Anda di halaman 1dari 584

Novel

Wijaya Kusuma
d a r i K a m a r N o m o r T i ga

Edisi Revisi
Novel
Wijaya Kusuma
d a r i K a m a r N o m o r T i ga

Maria Matildis Banda

PENERBIT PT KANISIUS
Novel Wijaya Kusuma dari Kamar Nomor Tiga
1017003101
© 2017 - PT Kanisius

Penerbit PT Kanisius (Anggota IKAPI)


Jl. Cempaka 9, Deresan, Caturtunggal, Depok, Sleman,
Daerah Istimewa Yogyakarta 55281, INDONESIA
Kotak Pos 1125/Yk, Yogyakarta 55011, INDONESIA
Telepon (0274) 588783, 565996; Fax (0274) 563349
E-mail : office@kanisiusmedia.com
Website : www.kanisiusmedia.com

Cetakan ke- 3 2 1
Tahun 19 18 17

Editor : FX. Setyawibawa


Desain isi : Oktavianus
Desain sampul : Joko Sutrisno

ISBN 978-979-21-5419-1

Hak cipta dilindungi undang-undang


Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan
dengan cara apapun, termasuk fotokopi, tanpa izin tertulis dari
Penerbit.

Dicetak oleh PT Kanisius Yogyakarta


Untuk
Ibu Yang Melahirkanku
Sekapur Sirih

Syukur kepada Tuhan Yang Mahaesa atas karunia-


Nya novel Wijaya Kusuma dari Kamar Tiga memasuki
edisi revisi dan hadir di hadapan pembaca. Terima kasih
kepada Gubernur Nusa Tenggara Timur dan Wakil
Gubernur Nusa Tenggara Timur beserta seluruh jajaran
Pemerintahan Provinsi Nusa Tenggara Timur. Terima
kasih telah memberi tempat, ruang, dan waktu esensil
bagi literasi Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) bekerja sama
dengan literasi bahasa, sastra, dan budaya melalui novel
ini.
Dr. Kornelis Kodi Mete sebagai Kepala Dinas
Kesehatan Provinsi Nusa Tenggara Timur. Terima
kasih telah melakukan Peluncuran Novel dengan lancar
dan mengesankan, pada 09 November 2015 di Kupang.
Prof. Dr. Ni Luh Sutjiati Beratha, M.A. sebagai Dekan
Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Udayana untuk
dukungan penulisan, penerbitan, dan peluncuran novel
ini.

vii
Dr. Stefanus Bria Seran, MPH, dr. Xaverius Seikka,
Dr. Drg. Mindo Sinaga, M.Kes dan Drg. Maria Silalahi,
MPHM yang antusias tentang novel. Ibu Louise
Simpson, Team Leader AIP-MNH NTT dan dr. Ignatius
Henyo Kerong, Manajer Transisi AIP-MNH NTT di
Kupang, serta Pimpinan AIP-MNH di Jakarta yang
mendukung proses penulisan novel dan penerbitan novel
untuk cetakan ke-2.
Ibu Bidan Elisabeth da Gomez dan Dokter Heni
Ratnawati, yang secara terpisah menjelaskan upaya
mem­­bangun kesadaran Keluarga Berencana. Terima ka­
sih! Kesediaan berbagi dengan ikhlas telah memberi
warna pada WKDKNT.
Dokter Yosep Usen Aman untuk penjelasan latar be­
lakang lahirnya konsep 2H2 (dua hari sebelum dan dua
hari sesudah hari H melahirkan) yang intinya pada harkat
dan martabat ibu dan bayi. Terima kasih juga untuk
Bidan Veronika Dhuke, Bidan Yustina Go’o, dan Bidan
Linda. Dokter Mersi Betu, Pak Bruno, Ibu Marminah
Satu, Margaretha Telu, Nursinah Wahyuningsih Daeng,
Rm. Trens Due, Rm. Felix Djawa, Rm. Steph Wolo Itu,
dan Bapak SP. Djadja, tentang stigma budaya yang ber­
pengaruh pada pengambilan keputusan penting bagi ibu
dan bayi.
Prof. Dr. I Wayan Windya, S.H. M.Hum. Terima
kasih untuk penjelasan tentang filosofi wijaya kusuma.
Keluhuran wijaya kusuma menjadi benang merah bagi
pikiran dan hati tokoh-tokoh yang tersimpul dalam

viii
novel. Terima kasih juga untuk Adik John Ire (AIPMNH
NTT). Pemahamannya tentang makna wijaya kusuma
dan situasi KIA, terlukis dalam desain cover novel ini.
Ibu Bernadetha Bele meninggal 30 Januari 2015 di
Rhoworeke Ende dalam usia 94 tahun. Ibu Fransiska
Baghong meninggal di Waerana 9 April 2015 dalam
usia 74 tahun. Ibu Martha Pello/Oma Inong meninggal
27 Mei 2015 di Bajawa dalam usia 80 tahun. Ketiga ibu
almarhum melahirkan masing-masing sebelas, sembilan,
dan dua belas orang putra-putri. Rasa terima kasih
tiada akhir untuk ketiga ibu disampaikan melalui tokoh
utama novel ini saat berdiri di teras rumah dan berhasil
memetik wijaya kusuma yang mekar pada tengah malam.
Hyeronimus Modo (Pos Kupang) tentang kematian
ibu di Sulamu; Bidan Veronika Dhuke di Bajawa tentang
kematian ibu di salah satu Puskesmas di Bajawa; Ibu
Herlina W. Banda di Mbay Nagekeo, tentang ibu wafat
di salah satu RSU meninggalkan sepasang anak kembar;
berita tentang seorang ibu yang meninggal di Flotim.
“Ini kematian terhormat” karena ibu hamil melakukan
pemeriksaan lengkap dan sehat. Berita-berita yang
inspi­ratif dan reflektif bagi novel, “Jangan takut ibu,
kita harus bertahan! Karena ketakutan meningkatkan
penindasan,” berdasarkan penggalan puisi WS Rendra
yang berjudul ‘Jangan Takut ibu.”
Pasangan Hiron – Noniek, Servas – Atiek,
Frans – Erna, atas perjalanan tiga hari di Belo
yang mengesankan. Terima kasih untuk suami Drg.

ix
Dominikus Minggu Mere, M.Kes dan anak CWP Advent
Mere, Arnolda Yanseno Gala, dan Yosef Freinademez
Sinu. Kalian berempat telah memberikan tempat, ruang,
dan waktu sangat berharga untuk menulis.
Mezra Pelondou, S.Pd. M.Pd, dan Dr. Drs. Marsel
Robot, MS yang memberi masukan penting bagi nilai
dan estetika sastra. Terima kasih juga untuk tenaga me­
dis dan paramedis yang ikut ambil bagian dalam “Bedah
Novel 26 Juni 2015”. Hujan turun membasahi bumi ini.
Apakah kita tahu bahwa bumi ini tidak hanya dibasahi
oleh hujan. Ada tetes-tetes darah dan air mata ibu yang
melahirkan, ada placenta yang tertanam di sini, ada
tangis dan senyum. Apakah kita tahu bahwa ada ibu
hamil, ibu nifas, dan ibu menyusui yang suara meminta
tolongnya tidak terdengar. Apakah kita juga tahu ada
bidan yang gemetar dan tergetar hatinya saat menolong
persalinan? Perlukah kepekaan untuk mendengar ke­
luhan mereka secara luhur sebagaimana keluhuran
yang ditunjukkan wijaya kusuma bunga bakti husaha
yang mekar pada waktu malam? Wanginya yang harum
menghembuskan nama baik dan keindahan yang terukir
pada ketulusan atau ketidaktulusan Dokter Yordan,
Bidan Ros, dan tokoh-tokoh lainnya dalam novel ini.

Salam Literasi
Denpasar, 12 Juni 2017

Maria Matildis Banda

x
Daftar Isi

Sekapur Sirih.................................................................... vii


Daftar Isi .......................................................................... xi

BAGIAN PERTAMA
Wijaya Kusuma dari Kamar Nomor Tiga
1 Langkah Pertama.................................................. 3
2 Dari Balik Jendela................................................. 15
3 Langit Biru di Atas Polindes.............................. 34
4 Sesuatu yang Dapat Diubah .............................. 48
5 Para Sahabat Hati.................................................. 62
6 Antara Dua Laki-laki........................................... 82
7 Yang Hilang Kutemukan Kembali.................... 101

BAGIAN KEDUA
Wijaya Kusuma Berguguran
11 Air Matamu, Ibu.................................................... 117
9 Yang Sanggup Berkata Benar............................ 136
10 Di Ujung Penyesalan............................................ 159

xi
11 Getaran-getaran.................................................... 179
12 Antara Senyum dan Tangis................................ 200

BAGIAN KETIGA
Wijaya Kusuma Nama Bunga Itu
13 Ibu yang Selalu Sendiri........................................ 213
14 Bulan di Langit Hitam......................................... 234
15 Kesepakatan untuk Kita....................................... 256
16 Tidak Perlu Takut untuk Jujur.......................... 268
17 Ujian untuk Bertahan........................................... 288
18 Tentang Pilihan dan Kesetiaan.......................... 311

BAGIAN KEEMPAT
Terdengar Suara Wijaya Kusuma Malam Ini
19 Waktu untuk Setia................................................ 325
20 Cerita tentang Warna.......................................... 341
21 Bukan Surat Biasa................................................. 356
22 Yang Tak Pernah Layu........................................ 372
23 Belum Saatnya Pergi............................................ 386
24 Panggil Dia Aminah............................................. 402
25 Pertanyaan Untuk Hatiku................................... 417
26 Suara yang Kukenal.............................................. 429

xii
BAGIAN KELIMA
Kupetik Wijaya Kusuma Yang Sedang Mekar
27 Pulang...................................................................... 443
28 Air Susu Ibu............................................................ 459
29 Pertanyaan Ketiga ............................................... 473
30 Laki-laki Pilihan.................................................... 485
31 Ulang Sekali lagi, Kalimatmu............................ 498
32 Jangan Takut, Ibu................................................. 513
33 Mawar dari Polindes Bakung............................. 532
34 Pada Matamu Ada Doaku................................... 554

Biografi Penulis................................................................ 567

xiii
BAGIAN PERTAMA

WIJAYA KUSUMA
DARI KAMAR
NOMOR TIGA
1
Langkah Pertama

Pekerjaan pertama yang dilakukannya ketika tiba


di Puskesmas Flamboyan adalah meletakkan dua pot
bunga wijaya kusuma di kaki jendela kamar. Daun dan
bunga masih tampak segar meskipun sudah dua hari tak
disentuh air. Melewati perjalanan darat selama enam
jam ditambah dua jam berhenti di wilayah berbatu-batu
dan sedang melakukan pelebaran jalan, tidak masalah
untuk wijaya kusuma. Karenanya, untuk kedua pot buga
itu, Ros menghadiahkan masing-masing satu ember air
setelah menggembur dan menambah tanah.
“Kepala Puskesmas atau Kapus sedang cuti ke
Atambua,” kata Pak Paulus sambil memperhatikan Ros
dan wijaya kusuma di hadapannya. “Tetapi, sudah ada
catatan hasil rapat sebelum Kapus pergi. Bidan yang baru
nanti ditempatkan di Polindes Bakung. Keberangkatan
Ibu Bidan ke Polindes tunggu sampai Kapus datang.”
“Ibu Kapus …,” tanya Ros.

3
“Bukan Ibu, tetapi Bapak. Bapak Dokter Yordan,”
jawab Pak Paulus.

***

Ros mengitari Puskesmas sambil membaca dan


mengirim SMS. Mess Puskesmas terdiri atas tiga kamar
tidur yang letaknya berjejer dengan masing-masing
pintu keluar, mirip kamar kos umumnya. Ada satu kamar
mandi dan satu dapur, serta ruang makan kecil di bagian
belakang mess yang digunakan bersama.
Antara mess dan rumah Pak Paulus terbentang
halaman belakang yang cukup luas. Di atasnya ada
bak penampung air, tiang jemuran, dan tanah kosong
ditumbuhi rumput yang tidak terawat. Ember besar
dua buah, beberapa ember kecil, gayung, drum berisi
air, dan tumpukan pakaian tergeletak di samping em­
ber pengambil air. Satu rumpun bugenvil merah putih
tumbuh di sisi bak. Sekitar tiga meter dari tiang jemuran
sampai ke pagar pembatas Puskesmas dan kebun pen­
duduk, tumbuh pohon singkong beberapa deret.
Di depan rumah Pak Paulus dan dua buah rumah
dinas karyawan Puskesmas, ada tanah lapang dengan
satu pohon mangga yang rindang, namun tanpa buah.
Di bawah pohon ada beberapa tempat duduk terbuat dari
batang pohon. Bagian itu pula tempat parkir beberapa
motor karyawan Puskesmas, pengantar pasien, pasien,
atau orang lain yang ada keperluan di Puskesmas.

4
“Lagi pengamatan lingkungan,” SMS Ros menjawab
pertanyaan Nining.
“Sudah ketemu Kapus?” Nining SMS lagi.
“Belum. Masih di Atambua,” balas Ros.
Jarak antara samping kiri Puskesmas dan rumah
Kapus sekitar empat meter. Mess karyawan terletak di
belakang rumah kapus diantarai dengan tanah kosong
sekitar lima kali sembilan meter. Mess dengan teras
memanjang sembilan meter sepanjang tiga kamar,
dengan lebar satu setengah meter. Jarak antara kamar
paling kiri yang ditempati Ros dan pagar pembatas
dengan rumah dan kebun penduduk sekitar sepuluh
meter. Tanah kosong tidak terawat dengan beberapa
pohon singkong, pepaya yang sudah patah, dan rumput
liar yang merambat ke segala arah.
“Vero! Aku akan mengawali hariku dengan ber­
kebun,” SMS Ros untuk Vero.
Dua rumah di samping rumah Pak Paulus ditempati
Ibu Lena perawat senior dan keluarganya, satu lagi yang
paling ujung ditempati Om No supir ambulance. Rumah
Kepala Puskesmas terletak pada bagian kiri, bersisian
dengan Puskesmas dalam satu kompleks dengan rumah-
rumah lainnya. Dari kamarnya, Ros hanya dapat melihat
bagian belakang rumah Kapus, teras dua kamar lain,
dinding dan jendela kiri Puskesmas, serta garasi mobil
dinas dan tanah kosong.

5
“Lahan yang menjanjikan kesibukan bagiku,” SMS
Ros untuk semua temannya. “Kuharap Kapusmu akan
bantu membuat indah dan betah,” Vero langsung mem­
balas.
“Puskesmas akan berubah wajah menjadi bersih dan
indah,” balasan dari Nining.
“Ada taman bunga dan ada air berlimpah seperti
dalam mimpiku,” balas Ros.

***

Jika kita berdiri di jalan raya di depan Puskesmas,


yang kita lihat adalah garasi, mess, khususnya kamar
satu yang ditempati Kosmas dan sebagian kamar dua
yang ditempati Lina, dan rumah Kapus di bagian kiri
Puskesmas. Tanah kosong dan pohon mangga, pintu
samping Puskesmas, dan deretan rumah karyawan pada
bagian kanan. Pintu samping ini adalah pintu utama
aktivitas Puskesmas sehari-hari.
Kompleks Puskesmas seluas delapan puluh kali lima
puluh meter itu ramai pada pagi hari, lengang pada siang
dan sore hari, serta sepi pada malam hari. Tanah pada
bagian belakang Puskesmas ditumbuhi mangga, jambu,
dan pepaya, serta beberapa pohon kelapa. Tampaknya
pohon ini tumbuh dengan sendirinya dan sudah ada sejak
Puskesmas dibangun.
Di depan mess tepatnya di depan kamar Kosmas ter­
dapat jalan setapak yang melewati samping Puskesmas

6
dan garasi mobil dinas. Jalan setapak ini ada dengan
sendirinya karena sering dilewati Kosmas dengan motor­
nya serta karyawan lain sebagai jalan masuk maupun
keluar menuju mess atau bagian belakang Puskesmas.
“Kalau Kapusmu ganteng, aku mau ke sana,” SMS
dari Nining.
“Adrian lebih ganteng,” balas Ros.
“Kata Vero Kapusmu seperti Christian Bautista,”
Nining membalas lagi.
“Adrian tunanganku seperti Robby Sugara,” balas
Ros.
Di pintu kamar Kosmas tertulis angka satu, se­
lanjutnya kamar Lina berangka dua, dan kamar Ros ter­
tulis angka tiga. Kamar berukuran tiga kali empat meter.
Sebuah meja kecil dan kursi kayu di sisi tempat tidur.
Kasur serta satu bantal tipis. Sebuah lemari pakaian
dengan satu pintu yang sudah terlepas salah satu
engselnya. Gantungan pakaian di balik pintu. Dinding
kusam dan terkelupas pada banyak tempat. Lantai
keramik putih pecah pada beberapa tempat dan tinggal
bekas keramik pada beberapa tempat lainnya. Loteng
tanpa plafon.
Pada samping lemari ada gambar Christian Ronaldo
sedang melayang dengan bola di kakinya. Demikian pula
pada samping tempat tidur, ada klub Portugal berpose
di tengah lapangan, peninggalan Bidan Flori penghuni
lama.

7
“Taman Puskesmas perlu ditata dengan bunga dan
kata-kata indah,” Ros mengirim SMS untuk para saha­
batnya, yaitu: Vero, Linda, Nining, Theresia, dan Siti.

***

Hari Minggu. Sepulang dari Gereja, Ros meng­


habiskan waktu dengan membersihkan kamar. Mema­
sang sprei dan sarung bantal baru yang dibawanya
dari rumah. Meletakkan meja tepat di sisi tempat tidur
sekaligus di bawah jendela. Sebuah taplak meja berwarna
kuning gading mempermanis penampilan. Ros memaku
tirai tipis berwarna kuning muda pada kusen bagian atas
jendela. Selanjutnya, paku di kiri kanan kusen jendela
dipasang tali rafia. Ros menggantungkan selendang
kuning tua dengan pinggiran coklat berbunga merah
kecil-kecil merambat sepanjang tepi selendang. Jika
kain pada rafia disorong ke kiri atau ke kanan, akan
tampak lapis luar berupa tirai tipis berwarna kuning
lembut. Bagian ujung kain tirai hampir menyentuh meja
yang pada salah satu sudutnya ditakhtakan foto Adrian
dan dirinya dengan latar belakang pantai Kuta, Bali
menjelang matahari terbenam.
“Kamar nomor tiga di Puskesmas Flamboyan bela­
kang rumah Kapus. Sebuah kamar mess yang indah
dengan tirai jendela berwarna kuning,” SMS Ros buat
Adrian add recipient Vero, Nining, Sitti, Theresia, dan
Linda.

8
“Saya kenal Kapusmu Dokter Yordan. Awas kena
tembak,” balas Vero.
“Sayang sekali taman dikelilingi rumput liar, kotor,
tidak terawat,” SMS Nining.
“Suatu saat aku akan terbang ke Puskesmasmu.
Kirim aku tirai kuning,” SMS dari Sitti.
“Dokter Kapus bujang ya? Hati-hati Adrian bisa
nga­muk,” balas Theresia.
“Aku berdoa untukmu, Ros! Di tengah karang tanpa
bunga. Tugasmu yang paling penting adalah cari jodoh
buat beta1,” SMS dari Linda.
Ros menulis satu SMS lagi untuk semua temannya
sebelum terlelap. “Kapusnya bujang. Tidak suka bunga
dan daun. Puskesmas kotor, rumput liar tidak terawat.
Wajah Puskesmas adalah wajah Kapusnya bukan? Mau
tidur dulu ah, mat malam,” Ros ingin mematikan HP,
namun SMS masuk lagi.
“Ingin benar aku ke sana. Bosan deh hanya berdiri di
depan pintu. Kalau saja aku boleh masuk dalam kamar
itu. Ingat! Satu tahun saja di desa, setelah itu kita nikah.
Sweet dream say …” SMS dari Adrian. Ros tersenyum
diliputi bahagia.
“Kapus sudah dua tahun di Flamboyan. Wah, Kapus
kurang sarkesling alias kurang sadar kehijauan dan
kesehatan lingkungan,” SMS dari Vero.

Beta: saya (bahasa Melayu Kupang).


1

9
“Hijaukan Puskesmas. Katakan dengan daun dan
bunga,” balas Sitti.
“Puskesmas kotor, tidak terawat? He he he lagu
lama. Bugenvil putih di depan gedung KIA2 lagi rimbun.
Mau? Salam bunga dari Kota Karang,” SMS dari Linda.
“Tembak itu kepala puskesmas dengan bunga. Pasti
pingsan,” balas Nining.
“Salam Wijaya Kusuma,” Ros membalas SMS for all
sebelum tertidur lelap.

***

Tengah malam pada hari Minggu atau tepatnya


pada hari kedua kedatangannya Ros dikejutkan ketokan
di pintu. Pak Paulus memanggil-manggil namanya dan
langsung menuju Puskesmas sebelum Ros membuka
pintu. Ternyata ada pasien yang melahirkan, sementara
bidan jaga tidak ada. Ros memperhatikan dengan sak­
sama status pasien dan tanpa banyak bertanya lang­sung
melakukan tindakan dibantu dua orang perawat jaga
malam. Sebagaimana biasa­nya Ros selalu siap meng­
hadapi cairan berwarna maupun tidak berwarna yang
datang bersama bayi dari dalam rahim, serta teriakan
dan tangisan ibu.
“Tadi bidan jaga sudah datang. Datang minta izin,
pulang saja turut dia punya suka. Dia punya bapa sakit
di kampung. Itu dia punya alasan,” kata Lina, penghuni


2
KIA: Kesehatan Ibu dan Anak.

10
kamar nomor dua. “Pak Paulus kasih izin saja karena
tahu ada bidan baru di mess. Begitu sudah Pak Paulus
tidak tegas. Mestinya kalau jaga ya jaga. Jangan begini
caranya. Untung bumil3 sehat dan bersalin lancar-lancar
saja.”
“Saya Bidan Rosa di kamar tiga,” Ros mem­per­
kenalkan diri.
“Ya saya sudah tahu. Saya di kamar dua. Tadi datang
langsung dinas malam dan ada pasien rawat nginap.
Maaf, tidak sempat ketuk Ros punya pintu,” kata Lina.
“Terima kasih, tidak apa-apa,” jawab Ros.
Ternyata malam itu ada dua ibu yang melahirkan.
anpa keluhan berarti salah satu ibu melahirkan anak
laki-laki dengan berat badan tiga koma tiga kilo gram
dan panjang lima puluh empat senti meter. Yang kedua
berlangsung lama. Ibu banyak mengeluh dan berteriak
kesakitan dengan proses pembukaan pintu rahim yang
lambat. Masuk jam sebelas malam dengan pembukaan
rahim dua senti disertai keluhan sakit yang tidak pernah
berhenti.
“Mama jangan nangis teriak-teriak begitu. Ini
tengah malam,” kata Lina. “Mau bersalin pasti sakit
Mama. Jadi biar Mama berteriak juga tidak ada guna.
Jangan menangis.”
“Sabar ya Mama,” kata Ros. “Tarik napas dan le­
paskan pelan-pelan untuk kurangi sakit. Ya begitu …

3 Bumil: Ibu hamil.

11
satu, dua, tiga lepas napas pelan-pelan. Nah, begitu lebih
nyaman, Mama?” Ros terus mendampinginya. “Mama
tidur saja kalau bisa. Baru bukaan4 empat kita masih
menunggu lagi.”
“Sakit sekali Nona Bidan....”
“Kalo tahu sakit kenapa mau hamil?” Lina menyam­
bung begitu saja.
“Sabar ya. Tetap tarik napas dan lepaskan pelan-
pelan ya. Mau minum?” tanya Ros.
“Ya Nona Bidan....”
“Kira-kira lahir jam berapa?” sambung Lina lagi.
“Nanti kalau sudah mau lahir, tolong kasih bangun saya.
Di ruang jaga ada Kosmas lagi on HP dengan pacarnya.
Jadi, Bidan Ros aman. Lagi pula perawat honorer
biasanya rajin-rajin membantu.”
Pasien melahirkan jam setengah empat pagi beberapa
saat setelah ayam berkokok di belakang Puskesmas mau­
pun dari berbagai arah di seputar Puskesmas. Lina
membantu seperlunya karena Ros melakukan tindakan
dengan cekatan. Suaranya yang lembut memberi se­
ma­ngat dan kenyamanan pasien. Sikapnya yang te­
nang memberi keyakinan bahwa persalinan ini pasti
berlangsung dengan selamat.
“Di mana suaminya?” tanya Ros. “Sebaiknya ada di
sini, bersama istrinya. Ros membersihkan bayi setelah
inisiasi menyusu dini yang berhasil dilakukan bayi. Bayi
Bukaan: untuk menjelaskan pembukaan pintu rahim, jalan lahir. Bukaan
4

empat artinya pintu rahim baru terbuka selebar empat sentimeter.

12
dalam keadaan belum dimandikan merayap di atas perut
ibunya, berjuang sendiri secara naluriah, inci demi inci
sampai mencapai buah dada ibunya.
“Di mana suaminya?” tanya Ros lagi.
“Musu bako5 di bawah pohon mangga,” jawab Lina.
“Sebaiknya ada di sini.”
“Tidak biasa,” jawab Lina. “Kebiasaan di sini kalau
antar istri periksa hamil, suami tunggu di bawah pohon
itu. Ngobrol sambil musu bako dengan teman-teman
sesama suami. Suami asyik dengan dunia mereka punya
di bawah pohon,” penjelasan Lina dijawab singkat oleh
Bidan Ros. “Oh ya?”
“Bidan baru atau baru jadi bidan?” tanya Lina.
“Ya!” Jawab Ros.
“Sudah berapa kali tindakan sebelum ditempatkan di
sini?” tanya Lina.
“Setelah tamat kuliah kebidanan sempat kerja
selama satu tahun di Rumah Sakit Bersalin Kasih Ibu di
Denpasar,” jawab Ros perlahan.
“Oh, pantas,” kata Lina. “Saya sudah tujuh tahun
tugas di sini. Saya punya tetangga bidan-bidan baru
yang ditugaskan di Puskesmas ataupun di Polindes. Pada
umumnya, mereka panik kalau harus bangun tengah
malam. Apalagi kalau dan harus urus ibu bersalin sendiri
saja. Saya ini biar perawat, saya bisa tolong ibu bersalin
hanya dibantu perawat honorer.”

Musu bako: merokok.


5

13
“Untung ada Kak Lina,” jawab Ros.
“Maunya saya, bidan yang tugas di sini atau Polindes
atau Pustu itu bidan yang sudah terlatih, punya jam
terbang, bisa lakukan tindakan dengan cekatan seperti
Nona Bidan Ros …” kata Lina. “Wah, ngantuk sekali
e,” kata Lina sambil meletakkan tangan di mulut dan
menguap.
“Terima kasih,” jawab Bidan Ros. “Saya juga masih
baru dan masih harus banyak belajar dari kakak-kakak
bidan dan perawat di sini.”
“Bagus begitu! Rendah hati,” sambung Lina dengan
jujur. Ros melengkapi status ibu hamil yang sudah
melahirkan dan membuat laporan lengkap tentang per­
salinan itu. SMS masuk dari Vero. “Nazar tetap dengan
gaya lama. Info dari Sitti Nazar pacaran dengan ABG6
yang lagi liburan di sana.” “Percaya Nazar atau tidak
percaya?” Balas Ros. “Percaya!” Balas Vero. “Percaya
adalah modal untuk membuat dirimu tenang,” SMS dari
Ros untuk Vero.

6
ABG: Anak Baru Gede, remaja belasan tahun (12 – 18 tahun).

14
2
Dari Balik Jendela

Pukul lima pagi Ros kembali ke mess. Setelah mem­


bersihkan diri Ros tertidur melepaskan lelah. Udara
dingin. Kicauan burung, desir angin, dan gemercik air
yang mengalir di saluran di samping mess mengantarnya
sampai terlelap. Kesibukan Senin pagi di Puskesmas
tidak didengarnya sama sekali. Dia baru terbangun
jam sepuluh pagi ketika matahari mulai meninggi. Dia
duduk di sisi tempat tidur dengan rasa malu. Diambilnya
HP yang diletakkan di atas meja. Lima kali telepon dan
empat SMS dari Adrian, satu kali telepon dari ibunya,
SMS lainnya masing-masing dari Bidan Vero, Sitti,
Theresia, Nining, dan Linda.
Ketika hendak membuka pintu kamar didapatinya
selembar kertas dengan tulisan tangan. “Boleh istirahat.
Jam dua belas ke KTU. Pesan dari Pak Paulus. Selamat
pagi Lina,” Ros tersenyum sendiri. Dia kembali mem­
baringkan diri di tempat tidur. “Adik di mana? Kenapa
tidak ada kabar?” isi SMS pertama. “Janjinya kirim kabar
sebelum tidur. Ke mana saja?” SMS kedua. “Hari Minggu

15
tengah malam ke mana saja?” SMS ketiga. “Berkali-kali
saya telepon. Adik di mana? Apa begini kerjanya bidan?
Saya sampai tidak tidur pikir kamu. Lagi nonton bola
nih.” SMS keempat. “Semoga Nazar dapat dipercaya.
Tadi malam kudengar wijaya kusuma mekar di bawah
jendela,” SMS dari Vero. “Aku tahu pasti kamu bawa
wijaya kusuma dari Bajawa,” SMS dari Theresia. “Salam
juga terbawa mimpi,” SMS dari Sitti. “Rosa … Kalau
Kapusnya ganteng, single, tangkap saja dengan wijaya
kusuma. Ha ha ha e,” SMS dari Nining. Rosa tertawa.
“Nonton bola sampai pagi ya? Semalaman ada dua
ibu melahirkan. Tidur jam lima pagi. Ada Ronaldo dan
klub sepak bola Portugal di dinding kamar. Aku rindu
padamu,” SMS Ros untuk Adrian. Setelah menelepon
ibunya, membalas SMS Adrian dan teman-temannya,
Ros menyiapkan dirinya untuk menuju ke Puskesmas.

***

“Hai, baru saja aku mau memanggilmu,” Lina berdiri


di depan pintu kamar.
“Sudah istirahat? Sehat?” tanya Bidan Ros.
“Lihat sendiri. Hari ini dan besok saya off setelah
dinas malam tiga hari,” kata Lina.
“Kalau mau makan silakan. Saya sudah masak. Di
sini biasanya kami masak dan makan bersama. Selama
ini saya yang masak. Kosmas tinggal makan saja. Soal
urusan masak-memasak nanti kita bicara lagi,
“Terima kasih!”

16
“Bunga apa ini?”
“Wijaya kusuma,” jawab Ros sambil berjongkok me-
nyentuh daun-daun dan kuncup bunga yang tampak lebih
segar. “Bawa dari kampung. Bunga ini hanya mekar pada
waktu malam, bahkan tengah malam. Yang ini merah
mudah sekali cenderung putih. Yang ini putih bersih,”
Ros membersihkan daun-daun dengan kain basah.
“Lihat ini, tangkai bunga muncul dari daun. Tangkai
kecil dan panjang dengan bunga diujungnya.” Lina mem­
perhatikan dengan sekilas saja. Daun wijaya kusuma
memiliki ukuran lebih pendek dari daun jagung, namun
tebal dan mengeras. Bakal bunga tumbuh pada tepi daun.
Satu daun dapat tumbuh dua sampai lima kuntum bunga
yang mekar pada waktu malam dan menjulur jatuh pada
siang hari.
“Pencinta bunga?”
“Bunga dan kebun.”
“Kenapa wijaya kusuma?”
“Bunga kesayangan,” jawab Ros.
“Kenapa pilih bunga ini?”
“Keturunan pencinta bunga. Di rumah Mama punya
banyak sekali. Digantung di teras belakang dan depan
ru­mah. Juga di teras tempat Mama praktik. Dominasi
warna putih.”
“Mamanya bidan?”
“Ya, saya punya Mama bidan.”
“Tugas di mana?”
“Praktik di rumah.”

17
“Tidak kerja di Rumah Sakit?”
“Mama sudah pensiun dari Rumah Sakit hampir dua
puluh tahun lalu.”
“Oooh pantas. Sudah biasa bantu mamanya tolong
orang melahirkan?”
“Ya, begitulah!”
“Sebaiknya begitu. Bidan yang terjun lapangan
itu sudah terlatih. Istilahnya magang satu tahun dulu,
baru lempar ke lapangan. Jangan baru tamat belum ada
pengalaman sudah langsung terjun. Akibatnya, pe­
nanganan tidak bagus dan semua mengandalkan bidan-
bidan tua. Jadi, jangan heran kalau bidan tua sering kali
cerewet sampai dokter juga takut mereka,” Lina lancar
bicara.
“Bidan tua, eh maksud saya Bidan Kepala di sini
juga banyak ngomong dan suka ngomel,” sambung Lina
lagi. “Bunga ini kapan mekarnya?” tanya Lina sambil
menyentuh kuntum yang menggantung di depan kamar
nomor tiga.
“Bunga mekar pada tengah malam,” jawab Ros.
“Apa? Tengah malam?” Lina terperanjat. “Berapa
lama?”
“Ya, pada tengah malam. Kembangnya menguncup
dan tertutup pada siang hari.”
“Kamu tahu dari mana?”
“Sudah biasa dari kecil bantu Mama mengurus
bunga-bunganya. Pada masa kuliah kupelajari bunga ini
secara khusus. Amat menarik hati. Karenanya bunga ini

18
menjadi pendamping hidup, pemberi inspirasi, motivasi
kerja, dan spirit untuk memberi pelayanan terbaik.”
“Ha ha ha,” Lina tertawa. “Kamu cocok jadi biara­
wati. Aku tidak suka bunga, tetapi boleh juga ikut me­
nikmati indahnya. Kalau tengah malam bunga itu mekar.
Panggil aku ya.”
“Oh wijaya kusuma amat peka. Butuh waktu, kete­
kunan, dan kesetiaan untuk menikmati detik-detik
bunganya mekar,” kata Ros dengan serius.
“Ha ha ha,” Lina tertawa lucu. “Apa kamu tahu kapan
bunga ini mekar?”
“Ya. Saya dengar suaranya!”
“Menakutkan!” Potong Lina. “Ayoh cepat makan
pagi. Saya sudah masak. Habis makan ke KTU. Kamu
ditunggu dan akan diperkenalkan dengan semua pim­
pinan dan staf di sini. Oh, ini bunga apa lagi? Bidan
mana sempat urus bunga,” kata Lina sambil mem­
perhatikan ikatan besar yang dirangkai jadi satu dalam
bungkusan pelepah batang pisang. “Wijaya kusuma
juga?”
“Ada juga mawar, kladiol, kembang sepatu, dan
hebras,” jawab Rosa.
“Ah capek!” Lina meninggalkan Ros.
Rosa masuk kembali ke kamarnya. Ia membuka
lemari dan mengeluarkan foto bunga wijaya kusuma yang
sedang mekar di belakang rumah ibunya. Digantungnya
tepat di samping Christian Ronaldo di sisi lemari, posisi
yang tepat baginya untuk menatapnya setiap waktu.

19
Hari yang indah baginya di tempat kerjanya yang baru.
“Bunga dan bola,” Ros tersenyum sendiri. “Adrian lagi
buat apa sekarang? Kemungkinan besar ketiduran karena
nonton siaran langsung semi final liga Eropa tadi malam,”
kata Ros dalam hati. “Yang penting ada bola. Bola bisa
menyembuhkan sakit rindu,” SMS dari Adrian pada
suatu waktu.

