikarunia tujuh puteri
bahkan melayaninya.
Ayah mengkhianati kita; kalian dan aku, kata Ibu suatu
kali, malam-malam; malam-malam ketika Ayah mulai
jarang pulang. Waktu itu, Ibu mengendap kamarku, dan
pelahan membangunkan aku. Kami, anak-anak Ibu,
bersamaan dengan usia kami yang kian bertambah, sudah
dibikinkan kamar sendiri-sendiri. Aku, anak sulung,
dibuatkan kamar agak di depan. Mestinya, Adik Tengah
dan Adik Bungsu masih bisa sekamar, tapi karena Adik
Bungsu kami lelaki, dia pun dibuatkan kamar tersendiri
pula.
Ayah kawin lagi? tanyaku menegaskan.
Ibu cepat-cepat membekap mulutku dengan
telunjuknya. Aku tafsirkan, aku harus bicara perlahan dan
tak usah terkejut. Itu tafsir pertama. Tafsir kedua, Ibu
hendak menegaskan: tidak begitu penting bentuk
pengkhianatan Ayah. Tafsir ketiga: Ibu ingin hanya aku saja
anaknya yang tahu rahasia ini. Mungkin karena aku anak
sulung. Mungkin karena aku sudah dianggap dewasa. Tak
ada yang harus kupilih salah satu dari tafsir-tafsir itu.
Semuanya kucoba kupahami. Dan aku percaya pada katakata Ibu, karena kenyataannya belakangan hari Ayah
semakin jarang pulang, apalagi bersama-sama pergi
keluar kota jika akhir pekan.
Kurasa, aku bisa menahan diri untuk tak menceritakan
rahasia Ibu tentang Ayah pada adik-adikku. Tapi aku tak
pernah berhasil menyimpan kebencianku pada Ayah. Juga
pada anjing. Tapi, ketika sarapan pagi itu Ibu menggeram
dan menggumamkan bapak kalian memang anjing,
***
MALAM itu, ada anjing masuk ke dalam rumah
keluarga yang ayahnya semakin jarang datang dan
bertandang pulang. Kakak Sulung merasakan itu. Hanya
Kakak Sulung yang tahu itu. Adik Bungsu sama sekali tak
mengetahui bahwa anjing yang pernah dia lihat mengibasngibaskan ekornya ke pintu kamar Ibu itu mondar-mandir
dari ruang tamu ke ruang tengah. Dia justru mendengar
suara gaduh dari erangan dan auman yang dia telisik
sebagai suara setan. Dia tahu itu suara setan karena
begitu itulah suara setan sebagaimana yang dia saksikan
di televisi yang dipasang di kamarnya.
Adik Tengah juga tak mendengar suara anjing
apalagi melihat sosoknya. Dia hanya mendengar suara
gaduh yang ditimbulkan oleh kepak sayap kelelawar yang
terbang menabrak-nabrak lampu gantung, plafon, dan kaca
jendela yang kelambunya lupa dikatupkan.
Saat tombak Kakak Sulung menembus urat nadi leher
anjing dan anjing itu melengkingkan lolongan panjang, Adik
Bungsu juga mendengar lolongan setan yang dia yakin juga
tewas setelah dia lemparkan kalung salib dan tasbih ke
luar kamarnya ke arah setan sedang mengaum dan
mengerang. Adik Tengah mengguratkan senyumnya dari
balik kamar karena dia merasa yakin telah berhasil
membunuh kelelawar berkepinding jelmaan iblis-siluman
yang terperangkap lampu insektisida yang dia modifikasi
sehingga bukan hanya nyamuk dan lalat yang tersedot
mendekat dan terlekat oleh setrum listrik yang berpijar-pijar
seperti kilat.
