Anda di halaman 1dari 328

Cerpen: Kurnia Effendi

Sumber: Koran Tempo, Edisi 04/30/2006


TIGA tahun silam aku bertandang ke rumah Aditya
untuk pertama kali. Sore itu, mula-mula aku bersepeda ke
taman sekolah, seraya mendapatkan Palupi di sana. Aku
mulai hafal, dara manis itu setiap hari Senin dan Kamis
sore mengambil les Matematika. Rasanya ingin berpurapura tak sengaja memergokinya keluar dari kelas.
Berharap ia bersedia kubonceng menuju ke rumahnya.
Sejauh apa pun.
Sore itu aku melihat Adit, yang bukan teman sebangku,
juga ada di sana. Seketika ada desir cemburu
memberangus aliran darahku. Kulihat sepedanya lebih
bagus dibanding milikku. Itu membuat perasaanku sedikit
sedih.
"Hai!" sapaku. Sambil tersenyum, menduga-duga.
"Kris!" Adit membalas, lalu mendekat. "Menunggu
siapa?"
"Tidak menunggu siapa pun." Aku tidak ingin tersipu,
apalagi gugup. "Iseng saja. Kamu sering ke taman ini?"
"Kadang-kadang saja. Lebih kerap berkeliling ke Balai
Kota. "
"Tiap sore?"
"Tidak juga." Adit sedikit tersenyum. "Mau menemani?
Sekarang?"
Aku bimbang. Sebentar lagi waktu les berakhir. Tapi
belum tentu beruntung bisa bercakap-cakap dengan
kembang SMP itu. Sebetulnya tak pernah ada janji dengan
gadis itu. Serta-merta kuputuskan menemani Adit.

"Ayolah!"
Selanjutnya roda sepeda kami menggelinding
menyusuri jalan aspal. Di bawah naungan rimbun jajaran
pohon asam keranji. Berbincang seperti sahabat lama. Tak
terasa aku mengiringi Adit sampai ke halaman rumahnya.
Dia mengajakku singgah dan berkenalan dengan orang
tuanya.
Saat bertemu dengan ayahnya, aku agak terperanjat.
"Krisna, teman Aditya." Aku mengulurkan tangan.
"Sentot. Ayah Adit." Senyumnya terkembang. Senyum
yang khas. Senyum jenaka yang amat kukenal. "Mari
masuk."
"Pak Sentot yang punya"
"Aha, kamu penggemar Chocky?" Senyum Pak Sentot
melebar. Terasa ada kebahagiaan. "Kamu masih ingat
rupanya? Bukankah sudah lama berlalu."
Aku mengangguk tanpa melepaskan pandangan
kagum. Ternyata Adit anak orang terkenal! Sentot Karyoto
itu pemilik boneka Chocky yang bisa bicara. Boneka yang
memiliki gerakan indah pada kepala dan rahang saat
berbicara. Semula aku terkecoh dengan permainan itu:
dialog antara Chocky dan Pak Sentot yang menjalin
dongeng atau petuah bagi anak-anak. Akhirnya aku tahu,
yang diucapkan Chocky juga suara Pak Sentot, yang
dikeluarkan melalui perut tanpa terlihat menggerakkan
bibir. Ajaib!
Tanganku ditarik Adit, seolah aku anaknya yang
membangkang dan bertahan di depan segugus mainan
menarik. Aku diseret gegas menuju ke kamarnya di bagian

belakang rumah. Sebelum aku bicara satu-dua hal tentang


ayahnya, di meja telah dihamparkan berpuluh komik
terbitan Marvel. Mataku berbinar tanpa sadar.
Menyenangkan juga terdampar di kamar ini! Mengapa
tidak sejak dulu?
Saat pamit, matahari sudah tak tampak lagi. Senja
hampir menjadi malam. Di pintu pagar kusempatkan
bertanya kepada Adit: "Aku ingin melihat langsung ayahmu
memainkan boneka Chocky"
Adit hanya mendengus tanpa terlihat bangga. Lalu
tangannya melambai seperti mengusirku. Aku pun
meluncur dengan sepedaku meninggalkan halaman rumah
Adit, tanpa merasa tersinggung. Karena hari mulai gelap.
Aku ingin segera tiba di rumah, ingin lekas membaca dua
buah komik yang kupinjam.***
"TAHUKAH kalian? Ternyata ayah Adit itu pengisi
acara"
"Hus! Jangan banyak omong!" Sebuah tangan
membekap mulutku. Tangan Adit. Tangan yang lebarnya
sanggup memenuhi wajahku. Teman-teman yang
berkerumun di depan kelas tertawa-tawa melihatku
megap-megap. "Ayo, aku lihat pekerjaan rumahmu! Nomor
delapan!"
Aku diseret ke dalam kelas. Lalu kubongkar tas dan
kuberikan buku Matematika. Tapi ternyata ia tak sungguhsungguh hendak menyalin. Ia hanya ingin menjauhkan
diriku dari teman-teman, terutama karena terlontar katakataku tentang pekerjaan ayahnya.
"Pulang sekolah kamu mau ke mana?" tanya Adit

serius.
"Ke mana? Tentu saja pulang."
"Di belakang sekolah kita, tebu-tebu sedang dipanen.
Kita ke ana yuk! Kamu mau menemani?"
Aku mengangguk setuju. Setahuku, jika kita minta tebu
dan makan di tempat, para mandor penjaga itu tidak
keberatan. Tengah hari itu, kami berlari di atas pematang
sambil sesekali jatuh ke tanah retak bekas ditanami tebu.
Ada serangkai lori, kereta tebu, yang memanjang di atas
rel ukuran mini. Para penebang tebu sedang sibuk
mengikat lonjoran-lonjoran yang telah memenuhi beberapa
gerobak besi itu.
Tapi ternyata, Adit tidak serakus yang kubayangkan.
Kami baru makan sebatang tebu berdua, memeras air
manis itu dengan mengunyah batang yang dikupas oleh
gigi. Cairan manis beraroma harum itu mengalir dari serat
yang menyerpih ke tenggorokan, mengalihkan panas
mentari yang menyengat. Lalu Adit mengajakku duduk di
atas tumpukan batang tebu di sisi pematang.
"Kamu suka Chocky?" tanyanya tiba-tiba.
"Hm ya dulu suka. Tapi aku sekarang bukan anak
kecil lagi."
"Kalau begitu, Chocy hanya cocok untuk anak kecil?"
Aku ragu mau menjawab. Tapi sejak semula aku ingin
jujur kepadanya.
"Mestinya begitu. Kalau sudah seusia kita, rasanya sulit
memercayai percakapan dua orang yang sebenarnya
hanya satu." Kataku. "Menurutmu bagaimana?"
Adit menggeleng. Tapi tampak wajahnya keruh. Seperti

orang marah.
"Kamu tampaknya tidak menyukai Chocky. Kita cari
gelagah saja. Kita bikin mainan dari batang bunga tebu itu.
Kamu tahu caranya?"
"Kamu tahu, berapa umur Chocky?" tanyanya tak
perduli dengan usulku.
"Wah, mana kutahu? Apakah dia juga tumbuh seperti
manusia?" Aku hampir takjub mendengar pertanyaannya.
"Dia seumur denganku. Empat belas tahun!"
Aku tertawa. "jangan-jangan dia juga disunat seperti
kamu."
Kepala Adit tertunduk. Membuat aku menyesal
menanggapinya dengan bercanda.
"Begitu aku lahir, ayahku membuat boneka itu." Adit
bergumam.
Aku pun memandangnya dengan serius. "Apakah
bermaksud membuat mainan untukmu?"
"Tidak. Ia menganggap Chocky sebagai diriku yang
lain"
"Maksudmu?"
"Setiap kali ia memainkan Chocky di televisi, ia
menganggap sedang bermain denganku. Bercakap-cakap
denganku."
"Wah, asyik sekali!" ujarku iri.
"Mulanya demikian. Ibuku menganggapnya lucu.
Karena ibu sering keguguran, dan aku dianggap anak
kesayangan."
"Siapa lebih dulu pandai bicara? Kamu atau Chocky?"
"Tentu saja Chocky lebih dulu bisa ngomong, karena

yang bersuara ayahku. Sebelum aku betul-betul mampu


diajak bercakap-cakap, ia bercanda dengan Chocky. Dan
ia melihat Chocky sebagai aku."
"Luar biasa." Desisku tak sengaja.
"Tidak, bodoh!" Adit menolak. Membuat aku
terperanjat. "Karena aku seperti bukan anaknya, tetapi
bonekanya. Sedangkan Chocky menjadi anaknya."
"Kenapa begitu?"
"Karena Chocky yang cari uang, kata ayahku. Aku
harus berterima kasih kepada Chocky."
Aku tak sepenuhnya mengerti waktu itu. Aku tentu tak
dapat memahami perasaan Chocky. Maaf, maksudku
perasaan Adit.
Tiba-tiba langit berubah mendung. Ada sepercik
cahaya petir yang membuat kami gentar dan segera
menutup percakapan untuk sepakat bergegas pulang.
Kami berlari-lari kembali sepanjang pematang menuju ke
jalan raya, lalu masing-masing menyusuri jalan pulang.
Sesaat seperti ada perjanjian, kami akan menjadi sahabat.
Aku sedikit yakin, bahwa Adit tidak menceritakan hal itu
kepada teman lain.***
TETAPI mengapa Adit tidak jujur kepadaku?
Sebenarnya itu hanya menyangkut kamar anjing di
rumahnya yang tak pernah dijelaskan isi di dalamnya. Atau
mungkin aku terlampau bodoh dengan pertanyaan itu.
Kamar anjing tentu berisi seekor atau lebih anjing.
Seperti juga kamar jenazah untuk menyimpan bekas tubuh
yang sudah kehilangan ruh.
Akan tetapi, kamar anjing di rumah Adit agak

mengherankan bagiku karena memiliki pintu kayu yang


tertutup rapat. Bagaimana makhluk lucu atau mungkin
seram itu dapat bernafas jika tinggal di dalamnya?
Sudahlah. Tak perlu bertanya lebih jauh. Aku tak ingin
memancing pertengkaran melalui urusan sepele.
Hari ini aku singgah ke rumah Adit sepulang sekolah.
Saat mengikuti langkahnya menuju kamarnya di belakang,
kuperhatikan pintu kamar anjing yang terletak lebih
strategis.
"Di kamar ini, aku bisa lebih bebas berkhayal," katanya
seperti tahu yang kupikirkan. Ucapannya beralasan karena
jendela kamarnya menghadap kebun belakang. peluang itu
pula yang digunakannya untuk sesekali pergi keluar malam
tanpa melewati pintu depan.***
BEBERAPA kali, atau mungkin sering, aku main ke
rumah Adit, bahkan sampai kami sama-sama bersekolah
di SMA. Aku singgah untuk meminjam komik-komik
barunya. Atau nonton film-film koleksinya. Tak satu pun
terdapat film anak-anak, apalagi yang berjudul Pinokio. Ia
cukup mendapat kebebasan untuk mengumpulkan film
dewasa, meskipun sepanjang yang kutahu, percakapan
dengan ayahnya terlampau terbatas.
Tampaknya kisah tentang Chocky telah berlalu. Tiada
lagi yang menghangatkan pikiran kami tentang boneka itu.
Sejak acara ayahnya di televisi telah dihentikan, aku tidak
pernah sekali pun melihatnya memainkan Chocky di
rumahnya. Barangkali tak akan membuatku terhibur juga.
Sementara itu, aku sering memergoki Pak Sentot
menyendiri di beranda. Banyak suratkabar di meja, tapi

dibiarkan tetap terlipat. Pandangan matanya menembus


sela-sela tirai ke arah kebun kecil di depan rumah. Setiap
kali aku pamit, sedikit membuatnya terperanjat, dan
melimpahkan perasaan berdosa kepadaku karena telah
mengganggunya.
"Kamu jarang sekali bicara dengan ayahmu," kataku di
pintu pagar.
"Ayahku yang jarang bicara denganku," sahut Adit
datar.
Aku memandang heran. Tapi seperti biasa, tangannya
melambai seolah mengusirku. Dan seperti biasa, sejak
dulu kala, aku segera pulang tanpa merasa tersinggung.
Tapi malamnya aku bermimpi bercakap-cakap dengan
Chocky! Membuatku ingin segera menjumpai pagi.
"Adit, kutunggu kamu sejak tadi. Ayo kita ke kantin."
Aku menyerbu kedatangannya di pagar sekolah keesokan
harinya.
"Sepagi ini?"
"Ya. Aku mau ceritakan mimpiku semalam."
Tanpa meletakkan tas terlebih dulu, Adit mengiringi
langkahku ke kantin.
"Aku mimpi bercakap-cakap dengan Chocky!" ujarku
penuh semangat.
Mendadak muka Adit memerah. "Kamu bercakapcakap dengan anjing itu?"
Mulutku ternganga. "Anjing?"
"Ya!" Rahang Adit tampak mengeras kaku.
Kupegang kedua lengannya. Aku tak sepenuhnya tahu
dengan yang kulakukan, namun jantungku terasa gemuruh.

Kamar anjing itu


"Maaf, maaf! Aku tak akan membicarakannya lagi."
Aku benar-benar berjanji. Akan tetapi Adit justru
menggagalkan janjiku.
"Dengar, Kris! Kini kamu tahu, siapa yang menghuni
kamar anjing itu. Itu kamar Chocky! Aku muak setiap kali
Ayah masuk ke kamar itu, mengunci diri, dan kudengar
bercakap-cakap dengan Chocky. Sementara aku,
anaknya, tidak pernah diajak bicara seperti itu. Seolah aku
tak punya masalah "
"Ibumu?"
"Kamu tahu, kan? Ibu yang bekerja menghidupi kami,
sebagai pegawai negeri. Telah hampir lima tahun
pekerjaan ayahku hanya duduk-duduk, atau pergi entah ke
mana dan pulang menceritakan pengalamannya di kamar
anjing."
"Mestinya kamu ceritakan ini kepadaku, agar aku tak
salah sangka"
Kulihat ada air mata menetes ke pipinya. Kami samasama kelas dua SMA. Tetapi aku selalu merasa bodoh
untuk melakukan perbuatan yang berguna bagi Adit. Aku
tak tahu, sedalam apa luka hatinya?
"Ayo, kita ke kelas. Sekali lagi aku minta maaf," ajakku.
Adit mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Lalu
berjalan dengan kepala ditundukkan. Sepanjang dua jam
pelajaran dia terdiam. Tak sampai akhir jam sekolah, Adit
minta ijin untuk pulang. Aku membiarkannya berjalan
meninggalkan sekolah, dengan punggung yang tak lagi
tegak.***

HARI berikutnya Adit tidak masuk sekolah. Aku


tergerak menjenguk ke rumahnya. Ke kamarnya yang
menghadap kebun belakang. Ibunya ada di rumah,
menawariku makan siang, tetapi aku lebih berminat segera
menemui Adit. Lama aku mengetuk kamarnya sampai
kemudian dibuka dengan enggan.
Aku terkejut melihat keadaannya. Matanya bengkak,
lebih tampak sebagai akibat pukulan dibanding oleh
tangisan. Rambutnya acak-acakan, dan kuduga dia belum
menyentuh air sejak pulang sekolah kemarin. Kamarnya
lebih berantakan dari biasanya.
"Aku ingin membunuh Ayah."
"Sstt!" Kini aku yang membekap mulutnya. Ucapannya
sungguh menakutkan bagiku.
"Kubuatkan minum ya?" Aku bergegas ke dapur yang
tak jauh dari pintu kamarnya. Mengambil sebotol air dingin
dari lemari es dan berharap bisa menenangkan
perasaannya. "Minumlah dulu. Jika sudah tenang, katakan
apa masalahmu."
Ia menurut, meneguk air yang kuberikan dalam gelas
yang kuangsurkan. Aku hanya bisa menunggu.
Menemaninya.
"Aku aku merasa hidupku percuma, Kris."
"Adit, tak boleh bicara seperti itu!"
"Semalam aku bertengkar hebat dengan Ayah."
Aku mengangguk. Menunggu ceritanya.
"Chocky telah tiada, Kris." Adit kemudian tersedu.
Tubuhnya bergetar.
Aku disergap bingung. Ucapannya seperti terdengar

keliru di telingaku. Bukankah Chocky adalah musuhnya?


Yang telah membuatnya iri dan cemburu selama ini?
Seharusnya ia begitu bahagia seandainya benar Chocky
telah meninggal.
Kuusap punggungnya yang berguncang.
"Semalam, setelah kami bertengkar, Ayah membakar
Chocky," ujarnya tersendat.
Aku terperangah. Lalu berkata ragu-ragu. "Bukankah itu
yang kamu harapkan?"
"Apa katamu, Kris?" Tiba-tiba Adit memandangku
dengan tatapan kasar. "Ayahku telah membunuhku!"
Mulutku ternganga tanpa kusadari.
"Jadi, kamu senang jika aku mati? Bukankah Chocky
itu aku? Ayah telah membunuh Chocky, sama saja ia
membunuhku, Kris!"
"Aku tak mengerti" Aku mulai dijalari rasa takut.
Terutama melihat mata Adit yang aneh.
"Kamu pasti mengerti, Kris. Kamu sahabatku! Tapi kini
kamu hanya pura-pura menghiburku, padahal kamu senang
aku mati!"
"Adit! Maaf, itu tidak benar "
"Kamu bohong! Sekarang kamu keluar dari kamarku!"
Kini saatnya aku merasa tersinggung dengan lambaian
tangannya. Tubuh tak bertenaga itu kini seperti monster
yang menakutkan bagiku. Matanya itu! Seperti ingin
membakarku.
"Kubilang keluar!" Suaranya mirip guntur.
Aku terhuyung meninggalkan kamar Adit yang
kemudian dibanting pintunya. Aku mundur dan menabrak

tubuh ibunya yang tegak di sisi dapur.


"Dari semalam dia berkelakuan aneh. Sejak ayahnya
membakar Chocky," kata ibunya. Aku mengangguk tapi
belum tahu apa yang harus kulakukan. Aku hanya ingin
duduk di beranda, meredakan gemuruh dada, sambil
mencoba berpikir.
Aku melewati kamar anjing. Aku menatap pintunya
sejenak. Kamar Chocky, yang selalu disebut kamar anjing
dengan nada marah oleh Adit. Tapi baru saja Adit
kehilangan nyala harapan ketika anjing itu, maksudku
Chocky, musnah. Masih terngiang dengan dengung yang
mencekam di telinga: "Ayah telah membunuhku. Bukankah
Chocky itu aku? Ayah telah membunuh Chocky, sama saja
ia membunuhku!"
Aku duduk di beranda, di kursi yang biasa menjadi
tempat rehat Pak Sentot. Aku memandang ke arah kebun
melalui sela-sela tirai bambu. Seperti yang dilakukan oleh
Pak Sentot setiap hari. Tanpa tercegah, mataku perlahan
basah.
Di balik tirai, di kebun kecil itu, aku melihat anak kecil
yang wajahnya mirip Adit sedang bermain sendirian.
Kadang-kadang wajahnya berubah serupa boneka kayu
Chocky. Alangkah mirip senyum keduanya. Lambat-laun
aku semakin tak sanggup membedakan antara wajah
Aditya dengan wajah Chocky pada anak kecil yang sedang
bermain di kebun itu.
***
Jakarta, 5 Januari 2006

Aku Betina Kau Perempuan


Cerpen: Isbedy Stiawan ZS
Sumber: Koran Tempo, Edisi 10/23/2005
di taman ini
kau kelihatan makin indah
sayapmu cepat sekali tumbuh
untuk membawaku terbang.
*
KAU memang indah, tubuhmu berwarna-warni. Cantik
nian. Manisnya aduhai. Tetapi, pada waktu yang lain kau
terlihat anggun dan gagah. Di taman ini kau adalah pusat
perhatian itu.
Aku memandangmu sangat lama. Ekor mataku
berkeliaran sejak dari ujung sepatu sampai ujung
rambutmu yang tumbuh di ubun-ubun. Mataku tak berkedip
tapi tubuhku beringsut sedikit ke belakang, ketika
kusaksikan kedua tanganmu menjelma sayap. Tumbuh
menyerupai sayap.
"Sudah waktunya. Kita harus tinggalkan taman ini."
"Terbang?" aku tak mengerti.
Kau mengangguk. Tersenyum. Kedua sayapmu, tapi
aku masih ragu menyebutnya sayap sebab aku yakin itu
adalah tanganmu, mengembang seakan ingin menarik
tubuhku lalu melindungiku di dalam selimut sayapmu.

Seperti para burung sewaktu mendekap anaknya dari rasa


dingin, lapar, dan kantuk.
"Ke mana kita menuju? Segala tempat yang nyaman
sudah tiada. Seluruh gedung sudah penuh karena itu tak
ada lagi kamar untuk di isi," aku mengimbuh ketika kau tak
berkata.
Sejak kau begitu indah di taman ini, dan kedua
tanganmu menjelma jadi sayap sesungguhnya ada pula
yang berubah dari kebiasaanmu. Kau amat lain. Kau asing
sekali. Hanya beberapa kata yang kaugunakan setiap
berucap. Kalau tidak, cuma mengangguk atau tersenyum.
Selebihnya adalah gerakan tubuhmu yang penuh rahasia
itu.
Maka aku menjadi ragu, ketika kau ingin sekali
mengajakku terbang. Untuk menolak ajakanmu-ah
tepatnya, rayuanmu-aku ajukan alasan-alasan. Seperti kota
ini yang tak lagi punya tempat untuk dua orang yang
bercanda, atau setiap gedung yang tak lagi menyediakan
ruang pertemuan, dan kamar yang sudah terisi.
"Mau ke mana lagi kita, kalau kamar pun tak menerima
kehadiran kita?"
"Apakah pertemuan harus memiliki tempat? Kamar
atau ruang pertemuan, misalnya?"
"Lantas kalau tidak di sini, di mana kita bisa mengurai
percakapan?"
"Bumi ini begitu luas. Di mana pun kita singgah, di situ
tersedia tempat bagi orang-orang yang ingin bercakap.
Mungkin juga bercinta."
"Bercinta?" aku terpana.

Bercinta. Ini kata yang sudah sangat lama kulupakan


dari kamus di kepalaku sehingga aku tak lagi
mengenalnya. Tapi sekarang kata itu menggodaku. Ya.
Sejak orang yang kucintai habis-habisan, telah pergi entah
ke mana dan tanpa tanda pula. Aku juga pernah kecewa
lantaran kata itu yang sering dimaknai secara tak beradab.
Aku ditinggalkan lalu aku kembali sendiri mengembara di
bumi ini. Bertahun-tahun aku tak bersentuhan dengan
perempuan dan lelaki.
"Kau sediakan cintamu untukku, walau hanya sekejap?
Hanya semalam, meski harus berkurang beberapa jam
oleh perjalanan?"
"Akan kusediakan," jawabmu lirih. "Kemarilah, aku
memang sudah amat kesepian."
"Benarkah begitu, Sunyi?"
"Ya, aku sangat sunyi."
Sekali lagi kaukembangkan sayapmu, menyilakan aku
masuk ke dalam dekapan sayapmu yang kuangankan
sebagai selimut itu. Ah tidak. Aku seperti kanak-kanak
yang membayangkan sebuah kain ayunan jika matanya
terasa berat mengantuk. Sang ibu kemudian akan
menyanyikan nina bobo hingga ia terlelap.
Aku ingin sekali seperti itu. Di dalam dekapan
sayapmu.
*
di taman ini
kau terasa amat lain
dari kedua tanganmu
tumbuh sayap amat luas

hingga dapat menenggelamkan tubuhku


dan membawaku terbang.
MALAM mulai berembun. Di taman ini, kau
rasakankah, ada kabut luruh. Tubuhmu memutih di bawah
cahaya lampu yang tampak meredup. Tetapi, aku masih
dapat melihat senyummu. Anggukanmu. Dan, aku juga
masih mampu menciumi aroma tubuhmu.
"Aku hanya singgah sebentar. Kalau engkau mau,
pergilah bersamaku. Sekarang juga!"
"Tapi, aku masih ingin menatapmu lama, Sunyi,"
erangku. "Berilah aku waktu sedikit lagi untuk menikmati
indahnya pertemuan ini."
Ingin tanganku memegang kedua sayapmu. Aku mau
kau tetap di sini, di taman ini. Jangan cepat berlalu atau
pun pergi. Seperti para peri yang melangkah dengan
kakinya yang ringan. Datang dan pergi. Seperti para
kekasih dan pecinta yang menggandeng sekarung cinta.
Menonton film di gedung itu. Memainkan satu reportoar di
panggung pertunjukan itu. Seperti para seniman yang
menghujankan karya adiluhungnya. Seperti Adam yang
setia mengembara mencari Hawa. Seperti Hawa yang
harus kehilangan buah cintanya lalu ikut pula melata di
padang-padang. Seperti Zulaikha yang membiarkan
jarinya terluka di hadapan Yusuf.
*
KALAU kini aku betina maka kau si perempuan.
"Sunyi, bawakan aku sepi paling sunyi dari hari-harimu.
Akan kukecap seluruh aromanya," bisikku merapat di
telingamu. Tersenyum. Kedip matamu menggoda. "Aku

akan mencintainya setuntas malam dan siang."


"Baik, Riuh. Sedari tadi aku sudah siapkan tubuhku
untukmu," jawabmu dengan pelan pula. "Ke mana kita cari
persinggahan?"
"Kota ini tak lagi menyediakan tempat. Sudah
kukatakan sejak tadi, gedung-gedung tak lagi memberi
ruang pertemuan, kamar-kamarnya sudah tak ada lagi
yang kosong."
"Lalu apakah kita di sini saja? Sayapku sudah ngaceng
untuk terbang!" sontakmu. Suaramu mengguntur. Aku
merapat di sebatang pohon. Kepalaku terbentur. Tangan
kananku mencecap cairan merah yang keluar dari
belakang kepalaku.
Aku haus. Maka kuminum cairan darah segar di
tanganku ini. Warnanya merah, Sunyi. Dan kautahu, tiada
darah berwarna biru di bumi ini? Selumur darah telah
mengusir hausku. Aku menjadi segar kembali. Bisakah kau
bayangkan, sesungguhnya orang-orang akan merasa
segar dan kembali menjadi segar setelah mengeluarkan
darah dari dalam tubuh orang lain? Itukah sebabnya, orang
menjadi menjadi pembunuh?.
"Jangan kau ucapkan itu di depanku, Riuh. Perutku
mual setiap kali mendengarnya. Jangan sampai ceritamu
menghilangkan seleraku untuk bercengkerama," pesanmu.
"Tapi Sunyi, tidakkah kau mengubah dulu dirimu
menjadi jantan? Biar pertemuan kita makin indah."
"Kenapa tidak kau saja melepas kebetinaanmu?"
Tiada jawaban. Isa, si lelaki yang pandai membuat
burung dari tanah, sudah lama sekali menghilang dari

taman ini. Padahal orang-orang amat membutuhkan


keahliannya: membuat patung-patung burung, burungburung yang bisa terbang, taman yang dipenuhi burungburungan.
"Tak mungkin aku berganti kelamin!"
"Aku pun sudah ditakdirkan bukan jantan," sungutku.
Lalu, apakah mungkin betina bertemu betina dalam
sebuah pertemuan amat indah? Atau jantan mencari cinta
dalam tubuh si jantan? Percakapan purba ketika Adam
pertama kali bertatapan dengan Hawa selepas Tuhan
meniupkan napas ke dalam tubuh manusia itu, ialah
"apakah kau perempuan?" Lalu Hawa berujar, "Tuhan
berjanji akan menghadiahiku seorang lelaki."
Sebagaimana kutahu pula dari kitab lama bahwa sejak
pertemuan yang pertama dan purba itu, keduanya memilih
tempat lain di luar taman penuh pesona itu. Alasannya saru
apabila diintip penghuni taman, juga Tuhan yang sangat
suci hanya untuk menyaksikan sebuah percintaan. Kalau
kini kau menginginkan aku menjadi jantan, adakah aku
menyalahi keputusan? Ihwal, bagaimana juga tak berani
kutentang dan kutantang.
"Kecuali kau yang berkenan, Sunyi?"
Kau menggeleng.
"Aku tak pernah bayangkan sebagai jantan. Jadi,
bagaimana mungkin aku meminta ganti kelamin? Aku
paling membenci jantan dan kejantanan. Mereka yang
berjenis itu seolah segala-galanya dan selalu ingin
berkuasa. Tengoklah alam ini rusak oleh tangan-tangan
mereka"

"Betina juga bisa melakukan yang sama, Sunyi. Para


perempuan melahirkan bayi-bayi yang hanya akan
merusak semesta ini. Memanipulasi, menumpahkan darah,
meracik peradaban. Menanam penjahat di mana-mana.
Membuka ladang ganja dan membangun pabrik minuman
dan obat," aku membantah. "Lalu anak-anak yang
dilahirkan dari rahim betina itu, menyebarkan racun ke
sembarang makhluk."
"Cuma tak separah apa yang dilakukan jantan, Riuh.
Para jantan hanya menabung spermanya ke betina,
kemudian mereka pergi. Meranalah betina. Melatalah para
betina."
Melankolis. "Kau terlalu romantis."
"Tidak juga, Riuh. Aku hanya bicara fakta."
Hening. Taman ini mulai ditinggalkan cahaya. Satu
persatu lampu dimatikan. Hanya lampu yang dianggap vital
tetap dihidupkan. Tubuh kita mulai mengelam. Aku mencuri
pandang ke wajahmu. Kau juga mencari-cari cahaya di
dalam wajahku. Lalu saling meraba. Tanganmu lekat di
dadaku. Jariku meremas dadamu.
Sebentar lagi sayapmu terbentang. Kau akan ajakku
terbang. Kita akan meninggalkan landasan.
"Ke mana?" tanyamu mengingatkan, ketika kita mulai
meninggalkan pucuk pohon di taman ini.
"Entahlah. Kota sudah kehilangan tempat singgah.
Gedung-gedung tak lagi menyediakan ruang bagi
pertemuan. Dan kamar akan terisi hingga beberapa hari
lagi. Apakah kau mempunyai usul?"
Kau kembali menggeleng.

"Kita bisa cari benua lain," tiba-tiba kau bersuara,


selepas hening beberapa lama.
"Setahuku sudah tak ada lagi benua di semesta ini.
Semuanya telah terhapus oleh beberapa kali bah sejak
Nuh dulu"
"Jangan meracau!" kau mengancam. Tanganmu
mencengkeram leherku. Gigimu sudah dekat mendarat di
leherku. Bertaring dan laksana ulu pisau.
"Gigimu bisa birahi?"
"Bahkan mampu melumatmu," katamu ringkas. "Kau
tahu aku sudah bernafsu."
"Aku juga."
"Di mana kita singgah?"
"Maumu?"
"Kau ganti kelamin dulu," kau kembali tersadar kalau
kita sama-sama betina.
"Tak mungkin," sergahku. "Tapi biarlah, betina bercinta
dnegan betina."
"Asyikah itu?"
Malam yang semakin larut membuat kita malas
bercakap. Kau terus membawaku terbang kian meninggi.
Entah sudah berapa kota kita lalui. Sungai-sungai
memanjang. Waktu yang tak lagi berbilang.
Kau makin rapatkan pelukanmu. Aku semakin masuk
ke dalam sayapmu.*
Lampung, 20 September 2005
Noriyu

Cerpen: Kurnia Effendi


Sumber: Koran Tempo, Edisi 10/02/2005
AKU membuka pintu sebelum ia mendaki tangga teras
dan mengetuk bidang kayu warna coklat tua. Ia terpana di
tanah berumput, memandangku dengan mata tak berkedip.
Celana krem dengan blus-kaus warna putih yang memiliki
bordir di bagian belahan dada terlampau kontras dengan
langit kelabu yang melatarinya.
Lalu turunlah hujan.
Air yang tumpah dari langit tidak membuatnya beranjak
dari tempat semula. Tidak tampak mengejutkannya, seperti
telah diperkirakan dengan akurasi detik, bahwa mendung
di atas kepalanya akan berubah menjadi hujan. Wajahnya
sebentar tengadah dan berjuta titik air menyiramnya.
Rambutnya seketika basah. Juga pakaiannya.
"Ayo, naiklah!" kataku. Aku berdiri di tengah sepasang
pintu yang terbuka lebar. Ada hembusan angin basah yang
bertemperasan menempuh tubuhku.
"Kamu ingin aku naik ke beranda?" Ia bertanya seperti
tak yakin.
"Salah. Kamu yang ingin naik, dan aku
mengingatkanmu."
Kedua alisnya hampir bertaut. Wajahnya yang diguyur
hujan tampak lucu. Menggemaskan.
Ia tidak mencoba bertahan dengan berbagai alasan.
Kakinya, mulai dari yang kanan, sebagaimana diajarkan
oleh orang tuanya sejak masa kanak-kanak, menginjak
tangga pertama. (Oh ya, sekarang dia berusia dua puluh
tujuh tahun. Tapi buah dadanya cukup memprihatinkan: tak

melampui besar buah apel). Kaki kirinya menginjak tangga


kedua. Dan seterusnya. Sampai ia berdiri hanya beberapa
sentimeter di depanku. Selain aroma hujan, ada wangi
yang kuhirup dari parfum yang mungkin tetap lekat di serat
pakaiannya.
"Namaku Noriyu," ia memperkenalkan diri.
"Aku sudah tahu."
"Maksudmu?"
"Aku sudah tahu namamu Noriyu."
Kembali sepasang alisnya hendak bertaut tanda
sejumlah pertanyaan terhimpun di keningnya. Tapi
kemudian ia tersenyum. Kurasa, ia termasuk perempuan
yang tak terlalu memikirkan muslihat lawan bicaranya. Ia
bisa saja menganggapku seorang Picasso, yang selalu
berucap, "Hai, aku sudah mengenalmu sejak sebelum
kamu dilahirkan" kepada setiap perempuan cantik yang
menarik minatnya untuk jatuh cinta.
"Bagaimana kini rupaku?" Dia, Noriyu, mengangkat
wajahnya menatapku lurus, memperlihatkan seluruh paras
yang kuyup oleh hujan.
"Ternyata kamu tak berhasil menjadi buruk," kataku
sejujurnya.
"Maksudmu?"
"Ternyata kamu tetap cantik. Bahkan lebih
menggemaskan dalam keadaan seperti itu. Jika tidak ingin
disebut menggairahkan."
Ia mengumpat perlahan. Seperti seseorang yang
kecewa. Tapi aku tidak menyesal telah mengucapkan
pendapatku itu. Aku tak pernah berdusta. Bahkan dalam

keadaan terpaksa sekalipun.


"Sebaiknya kamu menangis seperti orang lain
menangis ketika berduka. Lakukan seperti seseorang
yang baru saja kehilangan sesuatu." Saranku. "Kenapa
mesti ditahan dalam dadamu yang rapuh?"
"Kenapa kamu mengejekku?" Ia mendorong dadaku
dengan tangannya yang juga basah. Lalu ia masuk ke
dalam rumah. Lantai ruang tamu segera dihiasi genangan
oleh tetes-tetes air dari tubuhnya.
"Kamu tak ingin melepas sepatumu? Kamu pasti
merasa sayang jika sepatu itu rusak. Ada kenangan
tersimpan di sana, yang akan mengingatkanmu pada
Bandung. Dan"
"Diaaaam!" Noriyu menjerit dan matanya menyorot
tajam kepadaku. "Dari mana kamu tahu semua itu?"
Aku diam saja. Dengan cara itu, aku tahu, Noriyu tidak
akan melanjutkan kegeramannya. Dan seperti yang
kusarankan, ia melangkah ke sebuah sofa. Duduk tanpa
perduli pada air yang akan rembes ke bahan berpori yang
membungkus busa kualitas tinggi itu. Benar, dia menangis.
Kulihat dadanya naik-turun, bagai ada pompa yang bekerja
di dalamnya, berusaha meniup sepasang balon yang
terbalut blus-kaus itu, tapi tak pernah berhasil membuat
mereka menggelembung.
Tumit kirinya mencoba melepas sepatu di kaki kanan,
lalu ujung ibu jari kaki kanannya melepaskan sepatu yang
kiri. Kini sepasang kakinya telanjang. Bagian bawah setiap
jarinya mulai keriput oleh dingin air yang sempat
merendamnya beberapa saat.

Hujan masih membuat lukisan garis pada bingkai


jendela. Kadang-kadang berhias petir. Tapi tentu ledakan
perasaan sedih jauh lebih kuat di dada Noriyu. Yang kini
dialirkan melalui air mata. Meski sulit dibedakan, mana
yang terbit dari sudut mata, dan mana yang bersumber dari
ujung-ujung rambut basahnya di pelipis.
"Sebaiknya kamu tulis seluruh perasaanmu. Selain
akan membuatmu menjadi lega, kamu melahirkan satu
kisah lagi yang dapat dibagikan kepada temantemanmu"
Kata-kataku terhenti oleh pandangan matanya yang
tajam. Tangannya menyeka pipi dengan kasar. "Kamu
ingin aku menulis sebuah kekecewaan yang mendalam?"
Aku menggeleng. "Aku hanya mengingatkan. Sejak
kamu berjalan dari plaza itu, sudah tumbuh keinginanmu
untuk menulis. Dengan segera melakukannya, gumpalan
yang menyesaki rongga dadamu itu akan mencair, bahkan
mungkin menguap."
Sepasang tangannya tiba-tiba menutupi wajahnya. Dan
aku tahu, dari sela-sela jemari kurus itu mengalir air mata.
Aku membiarkan kemarahan yang memadat itu terurai.
Dengan cara itu, senyumnya akan lekas kembali.
Beberapa menit kemudian Noriyu berdiri. Ia tahu,
dengan membiarkan tidak mengganti pakaian, tentu akan
masuk angin. Urusan bakal memanjang dan lebih tidak
nyaman. Tapi ia masih cukup perduli dengan daya tahan
tubuhnya yang terlukis melalui semua ukuran minimum.
Sebelum ia melangkah, ia memandangku. "Apa lagi
yang hendak kamu katakan?"

Aku tersenyum. "Mandilah dengan air hangat. Lalu


menyeduh segelas susu. Itu akan"
" memulihkan tenaga dan menghindari penyakit yang
tidak perlu terjadi." Noriyu melanjutkan. "Itu aku tahu,
karena aku dokter!"
Aku tidak membantah. Percuma. Aku hanya ingin
menjadi sahabatnya. Yang hadir di saat dia membutuhkan.
Untuk melipur perasaannya yang terluka. Menjahit hatinya
yang robek. Tapi, entahlah. Apakah kali ini berhasil?
Walaupun ia seorang dokter, bukan berarti hatinya terbuat
dari aluminium.
Sehabis mandi dan meneguk kopi hangat (ternyata
bukan susu hangat) dari cangkir keramik, yang tampak
terlalu pekat, Noriyu menyalakan komputer. Ia membiarkan
cahaya lampu hanya menyala untuk keyboard yang mulai
diraba oleh jari-jari kurusnya. Ah, kenapa ia tidak mencoba
sedikit rakus saat makan siang, agar lengannya lebih
berisi? Rasanya sangat sulit. Jika kubujuk, tentu akan
pecah pertengkaran yang ujungnya justru tidak mau makan
sama sekali, kecuali mengunyah mangga muda atau
sebutir buah pir.
"Mulailah dengan umpatan, agar perasaanmu puas.
Setelah amarahmu reda, kata-kata awal itu boleh kamu
ganti"
"Kenapa kamu mengajariku?" Noriyu meradang. "Aku
tahu bagaimana aku harus menulis. Kamu pikir aku
siapa?"
"Siapa yang mengajarimu? Aku hanya mengingatkan."
Tangan Noriyu terangkat dari keyboard. Merajuk.

"Mungkin sebaiknya kamu saja yang menulis. Bukankah itu


lebih meringankan bebanku?"
"Apakah benar kamu setuju? Apakah kamu ingin aku
menceritakan semuanya tanpa satu adegan pun
terlewatkan?" Aku memancing.
"Terserah apa maumu!"
"Sejak kamu duduk di kafe itu menunggu
kedatangannya? Atau langsung dari setiap jalan pikirannya
yang mulai tidak kamu pahami dan menerbitkan
perdebatan sengit?"
Air mata perlahan-lahan meleleh ke pipinya. Ke pipi
Noriyu yang mulai cekung, padahal pagi tadi masih tampak
bulat.
"Atau diawali dengan selera makanmu yang hilang?
Atau agar lebih menarik, justru dibuka dengan kejadian
ketika kamu meletakkan bingkisan yang sedianya kamu
serahkan secara manis, tapi berubah dengan - bahkan melepas cincinmu? Ya, persis sebelum kemudian kamu
dengan setengah berlari meninggalkan kafe"
Sepasang tangan Noriyu kini menutup telinganya.
Matanya terpejam, seperti yakin pelupuk yang terkatup itu
sanggup menahan gempuran luar biasa yang datang dari
dalam hatinya. Lalu ia berteriak: "Diaaaaam!"
Aku pun terdiam. Namun suasana tidak sungguhsungguh sepi, karena masih terdengar desis gerimis di
luar rumah. Warna langit putih tua. Pada warna serupa itu,
waktu tak dapat dibaca dengan cermat: masih siang atau
sudah sorekah?
"Siapa sebenarnya kamu?" tanya Noriyu lantang. "Dan

apa maumu?"
Aku tersenyum sabar. "Aku hanya ingin menjadi
sahabatmu. Aku akan menghalau seluruh temperamenmu
yang hanya akan membuatmu putus asa. Aku akan
menjaga perasaanmu yang paling rapuh."
Noriyu menggeleng. "Aku tidak mengerti"
"Sesungguhnya kamu mengerti. Kamu tahu. Seperti
aku tahu siapa kamu sesungguhnya."
"Siapa namamu?"
"Kamu bisa memberi nama siapa pun untukku."
Noriyu terdiam. Ia memandangku demikian cermat.
Lalu terdengar suaranya perlahan, pertanda emosinya
reda. "Kamu laki-laki atau perempuan?"
Aku tidak menjawab. Karena aku tahu, Noriyu pasti
tahu, aku laki-laki atau perempuan. Dia sangat tahu, aku
adalah bagian dirinya yang memisahkan diri saat
perasaan kecewa, sedih, marah, atau kehilangan sedang
meremas hatinya. Aku yakin dia tahu.
***
(untuk Nova Riyanti Yusuf)
Jakarta, 23 September 2005, 22.00 -23.54
Keterangan Sriti.com : Cerpen dikirim melalui surat
elektronik dari pengarang bersangkutan
Ziarah
Cerpen: Soeprijadi Tomodihardjo
Sumber: Koran Tempo, Edisi 08/28/2005
SEPERTIGA dinding rumah Yu Rah tembok biasa,

tingginya tak lebih satusetengah meter di atas tanah,


selebihnya cuma dinding bambu dilabur kapur yang
agaknya kerap kali diulangi hingga jadi tebal menutup tiap
celah yang dulunya memang menerawang. Rumah tua itu
nampak dirawat dengan cermat hingga kelihatan seperti
baru, kecuali tiap keping genting yang lumutan kehitaman
namun nampak utuh dan masih kukuh.
Aku menyebutnya rumah Yu Rah karena dulu memang
miliknya, tetapi aku tak tahu siapa penghuninya sekarang.
Lukita lebih tak tahu lagi, sebab dia sudah puluhan tahun
tak menginjakkan kaki ke desa kelahirannya ini. Dulu
rumah itu milik Eyangnya, tetapi dihuni Man Wignya dan
istrinya - orang tua Lukita - yang sama-sama menjabat guru
sekolah Ongko Loro. Mereka pernah ikut memugar,
membangun sekat-sekat kamar, memasang beberapa
tiang kayu dan atap bambu yang baru. Tidak jelas apakah
itu berarti mereka ikut mewarisi rumah itu. Tetapi Man
Wignya dan istrinya sudah lama pindah, diangkat jadi
kepala Sekolah Rakyat di Tambakbaya beberapa bulan
sebelum tentara Jepang mendarat di desa pantai utara itu.
Mereka sudah wafat pada awal tahun 80-an abad silam
pada usia senja. Kini tak ada lagi kerabat Lukita yang
dapat memberi keterangan tentang Yu Rah. Tetapi Luk
berkeras hati: "Belasan ribu kilometer kutempuh hanya
untuk melacak jejaknya Mas, bila perlu hingga liang
kuburnya!"
Hujan baru saja reda ketika kami mendatangi rumah
tua itu. Namun cuaca sudah mulai gelap saat kami
meninggalkan rumah Pak Lurah di mana kami menginap.

Luk sudah tak sabar menunggu sampai besok pagi. Dia


mengingatkan,
"Besok pagi kita nyekar ke Penataran. Jangan buangbuang waktu Mas, sesudah nyekar kita ngejar kereta-api di
Wlingi. Jam tiga siang mesti sampai di Malang."
Aku mengingatkannya, "Acara syukuran kan baru jam
setengah tujuh?"
"Iya, tapi kita kan capek, perlu istirahat dan mandi
segala."
Di pintu pagar menuju halaman rumah Yu Rah
kunyalakan lampu senterku. Sepasang sandal yang sore
tadi nampak dari dokar yang kami tumpangi, masih
bertengger di atas keset di depan undakan.
"Rumah ini pasti sudah ditempati orang lain, Luk,"
kataku. Belum tentu mereka tahu di mana kerabat Yu Rah
sekarang. Bayangkan, sudah lebih setengah abad
keluargamu meninggalkan desa ini."
Lukita keras kepala, "Ada orangnya kok Mas, mungkin
Cina pemiliknya, atau penyewanya yang baru. Kita coba
dululah."
Luk nekad menguak pintu pagar. Aku sendiri ngeri
setelah dengar cerita sebenarnya. Menurut Pak Lurah,
rumah itu sama tua dengan bapaknya yang meninggal
dalam usia 49 bersamaan datangnya tentara Jepang. Bisa
kubayangkan betapa tua rumah itu sekarang. Seratustujuh
tahun! Luk masih juga coba memeras apa yang sudah
jelas,
"Menjelang jaman Jepang rumah itu dihuni keluarga
ayah saya, Pak Lurah. Sekarang siapa tinggal di sana?"

"Tidak ada, Pak. Memang pernah ada keluarga yang


tinggal di sana tapi berganti-ganti. Sekarang suwung."
"Lho, enggak ah Pak," bantah Luk. "Ada orangnya, kok.
Tadi dokar yang kami tumpangi lewat sana. Saya lihat ada
keset dan sandal di depan undakan. Barangkali kerabat Yu
Rah, andaikan mereka masih ada. Bisa saja anaknya atau
cucunya, bukan? Atau sudah dijual dan sekarang ditempati
pemiliknya yang baru."
"Saya tahu Pak, pemiliknya orang Cina, pedagang
besar di Blitar. Tapi sekarang suwung, belum ada yang
nyewa. Kalau ada orangnya kan lapor ke sini Pak, wong
saya lurahnya! Lagi pula Yu Rah itu siapa?"
Luk diam, tak mau mengaku. Aku tahu, dia malu
membuka rahasia keluarga. Dengan tak sabaran kujawab
pertanyaan Pak Lurah,
"Yu Rah itu dulu pewarisnya, Pak Lurah. Tapi
barangkali sudah meninggal dunia, kecuali berumur
seratus tahun. Mana mungkin?"
Pak Lurah bilang, perempuan tertua di desanya
berumur tujupuluhlapan tahun tapi itupun sudah lama
meninggal dunia. Lurah desa juga sudah puluhan kali ganti,
sekarang kebetulan giliran dia.
"Maafkan saya," desah Pak Lurah. "Saya kenal semua
orang di desa ini Pak, tetapi tak penah ada ... siapa tadi
nama lengkapnya?"
Tak kuduga Luk mengaku: "Namanya Dirah, Pak. Saya
rasa sudah meninggal dunia. Tetapi saya lihat tadi, ada
keset dan sandal di sana. Berarti ada orangnya bukan?
Mungkin kerabatnya."

Pak Lurah ragu, mata tuanya yang agak belekan


mengedip berkali-kali kena asap kreteknya sendiri.
"Mungkin sampeyan salah lihat," ucapnya. "Tapi
memang banyak yang bilang ada penjaganya."
Luk kian penasaran: "Tolong katakan Pak, siapa
penjaganya. Mungkin dia dapat memberikan keterangan
siapa nama pemiliknya dan di mana alamat rumahnya.
Saya ingin ketemu penjaganya, Pak Lurah."
"Wah, sampeyan barangkali mesti bakar kemenyan
dan menunggu satu malam sembari semedi."
Luk sontak membelalak dengar ucapan Pak Lurah.
Sejak 1965 dia langlang buana, beberapa tahun tugas
belajar di Moskwa, lalu loncat ke Eropa Barat dan akhirnya
suaka di negeri Belanda hingga hari ini. Istrinya Belanda.
Nalarnya Belanda. Hatinya Belanda. Luk lupa tradisi
nenek-moyangnya yang sejak bebuyutan percaya thuyul
dan takhayul.
"Maafkan saya, Pak Lurah," kata Lukita. "Tapi saya
tidak percaya yang begituan. Saya cuma ingin ketemu
orang yang sekarang ada di sana."
"Jangan nekad, Luk," cegahku.
"Aku ingin tahu Mas, siapa yang jaga. Tadi kan ada
sandal di undakan rumah itu? Mungkin orangnya bisa
memberi informasi."
"Yang jaga Eyang Panji....," bisik Pak Lurah, seolah
khawatir didengar arwah priyayi sepuh itu.
Tentu saja Lukita keheranan, sebab Eyang Panji itu
siapa lagi kalau bukan Eyangnya!
"Mustahil Pak!" bantah Luk. "Sudah meninggal kok jaga

rumah!"
"Lho...., sampeyan ini! Memang sudah lama wafat, saya
sendiri tidak menangi. Tetapi saya tahu makamnya di
dekat Penataran. Banyak orang ziarah ke sana, lebih-lebih
menjelang Lebaran. Terkadang beliau datang waktu
malam, menyalakan lampu, tetapi selalu menutup pintu."
Aku sendiri sukar menghindar dari ihwal supranatural
nenek moyang orang Jawa. Lampu senter kunyalakan
ketika kami melangkah di halaman rumah Yu Rah. Aku
sangat cemas mendengar suara kemerasak sepatu kami
sendiri ketika menginjak kerikil yang terhampar di
halaman. Dalam bayangan sinar lampu senterku Luk
menotok pintu kayu bercat coklat yang nampak masih
mengkilat. Beberapa kali Luk mengulang tetapi tak ada
jawaban. Keset dan sandal kulit kulihat masih ada di
undakan. Aku heran Luk nekad melangkah ke belakang
rumah setelah gagal menunggu sahutan.
"Sini Mas, senternya!" seru Luk.
Aku menyusulnya dengan langkah sangat hati-hati. Luk
menatapku, seperti ingin mengucapkan sesuatu.
Kusilangkan telunjuk jari di bibir, kuatir dia berbicara terlalu
keras. Kami mengitari dinding belakang yang agak
menjorok ke kanan, tentunya bagian dapur. Di belakang
rumah kulihat ada jemuran kawat. Cuma segumpal gombal
bekas ngepel tersampir di situ, tanda pernah ada
orangnya. Sebatang pohon rambutan sedang berbuah
kuning dan merah dalam sorotan lampu senterku. Kami
terkejut, entah burung apa tiba-tiba beterbangan
menggoyang rumpun daun rambutan. Ternyata beberapa

ekor keluang dengan rentang sayap-sayap yang panjang.


"Gelap di belakang sini," gerutu Luk. "Sudah kuketok
beberapa kali. Memang tak ada orang."
"Sandal itu Luk!" bisikku.
"Oya, mungkin orangnya ketiduran, tak mau diganggu."
Kulihat ada beberapa celah kecil di dinding belakang,
tetapi tak tertembus sinar lampu senter. Aku ingin segera
terbang dari rumah penuh misteri ini.
"Sudahlah Luk," bisikku. "Percuma, tak ada orangnya."
Kami melangkah kembali menuju halaman depan.
Kuarahkan sinar senter ke sekitar sana. Di sebelah kanan
nampak sebatang kelapa gading digayuti rumpun buahnya
yang kuning. Lalu di sebelah kiri ada sebatang pohon
jambu dersana yang sudah berbuah, lagi-lagi beberapa
ekor keluang menggelepar di sela-sela rerantingnya.
Kesanku, rumah dan pekarangan ini jelas dirawat dengan
cermat, mustahil tak ada yang jaga. Kucengkam lengan
Lukita, mengajaknya meninggalkan halaman ketika
kurasakan sesuatu yang aneh seperti gelas pecah di
dalam rumah itu. Luk tak bereaksi. Kukira dia tak
mendengarnya dan aku membiarkannya, kuatir dia kembali
coba menotok pintu. Kami menutup pintu pagar lalu turun
ke jalan. Luk mengajakku bergegas menuju gardu, ingin
tanya penjaganya.
"Kaulihat sandal itu, Mas?" tanya Luk.
"Ya. Di atas keset."
"Lihatlah, sekarang sudah tak ada," katanya sembari
mengarahkan senternya.
Mulutku terkunci. Tiba-tiba kulihat lampu senterku sudah

berada di tangan Luk, entah kapan benda itu pindah


tangan. Sepatuku terasa berat bak melekat di jalan batu,
seolah tak
sejangkah bisa
melangkah. Luk
menggandengku dengan menggumam,
"Jangan cemas, Mas. Setan cuma ada di benak kita."
Tetapi kudukku dingin dan tegang, seperti ada tangan
menggerayang. Ketika kupegang ternyata tangan Lukita.
Di belakang kami kudengar langkah sepatu, mungkin dua
atau tiga orang, di antara mereka suara wanita. Kami tak
berurusan dengan mereka. Suara itu lenyap dalam gelap
ketika kami melangkah menuju gardu.
"Sugeng dalu!" suara penjaga gardu. "Malem Minggu
Pak, mesti sabar nunggu giliran."
Lukita hanya tanya, apakah dia jaga malam sendirian,
siapa penghuni rumah itu sekarang. Lelaki itu bilang teman
satunya belum datang dan rumah itu hanya dijaga
pemiliknya, orang Cina yang datang hanya waktu malam
untuk menyalakan lampu tetapi selalu menutup pintu. Luk
kehilangan selera untuk terus bertanya. Kamipun
melangkah balik menuju kelurahan. Luk berjalan cepat dan
aku tersaruk-saruk mengejarnya. Sampai di muka pagar
rumah Yu Rah Luk mengarahkan lampu senternya sekali
lagi. Langkahku seperti lari.
"Kurang ajar! Dia kira kita cari sundal." Serapah Lukita.
"Pak Lurah curang, tak mau terus terang," umpatku.
"Kaulihat tadi, Mas?" tanya Luk, lagi-lagi bikin aku ngeri
dengan pertanyaannya.
"Lihat apa ah!" sergahku.
"Sandal itu masih ada, sekarang malah dua pasang!"

"Jangan nakut-nakuti, Luk! Kaukira sandal siapa?"


"Sandal siapa? Jelas bukan sandal yang tadi! Siapa
pemiliknya bukan urusan kita. Tetapi setan cuma ada di
benak manusia, Mas!"
Sungguh gila, pikirku, diam-diam rumah Yu Rah sudah
disulap jadi sarang pelacuran. Kami terus melangkah di
belakang sinar lampu senter yang berulang-ulang menyorot
dari tangan Lukita ke arah semua arah. Listrik belum
sampai di desa ini. Malam hari dicemari para pelanggar
susila. Penjaga gardu malah mambantu. Kami dikejutkan
bunyi kenthongan. Sembilan kali pukulan.
*
PAGI sekali kami meninggalkan kelurahan dengan
dokar yang kemarin kami tumpangi, kami sudah
memesannya. Luk menyuruh Pak Kusir berhenti sebentar
untuk mengambil potret rumah Yu Rah dari beberapa
posisi di luar pagar. Tak ada lagi sandal yang kelihatan.
Tinggal keset di atas undakan. Kami cepat-cepat
meninggalkan jalan desa.
"Seingatku sejak dulu gardu ini sudah ada," kata Luk
ketika dokar melewati gardu.
"Cuma kenthongannya Pak, yang sudah beberapa kali
ganti," celetuk Pak Kusir.
Kenthongan kayu itu nampak bergantung dengan perut
runyam kena hantam selama masa dinasnya.
Dari Wlingi sebenarnya Lukita bisa kuantar naik taksi
langsung ke Penataran, tetapi kemarin kami turun di Talun
karena Luk berkeras mau singgah di desa itu mencari
rumah Yu Rah yang ternyata masih ada.

Hingga Man Wignya dipindah menjelang jaman


Jepang, Luk jarang pulang ke rumah itu kecuali waktu
liburan, karena dia ikut Bude Biskal di Kediri, istri
pensiunan kepala Dinas Fiskal. Tentu saja Luk lebih suka
tinggal di kota besar ketimbang ikut orangtuanya di desa
kecil yang mencil ini: sebuah desa senyap dan gelap, tak
ada listriknya tak ada kereta-apinya. Alangkah bahagia
baginya bila Yu Rah juga ikut Bude Biskal di Kediri, sebab
sekian lama dia pernah di-emongnya. Namun Bulik Wignya
melarang: "Yu Rah harus tetap di desa ini, Luk. Sewaktuwaktu Eyang datang Yu Rah ada di rumah."
Lukita sangat jarang ketemu Eyangnya. Kata Yu Rah,
beliau tinggal jauh di dusun, menanam ketimun dan
palawija, ladangnya perlu dijaga. Lelaki itu ternyata
pengelana, sejak lama hidupnya selalu pindah dari desa ke
desa, dari rumah ke rumah, akhirnya ketemu Yu Rah.
Mendiang Pakde Biskal pernah cerita, lelaki itu benggol
kecu, buron yang lari dari jeron kraton di Surakarta garagara Rust en Orde: program tata-tentrem Gubernur Jendral.
Beliau punya simpanan di mana-mana, maksudnya
gendak, mungkin gundik. Tetapi Bude Biskal bilang, jangan
sampai Lukita dengar dari mulutku tentang lelaki itu.
Sekali waktu saat liburan aku ikut Lukita pulang,
menginap di rumah Man Wignya. Kebetulan waktu malam
Eyangnya datang. Man Wignya dan istrinya bersujud di lutut
beliau. Luk digendongnya, diciuminya. Luk dan aku tidur
sekamar. Aku tak tahu malam itu Eyangnya tidur di kamar
mana. Jauh malam kudengar beliau menotok pintu kamar
Bulik Wignya:

"Nok, Denok!"
Man Wignya dan istrinya keluar kamar. Kudengar
beliau pamitan:
"Aku berangkat Nggrr, jam empat mereka menunggu
di gardu. Titip Lukita, biar tetap sekolah di Kediri agar
kelak jadi priayi, jangan buron seperti ayahnya."
Bulik Wignya terhisak memohon restu. Sebuah
perpisahan yang mengharukan. Lalu kudengar lelaki itu
melangkah ke kamar Yu Rah. Tentulah untuk berpisah.
Lukita pasti sudah mengecewakan lelaki itu, sebab
sejak jaman Jepang HIS sudah dirubah jadi Sekolah
Rakyat biasa, bukan lagi sekolah putra-putri priayi yang
mendidik calon priayi. Luk masih bisa mengingatnya,
"Yu Rah nampak terhisak Mas, waktu melepasku
meninggalkan desa ini bersama orangtuaku. Seharusnya
dia ikut pindah bersama kami. Dia gati sekali sejak aku
bayi."
Tetapi cerita itu sudah lewat setengah abad. Aku
nasehatkan, "Lupakan saja Luk, tugas kita kan cuma
melaksanakan kehendak Yang Maha Kuasa!"
"Iyalah Mas, Yu Rah pun pasrah. Aku cuma teringat dia
meratap. Ibu menarik lenganku, memaksaku agar ikut naik
dokar menuju Wlingi, dari sana naik kereta-api. Dan itulah
hari terakhir aku meninggalkan desa ini, berpisah dengan
Yu Rah."
*
DOKAR menunggu di luar. Kami memasuki halaman
pekuburan. Tak ada penjaga. Hanya seorang perempuan
penjual kembang doprok dengan anak balitanya di luar

gerbang. Luk membayar untuk seraup kembang yang


dibungkusnya dengan daun pisang.
Beberapa orang nampak mengelilingi sebuah makam.
Kami mendapat firasat, lalu buru-buru beranjak ke sana.
Terdengar mereka merapal doa-doa, mungkin Surat Yasin.
Kami yakin itulah makam yang selalu dikunjungi para
peziarah menurut Pak Lurah. Tetapi hari itu bukan Lebaran.
Ada yang menggerakkan tangan, mengajak kami ikut
berdoa.
Sampai mereka meninggalkan kuburan, kami masih
berdiri di sisi makam. Ternyata ada dua makam di depan
kami, terkurung pagar besi.
"Yang ini terang Eyang, Mas," kata Luk, tangannya
meraba batu nisan yang satu. Tulisan itu berbunyi RP
Danudiningrat. "Dan yang ini ...."
"Siapa, Luk?"
Luk terduduk, kepala merunduk. Mata Luk kulihat
sembab, butir-butir air menggulir. Tangannya mengusap
huruf-huruf pada nisan satunya lagi. Aku menatap sepatah
kata berbunyi .... Dirah. Luk menegurku,
"Kenapa kau pura-pura tanya, Mas? Padahal...."
"Sudahlah, Luk." Kugenggam lengan Lukita, terasa
lempir menggelambir. Sudah setua itu dia sekarang.
Enampuluhdelapan.
"Biarkan aku, Mas. Aku puas. Aku berbahagia
menemukannya. Tapi kaulihat sendiri, ini kuburan Yu Rah.
Apa pendapatmu, jika makam laki-laki dan perempuan
jejer jadi satu seperti ini?"
"Suami-istri, Luk."

"Oallah Maaas...."
"Sudahlah, Luk. Maafkan aku. Kau tahu, mereka ayahibumu."
Lukita sontak tersedu. Kurangkul adik misanku ini.
Mesti kupanggil apa dia sekarang? Paman, barangkali?**
Paran, September 2004
____________Soeprijadi Tomodihardjo tinggal di
Jerman, pensiunan pegawai sekertariat Rumahsakit
Universitas Kln.
1) Man - Paman
2) Sugeng dalu - selamat malam
3) RP - Raden Panji
Catatan Sriti.com : Cerpen ini dikirim melalui surat
elektronik dari pengarang bersangkutan. Cerpen yang
dipublikasikan di media yang memuatnya dapat berbeda.
Film Noir
Cerpen: M. Iksaka Banu
Sumber: Koran Tempo, Edisi 08/07/2005
Keterangan : Cerpen ini adalah cerpen sebelum
dimuat (versi pengarang)
Raung sirine terdengar lagi. Kadang menjauh, kadang
begitu dekat. Apakah polisi telah mencium kehadiranku di
sini, dan sedang menyisir kota?
Tanpa kesadaran penuh, kususupkan tubuh ke pintu
bangunan temaram di sisi kiri, untuk kemudian terkesiap.
Ini Blue Saxophone. Satu-satunya pub dengan nuansa jazz
di wilayah ini. Sebuah pub kecil. Tempat seluruh kisah ini

bermula. Apakah aku harus percaya teori yang


mengatakan bahwa pembunuh punya kecenderungan
berziarah ke tempat di mana ia memulai sejarah
kelamnya?
Tapi ini memang Blue Saxophone. Musik live saban
Jumat, seperti malam ini. Dengan panggung sempit,
pampat asap rokok. Dikelilingi dinding kayu, tempat
bergantung tiga buah neon sign merek bir yang tidak
pernah berfungsi sempurna sejak dulu. Sama seperti
penyejuk ruangannya yang melulu menyemburkan angin,
bukan hawa dingin. Membuat udara menjadi berair dan
apek.
Lucunya, dulu aku tak keberatan dengan semua ini.
Mungkinkah suasana hatiku yang telah berkhianat?
Khianat. Berkhianat. Pengkhianat. Astaga. Belakangan ini
kata-kata itu demikian akrab menyapa.
Kuperbaiki letak kacamata dan kumis palsuku.
Kemudian, setengah menunduk, kulempar pandangan ke
panggung. Seorang pemusik tambun memejamkan mata
saat menapak ulang bait-bait terompet milik Dizzy
Gillespie. Permainannya tidak begitu buruk. Meski
demikian, beberapa pengunjung mabuk lebih tertarik
mengikuti siaran olah raga dari televisi yang digantung
dekat bar.
Ke tempat itulah langkah kuayun.
Ya, di meja bar ini, di sudut yang paling miskin cahaya,
dekat deretan gelas high ball, lima tahun yang lalu,
kujumpai wanitaku. Perempuan kecil dengan dagu kelewat
tirus untuk dahinya yang lebar. Bentuk wajah yang ketika itu

cocok sekali dengan angan-anganku.


Pertama terlihat, ia hanyalah sepotong siluet ganjil di
depan lampu kulkas besar yang menyala lantaran pintunya
terbuka lebar. Sementara aku adalah seorang pengunjung
yang baru saja menemukan tempat duduk nyaman di
hadapannya.
Di sini. Persis di bangku bundar yang sedang kududuki
saat ini.
"Maaf, wanita apa?" Sambil mengangsurkan minuman
pesananku, ia mencondongkan badannya untuk
memperoleh pendengaran lebih baik.
"Wanita Sebelum Malam. Judul film yang akan kubuat."
Kusulut sebatang rokok. "Dan sekali lagi, kutawarkan
kepadamu sebuah peran di situ."
"Anda orang film?"
Kusodorkan kartu nama. "Aku sedang memeriksa
lokasi syuting dekat sini, sambil membantu departemen
talent mencari pemeran utama wanita."
"Arya Panji Diwangkara? Astaga. Benar!" Ia mundur
setelah melirik kartu namaku. "Seribu Nyawa Untuk
Romeo? Kekasih Bunga Besi?"
"Suka film-filmku? Bagus sekali."
"Ya ampun, Arya Pe De! Cult movie! Film Noir!" Wanita
itu tak berusaha menyembunyikan pendar gembira di
matanya. Pada kejernihan pendar itu, sekaligus kutangkap
isyarat kecerdasan.
"Aku Anggi. Anggraeni Barati. Aku buta soal akting,
meski gemar nonton film. Tapi aku tertarik."
Kuberi ia gambaran singkat tentang seni peran dalam

dunia layar lebar. Tampaknya ia sangat serius. Sayang,


hasil audisi keesokan harinya tak terlalu istimewa. Johari,
kameraman
yang
sering
membantuku
meraih
penghargaan, juga tidak terlalu optimis. Tapi aku
bergeming. Peran Maizura tetap kuberikan kepada Anggi.
Apabila kukenang kembali keputusan itu, bulu kudukku
meremang. Telah kupertaruhkan jutaan rupiah dari investor
berikut nasib seluruh awak filmku semata kepada suatu zat
ajaib bernama Naluri.
Mungkin waktu itu pertimbanganku sederhana: Dalam
empat minggu ke depan, toh kami belum akan mengambil
adegan yang melibatkan Anggi. Masih ada sedikit waktu
untuk belajar. Jadi, kuminta gadis itu duduk di sebelahku,
menyimak akting para pemain. Meresapi teks seraya
menyuarakannya kembali tanpa terdengar seperti hafalan.
Selain itu, kuminta ia berlatih mengolah kelenturan tubuh
kepada Miss Tasya Rayanti, pebalet legendaris yang
kuikutsertakan dalam film ini.
Anggi melahap semua pengetahuan tadi seperti singa
kelaparan berjumpa mangsa. Sampai tiba saat itu.
Pengambilan adegan nomor 40 sampai 48. Dialog di atas
tempat tidur antara Karma dengan kekasih gelapnya,
Maizura. Istri Jakobus Van Eyk, juragan teh Priangan.
Analisa sudut kamera, penataan lampu serta properti
dimulai dini hari dan baru siap enam jam kemudian. Hawa
letih terungkap dari segala sudut. Hampir semua orang
berharap agar pemain baru itu tidak membuat jam tidur
malam semakin tipis. Aku ingat, rasanya dapat kudengar
detak jantung orang-orang ini saat kuteriakkan aba-aba:

"Action!"
Anggi memulai kalimatnya dengan gugup. Tapi
berikutnya, jagat raya seolah tercipta untuknya: Bahasa
tubuh yang lentur. Tarikan wajah yang sangat cair. Kalimatkalimat sulit yang berhasil meluncur tuntas dari bibirnya.
Maizura Van Eyk hadir utuh di hadapan kami.
Kami jabat tangan Anggi. Kami beri ia ciuman.
Seorang bintang telah lahir. Dan cahayanya terus bersinar,
sampai seluruh adegan selesai tiga minggu berikutnya.
Hasil syuting dibawa ke Australia untuk diproses. Lusa,
tentu aku menyusul. Namun petang itu, ketika seluruh kru
telah bubar, kuajak Anggi keBlue Saxophone. Tak ada
salahnya sedikit hiburan setelah kerja keras berbulanbulan, bukan?
Hari itu hari Jumat. Sama seperti malam ini. Terekam
jelas di benak. Serasa kemarin. Anggi berpamitan kepada
rekan-rekannya di pub, dan sempat berperan sebagai
bartendris untuk terakhir kalinya sebelum duduk
menemaniku.
Sambil meniti malam, melalui beberapa shot tequila
kucoba menghapus peran guru-murid yang terlanjur
terbentuk selama syuting.
"Berhentilah berterimakasih," kataku. "Semua sudah
ada dalam dirimu. Aku sekadar memanggil. Yang penting,
mulai sekarang lupakan sosok Maizura. Jangan mengulang
bahasa tubuh dan air muka serupa di film berikutnya."
Anggi tertawa. "Lihatlah. Kurasa aku masih butuh
banyak bimbingan. Kau tetap guruku."
Kami saling tatap. Musik live dengan terbata menirukan

alunan terompet Miles Davis dalam Summertime. Kuikuti


dorongan hati untuk merengkuh pinggang Anggi, lantas
menuntunnya ke panggung.
Kami masuk ke tengah lingkaran lampu sorot yang
redup. Mendengarkan riwayat hidup Miles Davis yang
melayang di udara lewat moncong terompet. Perjalanannya
menyusuri luka malam. Juga episode kebosanannya akan
pekerjaan yang sangat dicintainya.
Aku bersyukur, belum bosan dengan pekerjaanku.
Hidup yang sesungguhnya bahkan baru saja kumulai. Dan
lelatu penyulut semangat itu ada dalam pelukanku malam
ini. Bergerak lambat bersamaku. Mengekor tiupan
terompet yang magis. Seperti sepasang tikus Hamelin
yang patuh kepada seruling ajaib.
"Mengapa tak menikah lagi?" Bisik Anggi.
Aku tersenyum. Memang ada padaku sepotong cerita
tentang cinta yang berkarat setelah lewat dua puluh tahun.
Dan betapa karat itu nyaris tak menyisakan ruang lagi.
Tapi alangkah sayang, menukar malam penuh gelora
dengan hikayat purba.
Harus kuakui, irama blues, wangi parfum bercampur
keringat ketiak wanita, dan barangkali juga alkohol, telah
membangkitkan ilusi romantik yang agak berlebih. Kubawa
bibirku hinggap ke bibir Anggi. Sedikit ragu pada awalnya,
namun ternyata aku tidak sendirian dengan segala
perasaan tadi.
Kami berdekapan. Saling melumat. Dan pada
klimaksnya, menemukan diri kami terdampar di ranjang
sebuah motel dalam bulir keringat serta sisa uap erotik

yang mengendap di sana-sini.