***
Hari itu Rosa diperkenalkan dengan keluarga besar
Puskesmas Flamboyan yang terdiri dari KTU, Bidan
Kepala, Bidan Flori, dengan dua bidan PNS dan tiga
bidan honor suka rela yang biasa disebut tenaga honorer,
dua perawat dengan tiga perawat honor sukarela, satu
tenaga kesehatan masyarakat, satu tenaga sanitasi, satu
perawat laboratorium, Kosmas bidang kesling, dua
pegawai honor untuk tata usaha, dan satu supir.
“Kapus tidak ada di tempat. Dua bidan dan dua
perawat dinas sore dan malam,” kata Pak Paulus pada
saat memperkenalkan Rosa. “Bidan baru akan dapat
penempatan di Polindes Bakung. Sementara saja di sini,
sampai Kapus datang. Kalau ada pasien sore dan malam,
semua staf yang tinggal di mess wajib membantu,”
demikian pesan Pak Paulus.
“Sudah menikah?” Pertanyaan Kosmas penghuni
kamar nomor satu disambut dengan gelak tawa. Hari
itu Ros berada di Puskesmas sampai jam kerja usai.
Bidan kepala memintanya membantu merapikan status

20
pasien dengan pemisahan per wilayah satu kelurahan dan
desa-desa di Kecamatan untuk dua tahun terakhir. Ros
menyukainya, sebab dengan demikian dia lebih fokus ke
desa tempat kerjanya nanti. Jumlah pasien yang dirujuk,
nama, usia, penyakit yang pernah diderita, tinggi, berat
badan, status gizi, Hb atau hemoglobin, dan lain-lainnya.
Ros juga mencatat jumlah kematian ibu dan bayi untuk
angka kabupaten, Puskesmas, dan Polindes tempatnya
bekerja kelak.
“Semua ibu dan bayi yang Nona Bidan tolong
harus sehat,” demikian pesan mamanya. “Pendampingan
sejak awal dengan sabar, tenang, dan hati gembira.
Aturan sekarang ini ibu harus melahirkan di Puskesmas
PONED7 atau RS PONEK8. Jadi, ambil langkah pertama,
cepat, dan tepat untuk antar bumil ke sana. Jangan
menunggu, sebab melahirkan itu emergency. Bagi ibu
yang akan melahirkan ada banyak kemungkinan yang
terjadi. Karena itu, status bumil yang tercatat dan tertata
baik akan sangat membantu pekerjaanmu. Ingat! Jangan
setengah-setengah. Nona harus tahu detail data pasien.
Catat status mereka dengan sabar dan ramah, jangan ada
satu pun yang terlewatkan,” demikian antara lain pesan
ibunya.
“Kematian ibu dan bayi masing-masing tiga orang
dalam dua tahun? Kenapa ya?” Ros memperhatikan

7
Puskesmas PONED: Puskesmas Pelayanan Obstetri Neonatal Emergency
Dasar.
8
RSU PONEK” RSU Pelayanan Obstetri Neonatal Emergency Komprehensif.

21
dengan saksama data Polindes Bakung. “Apakah karena
tidak ada bidan? Kenapa dibiarkan begitu lama? Ada apa
di sana? Apakah saya bisa?” Ros bertanya-tanya.
“Tidak ada satu bidan pun yang mau ditempatkan di
sana,” kata Lina tetangganya.
“Kasus bidan dikejar-kejar,” Lina menjelaskan lebih
lanjut. “Pacar si bidan marah besar dan pengejar dihajar
babak belur. Begitulah. Nanti kalau tugas di sana bawa
diri baik-baik. Oh ya, tetapi saya yakin bidan Ros akan
berbeda sekali karena sudah berpengalaman,” kata Lina.
“Peringatan dari saya. Di Polindes Bakung nanti harus
hati-hati dengan anak tokoh masyarakat atau tomas yang
namanya Lukas. Nama tenarnya Kribo karena rambutnya
kribo. Kalau Nadus kakaknya baik sekali, wajahnya mirip
Tiery Henry pesepak bola Italia.”
“Mohon doa dan dukungannya,” sambung Ros.
“Ai, jangan minta doa dan dukungan dari saya. Min­
talah doa dan dukungan orang-orang di Desa. Bagaimana
caranya nanti Bidan Ros akan tahu dengan sendirinya.
Orang sini seperti orang Flores, Timor, Sumba, Alor,
Lembata, Sabu, Rote, dan NTT umumnya, pada dasarnya
baik-baik, sopan, ramah, dan suka menolong. Yang
penting, kita bawa diri baik-baik dan jangan aneh-aneh,”
kata Lina lagi.
“Terima kasih,” jawab Ros dengan tenang.

***

22
Hampir dua bulan adalah waktu yang sangat pen­
dek bagi perubahan wajah di Puskesmas Flamboyan,
khususnya kebun samping kiri dan taman di belakang
rumah Kapus di depan mess. Kebun bersih. Dua bedeng
paling belakang ditanami singkong. Dua bedeng be­
rikutnya masing-masing bawang merah dan bawang
putih, sedangkan semua bedeng lainnya ditanami kang­
kung.
Di lihat dari depan tampak hijau segar dengan tunas-
tunas yang baru tumbuh dan tanah yang senantiasa basah
karena rajin disiram setiap sore. Pak Paulus mengizinkan
Ros mengajak beberapa anak remaja SMP yang tinggal
di seputar Puskesmas untuk membantunya. KTU itu
terkesan dengan cara Ros membangun persahabatan
dengan anak-anak dan remaja putri yang sering bermain
di bawah pohon mangga pada waktu sore. Hari pertama
Ros ikut bermain di sana dan hari berikutnya tempat
bermain pindah di depan mess dan kebun.
Di halaman depan mess ada tiga bedeng yang sudah
ditumbuhi kangkung. Hijau dan sedap dipandang mata.
Stek dan bibit bunga yang dibawa dari kampungnya
sudah ditanam pada sepanjang tepi teras mess. Pada sudut
kamar nomor tiga, tumbuh bunga kecubung dalam satu
pot besar yang sedang berbunga lebat. Demikian pula
pada sudut kanan depan –tepatnya di belakang garasi,
ada sekumpulan kecubung dalam pot yang sudah mekar
sebagian.

23
Pada sisi-sisi lain bedeng ditumbuhi berbagai jenis
bunga. Rupanya, Ros berkunjung ke biara susteran
terdekat yang memang penuh bunga, bersama anak-anak.
Kecubung dan kembang sepatu putih lengkap dengan
pot, dihadiahi suster. Berbagai jenis daun keladi juga
dibawa dari biara. Keladi ditata bertingkat-tingkat di
depan teras nomor tiga, sedangkan wijaya kusuma yang
sudah ditempatkan dalam beberapa pot diletakkan di kaki
teras depan kamarnya. Dua pot yang sudah digantung
Ros sejak tiba di mess itu menjulurkan bunga memanjang
ke bawah, seakan-akan berupaya menjangkau daun-daun
keladi. Siapa pun yang melihatnya akan terpukau pada
keindahan taman yang sederhana dan apa adanya.

***

Dokter Yordan memperhatikan dari sudut jendela


perubahan drastis yang terjadi hanya dalam waktu
tidak sampai dua bulan kepergiannya. Tiga remaja putri
menyiram semua bedeng di kebun. Bidan Ros menyiram
kangkung di depan mess. Semua bunga di tanah maupun
pot di depan kamarnya disiram begitu pula kecubung
dan kembang sepatu.
“Kaka Ros, yang ini tidak disiram kah?” tanya salah
satu remaja.
“Itu wijaya kusuma biasanya disiram tiga hari
sekali.”
“Kenapa?”

24
“Supaya akarnya tidak busuk karena air.”
“Bunganya paling jelek tidak pernah benar-benar
berkembang.”
“Memang begitu. Bunga ini hanya mekar pada
malam hari. Jadi, kalau mau lihat, tengah malam atau
pagi-pagi sekali, sebelum bunganya tertutup sama
sekali.”
“Bunga lucu,” kata anak-anak itu. “Kalo besok Kaka
Ros pergi ke Polindes siapa yang urus bunga-bunga ini?
Kangkung, bawang, siapa urus? Kalo panen kami bisa
datang ambil?”
“Boleh! Tapi minta izin dulu!” Kosmas keluar dan
berdiri di depan pintu.
“Minta izin siapa? Tanta Lina, Om Kosmas, Tanta
Lena, Om Paulus, atau Om No?”
“Minta izin Om Dokter,” Bidan Ros menjawab.
“Yang tinggal di rumah itu,” tunjuk Ros.
“Takut!”
“Kenapa?”
“Kurang gaul,” katanya sambil tertawa. “Dulu ha­
laman penuh rumput, tidak ada bunga. Untung kaka Ros
datang dan sulap jadi kebun dan taman indah. Sekarang,
di depan Puskesmas ada sayur dan bunga-bunga, pasti
Om Dokter senang dan orang sakit tidak jadi sakit.”
“Kenapa?”
“Karena bersih, segar, indah, banyak kupu-kupu,
banyak burung, dan mata jadi sehat. Kalau itu Om
Dokter rajin kasih teladan pasti kami anak-anak mau

25
datang bantu cabut rumput dan siram tiap hari. Dokter
itu sibuk sekali kah? Ditambah dengan malas mungkin
ya?” Dokter Yordan tersenyum sendiri. “Memang malas,”
katanya dalam hati.
“Kalau dokter malas pasien juga malas?”
“Omong pelan-pelan,” kata Ros. “Dokter itu baik
hati, tidak sempat urus bunga karena sibuk. Mau urus
kebun sayur dan bunga-bunga atau mau urus pasien.
Urus pasien kan?”
“Mereka bilang Om Dokter itu tunangan dengan
orang gila!”
“Hus, jangan omong sembarang,” kata Ros sambil
meletakkan telunjuk di bibir. “Orang ganteng begitu
mana mungkin mau dengan orang gila? Kecuali orang
gila yang mau sama Om Dokter. Ayoh, siram dan tanam-
tanam lagi! Kalau Om Dokter dengar, kita semua pasti
diusir jauh-jauh,” kata Ros lagi
“Oh ya ya…” ketiga anak itu merasa puas dengan
jawaban Ros. Yordan mengepalkan tangannya kuat-kuat
mendengar kata orang gila yang dilontarkan remaja
itu. “Mereka tahu dari mana ya?” Rasa kecewa meliputi
hatinya.
“Om Dokter sama kaka bidan saja,” usul salah satu
remaja.
“Om Dokter itu baik hatinya. Dokter yang baik hati
cocoknya dengan dokter juga yang baik hati, bukan bidan
seperti saya,” kata Ros sambil tersenyum.
“Om Dokter baik ya?”

26
“Ya, sepertinya orangnya baik. Makin lama dipan­
dang makin ketahuan kalau Om Dokter itu orang baik,”
suara Ros membuat Yordan merasa terhibur.

***

“Kalau Om Kosmas dan Tanta Lina baik juga kah?


Kerjanya apa saja?”
“Saya timba air tiap sore,” kata Kosmas. Ia berdiri di
depan kamar satu. “Dijamin air selalu penuh dan silakan
Bidan Ros dan adik-adik nona tinggal gayung dan
siram.”
“Saya bantu apa ya?” tanya Lina membuka pintu
dan berdiri dengan malasnya. “Jaga kangkung. Karena
pada saat panen pertama nanti kamu sudah di Polindes.
Bawang putih bawang merah…,” kata Lina lagi. “Kalau
kamu tidak ada, saya dan Kosmas yang siram. Eh, kalau
ingat dan tidak lupa e. Makanya kalian anak-anak tetap
bantu siram e. Besok Bidan Ros sudah pigi9 di Polindes
Bakung” Lina tertawa. “Siapa yang mau kangkung nanti,
silakan datang. Tapi minta izin Om Dokter dulu. Kalau
tidak ada Om Dokter boleh minta izin Pak Paulus.”
“Baik sudah Om…Tanta…Kaka, kami pulang
dulu,” ketiga remaja itu pamit pulang setelah membantu
menyiram semua tanaman, termasuk polibek berisi
tanah yang ditempatkan merapat di dinding sepanjang

Pigi: dialek lokal untuk kata pergi.


9

27
tepi Puskesmas. Polibek itu ditanami berbagai stek dan
anakan bunga dan tanaman obat dari biara.
“Terima kasih. Hati-hati di jalan,” kata Ros.
“Silakan panen walau saya tidak ada,” kata Bidan Ros
lagi setelah ketiga remaja menjauh. “Satu wijaya kusuma
dan beberapa anakan yang sudah tumbuh subur akan
saya bawa.”
“Utusan desa akan jemput sendiri ke sini?” tanya
Lina.
“Mudah-mudahan ada oto10 yang bisa angkut juga
wijaya kusuma. Kalau tidak saya akan naik ojek. Saya
titip dulu bunga-bunganya ya. Nanti saya datang ambil.”
“Pinjam oto Puskesmas saja. Minta Om No antar,”
kata Kosmas.
“Tidak mungkin! Selama ini perawat atau bidan
yang tugas di desa-desa pergi sendiri,” sambung Lina.
“Mau naik ojek sendiri, dijemput orang desa, naik bus
kayu, atau apa itu urusan masing-masing. Kalau Dokter
izin khusus untuk Bidan Ros nanti terkesan pilih kasih.”

***

Menjelang senja Kosmas pergi dengan motornya.


Lina di dalam kamar. Ros duduk di teras, membaca dan
membalas beberapa SMS. Selama sebulan lebih SMS
merupakan sarana komunikasi yang paling efektif.

10
Oto: nama untuk kendaraan roda empat dalam komunikasi antarwarga di
wilayah setempat.

28
Telepon sesekali kalau sangat penting, mengingat te­
lepon makan pulsa.
Vero lagi gelisah hatinya karena Nazar pacaran
dengan ABG. Vero pun berduka sebab dalam bulan
ini kematian bayi bertambah dua di RSU. “Keracunan
ketuban mematikan janin,” kata Ros. Nining sudah punya
pacar orang kesehatan juga hanya belum disebutkan
dengan jelas siapa orangnya. Sitti masih tetap lemah
lembut kalau mengirim kabar. Kabar terakhir darinya
adalah kebahagiaannya menolong persalinan yang
semuanya selamat.
“Kesulitan terbesar adalah meyakinkan para suami
agar mereka terlibat sejak pertama istrinya yang hamil
datang periksa,” kata Sitti. Theresia lebih bermasalah
dengan berat badan. “Siapa bilang cewek gendut sulit
cari pacar. Saya nikah tahun depan,” kata Theresia. Linda
menjelaskan soal wajah Puskesmas apalagi Polindes yang
wajib bersih, subur, penuh tanaman obat keluarga, dan
bunga-bunga, ditambah dengan kontrak kerjanya yang
hampir berakhir. Sebagaimana biasanya, SMS terbanyak
datang dari Adrian yang kini lebih sibuk berurusan
dengan pekerjaannya. “Sesibuk apapun tidak boleh lupa
kirim kabar ya. Ini peringatan bukan permintaan. Salam
rindu,” salah satu SMS dari Adrian.
Bidan Ros melihat dirinya sendiri. Hampir dua
bulan bertugas di Puskesmas Flamboyan membuat hati­
nya bahagia. Kini dirinya benar-benar bekerja sesuai
cita-citanya sebagai bidan. Dia terharu saat mencoba

29
merasakan bagaimana harapan bumil11, suami, dan ke­
luarganya pada bidan. Seolah-olah tenaga kesehatan atau
nakes itu tahu semuanya dan padanya mereka pasrahkan
nasib bumil dan anak yang akan dilahirkan.
“Kamu bidan-bidan baru dan baru jadi bidan itu
harus sabar, tekun, teliti, dan siap lahir batin untuk kasih
penjelasan kepada bumil dan suaminya,” kata Bidan
Kepala. “Pastikan bahwa bumil datang dengan suaminya
dan tunjuk lengkap status bumil kepada keduanya.
Pastikan semua sampai dengan lahir kapan dan di mana,
risikonya apa, dan sebaiknya bagaimana!”
“Kalau sudah di Polindes bawa diri baik-baik,” kata
Bidan Kepala. “Jangan sembarangan supaya dihargai.
Jangan sampai kamu terjerumus dengan pemuda yang
tu­kang duduk di deker dan tukang minum di pos ronda.
Kalau dapat tukang ojek ya lihat tukang ojek yang sopan
dan berpendidikan. Saya tidak mau lihat kamu bidan
datang ke Puskesmas dengan tukang ojek yang pakai
anting platina kiri kanan, celana jeans kotor dan robek,
baju kaos kele benga alias you can see, rokok satu jepit
di telinga, dan satu rokok lagi jepit di bibir hitam biru
blau. Kalau dapat petani pilih petani yang berpendidikan.
Petani sekarang beda karena punya pendidikan dan
cerdas. Semuanya tergantung kita bisa bawa diri atau
tidak.”

Bumil: singkatan dari ibu hamil


11

30
“Intinya, jangan sampai jual murah,” keras suara
Lina membuat Bidan Ros bergidik.
Dia berdiri menyentuh wijaya kusuma yang masih
menguncup. Ada catatan sejarah yang menarik dari
bunga ini yang perlu dibacanya kembali. Argumentasi
teoretis dan filsafati yang menjelaskan mengapa bunga
ini menjadi simbol bakti husada. Simbol yang ada pada
semua buku-buku kesehatan produksi kementerian
kesehatan, dinas kesehatan provinsi maupun kabupaten.
“Simbol bakti husada ini tidak ada apa-apanya kalau
kalian tidak berupaya mengambil maknanya. Mulai dari
bunga wijaya kusuma, selanjutnya kalian akan mengerti!”
Nasihat Dokter Stefanus yang selalu dikenangnya.
“Pelihara saja. Nikmati saja alur tumbuh dan ber­
kem­bangnya,” nasihat ibunya. “Wijaya kusuma me­mang
unik. Dirimu juga unik. Masuk pendidikan bidan dan
menentukan masa depan sebagai bidan itu juga unik,
bukan pilihan biasa…” wajah ibunya terbayang.
“Ya Ma…bukan pilihan biasa menurut Mama,”
kata Ros dalam hati. Membawa pikiran dan hati,
memfokuskan mata pada gerbang rahim yang telanjang,
serta menyentuh bagian yang paling tersembunyi dan
rahasia dari seorang perempuan. Mendekatkan wajah
dan mempertajam pen­ciuman untuk menemukan sumber
aroma yang sukar dilukiskan dengan kata-kata. Air atau
darah yang mengalir dengan variasi warna harus dikenali
dengan saksama. “Itukah keunikan menurut Mama?

31
Keunikan yang akan kuhadapi, Ma…” Ros berbicara
pada dirinya sendiri.

***

“Selamat sore,” Bidan Ros terkejut dan mengangkat


wajahnya saat Dokter Yordan sudah berdiri di sisi
kecubung. Sebuah senja yang indah ada di antara bidan
desa yang akan ke Polindes dan Dokter Puskesmas yang
menikmati daun hijau dan bunga-bunga dengan wajah
cerah.
“Ya selamat sore Dokter,” Ros berdiri.
“Lingkungan hijau, bersih, indah, dan segar,” kata
Dokter Yordan. “Suka bunga ya?”
“Ya Dokter,” jawab Ros. “Dulu saya juga suka kebun
dan bunga-bunga. Sudah lama sekali,” kata Yordan
dalam hatinya. Terbersit tekad dalam hatinya untuk
mu­lai lagi dengan melanjutkan apa yang ditinggalkan
bidan Ros. Menjadikan Puskesmas Flamboyan contoh
untuk tanaman obat keluarga, sayur, bunga-bunga, dan
kesehatan lingkungan. Diperhatikannya beberapa ikatan
kembang dalam polibek kecil-kecil yang siap dibawa
pemiliknya, juga satu pot bunga wijaya kusuma yang
sudah dimasukkan ke dalam keranjang besar.
“Mau dibawa ke Polindes?”
“Ya, Dokter.”
“Bunga wijaya kusuma?”
“Ya, Dokter.”

32
“Bunga Bakti Husada,” kata Yordan lagi.
“Ya, Dokter,” jawab Ros.
“Mengerti apa artinya?”
“Ya, Dokter,” jawab Ros sambil menatap sekilas
wajah laki-laki yang bertanya itu.
“Jadikan Polindes Bakung sama dengan Puskesmas
ya. Hijau dan berwarna dengan berbagai jenis tanaman
obat keluarga. Subur dengan bermacam-macam daun dan
bunga. Nanti saya kasih bibit bunga dan sayur-sayuran
untuk ditanam di sana.”
“Ya, Dokter.”
“Selamat bertugas di Polindes Bakung.”
“Terima kasih, Dokter.”

33
3
Langit Biru di Atas Polindes

Sebelum berangkat ke Polindes Bakung, Ros me­


ne­lepon Adrian dan orang tuanya. Setelah telepon,
ia mengirim dan membalas SMS teman-temannya.
Terakhir, ia mengirim e-mail untuk Dokter Stefanus
mantan dosen pada masa kuliah dulu.
Dokter Stefanus yang baik…tadi malam saya bantu
Dokter Yordan melakukan operasi ibu hamil abortus
dengan riwayat eklamsia dan mengalami pendarahan
hebat. Ibu selamat, sedangkan janin tujuh bulan dengan
sangat menyesal harus berpulang. Sayang sekali rom­
bongan keluarga mengalami kecelakaan di jalan, mobil
masuk jurang yang tidak terlalu dalam. Semua pe­
numpang mengalami luka ringan, kecuali ibu hamil
itu yang kehilangan janinnya dan harus menjalani
perawatan. Saya selalu merasa sedih setiap kali ada janin
yang terpaksa berpulang karena hal-hal luar biasa. Juga
ibu yang kehilangan bayi itu…sebagaimana biasanya
saya sering kali merasa kehilangan.

34
Saya berangkat ke Polindes Bakung pagi ini. Saya
akan berusaha menjalani tugas saya di sana sebagaimana
yang Dokter harapkan. Hampir dua bulan di Puskesmas
Flamboyan, halaman dan kebun saya tinggalkan dalam
keadaan hijau. Berbagai tanaman toga, seperti serai, jahe,
kunyit, kumis kucing, daun sirih sudah mulai rimbun.
Kangkung, bawang putih, bawang merah, dan pohon
singkong dan berbagai daun dan bunga-bunga memenuhi
tanah kosong. Hanya ini yang saya bisa. Mudah-
mudahan di Polindes nanti ada tambahan tomat, lombok,
dan berbagai tanaman toga lainnya. Bunga-bunga juga
tumbuh subur di sini. Termasuk wijaya kusuma yang
saya bawa dari rumah. Dengan kebersihan dan kesegaran
taman yang saya tangani, saya merasa lebih segar dan
penuh semangat untuk menangani pasien. Terima kasih
karena selalu memiliki waktu untuk saya. Regards Rosa
Dalima.

***

Hari yang mengesankan untuk Rosa. Semua barang


yang akan dibawa ke Polindes Bakung dapat berangkat
bersamanya. Martin dan Om Lipus sudah siap di depan
Puskesmas dan menolongnya mengangkat barang. Dua
buah koper, tas, kompor, dan peralatan masak sederhana,
kasur dan perlengkapannya, ember dan gayung termasuk
gantungan pakaian. Ros menaikkan juga satu rumpun
wijaya kusuma dalam keranjang, sedangkan satu pot lain­

35
nya dibiarkan di sana. Beberapa anakan wijaya kusuma,
mawar, kladiol, hebras juga di bawah di samping stek
bunga kecubung dan kembang sepatu beberapa warna.
“Ada titipan dari Dokter Yordan,” Kosmas datang
sebelum Ros berangkat. “Sebentar ya,” dia masuk ke
dalam rumah Kapus dan kembali segera dengan sebuah
amplop coklat. “Mungkin bibit bunga dan sayuran,” kata
Kosmas.
“Dokter di mana?” tanya Ros. “Saya mau pamit!”
“Tidak perlu pamit,” kata Bidan Kepala dari teras
Puskesmas.
“Ya, Dokter ada pertemuan di Kantor Camat!” kata
Lina.
“Nanti Nona Bidan pasti ke sini, selalu!” kata Bidan
Kepala lebih lanjut.
“Titip kebun!” kata Ros dan disambut Kosmas dan
Lina dengan acungan dua jempol.

***

Ternyata perjalanan ke Polindes Bakung dengan


jarak sekitar lima belas kilometer itu mengambil waktu
sekitar satu jam. Berkali-kali turun dari kendaraan karena
licin dan berbatu, berkali-kali pula naik dan terombang-
ambing di atas jalanan rusak, berlubang, berlumpur,
bahkan terkuras longsoran akibat hujan. Sepanjang jalan
penuh dengan tumpukan batu dan pasir. “Jalani dengan
hati gembira,” SMS dari Vero yang pernah sampai di
Polindes Bakung. “Anggap saja jalanannya beraspal

36
mulus, lebar, lurus, dan bebas dari hambatan. Gembira
saja!” Rosa tersenyum sendiri memikirkan Vero. Boleh
pilih mana yang terbaik melewati jalan ini. Pilihan
pertama suntuk, kesal, marah, kecewa, dan sampai
ataukah pilihan kedua jalani dengan hati gembira, ringan,
sabar, dan sampai? Rosa memilih yang kedua.
“Ada proyek pengerasan jalan,” kata Om Supir yang
disapa Martin. “Mudah-mudahan dua tiga bulan ke depan
sudah lebih baik.”
“Nona Bidan akan diterima di Kantor Desa. Kami
berdua, saya dan om Martin yang ditugaskan jemput,”
kata Om Lipus.
“Terima kasih banyak,” kata Rosa. “Teman-teman
bidan di tempat lain tidak dijemput begini. Terima kasih
sekali lagi.” Sebuah sepeda motor meraung-raung di be­
lakang kendaraan mereka, selanjutnya berhenti di depan
kendaraan yang juga berhenti.
“Bidan baru ikut saya saja,” laki-laki dengan tubuh
tinggi besar, hitam, dan kribo. “Daripada naik turun oto
dengan jalan rusak begini. Lebih baik ikut saya, bisa cari
jalan potong yang lebih bagus!” katanya lagi dengan
kedua tangan di pinggang.
“Ayo, Bidan turun sekarang,” teriaknya. Ros ter­
sentak kaget. “Cepat!” teriaknya. Om Lipus turun dari
kendaraan.
“Lukas! Minggir!” katanya dengan tegas.

37
“Hati-hati Bidan!” Motor dihidupkan dan melesat
meninggalkan Rosa, Martin, dan Om Lipus di bela­
kangnya.
***

Rasa pegal akibat terombang-ambing sepanjang


per­jalanan terobati dengan sambutan Kepala Desa dan
se­bagian warganya. Dua anak kecil mengalungkan
selendang dengan dua buah kuntum mawar dari kertas
pada ujung kiri dan kanan. Peristiwa itu berlangsung
seperti mimpi indah. Ekspresi kerinduan warga akan
kehadiran bidan desa setelah satu tahun tanpa bidan,
padahal Polindes melayani enam dusun, tiga di tanah
datar dan tiga lagi di tanah gunung.
“Polindes ini kita punya, berarti bidan juga kita
punya. Jadi, saya berharap dengan sangat agar semua
penduduk desa ini, tua muda, kecil besar, laki-laki
perempuan, Bapa, Mama, dan anak-anak jaga baik-baik
Ibu Bidan. Pemuda desa saya kasih pesan khusus supaya
persoalan satu tahun lalu tidak terjadi lagi. Jaga Ibu
Bidan supaya betah tinggal di sini untuk melayani ibu-
ibu kita. Di sini ada desa siaga, ada kader, ada posyandu,
tetapi tidak ada bidan. Jadi, tolong kita semua jaga nama
desa kita. Ibu bidan tidak tinggal sendiri. Pengurus Desa
Siaga atau Desi sudah sepakat bahwa ibu bidan akan
tinggal bersama Mama Falentina di Polindes. Ibu bidan
akan aman dan tidak akan mengalami gangguan. Kalau
ada masalah, jangan segan-segan menyampaikan kepada

38
Kepala Desa dan pengurus Desi. Kami siap mem­bantu.
Saya ucapkan selamat bertugas,” kata-kata Bapa Desa
meyakinkan Ros. Penerimaan itu adalah tanda baginya
untuk mulai bertugas dengan perasaan nyaman.
Ros terharu ketika berada dalam kamar tidurnya
yang terletak di belakang Polindes. Bersih sudah
disiapkan lebih dulu. Dipasangnya sarung bantal dan
sprei baru berwarna dasar hijau lumut dengan tanaman
bunga rambat sedang mekar yang rimbun pada bagian
kaki. Meja tulis di sisi tempat tidur dengan taplak kuning
tua. Jendela selebar satu meter dengan dua daun dari
kaca nako yang terbuka dan warna kain jendela senada
dengan taplak. Lemari pakaian dengan kuncinya. Dua
buah kursi. Lantai semen dan loteng dengan plafon yang
baru dicat. Sepanjang sore dan malam Mama Falentina
membantunya membereskan semua bawaannya.

***
Malam yang sejuk dan warga desa yang ramah
tamah menenangkan hati Ros untuk istirahat malam. Dia
perhatikan amplop coklat yang diletakannya di atas meja
sejak masuk kamar untuk pertama kalinya. “Apa isinya
ya?” Ros membuka amplopnya dengan hati-hati agar
tidak robek dan isinya berserakan. Ternyata beberapa
jenis bibit sayur-sayuran kangkung, buncis, terong,
wortel, boncis, kacang panjang, sawi, kol, lombok besar,
lombok kecil, dan tomat, serta lima buah buku. Buku
satu berjudul Cara Sederhana Menanam Sayuran. Buku

39
dua berjudul Merawat Bunga Wijaya Kusuma. Buku tiga
berjudul Tanaman Obat Keluarga. Buku empat adalah
buku harian yang cukup tebal dan masih kosong. Hanya
ada tanda tangan pemberi buku pada halaman pertama
dibawa tulisan, “selamat bertugas.”
“Apakah buku-buku ini akan kubaca?” tanya Ros
dalam hati. “Pengalamanku selalu tanpa buku di la­
pangan. Mudah-mudahan ada saat bagiku untuk mem­
baca. Hmm...kalau saja dokter ganteng itu kasih buku
puisi, novel, cerpen, pasti bisa jadi pengantar tidur. Buku
harian ini, apakah dokter tahu saya suka menulis? Dokter
yang ganteng itu…” kata Ros sambil memperhatikan
buku keempat. “Adrian lebih ganteng dan tidak ter­
gantikan.”
Buku kelima memiliki cover dengan warna menyolok
mata. Merah pada bagian atas lengkap dengan lambang
NTT sebelah kiri dan lambang bakti husada sebelah
kanan. Biru dengan latar pulau-pulau NTT dilengkapi
tujuh bulatan. Bulatan besar di tengah dengan latar
belakang hijau ada tulisan berwarna merah ‘fasilitas
kesehatan yang memadai dan siap 24 jam’. Enam bulatan
mengelilingi bulatan tengah. Satu berlatar hijau muda
dengan tulisan SDM berwarna merah dan ‘jumlah,
jenis, distribusi, dan kualitas’ berwarna kuning. Dua,
berlatar biru putih dengan tulisan ‘peralatan’ berwarna
merah. Tiga, berlatar hitam dengan tulisan ‘obat/bahan
perbelkes‘. Empat, berlatar kuning putih dengan tulisan

40
‘bangunan’ berwarna hitam. Lima, berlatar merah putih
dengan tulisan ‘sistem’ berwarna hitam. Enam, berlatar
merah dengan tulisan ‘penganggaran dan pembiayaan’
berwarna putih.
“Buku kelima ini berjudul Pedoman Revolusi KIA
sudah dibagikan di Kupang, dijelaskan ulang di kota
kabupaten, dan kini dikirim ke Polindes. Otak kiri terus-
menerus apakah tidak lelah? Apakah para dokter itu
selalu kurang memiliki ruang untuk otak kanan ya?
Yang menghibur, menyenangkan, indah, dan berguna…”
Ros tersenyum sendiri sambil membolak-balik buku itu.
“Tetap harus berterima kasih,” katanya lagi.
Dalam buku kelima ada sebuah kartu nama. Dokter
Arnoldus Yordanius. Nomor HP ada di bawah nama.
Pada bagian kiri bawah bertuliskan alamat Puskesmas
tempatnya bekerja, pada bagian kanan bawah alamat
kampung halamannya di Belu Timor. Dibalik kartu ada
tulisan sing­kat “Terima kasih untuk wijaya kusuma,”
dengan tanda tangan di bawahnya.
Terselip juga di antara lembaran buku sepucuk
surat singkat. “Pada suatu hari nanti saya akan datang
di Polindes Bakung. Tentu lebih hijau dan penuh bunga
seperti di antara mess, kamar nomor tiga, dan rumah
dinas Kapus. Terima kasih untuk daun keladi subur
berwarna-warni di depan kamarku. Terima kasih juga
untuk wijaya kusuma yang mekar pada waktu malam.
Salam wijaya kusuma. AY”. Malam itu Rosa terlelap

41
dengan kartu nama, surat, dan buku-buku di samping
bantal dan bibit-bibit di atas meja.

***

Hari-hari Bidan Ros diisi aktivitas penuh sepanjang


waktu kerja maupun bukan. Polindes Bakung ternyata
sebuah Pustu yang lebih terkenal sebagai Polindes sejak
pemerintah mencanangkan adanya Pos Persalinan Desa
atau Polindes di desa-desa secara nasional. Ada Mama
Falentina, perawat yang tidak pernah menikah. Mama
Falentina juga dikenal sebagai bidan terlatih yang dapat
menolong persalinan. Juga ‘perawat senior’, yaitu Mama
Gonz yang sesungguhnya adalah dukun beranak. Ia
sudah mendapat pelatihan beberapa kali dan dikenal
sebagai dukun terlatih. Mama Gonz dikenal di desa bah­
kan desa lainnya sebagai dukun beranak.
Mama Gonz dan Mama Falentina adalah perawat
yang serba bisa karena keadaan. Tanpa bidan memaksa
mereka harus melakukan fungsi rangkap sebagi perawat
dan sebagai bidan terlatih dengan sendirinya. Keduanya
juga sudah terbiasa menolong persalinan akibat dari
sulitnya meyakinkan ibu hamil, suami, dan keluarganya
untuk melahirkan di Puskesmas Flamboyan maupun
Rumah Sakit (RS). Selain dukun terlatih dan perawat
tua itu, Polindes juga dibantu oleh Mia calon bidan
yang tidak pernah tamat sekolah akibat kecelakaan yang
dialaminya pada saat masih semester IV. Ia berjalan

42
pincang akibat operasi kaki kanan. Mia sudah membantu
administrasi di Polindes sejak sembuh dua tahun lalu.

***

Rosa mencatat dalam buku harian berbagai masukan


yang diberikan Mama Gonz dan Mama Falentina
sebagai berikut. “Saya pernah mendapat pelatihan untuk
menolong persalinan dari Dinas Kesehatan. Sekarang
kami sudah tidak mampu, kami tidak berani lagi tolong
ibu bersalin. Utamanya sejak ada ibu dan bayi mati
sekitar tahun lalu,” kata Mama Gonz. “Pendarahan! Kami
sudah perintah dan marah-marah supaya bawa cepat ke
Puskesmas, tetapi keluarga tetap kepala batu, keras bukan
main. Gara-gara itu kami dimarah habis-habisan oleh
orang Puskesmas dan orang Dinkes karena dianggap
lalai dan menambah jumlah kasus kematian ibu dan bayi.
Ibu yang mau bersalin harus di Puskesmas. Polindes ini
dilarang keras…”
“Ibu Bidan bisa lihat dan rasa sendiri bagaimana
jalan menuju ke sini,” kata Mama Gonz. “Orang-orang
sini kepala batu dan susah dibuat mengerti. Nanti ada
kematian ibu dan bayi itu baru kepala Desa dan Desi12
aktif, kader juga aktif, dan membentuk kerja sama yang
bagus. Jadi, sekarang ini dengan aturan baru harus
melahirkan di faskes13 seperti Puskesmas PONED semua
bumil harus pergi ke Puskesmas untuk bersalin di sana.
Desi: Desa Siaga.
12

Faskes: Fasilitas Kesehatan


13

43
Tetapi, ya…Polindes kita ini karena sudah ada Ibu
bidan, bisa jadi PONED juga supaya bisa tolong bersalin
normal. Kalau ada masalah dan harus operasi misalnya,
pasti dibawa ke Puskesmas atau RS.” Ros menambah
catatannya dengan “kalau ada dokter, bidan, perawat,
tenaga kesehatan lain, serta peralatan yang lengkap, bisa
jadi Polindes menjadi faskes yang memadai.”
“Ada yang malas tahu dengan aturan. Mereka mela­
hirkan di rumah dengan dukun. Kalau Desa Siaga tahu
atau bapa desa tahu pasti dapat sanksi. Susah. Kita mesti
rajin-rajin buat kunjungan rumah. Syukurlah, Ibu Bidan
sudah datang. Masih muda, kuat, dan semangat bisa atur
sedemikian rupa waktunya biar mulai kunjungan rumah,”
kata Mama Falentina.
“Ibu Bidan bawa diri baik-baik e. Mesti berani dan
tega,s tetapi tetap sopan supaya laki-laki di sini tidak
tersinggung. Banyak pemuda bujang di sini. Biasanya
mereka lomba-lomba untuk dapat guru atau bidan desa.
Apalagi nona manis seperti Nona Bidan. Pasti jadi
rebutan pemuda desa yang pulang TKI, pulang merantau
dari Pulau Jawa, Bali, dan lain-lain, juga pemuda yang
belum selesai kuliah...” kata Mama Falentina lagi.
“Hati-hati…”
“Ya Mama terima kasih.”
“Ada juga pemuda yang baik-baik di sini. Kader Desi
juga ada yang baik-baik. Ya, pada dasarnya tergantung
dari bagaimana Nona Bidan bawa diri. Sudah punya
pacar?”

44
“Tunangan, Mama!” jawab Rosa dengan jujur.
“Dokter Puskesmas?” tanya Mama Gonz.
“Tidak Mama. Teman sekampung.”
“Orang Bajawa juga?”
“Ya Mama. Sarjana Hukum.”
“Mudah-mudahan tidak ada yang ganggu Nona
Bidan di sini,” kata Mama Gonz.