anjing itu jika saja anjing itu hadir dalam mimpi dan
khayalanku. ***
legian, juli 2004
ciputat, 18 januari 2005; 21.11
meminta izin kepada pemilik pohon untuk mengutip buahbuah yang jatuh. Kepada si pemilik tak lupa Nek Sani
mengatakan ia ingin membuat asam sunti untuk bumbu
asampedas. Sudah bertahun-tahun dia tak memakan kuah
asampedas. Betapa coklatnya asam sunti. Muasalnya dari
belimbing wuluh setengah tua yang dijemur di panas
matahari hingga berhari-hari lamanya. Hingga buahnya
yang gemuk menyusut dan perseginya tak berupa lagi. Nek
Sani memasukkan belimbing wuluh itu ke dalam buntalan
sarung dan memberkahi sang pemilik pohon agar
dimudahkan rezekinya oleh Tuhan. Tak lupa ia bergunjing
tentang sulitnya hidup di zaman perang, bahkan untuk
sekedar membuat asam pedas pun harus menahan-nahan
diri. Gunjing itu diterima orang kampung dengan sukacita.
Karena memang begitulah kenyataannya. Cara Nek Sani
bergunjing sungguh khas: ia mendesis-desiskan mulutnya,
dan tangannya berkali-kali menunjuk ke langit, seolah itu
kabar penting dari jauh, dan cukup seorang saja yang
mendengarnya. Di ujung gunjing, mulutnya yang hitam oleh
sirih dan pinang akan didekatkannya ke dagu orang yang
mendengarnya, lalu ia bungkam sendiri mulutnya dengan
kuat, seolah menahan sesuatu yang akan jatuh dari dalam
kuluman. Berhari-hari lamanya Nek Sani mencari
belimbing wuluh. Berkali-kali pula asam sunti itu habis
tandas dibuatnya sambal dengan garam dan cabe rawit
sebagai teman makan nasi. Bukan karena Nek Sani telah
kehilangan hasratnya untuk membuat asampedas. Tapi ia
tak mampu menyediakan bumbu yang lain: serbuk kunyit,
ketumbar, bawang putih, dan lada. Lagi pula, betapa
turun.
Langit
cerah.
Bintang-bintang
terserak
menyemarakkan langit. Pada cakrawala kulihat lampulampu pukat harimau dari negeri asing yang menyedot
berton-ton ikan tanpa gangguan. Terlihat juga lampu lentera
yang jauh lebih muram dari perahu-perahu nelayan,
terserak di sana-sini, tidak terlalu banyak jumlahnya, yang
semenjak berpuluh-puluh tahun selalu mencari ikan dengan
cara yang sama. Memang perahu mereka sekarang
bermesin, tetapi cara berpikir mereka tidak berubah, yakni
mencari ikan seperlunya untuk dijual dan dimakan. Jika
uang penghasilan itu cukup untuk bertahan hidup, maka
tidak ada lagi yang masih harus dilakukan.Laut seperti
selimut yang lembut tapi terus menerus bergoyang,
membuat lentera yang tergantung juga bergoyang-goyang.
Kehidupan seolah-olah berhenti, tapi apakah yang betulbetul berhenti? Sejak sore ribuan kalong telah
meninggalkan pemukimannya, terbang dalam keremangan
memasuki malam, ketika manusia tertidur dan merasa
sebaiknya kegelapan segera berlalu.Seorang anak
nelayan yang diajak melaut mungkin tetap terjaga dan
bertanya-tanya apakah yang berada di balik kegelapan itu.
"Bapak, ke mana ribuan kalong menghilang di balik
kelam?"Malam memberikan kegelapan, dan kegelapan
memberi peluang sejuta dugaan. Terdengar sapuan
ombak di bibir perahu. Angin dingin menyibak kelambu.
Benarkah tidak ada sesuatu di balik kegelapan malam dan
hanya ada dongeng yang dilahirkan angan-angan? Di
Ujung Kulon yang terpencil, segala sesuatu telah dihitung
secara ilmiah, sehingga badak bercula satu yang tidak
hayatmu. Aku tak akan hengkang. Dan aku tak bakal pergi
tanpa membawa segala jimat itu.Jelaslah sudah, semua itu
hanya alasan bagi mereka untuk bertarung. Dora
mengancam Sembada, dan Sembada balas menatap
mata Dora. Dora segera menanggalkan tudungnya serta
memberi hormat, begitu juga dirinya; sekonyong ia melihat
kembali bayangan penyebal itu. Sembada membuat
gerakan menipu, begitu pun bayangannya. Para lelembut
pengintip itu tak tahu bagaimana membedakan keduanya.