Seiring pola nafas yang kembali teratur, kuteliti
keadaan kami saat itu. Seorang pria Setengah baya.
Setengah mabuk. Berbaring telanjang bersama sekuntum
mawar belia. Terlalu gilakah bila kisah ini dikekalkan?
"Menikahlah denganku." Kusibak rambut di atas telinga
Anggi. "Kita ciptakan dunia yang lebih berwarna."
Aku lupa jawaban Anggi. Mungkin ia tak menjawab.
Yang jelas, pernikahan kami setahun kemudian nyaris
bersamaan waktu dengan datangnya kabar gembira
lainnya: Wanita Sebelum Malam menyabet lima
penghargaan tertinggi dalam Festival Film Indonesia. Di
antaranya: Penyutradaaran Terbaik, serta Pemeran Utama
Wanita Terbaik.
"Dan juga kado pernikahan terbaik," kata Anggi
sewaktu diwawancarai Media Infotainment di Ubud, Bali,
pada hari kedua bulan madu kami.
"Tidak menyesal menikahi duda tua?" Kudengar
seorang wartawan berteriak.
Aku maju. Bersiap memaki seperlunya. Tapi Anggi
menahan.
"Duda tua ini adalah Arya Diwangkara. Satu dari
sedikit sutradara terhormat di negeri ini. Apa yang harus
disesali?"
Waktu itu, aku bangga setengah mati. Wanitaku, singa
betinaku, ternyata perempuan berbudi yang tahu
bagaimana harus bersikap. Tahu bagaimana meletakkan
pondasi sebuah perkawinan. Tapi aku lupa, ketenaran dan
rumah tangga bukanlah dua kata yang selalu cocok

dipersandingkan.
Ketenaran adalah telepon selular yang berdering pada
jam-jam mustahil, berisi perintah agar bersiap untuk
dijemput syuting, mengisi kuis TV,talkshow, atau memenuhi
jadwal pemotretan. Ketenaran juga berarti masuknya
orang-orang asing ke pekarangan rumah untuk
wawancara, syuting reality show atau sekadar foto
bersama. Dan pemilik kebisingan di atas adalah istriku.
Rumah tangga, sementara itu, berarti jam-jam makan
yang ngungun di ruang tengah yang terlalu besar untuk satu
orang. Rumah tangga juga berarti percakapan tentang
masa depan yang semakin kabur, serta perdebatan tak
berujung tentang hal-hal remeh. Kesepian, kejenuhan,
kejengkelan. Semua sepenuhnya milikku.
Sebelum menikah, aku sudah lama hidup sebagai
pesohor dengan sebagian hak-hak pribadi yang juga
terampas. Tapi setidaknya, aku kenal betul diriku,
sehingga tahu bagaimana bertahan hidup sebagai
manusia biasa, dan mematahkan setiap kabar miring
dengan cerdik.
Setelah menikah, aku memang tak selalu siap bicara
apabila pertanyaan wartawan berkaitan dengan perilaku
istriku. Misalnya: "Siapa pria di kamar 301 Grand Duchess
Hotel bersama Anggi pekan lalu?" atau "Benarkah pria
muda yang berjalan bersama Anggi di pantai Marina itu
pacar gelapnya?"
Aku bukan pencemburu. Bukan pula orang asing dalam
hal manipulasi fotografi, sehingga tak pernah risau dengan
gambar-gambar bodoh hasil rekayasa para amatir di

koran gosip maupun internet. Apalagi sekadar kabar


murahan semacam tadi.
Meski demikian, kuakui, perjumpaanku dengan Anggi
semakin tak kerap. Apalagi saat ini aku juga tengah sibuk
dengan filmku berikutnya. Berkirim kabar lewat telepon,
meski cukup teratur, tentu tak bisa menyeberangkan
kecupan atau belaian.
Sejauh ini, kulihat Anggi sanggup membuktikan bahwa
semua isu buruk menyangkut namanya hanyalah berita tak
berwujud. Namun suatu pagi, agak tergopoh, Johari masuk
ruang kerjaku. Dikeluarkannya sekeping DVD lalu
diputarnya di komputer yang terletak di atas mejaku.
"Aku menemukannya di sebuah rumah pasca
produksi," katanya. "Editornya adik kelasku di bangku
kuliah. Ia telah menerima uang bungkam dari Anggi. Tapi
ia sangat hormat kepadamu. Jadi, ia menelponku kemarin
malam. Maaf, Bung. Aku harus mengatakan sendiri
kepadamu. Semua ini asli."
Kupandang layar komputer. Sejak remaja, tak terhitung
banyaknya film biru yang kusaksikan. Aku juga sudah hafal
seluruh lekuk tubuh istriku tanpa busana. Namun
menyaksikannya telanjang sambil melonjak-lonjak gaduh
dalam dekapan lelaki lain, rasanya demikian menyesakkan
dada. Kubuka jendela. Kuhirup udara sebanyakbanyaknya.
"Perhatikan setting dan propertinya." Johari menunjuk.
"Ruang tidur, ranjang Victoria, boneka beruang di depan
pintu masuk. Ingat sesuatu?" tanyanya.
"Wanita Sebelum Malam," gumamku.

"Tepatnya, ini adalah versi biru dari film kita, dengan


pemeran utama wanita yang sesungguhnya. Beri ijinmu,
akan kuhancurkan master-nya sebelum film buruk ini
beredar ke mancanegara."
Mendadak aku terpingkal-pingkal. Membuat Johari
melongo.
"Bung," kupegang tangannya sambil masih terpingkal.
"Kalau tujuannya murni komersil, aku tak keberatan.
Darahku mendidih justru lantaran memikirkan kemungkinan
lainnya." Aku berhenti tertawa. "Kurasa jalang ini ingin
menyimpannya sebagai koleksi pribadi. Semacam suvenir
melankolis bagi kekasihnya, si bedebah pria ini. Kau kenal
orang ini?"
"Tidak. Tapi mudah diusut. Termasuk produser dan
kameramannya." Desah Johari. "Aku hanya tak habis pikir.
Dari seluruh filmnya, mengapa Anggi memilih Wanita
Sebelum Malam?"
"Siapa bisa menebak pikiran pelacur?" Tiba-tiba
mulutku menjadi sangat kotor. "Pulanglah, Har. Biarkan aku
menyelesaikan ini."
Johari melotot. "Jangan gila, Arya. Aku tak mau
terseret."
"Ini tak ada hubungannya denganmu. Pulanglah."
Kutatap sosok Johari sampai lenyap dari bingkai
jendela. Lalu kuambil sebotol bir dari lemari pendingin.
Kureguk perlahan sambil memutar film itu sekali lagi.
Anggraeni Barati. Bintang tenar. Delapan film layar
lebar yang selalu sesak penonton. Wanitaku. Singa betina.
Pelacur murah. Menggeliat penuh gairah di atas otot-otot

kelamin lelaki yang lebih ranum dari suaminya. Seperti


Maizura Van Eyk!
Kurasa istriku telah melupakan nasehatku. Ia tak bisa
lepas dari sosok Maizura. Alangkah malang. Tapi aku
seorang suami yang baik. Selama tiga tahun menikah,
selalu kupenuhi keinginannya dengan senang hati. Aku
terlalu cinta kepadanya. Kurasa aku juga wajib
mengabulkan permintaannya kali ini. Kuraih telepon
selularku.
"Hai, Old Man." Kudengar sapa merdu dari ujung
telepon seperti biasa. Suara Anggi. Tak seperti hari-hari
kemarin, sebutan Old Man kini terasa harafiah. Menusuk
hati.
"Hai, Sayang. Kubaca fotokopi callsheet-mu kemarin.
Esok pagi, lokasi syuting terakhir tetap di Bandung,
bukan?" tanyaku.
"Betul, kenapa? Kangen?"
"Blue Saxophone," kataku. "Bagaimana kalau kita
mampir ke sana? Aku sudah selesai dengan syutingku,
dan tiba-tiba ingin sekali ke sana."
Anggi tertawa.
"Apa kataku dulu? Kau terlalu romantis, Old Man. Sinta
mengajak ke Cihampelas besok malam. Tapi, ayolah. Blue
Saxophone. Setengah delapan malam? "
"Setengah delapan malam. Tequila dan Live Music."
"Oke, Old Man. Sampai teler ya?" Anggi menyudahi
pembicaraan.
Aku suami yang baik. Selalu kupenuhi permintaan
istriku tercinta. Ia ingin menjadi Maizura Van Eyk. Ia ingin

teler.
Kuturuni tangga menuju ruang koleksi kerisku. Kuraih
botol kecil berisi cairan bening. Cairan yang selalu
kuoleskan pada bilah keris setiap selesai menjamasinya
tiap tahun. Lalu aku mulai menelepon biro perjalanan untuk
memesan tiket kereta api terpagi ke Bandung.
Itu peristiwa sepekan yang lalu.
Dua ratus jam sebelum seluruh stasiun televisi
menayangkan wajah Anggi dan wajahku berulang kali
seraya membubuhkan judul Tragedi pada rentetan berita
yang menyertainya. Itu sepekan lalu.
Sementara malam ini, di meja bar Blue Saxophone,
potongan adegan akhir Wanita Sebelum Malam kembali
menari-nari dalam pikiran: Pesta tahun baru 1938. Maizura
Van Eyk yang setengah mabuk selesai berdansa, lalu
pergi sebentar mengambil mantelnya. Ia baru saja
memberi tahu suaminya bahwa ia memiliki kekasih lain,
seorang pribumi, dan ingin bercerai.
Jakobus Van Eyk menerima berita itu dengan senyum
terkembang. Lalu menuang arsenik ke dalam gelas anggur
Maizura. Kematian datang lima jam kemudian. Waktu yang
cukup untuk pergi jauh atau menyusun alibi.
Tapi aku bukan Jakobus. Aku tidak lari. Aku memilih
berkunjung kembali ke Blue Saxophone malam ini.
Mencoba berkawan dengan rasa sakit dan kenangan.
Belajar menyadari, bahwa seluruh hidupku ibarat ramuan
Film Noir yang nyaris usang: Getir, gelap, berdarah. Dan
kurasa aku berhak membuat ending sekehendakku. Aku
sutradara.

Kubuka kacamata dan kumis palsu. Seorang tamu di


seberang mengangkat telepon sambil terus menatap.
Mungkin ia sedang menghubungi polisi. Tapi mungkin juga
hanya ingin mengucap rindu kepada kekasihnya di kota
lain. Entahlah. Irama jazz membuat semua hal menjadi
mungkin.
Kulirik sekali lagi pemusik tambun di atas panggung.
Menurutku, lengking terompet Miles Davis agak berbeda
dengan Dizzy Gillespie. Lebih pahit. Lebih nyeri. Dan aku
sangat mencintai istriku. Di mana pun ia berada.
Jakarta, akhir Mei 2005
Kepada Seno Gumira
Pagi yang Indah
Cerpen: Badui U. Subhan
Sumber: Koran Tempo, Edisi 07/31/2005
Pagi.
Kenapa begitu banyak pagi untuk perumpamaan
mengawali sesuatu?
Aku tak bisa menjawabnya di sini.
Dering alarm telepon seluler itu yang membangunkan
tidurku. Jam dinding sudah lama rusak speakernya. Tirai
jendela masih menghadang jarak pandang, tapi cahaya
dari luar telah sanggup menembus setiap sela jalinan
benang tebalnya. Kamarku tak bisa lagi bertahan dari
kekapan gelap meski semua cat dinding berwarna hitam.
Hari apa sekarang? Pada layar telepon seluler hanya ada
tanggal, bulan dan tahun.

Mungkin tak ada mimpi tadi malam. Aku tak ingat apaapa. O, pukul tujuh lebih beberapa menit.
Ah, berapa jam, menit, dan detik lagi menuju kematian?
Entahlah, pagi ini aku sudah terseret pada pertanyaan
tentang kematian. Betulkah kematian tak kenal waktu?
Yang jelas ia pasti datang menjemput. Demikian pernah
kubaca dalam kitab suci dan kata-kata yang sempat
dikutip orang dari mulut para filusuf.
Tirai kusingkap. Di luar, orang-orang masih nampak
bergegas. Sekolah, kantor, dan pasar adalah sebagian
medan laga dalam menghadapi tantangan dan
pertarungan hari. Alangkah akan menjadi sejarah dari
sebuah peradaban yang statis bagi kaum yang tak mau
berkembang. Dunia begitu terbentang. Berkabut atau tak
berkabut. Lalu panas. Lalu hujan. Lalu musim berbicara
pada mereka yang peka pada tanda-tanda. Ah, siapa aku
di hadapan semesta?
Pintu depan terdengar diketuk. Lunak. Tukang pos
tersenyum di balik kaca.
"Untuk anda, surat perdana di tahun ini," katanya.
"Terima kasih."
Pagi yang indah.
Kenapa aku harus mengatakan ini pagi yang indah,
sedang saat kematian belum juga kudapat jawabannya.
Harus kukatakan kata mungkin. Banyak kemungkinan
dalam hidup. Bukan. Bukan karena datangnya sepucuk
surat. Bukan karena matahari mucul lagi. Bukan karena
sehimpun tangkal bunga di halaman masih terlihat segar.
Kemungkinanku lebih karena sebenarnya harapan tak bisa

kuringkus dan kubuang dari relung-relung jiwa.


Surat dari siapakah? Tak tertera pengirim dan
alamatnya. Tapi harus kubuka dan kubaca. Bukankah tak
ada yang tak penting dari setiap peristiwa? Sekecil
apapun. Adalah surat, adalah tulisan, tak lain untuk dibaca.
Baiklah, rupanya kau si fulan yang ingin jadi misteri. Biar
kuhadapi.
"Aku datang akan terlambat."
Sependek atau sepanjang itulah yang dapat kubaca.
Selebihnya hanya garis-garis hitam yang tak tegas. Prolog
yang manis. Aku merasa telah ditantang hari ini. Hanya
beberapa saat usai bangun tidur.
Bayangan untuk menjawab selalu ada. Tapi betulkah
akan terjawab dengan pasti? Kukira jawabnya akan
kembali pada kemungkinan. Telah kuyakini, betapa banyak
dan tak perlu takut pada kemungkinan. Sangat melelahkan
hati, memang, bila kebetulan hidup dalam cuaca hati yang
redup.
Datang terlambat? Siapa? Adakah ia salah alamat?
Inilah persoalannya. Aku terlanjur membaca kalimatnya.
Kenapa tadi tak kutanyakan lebih dulu pada tukang pos:
yakinkah surat ini untukku? Padahal bisa jadi untuk orang
lain, semisal lelaki tua yang tetap memilih hidup sendirian
itu, yang tepat menghuni rumah di gigir kanan rumahku. Ah,
tukang pos itu betapa yakin. Adakah disebabkan nama
tujuan pada sampul surat ini tak diawali dengan kata
"Bapak"? Harus kukatakan, nama lelaki tua itu sama
persis dengan namaku. Dan sebatas kecermatan mataku,
dua digit angka sebagai nomor rumah yang tertera di

alamat ini telah sedikit memudar. Jadi, kenapa tukang pos


itu begitu yakin? Enam belas ataukah sebenarnya delapan
belas.
Sampai di sini, berlebihankah jika kuseret peristiwa ini
pada wilayah yang sering orang sebut sebagai takdir?
Kawan-kawanku sering memelesetkan kata ini sebagai
singkatan dari otak berlendir. Maksudnya lebih kurang
begini: sampai kapan pun, otak manusia tak akan bisa
menjangkau lebih tepat apa makna rahasia dari sekian
peristiwa yang ditibankan Tuhan kepada manusia. Nah,
jika demikian, di manakah letak kesalahan atau ruang
untuk membantahnya. Ini peristiwa yang agak rumit
dipecahkan nalar, tetapi diam-diam seperti menuntut untuk
dijawab dengan pasti, dengan segera.
Pagi ini aku telah dipaksa mengawali hidup dengan
beberapa pertanyaan. Berapa jam, menit dan detik lagi
menuju kematian? Surat dari siapa? Untuk siapa? Siapa
akan datang terlambat? Kenapa terlambat? Dan kenapa
aku tak bisa begitu saja mengesampingkan persoalan ini?
Betapa absurd.
Tapi ini pagi yang indah.
Langit betapa cerah. Sepasang mataku masih bisa
terbuka, memandang raya semesta. Penuh warna. Jantung
tetap berdetak. Tubuh ajeg berdiri, bertopang di dua kaki.
Menggerakkan sepasang tangan, berjalan, dan berpikir.
Aku mendapatkan diri terbangun seperti sedia kala; tak
menjelma babi hutan, tikus got, anjing liar, kalajengking,
atau kecoa.
Hmm, lengkap sudah bersama secangkir Nescafe

panas. Sedikit manis.


Ini pagi pada pertengahan bulan kedelapan.
Keindahannya tak lantas rontok sebab dikejutkan sepucuk
surat misterius. Sejatinya malah mengingatkanku pada
seorang kawan perempuan di masa remaja. Setiap hari ia
mesti dikejutkan oleh hadirnya sepucuk surat tanpa nama
pengirim dan alamatnya. Surat dengan sedikit kalimat yang
menuntut jawaban: siapa kau sebenarnya? Persis kejadian
ini.
Hilda, ah, di manakah kau sekarang? Kawan remajaku
yang manis, polos, tetapi jenial. Bagaimana tidak, nilai-nilai
ujian matematika, fisika, dan ilmu alamnya tak pernah
sekalipun terseret pada arus tinta berwarna merah. Hanya
saja ia tak cukup pandai bergaul. Akulah satu di antara
sedikit kawannya. Termasuk kucing sehat bernama Egnon
yang ia pelihara sedari kecil. Ibunya telah menjanda sejak
sang ayah meninggal dunia ketika ia menginjak kelas dua
sekolah menengah pertama.
Surat-surat itu datang untuknya. Setiap hari. Dan
menerornya. Masa remaja yang masih rapuh. Dan ia tak
mampu membendung, apalagi menyibakkan kemurungan.
Kepadaku ia kerap mencurah kesah.
"Tiada cara lain kecuali melupakannya," saranku.
"Tapi tak semudah itu melakukannya!"
Sedikit keceriaan yang ia miliki kian hari kian terkikis.
Jangan tanya soal tangis. Air matanya akan selalu menetes
manakala bubaran sekolah. Ia tak habis mengerti pada
maksud isi surat itu. Kenapa si fulan misterius itu
menanyakan siapa dirinya yang sesungguhnya. Ia tak bisa

menjawab dengan pasti.


"Aku bisa saja menjawab dengan mudah," katanya,
suatu kali, "almarhum ayahku mantan anggota tentara yang
telah banyak dianugerahi bintang jasa oleh negara. Ibuku
penggemar berbagai jenis anggrek, sekaligus berbisnis di
bidangnya. Kekekku seorang anu, nenekku punya anu....
dan sebagainya dan seterusnya. Tetapi aneh, semakin
kujawab dengan cara demikian, rasanya semakin kabur
saja jawaban yang diinginkan pertanyaan itu. Aku merasa
kian tak berarti di hadapan pertanyaan sesederhana itu."
Hilda yang manis, meski tak serupa benar, kini aku
tengah merasakan apa yang sempat kau rasakan. Tetapi
aku bersumpah tak akan meneteskan air mata. Separuh
besar dari semua kemisteriusan ini seolah mengajakku
berlomba untuk bertahan selama mungkin diombangambingkan dan dikejutkan permainan halilintar.
Mencemaskan tetapi mengasyikkan.
Inilah yang kunamai dengan hari yang indah. Sebuah
pengalaman yang paling mengesankan selama hidupku.
Andai pun benar surat ini untukku, lantas siapa yang
akan datang terlambat? Sungguh tak kuingat siapa pernah
berjanji akan datang kemari. Dan kurasa, aku tak sedang
menunggu seseorang. Pada buku agendaku tak tercatat
akan adanya peristiwa ini.
O, permainankah? Apakah ini permainan yang
didalangi seseorang? Dan permainan, bukankah
bersumber dari mahaluasnya imajinasi? Ya, si fulan
misterius itu tengah menjajal kehebatan imajinasinya demi
maqosid tertentu. Bisa jadi untuk kesenangan semata,

mungkin pula bermotif dendam. Siapa tahu? Tiba-tiba aku


merasa menjadi seekor kelinci percobaan.
Baiklah, tak mengapa. Aku layani permainan ini.
Aku percaya dunia ini penuh permainan. Siapa punya
kiat-kiat jitu dan mampu memainkannya, dialah
pemenangnya. Dan aku juga percaya, tak selamanya
permainan sesuai rencana. Maka dapat sedikit
kusimpulkan bahwa proseslah yang mesti kuhargai. Tak
melulu hasil. Ini seperti mengisi kolom-kolom teka-teki
silang.
Telepon selulerku berdering. Sangat nyaring. Siapa
gerangan? Detak jantungku sedikit lebih berpacu.
Berdebar.
"Tak biasanya," bisik hati.
Ketika hendak kuangkat, deringnya mati. Hmm, kian
kental kecurigaanku pada sebuah permainan seseorang.
Dan anehnya, pada layar telepon seluler tak tertinggal
sebuah tulisan lazim sebentuk pemberitahuan. Bukankah
biasanya tertulis kalimat 1 missed call bilamana tak
sempat terpencet tombol ok-nya? Ini benar-benar tak ada,
tak tertera. Adakah telepon selulerku tengah mengalami
kerusakan? Ah, semalam baik-baik saja.
Atau ini sebuah pertanda? Tetapi apa? Tak ada yang
dapat kuyakini. Entahlah, tiba-tiba aku teringat lagi pada
sebuah tanya. Berapa jam, menit, atau detik lagi menuju
kematian? Sulit kujelaskan kenapa tiba-tiba yang terlintas
dalam otak ini hadirnya pertanyaan itu. Tuhan, aku tak
pandai berpura-pura: aku gemetar! Rasa takutkah ini?
Takut apa? Pada kematiankah?

Tak ada lagi dering telepon kedua! Tak ada!


Pagi. Pagi yang indah.
Jangan tanya lebih lanjut kenapa aku bersikeras
menamai pagi ini sebagai pagi yang indah. Surat tanpa
nama pengirim dan alamatnya, kecurigaan pada sebuah
permainan yang banyak sisi kemungkinannya, dan satu
dering telepon tanpa bekas pemberitahuan di layar telepon
seluler. Bukankah itu cukup bukti untuk mestinya kukatakan
bahwa pagi ini adalah pagi yang buruk?
Aku tak bisa menjawabnya.
Sungguh, aku benar-benar berat menolak keindahan
pagi ini.
Jangan tanya kenapa.
Duk!
Sebuah suara dari arah luar pintu depan terdengar.
Suara itu telah sangat kuhafal. Pasti sebuah koran pagi
yang dilemparkan seorang loper cilik langgananku. Aha,
sebuah solusi. Setidaknya, demi mengistirahatkan pikiran
barang sebentar dari rumitnya mengungkap rahasia
peristiwa ini, alangkah baiknya kubaca koran dulu. Berapa
hasil pertandingan sepak bola tadi malam yang tak jadi
disiarkan salah satu stasiun teve, antara kesebelasan
favoritku melawan musuh bebuyutannya.
Kubuka simpul benang gulungan koran. Sebuah kertas
putih jatuh ke lantai setelah melayang begitu pelan. Seperti
kapas.
"Sesaat lagi tiba. Bersiaplah menyambutku dengan
suka cita."
Demikianlah. Sependek atau sepanjang itulah yang

nyata kubaca. O, Tuhan, aku mohon kembalikan, naikkan


lagi suhu tubuhku ini... Hhhmmmrrrr...
Betapa dingin, Tuhan...
Jatinangor, 2005
La Tifa
Cerpen: Kurnia Effendi
Sumber: Koran Tempo, Edisi 07/10/2005
NAMA saya Latifa.
Di depan cermin, saya sengaja menggerakkan bibir
ketika menyebut nama Latifa. Saya tak ingin keliru
menyebut nama yang berbeda, sehingga seolah-olah saya
bermaksud
menghindar
dari
kesalahan,
dan
mengalihkannya kepada orang lain. Saya hanya ingin
menghukum diri sendiri.
Lihatlah, alangkah buruknya wajah saya. Wajah
seorang perempuan yang berdosa. Yang tak pantas duduk
dalam sebuah kelas bersama-sama dengan perempuan
lain yang masih bersih. Orang-orang pasti akan membuang
muka jika mengetahui sesuatu yang telah saya perbuat.
Di depan cermin besar dalam kamar ini, saya berdiri
telanjang. Sekali lagi saya ingin menghukum diri sendiri.
Bahkan saya tidak hendak menyalahkan pakaian yang tadi
saya kenakan. Tidak kepada siapa pun, juga kepada apa
pun. Saya ingin mengenal lebih dalam tentang saya,
melalui tubuh sendiri.
Ada warisan mata yang indah dari Mama untuk wajah
saya. Hidung saya tidak semancung hidung Mama, karena

ada hasrat Papa yang telah mencampuri komposisi raut


muka saya. Saat ini rambut saya terurai agak berantakan.
Seandainya tersisir rapi dan membiarkan seluruh kening
terbuka, tentu tampak lebih cantik. Tapi, sesungguhnya
wajah pada cermin itu sungguh buruk oleh perbuatan yang
tak pantas, akibat bujuk rayu setan. Entah kenapa, dengan
menangis tak akan selesai rasa jijik saya terhadap diri
sendiri.
Saya memiliki leher yang umum dimiliki perempuan
lain. Tulang bahu yang mungkin cukup kuat untuk memikul
beban. Di atas payudara ada setitik tahi-lalat yang terlanjur
diketahui oleh Ray. Seharusnya saya malu. Tapi beberapa
jam yang lalu saya membiarkan mata Ray melihatnya,
mengamatinya, dan sempat menciumnya.
Mengingat kejadian itu, dada saya terasa sesak.
Seperti menahan buncah ombak. Sesungguhnya ada
waktu dan kesempatan untuk mencegahnya. Untuk segera
menyadari bahwa perilaku yang tak pantas itu tak perlu
berlangsung. Tapi saya justru terlena. Saya menganggap
ini hak semua orang yang sedang demam asmara. Karena
itu saya tidak menyingkirkan tangan Ray yang merayap ke
pinggang. Bahkan ada semacam upaya bantuan dari saya
agar tangan itu segera mencapai tempat yang dicarinya.
Mulanya saya terkejut, namun kemudian kembali terlena
ketika bibir saya tersumbat mulut Ray.
Terdengar bunyi decap ketika lidahnya bermain. Mata
saya terpejam. Saya seperti seorang pingsan yang
diletakkan di atas sebuah ranjang. Saya membayangkan
sebuah sekte yang melakukan ritual dengan persembahan

seorang perawan di atas altar. Segala yang saya lihat tidak


terlampau terang. Mungkin karena sebagian lampu
sengaja dipadamkan. Mungkin karena mata saya tak
sepenuhnya terbuka. Mungkin karena hari telah mencapai
senja, dan hujan baru saja selesai.
Saya merasa sangat takut ketika ada benda yang
hanya beberapa kali saya lihat melalui film biru, tiba-tiba
saya rasakan terletak di bawah pusar saya. Mata saya
seketika terbelalak. Tubuh saya mengejang. Kedua tangan
saya mendadak tegang oleh tenaga untuk menolak tubuh
Ray. Sedikit terlambat. Karena permukaan perut saya
terlanjur basah dan lengket.
Saya meraup selimut untuk menutupi tubuh. Tangis
saya pecah lebih karena benci terhadap diri sendiri. Saya
lupa awalnya. Yang pertama kali teringat adalah titik-titik
hujan yang membuat kami berlari dari taman menuju
beranda bungalow. Kami tertawa karena berkejaran
dengan air hujan, menyebabkan napas tak beraturan,
sementara berpuluh bunga rumput serupa jarum menisik
celana panjang kami.
Duduklah, saya akan cari kopi. Jika hujan berlangsung
lama, setidaknya ada yang sanggup menghangatkan
badan, ujarnya. Saya mengangguk setuju.
Saya tertawa melihat Ray hampir jatuh di tangga teras.
Di bawah rintik gerimis ia melompat-lompat. Saya ingat, di
tikungan ada tenda warung kopi. Letaknya seratus meter
dari kompleks bungalow ini. Dan bangunan ini berada
pada urutan kedua, dekat dengan jalan raya.
Saya kembali membuka buku yang tadi saya baca di

taman. Bahkan beberapa bab di dalamnya sempat kami


diskusikan. Setidaknya, tugas-tugas kuliah saya menjadi
lebih ringan sejak Ray campur tangan, menjadi teman
berdebat. Banyak hal darinya yang saya suka. Banyak hal
dari dia yang membuat saya selalu membutuhkan
kehadirannya. Saya rasa, mungkin, karena dia pintar.
Boleh jadi pergaulannya cukup luas. Dibanding dengan
teman-teman lelaki yang pernah menjadi kawan satu
kelompok dalam tugas, wawasannya lebih kaya.
Kadang-kadang saya merasa amat kehilangan saat
tiba hari Sabtu atau Minggu. Dua hari yang menyulitkan
kami bertemu. Tapi tak sepantasnya saya menuntut. Toh
sejak berkenalan dan menjadi akrab, dia adalah teman
diskusi. Kawan berbagi pikiran, bukan untuk berbagi hati.
Meskipun bagi saya terlampau sulit untuk tidak
mengharapkannya hadir, walau sekadar dalam mimpi.
Astaga. Saya kerap tersipu karena mimpi-mimpi saya
sangat berani. Dalam mimpi, saya sering terlalu terus
terang dan kelihatan lebih binal dari seekor kuda liar.
Sewaktu terbangun, entah kenapa, saya tidak merasa
lega. Justru kecewa. Ketika saya mencoba bermaksud
melanjutkan mimpi, sekalipun saya tahu ini mustahil,
ternyata tak ada yang benar-benar tersambung. Luput
sudah. Bahkan yang muncul mimpi lain, yang tak saya
harapkan.
Lihat, apa yang saya bawa? Jagung bakar! Kamu
suka? Dengan rambut basah, saya melihat wajahnya
begitu riang. Tampaknya, warung kopi itu juga
menyediakan tempat pembakaran jagung. Seseorang di

sana pasti sibuk mengipas arang agar tetap membara,


meletikkan lelatu ke udara, dan biji-biji jagung sebaris demi
sebaris matang dan meletup. Wanginya memburai dan
hinggap di hidung Ray, sehingga ia tertarik membelinya.
Entah apa yang dia katakan di kantornya, hingga bisa
meluangkan waktu ke tempat sejuk ini. Padahal ketika
telepon tadi pagi, saya hanya bilang: Jika ada acara ke
luar kantor, singgahlah ke Plaza Semanggi. Saya akan cari
buku.
Begitu spontan dia menjawab. Sekitar jam dua saya
ada rapat di Automall. Tak sulit untuk menyeberang
menemuimu.
Dari tempat kuliah, toko buku terdekat memang di
Plaza Semanggi. Tidak perlu naik kendaraan. Cukup
melintasi pagar kampus dan saya akan mencapai lift dari
lobi gedung dalam tujuh menit. Di tempat itu pula saya
pertama kali bertemu Ray.
Hai, buku yang kita baca sama. Katanya waktu itu,
hampir satu semester yang lalu.
Dia duduk di depan saya. Kami satu meja di kafe toko
buku itu. Saya memandang sepasang matanya yang teduh.
Lalu tatapan saya turun ke buku yang dibacanya. Big Fish.
Judul yang sama dengan buku yang saya pegang. Lalu
saya pun tersenyum, ketika memastikan tidak ada maksud
nakal di wajahnya.
Saya sudah nonton filmnya, tapi penasaran ingin
membaca bukunya.
Lho, saya juga demikian. Ia seperti kaget, karena
beruntun mengalami kebetulan.

Bapak suka sastra juga ya? tanya saya.


Nama saya Rayadi, ia mengulurkan tangan.
Latifa.
Panggil saya Ray. Senyumnya sempat membuat saya
berdebar. Tapi sekali lagi saya memastikan bahwa dia
tidak nakal. Seperti teman-teman kantor memanggil saya.
Sebenarnya saya agak heran. Saat itu belum jam
pulang kantor, tapi sikapnya menunjukkan begitu senggang
waktu yang dimiliki.
Sekarang sedang cuti? Saya kaget sendiri dengan
pertanyaan itu.
Tidak. Kebetulan tadi mengambil rapor anak saya.
Karena mendapat ranking, dia minta hadiah, maka saya
ajak ke sini. Saya biarkan dia memilih sendiri buku yang
diinginkannya.
Oo, mata saya berkelebat, mencari sosok yang
pantas menjadi anaknya.
Dia tertutup rak di ujung sana. Banyak komik impor
yang gambarnya bagus-bagus. Oh ya, anak saya ini suka
menggambar.
Saya tersenyum. Kemudian terlintas dalam pikiran,
seandainya Papa masih hidup, mungkin usia mereka
hampir sama. Oh, tidak. Papa sedikit lebih tua. Mungkin
terpaut tiga atau empat tahun. Ah, kenapa memikirkannya?
Saya pun kembali membaca buku.
Kuliah di mana?
Tak jauh dari sini.
Jurusan?
Ilmu Komunikasi. Bukan sastra, Saya melihat dia

tersenyum. Dan saya berdebar lagi. Bapak berkantor di


mana?
Di Cawang. Perusahaan otomotif. Dia memberikan
sebuah kartunama. Saya menerimanya tanpa pikiran untuk
menjalin pertemuan lebih lanjut. Tanpa harus diceritakan,
saya tahu dia telah berkeluarga. Bahkan anaknya, dari
awal percakapan, berada di toko buku ini. Pembicaraan itu
bermula dari sebuah kebetulan yang mungkin mengusik
perasaannya untuk bertanya. Seandainya saya yang
melihat lebih dulu bahwa buku yang kami baca sama,
belum tentu saya berani menyapa lebih dulu.
Sudah ada beberapa uban bertebar di kepalanya. Tapi
wajahnya tidak kelihatan tua. Ada energi yang membuatnya
lebih tampak matang dibanding istilah renta. Memandang
wajahnya, mendengar suaranya, saya teringat mendiang
Papa. Apakah perlu saya ceritakan pertemuan ini kepada
Mama?
*
PINGGANG saya ramping. Dada saya hampir tiga
puluh empat. Pinggul saya penuh. Oleh karena itu, tampak
indah bentuk tubuh saya.
Saya menggigil ketika pandangan mata saya ke dalam
cermin tiba pada bagian bawah pusar. Saya ingin ada
seseorang yang mengulurkan seutas cambuk dan segera
saya dera tubuh itu dengan lecutan. Tubuh indah yang telah
berhasil menggoda seseorang. Dengan api yang meliuk di
matanya, berhasrat membakar saya dalam tungku birahi
yang menyala-nyala. Lihatlah, alangkah buruk wajah saya.
Wajah seorang perempuan yang berdosa. Yang tak pantas

duduk dalam sebuah kelas bersama-sama dengan


perempuan lain yang masih bersih. Orang-orang pasti
akan membuang muka jika mengetahui sesuatu yang telah
saya perbuat.
Sambil menutup wajah, saya duduk di tepi ranjang.
Seharusnya tetap setia pada kata-kata Ray, bahwa
sepanjang hujan turun, secangkir kopi akan
menghangatkan badan kami. Ya. Secangkir kopi saja.
Bukan dengan cara lain. Entah mengapa, saya terlampau
lama menatap mata teduhnya. Saya telah berlama-lama
memandang manja kepadanya.
Boleh jadi, saya melihat Papa di sana. Sehingga ada
rasa kangen untuk mendapatkan pelukannya. Memang
kemudian saya merebahkan kepala di dada Ray. Dada
yang kemudian basah oleh air mata saya. Selanjutnya
kepala saya diusapnya. Perasaan saya begitu tenteram.
Lebih merasa tenteram sewaktu bibirnya menyentuh
kening dan pelupuk mata saya.
Boleh jadi, saya tidak lagi melihat Papa di sana. Yang
saya ingat adalah mimpi-mimpi yang saya rencanakan
setiap menjelang tidur. Yang kadang-kadang dikabulkan
entah oleh setan atau malaikat, dan kadang-kadang nihil.
Ketika mulut saya diciumnya, saya merasa sedang
menempuh mimpi yang kadang-kadang terputus di ujung
malam. Yang tidak membuat saya lega di saat terjaga,
namun justru menerbitkan perasaan kecewa.
Saya tidak mendengar napasnya terengah. Karena itu
saya tidak merasa takut sejak awal. Dan mata saya
terpejam. Tak ada kata-kata lagi.

Padahal, pada setiap pertemuan yang kami lakukan,


selalu riuh dipenuhi kata-kata. Saya akan membawa tugas
kuliah, dan Ray akan menjadi seorang mentor yang telaten.
Ia akan dengan senang hati turut mencari referensi.
Membawakan buku-buku yang saya perlukan. Kadangkadang, ketika saya belum mendapat tugas baru, ada saja
caranya untuk membuat saya singgah ke sebuah tempat
sebelum pulang ke rumah. Menikmarti semangkuk bakso
Malang, misalnya. Atau sekadar memenuhi perut dengan
sepiring salad diguyur thousand island yang berlimpah.
Saya akan mengusap lelehan yang tak sengaja hinggap di
ujung bibirnya.
Kenapa kamu sering terlambat pulang, Tifa? tanya
Mama suatu hari.
Saya semakin banyak tugas. Hampir setiap tugas
harus dikerjakan secara kelompok. Saya mencium pipi
Mama.
Teleponlah ke rumah, agar Mama tidak cemas. Bukan
justru hp-mu dimatikan.
Aduh, maaf Mama. Pasti saya tidak sengaja.
Ah, kenapa mesti berdusta? Saya pikir, saya tak perlu
merahasiakan persahabatan ini. Dengan demikian Mama
tidak perlu merasa khawatir lagi. Tapi saya akan memilih
waktu yang tepat untuk bicara mengenai Ray. Waktu yang
tepat adalah ketika Mama sedang menyanyi. Di kamar
atau di ruang keluarga.
Mama memang seorang penyanyi. Bukan profesional
tentu. Karena ia seorang sekretaris senior, dan setiap ada
acara pesta perusahaannya selalu diminta menyanyi. Tentu

tidak sekonyong-konyong, melainkan melalui beberapa


peristiwa. Sekali-dua Mama memberanikan diri menyanyi,
bersama-sama dengan karyawati lainnya. Akhirnya seluruh
kantor mengakui, bahwa suara Mama bagus. Lambat-laun,
sebelum nama-nama lain diminta menyanyi, biasanya
nama Mama yang lebih dulu diteriakkan.
Saya suka dengan cara bergaul Mama. Sebagai
sekretaris direksi, apalagi cantik dengan hidung bangir
dan pandai menyanyi, akan menjadi primadona pada
setiap acara pesta kantor. Ia membantu seorang Managing
Director yang cukup dandy pada sebuah advertising.
Banyak peluang untuk terjatuh ke dalam pelukan laki-laki
berprestasi internasional itu. Apalagi Mama seorang janda.
Tapi, entah mengapa, Mama sanggup meletakkan batas
dan tak seorang pun di kantornya mencoba melanggar.
Sementara saya? Hanya dalam waktu hampir enam
bulan, seorang laki-laki mengenal kulit tubuh saya yang
paling tersembunyi. Ray telah mencium tahi-lalat di atas
payudara saya. Tangannya telah saya antarkan ke tempat
yang seharusnya paling saya lindungi. Dengan menangis,
tak akan selesai rasa jijik saya terhadap diri sendiri.
Seandainya cambuk telah saya pegang, saya tak akan
ragu-ragu membuat bilur-bilur di dada dan paha. Bagian
tubuh yang paling mudah menjatuhkan iman seorang lakilaki. Itulah hukuman yang pantas untuk perempuan seperti
saya. Yang telah mengubah persahabatan intelektual
menjadi hubungan asmara yang tak senonoh. Boleh jadi
saya jatuh cinta pada Ray. Atau sebaliknya. Tapi bukan
dengan cara seperti itu. Setidaknya saya harus

mempertimbangkan istri dan anak-anaknya. Setidaknya


saya harus berpikir panjang perihal masa depan yang
mungkin tak secemerlang jika saya jatuh cinta dengan
lelaki yang belum berkeluarga. Tapi, saya melihat Papa di
sana. Pada kelopak senyum dan sejumlah kata-kata Ray
yang sejuk.
Mana disketnya? Biar saya yang cetak dan fotokopi di
kantor. Besok saya mampir ke kampusmu. Beberapa kali
Ray menawarkan pertolongan. Meski sebenarnya
pekerjaan itu bisa saya lakukan dengan mudah, tapi
tawarannya sangat menyenangkan. Mengandung kasih
sayang.
Dalam suatu perjalanan dari kafe menuju rumah, suatu
ketika, Ray mengingatkan janji saya. Beberapa minggu
sebelum senja bergerimis di bungalow. Kapan saya
berkenalan dengan ibumu?
Boleh kapan saja. Tapi jam empat biasanya belum
pulang. Apalagi jika kantornya sedang menyiapkan konsep
untuk pitching. Mama harus mendampingi Mr. White untuk
rapat pengarahan kepada Art Director dan para
Copywriter.
Malamnya saya sampaikan kepada Mama, bahwa
saya memiliki seorang teman diskusi yang mengasyikkan.
Waktu itu Mama hanya tersenyum. Mama tidak
menanyakan apakah itu kawan dari kampus, atau dari
kegiatan lain. Tapi agak terkejut sewaktu saya sampaikan:
Ia mirip Papa.
*
SAYA hampir tidak ingin memandangnya saat menutup

tubuh dengan selimut. Saya meringkuk dengan sejumlah


rasa takut yang tak terungkapkan. Tangis saya pecah lebih
karena benci terhadap diri sendiri. Saya lupa yang terjadi
kemudian. Yang saya lihat serba remang: Ray menjauh.
Mungkin selanjutnya masuk kamar mandi. Lama sekali.
Saya terkejut sewaktu Ray berlutut di kaki saya yang
gemetar. Ia meminta maaf dengan sungguh-sungguh. Tapi
saya sadar, ini tidak sepenuhnya salah Ray. Saya
merasakan wajah saya hangus menghitam, dibakar dosa.
Dalam perjalanan pulang, saya membisu. Sebenarnya
saya berhasrat membuka pintu dan melompat ke luar
mobil, saat posisi jalan menurun dan meliuk, dengan
kecepatan cukup tinggi. Tapi itu bukan cara mati yang
baik. Bahkan seandainya saya sengaja membuat mobil ini
celaka dan menyebabkan kami tewas berdua. Tidak! Saya
harus sanggup mencuci kesalahan terlebih dulu.
Sekali lagi saya menatap tubuh telanjang dalam cermin.
Memandang sepasang mata yang sembab. Wajah
perempuan yang berdosa. Yang dengan keindahan bentuk
tubuhnya telah berhasil menggoda seorang laki-laki. Saya
tidak akan menyalahkan siapa pun, bahkan terhadap
pakaian yang tadi saya kenakan di bungalow. Seharusnya,
ketika kepala saya rebah ke dada Ray, saya sampaikan
bahwa dia mirip Papa. Tapi, saya terlampau dihantui
mimpi-mimpi liar yang kerap membuat saya tersipu malu.
Jadi, semua memang salah saya.
Bunyi mesin mobil di halaman, menderum sebelum
dimatikan, membuat saya sadar harus mengunci pintu
kamar. Mama pulang! Apa yang harus saya katakan jika

memergoki sepasang mata yang bengkak?


Tifa!
Saya terdiam. Apakah sahutan saya akan terdengar
serak?
Di mana kamu, Tifa?
Baiklah, untuk menghapus kenangan buruk itu saya
harus mengubah cara menulis nama. Bukan lagi Latifa,
melainkan: La Tifa. Kesucian harus kembali, bukan?
***
Jakarta, 2005
Laut Saga
Cerpen: Miranda
Sumber: Koran Tempo, Edisi 06/27/2005
IBU bunuh diri. Pagi buta itu, kabar meluas ke seluruh
kampung. Sejam kemudian, rumah kami penuh oleh
manusia. Jasad Ibu tergantung di dekat sumur. Para
tetangga saling berbisik, bergunjing. Beberapa menyebutnyebut Dhe Cokro. Juga Bapakku. Bapakku, lelaki yang
penyabar itu, mati empat bulan sebelumnya, ditelan lautan.
Kata orang, Bapak pergi mencari kulit kerang terbaik
untukku. Kata Ibu, Bapak mati karena aku. Aku tak tahu
mana yang benar.
Dan anakku...
Arimbi duduk bersandar di tepi jendela, membiarkan
angin melekatkan aroma asin di kulit dan rambutnya. Ia
nikmati debur ombak yang ditingkah gelak riang seorang
gadis kecil di kejauhan. Lamat-lamat terdengar alunan

campur sari dari warung kopi, seratusan meter di sebelah


rumahnya.
Betapa cepat waktu membesarkanmu. Kau menjelma
gadis kecil, sekarang. Rambut halusmu tergeriap ke bahu.
Tubuhmu kecil, seperti tubuhku. Tapi matamu besar seperti
mata ayahmu. Membuatku hampir lupa berapa sebenarnya
usiamu. Ah, Saga. Berapa usiamu kini? Baru lima tahun,
kurasa. Lewat berapa bulan, aku tak tahu benar. Maafkan
aku, Nak. Aku sudah lupa kapan persisnya kau lahir.
Jangan mengutuk Ibumu, Saga.
Gadis kecil itu masih asyik berlarian di sepanjang
pantai. Sesekali ia membungkuk, memungut sesuatu dari
balik pasir. Sesekali terdengar gial-gial gelaknya. Arimbi
tersenyum kecil. Pasti digelitik undur-undur.
"Jangan jauh-jauh, Nak! Sudah sore ini, sebentar lagi
gelap," serunya. Gadis kecil itu melambaikan tangan
kecilnya.
"Sebentar lagi, Ma!" jeritannya hilang-timbul terbawa
angin.
"Belum bosan kau bermain dengan laut, Nak." Arimbi
menggeleng-gelengkan kepala. Secercah angin menepuk
pipinya lembut. Ia menggeser duduknya. Pegal kakinya. Ia
belum beranjak sejak empat puluh lima menit lalu.
Kau pasti mencintai laut. Seperti aku. Sukakah kau
pada tempat ini, Saga? Ini rumah kita yang baru. Aku dan
ayahmu pindah ke mari tiga tahun lalu. Ah, kami tak
sempat memberitahumu waktu itu. Tapi kau selalu bisa
menemukan kami. Kau menemukan tempat ini. Aku bisa
mencium rindumu pada pantai. Dulu, semasa aku

seusiamu, tak bosan aku bertahan di tepi pantai. Berburu


kulit kerang dan kepiting. Bermain dengan undur-undur.
Aku selalu merajuk ketika Bapak mengajakku pulang. Tapi
ia selalu membujukku dengan sebutir kelapa muda segar
dan arum manis. Hmmm, itulah yang kutunggu-tunggu.
Setelah itu baru aku mau pulang. Duduk membonceng di
muka sepeda motor Bapak, menantang angin senja dan
sambermata yang menampar-nampar wajah di sepanjang
jalan. Di rumah, Ibu sudah menunggu di meja makan.
Bersama nasi panas, jangan sop dan tempe garit.
Menyuruh kami segera makan. Tapi aku akan terlebih dulu
menunjukkan padanya harta karun yang kutemukan di tepi
pantai. Ibu lantas mengelus kepalaku. Di hari berikutnya,
Bapak menjalin kulit-kulit kerangku jadi kalung dan gelang
yang bagus sekali.
Cakram matahari tinggal separuh di cakrawala. Arimbi
bertahan di tepi jendela. Anak itu kini duduk bersimpuh.
Bermain pasir. Rambutnya yang menggumpal berlari
tertiup angin basah yang makin kencang. Alunan campur
sari dari warung sebelah sudah berganti dengan
kasidahan.
"Saga, sudah hampir magrib, Nak! Sebentar lagi Ayah
pulang." Arimbi berseru. Gadis kecil itu lagi-lagi
menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Ma, Saga lagi bikin rumah-rumahan pasir. Belum jadi
nih!" Ia lalu kembali asyik dengan bangunan pasir
basahnya. Arimbi menghela nafas, menelan kembali
kalimat yang sudah di ujung lidah. Ah, biarlah.
Perempuan itu beranjak. Meraih gelas berisi air putih

dari meja makan, tak jauh dari jendela. Meminum isinya


separuh. Jam dinding berbunyi. Setengah enam. Penanda
pesan singkat masuk berbunyi. Arimbi melangkah pelan ke
dalam kamar, mengambil ponsel.
1 pesan diterima. Baca.
Ayah.
Ma, masak apa?Ayah sdh di jln. Bw martabak manis
buat kita.
Perempuan itu tersenyum kecil. Memilih opsi balas di
ponselnya.
Ayah kok paham mama sdg pengen martabak? Cpt plg
Yah, ada kejutan.
Kirim. Pesan terkirim.
Ia lalu kembali duduk. Gadis kecilnya masih asyik
membuat benteng pasir. Sebentar, lalu runtuh. Terdengar
pekiknya.
"Ma, hancur!" serunya kesal.
"Ya sudah. Besok lagi ya, Nak. Ayo, sebentar lagi Ayah
sampai. Ada martabak manis untuk Saga," bujuknya. Saga
menggeleng. Cemberut.
"Nggak mau besok. Saga mau sekarang."
"Aduh, anak Mama. Kan malu kalau nanti Ayah pulang,
Saga belum mandi."
"Biarin. Nanti Mama panggil Saga aja kalau Ayah udah
pulang, ya?" Gadis kecil itu kembali bermain dengan pasir.
Angin kian kencang. Arimbi menggigil. Menghela nafas.
Keras kepala.
Apa yang tengah kaubangun, Anakku? Rumahmu
sendiri, rumah keabadian beratap mimpi berjendela

dongeng peri, atau rumah kecil kita yang hangat beraroma


pasir basah dan ruam air terpanggang matahari? Apa
yang ada dalam kepalamu, Saga? Ke mana tempatmu
berpulang? Berceritalah pada ibu, Nak. Sudah begitu lama
kita kehilangan jejak cerita. Tak ada peluk, tak ada belaian.
Tak ada suara kaki mungilmu di lantai selain gema dalam
mimpiku, Saga.
Hari sudah gelap. Tinggal selarik cahaya merah jingga
di Barat, di antara biru gelap langit. Tapi Saga masih
bertahan dengan rumah-rumahan pasirnya.
ARIMBI menghela nafas. Ia ingat masa kecilnya. Dulu ia
tak tinggal di pantai Parangkusumo seperti kini. Tapi
rumah Bapak tak berapa jauh dari pantai ini, hanya
limabelas menit naik motor. Maka sejak kecil ia terbiasa
dengan aroma laut. Sesekali Bapak ikut melaut dengan
teman-teman nelayannya, jika pesanan kriya sedang sepi.
Ayahnya adalah pengrajin tanah liat. Ia tak punya toko
sendiri. Adalah Pakdhe Cokro yang mempekerjakannya.
Kata Ibu, sejak ia belum lahir, Bapak sudah akrab
dengan Pakdhe Cokro. Hanya takdir yang kemudian
membedakan nasib mereka. Pakdhe Cokro yang ulet
menjadi pedagang kriya, sejak Ayah dan Ibu belum lama
menikah. Kata Ibu, kenalan Pakdhe Cokro bertebaran di
mana-mana. Itu yang membuat kiprahnya melesat cepat.
Beberapa kenalannya kemudian memperkenalkan Pakdhe
Cokro pada bule-bule. Dari merekalah, toko kriya Pakdhe
Cokro mendapat pesanan dalam jumlah besar. Kata Ibu,
untuk dikirim ke luar negeri.
Kata Ibu. Kata Ibu. Arimbi melamun. Dulu, sewaktu ia

kanak-kanak, Ibu begitu sering menyebut nama Pakdhe


Cokro. Hampir di setiap kesempatan, jika Bapak tidak di
rumah, Ibu selalu menyebut Pakdhe Cokro. Ada-ada saja
yang diceritakan Ibu. Pakdhe Cokro yang baru
membelikannya kain baru. Ia yang meminjamkan uangnya
untuk belanja sembako. Ia yang membiayai separuh biaya
sekolah Arimbi. Arimbi merasa begitu mengenal lelaki itu,
tanpa sekali pun ngobrol dengannya.
Arimbi kecil pernah bertemu dengannya. Pakdhe Cokro
yang usianya tiga tahun lebih tua dari Bapak memang
berbeda. Waktu itu Arimbi masih terlalu kecil untuk paham,
tapi di mata Arimbi, Dhe Cokro (begitu ia selalu
memanggilnya, dengan raut malu-malu) kelihatan lebih
muda dari Bapak. Arimbi selalu bisa menangkap guratgurat keriput di sudut-sudut wajah Bapak. Gurat-gurat yang
hampir tak kentara di wajah Dhe Cokro. Dalam hal ini, ia
setuju pada apa yang selalu dikatakan Ibu. Pakdhemu itu
tangkas dan suka bekerja keras. Itu yang membuat Dhe
Cokro kelihatan muda. Tapi Arimbi mencium aroma yang
tak ia sukai dari tubuh laki-laki tegap berkumis tebal itu. Itu
sebabnya ia selalu menghindar jika Dhe Cokro sedang
bertandang ke rumahnya. Ia lebih senang bermain pasaran
di luar rumah. Berpanasan dengan teman-teman
sebayanya. Atau duduk-duduk di mulut gang, sekadar
menunggu motor tua Bapak berbelok masuk gang. Bapak
sering membawakan Arimbi oleh-oleh. Kulit kerang warnawarni, atau dua butir kelapa muda segar, atau boneka
jerami, atau mangkuk dan gelas kecil yang dibuatkan Ayah
di tempat kerjanya. Kulit kerang adalah oleh-oleh

kegemaran Arimbi. Sama seperti ayahnya, Arimbi


mencintai laut.
Karena itu ia sangat mencintai ayahnya. Tapi Ibu
mungkin tidak. Apakah ibu cemburu pada laut?
Hari itu Arimbi bosan duduk menunggu di mulut gang.
Sudah lewat ashar, ayahnya tak lewat juga. Barangkali hari
ini Bapak pulang agak malam. Kemarin Bapak bilang
order Dhe Cokro sedang rame. Arimbi menendang batu
yang terserak di pinggir jalan. Kesal. Menggerutu. Kaki
kecilnya melangkah pelan menuju rumah. Bibirnya
mengerucut. Perutnya lapar. Arimbi ingin minta uang pada
Ibu. Buat beli bakso. Kaki kecilnya berjalan tanpa suara.
Memasuki bagian depan rumahnya yang tak berdaun pintu.
Di depan, Arimbi melihat sandal besar laki-laki di dekat
pintu. Seperti sandal Dhe Cokro. Ia ingin menyingkir. Tapi
perutnya lapar.
"Bu!" Disingkapkannya kain yang menutup pintu kamar
Ayah-Ibu dengan tangan kecilnya. Ia ingin melangkah lebih
dalam. Menyerbu Ibu yang mungkin sedang tidur-tiduran di
ranjang, menepuk perut empuknya pelan-pelan,
membujuknya untuk memberinya uang seribu. Terbayang
di matanya bola-bola bakso terampul-ampul dalam kuah
mengepul panas. Hmm. Arimbi bergegas tak sabar. Tapi
ia terhenti. Terkejut. Matanya menatap nanar. Terdengar
desah terperanjat menyusul panggilannya. Arimbi melihat
sesuatu yang tak ia mengerti.Kenapa Dhe Cokro ada di
dalam kamar? Tidur di atas tubuh Ibu, dengan tangan
membelit penuh-penuh. Kenapa Dhe tanpa baju? Kenapa
Ibu juga tanpai baju? Apa mereka berdua habis mandi?

Apa baju mereka basah semua, sehingga mesti telanjang?


Tapi, kenapa Dhe Cokro mesti memeluk Ibu? Kenapa?
Apa Ibu kedinginan?
Arimbi menggigil. Angin laut menampar wajahnya kuatkuat. Mengembalikan angannya ke daratan kesadaran. Ia
tersentak. Terlalu jauh angin membawa lamunannya
melaut.
Peristiwa itu sudah lama sekali lewat.
Tapi Arimbi tak bisa melupakannya begitu saja.
Seperti begitu lama waktu yang dibutuhkannya untuk
paham. Sejak peristiwa itu, Arimbi jadi pendiam. Pelamun.
Ia tak lagi suka pada kalung kerang atau mangkuk tanah
liat mungil buatan Bapak. Segala dipendamnya sendiri
rapat-rapat. Arimbi tak pernah mau bertanya. Atau ia
menjawab sendiri pertanyaannya. Sejak itu, Ibu selalu
belaku aneh kepadanya.
Setahun setelah peristiwa itu, ayahnya berangkat ke
laut. Lalu tak pernah kembali. Kata nelayan-nelayan teman
Bapak, Bapak ditelan Ratu Laut Selatan. Bapak pergi
mencari kulit kerang yang terbaik. Terlalu jauh berjalan ke
tengah hingga ombak menelan tubuhnya.
Sampai kini jasadnya tak pernah kembali.
"MA, dingin!" Kesadarannya serta-merta menggeliat.
Saga, gadis kecilnya yang sedari tadi asyik bermain pasir
di pinggir pantai kini berdiri di dekatnya. Tubuhnya kuyup.
Gadis kecil itu menggigil. Bibirnya membiru. Arimbi
terperanjat.
"Tuh kan, tadi mama bilang apa. Makanya jangan main
sampe gelap. Saga main air, ya? Nanti kalo masuk angin

gimana?" gerutunya tak habis-habis. Gadis kecilnya cuma


meringis nakal. Tak sedikit pun raut bersalah membayang
di wajahnya. Arimbi menghela nafas. Gadis ini memang
keras kepala. "Di luar sana kalo sudah gelap banyak hantu,
Saga." Ia mencoba menakut-nakuti gadisnya. "Dulu Eyang
Kakung hilang ditelan lautan. Apa Saga mau bikin sedih
Mama dengan hilang di laut juga?"
Mata gadis mungil itu membola. Rambut lurusnya yang
menggimbal oleh uap asin air laut bergoyang pelan. Arimbi
meremas lengan Saga.
"Ya sudah, cepat mandi. Sebentar lagi Papa pulang.
Mama siapin airnya, Saga mandi sendiri ya? Atau mau
dimandiin Mama?" Digamitnya lengan kecil Saga dengan
cepat. Duh, lengan ini... Aku kehilangan waktu-waktu ia
tumbuh sampai jadi sebesar ini. Pelan-pelan, dibimbingnya
gadis kecilnya ke kamar mandi.
Sudah berapa lama aku menunggu saat-saat ini?
Menyiapkan air mandi untuk anakku. Seperti Ibu yang
selalu menimba air untukku, menggosoki tubuhku keraskeras, bermain buih sabun denganku... Ibu, lihat. Anakmu
kini menyiapkan air mandi untuk cucumu. Saga namanya.
Mukanya bulat terang, matanya bercahaya. Seribu peri
keluar dari bibirnya jika ia bicara. Saga anak cerdas, Ibu.
Kadang-kadang, aku takut bicara padanya. Bukankah aku
tak tahu bagaimana mesti mengasuh anak? Jika saja Ibu
ada di sini. Ah, Ibu pergi terlalu cepat. Tak sempat
melihatnya. Aku merindukanmu. Aku rindu kelembutanmu.
Kenapa dulu Ibu berubah? Kenapa setelah Bapak tak ada,
Ibu jadi pemurung dan pemarah? Kenapa Ibu selalu bilang

Bapak mati karena aku? Ibu, benarkah aku bersalah? Dulu


Ibu selalu bilang, akulah yang sudah mengatakan peristiwa
itu pada Bapak. Kata Ibu, Bapak marah pada Ibu karena
aku. Bapak lalu memilih laut. Laut yang selalu dicemburui
Ibu. Aku tak pernah bilang apa-apa pada Bapak, Bu. Apa
salahku? Karena aku pulakah Ibu gantung diri?
"Ayo mandi, Nak." Arimbi meraih gayung.
Disiramkannya air yang sudah ditampungnya dalam ember
kecil ke tubuh kecil Saga. Dadanya sesak. Ia tak tahu
kenapa.
Air meluncur dari gayung, menimpa kulit pucat Saga
dan jatuh bertebaran jadi titik-titik air di lantai kamar mandi.
Berlarian menuju lubang pembuangan air. Angin
membersit dari sela kusen, menerpa jurai rambut Arimbi
yang lepas dari ikatannya. Membawa angannya pergi ke
masa lampau.
Ibu bunuh diri. Pagi buta itu, kabar meluas ke seluruh
kampung, menyebar cepat seperti wabah. Dalam satu jam,
rumah mereka penuh oleh manusia. Para tetangga saling
berbisik. Kengerian melingkupi rumah. Jasad Ibu
tergantung di dekat sumur. Arimbi terdiam. Ia ingin
bertanya, tapi tak tahu tentang apa dan pada siapa. Ia tak
tahu sudah berapa lama ia berdiri di situ, dekat pintu,
menatap Ibu. Sampai seseorang mendekap tubuhnya dari
belakang. Tubuh tegap itu. Dhe Cokro.
Sejak saat itu, Arimbi tinggal di rumah suami-istri
Cokrosumarto.
TIBA-TIBA terdengar suara gerit pintu dikuakkan.
Arimbi terlonjak. Suaminya sudah pulang! Ia tak sabar

hendak menunjukkan kejutan ini padanya. Arimbi menatap


mata Saga baik-baik. Ditegakkannya telunjuk di bibirnya.
"Saga mandi sendiri dulu, ya. Mama mau kasih tau
Papa kalo Saga pulang." Di matanya, gadis kecil itu
mengangguk. Dan tersenyum. Ditepuknya pipi Saga
lembut. Perempuan itu mengusap tangannya yang basah
ke baju. Menghela nafas. Lalu berjalan keluar kamar
mandi. Menyongsong suaminya. Pasti kaget. Ayah pasti
kaget. Ada Saga di sini! Ia sungguh bahagia. Seperti pagi
tadi, ketika dilihatnya Saga pulang. Ia merasa begitu
lengkap.
"Ma," Laki-laki itu menyongsongnya. Mereka berhenti di
dekat meja makan. Laki-laki itu menariknya ke dalam
rengkuh tubuhnya yang liat. Tegap, seperti tubuh Dhe
Cokro. Tubuh pekerja keras.
"Jadi bawa martabak, Yah? Berapa banyak?"
"Cuma beli satu. Kan cuma buat berdua. Aku tadi juga
pinjam DVD. Tiba-tiba kangen, sudah lama kita tidak
nonton bersama." Suaminya merogoh tas. Mengeluarkan
beberapa buah DVD. Mengacungkan salah satu. Beautiful
Mind. "Ingat?" Laki-lakinya tersenyum. Tapi Arimbi kesal. Ia
tak suka film itu. Membuang muka, ia merebut bungkus
martabak dari tangan suaminya.
"Cuma bawa satu? Malam ini kita tidak cuma berdua.
Aku sudah bilang ada kejutan buat Ayah. Seharusnya Ayah
siap-siap," ia merajuk sambil menggelar martabak di meja.
Laki-laki itu mengerutkan kening.
"Tak hanya berdua?" ulang lelakinya, menghela nafas.
Menyentuh wajahnya. "Arimbi, kenapa marah?" Mereka

bertatapan. "Apa yang ingin kauperlihatkan padaku, Bi?"


ujarnya pelan. Arimbi merasa mulutnya lumpuh. Hanya
telinganya yang menangkap suara kecipak pelan dari
kamar mandi. Sebentar hatinya ragu. Tapi sesuatu lagi-lagi
meloncat di dadanya. Harus, aku harus memberi tahu
suamiku. Ia pasti senang. Saga merindukan ayahnya.
Begitu juga sebaliknya. Mereka akan saling memeluk.
Mereka akan berbagi cerita. Sampai jauh malam. Sampai
Saga jatuh tertidur. Bibir Arimbi bergerak pelan. Mata
beningnya menyusur wajah, menyelam jauh ke kedalaman
mata lelakinya.
"Bi?" Suara lelakinya terdengar jauh. Berselingan
dengan gelak Saga.
"Ada Saga, Yah."
"Saga?"
"Ya. Tadi pagi dia pulang."
"Arimbi, kita sudah berjanji..."
"Dengar dulu, Yah. Ayah harus percaya. Saga benarbenar pulang. Aku mengusap kepalanya, mencium pipinya,
mendengarnya bicara...."
"Bi..."
"Sekarang Saga sedang mandi. Dia mau peluk
ayahnya kalau sudah wangi, katanya."
"Dengar, Bi."
"Kamu yang harus dengar. Ayah ini keterlaluan benar
sih? Saga ingin bertemu denganmu. Atau kamu tak
percaya padaku?"
"Arimbi, dengar! Saga sudah tidak ada. Saga sudah
wafat. Ingat, kita pindah ke pantai bukan untuk

mengenangnya. Tapi untuk membuatmu sembuh. Saga


sudah pergi bersama ombak yang menggulungnya waktu
ia masih dua tahun. Itu juga bukan salahmu. Kamu tahu tak
ada yang menyalahkanmu. Kita pindah kemari karena
kamu cinta laut, Arimbi. Karena aku mencintaimu. Kalau
kamu mencintaiku, berhentilah mengkhayal yang tidaktidak! Itu waham, Arimbi. Kamu paham, kan?"
Arimbi terdiam. Wajahnya pucat-datar seperti kafan.
Arimbi masih larut dalam diam. Waktu beranjak begitu
pelan.
Terengah-engah, laki-laki itu menariknya ke dalam
pelukan. Arimbi merasakan detak jantungnya tak
terkendali.
"Arimbi, kamu mesti sembuh. Kamu sudah berjanji.
Kamu mesti sembuh..." racau lelaki itu tak jelas, barangkali
menahan sesak di dadanya. Istrinya masih diam. Matanya
menatap nanap ke kamar mandi. Masih didengarnya suara
kecipak pelan air mandi membentur tubuh mungil itu. Juga
lahu pelan Saga. Lagu kanak-kanak yang asing di
telinganya. Barangkali lagu peri yang dipelajarinya dari
dunia lain. Tapi, Saga?
Pelan, Arimbi menatap pintu kamar mandi yang tak
sepenuhnya tertutup. Dilihatnya wajah Saga mengintip dari
balik pintu. Tertawa kecil. Tangan mungilnya melambai.
Lalu lenyap.
Vacuum Cleaner
Cerpen: Ucu Agustin

Sumber: Koran Tempo, Edisi 05/29/2005


TERBANGUN tengah malam, kulihat vacuum cleaner
itu. Kuambil ia dan
kudekati Ibu dan Ayah yang sedang bertengkar di ruang
makan. Suara piring
pecah yang entah dilempar siapa, itulah yang
membangunkanku rupanya.
Muka Ibu merah. Muka Ayah lebih tua dari merah cabai
muka Ibu. Mereka
biasa begitu. Aku cuma mengerti kalau sesuatu telah
terjadi. Ibu tak
kaget melihatku terbangun dan membawa vacuum
cleaner. Ayah hanya melirik
sekilas saja.
Ibu kini melempar gelas kristal. Ayah berteriak lantang.
Malas mendengar suara ribut mereka, kunyalakan
vacuum cleaner. Suara
mendengung lembut langsung memenuhi telingaku.
Terdengar jelek, tapi
lebih baik dari pertengkaran orangtuaku. Kudekatkan
corong penghisap debu.
Pecahan piring kecil-kecil yang terserak di lantai mulai
masuk ke dalam
tabung penyimpan. Ayah dan Ibu sama sekali tak
terganggu. Semakin seru
mereka bertengkar.
Aku suka vacuum cleaner sebab ia bisa menghisap
debu dan benda-benda
kotor. Aku pikir Ibuku tomat: bibirnya merah dan bisa

menerbitkan rasa
manis atau asam dari sana. Ayahku adalah lada bubuk
yang membuat
tenggorokanku terbakar dan hidungku bersin-bersin.
Tomat dan Lada harusnya
berguna. Tapi aku malas membersihkan keduanya.
Wastafel di dapur tinggi
tempatnya.
Jadi bagaimana kalau tomat dan lada di dapurku
berdebu? Kubersihkan
dengan vacuum cleaner itu juga.
Bubuk lada itu terhisap begitu mudah. Biji, air dan
kulitnya terburai
keluar. Sudah kubilang kalau aku juga tak suka hal-hal
basah yang bisa
mengotorkan lantai, bukan?
AKU tidak tahu bagaimana semuanya terjadi. Ketika itu
aku masih bayi.
Ibulah yang menceritakannya padaku.
Aku pernah terjatuh dari pangkuan Ibu pada umur
sebelas bulan. Bibi
Anna lupa membersihkan lantai setelah kuah baksonya
terjatuh. Dan Ibu yang
terburu-buru mencari asbak untuk tamu Ayah pun
tergelincir. Aku dalam
gendongannya. Ibu berhasil meraih ujung meja makan
dan meraih
keseimbangan. Tapi aku terlepas dari gendongan.
Ada sebuah memar sebesar telapak tangan bayi

membekas di belakang
kepala.
Dan sebuah kantung darah di belakang telinga sebelah
kananku. Baru
setelah beberapa minggu aku dirawat di rumah sakit,
kantung aneh itu
berhasil dikempiskan.
Bila aku berbicara sekarang, orang perlu memintaku
mengucap
berkali-kali supaya mereka paham. Hanya kalau mau,
aku sudi melakukannya. Tapi
bila lagi enggan, aku biarkan saja mereka tidak paham.
Mengapa harus
membuat mereka mengerti? Mereka pun tak pernah
jelas bagiku.
Apa bedanya perkakas dan pajangan? Aku tahu
jawabnya. Perkakas dipakai,
tapi pajangan hanya diperlihatkan. Perkakas ditaruh di
dalam laci
supaya ruangan terlihat rapi. Tapi ada lemari khusus
untuk menyimpan
benda-benda pajangan.
Aku tak suka jadi pajangan. Aku tak ingin berada di
balik lemari kaca.
Aku ingin jadi perkakas, tapi yang tak harus
disembunyikan di laci-laci
penyimpanan. Meski Ibu punya kehendak lain. Ia ingin
aku jadi lampu
kamar. Ditempatkan di suatu sudut. Dibersihkan bila

berdebu. Dan hanya


dinyalakan pada waktu gelap saja.
Bila kami berada di udara terbuka, Ibu sangat
berlebihan menjagaiku.
Menyuruhku untuk selalu tetap di sudut suatu tempat.
Tak boleh bergabung
dengan teman-teman lain. Aku sangat ingin bisa ikut
bermain. Tapi bila
di rumah cuma kami berdua saja, Ibu kerap menatapku
dengan perasaan tak
nyaman. Kau bikin aku lelah saja. Begitu berkali-kali
ucapnya.
Padahal aku tak pernah ingin melelahkan Ibu. Untuk
menyenangkannya,
kuikuti saja semua yang diperintahkannya. Aku ingin
membuat Ibu sayang
padaku.
Ibu tak suka melihatku bicara dengan orang asing.
Maka aku diam saja.
Meski banyak Ibu dari teman-teman sekolahku yang
kadang menawariku
berbagai kembang gula atau makanan ringan.
Aku tak pernah memilih sendiri pakaian yang hendak
kupakai. Kubiarkan
Ibu berbelanja untuk dirinya, meski yang dia lakukan
adalah membeli
pakaianku.
Dan kadang setelah ia memandikanku, terjadilah hal
kecil antara Ayah

dan Ibu. Tak cukup satu jam mereka menyelesaikan hal


Itu. Dan aku tetap
di sudut itu. Kedinginan sambil telanjang. Menunggu Ibu
yang lupa datang
dan mengenakan pakaian ke tubuhku. Aku hanya tak
ingin membuat Ibu
lelah.
Dan aku kadang juga lelah. Badanku akan lemas dan
menggigil. Tapi yang
paling berat adalah kepalaku. Bila aku lelah, kepalaku
seperti hendak
pecah. Aku tak suka mendengar keributan. Sebab
keributan membuatku panik
dan tegang. Itulah pembuat lelah yang terbesar.
TAPI kini ruang makan itu telah sepi. Dengung vacuum
cleanerku juga
sudah tak terdengar lagi. Pecahan kaca gelas dan
piring telah mengungsi ke
suatu tempat di belakang tabung plastik keras vacuum
cleaner. Tapi
kemanakah Ibu dan Ayah? Rasanya tadi mereka
berada di sana.
Ah, mungkin mereka telah menyelesaikan urusan dan
kini telah tidur
kembali. Tak terdengar lagi suara pertengkaran
mereka yang hampir terjadi
setiap hari. Kalau mereka bangun besok pagi, mereka
pasti bangga dengan
apa yang telah kulakukan. Malam ini aku berhasil

membersihkan ruang
makan. Menghilangkan pecahan kaca piring dan gelas
yang bikin ruang makan
berantakan. Menyedot taburan lada dan tomat terburai
yang mengotori
lantai.
Jarum jam pendek di dinding menunjuk angka dua.
Jarum panjangnya
menunjuk angka empat. Tapi kenapa tabung
penyimpan debu dan kotoran vacuum
cleaner-ku terlihat bergerak-gerak? Ah, pasti cuma aku
yang salah lihat.
Tapi sudahlah. Jam enam pagi besok, Ibu akan
menjambak leher baju
tidurku dan menyeretku ke kamar mandi. Menyiram
kepala dan badanku.
Menggosok Perutku. Jangan kencang-kencang
menggosok bagian belakang telingaku,
Ibu... Perutku kerap mual kalau kepala dan telingaku
kesakitan. Aku
sering lupa pada banyak hal. Dan tentu saja, seperti
yang sudah kubilang
pada kalian, aku selalu kesulitan mengucap dengan
jelas apa yang ingin
kukatakan.
Ah, kalau begitu, baiknya aku tak boleh lama-lama di
ruang makan ini.
Aku harus segera tidur lagi.
BELUM ada tangan yang menarik kerah leher baju

tidurku. Sinar matahari


terlihat sudah menembus tirai kamar jendela, padahal.
Ah, aku pasti
lupa lagi. Mungkin hari ini tanggal merah.. Ibu kadang
membiarkanku terus
tidur bila hari libur. Dan aku meneruskan tidurku. Mimpi
itu melintas
lagi.
Aku di sana. Reno di sana. Teman-temanku di sana.
Sebuah taman yang
luas dengan rumput hijau tinggi-tinggi. Aku suka Reno.
Dia suka membawa
harmonika kecil ke sekolah. Kalau waktu istirahat
datang, ia memainkannya
dan membiarkan aku mendengarkannya.
Reno sedang memainkan harmonikanya di taman itu.
Sebagian anak-anak
bersama ibu guru melihat-lihat aneka tanaman.
Sebagian lagi berlari-lari
saling kejar. Terguling-guling di antara rerumputan. Tapi
tiba-tiba
suara itu datang. Teramat gaduh. Membuat telingaku
sakit.
Seseorang dari kejauhan terlihat membawa mesin
pemotong rumput. Ia
memakai topeng. Masker, tepatnya. Pakaiannya
berwarna oranye seperti para
pekerja pembersih jalan. Di tangannya, alat pemotong
bergerigi tajam itu

bergerak, berdenging tak henti. Dan orang bermasker


itu tak juga
menyapukan ujung geirigi pemotongnya ke permukaan
rumput. Ia mendekat. Suara
mesin pemotong semakin keras. Anak-anak menutup
kupingnya.
Aku menekankan kedua tanganku di telinga rapatrapat. Tapi suara itu
seperti lintah yang bisa menipiskan bentuknya dan
menyusup terus ke
telingaku. Kepalaku sakit. Sangat sakit. Aku berteriak
memanggil nama Bu
guru. Tapi kulihat ia juga menutup kupingnya, tak bisa
mendengarku. Dan
ketika suara itu makin menyakitkan telingaku, aku
menjerit keras! Sangat
keras! Dan sekonyong kulihat bentuk lengking suaraku
sendiri. Putih
memanjang seperti asap berbentuk ular. Terus
membumbung. Menembus udara
dan menggapai langit.
"Sssh. Wellin! Wellin!" Sebuah suara lain terdengar.
Tapi tetap saja
bunyi mesin pemotong rumput itu yang makin kentara.
"Wellin! Wellin!" Aku mendengar kembali namaku
dipanggil di antara
denging mesin pemotong rumput. Tepatnya, teriakan itu
memanggilku. Aku
ingin bertanya siapa tapi tak bisa. Pandanganku

terpaku pada si pembawa


mesin pemotong rumput yang kini telah berdiri di
dekatku. Gerigi mata baja
pada mesin itu kini diayun-ayunkan si pemotong rumput
tepat di depanku.
Aku ingin berteriak dan memintanya untuk
menghentikan semua itu. Tapi
teriakanku tertahan di tenggorokan.
Si pemotong rumput aneh itu membuka maskernya dan
tersenyum ke arahku.
Bibirnya merah dan menerbitkan rasa pahit-asam yang
menakutkan.
"Ibbh...," akhirnya teriakanku keluar. Tapi ia, Ibuku, tak
peduli. Ia semakin
mendekatkan gerigi mata baja itu ke arah leherku.
"Wellin! Wellin!" suara itu kini terdengar berteriak lagi.
Dan,
"Plaaak!" Dua buah tamparan mengenai pipiku. Lalu
mataku terbuka.
"Ibhh... Ibbh." Maksudku, Ibu... Ibu... Tapi perempuan
bermata sipit
yang menatapku itu malah menangis dan kemudian
merangkulku. Membenamkan
wajahnya di leherku.
"Ibhh... Ibhh," Aku tetap memanggil Ibu. Sekonyong aku
merasa begitu
ngeri sekaligus juga sangat merindukan perempuan
yang selama ini selalu
ada bersamaku itu.