***

“Hei baru omong sudah muncul itu laki-laki punya


muka di sini. Cari siapa?” Semua mata memandang
pemuda di depan pintu Polindes. Tinggi, besar, hitam,
kribo, celana jeans robek di lutut kiri kanan, kaus biru
tua you can see tanpa lengan, dengan satu bungkus roti
dalam plastik di tangan.
“He Lukas! Kribo! Kamu ada urusan apa? Jangan
buat onar di sini,” kata Mama Gonz. “Pergi cepat!”
“Oleh-oleh untuk Nona Bidan,” kata Lukas dengan
wajah dingin. Ros terkejut! “Ini kribo yang memalang
jalan menuju Polindes pada hari pertama kedatangan
saya. Kribo yang hampir menghancurkan saya pada hari
pertama kunjungan neonatus14” kata Ros dalam hati.
“Bukan oleh-oleh untuk kau!” Matanya melotot menatap
Mia yang juga terkejut.
“Sebagai permohonan maaf yang sebesar-besarnya
atas kelakuan saya atau perbuatan saya yang tidak sopan.

Neonatus: bayi baru lahir.


14

45
Maaf, maaf, dan maaf,” Lukas menyerahkan bungkusan
plastik.
“Jangan terima Nona Bidan,” kata Mama Valentina.
“Jangan ganggu Mia, jangan buat masalah di sini. Tidak
dapat perawat kamu mau sama bidan? Ganti itu baju dan
celana dulu.”
“Jangan begitu Mama,” Lukas bersikap tenang.
“Ini bukan untuk Mama, tetapi untuk Nona Bidan
Ros,” seenaknya saja dia mengambil tangan Ros dan
menyerahkan bungkusan itu. Mama Gonz menariknya
dari tangan Ros. “Terima kasih! Pergi sekarang!” ben­
taknya.
“Mama mau usir saya? Saya ada salah apa?” tanya
Lukas Kribo.
“Ada urusan apa ke sini? Mau bersalin? Naik tempat
tidur sudah! Kami mau periksa!”
“Jangan kasar begitu, Mama!” kata Kribo. “Saya
datang baek-baek alias baik-baik, terima juga baek. Saya
juga manusia biasa. Punya perasaan juga. Bagaimana
Ibu Bidan? Mau usir saya juga. Saya ada buat onar
kah?” Kribo menatap Ros lekat-lekat dan mengerdipkan
matanya sebelum pergi. Beberapa saat kemudian ter­
dengar motor distarter dan melaju sambil meraung. Ros
berusaha tenang mengatasi getaran dalam dirinya.
“Hati-hati. Lukas suka buat onar.”
“Suka nekat juga. Suka iri hati,” sambung Mia.

46
“Jangan jawab apa-apa e kalau dia datang lagi.
Bahaya!”
“Terima kasih. Ada dua orang mama di sini. Ada
Mia. Saya pasti bisa menghadapinya.”

47
4
Sesuatu yang Dapat Diubah

“Datang dengan siapa kemari?”


“Suami.”
“Di mana dia?”
“Ada di luar.”
“Kenapa tidak ikut masuk?”
“Dia malu.”
“Malu kenapa?’
“Malu saja Bu Bidan.”
“Tolong panggil dia masuk,” Bidan Ros meminta
bantuan Mia memanggil Bapak Bernadus agar masuk
ke dalam ruang periksa. Sambil mengisi registrasi, kartu
ibu, kartu kohor ibu, dan buku KIA15 pegangan ibu hamil,
Bidan Ros menunggu suami Lisa masuk.
“Ini anak ketiga ya?”
“Anak pertama dan kedua perempuan?”
“Mau cari anak laki-laki?”
“Ya Ibu Bidan. Belum dapat anak laki-laki.”

KIA = Kesehatan Ibu dan Anak


15

48
“Kalau anak ketiga nanti perempuan lagi bagai­
mana?”
“Saya harap laki-laki. Doakan ya Ibu Bidan.”
“Kalau perempuan lagi?”
“Mungkin harus hamil lagi.”
“Kenapa?”
“Memang sudah adat begitu. Harus ada anak laki-
laki.”
“Oh, begitu ya?”
“Selamat siang Ibu Bidan,” Bernadus masuk ke
dalam ruang periksa.
“Selamat siang juga. Om Nadus ya? Apa kabar
Om. Ke Malaysia lagi? Kapan berangkat?” Pertanyaan
Ros dijawab dengan lancar oleh Om Nadus. Om Nadus
menunggu KM Awu yang akan membawanya ke
Surabaya. Dari sana ia akan berangkat dengan kapal lain
lagi menuju Kualalumpur Malaysia.
“Kenapa Om Nadus tidak ikut masuk?”
“Malu Ibu Bidan.”
“Malu sama siapa? Tidak perlu malu antar istri sen­
diri.”
“Kalau saya punya teman tahu mereka pasti olok
saya.”
“Biar mereka tertawa.”
“Aduh saya punya muka mau taruh di mana?”
“Tidak taruh di mana-mana Om Nadus, tetap di
tempatnya bukan? Paling-paling hanya merah sedikit.
Biar saja teman-teman olok yang penting istri senang.

49
Bagaimana Mama Lisa? Senang Om Nadus yang antar
periksa?”
“Senang sekali. Saya maunya dia jangan pergi ke
mana-mana. Cari kerja di sini saja. Biar sedikit uangnya,
tetapi senang,” kata Lisa sambil tertunduk malu-malu.
“Tidak usah malu Mama Lisa. Sudah lama hidup
sama-sama, sudah punya anak dua. Sekarang mau tiga
orang. Jadi, jangan malu-malu ya,” kata Bidan Ros sambil
tersenyum.
“Orang sini tidak biasa antar istri periksa hamil.
Rasa bagaimana begitu karena perempuan yang hamil
jadi kalau laki-laki ikut-ikut masuk ruangan begini,
saya gugup juga,” Om Nadus mengitari ruang periksa
dengan matanya. “Jadi, ini kah ruang periksa juga ruang
ibu bersalin? Baru satu kali ini,” kata Om Nadus sambil
menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
“Begini Om Nadus,” Bidan Ros memulai. “Kehamilan
Mama Lisa ini termasuk berisiko. Om Nadus harus
tahu ini ya. Waktu melahirkan anak pertama terjadi
pendarahan. Untung waktu itu Mama Lisa melahirkan di
Puskesmas ada bidan ada dokter jadi bisa segera ditolong.
Melahirkan anak kedua juga pendarahan. Untung cepat
dibawa ke RSU dan dapat ditolong. Sekarang, anak
ketiga risikonya lebih tinggi. Mohon maaf, saya harus
jelaskan ini kepada Om Nadus dan Mama Lisa. Hamil
kedua terjadi pendarahan dan pengguguran bayi lima
bulan. Anak ketiga selamat, tetapi baru umur tiga bulan,
Mama Lisa sudah hamil lagi. Ini jarak hamil dengan anak

50
kedua terlalu dekat dengan riwayat pendarahan yang ada,
ada kemungkinan pendarahan lagi. Ini kehamilan dengan
risiko tinggi.”
“Jadi, kami harus buat apa, Mama Bidan?” tanya Om
Nadus.
“Sebentar ya. Ada empat kategori terlalu, yaitu
terlalu sering, terlalu dekat jaraknya, terlalu muda, dan
terlalu tua. Mama Lisa ini termasuk dalam terlalu sering
dan terlalu dekat karena dalam waktu empat tahun hamil
empat kali, melahirkan dua kali, keguguran satu kali, dan
akan melahirkan anak keempat jika dihitung dengan anak
yang meninggal. Ini cukup berisiko. Semua catatan ada
dalam registrasi, kartu ibu, kohor ibu, dan buku KIA ini.
Mama Lisa pegang buku KIA. Dalam buku KIA ini juga
ada pelajaran untuk ibu hamil dan keluarga. Bisa dibaca
ya. Jadi, kita sama-sama saling tahu kondisi Mama Lisa.
Buku KIA dibawa setiap kali datang periksa ya. Tidak
boleh hilang. Kalau sampai hilang nanti sulit cari yang
baru, terutama kita sulit telusuri data-data yang ada.”
“Terima kasih Ibu Bidan.”
“Berat badan Mama Lisa juga kurang jauh sekali.
Terlalu kurus untuk ibu menyusui dan ibu hamil. Jadi,
sekarang sebaiknya jangan menyusui lagi sebab Mama
Lisa sedang hamil. Tidak sehat kalau menyusui terus
sambung-menyambung anak kedua ini dan nanti lanjut
anak ketiga, apalagi nanti dua anak masih sama-sama
menyusui....”

51
“Jadi, berhenti menyusui anak kami ini?” tanya Om
Nadus. “Dulu Mama Dukun Gonz bilang kasih susu
sampai dua tahun.”
“Ya kalau normal. Ini bayi belum enam bulan, ibu
sudah hamil tiga minggu. Bagaimana bisa susu terus. Ibu
perlu istirahat, sehat, kuat untuk siap melahirkan anak
ketiga nanti. Asupan makanan untuk bayi dan kakaknya
perhatikan ya. Makan tiga kali sehari. Minum susu kalau
ada uang untuk beli. Usahakan beli susu pengganti ASI
ya. Kalau tidak bisa setiap hari kasih minum air kacang
hijau, makan bubur kacang, kasih bubur campur wortel
dan banyak sayur-sayuran yang ada di kebun, telur ayam.
Kalau bisa beli ikan juga baik sekali untuk bayi dan
balita.”
“Terima kasih Ibu Bidan.”
“Bulan depan Mama Lisa datang periksa lagi ya.
Timbang berat badan dan perlu penanganan lainnya biar
hamil sehat dan melahirkan sehat. Bawa kartu kohor ini
ya. Semua informasi perkembangan kehamilan, ibu dan
janin akan dicatat di sini. Catatan penting, Mama Lisa ini
harus, sekali lagi harus melahirkan di Puskesmas. Nanti
paling lambat satu minggu sebelum melahirkan sudah ke
Puskesmas. Puskesmas akan rujuk ke RS. Kemungkinan
besar kalau tidak bisa ditangani, berdasarkan riwayat dan
data yang ada Ibu Lisa akan dioperasi nanti.”
“Bagaimana bidan tahu?”
“Sudah saya jelaskan tadi,” kata Ros. “Bulan depan
Mama Lisa bisa pergi bersama saya ke Puskesmas supaya

52
mendapat penjelasan lengkap dari bidan kepala juga bisa
konsultasi langsung dengan Dokter Yordan,” kata Ros
dengan tenang dan jelas.
“Tetapi, saya sudah berangkat, tidak bisa antar
periksa,” kata Om Nadus.
“Itu sudah Ibu Bidan. Saya ini capek sekali urus
semua sendiri,” suara Mama Lisa.
“Bagaimana Om Nadus?”
“Saya maunya Nadus tidak pergi,” suara Mama Lisa
lagi.
“Cari uang Ibu Bidan. Saya harus pergi,” kata Om
Nadus.
“Ya nanti bicara lagi di rumah ya. Sebaiknya bagai­
mana,” Bidan Ros merasa tersentuh hatinya saat menatap
wajah Mama Lisa sekilas. Ibu hamil yang satu ini selalu
tampak tertunduk bagai memikul beban berat. Tetapi,
sebagai bidan dirinya terbatas tidak dapat masuk terlalu
jauh ke dalam kehidupan pribadi pasien-pasiennya.
“Perkiraan melahirkan 20 September,” kata Bidan
Ros. “Karena risiko tinggi Mama Lisa sudah ada di dekat
Puskesmas atau di Puskesmas pada hari H- 7 dan pulang
ke rumah pada hari H+7.”
“Apa artinya H min tujuh plus plus itu Ibu Bidan?”
tanya Nadus. Ros tersenyum sekilas teringat kata-kata
Lina bahwa laki-laki bernama Nadus itu wajahnya mirip
Thiery Henry. Memang mirip benar.
“Artinya satu minggu sebelum melahirkan harus
sudah ada di dekat Puskesmas atau Rumah Sakit. Satu

53
minggu setelah melahirkan baru bisa pulang rumah,”
kata Ros.
“Ooooh begitu,” jawab Nadus.
“Puskesmas kita belum punya rumah tunggu
jadi bisa upayakan tinggal di rumah keluarga di dekat
Puskesmas. Ada keluarga?”
“Ada banyak Ibu Bidan,” jawab Mama Lisa.
“Mudah-mudahan waktu itu saya ada,” sambung Om
Nadus.
“Melahirkan di Puskesmas atau RS nanti ada pen­
jelasan dari Puskesmas,” kata Bidan Ros sambil me­ra­
pikan catatan.
“Jadi tujuh ha tujuh?” Nadus bicara lagi. “Repot
juga. Tidak bisa pada hari mau lahir dulu baru dibawa ke
Puskesmas?”
“Tidak bisa.”
“Kalau tujuh ha lima?”
“Boleh. Itu artinya lima hari setelah melahirkan baru
boleh pulang. Bisa juga tujuh ha tiga, lima ha tiga. Nanti
kita lihat perkembangannya ya. Kalau keadaan normal
justru harus dua ha dua,” jawab Ros. “Om Nadus lihat
sendiri kondisi jalan dari Polindes ke Puskesmas. Buruk
sekali. Jadi, kalau tunggu hari melahirkan atau hari ha
baru pergi ke Puskesmas, apa yang terjadi?”
“Menurut Ibu Bidan bagaimana baiknya?” tanya Om
Nadus.
“Tujuh ha tujuh untuk Mama Lisa. Melahirkan di
Puskesmas. Di sana ada dokter dan peralatan dan obat-

54
obatan yang cukup,” kata Ros. “Dokter akan membuat
rujukan ke RS jika keadaan mendesak untuk itu.”
“Baik Ibu Bidan.”
“Sudah siap biayanya dari sekarang ya. Jadi, pada
hari melahirkan nanti persiapan cukup. Sekali lagi, mau
saya sampaikan Mama Lisa hamil dengan resiko. Jadi,
harus waspada sejak awal,” kata Ros lagi. “Saya sendiri
ikut antar ke Puskesmas. Kalau rujuk ke RSU saya juga
akan ikut antar.”
“Baik Ibu Bidan.”
“Ini selain buku KIA ada stiker P4K16 dan bendera
kuning ini. Stiker ini berguna untuk saling kontrol. Jadi,
Mama Lisa sudah masuk dalam pantauan. Jangan terlalu
kuatir ya. Kalau terpaksa Om Nadus tidak ada, Mama
Lisa tetap bisa ditolong. Yang penting ada kerja sama
semua pihak ya. Mama Lisa dan keluarga harus mau
bekerja sama. Jauh lebih bagus lagi kalau Om Nadus ada
selalu.”
“Stiker ini taruh di mana? Bendera ini untuk apa?”
“Tempelkan di depan rumah. Bisa di pintu depan
atau jendela. Bendera ini juga bisa pasang di teras rumah.
Tujuannya supaya semua orang tahu bahwa ada ibu
hamil dalam rumah. Ibu hamil harus dijaga dan ditolong
oleh segenap warga desa.”
“Aduh mengerikan sekali,” spontan Om Nadus
bicara.

P4K: Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi.


16

55
“Mengerikan apa Om?” tanya Bidan Ros.
“Itu stiker dan bendera dipasang siang dan malam?”
tanya Om Nadus.
“Ya. Sudah jelas?”
“Baik Ibu Bidan. Di rumah ada Bapa, Mama, Lukas
Kribo, dan Yohana saya punya adik.”
“Saya Yohana. Adik Om Nadus dan Lukas Kribo
yang diusir Mama Gonz,” sambung Yohana begitu ma­
suk ke dalam ruangan. “Padahal dia datang baik-baik dan
hanya mau baik-baik saja dengan Ibu Bidan.”
“Oh ya,” Ros berusaha mengatasi rasa terkejut dan
keterusterangan Yohana.
“Stiker dan bendera kami hanya pasang pada waktu
siang. Pada waktu malam kami kasih turun. Soalnya
kami takut ata polo. Ata polo itu setan barang halus lewat
tengah malam. Bayi dalam kandungan bisa mereka
ambil,” Yohana bicara apa adanya.
“Oh ya,” jawab Ros sambil mengangguk.
“Bila perlu kami tidak pasang sama sekali,” kata
Yohana lagi. “Ya, kami upayakan pasang, tetapi lihat saja
nanti.”
***

“Ingat, bulan depan pada tanggal yang sama dengan


hari ini datang lagi ya. Mertua atau Yohana bisa ikut ke
sini kalau Om Nadus tidak ada. Sekali lagi, saya sarankan
sebaiknya Om Nadus dampingi dulu Mama Lisa sampai

56
melahirkan baru pergi,” kata Ros. “Mama Lisa bisa
bersama saya, mama mertua, dan Yohana ke Puskesmas
ya? Mama Lisa harus tahu dan mengerti betul risiko
kehamilan ini. Maaf saya beri peringatan terus. Ini
semua demi keselamatan Mama Lisa dan keluarga,” Ros
berbicara dengan lebih tenang.
“Baik Ibu Bidan.”
“Di Puskesmas nanti akan ambil darah dan pe­
meriksaan lebih lengkap. Ingat sekali lagi, kehamilan
Mama Lisa dengan risiko tinggi.”
“Ibu Bidan mau membuat kami takut atau membuat
kami tenang?” tanya Yohana.
“Saya menjelaskan yang terbaik,” kata Ros. “Ber­
dasarkan riwayat kehamilan, keadaan umum Mama Lisa,
kehamilan yang terlalu cepat, serta pendarahan yang
terjadi setiap kali melahirkan, bahkan pernah mengalami
keguguran anak nomor dua ketika hamil lima bulan.”
“Oh begitu?”
“Jadi, bukan untuk buat takut atau buat tenang,”
sam­bung Mama Falentina. “Tetapi, jelaskan apa yang
se­sungguhnya supaya tidak terjadi hal yang tidak kita
inginkan.”
“Seperti apa?” tanya Yohana.
“Pendarahan lagi atau keguguran lagi,” sambung
Mama Falentina dengan marah.
“Semua akan baik-baik saja jika kita bekerja sama
untuk menolong Mama Lisa,” Ros berusaha senyum dan

57
bersikap ramah. Dengan tenang dia antar Mama Lisa,
suaminya, dan Yohana keluar dari pintu Polindes.

***
Bidan Ros berdiri di sudut jendela. Mama Lisa
berjalan di depan berdampingan dengan Yohana dan Om
Nadus berjalan di belakangnya. Rambut Lisa dikonde
di belakang kepala. Kaus berwarna kuning dan sebuah
sarung khas lokal berwarna coklat kemerahan membalut
tubuhnya yang tinggi dan terlalu kurus untuk ukuran
tinggi seperti Mama Lisa. Sarung yang melindungi diri
dan memberi kehangatan itu mudah-mudahan benar-
benar hangat untuk Lisa. Wajahnya manis sebagaimana
wajah gadis-gadis Flores asli.
“Sayang sekali harus melahirkan lagi dengan jarak
begitu dekat demi mencari anak laki-laki. Begitukah
orang Flores memperlakukan perempuannya?”
Bidan Ros mengalihkan perhatiannya pada Om
Nadus. Tingginya sama tinggi dengan Lisa istrinya.
Laki-laki itu berbadan tegap cenderung kekar, perform
seorang laki-laki petani yang setiap hari bekerja sama
dengan pacul dan olahan tanah, parang dan rumput
liar, serta dahan-dahan yang mesti ditebas. Punggung
laki-laki yang terbiasa bergerak memacul dan memikul
panenan untuk dibawa pulang ke rumah. Laki-laki
perkasa yang berani menghamili perempuan dengan
jarak kehamilan begitu dekat. Laki-laki yang mengerti
risiko apa yang mungkin terjadi, namun menghadapi

58
saja tanpa pendalaman. Laki-laki yang tidak berusaha
mengerti dengan baik riwayat kehamilan istrinya. Laki-
laki yang datang dan menghamili, setelah itu pergi, dan
kembali lagi saat istri sudah melahirkan. Laki-laki yang
rela menempuh risiko demi mencari laki-laki penerus
keturunan.
Apakah perempuan bukan penerus keturunan?
Mengapa hanya laki-laki yang diyakini tradisi sebagai
penerus keturunan? Ros memperhatikan punggung laki-
laki yang berjalan tergesa di belakang istri dan adiknya
itu. Wajah Thiery Henry, tetapi potongannya bukan
potongan penggoreng bola bundar asal Prancis itu.
Laki-laki dari timur, apalagi petani, jauh lebih berisi dan
gagah.
“Kenapa harus pergi bekerja jauh di rantau orang
dan meninggalkan perempuannya?”
“Di sana kerja sebagai petani pula. Petani kelapa
sawit dilengkapi dengan nama TKI17 yang keren di
telinga orang desa. Kirim uang tiap tiga bulan sekali.
Berapa jumlah uang yang dibawa untuk anak istri. Apa
yang tampak dari keberhasilan Om Nadus?”
“Mestinya dia ada di sini saja mendampingi istrinya
yang memang kelihatannya capek. Bukan capek kerja,
tetapi capek memikul beban hidup terpisah dengan
suami. Hamil empat kali dalam waktu empat tahun.
Mengapa laki-laki yang kekar dan gagah ini membiarkan
TKI: Tenaga Kerja Indonesia. Singkatan untuk tenaga kerja Indonesia yang
17

berkerja di luar negeri.

59
istrinya menderita? Selalu mengalami pendarahan. Apa
yang dipikirkan tentang kehamilan? Apakah semata-
mata melahirkan anak memberi keturunan laki-laki
tanpa pengetahuan yang cukup tentang risiko yang mesti
ditanggung istrinya?” Ros menatap jauh ke depan. Di
desa itu ditemui tidak sedikit ibu-ibu muda dua puluhan
tahun dengan dua sampai empat anak yang masih kecil.
Mereka selalu tertawa dan bersikap ramah. Wajah
tampak lebih tua dari usia sebenarnya. Banyak di antara
mereka yang mendidik dan membesarkan anak tanpa
suami sebab suami pergi TKI.
Hidup di bawah naungan mertua dengan segala
keterbatasan yang sulit dibahasakan dengan kata-kata
yang tepat. Jika umur dua puluh lima dengan wajah
empat puluh apa yang tersirat di balik kedalaman mata
seorang ibu? Selain harapan suami pulang dengan
selamat dan membawa uang yang cukup.
Itukah mimpi seorang istri? Adakah laki-laki, suami,
bapaknya anak-anak mengerti sepi dan kesunyian desa di
dalam kegelapan? Rengekan anak-anak dan tangisan bayi
terdengar melengking dan menyusup dalam bayang-
bayang pohon yang tampak sangat panjang di tengah
malam dengan sinar bulan?

***

Ros mengalihkan pikirannya pada laki-laki lain.


Dia adalah Adrian yang sudah bertunangan dengannya

60
sebelum dirinya bekerja sebagai bidan desa. Adrian
juga tinggi dan tegap sebagaimana putra asli Bajawa
umumnya.
Ya, Adrian! Apakah jika menikah dan hamil nanti,
Adrian akan setia mengantarnya periksa? Bidan Ros
tersenyum sendiri membayangkan waktu itu. Akan ber­
sikap sabar dan penuh perhatiankah dia? Atau bisa saja
dia sedang bekerja di tempat yang jauh sehingga tidak
ada pada saat-saat yang menentukan seperti ini. “Ah,
waktu itu masih jauh sekali.”
Mama Gonz sudah pulang. Mia juga sudah pulang.
Mama Falentina sudah istirahat. Kini saatnya pulang
ke rumah, makan siang, dan tidur,” Ros mengunci pintu
Polindes dan melangkah pelan ke rumahnya.

61
5
Para Sahabat Hati

I
“ bu Bidan, Ibu Bidan,” terdengar suara Mama Sofia
beberapa kali dari arah jalan. Bidan Ros segera keluar
kamar dan berdiri di depan pintu rumahnya. Mama Sofia
melintasi jalan di depan Polindes. Daun singkong di
atas seikat kayu bakar di atas kepalanya. Ros membantu
meletakkan pikulan di atas tanah dan menyandarkannya
di pagar bambu di depan rumah. Mama Sofia meletakkan
gulungan kain alas pikulan di atas kayu bakar.
“Sudah tutup?”
“Buka dua puluh empat jam.”
“Sepanjang jalan tadi saya sudah bilang ke orang
kampung sini. Kalau istri hamil dan mau periksa di
Polindes harus bawa dengan suami. Istri senang, tetapi
suaminya alasan macam-macam. Hampir semua bilang
malu. Memang dasar suami tidak tahu perkembangan
zaman.”
“Begitukah Mama Sofia?”

62
“Nanti kalau ada suami yang tidak mau antar istri
periksa hamil saya akan tarik mereka ke sini,” kata Mama
Sofia sambil tertawa.
“Mama Sofia kuat?”
“Pikul kayu dan jalan tiga kilo jauhnya, saya bisa,
apalagi urus itu manusia satu orang,” komentar Mama
Sofia. “Tadi di jalan ada mama-mama yang cerita Om
Nadus ikut masuk ke kamar periksa? He he he...Betul
kah?”
“Betul Mama Sofi.”
“Ibu Bidan kasih ceramah apa saja? He he he.”
“Lengkap buku KIA pegangan ibu hamil dan
pegangan bidan dengan penjelasan lengkap. Semua
sudah diisi. Kartu ibu, kartu status, register, dan kohor
ibu. Risiko yang mungkin dialami Lisa, perlunya
pendampingan suami, dan banyak lagi.”
“Dia punya muka bagaimana?”
“Senang!”
“Senang?”
“Kenapa Mama Sofi tertawa?”
“Lucu saja. Memang tidak biasa. Saya zaman dulu
juga tidak pernah suami antar apalagi tunggu me­
lahirkan. Sekarang zaman beda dan memang semuanya
harus beda. Makanya biar lucu saya tahan tertawa
setengah mati waktu dengar mama-mama cerita Nadus
juga masuk ruang periksa. He he he.…”
“Lucu sekali?”

63
“Ya, tetapi untung ibu hamil mau datang periksa
sama Ibu Bidan. Soalnya, kalau bukan bidan mereka malu
sekali periksa di dokter Puskesmas.”
“Kenapa? Dokter lebih tahu.”
“Malu.”
“Kenapa malu?”
“Kalau dokter raba-raba mereka punya itu barang
he he he. Apalagi kalau dokternya laki-laki. Makanya
tidak heran Ibu Bidan kalau ibu hamil di kampung lebih
senang dengan bidan daripada dokter laki-laki. Mereka
juga lebih senang ke dukun daripada Puskesmas. Soalnya
itu tadi, berhubungan dengan pegang ini dan itu, he he
he,” Mama Sofi tertawa. “Syukurlah mereka datang ke
Polindes. Syukur juga Om Nadus sudah kasih contoh
baik sekali he he he.…”
“Banyak yang tertawa?” Bidan Ros juga tertawa.
“Sudah kasih Lisa stiker P4K?” tanya Mama Sofia.
“Sudah! Tambah bendera kuning untuk pasang di
depan rumah tanda ada ibu hamil.”
“Mereka setuju?”
“Ya dengan banyak komentar.”
“Bendera dan stiker P4K? Paling-paling mereka
simpan di kolong,” kata Mama Sofia lagi. “Biar kita
sudah kasih penjelasan bahwa stiker P4K itu singkatan
dari Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan
Komplikasi. Aduh, susah sekali hafal ini barang. Po­
koknya intinya adalah alat pantau. Ibu hamil, kader,
bidan, bikor atau bidan koordinasi, kades, pokoknya se­

64
mua orang tahu jelas ada ibu yang hamil dalam rumah.
Stiker itu tidak hanya Lisa yang tahu, tetapi kita juga.
Namun, mereka pasti tidak pasang! Apalagi bendera.
Tidak gampang meyakinkan mereka bahwa itu semua
adalah alat pantau.”
“Kenapa Mama Sofia?” tanya Rosa.
“Siapa berani pasang?” tanya Sofia. “Adat di sini
ibu hamil bangun terlalu pagi, keluar malam apalagi
sendirian itu pemali. Takut ada barang halus, setan-setan
malam yang ikut dan rampas bayi dalam perut.”
“Begitu ya?”
“Ya Ibu Bidan,” kata Sofia mengecilkan suaranya.
“Apalagi pasang stiker dan bendera kuning untuk kasih
tanda ada ibu hamil. Orang takut. Sebab itu sepertinya
kasih tahu manusia halus dan setan-setan supaya datang
ganggu.”
“Begitu ya?”
“Jadi, soal pasang stiker dan bendera kuning itu
jangan paksa,” kata Sofia. “Tidak biasa. Lagi pula orang-
orang sini takut sekali. Mereka berusaha sembunyi,
apalagi hamil muda. Jadi, tidak heran kalau hamil tiga
bulan empat bulan baru muncul ke Polindes untuk
periksa. Semuanya karena takut setan halus seperti yang
orang bilang kuntilanak, suanggi namanya.”
“Jadi, stiker dan bendera bagaimana?”
“Tidak usah paksa,” kata Sofia lagi. “Saya tidak
berani paksa. Yang penting kita tahu siapa yang hamil,
tinggal di mana, ada catatannya, dapat dipantau. Kalau

65
saya paksa mereka bisa anggap saya ini setan suanggi.”
Sofia terdiam sejenak. “Ada yang sudah mengerti, tetapi
banyak juga yang belum. Jadi, perlu waktu. Jadi, pelan-
pelan saja sampai orang mengerti betul, baru mereka
pasang dengan sendirinya.”
“Begitu ya, Mama Sofi?”
“Ya. Yang penting kita tahu ada ibu hamil,” kata
Sofia.
“Bisa SMS dan telepon ya,” kata Ros.
“Untung kita punya desa ini sudah ada signal. Kalau
tidak, susah juga mau SMS kiri kanan tentang Ibu hamil.
Oh ya Ibu Bidan, itu Lukas kribo bilang tiang signal di
belakang kantor desa itu dia bangun khusus untuk Bidan
Ros ha ha e. Jangan mau dengan dia e,” kata Sofia.
“Saya sudah punya tunangan Mama Sofia cantik,”
jawab Ros sambil tertawa.
“Tunangan ganteng sekali seperti pemain sepak bola
yang ada di tivi,” Mama Sofia dan Ros tertawa bersama-
sama.
“Saya sudah tahu. Baik sudah18, saya jalan dulu.
He he he Om Nadus Thiery Henry kasih contoh,” kata
Mama Sofia tertawa lagi. “Saya akan cerita keliling
kampung. Pokoknya kalau lewat di mana saja, dalam
acara apa saja saya akan cerita ini berita gembira.
Pertama pasti orang-orang, terutama bapak eh suami-
suami ketawa dan olok-olok Om Nadus, tetapi lama-lama

Kalimat baik sudah: sama pengertiannya dengan baiklah.


18

66
pasti mereka setuju. Ini soal penting. Lagi pula ini soal
Nadus yang terkenal baik hati di kampung ini. Tetapi,
Mama Bidan sudah tahu sifat itu Simon, Nadus punya
bapa dan Lukas Kribo. Mukanya sudah seperti marah
sepanjang waktu ditambah suka atur anak dan menantu,
jadi cocok. Nanti yang malu itu Om Simon dan Lukas,
bukan Nadus. Ini masalahnya.”
“Tidak apa-apa Mama Sofia,” kata Bidan Ros. “Pasti
akan lebih baik. Upaya Mama Sofia luar biasa. Kalau
semua kader seperti Mama Sofia saya pasti lebih lebih
betah kerja di Polindes desa ini.”
“Baik sudah Mama Bidan. Saya jalan terus. Pulang,”
kata Mama Sofia. “Saya pikir-pikir Mama Bidan ini
cantik dan mirip sekali dengan mamanya Om Martin.
Ada hu­bungan keluarga? He betul sudah mirip dengan
Mia adik­nya Martin. Mia sudah pulang kah?”
“Ya, Mia sudah pulang. Mama ada-ada saja,” kata
Ros. “Makan dulu di sini Mama Sofi.”
“Betul! Mirip mamanya Martin. Saya pulang
dulu. Nanti suami makan apa? Saya belum masak. Nasi
dan ikan saya sudah masak tadi pagi. Tinggal masak
sayur saja ini. Saya jalan dulu,” Mama Sofia memikul
kembali kayu bakar dan daun singkong di atasnya. Ros
membantunya meletakkan pikulan di atas gulungan kain
berbentuk bulat di atas kepala.
“Jalan dulu,” Mama Sofia berbalik melangkah cepat
pada jalan setapak di depan Polindes, memasuki jalan
desa, lurus, belok kiri, dan menghilang di ujung jalan

67
menuju rumah. Ros tersenyum sendiri. Keramahan
yang membuat dirinya betah di tengah desa yang sepi.
Ros menyadari bahwa kader seperti Mama Sofia adalah
sahabat suka dukanya.
Ros menatap jauh ke hamparan rumput dan bunga-
bunga di halaman, jalan di depannya, rumah dengan
hala­man luas ditumbuhi jagung dengan daun-daun
lebat dan subur, beberapa pohon menjulang di belakang
rumah, pohon cengkih berjejer di belakangnya menuju
bukit, gunung dan langit. Udara terasa dingin dan segar
mengingatkannya pada Bajawa kota kelahirannya.

***

Berdiri di jalan depan rumahnya di Bajawa. Dirinya


dapat melihat rumah dan kantor serta wolo (gunung)
Ngadha yang terasa dekat di depan mata. Memutar
beberapa derajat ke kiri dapat ditemui menara Gereja
Mater Boni Consili atau Gereja MBC yang menjulang
ke langit. Jika terus berputar sedikit ke bagian kanan
merupakan sebuah jalan pendek dan lurus menuju pasar
Bajawa yang kini ditutup. Kiri kanan jalan menuju
pasar itu adalah tetangga-tetangga yang sudah seperti
keluarga.
Bagian kanan mulai dari Om Usman dan Ma Ita,
bekas rumahnya Om Berhirman, rumah Tanta Pia dan
Om Sima almarhum, dan Oma Kori Wago di bagian
paling ujung berbatasan dengan sebuah toko bangunan
milik seorang dokter yang lebih banyak praktik jual beli

68
bahan bangunan daripada menolong orang sakit. Pada
bagian kiri dimulai dengan rumah Aci Ing dan Baba
Tinus almarhum, Tanta Yati dan Om Os almarhum.
Rumah Tanta Yati ini berbatasan langsung dengan
Gereja Protestan yang bagian depannya berhadapan
dengan Masjid.
Jika memutar lagi, dengan mudah mata memandang
bagian kubah Masjid, satu-satunya Masjid terbesar
di Kota Bajawa dengan kubah berwarna kuning ke­
emasan. Jika berdiri tepat di depan rumahnya dengan
punggung menatap rumah, matanya akan bertabrakan
dengan bagian belakang kantor Pertanian Kabupaten
yang bertetangga dengan Kantor KPU. Kantor
KPU berhadapan dengan jalan lurus melewati TKK
Bayangkara, rumah Kapolres di sebelah kanan, kantor
Bappeda, dan asrama polisi di sebelah kiri.
Tidak jauh dari kantor KPU, memutar ke kiri ada
rumah keluarga Ersa Janga dan Dorty Janga. Ersa yang
cantik dan baik hati kini menetap di Jakarta. Dorthy
adiknya identik dengan kekeluargaan dan suka duka
para tetangga. Kesibukan apa pun dalam urusan air
mata maupun tawa ria, Dorthy yang biasa disapa Do ini
pasti hadir. “Jika menikah nanti, pasti Do singsingkan
lengan baju, siap membantu,” Ros tersenyum sendiri
membayangkan situasi itu.
Jelas sekali ingatannya pada rumah masa kecilnya
itu sejelas ingatannya pada acara pertunangannya yang
ditandai dengan ritual zeza dalam adat Bajawa. Zeza

69
artinya mensahkan sebuah pasangan kekasih sebelum
menikah secara resmi di Gereja. Pada zaman dulu,
zeza sama artinya dengan menikah dan sah secara adat
Ngadha.
Sekarang, sebagai umat beragama Katolik sahnya
per­nikahan adalah pemberkatan melalui penerimaan
sakramen perkawinan secara Katolik. Akan tetapi, ada
banyak pa­sangan yang berhenti pada zeza, memiliki
anak-anak, hidup bersama tanpa ikatan perkawinan
yang sah menurut agama dan catatan perkawinan secara
hukum sipil. Dalam hal ini yang menderita batin lebih
banyak adalah perempuan yang hamil punya anak tanpa
ikatan pasti.
Bidan Ros menghitung-hitung waktu dengan
jarinya. Sekarang Februari. Itu berarti, Februari tahun
depan ditambah lima bulan kurang dia akan menikah
dengan Adrian. Ros akan menjalani zeza dan berbagai
ritual adat lainnya, menikah resmi di Gereja, melakukan
pernikahan catatan sipil, hamil, dan punya anak-anak.
Ros menengadah ke langit. Udara cerah. Seekor
burung menari lemas sendirian di udara. “Beda dengan
langit Bajawa. Kalau udara cerah seperti ini, burung-
burung terbang berkelompok. Mereka melintasi langit
hinggap di pucuk pohon hinggap pula di menara Gereja.”
Sesaat Bidan Ros merasa hatinya sepi jauh dari orang tua
dan keluarganya di Bajawa. Jauh pula dari Adrian.
“Mama Bidan,” seorang tetangga di depan Polindes
memanggil. “Ada ubi rebus. Mau?” Beberapa saat ke­

70
mudian seorang anak kecil yang biasa dipanggil Siu
datang dengan sepiring singkong rebus yang masih
mengepul. Ros tersenyum memperhatikan wajah Siu. Ia
menyadari kekeluargaan di kampung halamannya juga
dirasakan di Desa Bakung tempatnya bekerja.
“Kasih tahu mama, Mama Bidan bilang terima
kasih,” kata Ros dan anak itu berlari sambil mengangguk.
“Tidak ada alasan untuk merasa sepi,” kata Ros dalam
hatinya. Dia masuk kembali ke dalam rumah dan
mendapati Mama Falentina sedang tertidur pulas dalam
kamarnya dengan pintu terbuka.