Lama ia terdiam merenungi pertarungan tersebut, dan
bayangannya bergeming pula. Pertarungan itu berkelebat
di dalam tempurung kepalanya, menanjak dari jurus-jurus
pengecoh hingga tipuan-tipuan licik mematikan, tapi ia
tahu bayangannya pun memikirkan itu semua. Sekali-dua
ia mengirimkan gerak, dan bayangannya berlaku serupa.
Maka mereka beradu, saling melengos, dan jatuh-bangun,
menumpahkan peluh.Ketika luka mulai melelehkan darah,
ilham itu kemudian datang begitu terang, serupa mimpi
buruk yang muncul kala siang.Ah, lihatlah, Sayangku.
Mereka terpaku kembali begitu khusyuk. Bahkan padi yang
rontok dari paruh seekor emprit pun terdengar nyaring jatuh
ke pasir. Suara burung hantu pada senyampang jarak
menyiratkan kedatangan roh para leluhur kedua pendekar
yang bersiap menjemput ajal. Cahaya membencar dari
barat mengabarkan senja perpisahan. Ah, Sayangku,
tamasya ini begitu duka. Sabung imbang ini akhirnya
beroleh penutup.Selamat panjang umur, Sobat, di dunia
kekal. Kecut hati Sembada berujar, begitu pun
bayangannya. Kini tak ada lagi sosok yang selalu
para pengunjung yang menjerit-jerit histeris pada mobilmobilan rel yang meluncur turun dengan laju. Lalu ia mesti
bertanya, dengan kenaifan yang mungkin menggelikan
bagi si penjaga sirkus, bertanya untuk ke sekian kali, apa
itu? Sesekali mereka bercakap bersama para badut,
pesulap, nona bajang albino, pemilik kedai kopi, penelan
api, pemain akrobat, atau pengunjung sirkus yang ikut
nimbrung. Sesekali ia mendengarkan beberapa nasihat
dari mereka.Ini rahasianya, kata pemilik kedai kopi, bukan
soal apa yang kamu lakukan, tapi seberapa pintar kamu
pertunjukkan apa yang kamu lakukan. Ini bisnis pertunjukan
dengan ideologi agung: kemasan lebih penting daripada
produk. Kandungan gizi biskuit, saus tomat, atau shampo
tak penting, tapi tunjukkan mimpi -- seperti di tivi. Anakanak masa depan yang cerdas, keluarga harmonis
bersantap malam, pacar bertambah sayang. Imaji, bukan
substansi.Pembuat gulali yang janda itu pasti tersinggung
mendengar ini, ketua badut menambahkan. Kamu pikir
kenapa manusia menemukan gulali? Karena tak ada orang
yang mau makan gula murni, itu tak menarik. Tapi
penghalusan,
pewarnaan,
penggelembungan,
menjadikannya menarik. Isi gulali itu melulu angin! Kenapa
badut harus berpakaian norak bermuka putih berhidung
merah begitu? Pakaian kami, bahan-bahan halus bermotif
meriah itu, khusus diimpor dari kota. Imaji, teman
baruku!Selamat datang di dunia imaji, resolusi tinggi,
penjaga sirkus berkata sambil bertopang dagu.Ia diam,
gulali yang menarik versi ketua badut itu justru terdengar
tak menarik, keluar dari bibirnya yang siang itu tanpa
padusi.
Ibuku seorang yang santun. Dia hanya berkata pendek.
Uda yakin itu nama yang benar?
Yakin. Saya pernah berdagang di Negeri Sembilan. Di
sana, begitulah mereka mengucapkannya. Lidah warisan
Inggris mereka tentu tak keliru seperti milik urang awak.