"Kamu baik-baik saja, kan?" Perempuan itu


mengangkat mukanya dari
leherku. Dengan tisu di kanan tangan Ia menghapus
airmatanya. "Aku Hermin,
Bibimu. Kamu ingat?" Perempuan itu bertanya.
"Ibhh... mannya?" aku bertanya pada perempuan itu, tak
peduli pada apa
yang dikatakannya. Tapi ia tak menjawab. Hanya
airmatanya saja yang
mengalir lagi. Aku heran mengapa dia menangis,
padahal aku tak melakukan
kesalahan. Ibu biasanya akan menangis kalau aku
melakukan hal yang
seharusnya tak boleh kulakukan. Tangan kananku
menggapai mencari-cari Don,
tas kecil dari kain kumal yang selalu ada di tempat
tidurku, yang berisi
mainan-mainan kecilku. Tapi Don tak ada. Dan sekilas
aku melihat sprei
itu. Selimut yang kupakai. Baju yang kukenakan. Aku
kaget. Aku langsung
berdiri dan menjerit. Ini bukan bajuku! Aku tidak berada
di tempat
tidurku! Ini bukan tempat tidurku!
"Wellin, Wellin, tenang...," perempuan itu dengan gugup
mencoba
meraihku.
Aku menjerit. "Ibbbh... Ibbh...," Tapi yang muncul dari

balik pintu
adalah seorang perempuan berbaju putih-putih dan
mengenakan topi putih.
"Wellin, Wellin tenang, ya," perempuan berbaju putihputih itu
mengucapkan kalimat yang sama dengan perempuan
bermata sipit. Mereka tak
mengerti, aku begitu panik. Ini bukan tempat tidurku. Ibu
akan marah kalau ia
tahu. Ini bukan kamarku. Tak ada gambar ikan di
tembok, tak ada lapis
warna biru, hijau dan bintik-bintik kuning. Dinding
kamarku kini
berwarna krem semua.
"Ibbh... ak maw Ibbhh..." Aku memang hanya
menginginkan Ibu.
"Hhm, sebentar ya. Suster tahu Wellin mau apa," kata
perempuan berbaju
putih-putih itu tersenyum. Rasanya senyum itu kukenal.
Aku jadi tenang.
Perempuan bermata sipit itu meraihku lagi. Kali ini aku
mendekat dan
mengikuti arahannya. Aku duduk lagi di atas kasur.
Suster itu
mengeluarkan sesuatu dari lemari di samping tempat
tidur. Benda itu berwarna biru,
berbentuk lonjong gemuk terbuat dari alumunium dan
plastik. Aku kenal
benda itu dan aku tersenyum.

"Wellin suka sekali vacuum cleaner ini, Tante Hermin."


Suster itu
tersenyum padaku. Dan aku pun beringsut. "Iyya..."
ucapku sambil tertawa.
Perempuan sipit itu membantuku turun dari tempat
tidur.
"Saya ambilkan susu buat Wellin dulu," suster itu bicara
pada perempuan
yang tadi disebut Tante Hermin. Aku tak peduli pada
apa yang mereka
perbincangkan. Aku hanya senang, aku melihat vacuum
cleaner itu lagi. Aku
memeluk benda biru itu. Dan aku mendekatkan
telingaku ke sana. Aku
tertawa girang.
"Wellin suka vacuum cleaner itu ya?" Perempuan itu
bertanya padaku.
Tapi aku tak peduli. Aku sedang senang sekarang. Jadi
aku tak peduli pada
sekitar. Dan aku tahu kenapa aku merasa senang.
Aku mendengar suara itu kembali. Suara orangtuaku.
Masih sama seperti
dulu. Mereka sedang bertengkar. Bertengkar di dalam
sana. Di dalam
tempat penyimpan debu vacuum cleaner itu. Tapi kini
aku tak harus mendengar
pertengkaran itu setiap hari. Aku hanya mendengarnya
kalau aku mau atau
tengah rindu saja. Rindu pada salah satu dari mereka.

Seperti saat ini.


Aku rindu akan Ibu.
Si Marong
Cerpen: Zen Hae
Sumber: Koran Tempo, Edisi 05/22/2005
KATA orang, tubuh yang tadi siang dimasukkan ke
liang lahat adalah tubuh Nenek. Sedangkan kuda berkulit
coklat kemerahan yang dengan setia menjaga makamnya
tidak diketahui apa namanya dan siapa pemiliknya.
Seorang pengantar jenazah mengatakan bahwa kuda itu
datang begitu saja setelah ia dan kawan-kawannya
meninggalkan permakaman selepas
zuhur. Di
permakaman itu memang biasa terjadi binatang-binatang
kesayangan menjaga makam tuan atau puannya yang
barusan mati hingga berhari-hari lamanya. Tetapi,
seingatku, Nenek tidak pernah memiliki binatang
kesayangan berupa kuda, kecuali seekor kucing belang
tiga.
Nenek hanya pernah melarikan seekor kuda dan itu
terjadi pada suatu malam sekitar sepuluh tahun silam.
Aku mesti menceritakan kisah ini meski kalian tidak
bisa mendapatkan seluruh kebenarannya dariku. Kalian
harus mencari sisanya pada lain orang. Semua ini penting
sebelum kalian memperebutkan kuda di makam
perempuan itu. Sebelum kalian terkutuk sebagai
segerombolan lelaki dungu dan menjadi bahan tertawaan
orang seluruh kampung. Bila nafsu serakah kalian nekat

mengabaikan peringatanku ini, kumohon tunggulah hingga


aku selesai berkisah. Setelah itu, silakan....
Kata Nenek, kuda yang ia larikan bernama si Marong.
Sebenarnya, kuda jantan berkulit coklat kemerahan itu
kuda kesayangan Kakek. Selain pemiliknya, tidak ada
orang yang boleh menaiki Si Marong. Tapi malam itu,
setelah bertengkar hebat dengan Kakek, Nenek melarikan
si Marong tanpa diketahui empunya. Nenek
mencongklangnya di bawah sinar bulan purnama, di antara
rindang rumpun bambu, menerobos malam yang membuat
tubuhnya seperti kelebat hantu. Sejak itu Nenek dinyatakan
hilang.
Kakek tidak berusaha mencari Nenek dan Si Marong.
Anak-anaknya--yang dikenal dengan sebutan "Lelaki Lima
Jari"--juga tidak. Tentang Si Marong, Kakek menjamin
bahwa pada suatu ketika kuda kesayangannya itu akan
kembali. Sedangkan tentang Nenek, Kakek memberi
penjelasan lebih panjang. Bahwa ia tidak pernah mengusir
Nenek, apalagi menalaknya. Jadi, ia tidak perlu mencari
Nenek dan memintanya kembali. Kalau Nenek mau
kembali, toh ia tahu jalan pulang dan pintu rumah tak
pernah dikunci untuknya. Tapi Nenek tidak pernah kembali
hingga Kakek meninggal lima tahun kemudian.
Kakek mati dengan wajah yang tidak terlampau
bahagia. Tujuh hari setelah itu seorang perempuan
memasuki permakaman dengan menunggang kuda jantan
berkulit coklat kemerahan. Apakah perempuan itu Nenek
dan kuda itu Si Marong? Tiga dari empat anak muda yang
sedang main kartu di pojok permakaman mengakui kalau

itu memang Nenek. Hanya satu yang menyangkal. "Gigi


depan Nenek tidak gompal dan pipinya tidak codet,"
begitu kilahnya. Empat anak muda itu juga membenarkan
kalau kuda itu Si Marong, meski mereka sama bertanya
tentang satu hal. "Kenapa ringkiknya jadi sember dan mirip
suara keledai?"
Empat anak muda itu kemudian mengucapkan selarik
kalimat, "Burung gelatik si ikan betok."
Dengan tatapan yang tetap lurus ke makam Kakek,
perempuan itu langsung menyambut, "Nenek cantik
teteknya montok."
"Tidak salah lagi, itu Nenek kita," anak-anak muda itu
berteriak kegirangan. Setelah itu mereka saling menelan
ludah yang serasa susu sapi segar. Kembali membantingbanting kartu sambil bersiul-siul. Riang dan penuh nafsu.
Perempuan yang dengan suara bulat diakui sebagai
Nenek itu kemudian jongkok di samping pusara Kakek. Ia
tidak berdoa apalagi menabur bunga sebagaimana
umumnya peziarah. "Lima tahun lalu aku hampir mati di
tanganmu," katanya, "lima tahun kemudian kau benarbenar mati bukan di tanganku. Tapi aku datang ke sini
tidak dengan ketololan dan kesedihan seorang perempuan
yang pernah kausiksa."
Cukup lama Nenek terdiam. Tiba-tiba ia merasa ada
seekor ulat bulu menjalari ujung lidahnya. Seluruh lidahnya
menjadi teramat gatal dan ia benar-benar ingin
mengatakan apa saja tentang Kakek. Tanpa kehilangan
girang hati yang serupa rasa mangga muda, Nenek
kemudian memaki-maki Kakek, bahkan dengan menyebut

sejumlah nama binatang dan perabotan dapur rusak.


Sebenarnya, Nenek hanya mengulang apa yang pernah
dikatakan Kakek semasa hidup. Nenek mengganti
sejumlah kata sehingga kalimat-kalimat itu kedengaran
sebagai miliknya sendiri. Setelah menggaruk-garuk pantat
Nenek bangkit dan menghampiri Si Marong yang
ditambatkan di sebatang kemboja. "Jaga dia baik-baik,"
kata Nenek.
Jika kuda itu manusia, maka ia akan menjawab,
"Baiklah, Nenek Bertetek Montok. Tapi kenapa kau
memeluk leherku keras sekali sehingga membuatku
tercekik."
Bila Nenek seekor kuda betina, mungkin ia akan
mengendus-endus moncong si Marong. Meringkik
beberapa kali sebelum pergi.
DARI makam, Nenek tidak langsung ke rumah yang
pernah ditempatinya bersama Kakek. Ia lebih dulu
mendatangi seorang lelaki yang bertugas memandikan
jenazah Kakek. Lelaki dengan wajah separuh terang
separuh gelap dan sesekali nyengir seperti Si Marong.
Saat pertama kali menatap Nenek lelaki itu langsung
menelan ludah.
"Apa yang sebenarnya membikin si tua bangka itu
mati?" tanya Nenek.
"Di malam kelahiran Nabi kita, tiga lelaki hitam
bersepatu putih menerobos kamar suamimu," Si Pemandi
Jenazah membuka cerita. "Tiga lelaki hitam bersepatu
putih itu tidak mengambil satu pun harta benda suamimu,
kecuali menanyakan ke mana kau membawa lari Si

Marong. Tetangga-tetangga kemudian mendengar


suamimu meneriakkan sesuatu dan tiga lelaki hitam
bersepatu putih itu kalap. Tiga lelaki hitam bersepatu putih
itu kemudian menyeret suamimu ke altar batu merah di
belakang rumah dan menyembelihnya di sana.
Tenggorokannya seperti selang putus."
"Di malam kematian Nabi kita, aku bermimpi si tua
bangka itu memakai jubah merah dan sepatu putih. Ia
menari di atas altar batu hitam, entah di mana. Si Marong
meringkik terus-menerus dan menjentil-jentilkan kakinya
hingga aku terbangun menjelang fajar. Mungkin ia melihat
arwah tuannya lewat."
"Sekarang di mana kausembunyikan Si Marong?"
"Sudah kukembalikan kepada tuannya."
"Orang mati tidak lagi butuh kuda."
"Siapa bilang? Orang mati justru lebih membutuhkan
kuda ketimbang kita yang masih hidup. Terutama untuk
melintasi jembatan yang katanya seperti rambut dibelah
tujuh. Atau untuk lari dari malaikat penjaga kubur jika
mereka marah-marah."
"Jangan mengolok-olok orang mati. Berdosa
mempermainkan malaikat."
"Di masa hidupnya si tua bangka itu mengolok-olok
orang mati dan orang hidup. Bahkan, dia pernah menyiksa
kucing kesayanganku hingga mampus."
"Kalian tidak pernah bosan menjadi anak kecil.
Berhentilah saling bermusuhan. Maafkan dia dan doakan
agar arwahnya tenang di alam baka."
"Aku selalu berusaha memaafkannya meski tidak

pernah bisa. Sejak dia melewati pertarungan terakhirnya


dengan susah payah. Namun, setelah bertarung
semalaman dia berhasil menghabisi musuh utamanya,
ayahku sendiri, dan membawa lari aku. Di malam ulang
tahunku yang ke-19 dia merenggut keperawananku."
"Oohh..."
Si Pemandi Jenazah kembali menelan ludah. Ia ingin
mengenang masa-masa paling nikmat dalam hidupnya.
Tapi mata Nenek yang serupa bara kayu asam jawa
mengurungkan niatnya. Sebagai gantinya, lelaki itu
bercerita tentang anak-anak Kakek yang bertengkar hebat
soal harta warisan. Mereka sudah bertengkar sebelum
darah dari luka Kakek mengering. "Tidak seperti Nabi kita,
mereka kelewat bernafsu pada harta dan dunia," kata
lelaki itu.
"Sudah kuduga," balas Nenek. "Mereka gerombolan
semut api yang mengepung bangkai seekor ayam jago."
"Kau harus menyiram gerombolan semut itu dengan
minyak tanah sebelum mereka menggasak habis bangkai
ayam jago dan merajalela ke seluruh kampung."
"Semut-semut api memang selalu menyusahkan yang
mati dan yang hidup, tetapi aku tidak akan menumpas
mereka. Toh ada pemangsa lain yang bakal menghabisi
mereka. Kata orang, itu semacam rantai makanan."
"Aku sungguh tidak mengerti jalan pikiranmu."
"Aku sungguh sangat mengerti jalan pikiranmu," kata
Nenek setelah lelaki itu menelan ludah untuk ketiga kalinya.
"Sekali waktu kau harus memandikan mayat seorang
perempuan."

Sebelum Nenek benar-benar pergi Si Pemandi


Jenazah sempat pula mengucap kalau jalan ke rumah
Kakek sudah berubah. Tidak lagi dengan lima tikungan,
dua ke kiri tiga ke kanan, tetapi lurus beraspal dengan
tiang-tiang listrik dari beton. Ada gardu ronda berwarna
merah di depan rumahnya. Lengkap dengan gambar
kepalan tangan kanan mengacung di dindingnya. "Anakanak suamimu mulai suka menyanyikan lagu-lagu
perjuangan," tambah lelaki itu.
RUMAH Kakek memang sudah ditongkrongi oleh
Lelaki Lima Jari. Ketika Nenek tiba mereka sedang
berkumpul di ruang tengah. Wajah mereka mengambang
di antara genangan asap rokok. Kata Nenek, tak ada yang
lebih membikin perut mual selain menyaksikan mereka
berdebat. Lidah mereka yang setajam paku karat akan
saling menusuk dan membelit--karena itu aksi mereka
kemudian disebut "bersilat lidah". Suara mereka melebihi
kaing anjing, bergema hingga ke tebing-tebing batu di
ujung kampung. Mulut mereka tak henti-henti membikin
gerimis. "Jika lima jari bersatu, sebuah kepalan lahir.
Tembok mercusuar sekalipun bakal hancur," kata si
Jempol dengan gaya seorang pemimpin partai gurem.
Namun, di mata Nenek, mereka tak ubahnya kaum
gerombolan yang sedang merancang aksi penggarongan.
Dalam kisah-kisah petualangan yang pernah dituturkan
ayahnya, Nenek mengakui begitulah keyakinan setiap
anggota gerombolan. Seakan-akan mereka adalah orangorang pilihan yang dilahirkan di malam keramat dan
bertugas membangun sorga di bumi. Lantas mereka akan

melakukan tindakan-tindakan nekat, bahkan tidak masuk


akal, dan akan selalu dikenang oleh anak-cucu mereka
dengan rasa bangga yang senantiasa berlebih-lebihan.
"Aku tahu kehadiranku mengganggu kalian. Tapi
izinkan aku unjuk omong dalam pertemuan ini. Walau tidak
pernah melahirkan kalian, aku pernah selama 19 tahun
menjadi istri almarhum. Meski aku juga punya hak atas
warisannya, aku tidak akan menagih sepeser pun. Biarlah
kalian saja yang berbagi. Aku kemari hanya untuk
berpamitan dan tidak akan kembali lagi ke rumah ini.
Terimakasih untuk tahun-tahun yang membuatku tabah,
untuk seekor kuda yang baik hati. Cepat ambil Si Marong
di kuburan jika kalian tidak ingin kehilangan warisan
terpenting," kata Nenek.
"Oh, sebagaimana kata ayah kita, akhirnya kembali
juga warisan yang kita cari-cari selama ini," kata Si
Telunjuk.
"Kita tidak perlu lagi memaksa...," tambah Si
Kelingking.
"Ya, kita tidak perlu lagi menyatroni kampung-kampung
untuk mencarinya," Si Jempol memotong.
"Tapi si Marong hanya seekor, sedangkan kita
berlima?" kata Si Jari Manis.
"Sebagai saudara tertua, akulah yang paling berhak
atas Si Marong," kata Si Jempol.
"Bukankah kau mendapat bagian warisan paling
banyak? Kenapa pula masih menginginkan Si Marong,"
sergah Si Jari Tengah.
"Aku bukan hanya paling tua tetapi juga pemimpin

kalian, pengganti ayah," suara Si Jempol menggetarkan


piring dan gelas di atas meja.
Mulut empat lelaki itu kontan terkunci. Nenek
menyeringai, menampakkan gigi depannya yang gompal.
Si Jempol menyeruput sisa kopi.
Diam-diam Nenek menyingkir dengan alasan ingin
kencing di kamar mandi di belakang rumah. Sebenarnya,
Nenek ingin segera sampai ke altar batu merah yang
terletak empat langkah dari lubang sumur. Tumpahan
darah di altar yang disebut-sebut sebagai tempat
penyembelihan suaminya itu sudah dibersihkan dan bunga
warna-warni di atasnya mulai berwarna seragam:
kecoklatan. Tetapi Nenek masih bisa mencium aroma
kematian yang penuh tanda tanya di situ. Bagaimana
mungkin seorang petarung tangguh semacam Kakek bisa
tidak berdaya menghadapi tiga lelaki hitam bersepatu
putih? Bukankah di pertarungan pamungkasnya dulu ia
menghabisi puluhan petarung sebelum akhirnya melarikan
Nenek yang masih belia di atas punggung Si Marong?
Apakah memang malam kelahiran dan kematian Nabi
adalah saat apes seorang jawara seperti Kakek? Sejak
kapan jalan setapak di bawah rimbun rumpun bambu itu
penuh tahi kuda?
Nenek membiarkan pertanyaan itu berputar-putar di
kepalanya seperti angin puyuh. Langkahnya ikut-ikutan
sempoyongan. Arah mata angin di sekelilingnya seperti
bertukar-tukar tempat. Matahari seperti akan terbenam di
pangkal pohon jamblang dan sungai kecil yang dilewatinya
seakan-akan bermuara di comberan dan sekawanan

burung pipit yang terbang rendah terlihat meledak di


kandang kambing. Lantas kembang api warna-warni
meletus di antara pepucuk pohon pisang. Namun, ia
sampai juga di sebuah warung kopi.
SEMENTARA di ruang tengah rumah Kakek
perdebatan masih berlangsung dan Lelaki Lima Jari belum
sepakat tentang siapa yang berhak menunggangi Si
Marong. Akhirnya mereka berangkat ke permakaman.
Mereka ingin sekali melihat kuda yang sudah lima tahun
mereka cari-cari dan membuat mereka saling memaki
tanpa belas kasihan. Namun, di permakaman kini sudah
ada lima ekor kuda jantan dengan kulit coklat kemerahan.
Bentuk tubuh mereka sama persis. Ringkikan mereka sulit
dibedakan satu sama lain.
Apakah semua itu Si Marong?
Empat anak muda di pojok permakaman itu sudah
tidak ambil peduli. Mereka sedang mabuk oleh sejerigen
minuman keras oplosan. "Burung gelatik si ikan
betoookkk...ooooohhhh...."
Mengapa ada lima ekor kuda yang sama persis di
makam Kakek?
Teka-teki ini belum pernah terjawab hingga kukisahkan
cerita ini. Di kampung itu memang ada orang yang bisa
menggandakan uang dan barang perhiasan dan
kehebatannya tersebar ke seluruh kampung. Tetapi belum
pernah terbukti kalau ia bisa menggandakan binatang
ternak, atau hewan kesayangan seperti Si Marong.
Memang pernah ada beberapa orang yang menjadi babi
untuk mendapatkan kekayaan. Atau menjadi seekor tikus

got hanya untuk mengintip seorang perempuan mandi.


Tetapi belum pernah ada yang mau menjadi kuda hanya
untuk diperebutkan oleh lima lelaki sinting. Hampir semua
orang di kampung itu percaya pada sebuah kisah kitab
suci bahwa dahulu kala pernah hidup sekelompok umat
yang dikutuk menjadi monyet lantaran melanggar larangan
Tuhan. Tetapi untuk apa Tuhan mengutuk manusia menjadi
kuda? Mungkin kalian akan menduga Neneklah yang
menggandakan Si Marong? Kalian akan kecewa. Alih-alih
menjawab pertanyaan ini, Nenek malah memberikan tekateki baru.
"Yang asli akan abadi. Yang palsu bakal hancur seperti
debu. Ada kuda bawa bendera." Hanya itu yang dikatakan
Nenek kepada orang-orang di warung kopi sebelum ia
pergi.
HINGGA aku pergi ke kota dan tidak pernah lagi
bertemu dengannya, bahkan dengan ketika ia mati
sekalipun, Nenek tidak pernah mau beterus terang kenapa
ia meninggalkan sepenggal teka-teki di makam Kakek dan
di warung kopi. Yang jelas, kalimat Nenek itu membuat
para penjudi bergairah dan mereka tak henti-hentinya
berdebat untuk membuat tafsiran yang paling jitu.
"Ini bukan syair para penjudi," kata satu di antara
mereka.
"Hanya omongan orang sinting," ujar yang lain.
"Kosong."
"Kau jangan salah. Orang seperti itu banyak menolong
kita," kata penjudi yang sejak awal diam. "Kita tidak boleh
menghinanya."

"Berkali-kali aku pasang kuda dan tesyen-nya, tapi


tidak pernah keluar," bantah yang lain lagi.
"Jadi penjudi mesti sabar. Aku yakin ada sesuatu di
balik kalimat itu, tapi hingga kini aku memang belum bisa
menyibakkan maknanya."
Sementara di tengah permakaman, anak-anak Kakek
juga tak henti-hentinya berdebat. Terutama soal asal-usul
lima ekor kuda itu dan manakah Si Marong yang asli mana
pula yang palsu. Mereka ingin bertanya pada Nenek, tetapi
yang dimaksud sudah pergi entah ke mana.
"Perempuan itu sudah mengerjai kita," kata Si
Kelingking sambil meludah berkali-kali.
"Aku sendiri sangsi apakah dia memang benar-benar
istri ayah kita. Jangan-jangan, dia orang lain yang dikirim
musuh-musuh kita dan menyamar sebagai istri ayah kita,"
tambah Si Jari Tengah.
"Kalau dia kiriman musuh kita kenapa dia tidak
langsung membunuh kita saja?" sergah Si Jari Manis.
"Bisa jadi dia tidak mau membunuh kita dan hanya
kepingin mempermalukan kita," balas Si Jari Tengah.
"Kita harus waspada terhadap berbagai kemungkinan.
Semangat, semangat...," kata Si Jempol.
"Kita tetap harus mencari Si Marong yang asli, sebab
itulah warisan terpenting ayah kita," kata Si Kelingking.
"Kita sudah mengobrak-abrik seluruh kampung dan
menyatroni setiap pemilik kuda, tetapi hasilnya nihil," kata
Si Jari Manis.
"Kita harus mewaspadai semua perempuan berusia
sekitar 40 tahun. Terutama yang gigi depannya gompal

dan pipinya codet," kata Si Jempol.


"Kita harus meringkus istri ayah yang asli dan
memberinya
pelajaran berharga
sebab
sudah
mempermainkan lima kesatria sejati," tambah Si Telunjuk.
"Ya, inilah akibatnya kalau kita tidak dekat dengan ayah
dan istri barunya," kata Si Jari Manis. "Kita tidak benarbenar mengenal paras dan tingkahnya."
"Bagaimana kita mau dekat dengan ayah, jika sejak
mengawini perempuan itu dia meninggalkan kita dan
membiarkan ibu mati tanpa kasih sayang," kata Si
Telunjuk.
"Sudah, sudah," kata Si Jempol. "Jangan ungkit-ungkit
lagi masa sulit itu. Untuk sementara cukuplah kuda-kuda
ini. Mencari Si Marong yang asli tetap penting. Tetapi yang
jauh lebih penting adalah perjuangan kita. Ingat..."
"Jika lima jari bersatu, sebuah kepalan lahir. Tembok
mercusuar sekalipun bakal hancur," sambut Si Kelingking.
"Yuhuuuu!" balas yang lain sambil mengepalkan tangan
ke udara.
"Senantiasa kuda-kuda adalah sahabat sejati para
kesatria," kata si Jempol.
"Yuhuuuu!"
Sejak itu kelima anak Kakek kerap kali menunggangi
lima kuda berwarna coklat kemerahan. Mereka sama
menyebutnya Si Marong. Setiap menjelang senja mereka
berkeliling kampung sambil menyanyikan larik-larik berikut
ini: "<I>Jika lima jari bersatu, sebuah kepalan lahir.
Tembok mercusuar sekalipun bakal hancur. Yuhuuuu...<I>"
Si Jempol berjalan paling depan dan memegang sebatang

tongkat dengan bendera besar di ujungnya. Merah dan ada


gambar kepalan tangan kanan mengacung berwarna
keemasan. Yang lain mengacung-acungkan pedang dan
golok ke udara. Sementara anak-anak kecil mengikuti
mereka dari belakang. Ikut bernyanyi dan mengacungacungkan pedang-pedangan dari bambu.
Yuhuuuu...
Meruya Utara, April 2005
Penjaga Bioskop
Cerpen: Ugoran Prasad
Sumber: Koran Tempo, Edisi 05/15/2005
INI malam yang istimewa bagi Rusdi. Begitu istimewa
sehingga ia membersihkan dirinya. Baginya, ada sesuatu
yang akan segera berakhir, dan mungkin tidak akan ada
lagi yang bermula. Sudah terlalu tua baginya untuk memulai
sesuatu yang lain.
Ketika film diputar, Rusdi menyelinap ke kamarnya di
belakang gedung bioskop. Setelah mandi dan menggosok
tubuhnya dengan batu kali sehingga kulit kakinya yang tua
terluka, Rusdi mengenakan pakaiannya yang terbaik,
mematut dirinya di depan cermin, menyemprotkan
wewangian, dan menyisir rambutnya yang mulai putihmenipis, berulang kali.
Rusdi mengambil selembar foto yang terselip di ujung
cerminnya. Foto itu dipotongnya dari sebuah majalah,
puluhan tahun yang lalu, setelah mendapati wajah itu
serupa benar dengan Maria. Malam ini Rusdi mengecup

potongan majalah itu dengan sepenuh kasih sayang.


Sambil menatap sepasang mata Maria, ia berbisik.
Suaranya serak, hampir seperti tercekik. Ia merasa sepi.
Besok, gedung bioskop ini tidak ada lagi. Lalu, beberapa
hari lagi, traktor-traktor besar akan meruntuhkannya.
Ia menyisir rambutnya sekali lagi.
Rusdi keluar dari kamarnya dengan perasaan tak
menentu. Ia pikir upacara kecil tadi bisa membuat hatinya
lebih tenang. Di dalam gedung, pemutaran film belum
selesai. Belasan orang duduk tanpa suara, sebagian
terpaku, sebagian lain jatuh tertidur. Rusdi, menatap ke
arah layar yang memantulkan sinar kebiruan, merasa
sesuatu menggembung di pipinya. Seekor burung gereja
yang melintas di atas kepalanya membuatnya urung
menangis.
Menahan resah, Rusdi duduk di salah satu kursi paling
pinggir. Tidak ada penonton di deret itu. Mungkin karena
terlalu rendah, lima atau enam baris dari kursi paling
depan. Gedung ini punya 478 kursi, pada 22 deret yang
masing-masing berkisar antara 19-25 kursi. Seharusnya
bisa lebih. Lima belas tahun yang lalu jumlahnya tepat 500.
Kursi-kursi yang rusak itu menurut majikan Rusdi tidak
perlu diganti. Percuma. Penonton tidak akan pernah
memenuhi bioskop ini. Tidak seperti dulu.
SEKALIPUN bukan tak pernah ia mencoba menerima
keadaan yang sesungguhnya, Rusdi akan selalu ingat
malam pembukaan bioskop itu. Kadang hal itu seperti baru
saja terjadi kemarin. Itulah malam ketika ia ditakdirkan
bertemu Maria. Malam ketika orang-orang mengenakan

pakaian terbaik. Para suami berbatik atau berbeskap,


para istri berkebaya lengkap. Para lelaki muda
mengenakan jas atau kemeja tersetrika rapi. Para
perempuan muda memolesi bibir dengan lipstik. Bupati
dan seluruh pejabat kota datang. Juga seluruh camat dan
lurah, lengkap dengan para istri. Sebelumnya, penduduk
kota itu harus menempuh tiga jam perjalanan ke ibu kota
propinsi sekedar untuk menonton bioskop. Mulai malam
itu, di sisi alun-alun kota, bioskop baru sudah dibuka.
Umur Rusdi 24 saat itu dan ia tak bisa mengingat
bagaimana hidup sebelumnya. Samar-samar ia ingat, ia
pernah tertangkap-basah mencuri di toko kelontong. Ia
ingat, ia menunduk melindungi tubuhnya ketika dipukuli
beramai-ramai oleh beberapa anak muda berandalan. Ia
tidak bisa membedakan wajah pemukulnya: semua anak
muda itu punya tato tahi lalat di dagu, seperti Rano Karno.
Begitu samarnya sehingga kini ia terlanjur curiga bahwa
kenangan itu dikutipnya dari sebuah film entah berjudul
apa.
Lalu ia bekerja dengan upah secukupnya ketika gedung
itu di bangun. Tak tahu gedung apa itu, ia hanya bertugas
jaga malam. Tugas yang tidak dimaui seorang pun. Di
tanah itu semula berdiri sebuah rumah tua sepasang
suami-istri Belanda-Jawa dan tiga orang anak mereka.
Keluarga itu tewas terbakar di situ dan dikuburkan di
halaman belakang. Kabarnya pada saat makam dibongkar
dan dipindahkan ke pekuburan umum, tulang-belulang
keluarga itu tidak diperlakukan sebagaimana mestinya.
Harta benda mereka yang tersisa di rumah tua itu pun raib

entah ke mana. Seluruh orang yang terlibat membongkar


rumah dan kuburan itu mati hampir secara berurutan.
Namun Rusdi muda merasa tidak takut. Guru
mengajinya dulu berkata bahwa ia tidak perlu takut. Ia
tinggal di dekat gudang semen dan alat-alat pertukangan.
Di antara para buruh bangunan ia disegani karena
dianggap orang berisi. Rusdi tidak membantahnya,
sekalipun setiap malam sesungguhnya tidurnya nyenyak
sekali. Orang-orang sudah terlanjur termakan cerita hantu,
siapa pula yang berani mencuri.
Majikannya saat itu orang baik. Ketika pembangunan
rampung, Rusdi tetap diminta tinggal dan bekerja untuknya.
Sekalipun Rusdi tak tahu apa-apa mengenai bioskop, ia
tak bertanya apapun. Suatu malam, ketika gedung itu
dicoba, Rusdi merasa menemukan keajaiban. Tidak hentihentinya ia mengagumi proyektor yang mengilat dan
bersih. Mesin itu mengeluarkan suara putaran yang
menyenangkan hatinya dan memancarkan sinar yang
begitu terang. Rusdi tidak percaya dengan apa yang
dilihatnya: ada orang sungguhan yang bergerak di layar,
bersuara, menari. Kalau tidak menahan diri, Rusdi mungkin
sudah berlari ke arah layar dan menyentuh sosok-sosok itu.
Petugas proyektor lalu menerangkan padanya tentang
film. Ia seperti mendengar dunia ajaib. Seseorang pernah
bercerita padanya tentang pesawat terbang, tapi yang ini
lebih dari sekedar cerita. Ia benar-benar menyaksikannya.
PEMUTARAN baru saja selesai. Di layar muncul tulisan
"sampai berjumpa lagi". Lampu di dalam gedung
dihidupkan petugas proyektor. Rusdi tersentak, lalu

bergegas ke arah pintu keluar, membukanya, lalu berdiri di


tepi dan menunggu. Belasan penonton berjalan perlahan
keluar, tidak menunjukkan wajah gembira atau sedih
seperti dulu. Mungkin juga tidak ada seorang pun tahu
bahwa inilah malam terakhir bioskop. Tidak ada yang
menegurnya, memberikan simpati atau semacamnya.
Imran, yang dua tahun terakhir bekerja sebagai petugas
proyektor, turun dengan wajah kusam. Mengusung karung
dan tas tangan, ia menyalami Rusdi dan tak mengatakan
apapun. Keduanya hanya saling mengenal nama, tak lebih.
Rusdi melihat laki-laki itu menjauh. Ia dengar dari si
penjaga kedai, Imran berencana pindah kota.
Di kedai depan orang-orang masih duduk berkumpul.
Sebentar lagi akan lebih banyak botol-botol minuman
berserakan dan beberapa orang akan mulai beradu-mulut.
Perjudian kecil akan semakin ramai dan perkelahian bisa
setiap saat terjadi. Lebih baik Rusdi menghindar,
menghadapi kegagalan hidupnya dengan berani, seorang
diri. Ia memandang sekeliling sekali lagi. Puluhan tahun ini,
Maria tidak datang lagi.
Ia mengenal Maria di malam pembukaan. Perempuan
itu datang sendiri dan tampak kebingungan mencari
tempat duduk. Rusdi semula mengira ada seseorang yang
sedang ditunggunya. Tak mungkin orang secantik dia
datang sendiri. Rusdi mengantarnya ke salah satu tempat
duduk yang belum terisi dan kalimat terimakasih dari mulut
kecil Maria terdengar sungguh-sungguh. Sepanjang
pemutaran ada sesuatu yang membuat Rusdi tergerak
untuk melintas di dekat perempuan itu. Kalau-kalau

perempuan itu membutuhkan sesuatu.


Pada waktu jeda 10 menit, penonton keluar dari
gedung. Sebagian berkerumun di kedai, sebagian yang
lain ke kamar kecil. Rusdi menemukan Maria di tempat
duduknya. Wajahnya tampak bingung dan Rusdi bertanya
apa yang bisa dibantunya. Agak terbata-bata perempuan
itu menjawabnya, mengatakan bahwa baru saja seekor
burung gereja menabraknya. Mendengar jawaban yang
mengada-ada itu, Rusdi mengira perempuan itu
sebenarnya hanya sedang takut sendirian. Sesudah itu
mereka saling bertukar nama. Maria mengaku film
membuat hatinya sangat senang dan besok-besok ia
berjanji datang lagi.
Sejak malam itu Maria selalu terbayang-bayang di
kepalanya. Setiap malam Rusdi pasti menunggu, berdiri di
depan pintu masuk, menyobek karcis penonton sambil
berharap penonton berikut yang menyodorkan tangannya
adalah Maria. Jika Maria tidak datang, ia membesarbesarkan hatinya; besok masih ada dan gedung bisokop
itu tidak ke mana-mana. Malam-malam di kamarnya yang
dingin, Rusdi berangkat tidur sambil berharap
memimpikannya.
Hanya film yang bisa meredakan kegundahannya. Ia tak
seperti Marni dan suaminya, penjaga kedai di depan
bioskop, yang mengaku sudah bosan. Atau seperti Usman,
tukang parkir yang yakin benar dengan gunjing orangorang bahwa bioskop itu berhantu. Bagi Rusdi, film tak
mungkin dikalahkan hantu atau rasa bosan. Ia tak pernah
habis pikir bagaimana beberapa tahun bisa berlangsung

dalam dua jam, dan bagaimana bocah bisa tumbuh


menjadi tua dalam sepuluh menit. Bagaimana pula tokoh
jahat, Farouk Afero, bisa mati berkali-kali dan hidup lagi
dan lagi. Ia tahu itu semua itu trik kamera, begitu istilahnya.
Seseorang bisa saja pura-pura mati dengan mencipratkan
obat merah di kemeja. Tapi si Farouk Afero sungguh
pernah mati terlempar ke jurang. Padahal sungguh ia
berharap, lelaki itu benar-benar mati agar tidak lagi
menyakiti Yati Octavia atau Lenny Marlina.
Tak jarang jika ia melihat bintang-bintang film
perempuan yang sengsara, ia ingat Maria. Sebab
perempuan itu juga menampakkan wajah cemas memelas.
Begitu rapuh ia sehingga setiap laki-laki baik-baik pasti
ingin melindunginya. Ia curiga jangan-jangan hidup Maria
juga dikelilingi orang-orang seperti Farouk Afero yang tega
menyiksa dan memperkosa.
Ia sebenarnya menyesal mengapa ia tidak segera
bertanya pada malam itu di mana Maria tinggal.
Berkenalan dengannya sudah lebih dari sekedar
menyenangkan, sehingga pikiran Rusdi berhenti bekerja. Ia
tidak pernah membayangkan bahwa Maria akan begitu
sulit untuk datang ke bioskop ini lagi.
Penting bagi Rusdi bahwa Lenny Marlina akan
mengalahkan Farouk Afero, agar ia tetap dapat berharap.
Setiap derita harus berakhir, demikian juga halnya yang
menimpa Maria. Tahun-tahun berlalu, dan harapan yang
terus dipeliharanya membuat ia selalu melihat Maria di
setiap film yang berakhir bahagia.
Ia bahkan tidak lagi melihat Lenny Marlina, Yati Octavia,

Jenny Rahman, atau Christine Hakim. Ia melihat Maria dan


hanya Maria, seorang diri berhadapan dengan Farouk dan
kaumnya, para lelaki bangsat. Sementara pada laki-laki
semacam Rano Karno, Rhoma Irama, dan Roy Marten,
diam-diam Rusdi melihat dirinya. Ia tahu ia tidak setampan
itu tapi ia sama baiknya dengan mereka. Dan seperti
mereka, namanya juga diawali huruf R. Seperti juga Ratno
Timur sebagai Si Buta, atau bahkan Slamet Raharjo,
sekalipun tidak tepat di awal namanya. Semua tokoh lakilaki baik memiliki nama yang diawali huruf R, seperti
Romeo.
Rusdi mengunci pintu depan bioskop dari dalam,
memejamkan mata tuanya dan berharap ia menghilang.
Bertahun-tahun mereka yang tinggal di gedung ini bersaksi
bahwa hantu-hantu bersarang di sini. Sekalipun Rusdi
sering membantahnya, mengatakan berulang-ulang bahwa
tidak sekalipun ia melihat hantu atau merasa dihantui,
kabar ini tersebar lebih kuat dari apa yang dikiranya.
Apalagi karena beberapa tahun terakhir bioskop ini sepi,
bahkan di akhir pekan. Orang-orang lebih suka percaya
pada apa yang tidak bisa mereka buktikan, keluh Rusdi
pada majikannya. Si majikan tersinggung karena
sebelumnya ia meminta Rusdi mencari dukun pengusir
hantu.
Satu-satunya yang mungkin diusir dari gedung ini
adalah burung-burung. Mereka bersarang di gedung ini.
Rusdi sering mengeluh, mengatakan bahwa setiap hari
kotoran burung gereja begitu banyaknya sehingga perlu
setengah-siang untuk membersikannya.

Pada suatu hari satu atau dua tahun yang lalu seorang
perempuan asing, entah dari Cina atau Jepang yang
mengaku sebagai pengamat burung, pernah datang ke
bioskop. Dalam bahasa yang terbata-bata ia menyatakan
keheranannya: ia bercerita bahwa ia telah mengamati
seluruh kota ini dan menyimpulkan bahwa habitat burung
gereja sudah rusak karena polusi, kecuali di gedung ini.
Bagi Rusdi, perempuan itu pun tak bisa mengusir burungburung. Beberapa hari ia hanya menyodor-nyodorkan
mikrofon perekamnya ke seluruh sudut gedung. Ia tidak
pernah membantu Rusdi membersihkan kotoran burung.
Selain perempuan Cina itu, tidak ada yang peduli.
Marni atau suaminya hanya sesekali menyinggung perkara
burung-burung ini. Itupun lebih sering dalam bentuk
sindiran. Mereka baru tampak bersungguh-sungguh jika
membicarakan perihal hantu. Marni selalu membuat Rusdi
merasa berada dalam sebuah adegan di mana tokohtokoh utama bertemu dengan tokoh-tokoh jahat
perempuan. Ada yang culas pada senyumnya, tatapan
matanya, cara bicaranya. Ada yang selalu bisa tidak
dipercaya. Sementara suaminya selalu berperan sebagai
laki-laki bodoh suruhan penjahat yang tak perlu diingat
namanya, bahkan sampai kisah berakhir.
Sepasang suami istri inilah yang menyebar cerita tak
sedap tentang Rusdi, beberapa tahun yang lalu. Setiap
pedagang di ruas jalan tempat bioskop itu berada akan
menjauh setiap kali Rusdi lewat dan menyapa. Ia
mendapati dirinya dicurigai sebagai pawang hantu di
bioskop itu dari suatu percakapan yang kebetulan

didengarnya dari sepasang bocah yang sedang


bertengkar berebut layangan. Salah satu bocah
mengancam akan menjadikan bocah yang lain bahan
sesajen hantu-hantu Dukun Rusdi jika ia tidak memberikan
layangannya. Rusdi terkesiap, namun waktu membuatnya
kehilangan alasan untuk peduli. Selama bioskop ini masih
dipercayakan padanya, ia tetap mengabaikan gunjing
semacam itu.
Rusdi mematikan lampu. Dalam gelap ia merasa
pernah mendengar kepak sayap burung-burung yang riuh
itu dari suatu tempat. Ia melangkah sedikit lebih tenang.
Sudah lama ia berpikir bahwa Maria sangat mungkin
adalah seorang tokoh di sebuah film, entah berjudul apa.
Malam ini ia memutuskan untuk percaya sepenuhnya
bahwa di film itu Lenny Marlina berperan sebagai Maria.
ESOK harinya Marni menyumpahi segala-galanya.
Laki-laki tua penjaga bioskop itu memang harus mati pada
akhirnya, tapi bukan dengan cara yang tidak wajar
semacam ini. Kematian yang membuat orang datang
berduyun-duyun ke bioskop ini. Siang menjadi lebih panas
dan gerah dari biasanya.
Di kamar Rusdi, polisi menemukan poster Farouk
Afero dicoret dengan darah membentuk tanda silang.
Siang itu juga, atas saran suami Marni, beberapa dukun
dipanggil si pemilik bioskop untuk berjaga-jaga kalaukalau Rusdi melepaskan ilmu hitamnya. Adapun polisi
belum bisa memutuskan apakah kasus ini bunuh diri atau
pembunuhan. Guratan di tangan Rusdi seperti tidak datang
dari pisau yang disayatkan memanjang, melainkan seperti

tikaman-tikaman pisau kecil yang runcing. Pisau seukuran


jari bocah kecil. Seukuran paruh burung gereja, kata Marni
menggigil. Kecurigaan polisi tidak mempengaruhi
pandangan orang-orang. Bagi mereka, Rusdi tak kuat
menanggung kenyataan bahwa bioskop ini hendak
dibubarkan. Bunuh diri karena putus asa, kata si tukang
parkir.
Entah dari film apa Rusdi mendapat gagasan
memotong urat nadi di tangannya. Selembar foto di
tangannya bersimbah darah. Orang-orang semula mengira
foto itu adalah seorang bintang film tempo dulu. Tapi
pemilik bioskop bersumpah bahwa foto itu persis sama
dengan lukisan Maria Sutirah yang digantung di ruang
tengah rumah keluarganya. Ia tidak bisa menerangkan
siapa Maria Sutirah, nama yang ditemukan di bagian
belakang lukisan, yang diambil selama proses
pembongkaran rumah Belanda di tanah tempat bioskop itu
kemudian berdiri. Ayahnya, pemilik bioskop sebelum dia,
memasangnya di ruang tengah karena lukisan itu terlihat
antik.
Sorenya Marni bertambah geram lagi. Kepada seorang
perempuan asing, mungkin dari Cina, Marni berteriakteriak dengan suara nyaring dan tinggi. Jika perempuan itu
tidak menyodorkan uang puluhan ribu, pastilah Marni akan
mengusirnya. Uang itu juga meluluhkan hati suami Marni.
Sore itu di dalam gedung bioskop, di antara burung-burung
gereja, laki-laki yang sepintas garang itu mengikuti ke
mana pun perempuan Cina itu menyodorkan mikrofon
perekamnya.

DI ruang kerjanya, Takeshi Ito terperangah tak percaya.


Ia menatap kertas fax itu, membaca kanji di atasnya
berulang-ulang seolah huruf-huruf itu menyusun kalimat
yang berbeda setiap kalinya. Ia mendapatkan kiriman CD
berisi file suara dari seorang kawan lamanya. Perempuan
Jepang keturunan Cina itu mendapatkan suatu keganjilan
di balik rekaman gelombang penelitian burungnya. Kepada
Takeshi, ia ingin memastikan apakah file itu suara manusia
sebagaimana yang dikiranya. Hanya kurang dari satu jam,
Takeshi berhasil memisah frekuensi di file berekstensi
wav. itu dan menemukan apa yang dimaksudkan rekannya.
Ia meningkatkan decibel keseluruhan dan mendapatkan
suatu percakapan dalam bahasa asing yang diselingi
suara distorsi pendek dan dalam yang tidak mungkin
diatasi lagi.
Rasa penasaran mendorongnya bertanya arti
percakapan itu.
Fax pendek yang diterimanya dari sahabatnya, si
peneliti burung, diawali dengan kesaksian bahwa tidak ada
seorang pun yang bersuara selama perekaman. Ia
menduga, beberapa sudut anomali di ruang bioskop itu
mampu menyimpan percakapan pada frekuensi tertentu
yang keluar dari spiker bioskop. Takeshi tidak bisa
menjelaskan mengapa gedung itu, secara harfiah, benarbenar bisa menyimpan kenangan.
Di lembar fax, rekannya sempat khawatir dengan
penerjemahan bebas yang dilakukannya, sebab ia tidak
terlalu mahir menggunakan bahasa pasar orang Indonesia.
Namun ia yakin bahwa terjemahan ini tak meleset artinya.

Terjemahan dari percakapan sepasang lelaki dan


perempuan itu berbunyi demikian.
"Kenapa kamu tak datang?"
"Aku datang. Aku di sini terus. Aku menemanimu terus."
"Kamu tidak datang. Aku menunggumu terus. Sampai
putus asa."
"Aku sudah mengirimkan burung-burung untukmu."
(Diam. Lama)
"Kamu mengirimnya untukku?"
"Ya."
"Tanganku sakit. Aku tidak suka burung-burung itu."
"Aku juga, aku sudah tidak membutuhkannya."
"Pernah kubilang bahwa kamu lebih cantik dari Lenny
Marlina?"
Takeshi Ito merasa melihat seekor burung gereja
sepintas hinggap di jendelanya.
Galigi
Cerpen: Gunawan Maryanto
Sumber: Koran Tempo, Edisi 04/17/2005
SELURUH cerita saya ini berdasar pada penuturan
Galigi, lelaki bertubuh kecil bermata aneh dan bergigi
besar tak beraturan yang saya temukan tergeletak sekarat
di tepi jalan setapak yang menghubungkan kampung saya
dengan kampung sebelah, di sebuah sore beberapa
minggu yang lalu. Saya menceritakan ulang kepada Anda
bukan karena cerita ini bagus dan Anda perlu
mengetahuinya, tapi lantaran rasa hormat saya yang tak
terperi kepada Galigi.

Maafkan saya yang telah berani mengganggu waktu


Anda dengan sebuah cerita panjang yang tak menghibur
sama sekali. Meski demikian saya berharap ada
beberapa bagian kecil yang menarik hati Anda sehingga
saya tak perlu terlalu merasa bersalah kepada Anda.
Sungguh, saya melakukan semua ini karena saya merasa
harus melakukannya. Kalau tidak, cerita yang hanya
berputar dalam kepala saya ini suatu saat--saya yakin-akan berhenti. Saya akan merasa telah membunuh Galigi
dengan sebuah cara yang tak pantas dan memalukan. Dan
menghilangkan kemungkinan bahwa Anda akan mencintai
Galigi seperti saya mencintainya.
Sesungguhnya ada beberapa bagian dalam cerita ini
yang menurut hemat saya terlalu berlebihan dan sulit
dipercaya. Tapi jika Anda melihat bagaimana ia menahan
sakit yang amat sangat untuk menamatkan cerita ini,
mungkin Anda akan sependapat dengan saya bahwa
seluruh cerita ini, sampai hal yang sekecil-kecilnya,
demikian menyentuh dan benar-benar pernah terjadi.
Sayang Anda tak sempat bertemu dengan Galigi dan tak
mendengar betapa suaranya yang nyaris habis itu mampu
menggetarkan bukan hanya jiwa tapi juga tubuh saya--bulubulu tubuh saya meremang sekarang. Maka jika Anda
menemukan beberapa bagian yang memang sukar dinalar
dan Anda rasa tak mungkin terjadi di bumi ini, anggap saja
itu hanya bualan saya sebagai si tukang cerita. Omong
kosong saya, bukan Galigi. Dan ini tidak akan mengurangi
rasa hormat Anda--jika ada--kepadanya.
Saya pikir tidaklah tepat jika saya berpanjang-panjang

mengantar cerita ini. Biarlah cerita ini hadir begitu saja di


hadapan Anda, sebagaimana Galigi di hadapan saya.
Cerita ini adalah cara saya yang paling sederhana
untuk menghormati Galigi yang, meski hanya sebentar,
pernah singgah di hati saya, membuka mata saya bahwa
derita yang saya alami belumlah seberapa.
SAYA memiliki sepasang mata yang menakutkan. Ki
Sanak bisa melihatnya sendiri tanpa saya harus
berpanjang lebar menceritakan betapa mengerikannya
mata saya. Seluruh orang yang telah bertatapan--sengaja
maupun tidak--dengan saya, tak terkecuali ibu saya yang di
kemudian hari saya tahu bukan ibu saya yang sebenarnya,
mengatakan bahwa di dalam sepasang mata saya
tersimpan gambar kematian mereka. Kematian dalam
wujudnya yang paling menakutkan. Sepasang mata saya
adalah mimpi paling buruk yang tak mau mereka ulangi
sekali lagi. Setelah menatap mata saya untuk pertama
kalinya, mereka akan menghindar sejauh-jauhnya sambil
mengajak orang-orang yang bahkan belum pernah bertemu
dengan saya. Hanya ibu saya--satu-satunya orang yang
tetap bertahan di dekat saya--yang tidak takut pada
kematian.
Sejak lama sudah timbul niat dalam diri saya untuk
mencongkel keluar kedua mata terkutuk ini. Mungkin lebih
baik saya menjadi buta daripada memiliki sepasang mata
yang diasingkan oleh mata-mata yang lain. Mata yang tak
bisa memancarkan kemuraman apalagi kecerahan hati
saya. Mata yang hanya bisa menyimpan gambar-gambar
kematian yang bukan milik saya. Saya mengutuk siapa pun

yang telah menaruh gambar-gambar itu di sana! Tapi tiap


kali niat mencongkel mata itu muncul, tiap kali tangan
kanan saya menggenggam belati dan mengarahkannya ke
salah satu mata saya, saya pun tahu bahwa saya tak punya
nyali sebesar itu. Akhirnya, karena tak akan mengubah apa
pun sampai kapan pun, saya buang belati dan keinginan itu
sebagaimana membuang tahi ke kali. Saya baru
memungutnya kembali ribuan minggu kemudian ketika
saya bertemu dengan Khima, gadis buta yang pandai
memainkan sitar.
Mata saya hanya bisa menyimpan kematian orang lain,
kata ibu. Lalu saya bertanya kepada ibu bagaimana
gambar kematiannya. Ibu diam dan mulai menangis. Ia
memeluk saya erat-erat dan baru melepaskannya ketika
saya mulai terbatuk-batuk dan sulit bernapas beberapa
lama kemudian.
Kematian yang dijanjikan itu akhirnya datang ketika
saya mulai beranjak remaja. Hari itu hujan lebat, hujan
tanpa henti yang telah mengguyur kampung kami sejak
empat puluh hari sebelumnya, yang seperti tak akan
pernah berhenti sampai kapan pun. Mungkin dewa-dewa-jika mereka ada--sedang menangis. Beberapa rumah
sudah hancur dan hanyut, tak sanggup menahan derasnya
air hujan. Beberapa bayi dan kanak-kanak mati, tak kuasa
menahan dingin yang menyusup sampai ke tulang-tulang.
Semua orang bertahan di rumah masing-masing sambil
terus memperkuat bangunan rumahnya agar tak hanyut
atau rubuh ke tanah. Hanya beberapa lelaki yang terlihat
bergiliran keliling kampung--dan semakin hari jumlah

mereka semakin berkurang--memeriksa keadaan,


terutama pintu tanggul kedung di selatan kampung. Tanda
bahaya dipukul tanpa henti dari berbagai sudut, terdengar
seperti peringatan yang terlambat datang dan tak
diperlukan lagi kehadirannya. Tanda yang hanya
mempertajam kecemasan ketimbang menumbuhkan rasa
aman.
Ibu saya, dengan sapu lidi di tangan dan tubuh yang
menggigil, berjaga di pintu depan, menghalau air yang
meluap masuk ke dalam rumah. Ia sudah berada di sana
sejak hujan hari pertama dan seperti akan selamanya di
sana. Ia terus mengayunkan sapu lidi seolah pusaka yang
sanggup mengusir air yang sudah menenggelamkan
separuh tubuhnya. Saya sudah berusaha menariknya,
bahkan sejak hari pertama, untuk berlindung di atas parapara yang telah saya buat. Tapi ia menolak. Kematianku
sudah dekat, Nak, katanya. Hingga saya putus asa di hari
kelima dan melilitkan seutas tali tambang di pinggangnya
dan menalikan ujung tali pada tiang rumah yang terlihat
paling kokoh agar jika tubuhnya tak kuasa lagi
mengayunkan sapu lidi--itu pasti, tapi entah pada hari yang
ke berapa--ia tak hanyut.
Jangan bertanya di mana ayah saya pada saat itu, Ki
Sanak, karena lelaki itu tak pernah ada, bahkan di saat
paling membahagiakan sekali pun. Sudah lama saya
berhenti menanyakannya kepada ibu. Tepatnya ketika ia
dengan marah menggambar sebuah wajah di atas tanah
lalu meludahinya: ia pergi lalu pulang sekali membawa bayi
lalu pergi lagi! Sejak saat itu saya berhenti bertanya perihal

ayah saya. Tapi saya masih menyimpan wajah berikut


ludah itu hingga sekarang.
Sebagaimana datangnya, hujan berhenti begitu saja
tanpa alasan. Ibu saya juga telah berhenti. Ia terapung
seperti batang kayu di sungai. Tangan kanannya masih
menggenggam sapu lidi kuat-kuat. Sapu lidi yang sudah
lemah seperti seikat kalanjana kering. Tali tambang yang
saya ikatkan di pinggangnya membuatnya tak bisa pergi
ke mana-mana. Ia ingin pergi, saya tahu, tapi tak bisa. Ia
ingin meninggalkan saya sejauh-jauhnya, satu hal yang
sudah lama dipendamnya. Seandainya nyawa bisa terikat,
ia akan terikat sore itu.
Tiga hari saya menunggu air surut agar saya bisa
menguburnya dengan layak. Saya tak membakarnya.
Sebab masih lama lagi kayu-kayu mengering. Keluargakeluarga yang lain juga melakukan hal yang sama untuk
sanak saudaranya. Di sebuah sore, di kebun kosong yang
berubah menjadi pekuburan, kami mengadakan upacara
sederhana untuk sekadar mengenang mereka sejenak.
Tak ada yang menangis. Mungkin karena udara masih
terlalu dingin. Dan hujan empat puluh hari adalah alasan
yang bisa diterima untuk sejumlah kematian. Juga karena
mereka, yang mati, telah melihat kematian itu dengan jelas,
sejelas matahari, pada mata saya. Mereka, yang
hidup, menyampaikan rasa terima kasih kepada saya
dengan mengusir saya dari kampung itu. Mungkin mereka
inginkan kematian tetap sebuah rahasia yang tidak
sedingin sore itu.
Mengapa tak sekilas pun mereka mengira telah

mengambil semua yang seharusnya saya miliki, misalnya


kebahagiaan--atau apapun namanya--sebagai seorang
yang hidup sebagaimana mereka? Betapa mereka tak
menyisakan apapun, bahkan udara kampung di mana saya
dibesarkan. Mendadak saya ingin berak di atas kepala
mereka.
SAYA memiliki sepasang tangan yang sanggup
meremukkan sebutir kelapa dalam satu kali tepukan. Saya
tidak sedang menyombongkan kekuatan saya, Ki Sanak.
Sebaliknya, saya sedang menyesali kelemahan saya.
Sepasang tangan itulah yang telah menghancurkan rumah
saya menjadi debu dan serpihan kayu. Inilah perbuatan
yang paling saya sesali sepanjang hidup saya. Sejak saat
itu saya tak memiliki tempat buat dikenang dan menaruh
kenangan, tidak memiliki tempat yang mengingatkan saya
pada kata "pulang". Seharusnya--dan sungguh terlambat
pikiran ini datang--saya biarkan rumah itu tetap tegak
ketika saya tinggalkan, maka rumah itu akan tetap tinggal
tegak dalam kepala saya selamanya. Kalaupun ia harus
hancur, biarlah karena alam dan umur. Tapi sepasang
tangan yang dulu pernah memecah kepala kerbau yang
mengamuk di tengah kampung ini telah bertindak
keterlaluan. Ia seperti hendak menghapus seluruh masa
lalu saya. Saya sendiri tak bisa mencegahnya. Ingin, tapi
tak kuasa. Karena memang tak ada bayangan akan pulang
saat peristiwa pengusiran itu.
Saya tak sempat berpikir panjang, bahwa kelak suatu
hari, di saat yang menyedihkan, saya akan merindukan
kata itu. Paling tidak, atau seharusnya, di saat-saat seperti

itu, saya bisa mengenang satu-dua hal yang manis tentang


rumah dan itu akan sedikit menenangkan. Tapi sekarang
satu-satunya hal yang bisa saya kenang tentang rumah
adalah sepasang tangan yang memukul hancur seluruh
tiang dan melantakkan dinding-dinding kayu dan pagar.
Sepasang tangan yang sekarang terkulai tanpa daya ini
telah merenggut jalan pulang saya dari tempatnya semula
dan tak pernah bisa mengembalikannya. Ia malah
menuntun saya--dengan paksa, tentu saja--ke jalan-jalan
lain yang tak pernah sekali pun saya inginkan. Hingga saya
harus berpikir bahwa tangan saya bermaksud membunuh
saya dengan cara yang menyakitkan. Tapi saya tak punya
keberanian sedikit pun untuk melawannya. Padahal
dengan mudah saya dapat membuntungkannya dengan
pedang atau membakarnya di perapian terdekat.
Sepasang tangan ini memang telah kelewatan, Ki
Sanak, percayalah. Ia telah merobohkan lebih dari seratus
lelaki di sepanjang perjalanan saya. Dan dari sekian
banyak itu hanya satu dua orang yang selamat, itu pun
dengan luka yang tak pernah bisa disembuhkan.
Sepasang tangan yang tak pernah sekali pun bisa
membelai dengan lembut tubuh perempuan. Sekali lagi
saya tidak sedang membanggakannya. Bahkan ketika
pada akhirnya ia berjabat tangan dengan seorang lelaki
yang paling saya kagumi sekaligus paling saya benci:
Lubdaka, gembong perampok yang paling disegani di
seluruh negeri. Lelaki yang sanggup membuat saya
menerima kenyataan dengan tangan terbuka dan
mengolahnya, dengan cara yang paling jahat sekali pun,

menjadi kenyataan yang saya inginkan. Satu-satunya orang


yang bisa menatap mata saya dengan tenang.
SAYA memiliki sepasang kaki yang dapat berlari
secepat kilat di atas permukaan air, meloncati pohonpohon besar dan menapaki daun-daun gugur yang
melayang-layang di udara. Anda tentu akan mengira saya
bisa terbang. Sepasang kaki yang bisa menemukan dan
menentukan jalannya sendiri tanpa saya harus bersusahsusah memerintahnya. Kelebihan--atau kelemahan ini-membuat saya tidak sepenuhnya sadar, mulanya, atas
jalan yang saya tempuh. Biasanya saya baru sadar ketika
saya sudah sampai di sebuah tempat atau ketika saya,
tiba-tiba, harus menanggung sebentuk risiko dari pilihan
arah kaki saya. Saya selalu merasa harus bertanggung
jawab untuk perbuatan yang tak pernah saya lakukan. Dan
ia, Ki Sanak, terus-menerus melemparkan saya tanpa
kenal lelah ke daerah-daerah rawan. Saya tak tahu apaapa. Sungguh mati. Saya hanya tahu, kaki saya pernah
memilih jalan mudah.
JIKA Anda berpikir bahwa hidup saya menjadi lebih
tenang lantaran bertemu dengan Lubdaka, Anda keliru
besar. Ia bukan dewa penolong seperti dalam dongengdongeng rombeng yang mengentaskan seorang terkutuk
dari nasib buruk atau mengembalikan seseorang yang
sesat ke jalan yang benar. Ia justru--bagaimana saya harus
membahasakannya?--memperburuk nasib buruk atau
mempersesat jalan sesat yang saya miliki. Ia seperti
mengingatkan saya bahwa saya belum terlalu banyak
membunuh orang atau masih terlalu sedikit merampas

harta benda mereka. Pendek kata, saya masih terlalu baik


sebagai seseorang yang telah dirampas hidupnya oleh
orang lain.
Berikan kepada mereka apa yang telah mereka
berikan kepadamu, mintalah kepada mereka apa yang tak
bakal mereka berikan kepadamu. Begitulah pelajaran
pertama yang diberikan Lubdaka. Saya pun mengikuti
jalannya.
Membakar sebuah kampung bersama seluruh isinya
adalah peristiwa pertama yang tak mungkin bisa saya
lupakan. Mereka telah membunuh bapak dan ibuku dan
membakar rumahku, kata Lubdaka memberi alasan. Saya
meradang, menghunus pedang, dan membunuh lebih
banyak orang ketimbang Lubdaka. Kampung itu habis
terbakar, itulah kebakaran paling mengerikan yang pernah
saya saksikan, yang bahkan dengan mengingatnya saja
saya dapat kembali merasakan udara panas yang
menyengat wajah saya. Kami berlari ke puncak bukit dan
menyaksikannya seperti seorang ibu yang menyaksikan
api membakar sampah yang baru saja dikumpulkannya di
halaman. Mata Lubdaka bersinar, lebih terang dan
mengerikan daripada nyala api yang membakar di bawah
sana. Kau ingat gadis cantik yang kukalungi kepala ayah
dan ibunya sebelum kuceburkan ke dalam sumur, tanya
Lubdaka.
Saya
mengangguk,
tak
mau
mengingatnya. Namanya Umang. Pacar kecilku dulu.
Ayahnya memimpin orang-orang kampung yang
membunuh ayahku dan membakar ibu dan rumahku.
Begitulah kata Lubdaka seperti memesan segelas arak di

kedai tuak. Apakah kau tak ingin membakar kampung


halamanmu?
Saya
menggeleng,
tak
sanggup
membayangkannya. Kudengar kampungku sudah menjadi
rawa-rawa. Jawab saya menghindar. Api tak akan dapat
menyala di sana. Saya mencoba berkelakar. Lubdaka
tertawa sambil menepuk-nepuk pundak saya. Sayang
sekali, Galigi. Aku tak bisa memberikan apa yang telah
kauberikan kepadaku.
LUBDAKA. Saya tak tahu setan macam apa yang telah
merasuki tubuhnya. Mungkin setan yang sama dengan
yang menggerakkan tubuh saya. Dan suatu hari setan itu
mempertemukan kami dengan Khima. Jika Ki Sanak ingat,
saya telah menyinggung namanya di bagian awal kisah ini,
Khima, gadis buta yang pandai memainkan sitar. Saya tak
tahu siapa dia dan kenapa kami harus membunuhnya.
Kejadian itu begitu cepat hingga saya tak sempat bertanya
apa-apa lagi.
Hari itu saya tak bisa mengenali Lubdaka lagi. Lubdaka
yang telah saya kenal dengan baik selama lebih dari dua
ribu minggu telah pergi. Yang tinggal di hadapan saya pagi
itu adalah seorang lelaki yang tampak jauh lebih tua dari
usianya yang sebenarnya. Seorang lelaki lemah yang baru
saja bangun dari mimpi buruknya. Entah mimpi buruk
macam apa yang mampu membuatnya jadi serapuh itu.
Sepanjang hari itu ia berlari seperti orang gila. Melintasi
tiga bukit tanpa mengeluarkan kata sepatah pun. Saya tak
berani mengganggunya. Saya hanya berlari agak jauh di
belakangnya, menjaga seluruh kemungkinan yang bisa
mencelakainya. Seandainya ia adalah Lubdaka yang saya

kenal maka saya tak akan mengkhawatirkannya sedikit


pun. Tapi yang tengah berlari dan melayang dari satu
pohon ke pohon lain itu, ia lebih mirip hewan yang terluka
yang berlari kesakitan mencari tempat perlindungan.
Akhirnya ia bertengger di pucuk pohon randu. Hari sudah
beranjak sore dan saya tetap tak tahu apa yang sedang
tumbuh dalam kepalanya.
Tak jauh di depan kami terbentang sebuah padang
alang-alang yang melingkungi sebuah telaga. Dan agak
sedikit jauh di belakangnya, atap-atap rumah sebuah
perkampungan kecil. Lalu sebuah lagu yang mengingatkan
saya pada kampung halaman terdengar seperti merambat
di sesela alang-alang. Lubdaka menunjuk ke arah telaga.
Saya mengikuti telunjuknya dan menemukan seorang
gadis tengah duduk di sebuah batu di pinggir telaga.
Kepalanya menunduk, sepasang tangannya seperti
memainkan sesuatu. Gadis itu, Lubdaka bergumam
hampir-hampir tak terdengar, menjatuhkan daun-daun
dengan lagunya. Mata saya beredar dan mendapati daundaun yang melayang jatuh ke tanah dengan sebuah irama
tertentu, yang entah kenapa, membuat saya berdebar,
mungkin terharu.
Ayo, Galigi, kita selesaikan hari ini. Kami melayang
menapaki daun-daun yang terbang. Dalam sekerjapan
mata kami telah berdiri di hadapan gadis itu. Ia tampak tak
peduli dengan kehadiran kami meski tatapan matanya
mengarah ke tempat kami berdiri. Ia terus memainkan
sitarnya. Saya tetap berdiri, tak tahu harus berbuat apa.
Lubdaka pun tampak demikian. Saya seperti tersihir oleh

lagu dan kecantikan gadis yang melahirkan lagu itu.