***

Istirahat sejenak pada siang setelah bekerja adalah


sebuah kewajiban bagi Bidan Ros. Dialah satu-satunya
bidan desa. Sejak bertugas, hanya dia satu-satunya
bidan bersama Mama Gonz dan Mama Falentina yang
dapat menolong persalinan normal di sana. Tanggung
jawabnya selalu diuji dengan kelahiran sehat dan
selamat yang selalu menjadi bagian dari kesehariannya.
Lega rasanya bila hal itu terjadi. Lengkingan bayi yang
baru menghirup udara dunia, tangisan ibu yang tabah
menanggung rasa sakit, tawa ria suami, dan keluarganya
menyambut kedatangan adik baru adalah energi baru
bagi Bidan Ros. Setelah lama menetap di Polindes, Ros
barulah mengerti mengapa Polindes menjadi tumpuan
harapan ibu-ibu dan warga desa setempat.

71
Kebijakan melahirkan di Puskesmas PONED itu
hebat, sungguh luar biasa. Akan tetapi, Puskesmas ter­
lalu jauh dengan kondisi jalan yang sepi, rusak, dan
berlubang-lubang. Pengerasan jalan hanya sementara
selalu kembali ke posisi semula setelah hujan deras.
Polindes adalah satu-satunya tempat bersandar selain
melahirkan di rumah dengan bantuan dukun yang suka
maupun tidak suka ma­sih ada. Ros bersama para kader
harus ekstra kerja keras untuk meyakinkan pasien agar
mau melahirkan di fasilitas kesehatan yang memadai.

***
“Mama Bidan, Mama Bidan,” terdengar suara-suara
dari jauh. Dengan setengah terpejam Ros mendengar
langkah-langkah kian lama kian dekat mendatangi
Polindes.
“Mama Bidan, Mama Bidan,” suara-suara tepat di
depan rumah. Ros segera terbangun.
“Ada ibu mau melahirkan! Mama Bidan.”
“Mama Ani?” kata Ros melihat Frans suami Ani
berdiri menyambutnya.
Ros segera merapikan diri dan dengan cepat me­
makai pakaian yang pantas dan segera keluar kamar.
“Langsung ke ruang bersalin,” katanya dengan halus,
namun tegas. “Bapa tolong kasih penuh drum air di be­
lakang polindes,” katanya sebelum masuk ruang bersalin.
“Bukan Mama Lisa!” Pikiran Ros melayang ke Lisa. Sejak
diantar suaminya Lisa tidak pernah datang lagi. Sudah

72
tiga kali Ros ke rumah Lisa atau tepatnya ke rumah
Om Simon mertua Lisa, tetap tidak ada dan tidak ada
seorang pun yang mau memberi petunjuk Lisa ada di
mana. Tidak ada HP. “Di mana dia? Mengapa Ani yang
sehat dan cerdas ini? Mengapa bukan Lisa?”

***
“Mama Ani satu minggu lagi baru melahirkan! Di
Puskesmas!”
“Tetapi, perut saya sudah sakit sekali, tolong Mama
Bidan, tolong,” erang Mama Ani. Bidan Ros melakukan
pemeriksaan sesuai yang seharusnya.
“Mama Bidan, tolong,” Pak Frans suami Bu Ani
memohon dari depan pintu. “Bapa masuk saja tidak apa-
apa,” kata Bidan Ros. “Tutup pintunya.”
“Mama Bidan, saya,” ketukan di pintu tepat pada saat
pintu ditutup.
“Masuk Mama Sofi,” kata Mama Falentina.
Mama Sofia masuk dengan terengah-engah karena
datang dari rumahnya sambil berlari kecil. Dia tahu Ani
akan melahirkan satu minggu lagi dan akan berangkat ke
Puskesmas besok pagi.
“Kenapa bisa begini?” tanya Mama Sofi. “Kejang-
kejang lagi?”
“Kita harus bawa ke Puskesmas sekarang,” kata
Bidan Ros. Ia segera mengirim SMS yang siap kirim
untuk kader, bidan koordinator, Bapa Desa, Om Martin,
dan Dokter Puskesmas.

73
“Halo Om Martin. Ini Ros. Ada di mana?” Suara
Bidan Ros.
“Baru sampai rumah beberapa menit lalu. Ada apa?”
Suara Om Martin.
“Cepat datang Om Martin. Mau rujuk Mama Ani ke
Puskesmas. Tolong sekarang, ya. Sekarang,” suara Bidan
Ros. “Mia boleh ikut.”
“Janjinya lima hari lagi Bu Bidan,” suara Om
Martin.
“Hari ini. Sekarang,” suara Ros.
“Ya sekarang.”
Telepon ditutup dan beberapa saat kemudian Om
Martin sudah siap di depan Polindes. Selain suami,
bapak, ibu, dan keluarga pasien, para tetangga sekitar
Polindes dan tetangga pasien juga berkerumun. Mama
Ani dituntun oleh suaminya dan Mama Falentina dari
dalam Polindes.
“Awas e jangan tutup kami punya jalan,” kata Mama
Sofia dan kerumunan membuka jalan.
“Mama Bidan duduk di depan dengan sopir,” kata
Sofia. “Di belakang saya, Mia, dan Frans yang jaga
Ani. Siapa mau ikut? Hei jangan semua cukup tambah
dua orang. Itu Mina baru datang. Mari sudah Mina
kita ke Puskesmas. Mama Falentina jaga Polindes”
teriak Mama Sofia. Mina tergesa-gesa naik ke dalam
kendaraan. “Tambah satu lagi,” Dion adik Ani juga ikut
naik kendaraan. Kendaraan melaju meninggalkan kedua

74
mertua Ani, keluarga, para tetangga, dan kerumunan
orang-orang yang peduli, serta Polindes di belakangnya.
“Belum saatnya lahir,” kata Bidan Ros. “Masih satu
minggu lagi,” Ros mematikan HP. Berdasarkan peng­
alamannya selama di Polindes, sejak signal masuk di
desa, SMS, dan telepon sangat mengganggu konsentrasi.
Karena itu, diputuskannya sendiri bahwa dalam keadaan
genting HP dimatikannya.
“Ya, Frans sudah bilang ke saya. Dia mau gunakan
oto ini untuk antar istrinya ke Puskesmas. Katanya dua
hari sebelum melahirkan, istrinya akan tinggal di rumah
keluarganya dekat Puskesmas. Kenapa bisa hari ini?”
“Kejang-kejang. Persis seperti kehamilan pertama
dulu, tiga tahun lalu waktu saya belum tugas di sini,”
kata Bidan.
“Tidak apa-apa?” tanya Martin.
“Soal kehamilan dan masalahnya, selalu serius,”
kata Ros. “Jadi, Om Martin tetap dalam posisi hati-hati
ya dan lebih cepat lebih baik,” kata Bidan Ros dengan
tenang. Om Martin membawa kendaraannya dengan
tenang. Diliriknya sekilas perempuan yang duduk di
sampingnya. Bidan. Pintar. Manis. Sabar. Tabah. Om
Martin membuang jauh-jauh perasaan yang tumbuh
dalam hatinya.
“Terima kasih ya Om Martin selalu ada setiap di­
perlukan,” kata Ros.
“Ini salah satu tugas saya anggota tim desa siaga.”

75
“Tadi dari Maumere?”
“Ya, kirim hasil bumi ke Surabaya. Setelah itu, be­
lanja isi toko kecil yang sudah mau habis semua barang-
barangnya.”
“Tokonya laris ya.”
“Ya, biar Mia ada kesibukan kerja di rumah. Jaga
kios. Tujuan saya hanya itu. Kasian dia,” kata Om
Martin. “Tingkat tiga bidan dapat kecelakaan di kilo
delapan belas menuju Ende. Bonceng motor dengan
bapa. Bapa meninggal di tempat dan Mia lama di RS.
Mama meninggal satu tahun berikutnya karena sakit
atau lebih tepatnya tidak kuat kehilangan bapa dan lebih
tidak kuat melihat kondisi Mia.”
“Mia boleh tetap bantu di Polindes,” kata Ros.
“Cita-citanya jadi bidan kandas di tengah jalan,”
suara Om Martin tergetar.
“Dia cukup terampil membuat catatan dan laporan.”
“Ya…”
“Maaf, dengan keadaannya sekarang jadi . akan sulit
bagi Mia. Tetapi, Mia bisa jadi perawat pembantu. Coba
konsultasikan dengan Dokter Yordan. Kalian teman satu
kampus di Surabaya, kan? Pasti ada jalan keluar. Mia
pintar, cerdas, penuh semangat! Dia bisa melanjutkan
kuliahnya dengan pindah jurusan …”
“Tangan dan kakinya….”
“Tidak apa-apa…Mia cukup percaya diri.”
“Terima kasih,” kata Om Martin. “Keadaan sekarang
sudah lebih baik. Rela terima kenyataan. Hari-harinya di

76
Polindes sangat menolongnya pulih. Sore sampai malam
dia jaga kios di rumah. Dulu, saya titip dia di rumah sakit
Jopu, tapi dia ingin pulang ke rumah. Terima kasih tetap
menerima Mia di Polindes.”
“Upayakan Mia sekolah lagi dan dapat ijazah.
Penting untuk masa depannya,” kata Bidan Ros. Ros
berjanji akan menolong Mia melalui Linda temannya
di Kupang. Bukankah seharusnya demikian? Dia bisa
berbagi cerita dengan para tetangga depan Polindes,
Mama Sofia, Mina, atau warga desa yang lain. Cerita
tentang semangat Mia? Akankah menjadi aneh dan
menimbulkan banyak pertanyaan. Kebaikan Martin
padanya sudah menjadi bahan olok-olokan Mama Sofia
untuk menjodohkannya dengan Martin. Apalagi kalau
Ros memberi perhatian lebih pada Mia. Baru disadari
Ros, di desa itu ada rasa toleransi yang sangat tinggi
untuk saling menjaga satu sama lain perasaan-perasaan
sebagaimana yang dialami Mia adik Om Martin.
“Kapan pulang ke Bajawa?” tanya Om Martin se­
telah lama terdiam.
“Tidak pulang.”
“Kenapa?”
“Adrian akan ke sini minggu depan.”
“Oh ya?”
“Ya. Saya tidak bisa tinggalkan Polindes dalam enam
bulan ini. Ada ibu-ibu hamil yang nanti akan melahirkan
berturut-turut. Saya khawatir akan ada yang melahirkan
apalagi kalau ada masalah seperti sekarang ini,” kata

77
Bidan Ros. Kembali Om Martin melirik sekilas gadis
manis yang duduk di sampingnya.
“Kalau Mia jadi bidan sepertinya dia akan jadi
seperti Ibu Bidan Ros.”
“Oh begitu?”
“Saya punya mama juga ingin Mia jadi bidan seperti
Ibu,” suara Om Martin terdengar tulus dan penuh
harapan.
“Apakah Mia masih merasa menyesal?”
“Dia sudah jauh lebih sehat sekarang karena keber-
samaannya dengan Ibu Bidan Ros, Mama Gonz, dan
Mama Falen, juga karena sibuk dengan toko kecilnya.”
“Untung ada Om Martin ya,” kata Ros.
“Saya sering pergi,” kata Om Martin. “Akhir minggu
ini saya ke Surabaya ambil truk kecil buat cari hidup.
Hasil bumi kalau bawa dengan kendaraan sendiri lebih
hemat. Kerja keras tutup utang,” Om Martin tertawa.
“Kalau saya pergi nanti kendaraan ini saya parkir di
rumah. Kuncinya ada di Mia. Mia bisa atur siapa yang
bawa kendaraan. Mungkin bisa minta bantuan Dion.
Dion pernah jadi sopir.”
“Sukses ya Om Martin!” kata Ros dengan rasa
syukur untuk sahabat suka dukanya ini.
“Tolong jaga Mia. Kalau bisa dia tidur di Polindes
selama saya tidak ada.”
“Bisa!”
“Terima kasih Ibu Bidan,” Martin menginjak rem
tiba-tiba saat Lukas memotong dengan motornya. Semua

78
penumpang berteriak. Ros menjerit dan sesaat kemudian
membuka pintu dan melompat turun mendapati Mama
Ani. Om Martin segera turun dan memegang kerah baju
Lukas mengguncangnya keras-keras dan menekan keras-
keras tinjunya di rahang Lukas. “Bajingan! Ada ibu hamil
di dalam. Saya hajar kamu!” Martin mendorong sehingga
Lukas nyaris terpelanting dari atas motornya.
“Dasar setan Kribo!” Sofia meloncat keluar. “Kribo
mau buat masalah? Sini maju lawan saya, satu lawan satu.
Dasar Banci!” Dion juga melompat keluar tinggalkan
Frans dan Ani di dalam kendaraan.
“Antar ibu hamil atau pacaran?” Lukas menantang
tajam. Martin menangkap tangannya dan mendorongnya
keras-keras sehingga jatuh bersama motornya.

***

Kendaraan berhenti setelah terguncang-guncang se­


panjang jalan dari Polindes Bakung menuju Puskesmas.
Bidan Ros membuka pintu dan segera keluar. Om Martin
juga segera keluar membantu Frans menurunkan Ani.
Bidan senior sekaligus bidan koordinator dan dokter
Puskesmas sudah berdiri di depan pintu. Ani langsung
dibawa masuk ke ruang bersalin. Dokter, Bidan Ros,
Bidan Flori, dan Mama Lena perawat ada di ruang
bersalin. Kejang-kejang yang dirasakan Ani lebih terasa.
“Sakit sekali, Mama Bidan, Tolong,” Ani mengeluh dan
menangis.

79
“Bukaan tujuh19. Akan melahirkan sekarang,” suara
Bidan Kepala. Kesibukan dalam ruang bersalin terasa
sampai di luar ruangan. Suara-suara memberi aba-aba
untuk tetap kuat dan berjuang melahirkan terus disam­
paikan bidan dan dokter. “Ibu mesti kuat, kuat, dan terus
kuat supaya anak cepat lahir. Satu, dua, tiga…lagi satu,
dua, tiga … lagi satu, dua, tiga, tarik napas ya, sebentar,”
terdengar suara Bidan Kepala.
“Kaki ke bawah,” suara Bidan Kepala.
“Tadi posisinya bagus kepala sudah di bawah,” suara
Bidan Ros.
“Untung cepat dibawa,” suara Dokter Puskesmas.
Beberapa saat yang terasa sangat lama bagi ibu hamil,
suami, bidan, dokter, juga bagi keluarga yang menunggu
di depan ruang bersalin, dan bagi Om Martin yang
menunggu di depan Puskesmas.
“Gunting, jarum, kapas, kasa…” suara dokter teng­
gelam oleh tangisan dan erangan panjang Ani sebelum
terdiam. “Oksigen,” suara Dokter. Beberapa detik ber­
ikutnya Ros keluar ke seberang ruang bersalin dan
kembali lagi ke ruang bersalin dengan tabung oksigen.
Bersamaan dengan itu terdengar tangisan bayi.
“Sudah lahir,” bidan merasa lega saat kelahiran
dilan­jutkan dengan keluarnya placenta tidak lama
kemudian. Ros membantu Dokter melakukan penjahitan

Bukaan tujuh maksudnya, rahim sudah terbuka selebar tujuh sentimeter


19

dan bayi siap dilahirkan.

80
rahim yang mengalami robekan kiri kanan. Jahitan dalam
maupun luar jumlahnya sembilan belas kali.
Om Martin mendekati pintu masuk Puskesmas.
Semua pengantar bernapas lega dan saling menjabat
tangan satu sama lain. Mama Sofia keluar dari ruang
bersalin dengan bayi dalam gendongannya menuju
ruang bayi. Mama Lena sudah masuk ke sana terlebih
dahulu dengan semua persiapan yang diperlukan untuk
memandikan bayi. Dokter, Bidan Ros, dan Bidan Flori
masih berada di ruang bersalin.
“Siapa yang golongan darah A di sini?” Bidan Ros
berdiri di depan ruang bersalin dengan wajah pucat dan
cemas. “Om Martin, tolong!”
“Saya golongan darah A,” kata Om Martin.
“Saya juga,” kata Dion.
“Mari ke ruang sebelah,” ajak Bidan Ros. Beberapa
saat kemudian Om Martin sudah terbaring di tempat
tidur dan Bidan Ros mengambil darahnya 250 CC.
Menurut ingatan Ros, ini kali ketiga Om Martin
donorkan darahnya. Terakhir tiga bulan yang lalu. Ros
tahu persis Om Martin sehat dan bergolongan darah A.
Sementara itu, seorang perawat melakukan tes terhadap
Dion untuk memastikan apakah golongan darahnya juga
A sama dengan Ani atau tidak.

81
6
Antara Dua Laki-laki

J
“ angan dulu bangun ya Dion dan Om Martin.
Baring saja. Saya akan segera kembali,” dengan langkah
cepat Ros kembali ke ruang bersalin. Kondisi Ani sudah
stabil, namun masih harus terus dipantau. Infus sudah
dipasang dokter di sisi kanan tempat Ani terbaring.
Dengan cepat Ros memasang tiang infus kantong darah
di sisi kiri. Ros mengatur setelan tetesan darah dan
melihat detik jam tangannya. Dokter memperhatikan
Bidan Ros. Tangannya menyentuh denyut nadi Ani,
namun matanya menatap Ros tanpa berkedip. Dia segera
mengalihkan pandangannya ke wajah Ani ketika Ros
menoleh padanya.
“Ani…,” suara Ros amat perlahan.
“Ani… dengar saya? Bangun Ani. Anak sudah lahir.
Anak perempuan cantik sekali. Sehat. Ayo bangun,”
suaranya lembut. Dokter memperhatikan wajah Ros
dengan saksama. Wajahnya perpaduan bintang sinetron
Ayu Ahzari dan Paramitha Rusadi. “Memang Manis,”
Dokter berkata dalam hati.

82
“Ani…,” Bidan Ros memanggil sekali lagi.
“Mama…,” Frans menyentuh dahi istrinya.
“Ani…,” panggil Bidan Ros. Ani memberi reaksi.
Wajahnya pucat pasi. Matanya tetap terpejam. “Anaknya
perempuan,” Ani berusaha membuka matanya, namun
terasa berat sehingga tertutup lagi. Senyum yang ter­
sungging di bibirnya menunjukkan bahwa Ani sudah
sadar dan tidak ada yang perlu dikhawatirkan.
“Anak pertama laki-laki ya?” tanya Dokter.
“Ya, Pak Dokter!” jawab Frans.
“Sudah sepasang. Ikut KB20 ya?”
“Ya Pak Dokter!”
Dokter keluar ruangan. Bidan Ros mengikutinya
dari belakang dan berbelok menuju ruang di mana Om
Martin masih terbaring. Ternyata Om Martin tidak
tertidur, tetapi duduk di sisi kursi, di sisi Dion yang
sedang diambil darahnya oleh perawat. Mia duduk di
samping Om Martin.
“Sudah makan?” tanya Ros.
“Perawat kasih saya telur rebus dan satu gelas susu,”
Om Martin tertawa.
“Seperti biasanya. Saya hanya makan satu butir telur
saja. Saya tidak minum susu,” Om Martin tertawa lagi.
“Tidak diterima leher,” sambung Dion sambil ter­
tawa. “Mana pernah orang kampung di zaman Om
Martin tahu minum susu,” mereka tertawa bersama.
20
KB singkatan dari Keluarga Berencana. Dalam konsep Indonesia KB
disarankan untuk memiliki anak dua, laki-laki atau perempuan sama saja.

83
Dokter berdiri di depan pintu. “Donor darah?” tanya
Dokter. Ros, Om Martin, seorang perawat, dan Dion
menjawab serentak pertanyaan dokter. “Terima kasih.
Bagus sekali.”
“Martin jadi ke Surabaya?” tanya Dokter Yordan
kepada Om Martin. “Saya titip.”
“Buat Matilda?” tanya Martin sambil tertawa.
“Dia sudah sembuh dan sudah menikah dengan Cina
Surabaya,” jawab Yordan. “Kapan ke Surabaya? Saya titip
beli bibit sayuran, bunga, juga pohon.”
“Akhir minggu! Ke Kupang seminggu, sambung
Surabaya,” jawab Om Martin. “Ini saya punya adik, Mia!
Kenal dengan Dokter,” Om Martin memperkenalkan
adiknya. “Yang pernah saya cerita dulu. Bidan tingkat
akhir. Rencananya mau sekolah lagi. Pulang dari
Surabaya kita bicara ya,” kata Om Martin. “Mungkin
Mia bisa kuliah lagi.”
“Oh, saya kira adiknya Bidan Ros. Mirip sekali.
Kalian masih ada hubungan keluarga?”
“Ya,” Bidan Ros yang menjawab.
“Bidan Ros,” panggil Dokter. “Selesaikan dulu lapo­
ran­nya ya.”
“Ya Pak Dokter,” jawab Ros sambil berlalu ke ruang
administrasi.
“Martin! Tolong jaga dia untuk saya,” Dokter
Yordan tertawa. “Nona Mia jaga Kaka Bidan itu ya.
Aman dan nyaman di Polindes Bakung,” suara Yordan
disambut tawa bersama.

84
“Bagaimana kalau Dokter yang jaga dia untuk saya?”
Martin pun tertawa.
“Jelas-jelas Bidan Ros katakan tadi bahwa kalian
bersaudara,” Yordan merasa menang.
“Benar dia sudah tunangan dengan Adi? Adrian?”
“Sepertinya begitu.”
“Apakah Adrian bisa dipercaya?”
“Berdasarkan pengalaman di Surabaya, saya tidak
percaya,” jawab Martin.

***

Tanpa banyak bicara Ros mencatat semua hal yang


perlu dicatat tentang ibu yang baru melahirkan. Ia
mencatatnya dengan tenang tanpa merasa grogi sedikit
pun meskipun Dokter duduk dan memperhatikannya
tepat di seberang mejanya.
Menurut catatan yang ada, Ani mendapat pela­
yanan antenatal21 sesuai standar, empat kali. Satu kali
pada kehamilan trimester pertama, satu kali pada
trimester kedua, dan dua kali pada trimester ketiga di
Polindes. Data ini menunjukkan pelayanan antenatal
yang memenuhi standar dan memenuhi waktu yang
ditetapkan. Hal ini juga menunjukkan tingkat per­
lindungan ibu hamil di suatu wilayah, kemampuan
manajemen yang baik dalam kelangsungan program KIA
atau kesehatan ibu anak. Data menunjukkan cakupan

Pelayanan Antenatal : pelayanan sebelum melahirkan.


21

85
kunjungan pertama ibu hamil atau K1 berkisar sama
dengan kunjungan keempat atau K4 di wilayah kerjanya
berkisar antara lima puluh sembilan sampai enam
puluh tujuh persen dalam lima tahun terakhir. Tidak
ada peningkatan berarti, namun harapannya semoga
berkontribusi terhadap penurunan kematian ibu dan bayi.
Bidan Ros membuat beberapa catatan dalam buku
KIA yang dipegang Ani maupun catatan observasi yang
dipegangnya sendiri. Seperti waktu rujuk, jarak tempuh,
dan siapa yang menolong. Catatan yang digaris bawahi
adalah terjadi kejang-kejang dan rasa sakit yang amat
sangat sebelum melahirkan. Lahir dengan kaki lebih
dulu, robekan pada pintu rahim yang dilakukan dokter
dan dijahit kembali oleh Dokter dan Bidan Ros, dan
donor darah.
“Pulang ke Polindes?” tanya Dokter.
“Biasanya kalau kondisi pasien bagus saya pulang,
Dokter. Siang setelah pelayanan di Polindes baru saya
datang lagi. Kalau pasien sudah boleh pulang saya akan
dampingi pulang.”
“Bufas22 belum stabil kondisinya. Masih perlu di­
jaga,” kata Dokter.
“Saya sudah janji dengan Lina akan nginap di mess
sambil menunggu perkembangan.”
“Kamar nomor tiga,” kata Yordan.
“Kalau kosong,” jawab Ros.

Bufas singkatan dari Ibu Nifas atau ibu yang baru melahirkan.
22

86
“Kosong.”
“Setelah catatan observasi seluruhnya selesai, apakah
saya boleh tinggalkan pasien?”
“Boleh. Tidak apa-apa. Saya yang akan pantau. Satu
jam lagi Ros boleh ke kamar.”
“Terima kasih Dokter.”
“Tidak usah terima kasih. Nona Bidan capek jadi
istirahatlah. ”
Ros membaca kembali catatan lengkap tentang Ani.
Semua bahan ini termasuk laporan lainnya, perlu untuk
diskusi kampung di desa. Akan dipakai sebagai bahan
evaluasi terhadap kelahiran dan kematian, jumlah orang
sakit termasuk bayi dan balita, juga jumlah akseptor KB.
Laporan penting artinya bagi pemutakhiran data sasaran
dan peta sasaran, pembiayaan, perencanaan mingguan,
serta kegiatan desa siaga. Bahan ini juga sebagai bahan
tambahan untuk rapat monev bulanan bersama kepala
Puskesmas, bidan desa, perawat pustu, dukun bersalin
sehari sebelum rapat koordinasi tingkat kecamatan.
Selanjutnya, ini akan dijadikan bahan evaluasi pada
tingkat kabupaten dua bulan sekali, tingkat provinsi tiga
bulan sekali dalam rapat koordinasi teknis dengan Kepala
Dinas Kesehatan Provinsi. “Perjalanan laporan panjang
sekali,” kata Ros dalam hati.
“Terima kasih ya sudah selalu buat laporan akurat,
lengkap, dan selalu terbaik,” kata Dokter. “Terima kasih.”
“Ya Dokter?” Bidan Ros terkejut dan mengangkat
wajahnya. “Saya?”

87
“Terima kasih ya sudah selalu buat laporan akurat,
lengkap, dan selalu terbaik.”
“Oh, saya?” Ros tertunduk dan melanjutkan catatan­
nya. “Tidak termasuk ulah Lukas di tengah jalan,” pikir
Ros. Gangguan yang datang dari laki-laki kribo itu mesti
dihadapi dengan tenang, bila tidak ingin hambatan lebih
besar sebelum tiba di tempat tujuan.
“Ya, terima kasih Bidan Ros. Kenapa terdiam?”
tanya Yordan, namun Ros tidak menjawabnya. Dia
tidak menyangka Kepala Puskesmas ini akan berterima
kasih padanya. Dia merasa selama ini selalu membuat
laporan yang harus dilaporkannya sebagaimana dibuat
juga oleh bidan desa yang lain. Apakah memang benar-
benar akurat, lengkap, dan selalu baik? “Terima kasih,”
katanya dalam hati dengan diam dan tetap tertunduk.
Dokter Yordan menjadi kepala Puskesmas sejak pindah
ke Puskesmas ini. Menurut informasi teman-teman bidan
dan perawat beliau pindah dari Atambua setelah tiga
tahun menjalani dokter PTT atau pegawai tidak tetap
di sana. Lulus test PNS dan menjadi Kepala Puskesmas
sejak dua tahun lalu.
“Bagaimana? Senang kerja di Polindes dan tinggal di
desa?”
“Ya,” jawab Ros.
“Saya lupa. Waktu pertama kali datang tidak
menghadap saya ya?”
“Menghadap Dokter.”
“Kapan? Saya tidak tahu. Rasanya tidak pernah.”

88
“Saya datang dokter tidak ada. Hampir dua bulan di
sini sebelum dokter datang.”
“Dua bulan dengan bunga-bunga, taman hijau, dan
daun keladi di bawah jendela.”
“Ya,” Ros tersenyum merasa lucu karena Yordan
hanya mencari-cari bahan agar dapat bicara dengannya.
“Sekarang Puskesmas luar biasa hijau, subur, segar,
indah, dan kalau sudah di sini rasanya tidak mau pulang
lagi … Wajah Puskesmas jauh berbeda,” kata Ros dengan
tulus.
“Melanjutkan karya penghuni kamar nomor tiga,”
kata Yordan.
“Oh ya?”
“Kapan pulang ke Bajawa?” tanya Dokter.
“Saya, Dokter?”
“Ya, kapan pulang Bajawa?”
“Belum.”
“Bagaimana ini. Saya tanya kapan pulang Bajawa
jawabannya belum.”
“Oh,” Bidan Ros tersenyum dan tertunduk lagi.
“Kenapa belum pulang?”
“Adrian tunangan saya yang akan ke sini,” jawab
Ros.
“Oh ya?”

***

89
Bidan Kepala masuk ke dalam ruangan membawa
laporan bahwa pasien sudah benar-benar sadar dan
kondisinya stabil. Infus dan donor masih tetap diperlukan
sambil melihat perkembangan lebih lanjut. “Rosa Dalima
boleh pulang ke Polindes,” kata Bidan Kepala.
“Ya, Ibu,” jawab Ros.
“Kalau dokter masih membutuhkan Rosa Dalima di
sini, silakan tinggal dulu di sini.”
“Ya Ibu,” jawab Ros.
Dokter tidak bicara apa-apa. Ditatapnya perempuan
di hadapannya itu. Sudah beberapa kali diperhatikan
bidan manis ini dalam setiap pertemuan bulanan, pasien
rujukan, bahkan dalam kunjungannya ke Polindes,
bidan ini sangat bersahaja. Rosa tidak pernah bicara
banyak dengannya. Jawabannya selalu ya, tidak, belum,
baik, saya, terima kasih, sekitar itu. Dia akan berbicara
panjang jika sedang menyampaikan informasi seputar
data-data tentang pasien-pasiennya di Polindes.
Amat berbeda dengan bidan-bidan desa lainnya yang
cenderung banyak bicara bahkan ketika tidak ditanya
sekalipun. Beberapa di antaranya pun berani menggoda
dan menjodoh-jodohkannya dengan dokter di puskesmas
lain, perawat ataupun bidan yang belum menikah. Tidak
ada dari antara mereka yang menjodohkannya dengan
Bidan Ros. Bukankah Ros juga belum menikah?
“Nama lengkapnya Rosa Dalima ya?” tanya Dokter.
“Ya.”
“Dipanggil Ros, Rosa, atau Dalima?”

90
“Ros saja,” jawab Bidan Ros hampir tidak terdengar.
“Sebagaimana sudah saya izinkan, Bidan Rosa jangan
pulang ke Polindes sore ini. Besok pagi saja,” kata
Dokter sebelum keluar ruangan. Ia menuju kamar
Ani yang masih terbaring untuk melihat kondisi
terakhirnya. Ani terbaring dengan napas teratur. Frans
duduk di sampingnya sambil menggenggam tangannya.
Sebuah pemandangan yang tidak biasa dilihat Dokter.
Biasanya suami menunggu sambil merokok di luar dan
membiarkan istrinya ditunggui mertua, saudari, atau
kerabat perempuan lainnya. “Bapak baik sekali jaga istri
dengan sangat baik. Patut dicontoh,” pujinya.
“Ikut nasihat Bidan Ros,” jawab Frans.

***
Ada dua kendaraan berhenti di depan Puskesmas.
Beberapa saat kemudian penumpang turun tergesa.
“Tolong,” kata salah satu penumpang. Om Martin segera
berlari mendekat. Pengunjung Puskesmas lainnya mulai
berkerumun.
“Ibu mau lahir.” Dokter yang sudah siap kembali
ke rumahnya berdiri memperhatikan dari depan pintu
samping. “Bawa partus set lengkap.”
Bidan Ros dengan cekatan berlari keluar dengan
kursi roda untuk pasien. Dilihatnya pasien dalam
keadaan terbaring di jok belakang dengan baju daster
basah dan berdarah. “Lisa! Mama Lisa! Bagaimana
Mama?” tanya Ros. Pada saat itu dokter mendekat dan

91
Bidan Kepala menyusul di belakangnya. “Oh, bukan Lisa.
Mama kenapa?” Ros mencondongkan kepalanya.
“Sudah keluar bayinya,” kata Ibu hamil itu. Rosa
masuk ke dalam mobil dan mulai melakukan pemeriksaan
segera. “Linda…Kamu! Bayi sudah lahir,” Bidan Ros
terkejut bukan main. “Ibu Bidan Ros…tolong,” tangis
Linda. “Tenang, saya akan tolong,” kata Ros sambil
menarik celana dalam Linda dan bersamaan dengan itu
membebaskan bayi dari halangan celana dalam. Tangis
bayi terdengar cukup keras.
“Hei semua orang minggir…minggir…minggir…
jauh-jauh sana,” terdengar suara Bidan Kepala sambil
mendekati mobil dengan peralatan di tangannya. Dokter
di depan pintu mobil bersama Bidan Ros. “Anak laki-laki,
Linda.”
“Bawa tandu!” teriak Dokter sambil menerima koker23
untuk menjepit tali pusat dari dalam rahim dan dari
luar, serta gunting dari Bidan Kepala dan menggunting
tali pusat bayi yang terhubung dengan ibunya. “Bawa
bayinya,” perintah Dokter. “Ros…” tangis Linda
memanggil nama Bidan Ros. Bidan Ros keluar dari pintu
mobil dibantu Dokter. Satu lengan Dokter memeluk
pundak Ros dan tangan lainnya menahan tangan Ros
yang memeluk bayi. Keduanya berdiri sangat dekat satu
sama lain, bahkan kepalanya hampir berhimpitan. “Kenal

Koker adalah alat untuk menjepit tali pusat dari dalam maupun dari
23

luar. Koker ada dua buah. Sedangkan, setengah koker adalah alat untuk
memecahkan ketuban.

92
pasiennya?” tanya Dokter tepat di telinga Ros. “Ya
Dokter,” jawab Ros.
“Tolong Dokter, tolong,” kata salah satu keluarga
pasien.
“Aduh ada apa ini?” Mama Sofia yang baru keluar
dari ruangan bayi bertanya sambil menggeleng-
gelengkan kepalanya.
“Ibu melahirkan di dalam mobil,” Om Martin yang
menjawab.
“Manusia dari mana?” tanya Mama Sofia sambil
meng­ikuti Bidan Ros dari belakang. Om Martin
mem­bantu Kosmas dan salah satu keluarga pasien
mengeluarkan ibu yang baru melahirkan itu ke atas tandu
dan dengan cepat membawanya masuk ke ruang bersalin
untuk penanganan lebih lanjut. Dokter mengikuti dari
belakang. “Sudah tahu mau lahir masih nekat jalan jauh.
Dari mana kamu semua ini?” tanya Mama Sofia.
“Wolowona!”
“Aduh, orang Kota Wolowona lagi.”
“Jangan terlalu kerumun e. Orang mau kerja cepat.
Minggir,” Bidan Kepala memerintah agar kerumuman di
pintu Puskesmas menjauh. “Mana tadi keluarganya?”
“Saya Thomas suaminya Dokter!”
“Saya bukan dokter, saya bidan di sini,” jawab Bidan
Kepala.
“Terima kasih Mama Bidan.”
“Ya.”

93
“Terima kasih Mama Bidan,” Thomas segera masuk
ke ruang bersalin tempat istrinya di tolong. “Saya
suaminya,” katanya tanpa ditanya saat Dokter menoleh
padanya. “Dari mana?” Tanya Dokter. “Kami mau ke
Moni,” jawab Thomas.
“Dokter itu tanya dari mana bukan mau ke mana!”
kata Bidan Kepala.
“Oh dari Wolowona, Dokter!” jawab Thomas. Bidan
Kepala memintanya ke ruang administrasi. “Mari Bapa,”
seorang perawat jaga yang sudah menunggu di depan
pintu. “Keluarga lain di luar saja ya,” kata Mama Lena.
“Saya hanya perlu suaminya,” katanya tegas karena
penumpang kedua mobil berjumlah sekitar lima belas
orang. Ditambah satu mobil lagi yang tiba kemudian.
Mobil open cup dengan muatan beberapa karung beras,
dua ekor babi besar, satu ikat ragi, dan lawo24 dan tiga
laki-laki di atas beras, sopir dan satu perempuan yang
duduk di samping sopir. Berita ibu yang melahirkan
dalam mobil dengan cepat tersebar dan dengan cepat
pula kerumunan di depan Puskesmas bertambah. Pe­
rempuan laki-laki, tua muda, kecil besar semua ingin
tahu apa sebenarnya yang terjadi.
“Bidan Ros yang tolong pertama.”
“Untung ada Bidan Ros.”
“Untung juga ada dokter.”