Begitulah. Pendidikan ayahku yang kandas setingkat
kelas 4 ibtidaiyah, bergabung sempurna dengan sifat
gadang ota-nya yang selalu membanggakan diri pernah ke
luar negeri, meskipun hanya sebagai penjual bubur
kampiun di Malaysia. Dua bulan kemudian beliau pulang
kampung saat mendengar Polis Diraja Malaysia akan
melancarkan razia terhadap pendatang haram. Seperti
halnya para gadang ota sejati, ayah tak punya cukup nyali
untuk kembali mengejar mimpinya. Semua terhenti sebatas
kata-kata.*
SEWAKTU bersekolah di SD dekat rumah, temanteman memanggilku Boyon. Aku merasa biasa saja,
mungkin karena belum punya konsep tentang keren
tidaknya sebuah nama. Menginjak SMP aku baru tahu yang
dimaksud ayah dengan Jems Boyon tak lain dari James
Bond. Maka di sekolah, aku menulis namaku sebagai
James. Kalaupun harus dipanjangkan, ya James B saja.
Nama Boyon terdengar seperti bloon, istilah yang dipakai
seorang teman kelasku dari Jakarta untuk memanggil
orang dungu. Tapi seorang guru mengaji di surau dekat
rumahku satu kali menasehati. James itu nama orang
kafir. Tidak pantas orang Minang yang menjunjung adat
basandi syarak, syarak basandi kitabullah memakai nama
seperti itu.
Aku diam saja, meski hatiku panas. Shalatku memang
seperti saringan teh yang bolong-bolong. Tapi kalau
disamakan dengan orang kafir aku tersinggung juga.
Bukankah kata seorang pujangga Inggris, apalah artinya
sebuah nama? Masalahnya, kendati tubuhku semontok
karung beras, guru ngaji itu juga mengajar silat. Jadi apa
yang bisa kuperbuat?
Sepulang dari surau, aku langsung ke sawah.
Menjelang pucuk malam, aku mengendap-endap
mendekati surau dengan karung di pundak. Di Minang ada
kebiasaan anak-anak lelaki yang mulai dewasa tidak tidur
lagi di rumah orang tuanya, tapi di surau. Malam itu
ternyata hanya sedikit murid tidur di sana. Sedangkan guru
mengaji yang rajin berkhalwat kepada Allah Ta'ala itu
kuintip tengah mengerjakan shalat malam. Saat yang pas
untuk melepaskan 15 katak dan 23 belut tangkapan malam
itu ke dalam surau.
Lalu aku menjauh, menunggu. Tak lama kemudian,
terdengar kehebohan luar biasa dari surau gelap itu.
Hampir semuanya memekik histeris. Lalu pintu terbuka,
guru mengajiku keluar seperti hendak mencari si pelaku.
Untungnya bulan malas bercahaya. Aku melangkah pulang
dengan hati puas. Baru sebulan kemudian aku berani
mengaji lagi, setelah yakin guru itu lupa dengan serangan
katak dan belut.
Lalu aku melanjutkan sekolah di SMA 1 Bukittinggi.
Saat itu film Catatan Si Boy yang meledak di Jakarta
bergaung juga gemanya sampai ke ruang kelas kami.
padusi = perempuan
adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah = adat
bersendi syariat (Islam), syariat bersendi Kitab Allah.
Arah Angin
Cerpen: Kurnia Effendi M. Iksaka Banu
Sumber: Koran Tempo, Edisi 11/09/2003
Catatan: Cerpen ini ditulis bersama M. Iksaka Banu
Buitenzorg, suatu hari 1817
SATU dari tiga kaca tebal di atas koridor
mengantarkan segaris cahaya matahari yang jatuh ke ujung
lorong. Persis di muka kafetaria. Mengambil tempat di
lantai dan sepertiga dinding gang. Agak melengkung dan
menyerong, serupa layar kapal jung Cina. Di situlah
langkah Sarip terhenti.