Ingatan saya melayang ke minggu-minggu terjauh yang
bisa saya rengkuh. Dan ketika saya kembali, gadis itu
telah tergeletak dengan leher koyak. Maaf, Ki Sanak, saya
tak bisa menceritakan lebih dari itu. Semuanya
berlangsung begitu cepat. Lubdaka sudah pergi entah ke
mana. Sitar di pangkuan gadis itu tak ada. Mungkin
dibawa Lubdaka. Saya masih tak bisa bergerak, Ki Sanak.
Kedua kaki saya serasa terkunci. Dan saya tahu kunci itu
ada di dasar telaga, entah di sebelah mana.
SEHABIS peristiwa itu saya berpisah dengan Lubdaka.
Ia mengusir saya pergi. Saya tak tahu kenapa. Ia hanya
bilang: pergilah ke mana saja kau suka. Biarkan aku di sini
dan begini saja. Aku sudah habis, jangan menangis.
Jangan sekali-kali bersedih untukku. Sudah saatnya kau
pergi. Kita sudah terlalu lama bersama. Menempuh bahaya
dan menancapkan pedang di dada yang sama. Apalagi
yang lebih menggetarkan ketimbang itu semua?
Lubdaka mungkin tak tahu bahwa kalimat itu bukan
hanya menghabisi dirinya. Ia juga menghabisi saya. Saya
melangkah pergi dan mendapati tubuh
saya yang telah hancur dan tinggal sisa-sisa. Ki Sanak
bisa melihatnya sendiri.
Jogjakarta, 2005
Efek Sayap Kupu-kupu
Cerpen: AS Laksana
Sumber: Koran Tempo, Edisi 04/10/2005
MINGGU ini aku tertarik sekali pada berita-berita politik

dan menemukan pertanyaan gila dari sebuah buku yang


kubeli di tukang loak. "Apakah kepak sebelah sayap kupukupu di Brazil menyebabkan badai tornado di Texas?"
Pertanyaan ini meloncat dari pikiran Edward Lopez, si
peramal cuaca yang tekun melakukan percobaan, pada
tahun 1960. Setelah itu orang-orang bicara tentang efek
kupu-kupu.
Karena gairahku sedang menyala pada kegaduhan
politik, batok kepalaku memoles pertanyaan tahun 1960 itu
menjadi, "Apakah kepak sebelah bibir di Senayan
menyebabkan banjir besar di Semarang, membawa
kelaparan di Kupang, dan melongsorkan gunung sampah
di Jawa Barat?" Dan, karena perkawananku dekat sekali
dengan Alit, aku jadi teringat juga pada sebuah peristiwa
lima tahun lalu. Ketika itu, pukul dua dinihari, Alit
sempoyongan keluar dari tempat minum yang baru
pertama kali dikunjunginya. Dua jam kemudian, ayahnya
meninggal di sebuah rumah kontrakan empat ratus
kilometer jauhnya dari kamar kontrakan Alit. Kurasa efek
kupu-kupu bekerja juga pada peristiwa dinihari itu. Dan itu
pulalah akhir sebuah cerita yang bermula pada hari Rabu
malam, lima bulan sebelumnya.
Pada hari Rabu malam itu polisi meringkus seorang
germo di sebuah mal di daerah selatan Jakarta. Alit
membaca beritanya Kamis pagi dengan kepala lunglai di
sandaran kursi bambu di teras kamar kost; mulutnya
menguap berkali-kali. Kau tahu, Alit masih senormal
bertahun-tahun sebelumnya, dengan perangkat yang
menegang di pagi hari, dan tetap melakukan kerajinan

tangan setiap pagi sembari membayangkan ayahnya


merengek-rengek didatangi malaikat serupa unggas yang
siap mencabut nyawa dengan cara sesakit-sakitnya. Itu
sebuah siasat agar ia bisa menikmati pekerjaan tangannya
lebih lama dan karena ayahnya pantas diperlakukan
seperti itu.
Germo yang dibacanya itu--wartawan menyebutnya
AMB--mengelola dan memasarkan sembilan bunga seruni
di mal tempat dia ditangkap. Semuanya harum. Semuanya
segar. Semuanya "pas susunya" seperti bunyi sebuah
iklan. Dan semua masih SMA: si germo dan sembilan
bunga seruninya.
Berita tersebut dicongkel dari mulut seorang polisi dan
dirakit dengan beberapa penyesalan oleh si wartawan:
"Sayang sampai berita ini diturunkan, AMB tidak berhasil
ditemui." Kalimat penyesalan lainnya: "Sayang perwira
polisi yang memimpin penggerebekan tidak berhasil
ditemui."
Namun wartawan kriminal itu tetap bisa menulis berita
dengan baik sekalipun tak berhasil menemui kunci-kunci
peristiwa. Sebab ia punya kunci cadangan: seorang polisi
yang kelelahan di samping terminal. Polisi itu sedang
beristirahat di sebuah warung makan; di sebelahnya duduk
wartawan tersebut, yang juga kelelahan. Polisi dilayani
lebih dulu karena ia polisi dan karena datang lebih dulu; si
wartawan, sambil menunggu nasi pesanannya, merekareka pertanyaan yang bisa ia ajukan untuk membuka
percakapan dengan polisi itu.
"Ada yang bisa saya tulis, Pak?" itulah pertanyaan

terbaik yang diajukan oleh si wartawan. "Saya wartawan."


"Coba tunjukkan kartu wartawanmu."
Si wartawan melolos kartu dari dompet dan
menyodorkannya ke polisi. Si polisi, dengan kepekaannya
pada detail, menerima kartu wartawan yang disodorkan
dan membolak-baliknya beberapa kali seperti sedang
menggangsir sebuah rahasia yang disembunyikan. Tak
ada apa pun yang bisa dipersoalkan. Polisi
mengembalikan kartu pada pemiliknya. Setelah itu
wawancara dilangsungkan di tengah denting sendok dan
piring dan keletuk geraham. Sebuah tanya-jawab antara
dua orang yang naluri masing-masing sama kuat dan
kondisi mereka sama lelah.
Peristiwa pertemuan polisi dan wartawan di warung
makan ini bisa kuceritakan lengkap karena wartawan
kriminal itu, dengan gairah untuk menjadi perintis bagi
teknik pemberitaan gaya baru, menggambarkan sampai
ke hal-hal terkecil proses bagaimana ia mencongkel
semua fakta dan mengeluarkannya dari mulut polisi yang
kelelahan itu. Ia bahkan membuat perumpamaan tentang
reportase tak sengaja itu sebagai "semacam emas murni
yang ditemukan di sebuah selokan". Sebuah
perumpamaan yang bisa mengundang kekeruhan, sebab
sumber berita bisa saja menyangka bahwa si wartawan
sengaja menghinanya melalui sebuah peribahasa: apakah
informasi itu yang disebutnya emas murni, sedangkan
mulut polisi itu disamakan dengan selokan?
Aku sempat mampir ke warung tersebut karena
namanya ditulis beberapa kali dalam pemberitaan. Pemilik

warung membingkai potongan berita dengan pigura warna


emas dan menggantungkannya di antara gambar-gambar
artis yang berasal dari kalender usang.
MASIH di hari Kamis yang sama, masih terkulai di kursi
yang sama namun sudah dibawa masuk ke kamar, Alit
merasakan sendiri bahwa dunia kadang sempit sekali.
Sore hari ia menghidupkan pesawat televisi dan, setelah
berpindah-pindah stasiun lebih dari dua jam, melintasi
beberapa gosip dan telenovela, dan melahap berjenisjenis iklan, pada pukul delapan malam ia menemukan AMB
diwawancarai oleh wartawan dari salah satu stasiun
televisi. Pemasar bunga-bunga seruni itu bernama lengkap
Ambarwati, masih duduk di kelas dua SMA, dan Alit kenal
sekali dengannya.
Dunia yang sempit, kau tahu, hanya akan membawa
seseorang berkisar di antara orang-orang yang itu-itu juga.
Dan itu membuat kehidupan kadang terasa sebagai
sebuah telenovela, dengan persoalan yang silang susup di
situ-situ juga, atau seperti film-film India. Germo bernama
AMB itu adik Alit. Satu-satunya adik yang tetap hidup; dua
adiknya yang lain meninggal pada tahun terjadi gerhana.
Ia merasakan kangen yang tiba-tiba, merasa ingin
sekali meminta maaf kepada Ambar karena dulu ia sering
memukul kepala adiknya itu. Sampai mereka berpisah, Alit
masih melihat bekas luka di bawah rambut tipis adiknya
karena pukulan entong nasi, seperti bekas luka di kepala
Sangkuriang. Luka yang membuat gelisah Dayang Sumbi,
si ibu yang tak terjamah waktu, sebab ternyata ia tengah
bercinta dengan anak kandungnya.

Saat itu juga bangkit rasa sesal kenapa ia tidak dekat


dengan adiknya ketika mereka sama-sama kecil.
"Kenapa kau menjadi germo?" tanya si pewawancara.
"Karena aku tidak cantik," jawab Ambar, tenang.
"Maksudmu?"
"Orang harus mengerjakan yang ia bisa lakukan. Dan
aku sudah
mengerjakan yang aku bisa."
"Ya, tapi kenapa harus menjadi germo?"
"Karena aku tidak cantik."
"Maksud saya..."
"Rasanya aku tidak berbelit-belit."
Alit senang sekali mendengar jawaban-jawaban
adiknya. Kecerdasannya tidak rontok sekalipun kepalanya
dulu sering mendapatkan pukulan.
Di depan pesawat televisi, Alit merasa pelupuk
matanya panas. Rasa kangen membuatnya tiba-tiba
menjadi cengeng. Sudah lama mereka tak saling jumpa.
Ambar baru lulus SD ketika bibinya membawa adiknya itu
ke Jakarta dan menjadikannya anak angkat. Waktu itu Alit
baru masuk SMA dan sejak itu tak pernah lagi ia ketemu
dengan adiknya. Ketika ia sendiri kemudian memutuskan
berangkat ke Jakarta, belum pernah sekali pun Alit
bertandang ke rumah bibinya.
Melihat Ambar di televisi, menjawab dengan tangkas
pertanyaan-pertanyaan yang ditujukan kepadanya, ia
bangga sekali sebagai kakaknya.
"Apa kau tak malu menjalani pekerjaan sebagai
germo?" tanya si wartawan.

Ambar mengerutkan kening agak lama.


"Aku tak mengerti maksud pertanyaanmu."
"Maksud saya, apakah kau tidak malu menjalani profesi
itu?"
Kening Ambar tetap berkerut.
"Aku benar-benar tak mengerti maksudmu," jawabnya.
"Aku menjalankan bisnisku secara benar, kuberikan
layanan sebaik mungkin kepada orang-orang yang
membutuhkan jasaku, kuberi yang terbaik jika mereka
membayar untuk mendapatkan barang yang terbaik.
Pelangganku banyak dan kau bisa tanyakan kepada
mereka satu per satu apakah kerjaku mengecewakan. Jadi
apa maksud pertanyaanmu?"
"Bisa disebutkan nama-nama pelangganmu?
"Lanjutkan ke pertanyaan berikutnya."
"Jadi kau tidak malu dengan profesimu?"
"Jika seseorang bekerja dengan benar, apakah dia
harus malu?"
"Tapi kau ditangkap polisi..."
"Polisi, sejauh ia bekerja benar, juga tidak perlu
merasa malu menangkapku."
Alit ingin tahu apa lagi yang akan dikatakan oleh
adiknya, namun si pewawancara mengatakan, "Saudara
pemirsa, jangan ke mana-mana. Kita akan melanjutkan lagi
perbincangan menarik dengan tamu kita... setelah yang
satu ini."
Baiklah, saudara penyiar. Jangan khawatir, hari itu Alit
memang tidak punya rencana pergi ke Wonosobo atau
mendaki gunung Slamet atau mencari jimat ke Klaten,

karena itu ia pasti tak akan ke mana-mana dan akan tetap


di kamarnya.
Setelah peringatan itu disampaikan, wawancara
dipancung oleh iklan buah dada. Seorang perempuan
padat tiba-tiba mengembangkan dadanya memenuhi layar
dan menawarkan susu kalengan melalui dada yang
dikembangkan. Lalu terdengar suara laki-laki, "Pas
susunya."
Susu yang mana?
Iklan selanjutnya masih iklan buah dada juga. Seorang
perempuan lain, lebih padat dari sebelumnya,
mengembangkan dada memenuhi layar; kali ini ia
menawarkan kacang: "Pas kacangnya." Wawancara
dilanjutkan lagi setelah iklan buah dada ketiga yang
menawarkan pelembap kulit.
"Pertanyaan terakhir, apa pesan anda kepada
pemirsa?"
EFEK kupu-kupu sebenarnya adalah cerita tentang Alit,
namun aku malah melantur-lantur pada Ambar. Baiklah
akan kukembalikan lagi kisah ini pada arah yang
semestinya. Persoalannya, ketika kembali ke Alit, aku juga
harus masuk lagi melalui Ambar. Sudah sembilan tahun
aku tak berjumpa dengan kawanku itu dan cerita terakhir
tentangnya memang kudengar dari Ambar; dua atau tiga
kali aku mengunjunginya di rumah besar di jalan Jambu
yang dijadikan markas sebuah tarekat. Sekeluar dari
penjara, adik Alit ini menjadi anggota tarekat yang
menyampaikan pesan melalui foto awan-awan.
Jadi, sedikit lagi tentang Ambar: jalan yang

ditempuhnya memang sering tak terduga. Kukutipkan


potongan sebuah artikel untuk lebih memahami bekas
germo itu:
"Kadang kita harus meyakini bahwa memang ada
bandot-bandot dengan mukjizat tertentu yang tidak pernah
keliru pada setiap tindakannya. Mereka bisa melakukan
apa saja dengan seluruh kelenturan gerak dan keramahan
nasib yang menyertai mereka dan, di mata orang-orang,
apa yang mereka lakukan selalu benar. Tidak akan pernah
ada yang mencerca tindakan mereka sebagai sesuatu
yang salah, padahal tindakan itu mungkin akan tampak
sangat keliru jika orang-orang lain yang melakukannya.
"Di panggung pertunjukan, anda bisa melihat mukjizat
tersebut pada orang-orang seperti Marlon Brando, atau
Robert De Niro, atau Meryl Streep, misalnya, yang tidak
pernah keliru pada setiap gerak tubuh atau liuk lidah
mereka. Mereka bisa bertingkah atau berbicara dengan
cara apa saja dan para penontonnya suka pada tingkah
dan cara bicara mereka. Sebaliknya, selalu ada badutbadut di layar televisi yang anda tonton setiap hari, yang
sudah mencoba segala hal dengan gerak tubuh maupun
teriakan mereka, namun apa pun yang mereka sampaikan
tak pernah bisa benar. Satu-satunya keberhasilan pada
lelucon mereka yang mengenaskan itu adalah membuat
diri mereka sendiri tertawa." (Dari sebuah penggalan
artikel di koran mingguan dengan judul: "Bandot yang
Selalu Benar dan Bandot yang Selalu Keliru.")
Ambar kurasa adalah bandot panggung jenis pertama-yang selalu benar pada segala tindakannya. Ia menjadi

germo, ditangkap polisi, dan menjadi sosok yang


memukau ketika tampil dalam sebuah wawancara di layar
televisi. Setelah itu ia harus meringkuk di penjara. Seorang
perempuan yang mengaku sebagai penyampai pesan
Jibril datang padanya di penjara sambil menunjukkan foto
awan-awan, lalu ia mengikuti ajaran perempuan itu dan
menarik banyak pengikut lainnya di sel-sel penjara. Baru
dua bulan menginap di penjara, ia diburu lagi oleh
wartawan televisi yang ingin mengupas pengalaman
rohaninya sebagai bekas germo yang telah menemukan
jalan baru dan berhasil membawa banyak orang ke jalan
barunya itu.
Kini ia tinggal di markas tarekat itu. Ketika aku datang
kepadanya, ia menceritakan pertemuan terakhirnya
dengan Alit yang terjadi lima bulan setelah
penangkapannya di mal. Ia bilang bahwa Alit menemuinya
pada suatu sore di penjara, membawa paras muka yang
lebih kusut dari paras muka yang ia bawa pada
kedatangan pertama.
Ambar memasukkan tangannya ke saku gaun
panjangnya dan beberapa saat kemudian menyodorkan
genggaman tangannya yang baru dikeluarkan dari saku.
"Untukmu, dari ayah," kata Ambar. "Ia datang dua
minggu lalu, pagi-pagi, dan langsung pulang sorenya.
Sebelum pulang ayah bilang, 'Katakan pada Alit, kalau ia
datang lagi menjengukmu, bahwa aku sehat sampai
sekarang, meskipun setiap hari ada orang yang
mengirimkan kepadaku seekor makhluk bersayap yang
mencoba merampas nyawaku. Aku bisa merasakan itu

dan aku masih kuat menghadapinya.'"


Alit merasa udara dingin sekali. Jadi makhluk mirip
unggas yang ia bayangkan pada setiap pagi itu betul-betul
mendatangi ayahnya. Telah berapa kalikah?
Diterimanya cincin emas yang disodorkan oleh Ambar.
"Udara rasanya dingin sekali," kata Alit.
"Mungkin malaikat penjemput itu sekarang mengincar
tengkukmu," kata Ambar. "Kata guru yang datang padaku,
kedatangan malaikat akan membuat udara menjadi dingin
sekali."
Ambar tertawa setelah kata-katanya itu. Dan, kau tahu,
kelakar itu meleset sejauh empat ratus kilometer.
Ketika keluar dari gedung penjara itu, Alit keluar
dengan kepala yang makin memberat. Dengan rasa sedih
pada dirinya sendiri, untuk kali pertama ia melewatkan
waktu malamnya di sebuah tempat minum. Sebab ia
merasa susah sekali menjalani hari-hari dengan butir
kepala yang memberat. Harus ada cara untuk membuat
sebutir kepala tidak menjadi beban: minum sambil
mendengar penyanyi-penyanyi yang meratap di panggung.
Setelah empat penyanyi meratap-ratap, Alit merasa
ingin ke kamar kecil. Kira-kira pukul satu dinihari ia ke
kamar kecil di bagian belakang tempat minum itu. Di sana
ia membuat kerajinan tangan karena penyanyi-penyanyi itu
begitu menggemaskan. Namun ada satu hal yang berbeda
dibanding sebelum-sebelumnya, kali ini ia membayangkan
sesuatu yang lain; Alit ingin meminta maaf kepada ayahnya
dan membayangkan ribuan malaikat turun dari langit
menaburkan bunga-bunga kepada orang tua yang

ditinggalkannya itu.
Pagi itu, kau sudah tahu sejak awal kisah ini kututurkan,
efek kupu-kupu bekerja. Ayah Alit meninggal di rumah
kontrakannya di kampung dekat pelabuhan yang ia tempati
sejak lama. Malaikat datang menjemput nyawanya dan
tidak membawa bunga-bunga. Baru pada siang hari orangorang yang merawat jenazahnya menaburkan bunga-bunga
di gundukan makam.
Perawan Yang Bersemayam Di Mata Loth
Cerpen: Ucu Agustin
Sumber: Koran Tempo, Edisi 09/22/2002
Buliran itu selalu terlihat begitu sempurna, kadang
umpama tirai, kadang laksana badai. Seumpama kode,
penuh rahasia, tak pernah bisa diduga artinya.
Musim itu telah datang lagi kini. Selama 30 hari, 720
jam, 43.200 menit, 2.592.000 detik aku terkurung di sini,
hujan membadai di luar. Dan ketika Musim ini telah mulai
menyemai, aku kembali berada di tengahnya, terjebak
dalam rintiknya, tak menemukan jalan keluar, hingga
malam yang benar-benar berhujanpun datanglah
Aku melihat seorang perawan tanpa pakaian di tengah
hujan. Sebuah perasaan aneh menyergap seketika. Rasarasanya aku jatuh cinta. Bukan pada tubuhnya, bukan pada
kelam rambutnya, namun pada kesucian yang tak terkoyak
meski mungkin ia sudah bukan perawan. Dalam sebulan,
itulah untuk pertama kalinya aku mendapat kekuatan,
berani menerobos badai.
Perawan cantik, apa yang kau lihat di sana? Tanyaku

tanpa membawakannya sebuah baju. Dia menatap,


matanya berkejora dan rambutnya beriak ombak, di
atasnya, ular-ular menggeliat dengan malas namun
menggoda.
Tidakkah kau dingin, wahai perempuan berambut
ular? Aku mencoba, sekali lagi berusaha menyapa.
"Aku telah menaklukkan Alpha, aku telah menjadi tiada
beromega! Maka dingin bukan ukuran, dan panas tidaklah
menjadi sebuah kecelakaan. Karena seharusnya seluruh
manusia telanjang! tak perlu pemanas, tak usah membeli
air conditioner! Telanjanglah! Maka kau akan tahu
seberapa kuat dirimu!" Di angkasa, hujan menggelepar
menahan berahi, angin mengeras mempermainkan
putingnya yang beliung. Langit demam, dan cuaca terasa
panas dingin secara tiba-tiba.
Di tengah hujan, siapa yang berselera melakukan debat
terbuka? Tentu saja saat itu aku malas berargumentasi
soal mengapa manusia mencipta teknologi, juga malas
untuk memberikan uraian tentang kenapa manusia selalu
membutuhkan penemuan-penemuan. Di tengah hujan yang
rintiknya sangat besar, aku hanya menggigil, kehilangan
nafsu untuk menerangkan tentang sejarah serta asal
muasal pakaian.
Merasa tak mendapat jawaban, perawan tak
berpakaian itupun berucap lagi.
"Di bawah kuku ini, ada sebuah zat yang akan memberi
kita rasa hangat! Di dalam kulum lidah bukan hanya rasa
manis atau asinnya hidup yang bisa dicicipi, tapi juga pahit
dan getir yang bisa memunculkan kekuatan! Maka

telusurilah dirimu! Sampai betul-betul telanjang! Sampai


benar-benar terhempas dan meregang-regang!" Perawan
telanjang itu menjulurkan lidahnya keluar, menjilati air hujan
yang iseng menjatuhi pipinya, bergulir dekat bibirnya.
"Aku kebetulan perempuan dan secara kebetulan Kau
bukan lelaki! Bila teman lelakimu memiliki penis kecil atau
mungkin lebih besar dari kemaluan kuda jantan!
Gerakkan!! Dan lihatlah, apakah yang mampu
diperbuatnya?!
Lalu bila ia mampu menyemburkan mani pada rahimku
atau spermanya ngendap di ovummu, maka tak usah malu!
Demikian juga bila ia cuma mampu terkulai lalu melayu dan
kau cuma ngos-ngosan menahan orgasme yang tak
sampai, maka datanglah padaku! Karena aku akan selalu
telanjang tanpa dilapisi pakaian kebohongan. Pada setiap
waktu pada semua masa. Pada kemandulan aku tak akan
pernah menghina juga tiada akan memberi puja. Segala
hal bagiku adalah sama. Semua sesuatu dicipta untuk
mulia dan hina. Karena andai Kau bukan lelaki akupun
akan selalu tidak tertolak untuk perempuan, selalu terbuka
bagi para hawa yang bernaluri sama dengan mereka yang
memiliki kecenderungan ketertarikan yang sama dengan
mereka yang berselusur dari jenis kelamin Adam"
Perawan itu menatap lekat padaku.
Aku tidak tergoda!
"Terserah!" Begitu ucapnya. Dia bisa memahami
bahasa pikirku, rupanya. Tapi aku tak tercengang,
perempuan macam gini memang kadang begini.
Sebaiknya aku harus berhati-hati saja, karena setiap

berhadapan dengan sesuatu, kita tak tahu sedang


menghadapi apa ataukah siapa.
"Siapakah namamu?" Tanyaku
"Kenapa tak kau sebutkan namamu dulu?" sergahnya
"Elkana yang lahir pada suatu senja," ucapku
"Aku perawan, yang lahir dalam keadaan bugil,"
ucapnya
"Mengapa mengawetkan sifat orok yang selalu
mempesona kala ia bertelungkup atau bertelanjang dada?"
Aku menatap pada matanya.
"Karena pakaian hanyalah sarana dan lebih indah
dikenakan oleh boneka! Maka aku tak butuh itu, sebab
tubuhku indah dan itu sudah cukup rasanya." Jawab
perawan telanjang sambil mengibaskan rambutnya yang
berular.
"Bagaimana dengan yang lain yang bertubuh tidak
sempurna?" Tanyaku tanpa memberinya jeda. Jiwaku
dirasuki rasa penasaran meski saat itu tubuhku sudah
sangat menggigil karena hujan semakin terasa dingin.
"Apakah ukuran kesempurnaan? Berhakkah bila dinilai
hanya lewat pandangan? bisakah kesempurnaan diklaim
lewat penglihatan? Perawan tak berpakaian itu
menatapku tajam.
Lihat!" Ucap sang perawan sambil mendedahkan
perutnya di depanku.
Bekas bisul di tubuhku masih menyala, warnanya
merah, tapi lelaki yang bertemu sebelummu menyebut itu
suatu anugerah. Dan dia menyedot nanah itu dengan
ganas. Ketika kutanya apakah ia masih ingin yang lain

lagi? Dengan terpejam Ia menjawab, ini sudah sempurna.


Sedikitpun ia tak menampakkan rasa jera. Malah ucapnya,
datanglah lagi padanya bila bisulku muncul dan nanahnya
telah menggelora. Pada dia, aku kehabisan kata" Perawan
telanjang menatapku lekat, pada bola matanya aku melihat
sesuatu berkilat-kilat.
Aku mundur, hujan menatapku curiga! Bukan hanya
perawan telanjang saja yang bisa membaca bahasa rasa,
tapi hujan pun mampu mengeja sesuatu yang masih
transparan dalam pikiran.
"Ke manakah tujuanmu?" Tanyaku lagi.
"Suatu tempat di mana perempuan bisa bertelanjang,
dan laki-laki secara tak gila memandangnya sebagai hal
biasa."
"Kenapa harus kesana?" Tanyaku ingin tahu.
"Karena disini perempuan harus banyak berkorban.
Karena di sini perempuan akan masuk penjara bila
berjalan santai sambil telanjang. karena di sini keterbukaan
adalah subversi. Karena di sini orang bisa dikenai pasal
melakukan ketidak-patutan padahal bukan ia yang
melakukan tindak tak bermoral." Ucapnya tandas.
"Ke manakah tujuanmu?" Tanyaku sekali lagi.
"Suatu tempat, ketika manusia tidak lagi dilahirkan
lewat vagina dan bayi bisa langsung tertawa ketika melihat
dunia."
"Apakah itu dunia Mahabarata?" tanyaku sambil sambil
merapatkan kedua tangan pada badan. Gigiku telah
bergemelatukan.
"Ya! Akan lebih banyak perempuan seperti Kunti di

sana, yang melahirkan dari telinga dan tidak merusak


selaput dara! Tapi tujuanku tidak Mahabharata!" Pada
bibirnya sekelabat senyum dia ulas. Di antara rinai hujan,
aku melihatnya dengan jelas.
"Lalu K emana?" Tanyaku lebih ingin tahu.
"Jangan terlalu banyak bertanya, tunggulah aku selalu
kala senja basah tiba! Itu pun bila kau memang sangat
ingin bertemu dan betul-betul merindukanku! Dan perawan
telanjang itu tiba-tiba bergelinjang, hujan memperkosanya
dengan kasar. Sebelum menunduk, sempat aku saksikan
mata perawan itu terbeliak, entah sengsara, entah
bahagia! Dan ketika ku dongakkan kepala, perawan itu
telah tiada! * * *
Aku selalu berada di sana! Menunggu senja yang
basah, berharap bertemu lagi dengan perawan telanjang
yang entah berada di mana sekarang. Namun bahkan
ketika beribu senja telah berlalu, semuanya hanya abu-abu.
Tak ada senja yang sebenarnya, apalagi senja yang
basah.
Harapanku semakin tipis, tapi keinginanku tak pernah
pudar. Aku masih selalu bermimpi untuk pergi ke alam
Mahabharata, di mana yang tinggal adalah perempuanperempuan telanjang dan bayi-bayi langsung bisa mencari
makan sendiri tanpa membuat kendur payudara bunda
yang telah cukup dibuat melendur, demi melayani nafsu
lelaki yang tak ada kendur.
Namun yang mampir adalah senja yang semu. Yang
kutemui bukan perawan telanjang melainkan seorang lelaki
yang tentunya tak akan bisa mengajakku pergi ke alam

yang aku inginkan. Namanya Loth, dan ia berkesah tentang


Ruth Istrinya yang tak mau meninggalkan kota Sodom dan
Gomorah.
Kecintaannya pada harta membuatnya membatu,
terpancang di kota itu sampai sekarang, ia dikutuk menjadi
tiang garam Begitu ucapnya saat pertama kali kami
bertatap muka, saling memandang setelah sekian lama
terdiam.
Lalu Bagaimana dengan kecintaan warga lelaki kota
Sodom pada penduduk pria kaum Gomorah? Tanyaku
ingin tahu. Kulihat lelaki itu terperanjat, ia menatapku
mengamat-amat.
Ketika kota bertumbuh, selalu muncul menyubur
pedang bermata dua di dalam taman kotanya. Persis.,
ya! Persis seumpama sisi gelap rembulan ketika pada sisi
lainnya ia tengah bersinar Lelaki itu tampak sekali
membuat apologi, tapi jauh di lubuk hatinya aku melihat dia
menatapku sejak ribuan tahun yang lalu. Aku paham, lelaki
ini pastinya memang telah mengawasiku sejak jauh hari
sebelum kami harus bertemu.
Tidakkah kau percaya juga akan cinta? Tanyaku
masih ingin tahu
Namun kesukaan yang demikian adalah hanya
masalah orientasi, tidak ada kaitannya dengan cinta sama
sekali. Ucapnya acuh. Namun meski demikian, sekelebat
aku menangkap, entah kenapa mata lelaki bernama Loth
itu berkilat-kilat. Dari pancar wajahnya, terlihat benar
sekuat tenaga ia mencoba berusaha untuk ingkar, tak
bersetia pada apa yang dirasa. Aku tahu, lelaki itu juga

telah mengerti bahwa bukan hanya kaum Nabi Luth saja


yang terperangkap pada bayang-bayang cinta sejenis yang
demikian.
Kudekati Loth dan lelaki itu bersemu merah mukanya.
Ku tatap pada matanya dan lelaki itu tertunduk menatap
tanah.
Kamu tidak sedang menunggu aku. Maka pergilah!
Jauhkan aku dari godamu! Ucapnya seolah berusaha
menghardikku.
Seperti perempuan-perempuan penyihir di zaman
kegelapan, bila kau anggap aku menyimpang, mengapa
tak kau bakar saja aku di tiang gantungan? Atau bila kau
memang peduli, bawakan saja kejutan listrik padaku!
Lakukan lobotomy dengan memtong bagian depan otakku,
atau beri aku aneka pil, bila memang segala hasrat yang
ku pendam adalah hal yang terlarang! Aku menantang.
Tapi aku tak peduli padamu, ucapnya pelan.
Lalu mengapa kau mengawasiku? Tanyaku tak kalah
tajam.
Aku hanya mampir, sama sekali tak berniat mengusik
tunggumu. Lelaki itu sendu menatapku.
Tapi sungguh, pada tatapan mata Loth aku melihat
ratusan pelajar putri sedang berbondong menuju sebuah
gerbong. Baju yang mereka kenakan berwarna vanilla,
seluruhnya membawa tas yang berisi senja. Dan aku
terbeliak tiba-tiba!
Di antara murid-murid Desa Mytelene Kepulauan
Lesbos itu aku melihat dia! Bukan dalam deretan panjang

pelajar perempuan yang semuanya memakai baju tipis


hingga tampak seperti telanjang, tapi ia memang di sana.
Berdiri bersisian dengan penyair wanita Shappo yang
sedang membelai-belai punggungnya.
Aku berteriak. Tapi perawan telanjangku tak
mendengar. Sekali lagi aku memanggil namanya,
menyebut pada matanya. Berhasil! Ia tersenyum! Tapi
ternyata lemparan senyumnya membentur wanita penyair
itu, aku kecewa.
Sadar bahwa semua akan sia-sia, tanpa izin aku
terobos mata Loth, berharap semua tungguku akan tuntas
dengan menemuinya. Ada sebuah rahasia besar, ya!
Sangat besar. Dan semua itu ingin aku ungkapkan
padanya, ingin kuadukan dalam dekap perawan telanjang.
Kulambaikan tanganku sambil berseru-seru. Perawan
telanjang itu tetap tak berpaling padaku. Retina Loth telah
berlalu dan kini rupanya aku masih harus menembus manik
hitam mata lelaki dari zaman Nabi ketujuh itu, perjalanan
menuju perawan telanjang sepertinya masih panjang.
Untung saja, dalam manik mata itu aku menemukan seratserat halus berwarna coklat keemasan.
Inikah tali yang akan membawaku pada dunia perawan
telanjang? Aku bertanya, tak seorangpun membalas. Aku
tahu, masih ada selarik pembatas lagi yang terbentang
antara dunia di mana kini aku berada dengan dunia
perawan telanjang serta para pelajar Lesbos yang
semuanya terlihat begitu menantang.
Tanpa ragu kuraih serat coklat itu untuk kemudian
menjejak sekuat tenaga pada kakiku, lantas melemparkan

tubuhku. Aku berayun. Sungguh! Udara menerpaku dan


aku seperti Tarzan yang bergelantungan, bertaruh pada
batang-batang akar yang berselusur keluar dari pohonan.
Suara tawa terdengar riuh dari arah bawah, nadanya
menyenangkan dan penuh keramahan.
Hei lihat! Hei, lihat! Begitu seru kalimat di antara nada
tawa yang mengimbuh sangat riuh.
Kuluruhkan pandangku ke arah bawah, perempuanperempuan itu sedang menertawakanku rupanya. Tapi
yang mana perawanku? Mengapa kini semua perempuan
itu tampaknya sama saja?
Turunlah! Turunlah! Itu suaranya!
Tapi bukankah semua perempuan di bawah itu berseru
kepadaku? Membuka mulutnya memanggil-manggil aku
untuk turun ke bawah? Mana perawanku? Yang mana
perawan telanjangku?
Akulah perawanmu! Akulah perawanmu! Mereka
mendengar suara cemas hatiku, rupanya. Lalu entah dari
mana datangnya angin menderu menampar tali dan
mengombang-ambing badanku. Aku merasakan air keluar
dari serat retina yang aku pegang. Sangat licin, melorotkan
pegangan tangan yang tadinya sangat kuat kukuh
menancap pada batang coklat keemasan. Aku mencoba
bertahan. Sekuat mungkin aku mengeratkan pegangan
pada batang itu, tapi cairan yang keluar semakin licin dan
mengental. Setelah tiga puluh menit bertahan, tubuhku
terjungkal, meluruh jatuh, takluk pada gravitasi dan hukum
alam.
Seperti terpidana yang baru terbebaskan setelah

beratus abad, perempuan-perempuan itu menyambut


tubuhku. Menciumi apa saja yang dapat diciumnya dari
bagian badanku. Sangat liar dan tak beraturan, di kulit dan
dekat bibirku, napas mereka terasa benar menahan nafsu.
Entah berapa lama mereka berbuat begitu padaku. Sejauh
itu, sedetikpun tak kubuka kelopak mataku. Sampai tangan
itu satu persatu tak menggerayang dan ciuman bertubi-tubi
itu hilang.
Ketika senyap yang panjang bergentayangan, kubuka
kedua kelopak mataku perlahan. Dalam remang, di pojok
ruangan, aku lihat Loth sedang sembahyang. Ia telanjang,
Badannya keringatan.***
Kanakar
Cerpen: Ucu Agustin
Sumber: Koran Tempo, Edisi 12/28/2003
Kanakar adalah bisik lirih seumpama bujuk pagi yang
menyelusup lembut di hitam malam untuk pelan-pelan
menguasai dan mengambil alih tahta dengan bantuan sinar
fajar. Kanakar adalah saat bening embun di pagi bulan
Januari yang berseri kehilangan pamor dan menjadi malu
saat melihat cara kerja benih yang tumbuh begitu ajaib.
Mulanya tidur dalam kerahasiaan tanah, lalu salah satu dari
mereka tiba-tiba memutuskan untuk bangun. Menggeliat
dan malu-malu menjulurkan tunas kecil indahnya ke arah
matahari lantas mereka menjadi begitu bergairah untuk
tumbuh, memasak khorofil dengan sibuk dan memekarkan
bunga-bunga indah sebelum akhirnya menggelembungkan
buah yang beraroma manis di tiap sela batang di antara

daun-daunnya.
Kanakar adalah saat semua kejadian yang pertama
kali dilihat Dmitri dua tahun silam akan tampak kembali
sebagai mimpi nyata yang menjelma. Hutan bersinar,
bintang kerdipnya lembut, malam seperti diperkosa
malaikat. Heningnya sangat pekat tapi terangnya lebih pijar
ketimbang ratusan lampu bohlam.
Pada dini hari pembuka di bulan pertama setiap
pergantian tahun itulah, saat orang-orang di kota ramai
merayakan berlalunya waktu dan menyambut datangnya
satu fase putaran baru dengan kemeriahan kerlip kembang
api dan keriaan sumbat-sumbat minuman yang dibuka
dengan paksa, lelaki itu cukup mengenang saat yang
seperti itu sebagai saat Kanakar saja.
Kanakar?
Dmitri melihat mereka dari sela-sela antara akar-akar.
Tujuh puteri bersaudara Seven sisters, begitu orangorang berkulit putih menyebut mereka dalam bahasanya.
Bagai laluby panjang yang menyobek malam hening di
suatu kampung. Seperti kisah dalam cerita kanak-kanak
tentang seseorang yang dikejar mahluk raksasa hijau.
Seperti fabel-fabel yang dituturkan lewat lisan tapi kini
menjelma dengan nyata di depan mata. Itulah yang terjadi
pada saat itu. Waktu kanakar
Gelap menggelayuti hutan. Pohon-pohon seperti
raksasa berbulu kaki lebat yang siap membuat siapa saja
tersasar di antara bulu kakinya. Angin seperti meniupkan
nafas salju yang bisa menyumbat laju peredaran darah.
Lelaki itu memeluk tubuhnya. Hanya sebuah jaket kain

biasa yang melapisi baju denimnya. Ia sendirian. Dua


orang temannya akan segera kembali begitu mendapatkan
cigaret dan minuman hangat dari kampung terdekat.
Begitu kata mereka. Padahal itu alasan pembungkusnya
saja. Dmitri tahu hal itu. Alasan sebenarnya mereka ingin
menyapa kekasih-kekasihnya meski sebentar saja.
Tak ada sinyal yang bisa diterima telepon selular di
dalam hutan lebat tersebut. Salah seorang dari mereka
pernah bercanda, hutan ini pasti banyak perinya, bahkan
sinyal saja tak diizinkan untuk menyentuh daerah
kekuasannya. Dan Dmitri tertawa. Dari buku cerita anak
yang pernah dibacanya, ia masih ingat salah satu
keterangan yang tertera di salah satu halaman dalamnya.
Begitulah biasanya cara kerja para peri hutan atau mahluk
apapun yang sifatnya supranatural. Begitu seorang
manusia memasuki kawasannya, maka manusia tersebut
tidak akan bisa melakukan komunikasi dengan sesuatu
atau seseorangpun dalam jarak jangkau yang jauh. Mereka
akan mengurung daerahnya dengan kekuatan,
memisahkan semakin jauh manusia-manusia yang tersesat
dari lingkungan yang ditinggali manusia kebanyakan. Para
mahluk itu akan menggiring orang tersebut untuk sampai di
jantung kerajaannya dan tanpa disadari membuat orang itu
putus asa. Dan saat putus asa, para mahluk itu akan
menampakkan diri mereka. Entah sebagai gadis jelita
yang muncul begitu saja dari balik semak-semak seperti
dalam film-film klasik silat mandarin saat sang jagoan
tersesat di daerah tak dikenal, atau seperti cerita tentang
seorang anak yang bertemu kakek berjanggut pada malam

di saat ia mencuri kubis dan berputar-putar terus di sebuah


kebun tepi hutan tanpa menemukan jalan pulang.
Adalah sebuah kebiasaan yang seolah telah menjadi
hal ritual. Tiga orang lelaki. Dmitri, Elias dan Firdaus.
Bersahabat sejak pertama kali bertemu di kantin SMP
mereka yang berdebu. Sejak saat itu tak pernah berpisah.
Melakukan perjalanan merambah kaki-kaki hutan yang
belum dijamah. Menyusur pinggir-pinggir pantai yang sepi
dan tak biasa disinggahi para peselancar pecandu
gulungan ombak. Mengenali aneka tumbuhan dan berpisah
saat mereka mulai memasuki bangku kuliahan. Tapi ada
satu janji: saat waktu berada pada pertengahan antara
yang lalu dan yang akan datang. Pada setiap pergantian
tahun, mereka akan selalu pergi bersama untuk
mengenang masa remaja dan mempersiapkan banyak
rencana di tahun-tahun mendatang. Mencoret beberapa
daftar rencana yang telah dibuat tahun lalu bila rencana itu
berhasil dan menulis ulang yang harus dilakukan bila ada
beberapa target yang belum tercapai.
Tapi itu lima tahun yang lampau. Saat mereka masih
mahasiswa dan tertawa-tawa membicarakan perempuan
yang mereka kejar, di sela merah api unggun kecil yang
dibakar dari kumpulan kayu-kayuan yang ditemukan
bergeletakan di tanah hutan. Dua teman Dmitri kini telah
punya kekasih tetap. Dari catatan tahun depan yang
sempat diintip Dmitri sebelum mereka berangkat ke
Gunung Salak, Elias bahkan menuliskan pernikahan
sebagai salah satu target yang akan dilakukannya di tahun
depan. Begitulah Jadi andai pada saat tahun baru kali

itu, dua temannya lebih serius mengurusi perempuanperempuannya dari pada berembuk tentang rencanarencana masa depannya, Dmitri bisa maklum.
Dan pada malam pergantian tahun ketika kedua
temannya pergi ke kampung terdekat itulah, Dmitri
menemukan waktu yang hilang. Saat yang kemudian
dikenang Dmitri sebagai saat Kanakar* * *
Dua tahun yang lalu, di tengah kelebatan hutan, saat
gigil mulai menggigit, ketika satu persatu Dmitri
mengumpulkan dahan-dahan pohon tua untuk tambahan
kayu bakar, ia melihat mereka dari antara gelantungan
akar-akar yang bersuluran dari badan pepohonan. Mereka
melayang, terbang. Mengambang dan berkeliaran dengan
udara sebagai pijakan, mungkin itu kalimat yang paling
tepat untuk menggambarkan cara berjalan tujuh
perempuan yang dilihatnya dari antara akar-akar. Tubuh
mereka bersinar seperti kunang-kunang. Rambut mereka
tergerai berwarna emas dan api. Mereka tak bersuara tapi
tampak mereka tertawa-tawa. Roman muka bahagia
terpancar dari wajah mereka yang seterang siang.
Dmitri membeku. Dia hanya bisa menatapi gadis-gadis
cahaya itu dari jauh tanpa bisa melakukan apa-apa. Gigil
dingin tak lagi dirasakannya. Ia begitu terpesona. Dari
antara akar-akar ia melihat perempuan-perempuan
seumpama peri itu mengambil tanah dan lantas
meniupinya dengan nafasnya. Saat tanah-tanah itu ditabur
kembali dari tempat mereka berdiri mengambang, tanahtanah itu tampak seperti debu yang berpijar. Itukah debu
sihir yang ditaburkan Peter Pan dan membuat teman-

temannya manusia biasa jadi pada bisa terbang?


Lelaki itu ingin berlari menuju hujan debu yang berpijar,
tapi keadaan saat itu terasa begitu misterius dan
menakjubkan. Dan saat suatu peristiwa berjalan begitu
misterius dan menakjubkan, seseorang biasanya tidak
bisa berbuat apa-apa selain membiarkannya terjadi saja.
Dan Dmitri, lelaki itu, hanya bisa berdiri mematung saat
ketujuh perempuan tersebut melayang kembali ke langit
setelah menjumput setumpuk kecil tanah yang berpijar.
Tanah yang sebelumnya mereka hembusi dengan nafas
mereka sendiri.
Sejak kejadian yang dilihatnya di tengah hutan dua
tahun lalu itu, Dmitri mengalami imsomnia. Serangan
bayangan ketujuh puteri yang mengambang itu terus
menari di matanya. Membuatnya selalu kembali ke hutan
itu setiap tahun baru datang, saat waktu yang lama dan
yang baru hendak berpagut mengalami pertukaran yang
saling bertaut.
Di kepala Dmitri, bayangan itu terus mengambang.
Bayang tubuh ketujuh perempuan berambut emas dan api
yang semakin jauh membumbung ke angkasa,
membuatnya tak bisa menutup mata. Dmitri ingat benar,
saat rambut para puteri yang berkilauan seterang fajar
menembus angkasa malam dan bersentuhan dengan
cahaya bintang, sesuatu terjadi. Mereka tampak berubah
menjadi merpati. Terbang berpencar membumbung ke
langit dan saat jejaknya hilang, di atas masing-masing
tempat di mana ketujuh burung dara itu lenyap, tampak
dengan sangat terang tujuh bintang yang tertawan di awan-

awan. * * *
Hanya hujan yang bisa menidurkanku. Ketik Dmitri
pada keypad Handphone-nya. Ia membaca sekilas pesan
yang telah dibuatnya. Jam digital di atas meja kerjanya
menunjukkan angka dua tiga dua. Suara riuh jalanan yang
tadi pecah dengan bunyi terompet dan aneka bunyi
petasan kini tak lagi ia dengar. Para pemakai jalan itu
pasti sedang bermimpi sekarang. Ia mengirimkan smsnya.
Tentu saja, karena mungkin seperti yang kerap kau
ceritakan, saat purnama bintang-bintang selalu
memanggilimu. Pasti itu yang membuat kau tak bisa
menutup matamu. Maia.
Dmitri baru mengenalnya satu bulan yang lalu. Kejadian
tak sengaja; berebut sebuah buku yang sama di sebuah
toko buku. Sebuah sore di akhir November. Entah kenapa
Dmitri merasa seolah perempuan itu bisa memahaminya.
Balasan sms itu adalah jawaban paling masuk akal yang
pernah diterimanya sejak ia mengalami masalah sulit tidur.
Sejak ia menemukan saat Kanakar.
Dmitri memang merasa selalu dikerdipi bintangbintang. Mungkin benar, itulah kenapa ia jarang sekali
menutup matanya bila datang waktu malam. Ia hapal
dengan pasti letak rasi-rasi; Lira, Lepus, Taurus. Juga
bintang-bintang besar Casiopea, Al Nath, Borea, dan yang
paling sering membuatnya gemetar adalah Pleiades.
Posisi bintang itu dan cara mereka mengerdipinya.
Adalah seorang putri cantik yang sangat suka berlayar,
Pleione. Menikah dengan Atlas dan dikarunia tujuh puteri

cantik yang rupawan. Dan tersebutlah seorang dewa, Orion


sang pemburu. Jatuh hati kepada pleione dan ketujuh
puterinya. Waktu berlalu dan sang pemburu semakin
marah karena penolakan Isteri dan puteri-puteri Atlas. Dan
ketika mereka tak bisa lagi menghindar, Penguasa
Olympus turut campur. Zeus mengubah ketujuh bersaudari
itu menjadi burung merpati dan mereka pun bisa lari dari
kejaran Orion yang tak kenal henti. Pleione menjadi sebuah
kluster bintang, kini dikenal dengan Pleiades. Tempat
sekumpulan bintang bertahta di antara ribuan galaksi yang
tergantung di ruang semesta. Di Pleiades itulah ketujuh
puteri Pleione bermukim. Menjadi tujuh bintang paling
terang yang pernah ada di semsta. Di kluster itulah pula,
terdapat sebuah sungai cahaya yang mengalir abadi tiada
berujung pun tak berpangkal. Yang bila manusia beruntung
bisa menatapnya, akan bisa menatap salah satu puteri
tercantik dari tujuh puteri Atlas
Dmitri selalu tersenyum bila kebetulan membaca cerita
tentang asal-mula munculnya kluster itu di angkasa. Mitos!
Siapa juga yang sudi percaya? Terlebih mitologi Yunani
untuk pengantar tidur bocah-bocah yang perlu terus digiring
para orangtua untuk terus berimajinasi, supaya daya kreatif
mereka tidak mati. Tapi entah kenapa, semua itu begitu
tepatnya. Ketujuh puteri di dalam hutan, meniupi tanah
hingga menjadi debu pijar. Melayang ke awan-awan,
berubah menjadi merpati dan saat semuanya hilang yang
tinggal adalah pleaides yang maha terang
Dmitri menarik nafas panjang. Tahun telah berganti lagi
dini hari tadi. Tapi sayang, saat waktu bertautan, saat tahun

baru datang dan tahun lama undur pergi bergantian, saat


seharusnya ia berada lagi di tengah hutan melihat ketujuh
puteri itu lagi dari antara akar-akar, ia tak bisa berada di
sana. Radang usus menghambat kepergiannya. Lagi pula
kali ini tak ada lagi yang bisa menemaninya untuk
membuat daftar rencana di tahun depan, menjelajah hutan
itu lagi dan menemui ketujuh puteri yang selalu menghilang
tepat jam dua malam. Elias dan Firdaus telah menikah.
Elias tengah menunggu kelahiran anak pertamanya,
Firdaus sedang di Lombok menikmati bulan madunya. Dan
Dmitri hanya sendiri, menahan sakit di perutnya, teronggok
di kamarnya dengan hanya ditemani Maia melalui Smssmsnya.
Jam digital menampakkan angka dua empat lima.
Hipnos dewa tidur mulai melemparkan jaring kantuknya.
Lelaki itu terperangkap, ia menguap, perlahan kedua
pelupuk matanya mulai mengatup
"Tapi kau telah melihat sungai itu Dan di sanalah kau
akan menikmati segarnya, bersamaku." Sebuah suara
muncul dari antara ambang tidurnya. Sangat dekat dan
begitu dikenalnya. Maia berdiri tepat di hadapannya. Di
antara pijar bohlam dua watt warna hijau pekat, Maia
tampak seperti salah satu dari mereka. Ini pasti mimpi.
Ucap Dmitri dalam hati.
"Tapi semuanya begitu nyata, dan kita telah sangat
terlambat. Dmitri Bersegeralah!" Begitu saja Maia
menggapai tangan Dmitri. Dan keadaan menjadi demikian
menakjubkan.
Ketika
sesuatu
berjalan
begitu
menakjubkan, biasanya orang hanya bisa membiarkannya

terjadi begitu saja, tanpa mempertanyakan. Pun ketika


perempuan serupa salah satu dari puteri yang dilihat Dmitri
pada saat kanakar di tengah hutan itu menggapai
tangannya, mengusapkan debu pijar pada setiap garis
tangan yang bertebar di telapak sebelah dalam.
"Maia," Dmitri memanggil nama perempuan itu.
"Ya aku Maia, " Perempuan itu menjawab.
Dan Maia? Dmitri teringat cerita kanak-kanak itu.
Bukankah ia memang salah seorang dari tujuh puteri yang
tak henti di kejar Sang Pemburu? Electra, Taygete,
Alkyone, Asterope, Merope, Celeone, Maia.
Malam seperti diperkosa malaikat. Heningnya sangat
pekat tapi terangnya lebih pijar ketimbang ratusan lampu
bohlam. Bila saja ada yang tidak terlelap setelah pesta
tahun baru itu usai, pasti mereka akan menganggap yang
di lihatnya sebagai ilusi pada sebuah dini hari. Dua
manusia, lelaki dan perempuan. Bercahaya dan penuh
keanggunan, melayang menorobos langit dini hari yang
hangat dan rimbun dengan kerdip bintang yang lembut.
Saat keduanya menghilang, sebuah sungai tampak
terbentang di langit. Sekejap mengalir mengeriap,
menabur cahaya perak yang mengkilap untuk kemudian
menghilang dan lenyap.
Yah, lenyap untuk muncul kembali suatu saat. Saat yang
dinamai Seseorang bernama Dmitri sebagai saat
Kanakar***
Silsilah Ayah, Anjing, dan Kepinding

Cerpen: Veven Sp Wardhana


Sumber: Koran Tempo, Edisi 02/06/2005
MENDADAK saja di rumah kami ada seekor anjing,
terutama sejak Ayah mulai jarang pulang. Aku sendiri tak
pernah melihat sosok anjing itu. Bahkan suaranya aku tak
pernah sekalipun mendengarnya. Kalau saja Adik Bungsu
tak mengatakan keberadaan anjing itu, aku tak akan
pernah berusaha mendengarkan kemungkinan kehadiran
anjing itu pada malam-malam berikutnya.
Kalau aku pernah mendengar lolongan anjing, itu
adalah anjing yang lain, yakni anjing tetangga di ujung jalan
yang memang suka melolong jika dinihari.
Lolongan karena ada makhluk halus lewat, kata Ayah
suatu kali. Waktu itu, Ayah masih meruahkan berlimpah
waktu agar senantiasa bersama-sama kami: Ibu, Kakak
Sulung, aku, dan Adik bungsu.
Bukan. Bukan setan lewat. Tapi ada anjing betina yang
melintas depan rumah di ujung jalan, tambah Ibu.
Waktu itu, Ayah dan Ibu menengok kamar kami, satu
kamar yang dihuni tiga orang: aku, kakak, dan adik. Aku
tahu, Ayah dan Ibu sedang menenteramkan hati kami,
terutama hati Kakak Sulung, yang sangat benci pada
anjing.
Ketika Adik Bungsu menceritakan pada kami saat
sarapan pagi, kukira itu disebabkan halusinasinya karena
belakangan dia memang sangat ingin memelihara seekor
anjing, terutama setelah dia main ke tempat teman
sekolahnya yang rumahnya dihuni banyak anjing karena
orangtua kawan adikku itu memang memeliharanya.

Hari keempat sarapan pagi, kali ini ditemani Ibu beda


dengan hari pertama, kedua, dan ketiga karena Ibu masih
tidur di kamarnya Adik Bungsu bahkan meyakin-yakinkan
bahwa dia melihat sendiri sosok anjing itu.
Aku melihatnya, Kak. Ekornya mengibas-ngibas.
Persis kayak Gawon, kata Adik Bungsu. Gawon adalah
nama anjing milik keluarga kawannya sesekolah yang
kerap dia ceritakan.
Alah, paling-paling kamu mimpi, sergah Kakak Sulung
sambil mencolek mentega untuk dioles pada selembar roti
yang hendak dia jepitkan di toaster.
Enggak, Kak. Bener deh. Kalau malam-malam
sebelumnya sih aku cuma dengar anjing itu menggarukgaruk pintu kamarku. Semalam aku bener-benar lihat,
Adik Bungsu tak mau surut. Dia kilas balik peristiwa
semalam. Karena kebelet pipis, dia harus keluar kamarnya
menuju kamar mandi yang terletak dekat kamar Kakak
Sulung. Untuk itu, dia harus melintas kamar Ibu. Kamar
orangtua kami, tepatnya: kamar Ayah dan Ibu. Sejak Ayah
jarang pulang, kami begitu saja menyebutnya kamar Ibu.
Anjing itu malah memandangiku, kok. Dia ada di
depan kamar Ibu. Betul kan, Bu? ujar Adik Bungsu sambil
menatap Ibu.
Ibu tak jadi mengoleskan selai ke lembar rotinya. Ibu
malah terkesan melemparkan roti dan pisau roti yang
sudah kadung tercelup ke selai nanas kesukaannya. Wajah
Ibu begitu beku.
Bapak kalian memang anjing..., kudengar Ibu
mendesis menahan geram.

Kami aku dan saudara-saudaraku tak sempat


saling pandang, karena tatapan kelam mata Ibu jauh lebih
membetot perhatian kami. Tatapan yang tak ditujukan
pada sesiapa juga. Tatapan yang penuh sekam.
Bu..., Adik Bungsu memanggil Ibu yang buru-buru
masuk kamarnya dan mengunci pintu. Adik Bungsu
merasa bersalah dengan pertanyaan yang sesungguhnya
pernyataan itu.
Aku gagal mengeja pikiran Kakak Sulung. Raut
mukanya tampak santai. Kurasa dia sudah menyimpan dan
menyembunyikan jawaban atas peristiwa sarapan pagi itu.
Sesungguhnya aku ingin bertanya bisa pada Kakak
Sulung, bisa pada Ibu kenapa Ayah memanggil Ibu
Yayang dan para karib Ibu menyebutnya Sum; adakah
Ibu bernama asli Dayang Sumbi? Adik Bungsu memang
lelaki, tapi namanya sama sekali tak ada yang bisa
ditalitemalikan dengan Sangkuriang. Nama Ayah kami, aku
tahu pasti, bukan Umang.***
AKU benci anjing. Apa alasannya, tak begitu penting.
Aku sendiri tak pernah tahu pasti kenapa begitu membenci
anjing. Belakangan, aku juga benci Ayah. Apa alasannya,
kurasa itu penting karena aku tak ingin dianggap
mengada-ada membenci seseorang yang seharusnya
kukagumi, kubanggakan, kusayangi, dan dalam hidupku
kuanggap penting.
Ayah berkhianat!
Ayah mengkhianati kami, terutama Ibu. Ibu yang kutahu
dalam sepanjang hidupnya sangat menyayangi Ayah
ternyata tak berbalas sebagaimana Ibu mencintai dan

bahkan melayaninya.
Ayah mengkhianati kita; kalian dan aku, kata Ibu suatu
kali, malam-malam; malam-malam ketika Ayah mulai
jarang pulang. Waktu itu, Ibu mengendap kamarku, dan
pelahan membangunkan aku. Kami, anak-anak Ibu,
bersamaan dengan usia kami yang kian bertambah, sudah
dibikinkan kamar sendiri-sendiri. Aku, anak sulung,
dibuatkan kamar agak di depan. Mestinya, Adik Tengah
dan Adik Bungsu masih bisa sekamar, tapi karena Adik
Bungsu kami lelaki, dia pun dibuatkan kamar tersendiri
pula.
Ayah kawin lagi? tanyaku menegaskan.
Ibu cepat-cepat membekap mulutku dengan
telunjuknya. Aku tafsirkan, aku harus bicara perlahan dan
tak usah terkejut. Itu tafsir pertama. Tafsir kedua, Ibu
hendak menegaskan: tidak begitu penting bentuk
pengkhianatan Ayah. Tafsir ketiga: Ibu ingin hanya aku saja
anaknya yang tahu rahasia ini. Mungkin karena aku anak
sulung. Mungkin karena aku sudah dianggap dewasa. Tak
ada yang harus kupilih salah satu dari tafsir-tafsir itu.
Semuanya kucoba kupahami. Dan aku percaya pada katakata Ibu, karena kenyataannya belakangan hari Ayah
semakin jarang pulang, apalagi bersama-sama pergi
keluar kota jika akhir pekan.
Kurasa, aku bisa menahan diri untuk tak menceritakan
rahasia Ibu tentang Ayah pada adik-adikku. Tapi aku tak
pernah berhasil menyimpan kebencianku pada Ayah. Juga
pada anjing. Tapi, ketika sarapan pagi itu Ibu menggeram
dan menggumamkan bapak kalian memang anjing,

kurasa Ibu tak lagi bisa menahan rahasia Ibu sebagai


rahasia kami berdua. Ibu memaklumatkan bahwa
pengkhianatan Ayah sudah harus juga diketahui adikadikku.
Toh, aku tak hendak membuka pengkhianatan itu pada
saudara-saudaraku.
Biar
Ibu
sendirilah
yang
membongkarnya.
Sejak itu, saban malam, aku senantiasa menunda
kantukku. Aku menunda tidurku agar aku bisa mendengar
suara anjing yang masuk rumah kami sebagaimana
dikisahkan Adik Bungsu.
Jika benar ada anjing dalam rumah kami yang jadi
kerap muncul (setidaknya dalam benak Adik Bungsu)
bersamaan dengan kian jarangnya Ayah pulang ke rumah
aku akan mendadak membuka pintu kamar, lalu
menggusah anjing itu dengan galah atau malah dengan
tombak tajam terasah. Aku harap rasa muakku pada Ayah
bisa terlunaskan dengan menendang anjing yang sama
kubencinya dengan Ayah.
Hingga selama sepekan aku menunda tidur dan
kantukku, bahkan sampai subuh, tak sekalipun pernah
kudengar tanda-tanda adanya seekor anjing masuk rumah
kami pada malam hari. Saat sarapan, ketika kutanyakan
pada Adik Bungsu, dia juga mengatakan tak lagi pernah
mendengar dan melihat keberadaan anjing dalam rumah.
Bahkan lolongan anjing tetangga di ujung jalan pun tak
pernah dia dengar lagi sejak peristiwa sarapan pagi
bersama Ibu sepekan lampau itu.
Yang kemudian masuk ke rumah kami malah seekor

kalong. Itu kata Adik Tengah.


Baunya sangit. Sangat menusuk-nusuk hidung, Adik
Tengah menjelaskan dalam pertemuan makan malam.
Sejak aku menahan kantuk dan menunda tidur malam, aku
jadi kerap bangun agak siang, sehingga tak sempat
sarapan pagi bersama-sama mereka. Yang kumaksud
dengan mereka: dua adikku minus Ibu. Ibu semakin
jarang semeja bersama kami. Tak hanya sarapan, tapi
juga makan siang, bahkan makan malam.
Kalau tak bisa dan tak sempat bersama makan siang,
itu kami bisa paham, karena terkadang Ibu harus keluar
rumah untuk menemui seseorang atau mengerjakan entah
apa yang menurutnya bisa membuat melupakan rasa getir
sehingga terasa hidup lancar mengalir. Namun jika Ibu
sudah pula tak bisa makan malam bersama kami, jadinya
tiada lagi kesempatan bagi kami untuk bisa saling berbagi
pengalaman yang kami lewati sepanjang hari. Padahal, Ibu
ada di rumah; hanya saja Ibu cenderung memasung diri
dalam kamarnya.
Tapi, aku tahu, justru Ibu sedang merendam dan
meredam dendam dan dendam itu tak hendak dia bagikan
pada kami. Buktinya, sampai hari ini dua adikku tak
menunjukkan gelagat mengetahui rahasia Ibu dan
rahasiaku perihal pengkhianatan Ayah.
Apa bedanya dengan bau kepinding? tanya Adik
Bungsu.
Persis! Bau kepinding, kutu busuk yang nyelip di
jahitan kasur; bau kepik yang suka menclok di rambatan
tumbuhan manisa, labu siam itu, ya kayak begitu itu

baunya. Apek. Hidung yang pilek saja bisa sembuh karena


ditembus bau itu, suka cita Adik Tengah menimpali Adik
Bungsu.
Apa Kakak suka kelelawar? Kalong itu? tiba-tiba Adik
Bungsu memotong.
Kenapa? tanya Adik Tengah berbarengan dengan
pertanyaanku yang menggantung dalam batin.
Kan Kakak bilang, aku berhalusinasi mendengar dan
melihat anjing karena aku sedang pengen punya anjing.
Apa halusinasi Kakak soal kalong itu karena Kakak
pengen memelihara kalong?
Kalong itu induk kepik dan kepinding. Itu sebabnya
baunya sama. Suara Ayah tiba-tiba terngiang. Entah suara
dari masa lampau yang manakah itu. Aku ingat Ayah
pernah mendongeng perihal kalong saat Adik Bungsu
masih dalam perut Ibu. Waktu itu, Adik Kedua begitu
ketakutan melihat kelelawar yang menggelepar-gelepar di
atas genting setelah menabrak kawat listrik di depan
rumah kami. Bias cahaya matahari pagi mungkin telah
membuatnya silau. Rupanya, diam-diam, semalam Adik
Tengah sendirian menyaksikan film di televisi tentang
vampire.
Kalong itu dulunya wangi lho, wong makannya saja
hanya buah-buahan serba segar. Hanya karena dia
digelendoti kepik, kepinding, dan sebangsanya kalong jadi
ikut bau apek.
Aku tidak berhalusianasi, Dik. Aku benar-benar
melihatnya. Beda dengan kamu, aku justru benci
kelelawar, ucap Adik Kedua. Aku tahu, hingga sekarang,

Adik Kedua menganggap kelelawar merupakan jelmaan


iblis. Bahkan Batman pun dia anggap sebagai siluman.
Tidak hanya aku, bahkan Ibu juga melihatnya,
sambung Adik Kedua.
Ibu? tanyaku begitu saja terlontar. Aku
membayangkan, pastilah Ibu sedang keluar kamar.
Padahal, setahuku, sejak Ibu masuk kamar dan mengunci
pintu, tak pernah lagi Ibu keluar kamar entah untuk
sekadar ambil air minum atau ke kamar kecil; sebab
bersamaan dengan Ibu masuk kamar, Ibu senantiasa
mencangking segelas air minum.
Ya. Ibu bahkan menghalau kalong itu waktu kalong itu
mengitar-ngitar di kepala Ibu, sahut Adik Tengah.
Jam berapa Ibu keluar kamar? Bukankah aku menunda
kantuk dan tidurku dan hingga subuh tak ada suara apa
pun, termasuk suara Ibu atau Adik Tengah yang membuka
kamarnya?
Tanya Ibu deh, celetuk Adik Tengah bersamaan
dengan kamar Ibu yang membuka.
Muka Ibu tampak kuyu. Pengkhianatan Ayah benarbenar telah menohok hati Ibu tepat di ulu.
Benar kan, Bu, ada kalong malam-malam itu? Adik
Tengah tampak memohon pada Ibu.
Ibu tak segera menjawab karena handphone-nya
mendadak bergeletar. Ibu segera membuka katup telepon
genggam itu. Wajah Ibu mendadak menegang.
Kamu memang bangsat! Kampret! Ibu berteriak
kepada penelepon di seberang. Rupanya Ayah yang
menelepon.