Ragi: kain sarung khas Ende khusus untuk laki-laki. Lawo: sarung khas Ende
24

khusus untuk perempuan.

94
“Hui itu bidan pas dia masuk ke dalam oto pas juga
bayi mau keluar. Langsung dia tolong. Untung dokter
juga cepat. Pokoknya mereka dua cekat sekali,” sambung
salah satu pencerita.
“Hoe bukan cekat, bodok! Cekatan,” sambung yang
lain sambil tertawa.
“Saya lihat dengan mata kepala,” sambung yang
punya kata cekat tadi.
“Oh, saya kira kau lihat dengan mata kaki.”
“Berani sumpah kasian itu ibu melahirkan di oto,”
si Cekat tidak peduli. “Kasian betul e“. Untung ada
itu bidan siapa e itu Bidan Ros cepat tolong langsung.
Dokter juga cepat. Itu Mama Bidan juga cepat ambil
gunting, perintah bawa tandu. Hui benar-benar e,” kata
Cekat lagi.
Rombongan dari Wolowona itu sedianya akan
me­nuju Moni karena ada keluarga meninggal. Tidak
ada yang menduga bahwa perjalanan itu sungguh
menegangkan. Ibu Linda istri Thomas yang sedang
hamil sembilan bulan, tiba-tiba merasa perutnya sakit
akan melahirkan. Kesakitan bertambah saat kendaraan
sudah jauh meninggalkan Wolowona. Thomas yang
kebetulan sopir kendaraan segera tancap gas menuju
Puskesmas sebab istrinya terus-terusan menangis
menahan sakit.
“Kenapa ikut ke Moni?”
“Yang meninggal itu bapanya.”
“Oh, pantas!”

95
“Tidak tahukah kalau sudah dekat waktu lahir?”
“Tadi saya dengar mereka bilang dua minggu lagi.”
“Nekat betul e. Mestinya tidak boleh jalan jauh
dengan kita punya jalan yang lubang kiri kanan. Mung­
kin karena guncang-gancing di jalan jadi anak juga mau
cepat keluar dari dia punya mama punya perut.”
“Bukan guncang-gancing, tetapi guncangan.”
“Terserah saya mau omong apa,” si Cekat tidak
peduli. “Pasti mereka gelap soal jaga ibu hamil itu bagai­
mana. Coba! Sudah tahu jalan guncang-gancing, jauh,
ibu hamil, bayi dekat lahir, masih juga nekat. Untung
selamat. Kalau tidak? Siapa susah. Paling-paling hanya
menangis banting diri sesal tidak ada guna dan mulai
salahkan bidan dan dokter.”
“Yang meninggal di Moni itu bapa kandungnya.”
“Mau kandung ka bukan ka, penting tuh ada perut
besar,” Cekat tetap bicara.
“Hei, awas orang punya keluarga tersinggung.”
“Biar tersungging toh. Memang mereka salah ka.
Tanggung jawab kurang.”
“Hei, orang tersinggung nanti.”
“Memang siapa yang mau tersungging? Siapa!
Siapa!” Tangan Cekat di pinggang. “Coba siapa yang
berani tersungging. Salah bukan main kamu semua. Ba­
yang saja ibu hamil mesti lahir di dalam oto. Untung
sudah sampai di depan Puskesmas. Kalau di tengah jalan
jauh dari Puskesmas bagaimana? Kalau bayi mati kamu
ketawakah? Kalau ibu mati kamu senangkah? Memang

96
bodoh semua kamu,” Cekat mondar-mandir sambil
marah.
“Hei, ada hak apa bicara begitu?”
“Hak peduli! Hak masyarakat! Saya ini kader desa
siaga. De si.…”
“Hui hebat e.”
“Memang harus hebat. Pigi25 tinggal dengan mo­
nyet-monyet di hutan sana kalau kamu tidak peduli ibu
hamil. Kasian Ibu hamil kah. Kalau bukan kita yang
kasian mau siapa lagi. Ibu hamil itu harus dijaga dan
dilindungi. Jangan sampai mereka susah gara-gara kita
punya buat,” Cekat duduk di antara rombongan keluarga
pasien.
“Jangan marah e. Saya kalo omong lurus-lurus saja.
Mau tersungging silakan.”
“Rokok Pak,” tawar salah satu anggota keluarga.
“Baik,” Cekat ambil satu batang, dan menyalakannya
dengan korek api yang sudah dinyalakan keluarga pasien.
“Jangan lagi buat begini e. Apalagi kalau masuk di kami
punya wilayah sini. Kami di sini paling kasian ibu hamil.
Apalagi itu bidan yang tolong tadi tuh. Begini,” Cekat
mengacungkan jempolnya. “Kasian juga Ibu Bidan. Saya
lihat dia punya muka pucat. Untung tidak sampai gugup.
Untung dia bisa cepat tindak. Untung juga ada dokter.
Kalau tidak, huh tidak tahu lagi. Kamu bukan pigi lihat
orang mati, tetapi bisa buat orang mati.…”

Pigi: dialek lokal untuk kata pergi.


25

97
“Itu bidan yang tolong tadi siapa namanya?”
“Bidan Ros.”
“Cantik.”
“dan cekat.”

***

Bidan yang cantik dan cekatan itu kini sudah berdiri


di samping Linda. Tidak ada yang mengkhawatirkan. Ini
kelahiran anak ketiga dengan jarak kelahiran tiap anak
hampir lima tahun. Dua anak terdahulu lahir normal
dan gampang. Keluar begitu saja tanpa perjuangan
berarti dari ibunya, kecuali rasa sakit menjelang lahir
dan menjelang keluarnya plasenta. Linda dikenalnya di
Detusoko saat pertemuan tentang ASI dan KB. Linda
adalah salah satu kader KB dan ASI eksklusif dari
Puskesmas Rewarangga Rhoworeke. Sejak perkenalan
pertama Ros dan Linda akrab karena namanya sama
dengan Bidan Linda sahabatnya di Kupang.
Dia tahu bahwa waktu melahirkan diperkirakan satu
minggu ke depan. Suami dan keluarganya di Wolowona
sudah melarang keras, namun dia berkeras hati untuk
pulang ke Moni agar dapat bertemu dengan ayahnya
untuk terakhir kali. Memang ada hal-hal yang tidak
dapat dihindari yang terjadi dalam masyarakat. Petugas
kesehatan hanya bisa hadapi saja dan tangani segera.
Itulah pengalaman berharga yang meliputi pikiran Bidan
Ros.

98
“Satu minggu lagi, mestinya tidak ikut perjalanan
jauh,” kata Ros. “Syukur cepat ditolong dan tidak terjadi
pendarahan saat keluarnya plasenta tadi. Syukur aman
semuanya.”
“Bawa buku KIA26?” tanya Ros.
“Tidak.”
“Bagaimana bisa tidak bawa?” sambar Bidan Kepala.
“Buku KIA harus dibawa. Apalagi perjalanan lintas
wilayah. Buku KIA memuat status ibu, sangat bermanfaat
bagi kami saat melakukan pertolongan. Untung tidak
terjadi apa-apa yang membahayakan. Seandainya terjadi,
kami yang disalahkan.”
“Maaf ibu bidan,” suara Linda terdengar lemah.
“Kalau jalan mulus boleh saja, tetapi jalan berliku-
liku banyak lubang, longsoran, dan perbaikan sana-sini.
Risiko besar sekali,” Bidan Kepala bicara lagi. “Nanti
kalau ada apa-apa kami bidan dan petugas yang kena
getahnya. Lain kali tidak boleh begini. Ibu ini kader juga,
tetapi tidak mengerti. Tidak ikut KB kah?” tanya Bidan
Kepala.
“Saya ikut KB, tetapi entah kenapa bisa hamil,” kata
Linda. “Mungkin karena lupa kontrol,” katanya lagi.
Dokter Puskesmas masuk ke dalam ruangan dan berdiri
di samping Ros.

Buku KIA: Buku tentang Kesehatan Ibu dan Anak mencatat semua informasi
26

dan catatan medis tentang ibu hami. Buku ini harus dibawa ibu hamil saat
pergi ke wilayah lain agar mudah diikuti statusnya bila terjadi kelahiran
mendadak atau lainnya.

99
“Ini semua penyebabnya lupa dan lupa lagi! Buat
susah!”
“Maaf, Mama Bidan,” suara Linda amat perlahan.
“Kader harus mengerti harus kasih teladan,” kata
Bidan Kepala sambil berlalu meninggalkan Linda dan
Ros sendiri.
“Sabar ya,” kata Ros. “Linda seorang kader yang
aktif. Upayakan jangan sampai terjadi seperti ini lagi ya.
Bidan Kepala tadi marah karena sayang sama ibu hamil,”
kata Ros lagi.

100
7
Yang Hilang Kutemukan Kembali

Dokter Yordan mencari mata Ros dengan matanya,


namun Bidan Ros menjatuhkan pandangannya pada
Linda yang terbaring dengan bayi di sampingnya.
Semua yang dialaminya hari ini berlalu begitu saja
dalam ketegangan-ketegangan yang tidak akan pernah
menjadi bagian dari laporan untuk dibahas dalam rapat
koordinasi.
Ani dengan kejang, jalan berguncang-guncang, dan
ulah Lukas Kribo di tengah jalan. Linda yang melahirkan
dalam kendaraan tepat di depan Puskesmas. Semuanya
hanya akan tertulis dalam memorinya sendiri. Catatan
tentang riwayat kehamilan ibu maupun catatan tentang
kedatangan Linda tanpa informasi status yang jelas.
Buku penghubung ibu hamil dan bidan bernama
buku KIA sebagai pegangan ibu hamil. Peralatan medis
dan bidan kit siap untuk menolong persalinan. Fasilitas
kesehatan yang memadai, siap dua puluh empat jam.
Soal SDM dalam jumlah, jenis, distribusi dan kualitas,

101
peralatan, obat bahan, perbelkes27, bangunan, sistem,
serta penganggaran dan pembiayaan. Semua ada. Juga
rumah tunggu yang sedang dibangun akan berfungsi
sebagai tempat tinggal sementara bagi bumil28 dalam
area dua hari sebelum dan dua hari sesudah melahirkan.
Semua ada. Akan tetapi, masih saja terjadi hal-hal
di luar prediksi bahkan di luar dari apa yang pernah
dipikirkannya. Bumil dari wilayah lain yang datang tiba-
tiba tanpa membawa data apa pun. Untung tidak ada
masalah.
“Ibu boleh tidur ya,” kata Dokter. “Suaminya di
mana?”
“Ada di luar Dokter,” jawab Linda.
“Biar dia yang dampingi Ibu,” kata Dokter. “Sudah
boleh di bawa ke ruang nifas,” kata Dokter. “Bisa bangun
ya Ibu. Jalan sendiri biar cepat kembali pulih,” Ros sudah
keluar ruangan sebelum Dokter selesai bicara. Dia
kembali bersama seorang perawat dan Thomas. Tanpa
banyak bicara Ros menggendong bayi dan melangkah
mendahuli Linda yang berjalan perlahan didampingi
Thomas. Setelah di ruang perawatan, satu persatu
keluarga Linda masuk keluar melihat Linda dan bayinya.
“Suami boleh jaga di sini,” kata Bidan Kepala.
“Biar dia ikut ke Moni, Mama,” kata Linda. “Saya
tidak apa-apa.”

27
Perbelkes singkatan dari perbekalan kesehatan seperti obat dan bahan
habis pakai.
28
Bumil singkatan dari Ibu Hamil.

102
“Suami di sini saja,” kata Bidan Kepala.
“Ya, boleh menyusul ke Moni besok siang,” kata
Dokter. “Bayi sehat ibu sehat, kita tunggu sampai besok
ya. Kalau sehat ibu juga boleh ke Moni.”
“Terima kasih, Dokter!”
Kecuali Thomas yang tetap tinggal, malam itu
keluarga Linda melanjutkan perjalanan ke Moni diiringi
air mata Linda. Dalam beberapa saat halaman Puskesmas
sudah sepi. Dion, Mama Sofia, dan Mia bersama Ani dan
bayinya di ruang perawatan. Om Martin duduk sendirian
di bawah pohon di depan Puskesmas. Entah apa yang
dipikirkannya.
“Kerjakan laporannya hari ini juga ya,” mata Dokter
tertuju pada Bidan Ros.
“Saya sudah perintahkan bidan jaga untuk buat
laporan,” kata Bidan Kepala.
“Bagus! Terima kasih,” kata Dokter sebelum kembali
ke ruangannya. Dia bersandar di kursi dan memejamkan
mata sejenak. Rasa lelah melandanya dan wajah Bidan
Ros dalam tatapannya ada dalam kelelahan yang sama.
“Manis benar…cekatan…pintar…tenang...” Ba­yangan
itu begitu dekat. Dokter merasa ada sesuatu yang
menggetarkan hatinya. Perasaan yang telah lama hilang
bersama berbagai masalah yang datang menimpa. Dia
segera berdiri dan keluar untuk pulang ke rumah. Dia
ingin tidur. Langkahnya terhenti tepat di depan ruang
jaga.

103
“Kamu Bidan Polindes bukan Bidan Puskesmas,” ter­
dengar suara Bidan Kepala.
“Ya, Mama Bidan,” jawab Ros.
“Jangan keburu-buru mau tolong. Kamu tahu ada
Bidan Puskesmas juga di depan hidung tadi. Jadi, hargai
dia juga. Biar dia yang tolong,” kata Bidan Kepala.
“Ya, Mama Bidan,” jawab Ros.
“Tadi kamu di mana!” tanya Bidan Kepala setengah
membentak.
“Ada Mama,” jawab Flori bidan Puskesmas. “Tetapi,
waktu oto berhenti di depan Puskesmas saya tidak sangka
kalau yang di oto itu ibu yang mau melahirkan. Jadi,
saya tidak ke sana. Saya ada di ruang rawat tadi siapkan
tempat tidur untuk pasien yang melahirkan lebih dulu.”
“Perawat jaga ada di mana tadi!”
“Ada di ruang jaga, Mama!”
“Kenapa tidak cepat-cepat tolong pasien tadi?”
“Saya kira tidak ada pasien,” jawabnya.
“Tetap saja ya. Lain kali Rosa, kamu tidak perlu
tunjuk diri lebih dulu. Ada orang lain yang lebih ber­
tanggung jawab di sini. Jangan kamu ambil tanggung
jawab orang lain ya,” suara Bidan Kepala.
“Ya, Mama Bidan.”
“Kadang-kadang kita mau tunjuk kalau kita ini cepat
cekatan, tapi kita lupa bahwa kita mengabaikan orang
lain yang punya tanggung jawab. Nakes29 itu harus kerja

Nakes singkatan dari Tenaga Kesehatan.


29

104
sama bukan mau menonjol sendiri. Jadi, tolong jangan
buat kepala saya pusing,” suara Bidan Kepala meninggi.
“Ya, Mama Bidan,” jawab Ros.
“Kamu boleh pulang ke Polindesmu hari ini,” kata
Bidan Kepala. “Dokter, saya ada bina mereka ini. Biar
masing-masing orang sadar tanggung jawabnya masing-
masing,” kata Bidan Kepala saat Dokter berdiri di depan
pintu.
“Ya, saya sudah dengar semua yang Mama Bidan
bicara tadi,” kata Dokter.
“Ya saya lihat Bidan Ros terlalu mau rampas
tanggung jawab bidan saya di Puskesmas ini. Itu tidak
bagus dalam kerja sama. Dia tidak perlu buru-buru
lari karena ada bidan jaga di Puskesmas yang punya
tanggung jawab,” kata Bidan Kepala.
“Sudah Mama Bidan,” suara Kepala Puskesmas itu
merendah. “Yang penting ibu dan bayinya selamat.”
“Tetapi, tidak perlu Ros yang tangani. Dia bisa
berteriak panggil bidan jaga.”
“Situasi tadi di luar perkiraan,” kata Dokter. “Kenapa
tidak berteriak tadi? Ha ha suaranya terlalu halus Mama
Bidan. Bagaimana bisa berteriak ya. Coba kamu latihan
berteriak!”
“Saya Dokter,” Bidan Ros tidak mengangkat wajah­
nya.
“Halus sekali,” kata Dokter. “Kalau mau jadi bidan
harus bisa berteriak ya. Nanti tidak ada yang dengar
suaramu,” Dokter menentang kata hatinya sendiri.

105
Dia sudah jatuh hati dengan kehalusan suara Ros dan
kelembutannya dalam menangani pasien sejak pertama
kali bertemu. “Mengerti?”
“Saya Dokter.”
“Tidak usah pulang ke Polindes. Kamu di sini saja.
Boleh ke kamar nomor tiga dan istirahat di sana,” kata
Dokter sebelum pergi meninggalkan Puskesmas.
“Terima kasih.”
“Mama Bidan, saya ke rumah dulu ya. Istirahat
sedikit, tidur. Mama juga boleh pulang. Rasanya sore dan
malam ini tidak ada pasien darurat lagi.”

***
Ros menuju ruang rawat menemui Mama Ani di
salah satu ruangan dan Linda di ruangan lainnya. Setelah
itu, dia keluar Puskesmas menuju kendaraan Om Martin
untuk mengambil tas pakaiannya.
Dia memang selalu siap dengan tas pakaian setiap
kali rujuk pasien karena seringkali harus menginap.
Dia sadar bahwa dia perlu tidur sejenak. Tubuhnya
terasa lelah. Dia sudah berusaha melakukan pekerjaan
dengan sekuat tenaga. Seringkali melakukan tugasnya
karena panggilan hatinya segera tanpa menunggu. Dia
tidak menduga sama sekali bahwa tindakannya bisa
menimbulkan rasa marah begitu besar dari Bidan Kepala.
Bidan Kepala tidak hanya berkata-kata, tetapi
memberi tekanan pada setiap kata-katanya. Punggungnya
terasa berat membayangkan wajah Bidan Kepala. Hatinya

106
terasa sedih, namun dia masih tetap tersenyum karena
ada kelahiran yang diselamatkannya hari ini. Seandainya
dia terlambat sedikit saja, seandainya beberapa detik
terlewatkan begitu saja, kemungkinan besar bayi terjepit
dalam celana ibunya. Seandainya dia tidak berani
melakukan tindakan segera, mungkin bayi juga dapat
meluncur jatuh entah ke atas kursi di antara kedua kaki
ibunya, entah juga di lantai kendaraan yang membawa
ibunya menuju Moni. Syukur semuanya berjalan dengan
baik. Tekanan Bidan Kepala menguap perlahan bersama
rasa syukurnya dapat memberi pertolongan pertama.
“Mau ambil tas Ibu Bidan?” Om Martin men­de­
katinya.
“Ya.”
“Tidak pulang?”
“Ya.”
“Nginap di sini?”
“Ya.”
“Sebaiknya begitu. Saya lihat Ibu Bidan capek
sekali,” kata Om Martin lagi. “Saya akan pulang dengan
Mama Sofia, Mia, Dion, dan Mina. Besok saya kembali
lagi ke sini. Saya sudah janji dengan Frans. Kalau besok
Mama Ani sudah boleh pulang saya akan menjemputnya.
Ibu Bidan boleh telepon saya kalau mau pulang setelah
istirahat atau kalau ada masalah lain. Saya siap bantu.”
“Terima kasih.”
“Ibu istirahat di mess sini?”
“Ya.”

107
“Mari saya bawa tas Ibu Bidan ke sana.”
“Terima kasih Om Martin. Biar saya bawa sendiri.”

***

Dokter Kepala Puskesmas memperhatikan dari


jauh Bidan Ros yang berjalan pelan. Entah kenapa se­
tiap kali memperhatikan wajah Ros ada sesuatu yang
menggerakkan hatinya untuk coba mengenal lebih jauh.
Dia tersenyum sendiri. “Mudah-mudahan Martin bisa
membantu saya mendapatkan Ros,” kembali Dokter
memikirkan kemungkinan itu. Dia datang ke Puskesmas
Flamboyan untuk menjalankan tugasnya sebagai Kepala
Puskesmas. Dia sendiri yang memilih mengasingkan diri
di sini jauh dari segala hal yang dapat mengingatkannya
pada masa lalunya.
“Laki-laki harus tegar dan memiliki harga diri,”
terkenang nasihat ayahnya.
“Apalagi kamu seorang dokter!” kata-kata Ibunya.
“Jangan pernah terpuruk hanya karena seorang
perempuan,” kata kakak perempuannya. “Ini bukan ke­
salahanmu. Kepribadiannya labil, sangat labil. Semua
orang di sini juga tahu siapa dia!” suara kakaknya datang
lagi. “Beberapa kali ke Surabaya karena gangguan jiwa.
Kamu pasti lebih tahu. Jadi, jangan putus asa.” “Putus
hubungan dengan dia, itu benar! Kamu tidak salah, sama
sekali tidak salah!” “Jangan sampai gara-gara dia kamu
menjadi labil. Ingat itu!” Nasihat bertubi-tubi masuk ke
kepalanya. “Kamu harus kuat dan tabah!”

108
Tugas-tugasnya di Puskesmas memang dengan
mudah menjadikannya kuat lebih kuat dari waktu ke
waktu. Apalagi dia juga mempunyai teman lama yang
terkenal baik dan suka menolong. Martin. Di samping
itu, ternyata ada juga yang menyentuh hatinya setelah
sekian lama tertutup.
Bayangan Bidan Ros menghilang di sisi kanan
Puskesmas menuju mess di belakangnya. Bayangan itu
masuk ke dalam rimbun daun-daun dan bunga-bunga.
Rimbun wijaya kusuma bergantungan di sepanjang teras
mess juga sepanjang teras belakang rumah Kapus. Subur
dan indah luar biasa. Ros maupun Yordan menikmatinya
dengan caranya sendiri-sendiri.
Disadarinya betul bahwa kembang unik itu hanya
mekar pada waktu malam. Detik-detik mekarnya bunga
dapat dirasakan Ros juga Yordan, bahkan Ros pernah
menyaksikannya sendiri. Pelajaran tentang keindahan
hadir tanpa decak kagum dan pujian orang lain. Pelajaran
tentang memberi yang terbaik tanpa penghargaan dari
siapa pun. Pelajaran tentang umpatan pada kembang
yang menguncup setelah berkembang. Pelajaran tentang
mengapa kembang ini tidak pernah mau mekar pada
siang hari. Keharumannya dinikmati kesunyian malam
seolah-olah tidak pernah memberi apa-apa pada siang.
Tanpa sadar, air mata Ros menetes. Sebagai seorang
bidan dirinya sering diliputi rasa lelah akibat ketegangan
berhadapan dengan tangis ibu dan kehadiran manusia
baru di dunia ini, sekaligus kebahagiaan menyaksikan

109
senyum dan tawa bunda setelah berjuang antara mati
dan hidup demi bayinya. Ros berdiri menyentuh bunga-
bunga yang menjulur. “Wijaya kusuma tiada seorang pun
yang mengerti bagaimana upayamu memberi mekarmu.
Apakah memang seharusnya demikian?” Ros masuk
kamar, menulis, dan mengirim e-mail untuk Dokter
Stefanus dan Bidan Veronika.
Dokter Stefanus yang baik.…
Hari ini ada pasien melahirkan dalam mobil persis
di depan Puskesmas. Berbagai teori indah tentang
melahirkan di fasilitas kesehatan yang memadai dan siap
dua puluh empat jam, tidak patah karenanya. Ini kasus
yang mengingatkan saya pada apa yang pernah dokter
jelaskan dulu.
Melahirkan itu emergency apapun keadaannya. Cepat
tepat segera apapun tantangannya. Lakukan! Kita hanya
mampu mengukur sudah berapa senti pembukaan pintu
rahim tanpa pernah melihat proses pembukaan itu. Tidak
ada seorang pun yang tahu. Tidak apa-apa. Tidak bisa
dianalogikan dengan mekarnya kembang wijaya kusuma
pada waktu malam. Tetapi, saya merasakan apa arti dari
kata-kata ‘tidak seorang pun yang tahu’. Saya sudah
melakukannya, dokter. “Tanpa saya sadari, saya berada
di tengah rasa kecewa bidan lain.…”
Beberapa saat yang lalu saya berjalan di bawah
rindang wijaya kusuma. Saya juga selalu ingat untuk
mengambil spirit wijaya kusuma yang keindahannya
tersembunyi dalam kesunyian malam. Dokter bilang

110
hamil itu fakta bukan fiksi, persalinan itu emergency
bukan puisi, tetapi bukankah kesunyian malam dan
bunga-bunga adalah bagian dari puisi? Betapa sepi hidup
ini tanpa puisi bukan?
Pada malam ini saya temukan satu hal lagi tentang
kata hati dan jiwa yang melayani dengan sepenuh hati
yang harus dimiliki seorang bidan…Pada malam ini saya
masuk dalam dunia puisi kehidupan baru antara bayi, ibu
bersalin, ibu nifas, dan wajah suaminya yang tersenyum
bahagia. Malam ini juga saya berdoa untuk Lisa. Kalau
saja wijaya kusuma mekar pada waktu siang khusus
untuk dia… Salam dari Puskesmas Flamboyan. Rosa
Dalima.
Ros membaca kembali suratnya sebelum terkirim.
Setelah memperbaiki beberapa salah ketik, e-mail itupun
dikirim. Selanjutnya, Ros menulis e-mail untuk Bidan
Vero sahabat hatinya yang bekerja di Rumah Sakit.
Dear Bidan Vero.…
Apa kabarmu hari ini? Kuharap sehat dan tetap
semangat untuk memberi pelayanan prima siang maupun
malam. “Melahirkan itu emergency.” Kalimat ini kian
hari kian nyata. Pikiran dan perasaanku menjadi benar-
benar ikut emergency dan ikut hamil dan melahirkan.
Sepanjang hari ini saya tidak sempat mengirim kabar
untuk Kak Adrian. SMS maupun telepon. Untung
tidak ada SMS dan telepon juga dari dia. Jadi, imbas
dan mengurangi pertengkaran akibat yang satu merasa
kurang mendapat perhatian dari yang lain. Bagaimana

111
Nazar? Apakah Nazar jarang mengirim kabar? Jangan
khawatir. Mungkin saja situasinya hampir sama seperti
kita. Emergency sambung-menyambung.
Suratku untuk Dokter Stefanus kukirim juga untuk­
mu. Silakan buka attachment file dan bacalah. Mungkin
cocok sebagai bahan tambahan dalam penyuluhan,
konseling pranikah, atau konseling keluarga muda. Lebih
cocok lagi untuk konseling perasaan dan pikiran bidan.
Tuhan memberkati. Rosa Dalima.

***

Ketukan di pintu menyadarkan Ros. Dia segera


turun dari tempat tidur dan membuka pintu. “Oh, Dok­
ter maaf saya siap tidur,” katanya menghadapi Dokter
Yordan di depan pintu. Yordan terpana. Rambut Ros
terurai melewati bahu. Pakaian tidur berwarna hijau
daun dengan bis di leher dan ujung lengan berwarna
kuning tua, longgar, dan segar. Ros tampak lebih manis
dari biasanya. Lugu dan asli.
“Makan dulu baru tidur,” kata Yordan.
“Ya, Dokter,” Ros segera masuk ke dalam kamarnya
dan keluar kembali beberapa saat kemudian dengan
rambut yang sudah dijepit seluruhnya ke atas.
Yordan berjalan dan mengetuk kamar dua dan
kamar satu. Kosmas dan Lina juga membuka pintu.
“Kita makan di sini saja. Ada empat bungkus.” Tanpa
diminta Kosmas dan Lina mengeluarkan kursi. Ros juga
melakukan hal yang sama. Beberapa saat kemudian, Lina

112
datang dengan empat piring empat sendok. Kosmas
mengeluarkan meja dari kamar dan meletakkan di
atasnya empat gelas air. Yordan menelepon Martin dan
menjelaskan bahwa makanan yang dititipkannya sudah
sampai. “Terima kasih, teman! Berempat di teras mess.
Bidan Ros saudarimu, Kosmas, Lina, dan sahabat baikmu
Ojan yang paling ganteng,” Yordan tertawa sebelum
menutup HP-nya.
“Nasi bungkus ini dari Om Martin?” tanya Ros.
“Ya. Untuk saudarinya yang bernama Ros, teman
satu mess, dan Kapus. Ayo makan,” kata Yordan.
Keempatnya menikmati makanan kiriman Om Martin
dengan riang.
“Malam ini lebih dingin dan sunyi rasanya,” kata
Dokter Yordan.
“Dokter sudah jadi penyair,” Kosmas menyambung
sambil tertawa.
“Waktu yang tepat untuk mendengar suara wijaya
kusuma mekar,” kata Ros.
“Dokter Yordan jangan cari istri jauh-jauh ya.
Rosa sangat cocok dengan Dokter,” Lina menyambung.
“Serius! Ada banyak yang beda, tetapi rasa-rasanya ada
banyak juga yang sama.”
“Pasangan yang serasi,” sambung Kosmas.
“Bagaimana Ros?” tanya Yordan.
“Tanya wijaya kusuma,” Ros tersenyum manis.
“Bukan tanya Adrian?” Yordan menatap Ros dengan
rasa sayang. “Seandainya dia tahu apa sebenarnya yang

113
sudah terjadi, apakah dia akan tetap bersikap baik dan
manis begini? Apakah dia mampu menerima?” kata
Yordan dalam hatinya.
“Tidak ada yang boleh bertanya padanya!” jawab
Ros.
“Kenapa?”
“Karena dia kekasih saya,” jawab Ros.
“Oh begitu ya?”

114
BAGIAN KEDUA

WIJAYA KUSUMA
BERGUGURAN
11
Air Matamu, Ibu

Puskesmas ramai dikunjungi. Mes­kipun langit gelap


pertanda hujan lebat akan segera turun, pasien tetap
berdatangan. Sebagaimana biasanya pasien selalu lebih
ramai pada hari Senin.
Sebagian besar pasien dan pengantarnya berada di
depan pintu samping Puskesmas. Ada yang duduk, ada
yang berdiri, ada pula yang bersandar di tembok.
Beberapa laki-laki tampak berdiri di bawah pohon
mangga sambil merokok. Suara seorang perawat me­
manggil nama-nama pasien satu persatu di meja pen­
dataan awal. Satu persatu pula ditangani oleh Dokter
Yordan dengan cepat. Beberapa kali dokter bertanya,
apakah keluarga Mama Lisa sudah datang. Wajahnya
tampak kecewa bukan hanya kerena mengetahui bahwa
keluarga Mama Lisa yang ditunggu belum juga datang,
tetapi juga karena merasakan kecemasan Bidan Ros.
Dokter kembali tenggelam dalam tugasnya. Anak-
anak, ibu-ibu, orang tua, laki-laki, dan perempuan datang
dengan berbagai keluhan. Batuk pilek berkepanjangan.

117
Panas tinggi karena malaria yang kambuh lagi. Sakit
kepala, gatal-gatal, sakit perut, diare, demam, maag,
kencing manis, darah tinggi, luka di kaki karena berbagai
sebab, dan berbagai penyakit lain. Anak-anak menangis
dalam pelukan ibunya. Beberapa ibu hamil menunggu
giliran pemeriksaan. Ada yang hamil besar duduk me­
nunggu sambil membujuk anak yang baru berusia sekitar
delapan belas bulan. Ada juga yang tampak sehat dan
selalu melempar senyum saat saling bercerita dengan
rekan ibu hamil yang lain. Ada yang diam saja dengan
wajah lelah.
“Harus tenang hadapi ini ya Bidan Ros,” dokter
berdiri di sisi pasien, memegang dahinya, mencari denyut
nadi di pergelangan tangan pasien dan bicara keras.
“Siapa lagi yang ditunggu? Pasien harus segera dirujuk.”
Bidan Ros yang sejak tadi berada di samping Mama Lisa
menarik napas panjang. Keputusan rujuk sudah diambil.
Namun, keluarga yang harus menandatangani surat
persetujuan rujuk belum juga datang.
Dia memandang keluar jendela. Langit mendung,
lemah sinar matahari di pagi hari ini. Pohon-pohon
menjulang di depan Puskesmas tampak dingin dan
sepi. Beberapa ekor burung terbang rendah melintas di
atas puskesmas dan melengkingkan suara dari dahan
ke dahan. “Jangan biarkan hujan datang pagi ini,” batin
Bidan Ros.

118
“Selamat pagi Dokter, pagi Mama Bidan,” seorang
laki-laki berdiri di depan ruang periksa bumil30. “Ke­
luarga pasien sudah di jalan.”
“Tolong katakan cepat dan segera. Pasien harus
segera diantar ke Rumah Sakit,” kata dokter dengan
tegas. “Segera. Bidan Ros yang akan mendampingi pasien
ke sana.”
“Halo Om Martin sudah di mana?” tanya Ros. Dok­
ter Yordan mengambil HP di tangan Rosa dan juga
bertanya. “Martin, bisa cepat? Apa? Oh begitu ya? To­
long cepat, teman!”
“Orangnya sudah di jalan!”
“Sampaikan kepada keluarganya, segera, segera,
cepat, cepat!” Dokter menyentuh dahi Mama Lisa sekali
lagi. “Sudah diukur, panas tiga delapan, Dokter,” kata
Bidan Ros.
“Kenapa lama sekali? Ke mana saja?”
“Mertua dan pamannya yang datang. Suami TKI di
Malaysia.”
“Entah siapa! Harus segera dirujuk. Bagaimana
mungkin menunggu lagi, sudah terlalu lama, tidak ada
satu orang pun yang datang kemari. Bagaimana ini?
Bagaimana Ibu?” tanya Dokter Yordan. “Kuat ya?”
“Dokter…Mama Bidan…tolong saya,” dengan suara
lemah Mama Lisa bicara. Bidan Ros yang sudah tahu
situasi ibu-ibu hamil yang ditinggalkan keluarga dalam

Bumil singkatan dari ibu hamil.


30

119
situasi seperti ini, kembali menarik napas. Dia diam
dalam kegelisahannya menanti kedatangan keluarga
Mama Lisa. Hanya untuk tanda tangan setuju dan pasien
segera diberangkatkan.
“Mama Bidan, itu Bapa Simon mertuanya dan Lukas
Kribo datang.”
“Kenapa lama sekali Bapa!” Dokter Yordan marah
bukan main. “Ini keadaan gawat pasien mesti dirujuk ke
RS. Bagaimana ini?”
Om Simon segera ke bagian administrasi untuk
tanda tangan persetujuan dan lainnya. Lukas berdiri
tegak di hadapan dokter dan Bidan Ros. “Kami masih
rapat keluarga, masih telepon suaminya, masih tunggu
persetujuan keluarga, masih pastikan keuangannya,
masih cari kendaraan….”
“Tetapi, bumil ini dalam keadaan sulit dan harus
segera dibawa ke RS,” potong Dokter dengan tegas.
“Tetapi, kami harus kumpul keluarga dulu,” kata Kribo
dengan wajah tidak sabar. Lukas tergesa berbalik dari
ruang administrasi. Pasien akan segera dibawa. Mobil
Om Martin sudah siap di depan Puskesmas.
“Dokter tidak ikut?” Ros tampak cemas.
“Ada satu pasien koma, ada ibu hamil sungsang
yang menunggu melahirkan, ada anak yang sedang
diobservasi demam berdarah,” jawab Yordan. “Ros sudah
tahu semuanya kan?”
“Saya sendiri?” Ros sangat khawatir menatap langit
yang kian mendung.

120
“Nona Bidan Ros pasti bisa. Yakinlah. Kosmas dan
Lina ikut juga,” mata Yordan bertemu dengan mata Rosa
saat pasien didorong keluar Puskesmas. “Martin, tolong
jaga dia untuk saya,” Yordan menepuk bahu Martin.
“Jangan dibalik, kamu yang harus jaga dia untuk saya,”
sambung Martin dengan tegas. “Cepat tepat! Ros itu
saudarimu,” kata Yordan selanjutnya.