Sudah belasan kali ia menyusuri lorong ini. Mungkin
sudah belasan kali pula ia melihat benda itu. Tetapi baru
kali ini nalurinya terpanggil. Entah karena suasana hati,
atau kitab riwayat hidup memang sengaja memberinya
peluang itu. Ia berdiri menjaga jarak pandang, melipat
tangannya ke depan dada, mengamati.
Di hadapannya, di sudut tembok, tepat di tengah
bagian yang terkena cahaya matahari, dipaku pada
sebatang baja, sebuah kerangka utuh dari seekor kuda
Arab berdiri tegak menjulang dengan dua kaki depannya
terangkat ke atas seperti seorang balerina yang sedang
bersiap melakukan pas de-deux.
Sarip tahu apa yang akan dilakukannya. Panggilan itu
semakin kuat.
Kincir Api
Cerpen: Kurnia Effendi
Sumber: Koran Tempo, Edisi 07/13/2003
HAMPIR setiap malam, Damar memperhatikan langit
yang bertabur bintang. Hampir setiap malam, kecuali
ketika turun hujan. Ia merasa banyak belajar dari makhluk
yang berkelap-kelip itu. Makhluk yang berbeda dengan
kunang-kunang, karena tak memiliki sayap dan bergerak
amat perlahan pada lintasan yang telah ditentukan. Entah
oleh siapa. Garis edar yang panjang itu, melengkung jauh,
menghilang ditelan fajar.
Mulanya ia hanya membutuhkan gemintang sebagai
teman melamun, setelah seluruh pekerjaannya dituntaskan.
Ia akan tiduran di rumput, berbantal kedua tangan yang
dilipat, matanya menatap jauh ke atas. Seolah ada
berlapis-lapis selimut transparan yang disingkap. Sampai
akhirnya mendapatkan sebuah kejora. Atau bintang timur.
Atau sekumpulan rasi, entah apa namanya. Bentuknya
kadang seperti rangka layang-layang. Seperti seekor kuda
laut. Seperti bagan sebuah rumah. Seperti penari
bersayap yang meliuk...
Damar merasa sangat bahagia setelah berjam-jam
menatap bintang. Dari cahayanya yang samar, seolah ada
energi yang lurus menukik ke matanya. Memasuki retina,
merambat ke serabut halus dalam manik matanya.
Sesudah cahaya itu mengalir dan membasahi kedua lensa
matanya dengan cairan yang berkilat-kilat, ia akan merasa
lalu.
"Kau memang tidak mengundangku," katamu, tidak
tampak kaget. Kita bergenggaman tangan. Berjuta bingkai
diorama berputar. Gambar yang meloncat-loncat. Sejak
Braga Permai, Concurrent Jewelery, Kafe Datumuseng,
Pantai Losari, Somba Opu, sampai Benteng Fort
Rotterdam?
"Padahal, ini hampir semua tentang kamu."
Engkau menghela nafas panjang. "Aku tahu. Tapi
mungkin ini bukan waktu yang tepat buatku." Kamu seperti
ingin menghindar. Mengkhawatirkan sesuatu. Aku pun
merasa tak bisa berbuat banyak, meski segera kutangkap
tanganmu.
"Kita harus merayakan pertemuan?"
"Maaf, Mas, ini pasti di luar perkiraanmu. Mungkin lebih
baik?"
"Please," kuperkeras genggamanku. "Kau bahkan
belum memberitahu kapan datang dan di mana
menginap."
Beberapa kawan muncul silih-berganti, menjabat
tangan, mengucapkan selamat. Ini memang hari pertama
pameran "Sepanjang Braga" dibuka. Tema yang
seharusnya kukonfirmasi kepadamu. Tapi aku bimbang.
Hal-hal yang menyangkut perempuan lain bisa jadi aneh
dan mengerikan untuk dibahas. Apalagi tentang pelukis
dan pecinta lukisan. Aku hampir tak membicarakan
dengan isteriku. Padahal perasaanku santai saja jika
sesekali kugambar model perempuan telanjang di studio.