***
MALAM itu, ada anjing masuk ke dalam rumah
keluarga yang ayahnya semakin jarang datang dan
bertandang pulang. Kakak Sulung merasakan itu. Hanya
Kakak Sulung yang tahu itu. Adik Bungsu sama sekali tak
mengetahui bahwa anjing yang pernah dia lihat mengibasngibaskan ekornya ke pintu kamar Ibu itu mondar-mandir
dari ruang tamu ke ruang tengah. Dia justru mendengar
suara gaduh dari erangan dan auman yang dia telisik
sebagai suara setan. Dia tahu itu suara setan karena
begitu itulah suara setan sebagaimana yang dia saksikan
di televisi yang dipasang di kamarnya.
Adik Tengah juga tak mendengar suara anjing
apalagi melihat sosoknya. Dia hanya mendengar suara
gaduh yang ditimbulkan oleh kepak sayap kelelawar yang
terbang menabrak-nabrak lampu gantung, plafon, dan kaca
jendela yang kelambunya lupa dikatupkan.
Saat tombak Kakak Sulung menembus urat nadi leher
anjing dan anjing itu melengkingkan lolongan panjang, Adik
Bungsu juga mendengar lolongan setan yang dia yakin juga
tewas setelah dia lemparkan kalung salib dan tasbih ke
luar kamarnya ke arah setan sedang mengaum dan
mengerang. Adik Tengah mengguratkan senyumnya dari
balik kamar karena dia merasa yakin telah berhasil
membunuh kelelawar berkepinding jelmaan iblis-siluman
yang terperangkap lampu insektisida yang dia modifikasi
sehingga bukan hanya nyamuk dan lalat yang tersedot
mendekat dan terlekat oleh setrum listrik yang berpijar-pijar
seperti kilat.

Suara gaduh itu sama sekali tak membuat Ibu


terbangun karena tenggakan minuman beralkohol telah
menyenyakkan tidurnya setelah sebelumnya dengan suara
serak dia mengumpat suaminya lewat telepon: Kamu
benar-benar kampret, anjing, ular beludak, setan.
Esok pagi, tak ada yang tahu Ibu bangun dan keluar
kamar terlebih dulu. Juga tak ada yang tahu Ibu yang
kemudian meraung-raung sesaat setelah melihat ada tiga
sosok makhluk tergelimpang persis di depan pintu
kamarnya: kelelawar yang mengisut dikerubuti abu
kepinding, anjing yang melengkung garing kehabisan
darah, dan setan yang hangus menyisakan tulang
kerangka.***
SURGA di telapak kaki Ibu. Neraka tumpah dari
mulutku juga Ibu lain. Aku lupa namanya, pernah
kusaksikan seorang Ibu yang mengutuk putranya menjadi
karang dan karang itu hingga kini teronggok di pesisir
pantai dan saban malam dihantami gelombang. Aku tak
hendak mengutuk anak-anakku karena mereka berada di
pihakku. Justru suamiku yang bermimikri menjadi anjing,
atau kelelawar, juga setan setelah kusumpahserapahkan
kesumatku. Sebelumnya, kusumpah dia agar kembali
menjadi gembel, karena dia melupakan kami setelah dia
sukses menjadi eksekutif di sebuah perusahaan
multinasional. Makin dia naik ke puncak jabatan makin dia
abai pada kami. Alasan kesibukan selalu dia
jadikan argumentasi.
Untuk apa sih prestasi itu? tanyaku kala itu.
Untuk keluarga, katamu! sambungku mencecar

karena suamiku tampak tak hendak menjawab


pertanyaanku.
Kalau untuk keluarga, kamu toh sekarang melupakan
aku, istrimu, juga anak-anakmu. Kamu melupakan
keluargamu justru saat kamu hendak menggapai yang
kaukatakan untuk keluarga....
Kuanggap dia telah lupa tanah berpijak, lupa dan abai
bahwa akulah yang menghantar dan memicunya sehingga
dia menjadi orang penting.
Aku resign dari tempat kerjaku, suamiku menelepon.
Dua malam sebelumnya aku merutuk dan mengutuknya
kembali menjadi gembel sebagaimana saat sebelum kami
berkenalan dan bercinta.
Pensiun dini? kataku sekenanya.
Nggak ada uang pensiun. Hanya pesangon seadanya.
Hmmm. Kenapa?
Kantorku lebih menghargai pantatku ketimbang
kepalaku.
Aku menunggu kalimat berikutnya.
Kantor lebih menilai berapa lama pantatku duduk di
kursi di depan meja. Manajemen tak begitu peduli dengan
isi kepalaku yang selalu memikirkan perusahaan di mana
pun aku berada dan kapan pun saatnya. Bahkan saat tidur,
bermimpi, dan mengigau.
Aku tak menunggu kalimat berikutnya, karena kalimatkalimat itu sudah pernah kudengar berulang kali darinya.
Aku tak menunggu kalimat-kalimatnya karena dia
kemudian datang ke rumah pada dinihari sebagaimana
dinihari-dinihari sebelumnya.

Aku menunggu pernyataannya bahwa dia akan kembali


pada kami.
Aku tak punya apa-apa lagi sekarang.
Aku menunggu pernyataannya.
Aku jadi seperti dulu saat sebelum ketemu kamu.
Aku menunggu.
Sekarang, aku jadi bambungan; gelandangan.
Gembel yang tak ada artinya apa-apa buat kamu.
Aku.
Biar sajalah aku sendiri. Kamu berhak meninggalkan
aku. Kamu berhak melupakan aku.
Aku tahu, suamiku tak akan pernah kembali pada kami.
Aku tahu. Aku tahu tapi tak bisa mengendalikan
serapahku. Suamiku benar-benar kampret, anjing, ular
beludak, setan.
***
AKU harus memohon maaf pada Ibu karena ternyata
Ibu kurang suka pada anjing. Sama persis dengan kakakku
yang sulung. Aku berjanji tak akan lagi merengek pada Ibu
dan kakak-kakak agar aku diperbolehkan memelihara
anjing. Aku bisa memahami kebencian Kakak Sulung pada
anjing terutama setelah mendengar Ibu murka pada pagipagi itu dengan nada penuh kebencian dan rasa jijik.
Diam-diam aku ingin berterimakasih pada Kakak Sulung
yang setiap saat kulihat mengasah ujung tombaknya yang
katanya hendak dia pakai untuk menikam anjing yang
pernah kudengar dan kulihat dalam rumah kami kalaukalau anjing itu kembali lagi masuk rumah kami. Bahkan
aku rela dan ikhlas kalau saja Kakak Sulung menikam

anjing itu jika saja anjing itu hadir dalam mimpi dan
khayalanku. ***
legian, juli 2004
ciputat, 18 januari 2005; 21.11

Hikayat Asam Pedas


Cerpen: Azhari
Sumber: Koran Tempo, Edisi 06/20/2004
PERCAYAKAH Tuan bahwa setumpuk bumbu masak -asam sunti, ketumbar, lada, bawang putih, serbuk kunyit,
cabe rawit, belimbing wuluh, dan garam -- yang ada di
hadapan Ibuku itu memiliki riwayat? Ibu telah berkali-kali
menyampaikan kepadaku tentang riwayat itu sekaligus
mengajariku cara membuat masakan asam pedas, sambil
menunggu bapak pulang. Kecuali garam, serbuk kunyit,
dan belimbing wuluh, gilinglah semua bumbu itu, kata ibu.
Hancurkan sempurna, sehingga menyerupai sekepal
lempung lunak berwarna coklat. Kepalan yang kalau
kaulempar ke udara dan kembali kautangkap dengan
tangkas akan berbunyi phaak! Begitu ibu selalu
melakukannya sebelum memipih-mipihkan kembali
kepalan bumbu itu di pinggir batu giling dan menaruhnya di
kesunyian belanga. Di belanga telah menunggu krimen,
ikan laut dengan tulang-belulang tak kepalang banyaknya.
Kau harus hati-hati memakan ikan itu. Belulangnya bahkan
bersembunyi di lapisan teratas tubuhnya, bersiap

mengintai kerongkongan siapapun yang memakannya


dengan tergesa. Tentu, sepadan dengan rasa ikan itu:
manis tak terpermanai. Di belanga yang sehitam abesy
itulah bumbu yang kata ibu mempunyai riwayat bercampurbaur dengan krimen. Bumbu itu mesti meresap hingga ke
dasar tulang krimen. Agar belulang itu sedikit lunak dan tak
menyakitkan jika tersangkut di kerongkonganmu.Bapak,
kata ibu mulai menghamparkan cerita, tak peduli benar
ikan apa yang dimasak sebagai asampedas. Yang penting
baginya adalah kuah asampedas. Bapak tak pernah bisa
menunggu belanga diangkat dari perapian. Tak pernah
bisa menunggu asam pedas itu ditaruh dulu di dalam
mangkuk agar dia nyaman memakannya Bapak akan
menciduknya langsung dari belanga dan menuangnya ke
atas nasi. Seolah-olah takut ada yang menghabiskannya.
Bagi bapak, bersantap dengan lauk asam pedas itu cukup
sekali saja. Tak akan ia mengulang pada waktu makan
berikutnya. Pun jika kau paksa. Padahal biar berkali-kali
dipanaskan, asam pedas tetap tak berkurang lezatnya.
Apalagi jika kuahnya sampai mengendap dan lengket ke
pantat belanga, sungguh tak terbayangkan rasanya.
Kenapa bapak berlaku demikian? Itu karena bumbu masak
asam pedas ada riwayatnya. Mari dengarkan riwayat
bumbu-bumbu itu langsung dari mulut ibuku, sambil
menunggu bapakku pulang. Agar kalian tak menyesal dan
menyalahkanku di akhir cerita.BERHARI-HARI lamanya
Nek Sani berkeliling kampung, menghampiri tiap rumah,
mencari-cari siapa tahu di sana tertanam sebatang pohon
belimbing wuluh. Begitu melihat pohon itu, segera dia

meminta izin kepada pemilik pohon untuk mengutip buahbuah yang jatuh. Kepada si pemilik tak lupa Nek Sani
mengatakan ia ingin membuat asam sunti untuk bumbu
asampedas. Sudah bertahun-tahun dia tak memakan kuah
asampedas. Betapa coklatnya asam sunti. Muasalnya dari
belimbing wuluh setengah tua yang dijemur di panas
matahari hingga berhari-hari lamanya. Hingga buahnya
yang gemuk menyusut dan perseginya tak berupa lagi. Nek
Sani memasukkan belimbing wuluh itu ke dalam buntalan
sarung dan memberkahi sang pemilik pohon agar
dimudahkan rezekinya oleh Tuhan. Tak lupa ia bergunjing
tentang sulitnya hidup di zaman perang, bahkan untuk
sekedar membuat asam pedas pun harus menahan-nahan
diri. Gunjing itu diterima orang kampung dengan sukacita.
Karena memang begitulah kenyataannya. Cara Nek Sani
bergunjing sungguh khas: ia mendesis-desiskan mulutnya,
dan tangannya berkali-kali menunjuk ke langit, seolah itu
kabar penting dari jauh, dan cukup seorang saja yang
mendengarnya. Di ujung gunjing, mulutnya yang hitam oleh
sirih dan pinang akan didekatkannya ke dagu orang yang
mendengarnya, lalu ia bungkam sendiri mulutnya dengan
kuat, seolah menahan sesuatu yang akan jatuh dari dalam
kuluman. Berhari-hari lamanya Nek Sani mencari
belimbing wuluh. Berkali-kali pula asam sunti itu habis
tandas dibuatnya sambal dengan garam dan cabe rawit
sebagai teman makan nasi. Bukan karena Nek Sani telah
kehilangan hasratnya untuk membuat asampedas. Tapi ia
tak mampu menyediakan bumbu yang lain: serbuk kunyit,
ketumbar, bawang putih, dan lada. Lagi pula, betapa

sulitnya mendapatkan ikan segar di masa perang. Dan


pohon belimbing wuluh pun berbunga menurut musim,
bukan? Tak setiap saat pohon itu berbuah. Maka Nek Sani
harus membuat asam sunti sedikit demi sedikit. Paling
tidak disimpannya sebuah asam sunti ke dalam kaleng
setiap kali dia menjemur setumpuk belimbing wuluh. Kelak
siapa tahu ada yang bermurah hati memberinya
segenggam lada dan ketumbar, juga beberapa siung
bawang putih. Dan Nek Sani akan menemui Pawang
Lemplok, meminta beberapa ekor ikan. Saudagar kapal itu
pasti akan memberikannya. Pula ada hal yang ingin
disampaikannya
kepada
Lemplok.
Kalau
dia
menyampaikan hal itu sekarang -- saat dia belum beroleh
lada, ketumbar, dan bawang putih -- dia yakin ikan
pemberian itu cuma akan menjadi ikan asin. Nek Sani
yakin Lemplok akan senang mendengar kabar darinya.
Musim Haji tiba. Nek Sani girang bukan kepalang. Bukan
karena dia akan pergi ke Mekkah menunaikan rukun
kelima. Mana punya uang dia. Bukan pula dia menunggu
setumpuk daging kurban dari para dermawan. Tak ada
yang berkurban di saat musim perang seperti ini. Nek Sani
menunggu handai tolan yang pulang berhaji. Dia akan
meminta sesuatu kepada mereka. Bukan air zamzam
bukan kurma. Hatinya sudah cukup terang tanpa meminum
zamzam, hidupnya pun sudah terbekahi tanpa mencicipi
kurma. Begitulah pikirnya. Ia cuma ingin mencicipi
semangkuk asam pedas sebelum mati. Asam sunti sudah
ditabungnya. Tentang ikan segar, dia berharap pada
kemurahan hati Lemplok, tentu imbalannya adalah sebuah

perkabaran. Tentang lada, ketumbar dan bawang putih, dia


tahu orang-orang yang pulang berhaji pasti membawanya.
Dia tahu, selain pergi berhaji menunaikan perintah Tuhan,
orang-orang kaya di mukim pasti membawa pulang
berkilo-kilo lada, ketumbar, dan bawang putih. Rempahrempah tersebut, kabarnya, banyak dijual di sana, dibawa
oleh para peziarah Kleng. Dia akan menjumpai orangorang kaya yang pulang berhaji, meminta barang
segenggam rempah-rempah. Tentu, imbalan untuk masingmasing adalah sebuah perkabaran.Nek Sani mendapatkan
sepuluh siung bawang putih yang hampir membusuk dari
Haji Rahim. Lebih dari cukup untuk membuat asampedas,
pikirnya. Sebelum mendapatkan rempah itu dia harus
menunggu enam jam lamanya. Menunggu haji tersebut
membereskan urusannya dengan toke-toke. Sungguh
banyak yang mengambil rempah untuk toko-toko mereka di
Kutaraja. Haji Rahim sesungguhnya ke Mekkah tidak untuk
menunaikan rukun haji. Dia cuma mengambil kesempatan
pada musim haji untuk berjual-beli. Kata sahibul kabar, Haji
Rahim menukar rempah-rempah dengan candu yang dia
dapat dari para toke. Orang Cina tak diperbolehkan masuk
ke Mekkah. Pihak syahbandar menetapkan aturan itu,
kecuali bagi Cina yang muslim. Jadi Haji Rahim hanyalah
perantara pertukaran barang-barang itu. Sebagai rasa
terima kasih Nek Sani mengatakan suatu hal kepada Haji
Rahim. Hal yang membuat haji itu mengangguk-anggukkan
kepalanya.*1 Besoknya Nek Sani dijamu oleh Tengku
Meusapat, di ruang utama rumah panggungnya. Dia
dipanggil meusapat karena piawai mengumpulkan orang

untuk mendengar hujah dan syiar keagamaan. Kepiawaian


yang dia dapatkan sejak kecil, ketika dia meudagang
berpuluh-puluh tahun lampau di Labuhan Haji, Aceh
Selatan, pada seorang keturunan mufti kesultanan Aceh
Darussalam. Mufti itu dituduh sesat karena menyiarkan
ajaran guru besarnya bahwa Tuhan menjelma di manamana pada tiap makhluk yang berwujud. Sebagaimana
gurunya, Tengku Meusapat juga dianggap sesat oleh
penguasa kini. Kata sahibul kabar, dia banyak membantu
tentara gunung. Setiap musim haji, dia pergi ke Mekkah
menunaikan rukun kelima seraya menjalin hubungan
dengan para pemuka agama dari Arab. Hubungan yang
perlahan-lahan akan membantu Orang Gunung
memperoleh kemerdekaannya. Tapi penguasa sulit untuk
menangkap Tengku. Sebab tak ada bukti. Juga pun karena
pengaruhnya yang besar: beratus-ratus dayah berdiri di
belakangnya. Tapi Nek Sani tak ada urusan dengan segala
tetek bengek itu. Tujuannya hanya mendapatkan
segenggam ketumbar atau lada. Dia tahu Tengku pasti
membawa pulang beberapa kwintal rempah-rempah untuk
kebutuhan satu tahun. Kurma dan air zamzam pun
ditolaknya dengan halus. Dia tak ingin beroleh banyak hal
dari orang yang sama. Barangkali juga buntalan sarungnya
tak bisa memuat banyak jenis pemberian. Maka Nek Sani
mendapatkan lada dan ketumbar masing-masing
segenggam, dari Tengku. Dan tak lupa dikatakannya satu
ihwal untuk membalas jasa Tengku.*2Tentang bubuk kunyit,
Nek Sani tahu bahwa Manyak pasti menyimpannya. Dia
tahu karena Manyak pada meugang haji beberapa waktu

yang lalu memberinya semangkuk kari kambing. Manyak


pasti menyimpan bubuk kunyit sisa bumbu kari. Kini dia
akan meminta barang sesendok kepada tetangganya itu.
Sebagai imbalan akan diajaknya Banta, anak Manyak,
untuk makan malam di rumahnya. Nek Sani mengulum
tawa, membayangkan anak itu pasti akan kepedasan nanti
merasakan kuah asampedasnya. Pagi-pagi buta
keesokan harinya Nek Sani mengunjungi Pawang Lemplok
di tanjung. Dia berharap menjelang siang dia sudah
kembali ke rumah untuk mempesiang ikan dan meramu
bumbu masak. Menjelang magrib asam pedas sudah di
atas tungku. Dia akan menyantapnya sebagai menu makan
malam. Di tanjung yang sempit itu -- kalau kauperhatikan,
bentuknya serupa kemaluan perempuan -- ada dermaga
tempat merapat kapal. Ke sana dia menjumpai Pawang.
Dermaga itu miliknya, kecuali kapalnya tak boleh ada
kapal lain yang merapat di sana. Tentang Lemplok dia
punya riwayat. Alangkah jahil Lemplok semasa muda. Dia
ingat tentang suatu malam. Malam Selasa, saat beberapa
orang sedang menyelenggarakan ceramah agama. Saat
mereka sedang menganjurkan sejumlah larangan baru:
melarang jemaah makan-minum saat berkunjung ke rumah
orang yang ditimpa musibah, melarang dalae di kampung,
melarang kenduri yang kata mereka mendekati
kemusyrikan. Nah, beberapa anak muda seperti Lemplok
tak suka penganjuran itu. Maka mereka kerap
mengganggu ceramah. Puncaknya malam Selasa itu.
Lemplok dan kawan-kawan membungkus sebatang pohon
kelapa dengan daun kelapa kering dari bawah hingga ke

puncak. Pohon itu berada di sebuah tanah kosong yang


jaraknya setatapan mata dari meunasah tempat ceramah
berlangsung. Maka dibakarlah pohon kelapa itu dan
mereka berteriak tentang kebakaran bersahut-sahutan.
Ada jerit seorang perempuan dari sebuah rumah di tanah
kosong itu yang terkejut menyangka benar telah terjadi
kebakaran. Seluruh kampung terkecoh. Para penganjur
hilang semangat untuk melanjutkan ceramah.Nek Sani
menyampaikan kembali kisah itu kepada Lemplok, seraya
menyatakan bahwa perempuan yang berteriak malam itu
adalah dirinya. Terbahak-bahak Lemplok mendengarnya.
Sebagai imbalan Lemplok memberi Nek Sani beberapa
ekor krimen yang masih segar. Nek Sani berjanji dalam
hati, cukup sekali ini saja dia mendatangi Lemplok. Dia
mendengar desas-desus bahwa Lemplok dimusuhi banyak
orang karena keserakahannya: membangun dermaga di
tanjung hanya untuk kapal-kapal miliknya saja. Juga
Lemplok tak disukai Orang Gunung karena menjadi kaki
tangan penguasa. Kapal-kapalnya sering memergoki jungjung Orang Gunung yang membawa masuk senjata ke
tanjung. Dan Lemplok tak jarang mengabarkan itu kepada
tentara penguasa. Dia tak bergunjing apapun dengan
Lemplok, kecuali tentang riwayat lama itu saja. Tak terlihat
tangannya menunjuk-nunjuk langit. Tak pula ia mendekap
mulutnya dengan kuat seolah hendak menahan sesuatu
yang akan jatuh dari dalam kuluman. Dengan
menyampirkan buntalan sarungnya ke kepala Nek Sani
pulang, bersiap memasak asampedas.Kini semua bumbu
itu sudah berada di hadapan Nek Sani. Dipetiknya cabe

rawit dari kebun belakang. Masih tersisa segenggam


garam di dalam kaleng. Juga beberapa belimbing wuluh
muda yang akan dirajangnya, untuk membuat asam pedas
bertambah asam.Kecuali garam, serbuk kunyit, dan
belimbing wuluh, bumbu-bumbu itu harus digiling semua,
kata Nek Sani kepada Banta. Anak itu dengan tekun
memperhatikan Nek Sani menyiapkan bumbu Tubuh Nek
Sani bergoyang karenanya. Persis orang yang sedang
berzikir. Jelas terdengar bunyi lada yang pecah dan
ketumbar yang letup, mengingatkan Banta akan sejenis
kacang-kacangan yang, kalau terkena air, pecah
menyemburkan biji-bijinya ke segala penjuru. Hancurkan
hingga urai, hingga menyerupai sekepalan lempung lunak
berwarna coklat, kata Nek Sani. Banta takjub melihat
bagaimana Nek Sani melempar kepalan itu ke udara lalu
menangkap ulang kepalan itu dengan tangkas. Phaak!
Banta bertepuk tangan. Lalu Nek Sani memipih-mipihkan
kembali kepalan bumbu itu di pinggir batu giling lantas
menaruhnya di kesunyian belanga. Di belanga telah
menunggu krimen pemberian Pawang Lemplok. Aduklah
bumbu dan ikan hingga baur, kata Nek Sani, hingga bumbu
meresap ke dalam ikan. Dan sunguh asam sungguh pedas
nanti rasa kuahnya.Perapian disiapkan. Lalu Nek Sani
menaruh belanga di tungku. Tak abai Nek Sani meniupniup api di situ. Tak lama kemudian berguncangguncanglah kuah itu di dalam belanga. Kalau kau lihat,
kuah kekuningan itu menciptakan gelembung yang
memecah silih berganti. Berleleran liur Nek Sani saat
mengaduk-aduk asampedas. Baunya itu tak tertahankan.

Bahkan asap yang menyembur dari belanga mengantarkan


aroma ke sekitar.Saat kuah tiba di puncak didih, ada yang
mengetuk-ngetuk pintu. Memanggil-manggil Nek Sani.
Tanpa memalingkan wajah dari belanga, dari arah dapur
dia menyahut, menyuruh masuk siapapun itu. Tak lupa dia
menggerutu, menyatakan kepada Banta, betapa bau kuah
asam pedas telah mengantarkan orang ke rumahnya,
barangkali
mereka
ingin
memintanya
barang
semangkuk.Tiga lelaki tiba di dapur. Nek Sani menyuruh
mereka duduk. Mengajak serta mereka ikut makan
asampedas. Kuahnya sudah mendidih, kata Nek Sani.
Sebentar lagi akan diangkat dari tungku. Salah seorang
dari tiga lelaki menolak. Dia berkata, ingin membawa Nek
Sani sebelum isya. Nek Sani mengangguk seraya
menyatakan, sila tunggu hingga aku selesai menyantap
asampedas. Mereka menolak seraya mengatakan Nek
Sani harus dibawa segera. Tunggu, aku ingin meminum
barang seteguk asam pedas kalau begitu, kata Nek Sani.
Tangannya memegang irus, bersiap menciduk kuah
asampedas. Masakan itu meletup-letup karena didih.
Sebuah gelembung yang pecah mengenai pipinya. Tiga
lelaki kembali menolak seraya mengatakan bahwa Nek
Sani harus segera menjelaskan kenapa tadi pagi dia
berjumpa Pawang Lemplok di tanjung. Maka tiga lelaki itu
mengangkat Nek Sani dengan tergesa-gesa. Seperti
mengangkat belanga dari tungku. Seolah tubuh Nek Sani
sepanas belanga yang membuat tangan mereka melepuh.
NEK Sani diambil tepat ketika kuah asam pedas tak hentihenti meletup membuat belanga berguncang-guncang. Itu

tanda belanga harus diangkat dari tungku, demikian ibu


menutup riwayat. Dan aku akan terus memasak
asampedas, menunggu bapakmu pulang, lanjut ibu.
Karena bapak tak pernah bisa menunggu belanga
diangkat dari perapian, tak pernah bisa menunggu asam
pedas itu ditaruh dulu di dalam mangkuk agar dia nyaman
memakannya. Bapak akan menciduknya langsung dari
belanga dan menuangnya ke nasi, seolah-olah takut ada
yang menghabiskannya. Kalau perlu dia akan menghirup
asam pedas langsung dari irus, saat asam pedas masih
mendidih. Tiap hari ibu menyampaikan riwayat tentang
setumpuk bumbu, mengajariku cara memasak
asampedas, sambil menanti bapak pulang. Tapi
percayakah Tuan bahwa aku tak dapat mengingat kembali
riwayat itu? Dan hingga riwayat ini diceritakan ibu, aku
bahkan belum bisa memasak ikan asampedas.
KuharapTuan tak menyalahkan aku. Banda Aceh, 8 Juni
2004Kosa kata AcehAbesy: sebutan untuk kaum kulit
hitam. Mukim: kumpulan beberapa kampung. Kleng:
sebutan untuk orang India. Meusapat: berkumpul.
Meudagang: merantau untuk mempelajari ilmu agama.
Dayah: pesantren/ tempat belajar agama. Meugang:
menjelang puasa atau lebaran dengan kegiatan memasak
daging. Dalae: tradisi zikir di kampung. Meunasah:
surau.Catatan1. Dikabarkan bahwa candu Haji rahim
sering dijarah. Nek Sani menyampaikan kepada Haji
Rahim bahwa dia mesti mengubah jalur pengiriman
candunya. Menurut Nek Sani, selama ini candu itu banyak
diambil paksa oleh tentara gunung yang kemudian

menukarnya dengan senjata dan mesiu. Memang, pada


akhirnya Haji Rahim menjelaskan panjang lebar jalur
penyebaran candunya sebelum menyeludupkannya ke
Mekkah; candu itu kemudian dibawa ke Tanjung Harapan,
tempat para pedagang dari Eropa menunggu. Sungguh,
kalau engkau tahu, Nek Sani tak mengerti apapun tentang
jalur candu dan sebagainya itu.2. Nek Sani mengabarkan
tentang jalur candu (yang telah didengarnya dari Haji
Rahim) kepada Tengku Meusapat. Sudah lama Tengku
mencemaskan perdagangan candu. Dia kerap ditanya
oleh pemuka agama dari Arab, betapa sering lolos bertonton candu dari Aceh setiap musim haji tiba. Dalam riwayat
lain dikabarkan pula, ternyata para toke berlaku tak jujur:
mereka berlaku seolah-olah candu itu dijarah, padahal
mereka simpan untuk kebutuhan tahun berikutnya, agar
harga tak jatuh.Azhari, lahir di pinggir Banda Aceh, 1981.
Ketua redaksi jurnal kebudayaan Titik Tolak yang
diterbitkan oleh Komunitas Tikar Pandan, Banda Aceh.
Kumpulan cerita pendeknya Perempuan Pala akan segera
terbit.
Sang Penari
Cerpen: Kurnia Effendi
Sumber: Koran Tempo, Edisi 06/13/2004
KARENA dia seorang penari, tungkai dan betisnya
panjang dan langsing. Manakala sepasang pahanya
terentang menjadi mirip belalang, seketika aliran darah
dalam tubuhku berpacu lebih deras. Kubayangkan kelopak

perempuannya mekar dengan indah, otot-ototnya


mengencang. Atau sebaliknya, karena tungkai dan
betisnya panjang dan langsing, dia menjadi seorang
penari. Ketika sepasang pahanya membentang seperti
lengan-lengan jembatan layang, darah dalam tubuhku
berpacu lebih lekas. Terbayang kelopak perempuannya
rekah seperti teratai jingga di tengah kolam kehijauan.Kini
aku meluncur di atas ruas jalan tol menuju arah bandara.
Aku tidak akan terbang ke mana-mana. Aku hanya akan
singgah di sebuah hotel yang terletak dua kilometer dari
landasan pacu pesawat terbang, dan menuju sebuah
kamar. Di sana Parastuti menunggu. Di sana, semalam,
Parastuti menginap. Sebenarnya belum tentu menungguku,
karena di telepon tadi dia hanya mengabarkan bahwa dia
akan tiga hari berada di Jakarta. Hari yang terakhir adalah
malam pementasannya di Gedung Kesenian.Parastuti
akan menari!Berita itu telah menjadi pesona tersendiri
bagiku. Entah mengapa.Aku akan menontonnya tentu
dengan rasa terhisap bukan main. Tak hanya wajahku yang
bakal tersipu memerah-dadu, melainkan setiap sekat
dalam rongga jantungku sibuk berdegup mengendalikan
adrenalin yang berselancar. Biasanya, diam-diam, di
tempat duduk, aku akan merapatkan pahaku kuat-kuat.
Menyembunyikan gelinjang yang hadir seperti angin puyuh
tanpa permisi. Tentu saja Ferina tak tahu. Sepasang mata
Ferina, sebagaimana sepasang mataku, akan terteguntegun mengeja gerakan tubuh Parastuti. Gerakan yang
membuat Ferina bermimpi menjadi penari seindah
Parastuti. Gerakan yang membuatku bermimpi dan

memanggil-manggil namanya... lalu terkejut saat terbangun,


mendapatkan Ferina dalam pelukan.AKU memutar musik
yang beberapa kali sengaja diputar ketika Parastuti menari
sendiri. Musik yang seharusnya dapat dibeli di setiap toko
kaset, tetapi ternyata tidak setiap kedai musik menjualnya.
Tot Licht! Musik yang tidak digemari banyak orang, kata
pramuniaganya. Cobalah mencari di Duta Suara atau
Aquarius, begitu sarannya. Ah, sesulit itukah memiliki
musik dengan permainan biola Eko Partitur? Untunglah,
sebelum akhirnya kumiliki sekeping CD langka itu, aku
pernah menyimpan beberapa album Jean-Luc Ponty.
Barangkali ada sebagian impresi yang sama di antara
mereka, setidaknya menurut rongga telingaku.Ketika aku
parkir di halaman hotel, matahari mulai merendah. Hampir
akhir jam kantor. Belum benar-benar berakhir jika ada
sebuah rapat yang memanjang. Dan itu biasa terjadi,
sehingga sesekali aku harus pulang agak larut. Hari ini
tidak ada rapat yang berkepanjangan tapi aku memastikan
bakal pulang lebih larut. Karena Parastuti menunggu di
kamar. Mungkin di lobi. Atau bahkan, boleh jadi, di tepi
kolam renang dengan swimsuit yang kuyup. Aku gemetar
sewaktu menutup pintu mobil. Sehingga keliru menekan
tombol remote control pengunci dan alarem pun sebentar
bercuit-cuit."Bisa dihubungkan ke kamar 117?" tanyaku
kepada resepsionis. "Parastuti."Penari itu menggemari
kamar di lantai satu. Mudah mencapai ke segala tempat
(karena dia paling takut terhadap bahaya kebakaran, dan
konon lantai pertama itu menjadi syarat utama ketika dia
menginap di mana-mana). Juga mudah dicapai. Mudah

kucapai, tepatnya."Maaf, tidak diangkat." Petugas itu


meletakkan telepon internal. Memandangku, meminta
kemungkinan lain.Dan aku tahu cara yang lain. Aku
menghubungi melalui telepon selulernya. Tidak diangkat
juga. Apakah sedang di kamar mandi? Oh ya, Parastuti
suka mandi berlama-lama. Setiap inci tubuhnya digosok,
dicermati. Dia mengatakan, seorang penari harus memiliki
kulit tubuh yang indah. Aku tak melihat ada hubungan erat,
karena yang dipertunjukkan adalah gerakan tubuhnya,
bukan kehalusan kulitnya. Namun demikian aku juga suka
ikut melakukan pekerjaan itu: menggosok dan mencermati
setiap inci tubuhnya. Saban melewati bagian dadanya, aku
merasa lupa dengan bentuknya, sehingga perlu kuulang
beberapa kali. Berkali-kali.Aku masih tertegun, berpikir,
ketika telepon selulerku bergetar. "Raka? Aku di kolam
renang. Ada wawancara.""Oke, jika tak mengganggu, aku
ke situ."Kepada resepsionis, aku minta seseorang
mengantarku ke kolam renang. Meskipun aku tahu
letaknya. Meskipun tentu lebih nyaman jika aku
menghampirinya sendiri. Aku tidak ingin terlihat terlampau
istimewa oleh wartawan yang mungkin sedang duduk agak
rapat dengan Parastuti.Dugaanku keliru. Wartawan itu
justru sedang mengambil jarak tertentu untuk memotret
tubuh Parastuti. Perasaan cemburuku semburat berdenyar.
Aku yakin mata kamera itu sebagian besar melahap sudutsudut paling inderawi. Foto yang akan mereka simpan
sebagai koleksi pribadi, sementara yang tampil di halaman
majalah adalah gambar-gambar yang lebih sopan. Seperti
yang sudah-sudah. Dan Ferina kerap menempatkan

majalah-majalah itu pada tumpukan tertentu. Ketika dia


tidur, aku suka mengambilnya dari tumpukan itu, membuka
lembaran yang memasang wajah dan tubuh Parastuti.
Kadang-kadang
jika
kangen,
kemudian,
aku
menelponnya...Parastuti melambai ke arahku. Bibirnya
mengisyaratkan bahwa wawancara sudah selesai, tinggal
pemotretan. Aku pun tersenyum kepada fotografer itu.
Sejenak masing-masing merasa sedikit terganggu. Namun
selanjutnya tanya-jawab mengalir kembali sampai akhirnya
Parastuti mengambil handuk lalu menjabat tangan
pemotret dan wartawan itu, sebagai tanda akhir
pertemuan."Mau ke kamar? Aku ganti baju dulu." Parastuti
bicara tanpa canggung. Bahkan sebelum kedua wartawan
itu benar-benar pergi. Udara kamar jauh lebih sejuk. Aroma
rempah berlimpah dekat meja rias. Aku menemukan
seprei yang tidak terlalu kusut, tak ada rerontok rambut.
Dalam tidurnya, aku tahu, Parastuti tidak banyak bergerak.
Padahal ia seorang penari yang cekatan. Tubuhnya ringan
dan lentur. Kelenturannya tampak dari lengkung
punggungnya saat meringkuk di balik selimut. Adakah ia
semalam menginap sendiri?"Aku tiba hampir tengah
malam. Tak sempat menelepon siapa pun karena aku
perlu segera tidur." Oh! Kecurigaanku terbaca. Lihatlah aku
jengah sendiri dengan ucapannya sebelum ia menghilang
ke kamar mandi. Tak sepenuhnya menghilang, karena ada
cermin yang dibiarkan tampak dari setengah lubang pintu.
Ia melolos jubah mandinya seperti mengupas kulit bawang.
Selalu ada yang tampak lebih muda dan ranum.
Perbedaannya dengan tubuh..."Apakah tubuh Ferina masih

seindah tubuhku?" gema suara Parastuti mengagetkan.


Aku mencoba mengingat sepenuh hati. Terutama ketika
Ferina sedang menyusui dengan daster yang mudah
dibuka di bagian dada. "Dia berhenti menari semenjak
Dimas lahir.""Dan kaubiarkan dia hanya mengurus
anakmu?"Aku menghela nafas. "Anak kami.""Aku tahu.
Bukan anak kita..." ucapannya diakhiri dengan tawa yang
halus.Hampir setengah jam kemudian Parastuti keluar
dengan pakaian yang tak sempurna. Seperti biasa, ia
membiarkan busa tumpah ke mana-mana. Harum sabun
menguap dari tubuhnya. Dia melangkah dan membuka
lemari kayu yang membatasi ruang tidur dengan kamar
mandi. Aku memandang kakinya yang meruncing. Kaki
seorang penari. Ferina juga seorang penari yang ingin
menyamai kelenturan gurunya. Bagi Ferina, Parastuti
adalah sang idola yang bersedia mengalirkan segenap
ilmu dan teknik tari kepadanya. Segala yang telah
dipelajari Ferina di sanggar tari waktu kecil dan remaja tak
sepantasnya dipamerkan. Ia terpesona dengan gerakan
tubuh Parastuti yang mirip tanah liat muda, putaran
tubuhnya yang seperti gasing, dan langkah kucingnya. Tapi
harapannya tak sungguh-sungguh sampai. Kesalahannya:
dia terlampau mengagumi Parastuti, sehingga aku harus
selalu mengantarnya untuk bertemu ketika singgah
beberapa hari di Jakarta. Atau sengaja mengejar
pementasannya di Bandung. Ketika akhirnya Ferina hamil,
tinggal aku yang tak tahan untuk selalu mencoba bertemu
dengan Parastuti.Karena betis dan pahanya langsing
memanjang, maka ia menjadi penari! Ketika sepasang

tumitnya terangkat, jinjit, seluruh berat tubuh dibebankan ke


ujung jemari kaki. Lalu pinggangnya merendah, sehingga
sepasang pahanya terentang, dan aku membayangkan
kelopak perempuannya merebak..."Kamu ingin aku
mengenakan gaun yang mana?""Eh," aku tergagap. "Mau
ke mana?"Parastuti berbalik membelakangi lemari yang
terbuka, menatapku dengan ujung rambut masih basah.
Tatapan yang membuatku runtuh. Dan dia sangat tahu,
sejak pertama kali terjadi di Bogor, di sebuah kamar yang
hampir seluruh dindingnya terbuat dari kayu. Jauh dari jalan
raya."Aku lapar. Ingin makan sesuatu yang berkuah.
Tenggorokanku mulai perih. Untung aku bukan penyanyi."
Memang bukan penyanyi. Dia seorang penari. Aku sering
membayangkan dia menari di atas perutku, dengan
sepasang paha yang kadang-kadang terentang, ujung
jemari kaki bertumpu di tulang pinggangku. Aku hampir
tersipu memergoki tatapan matanya.Dia membiarkan aku
mendekat, membiarkan aku memilihkan beberapa busana
yang telah dikeluarkan dari kopor dan digantung dalam
lemari. Aku mencium harum yang berbeda dengan aroma
lemari Ferina. Tapi ada gaun yang hampir sama modelnya.
Aku membelinya di tempat yang sama untuk mereka
berdua. Warna hijau untuk Ferina, hitam untuk Parastuti.
Aku yang membiarkan sepasang tangannya memeluk
pinggangku dari belakang dan seruap nafasnya mampir ke
tengkuk. "Raka, aku ingin menari..."Aku mencium mulutnya
sebelum dia menyelesaikan ucapannya. Dua kancing
bajuku lepas oleh hentakan tangannya. Kudengar detasnya
meluncur ke bawah meja televisi. Rambutnya yang basah

hinggap ke wajahku. Entah siapa yang lebih dulu tersengal,


tapi sebagaimana kuinginkan, Parastuti menari di atas
tubuhku. Sepuluh menit kemudian pipinya direbahkan ke
dadaku, telinganya mencoba mendengar proses degup
jantung yang mereda.Kuraba punggungnya yang hangat,
agak berkeringat. "Jadi aku pakai baju yang mana?"
bisiknya.LANGIT mulai gelap. Seharusnya sebentar lagi
aku tiba di depan rumah, kecuali jika ada rapat kantor yang
memanjang. Hari ini tak ada rapat, tapi aku bakal pulang
lebih larut dari biasa. Aku akan menemani Parastuti makan
malam setelah dia menolak ajakan beberapa teman
melalui telepon. Sesungguhnya aku tak melarangnya pergi
dengan siapa pun malam ini. Karena aku belum pamit
Ferina. Semula aku hanya ingin memandangnya dari
dekat, merasakan semburan nafasnya.Dia selalu lebih dulu
membuka pintu mobil. Dan kami meluncur dalam diam.
Menikmati musik yang sangat disukainya. Tangannya
iseng melepas mainan pengharum kayu cendana yang
tergantung di sudut kaca depan. Aku tak memindahkan
sejak dia menempelkannya enam bulan yang lalu. Seorang
penggemar di Denpasar memberikan benda itu di balik
panggung. Ferina percaya aku memperolehnya dari The
Body Shop. Dan Ferina, di lain waktu, tidak mencoba
mencari benda yang sama di toko itu.Tiba-tiba Parastuti
menyalakan telepon dan memijit delapan digit angka.
Menunggu. Lalu: "Ferina?"Astaga! Aku segera
memadamkan Partial Formlessness dari Music for 5
Players yang sedang mengalun."Siapa?" Kudengar suara
Ferina. Parastuti sengaja memasang mikrofon."Parastuti."

"Hei, di mana kamu? Aku kangen!""Di Jakarta, Sayang.


Maukah menemani aku makan malam?""Tentu. Tapi Raka
belum pulang. Mau makan di mana?""Banyak pilihan di
Plaza Senayan. Kamu yang telepon Raka, ya."Aku
semakin menahan nafas. Dia seorang penari. Kini sedang
menyuguhkan sebuah tarian yang berbahaya."Oke! Atau,
biar kuminta Raka menjemputmu dari kantornya. Kusuruh
dia meneleponmu," kudengar usul Ferina. "Aku bisa
langsung naik taksi dari rumah. Kita ketemu di
sana.""Thanks, Fer!" ucap Parastuti tulus.Ia pun menutup
pembicaraan. Seperti ketika dia menutup sebuah tarian:
selalu disertai kejutan. Dan tak sampai jeda dua menit,
teleponku bergetar. Dari rumah. Kuangkat, dan terdengar
suara Ferina di telingaku. Aku tahu yang hendak
dikatakannya. Aku juga tahu ke mana arah tangan
Parastuti -- jemari lentik sang penari -- bergerak. Aku
hanya berharap kancing yang tadi dijahit di hotel dengan
benang berbeda, tidak copot lagi. Kami masih melata di
depan Taman Anggrek, tentu masih banyak waktu.Tapi
Parastuti tidak ingin membuat gaduh. Ia tidak hendak
menari lagi. Ia hanya mengatakan perutku tidak selangsing
pada pertemuan sebelumnya. Ditandai dengan betapa sulit
tangannya mencapai sesuatu yang diharapkan. Lalu ia
mencium, juga mengulum, telingaku dengan hati-hati.
Seperti khawatir meninggalkan jejak wangi pada
leherku.Jakarta, 6 Juni 2004Keterangan* Tot Licht! adalah
judul album rekaman musik kelompok Discus* Partial
Formlessness adalah subjudul dari nomor Music for 5
Players dalam album Tot Licht! yang menampilkan biola

Eko Partitur Kurnia Effendi menulis sejak 1978. Lulusan


Desain Interior ITB, kini bekerja di sebuah perusahaan
otomotif. Dua kumpulan cerita pendeknya Senapan Cinta
(KataKita, April 2004) dan Bercinta di Bawah Bulan
(Metafor, Mei 2004).
Badak Kencana
Cerpen: Seno Gumira Ajidarma
Sumber: Koran Tempo, Edisi 05/30/2004
BAGIKU tidak ada yang terlalu menarik di Ujung Kulon,
sampai kudengar perbincangan tentang Badak Kencana.
Perbincangan itu mulai kudengar di antara para nelayan.
Semula aku tidak berpikir tentang Badak Kencana,
melainkan tentang ikan-ikan yang kena kibul para nelayan:
mereka mendekati lampu yang menyala untuk segera
terperangkap dalam jala dan segera masuk ke perut
manusia. Apakah ikan-ikan melihat sorga di balik cahaya,
dan jika mereka mati demi kelanjutan hidup manusia, yang
selalu diandaikan lebih mulia, mereka akan mendapatkan
sorga? Jika memang demikian, ketika orang baik-baik
mati dan masuk sorga, maka mereka akan berjumpa
dengan ikan-ikan yang pernah mereka makan. Tuhan
Maha Adil, orang baik-baik masuk sorga, dengan ikan-ikan
yang membuat orang baik-baik hidup lebih lama juga
masuk sorga. Berbahagialah mereka yang lahir kembali
sebagai ikan, karena jika mereka mati akibat kibul cahaya
lampu yang mereka kira cahaya sorga dan dimakan
manusia, setelah mati mereka akan masuk sorga juga.Tapi
selanjutnya kulupakan ikan-ikan, ketika para nelayan

sambil mengangkat jala masih terus berbincang tentang


Badak Kencana, dewa badak yang melindungi badakbadak bercula satu dari kepunahan. Di antara amis ikan di
tengah lautan dalam kegelapan malam, dari perahu
nelayan kadang terlihat secercah cahaya di tengah hutan,
yang sesekali tampak dan sesekali menghilang -pemandangan yang membuat aku bertanya-tanya:
benarkah di balik kelam itu terdapat Badak Kencana
berkeliaran?Sampai sekarang pun Ujung Kulon terpencil.
Kukira para pemukim pertama datang melalui laut. Tentu
merekalah yang mewariskan sebuah cerita turun-temurun
tentang Badak Kencana, yang konon selalu akan muncul
setiap kali jumlah badak-badak bercula satu di Ujung Kulon
mencapai titik nadir. Demikianlah diceritakan betapa
Badak Kencana itu akan mengencani badak-badak betina
dan meninggalkan mereka dalam keadaan bunting,
sehingga jumlah badak yang makin menipis itu bisa
bertahan, bahkan tidak jarang malah bertambah. Namun
Badak Kencana itu bukanlah badak jantan. Ia disebutkan
tidak mempunyai kelamin, karena ia memang bukan
sembarang badak: ia tidak beranak dan ia tidak
diperanakkan. Bahwa yang diberkahinya dengan keturunan
adalah badak-badak betina, tak lebih dan tak kurang
karena badak-badak jantan tidak mungkin bunting.Lewat
tengah malam para nelayan makan. Mereka merebus mie
instan bersama bungkusnya. Bungkus itu dibuka, dan ke
dalam bungkus itu bumbu-bumbunya dituang, agar jangan
sampai tersebar keluar bungkus. Mereka juga
memasukkan telur-telur bebek ke dalam air yang merebus

mie instan dan itulah yang kami makan sebagai lauk


nasi.Para nelayan tidak pernah melihat Badak Kencana,
tetapi mereka percaya kisah nenek moyang bahwa setiap
kali jumlah badak bercula satu menipis, Badak Kencana
akan muncul menyelamatkan mereka dari kepunahan.
Namun bukan hanya para nelayan yang mempercayai
sesuatu tanpa melihatnya. Badak bercula satu diperkirakan
tinggal 50 ekor, tetapi angka ini tidak bisa dipastikan,
karena mungkin saja jumlahnya 60 ekor. Tim Sensus yang
dikirim dari Jakarta menghitung jumlah badak bukan
berdasarkan penglihatan atas badak-badak dengan mata
kepala sendiri, melainkan, antara lain, berdasarkan jejak
tapak kaki yang mereka tinggalkan.Badak Kencana
maupun badak-badak biasa sama-sama tidak pernah
terlihat, namun keduanya kini berada di dalam kepalaku
dan sulit kukeluarkan lagi seumur hidupku. Jejak tapak
itulah yang memberi petunjuk kemunculan kembali Badak
Kencana dan menjadi perbincangan para nelayan. Ketika
melacak jejak badak, Tim Sensus menemukan jejak tapak
badak yang keemas-emasan. Suatu jejak tapak di tanah
yang membuat butir-butir tanah yang terinjak itu seperti
serbuk emas, yang bercahaya suram dalam keremangan
hutan di antara gerimis. Tapak kaki Badak Kencana itu
hanya satu, bukan empat, namun itu sudah cukup untuk
menunjukkan kehadirannya."Badak Kencana..." desis
salah seorang penunjuk jalan.Bagi penduduk Tamanjaya,
kampung nelayan dari mana perahu biasa berangkat
menuju Pulau Peucang, Pulau Handeuleum, atau Pulau
Panaitan, kehadiran Badak Kencana sebagai dongeng

telah melekat bagaikan kenyataan, sehingga jejak tapak


badak keemas-emasan itu seperti bagian dari sebuah
dunia yang telah mereka kenal.Tim Sensus, yang selalu
bekerja secara ilmiah, tentu bukan tergolong orang-orang
yang percaya bahwa di dunia ini badak-badak bercula satu
mempunyai dewa mereka sendiri yang bernama Badak
Kencana, namun mereka mengakui bahwa jejak tapak
yang mereka saksikan memang jejak kaki yang keemasemasan. Setelah diselidiki, serbuk-serbuk emas itu bukan
emas yang disebut logam mulia, tapi lebih mirip serbukserbuk cahaya. Di laboratorium, tak bisa dijelaskan
serbuk-serbuk cahaya tersebut terdiri dari bahan
apa.Penemuan jejak yang keemasan-emasan itu
mengingatkan kembali para nelayan betapa Badak
Kencana itu belakangan ini sering muncul kembali dalam
mimpi-mimpi mereka. Perbincangan tentang Badak
Kencana itu sempat lama hilang, terutama ketika radio dan
televisi memasuki desa. Hampir tiga puluh tahun lebih
ingatan kepada Badak Kencana seperti terhapus dan
menguap bersama udara.Para nelayan di Tamanjaya
berangkat jam empat sore ke laut untuk mencari ikan dan
tiba kembali di pelabuhan jam delapan pagi keesokan
harinya. Dalam perjalanan pulang itulah, dalam keadaan
terkantuk-kantuk oleh buaian ombak dan angin pagi, para
nelayan yang tergolek-golek akhirnya akan tertidur dan
bermimpi. Dan dalam salah satu mimpi itulah beberapa di
antara mereka menyaksikan Badak Kencana, yang
memandang
dengan tajam,
sebelum
akhirnya
menghilang.Pada abad ke-19, jauh sebelum pemerintah

Hindia Belanda memperlakukan Ujung Kulon sebagai


cagar alam, para nelayan tidak asing dengan pemunculan
Badak Kencana dalam mimpi. Saat itu badak-badak
bercula satu sudah terancam punah, bukan terutama
karena terdesak pemukiman manusia yang merajalela,
atau karena Pulau Jawa sebagian besar masih hutan,
melainkan oleh semangat berburu. Para pemburu andal
dibayar mahal untuk mengikuti jejak tapak badak ke dalam
hutan selama berminggu-minggu hanya untuk mengambil
cula. Badak-badak bergelimpangan dalam hutan tanpa
cula, atas nama kepercayaan tak masuk akal perihal
keampuhan cula itu sebagai pembangkit syahwat, obat
kecantikan, maupun obat panjang umur. Kenyataannya,
cula itu memang mendatangkan uang. Para pemburu
badak, yang secara turun temurun mewarisi keahlian
memburu badak, terus menerus menerima pesanan cula
dari Batavia maupun Singapura, yang membuat mereka
bisa masuk hutan setiap bulan untuk memenuhi pesanan
itu. Tak ada sebuah cula pun yang bisa diambil tanpa
membunuh badaknya terlebih dahulu.Kemudian Badak
Kencana muncul ke dalam mimpi orang-orang di sekitar
Ujung Kulon, bukan hanya di Tamanjaya atau Tanjung
Alang-alang, melainkan juga sampai Sumur dan Badur.
Seolah-olah mimpi itu mempunyai suatu daya jangkau.
Penampakan Badak Kencana, meskipun hanya dalam
mimpi, sering diterima sebagai suatu isyarat, tetapi arti
isyarat itu tidak pernah disepakati. Ada yang
menafsirkannya sebagai keberuntungan, ada juga yang
menangkapnya sebagai perkabungan.Badak Kencana

tidak hanya menampakkan diri di dalam mimpi. Badak


Kencana dihubungkan dengan kematian sejumlah pemburu
ketika badak-badak mulai sangat berkurang jumlahnya.
Sayang sekali para pemburu ini tidak bisa bercerita
banyak, karena setiap kali ditemukan oleh pemburu lain
mereka memang sudah mati. Di sekitar tempat mereka
ditemukan terdapat serbuk-serbuk cahaya keemasan yang
ajaib itu, maupun jejak tapak badak yang juga bercahaya.
Bahkan tak jarang serbuk-serbuk cahaya itu menempel di
lambung para pemburu yang tewas, seperti telah disodok
oleh cula Badak Kencana.Ada sekali peristiwa seorang
pemburu masih hidup ketika berhasil mencapai muara
Sungai Cigenter dan bertemu para pemburu rusa.
Sebelum tewas ia sempat berkata, "Badak Kencana..."
Seluruh tubuhnya penuh dengan serbuk cahaya keemasan
itu, bagaikan telah diinjak-injak oleh Badak
Kencana.Demikianlah setiap nenek di Ujung Kulon
bercerita kepada cucunya di tepi pantai sambil
memandang cakrawala di mana matahari akan
terbenam."Nun di sana, di balik keremangan dan
kekelaman itu, dalam kegelapan Tanjung Jawa yang
sungguh-sungguh muram, terdapatlah Badak Kencana.
Dalam dunia yang gelap, ia memiliki suatu kerajaan
cahaya yang terlindung di balik tabir kehitaman di mana
hanya Sang Badak Kencana bisa keluar masuk
menembusnya. Dialah dewa badak, pelindung dan
penjaga kesejahteraan badak-badak bercula satu
sehingga mereka terselamatkan dari kepunahan.
Janganlah mencoba memburu badak-badak itu atas nama

apapun, karena barang siapa..."Tidak usah dipungkiri


betapa di antara pemburu badak itu ada juga yang ingin
menaklukkan Badak Kencana itu sendiri. Mereka adalah
manusia yang tidak bisa ditundukkan oleh dongeng, atau
mereka tertantang oleh mitos, atau menyimpan dendam
dan rasa penasaran atas tewasnya para sejawat, sesama
pemburu badak yang tubuhnya bergelimang serbuk cahaya
keemasan.Namun siapapun yang berangkat dan
menghilang di balik cakrawala itu tidak pernah kembali
lagi. Siapapun. Sampai waktu berlalu. AKU tidak tahu apa
yang akan kulakukan dengan Badak Kencana itu. Ia
maupun badak-badak bercula satu biasa belum pernah
kulihat. Adakah seseorang, satu saja, yang terbukti pernah
melihat Badak Kencana? Para pemburu yang mati
memang sempat berdesis mengucapkan kata, "Badak
Kencana..." Namun ini belum membuktikan apa-apa.
Bukankah bisa saja seseorang merasa seolah-olah
melihat Badak Kencana padahal yang dilihatnya hanyalah
bayangannya sendiri? Aku yang tidak pernah melihat
badak bercula satu selalu merasa seolah-olah pernah
melihatnya, padahal aku hanya selalu membayangkannya.
Begitu pula yang terjadi dengan Badak Kencana.Di
kampung nelayan itu memang ada seorang tua berusia
120 tahun yang dianggap pernah melihat Badak Kencana.
Namun sebetulnya bukan Badak Kencana itu sendiri yang
pernah dilihatnya ketika masih berusia 20 tahun, melainkan
kilau keemasan yang berkelebat di balik semak. "Peristiwa
itu sudah seratus tahun lalu, tapi saya masih selalu teringat,
seperti baru terjadi kemarin. Banyak sudah yang saya

alami, tetapi tidak ada yang tetap tinggal dalam kepala


saya seperti peristiwa itu. "Waktu itu saya mencari ular.
Orang Belanda suka membeli kulit ular dengan harga
mahal, dan menjualnya lagi ke Eropa. Meskipun
pemerintah Hindia Belanda sudah melarang kami berburu
di dalam hutan, tapi tidak ada tenaga untuk menjaga hutan
itu seperti sekarang. Kami bisa keluar masuk dengan
bebas, dengan risiko disergap macan tutul atau diseruduk
badak. "Saat itu gelap, dan tak satu ular pun saya jumpai
hari itu, padahal saya telah memelajari mantra pemanggil
agar ular-ular itu mendekat. Mungkin memang belum nasib
saya. Saya siap menempuh jalan kembali ketika terdengar
bunyi berkerosak di balik semak. Saya menoleh dan
melihat kilau cahaya keemasan, seperti kilau cahaya
matahari senja, tetapi yang jauh lebih lemah dan lebih
suram -- seperti kesedihan. Cahaya ini bergerak menjauh
dan menghilang. Jadi saya tidak melihat badak itu, yang
saya lihat hanyalah jejaknya, itu pun hanya satu. Kami para
pemburu biasa melihat jejak badak di hutan, dan jejak-jejak
itu tidak pernah hanya satu. Jejak keemas-emasan ini
memang jejak badak, tapi saya tidak mengerti, bagaimana
badak bisa berdiri dengan satu kaki. "Ketika saya kembali
ke kampung dan menceritakannya, mereka mendesah
pelahan sembari menyebut kata 'Badak Kencana...'
Karena saya orang perantauan, saya baru mendengar
cerita tentang Badak Kencana itu kemudian. Menurut
mereka, saya telah bertemu dengan Badak Kencana yang
mereka kenal dari cerita nenek moyang. Disebutkan
betapa saya harus merasa bersyukur karena masih hidup.

Tapi sekarang saya sudah berumur 120 tahun dan saya


sudah bosan hidup. Kalau pertemuan dengan Badak
Kencana membuat saya mati, saya mau saja menemuinya
sekali lagi."Rumahnya penuh dengan wartawan media
cetak dan media elektronik yang memasuki rumah tanpa
membuka sepatu, sampai lantai rumah panggung itu penuh
dengan lumpur. Orang tua yang tidak pernah menikah itu
bagaikan dipaksa untuk berkisah dengan terbata-bata. Ia
tidak bisa berbahasa Indonesia, ia berbicara dengan
bahasa Sunda campur Bugis, karena seratus tahun lalu ia
tiba di Tamanjaya setelah berlayar bersama orangtuanya
dari Bulukumba.Para wartawan menyerbu rumah itu, dan
meminta keterangan kepadanya, karena lelaki berusia 120
tahun itu dianggap pernah bertemu dengan Badak
Kencana. Empat wartawan media elektronik dari Jakarta
telah hilang dalam tugas mencari Badak Kencana. Tim
SAR sebegitu jauh hanya menemukan jejak tapak badak
keemas-emasan. Bukan empat tapak melainkan satu.Di
tengah kegemparan itu aku berpikir tentang soal lain. Jejak
yang ditemukan Tim Sensus maupun lelaki itu seratus
tahun yang lalu hanya satu. Mungkinkah Badak Kencana itu
berdiri dengan satu kaki? Mungkinkah Badak Kencana itu
suka berloncatan ke sana ke mari dengan satu kaki? Jejak
satu kaki memperlihatkan bahwa badak itu berdiri di atas
tapak kanan depan, seperti sedang main akrobat.
Tidakkah Badak Kencana yang misterius ini barangkali
suka bercanda?Tapi membayangkan semua itu aku
merasa bodoh, karena belum terbukti secara meyakinkan
bahwa Badak Kencana itu memang ada.MALAM telah

turun.
Langit
cerah.
Bintang-bintang
terserak
menyemarakkan langit. Pada cakrawala kulihat lampulampu pukat harimau dari negeri asing yang menyedot
berton-ton ikan tanpa gangguan. Terlihat juga lampu lentera
yang jauh lebih muram dari perahu-perahu nelayan,
terserak di sana-sini, tidak terlalu banyak jumlahnya, yang
semenjak berpuluh-puluh tahun selalu mencari ikan dengan
cara yang sama. Memang perahu mereka sekarang
bermesin, tetapi cara berpikir mereka tidak berubah, yakni
mencari ikan seperlunya untuk dijual dan dimakan. Jika
uang penghasilan itu cukup untuk bertahan hidup, maka
tidak ada lagi yang masih harus dilakukan.Laut seperti
selimut yang lembut tapi terus menerus bergoyang,
membuat lentera yang tergantung juga bergoyang-goyang.
Kehidupan seolah-olah berhenti, tapi apakah yang betulbetul berhenti? Sejak sore ribuan kalong telah
meninggalkan pemukimannya, terbang dalam keremangan
memasuki malam, ketika manusia tertidur dan merasa
sebaiknya kegelapan segera berlalu.Seorang anak
nelayan yang diajak melaut mungkin tetap terjaga dan
bertanya-tanya apakah yang berada di balik kegelapan itu.
"Bapak, ke mana ribuan kalong menghilang di balik
kelam?"Malam memberikan kegelapan, dan kegelapan
memberi peluang sejuta dugaan. Terdengar sapuan
ombak di bibir perahu. Angin dingin menyibak kelambu.
Benarkah tidak ada sesuatu di balik kegelapan malam dan
hanya ada dongeng yang dilahirkan angan-angan? Di
Ujung Kulon yang terpencil, segala sesuatu telah dihitung
secara ilmiah, sehingga badak bercula satu yang tidak

pernah terlihat itu pun bisa diketahui jumlahnya.Tapi itu


tidak termasuk Badak Kencana...Waktu itu aku belum tahu,
empat mayat dihanyutkan arus di muara Sungai Cigenter.
Jenazah-jenazah itu hanya berputar-putar, karena tertolak
balik oleh gelombang lautan. Hari masih sama gelapnya
seperti malam. Mayat-mayat itu kemudian terjerat di antara
pohon-pohon bakau, bergoyang-goyang sebentar tapi
lantas terdiam ketika ombak surut. Di antara batang, akar,
sulur, dahan, dan ranting pohon-pohon bakau, tubuh-tubuh
itu tergolek, seperti orang-orang yang bersandar menanti
penjemputan.Aku belum melihat mayat-mayat itu, karena
mataku melihat ke arah lain. Ketika matahari muncul dari
balik bukit, dari tengah laut yang ungu muda kulihat
pemandangan itu: Badak Kencana yang berdiri dengan
satu kaki, tepatnya kaki kanan depan, berputar seperti
penari balet dalam cahaya keemas-emasan yang muram.
Gerakannya begitu anggun, tapi matanya memancarkan
kesedihan.Kukerjapkan mataku berkali-kali, karena aku
masih berharap ini hanya mimpi.Ujung Kulon -- A102.PVJJ, Februari 2004

Ajal Sang Bayangan


Cerpen: Eka Kurniawan
Sumber: Koran Tempo, Edisi 05/23/2004
DI BAWAH pohon maja, para lelembut melihat kedua
petarung saling berhitung. Jauh di suatu tempat, barangkali

di sebuah teratak di punggung bukit, seseorang meniup


serunai demikian menyayat hati. Para lelembut ikut
memandang, mempertaruhkan akhir pertarungan,
senyampang kedua pendekar mempersiapkan jurus
andalan.Siapa kedua bocah bagus ini, pikir mereka. Dua
lajang gagah saling bersitatap, dengan sikap seolah
mereka tengah menentang cermin. Bahkan napas mereka,
pun lambaian ujung rambut keduanya, tampak seirama.
Percayalah, seorang dari pengintip itu berbisik, mereka
sama sakti sama ilmu. Pengintip lain menimpali, salah
satunya jelas kidal.Tapi apalah artinya kidal, Sayangku, jika
tangan kirinya seberdaya tangan kanan musuhnya. Dan
apa yang kita pikir sebagai musuhnya itu barangkali tak
bukan bayangannya sendiri. Lalu mereka mulai berselisih
tentang yang mana wujud sesungguhnya. Lihatlah,
Sayangku, itu bukan bayangan. Pendekar ini hendak
beradu raga dengan dirinya sendiri.Sebagaimana
dikisahkan, para lelembut ini tak lain Bedugul, Bedigil,
Menawa, dan Menawi. Mereka terkesiap ketika dua
kelebatan kecil mengirimkan desing. Namun sejurus
kemudian kedua pendekar kembali mematung, dalam
sikap tubuh yang tetap kembar. Para pengintip di bawah
pohon maja membisu, menunggu. Bahkan burung-burung
belatuk ikut terdiam.Keduanya menggenggam badik: yang
satu di tangan kiri, yang lain di tangan kanan. Kedua badik
teracung pada sudut yang sama. Juga lipatan-lipatan
cindai kain petola mereka serupa betul. Tapi, Sayang,
lihatlah wajah keduanya. Mereka bukan dua lelaki kembar,
meski sama tinggi sama bobot. Si kidal berhidung lebih

bangir, dengan segurat luka di dahinya, dan matanya


cokelat cemerlang. Musuhnya memiliki luka pendek di
rahang kanan, dengan bibir lebih lebar serta mata hitam
gelap. Maka yang tersisa tak terbedakan bahkan oleh
setan belang penghuni rimba.Mengapa mereka begitu
lama berancang-ancang, bisik satu di antara lelembut.
Mereka yang telah ditakdirkan memiliki kibasan-kibasan
serupa, jimat-jimat kembar, kesaktian-kesaktian tak
terbedakan, cukup saling menatap untuk melihat takdir
dalam pertarungan tersebut. Mereka telah meramalkannya,
saling mengerti gerakan apa pun yang akan dilakukan
sang musuh, sebab gerakan itu pula yang akan
dilakukannya sendiri. Bahkan mereka bisa menghitung
pada helaan napas keberapa kuda-kuda itu akan
berganti.Sekonyong kedua pendekar saling melesat.
Mereka beradu di udara, menimbulkan bunyi lesak
bersahut-sahutan.
Pakaian
mereka
berkibaran,
mengapungkan dedaunan yang ranggas. Burung belatuk
kembali menotok batang maja mencari kutu pohon, dan
suara serunai terngiang digiring angin. Bebunyian itu
serupa pengiring suatu pertarungan yang segera berdarah,
saling membalas saling berkait, seolah seorang bidadari
dari atas angin mendendangkan seloka pedih.Lihatlah,
Sayang, mereka saling bentur. Tendangan kaki kanan
menjejak kaki kiri, dan ujung badik bercumbu memercikkan
api. Dua tetes darah meluruh jatuh ke segerumbul rumput.
Dan lihatlah pula, seolah ada dinding kukuh tak kasat mata
di antara keduanya, mengandaikan cermin dua sisi, dan
mereka tak pernah sanggup menerobosnya. Bahkan

percikan peluh mereka pun berpadu dan melebur di


sana.Demikianlah, bersama lenyapnya nyanyian serunai,
Bedugul, Bedigil, Menawa, dan Menawi segera
memejamkan mata seolah tak sudi menyaksikan akhir
pertarungan yang teramalkan itu. Akhir yang bahkan telah
dikenali oleh kedua pendekar itu sendiri.BETAPA risau
Sang Hyang Guru tak beroleh kabar dari kedua
sahabatnya. Apa yang terjadi denganmu, wahai Dora dan
Sembada? Sejenis wangsit menyiratkan sesuatu yang
mencemaskan, sehingga Sang Hyang Guru bergegas. Ia
yang kini beroleh nama Ajisaka dan memerintah negeri
Medangkamulan, minta disiapkan seekor bagal. Ia akan
pergi ke Majeti, tempat Dora dan Sembada mestinya
berada. Duh Sahabat, semoga kalian tak beroleh
lawan.Perjalanan itu seperti mendendangkan kidung sedih.
Barangkali duka ini, yang bakal dihadapinya di satu
padang ilalang, juga telah diramalkan sebagaimana ia
beroleh kemuliaan maharaja tiga tahun saja. Hilanglah rasa
jumawa dalam dirinya, sekonyong ia menyadari
kesementaraan segala bahagia. Apakah ini semilir busuk
mayat kalian, wahai Dora dan Sembada? Demikianlah,
katanya mengigau, para kesatria pun memiliki ajalnya
sendiri.Padahal ia telah mengajari mereka segala ilmu
yang terbaik dan terburuk. Segala kemuliaan dan
keculasan kaum pendekar, yang lelap dalam sekam api. Ia
mendidik mereka seenteng membikin bunting para dewi
tanpa sanggama. Dua raga sakti yang malang, kesatria
mana berdaya menghentikan kehidupan kalian? Tentu
saja, kecuali kalian saling beradu.Ketoplak langkah

bagalnya mengisi kesenyapan hutan. Di tengah kerusuhan


hati, kembali ia meragukan prasangkanya. Mereka telah
dibekalinya segala jurus maut penakluk, sekaligus
penangkalnya. "Selalulah berpikir sebagai diri yang lain.
Ketika kau menyabet, renungkanlah kau disabet dengan
cara yang sama," suatu ketika ia memberi wejangan
kepada kedua sahabat tersebut, yang bersama ia
berkelana dari tanah Rum, Balhum, dan Selan
mengajarkan agama, kekawin, dan kidung hingga tiba di
tanah Jawa dan berhelat di Majeti.Diiris-iris derak pelepah
dan dedahan yang dihantam semilir angin, ia mengajak
bagalnya menerobos belukar, dan sekonyong ia melihat
lalat berhamburan serupa percik lelatu. Hatinya terhenyak.
Beberapa depa ke depan, matanya nanar memergoki
bangkai terkapar yang pias dan berbau busuk. Pakaian
yang mereka kenakan telah kuyup oleh ladung. Pun di
sekeliling mereka terserak sayatan kain yang rantas. Tibatiba ia merasa sangat penat.Kedua tubuh yang terempas
itu telentang dengan ujung jari kaki saling menyentuh.
Bahkan dalam kematian, mereka masih memberi pertanda
sebagai diri dan bayangan. Lihatlah, Sayangku, dua belas
semut merah mengerubuti wajah Dora dan dua belas yang
lain di wajah Sembada, jika itu memang nama keduanya
sebagaimana si tua lelah yang kini turun dari bagal dan
membungkuk memberi hormat itu menyebutnya.Di sekitar
mereka teronggok aneka pusaka, perhiasan, dan segala
jimat. Percayalah, Sayangku, mereka saling membunuh
untuk memperebutkan benda-benda tersebut. Ah, di ujung
takdir yang paling niscaya, aku yakin mereka akan

bertarung tanpa alasan apa pun. Di bawah pohon maja,


para lelembut masih ramai berselisih.Ajisaka melihat
serakan benda-benda itu dan segera mengenali asal-usul
segala petaka ini. Duh, Sobat, ampunilah titah yang kurang
bijak itu, yang membawa kalian pada sabung mematikan
ini. Ia kembali bersoja, berurai air mata, dan mengiba diri
sendiri. Terseok-seok ia menyorongkan kedua mayat ke
atas bagal; ketika tertelungkup di sana pun keduanya
masih terjurai berhadapan dalam sikap yang tetap kembar.
Bahkan ia yang bisa menghidupkan manusia dari lempung
pun tak sanggup menentang kematian syahid serupa itu.
Sepanjang hayat Ajisaka menyesali titahnya yang
sembrono.SANG kesatria berasma Dora itu melangkah
melerengi bukit. Ia merasa lunglai dan tercabik. Salah satu
dari kedua murid itu akhirnya mesti mengabaikan titah
Sang Hyang Guru.Telah ia tinggalkan dangau tempat
mereka menanti berbilang musim. Sembada tetap bersetia
kepada titah Sang Hyang Guru dan Dora mengambil peran
pengingkar. Sesuatu harus dijalani, katanya. Demikianlah
ia pergi dari babakan sunyi bernama Majeti itu, menyaruk
mengikuti suara serunai yang telah lama mereka
dengar.Seseorang meniup serunai itu di sebalik bukit.
Setelah setengah hari mengayun langkah, ia melihat
seorang pertapa di sebuah teratak. Barangkali orang saleh
itu baru rehat dari semadi, dan mengalunkan dendang dari
serunainya yang panjang. Dora memberi salam hormat;
sang pertapa membalas dengan menggeser tubuhnya ke
arah si anak muda bersila. Selepas kesenyapan sesaat,
sang pertapa berucap, apakah kau memeram rasa takut?