***
“Mama Lisa,” beberapa bumil berdiri. Lisa duduk
lemas di atas kursi roda. Perut membuncit, badan kurus,
wajah pucat pasi, bibir kering, mata dalam, dan keringat
tipis membasahi dahinya. “Melahirkan hari ini? Aduh,
kenapa? Tidak ada tenaga? Lemas? Ketuban sudah pecah
duluan? Belum ada bukaan? Bayi? Hah, denyutan lemah?
Aduh kasian e,” sambung-menyambung suara para ibu.
“Itu sudah, kalau suami tidak ada. Siapa yang gesit mau
urus? Kenapa ya kita punya orang ini mau rujuk ibu
hamil susah sekali. Mereka tidak kasian ibu hamil ya?”
“Mama Lisa!” teriak salah seorang bumil istri sesama
TKI. “Sabar saja! Pasti selamat.”
“Kasian Mama Lisa, mukanya pucat sekali. Mudah-
mudah cepat tiba Rumah Sakit. Mudah-mudahan tidak
hujan.”
“Keluarganya juga lama sekali membahas soal rujuk.
Bagaimana? Kalau saya sendiri yang putuskan rujuk,
tidak perlu tunggu mertua, tunggu paman, tunggu ke­
luarga,” kata bumil itu dengan kesal.

121
“Huss, jangan bicara sembarang,” seorang ibu mem­
beri peringatan.
“Apakah kamu tidak lihat wajahnya Lisa pucat
setengah mati. Tunggu berapa jam? Keluarga bahas dan
rapat berapa lama? Tunggu sampai pasien koma dan…”
“Hussss, diam. Jangan omong sembarang. Kita ini
hanya istri yang harus dengar suami, dengar mertua,
dengar keluarga…jadi jangan banyak omong.” Apa yang
hendak dikatakan? Keputusan untuk rujuk begitu lambat
diambil. Seringkali terjadi justru pada saat situasi kian
genting bagai bongkahan batu lepas di ujung tebing yang
tidak berdaya melawan sentuhan angin dan meluncur ke
jalan raya dan terlempar dalam jurang di sampingnya.
Aktivitas puskesmas terhenti sejenak. Tetes hujan
satu-satu mulai membasahi atap Puskesmas. Semua
mata tertuju pada evakuasi pasien. Mama Lisa digotong
oleh Magnus, Kosmas, dan Martin. Dokter Yordan
juga membantu sambil mengamati dengan wajah te­
gang. Bidan Kepala, Mama Lena, Bidan Flori, bidan
dan perawat, serta pekerja di Puskesmas pun berdiri
mengantar perjalanan pasien. “Martin, bantu ya. Selamat
sampai Rumah Sakit,” kata Yordan pada Martin sambil
saling menyentuh kepalan tangan tanda persaudaraan.
“Jaga saudarimu itu, bidan saya!”
“Kenapa jadi begini ya?” kata Mama Lena seorang
perawat Puskesmas Flamboyan.
“Dia datang dari kebun. Sendiri. Tidak ada yang
antar. Jalan kaki lumayan jauhnya. Apakah dia tidak

122
tahu waktunya sudah tiba? Apakah dia tidak tahu ke­
hamilannya berisiko?”
“Bukan begitu,” sambung salah satu bumil. “Dia
urus anak-anak dulu. Titip anak-anak di mertuanya. Dia
ke kebun untuk sampaikan kepada mertua bahwa sudah
mau lahir.”
“Jalan kaki ke kebun? Mendaki? Mungkin terlalu
lelah.”
“Sudahlah. Kita doakan selamat ya. Lihat wajah
Bidan Ros kebingungan.”

***

Bidan Ros berjalan tergesa mengiringi pasien.


Om Simon duduk di sisi sopir, sedangkan Lukas naik
motornya sendiri. Bidan Ros, Lina, Mama Sofia, Mina,
Kosmas, Magnus saudara Lisa duduk di belakang ber­
sama Lisa. Pasien duduk di atas kursi pendek yang
diambil dari puskesmas, kakinya di atas perawat, satu
tangannya di dada, dan tangan lainnya dalam genggaman
Bu Bidan. Kepalanya bersandar di dada Magnus.
“Mama Lisa, jalan bae-bae31 e. Kami doa untuk Mama
Lisa. Bidan Ros pulang cepat. Kami tunggu,” Bidan Flori
dan Mama Lena berdiri di pintu belakang mobil sambil
terus memberi semangat kepada Mama Lisa. Hujan jatuh
satu-satu segera tumpah dari langit bersamaan dengan
mobil Om Martin meninggalkan Puskesmas. Hati Bidan

Bae-bae: dialek lokal untuk kata baik-baik


31

123
Ros tergetar. Digenggamnya tangan Mama Lisa erat-
erat.
Hujan lebat sepanjang jalan keluar dari wilayah
Puskesmas, sampai ke jalan raya utama menuju RS
Melati di kota. Air mengalir membasahi bumi, air mata
menetes di wajah Mama Lisa. Bidan Ros membatin
berkali-kali dengan penuh harapan agar hujan berhenti
dan perjalanan ke RS dibebaskan dari semua rintangan.
“Vero, tunggu saya di RS. Saya antar Mama Lisa.
Emergency gawat darurat. Rujuk seksio. Tolong,” SMS
buat Vero. Dokter Yordan juga sudah mengirim kabar
untuk Kadinkes, Bidan Koordinator atau Bikor Ka­
bupaten, Bapa Desa, Pak Camat, Kepala RSU, dan Dokter
spesialis kandungan.
Ros terdiam dalam gelisah hatinya. Dia dapat
me­ra­sakan kegelisahan Sofia yang berusaha tenang
mendampingi Lisa. Ros ingin berteriak marah akan apa
yang sudah terjadi dengan Lisa, namun dia menahan diri
melihat kondisi Lisa yang lemah. Ditatapnya langit gelap
dan hujan yang bagai tumpah dari langit.
“Ini harus dibahas dalam pertemuan kader di Balai
Desa minggu depan,” kata Ros dalam hatinya. “Kalau saja
pasien sudah berangkat ke RS dua jam lalu, pasti sudah
sampai, sudah diurus di sana, tidak kehujanan seperti ini,
dan Lisa tidak lebih lemah menunggu keputusan,” Ros
merasa kecewa.
“Mengambil keputusan rujuk. Bukankah pasien
yang lebih tahu keadaannya. Bagaimana pun kondisinya

124
keluarga harus siap dengan dana entah bagaimana
caranya. Yang penting, ibu dan bayi selamat. Jadi, Lisa
tidak perlu tunggu terlalu lama, Lisa perlu memiliki
keputusannya sendiri. Lisa mesti didukung. Lisa harus
ada di RS paling lambat dua hari sebelum hari H,” batin
Ros. “Kalau saya, saya yang ambil keputusan rujuklah
saya, segera rujuk.”
“Hei, pikir apa? Hujan-hujan begini dilarang
ngelamun,” Lina menepuk bahu Ros.
“Lisa bisa ambil keputusan karena dia yang tahu
kondisi dirinya,” begitu saja Ros bicara pada saat Lina
menegurnya.
“Kenapa?”
“Hujan lebat begini,” mereka semua memandang
jauh ke langit lepas yang dihiasi hujan lebat. “Kasian
Lisa. Mestinya tidak perlu tunggu keluarga. Lisa jalan
dulu ke RS dua hari lalu…keluarga mendukung dengan
dana dan lainnya kemudian.”
“Suaminya belum pulang?”
“Cari uang di Malaysia?”
“Wah, tidak kentara juga bawa uang berapa dari
sana. Di sana kerja di kebun kelapa sawit, padahal di sini
mereka punya tanah dan kebun luas. Kenapa tidak kerja
di kebun sendiri?”
“Nasib ibu hamil ditinggalkan suami…” Ros menge­
luh perlahan. Wajahnya yang biasanya berseri-seri
karena selalu tampak tersenyum itu, kini ditekuk sedih
dan sepi oleh hujan dan pikirannya yang melayang ke

125
Lisa. “Semoga tidak lama di jalan. Kita segera sampai,”
katanya memberi semangat kepada Lisa dengan penuh
harapan. Sebuah harapan di tengah hujan lebat dalam
perjalanan emergency untuk kelahiran yang emergency.

***

Perjalanan rombongan Lisa menuju Rumah Sakit


Melati terhenti. Jalan putus. Tanah longsor di kilometer
delapan belas. Kendaraan dari arah Ende menuju
Wolotolo, Detusoko, Moni, Wolowaru, Watuneso, Paga,
Lekebai, Nita, Ledalero, Maumere maupun kampung-
kampung sepanjang jalan menuju Maumere terpaksa
berhenti. Demikian pula kendaraan menuju Rhoworeke,
Ende, Ndao, Nanga Ba, Nangapanda, Nangaroro dan
selanjutnya ke arah Barat juga terpaksa berhenti.
Jalan selebar satu kendaraan dan hanya satu-
satunya jalan tercepat serta terbaik menuju Ende macet
total. Kendaraan ibu hamil ini terhenti entah di urutan
ke berapa. Tidak ada penumpang yang turun karena
hujan. Sopir, kondektur, dan beberapa laki-laki tampak
berjalan di bawah hujan dengan daun pisang atau daun
keladi sebagai payung. Ada yang berjalan menuju tempat
longsor ada pula yang balik dari sana.
Martin segera mematikan mesin dan keluar dari
mobil. “Tunggu sebentar, mudah-mudahan bisa lewat,”
dia segera pergi. “Kita harus segera lewat, kita harus
secepat mungkin menuju RS,” terdengar suara Bidan

126
Ros. “Ya, Tuhan, Ibu ini harus segera ditolong,” doa
Bidan Ros dalam hatinya.
“Om Martin, tolong cepat kembali,” teriaknya.
“Mama Lisa sabar ya. Sebentar lagi kita sampai,”
bisiknya. Mereka tidak perlu terlambat, jarak Puskesmas
menuju RSU Melati tidak lebih dari 40 kilometer.
Mereka sudah lewati dua puluh dua kilometer dengan
aman, tinggal delapan belas kilometer lagi.
Satu, dua, tiga, ada delapan angkutan umum, lima
truk ekspedisi, satu bus kayu jurusan Kota Baru – Ende,
satu bus Maumere – Ende, dua bus jurusan Larantuka
– Ende, dua lagi bus Maumere – Bajawa, sekian banyak
sepeda motor, dua buah mobil kap terbuka berurutan
tepat di tepian tebing longsor.
Secara gotong royong para lelaki menggali dan
melempar longsor ke sisi jurang terjal bagian kiri,
pengendara sepeda motor ikut berpartisipasi. Gundukan
tanah longsor itu tidak terlalu tinggi. Orang-orang di
bagian timur dan bagian barat longsoran bisa saling
melihat deretan kendaraan yang akan ke timur maupun
ke barat.
Panjang longsoran mencapai tujuh belas meter.
Beberapa penumpang berjalan kaki berusaha melewati
longsoran untuk tiba di bagian timur ataupun bagian
barat. Teriak agar hati hati berkali-kali terdengar, sebab
kemungkinan longsoran kedua bisa saja terjadi. Langit
mendung, hujan berhenti tidak mengurangi kegelisahan.

127
“Mereka bilang kira-kira sepuluh menit hujan,
longsor tidak mau tunggu, langsung saja turun dari
tebing, dan kita semua berhenti,” kata Hengky yang
sudah tenar dengan nama Cekat, salah satu sopir yang
ditanyai Om Martin.
“Kapan pemerintah bisa urus ini jalan supaya tidak
longsor lagi. Longsor begini, biar kita tunggu sampai
badan kita bengkok tidak akan bisa lewat. Terpaksa
tunggu saja sampai hujan berhenti sampai bantuan
datang,” kata Cekat sambil mengelap basah keringat
dan air hujan di dahinya. Skop di tangannya baru saja
berpindah ke tangan yang lain.
“Masih lama ya?” tanya seorang penumpang.
“Datang-datang langsung tanya,” sambung Cekat.
“Bantu kah biar cepat! Tetapi, kapan tempo?” Semua
mata memandang ke gundukan tanah longsor, air, dan
lumpur. “Kita pasti bermalam di sini kalau buldoser
untuk bongkar longsor lambat datangnya.” Hujan
berhenti, namun tidak mampu menolong jalanan bebas
longsor. Lumpur dan licin. Jalan setapak terbentuk
dengan sendirinya mengikuti alur jalan yang tercipta
dari pejalan kaki. Mereka berusaha menembusi longsoran
melalui sepanjang tepian longsoron.
“Hei, jangan jalan lewat tengah longsor, nanti
gundukan longsor jatuh ke pinggir dan jalan tertutup
tambah,” teriak Cekat di tengah suara-suara lainnya yang
memperingatkan hal yang sama. “Hei, laki-laki semua
bantu buka jalan, buat jalan tambah lebar.”

128
“Sudah bisa tembuskah?” Martin memperhatikan
dengan saksama. Lega hatinya melihat pejalan kaki dari
barat sudah bisa tembus lebih mudah ke timur, demikian
pula sebaliknya.
“Om heran kah?” Cekat bicara. “Sudah biasa setiap
tahun longsor, jadi jangan heran. Bilang ke penumpang
yang mau tembus timur atau barat, jalan sudah. Yang
tidak mau rame-rame tidur di sini, kemungkinan besok
pagi baru buldoser datang dari Ende. Jalan tembus untuk
kendaraan kemungkian besar besok siang. Kita buka
jalan setepak ini hanya untuk bantu pejalan kaki. Om
Martin punya penumpang banyak kah?”
“Ibu hamil, satu bidan, dua kader, satu perawat, dan
empat laki-laki pengantar!”
“Hah, ibu hamil? Bae-bae32 kah?” Cekat terbelalak.
“Aduh, Tuhan e, kasian. Ada di oto kah? Kita pikul saja
biar tembus ke barat. Aduh, heeee,” teriak Cekat. “Om
Martin dengan siapa? Nona bidan cantik yang bantu
urus ibu yang bersalin di atas oto itu kah? Yang dari
Wolowona mau ke Moni tuh. Siap oto mau muat ibu
hamil,” teriaknya lebih keras. Cekat dan beberapa laki-
laki menuju kendaraan Martin. Karena hujan sudah
berhenti, banyak penumpang turun dari kendaraan
masing-masing dan memenuhi bagian-bagian tanah
kosong di sekitar mobil dan motor sepanjang jalan ke
timur maupun ke barat bagian tanah longsor.

Bae-bae adalah dialek lokal untuk kata baik-baik.


32

129
“Sudah jam lima sore,” terdengar suara Cekat.
“Harus lewat sebelum gelap,” sambung sopir lain­
nya.
“Bisa tembus atau tidak?” tanya Martin dengan
gelisah.
“Pasti bisa. Kita bantu rame-rame,” Cekat meyakinkan
Om Martin. “Om Martin kapan pulang dari Surabaya?
Bawa truk baru ajak saya jadi sopir bisa e,” Cekat
menarik tangan Om Martin kembali ke wilayah longsor.
“Kita bantu di sana!” katanya. “Ada Kekar saya punya
teman yang bantu buat tandu supaya ibu hamil bisa kita
pikul saja.”

***
Lukas Kribo berdiri gelisah di depan kendaraan.
Berkali-kali dia salahkan hujan yang datang tiba-tiba.
Berkali-kali dia salahkan tanah longsor yang menurutnya
jatuh tidak pada waktunya. “Sekarang belum musim
hujan, kenapa hujan? Biasanya tidak longsor di sini,
biasanya longsor di tempat lain. Kenapa longsor? Buat
kita susah saja itu hujan dan longsor.”
“Kenapa bantuan lama sekali?” kata Lukas lagi.
“Mestinya pemerintah cepat perintah buldoser untuk
bongkar tanah longsor supaya kita bisa lewat.”
“Kurang ajar betul itu longsor,” Lukas marah bukan
main.
“Ada apa dengan Lisa anak mantu. Sial apa? Buat
kepala pusing begini,” Lukas menggerutu di samping

130
ayahnya. “Jangan-jangan itu Bidan Ros yang tidak
beres urus Lisa sampai jadi begini,” katanya lagi sambil
menyalakan rokok dan bersandar di sisi kendaraan.
“Kenapa tidak urus beranak saja di Puskesmas? Itu
Dokter lepas tanggung jawab!”
“Sudah tahu suami pergi jauh cari uang, dia tidak
bisa jaga dia punya diri baik-baik. Ada buat salah apa
sampai kita semua harus susah begini?” Om Simon sama
sekali tidak sabar.
“Hujan lagi, longsor lagi. Siapa yang salah? Apakah
kita yang salah. Bapa lihat tadi dokter punya muka waktu
kita datang. Muka marah. Dia kira kita siapa? Cepat
rujuk, cepat rujuk. Apakah dia tidak tahu kita masih pikir
setengah mati. Belum tanya Nadus itu Lisa punya suami,
belum tanya uang ada atau tidak, belum cari kendaraan,
belum ini itu,” Lukas terus bicara. Keduanya terus saja
mengomel. “Sial apa anak mantu ini?”
“He Kribo kalau bicara jangan asal bicara,” Mama
Sofia keluar dari mobil dan bicara pelan dengan Lukas.
“Bantu gali longsor, bantu buat tandu, jangan hanya
menganga bodoh dan ngomel tidak ada guna di sini.”
“Terserah saya!”
“Dasar manusia tidak ada guna.”
“Siapa yang suruh rujuk? Sudah tahu hujan, longsor,
masih nekat rujuk.”
“Omong pakai otak!”
“Makanya Mama Sofia kalau omong dengan saya
pakai perasaan sedikit,” kata Lukas.

131
“Kamu yang tidak ada perasaan,” kata Mama Sofia.
“Itu Martin saja yang mau putar balik masalah.
Supaya bisa dekat dengan Bidan Ros! Dasar manusia
buaya darat.”
“Lebih baik diam! Daripada saya hajar kamu di
sini,” kata Mama Sofia. Mina turun dari kendaraan dan
memanggil Mama Sofia. “Dipanggil Nona Bidan,” kata
Mina. “Nona Bidan bilang jangan ribut dengan Lukas.
Tidak ada gunanya.”
“Mama Mina juga mau lawan saya? Mau bela Lisa
kamu dapat apa?” Lukas menjauh setelah meninju bagian
depan kaca kendaraan.

***
Ros, Lina, Sofia, Mina, Kosmas, dan Magnus sau­
dara laki-laki Lisa mendengar semuanya. Wajah Lisa
pucat pasi, matanya terpejam dan setengah terbuka
sekali-sekali, keluhan-keluhannya membuat mereka lebih
diam. Magnus dan Kosmas berbicara dengan beberapa
orang untuk mencari kemungkinan terbaik. Bagaimana
caranya agar Lisa dapat ditandu melewati tanah longsor
ini?
Bidan Ros terdiam di dalam kendaraan bersama Lisa.
Meskipun keadaan Lisa tidak baik dan lemah, Ros tahu
bahwa Lisa mendengar semua pembicaraan mertua dan
iparnya. Semua mereka yang berada dalam kendaraan
merasakan tendangan keras yang dilakukan si Kribo pada
bagian depan kendaraan. Lisa juga tahu. Itu dirasakan

132
Ros dengan tetesan air mata yang jatuh dari sudut mata
Lisa. Ros menggenggam tangan Lisa erat-erat, berusaha
menyatu dengan rasa sakit yang dialami ibu hamil itu.
“Kenapa ya orang kita ini punya kecenderungan tinggi
sekali menumpahkan kesalahan pada orang lain?” Ros
menarik napas panjang lagi.
“Mama Bidan,” terdengar desahan Lisa.
“Sebentar lagi sampai,” kata Bidan Ros. “Mama sabar
e…mereka lagi berusaha.”
“Kita ada di mana Mama Bidan,” Lisa benar-benar
menangis.
“Jangan menangis. Jaga emosi, buka matamu. Jangan
tidur. Semua pasti baik-baik saja, Lisa harus percaya.
Sebentar lagi sampai.”
“Syukur hujan berhenti,” kata Bidan Ros. Jantungnya
berdebar kencang, namun dia berusaha tetap tenang di
samping Lisa. Matanya menatap ke bagian belakang
kendaraan. Seorang laki-laki berbadan kekar, Kosmas,
dan Magnus bersama beberapa laki-laki mempersiapkan
tandu. Entah dari mana parang, tali, dahan pohon,
bilah bambu di tengah jalan sepi itu. Tidak ada rumah
penduduk yang dekat di tepi jalan bagian longsoran.
Rupanya berita bahwa ada ibu hamil yang harus segera
ditolong cepat menyebar dari kendaraan ke kendaraan,
baik timur maupun barat.
“Om Martin belum datang?”

133
Tidak ada signal di sini. Sekiranya ada signal dia
bisa bicara dengan Dokter Yordan, Bidan Kepala, Flori,
Mama Lena, perawat senior di puskesmas, Bidan Vero,
Theresia, Nining, Sitti, Linda, dan teman seangkatannya.
Dia bisa jelaskan apa yang terjadi, dia bisa bertanya apa
yang seharusnya dia lakukan selain menunggu, dia bisa
ambil keputusan terbaik.
Apa yang terbaik selain menunggu jalan yang
longsor dapat dilewati dan Lisa segera tiba di RS
Melati? Dia juga bisa telepon Adrian menjelaskan apa
yang sedang dialaminya sekarang. Apakah Adrian mau
mengerti? Mungkin saja Adrian sudah menghubungi
berkali-kali dan berkali-kali pula terdengar, “Telepon
yang Anda hubungi sedang di luar jangkauan, cobalah
sekali lagi.” Bisa juga sudah sekian banyak SMS masuk
dari laki-laki itu mulai dari kata-kata yang paling manis
pada SMS pertama sampai ke SMS yang paling kasar
pada SMS terakhir karena tidak ada tanggapan darinya.
“Ya Tuhan…jangan biarkan itu terjadi pada kami.
Tolong jaga ibu hamil ini. Tolong bantu kami melalui
mereka yang sedang sibuk membuat tandu, yang
membuka jalan setapak di tengah longsoran, yang sedih
dan yang berharap agar ibu hamil ini selamat sampai
tujuannya.…”
Langit bertambah kelam. Sudah lewat jam lima sore.
Rindang pepohonan yang menjulang di atas tebing di
sisi kanan jalan dan yang muncul dari kedalaman jurang
di sisi kiri jalan menjadikan waktu yang bergerak lambat

134
begitu cepat mendatangkan malam. Angin berhembus
bersama daun-daun berguguran, aroma tanah, lumpur,
dan bijian pohon yang jatuh dan hancur ditelan bumi.
“Pejamkan mata, tetapi jangan sampai tidur ya,” kata
Ros dengan perlahan.
“Terima kasih Ibu Bidan,” suara Lisa hampir tidak
terdengar. Bidan Ros pun terus berharap. Dengan jelas
dapat didengarnya suara-suara sekelompok laki-laki
mengerjakan tandu. Dia tersenyum sekilas mengucapkan
syukur atas kepedulian para laki-laki itu. Terutama Cekat
yang cekatan yang dengan bahasa dan gaya bicara khas
Cekat. Cekat yang sigap berjalan tergesa bolak-balik dari
tandu dan bagian longsoran.
“Kekar! Kalau tandu siap segera panggil kami.
Longsor hampir aman,” kata Cekat.
“Longsor aman bagaimana Cekat!” kata Kekar.
“Bisa lewat. Yakin!”

135
9
Yang Sanggup Berkata Benar

Simpang-siur pertanyaan bermunculan. Simpang-


siur pula jawaban yang simpang-siur dari siapa saja yang
ikut bicara. Longsoran bertumpuk sementara alat yang
tersedia hanya beberapa sekop milik para sopir.
Beberapa orang berusaha menarik longsoran dengan
batang kayu yang dipapankan sekadarnya. Mereka ber­
jejeran lima enam orang memasukan papan pada bagian
ujung longsoran dan mendorongnya bersama-sama ke
dalam jurang di sisinya. Demikian terus-menerus hal
itu dilakukan sehingga sedikit demi sedikit tumpukan
berkurang, namun belum dapat membebaskan jalan dari
tumpukan yang terus menurun dari ketinggian.
Hampir semua laki-laki bahu-membahu, baik yang
dari bagian barat maupun dari bagian timur. Upaya itu
dengan sendirinya membuat jalan setapak di sepanjang
tepian jurang dalam yang menganga di sisi jalan.
“Om Martin,” terdengar teriakan dari bagian barat.
“Om Martin.…”

136
“Om Martin,” dua anak lelaki tergesa-gesa menuju
tempat Martin. Yang seorang berambut keriting kira-
kira berumur 11 tahun. Yang satu berambut lurus ber­
telanjang dada usianya sekitar 13 tahun. “Om Martin,”
keduanya mencari-cari mana Martin. Martin yang se­
dang berusaha sekuat tenaga mendorong longsoran ke
jurang berpaling.
“Cari saya?” tanya Martin. Rupanya ada dua orang
lagi yang bernama Martin.
“Om Martin yang muat ibu hamil,” kata si telanjang
dada.
“Saya! Kenapa?”
“Om, Mama Bidan bilang pikul saja Mama Lisa ke
sebelah,” kata si rambut keriting. “Mama bidan bilang,
Mama Lisa mesti cepat ke rumah sakit.”
“Ya, pasti!” Cekat menyambung. “Kamu bilang ke
Mama Bidan lima menit lagi siap,” kata Cekat sambil
mengusap wajahnya.
Sambil bekerja diperhatikan wajah laki-laki yang
bernama Martin itu sering membawa pasien bersama
bidan cantik dari Polindes Bakung. Sudah sering dili­
hatnya Martin dengan bemo33nya pulang pergi dengan
berbagai muatan. Beras, sayur-sayuran, ubi, tuak, dan
berbagai macam bawaan lainnya. Tidak jarang Martin
membawa berkarung-karung hasil bumi, seperti kopra,
coklat, kemiri.
Bemo: sebutan orang lokal untuk kendaraan roda empat yang digunakan
33

sebagai angkutan umum.

137
Martin adalah orang sekolahan, petani yang sarjana,
sekaligus pedagang yang aktif, salah satu dari sedikit
laki-laki yang tidak pergi menjadi TKI. Martin yang
dikenal sebagai pembeli hasil bumi yang rendah hati.
Orang yang menurut Cekat perlu ditolong karena suka
menolong.
“Kenapa tidak dari tadi antar itu Mama Lisa?” tanya
Cekat sambil terus bekerja.
“Masih tunggu keputusan keluarga, katanya!” jawab
Martin.
“Siapa?”
“Om Simon dan Lukas. Kalau Nadus suaminya
merantau jadi TKI di Malaysia.”
“Kribo! Dia hanya tunggu pangku tangan seperti
banci?” tanya Cekat.
“Makanya bawa cepat sudah itu ibu hamil ke rumah
sakit. Mama bidan yang bilang!”
“Ya, Om orang-orang selesai kerja tandu,” kata
si Keriting. “Mari sudah Om…sudah bisa lewat tuh,”
sambung si Telanjang Dada. Martin, Cekat, dan beberapa
lelaki bersama dua anak itu kembali ke kendaraan ibu
hamil diikuti oleh penumpang lain yang ingin tahu.
Laki-laki dan perempuan semuanya berusaha maju ingin
menolong ataupun ingin menonton.

138
“Mama Bidan, sudah bukaan34 berapa?” tanya salah
satu penumpang bus Larantuka – Ende. “Sudah waktu
lahir?”
“Banyak masalah. Waktu lahir hari ini,” jawab Bidan
Ros singkat saja.
“Aduh, kasian, pucat sekali.”
“Aduh gawat darurat.”
“Aduh, bahaya. Kenapa bisa jadi begini?”
“Aduh, mudah-mudahan bisa melahirkan dengan
se­lamat. Ibu anak tertolong dua-duanya. Aduh, jalan
masih jauh sekali,” demikian berbagai komentar datang
setiap kali mereka mengintip dan bertanya melalui pintu
maupun jendela kendaraan.
“Suaminya ada di mana?”
“Mereka bilang suami pergi TKI,” jawaban datang
dari setiap orang yang bertanya maupun yang menjawab.
“Bukan suami siaga alias siap antar jaga.”
“Suami siaga hanya heboh di tivi saja.”
“Kenapa mau lahir dulu baru bingung dengan ru­
jukan,” kata salah satu penumpang.
“Siapa yang tahu ada tanah longsor? Ini di luar
kehendak kita,” sambung yang lain.
“Justru itu! Harus sedia payung sebelum hujan.”
“Salah siapa? Salah ibu bidan, salah suami, salah
keluarga, atau salah ibu hamil?”

Bukaan: sebuah kata untuk menjelaskan pembukaan rahim ibu hamil


34

dari bukaan satu sentimeter dan seterusnya sampai cukup terbuka untuk
melahirkan.

139
“Hei motor dari barat sudah tembus jalan setapak,”
semua perhatian tertuju pada sepeda motor dan pengen­
daranya yang sanggup tembus jalan setapak yang licin
akibat longsor dan lumpur. Satu pengendara motor dari
timur juga bersiap-siap tembus jalan setapak sebelum
senja benar-benar menjadi gelap.
“Ayo bantu, jangan banyak tanya,” kata seorang
laki-laki yang bertubuh paling kekar dari semua laki-laki
lainnya. “Makanya ibu hamil itu harus tahu kapan mau
lahir. Jadi, tidak perlu susah begini. Bidan bodok35, dokter
bodok, pemerintah bodok, semua bodok. Ingat baik-baik
juga. Keluarga juga harus dukung, harus tahu kapan ibu
melahirkan. Mana dia punya suami! Kamu kah?” Si tubuh
kekar langsung menuding Lukas. Lukas diam saja. Om
Simon dan Lukas terdiam tidak dapat bicara. Dalam hati
keduanya memaki habis-habisan si Kekar.
“Tidak ada yang boleh mulut besar di sini. Kerja...
kerja...kerja...bantu bantu bantu.”
“Ya Om!”
“Kamu kira gampang jadi Ibu hamil?” teriaknya.
”Suami bodok! Jangan coba-coba kasih salah ibu hamil e.
Yang salah ini kau suaminya juga keluarganya. Jangan
jawab,” si Kekar bersuara keras saat Lukas tampak mau
bicara. Semua orang terdiam. “Mulai salahkan hujan,
salahkan longsor, salahkan dokter, salahkan bidan.

Bodok: salah satu dialek lokal untuk kata bodoh.


35

140
Lebih gila lagi kamu kasih salah ibu hamil. Memangnya
longsor dan hujan kamu yang punya apa?”
“Soalnya hujan.…”
“Diam! Kalau kamu lewat dari tadi tidak mungkin
terjebak longsor di sini. Kalau persiapan matang tidak
mungkin mesti susah begini. Memang penyakit orang
kita tidak pernah mengaku salah. Maunya semua orang
lain yang salah. Dasar bodok!”
“Jangan omong begitu kah,” kata Lukas.
“Diam kamu! Kamu semua bodok tidak bertanggung
jawab!” Si Kekar menyimpulkan dan mengikat kuat-kuat
tali terakhir. “Bagaimana sudah bisa lewat? Mari kita
pikul rame-rame. Kamu, kamu, kamu, dan kamu. Mari. Bu
bidan keluar sudah!”
“Terima kasih…Sudah ada tandu. Tandu sudah
selesai dibuat.” Martin dan Cekat yang datang bergabung
menatap langit dan bersyukur berkali-kali dalam hatinya.
“Terima kasih Kekar. Rebes, eh beres saya kasih hadiah
rokok satu bungkus.”
“Sekarang,” kata Kekar. “Hei Cekat! Cepat!”
“Kita bantu Mama Lisa segera....”
Dengan cepat tubuh Lisa sudah berpindah di atas
tandu. Cekat, Kekar, Kosmas, dan Magnus berjalan
paling depan, diikuti rombongan pemikul tandu, dan para
penumpang lain. Om Simon dan Lukas berjalan paling
belakang dengan mulut terkancing rapat. Bidan Ros
berjalan di samping Martin. Lina, Mina, dan Mama Sofi
di belakangnya. Mendekati jam enam sore, namun cuaca

141
gelap sudah turun meliputi bumi. Udara terasa dingin,
suara burung malam memasuki kelam. Lengkingannya
membelah sepi dan rasa gundah dalam hati.
“Suaminya di mana?”
“TKI mungkin di Malaysia.”
“Kita punya orang paling parah. Rela tinggalkan
istri yang lagi hamil untuk mencari uang TKI di
Malaysia atau entah di mana. Tidak jelas juga dapat uang
atau kirim uang berapa. Kasian sekali.”

***

Rombongan pengantar tandu kian lama kian banyak


sampai ke ujung longsoran. Ibu-ibu dan anak-anak
melihat dengan khawatir tandu ibu hamil yang ber­
usaha menembus jalan setapak yang tidak bersih dari
longsoran. Para laki-laki dengan berbagai cara menolong
lancarnya perjalanan pemikul tandu.
Ada yang berteriak supaya jangan berkerumun,
ada yang memegang kayu pembatas longsoran, ada
yang berteriak keras agar penumpang di ujung barat
siap membantu membalikkan kendaraan. Ada pula yang
marah-marah menyesali suami dan keluarga ibu hamil
yang tidak berjaga-jaga demi keselamatan ibu hamil dari
berbagai kemungkinan. Udara kian lama kian dingin.
Angin berhembus memberi kabar tentang kecemasan
yang sukar disembunyikan. Menjelang jam enam sore.
Gerimis menambah kelamnya suasana.

142
Semua mata memandang dengan perasaan ngeri.
Tandu ibu hamil dengan enam laki-laki pemikul. Cekat,
Kekar, dan Magnus berjalan lebih dulu membelakangi
jalan, sambil memberi komando agar berhati-hati.
Kosmas mengamati dengan saksama. Beberapa laki-laki
lainnya memberi komando dari seberang longsoran.
“Cukup satu orang yang kasih komando,” teriak si
Kekar. “Kalau semua mau kasih komando biar sudah ibu
hamil stop di sini,” suara si Kekar dan suara-suara lainnya
simpang siur.
Sekejab semua terdiam ketika tandu berada pada
bagian longsoran yang paling tinggi. Rombongan pe­
mikul dengan sangat hati-hati melangkah. Bidan Ros
melangkah dalam keadaan tegang. Wajahnya pucat
mungkin sama pucatnya dengan bumil yang terbaring
lemah di atas tandu. Hujan rintik-rintik di tengah
kekelaman senja membuat Bidan Ros menggigil. Tangan
Martin digenggamnya erat-erat. “Tidak apa-apa…
pegang saja tangan saya,” Martin berjalan di depan, Ros
tepat di belakangnya diikuti Sofia, Lina, dan Mina. Lukas
membuang muka saat melihat tangan Ros ada dalam
genggaman Martin.
“Terlalu lama,” komentar Lukas yang berjalan
men­dekati Bidan Ros dan Martin. “Kalau ada apa-apa
dengan saya punya kakak ipar, lihat saja,” Lukas terbakar
cemburu.
“Hei, Lukas omong apa?” tegur Cekat. Lukas ter­
diam. “Jangan pura-pura perhatian. Bapa mantu juga

143
diam e. Bapa dan Lukas yang hambat dan buat susah
ibu hamil. Saya sudah tahu jadi jangan banyak omong,”
ancamnya dengan serius.”Kita nih memang tidak pake
otak tidak pake hati. Itu Lukas tidak kasian ibu hamil.
Mereka lupa kalo mereka juga keluar dari perut mama
yang hamil.”

***
“Sebenarnya dari tadi sudah bisa tembus wilayah
longsoran. Ini semua gara-gara itu mulut besar,” kata
Lukas dengan suara yang dikecilkan khawatir suaranya
ditangkap Cekat dan si Kekar. “Heh, hati-hati,” teriaknya
ketika melihat pemikul tandu terlihat miring karena
kiri lebih tinggi dari bagian kanan. Tiga meter, dua
meter, dan rombongan melewati tanah longsor. Bidan
Ros berlari bersama Martin. Keduanya berada tepat di
belakang tandu melewati beberapa kendaraan sampai tiba
di kendaraan terakhir yang telah memutar arah menuju
Ende.
Angin berhembus kencang, ranting dan daun me­
nari-nari, hujan kembali bernyanyi dengan derunya
yang keras. “Lisa, Lisa, Lisa,” berkali-kali Bidan Ros
menyadarkan Lisa agar bertahan sampai tujuan. Udara
dingin dan lebih dingin di tengah deru hujan. “Ibu Bidan
sabar e,” kata Cekat dengan penuh perhatian.
“Kau tidak boleh ikut!” Cekat mendorong Lukas
hingga hampir terjatuh. “Kau dengan kau punya Bapa
Simon cari kendaraan lain. Sewa ojek, bawa motor

144
sendiri, atau apa terserah. Saya sudah tahu kamu
punya ulah. Yang lain cepat naik kendaraan sekarang,”
perintahnya. Kekar berdiri mengawasi. Martin tanpa
sadar menepuk-nepuk bahu Bidan Ros yang cemas
menggenggam tangan Lisa. Sofia diam membisu. Kosmas
dan Lina di kaki Lisa. Lisa disandarkan pada tubuh
Magnus.
“Naiklah,” kata Martin pada Om Simon dan Lukas.
Cekat dan Kekar membiarkan saja karena menghargai
Martin. “Kalo Mama Lisa mati, kamu berdua tanggung
jawab!” kata Kekar.
“Ibu Bidan Ros…” ditatapnya wajah Ros lekat-lekat.
“Saya menyusul,” kata Martin dengan sepenuh hatinya.