"Sepanjang Braga," kau bergumam begitu aku
terbebas dari kawan-kawan. Kilatan cahaya blitz kadangkadang melampaui kepala kita. Seperti benderang lampu
petir yang mengerjap di langit petang, saat kita diguyur
gerimis di Jalan Braga. Saat itu, di antara kita belum ada
siapa pun. Andaikata dada kita transparan, mungkin
terlihat kembang api jingga setiap kita bicara. Karena yang
terlompat dari mulut, meski terdengar seperti perdebatan,
adalah upaya saling menggosok batu api. Sejak itu,
setelah komunikasi terdiri atas berlembar-lembar surat,
tumbuh perasaan saling menyayangi.
"Aku akan datang ke tempatmu, apakah nanti malam
punya waktu?"
Kau tersenyum. Seperti menyindir. Tapi juga
menyiratkan kebijaksanaan. "Seharusnya aku yang tanya,
apakah kau punya waktu? Kau tahu, aku belum terikat
siapa pun. Setidaknya sampai hari ini. Tapi, it?s okay, kau
bisa telepon dulu. Aku menginap dekat Dago Tea House."
Kau memberiku sebuah kartu nama guest house.
Sejak kutulis tentang Chiara, dulu, muncul nuansa lain
dalam hubungan kita. Aku merasa: ada seseorang yang
juga dekat denganmu. Meskipun tidak kauceritakan,
kecuali ketika putus menjelang tunangan, justru setelah aku
menikah.
"Aku jatuh hati sejak pandangan pertama," demikian
suratku. "Ia seorang pembaca puisi, pasti memiliki
apresiasi yang kuat tentang seni. Beberapa kali kukirimi
sketsa, tapi tidak tahu apakah dipasang di kamarnya?"
Waktu ngoceh seperti itu, aku lupa, bagaimana
perasaanmu? Seolah-olah engkau ibuku. Terlebih ketika
terakhir."
Terkadang aku kagum padamu, karena tidak serapuh
dugaanku. Waktu kau ceritakan patah hati yang pertama,
tersirat ungkapan syukur. Sambil menikmati pisang epek di
pantai Losari, kita berbagi kisah. Ada semacam
keajaiban. Setelah lama saling bersurat, kegiatan budaya
mempertemukan kita di Bandung. Catatanmu yang melukai
perasaan di buku tamu pameran lukisan, telah memaksaku
terbang ke Ujungpandang. Begitu tiba di teras rumahmu,
pertanyaan pertama yang muncul adalah: "Bagaimana
kabar Braga?"
"Aku sedang menggarap semacam proyek tentang
Braga. Rasanya tak akan sempurna tanpa diskusi
denganmu."
Kini, seratus lukisan telah selesai. Seperti yang
kujanjikan pada diri sendiri. Hanya Chiara dan Baby yang
jadi saksi prosesnya. Atau satu-dua kawan dekat. Aku
memang mengerjakannya setengah diam-diam.
"Oke, aku pulang dulu," katamu, sambil mengambil
selembar katalog dan memasukkan ke dalam saku blazer.
"Tidak mengikuti diskusi? Pak Pirous dan Bang Hardi
yang bicara."
Kamu menggeleng. "Aku banyak urusan," tersenyum
dan pergi menjauh. "Jangan lupa, telepon dulu."
Kulambaikan tangan, sebelum bergabung dengan
peserta diskusi di ruang Bulu Domba. Seorang moderator
mendekat, mengkonfirmasi biodata. Sepuluh menit
kemudian acara berlangsung, dan baru berakhir pukul dua.
Semalam aku hanya tidur sekitar tiga jam. Akumulasi
Mohamad?
"Aku minta maaf," katamu berbisik.
"Ya," tak ada lagi yang harus dibicarakan. Kututup
telepon dengan kecewa.
Kuhampiri Chiara yang meringkuk di ranjang.
Kuletakkan badanku pada sprei yang masih rapi,
telentang, memandang langit-langit. Tubuh di sampingku
berbalik. Dalam ketidaksadaran ia mendesakkan
wajahnya ke leherku. Dan kupeluk sebuah kenyataan.