Ah, tidak, Eyang. Jangan berdusta, rasa takut itu tersurat di


wajahmu.Demikianlah Dora kemudian mengaku, telah
lama ia memeram rasa takut kepada bayangannya sendiri.
Jika bayangan itu mengiris jarinya sendiri, aku akan
merasakan pula sakitnya. Adakah yang lebih menakutkan
dari itu, Eyang?"Kau mesti percaya bayangan tak bakal
ditaklukkan," kata sang pertapa. "Namun ia pun tak bakal
menaklukkanmu."Tapi wejangan itu tak juga membuat
cemasnya hilang. Ia pamit dan kembali menggelandang
dan tetap risau. Bagaimana tak risau jika kau cukup
memandang bayanganmu untuk mengetahui keberadaan
diri, serupa satu penelanjangan? Serasa baginya melihat
kitab takdir dan ia tahu segala yang buruk dan tak
tertahankan tengah menunggunya.Sepanjang perjalanan,
penuh rendah hati ia menemui para cerdik-pandai di setiap
dusun, memohon nasihat dari mereka yang berilmu itu.
Kepada mereka ia selalu bertanya bagaimana mesti
menaklukkan bayangan. Sosok yang sama ilmu sama tipu.
Tak satu pun memberi ujaran gamblang perihal itu, malah
bertambahlah rasa takutnya: Jagalah bayanganmu, sebab
jika ia celaka, demikian pula dirimu. Dan suatu masa ia
ingat, sosok bayangan itu tenggelam dan jauh di atas bukit
ia sendiri merasa tercekik. Betapa mengerikan
memberikan nasib pada sosok lain, pikirnya. Dan ia
merisaukannya dari musim ke musim.Ketika didengarnya
Sang Hyang Guru telah mulia sebagai maharaja bernama
Ajisaka, sekonyong ia tahu ia mesti ingkar dan menyusul
ke Medangkamulan. "Barangkali ia lupa perihal kita,"
katanya beralasan. Tak peduli ia bahwa Sang Hyang Guru

telah berpesan kepada mereka untuk menanti di Majeti,


menunggu pusaka miliknya, dan tak akan pernah pergi,
pun memberikan harta itu, kecuali atas titah yang didengar
dari mulutnya sendiri.Dan inilah kerajaan Medangkamulan:
makmur mengalahkan segala kota dan desa. Raja yang
terdahulu, Dewatacengkar, sangatlah bengis kelakuannya.
Alih-alih membuat girang rakyatnya, ia menyantap mereka
setiap fajar. Ajisaka telah mengalahkannya, dengan segala
tipu, dan mengusirnya ke laut sebagai buaya putih. Kepada
negeri ini diberikannya segala girang, kemakmuran
duniawi, dan dihidupkannya manusia-manusia dari
lempung, sebagai pengganti yang telah hilang disantap
Dewatacengkar.Sang pendekar bergegas ke istana.
Ajisaka menyambutnya riang, dan mereka memanjakannya
dalam anjangsana penuh suka itu, sebelum Sang Hyang
Guru bertanya, "Dan di manakah saudaramu,
Dora?""Sembada tak sudi beranjak," kata Dora
menghaturkan hormat, "Maka kutinggalkan bayanganku itu
di Majeti, Guru."IA TAHU para lelembut hanya ternganga
menyaksikan mereka bertarung. Kadang mereka terbang
saling menyabet dengan pakaian berkibaran serupa sayap
burung enggang sebelum segera meredam serangan dan
lebih banyak diam penuh rasa duka. Ia sungguh tak suka
sosok di hadapannya itu. Sosok yang tahu kapan aku
berputar ke kiri, melompat ke belakang, mengedutkan alis,
dan kapan aku bakal terempas, pikirnya.Telah berapa
lama mereka hidup serupa itu? Saling meniru dan
membangkitkan rasa sebal? Suatu diri yang lain, namun
sepenggal dirinya sendiri ada di sana, dan segala rahasia

tersembunyi dikenalinya. Ia tak pernah sanggup


menghadapi sosok dengan pengetahuan serupa itu, dan
selama kebersamaan mereka, satu hal yang ingin
diketahuinya hanyalah bagaimana mesti menanggalkan
bayangan tersebut. Ia tahu pikiran itu bersemayam pula di
sosok yang membayang tersebut. Penuh rasa cemas, ia
dan bayangannya saling menanti untuk saling
melenyapkan.Alasan untuk sebuah sabung mesti
disuratkan. Maka dibiarkannya Dora hengkang menyusul
Sang Hyang Guru ke Medangkamulan. Alasan itu mulai
menjadi gambaran yang semakin kasat mata. Syahdan,
Ajisaka kemudian menitahkan Dora kembali ke Majeti,
menyuruhnya menjemput Sembada dan pusaka yang
dijaganya.Dora meninggalkan kotaraja dengan sukma
serasa tanggal darinya. Akhir pilu itu mulai dikenalinya.
Mengarungi jalan, ia menguat-nguatkan hati. Takdir ini
mesti disambutnya, sebab mereka sendiri telah
mengharapkannya. Tak peduli ia apa bakal jadinya.
Lampahannya terseok, hingga dicerabutnya sebatang
bambu tempat kacang merambat di sepetak ladang,
dijadikannya tongkat penopang tubuhnya yang
limbung.Dan di sinilah ia menanti Dora, sejarak dari
dangau tempat mereka pernah lama berhelat. Kembara ini
bakal berakhir, Sobat, katanya pada yang baru tiba. Lalu
Dora menyampaikan titah Sang Hyang Guru kepadanya.
Tidak, katanya. Bukankah mereka telah berjanji tak akan
pergi dan menyerahkan segala pusaka ini kecuali Sang
Hyang Guru sendiri yang menjemput? Tapi aku diutusnya
demikian, dan jika kau abai, aku bakal menghentikan

hayatmu. Aku tak akan hengkang. Dan aku tak bakal pergi
tanpa membawa segala jimat itu.Jelaslah sudah, semua itu
hanya alasan bagi mereka untuk bertarung. Dora
mengancam Sembada, dan Sembada balas menatap
mata Dora. Dora segera menanggalkan tudungnya serta
memberi hormat, begitu juga dirinya; sekonyong ia melihat
kembali bayangan penyebal itu. Sembada membuat
gerakan menipu, begitu pun bayangannya. Para lelembut
pengintip itu tak tahu bagaimana membedakan keduanya.
Lama ia terdiam merenungi pertarungan tersebut, dan
bayangannya bergeming pula. Pertarungan itu berkelebat
di dalam tempurung kepalanya, menanjak dari jurus-jurus
pengecoh hingga tipuan-tipuan licik mematikan, tapi ia
tahu bayangannya pun memikirkan itu semua. Sekali-dua
ia mengirimkan gerak, dan bayangannya berlaku serupa.
Maka mereka beradu, saling melengos, dan jatuh-bangun,
menumpahkan peluh.Ketika luka mulai melelehkan darah,
ilham itu kemudian datang begitu terang, serupa mimpi
buruk yang muncul kala siang.Ah, lihatlah, Sayangku.
Mereka terpaku kembali begitu khusyuk. Bahkan padi yang
rontok dari paruh seekor emprit pun terdengar nyaring jatuh
ke pasir. Suara burung hantu pada senyampang jarak
menyiratkan kedatangan roh para leluhur kedua pendekar
yang bersiap menjemput ajal. Cahaya membencar dari
barat mengabarkan senja perpisahan. Ah, Sayangku,
tamasya ini begitu duka. Sabung imbang ini akhirnya
beroleh penutup.Selamat panjang umur, Sobat, di dunia
kekal. Kecut hati Sembada berujar, begitu pun
bayangannya. Kini tak ada lagi sosok yang selalu

menenteng nasibnya. Sebab kini ia tahu bagaimana mesti


menanggalkannya, namun dengan cara itu pula ia mesti
mati:Untuk membunuh bayangan, kau mesti membunuh diri
sendiri.2004Eka Kurniawan, kelahiran Tasikmalaya, 1975.
Dua novelnya Cantik itu Luka (2002) dan Lelaki Harimau
(2004). Bergiat di Serikat Pembaca Dunia. Kini tinggal di
Jakarta.
Imago
Cerpen: Dinar Rahayu
Sumber: Koran Tempo, Edisi 05/16/2004
PERNAH aku menyukai si jantan. Bagiku lengkungan
sepanjang punggung, pinggang, dan pantatnya mirip bukit
pasir yang berdenyut. Aku takut lengkungan itu akan hilang
ketika badai datang memindahkan pasir-pasir itu ke
tempat jauh.Atau kupikirkan, betapa indahnya bila butiran
pasir dituang di sepanjang lengkung tubuh itu. Pastilah
pasir-pasir itu seperti gelombang yang turun-naik ketika si
jantan bernafas.Sering kulukis pemandangan lengkung
pasir demikian dalam angan atau pada kertas.Kini aku tak
menyukai lagi kaum jantan. Aku tak menyesali kehilangan
rasa ini. Tujuanku hanya satu sekarang: melindungi
koloniku, menjaga kelangsungan rasku. Birahiku pada
kaum jantan hanya berlangsung ketika aku masih
larva.Selepas masa larva, aku memasuki masa
kepompong. Tidur panjang tanpa mimpi. Lalu aku
terbangun dalam keadaan seperti ini. Aku memasuki tahap
dewasa: tahap imago. Tak ada nama bagiku karena
watak, rupa, dan kemampuanku sama dengan sekian ribu

saudariku. Inilah tahap terakhir dalam hidupku. Dan tanpa


garis tangan pun aku tahu bahwa takdirku sama dengan
saudari-saudariku. Kami kaum prajurit. Penjaga
kelangsungan koloni. Pelindung kaum pekerja. Juga
pelindung sang ratu. "Kaum paling dungu!" teriaknya,
membuat aku tersadar. Apa yang ia katakan sebelumnya?
Aku harus memulihkan dulu ingatanku. Kuperhatikan ia
yang berdiri terhuyung di sebelahku. Tanganku
mencengkeramnya. Barangkali ia punya nama, dan
sebentar lagi hanya namanya yang tersisa. Ia jantan yang
baru selesai membuahi ratu kami. Hanya kaum jantan
seperti ia yang bisa melakukan itu.Dan hanya Sri Ratu
yang dapat bertelur. Meski kami betina, kami hanya bisa
menjadi prajurit dan pekerja, sebab indung telur dan rahim
kami terus menciut, sampai akhirnya organ itu tak lebih
dari sekadar usus buntu. Organ yang sekadar ada, tapi tak
berfungsi.Satu-satunya tugas kaum jantan adalah
mengawini Sri Ratu, hanya satu kali dalam hidup masingmasing. Setelah itu tubuh mereka akan kering seperti
gurun. Tugasku adalah membuang mereka agar ras kami
lestari. Koloni kami menetap pada sebuah kubah berlapislapis yang berinti pada singgasana sang ratu. Bagian
koloni yang terbesar adalah kaum pekerja yang bersaudari
satu sama lain. Sirkulasi di dalam kubah harus kami jaga
baik-baik. Tak pernah kami tinggalkan sampah atau mayat
dalam kubah. Pekerja yang lemah dan prajurit yang lelah
segera kami bawa jauh-jauh keluar dan kami suntik dengan
sejenis racun dari tumbuhan. Kami tak ingin merusak
kubah dengan aroma kematian. Sebenarnya tugasku yang

utama adalah berkeliling di lapisan paling luar, di mana


para pekerja bolak-balik memperbaiki tata kubah yang
lemah atau rusak diterpa cuaca. Selalu saja ada yang
harus dibetulkan kalau kami tak ingin punah diterkam iklim
yang berubah tajam. Aku harus memperhatikan jalan
keluar-masuk para pekerja yang mengangkut makanan
yang akan kami simpan, berjaga-jaga agar musuh tak
menyelinap ke dalam.Ya, aku ingat tadi aku berdiri di pintu
kubah bersamanya. Aku mengacungkan jempol ke arah
prajurit lain di balik sekat, mengatakan bahwa semua baikbaik saja. Lantas pintu kubah dibuka. Angin dingin
menderu menghembus tubuh kami. Lalu pintu kubah di
belakang kami segera berdesir ditutup, agar angin tak
masuk lagi. Kami tak ingin membuang-buang kehangatan
udara kubah.Pembuangan kaum jantan selalu terjadi ketika
musim dingin, sementara Sri Ratu di dalam sana mulai
bertelur. Telur-telur itu akan menetas menjadi larva-larva
yang diberi makan dari persediaan yang kami kumpulkan
di musim sebelumnya. Aku tahu karena aku pun
mengalami hal itu sebelumnya.Aku ingat benar akan
kabinku yang hangat dan makanan yang melimpah
menyehatkan. Aku juga ingat bahwa di masa larva itu aku
harus belajar. Aku juga mulai memperhatikan sebuah larva
dari kaum lain ketika mereka dimandikan, disuapi, dan
dibesarkan dengan tekun. Ia belajar sesuatu yang tak
kupelajari dari kaumku. Aku bertanya ia dari kaum apa dan
mengapa ia berbeda."Ia larva dari kaum jantan," kata salah
satu pengasuh."Dapatkah ia yang dari kaum lain itu
kudekati?" tanyaku. Pengasuh yang memberiku makanan

itu tak menjawab. Ketika kudesak barulah ia berkata,


"Tidak. Tak mungkin kau dekati karena ia bukan milikmu.
Ia milik Sri Ratu. Kau tak akan mengenalnya sekarang.
Tapi di masa depan kau akan mengenalnya, mungkin
sebagai pemberi makan atau penjaganya." "Dan apa yang
dilakukan kaumnya? Bagaimana ia mengenal Sri
Ratu?"Tanyaku tak berjawab.IA mengerang ketika tersadar
bahwa pintu di belakangnya tak akan pernah lagi terbuka
untuknya, sehingga tujuannya hanya hamparan putih di luar
kubah nun di sana. Tapi kemudian justru udara dingin
menyadarkannya bahwa ia telah menemui takdirnya. Harga
dirinya pulih. Angin berhembus kencang merontokkan
butiran salju dari batang pohon yang hitam kering beku ke
hamparan putih salju lain di dekat kakinya. Ia merunduk,
mengambil sekepal gumpalan putih itu, lalu
menggenggamnya keras-keras. Ia tempelkan salju itu ke
pipinya. Mulutnya terbuka. Dari hidung dan mulut itu uap
putih tipis nafasnya yang hangat keluar. Lalu ia
berkata:"Kalian bodoh! Dungu! Kaum pekerja adalah
budak. Dan kalian, para prajurit, betapa kalian dungu.
Kalian dibodohi oleh Sri Ratu. Katanya, kalian adalah
kaum yang melindungi ras kalian. Sesungguhnya kalian
hanya melindungi ia dari bahaya. Kalian korbankan diri
kalian untuk dia, hai kaum dungu!"Aku tak menjawab apaapa. Aku sudah diberi tahu bahwa ia akan menceracau
semacam ini hanya supaya ia tak dibunuh. Bahkan
nasibnya sudah ditentukan jauh-jauh sebelum ia hidup. Ia
adalah satu dari jutaan telur dalam indung sang ratu. Dan
sang ratu mampu menentukan jalan hidup telur-telurnya.

Ketika telur itu menggelinding melewati saluran menuju


rahim, Sri Ratu dapat memilih apakah si telur akan menjadi
golongan jantan, atau golongan prajurit dan pekerja, seperti
kami, yang mandul; Sri Ratu memiliki zat yang ia
semprotkan ke seluruh kubah untuk mencegah kami
menjadi subur. Telah kukatakan, hanya ketika masih larva,
aku memiliki birahi, sebab barangkali saat itu zat
semprotan sang ratu belum banyak terkumpul dalam
tubuhku.Setelah ia, pengasuhku itu, melepas makian
panjang yang tak terjawab, ia diam dan dengan dagu
terangkat ia kembali berjalan di sebelahku."Tunggu
sebentar," katanya menghela nafas ketika kami melewati
bukit salju kedua. Ia memandang ke belakang, ke kubah
yang seperti menjanjikan kehangatan dan makanan. Ia
memperhatikan dua pasang jejak kaki di belakangnya.
Jejak kami.Ia akan kubunuh di bukit salju ketiga yang
menghadap ke ngarai yang curam. Kami tak pernah tahu
berapa dalamnya. Apa saja yang terlempar ke ngarai itu
tak pernah terdengar suara jatuhnya. Mungkin ngarai itu
tanpa dasar. Kami tak tahu."Ketika kau masih larva, aku
ingat betul kaulah yang mencintaiku. Kau yang
menggambarkan lengkung punggung, pinggang, dan
pantatku di atas kertas," ia mengeluarkan sebuah lipatan
kertas dari balik bajunya dan membukanya di hadapanku.
Dua buah gambar yang dibuat dengan ujung arang hitam.
Yang pertama adalah garis lengkung tak terputus berarsir
tipis tebal, yang kedua adalah lengkung yang sama tapi
dengan titik-titik seperti tumpukan pasir. Ya, aku ingat itulah
gambarku. Setelah pengasuhku dahulu mengatakan bahwa

kaum jantan tak dapat kudekati, kugambar salah satu dari


mereka. Tapi siapa? Jantan yang mana? Ada begitu
banyak jantan dalam kubah. Sekian banyak wajah yang
sama bagiku kini.AKU ingat, aku memasukkan gambar itu
ke salah satu kabin kaum jantan, lalu aku pulang. Sesaat
kemudian aku mulai merasa malas bergerak, dan para
pekerja pengasuh kami pun tampaknya memberi makan
dalam porsi yang lebih banyak. Lalu aku masuk ke kabinku
dan merasa mengantuk sekali, mungkin juga aku tertidur
sambil mengunyah makanan. Rupanya aku memasuki
masa kepompong."Lantas mengapa kau berikan gambar
ini padaku?" aku bertanya"Kau lupa aku?"Aku
mengangguk. Kutatap lagi wajahnya. Sia-sia. Wajah itu
bisa wajah siapa saja. Satu dalam kerumunan wajah yang
sama. Aku menggeleng. Ia tak tahu, tak ada hormon lain
yang memicu reaksi berantai di benakku kecuali yang
membuat aku mencium bau musuh yang menyelip di antara
para pekerja. Aku siap bertarung dengan mereka. Aku
hanya bernafsu pada kehancuran musuh kami."Aku tak
ingat siapa yang kugambar ini dan ke kabin siapa
kumasukkan gambarku. Kini kalian serba sama. Aku hanya
tahu bahwa kalian tak berguna lagi setelah kalian keluar
dari kabin Sri Ratu. Tugasku hanya melindunginya,"
kataku.Ia berkata, "Kami menjadi kepompong lebih lambat
dari kaum prajurit dan pekerja. Ketika aku kembali ke
kabinku kutemukan gambar ini dan aku bertanya kepada
sesosok pengasuh dan ia menunjukkan sebuah kabin
kaum prajurit yang sedang ditutup karena mereka akan
memasuki masa kepompong. Aku sempat melihat sejenak

sebelum mereka benar-benar menutup semua dinding.


Aku melihat wajahmu sedang terlelap dalam remang.
Kemudian gelap gulita.""Kau ingat wajahku saat itu?"Ia
mengangguk. "Ingatanku tak ada yang terhapus, juga rasa
yang mengikuti ingatan itu. Semuanya utuh. Karena itu pula
kuingat wajahmu."Tapi itu tak berarti untukku. Aku
menyeret tangannya lagi. Ia sudah mulai letih dan
menggigil. Kami berjalan lagi tanpa bicara sebelum ia
mulai lagi."Kau tahu bagaimana sang ratu dipilih?"
tanyanya.Aku menggeleng. "Sri Ratu terpilih secara acak.
Ia menjadi ratu karena para pekerja memberinya makanan
yang tak diberikan kepada kalian di masa larva dan awal
tahap imago," sambungnya."Dari mana kau tahu?""Sri
Ratu sendiri yang bercerita. Kau pernah melihatnya?"Aku
menggeleng lagi."Aku pernah melihatnya. Ia masa lalu
yang menelurkan masa depan, umurnya barangkali seribu
tahun. Ia berbeda jauh dengan pekerja dan prajurit, tapi
nafasnya dingin di tengkukku dan lidahnya dingin di pipiku,
sedingin salju. Ketika aku masuk ia hanya bertanya: apa
sudah kau tanggalkan semuanya di luar. Ketika aku tak
menjawab, ia hanya berdecak, ah, maksudku sudahkah
kau tanggalkan harapan dan mimpimu di luar. Aku tinggal
di tempat tidurnya. Barangkali aku bermimpi juga. Mimpi
buruk. Lalu aku harus mati. Beruntunglah kau tak pernah
melihat Sri Ratu. Barangkali jika kau melihatnya, kau harus
mati pula. Hidupku pendek. Semenjak telur, larva,
kepompong, sampai keluar dari kabin, kami disuapi,
dirawat seperti raja. Bagi koloni kita, aku hanya kantung
sperma besar.""Kau sedang menyesali nasib?"

tanyaku"Aku tak tahu.""Jantan pertama yang kubunuh di


musim ini juga berkata-kata seperti itu."Ia tertawa. "Tapi
paling tidak, anak-anak Sri Ratu nanti adalah anakanakku...""Ya, tapi jelas bukan anak-anakku," kataku. "Kita
sampai..."Ngarai itu seperti garis hitam di atas permukaan
telur putih dari salju."Aku tak tahu mana yang lebih
beruntung. Aku yang menangis karena masih bisa
mengingat dan merasa akan kehilangan semua yang
sudah kuingat ketika harus mati? Atau kau yang tak bisa
merasa kehilangan apapun dan harus hidup? Selamat
tinggal," katanya.IA membuka baju pelindungnya lalu duduk
menekuk lututnya. Rahangnya mengeras menahan gigil.
Aku ikut duduk menekuk lutut di depannya.Aku mengambil
tali. Ia menyodorkan lengannya. Ia mengepal. Kuikat tali itu
pada lengan atasnya. Pembuluh darah mencuat di balik
kulitnya. Kusiapkan suntikan. Sebuah dosis yang tepat,
sebuah jarum suntik. Sempurna. Tak lama. Tak selama
waktu yang dibutuhkan untuk membaca kalimat ini. Sebuah
tubuh telanjang terbaring telungkup di dekat ngarai. Salju
mulai turun membuat bercak putih di permukaan tubuhnya.
Bila aku menunggu cukup lama tentulah salju akan menutup
tubuh itu mengikuti lengkung sepanjang punggung,
pinggang, dan pantatnya sehingga mirip bukit pasir. Pasir
putih yang dingin. Tapi aku tak bisa menunggu. Kudorong
tubuh itu dengan kedua tanganku ke bibir ngarai. Bibir itu
seperti merekah memasukkan sesuatu ke dalamnya. Lalu
tubuh itu jatuh, melayang, entah ke mana. Ngarai itu begitu
dalam dan gelap. Kulemparkan juga kertas yang
bergambar itu mengikutinya.Aku berbalik, berjalan kembali

ke kubah. Badai mulai datang. Naluriku berkata bahwa


kubah itulah yang harus kupertahankan.Di pintu kubah,
kuperhatikan di belakangku dua pasang jejak kaki menuju
ngarai yang sebagian telah terhapus salju turun. Kini hanya
ada satu pasang jejak dari ngarai ke kubah. Jejak kakiku.
Aman. Berarti tak ada musuh yang menyelinap.Dinar
Rahayu, alumnus Jurusan Kimia ITB. Novelnya adalah Ode
untuk Leopold von Sacher-Masoch (Pustaka Jaya, 2002).
Ia lahir 9 Oktober 1971.
Segalanya Terbakar di Matamu
Cerpen: Zen Hae
Sumber: Koran Tempo, Edisi 05/09/2004
PADA mulanya adalah nomor telepon seluler, Saudara.
Nomor itu diberikan oleh seorang teman saya, seorang juru
bisik, setelah saya mengeluhkan keadaan saya. "Kau
kelewat banyak mengarang. Kau perlu hiburan," katanya
serupa tukang obat. Lewat nomor itu, katanya, saya bisa
menghubungi seorang perempuan kapan saja. (Tetapi,
maaf, saya tidak akan menyebutkan namanya di sini.)
Katanya lagi, ia cantik, menggairahkan, sekaligus
cerdas.Ternyata
benar.
Setelah
satu-dua
kali
menghubunginya saya jadi ketagihan. Suaranya jadi khas
di telinga saya. Seperti suara orang yang baru bangun
tidur. Dari suaranya saya coba mengkhayalkan sosoknya.
Perempuan muda bertubuh sintal-putih-berkeringat,
menggeliat dengan rambut acak-acakan dan mata redup,
di atas hamparan seprei kusut. Seperti ikan tawes yang
menggelepar-gelepar di atas rumput. Agh, tidakkah itu

khayalan paling sehat dari seekor kucing lapar macam


saya? Berkali-kali saya mengajaknya ketemu, tapi selalu ia
menolak. "Nanti kamu kecewa," katanya. Akhirnya ia tidak
bisa menolak ketika saya berjanji akan membawakannya
sebuah cerita. Tentang seorang gadis yang jatuh cinta
pada manekin. Aku sangat mengukai cerita, katanya. Apa
pun jenisnya. "Aku memakai bandana," katanya sebelum
menutup telepon.Saya menunggu perempuan bandana itu
di sebuah restoran Cina. Restoran ini terletak di tepi Kali
Besar yang bermuara di Pelabuhan Sunda Kelapa. Di
akhir pekan suasananya sangat ramai. Semua
pengunjungnya berpasangan. Dua, empat, enam,
delapan... dua belas. Cuma saya yang masih sendirian.
Sudah hampir satu jam saya di sini. Tapi belum ada
seorang perempuan pun yang berciri seperti dalam telepon
tadi malam. Perempuan itu pasti hanya bermain-main.
Saya menyesal mengapa terlalu gampang percaya pada
orang yang baru saya kenal, apalagi hanya lewat telepon.
Huahh. Mata saya perih dan berair. Saya memejamkan
mata dan merebahkan tubuh di meja. Tidak berapa lama
sepotong suara khas mengejutkan saya. "Aku mencari
seorang lelaki yang menghidupkan manekin dalam cerita."
Seorang perempuan berdiri tiga depa di depan meja saya.
Perawakannya tidak terlalu tinggi. Wajahnya bundar,
dingin, licin, mengilat. Separuh kepalanya terbungkus oleh
bandana biru bermotif ikan merah. Rambutnya terjuntai
lurus sebahu. Tubuhnya yang berisi dibalut celana jins biru
pudar, ketat, dan kemeja katun putih. Tangan panjang yang
digulung hingga siku. Tangan kanannya menenteng tas

hitam, seperti pengadu ayam membawa kisa. Paling


bawah, sepatu hitam berhak setinggi kelilingking saya.
Agh, benar-benar ikan tawes yang gemuk lagi
segar."Kamu pasti ikan tawes. Maaf, maksudku,
perempuan yang baru bangun tidur."Perempuan itu
tersenyum dan berjalan ke arah saya. Menarik kursi dan
duduk di depan saya. Matanya tajam menyelidik.
"Tampangmu benar-benar seperti kucing garong.""Aku
kucing garong yang lapar.""Ya sudah, pilih menu ikan
saja.""Ikannya mati semua. Aku mau ikan segar.""Cari di
sungai, jangan di sini.""Tapi kau membawanya di
kepalamu.""Ini bukan ikan tawes. Ini ikan sembilang.""Ikan
tawes ikan sembilang, lompat empat ke gorong-gorong.
Daripada dipancing orang, mending ditangkap si kucing
garong.""Kucing garong dilempar batu. Mampus lu!" Kami
sama tertawa. Saya sodorkan buku menu. Perempuan itu
memilih nasi goreng sea food dan segelas jus melon. Saya
memilih nasi cap cay goreng dan es lemon tea.Di sela-sela
makan saya mencuri pandang. Ternyata ia melakukan hal
serupa. Kami bersitatap. Ia tersenyum. Saya geragapan.
Sepotong brokoli tersangkut di tenggorokan saya. Saya
terbatuk-batuk hingga mata saya berair. Ia tetap tersenyum
begitu melihat saya minum dengan bunyi tegukan berkalikali. Ikan tawes sialan! Ia membuat kucing garong yang
biasanya penakluk tulen menjadi kucing kudis yang tak
berdaya. Kalau saja restoran ini menjelma dapur ia sudah
menjadi bulan-bulanan saya. Saya jadi tak bersemangat
menghabiskan makanan. Sambil menunggu ia selesai
makan saya buka tas punggung yang sedari tadi saya

letakkan di kursi kosong dan mengambil karangan saya.


Membaca sekenanya. Lewat tepi kertas HVS saya lihat
tangan kirinya, dengan kuku-kuku runcing bercat hitam,
menggenggam gelas. Suara tegukan, kecipak mulut,
sendawa kecil."Mana cerita yang kaujanjikan?" ia bertanya
seraya menggeser piring kosong ke sebelah kiri
meja.Saya menyerahkan tiga lembar kertas itu. "Belum
rampung." Ia mengambilnya dengan senyum yang
membuat geragapan itu tak juga hilang. Saya kembali
minum. Kali ini sebutir biji lemon tersangkut di tenggorokan
saya. Hoek! Ia tersenyum lagi dan mulai membaca. Ia
mengeraskan suaranya pada bagian-bagian berikut
ini.Gadis itu melepaskan belaiannya pada sebuah
manekin. Dengan sigap ia bangkit dan membereskan
beberapa potongan kain yang acak-acakan. Ia memang
pelayan toko yang gesit. Tangannya sangat lihai menyusun
lipatan kain, memilihkan warna dan motif yang cocok untuk
calon pembeli, mengukur dan memotongnya bila telah
cocok harga. Kadang ia menggendong anak kecil yang
kebetulan menangis karena menunggu ibunya memilih
bahan. Saat sepi pembeli ia lebih banyak duduk di pojok,
bersandar pada manekin yang mengenakan setelan jas
abu-abu tua dengan kemeja putih dan dasi merah marun.
Tapi lihat, ia tidak sekadar bersandar. Kadang-kadang
tangannya yang halus itu membelai-belai jemari manekin
yang runcing lagi keras. Dan manekin itu seperti tahu
keletihan sang gadis. Tubuhnya yang licin lagi keras
seperti berdaging. Kenyal. Manekin itu membungkuk dan
berusaha merengkuh tubuh gadisnya. Bila sudah begitu si

gadis membenamkan wajahnya ke tubuh manekin itu.


Suaranya
mulai
berat
dan gemetar.
"Saya
mencintaimu.""Kenapa cuma menyatakan cinta? Kenapa
tidak main seks dengan manekin itu?" tanya si perempuan,
menyelidik."Seks adalah tema yang bermasalah. Suatu
ketika dalam sastra kita ia pernah hadir dengan cara yang
samar-samar, penuh perlambang. Tetapi kini sangat
terang-terangan. Vulgar, malah. Aku pengarang yang
menyukai simbolisme." Ahai, saya mulai berteori
sekenanya."Jangan terlalu banyak kilah, Bung. Simbolisme
sudah ketinggalan zaman. Mending terang-terangan saja.
Bikin pembaca terhanyut dalam air bah hasrat purba
itu.""Aku tidak suka air bah. Banjir setinggi lutut, bolehlah."
Tiba-tiba saya menyesal sebab telah bertemu perempuan
yang begitu giat menyerang saya ketika pertama kali
bertemu. "Maaf, sudah bikin kamu tersinggung," katanya
sembari mengusap dahinya dengan tisu."Nggak apaapa."Ia mendekatkan wajahnya ke wajah saya. "Aku akan
ke Pulau Putri nanti sore. Jangan hubungi aku dalam satudua hari ini," katanya. Nafasnya terasa hangat di hidung
saya. Aroma tajam Eternity meruap. Darah saya berdesir.
Saya meneguk liur sendiri. Mulut saya perlahan menganga.
Lidah saya bergetar dan bergoyang, tapi saya segera
mengatupkan mulut. "Tapi kita masih bisa ketemu lagi,
kan?" "Boleh dong." Ia menepuk lembut pipi saya. Hangat.
"Terima kasih sudah neraktir aku."Saya mengangguk
bagai pelatuk. Tapi, agh, saya meginginkan sesuatu yang
lebih dari sekadar tepukan lembut. LANTARAN itu saya
mulai membikin jebakan. Di pertemuan berikutnya saya

harus bisa menerkam ikan tawes itu. Dalam sekali


terkaman ia harus sudah menggelepar. Akhirnya saya
mengarang cerita: Saya berulang tahun yang ke-40 pada
akhir April. Saya ingin meneraktirnya candle light dinner
dan ia setuju. Kami memilih sebuah restoran Eropa di
bilangan Menteng. Sembari makan saya umbar kata-kata
pujian yang membuatnya kikuk campur senang. Seusai
makan kami memesan sebotol Martini. Saya tahu ia
sangat menyukai minuman itu. "Warnanya seperti api,"
katanya. Begitulah, sambil mengobrol dan terus memujinya
saya mencekokinya dengan bercawan-cawan anggur,
sedang saya hanya minum sekadarnya. Ia mulai menjadi
peracau yang lancar dan penuh semangat ketika botol itu
hampir kosong. Setelah itu ia ambruk bagai gubuk
dihantam angin puyuh. Hanya ikan yang mabuk dan dungu,
Saudara, yang membiarkan dirinya jatuh ke pelukan
seekor kucing. Dan ikan mabuk itu tak bisa lagi menolak
saya untuk mengantarnya pulang ke apartemennya di
bilangan Grogol. Bukan hanya sampai di pintu gerbang,
tetapi hingga ke dalam kamarnya di lantai 19. Satpam
penjaga apartemen hanya tersenyum begitu melihat saya
memapah perempuan itu menuju lift. Di dalam lift berkalikali ia melontarkan kata "anjing," "api," "hangus, mampus,"
"moralisme absurd," "hidung bengkok sialan," "fuck you,"
"mother, how are you today?" Entah apa lagi... Begitu pintu
kamarnya saya buka ia langsung nyelonong ke kamar
mandi. Bunyi hoek berkali-kali terdengar saat saya
merebahkan tubuh di kasurnya yang empuk lagi wangi. Ia
keluar dengan wajah, bandana, rambut, dan blus basah.

Seperti orang yang barusan tenggelam. Dengan langkah


oleng ia menuju kasur dan menjatuhkan tubuhnya ke tubuh
saya. "Naik perahu ke laut api, Abang. Perahunya si kertas
ubi," suaranya berayun-ayun. Saya tarik tubuhnya dan saya
rebahkan kepalanya ke dada saya. Rambutnya yang bagai
sapu ijuk diguyur hujan bertebaran di perut saya. Dingin di
perut, panas di kepala. Saya mencoba merapikannya dan
membuka bandananya. Tapi ia menepiskan tangan saya.
"Kenapa kamu selalu pakai bandana?" "Ah, mau tahu aja
kamu," katanya dengan suara yang masih berayun-ayun.
Tiba-tiba wajahnya mendongak. Bintang-bintang berpijaran
di matanya. Ai ai, lidahnya terjulur dan perlahan-lahan
merambat dari dada terus ke leher saya. Seperti keong
racun di batang pisang. Dingin-dingin-geli. Ia berhenti
ketika bibirnya menyentuh bibir saya. Agh, nafas hangatnya
berembus, menerpa kumis dan bulu hidung saya. Darah
saya kembali berdesir. Bulu kuduk saya serentak berdiri.
Suaranya yang khas itu meluncur. Bergetar. "Tahu nggak,
kalau aku lagi horny puluhan ikan cakalang berlompatan
dari balik bandana ini. Nenek moyangku kan orang pelaut."
Dalam keadaan mabuk dan berahi ia masih punya selera
humor. Boleh juga. Nah, Saudara, inilah saat yang saya
tunggu-tunggu. Tanpa buang waktu saya pagut bibirnya.
Saya cengkeram pinggulnya. Ia balik memagut dan
mencengkeram saya. Kuku-kukunya yang runcing merobek
kulit pungggung saya. Agh, rupanya perempuan itu telah
menjelma seekor kucing anggora betina. Gemuk lagi gesit.
Kami bertarung. Seakan-akan bertarung. Saling mencakar,
menggigit, menjilat, menjerit. Ngeoooonnngg... Memang,

saat itu ada yang berlompatan dan beterbangan di


seantero kamar. Entah dari kepala si anggora betina atau
dari kap lampu atau dari kamar mandi. Saya juga tidak
tahu persis apakah itu cakalang atau bukan. Bisa jadi itu
memang cakalang, tapi bisa juga sembilang, lumba-lumba,
hiu, todak. Bukan tidak mungkin itu belalang kayu, laron,
merpati, celepuk, burung gereja. Atau gabungan dari
semuanya. Suara mereka gaduh sekali, bertubrukan
dengan erangan kami. Entah berapa lama tubrukan itu
berlangsung. Tiba-tiba semuanya hening. Hanya dengkur
nafas. Satu-satu. Jam berapa ini? Saya beringsut meraih
jam tangan di meja. Tapi perempuan itu menarik tangan
saya. "Ceritakan lagi padaku gadis manekin itu."JIKA aku
tak bisa menerkam mangsaku dalam sekali serangan,
maka aku akan mengintainya lebih dulu. Tanpa dia tahu
aku akan mengikuti ke mana saja ia pergi. Tapi jika
ketahuan aku akan berpura-pura baik, sopan, dan tidak
berbahaya di depannya. Aku hanya akan menunduk sambil
menggaruk-garuk kepala, menguap, atau menjilat-jilat
bibirku sendiri. Dengan begitu ia akan merasa aman. Dan
calon mangsaku yang dungu akan menyangka aku
hanyalah kucing garong yang acuh tak acuh. Tetapi gadis
penjaga toko bahan pakaian itu bukanlah calon mangsa
yang dungu. Ia cerdik lagi awas: si ikan tenggiri yang gesit
dan tak mudah ditangkap. Karena itu aku tertantang untuk
terus mengejarnya. Dan sejak pertama kali melihatku ia
sudah curiga. Ia selalu melengos, bahkan meludah, setiap
kali beradu pandang denganku. Apalagi kalau kupandangi
payudaranya yang mirip moncong pesawat tempur F-16.

"Dasar kucing garong," katanya. Suatu ketika aku


memergoki gadis itu di pelataran Museum Fatahilah.
Kepalanya diperban. Entah karena luka apa. Tapi
kelihatannya ia tidak terganggu oleh luka itu. Ia berselonjor
di bangku semen, berdampingan dengan dengan seorang
lelaki berwajah plastik. Aku memperhatikannya dari jarak
yang cukup dekat sambil minum es cincau. Agar tidak
terlihat oleh mereka aku bersembunyi di balik bak sampah.
"Seharusnya kamu nggak menemui saya di sini. Saya takut
kamu ikut-ikutan susah karena saya," kata gadis itu. "Aku
cuma pingin tahu kenapa kamu tega membiarkan aku saat
api menjalar hebat dan menjilati dadaku. Seperti ini."
Lelaki berwajah plastik itu membuka kancing bajunya.
Gadis itu menjerit begitu melihat perban di dada lelaki itu
yang mirip karung goni basah. Hoek! Gumpalan cincau
hijau loncat dari mulutku. Dua orang itu menoleh ke arahku.
Aku pura-pura tidak melihat mereka dan asyik menjilati
sisa-sisa sirup beraroma pandan di bibirku. Merasa aman
gadis itu kembali bicara. "Saya minta maaf. Semuanya
terjadi begitu cepat dan di luar dugaan saya. Tiba-tiba saja
api menyala dari tempat sampah dekat meja kasir. Api
menjalar ke gulungan-gulungan kain. Segulungan kain yang
terbakar kemudian menimpa kepala saya. Saya lari keluar
dan berteriak-teriak minta tolong. Semuanya minta tolong.
Saya baru siuman setelah di rumah sakit. Besoknya polisi
datang dan menanyai saya. Tanya soal yang itu-itu saja,
soal asal-muasal kebakaran. Saya takut banget. Pingin
pulang kampung saja." "Kenapa harus kabur kalau tidak
bersalah?" "Soalnya majikan saya mengancam akan

membunuh saya bila saya cerita pada polisi." "Cerita


apa?" Gadis itu menengok ke kanan dan ke kiri.
"Sebenarnya," suaranya mulai merendah, "toko itu tidak
dibakar oleh perusuh, tetapi sengaja dibakar oleh majikan
saya. Dia mengharapkan klaim asuransi untuk menutupi
kerugian bisnis tambak udangnya di Tanjung Burung."
"Dari mana kamu tahu?" "Panjang ceritanya." Aku makin
tertarik pada omongan mereka. Tapi aku kelewat bernafsu
hingga bak sampah itu terdorong dan jatuh
berkelontangan. "Orang itu..." jerit si gadis. Lelaki berwajah
plastik itu menatapku. "Dia selalu membuntuti saya.
Jangan-jangan, dia orang suruhan majikan saya. Saya
pernah lihat dia bercakap-cakap dengan majikan saya."
"Hei, Bung, nyawamu bisa melayang dalam hitungan
menit," lelaki itu menjambak kerah bajuku. Kepalan tangan
kanannya terasa panas di tenggorokan. "Tttttenang...
Kalian berdua salah paham. Saya... saya... cuma mau
memastikan." "Alah, banyak alasan lu!" Lelaki itu
mendorongku hingga aku jatuh terjengkang. Mereka
kemudian berjalan ke salah satu sudut halaman museum.
Berhenti di bawah rindang pohon ketapang dan duduk di
sebuah bangku kayu. Petang yang temaram menyulap
sosok mereka menjadi patung sepasang kekasih. Astaga,
demi bintang-bintang yang berpijaran di matamu,
Sayangku, aku melihat sekelompok kelelawar beterbangan
dari kepala gadis itu. Makin lama makin banyak. Bukan
lagi puluhan tetapi ratusan. Gerombolan kelelawar yang
serupa asap hitam itu kemudian terbang ke arahku.
Binatang-binatang tengik itu mencakari dan menggigiti

jidatku, hidungku, pipiku, jemari tanganku, lenganku,


tengkukku, batok kepalaku. Kampreeeeett... Aku
bertarung. Sungguh-sungguh bertarung. Kubunuh beberapa
dari mereka. Tapi aku tak memangsa korban-korbanku itu.
Aku tidak suka kelelawar. Baunya apek. "KAMU telah
menyeretku dalam ceritamu.""Ini cuma cerita. Tidak
sungguh-sungguh nyata.""Enam tahun lalu aku seperti
gadis itu. Bekerja di toko pakaian yang hangus saat
kerusuhan. Sempat masuk rumah sakit karena luka bakar.
Setelah itu aku menganggur. Mantan bosku kemudian
menawariku untuk menemani rekan-rekan bisnisnya. Aku
menikmati pekerjaan itu karena aku jadi tahu apa yang ada
di dalam batok kepala setiap lelaki." "Aku juga tahu apa
yang ada di balik bandanamu." "Ikan cakalang?" "Bukan,
ikan kue bulan." "Hahaha. Kalau otakku sebentuk ikan,
mungkin aku selalu berpikir tentang lautan, empang, atau
akuarium. Ternyata tidak. Aku selalu berpikir tentang api.
Api yang melahap apa saja.""Segalanya terbakar di
matamu." "Ya. Segala yang bernyawa dan mati, yang suci
dan berdosa.""Jangan-jangan, nenek moyangmu bukan
pelaut, tetapi ahli neraka." "Hahaha. Sebangsa iblis yang
bengis?" "Bukan, iblis yang baik hati. Yang membuat
kucing-kucing tertawa. Menjerit-jerit. Menggelepar minta
dicakar." "Sebab itu kucing tak bisa masuk sorga. Ada
darah iblis di tubuhnya." "Sebab di sorga ia akan
memonopoli sungai susu." "Kalau begitu kita harus berdoa
agar Tuhan membikin sorga khusus untuk binatang seperti
kucing. Agar penghuni sorga selain kucing tidak memusuhi
binatang itu." "Kamu saja. Doaku sudah tak

manjur.""Ayolah, Sayang, demi anggora betinamu." Saya


tertawa. Anggora betina itu tertawa lebih gelak lagi. Batukbatuk. Ia bangkit dan mengambil botol air di kulkas. Minum
langsung dari botolnya. Berjalan ke jendela dengan
sebatang rokok dan korek api di tangan kanan. Tangan
kirinya menyibak gordin dan membuka kaca. Lama ia
menatap ke luar sana. Asap rokok mengepul. Angin
kencang membawa asap itu ke dalam kamar. Bau
tembakau terbakar menyergap hidung saya. Tiba-tiba,
anggora betina itu melambaikan tangan kanannya. Saya
bangkit dan berjalan ke arahnya. Berdiri bersisian. Sama
telanjang, sama memandang ke luar. "Segalanya terbakar
di bawah sana," katanya. "Ah, itu kan cuma cahaya neon
dan asap dari cerobong pabrik.""Sejak kapan cahaya
neon berkobar dan cerobong pabrik bentuknya seperti
rumah?"Bisa jadi anggora betina itu benar. Segalanya
terbakar di bawah sana. Orang-orang kalap telah menjarah
dan meluluh-lantakkan kota ini. Tapi apa yang bisa
dilakukan binatang macam kami di tengah kobaran api,
Saudara?
Hanya
mengeong
sepanjang
malam.Kembangan Selatan, 1998-2004Zen Hae menyebut
dirinya tukang syair dan tukang cerita. Sebelum ini ia
memakai nama Nur Zain Hae. Buku puisinya Syair Orang
Tenggelam akan segera diterbitkan Pustaka Jaya.
Perkamen
Cerpen: Yanto le Honzo
Sumber: Koran Tempo, Edisi 04/25/2004
DARI lembah yang lembab ini, tembok Yerusalem

terlihat kelabu menyembunyikan kota, meliuk bagai ular di


punggung bukit. Putri Sion itu tak lagi jelita sebab ia
menanggung derita, seperti juga jiwaku yang harus
menyelesaikan semuanya. Matahari mulai luruh di
belakang kota. Langit pun lembayung tua di atas bukit-bukit
Yudea. Musim semi kali ini lebih dingin dan beku, tak ada
wangi bunga bakung dan kelepak burung di udara.Tak ada
yang kuinginkan lagi saat ini. Tak ada lagi yang berarti
setelah semuanya terjadi. Takdir sudah menarikku jauh ke
dalam palung gelap dan sempit, di mana mimpi-mimpi
berkepingan dan sunyi berjejalan menggores batu-batu
hingga suaraku pun tak mampu keluar. Mungkin memang
harus ada pertanyaan yang tinggal pertanyaan, agar hidup
tampak lebih berarti, meski mungkin tak ada lagi yang bisa
dinikmati.Guru, aku tahu engkau lebih mengetahui
semuanya, bahkan ketika harus kujual nyawamu pada
mereka. Engkau tahu, semuanya memang harus terjadi
dan digenapi.Tapi memahami kebenaran saja begitu sulit
bagiku; aku hanya tahu sebatas mata dan telinga.
Bagaimana aku harus memahami takdir dan ramalan?
Aku, sepotong ranting keturunan Hezron; dalam diriku
mengalir darah Yehuda, seperti juga Guru memiliki
keagungan Daud. Apa yang terjadi dengan masa laluku
yang terlupa itu?Wahai, Bukit Hebron! Apa yang kau
sembunyikan tentang diriku...Dengan satu kepastian,
kutinggalkan Keriot-Hezron tanah leluhurku; harus
kutinggalkan hamparan padang gurun yang sudah
meranggaskan masa-masa sejak aku dilahirkan di antara
nyanyian gurun dan suara angin yang bersuling-suling

menghidupi kami, ketika kudengar dia, Anak Manusia itu,


berada di Galilea. Dongeng-dongeng yang kerap
didengungkan padaku sejak kecil tentang sejarah leluhur,
kisah para nabi yang memesona itu, menggerakkan hatiku
untuk menjadi seorang nazir. Itulah sebabnya aku datang
padanya untuk ditahirkan sebagai jiwa yang baru. Mengikut
ke mana pun dia pergi. Sejak itulah kami--aku dan sebelas
"saudara"-ku itu--mengunjungi berbagai tempat hampir di
seluruh Palestina, dari ujung Yudea sampai ujung Galilea.
Berkeliling ke semua kota dan desa. Banyak mukjizat
tercipta, banyak jiwa menemukan pencerahan. Berduyunduyun orang datang dari Dekapolis, Yerusalem, bahkan
dari seberang jauh Sungai Yordan. Dari balik bukit-bukit
yang jauh. Mereka mendengarkan bagaimana kata-kata
Guru mengeluarkan cahaya yang mengilaukan riak air
Danau Tiberias. Menebarkan wangi mekar bunga zaitun.
Tiga kali musim semi hadir sejak aku mengikuti dia, tapi
sangat sedikit persemian batin yang kubutuhkan. Jiwaku
tidak merasa semakin kuat dan berkembang. Rasa sepi
dan gundah mulai jadi benalu yang menjalar merambati
hati dan hari. Waktu terasa begitu lamban menggulir.
Pemahamanku sebagai orang nazir tentang kebenaran
dan Kerajaan Sorga tidak lebih besar dari pada kepicikan
kaum Farisi yang membuta teguh pada isi Taurat dan
hukum adat. Untuk pelepasan, diam-diam aku sesekali
menenggak anggur. Daerah Hezron yang dingin bila
malam itu telah melatihku selama bertahun-tahun untuk
akrab dengan minuman memabukkan itu. Dengan irama
rebana dan kecapi, kami berputar, menari; berpelukan laki

dan perempuan, melingkari api unggun yang menciptakan


bayang-bayang ganjil di sekitar kami. Apakah ini tanda
jiwa yang renta, aku tidak tahu.Kadang aku iri melihat
Petrus yang kuat seperti batu karang, Matius yang berani
meninggalkan semua jabatannya, atau Simon yang pernah
melawan penjajah Romawi dari bawah tanah. Aku tidak
mempunyai kelebihan seperti mereka. Aku merasa lelah
dan ingin beristirahat.Dengan malu kukatakan, sangat
berat jalan yang ditawarkan Guru untuk kami lalui. Dan aku
hanya sebatas diri.Sungguh, ada sesuatu yang beda
kurasakan, yang aku sendiri tidak tahu apa. Semua
tampak berjalan wajar seperti pergantian musim. Kami
jelajahi seluruh negeri--Tirus yang penuh angin laut atau
Samaria yang sejuk. Kami menyusuri Sungai Yordan yang
tak pernah kering menerima kiriman dari Gunung Hermon.
Di tanahnya, kami menjala banyak manusia. Banyak yang
terpanggil. Banyak juga yang berpaling.Aku tidak
bermaksud mencari pembenaran, karena hal ini juga
dialami oleh banyak orang: mencari diri sendiri. Aku
mencarinya sampai jauh ke Sidon, melintasi pohon-pohon
aras di ketinggian Pegunungan Libanon. Hanya resah
kudapat. Aku mulai merasakan sesuatu yang lain itu sejak
Guru menyatakan penderitaannya. Dadaku berdetak keras.
Sebuah getaran mengoyak otak kesadaranku. Sungguh, ini
sangat menyakitkan.Tiba-tiba aku mulai memikirkan
rahasia penjadian. Sebuah rencana besar yang akan
mengenai lebih banyak manusia dalam rentangan masa
yang akan datang. Sejak Adam, kemudian bapa Abraham,
sampai Ishak dan Yakub; dalam ratusan tahun

pembuangan sebelum akhirnya semua menempati Tanah


Terjanji ini. Itu adalah rencana rahasia kehidupan. Semua
sudah tertulis dalam buku besar berupa tanda-tanda. Tidak
ada yang mampu mengelak. Tidak juga Musa atau Yunus.
Semua sudah tertulis sejak di dalam kandungan.WAKTU
itu bulan Syebat, di mana-mana pohon badam mencapai
puncak kemekarannya. Angin utara masih mengguyurkan
dinginnya di atas Galilea. Udara sedikit berat ketika kami
menyeberangi Danau Tiberias, lalu singgah di daerah
Kaisaria-Filipi. Guru mengatakan bahwa sesegera
mungkin dia akan ke Yerusalem. Lalu dia menceritakan
tentang kematiannya yang sudah dekat. Dia tahu apa yang
akan terjadi.Memang, semua tentang dia sudah
dinubuatkan para nabi. Sudah didongengkan para leluhur
kepada kami, pewaris tanah ini. Setiap malam purnama
kami tembangkan mazmur-mazmur Daud di padangpadang terbuka; kami resapi kata demi kata Yesaya
tentang kami, bangsa ini. Sungguh, kami adalah bangsa
pilihan, seperti yang sudah dijanjikan Allah pada bapa
leluhur kami. Itulah sebabnya dia bersama kami
sekarang.Sudah empat kali Guru menyatakan bahwa
kematiannya segera datang. Itu membuat kami gelisah dan
sedih. Pada setiap kesempatan, ketika Guru sedang
istirahat, kami membicarakan hal itu diam-diam. Adalah
Petrus yang paling bernafsu mencari jawaban. Menurut dia,
yang menyakitkan adalah bahwa yang akan menyerahkan
Guru adalah orang dekat, yang setiap hari mengikuti dia.
"Biarlah hukum Allah menimpa diriku asal kutemukan
pengkhianat itu," kata Petrus dalam luapan amarah dan

kesedihan.Benar ucapan Guru bahwa celakalah orang


yang olehnya Anak Manusia itu diserahkan. Lebih baik
bagi orang itu sekiranya ia tidak dilahirkan. Sebab
siapakah yang mampu menanggung takdir yang berat ini?
Pengetahuan manusia terlalu pendek untuk memahami
rencana rahasia Allah. Tapi kehidupan harus berjalan.
Bumi yang tua ini masih terlalu muda untuk berakhir, dan
nubuat harus digenapkan. Sebab semua membawa arti.
Setan pun diberi hak oleh Allah karena ia memiliki
arti.Tapi, sejak aku berpikir tentang rahasia yang telah
lama tertulis dalam kitab-kitab itu, aku tahu haruslah ada
yang berperan sebagai pengkhianat, entah ia sadar atau
tidak. Agar sempurna apa yang dinyanyikan Daud dan apa
yang ditulis Yesaya, dan agar genap nubuat yang
disampaikan Zakharia. Itu semua adalah suara Allah. Dan
Guru, Roh Allah yang hidup, sudah mengetahui semuanya.
Dia tahu siapa yang akan berkhianat. Dan dia
membiarkannya sebagai rahasia yang tersembunyi di balik
kerahasiaan waktu. Lalu siapakah pengkhianat itu?
Adakah Petrus sendiri? Atau Yakobus, saudaranya? Atau
Zebedeus? Tadeus? Bartolomeus? Atau Tomas, murid
terkasih? Atau siapa? Aku tak melihat alasan yang
sungguh-sungguh kuat. Mereka orang-orang yang setia
dan taat. Lalu bagaimana dengan aku? Aku menggigil
memikirkannya.Seluruh urat nadiku bergetar.Sejak kecil
yang kutahu hanyalah keluasan padang. Hezron
mewariskan pada kami sebuah negeri di mana pedang
dan pisau adalah jawaban dari setiap masalah.Kisah
tentang embun-embun yang menjelma roti atau burung

puyuh, cuma sekedar dongeng penghantar tidur, yang kian


membosankan bagi telinga kami.Kami tetaplah bangsa-aku tahu kemudian--yang terlalu bebal dan pesungut pada
kehidupan selatan yang keras itu.Kami tumbuh antara
mezbah persembahan dengan harum damar mur dan
mazmur Daud, tapi kami juga sesekali mendaki bukit
pengorbanan untuk memohon dewa Baal mengaruniakan
kesuburan bagi negeri berpasir itu.Gemuruh bukit gurun
begitu melekat hingga ke dalam darah kami. Dimatangkan
oleh matahari, ditempa oleh keangkuhan bebatuan Sinai,
aku terbentuk sebelum semua kusadari. BULAN Nisan
sudah datang. Langit terang dalam kehangatan awal
musim semi. Di mana-mana terhampar jelai dan rami yang
siap dipanen. Beberapa hari lagi Paskah, Hari Raya Roti
Tak Beragi. Kami menyertai Guru memasuki Yerusalem.
Dia anggun tenang di punggung keledai betina muda sejak
kami keluar dari Betfage menuruni Bukit Zaitun. Terbawa
angin, awan bergerak lembut dalam gumpalan-gumpalan
kecil di atas kepala. Orang-orang berjejalan dalam sorak
nyanyian. Kami melangkah dengan debar kegelisahan
dalam dada. Kakiku berjalan gemetar menyaruk daun-daun
palem dan pakaian yang dihamparkan orang-orang
menutupi jalan.Tak ada keindahan pada musim yang
hangat dan berbunga itu. Semua melebur dalam
pandangan. Aku belum lupa: ketika kami berkumpul di
rumah Simon di Betania, seorang wanita muda jelita,
dengan kerudung satin putih, datang menghampiri Guru
dan mengucurkan minyak wangi narwastu dari buli-buli
pualam yang dibawanya, ke atas kepala Guru yang sedang

menikmati miju di meja. Kami terkejut menyaksikan


peristiwa tak terduga itu. Semua hanya mampu
memandang perempuan itu. Minyak itu. Dan Guru.Lalu aku
menegur perempuan itu. Tapi Guru justru membenarkan
perbuatan si perempuan. Aku terkejut! Sesaat kutatap
mata yang seakan berpijar bagai bintang timur itu, yang
kilaunya langsung menghujam jantung. Darahku keras
mendesir. Tiba-tiba ada yang bergerak... Gemuruh padang
gurun Yehuda kembali memenuhi diri. Tidak ada kata-kata
yang mampu aku wujudkan saat itu. Mataku berkunangkunang, Gunung Tabor seakan runtuh menimpa diriku. Aku
dipenuhi rasa malu. Naluri purbaku mulai membadai lagi.
Jiwa angin gurun yang berdebu, kering tak berwarna.
Sungguh! Aku tidak tahu apa yang terjadi dengan diriku.
Aku tidak tahu mengapa diam-diam aku pergi kepada
imam-imam kepala. Berita tentang keinginan para imam
kepala dan tua-tua negeri sudah tersebar ke seluruh
Yerusalem. O, Keriot-Hezron! Di mana kau sembunyikan
rahim ibu, untuk kutukar dengan darah ini sebelum
memerciki tubuh Anak Manusia?O, Hebron! Kota yang
melindungi para pembunuh, terkutuklah engkau sebab kau
timpakan padaku darah Nazaret. Kekuatan apa yang
kumiliki untuk melawan Anak Manusia?Dan malam itu, hari
Kamis tanggal empat belas bulan Nisan, nubuat para nabi
itu, takdir yang membelenggu diriku, tergenapi sudah. Di
antara tatapan para saudaraku dan hunusan pedang para
prajurit yang dikirim Sanhedrin, kujamah tangan Guru yang
hangat-lembut itu. Kucium ia dengan segala gemetar tubuh
dan jiwaku.Ramalan itu telah menjadi kenyataan. Aku tak

akan lupa kata-kata terakhir yang dia ucapkan padaku,


"Untuk itukah engkau datang?"Ya, di Taman Getsemani
aku jual takdirku seharga 30 keping perak setelah kucium
Guru di bawah bayang-bayang malam Bukit Zaitun.Wahai
Yerusalem! Wahai Putri Sion yang tidur, di tanahmu
kutetakkan bintang timur. Kini remuk-redamkan tulangtulangku. Makanlah dagingku yang tercampak kini.
Minumlah darah hitam yang tercurah ini. Agar sempurna
semua sejarah.Aku berlari dan berlari, menerjang malam
yang pekat membungkus Yerusalem. Melintasi tanggatangga jalanan kota dan tembok-tembok rumah yang diamkusam. Melewati pintu gerbang yang sudah ribuan waktu
menyembunyikan sejarah.Di bibir Lembah Hinom,
kutumpahkan seluruh air mata, entah untuk apa. Bulan
temaram menyinari pohon-pohon di punggung lembah. Di
kejauhan sana, Sinai yang purba samar-samar tampak
diam dalam kerentaannya. Menghembuskan angin gurun
ke wajahku. Tulang-tulangku terasa ngilu, tak tahu berpijak
pada bumi apa ini.Benarkah 30 keping perak adalah
hargamu tertinggi, Tuhan? Seperti yang pernah dituliskan
Zakharia untuk diserahkan kepada penuang logam. Hai,
Yesyurun! Kaulah pemilik Tanah Janjian ini. Ke mana aku
harus sembunyi?Siapa yang dapat membenarkan bahwa
aku, pewaris darah Yehuda, harus lahir dengan membawa
tugas sebagai pelengkap agar genaplah nubuat darah
penebusan itu. Wahai Daud raja Israel! Kalau memang aku
penggenap nubuat seperti yang kau tulis itu, mana
tanganmu... Kini, dalam kesunyian Lembah Kidron ini, di
antara kelebatan pohon kertan dan gemericik bening

Sungai Gihon, kutuliskan semua yang kurasakan dan


kualami. Sekali lagi, tidak untuk mencari pembenaran, tapi
agar kalian--siapa pun yang membaca perkamen ini-mengerti bahwa semua yang terjadi adalah bagian dari
rencana rahasia Allah. Penyaliban Guru memang harus
terjadi seperti yang sudah tertulis sejak dahulu kala. Agar
dia bisa bangkit pada hari ketiga sebagaimana yang
dikatakannya sendiri.Aku tahu, di mata kalian aku tidak
lebih dari seorang pengkhianat. Tapi kalian pun tahu, itu
sudah
dinubuatkan. Aku
dipilih Allah
untuk
memerankannya. Itu bisa terjadi pada siapa saja, tanpa
ada yang mampu menolak.Akhirnya aku sadar. Aku terima
apa yang terjadi. Betapapun perihnya, jalanku memang
sudah ditegaskan. Bangsa ini lahir dengan begitu banyak
korban, agar kehidupan menjadi lebih baik. Abraham harus
mengorbankan anaknya. Yakub membohongi Ishak,
bapaknya, demi lahirnya bangsa ini. Dan Guru harus
disalibkan. Itu semua adalah rencana Allah.Begitupun
tempatku sebagai pengkhianat. Tidakkah kalian baca itu di
kitab-kitab yang kita miliki?Oh, andai kalian tahu, betapa
aku ingin menghindar dari tugas tak terperi ini, agar
sejarah tidak mengekalkan aku sebagai pengkhianat Anak
Manusia.Tetapi aku memang harus ada demi rencana
rahasia penyelamatan. Seperti halnya juga Guru lahir
karena harus menyelamatkan.Aku tidak tahu apakah aku
harus bersyukur atau meradang kepada Allah. Tapi aku
tahu, tidak ada yang mustahil dalam rancangan-Nya.
Ketika kalian temukan perkamen ini, itu berarti aku sudah
menyelesaikan takdirku yang lain: aku harus

mati.Shalom,Yudas Iskariot. Jakarta, 2002-2003Yanto le


Honzo, lahir di Surabaya, kini giat berteater di Jakarta.
Singgah di Sirkus
Cerpen: Nukila Amal
Sumber: Koran Tempo, Edisi 05/02/2004
IA melangkah keluar dari bayangan pohon randu. Dan
tiba di pintu gerbang sirkus itu. Betapa mustahil keadaan
awal ini dapat menjadi yang selainnya. Ia telah mesti ada di
situ, pada saat itu. Dari kejauhan dapat didengarnya suara
riuh-rendah manusia dan musik. Dilihatnya warna-warna.
Seorang penjaga bersandar di samping gardu kayu. Lelaki
itu mengamatinya, seperti menyangsikannya. Dari bentuk
batok kepalamu, aku tahu kamu penari. Atau detektif.
Ambillah ini.Sobekan selembar karcis tiba di tangannya.
Atau rahib?Ia tak menjawab, sebab ia bukan sesiapa. Jarijarinya meraba sejenak kayu terkelupas di pintu gerbang.
Ia merasa tempat itu menyimpan semacam rahasia,
keajaiban. Begitu banyak pilihan. Ia belum pernah ke
sirkus, dan tak tahu mesti memulai dari mana. Ia berjalan
menuju kerumunan. Terdengar lagu akordion mekanis dari
mesin permainan membaur dengan deru mesin diesel. Ia
mengamati tempelan poster pertunjukan dan bendera
berkibaran, mendengarkan para peneriak di luar tenda
atau bangunan kayu. Ia menuju tenda pesulap. Membayar
karcis sambil menatap poster bergambar siluet hitam
misterius berselubung awan putih. Ada tulisan nama
pesulap, bertebar bintang-bintang di sekitarnya. Kalimat di
bawahnya dicetak dalam huruf lebih kecil. Pesulap, hampir

penyihir. Setengah jam kemudian terkagum ia keluar dari


tenda pesulap. Ia masuk ke tenda sebelahnya yang tampak
lebih megah. Sang peneriak di luar tenda mengulangi
seruan yang telah didengarnya tadi. Ayo, berduyunduyunlah! Saksikanlah! Empat badut spektakuler abad
ini!Kuartet badut yang ternyata biasa-biasa saja. Ia heran
mengapa antrian karcis untuk badut lebih panjang dari
pesulap. Ia pergi mengamati komidi putar dan dremolen,
masuk ke pertunjukan seorang peniti tali dan penelan api,
lalu keluar menuju deretan adu ketangkasan. Ia
menghampiri sebuah mesin pencapit. Ia menempelkan
mukanya pada kaca kotak capitan, menatap dengan mata
besar segala yang bertaburan sedap di dasar. Sesaat ia
tergoda. Jika koin dimasukkan, capit besi itu akan terbuka
seperti cakar monster jahat, turun menuju serakan cokelat,
biskuit, dan permen di dasar. Mungkin beberapa akan
terangkat cakar, mungkin jatuh kembali ke dasar. Ia
mengurungkan niat, meniupkan nafasnya pada muka kaca,
menggambar spiral, dan berlalu. Ia berada di sana bukan
untuk hadiah.Ia pergi membeli gulali. Berlama-lama di
depan gerai, sambil minum soda ia menonton pembuat
gulali memutar benang-benang halus merah muda, hingga
menjelma gunungan kapas yang tampak empuk. Ia
terpukau. Ia memesan gulali berkali-kali. Setiap kali
wajahnya mendekat, matanya mencoba mengikuti gerak
untaian gulali. Sia-sia. Setiap kali pula, ia menatap pupil
mata pembuat gulali dan tangannya yang bergerak seolah
punya mata pada tiap ujung jemari. Ia ragu, mana yang
lebih memukau, perempuan pembuat gulali atau gulalinya.