***
Hujan lebat kembali turun beberapa saat setelah
kendaraan rombongan pengantar Lisa meninggalkan
longsoran. Martin mematung di bawah hujan. Sudah
beberapa kali dirinya membantu Ros mengantar bumil
dari Polindes Bakung ke Puskesmas Flamboyan, dari
Puskesmas Flamboyan ke RS, baru sekali ini dia merasa
beratnya beban yang ditanggung bidan desa itu.
Dia tahu bagaimana upaya Ros bersama ibu-ibu
kader melakukan kunjungan rumah dan berusaha
dengan segala daya agar dapat menemukan Lisa dan
mem­bawanya ke Puskesmas. Dia tahu pula bagaimana
keluarga Simon menghadapi Lisa dan bagaimana Lukas
memusuhi Ros dan dirinya tanpa alasan.

145
Apa yang terjadi sekarang ini? Lisa menderita se­
orang diri. Baru sekarang dimengertinya dengan lebih
baik kata-kata Ros bahwa kehamilan itu emergency,
melahirkan itu emergency, penanganan bayi neonatus juga
emergency. Bumil harus menyadari benar-benar hal ini
demikian pula suami dan keluarganya.
“Om Martin mari sudah,” Cekat mendekati Martin
dengan dua batang keladi berdaun lebar. “Ini,” katanya
sambil menyerahkan satu tangkai untuk Martin jadikan
payung. “Mari sudah kita tunggu di dalam oto36.”
“Saya kenal keluarga Lisa, suami dan keluarga
b­esarnya,” kata Martin.
“Orang-orang di Puskesmas juga omong mereka,”
sambung Cekat.
Keduanya berjalan memasuki jalan setapak yang
dilewatipemikul tandu beberapa saat yang lalu. Malam
gelap gulita. Hujan deras dan angin melahirkan rasa
gundah yang tidak dapat dikatakan lagi. Pertanda apakah
ini? Hujan pun berhenti tiba-tiba dan angin berhembus
kencang seakan-akan mau menghalau awan hitam pekat
menjauh dari lokasi.

***

“Bidan Ros masih nona kah? Belum nikah,” tanya


Ibu Ona salah satu penumpang kendaraan Larantuka
menuju Ende.

36 Oto: dialek lokal untuk menyebut mobil/kendaraan roda empat.

146
“Nona Bidan itu namanya Ros, kah? Masih muda
sekali sudah jadi bidan, pikul lagi tanggung jawab berat.
Saya lihat itu Nona Bidan juga pucat sekali. Mungkin
gugup lihat pasiennya,” sambung penumpang lainnya.
“Orangnya cantik, kasian sekali.”
“Om Martin tidak ikut antar kah? Siapa tahu Nona
Bidan ada perlu,” salah satu sopir menggoda Martin.
“Siapa tahu jodoh dengan Bidan Ros.”
“Hei, jangan omong sembarang,” sambung Martin
dengan wajah cemas. Apalagi terdengar sambung-me­
nyam­bung suara-suara yang menjodohkan Martin
dengan Bidan Ros.
“Bidan cantik Om, maju saja, siapa tahu jodoh!”
kata salah satu sopir diikuti tawa ria penumpang, namun
tidak ditanggapi Martin. Ia berkali-kali mencoba telepon
dengam HP-nya, namun berkali-kali pula gagal.
“Om tahu pasti ibu hamil tadi itu melahirkan hari
ini?” tanya seorang penumpang bus.
“Ya. Menurut Bidan Ros .”
“Kemungkinan bisa ditolong?”
“Kurang tahu Ibu. Mudah-mudahan bayi dan ibunya
selamat.”
“Di Larantuka kami punya program “dua ha dua”
untuk semua ibu hamil.”
“Dua ha dua? Apa itu Ibu?” tanya Martin dengan
penuh perhatian. “Dua ha dua?”
“Ditulis dengan angka 2H2, dibaca dua hari sebelum
melahirkan dan dua hari sesudah melahirkan. Semua

147
berjaga-jaga. Dua hari sebelum melahirkan harus sudah
dipastikan kondisi terakhir Ibu hamil. Jika keadaannya
seperti Mama Lisa tadi, paling lambat dua hari yang lalu
Mama Lisa harus sudah ada di RS PONEK. RS PONEK
itu artinya lahir, eh melahirkan di RSU ditolong dokter
spesialis kandungan.”
“Oooh begitu?” Martin dan beberapa orang lain
memperhatikan penjelasan Ibu Ona Larantuka itu. “Dua
ha dua, apa artinya itu Bu?” tanya Martin sekali lagi.
“Dua hari sebelum hari ha dan dua hari sesudah hari
ha,” jawab Ibu Ona Larantuka.
“Ha artinya apa?” Cekat berdiri di antara keru­
muman.
“Hari yang utama. Hari ha melahirkan. Hari ke­
jadian.”
“Sambut baru hari Minggu enam hari lagi kan kalau
dihitung dari hari ini?” tanya Ibu Larantuka kepada
Cekat.
“Ya.”
“Hari ha sambut baru itu hari Minggu. Enam hari
sebelum hari ha itu hari ini. Enam hari setelah hari ha
itu hari Sabtu. Mengerti? Ini Senin, toh? Nah ha dua ha
artinya dua hari lalu atau hari Sabtu dan dua hari yang
akan datang hari Rabu. Mengerti?” Tanya Ibu Ona dan
Cekat mengangguk dibarengi dengan gelak tawa orang-
orang yang terlibat maupun yang hanya mendengar saja.
“Jadi, kalau ibu hamil itu melahirkan hari ini, berarti ini
hari ha. Dua hari lalu itu adalah dua hari sebelum hari

148
ha, sedangkan dua hari yang akan datang itu adalah dua
hari setelah hari ha. Mengerti?”
“Kalau tiga hari belum dan tiga hari sudah hari ha
bagaimana?” tanya Cekat.
“Ya tiga ha tiga namanya!”
“Kalau empat hari? Lima hari? Enam hari?”
“Empat ha empat dan seterusnya enam ha enam.”
“Kalau tiga hari belum dua hari sudah?”
“Tiga hari sebelum hari ha dan dua hari sesudah hari
ha.”
“Kalau enam bulan sebelum melahirkan namanya ha
enam bulan ha?”
“Oooh itu kalau kamu yang hamil,” Ibu Ona
Larantuka terbahak-bahak diikuti semua yang lain.
“Kalau dunia terbalik. Laki-laki yang melahirkan. Ke­
mungkinan sudah harus waspada enam bulan ha dua
hari. Heboh! Kamu jangan anggap main-main soal
melahirkan! Kalau kamu yang hamil baru tahu rasa.
Hmm...mudah-mudahan dunia benar-benar terbalik,”
candaan Ibu Larantuka membuat nyala lampu kendaraan
di malam gelap di bawah langit hitam itu terasa semarak.
“Ibu gagah sekali, bicara seperti guru, seperti tukang
suluh,” kata Cekat dengan serius.
“Saya bukan guru, bukan penyuluh, bukan bidan, dan
bukan perawat. Saya ini kader TP-PKK37 termasuk salah
satu kader yang peduli Ibu hamil. Kalau ke Larantuka,

TP-PKK: Tim Penggerak Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga.


37

149
tanya saja Ibu Ona, kader TP-PKK yang peduli Ibu
hamil. Satu Kota Larantuka kenal saya. Jangankan
dalam kota, orang-orang kampung pun kenal saya.
Soalnya kalau kami turun ke lapangan, tugas saya kasih
pencerahan tentang kesehatan ibu hamil. Jadi, kalau laki-
laki mau hamil juga bisa konsultasi dengan saya. Kamu
kira enak, kah?”
“Ooooh Ibu, nama ibu Ona, kah?”
“Ya kenapa?”
“Ooooh pantas!”
“Pantas apa! Kau tukang ojek kalau benar-benar
hamil biar saya yang tolong,” suara candaan Ibu Ona
membuat semua yang berada di sekitar api terbahak-
bahak lagi. “Jangan main-main sama ibu kader ya!”
“Ibu punya anak berapa?”
“Coba kamu terka!”
“Sepertinya belum nikah, kah?”
“Kamu mau dengan saya?”
“Mau, mau!” jawaban bukan hanya datang dari
tukang ojek. “Cocok kader PKK nikah dengan tukang
ojek gesit begini. Biar Ibu pindah ke sini, jadi kader di
sini atau Cekat yang pindah ke Larantuka jadi tukang
antar ibu kader. Bagaimana Cekat, tembak saja saat ini
juga, kapan lagi. Ini namanya cintaku tertambat di atas
tanah longsor ha ha ha ha….”
“Asal kamu yang hamil saya mau saja,” kata Ona.
“Kamu laki-laki muka gila semua. Kamu kira hamil itu
gampang, kah? Hamil dan melahirkan itu soal hidup atau

150
mati. Jadi, jaga dan kasian sama Ibu hamil. Jaga bae-bae,
sehat lahir batin, makanan dengan menu seimbang untuk
bumil dan bayinya.”
“Betul e! Apalagi kita perlu anak bayi penerus masa
depan bangsa. Bukan soal ibunya.”
“Siapa yang omong itu!” bentak Ona. “Bukan hanya
anak bayi, tetapi ibunya juga. Dua-duanya penting.
Memangnya kalo ibu meninggal kamu laki-laki yang
kasih ASI38? Omong enak saja. Ini nih muka laki-laki
yang malas tahu dengan kesehatan fisik dan mental ibu
hamil. Kamu kalau jadi suami termasuk dalam kelompok
SUMATA model suami, mertua, dan itu siapa namanya?
Itu Lukas iparnya Mama Lisa!”
“Apa arti SUMATA?”
“Suami malas tahu! Ha ha ha,” jawab Ibu Ona.
“Pasangannya SUTAROKA alias Suami Tahunya
Rokok Saja.”
“Cocok dengan SUMAJUSA alias Suami Main Judi
Saja.”
“Adiknya kapten SUBASA alias Sudah Barang
Biasa.…”
“Siapa yang omong yang penting bayi bukan ibunya
tadi! Kamu kah?”
“Bukan saya!” protes Cekat. “Saya juga kader desi.
Begini-begini saya ini penjaga bumil, kader desi, kader
ASI esekusi….”

ASI: singkatan dari Air Susu Ibu.


38

151
“ASI eksklusif bukan esekusi!”
“Terserah saya. Mau ekeseslusi ka esekusi ka, terserah,”
tawa meledak lagi.
“Bantuan datang,” teriak salah seorang yang baru
bergabung. “Itu kendaraan dari arah Ende satu persatu
atret dan buldoser sekarang sudah ada di depan longsor,”
satu persatu kendaraan ditinggalkan. Orang-orang
mendekat ke longsoran. Benar! Buldoser mulai bekerja
cepat meruntuhkan tanah dan menggesernya ke dalam
jurang.
“Mesti telepon keluarga di Ende,” Ibu Ona mencoba
telepon.
“Tidak ada signal, Tanta! Percuma. Kami juga dari
tadi coba telepon tidak bisa, SMS tidak terkirim. Signal
tidak ada.”
“Buldoser sampai longsoran itu tanda bumil juga
sudah sampai RS Melati ya!”
“Mudah-mudahan pasien sudah sampai,” kata
Martin pada dirinya sendiri. “Kasian,” kata Martin lagi.
Dalam benaknya terngiang-ngiang penjelasan Ibu PKK
dari Larantuka itu tentang dua ha dua, dua hari sebelum
hari ha dan dua hari sesudah hari ha
Dia berjanji akan menyampaikan informasi penting
itu kepada Bidan Ros. Mungkin dengan cara itu beban
Bidan Ros sedikit teratasi, jangan sampai kebingungan
dan ketakutan menghadapi ibu hamil yang bermasalah
dengan kandungannya, siap melahirkan, pendarahan,

152
tidak sadar, dan terjebak tanah longsor pula. Dua ha dua!
Sepertinya Bidan Ros sudah tahu.

***

Hari semakin lama semakin malam. Mobil yang


paling depan berupaya menyoroti jalanan dengan
bantuan cahaya lampu mobil. Tidak ada hujan lagi.
Penumpang, sopir, penduduk lokal duduk-duduk atau pun
berdiri pada beberapa tempat. Pada umumnya di samping
mobil, namun ada pula yang duduk di atas tumpukan
kayu, di bawah pohon rindang di pinggir jalan, atau pun
diam saja dalam kendaraan masing-masing.
Untung, bantuan akhirnya datang dan kemungkinan
jalan dibebaskan dari longsoran malam ini bisa terjadi.
Gelap malam, tanah basah, dan suara-suara binatang
malam mengisi kekosongan.
Martin dan beberapa barang bawaan milik bidan
dan bumil berada dalam kendaraannya. Ia bertekad
untuk sampai di Ende malam ini juga. Jika jalan terbuka
ia melanjutkan perjalanan dengan kendaraannya sendiri.
Jika tidak, seorang pengendara motor siap mengantarnya
dengan bayaran yang sudah disepakati.
“Tadi bumil dan Bu Bidan pakai oto apa Om?” tanya
Ibu Ona.
“Ternyata Mama Lisa dilarikan dengan mobil bak
terbuka milik Om Ben di kilometer delapan Rhoworeke.
Mobil bermuatan semen itu sedianya akan menuju

153
Maumere, namun dengan segera membalikkan wajahnya
menuju Ende.
“Om Martin tidak ikut kah?” tanya Ibu Ona. “Bidan
cantik itu tangkap saja Om. Tadi saya lihat dia pegang
Om Martin punya tangan kuat-kuat. Jangan lepas lagi
Om. Zaman sekarang ini dapat bidan yang serius dan
penuh tanggung jawab seperti Bidan Ros itu susah
sekali. Cepat tangkap Om daripada dokter yang tangkap
dia,” goda Ibu Ona.
“Yang penting pasien sudah pasti menuju RS,”
Martin tidak menanggapi godaan Ona. “Saya amankan
saya punya oto dulu, baru menyusul ke sana. Ada
beberapa barang Mama Lisa dan Ibu Bidan Ros masih di
oto.”
“Bisa cerita ke Bidan Ros tentang ha dua ha seperti
kami di Larantuka,” kata Ibu Ona setelah mengetahui
Martin tidak bisa diajak bergurau. “Itu program yang
sudah dijalankan Dokter Yosep Usen Aman, Kepala
Dinas Kesehatan Flores Timur,” kata Ibu Ona.
“Dokter Yosep pintar dan peka sekali,” kata Martin.
“Pintar! Idenya berhasil meyakinkan orang kita
bahwa ibu hamil harus melahirkan dengan selamat,
sehat, demi harkat dan martabat ibu dan bayinya!”
“Luar biasa!” jawab Martin. “Setahu saya, konsep dua
ha dua dari Larantuka itu sudah jalan juga di Polindes
Bakung, tapi belum semua bumil dan keluarganya
mengerti. Tahu sendiri kita punya orang. Mesti omong
lagi terus-menerus sampai mulut berbusa, tidak mengerti

154
juga! Apalagi jarak dari rumah ke Polindes jauh. Dari
Polindes Puskesmas juga jauh. Puskesmas ke Rumah
Sakit lebih jauh.”
“Bahkan, kalau tidak dua ha dua ditulis angka 2
huruf H angka 2, 2H2, bisa tiga ha tiga atau empat ha
empat atau bisa juga tujuh ha tujuh. Lihat saja contoh
nyata hari ini. Ibu sudah harus melahirkan dengan risiko
tinggi, hujan lebat, tanah longsor, bantuan terlambat
datang, bisa apa? Pikiran suntuk bukan? Nah, kalau tujuh
ha tujuh atau tujuh ha lima untuk bumil dengan risiko
tinggi, keadaan hari ini bisa diatasi dengan lebih ringan.
Ibu hamil bisa tenang, bidan yang antar pun tenang,
bahkan kita yang ada di sini juga tenang. Semuanya
senang. Betul tidak?”
“Tujuh ha lima apa maksudnya?”
“Tujuh hari sebelum hari ha sudah ada dekat
Puskesmas atau RS dan lima hari sesudah hari ha, pasien
boleh pulang dalam keadaan sehat.”

***

“Hei, oto sudah bisa lewat!” terdengar teriakan


dari wilayah longsoran. “Oto bisa tembus. Syukur puji
Tuhan,” sambung menyambung suara penumpang. Satu
per satu kendaraan dari arah Timur melewati bagian
longsoran dengan hati-hati. Malam dingin di tengah
kesunyian itu pun jadi ramai dengan deru kendaraan dan
suara tawa ria penumpang.

155
“Om Martin saya ikut,” Cekat meloncat ke dalam
kendaraan Martin dan duduk di sampingnya. “Om
Martin kalau toko sudah jadi saya lamar lebih dulu e.
Jadi, pengumpul hasil bumi baik juga. Jadi, sopir juga
bisa.”
“Ya,” jawab Om Martin.
“Atau kalau Om Martin ke Surabaya antar hasil saya
ikut Om. Jamin saya bantu.”
“Ya,” jawab Martin. Pikirannya melayang ke RS
ke wajah cemas Bidan Ros dan ke kata-kata Ibu Ona
Larantuka yang ramah tamah meskipun baru dikenalnya
dalam beberapa jam.
“Om Martin, mereka bilang Om Martin cocok
dengan Ibu Bidan,” kata Cekat.
“Dia sudah punya tunangan,” jawab Martin.
“Oh, rugi,” sambung Cekat. “Om Martin! Tadi Ibu
Ona Larantuka bilang demi ‘karakat‘ dan ‘karatabat‘ ibu
dan bayinya itu apa arti?”
“Harkat bukan ‘karakat‘. Martabat bukan ‘kara­
tabat‘,” kata Om Martin.
“Begitu sudah,” kata Cekat. Om Martin terdiam.
Cekat beberapa tahun lalu kehilangan istri dan bayinya
karena keracunan kehamilan. Cekat tidak mengerti,
terlambat ambil keputusan, terlampat rujuk, dan ter­
lambat ditolong. Cekat yang sederhana dan menyesali
kenyataan itu dengan caranya sendiri. Bagaimana caranya
menjelaskan pada Cekat tentang harkat dan martabat ibu
hamil dan bayinya?

156
“Apa arti itu apa tadi ‘harakat’ dan ‘maratabat’!”
tanya Cekat lagi.
“Tadi Om Cekat bantu apa saja?” tanya Martin.
“Buat tandu!”
“Untuk siapa?”
“Pikul Ibu hamil.”
“Apalagi?”
“Bantu bongkar longsor.”
“Untuk siapa?”
“Ibu hamil bisa lewat.”
“Ibu hamil itu melahirkan bayi ya?” tanya Om
Martin.
“Ya pasti!”
“Kenapa Mama Lisa harus ditolong?” tanya Om
Martin.
“Karena Mama Lisa itu ibu yang akan melahirkan.”
“Apalagi?”
“Karena bayi harus lahir.”
“Apalagi?”
“Karena ibu harus selamat bayi juga harus selamat.”
“Apalagi?”
“Karena Mama Lisa tidak boleh mati. Bayinya Mama
Lisa juga tidak boleh mati.”
“Apalagi?”
“Karena Mama Lisa manusia yang sama seperti
kita.”
“Apalagi?”
“Karena Mama Lisa lahir bayi yang juga manusia.”

157
“Apalagi?” tanya Om Martin. “Kenapa harus buat
tan­du, harus bongkar longsoran?”
“Karena kasian, hormat, cepat ditolong, selamat,
sehat, cepat sampai rumah sakit.…”
“Pintar!” kata Om Martin. “Semua yang engkau
katakan, semua yang engkau buat itu demi harkat dan
martabat Mama Lisa dan bayinya, harkat dan martabat
ibu dan anaknya.”
“Hanya buat tandu, Om,” jawab Cekat.
“Demi harkat dan martabat.”
“Hanya bongkar longsoran.”
“Demi harkat dan martabat.”
“Hanya lari kiri kanan dari buat tandu di tanah
longsoran.”
“Demi harkat dan martabat.”
“Saya takut sekali Om…kata ‘harakat’ dan ‘ma­
ratabat’itu terlalu hebat. Saya takut.”
“Jangan takut berbuat baik.”
“Kenapa Om?”
“Karena sesungguhnya engkau pun mempunyai
harkat dan martabat sebagai manusia.”
“Begitu kah Om?” Cekat mengangguk-angguk. “Pe­­
la­jaran berharga untuk Cekat tentang harkat dan mar­
tabat ibu dan bayi,” kata Martin dalam hatinya. “Pe­
lajaran berharga untukku juga.“

158
10
Di Ujung Penyesalan

Perjalanan terlama yang dirasakan Bidan Ros. HP-


nya berdering ketika kendaraan memasuki wilayah
dengan signal kuat. Telepon dari Adrian, namun Ros
tidak mengangkatnya. Pikiran dan hatinya saat ini
terfokus pada Lisa. “Mudah-mudahan Adrian mengerti
saat dijelaskan nanti,” batin Ros. Bunyi SMS berentetan,
namun Ros diam saja. Dering telepon lagi dan lagi dari
Adrian. Ros menyambut HP nya saat yang muncul di
layar HP adalah nama Om Martin.
“Sudah tiba Om,” kata Ros.
“Syukurlah!”
“Tolong bawa langsung ke RS semua tas pakaian
Mama Lisa dan tas saya. Terima kasih Om,” Ros menutup
telepon dan tidak mengangkat telepon Adrian, juga tidak
membaca semua SMS yang masuk. Selanjutnya, Ros
mengangkat telepon dari Dokter Yordan.
“Jalan putus?” suara Yordan.
“Ya Dokter.”

159
“Tenang ya. Sudah saya jelaskan semuanya status
bumil ke dokter kandungan,” suara Yordan lagi. “Jangan
khawatir ya. Serahkan ke dalam tangan Tuhan. Ros
sudah melakukan upaya maksimal.”
“Akan saya hubungi lagi,” kata Ros.

***
Di RS Lisa langsung ditangani dokter kandungan
dan dua bidan senior dan seorang perawat. Ros ber­
gabung. Segala sesuatu mengenai status bumil Lisa
sudah dikonfirmasi lebih awal oleh Yordan dengan
dokter kandungan yang akan melakukan operasi. Usia
23 tahun, hamil anak ke empat, dengan jarak kehamilan
terakhir hanya satu tahun, artinya hamil keempat ketika
anak ketiga baru berusia tiga bulan.
Melahirkan pertama kali dalam usia 18 tahun, dan
dalam 4 tahun hamil 4 kali. Anak pertama berumur
hampir empat tahun, anak kedua keguguran lima bulan
dalam kandungan, anak ketiga 1 tahun, dan anak keempat
masih dalam kandungan ibunya sekarang. Anak keempat
dan ibunya berada pada titik kritis tertinggi dan denyut
nadi sangat lemah. Bumil masuk ruang operasi dalam
keadaan tidak sadar.
Hati Ros tergetar. Pikiran dan perasaannya masih
dipengaruhi jarak 18 kilo meter menuju RS yang terlama
dalam hidupnya. Jalan berliku-liku meliuk di antara
tebing tinggi di sebelah kiri dan jurang menganga di
sebelah kanan, atau sebaliknya tebing tinggi di sebelah

160
kanan dan jurang menganga di sebelah kiri. Pada
tempat-tempat tertentu jalanan cukup nyaman dengan
rumah penduduk kiri kanan jalan, rumah di kanan,
sungai mengalir di kiri dengan tebing terjal di kejauhan.
Mendekati kota kendaraan melaju lebih kencang karena
rata, di atas tanah datar dengan deretan rumah di kiri
kanan jalan.

***
“Apa yang terjadi?” Salah seorang perawat jaga
bertanya hal-hal yang sama yang sudah ditanyakan.
“Apakah tidak ada kunjungan rumah? Kenapa ya
bidan-bidan sekarang pada malas kunjungi pasien. Bisa
jadi dalam status ada kunjungan, tetapi kenyataannya
tidak. Nah, dengar itu HP bunyi terus. Asyik terima
telepon, SMS, sampai lupa kerjaan utama. Wah, susah
kalau begini. Mestinya bisa ditangani di Puskesmas.
Bukankah ada segala catatan tentang bumil? Kalau tahu
berisiko, mestinya sejak awal sudah dirujuk. Kenapa tidak
ada inisiatif jemput pasien? Apa gunanya ada kader,
ada perangkat desa, ada Puskesmas dengan petugas-
petugasnya. Kenapa tunggu sudah parah baru rujuk.
Apakah mau salahkan hujan, angin, dan tanah longsor?
Repot!”
“Sebenarnya bidan harus berusaha segala cara agar
bumil mau ditangani dengan benar! Kalau bidannya
tidak berusaha, ya begini akibatnya,” sambung perawat
lainnya.

161
“Maklum bidan muda jadi ya maklum saja.”
“Jadi, selama ini tidak ada kunjungan rumah?”
Bidan Ros tidak menjawab. Dia menghilang di balik
pintu kamar operasi setelah menerima tas pakaian milik
Ibu Lisa juga tas miliknya.
“Terima kasih Om Martin,” kata Ros. “Ya kita
tunggu dulu, pasien sudah ditangani di ruang operasi,”
Ros menjawab pertanyaan Martin. Laki-laki itu ber­
gabung dengan Om Simon, Kosmas, Mama Sofia, Mina,
Lina, Lukas, dan Magnus yang berdiri di depan ruang
operasi.
Sejak tiba di RS, wajah Om Simon dan Lukas tam­
pak mengkerut, entah apa yang dipikirkannya. Tidak ada
satu pun dari keduanya yang berani bicara dengan Ros.
Ros pun tidak berusaha bicara dengan kedua orang itu.
Apa yang telah terjadi antara dirinya dengan keluarga
Om Simon dipendamnya. Ada waktu yang tepat untuk
bicara. Tidak perlu sekarang. Saat ini adalah saat untuk
berpikir tentang Lisa bukan tentang mertua atau
iparnya, ataupun suami Lisa.

***

Lisa datang diantar Sofia ke Polindes dalam usia


kehamilan sembilan bulan. Tanpa pikir panjang Ros
menelepon Om Martin agar Lisa dibawa ke Puskesmas.
Menurut ibu kader, Lisa masih menyusui anaknya.
Tubuhnya kurus, terlalu kurus untuk ibu dengan tinggi

162
badan seperti Lisa. Dia diantar Sofia ke Polindes karena
panas tinggi bukan karena sudah saatnya melahirkan.
“Selama ini ada di mana?” tanya Bidan Ros. Lisa
tidak menjawab.
“Selama ini periksa di mana?”
“Tidak pernah!”
“Kami cari Mama Lisa beberapa kali. Ada di mana?”
Ros menggeleng tidak mengerti.
“Itu Simon sama Lukas muka perang terus setiap
kali kami datang!” Sofia mengeluh dengan rasa marah
yang tidak dapat ditutupi.
“Kita tangani di Puskesmas ya. Di sana ada Dokter!”
Selanjutnya, Sofia mengulang kembali dengan
rasa marah, Lisa tidak ikut KB karena suaminya TKI
di Malaysia. Terakhir pulang kampung bayi berusia
dua bulan. Dua bulan lamanya berada di kampung,
selanjutnya kembali lagi ke Malaysia.
“Jadi, pulang dari Malaysia itu buat istri hamil
selanjutnya bangun jalan dan pergi lagi. Model apa itu?”
Sofia mengomel sepanjang jalan.
“Suruh perempuan KB mereka tidak mau, keberatan
macam-macam. Suruh mereka yang KB juga tidak mau.
Kita omong setengah mati mereka tertawa lagi. Mereka
bilang apa? Tidak salah, kah? Laki-laki KB kah? Aturan
dari mana? Dunia terbalik, kah? Buktinya apa sekarang?
Istri hamil lagi hamil lagi dan menderita luar dalam…
Dasar laki-laki tidak bertanggung jawab!”

163
“Huss Mama Sofia…jangan marah-marah tidak
semua laki-laki begitu.”
“Ada anggota keluarganya yang ikut antar?”
“Tidak ada.”
“Ibu kandungnya di mana?”
“Jauh tempat tinggalnya,” Sofia yang menjawab.
“Lisa sebenarnya tidak mau datang Bu Bidan karena
takut mertua dan ipar. Mereka larang Lisa ke Polindes.
Mereka usul supaya Lisa pergi ke Polindes lain saja atau
ke dukun kampung di Desa lain. Lisa juga mau ikut
perintah bodoh bodoh saja,” kata Sofia lagi.
“Ini termasuk tanggung jawab kader juga. Kalau
tahu ada Ibu hamil kami harus pantau dan sampaikan ke
petugas kesehatan terdekat. Menyesal sekali saya karena
Lisa tidak terpantau dalam data yang tercatat di desa.
Jadi, kami juga tidak bisa lapor ke desa untuk dilanjutkan
ke puskesmas. Susah kalau tidak ada kerja sama.
Harusnya ibu hamil selamatkan dirinya sendiri dulu.
Tetapi, ya mau bagaimana kalau Lisa sendiri lebih takut
mertua dan ipar daripada keselamatan dirinya sendiri.”
“Saya paksa Lisa ke Puskemas. Kalo ada apa-apa
dengan Lisa siapa tanggung jawab?”
“Tidak tahu apa yang ada di kepala Om Simon dan
keluarganya itu,” kata kader. “Tunggu saya ancam, baru
mereka kasih izin saya ketemu Lisa.”
“Oh begitu?”
“Apalagi itu kribo Lukas. Dia bilang suruh Nona
Bidan datang sendiri ke rumahnya, baru Lisa boleh

164
dibawa. Itu bidan punya muka seperti oto. Dia kira hanya
Martin yang punya oto. Bidan kira saya tidak bisa sewa
oto untuk antar Nona Bidan dan ibu hamil? Begitu kata-
kata Lukas,” kata Mama Sofia dengan marah.

***

Jauh sekali jarak antara prosedur penanganan ibu


hamil yang dipelajari dengan kenyataan lapangan. Jauh
pula jarak antara pengetahuannya tentang partisipasi
keluarga dan masyarakat dengan kenyataan yang dialami­
nya. Sungguh bertolak belakang. Apalagi ditambah
dengan pengalaman terlambat rujuk, hujan lebat, jalan
putus, longsoran, tandu, dan seluruh ketegangan yang
dialami sepanjang perjalanan dari Puskesmas Flamboyan
ke RS, serta drama satu jam tiga puluh tiga menit di
wilayah longsoran.
“Pasien gawat,” bisik Veronika di kamar jaga gedung
operasi. Keduanya tergesa mengikuti dokter ke ruang
operasi yang dilengkapi pemancar panas, inkubator, dan
perlengkapan resusitasi dan autoklaf besar untuk keadaan
darurat atau emergency. Semua peralatan sudah disiapkan,
namun tidak ada tanda-tanda yang menunjukkan kondisi
umum pasien membaik. Lisa tetap diam. Bayi yang tidak
dapat ditolong itu tergeletak tanpa nyawa. Sama seperti
ibunya yang juga diam seperti bayinya.
“Oh Lisa semoga masih dapat ditolong,” Ros masih
tetap berharap. Sekali lagi, dokter menyentuh nadi,

165
membuka mata pasien, menyentuh leher pasien tanpa
kata-kata.
“Ros…” Vero memperhatikan wajah dokter
kandungan dan wajah-wajah bidan dan perawat yang
berada di seputar bumil. Ros terpana melihat dokter
melakukan pemeriksaan terakhir dan menggeleng.
“Pasien tidak ada lagi,” katanya sambil berjalan
meninggalkan ruang operasi. “Lisa…,” Ros menyentuh
tangan yang masih hangat itu. Tulang pipinya tampak
menonjol, mata setengah terbuka, dan bibir terkatup
rapat.
“Lisa…,” Ros lemas dan terhenyak di sisi tempat
tidur.
“Kuatkan hatimu, kamu bidan!” Vero berkata tegas.
“Sekarang saatnya berdiri bukan duduk. Hadapi kematian
ini dan hadapi keluarganya. Tenang, tenang, ambil napas
panjang.”
“Ya Tuhan…,” Ros gemetar. Terdengar keributan
di luar. Lukas berteriak-teriak di depan pintu sambil
menendang dan mengancam.
“Ini semua gara-gara kamu bidan dan dokter
sombong. Sudah tahu hujan, longsor, kenapa rujuk ke
sini? Buat mati saya punya kakak,” teriaknya. Lukas
baru terdiam setelah Martin, Kekar, dan Cekat meng­
amankannya.

***

166
HP berdering lagi dan Ros segara mengangkatnya
sambil berlari kecil, keluar, dan menjauh dari Sofia, Lina,
Kosmas, Lukas, Om Simon, Cekat, Kekar, Om Tinus, dan
orang-orang yang berduka di sekitarnya.
“Ada di mana saja? Seribu kali saya telepon, seribu
kali di luar jangkauan. Seribu kali saya SMS, seribu kali
juga tidak dibalas. Memang ada apa? Saya telepon dan
telepon berdering berkali-kali, berkali-kali juga tidak
ditanggapi. Memangnya kamu siapa?” Suara Adrian
meninggi. “Kamu kira saya ini siapa? Kenapa selalu
nomor duakan saya? Kamu bidan hebat sekali, kah?
Jawab...jawab...dan jawab...susah sekali, kah?”
“Rujuk ibu hamil, risiko tinggi, hujan lebat, dan…,”
Ros berusaha menjelaskan satu demi satu. Namun,
dijawab dengan kasar.
“Tetapi, kamu bisa kirim kabar, kah! Susah apa
sih balas SMS. Awas! Kalau kamu sampai macam-
macam lihat saja nanti! Ingat baik-baik hubungan kita
bukan baru satu dua hari. Memangnya ada berat apa
kerjaanmu sebagai bidan?” Klik! HP dimatikan tanpa ada
kesempatan bagi Ros menjawab. Ros terhenyak. Perlahan
dia duduk bersandar di tiang koridor RSU.
“Ibu bidan ada apa?” Om Martin mendekat. “Bisa
dibantu?”
“Tidak apa-apa Om, terima kasih,” jawab Ros.
“Sebaiknya, Ibu Bidan makan dulu. Ini saya beli nasi
bungkus di depan, buat kita semua. Makan dulu ya,”

167
Martin menyerahkan satu bungkus dan satu botol Aqua
kecil untuk Ros.
“Belum bisa sekarang Om Martin, nanti saja,” kata
Ros sambil menahan tangis. HP berdering lagi dan Ros
mengangkatnya.
“Kamu jangan main-main ya sama saya. Seribu kali
kamu anggap saya apa? Tunangan model apa? Kamu
kira hebat bukan main jadi bidan itu. Saya tidak kamu
perhitungkan sama sekali. Ada di mana sekarang?
Dengan siapa sekarang? Lagi buat apa malam-malam
begini?”
“Kak Ian…saya di RS, ada pasien yang dirujuk…,”
Ros berusaha menjawab.
“Ah, alasan! Lagi pacaran sama Dokter Yordan ya?
Awas kamu!” Adrian mematikan HP. Ros terdiam tanpa
disadarinya air matanya menetes perlahan. HP berdering
dari Yordan.
“Halo Ros…saya sudah tahu dari Dokter Obgin.
Sabar ya….”
“Ya Dokter,” Ros menahan tangis.
“Ros harus berani hadapi ini. Doa kita untuk Mama
Lisa dan bayinya. Jangan takut. Kuatkan hatimu. Doaku
menyertaimu. Tunggu di Rumah Sakit. Nanti saya jem­
put ya,” suara Yordan sebelum HP dimatikan.
“Ros....”
“Ya Om Martin!” Ros menerima botol minum yang
sudah dibuka Martin.

168
“Minum dulu,” kata Martin lagi. “Kalau sudah lebih
tenang makan dulu ya. Tampaknya jenazah tidak dapat
dibawa malam ini. Ada kemungkinan longsor lagi. Jadi,
besok baru jenazah dibawa pulang. Om Simon dan
Lukas sangat marah. Saran saya Ibu Bidan Ros jangan
ikut antar jenazah karena situasi kurang kondusif. Saya
khawatir terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Untuk
hal ini saya sudah bicara dengan Dokter Yordan. ”
“Terima kasih…,” Ros benar-benar menangis. Dia
berupaya mengerti kata-kata Yordan dan nasihat Martin,
dia pun berusaha melempar kemarahan Adrian jauh-
jauh, namun tidak berhasil. Dia berjanji akan menelepon
kekasihnya itu besok pagi, saat amarahnya sudah reda,
dan saat dirinya sudah lebih tenang.
“Ibu Bidan Ros jangan menangis…” Martin mem­
beranikan diri menyentuh pundak Ros. Suara Martin
yang penuh perhatian membuat Ros menangis lebih
keras melonggarkan kesesakan hatinya.