Barangkali tak pernah kupejamkan mata sampai pagi
datang. Aku menjadi sedikit pendiam, namun tidak
menarik perhatian Chiara. Sehabis sarapan, telepon
berdering, dan Chiara mengatakan tentang kolektor
Filipina itu. Aku hanya memberi anggukan, tanda setuju.
Selesai bicara, wajah Chiara berseri-seri. Ia
menciumku dengan hangat. "Hampir setengah milyar!
Empat ratus delapan puluh enam juta, setelah dipotong
PPh." Ia tidak merasakan, alangkah hancur hatiku. Tapi
buat apa? Aku tidak ingin merana sendirian. "Ia bilang,
nanti siang ditransfer. Lukisan akan dikemas hari Minggu,
setelah penutupan. Baby?! Baby?! Ayo beri selamat
kepada Ayah!"
Gadis kecil itu meloncat ke pangkuan. Kupeluk dia dan
seolah-olah aku mendapatkan pengganti dari semua yang
hilang.
Chiara pamitan ke kantor, Baby berangkat ke Tadika
Puri. Aku terdiam di kursi, mendengarkan rekaman Tony
Prabowo. Membayangkan gelas-gelas yang ditabuhnya
pecah berkeping-keping. Menggambarkan perasaanku.
hari.
Tersungkur aku di teras. Tapi tak mungkin
memanggilmu dari ambang beranda. Kumasuki pintu
rumah dengan dua putaran kunci. Lampu yang menyala
membuat ruang tamu jadi benderang. Aku menuju sofa
tempat engkau berbaring: masih seperti ketika
kutinggalkan pagi tadi. Telentang dengan paras pucat dan
mata terkatup.
Entah harus kupanggil apa dirimu saat ini. Bunga layu?
Bulan pucat? Gula getir? Airmataku menderas, membaur
dengan sisa hujan yang membasahi sejak rambut hingga
ujung kaki. Aku berlutut di sisimu dengan tubuh gemetar.
Menyentuh pipimu, lenganmu, dadamu, meremas jarijarimu yang mulai kaku. Ada yang tak kumengerti dari akhir
hidupmu. Entah siapa yang mulai main sembunyi. Sesuatu
telah merenggutmu dariku dengan cara telengas melalui
bagian tubuhmu yang paling ringkih. Luput dari
pengetahuanku. Sebab sepanjang lima tahun aku setia
padamu, dan menganggap aliran hari adalah nyanyian
yang tak pernah putus.
Ingin kuusir kenyataan. Namun dalam pelarianku yang
penuh duka lara, seorang perempuan tak dikenal nyaris
membuat perasaanku berubah. Maafkan aku. Tanpa suara
aku terisak. Dengan gamang kurapikan helai rambutmu
yang masai menutup pipi.
Memandang relung telingamu, mengingatkan pada film
Blue Velvet. Seorang pemuda menemukan sepotong
telinga yang mulai dikunjungi semut, di halaman rumput
rumah tetangga. Tentu saja aku bukan pemuda itu, yang
nafasnya mudah mengalir. Mengendurkan risluiting jeansnya, supaya perut tidak terhimpit. Memikirkan sebuah cara
pernafasan buatan, untuk membuat Poppy tersengal,
terbatuk dan siuman.
Itu tak boleh terjadi! Ia bangun dari bangku.
Meninggalkan selembar uang di meja yang lengket oleh
tetesan pelbagai minuman. Lari menyeberangi jalan,
diselamatkan oleh sepi. Nyaris ia menabrak Satpam dan
seorang penjaga yang mengenakan blazer. Ia masuk ke
lobby dan mendapatkan gema suara penyanyi di sana-sini.
Mau ke mana, Mas? Cover-charge-nya dulu
Seorang perempuan dengan busana minimalis menyapa.
Aku? Mencari Poppy.
Poppy? Pegawai di sini atau pengunjung?
Hari Rabu ini aku janji bertemu dia di sini! jawabnya
berang.
Kalau begitu, besok malam datang lagi ya. Sekarang
hari Selasa.