Sebab perempuan itu buta.Ia ingin berputar seperti


gulali.Dengan lidah kelu hampir mati rasa oleh manis dan
bibir dan ujung jari berubah merah, ia menyeruak di antara
para pengunjung. Baginya, dari semua tempat di sirkus,
yang paling menyenangkan adalah gerai gulali. TAPI ia
keliru. Itu disadarinya kemudian. Ketika ia menatap rumah
cermin untuk pertama kali. Di tepi lapangan, di sebuah
sudut sepi. Di antara terang matahari panas, rumah cermin
itu seakan mengumpulkan gelap di dalam dirinya sendiri
dengan dingin. Ada beberapa pintu di situ, ia mengelilingi
bangunan itu untuk menghitung jumlahnya. Delapan pintu
berbeda. Ia masuk lewat salah satu pintu, tiba di sebuah
lorong selebar rentang tangan, berdinding cermin di kanan
kirinya. Ia membanyak tak berhingga. Lorong itu berbelok
bercabangan ke sana-ke mari. Beberapa kali ia
menjumpai dirinya ada dalam kubus cermin. Entah ada
berapa, semuanya tampak sama. Di sana, empat sisi
dinding memantulkan dirinya, kiri kanan depan belakang.
Begitu banyak dirinya, ia tak lagi tahu yang mana dirinya
sesungguhnya. Bagai berada dalam ulu hati sebuah berlian
cemerlang, tersasar dalam labirin sejuta cahaya
berpantulan. Ia pun menari. Berputar seperti gulali.Telah
senja hari, ketika ia keluar. Kepalanya sedang berputar
menatap lampu-lampu yang mulai dinyalakan, ketika sang
penjaga menghampirinya dan berkata ia boleh tinggal di
sirkus itu, tanpa bilang mengapa. Ia menduga, penjaga itu
telah melihatnya menari dalam salah satu kubus rumah
kaca. Ia ingat telah berpapasan dengannya pada sebuah
kelokan. Ia menengadah ke langit, melihat bulan berbentuk

huruf c.Penjaga sirkus memang telah melihatnya menari.


Hanya beberapa gerakan, tapi itu telah cukup baginya.
Sebab gerak-gerik itu mungkin memang bisa disebut
menari.MAKA ia sering mengunjungi rumah cermin. Tak
banyak orang yang ke sana. Ia mempelajari skema dan
berbagai rutenya. Kadang bereksperimen dengan gerakan
musykil dalam salah satu kubus cermin. Kadang ia
berputar-putar saja sesukanya, hingga ia pening dan jatuh
terhuyung. Jika capek, ia mencoba menghitung jumlah
pantulannya pada cermin. Kadang dijumpainya sang
penjaga sirkus di salah satu lorongnya. Halo.Hai.Lalu
mereka berbelok ke lorong berbeda arah.Sesekali mereka
keluar dari pintu yang berbeda, lalu ke kedai kopi tak jauh
dari rumah cermin itu. Kedai itu menjual macam-macam
minuman yang diurut secara alfabet dari a sampai z pada
daftar menunya -- kecuali kopi. Pemiliknya seorang
pensiunan penyair yang bercita-cita menjadi saddhu di
jalanan Kalkuta, tapi istrinya melempar piring-piring ke
arahnya ketika tahu. Di kedai kopi tanpa kopi itu, ia dan si
penjaga akan duduk satu-dua jam bercakap tentang
menari sebab lelaki itu juga seorang penari, meski jarang
tampil. Atau tentang kota, setrika, spontanitas terjadwal,
jarak. Atau mengetawai kelucuan orang-orang di sirkus.
Lelaki itu selalu punya satu ringkasan cerita dari negerinegeri jauh. Dan istilah-istilah yang belum pernah
didengarnya. Ignoranus, demikian ia mengumpat
pengunjung yang membuang sampah sembarangan.
Ikonofilia, begitulah ia merujuk pada penonton panggung
penari. Siklofrenik, katanya menunjuk dengan dagu pada

para pengunjung yang menjerit-jerit histeris pada mobilmobilan rel yang meluncur turun dengan laju. Lalu ia mesti
bertanya, dengan kenaifan yang mungkin menggelikan
bagi si penjaga sirkus, bertanya untuk ke sekian kali, apa
itu? Sesekali mereka bercakap bersama para badut,
pesulap, nona bajang albino, pemilik kedai kopi, penelan
api, pemain akrobat, atau pengunjung sirkus yang ikut
nimbrung. Sesekali ia mendengarkan beberapa nasihat
dari mereka.Ini rahasianya, kata pemilik kedai kopi, bukan
soal apa yang kamu lakukan, tapi seberapa pintar kamu
pertunjukkan apa yang kamu lakukan. Ini bisnis pertunjukan
dengan ideologi agung: kemasan lebih penting daripada
produk. Kandungan gizi biskuit, saus tomat, atau shampo
tak penting, tapi tunjukkan mimpi -- seperti di tivi. Anakanak masa depan yang cerdas, keluarga harmonis
bersantap malam, pacar bertambah sayang. Imaji, bukan
substansi.Pembuat gulali yang janda itu pasti tersinggung
mendengar ini, ketua badut menambahkan. Kamu pikir
kenapa manusia menemukan gulali? Karena tak ada orang
yang mau makan gula murni, itu tak menarik. Tapi
penghalusan,
pewarnaan,
penggelembungan,
menjadikannya menarik. Isi gulali itu melulu angin! Kenapa
badut harus berpakaian norak bermuka putih berhidung
merah begitu? Pakaian kami, bahan-bahan halus bermotif
meriah itu, khusus diimpor dari kota. Imaji, teman
baruku!Selamat datang di dunia imaji, resolusi tinggi,
penjaga sirkus berkata sambil bertopang dagu.Ia diam,
gulali yang menarik versi ketua badut itu justru terdengar
tak menarik, keluar dari bibirnya yang siang itu tanpa

merah gincu. Pentasnya pun bahkan tak lucu. PANGGUNG


pertunjukan penari hanya ada di malam hari. Ia pernah ke
sana menonton, betapa megah dan meriah. Ia menyukai
semua penari, perempuan dan lelaki. Mestilah sulit untuk
bisa menari seperti mereka. Ada yang mengenakan
mahkota berbulu panjang di kepala, ada yang seperti
balerina angsa, ada yang berjas dan berdasi, atau yang
menyerupai burung merak yang ekornya mengambang
sempurna. Gemerlap di bawah sorot cahaya, meliuk
mengikuti bunyi terompet dan tamborin. Beberapa mereka
bisa menari begitu seksi, hingga para lelaki ereksi. Di
akhir pertunjukan, konfeti perak turun bertaburan seperti
hujan. Bersambung besok malam.Para penonton senang
menggolong-golongkan para penari: yang kakinya panjang
seperti novel; yang kakinya pendek seperti haiku; yang
menyenggol benda-benda jika sedang menari; yang ramah
pada cahaya; yang hanya muncul sekali; yang ketiaknya
basah beberapa menit setelah menari; yang bergigi tak
rapi atau bercelah di tengah. Mengapa mereka lebih
mencermati penari daripada tarian? Ia tak memahami
mengapa mereka begitu.SIRKUS itu memberinya sebuah
nama. Meneriakkan namanya pada pengeras suara.
Memasang poster dengan kertas mengilap. Ada siluet
gambarnya, sewujud merah yang tak berbentuk. Penari
Gasing
--Berputar
lebih
cepat
daripada
bayangannya.Menjelang malam pertama pertunjukannya,
ada yang memberikannya ronce gelang untuk kakinya,
yang menimbulkan desing dan gema pada gerakan
tertentu. Ada yang menyematkan bunga di rambutnya. Ia

naik panggung. Berputar tanpa henti, menyusuri sebuah


lingkaran tak kentara, bermula dan berakhir di satu titik
entah di mana. Awalnya ia berputar perlahan, di saat-saat
itu wajah, pelipis, rambut dan pinggang dan kakinya masih
dapat terlihat. Kian cepat, sangat cepat, hingga
bayangannya yang jatuh di lantai tak mampu mengikuti
geraknya. Dan berhenti tiba-tiba.Ia membuka mata,
sejenak bekerjapan oleh silau lampu. Dilihatnya wajahwajah. Ia ringan meninggalkan panggung, ingin melihat
lampu-lampu kecil yang lebih rendah hati. Sejenak ia
menimbang, pergi ke rumah cermin, atau mungkin belajar
dua-tiga sulapan, belajar menyemburkan api, atau pergi ke
tenda yang menyimpan janin makhluk-makhluk aneh yang
diawetkan dalam toples-toples besar.Ia pergi ke tenda
perempuan pembuat gulali. Dari sana, lampu-lampu
dremolen tampak indah, berpijar melintasi sumbu bundar.
Perempuan itu menemaninya duduk di bangku kayu.
Mereka duduk menatap langit malam di luar tenda tua yang
jadi
rumahnya.Tarianmu
seperti
gerak
bintang.Gulali.Bintang. Pembuat gulali mengangkat jari,
menamai bintang-bintang di atas kepala mereka, menunjuk
dengan tepat letaknya. Jarinya menggambar di udara,
bercerita ke mana bintang itu akan melintas dan
menghilang. Ia takjub.Bajang putih.Apa itu?Sebuah bintang
mati, runtuh oleh beratnya sendiri, tak lagi
bersinar.BANYAK yang tak bisa dipahami, kita hanya bisa
akrab dan terbiasa dengan hal-hal itu, kata perempuan
pembuat gulali di suatu pagi, sesaat sebelum ikut menari
dengannya di bawah pohon beringin. Ada beberapa orang

yang ikut menonton, baru disadarinya di saat akhir tarian.


Ia jatuh terhuyung di atas rumput, rebah dengan kaki dan
tangan mengembang menatap langit bermatahari terbit
dan awan mangambang, tergelak senang, sebab semesta
tampak berputar-putar. Orang-orang mulai bubar di
sekitarnya. Ia senang mereka telah pergi, sebab ia sering
merasa terganggu oleh mereka. Ia jemu dengan
pertanyaan mereka yang selalu sama. Tawanya kian
tergelak, hingga keluar air mata. Awan-awan itu seperti
gulali, katanya kepada perempuan pembuat gulali. Ia
melanjutkan bercerita tentang warna-warna langit pagi dan
bentuk-bentuk awan, meski tahu perempuan itu sudah tahu,
tapi ia terus bercerita, hingga suatu saat perempuan itu
menyela bicaranya.Bajang putih. Ia tediam. Matanya
mencari-cari pada lengkung langit, membayangkan
semacam bintang tak kelihatan, membayangkan nona
bajang albino, menelusuri kemiripan yang mungkin. Ia
menoleh, mencoba mencari bajang putih di dalam hitam
mata
perempuan
itu.Aku
berduka
untukmu,
anakku.Bajang...
putih...
Bajang
putih...
BajangputihbajangputihIa mulai bergumam. Ada kata-kata,
yang jika diucapkan terus-menerus, panjang dan lama
seperti mantra, akan hilang makna. Aku akan bercerita
padamu tentang gema dari jauh itu, katanya sambil bangkit
berdiri.Aku akan bercerita padamu tentang lubang hitam,
kata perempuan pembuat gulali, dan gema itu bukan dari
jauh. Telah kudengar sejak pertama kau datang membeli
gulali. SESEKALI ia duduk menemani pembuat gulali
berjualan, lalu iseng berkeliling sirkus. Ia bertemu dengan

wajah-wajah yang sama di sudut dan belokan. Ia


berpapasan dengan para penari. Mereka cukup berjalan
dengan lengan dan bahu wangi, beberapa perkataan, atau
sekadar duduk di bangku kayu, dan orang-orang akan
berkerumun. Tanpa pengeras suara mengumumkan
pertunjukan mereka, para pengunjung akan berduyun
menonton. Ia membalas lambaian, mencium pipi mereka,
dan beranjak pergi.Ia melewati sebuah tenda di mana
orang menembak dengan katapel. Hadiah berderet-deret
di sebuah rel berputar. Boneka beruang, pistol-pistolan,
bantal kecil, bola karet dan banyak lagi. Para pengadu
untung mesti menembak hadiah yang ditaksir. Suara si
peneriak memenuhi udara di sekitarnya, raihlah hadiah
terbesar! Siapa saja bisa menang!Ia melewatinya, tapi si
peneriak sekaligus pemilik tenda mencegatnya. Ia diberi
hadiah, begitu saja. Bantal bentuk kelereng, dan permen
keras warna merah biru ungu sebesar kuku ibu jari. Ia
senang, sebab ia suka permen keras, bisa dikunyah
hingga hancur, dan bunyinya sering menjengkelkan orang
lain. Ia ingin tahu berapa lama bisa menghancurkan satu
permen. Permen-permen merah dikunyahnya dalam waktu
tiga menit, biru hampir dua menit, ungu semenit. Ia
kehabisan permen, sedang bantal itu masih saja
mengelereng.MENARILAH untukku, pinta perempuan
pembuat gulali suatu malam. Ia tak perlu bercerita
padanya, bahwa ia lebih senang menari sendirian di dalam
rumah cermin dalam lampu temaram, dan sekali naik
panggung sudah cukup baginya. Ia tak tega
memberitahunya bagaimana ia kini berduka menatap

gulali. Wujud merah muda halus-manis itu memahit, tak lagi


memikatnya. Ia pun membatalkan niatnya untuk menangis
selama setengah jam, dan bangkit menari dekat pohon
beringin besar, sambil perempuan itu duduk bersila di atas
rumput seperti menonton. Dukanya terlupa, berganti
dengan senyuman. Lalu gelak tawa. Ia tak perlu
memahami, bagaimana perempuan itu bisa mengenali
duka, dan selalu tahu kapan untuk memintanya menari.
Jadi ia tertawa saja.DI sirkus ini ada beberapa duka yang
dikenalinya. Ia berduka saat mendengar anak kecil
menangis; saat berurusan dengan administrasi
kepegawaian; saat menatap perahu kertas yang tertinggal
di tengah kolam; saat pijar lampu-lampu dremolen yang
berputar di langit; saat wajah seorang lelaki yang
berpendar lampu dremolen duduk di seberangnya; saat
teriakan bising itu... Ia hanya semakin terbiasa. Kedukaan,
jika daftarnya kian memanjang, kian terakrabi, akan
menjelma menjadi kejemuan. Dan kejemuan, yang kian
biasa, akan berujung menjadi semacam kejemuan
terhadap kejemuan. Itu tak baik bagi kesehatannya.
MENARILAH untukku, pinta perempuan gulali keesokan
hari. Ia menggelengkan kepala. Ia tak perlu bercerita
padanya bahwa ia sudah tak kepingin menari. Perempuan
itu menggenggam jarinya dan bergumam, mengapa, aku
tak lagi bisa menunda dukamu, apalagi menghentikanmu.
Aku bukan ibu, bukan pula kekasih yang dapat berlari
mengejarmu dan berbisik jangan pergi. Ia melepaskan
tangannya. Berlalu dengan menggigit kuku sambil agak
sibuk berpikir. Perempuan itu seorang peneropong bintang

amatiran, tapi matanya buta, pun tak punya teleskop yang


dapat diandalkan, dari mana dia tahu segala macam
planet bintang bajang kabut yang ada di langit?Bagi ia,
penujum sungguhan adalah perempuan itu, bukan sang
penujum di sirkus itu, seorang lelaki tua kurus yang suka
memainkan kecapi jika tak sedang menujum.Beberapa
kali ia mendengar nujuman si lelaki tua. Para sri panggung
akan berkuasa. Neraka ada di bawah telapak kaki ibu,
surga ada di dalam benak bapak.Ia tak peduli nujuman.
Sebab nujuman, seperti halnya impian, hanyalah
kemungkinan, bahkan kemusykilan. Sebab nujuman bukan
kedukaan. SEJAK kemarin senja, ia sering menepikan
rambutnya ke belakang telinga. Sebab gema itu kian lama
kian dekat. Seperti memanggil, memanggil. Malam itu
terdengar sangat dekat. Ia duduk menanti di tepi tanah
lapang. Menghentakkan sebelah kakinya untuk mendengar
desing ronce, sambil menatap panggung penari di
kejauhan. Berlampu terlalu terang, lagi pula ajaib, pikirnya.
Pernah dikiranya ia akan semata bersuka-ria di sirkus ini,
menari seperti gulali seperti gasing sampai mati. Ia
melepas gelang kaki. Dengan sekeping mata ronce ia
mengguratkan huruf-huruf namanya di atas tanah kering. Ia
lalu bangkit. Suara suling menyaring. Dilihatnya siluet
seorang lelaki di pagar. Tengah menari. Ia menikmati
gerakan-gerakan anehnya, melintaskan dalam benaknya
sebaris istilah semacam eksplorasi vektor probabilitas
anatomis yang terkalkulasi -- sesuatu yang hanya bisa
diucapkan oleh lelaki itu. Lelaki yang sesekali didengarnya
bersiul sendirian. Lelaki yang menepi untuknya. Mungkin

wajah lelaki itu akan berbayang jika ia sesekali menatap


langit. Ia akan selalu bisa menepikan wajah bulan untuknya.
Di jalan setapak, dapat dilihatnya wujud gema itu berasal.
Sang peniup suling Hamlin, di belakangnya tampak ularularan panjang anak-anak. Mereka berjalan dengan
melompat menandak menari hampir melayang. Ke mana
mereka pergi. Mungkin ke hutan, tebing terjal, sungai
bening, samudera jauh -- ke mana saja, ia bisa menari
bersama mereka.Ia berjalan lurus menuju ke gerbang
sirkus. Jemarinya meraba sejenak kayu yang terkelupas. Ia
akhirnya memahami rahasia tempat itu. Sirkus itu memang
mestilah ajaib, sebab berada di sebuah negeri yang
ajaib.Ia menengadah ke langit. Bulan telah berbentuk huruf
o.Angin kencang tiba-tiba bertiup. Meriapkan rambut dan
bajunya, meliukkan dedaunan mengibaskan bendera. Ia
tak perlu menoleh untuk tahu bahwa angin itu akan
menghamburkan goresan namanya di atas tanah. Menjadi
debu.Nukila Amal lahir di Ternate, Maluku Utara. Novelnya
Cala Ibi terbit tahun lalu. Kini tinggal di Jakarta.
Boyon
Cerpen: Akmal Nasery Basral
Sumber: Koran Tempo, Edisi 05/28/2006
NAMAKU Boyon. Jems Boyon. Nama ini diberikan
ayah setelah menonton film yang dibintangi Sean Connery
di bioskop lusuh Pasar Atas, Bukittinggi, Sumatera Barat.
Atau lebih tepatnya, setelah ayah dan ibuku yang hamil tua
menonton film itu. Mereka tidak tinggal di Bukittinggi
melainkan sekitar 14 kilometer ke arah Payakumbuh, di

desa Kapau yang terkenal dengan kelezatan nasinya.


Mungkin karena perjalanan yang cukup jauh, kontraksi
perut ibu berlangsung lebih cepat tiga pekan dari
perkiraan. Malam harinya ibu melahirkan dengan bantuan
bidan.
Aku ingin namanya Hatta, agar sikapnya harum wangi
seperti proklamator kita, kata ibu sembari berulang kali
menciumi pipiku. Tentu saja aku tak ingat kejadian itu kalau
tidak diceritakan lagi oleh ibu.
Nama yang bagus, tapi ... Ayah jelas tak setuju.
Setelah beberapa detik gagal menemukan kata-kata yang
pantas, sikap ayahku yang gadang ota, alias omong besar,
tak bisa disembunyikan lagi. Pak Hatta hidupnya terlalu
sederhana. Aku tak mau anakku hidup menderita di
jamannya.
Kalau begitu...Hamka?
Itu lebih berat lagi. Nama ulama besar jangan
sembarang diberikan. Kalau tidak kuat, anak kita bisa
gila.
Bagaimana kalau Navis, katanya itu nama penulis. Ibu
pantang menyerah.
Ah tidak. Penulis hidupnya miskin.
Kita toh sudah melarat.
Karena itu jangan ditambah-tambah lagi. Lidah
ayahku seperti pesilat lincah. Setelah beberapa menit yang
hingar oleh dengung nyamuk di rumah kami yang sumuk,
ayah menjentikkan jarinya seperti mendapatkan ilham.
Kita namakan saja Jems Boyon seperti film yang kita
lihat tadi. Itu nama modern. Pintar, tampan, dan disenangi

padusi.
Ibuku seorang yang santun. Dia hanya berkata pendek.
Uda yakin itu nama yang benar?
Yakin. Saya pernah berdagang di Negeri Sembilan. Di
sana, begitulah mereka mengucapkannya. Lidah warisan
Inggris mereka tentu tak keliru seperti milik urang awak.
Begitulah. Pendidikan ayahku yang kandas setingkat
kelas 4 ibtidaiyah, bergabung sempurna dengan sifat
gadang ota-nya yang selalu membanggakan diri pernah ke
luar negeri, meskipun hanya sebagai penjual bubur
kampiun di Malaysia. Dua bulan kemudian beliau pulang
kampung saat mendengar Polis Diraja Malaysia akan
melancarkan razia terhadap pendatang haram. Seperti
halnya para gadang ota sejati, ayah tak punya cukup nyali
untuk kembali mengejar mimpinya. Semua terhenti sebatas
kata-kata.*
SEWAKTU bersekolah di SD dekat rumah, temanteman memanggilku Boyon. Aku merasa biasa saja,
mungkin karena belum punya konsep tentang keren
tidaknya sebuah nama. Menginjak SMP aku baru tahu yang
dimaksud ayah dengan Jems Boyon tak lain dari James
Bond. Maka di sekolah, aku menulis namaku sebagai
James. Kalaupun harus dipanjangkan, ya James B saja.
Nama Boyon terdengar seperti bloon, istilah yang dipakai
seorang teman kelasku dari Jakarta untuk memanggil
orang dungu. Tapi seorang guru mengaji di surau dekat
rumahku satu kali menasehati. James itu nama orang
kafir. Tidak pantas orang Minang yang menjunjung adat
basandi syarak, syarak basandi kitabullah memakai nama

seperti itu.
Aku diam saja, meski hatiku panas. Shalatku memang
seperti saringan teh yang bolong-bolong. Tapi kalau
disamakan dengan orang kafir aku tersinggung juga.
Bukankah kata seorang pujangga Inggris, apalah artinya
sebuah nama? Masalahnya, kendati tubuhku semontok
karung beras, guru ngaji itu juga mengajar silat. Jadi apa
yang bisa kuperbuat?
Sepulang dari surau, aku langsung ke sawah.
Menjelang pucuk malam, aku mengendap-endap
mendekati surau dengan karung di pundak. Di Minang ada
kebiasaan anak-anak lelaki yang mulai dewasa tidak tidur
lagi di rumah orang tuanya, tapi di surau. Malam itu
ternyata hanya sedikit murid tidur di sana. Sedangkan guru
mengaji yang rajin berkhalwat kepada Allah Ta'ala itu
kuintip tengah mengerjakan shalat malam. Saat yang pas
untuk melepaskan 15 katak dan 23 belut tangkapan malam
itu ke dalam surau.
Lalu aku menjauh, menunggu. Tak lama kemudian,
terdengar kehebohan luar biasa dari surau gelap itu.
Hampir semuanya memekik histeris. Lalu pintu terbuka,
guru mengajiku keluar seperti hendak mencari si pelaku.
Untungnya bulan malas bercahaya. Aku melangkah pulang
dengan hati puas. Baru sebulan kemudian aku berani
mengaji lagi, setelah yakin guru itu lupa dengan serangan
katak dan belut.
Lalu aku melanjutkan sekolah di SMA 1 Bukittinggi.
Saat itu film Catatan Si Boy yang meledak di Jakarta
bergaung juga gemanya sampai ke ruang kelas kami.

Maka aku lupakan nama James. Namaku menjadi Boy.


Aku bergaya seperti Onky Alexander dengan kerah baju
diluruskan ke atas, meskipun kalau mau setia pada tokoh
di film, wajahku terlihat lebih mirip Emon karena rambut
ikalku serta postur dengan berat 82 kilogram dan tinggi
164 sentimeter. Terlalu berat? Tidak juga. Jangan lupa aku
berasal dari Kapau. Kalau baru menyantap sepiring nasi,
rasanya seperti baru makan sehelai roti.
Jumlah kehadiranku di dalam kelas sebanding dengan
jumlah ketidakhadiranku. Aku lebih suka nongkrong
bersama beberapa teman di jembatan Limpapeh yang
menghubungkan Kebun Binatang dan Benteng Fort de
Kock. Jembatan itu terbentang di atas Jalan Achmad Yani,
jalan utama di Bukittinggi. Jembatan ini tempat paling
nyaman untuk melihat turis asing lalu lalang. Terutama turis
wanita yang sering malas berpakaian lengkap seperti
perempuan kita. Tak ada turis yang berbaju kurung,
apalagi berkerudung. Jika mereka tersenyum, aku merasa
melayang seperti balon gas.
Bosan di Limpapeh, aku menyelinap ke bioskop yang
pernah diceritakan ibu, meski aku harus hati-hati karena
warung bubur kampiun ayahku ada di dekat situ. Pertama
agar tidak tertangkap basah sedang bolos. Kedua, aku tak
mau ada teman yang tahu bahwa ayahku tukang bubur
kampiun. Sekali kenyataan ini tersebar, duniaku kiamat
selamanya. Maka semua film di bioskop itu kutonton tanpa
peduli. Aku lebur dalam segala peran. Ketika menonton
Rambo, aku melihat wajahku di tubuh kekar Sylvester
Stallone. Tampan sekali. Aku bahkan menirukan gaya

bicaranya yang terdengar seperti sapi mengunyah


kelereng.
Betapa pun seringnya aku bolos, aku tak pernah tinggal
kelas. Bahkan aku selalu bisa masuk tiga besar.
Beruntunglah otakmu encer, Buyung, kata guru sejarah
yang selalu menolak memanggilku Boy. Menurut teorinya,
Buyung itu justru versi lokal Minang terhadap boy dan
young. Aku tak tahu apakah ia serius atau bergurau. Yang
jelas terhadap pendapat ini, aku bercita-cita ingin
membuat sebuah film dokumenter tentang legenda Minang
yang syahdan pernah disinggahi Iskandar Zulkarnain Yang
Agung ketika dunia masih sebesar telur ayam. Saat
pengumuman kelulusan SMA diumumkan, aku menjadi
juara umum kedua. Hampir tak ada yang percaya. Tapi
inilah hidup, tak semua fakta bisa kita percaya, bukan?
Tekadku sebulat tubuhku: masuk Institut Kesenian Jakarta.
Aku ingin menjadi aktor.
Di Jakarta nama Boy ternyata banyak sekali. Aku ingin
berbeda, modern sekaligus khas. Maka kupilih nama Jems
Boy Chaniago. Panggilan: Jembi. Ketika teman-teman
mendengar ini mereka tertawa terbahak-bahak. Para
mahasiswa beramai-ramai menyiramku dengan es cendol
di depan Kafe Alex. Mendadak rambutku seperti Bob
Marley. Mahasiswi terkekeh-kekeh geli. Idih, jorok sekali
sih namamu, teriak salah seorang. Aku jadi malu setelah
seseorang membisiki betapa mengerikannya bila mereka
harus memanggil namaku di tengah keramaian. Setelah
mengutak-atik beberapa pilihan, hatiku berkata: Jaby
Chan. Ya, ini pilihan terbaik. Jaby tentu saja dari James

Boy. Yang penting terdengar mirip Jacky Chan, idolaku


saat itu setelah tahu Jacky hampir tak pernah
menggunakan stunt man dalam film-filmnya.
Aku pun mulai serius membentuk tubuh biar terlihat
mirip Jacky. Lumayan juga hasilnya. Beratku turun dari 82
menjadi 74 kilo. Otot-otot perutku mulai terlihat six-pack.
Aku pun ikut kursus tertulis ortopedi. Tinggi tubuhku
terdongkrak 2 senti dari 164 menjadi 166 cm. Aku juga
berterima kasih kepada para penemu matematika,
sehingga jika angka itu dibulatkan, maka tinggiku sekarang
1,7 meter. Lumayan. Tinggi dan berat badan baru inilah
yang kupasang di curriculum vitae sebelum kusebar ke
beberapa artist management. *
MEMASUKI kuliah tahun kedua, ayahku wafat. Aku tak
sempat menghadiri pemakamannya karena terikat kontrak
dengan sebuah produksi film laga. Jika aku nekad pulang,
bukan saja kontrak diputus, aku malah harus bayar ganti
rugi. Sialan!
Di dunia film aku mulai merasakan ritme kehidupan
Jacky Chan meski cuma urusan stunt man. Soalnya
peran utama tetap jatah bintang film ganteng meski
berotak bodoh. Aku hanya pemeran pengganti. Ada di film,
tapi tak dikenali penonton. Yang mengenaliku justru dukun
urut patah ulang di Jakarta Selatan. Itupun setelah
beberapa kali aku ke sana.
Hari kelima setelah pemakaman aku bisa pulang
melihat tanah pusara yang masih merah. Ibu bertanya
apakah aku tak ingin melanjutkan usaha bubur kampiun.
Aku menggeleng tegas. Ia mengangguk lemah seraya

mengangsurkan sepucuk surat.


Dari ayahmu.
Kapan ayah memberikan?
Dia menulisnya sudah lama sekali. Pesannya tolong
diberikan kepadamu jika dia meninggal.
Aku masuk kamar, membuka surat itu. Tanggalnya
menjelang aku lulus SMA. Isinya singkat:
Anakku,
maafkan jika selama ini ayah membuatmu malu di
hadapan teman-temanmu. Ayah memberimu nama yang
salah. Kebodohan dan sifat besar kepala ayah yang
menyebabkan itu, bukan niat hati. Karena itu jangan kau
ulangi lagi kebodohan ini pada anakmu kelak. Jika ajal
menjemput ayah lebih cepat, semoga kau bisa memaafkan
kesalahan tukang bubur tua ini yang membuatmu
menanggung malu seumur hidup.
Ayahmu.*
SURAT itu kini tersimpan rapi meski sudah kubaca
ratusan kali selama 10 tahun terakhir. Aku tak bermimpi
lagi menjadi aktor. Aku beralih profesi menjadi sutradara.
Bulan depan aku berangkat ke Sundance Film Festival.
Film pertamaku berhasil menembus seleksi resmi mereka.
Di situs mereka tertulis sebaris informasi tentang judul
filmku: Ode to My Father (Jems Boyon Indonesia).
Kalimat itu terlihat kabur di mataku yang basah.
Seaneh apa pun ayah memberi nama, yang ia
hadiahkan adalah segunung cinta. Aku saja yang terlambat
melihat.***
11 Mei 2006

padusi = perempuan
adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah = adat
bersendi syariat (Islam), syariat bersendi Kitab Allah.
Arah Angin
Cerpen: Kurnia Effendi M. Iksaka Banu
Sumber: Koran Tempo, Edisi 11/09/2003
Catatan: Cerpen ini ditulis bersama M. Iksaka Banu
Buitenzorg, suatu hari 1817
SATU dari tiga kaca tebal di atas koridor
mengantarkan segaris cahaya matahari yang jatuh ke ujung
lorong. Persis di muka kafetaria. Mengambil tempat di
lantai dan sepertiga dinding gang. Agak melengkung dan
menyerong, serupa layar kapal jung Cina. Di situlah
langkah Sarip terhenti.
Sudah belasan kali ia menyusuri lorong ini. Mungkin
sudah belasan kali pula ia melihat benda itu. Tetapi baru
kali ini nalurinya terpanggil. Entah karena suasana hati,
atau kitab riwayat hidup memang sengaja memberinya
peluang itu. Ia berdiri menjaga jarak pandang, melipat
tangannya ke depan dada, mengamati.
Di hadapannya, di sudut tembok, tepat di tengah
bagian yang terkena cahaya matahari, dipaku pada
sebatang baja, sebuah kerangka utuh dari seekor kuda
Arab berdiri tegak menjulang dengan dua kaki depannya
terangkat ke atas seperti seorang balerina yang sedang
bersiap melakukan pas de-deux.
Sarip tahu apa yang akan dilakukannya. Panggilan itu
semakin kuat.

Di kafetaria, ketika Sarip masuk, para meneer sedang


menikmati sherry dan amontillado sebagai minuman
pembuka. Itu berarti masih sekitar satu jam sebelum
mereka kembali bekerja. Ia makan sedikit roti bawang dan
secangkir teh pahit, lalu minta izin kepada Tuan Payen
untuk kembali ke studio.
Sebentar kemudian ia sudah duduk tiga meter di depan
kerangka kuda itu membelakangi kafetaria. Di tangannya,
sehelai kertas gambar dan pensil arang yang sudah
diserut. Lalu jarinya mulai bergerak, mengikuti rangkaian
fragmen yang dituturkan secara surut balik oleh ingatannya
tentang istal kuda milik Paman Kanjeng Bupati di Terboyo.
Semakin lama gerak jarinya semakin cepat.
Kuda Paman Kanjeng Bupati ada sepuluh ekor. Enam
di antaranya adalah kuda beban. Semua berasal dari
Sumbawa, kecuali si Pasopati, kuda Austria kesayangan
beliau, hadiah dari Tuan Baron van der Capellen.
Sarip sering pergi ke istal sore hari melihat kuda-kuda
itu dimandikan dan digosok dengan sikat halus yang
punggungnya memiliki pegangan melintang seperti sebuah
sarung tangan.
Sekali ia pernah mencoba menggambar hewan-hewan
tersebut, tetapi mereka sungguh tidak mau diam. Apalagi
si Pasopati. Ia hanya tunduk kepada Paman Kanjeng.
Untuk bisa membelai tubuh si Pasopati, Paman
Kanjeng dengan sabar akan menolong menahan tali
kekangnya dengan kedua belah tangan. Sambil mengelus
tulang hidungnya penuh kasih sayang, mata Paman
menatap tegas dan dalam ke mata si Pasopati. Supaya

dia tahu siapa majikannya, demikian Paman Kanjeng


percaya.
Setelah si Pasopati tenang, Sarip yang ketika itu
berumur enam tahun, dengan bantuan kursi tinggi yang
dipegang oleh Ki Sapar, boleh naik ke atas punggungnya
yang tak berpelana. Di situ ia menelungkup, mengelus
leher, kemudian bahu kuda itu. Merasakan dengan telapak
tangannya yang kecil bagaimana jaringan otot deltoid di
lingkar leher, serta trapezius yang berpiuh-piuh di bahu itu
bergerak-gerak oleh rangsangan setiap tekanan jarinya.
Lantas ia minta diturunkan dari punggung untuk meraba
bagian bawah. Pelan-pelan tangannya menelusur lagi. Ke
dada, menemukan ceruk sternum, berputar sedikit ke arah
punggung, dan berhenti di latissimus dorsi, sekitar rusuk
dan pangkal kaki depan. Meski tampak rata, pangkal
kekuatan kaki kuda ini sesungguhnya terdiri dari tiga
bungkil besar otot pipih yang diikat jalin-menjalin seperti
keranjang rotan. Sarip masih cukup hafal bentuk tonjolan
dan jalinan itu, walaupun pada waktu itu si Pasopati tidak
berdiri dengan kedua kaki depan diangkat.
"Ia membuat kerangka itu meringkik dan menyepak."
Suara itu mengejutkan Sarip. Ia memutar badannya.
Tuan Lars Hoofman, si bendahara biro dan Tuan Payen
berdiri di belakangnya, tersenyum lebar. Tidak. Ia tidak
salah lihat, Tuan Payen memang tersenyum lebar
kepadanya. Merasa kurang santun, Sarip bergegas
bangkit, tetapi Tuan Payen dengan kedua tangannya
memberi isyarat untuk tetap duduk.
"Cobalah biasakan mengarsir satu arah saja, Nak."

Tuan Payen menyalakan pipa rokoknya, "Dan jangan lupa,


cahaya matahari datang dari kiri atas. Tutuplah bagian
leher di kanan bawah itu dengan arsiran yang lebih tebal.
Anggap saja ia seekor kuda hitam!"
"Saya, Tuan." Sarip menahan luapan gembira yang
terasa berdesakan di dadanya. Sesungguhnya ia ingin
bersorak.
Delapan tahun kemudian, ia dapat merasakan kembali
gejolak yang sama ketika Tuan Antoine Auguste Joseph
Payen, pelukis yang bekerja pada Komisi Ilmu-ilmu Alam
itu, memintanya berkemas untuk ikut tur keliling Jawa
menjadi eerste onderwijzer. Ketika itu Tegalrejo sudah
dibumihanguskan Kompeni.
Pangeran Diponegoro, bersama Mangkubumi
melarikan diri, menghimpun kekuatan di Selarong. Lalu
bersama Kyai Modjo dan ketiga panglimanya yang gagah
berani, mengawali perang yang paling lama dan paling
berdarah di Jawa.
Waktu itu usia Sarip 18 tahun. Ia juga telah melepaskan
panggilan kecilnya dan menggunakan namanya setara
dengan kedewasaannya, menjadi Raden Saleh Syarif
Bustaman.
***
Menoreh, Oktober 1829.
Cuaca dingin dan basah. Di kaki pegunungan antara
sungai Progo dan Bogowonto, sudah tiga hari terdengar
lolong anjing hutan, silih-berganti dengan ratap kedasih.
Semua segera waspada. Itulah jam-jam ketika syak
wasangka disertai pikiran jahat melayang bersama teluh,

malapetaka dan pengkhianatan.


Di gubuk-gubuk sederhana sepanjang Selarong,
Trucuk, Sambiroto, Pengasih, Siluk, Pincuk, serta desadesa lain di kaki pegunungan Menoreh, anak-anak kecil
dan para gadis muda berangkat tidur lebih awal. Ibu
mereka, istri para prajurit yang ikut dalam pasukan
Diponegoro, telah lama berpuasa untuk kejayaan, dan
kesetiaan suami-suami mereka. Larut malam, di bawah
lampu minyak kelapa, para sesepuh dengan cemas
mengajak semua melihat kembali isyarat nasib yang
barangkali tersirat dalam neptu-primbon atau cerita turuntemurun tentang Babad Tanah Djawi. Betapa pun,
tampaknya satu hal semakin pasti, arah angin memang
sedang berubah.
Pada ujung jarak yang lain, tempat asal berita itu
ditiupkan, di tenda-tenda prajurit di hutan Kelir, di sekeliling
api unggun jaga malam, masih juga peristiwa menyakitkan
itu dibisikkan bersama rasa benci dan heran: Tiga hari
yang lalu, Basah Sentot Prawirodirjo, panglima asal
Madiun yang memiliki naluri perang paling tajam itu telah
berkhianat. Ia menerima tawaran menjadi opsir kavaleri
Kompeni. Kabarnya Jenderal De Kock sendiri yang
menyambut kedatangannya dengan upacara kebesaran
militer.
Gubernur Jenderal Du Bus, atasan sekaligus saingan
politik De Kock, merasa keberatan dengan keputusan itu.
Anugerah jabatan bagi para bekas pemberontak
kedengaran aneh dan kurang masuk akal. Lupakah De
Kock bahwa belum lama ini mereka telah menjagal 7500

marsose dan 5000 perwira Kompeni?


Tapi tampaknya De Kock sengaja menutup kuping.
Baginya, memecah-belah kekuatan Diponegoro dengan
bujuk-rayu kekayaan yang menggiurkan, adalah jalan yang
seharusnya ditempuh.
Hadiah dan penghormatan sebagai opsir bukan barang
baru. Setiap prajurit Jawa mengetahui muslihat ini.
Beberapa waktu yang lalu juga tersiar imbalan seribu
gulden untuk kepala Diponegoro. Semua tahu itu.
Masalahnya hanya soal keteguhan dan kesetiaan. Tetapi
mengapa harus Panglima Sentot yang tergiur?
Api unggun jaga malam semakin mengecil. Sambil
merapatkan jubah, seorang tamtama Bulkijo mengajak
semuanya melupakan peristiwa itu. Untuk apa resah?
Lihatlah, Pangeran sendiri tampak begitu tabah dan
tawakal.
Pembelotan Sentot memang telah menancapkan panah
kepedihan di dada setiap prajurit Diponegoro. Seperti
sedang mencium mulut ngarai, jalan menurun yang licin,
rasa letih oleh kekalahan beruntun, membuat mereka
setengah tak berdaya. Sampai akhirnya tempat berlindung
terasa menyempit sewaktu Kompeni berhasil menggiring
anak buah Diponegoro ke sebuah daerah di antara sungai
Progo dan Bogowonto, kemudian menjepitnya di situ.
Tanpa kiriman makanan dan senjata. Hubungan dengan
desa lain pun tersumbat. Setiap hari lingkaran kepungan
semakin mencekik.
Pangeran Ngabehi, paman Diponegoro, beserta dua
putra kesayangannya yang berkeras menawarkan diri

memimpin pasukan untuk membuka jalan, tewas dalam


pertempuran keras di sekitar Temon. Diponegoro yang
belum sembuh betul dari sakit pun nyaris tertangkap dalam
perjalanan menuju Panjer.
Satu per satu para pembesar pengikutnya mulai
kelelahan dan pamit meninggalkannya. Termasuk juga
Mangkubumi yang sudah tua dan sakit-sakitan. Di desa
Laban, Diponegoro kembali jatuh sakit.
Berita tersudutnya pasukan Jawa hadir hampir setiap
hari, memenuhi barak-barak opsir, ruang rapat perwira,
serta meja makan para jenderal Kompeni di Jogjakarta,
Surabaya dan Batavia. Mereka bangga setiap kali berhasil
mendirikan benteng kecil di setiap daerah yang berhasil
direbut dari pasukan Jawa.
Para jenderal menjadi terbiasa membuka santap
malam dengan toast untuk masa depan Hindia Belanda
yang lebih cerah. Ditambah beberapa bualan congkak
tentang aksi mereka di medan perang yang lebih terhormat
di Eropa semacam Prusia atau Waterloo. Nama Napoleon
seringkali dipinjam tanpa beban.
Di kelab-kelab pertemuan perwira lainnya, lulusan
muda yang belum pernah ikut berperang menyanyikan
waltz, meneguk brendi dan makan panggang menjangan
sambil menyumpahi kebodohan dan kelambatan berpikir
senior-senior mereka.
Di pojok ruangan yang sama, para veteran mengucilkan
diri dalam jaket malam mereka yang longgar, menutupi
bekas cacat perang. Mereka bercakap antar sesamanya
dengan lirih, minum sedikit bir, serta berdoa semoga

pemuda-pemuda itu lekas dikirim ke medan laga. Agar


merasakan ciutnya nyali tersambar gelimang cahaya
pedang pasukan Jawa.
Para veteran itu telah melewati hari-hari pahit mereka,
ketika ratusan laskar telanjang kaki tiba-tiba muncul dari
balik semak. Memotong konvoi. Membunuh seratus orang
dalam serangan selama satu jam, kemudian lenyap tanpa
bekas.
Pada pertempuran semacam ini, bedil maupun meriam
jarak jauh buatan Bronbeek yang biasanya menjadi kunci
kemenangan samasekali tak ada gunanya. Orang-orang
gila itu bergerak terlalu cepat dan tidak pernah punya
kedudukan tetap untuk menjadi sasaran bidik.
Namun kini mereka boleh bernapas lega. Jam pasir
telah dibalik. Detik kemenangan boleh mulai dihitung. Dan
mereka akan menikmati semua ini dengan penuh rasa
syukur karena maut telah ditundukkan.
Di desa-desa sepanjang sungai Progo dan
Bogowonto, tiada lagi lolong anjing hutan atau tangisan
burung kedasih semenjak itu. Namun bila malam tiba,
ketika hening mencapai puncak, penduduk mendengar
sayup-sayup beberapa bait tembang dandanggula.
Dibawakan dengan tenang, berat dan berwibawa. Sebuah
ajakan untuk merapatkan barisan. Mereka tahu dari mana
tembang itu berasal, tetapi mereka bersedia menukar
nyawa untuk merahasiakan nama pemilik suaranya.
***
Lautan India, Oktober 1829
Pada saat yang sama, terpaut enam jam limabelas

menit dalam skala waktu internasional dan tujuh ribu mil


dari desa Laban, sebuah kapal penumpang berbendera
Belanda dengan lima tiang layar, mengangkat sauh dari
perhentian lima hari mereka di Calcutta. Tujuan akhir:
Rotterdam, pelabuhan paling sibuk di Eropa.
Perjalanan sangat lancar. Seorang peranakan BelandaAfrika dengan bekas luka panjang di pipi kiri sebagai
kapten kapal, tak suka membual sambil mabuk seperti
umumnya pelaut kawakan. Namun dibukanya sebotol rum
ketika didengarnya berita bahwa laskar Jawa telah
mengendurkan perlawanan dan bersedia berunding. Bisnis
akan kembali normal, ia berseru kepada syahbandar
ketika kapal mulai bertolak.
Di kabin penumpang kelas satu, seorang lelaki Jawa
berusia 22 tahun yang sejak tadi duduk di tepi dipan
mendengar pula berita itu. Matanya menatap laut dari
jendela
kabin yang berkisi-kisi. Angin laut membuat rambutnya
yang panjang sebahu berkibar seperti bendera Belanda.
Pandangannya kosong, tetapi jejak kecerdasan dan
semangat hidup yang besar terpancar jelas di situ.
Ketika ia berdiri untuk mengambil ikat kepala, map di
atas pangkuannya terjatuh. Isinya berhamburan. Yang
pertama dipungut untuk dimasukkan kembali adalah
sebuah surat identitas diri dari J.C. Baud, Menteri Jajahan,
yang menerangkan sedikit banyak silsilah keluarganya.
Pada silsilah itu diterangkan bahwa buyutnya, Kyai
Ngabehi Kertoboso Bustam, telah memperlihatkan
kesetiaan kepada Gupermen ketika Pemberontakan

Tionghoa meletus di Surakarta seratus tahun yang lalu. Ia


tidak menyeberang kepada Susuhunan Surakarta untuk
bergabung dengan pemberontak Tionghoa, sementara
bangsawan lain banyak yang berbuat sebaliknya.
Meski pada masa sekarang kedudukan pemuda itu
terhitung tak ternoda, ia sadar beberapa persoalan bisa
tetap muncul dari silsilah ini. Sulit diingkari bahwa nama
pamannya, Kanjeng Bupati Terboyo, Raden Aryo Adipati
Sosrohadimenggolo, terlanjur cemar. Ketika api
perlawanan Diponegoro merembet sampai Semarang,
pamannya telah membentuk pasukan, tetapi gerakan itu
lekas tercium oleh mata-mata Kompeni. Ia ditangkap dan
diasingkan.
Raden Saleh Syarif Bustaman, pemuda itu, kembali
duduk di dipan. Alangkah sulitnya meletakkan kata "aku"
akhir-akhir ini. Siapakah "aku"? Apakah "aku" harus ikut
toast nanti siang di meja makan bersama Tuan Inspektur
Keuangan De Linge, atau merenung di sini, mereka-reka
sedang berbuat apa Pamanda tercinta di pengasingan?
Tawaran untuk mengunjungi Belanda ini begitu langka.
Hanya tikus dan orang idiot yang akan menolaknya. Ia
punya hak yang sah untuk itu. Gubernur Jenderal sendiri
telah merestuinya. Meski pada umumnya keluarga
bangsawan punya kedekatan hubungan dengan Belanda,
tidak semua anak bangsawan bisa membuktikan
kecakapan seperti dirinya. Ia tahu ilmu ukur, fasih
berbahasa Melayu, Inggris dan Belanda. Pandai menulis
Latin, serta faham hampir semua adat istiadat Melayu,
seperti yang diakui oleh Inspektur De Linge.

Sesuai persetujuan, selama pelayaran ini, juga di


Belanda kelak, ia akan membantu Tuan De Linge
menerjemahkan dan menjelaskan segala sesuatu yang
berhubungan dengan sastra Jawa dan Melayu. Sebagai
gantinya, selama beberapa bulan ia akan beroleh
kesempatan pesiar ke pelbagai museum seni dan sanggar
para pelukis terkenal di sana.
Lonceng kapal berdentang duabelas kali. Seorang
jongos dari Champa bermata sipit, mengetuk pintu kabin,
mengatakan dalam bahasa Melayu yang buruk bahwa
waktu makan siang telah tiba.
Di atas dek, di jalan menuju ruang makan, ia berjumpa
dengan Tuan De Linge. Belanda itu mengucapkan salam
dan menepuk bahunya dengan akrab.
Di meja makan, bersama duabelas penumpang
terhormat lainnya, hidangan pengantar mulai disajikan: sup
asparagus berbumbu pedas, disuap denganrye, roti
Yahudi yang diiris kecil-kecil. Bagi yang tidak suka bumbu
pedas, disediakan sup kepiting. Minumannya anggur putih
yang diimpor dari Bologna.
Setelah toast, hidangan utama dikeluarkan: panggang
lembu muda dengan saus tiram ditambah olahan daun
kemangi dan kentang yang digiling lembut. Sebagai
hidangan sampingan, disediakan pula irisan daging bebek
yang disajikan dalam semangkuk bubur jagung asammanis. Untuk penutup, segelas shorbet dan semangkuk
kecil irisan pepaya yang disiram dengan gula dan agaragar.
Selesai bersantap, kopi dituangkan ke dalam cangkir

keramik, diedarkan bersama brendi dan pipa tembakau.


Sambil menyatakan dukungan untuk jurumasak atas
lezatnya santapan, seorang bangsawan berkisah tentang
rombongan konser musiknya yang belum lama ini melawat
ke istana Buckingham untuk bermain di hadapan Yang
Mulia Raja George IV, penguasa Britania Raja, dan
keponakannya, puteri Victoria. Semua orang bisa
mendengar, ada tekanan khusus pada kata istana dan
Raja, tetapi tak ada seorang pun yang merasa keberatan
dengan keangkuhan itu.
Di ujung meja, seorang hertog dari Salzburg bertubuh
tambun bahkan menimpali dengan bualan lain tentang
kemungkinan penanaman modal pada pembuatan kereta
uap yang baru-baru ini diperagakan di Newcastle untuk
melayani tambang batubara dalam jumlah besar.
Raden Saleh mengamati. Tak banyak percakapan
tentang perang Jawa. Untuk bangsawan-bangsawan ini,
politik memang tidak perlu dibicarakan secara mendalam.
Mereka adalah manusia setengah dewa, yang hadir
karena takdir, aliran darah dan keagungan moyang
mereka. Kebanyakan dari mereka adalah para bebal
manja dengan otak yang tidak lebih besar dari buah jeruk.
Tetapi di antara mereka adalah segelintir cerdik-pandai di
bidang kesenian dan kesusasteraan yang cukup
termasyur. Dan, tentu, pantas dikenang.
Raden Saleh menghirup kopinya. Ia tahu pilihannya.
***
(Fragmen ini merupakan nukilan dari cerita yang lebih
luas - Banu & Kef)

Kincir Api
Cerpen: Kurnia Effendi
Sumber: Koran Tempo, Edisi 07/13/2003
HAMPIR setiap malam, Damar memperhatikan langit
yang bertabur bintang. Hampir setiap malam, kecuali
ketika turun hujan. Ia merasa banyak belajar dari makhluk
yang berkelap-kelip itu. Makhluk yang berbeda dengan
kunang-kunang, karena tak memiliki sayap dan bergerak
amat perlahan pada lintasan yang telah ditentukan. Entah
oleh siapa. Garis edar yang panjang itu, melengkung jauh,
menghilang ditelan fajar.
Mulanya ia hanya membutuhkan gemintang sebagai
teman melamun, setelah seluruh pekerjaannya dituntaskan.
Ia akan tiduran di rumput, berbantal kedua tangan yang
dilipat, matanya menatap jauh ke atas. Seolah ada
berlapis-lapis selimut transparan yang disingkap. Sampai
akhirnya mendapatkan sebuah kejora. Atau bintang timur.
Atau sekumpulan rasi, entah apa namanya. Bentuknya
kadang seperti rangka layang-layang. Seperti seekor kuda
laut. Seperti bagan sebuah rumah. Seperti penari
bersayap yang meliuk...
Damar merasa sangat bahagia setelah berjam-jam
menatap bintang. Dari cahayanya yang samar, seolah ada
energi yang lurus menukik ke matanya. Memasuki retina,
merambat ke serabut halus dalam manik matanya.
Sesudah cahaya itu mengalir dan membasahi kedua lensa
matanya dengan cairan yang berkilat-kilat, ia akan merasa

mengantuk. Biasanya ia segera bangkit dari telentang,


berjalan ke rumah kecilnya, dan tidur dengan nyaman.
Biasanya, ketika Damar pulang, kemudian berbaring di
kasur lapuknya, kamarnya menjadi benderang. Ia tak
pernah menyadari sepenuhnya, tidak pernah menyaksikan.
Karena matanya terpejam, lenyap terlelap. Sementara
ayah atau ibunya merasa terusik oleh sinar yang entah
datang dari mana. Mereka tak melihat sumber cahaya,
selain anaknya yang tergolek pulas. Ada kecurigaan
mereka, bahwa cahaya itu terbit dari kulit anaknya yang
sesungguhnya coklat legam. Namun mereka tak merasa
silau memandang tubuh anaknya.
Damar akan terbangun saat ayam berkokok di remang
pagi. Ia bukan anak pemalas. Terbukti dari gerakannya
yang cekatan, turun dari tempat tidur, dan melangkah cepat
ke belakang rumah. Ia mulai melakukan kegiatannya yang
paling dini: mengisi bak mandi dengan air sumur
menggunakan timba yang dikerek dengan roda katrol.
Terdengar perih, derit roda besi karatan yang berputar
pada sumbu. Mirip jerit perempuan yang teraniaya. Tetapi
itu sudah terlalu biasa berkumandang, membelah sunyi
subuh. Maka mulailah suhu tubuhnya menghangat, bintik
keringat mengembun di kening dan leher.
Setelah bak air penuh, Damar akan mengipas dadanya
yang telanjang. Peluhnya membasahi tubuh, segera
dihembus angin pagi. Tak lupa ia tengadahkan kepala,
memandang ke langit yang mulai disambar cahaya awal
dinihari. Dicarinya titik bintang terakhir sebelum pudar oleh
nyala matahari. Ketika ditemukan pijar kemilau hampir di

ujung baratdaya, matanya melebar. Damar seolah bisa


bercakap-cakap dengan bintang. Seperti dua orang
sahabat. Seperti sedang saling mencurahkan kerinduan.
Bermalam-malam seperti itu, membuat Damar ingin
tahu lebih banyak tentang serbuk emas yang berserak di
langit hitam. Dan setiap subuh selalu ada percakapan
tanpa suara yang menggugah keinginannya untuk bisa
terbang ke angkasa. Perasaan itu terbawa ke dalam
mimpi dan melahirkan keputusan bagi Damar untuk
berdoa meminta sepasang sayap. Permintaannya yang
mustahil itu membuatnya terbangun mendadak. Damar
merasa lebih kaget karena memergoki kedua orangtuanya
sedang berada di kamarnya.
"Ada apa? Apakah aku mengigau?" tanya Damar.
Cemas jika permintaannya terucap lewat mulutnya, dan
boleh jadi ibunya akan menganggapnya gila.
Ibu dan ayahnya saling memandang. Sudah waktunya
berkata jujur, bahwa setiap malam kamar anaknya tampak
benderang. Tapi bagaimana cara menyampaikannya agar
serta-merta dipercaya? Karena begitu Damar terjaga,
cahaya itu sirna, dan kamar kembali suram seperti
sediakala.
"Apakah aku mengigau?" Damar bangkit duduk.
Suaranya serak oleh mimpi yang tertahan di
kerongkongan. Tangannya mengusap mata, mencoba
menatap lebih tajam ke arah dua sosok yang masih
termangu.
"Begini, Damar" akhirnya ayahnya mengambil
inisiatif. "Kebetulan saja kami terbangun dan khawatir

kamu kedinginan. Mana selimutnya tadi, Bu?"


Dengan agak gugup, ibunya mengangsurkan selimut
yang kebetulan ikut terseret bersama langkahnya.
"Pakailah, Damar. Dan tidurlah kembali."
Damar mengangguk karena memang masih
mengantuk. Lebih dari itu, betapa ia ingin melanjutkan
mimpinya yang terpotong. Ia benar-benar sedang
merindukan sepasang sayap. Tapi ia juga berusaha agar
pada bola matanya tidak nampak bayang-bayang
hasratnya, dan tercuri oleh tatapan ibunya. Ia paling cemas
terhadap tatapan sang ibu. Tatapan yang sanggup
membongkar seluruh isi hatinya.
*
HAMPIR setiap malam ayahnya terjaga oleh nyala
terang di kamar anaknya. Yang dimaksud kamar adalah
bilik dari anyaman bambu yang ditegakkan di atas dinding
bata setinggi hampir satu meter, dan berpuncak susunan
usuk, reng, dan genteng rapuh.
Dan setiap kali ia nglilir dengan mata terpicing silau
oleh garis cahaya sempit yang memantul ke arah
kamarnya, ia mengusik isterinya. "Kita lihat anak kita," lalu
mereka berdua bersijingkat, menghampiri bilik Damar
yang tak pernah bisa menutup sempurna karena engselnya
lepas. "Dari mana cahaya itu?"
Isterinya menggeleng. Antara kantuk dan takjub.
Berulang-hari. Sampai akhirnya ia berpikir, untuk apa
dipertanyakan? Seingatnya, waktu isterinya melahirkan
Damar, tidak ada yang istimewa. Ujung pusarnya putus
setelah sepekan kelahirannya. Damar tengkurap pada usia

menjelang tiga bulan. Tapi kemudian ia terperanjat oleh


kelebatan ingatan yang betul-betul ingin dilupakan!
"Hei, pencuri!" Rasanya hardikan itu yang terlontar dari
mulutnya, sewaktu pada sunyi malam memergoki
bayangan putih mendekati tilam bayinya.
Isterinya sedang demam tinggi, oleh karenanya
meringkuk di balik selimut, dengan gemuruh nafasnya
sendiri.
Ia melompat dalam keadaan terperanjat. Jantungnya
berdesir memandang sosok yang ganjil. Boleh jadi,
sepasang matanya masih berada pada batas kantuk dan
jaga. Boleh jadi, pendengarannya pun terganggu oleh dua
macam suara: erang isterinya dan tangis bayi. Lalu dalam
sekian detik ia sanggup mengumpulkan suara yang
didengar sebelumnya, orok Damar melengking lantaran
lapar. Sementara ia sedang mengompres dahi isterinya
dengan mata setengah terpejam.
Ia merasa telah berada di sisi tempat tidur Damar
ketika kelebat tubuh itu melayang, melampaui jendela yang
tak terkunci dan pergi menghampiri gemintang. Sulit
dipercaya, dalam setengah pandangan, ia seperti
memergoki seorang perempuan dalam bentuk siluet
menyusui seorang bayi. Ia juga melihat ada kibaran halus
sepasang sayap, atau sekadar gaun, atau semacam
selendang yang ringan melambai
"Pencuri!" teriaknya di ambang jendela. Tapi apa yang
tercuri? Semerbak wangi yang tertinggal menandai
kehadiran orang lain. Seseorang, atau sesuatu? Hanya
bidadari yang dikenal memiliki sayap, selain burung dan

pesawat terbang. Tapi, ia kemudian melihat Damar mungil


tidur dalam senyum yang tenang. Di ujung katup bibirnya
yang memerah, masih terdapat noda air susu. Lembab dan
lengket.
Haruskah ini diceritakan kepada isterinya? Malam itu,
ia menjadi bimbang bukan main. Dan bukan waktu yang
tepat untuk menyampaikan berita mustahil kepada seorang
yang sedang giat menggigil. Ia hanya berbisik sendiri,
sebelum bermaksud melupakannya: "Seorang bidadari
telah menyusui Damar, ketika ia menangis kelaparan."
*
HAMPIR usia sebelas tahun, ketika Damar mulai
memelihara sepasang angsa. Ia begitu tekun memberi
makan, setelah mengeluarkan mereka dari kandang,
seiring ia berjalan ke arah perigi. Setiap petang ia
memandikan dengan air sungai, lalu memasukkan mereka
ke bilik bambu. Tempat yang nyaris sama dengan
kamarnya sendiri. Dibuatkan jendela pada rumah angsa
itu, agar mereka dapat menyaksikan kerlip beribu bintang
dari tempat tinggalnya.
Dengan demikian, Damar bisa telentang di sisi
kandang, bersama dengan angsa-angsa itu memandang
langit, dengan tatapan rindu kepada bintang-bintang.
Adakah ia memang mengharapkan bintang-bintang itu
turun merendah dan mengecup keningnya? Ia sendiri tidak
tahu. Impiannya untuk memiliki sayap semakin kuat.
Harapannya, jika sepasang angsa itu sudah benar-benar
dewasa, akan dipinjamnya berpuluh bilah bulu itu untuk
dijalin menjadi sepasang sayap. "Kurasa ibu mau

membantu menjahitkannya di kedua bahuku."


Namun ada hal yang kemudian membuat Damar
berubah pikiran. Ia merasa bintang-bintang itu berasal dari
bola api yang dilemparkan seseorang dari sebuah tempat.
Ia selalu curiga terhadap cakrawala kelam yang
membentang di bawah perbukitan tempatnya bermukim. Di
dasar lembah itu mungkin ada seseorng yang begitu kuat,
berdiri sembunyi, dan dengan senyum akal-bulus membuat
bola api dan dengan tangannya yang kuat melempar satu
per satu ke langit. Maka malamnya ia bermimpi mirip
seperti perkiraannya: bintang-bintang itu bergerak dari
sebuah kedalaman di lepas pandangan mata. Meluncur
seperti mercon kembang api sebelum pecah di udara.
Sebelum akhirnya tenang berlayar di latar kelam langit.
"Aku akan mencari sumbernya," begitu ujarnya sesaat
setelah terjaga dari mimpi. Ayah dan ibunya surut ke balik
pintu, sesaat setelah benderang di bilik Damar padam.
"Selama ini," bisik ayahnya. "Kami pun mencari
sumbernya. Sumber cahaya dalam kamarmu."
Pagi-pagi sekali, sehabis melepas angsa-angsa ke
kebun, Damar pamit kepada orangtuanya. Segala alasan
telah disiapkan agar orangtuanya mengijinkan. Namun di
luar dugaan, ayah dan ibunya memberi restu, bahkan
membawakannya bekal makanan untuk sebuah perjalanan
yang diperkirakan sangat jauh. Damar terpana, dan tibatiba terharu. Dipeluknya ibu dan ayahnya demikian kuat. Ia
sesenggukan di dada ibunya. Samar-samar ia mencium
aroma yang sangat lama pernah diciumnya. Harum kulit
payudara dan air susu. Jauh sekali, seperti direndam

dalam genangan waktu yang tak terjangkau.


Akhirnya Damar melangkah menjauh dari rumahnya
menuju lembah. Sepanjang perjalanan ia tak merasa lelah,
sepasang kakinya yang kecil sudah sekuat pengembara. Ia
pun ternyata tak merasa haus sampai rembang petang
yang ditunggunya tiba. Harapannya, sehabis bergundukgunduk bukit dituruni, akan segera sampai ke suatu tempat
kelahiran bintang. Maka betapa gemerlap sinar matanya
memandang sesuatu yang semula tampak samar
kemudian semakin jelas di seberang langkahnya.
Warna malam membuat segala yang menyala tampak
lebih baik dibanding bentuk-bentuk lainnya. Seperti cahaya
fosfor di kegelapan. Dan itu membuatnya terhenti, berdiri
takjub, hampir tidak mengira. Di bawah sana tak ada
seorang pun manusia. Tapi ia melihat sebuah jentera yang
berputar. Dari setiap gayung yang bergantung di keliling
batang melingkar, menciduk cairan menyala dalam sebuah
kolam yang terang gemilang. Dari gayung yang hampir
mencapai puncak putaran, terlontar bola warna emas itu ke
langit.
"Kincir api!" seru Damar terpesona.
"Kincir api?" seru ayahnya heran. "Apa maksudmu
Damar?"
Damar tergeragap dan melompat dari mimpinya. Ia
memandang ayahnya yang tegak di ambang pintu
kamarnya. Warna suram membasuh dinding kamar, di luar
malam masih matang, mungkin hanya percik bintang
bertabur di langit.
"Kamu mimpi?" tanya ayahnya. Mungkin, pikirnya,

sudah waktunya untuk saling berterus terang.


"Ya, ayah." Damar turun dari tempat tidur. Memeluk
ayahnya. "Di mana ibu?"
Ayahnya membelai kepala. Berusaha menenangkan
Damar. Dibiarkan anak lelakinya mendengar degup
jantung riuh di dadanya. "Kamu mimpi apa?"
"Di mana ibu?" tanya Damar kembali. "Apa yang
sebenarnya terjadi denganku, ayah?"
Hampir ayahnya mengatakan: "Mungkin kamu anak
bidadari. Mungkin kamu titisan makhluk bercahaya,
bintang-gemintang. Mungkin ibumu keturunan jauh dari
makhluk bersayap itu. Mungkin rajutan pikiran dalam
kepalamu tidak sama dengan sel-sel otak manusia pada
umumnya. Mungkin segala yang kamu lihat di luar
kenyataan, membuat segalanya tampak luar biasa. Aku tak
pernah tahu apa yang kamu maksud dengan kincir api"
Tapi mulutnya seperti terkunci.
Mungkin kini saatnya saling berterus terang. Tapi ia
sangat ragu-ragu. Apalagi ketika menjelang tengah malam
ia membiarkan isterinya melayang dengan kibaran mirip
sayap melampaui jendela, ke arah langit. Benar, mungkin
kini saatnya saling berterus terang.
***
Jakarta, 16 Mei 2003
Sepanjang Braga
Cerpen: Kurnia Effendi
Sumber: Koran Tempo, Edisi 04/08/2001

PERASAANKU dibungkus kesunyian luar biasa. Dua


jam termangu dalam kamar yang memiliki lebih dari
seratus warna dan aroma cat minyak. Ada jendela terbuka
ke arah sungai, tempat mengalir udara segar. Termasuk
suara belalang dan kerisik bunga rumput. Hanya pada
bidang itu, aku tak bisa melukis apa pun. Di seberangnya
terdapat langit, yang mudah berubah rona. Hijau daun,
merah senja, atau sesekali lintasan burung. Tapi sejak
pameran terakhir, jendela itu belum menyumbangkan
kegairahan.
Apakah harus menyesal, ketika mendapatkanmu di
ruang pameran? Mula-mula yang kulihat adalah
punggungmu. Engkau memandang lukisan yang mungkin
menyemburkan sejumlah episode masa lalu, tentang
hubungan kita yang lebih banyak melalui surat. Separuh
dari kenangan itu masih tersimpan, untuk sewaktu-waktu
kubaca ulang. Sebagian yang lain menjadi lukisan dalam
berbagai ukuran.
"Aku senang kamu sempat datang,"
Kamu menoleh dan memandang dengan rasa bersalah.
Seakan-akan perlu undangan resmi, dan ditegur karena
berada di tempat yang ? barangkali ? mustahil.
Galeri Soemardja memang kecil. Dalam sekejap bisa
kulihat semua yang hadir hanya dengan memutar kepala.
Mereka bukan orang asing. Beberapa dosen, mahasiswa
senirupa, dan kawan-kawan yang selama ini demikian
dekat. Sehingga tentu segera kukenali dirimu, bahkan
hanya dengan hembusan parfummu. Sesuatu yang tak
berubah sejak bertemu muka, sekitar lima atau enam tahun

lalu.
"Kau memang tidak mengundangku," katamu, tidak
tampak kaget. Kita bergenggaman tangan. Berjuta bingkai
diorama berputar. Gambar yang meloncat-loncat. Sejak
Braga Permai, Concurrent Jewelery, Kafe Datumuseng,
Pantai Losari, Somba Opu, sampai Benteng Fort
Rotterdam?
"Padahal, ini hampir semua tentang kamu."
Engkau menghela nafas panjang. "Aku tahu. Tapi
mungkin ini bukan waktu yang tepat buatku." Kamu seperti
ingin menghindar. Mengkhawatirkan sesuatu. Aku pun
merasa tak bisa berbuat banyak, meski segera kutangkap
tanganmu.
"Kita harus merayakan pertemuan?"
"Maaf, Mas, ini pasti di luar perkiraanmu. Mungkin lebih
baik?"
"Please," kuperkeras genggamanku. "Kau bahkan
belum memberitahu kapan datang dan di mana
menginap."
Beberapa kawan muncul silih-berganti, menjabat
tangan, mengucapkan selamat. Ini memang hari pertama
pameran "Sepanjang Braga" dibuka. Tema yang
seharusnya kukonfirmasi kepadamu. Tapi aku bimbang.
Hal-hal yang menyangkut perempuan lain bisa jadi aneh
dan mengerikan untuk dibahas. Apalagi tentang pelukis
dan pecinta lukisan. Aku hampir tak membicarakan
dengan isteriku. Padahal perasaanku santai saja jika
sesekali kugambar model perempuan telanjang di studio.
"Sepanjang Braga," kau bergumam begitu aku

terbebas dari kawan-kawan. Kilatan cahaya blitz kadangkadang melampaui kepala kita. Seperti benderang lampu
petir yang mengerjap di langit petang, saat kita diguyur
gerimis di Jalan Braga. Saat itu, di antara kita belum ada
siapa pun. Andaikata dada kita transparan, mungkin
terlihat kembang api jingga setiap kita bicara. Karena yang
terlompat dari mulut, meski terdengar seperti perdebatan,
adalah upaya saling menggosok batu api. Sejak itu,
setelah komunikasi terdiri atas berlembar-lembar surat,
tumbuh perasaan saling menyayangi.
"Aku akan datang ke tempatmu, apakah nanti malam
punya waktu?"
Kau tersenyum. Seperti menyindir. Tapi juga
menyiratkan kebijaksanaan. "Seharusnya aku yang tanya,
apakah kau punya waktu? Kau tahu, aku belum terikat
siapa pun. Setidaknya sampai hari ini. Tapi, it?s okay, kau
bisa telepon dulu. Aku menginap dekat Dago Tea House."
Kau memberiku sebuah kartu nama guest house.
Sejak kutulis tentang Chiara, dulu, muncul nuansa lain
dalam hubungan kita. Aku merasa: ada seseorang yang
juga dekat denganmu. Meskipun tidak kauceritakan,
kecuali ketika putus menjelang tunangan, justru setelah aku
menikah.
"Aku jatuh hati sejak pandangan pertama," demikian
suratku. "Ia seorang pembaca puisi, pasti memiliki
apresiasi yang kuat tentang seni. Beberapa kali kukirimi
sketsa, tapi tidak tahu apakah dipasang di kamarnya?"
Waktu ngoceh seperti itu, aku lupa, bagaimana
perasaanmu? Seolah-olah engkau ibuku. Terlebih ketika

nada suratmu biasa-biasa saja. Bahkan mendorong untuk


meraih setiap harapan. "Memang sudah waktunya, Mas.
Kudoakan semoga berhasil. Aku yakin, dia pasti cantik."
Cantik memang relatif, seperti halnya lukisan.
Kabarku masih terkirim dengan rentang makin panjang.
Lantas lama tidak bertukar kabar. Saat itulah aku kembali
suka berjalan-jalan di sepanjang Braga. Tidak dengan
Chiara. Seringkali justru bersama Acep Zamzam Noor,
Diyanto, atau Tia Lesmana dan Soni Farid Maulana. Di
tempat itu, juga di tempat lain, aku ingat kau. Ingat
pertemuan yang hanya beberapa hari tapi bagai berbulanbulan. Ditemani gerimis, jarum air yang menabur rambut
kita, dan cahaya senja yang memantul dari dinding
pertokoan Braga. Kita pernah berteduh di Majestic,
menertawakan pasangan yang mencuri kesempatan dalam
gelap bioskop. Rasanya percakapan kita sangat berbeda.
Aku suka marah oleh kritikanmu. Belakangan kusadari,
semua itu membentuk kekuatan goresan, karakter yang
kini dibicarakan banyak orang.
"Bagaimana
kabar
Baby?"
Pertanyaanmu
membuyarkan lamunan.
"Oh, ia mulai sekolah. Kelas bermain."
"Aku masih menyimpan fotonya waktu bayi. Hampir tiga
tahun lalu. Betapa bahagianya Chiara. Apakah ia masih
sibuk dengan jasa-boganya?"
"Ya, apalagi ini musim menikah. Sementara kau masih
sendiri, sejak berpisah dengan pemuda dari bursa effek."
Aku mengambil dua cangkir teh. Kita minum sambil berdiri.
"Bukan keinginanku. Tapi mudah-mudahan itu yang

terakhir."
Terkadang aku kagum padamu, karena tidak serapuh
dugaanku. Waktu kau ceritakan patah hati yang pertama,
tersirat ungkapan syukur. Sambil menikmati pisang epek di
pantai Losari, kita berbagi kisah. Ada semacam
keajaiban. Setelah lama saling bersurat, kegiatan budaya
mempertemukan kita di Bandung. Catatanmu yang melukai
perasaan di buku tamu pameran lukisan, telah memaksaku
terbang ke Ujungpandang. Begitu tiba di teras rumahmu,
pertanyaan pertama yang muncul adalah: "Bagaimana
kabar Braga?"
"Aku sedang menggarap semacam proyek tentang
Braga. Rasanya tak akan sempurna tanpa diskusi
denganmu."
Kini, seratus lukisan telah selesai. Seperti yang
kujanjikan pada diri sendiri. Hanya Chiara dan Baby yang
jadi saksi prosesnya. Atau satu-dua kawan dekat. Aku
memang mengerjakannya setengah diam-diam.
"Oke, aku pulang dulu," katamu, sambil mengambil
selembar katalog dan memasukkan ke dalam saku blazer.
"Tidak mengikuti diskusi? Pak Pirous dan Bang Hardi
yang bicara."
Kamu menggeleng. "Aku banyak urusan," tersenyum
dan pergi menjauh. "Jangan lupa, telepon dulu."
Kulambaikan tangan, sebelum bergabung dengan
peserta diskusi di ruang Bulu Domba. Seorang moderator
mendekat, mengkonfirmasi biodata. Sepuluh menit
kemudian acara berlangsung, dan baru berakhir pukul dua.
Semalam aku hanya tidur sekitar tiga jam. Akumulasi

keletihan itu sangat terasa begitu sampai di rumah.