***
BETAPA menggembirakan bila dengan sempoyongan
ia bisa pulang ke penginapan. Memandang sekitar dengan
nuansa warna kabut. Cahaya lampu yang letih menyiram
wajah toko, berubah menjadi jutaan pixel. Ia akan melukis
semua itu dengan separuh ilusi. Ia akan menulis ratusan
sajak dengan sebagian hilang-ingatan. Ia berjalan pulang
bukan dengan matanya, melainkan dituntun langkah kaki
yang terbiasa mencium jejak sendiri di malam-malam
sebelumnya. Tujuh langkah tangga ke balkon penginapan.
Pintu kayu dengan cat terkelupas. Jendela yang meniru
Rasa Takut
Cerpen: Kurnia Effendi
Sumber: Koran Tempo, Edisi 12/15/2002
RASA takut membuat wajahnya lebih cantik dari biasa.
Itu sebabnya aku selalu mencari akal untuk memberi rasa
takut, agar tampak oleh mataku: parasnya yang jelita.
Pandangan mata cemas, alis yang mengkerut, bibir
gemetar, dan suaranya yang menghiba; selalu
meningkatkan gairahku. Biasanya, tak lama sesudah hawa
dingin merambati permukaan kulitnya, ia akan berlari ke
dalam pelukanku. Kedua tanganku sangat terbuka bagi
tubuh takutnya. Kepalanya berusaha sembunyi ke leherku,
dengan nafas menghembus santer, membuat darahku
melaju lebih cepat dari jantung ke pangkal nadi. Adrenalin
pun menyembur ke segala arah.
Kenapa mesti takut? aku menghiburnya. Kubelai
rambutnya yang halus. Seraya kuhirup parfum lembut dari
punggung telinganya.
Aku akan sulit tidur malam ini ujarnya gemetar.
Seperti tak hendak membuka mata, kecuali ke dalam
warna teduh sebuah pelukan yang aman.
Aku menghiburnya. Bukankah besok ia harus kuliah?
Sebaiknya segera tidur. Aku berjanji menunggui sampai ia
terlelap. Tapi ia seperti menyangsikan janjiku. Aku
mengangguk ketika kepalanya tegak dan memandangku.
Percayalah!
Kuyakinkan bahwa aku tak akan beranjak sampai dia
berbaring di ranjangnya. Matanya tak lepas memandangku.
mataku.
Benda itu mirip sayatan segumpal amandel. Atau
mungkin pangkal pangkreas. Atau mungkin potongan usus
buntu. Atau mungkin klitoris yang dikerat. Atau mungkin
daging tumbuh semacam tumor dan kista. Atau bagian lain
dari dalam tubuhnya yang mengandung sulur-sulur lembut.
Mendadak perutku mual. Telepon yang mendekap
telingaku masih memperdengarkan suaramu. Entah
menjelaskan apa. Aku mulai gemetar. Tubuhku berkeringat
tapi terasa dingin. Aku mau muntah. Kini ketakutan
menjalari pikiranku, melumuri perasaanku ***
(souvenir untuk Hudan Hidayat)
Jakarta, 4 Mei 2002
Penjaga Malam dan Tiang Listrik
Cerpen: Seno Gumira Ajidarma
Sumber: Koran Tempo, Edisi 02/16/2003
IA selalu menjaga malam, agar malam tetap menjadi
malam seperti yang paling dimungkinkan oleh malam. Ia
menjaga malam, agar bulan tetap menjadi rembulan
seperti yang dipandang manusia dari bumi setiap malam.
Ia menjaga malam, agar tikus tetap menjadi tikus yang
keluar dari got, merayap di tengah pasar, mencari
makanan dalam kegelapan. Itulah tugas sang penjaga
malam, betul-betul menjaga malam yang kelam agar tetap
menghitam, sehingga bayang-bayang bisa berkeliaran
tanpa pernah kelihatan, mengendap-endap tanpa suara
dalam penyamaran.Malam memang selalau samar dan ia
harus tetap menjaganya agar tetap samar-samar. Segala