Rupanya aku menyimpang dari perjanjian. Selepas
petang kukatakan pada Chiara: seorang wartawan asing
ingin berjumpa di Dago Tea House. Aku langsung melaju
ke penginapanmu. Di ruang tamu yang temaram, kau main
piano sendirian. Baru kali ini, sepanjang kita kenal, kulihat
kau mengenakan baju tidur warna pastel.
"Kenapa tidak telepon dulu, Mas?" tanganmu terangkat
dari tuts piano.
"Apa bedanya? Toh kau ada di tempat." Aku
membanting diri di sofa.
"Kita mau bicara di sini atau di kamar?"
"Apa bedanya? Yang penting isi pembicaraannya,
bukan tempatnya."
Tapi sebuah dorongan bawah sadar membawa
langkahku ke dalam kamar. Kau hendak ganti baju yang
pantas untuk menerima tamu. Namun peristiwa yang
berlangsung kemudian berbeda. Sangat berbeda.
Sungguh di luar seluruh pikiran-pikiran kita selama ini. Ke
mana jalinan persahabatan itu?
Mungkin ini percintaan paling panas. Kita bagai
berenang di antara ombak biru, di bawah matahari tropik,
dengan angin pesisir yang berarak-arak. Pulau yang
ditempuh masih jauh di ujung cakrawala. Timbul-terbenam,
diayun buih samudera. Kita memburu dan mengejarnya,
ingin meraih. Namun perjalanan bagai tak hendak selesai
sampai nyaris tenggelam, dan tiba-tiba kudengar lengking
panjang. Kutangkap tanganmu, matamu terpejam dengan
kelopak bibir terbuka, tersenyum. Wajahku terasa hangat

dan basah kuyup?


Tangis itu terdengar lagi. Tapi bukan dari mulutmu.
Suara itu dekat dengan telinga, membuatku terjaga. Aku
terperanjat menangkap warna-warni lukisan.
Ya Tuhan, ini mimpi! Tapi wajahku benar-benar basah
dan hangat. Dalam keremangan senja, celah jendela
memberikan sedikit cahaya. Kulihat Baby terisak dengan
mata masih terpejam.
Anakku ngompol! Kucoba mengingat asal-usul kejadian
ini. Ya. Keletihan membuat aku tergeletak di atas karpet ?
satu-satunya tempat dalam studio yang bebas tetesan cat.
Sebelum lelap, Baby memanggilku, mendekat dan
berbaring dekat kepala.
Astaga, jam berapa ini? Aku punya janji denganmu!
Apa yang baru kita lakukan dalam mimpi? Kugunakan Tshirt untuk mengusap pipis Baby di wajah, sebelum
kubangunkan dia. "Kenapa ngompol lagi, sayang? Ayo kita
mandi."
Kulihat Chiara sedang menerima telepon di ruang
tengah. Ia memberi isyarat dengan tangannya. Aku
mendekat. "Ada seorang kolektor Filipina hendak
memborong semua lukisanmu. Mau langsung bicara
dengannya?"
Kesadaranku belum pulih benar. Tapi ini mengejutkan.
Sekaligus terdengar mustahil, seperti mimpi yang baru
saja berakhir. "Aku akan menelepon kembali, minta
nomornya. Lihat! Baby ngompol."
Chiara tertawa sebelum memasang kembali gagang
telepon ke telinganya. Sepanjang siraman air shower,

berdua Baby, aku belajar percaya kabar aneh itu. Seorang


kolektor memborong seluruh koleksi "Sepanjang Braga"!
Apa katamu nanti? Chiara seharusnya tidak hanya
berunding denganku, tapi juga denganmu. Tapi, apa itu
mungkin?
***
MALAM telah larut ketika akhirnya aku menemukan
suaramu di telepon penginapan. "Ke mana saja?" Aku
kesal. Tapi bukan hakku untuk memintamu tetap berada di
tempat yang aku mau.
"Sorry, Mas. Seseorang mendadak mengajak makan
malam. Aku memang tidak menelepon, karena satu dan
lain hal. Aku ingin bahagia, seperti juga kau, Mas. Dan
kebahagiaan kita tidak perlu mengganggu kebahagiaan
orang lain."
"Aku mencarimu. Pertama, karena janji tadi siang. Tapi
ada yang lebih penting. Seluruh lukisan "Sepanjang Braga"
dibeli seorang kolektor. Aku? aku bahkan belum pernah
mengenal orang itu."
"Lalu?"
"Aku harus minta ijinmu. Sebelum kupikir bahwa ini
sesuatu yang hampir tidak masuk akal. Koleksi itu
seharusnya tidak pernah dijual."
"Itu tidak rasional, Mas. Apa kata Chiara nanti?" Benar
katamu. Jika seratus lukisan itu hanya untuk disimpan,
akan menimbulkan pertanyaan dan layak diusut. Berapa
puluh juta rupiah investasi dan waktu yang tertimbun di
dalamnya?
"Ini memang pilihan yang sulit." Aku mengeluh.

"Tapi, benarkah kau hendak meminta ijinku?" tanyamu


untuk meyakinkan.
"Tentu. Aku tak ingin melakukan kesalahan dua kali."
"Jangan merasa bersalah, karena memang tidak
bersalah."
"Setelah seratus lukisan itu terjual, aku mungkin tak
punya lagi kenang-kenangan itu. Cobalah mengerti
perasaanku."
"Aku sangat mengerti perasaanmu, Mas. Pertanyanku,
benarkah kau meminta ijinku?" tanyamu manja.
"Ya."
"Aku seratus persen mengijinkan, Mas. Aku tak
keberatan kau menjual semuanya. Tapi sebaiknya kau
bertemu dengan pembelinya, sebelum ia membawanya
pergi. Pameran masih berlangsung tujuh hari lagi, bukan?"
Aku terdiam. Bukan oleh suara gerimis di luar. Aku
merasa pilu mendadak. Sangat tidak menduga, engkau
merelakan nostalgi tentang kita dibawa orang. Kita tak
punya apa-apa lagi. Mungkin aku menyesal telah
memasang price list dalam katalog.
"Mas, boleh aku tidur? Besok aku harus pulang ke
Ujungpandang."
"Secepat itu?" Aku terkesiap. Putus asa. "Aku jadi
ragu. Kenapa kau?" Kupikir aku lebih cengeng dibanding
perempuan mana pun di dunia. Kau, pemilik separuh
kenangan, sudah tidak mempersoalkan hal-hal yang
sentimentil. Mengapa aku bertahan pada ilusi yang hanya
mirip guratan nama di daun kaktus? Atau pada poci
keramik yang kelak retak seperti kata Goenawan

Mohamad?
"Aku minta maaf," katamu berbisik.
"Ya," tak ada lagi yang harus dibicarakan. Kututup
telepon dengan kecewa.
Kuhampiri Chiara yang meringkuk di ranjang.
Kuletakkan badanku pada sprei yang masih rapi,
telentang, memandang langit-langit. Tubuh di sampingku
berbalik. Dalam ketidaksadaran ia mendesakkan
wajahnya ke leherku. Dan kupeluk sebuah kenyataan.
Barangkali tak pernah kupejamkan mata sampai pagi
datang. Aku menjadi sedikit pendiam, namun tidak
menarik perhatian Chiara. Sehabis sarapan, telepon
berdering, dan Chiara mengatakan tentang kolektor
Filipina itu. Aku hanya memberi anggukan, tanda setuju.
Selesai bicara, wajah Chiara berseri-seri. Ia
menciumku dengan hangat. "Hampir setengah milyar!
Empat ratus delapan puluh enam juta, setelah dipotong
PPh." Ia tidak merasakan, alangkah hancur hatiku. Tapi
buat apa? Aku tidak ingin merana sendirian. "Ia bilang,
nanti siang ditransfer. Lukisan akan dikemas hari Minggu,
setelah penutupan. Baby?! Baby?! Ayo beri selamat
kepada Ayah!"
Gadis kecil itu meloncat ke pangkuan. Kupeluk dia dan
seolah-olah aku mendapatkan pengganti dari semua yang
hilang.
Chiara pamitan ke kantor, Baby berangkat ke Tadika
Puri. Aku terdiam di kursi, mendengarkan rekaman Tony
Prabowo. Membayangkan gelas-gelas yang ditabuhnya
pecah berkeping-keping. Menggambarkan perasaanku.

Aku terbius. Sampai kudengar teleponmu dari bandara.


"Sepuluh menit lagi aku berangkat. Sorry, aku memang
tak ingin diantar. Aku tinggalkan kartupos dan undangan di
receptionist galeri. Apa rencanamu hari ini, Mas?"
Nada suaramu menunjukkan kelegaan, bahkan
kegembiraan. Sungguh ganjil, atau menyakitkan?
Membuatku meradang: "Apa yang kautulis dalam kartupos
itu? Banyak orang bisa membacanya!"
"Yang paling kaucemaskan pasti jika Chiara
melihatnya, bukan?" Kudengar kau tertawa, di antara
gemuruh suara pesawat yang landing. Aku merasa baru
mengenalmu. "Aku cuma memberitahu bahwa "Sepanjang
Braga" sudah jadi milikku. Seluruhnya, Mas! Feliciano
membelinya untukku, sebagai maskawin, atau kami tidak
menikah sama sekali. Kaget? Maaf, aku tak mungkin
bilang dari awal, karena aku sulit melupakanmu. Aku hanya
ingin semuanya beres, sejak kubaca berita budaya di
koran. Pameran itu pasti untukku, tanpa kau
memberitahu?"
"Ya, Tuhan?" Aku terperangah.
"Benar, itu memang kehendak Tuhan. Itulah sebabnya
aku harus segera pulang ke Ujungpandang, untuk
menyiapkan pesta sederhana. Aku tak boleh ingkar dan
menyakiti hati Feliciano. Semua syarat telah dia penuhi."
Bagai ada segelas embun yang melintas ke
tenggorokan. Mungkin aku benar-benar kehilangan kamu.
Tapi tidak kehilangan "Sepanjang Braga".
"Kau sudah mempersiapkan sejak lama, bukan?
Undangan pernikahan tak mungkin dibuat secepat itu."

"Benar. Maksudku, undangan itu hanya berupa print-out


yang kubuat di sekretariat FSRD. Kalau hal itu membuatmu
tidak datang, aku mesti bilang apa? Oke, tampaknya aku
harus masuk pesawat. Salam untuk Chiara dan Baby."
Seminggu setelah teleponmu itu, kupasang kanvas
baru. Menyiapkan semua botol cat, kuas, dan minyak
pengencer. Tapi, telah dua jam aku di sini: pada sebuah
kamar yang memiliki lebih dari seratus warna dan aroma
cat. Dalam keadaan ngungun. Perasaanku dibungkus
kesunyian luar biasa.
***
Jakarta, 99-01
Relung Telinga
Cerpen: Kurnia Effendi
Sumber: Koran Tempo, Edisi 09/29/2002
DI relung telingamu, pernah kubisikkan kata-kata:
Percayalah, aku akan selalu mencintaimu. Kemudian
kutidurkan tubuhmu dengan kasih-sayang, juga kutiduri
tubuhmu penuh kasih-sayang.
Kelembutan warna kamar, wangi sayup sedap malam,
dan remang cahaya yang menawarkan candu asmara,
membuat waktu terasa panjang. Kita bercinta seperti abad
yang diseret perlahan, menuntaskan titik peluh di sekujur
pori. Sesudah itu, berkali-kali kubisikkan di relung
telingamu: Aku tak akan pernah melupakanmu.
Hampir aku menyebutmu Bunga, karena kutemukan
dirimu di tengah lanskap taman yang asri. Mungkin
bintangmu aquarius, selalu karib dengan guci di tangan,

berjalan sabar di antara perdu dan pohon kembang,


menyiramkan air seperti memberi minum anak-anaknya.
Namun hampir pula kupanggil dirimu Bulan, sebab ada
kemiripan antara wajahmu dengan bundar purnama. Kau
mudah tersenyum, bahkan oleh lelucon sederhana. Pernah
juga kubayangkan dirimu Gula, setelah berulangkali
kuhisap manis rasa bibirmu. Engkau sedikit tersengal.
Tampak dadamu naik-turun seperti ombak. Sesudahnya,
kauhela nafas panjang dengan mata terpejam, dengan bulu
mata bergetar.
Apakah kausimpan janjiku dalam relung telingamu?
Aku menyediakan hidupku untukmu. Aku mencintaimu dan
bekerja keras dengan perasaan riang. Jiwaku melepuh
oleh cinta, dan seluruh hari yang kulalui adalah nyanyian.
Rindu yang tak habis terperas. Kasih-sayang yang tak
terhalang keterbatasan rahimmu. Melalui rangkaian
pemeriksaan yang berlarut-larut, akhirnya inilah keputusan
dokter: tak akan menetas seorang bayi melalui
persetubuhan kita.
Bisa jadi, ada harapan yang tercerabut. Tapi, untaian
malam yang berhias cahaya ranum lampu temaram, ikut
mendengar selarik bisik dari bibirku, memasuki relung
telingamu: Sampai kapan pun aku terus mencintaimu.
Itulah yang ingin kupatuhi bertahun-tahun. Engkau
Bunga, Bulan, sekaligus Gula dalam hidupku. Impian
panjang berlarat-larat, wangi hari yang terulur dari sumber
fajar, mata-air sungai yang mengalir menempuh tubuh
benua. Begitu ringan langkah kuayun, dilepas tatapan
matamu dari ambang pintu setiap pagi. Begitu lekas sore

merapat, jiwaku terhisap untuk pulang, dijemput rindu di


lereng beranda. Aku abai terhadap apa pun yang terjadi
sepanjang siang. Mendulang madu atau racun,
menampung susu atau airmata.
Namun senja ini, saat hujan ditabur mengakhiri
kemarau yang jumawa, sesuatu berkelebat di fokus
mataku. Kucium harum parfum yang tak sengaja singgah,
dari leher jenjang yang terbuka, pada papasan singkat di
tengah kaf. Bagai ada tarikan seksama pada kepalaku
untuk menoleh ke arahnya. Kulihat sepintas lambaian scarf
yang terjuntai ke punggung. Betis langsing berwarna duku.
Sepatu bertumit tinggi yang melangkah ritmis. Kilau
polesan jingga pada kuku kelingking. Dan sesudahnya tak
pernah kukenali wajah pemilik tubuh semampai itu.
Bisa saja kuurungkan niat untuk keluar dari kaf: toh
hujan yang mengguyur di luar cukup kuat menjadi alasan.
Trotoar di depan berangsur basah. Langit kehilangan
warna biru. Angin seolah-olah ditambah kecepatannya oleh
tangan gaib dari ujung perempatan jalan. Tentu saja, jika
aku nekad melangkah keluar dengan sisa rasa kopi di
lidah, hujan tak akan memilih tempat jatuh di luar tubuhku.
Senja terasa semakin kusam oleh gelap awan, dan lampu
jalan mulai menyala seperti kerlip bintang yang tersesat.
Di saat yang sama, aku teringat dirimu. Terngiang katakata yang kubisikkan di relung telingamu. Aku akan selalu
mencintaimu. Setiap huruf menjadi tekstur pada lidahku.
Perasaan bimbang menyergap. Apakah salah, jika tibatiba kuterima rangsang dari perempuan lain, setelah lima
tahun demikian setia? Tak seorang pun sanggup

memerangkapku, kecuali dirimu. Kecuali seseorang


yang baru saja melintas.
Aku menahan langkah tepat di depan pintu. Gerimis
cukup pekat, seperti anak panah halus yang dilepas ke
alam raya setelah lama terhimpun dalam gundukan busur
awan. Lincah berhamburan ke atas aspal, menumbuhkan
kabut samar di permukaannya. Dan bau apak debu yang
tersiram menebar ke udara, tercium dari celah pintu. Suhu
panas hotmix yang terpanggang sepanjang siang,
terempas dan kuyu. Serupa perasaanku.
Tanganku menyentuh pintu, dan terkejut sewaktu daun
pintu itu terbuka karena seseorang menyeruak masuk. Ia
laki-laki yang sebagian kemejanya basah. Bisa jadi,
semenit yang lalu dia melompat-lompat di atas trotoar.
Mencari tempat berteduh. Dan caf ini menjadi pilihan.
Sementara aku bermaksud meninggalkannya, menembus
hujan.
Aku memberi jalan kepada laki-laki yang mengenakan
dasi. Butir air bergantungan di ujung-ujung rambutnya. Ia
tersenyum bersahabat. Senyum yang sanggup
meruntuhkan jantung perempuan. Apakah kedatangannya
karena menghindari percik air, atau oleh sebuah janji?
Janji bertemu di sebuah resto yang nyaris padat, bukan
hal mustahil. Selepas jam kantor, di ujung bentang hari, dan
mungkin bagian dari kencan berkala. Dengan perempuan
itukah ia hendak berjumpa? Ada debar yang mendadak
sibuk di dada. Meskipun kemungkinan itu satu berbanding
jumlah pengunjung.
Adakalanya, peruntungan datang tidak pada waktu

yang senggang. Sekali ini ingin kupertaruhkan seluruh


intuisi. Namun terlintas di saat yang sama, janjiku di relung
telingamu: Percayalah, aku tak akan pernah melupakanmu.
Kumaki diriku sendiri. Ternyata kesetiaan membuatku
terpenjara. Mataku mulai panas. Perasaanku terpilin oleh
beban duka dan kehilangan. Alangkah mudahnya aku
tergoda seruap aroma parfum yang melintas dari leher
terbuka. Begitu sulit ditepiskan. Bahkan meresap ke paruparu. Harum itu merembes ke setiap celah tulang rawan.
Aku berusaha keras menukarnya dengan wangi rambutmu
sehabis berkeramas. Lima tahun aku setia kepadamu.
Lima tahun aku terbelenggu cinta. Sampai sore yang
kuanggap bedebah ini datang. Aku, bahkan, tak melihat
wajahnya! Yang melintas hampir tanpa jarak, namun luput
dari kerling mata. Hanya scarf yang melayang di balik
punggungnya.
Kulihat dari kaca jendela, kilat membelah langit
mendung. Setengah gila aku disergap bimbang: tetap di
kaf atau melangkah ke jalan raya yang basah? Akhirnya
kumenangkan pertarungan itu dengan cara mengayunkan
kaki ke luar pintu. Rasanya belum sempurna bidang kayu
pinus itu menutup kembali, ketika ada suara memanggil.
Aku menoleh dengan kecepatan tak terukur begitu
mengenali suara perempuan. Warna scarf yang
menggantung di bahunya tak bisa kupungkiri, dia pasti
wanita yang berusaha menyingkirkan kesetiaanku.
Langkahku terhenti dan menunggu. Tapi sebelum jelas
kulihat wajahnya, ia telah masuk kembali. Refleks kuraba
saku baju dan celana. Adakah sesuatu tertinggal? Hand

phone, pulpen, kacamata, saputangan, sisir, dompet,


rokok, ah, ya! Korek api! Apakah cukup berharga jika
kubalik arah demi mengambil korek api senilai lima ribu
rupiah? Apakah perempuan dengan scarf ungu itu
memanggilku dan bermaksud mengembalikan korek api?
Kukira sang tokoh dalam film Another Nine and Half
Weeks, jadi sakit juga akibat sebuah scarf milik seseorang
di masa lalu.
Ini pasti ilusi! Ini pasti sebuah ikhtiar untuk membuatku
lupa padamu. Ini godaan picisan yang tak sebanding
dengan cintaku padamu. Percayalah, aku tetap
mencintaimu! Lihat, bagaimana aku berlari pulang ke
arahmu. Dalam derai gerimis, melompat-lompat di atas
teracotta. Menyalip-nyalip di antara deretan mobil yang
gelisah dalam antrian traffic jam. Mereka nyaris tak
bergerak, dengan kap mesin menguapkan selapis
fatamorgana. Suara klakson mulai menyalak di sana-sini.
Aku teringat awal film Prince of Tide. Layar lebar yang
mampat oleh warna-warna punggung mobil. Ya, hujan yang
turun mendadak membuat seluruh pengendara tidak siap.
Di emper toko, kakilima yang tempias, berdiri orangorang yang enggan basah. Kulewati mereka dengan
gegas, karena ingin segera berada di sampingmu. Ingin
segera meremas tanganmu. Mungkin mencium pipimu
yang masih hangat. Membisikkan kembali ke relung
telingamu: Aku selalu mencintaimu. Sekalipun sia-sia.
Namun dalam kondisi seperti ini, amat sulit
mendapatkan taxi. Di mana-mana mobil antri. Sopir taxi
akan berpikir seratus kali untuk mengangkut penumpang.

Kecuali yang sudah terjebak dan tergenang dalam lautan


kendaraan. Aku merasa terapung-apung di antara mereka.
Menerobos kerumunan. Melesat di bawah curah rinai air.
Aku harus terus berlari, dengan iringan rasa cemas. Aku
telah cukup lama meninggalkanmu. Dan hampir
mengkhianatimu. Biasanya, sebelum matahari terbenam
aku telah sampai pada pelukanmu. Aku menyesal telah
berjalan terlalu jauh. Sungguh, itu semata karena aku tidak
tahu harus melakukan apa. Andaikan kau melihat
langkahku yang terhuyung di awal hari, meninggalkan
rumah dengan airmata memenuhi pipi...
Hujan mengalir tipis dari langit yang merambat gelap.
Aku masih saja tergoda oleh harum parfum di lehernya.
Seperti apa wajahnya, tak pernah sanggup kubayangkan.
Rambut diikat dan dilipat ke atas, sehingga jenjang
lehernya terbuka. Gemulai scarf demikian lembut
tergantung di bahunya. Mungkinkah ia mirip Wanda
Hamidah atau Reza Artamevia? Atau Penelope Cruz?
Atau bukan ketiga-tiganya? Desir halus membuatku terjaga
dari pengkhianatan.
Tinggal dua ratus meter letak pintu rumah kita. Aku
terus berlari dalam gerimis pekat. Tubuhku mulai menggigil
oleh dua hal. Dingin air hujan, dan rasa sesal karena
meninggalkanmu sendiri. Nafasku terengah dengan degup
jantung yang lekas. Maafkan aku, maafkan aku. Ini tak
pantas untukmu. Tentu saja. Karena kepergianku
disebabkan peristiwa yang tak terduga. Dadaku terasa
mau pecah mengingat ini semua. Entah siapa yang mulai
main sembunyi, sampai seluruh rahasia terungkap dini

hari.
Tersungkur aku di teras. Tapi tak mungkin
memanggilmu dari ambang beranda. Kumasuki pintu
rumah dengan dua putaran kunci. Lampu yang menyala
membuat ruang tamu jadi benderang. Aku menuju sofa
tempat engkau berbaring: masih seperti ketika
kutinggalkan pagi tadi. Telentang dengan paras pucat dan
mata terkatup.
Entah harus kupanggil apa dirimu saat ini. Bunga layu?
Bulan pucat? Gula getir? Airmataku menderas, membaur
dengan sisa hujan yang membasahi sejak rambut hingga
ujung kaki. Aku berlutut di sisimu dengan tubuh gemetar.
Menyentuh pipimu, lenganmu, dadamu, meremas jarijarimu yang mulai kaku. Ada yang tak kumengerti dari akhir
hidupmu. Entah siapa yang mulai main sembunyi. Sesuatu
telah merenggutmu dariku dengan cara telengas melalui
bagian tubuhmu yang paling ringkih. Luput dari
pengetahuanku. Sebab sepanjang lima tahun aku setia
padamu, dan menganggap aliran hari adalah nyanyian
yang tak pernah putus.
Ingin kuusir kenyataan. Namun dalam pelarianku yang
penuh duka lara, seorang perempuan tak dikenal nyaris
membuat perasaanku berubah. Maafkan aku. Tanpa suara
aku terisak. Dengan gamang kurapikan helai rambutmu
yang masai menutup pipi.
Memandang relung telingamu, mengingatkan pada film
Blue Velvet. Seorang pemuda menemukan sepotong
telinga yang mulai dikunjungi semut, di halaman rumput
rumah tetangga. Tentu saja aku bukan pemuda itu, yang

tatapan matanya memasuki rongga telinga. Aku


kekasihmu, belahan jiwamu, yang pernah membisikkan
janji setia pada liang rawan itu. Kini aku menunggu
kemungkinan lirih gaung suaraku keluar lagi. Karena tak
menemukan rongga yang hangat dan penuh denyut untuk
menetap. Aku terus menunggu. Berlarut-larut. Sampai
akhirnya kudekatkan wajahku, mencium relung telingamu
yang dingin dan mulai menerbitkan aroma aneh. Berbisik
untuk yang terakhir kali: Aku akan selalu mencintaimu, dan
tak akan pernah melupakanmu. ***
Jakarta, 20 September 2002
Lagu Malam Braga
Cerpen: Kurnia Effendi
Sumber: Koran Tempo, Edisi 03/30/2003
SELALU ada cita-cita dalam benaknya, untuk mabuk
dan menyeret kaki di tengah malam, menyusuri Jalan
Braga menuju penginapan. Ia akan menikmati bagaimana
lampu-lampu jalan berpendar seperti kunang-kunang yang
bimbang; garis-garis bangunan pertokoan yang berderet
tak putus acapkali menghilang dari pandangan; dan
trotoar pun terasa bergelombang seperti sisa ombak yang
menepi ke pantai.
Angin malam akan membisikkan keloneng becak di
kejauhan, yang mengangkut beban dengan setengah
kantuk ke arah Tamblong atau Suniaraja. Sewaktu-waktu
mengirimkan pula jerit roda mobil yang sengaja menikung
dengan kecepatan tinggi di perempatan, dari arah
Banceuy, menjelang warung-warung sop-kaki-kambing di

sisi kali Cikapundung menutup dagangan. Ia akan sedikit


tersadar oleh suara mendadak itu, seperti cubitan
mengagetkan pada gendang telinga. Tapi sebentar saja. Ia
akan kembali melangkah dengan oleng, serupa kapal ferry
yang menunggu di seberang dermaga, terayun-ayun oleh
pertemuan gelombang selat. Bibirnya tersenyum dan
mengguman: Ah, anak muda borjuis! Apalagi yang
mereka pikirkan selain makan terlambat? Menawar
perempuan? Mengajak singgah ke diskotik? Dan
menghabiskan sisa pagi di kamar motel? Puah! Ya,
apalagi yang mereka pertimbangkan?
Bulan yang berlayar di sela langit, begitu tenang
dengan cahaya gadingnya, terapit jajaran rapat pertokoan
Braga yang hangus oleh gelap malam. Ia menatap sambil
terus melangkah di atas paving-block yang memang tidak
rata. Melampaui toko demi toko. Terseok di antara mobil
parkir yang nyaris beku oleh dingin malam. Serta-merta ia
pun merapatkan jaketnya.
Dibayangkannya seorang puteri melongok dari teras
Hotel Princess. Ia akan segera menunduk takzim, seolah
silau oleh gemerlap mahkota yang terayun di atas rambut
panjangnya. Aku hanya seorang lelaki jelata, pikirnya.
Yang setiap malam mabuk dan tertatih melewati halaman
istanamu. Tak pantas aku menatap sepasang mata
beningmu, bola kristal yang memantulkan setiap sinar.
Jangan pandang aku! Segeralah menyingkir, atau masuk
ke balairung. Aku hanya numpang lewat, karena tak ada
rute lain, kecuali memutar kembali ke Jalan Asia-Afrika. Itu
artinya aku mempertaruhkan seluruh tenaga yang tersisa,

dan boleh jadi, akan jatuh sebagai buntalan tubuh di tepi


jalan. Lalu embun akan berkerumun dan menyelimutiku
sampai pagi datang, sampai seorang penyapu jalan
menemukan badan kumalku. Ayo, menepilah Sang Puteri!
Ia pun tertawa dengan gigi yang tersingkap. Barisan
tulang putih dengan hiasan endapan nikotin. Uap alkohol
berhamburan memenuhi udara malam di sekitar mulutnya.
Ia tertawa karena menyadari bahwa di depan langkahnya
tidak ada seorang puteri pun. Hotel Princess hanya
menyalakan lampu pada ambang pintu. Warna redup neon
dari kotak kaca kusam itu menunjukkan bahwa masih ada
kegiatan rutin orang menginap, satu dua saja, karena
banyak hotel lebih baik di sekitarnya. Hampir semua
pelanggan terserap ke hotel-hotel dengan lobby lebih lebar
dan cahaya yang lebih terang. Ia masih tersenyum sambil
melewati penginapan muram itu. Matanya menyeberang
dan ditatapnya Amsterdam Caf penuh perhatian.
Berhenti sejenak ia di trotoar, bersandar tiang lampu
jalan. Setiap kali menatap balkon Amsterdam Caf,
dengan warna mediteranian, kuning tanah liat dan aksen
merah bata, selalu saja teringat akan penginapannya.
Tentu saja. Dulu ia meminta kepada pemilik penginapan
untuk membuat jendela kayu seperti tingkap yang
terpampang di atas kaf itu. Jendela yang akan
membuatnya leluasa melihat ke luar, ke arah gang berliku
dan sering basah oleh got yang meluap. Ke arah atap
rumah perkampungan yang menurutnya sangat artistik.
Terdiri dari genting aneka ragam, berlubang di sana-sini,
atau seng-seng berkarat yang gagal mengembalikan sinar

matahari. Parade jemuran, antena televisi, juga sangkar


burung. Beberapa tumpukan sampah, dan deretan MCK
yang begitu antusias menyiarkan bau amoniak.
Jendela itu menurutnya juga tampak artistik karena
terasa betul ketidakrapiannya. Jendela yang membuka
rahasia di luar kamarnya sebagai hawa kehidupan sejati.
Apakah pembuat jendela itu masih hidup? Ia sibuk
mengingat-ingat,
karena
ketika
mengerjakan
permintaannya, tubuh dan usia tukang kayu itu tampak
sama renta. Buat apa dipikirkan?
Dilanjutkannya langkah, dengan kedua tangan masuk
ke dalam saku jaket. Teraba oleh jari-jarinya bungkusan
rokok yang membekas jumlah batang di dalamnya.
Mungkin akan terusir rasa dingin dari tubuhnya dengan
menghisap sebatang kretek filter. Ia berhenti sejenak,
menyalakan rokok, menghisap dan menghembus asap,
sebelum melangkah kembali. Sebentar lagi melewati Pos
Satpam Braga. Setidaknya ada tiga orang penjaga di
sana, satu di antaranya mengenakan seragam polisi. Di
depan mereka harus bisa bersandiwara, pura-pura
berjalan tegak. Asap rokok akan membuatnya terlindung
dari aroma bir pada uap nafasnya. Selekasnya ia melintas,
selekasnya ia melampaui kemungkinan dicurigai. Tiba di
tikungan toko buku Nusa Cendana, ia pun berhenti.
Etalase yang sudah kehilangan separuh lampunya itu
menampakkan buku-buku sastra. Sampul mereka mulai
menguning oleh tempias matahari dari arah timur. Puisipuisi di setiap halaman buku itu pasti jauh lebih awet dari
sampulnya. Seperti puisi-puisi yang bergelimang dalam

kepalanya. Ia masih hafal setiap kata yang pernah


ditulisnya untuk para kekasih di masa lalu. Ada nama Anne
dan Inne, yang tersimpan utuh dalam benaknya. Keduanya
menetap dalam dada, turut mengatur detak jantung, dan
membuatnya selalu tersenyum dalam luka memanjang.
Ah! Dengan ngilu ia mengusap wajahnya. Seperti
bermaksud membersihkan airmata yang pernah
membasahinya. Rambutnya yang mulai menyentuh bahu
disusur dengan sepuluh jari. Seraya membayangkan
segumpal hati yang bersitahan pada cinta tak sampai, hati
yang tak patuh pada realitas, dan diremasnya agar
menjadi serpih.
Lama ia tak menulis puisi semenjak membawa pulang
sejumlah besar puisi dari Italia. Padahal di negeri itu
seharusnya ia hanya melukis. Dengan model perempuan
berambut pirang, kulit bau asam, payudara selicin pualam.
Kadang-kadang tangannya perlu meremas untuk
meyakinkan volume dan kelembutannya. Agar lukisannya
lebih memiliki ruh, dan senantiasa mengalirkan hasrat
untuk dipandang. Sampai kini ia lebih bergairah melukis,
ketimbang menulis. Ia telah menyimpan banyak sketsa
dalam angan-angannya. Setiap berjumpa kertas dan
kanvas, ada saja yang mengucur dari jemarinya. Warnawarna yang menyala, mengaduh, menerjang, mengaum,
merangsek, memendar, dan memancarkan tanaga
melampaui batas pigura. Garis-garis yang mewakili
gejolak perasaannya, tajam dan lugas, menyayat mata-hati.
Tiba-tiba ia disenggol seorang lelaki yang berjalan

terburu-buru. Membuatnya sadar untuk terus melangkah.


Penginapannya masih sekitar dua ratus meter, turun ke
arah viaduct. Sebelum jembatan sungai, ia akan berbelok
ke kiri, ke arah gelap. Tapi, sebelum itu, ia harus berhenti
dan menunggu di depan Braga Sky Nite Club. Ia berjanji
menjumpai Poppy. Tentu akan tampak seronok jika berdiri
di bawah siraman lampu. Maka ia duduk di warung
seberang, memesan minuman yang tidak menambah
jumlah halusinasi.
Hanya Poppy yang selalu membuatnya tertawa di pagi
buta, atau ketika siang terasa membosankan. Gadis itu
yang memaksanya membuat tujuh langkah tangga saja di
penginapannya. Padahal ia lebih menyukai angka delapan.
Tapi apa boleh buat: tengah malam, papan pijakan terakhir
dicopot dengan paksa oleh Poppy dan dihanyutkan ke
sungai Cikapundung. Ia terkejut, nyaris terperosok ketika
turun dari balkon kamarnya. Poppy yang memergoki hanya
tergelak dengan lesung pipinya. Ia pun menghukum Poppy,
dengan melukis wajah langsat itu mirip sketsa tentang
kerusuhan. Tetapi, sesungguhnya ia tak pernah benarbenar marah kepada anak SMP yang begitu kerasan
berjam-jam menemaninya melukis. Bahkan kadangkadang dengan setengah telanjang, karena penginapannya
memang panas. Tak tertolong oleh kipas angin yang
berputar dengan suara menyedihkan. Poppy merasa
nyaman dengan hanya berpakaian dalam.
Hanya kepada Poppy ia tak pernah bisa murka. Setiap
kali hendak berbuat jahat kepada Poppy, selalu teringat
akan Tifa. Cukup sering ia meninggalkan buah hatinya itu.

Dalam perjalanan ke Eropa, atau pameran keliling


Nusantara. Di saat memenuhi obsesi Sepanjang Braga ini,
tak sanggup menipu diri: matanya digenangi bayangbayang Tifa.
Digelengkannya kepala. Ia meneguk habis air jeruk dari
gelasnya, lalu memesan lagi. Poppy belum muncul juga.
Padahal sudah menjelang pukul dua. Apakah ia tertidur
dalam diskotik itu? Atau telah lama menunggu dan pulang
dengan kecewa? Terlambatkah aku? pikirnya.
Ia merasa sangat bersalah, andaikata gadis itu pulang
lebih awal karena tak menemukan dirinya di pintu Braga
Sky. Tapi, boleh jadi Poppy lupa waktu, lupa janji, dan terus
terlena dengan musik yang mengalun keras. Atau gadis itu
akhirnya mencoba minum bir hitam dan lupa jumlah yang
harus ditenggak bagi sang pemula. Kalau benar, mabuklah
dia! Mungkin kepalanya jatuh di atas meja, dan tak
seorang pun peduli karena ruangan gelap dan suara
demikian bising. Bisa jadi, ia terhuyung ke toilet,
mengeluarkan seluruh isi perut, dan bersandar di dinding
keramik dingin dengan pandangan nanar. Atau seorang
pemuda memapahnya ke ruang karaoke, mencoba
menyadarkan: mula-mula menepuk pipi, memberikan
aroma minyak-angin, lalu lalu melintas pikiran tak
senonoh di kepalanya.
Poppy! desisnya dengan terperanjat. Membayangkan
gadis itu tergolek di sebuah sofa, dalam sinar lampu yang
redam. Lalu seorang laki-laki melakukan tindakan yang
cukup beralasan, misalnya membuka bagian pusar untuk
mengolesi balsam. Merentangkan kedua tangan agar

nafasnya mudah mengalir. Mengendurkan risluiting jeansnya, supaya perut tidak terhimpit. Memikirkan sebuah cara
pernafasan buatan, untuk membuat Poppy tersengal,
terbatuk dan siuman.
Itu tak boleh terjadi! Ia bangun dari bangku.
Meninggalkan selembar uang di meja yang lengket oleh
tetesan pelbagai minuman. Lari menyeberangi jalan,
diselamatkan oleh sepi. Nyaris ia menabrak Satpam dan
seorang penjaga yang mengenakan blazer. Ia masuk ke
lobby dan mendapatkan gema suara penyanyi di sana-sini.
Mau ke mana, Mas? Cover-charge-nya dulu
Seorang perempuan dengan busana minimalis menyapa.
Aku? Mencari Poppy.
Poppy? Pegawai di sini atau pengunjung?
Hari Rabu ini aku janji bertemu dia di sini! jawabnya
berang.
Kalau begitu, besok malam datang lagi ya. Sekarang
hari Selasa.
***
BETAPA menggembirakan bila dengan sempoyongan
ia bisa pulang ke penginapan. Memandang sekitar dengan
nuansa warna kabut. Cahaya lampu yang letih menyiram
wajah toko, berubah menjadi jutaan pixel. Ia akan melukis
semua itu dengan separuh ilusi. Ia akan menulis ratusan
sajak dengan sebagian hilang-ingatan. Ia berjalan pulang
bukan dengan matanya, melainkan dituntun langkah kaki
yang terbiasa mencium jejak sendiri di malam-malam
sebelumnya. Tujuh langkah tangga ke balkon penginapan.
Pintu kayu dengan cat terkelupas. Jendela yang meniru

tingkap Amsterdam Caf. Dan kunci yang harus diputar


berulang-ulang.
Di ruang tidur, sekaligus tempat ia melukis, ditatapnya
kanvas yang haus. Seperti wanita yang merentangkan
kedua kakinya. Menunggu luapan nafsu sang pejantan.
Dengan ribuan pelangi dalam lensa matanya, ia
mengayun-ayunkan kuas seperti pemerkosa yang jalang.
Nafasnya memburu, raut wajahnya tegang. Ia menciptakan
komposisi warna dan garis yang tak mungkin terulang.
Sampai akhirnya terguling, lelap dengan bibir
membisikkan nama: Tifa
Ia terbangun menjelang ngungun fajar, oleh suara mirip
hujan yang memukul kaca jendela. Ia terbangun oleh suara
gemuruh di luar kamar. Ia, sesungguhnya, terbangun oleh
sengat dingin yang menyentuh kulitnya. Dalam cahaya
muram, ia melihat sesosok tubuh tergolek di sisinya.
Poppy! Ia terpesona oleh pemandangan yang
membuat perasaannya hancur. Kulit gadis itu sedingin es
krim: cantik namun membeku. Pakaiannya basah kuyup,
lengket dan menggambarkan seluruh bentuk di baliknya. Ia
pun gemetar dan bimbang, tapi kemudian memeluknya.
Poppy
Selanjutnya ia tak ingat apa pun, sampai azan subuh
membuatnya terjaga. Ia melompat dari lantai tempatnya
terlelap. Di sebelahnya, seorang gadis tersenyum begitu
manisnya. Sebelum jari-jari lentiknya menarik selimut dan
menutupi seluruh tubuhnya.
Poppy, apa kamu lakukan di sini?
Gadis itu menurunkan selimut dari wajahnya, seperti

menggoda. Menjadi model lukisanmu, jawabnya. Aku


sangat suka caramu melukis tadi malam. Pelukis sejati!
Semalam aku melukis? Ia mencoba menyalakan
lampu yang membuat mata Poppy menyipit. Di atas
kanvas yang tegak menghadap jendela, ia melihat lukisan
gadis dalam posisi yang amat mengharukan. Meringkuk
letih dengan seluruh tubuh basah, namun jelas denyut nadi
di lehernya. Semalam aku melukis?
Kau menjemputku di pintu Braga Sky. Kita melangkah
berpelukan, dalam aroma malam yang memabukkan.
Memasuki gelap, turun ke sisi jembatan. Mendaki tujuh
anak-tangga, masuk ke kamar. Memintaku mandi tanpa
melepas baju. Aku menggigil, berbaring bagai sekarat.
Tapi aku suka. Aku suka melihatmu melukis seperti
semalam.
Semalam aku melukis? Ia mencoba menelusuri
ingatan, mengurai seluruh kejadian. Sejak bercita-cita ingin
mabuk dan menyeret langkah tengah malam menyusuri
sepanjang Braga. Ia membayangkan lampu yang mencair
seperti bubur emas, garis tembok pertokoan yang
memudar, dan trotoar menyerupai punggung ombak yang
lunak.
Angin malam membisikkan sepotong sajak untuk Anne,
untuk Inne, untuk Tifa, yang dibaca perlahan, seperti sunyi
keloneng becak dari kejauhan. Tapi ia tak pernah bisa
mengingat keinginan yang sesungguhnya. Mengapa ia
berada di sini? ***
(Untuk Acep Zamzam Noor, pelukis dan penyair).
Bandung-Jakarta-Lampung, 8 Oktober 2002

Rasa Takut
Cerpen: Kurnia Effendi
Sumber: Koran Tempo, Edisi 12/15/2002
RASA takut membuat wajahnya lebih cantik dari biasa.
Itu sebabnya aku selalu mencari akal untuk memberi rasa
takut, agar tampak oleh mataku: parasnya yang jelita.
Pandangan mata cemas, alis yang mengkerut, bibir
gemetar, dan suaranya yang menghiba; selalu
meningkatkan gairahku. Biasanya, tak lama sesudah hawa
dingin merambati permukaan kulitnya, ia akan berlari ke
dalam pelukanku. Kedua tanganku sangat terbuka bagi
tubuh takutnya. Kepalanya berusaha sembunyi ke leherku,
dengan nafas menghembus santer, membuat darahku
melaju lebih cepat dari jantung ke pangkal nadi. Adrenalin
pun menyembur ke segala arah.
Kenapa mesti takut? aku menghiburnya. Kubelai
rambutnya yang halus. Seraya kuhirup parfum lembut dari
punggung telinganya.
Aku akan sulit tidur malam ini ujarnya gemetar.
Seperti tak hendak membuka mata, kecuali ke dalam
warna teduh sebuah pelukan yang aman.
Aku menghiburnya. Bukankah besok ia harus kuliah?
Sebaiknya segera tidur. Aku berjanji menunggui sampai ia
terlelap. Tapi ia seperti menyangsikan janjiku. Aku
mengangguk ketika kepalanya tegak dan memandangku.
Percayalah!
Kuyakinkan bahwa aku tak akan beranjak sampai dia
berbaring di ranjangnya. Matanya tak lepas memandangku.

Kukira ia khawatir mendadak kutinggalkan, bahkan ketika


ia berkedip. Tapi aku tetap berdiri di tempat,.mengawasi
tubuhnya yang mulai meringkuk. Tangannya menarik
selimut. Dari kaki sampai dadanya tertutup warna ungu.
Aku terus menikmati wajahnya, dan menunggu ia terpejam.
Kulihat tangannya agak tegang meremas selimut, seperti
meremas rasa takutnya. Dadanya bergerak menghela
nafas dengan ritme yang lekas, namun lambat-laun
mereda. Sampai akhirnya ia terlena.
Sungguh aku tidak sepenuhnya mengerti, kenapa aku
begitu gemar dengan perilakunya itu? Ketergantungannya
kepadaku, akibat rasa takut, telah menjadi candu buatku.
Hampir setiap hari kucari gagasan-gagasan baru untuk
melahirkan rasa takutnya. Karena ia akan membutuhkan
aku. Membutuhkan senyumku yang menenangkan hati.
Membutuhkan rengkuhan kedua tanganku untuk mengusir
rasa cemas. Membutuhkan ucapanku yang barangkali
menggugurkan keinginannya untuk histeris.
Ketika di kulkasnya terdapat dua jenazah tikus yang
meringkuk dalam posisi saling berpelukan, ia tak ingin
mengalami untuk kedua kalinya. Menurut pengakuannya,
sepasang kakinya tak lagi bisa digunakan untuk berdiri. Ia
nyaris terjerembab, jika tangannya tak segera meraih kursi
yang terdekat. Dorongan untuk muntah lebih kuat dibanding
keinginan minum air dingin. Rasa haus yang semula
ditahannya tidak memerlukan air lagi.
Beberapa menit ia terbaring. Tentu dengan
kekhawatiran seandainya Tuhan mengijinkan salah seekor
tikus itu hidup lagi dan turun menari di atas tubuhnya yang

tak berdaya. Ingatan itu membuatnya sekonyong-konyong


bangkit, serabutan bergerak, meraih telepon dengan
gugup, dan memanggilku.
Dalam telepon, suaranya terdengar panik. Aku
tersenyum karena sudah menduga sebelumnya. Mas!
Segeralah datang! Aku takut! teriaknya di telepon.
Pengakuan itu yang kutunggu.
Ada apa lagi, sayang?
Ada tikus dalam lemari es!
Mungkin saja ia salah lihat. Aku mencoba mengujinya.
Kusibak gorden jendela. Dari bidang kaca yang
tersingkap, aku bisa melihat siluet tubuhnya di rumah
seberang. Siluet yang demikian jujur menyampaikan
bayangan seorang gadis seksi. Sejumlah lekuk dalam
ukuran yang akurat, beberapa bagian bahkan sangat
menunjukkan materi
yang membentuk garis dan tonjolan.
Ia mencoba meyakinkan aku: Aku bahkan masih bisa
membayangkan bulu-bulu lembutnya yang halus seperti
tersisir rapi sebelum mereka meninggal. Aku takut!
Maka segera kuletakkan telepon. Aku tak hendak
membiarkan wajah takutnya tampak sia-sia. Justru paras
cantiknya, menurut mataku, tampil sempurna saat
ketakutan sedang memenuhi perasaannya. Hanya dalam
beberapa lompatan aku telah tiba di rumahnya. Sepuaspuasnya kulahap wajah ayu itu dengan pandangan yang
memberikan harapan. Ia menghambur ke arahku.
Tubuhnya dingin, gemetar, di bahunya yang terbuka aku
melihat bulu-bulu yang meremang. Bersamaan dengan

desir halus namun kencang yang merambat hangat dari


dadaku ke seluruh tubuh.
Tenanglah. Aku pasti akan membuang tikus itu.
Kusentuhkan bibirku ke punggung telinganya. Ada harum
parfum yang berkelebat. White Musk! Harum yang
kupastikan tersimpan lama dalam rongga paru-paruku
sampai waktu tidur nanti. Kapan kamu membuka lemari
es terakhir kali?
Tadi siang sebelum berangkat kuliah. Ujarnya
setengah terisak.
Apakah Simbok tidak memeriksanya setelah itu?
Ia mengangkat wajah. Matanya tampak basah. Saat itu
aku seperti jatuh cinta. Aku merasa menjadi si kuat yang
melindungi peri bersayap rapuh. Aku berperan sebagai the
beast bagi the beauty. Ia menggelengkan kepala.
Aku tidak tahu. Tetapi, kenapa tikus itu tampak
demikian bahagia? Oh, tolong, buang ke tempat yang
jauh!
Sekarang duduklah yang manis. Tenangkan hatimu.
Aku akan melakukan sesuatu yang pantas bagi sepasang
tikus itu. Kupegang kedua bahunya sampai ia bersandar
di sofa. Kulihat matanya sejenak terbelalak, sebelum
mengangguk takzim.
Setelah semua beres, kami bercakap-cakap sebentar.
Seperti biasa, kutunggu sampai ia tidur, baru aku kembali
ke rumah. Paviliun kontrakan kami memang bersebelahan,
dipisahkan taman yang banyak berisi pohon palem dan
bambu kuning, juga sente dan suplir. Ia tinggal sendiri,
karena pembantu yang membersihkan kamar dan mencuci

pakaian tidak pernah menginap dengan alasan memiliki


keluarga.
Suatu hari, ia ceritakan bahwa kakaknya seorang
dokter bedah. Rumahnya di selatan, dua jam dari sini. Dia
sampaikan itu setelah kutolong dari teror lukisan
mengerikan yang menggantikan beberapa foto besar di
dinding kamarnya. Beberapa karya reproduksi Entang
Wiharso, telah menjadi poster-poster yang mencekam.
Apakah kamu akan pindah? tanyaku.
Ia menggeleng. Ia memang ditawari untuk tinggal di
rumah kakaknya. Tapi tentu akan selalu telat tiba di
kampus. Sulit mengambil resiko seperti itu, sementara
saat ini ia memasuki semester yang amat padat dengan
tugas.
Mudah-mudahan aku selalu siap menolongmu. Tinggal
angkat telepon atau teriak dari jendela ini. Kataku
menenteramkan. Karena memang itulah harapanku. Aku
tidak ingin kehilangan mainan.
Kutinggalkan dia yang terlelap di ranjangnya. Di bawah
lampu tidur, parasnya coklat matang, seperti warna
croisant yang keluar dari oven. Warna yang menggugah
gairah. Ingin melahapnya. Tapi tentu tidak sopan
menggarapnya ketika sedang tidur. Tidak ada nilai
romantisme sama sekali.
Pagi-pagi sekali ia menelepon. Kulihat dari jendela, ia
sedang menyibak gorden. Di antara gerumbul taman,
tampak ia begitu segar. Rambutnya basah. Kuduga,
sebentar lagi ia akan turun ke jalan, bergerak di bawah
matahari pagi, melompat ke dalam bis di ujung jalan,

menuju kampusnya. Memang tak pernah ia mau


menungguku agar bisa kuantar dengan VW kodok tahun
70. Karena berarti ia akan terlambat satu mata kuliah. Pagi
itu, ia bilang akan menginap di rumah kakaknya.
Sampai kapan? tanyaku. Jawabannya bisa menjadi
modal untukku: merencanakan segala sesuatu di
paviliunnya, atau mengukur kesepianku jika tak bertemu
wajah takutnya dalam beberapa hari.
Belum tahu. Besok aku kuliah siang, jadi aman. Tapi,
tolong jaga rumahku.
Itu memang yang kuharapkan. Simbok punya kunci
duplikat, dia memang yang membuatkan. Tapi kunci yang
ada padaku, tentu hanya aku yang tahu. Dan aku terlampau
hafal jam datang dan jam pergi Simbok dari paviliunnya.
***
Punya tang atau kunci Inggris? Dia bertanya melalui
telepon.
Oh, kau sudah pulang? Kusibak gorden. Tubuhnya
terbungkus daster tipis. Untuk apa?
Rupanya keran washtafel macet. Dia mau cuci muka
dengan semacam pembersih cair, untuk kemudian diakhiri
olesan pelembab. Itu biasa dilakukan sebelum tidur.
Sekarang pukul 22.15, tentu amat kesal dengan
problemnya itu. Jadi kubawakan dengan senang hati
alat-alat yang memungkinkan untuk memperbaiki keran
macet.
Kami saling berpandangan melalui cermin washtafel.
Wajah kami begitu dekat, dan tentu sisa aroma white musk
singgah ke hidungku. Ia menceritakan perjalanan macet

dari kampusnya. Juga menceritakan betapa nyaman


menginap di rumah kakaknya.
Kuperiksa sambunga pipa di bawah washtafel, juga
dari mana asal pipa itu berbelok. Kukatakan, di tempattempat itulah biasanya terjadi gangguan. Aku tampak
begitu cekatan, dan kemudian kubuka sumbat pada salah
satu knee di sudut rumah.
Sekarang cobalah, kataku dari kejauhan.
Hanya seperempat menit, yang kudengar adalah
jeritannya. Pekikan yang membuat aku amat kaget, karena
di luar perkiraan. Tubuhnya mengejang, lalu ada tandatanda hendak jatuh ke belakang. Dengan sigap aku segera
menangkapnya, sesudah melempar alat pemutar baut.
Kupeluk tubuhnya yang menggigil. Wajahnya pasi,
sekaligus amat cantik. Aku melihat cahaya kecantikan dari
rasa takutnya. Sementara dari keran masih mengalir
darah. Warna merah pekat dan bau anyir yang membuat
ketakutannya langsung mencapai puncak. Memandangnya,
aku seperti melaju ke lereng orgasme. Oh, inilah wajah
rupawan yang aku dambakan. Aku ingin mencium bibirnya.
Aku ingin mencium semua yang terletak di wajahnya. Aku
gemetar oleh demam gairah.
Air keran masih mengalir. Warna merah telah kembali
menjadi bening. Lima liter darah segar sapi yang
kusiapkan dalam suhu tertentu telah lenyap ke terowongan
saluran. Tapi gadis itu masih pingsan. Dan selalu saja tak
sopan setiap kali ingin menggarapnya pada saat ia tak
sadar. Buat apa? Tak akan ada perlawanan sedikit pun.
Seperti makan nasi dengan air tawar, tanpa rasa

Bangunlah, apa yang kautakutkan? Aku berbisik.


Jemarinya bergerak, lalu kukunya mencengkeram
lenganku. Lama seperti itu sampai akhirnya matanya
terbuka. Ia membalik tubuh ke arahku. Memelukku erat
sampai aku tersengal. Kepalanya tersusuk ke leher,
membuat loncatan bunga api dalam jantungku. Dan mulai
kudengar isak tangisnya.
Darahdarah Suaranya terbata-bata.
Untung aku di sini. Kataku menghibur. Apakau kau
yakin dengan penglihatanmu?
Ia mengangguk begitu cepat. Lalu dengan sisa rasa
cemas, ia melirik ke arah washtafel. Dapat kurasakan
keheranan mengaliri rona mukamu. Tak ada darah di sana.
Air itu meluncur dari mulut keran dengan suara ricik yang
syahdu. Bening. Tanpa bau, kecuali samar-samar kaporit.
Aku tidak mimpi! Aku tidak bohong!
Sudahlah, kataku mengelus rambutnya. Kau hanya
lelah. Aku akan tunggui kau cuci muka, gosok gigi, dan
tidur. Aku akan pulang setelah kau pulas.
Akhirnya ia setuju setelah berulangkali aku
membujuknya. Ia tidak banyak bicara, bahkan ketika
mungkin dia temukan percik darah di lantai atau di
punggung tanganku. Bisa jadi bekas nyamuk yang sial.
Seperti biasa aku melahap tubuhnya yang meringkuk.
Seperti anak kucing, di bawah selimut ungu. Dan setelah
mataku kenyang, setelah rasa takut itu tiada, aku segera
meninggalkan rumahnya. Pintu yang kutinggalkan terkunci
sendiri, karena aku menekan tombol di tengah pemutar
bagian dalam.

Rasanya, itu malam terakhir aku melihatnya ketakutan.


Esoknya tak ada telepon. Aku tak yakin apakah ia kuliah
atau tidak. Aku cukup hafal jadwalnya, seharusnya ia
memiliki jam pagi. Suasana paviliunnya sepi. Tapi, aku tak
berani meneleponnya. Karena biasanya dia yang telepon,
membangunkan tidurku. Boleh jadi, ia pergi tanpa pamit,
tak hendak menggangguku. Kini aku gelisah.
Siang hari, aku terusik suara mobil parkir di depan
paviliun sebelah. Tamu? Tak biasanya tetanggaku yang
cantik menerima tamu, kecuali pulang bersama temannya
untuk mengerjakan tugas. Aku mengintip, dan melihat
seorang laki-laki yang rapi turun dari mobil. Begitu yakin
orang itu melangkah ke beranda, dan mengetuk pintu.
Seseorang membukakan, mungkin Simbok, yang langsung
menutup pintu itu kembali setelah tamunya masuk. Aku
penasaran untuk bisa melihat apa yang terjadi di dalam.
Tapi kehadiran gadis yang siluet tubuhnya suka
terpampang di jendela, tak kunjung memenuhi harapan.
Sepertinya sepi-sepi saja. Dan, tak mungkin Simbok punya
selingkuhan seorang laki-laki perlente. Ah, apakah itu
kakaknya yang menjadi dokter bedah? Kalau begitu,
mungkin saja dia sakit. Shock setelah malam itu melihat
darah mengalir dari keran washtafel!
Kalau saja ia tahu: aku hanya ingin menikmati wajah
takutnya. Wajah yang akan cantik luar biasa ketika
matanya cemas, alisnya mengkerut, dan memucat. Aku
termenung begitu lama. Aku merasa bersalah pada
akhirnya. Tapi selalu ragu-ragu mengangkat telepon.
Pagi berikutnya, aku dikagetkan dering yang begitu

dekat di telinga. Bukan jam weker karena aku tak pernah


memilikinya. Telepon! Dalam sisa kantuk, kuangkat, sambil
tetap berbaring. Seseorang yang amat kukenal suaranya
mengucapkan selamat pagi begitu riang. Astaga! Aku
terkecoh, ternyata dia tak kurang suatu apa.
Mau kuliah? tanyaku menebak. Kulirik arloji. Hampir
pukul sembilan.
Tentu. Tapi sebelumnya aku ingin menyampaikan
sesuatu kepadamu. Lalu kudengar suara tawa yang begitu
lepas. Seperti tak pernah mengidap rasa takut. Mulai hari
ini aku bebas dari rasa takut.
Seharusnya aku gembira mendengarnya. Tapi yang
terasa adalah sebaliknya. Maksudmu?
Kakakku telah melakukan sesuatu. Dengan
keahliannya, ia mengoperasiku dan memotong kelenjar
rasa takut dari tubuhku.
Aku bagai mendengar suara dari kabut mimpi. Tapi
aku masih merasakan kakiku yang kesemutan.
Bagaimana mungkin
Seharusnya kau percaya. Aku sudah mengirimkan
rasa takutku dalam bejana kepadamu. Apakah kau belum
melihatnya? Kuletakkan di meja dekat ranjangmu, pagipagi sekali. Waktu kau masih tidur.
Serta-merta aku menengok ke meja samping. Memang
ada bejana terbuat dari gelas yang tadi luput dari
pandangan. Di dalamnya berisi air dan sebuah benda yang
mengapung. Bulu kudukku meremang melihat potongan
kelenjar dengan beberapa akar dikelilingi butiran halus
berwarna merah segar. Aku mendekat dan menajamkan

mataku.
Benda itu mirip sayatan segumpal amandel. Atau
mungkin pangkal pangkreas. Atau mungkin potongan usus
buntu. Atau mungkin klitoris yang dikerat. Atau mungkin
daging tumbuh semacam tumor dan kista. Atau bagian lain
dari dalam tubuhnya yang mengandung sulur-sulur lembut.
Mendadak perutku mual. Telepon yang mendekap
telingaku masih memperdengarkan suaramu. Entah
menjelaskan apa. Aku mulai gemetar. Tubuhku berkeringat
tapi terasa dingin. Aku mau muntah. Kini ketakutan
menjalari pikiranku, melumuri perasaanku ***
(souvenir untuk Hudan Hidayat)
Jakarta, 4 Mei 2002
Penjaga Malam dan Tiang Listrik
Cerpen: Seno Gumira Ajidarma
Sumber: Koran Tempo, Edisi 02/16/2003
IA selalu menjaga malam, agar malam tetap menjadi
malam seperti yang paling dimungkinkan oleh malam. Ia
menjaga malam, agar bulan tetap menjadi rembulan
seperti yang dipandang manusia dari bumi setiap malam.
Ia menjaga malam, agar tikus tetap menjadi tikus yang
keluar dari got, merayap di tengah pasar, mencari
makanan dalam kegelapan. Itulah tugas sang penjaga
malam, betul-betul menjaga malam yang kelam agar tetap
menghitam, sehingga bayang-bayang bisa berkeliaran
tanpa pernah kelihatan, mengendap-endap tanpa suara
dalam penyamaran.Malam memang selalau samar dan ia
harus tetap menjaganya agar tetap samar-samar. Segala

seuatu serba samar-samar di malam hari, seperti kita


melihat pencuri, tapi tidak pernah tahu bahwa bagaimana
ia mencuri. Adalah menjadi tugasnya agar sepanjang
malam yang kelam para pencuri tetap bisa bergerak
bebas dalam kegelapan, berkelebat menghindari cahaya
bulan, menyelinap ke balik pohon-pohon hitam, merayap di
tembok seperti cecak, membongkar jendela, dan
memasuki ruangan. Malam tanpa pencurian bukanlah
malam. Malam tanpa pengkhianatan bukanlah malam.
Tugasnya adalah menjaga agar malam tetap menjadi
kegelapan yang menguji kesetiaan.Beberapa Saat
menjelang tengah malam, dalam kegelapan dan embun
malam, ia akan keluar dari gardu, melangkah dari rumah
ke rumah untuk mengetahui apakah semuanya berjalan
seperti malam. Dari sebuah jendela ia akan mendengar
blues, dari jendela lain ia akan mendengar tangisan, dan
dari jendela lain lagi akan didengarnya lenguhan tertahantahan dalam permainan cinta yang menggetarkan. Ia akan
berjalan perlahan-lahan sepanjang kompleks perumahan
yang sepi, memperhatikan bagaimana cahaya bulan
menyepuh aspal jalanan, mendekati tiang listrik.Akan
diusapnya tiang listrik itu, dan mipukulnya tiang listrik itu
dengan batu, sampai dua belas kali.Tentu saja ini
menimbulkan sejumlah pertanyaan: apakah yang
membuatnya begitu perlu untuk memukul tiang listrik itu
sampai dua belas kali? Apakah memang para penghuni
kompleks itu meras begitu perlunya untuk mengetahui
waktu pada tengah malam? Jika mereka ingin mengetahui
waktu, apakah mereka sendiri tidak punya arloji di dekat

tempat tidur, wekerm atau jam dinding dengan burung di


dalamnya yang akan keluar dan berkukuk dua belas kali
saat tengah malam? Apakah memang menjadi tugas
seoarng penjaga malam untuk memukul tiang listrik dari
jam ke jam? Tidakkah semestinya ia menjaga ketenangan
agar tidak seorang penghuni pun terbangun selewat tengah
malam hanya karena mendengar tiang listrik dipukul
orang? Itulah pertanyaannya: mengapa seorang penjaga
malam harus memukul tiang listrik setiap jam?Penjaga
malam itu selalu memukul tiang listrik dengan batu dari jam
ke jam. Setiap kali ia memukul rtiang listrik dengan batu,
selalu ada saja penghuni kompleks perumahan itu
terbangun, meski tidak bertanya-tanya lagi apa memang
ada orang yang begitu perlunya mendengar tiang listrik
dipukul seorang penjaga malam untuk mengetahui
jam.Sejam telah berlalu. Tiba saatnya penjaga malam itu
harus memukul tiang listrik sebanyak satu kali saja. Ia
keluar dari gardunya, melangkah ke tiang listrik terdekat.
Namun seorang lelaki yang tidak dikenalnya berdiri di
dekat tiang listrik itu."Maaf, saya mau memukul tiang listrik
itu," katanya.Lelaki itu tidak beranjak."Aku ada di sini
memang untuk menghalangimu, wahai penjaga
malam."Lelaki itu tersenyum-senyum mendekapkan
tangan. Ia bersandar di tiang listrik sambil memperhatikan
sikp penjaga malam.Adapun penjaga malam itu hanya
memikirkan waktu. Ia harus memukul tiang listrik satu kali
tepat pada pukul 01:00. Jika terlambat, ia tidak tahu
caranya memukul tiang listrik untuk mengabarkan waktu
telah tiba pada pukul 01:01. Ia juga tidak pernah dan tidak

akan pernah bisa melompatinya sampai pukul 02:00 saja.


Tidak mungkin. Tidak akan pernah mungkin. Kecuali dunia
kiamat - tapi sekarang kan belum?Waktunya tidak banyak.
Ia berlari ke tiang listrik yang lain, tapi tiba-tiba saja lelaki
itu sudah berada di tiang listrik juga, memang dengan
sengaja menghalanginya.Penjaga malam itu merasa
sangat gelisah. Ia berlari lagi ke tiang listrik lain. Ternyata
lelaki itu pun sudah ada di sana. Wajahnya tersembunyi di
balik topi lebar, mendekapkan tangan tenang-tenang,
tersenyum-senyum melihat kegelisahan penjaga malam itu
masih bisa melihat senyum dikulum pada mulutnya yang
mengejek.Waktunya tinggal sedikit."Minggirlah," katanya,
"aku harus memukul tiang listrik itu satu kali."Lelaki itu tidak
minggir, dari mulutnya masih terlihat senyuman, yang bukan
hanya mengejek, tapi juga menghina.Penjaga malam itu
mengambil pisau belati yang selalu tergantung di
pinggangnya. Senjata tajam itu sudah berkarat, maka tidak
ada yang berkilat di bawah cahaya bulan."Minggirlah, aku
tidak punya waktu lagi," katanya.Lelaki itu tidak
beranjak."Aku di sini untuk menghalangimu," katanya.
"Lakukanlah apa yang harus kamu lakukan."Penjaga
malam itu menggerakkan pisaunya.Kemudian, seorang
perempuan yang tidak bisa tidur karena patah hati,
mendengar tiang listrik dipukul batu sebanyak satu kali.
Suaranya bergema di tengah malam yang sunyi. Tepat
pada waktunya.***Pondok Aren, Jumat 15 November
2002

Anda mungkin juga menyukai