***

“Mestinya saat itu saya ambil keputusan berdasarkan


permintaan Lisa. Mestinya saat itu saya pastikan bisa
rujuk ke RS cukup dengan tanda tangan Lisa saja. Lisa
berhak mengambil keputusan sendiri sebab dia yang
merasakan sakit, pahit, maupun manisnya harapan untuk
melahirkan dengan selamat. Dia berhak menentukan
nasibnya sendiri. Seandainya keputusan itu segera di­

169
ambil, Lisa dan bayinya pasti selamat. Sayang sekali,”
mata Bidan Ros menerawang jauh menyesali apa yang
sudah terjadi. Dua nyawa melayang sia-sia….
“Jangan melamun bidan!” seseorang menepuk bahu­
nya.
“Oh ya maaf,” Ros terkejut.
“Apa yang kamu pikirkan!”
“Mungkinkah bumil bisa mengambil keputusan
sendiri soal rujuk? Mungkinkah bumil bisa tanda tangani
sendiri lembar persetujuan rujuk? Mungkinkah?” tanya
Ros lebih pada dirinya sendiri.
“Mungkin kerja sambil mengelamun ya, sampai
kematian ibu tambah lagi dan kematian bayi tambah lagi!
RS dapat tambahan kematian ibu dan bayi. Mestinya
tambahan kematian ini ada pada Polindes Bakung atau
Puskesmas Flamboyan saja bukan RSU Melati.”
“Saya, Pak!”
“Apakah Anda sadar bahwa saat ini sedang berada di
kantor?”
***
Bidan Ros menjelaskan secara rinci apa sesung­
guhnya yang terjadi dengan Lisa. Meskipun status
kesehatan Lisa secara tertulis sudah dibuatnya dengan
jelas dan rapi, namun dirinya masih diminta menjelaskan
secara lisan semua proses yang sudah dilewatinya
menyangkut Lisa.

170
“Kematian ibu dan bayi masing-masing bertambah
satu lagi di bulan September. Tidak perlu terjadi kalau
semuanya tertangani dengan baik. Semua gara-gara
bidan yang kurang berupaya,” kata Petugas.
“Bagaimana nih apa yang terjadi di Oktober sampai
Desember, ya. September jumlah kematian ibu sudah
delapan. Kalau semua bidan seperti ini gaya kerjanya,
kemungkinan bisa tutup tahun anggaran dengan belasan.
Mau taruh di mana kita punya muka? Belum lagi jumlah
bayi yang meninggal!”
“Kesulitan utamanya apa? Pasti ada alasan yang
sangat kuat sehingga sulit bertemu dengan bumil?” tanya
Petugas lagi. Bidan Ros diam saja.
“Bagaimana mungkin di kampung sekecil itu kamu
tidak tahu apa yang terjadi dengan bumil? Gampang
sekali untuk tanya tetangga, keluarga, lingkungan, RT,
RW. Semua mereka bisa tunjuk jalan di mana bumil
berada. Kamu kerja apa saja di sana?” Pertanyaan ini
juga tidak dijawab oleh Bidan Ros. “Ada kader, ada kepala
desa, ada bidan koordinator, buat apa saja, ya?
“Nanti dijelaskan dalam pertemuan bulanan bidan,”
kata Petugas sebelum keluar ruangan meninggalkan
Bidan Ros. “Sulit, bicara dengan bidan model begini,”
katanya lagi tepat di depan pintu keluar. Bidan Ros tetap
diam.
“Tidak apa-apa, jangan masukan ke hati,” seorang
pegawai mendekatinya. “Petugas lagi stres karena ke­

171
matian ibu dan bayi bertambah. Langsung maupun tidak
langsung kejadian ini berpengaruh pada kinerjanya. Jadi,
tenang saja ya.”
“Terima kasih…” kata Bidan Ros.
“Kapan pulang ke Polindes?”
“Mudah-mudahan hari ini.”
“Tidak pulang ke Bajawa?”
“Nanti Sabtu depan, setelah pertemuan bulanan.”
“Adrian bagaimana? Masih pacaran dengan dia?”
“Tahu dari mana?” Rosa mengangkat wajahnya
menatap pegawai yang bertanya yang menurutnya ter­
lalu jauh masuk ke urusan pribadi orang lain.
“Tahu saja!” katanya sambil tertawa. “Laki-laki bia­
sanya tidak sabar menghadapi perempuan yang terlalu
serius bekerja membangun karier. Apalagi karier sebagai
bidan desa. Bidan desa seringkali lebih pentingkan bumil
daripada pacarnya. Betulkan?”
“Mungkin,” jawab Ros dengan dingin. Dia berusaha
memahami perasaannya sendiri. Benarkah Adrian demi­
kian tidak mengerti pekerjaannya sebagai bidan desa?
Bukankah dirinya yang tidak adil membagi waktu, mes­
kipun untuk telepon dan SMS?
Perasaan bersalahnya sulit dijelaskannya sendiri.
Malam itu, Bidan Ros masih terus mendampingi Lisa
ketika jenazah sudah dimandikan. Bayi merah yang kaku
ditempatkan di sisinya. Ini pertama kalinya bumil yang
ditangani langsung oleh Bidan Ros meninggal bersama
bayinya. Ros tidak dapat menyembunyikan kesedihannya

172
mendapatkan pengalaman pertama yang menyedihkan
itu. Teman-temannya juga pernah mengalami hal yang
sama, yakni kematian ibu atau bayi atau dua-duanya.
Mereka pun sering mengajukan pertanyaan yang sama.
“Apakah saya ikut andil dalam kematian?” Bagaimana
menjawab pertanyaan ini?
“Rosa pasti bisa!” demikian nasihat ayahnya sebelum
dia menjalani tugasnya di desa.
“Ini kesempatan bagimu untuk mempraktikkan
semua ilmu yang diperoleh selama masa pendidikan. Me­
nolong bumil itu pekerjaan mulia,” kata kakak sulungnya
yang sedang hamil juga. “Anggap saja Rosa sedang
menolong saya. Jadi, jalani saja, harus percaya diri.”
“Lebih baik Rosa kuliah lagi,” sambung kakaknya.
“Rosa masih terlalu kecil untuk jadi bidan. Urus ibu
melahirkan itu soal hidup atau mati,” suara kakak dengan
rasa khawatir dalam.
“Jalan saja, Rosa pasti bisa!” ibunya meyakinkan
dirinya.

***
“Ya, saya bisa!” Bidan Rosa meyakinkan dirinya
sendiri untuk dapat menghadapi kenyataan. Dia sen­
dirian di sisi jenazah. Angin berhembus kencang meng­
getarkan jendela-jendela yang selalu tertutup. Di kaki
jenazah berdiri Magnus saudara Lisa, mengusap-usap
kaki Lisa sambil bicara hampir berbisik. Entah apa yang
dikatakannya. Om Simon berdiri mematung sambil mem­

173
perhatikan anak mantunya yang terbujur kaku dan bayi
laki-laki mungil di sampingnya dalam kondisi yang sama.
Di depan ruang jenazah terdengar suara motor berderu
dan suara kendaraan masuk dan berhenti.
“Bawa pulang sekarang, malam ini juga!” terdengar
suara Lukas.
“Ya, keluarga di kampung sudah tunggu,” sambung
keluarganya yang lain.
“Kita mesti pastikan bahwa tidak ada longsoran
lagi,” terdengar suara Martin.
“Buktinya tadi malam kita bisa lewat, sudah bebas
longsor!”
“Tetapi, setelah itu hujan lebat lagi dan kemungkinan
longsor lagi. Ada info seperti itu. Kita mesti pastikan
dulu. Yang terbaik kita tunggu besok pagi. Sekarang
sudah jam dua pagi. Kita mesti sabar menunggu sekitar
tiga atau empat jam lagi,” tidak ada yang membantah
kata-kata Martin.
“Kau tidur saja. Kami akan jaga sampai pagi,” suara
Cekat dan Kekar bergantian.
Telepon berdering saat Martin memasuki ruang
jenazah. Bidan Ros keluar ruangan sambil meminta Mina
menggantikan tempatnya menjaga jenazah bersama
Kosmas, Sofiah, Magnus, dan Lina. Dari pintu Ros
berbelok ke kanan, turun tangga, dan menjauh sepanjang
koridor yang menghubungkan ruang jenazah dengan
ruangan-ruangan lainnya. Dia masih berharap dapat

174
menjelaskan apa yang sesungguhnya terjadi dengan lebih
tenang agar Adrian mengerti.
“Halo, selamat malam!” suara Ros. “Ya ya…masih di
Rumah Sakit. Ruang jenazah, ibu dan bayinya meninggal.
Mungkin besok pagi jenazah dibawa ke kampungnya. Ya
kampung suaminya. Ya ya…maaf,” Bidan Ros terdiam
mendengar semua yang diungkapkan oleh Adrian
selanjutnya.
“Tidak bisa!” kata Ros dan selanjutnya diam dan
mendengar cukup lama, sebelum menjawab, “tetapi…”
dan telepon ditutup. Beberapa saat dia masih bersandar
pada tiang koridor. Adrian memintanya pulang ke
Bajawa. Akan tetapi, Ros sudah menjawab bahwa akan
menunggu sampai jenazah dibawa pulang ke kampung.
Dia akan pulang Sabtu depan, setelah pertemuan bulanan
bidan kabupaten.
Suka-suka Adrian mau telepon atau tidak, mau
terima telepon atau tidak, mau marah atau tidak, mau
membentak atau bicara dengan lebih lembut. Semuanya
suka-suka Adrian. Apa sebenarnya yang sudah terjadi?
Hubungannya dengan Adrian memasuki fase memburuk
karena komunikasi tidak lancar dan perbedaan pandangan
soal pekerjaan. Adrian masih selalu memaksa kehendak.
Sampai hari ini ia tidak bisa memahami tugas Ros sebagai
bidan serta beban mental yang ditanggungnya.

175
Telepon berdering lagi. “Ya, halo,” jawab Ros dan
hanya diam saja mendengar suara dari Adrian yang
meng­intervensi agar dia mau pulang segera.
“Apakah tugasmu menunggu jenazah? Kamu bisa
kasih alasan kamu sakit, Mama atau Bapa sakit, atau
alasan lain. Yang penting pulang!”
“Ini bukan waktu libur,” jawab Ros. “Saya harus
kembali ke Polindes. Di sana tempat kerja saya. Ada
banyak hal yang mesti saya tangani segera.”
“Jadi, pekerjaanmu sudah bertambah. Bidan sekaligus
ketua Komunitas Umat Basis, ketua lingkungan, dan
jangan-jangan kamu sudah jadi Romo sekarang, jadi
kamu mau pimpin upacara pemakaman?”
“Saya tidak ikut pemakaman,” kata Ros dengan
tenang.
“Kenapa kamu selalu anggap saya nomor dua?”
Adrian berteriak dari seberang.
“Kamu tetap nomor satu untuk urusan cinta saya,”
Ros merasa gelisah. “Ibu hamil dan bayinya juga nomor
satu untuk pekerjaan saya sebagai bidan.”
“Oh, jadi saya nomor dua ya? Enak benar kamu
bicara!” teriak Adrian lagi.
“Kamu tetap nomor satu pada tempatnya.”
“Apa kamu bilang? Silakan pilih...” Selanjutnya
Ros diam saja tidak menjawab sepatah kata pun. Dia
mencoba memahami Adrian sebagaimana dilakukannya
berkali-kali selama satu tahun belakangan ini. Dia diam

176
menerima semua kalimat yang ditumpahkan Adrian
untuknya. Ros tetap diam. Badannya letih perasaannya
lelah.
“Saya capek, letih, kalau Kak Ian marah-marah
begini,” kata Ros.
“Oh capek? letih? Terserah kamu mau pulang
atau tidak,” kata Adrian sebelum mematikan HP. HP
berdering kembali pada detik berikutnya. “Halo Ros…”
suara Dokter Yordan. “Kalau Ros merasa letih boleh
istirahat dulu di Ende satu dua hari ini.”
“Ya Dokter, terima kasih. Saya memang sangat letih.
Saya mohon dukungan Dokter, saya akan ikut antar
jenazah dan ikut pemakaman Lisa,” jawab Ros.
“Martin sudah bicara dengan saya. Situasi kurang
kondusif bagimu. Sebaiknya, Ros tidak ikut pemakaman.
Hanya saran saja untuk dipikirkan dengan tenang.”
“Begitu ya?” Ros balik bertanya.
“Tugasmu hanya sampai di RSU. Sayang sekali
Lisa dan bayinya harus berakhir,” kata Yordan yang
sesungguhnya sudah tahu bahwa kondisi Lisa sulit
diselamatkan. “Ini kenyataan pahit bagi kita semua. Saya
harap Ros tidak terlalu terlibat lebih jauh lagi! Cukup!
Ros sudah lakukan semua upaya untuk menyelamatkan
Lisa dan bayinya. Kuatkan hatimu ya.”
“Ya Dokter. Terima kasih.”

177
“Tunggu saya ya. Saya akan datang untuk ambil
mobil ambulans. Besok sore atau lusa kita pulang sama-
sama.”
“Ya Dokter, terima kasih!”
“Jangan lupa makan dan istirahat cukup malam ini,”
kata-kata Yordan menyusup ke dalam hati Ros.
“Terima kasih.…”

178
11
Getaran-getaran

Malam itu Ros menelepon Adrian berkali-kali,


namun tidak ada sekalipun diangkatnya. Ros mengirim
SMS maaf, maaf, dan maaf beberapa kali, namun tidak
ada satu pun yang ditanggapinya. Ros ingin menulis
surat via e-mail, namun dia tahu Adrian tidak berminat.
Dia mencoba menelepon lagi dan lagi, tapi lagi-lagi tidak
ditanggapi. Beberapa kali telepon diangkat, namun tanpa
suara. Ros bicara dan terus bicara, namun Adrian hanya
diam dan menjawabnya dengan klik tertutup.
Beberapa kali telepon dari Yordan masuk ke HP-nya,
namun Ros diam saja. Beberapa kali ada SMS masuk Ros
membaca, namun tidak membalasnya. Semua SMS dari
teman-temannya dibaca, namun Ros tidak ada semangat
membalasnya.
Ros akhirnya membaca e-mail dari Dokter Stefanus.
Singkat saja isinya. “Bidan Ros…Ini pengalaman per­
tama. Kematian itu tidak seharusnya terjadi. Kematian
ibu dan kematian bayi tidak perlu bertambah…Kuharap
ini pula pengalaman terakhir bagimu. Salam, Stef.”

179
Ros membalasnya dengan cukup panjang seperti
ingin membuka hati dan pikirannya untuk dibaca sampai
dengan catatan tambahan.
“Dokter Stefanus yang baik…Baru kusadari seka­
rang bahwa penyebab langsung kematian ibu adalah
pendarahan yang mencatat angka terbesar, diikuti
eklampsia, dan infeksi, sedangkan penyebab tidak lang­
sungnya adalah kurang energi kronis atau KEK, anemia,
dan lain-lain yang mencapai angka cukup tinggi.
Apa yang terjadi dengan Ibu Lisa? Lisa mengalami
penyebab langsung maupun tidak langsung sekaligus
dilengkapi dengan penyebab lain-lain. Saya berani
memastikan bahwa penyebab lain-lainlah yang lebih
dominan dalam kasus Lisa. Saya berani memastikan juga
bahwa bukan hujan dan tanah longsor yang menghambat
perjalanan rujuk ke RS, tetapi penyebab tidak langsung
dan lain-lain itu. Akan tetapi, saya juga berani hadapi
kenyataan bahwa seribu kali saya bicara seribu kali
juga saya harus bertanggung jawab. Saya bidan yang
menangani Lisa pada pemeriksaan pertama, pada upaya
saya mencari Lisa dan berhadapan dengan keluarganya.
Saya ingin bertanya mengapa hampir semua laki-
laki di tempat saya bertugas merasa malu mengantar
istri periksa kehamilannya di Polindes? Mengantar anak-
anak ke Posyandu pun mereka malu. “Bukan tradisi,
tidak biasa,” itulah alasan yang sering mereka lontarkan.
Mengapa pula ada yang tega tinggalkan istri dan anak-

180
anak yang masih kecil? Katanya cari kerja, cari nafkah,
cari uang.
Apakah uang satu-satunya harapan suami untuk
masa depan keluarga? Sementara itu, tidak jarang mereka
pergi tidak kembali atau pulang tidak membawa apa-apa.
Apa hasilnya? Sudah sebandingkah dengan kesepian
dan duka lara yang diderita istri? Sudah sebandingkah
dengan kerinduan berbagi yang belum pernah mendapat
tempat yang sesuai?
Tahukah Dokter bahwa kunjungan rumah me­
rupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kerja
bidan desa? Jalan jauh berliku-liku, naik turun gunung,
menyeberang kali di tengah infrastruktur jalan desa
yang jauh dari ideal. Memiliki motor sendiri dengan
keberanian ekstra menembus jalan sunyi ataukah naik
ojek dengan keberanian selamat sepanjang jalan, serta
negosiasi harga yang terlalu rendah? Syukur, saya selalu
bertemu dengan kader perempuan yang hebat dan rela
tembus badai, kader laki-laki yang siap antar dua puluh
empat jam. Merekalah kaki, tangan, dan mata saya. Saya
merasakan ketulusannya. Akan tetapi, apakah setiap
laki-laki tulus? Apakah benar tidak ada maksud lain
dari ketulusannya? Bagaimana caranya mengerti bahwa
menolong ibu hamil dan persalinan adalah panggilan hati
bagi semua orang sehingga tidak ada keraguan sedikit
pun di hati saya untuk percaya pada setiap laki-laki yang
siap menolong saya menyelamatkan ibu dan bayinya?

181
Tahukah Dokter bahwa ada keluarga yang sangat
tertutup dan sama sekali tidak mau bekerja sama? Ada
ibu hamil yang begitu pasrah menerima perlakuan
mertua, ipar, dan anggota keluarganya padahal dirinya
tahu betul risiko yang mesti ditanggungnya?
Untuk kasus Lisa, persoalan diperparah oleh tiga
terlambat yang sering Dokter jelaskan, yaitu terlambat
ambil keputusan, terlambat rujuk, dan terlambat ditolong.
Mengapa ya budaya kita begitu patriarki hampir untuk
semua hal. Lisa yang sudah dalam keadaan gawat darurat
menunggu keputusan mertua dan iparnya untuk rujuk
ke Rumah Sakit. Lisa tidak memiliki akses menentukan
keputusan rujuk sendiri. Mengapa keputusan rujuk tidak
dipastikan saja oleh dokter dan bidan? Padahal bidan dan
dokter tahu bahwa tiga terlambat itu dapat berakibat
fatal bagi ibu dan bayinya.
Dokter Stefanus.…
Revolusi KIA itu hebat! Intinya, pada percepatan
kematian ibu dan bayinya. Seharusnya tidak ada kema­
tian sama sekali. Ide tentang Revolusi KIA sangat
mencengangkan saya seorang bidan desa yang ber­
hadapan langsung dengan kenyataan di lapangan.
Saya ingin sekali membawa cerita keberhasilan di
tengah kenyataan masih banyak ibu hamil yang tidak
mengerti, suami dan keluarga yang kecil peduli pada
arena topografi dan geografi yang sulit serta tempat
tinggal yang jauh, bahkan sangat jauh dari fasilitas
kesehatan. Cerita keberhasilan itu ada dan nyata. Saya

182
mengalaminya dengan hati gembira. Penurunan jumlah
kematian ibu dan bayi itu nyata di wilayah kerja saya,
namun cerita kegagalan tetap menjadi momok yang me­
nakutkan.
Apakah saya ikut andil dalam kematian ini? Per­
tanyaan yang sama sekali berbeda dengan cerita keber­
hasilan tentang saya sudah ikut andil dalam per­salinan,
maternal neonatal39 yang selamat bukan? Cerita kegagalan
selalu bertinta merah yang sulit dihapuskan. Apakah
saya ikut andil dalam kematian Lisa dan bayinya?
Pertanyaan ini membuat saya menggigil. Seharusnya
saya bisa menyelamatkan ibu dan bayinya. Cerita tentang
Lisa sungguh membuat saya terpukul.
Dalam kuliah dulu, Dokter pernah berkata bahwa
jadi bidan harus berani objektif dan rasional, namun
tetap melayani dengan hati. Terima kasih Dokter untuk
kalimatmu yang luar biasa. Menurut saya objektif, ra­
sional, dan melayani dengan hati adalah sebuah kom­
binasi yang krusial.
Apa yang harus dilakukan saat berhadapan dengan
kenyataan bumil40 yang labil, suami yang tidak berada
di tempat, keluarga yang lebih tertarik menghitung
angka-angka untung rugi daripada mengerti. Bagaimana
menghadapi sanksi sosial yang dialami keluarga bumil,
perkawinan bermasalah, belis yang belum lunas, dan hal-
hal seputar hubungan keluarga kedua belah pihak yang
Maternal neonatal: ibu dan bayi baru lahir.
39

Bumil singkatan dari Ibu Hamil.


40

183
tidak teratasi dengan baik. Untuk membuat langkah
objektif dan rasional pun sulit mendapat tempat.
Pada saat seperti itu hati bicara bahwa yang penting
bumil ditolong persalinan selamat ibu dan bayi sehat.
Pada saat yang sama juga keputusan rujuk ada di tangan
keluarga bukan pada tangan bumil. Pada saat itulah
objektivitas dan rasionalitas saya sebagai bidan bekerja
optimal. Terasa sekali bagaimana sakitnya bertabrakan
dengan kekuasaan keluarga ketika upaya untuk me­
yakinkan mereka bahwa bumil harus dirujuk berakhir
sia-sia.…
Saya ingin membuang jauh-jauh pertanyaan apa­
kah saya ikut andil dalam kematian itu? Akan tetapi,
kenyataannya itu tetap datang mendera di tengah upaya
saya untuk rasional dan objektif sekaligus melayani
dengan hati. Saya merasa inilah sesungguhnya poin
krusial dalam Revolusi KIA, baik dari sisi supply side atau
pemberi pelayanan maupun dari sisi demand side atau
penerima pelayanan.
Lisa yang hamil dan saya tidak tahu di mana Lisa
berada. Saya tahu bahwa Lisa, suami, keluarga, terutama
orang yang berpengaruh dalam keluarga tidak mau
bekerja sama, lambat, dan malas tahu. Saya juga tahu
masyarakat memiliki kemampuan untuk membawa
Lisa ke Polindes, Puskesmas, atau Rumah Sakit. Ada
kader, khususnya Sofia dan Martin yang luar biasa
pengabdiannya. Namun, orang yang berpengaruh adalah

184
laki-laki dalam keluarga, penentu nasib ibu hamil untuk
mati atau hidup….
Dokter…dalam kasus Lisa persoalan utama ada
pada poin krusial masyarakat sebagai penerima pela­
yanan. Karenanya, bagaimana peran keluarga dan
masyarakat sebaiknya menjadi poin krusial mendesak
untuk dirancang dan disetujui oleh masyarakat desa
sendiri. Semua ibu hamil seperti Lisa harus ditolong.
Siapa pun yang menghalanginya harus diberi sanksi
sosial sesuai kesepakatan yang dibuat dalam keluarga
dan masyarakat. Setelah masyarakat sebagai penerima
pelayanan diperkuat dengan kesepakatan bersama
yang jelas, selanjutnya poin krusial pelayan kesehatan
digarisbawahi.
Saya pikir semua pedoman tentang kesehatan ibu
dan bayi sangat istimewa sebagai pemberi arah untuk
kerja sama kedua pihak. Bagaimana menjalaninya di
lapangan untuk bidan seperti saya? Barangkali diper­
lukan ‘hati seluas cakrawala dan sedalam lautan biru
tua’ untuk berani objektif dan rasional. Semuanya demi
menyelamatkan ibu dan bayinya apapun yang terjadi.
Dokter…sudah terlalu jauhkah saya menulis?
Apakah Dokter sempat membacanya? Sesuai perjanjian
kita dulu -janji antara dosen dan mahasiswinya- kalau
sudah di lapangan nanti silakan tulis surat sebanyak-
banyaknya ke alamat ini: stefanus-obgyn@yahoo.co.id
atau stefanus-wijayakusuma@yahoo.co.id. Saya kirim

185
surat ini ke alamat yang kedua karena sampai saat ini
saya lebih suka wijaya kusuma daripada obgyn.
Malam ini pasti ada wijaya kusuma yang mekar
disaksikan sepi dan kesunyian di teras Polindes serta
teras kamar nomor tiga di Puskesmas. Tidak ada yang
tahu…biarlah demikian. Bukankah Dokter juga pernah
berkata, “Diamlah sejenak di salah satu sudut ruangan
KIA atau pulanglah ke kamarmu, hayati kematian itu dan
biarkan dia berlalu. Jika engkau sudah melakukan apa
yang harus engkau lakukan dengan pikiran dan hatimu.
Percayalah! Yakinlah!” Betapa sulit untuk memahami
kalimatmu sebab ini adalah pengalaman pertama yang
sesungguhnya sudah kurasakan akan terjadi sepanjang
upaya saya menemukan Lisa dan membawanya ke
fasilitas kesehatan yang seharusnya.
Selamat malam Dokter. Terima kasih sudah memberi
kesempatan kepada saya untuk belajar bertangung jawab,
mengerti, dan menulis. Ini surat saya yang keberapa
ya? Mudah-mudahan Dokter berkesempatan untuk
membacanya. Salam Rosa Dalima.

***
E-mail itu segera terkirim. Rosa terlelap dalam
tidur. Telepon dan SMS masuk dari Yordan beberapa
kali. “Ros…sudah tidur ya? Saat ini saya duduk di depan
kamar nomor tiga memikirkanmu. Ini pengalaman
pertama yang menyedihkan dan pasti menyesakkan hati­
mu. Saya berusaha memahaminya. Kuharap Ros dapat

186
membawa semuanya dalam doa-doa. Tidurlah yang nye­
nyak. Saya akan datang besok sore. Tunggu ya …” SMS
terakhir dari Dokter Yordan yang tidak sempat dibaca
Ros di tengah malam yang dingin dan sepi.
Apakah benar pilihan profesi sebagai bidan itu unik?
Berhadapan dengan pintu yang paling terhormat dari
seorang ibu. Namanya pintu rahim. Melalui pintu ini
kehidupan manusia baru hadir di dunia ini. Di sana ada
lukisan abadi tentang kenikmatan, penderitaan, darah,
dan air mata. Rahim yang terhormat! Siapakah yang
sampai hatinya menggoreskan tinta merah di sana.

***

Baru disadarinya bahwa Dokter Yordan sudah ada di


kantor. Dia baru saja merapikan sejumlah barang titipan
untuk Pustu, Polindes, dan Puskesmas. Yordan masih
bicara dengan Petugas yang menerima Yordan dengan
ramah dan canda. “Sangat berbeda sikap dan perilaku
mereka terhadap saya,” Ros tersenyum sendiri. Dia juga
dengan tenang menunggu Yordan bicara dengan Pak
Kepala dengan keseriusan dan keramahan ala dokter. Ros
duduk di lobi kantor mengirim SMS untuk Martin.
“Om Nadus sudah sampai? Sudah dimakamkan?”
tanya Bidan Ros.
“Nadus ada. Sedang upacara,” jawab Martin.
“Salam duka cita untuk Om Nadus ya.”
“Kapan pulang ke Polindes?”

187
“Mungkin sore ini. Terima kasih untuk info,” SMS
dari Ros.
“Pulang sama-sama Dokter Yordan?”
“Ya. Terima kasih.”

***

“Kasian sekali ya, Om Nadus pergi dan kembali


ko­song…” kata Ros pada dirinya sendiri. Dia me­
nutup pintu mobil dan Dokter Yordan segera jalan
meninggalkan kota, terus melaju memasuki jalan Gatot
Subroto, belok ke kiri menuju ke timur melewati jalan
lurus depan Stadion Marilonga, Pasar Wolowona,
Rhoworeke, terminal, Ndungga, dan melaju terus me­
ninggalkan Kota Ende. Kota kenangan yang akan
diabadikan dalam tulisan pada saatnya nanti. Telepon
berdering dan Yordan menepi. “Jawab dulu selagi masih
ada signal.”
“Jadi ke Bajawa?” suara Adrian.
“Tidak! Saya pulang ke Polindes.”
“Dengan Dokter Yordan?”
“Ya.”
“Berdua saja?”
“Ya.”
“Hebat bukan main. Saya makan itu manusia. Kasih
HP ke Yordan sekarang.”
“Mau bicara apa?”
“Kasih HP sekarang!”

188
“Ya.” Ros menyerahkan HP-nya. “Kak Adrian mau
bicara.”
“Halo Adi apa khabar? Ha ha ha ingat Surabaya?
Oh baik-baik saja. Mobil ambulans berdua saja, saya dan
Bidan Ros. Aman. Memang kenapa?” Yordan terdiam.
“Apa kamu bilang? Hai Adi, kamu tahu siapa saya
kan? Jangan khawatirkan Bidan Ros khawatirkan saja
dirimu, teman. Saya? Baik-baik saja. Kamu jangan per­
nah cari masalah dengan saya lagi. Saya injak-injak kamu
nanti. Ha ha ha,” Yordan tertawa. “Hati-hati teman,
jangan bicara sembarangan. Saya tidak akan terjerumus
lagi. Kalau kamu memang ada model terjerumus. Jadi,
hati-hati kalau bicara. Ya, ya, saya kembalikan,” Yordan
menyerahkan HP kepada Ros. Ros menerimanya, namun
HP sudah dimatikan Adi.
“Ya baik sekali. Aman sekali. Oke sampai jumpa ya
sayang,” suara Ros pada dirinya sendiri dan Yordan tahu
bahwa tidak ada yang dengar di sana.
“Kabar baik?” tanya Yordan.
“Ya Dokter,” jawab Ros, namun Yordan tahu mata
Ros berkaca-kaca.
Kendaraan melaju bersama dengan beberapa dos
obat kebidanan, satu dos buku pegangan ibu hamil, satu
dos jarum suntik, kapas, kasa, serta satu dos pertanyaan,
peringatan, dan harapan untuk tanggung jawabnya
sebagai bidan, serta satu dos rasa sedihnya menghadapi
Adrian. Kendaraan memasuki rindang pepohonan di kiri

189
kanan jalan. Tebing di kanan dan jurang di sebelah kiri.
Memasuki kilometer tiga belas kendaraan maju perlahan.
Bidan Ros melempar pandangan ke tebing curam di
sebelah kiri dan ke kedalaman jurang menganga di
sebelah kanan. Kontradiksi yang sangat nyata saat disa­
darinya bahwa dirinya dalam sebuah kendaraan berada
di tengah-tengah.
Ketika kendaraan memasuki kilometer delapan belas,
tampak jelas sisa-sisa longsoran bertumpuk, buldoser
masih bekerja menyingkirkan semuanya ke dalam jurang
dan ke tepian tebing. Lagi-lagi kendaraan merambat di
tengah jalan berlumpur. Ros memejamkan matanya saat
tergambar jelas wajah Lisa. Hatinya tergetar tiba-tiba.
Rasa tergetar itu selalu dialaminya setiap kali
setelah selesai menolong persalinan. Getaran itu menjadi
senyum dan tawa ria saat pertama kali bayi lahir ke
dunia dan saat bibir mungil itu menyentuh dada ibunya.
Menatap wajah ibu dan bayi yang sehat dan bahagia
adalah doa khusus bagi pekerjaannya sebagai bidan
dalam usianya yang memasuki 26 tahun.
Getaran itu menjadi kecemasan saat bumil atau
ibu hamil mengalami kesulitan saat melahirkan. Kaki
lebih dulu, punggung lebih dulu, sungsang, pendarahan
setelah melahirkan, vakum saat-saat melahirkan, dan
teriakan-teriakan kesakitan yang sukar dilukiskan
dengan kata-kata.
Getaran itu akan berubah menjadi kelegaan pada
saat bayi akhirnya bisa lahir dengan selamat, pendarahan

190
ibu terhenti, dan senyum ibu pada masa nifas dan ke­
bahagiaan ketika menyusui bayinya.
Getaran itu menjadikannya tidak sanggup bicara,
mendesak dalam kalbu ketika bumil dengan risiko tinggi
tidak patuh pada rambu-rambu yang telah dipastikan
terlebih dahulu. Langkah rujuk, dukungan keluarga,
peran kader, dan semua petugas di Polindes, Puskesmas
Pembantu ataupun Puskesmas menuju Rumah Sakit.
Pertanyaan bidan senior, teguran dokter, dan segala si­
tuasi kegawatdaruratan menjadikannya terdiam seribu
bahasa.
Getaran itu bagai tidak pernah mati ketika bumil
yang ditanganinya tiba di RSU dalam keadaan tidak
berdaya lagi, kekurangan darah, tidak ada tenaga, serta
kepasrahan nasibnya pada tangan-tangan lain yang ber­
juang menjadikannya tetap hidup setelah melahirkan, dan
menjadikan bayinya sehat setelah tinggalkan rahimnya.
Getaran itu menjadi tiada artinya lagi ketika di sisi
meja birokrasi dirinya ditanya apa sebenarnya terjadi,
kenapa begini kenapa begitu, kenapa bukan begitu atau
bukan begini, seharusnya hidup bukan mati, bagaimana
mungkin tidak bisa Anda tangani dengan baik padahal
sudah begini dan begitu.…
Getaran itu berubah menjadi rasa sakit ketika per­
tanyaan-pertanyaan itu berubah menjadi tekanan dan
tuduhan mengapa kamu tidak bisa pastikan bahwa ibu
hamil dan bayinya akan selamat dalam tanganmu.

191
Getaran itu berubah menjadi tangisan ketika dirinya
sendirian di ruang bersalin ataupun di ruang tidurnya
sendiri. “Ya Tuhan, semoga arwah Lisa dan bayinya
men­dapat tempat terindah di sisi-Mu,” batin Ros sambil
memejamkan mata.

***
“Sudah lama kenal Adrian? Kenal Adrian di mana?”
tanya Ros perlahan.
“Satu kampus di Surabaya dengan Martin juga satu
kampus. Kami panggil dia Adi,” jawab Yordan. “Beda
Fakultas. Dia seangkatan dengan Gabriel, Gebi, Biel
yang sekarang notaris di Ende. Kami juga satu kos.”
“Gebi teman satu tim Bidan Vero?”
“Ya. Kenapa tanya kenal Adrian di mana?”
“Saya kira baru kenal!”
“Kalau baru kenal kenapa?”
“Apakah dia orang baik?” tanya Ros.
“Kami sudah bertunangan. Tepatnya dijodohkan
keluarga. Masih ada hubungan keluarga jauh,” per­
tanyaan ini hanya dalam hati Ros. “Apakah saya men­
cintainya? Apakah dia mencintaiku? Apakah dia jodohku?
Dia orang baik bukan? Punya masa depan bukan? Ibu
dan saudara-saudarinya baik sekali. Mengapa dia beda
ya?”
“Ros lebih tahu dia baik atau tidak. Pasti karena dia
baik makanya Ros mau,” Yordan balik bertanya. “Kenapa
Ros mau dengan dia?”

192
“Bagaimana dia di Surabaya?” Ros balik bertanya.
“Tanya Adi saja.”
“Makasih.”
“Tidak perlu terima kasih, lagi! Lagi-lagi terima
kasih,” kata Yordan.
“Saya, Dokter.”
“Boleh saya bicara satu hal tentang Adi?” tanya
Yordan.
“Saya, Dokter.”
“Jalani saja,” kata Yordan sambil berusaha mencari
kata-kata yang tepat untuk diberikan pada bidan cantik
ini. “Bidan sebaiknya memang jadi teladan dalam hal apa
saja di Polindes tempatnya bekerja. Hubunganmu dengan
Adrian, biarkan segalanya jadi indah pada waktunya.”
“Khotbah,” Ros tertawa.
“Kenapa tertawa? Lucu?”
“Apa maksudnya?”
“Biasa saja. Jadikan segalanya indah pada waktunya.
Mengerti sendiri saja apa maksud saya,” kata Yordan
mengatasi kegugupannya sendiri saat bicara dengan Ros.
Kendaraan melaju meliuk-liuk di antara tebing
dan jurang sepanjang perjalanan menuju Puskesmas
Flamboyan. Tebing tinggi sebelah kiri, sungai sebelah
kanan, perkampungan kecil di sisi sungai, pohon-pohon
menjulang, bukit, dan gunung-gemunung di kejauhan.
Tebing sebelah kanan, jurang sebelah kiri dan sungai
mengalir di dalamnya, dinding-dinding tebing yang
terjal serta telanjang dan langit biru di kejauhan sana.

193
Jejeran rumah di tepian kanan atau kiri jalan, sungai
di belakang rumah, rindang pohon, bukit, gunung,
dan langit. Sinar matahari berupaya sampai di jalan
yang membelah bagian demi bagian Pulau Flores ini.
Meskipun dihalangi bukit dan gunung-gemunung,
tebing terjal dan pucuk-pucuk pohon yang menjulang,
langit biru terang tidak dapat menyembunyikan tanda
udara cerah dan perjalanan lancar. Tak terasa mereka
sudah meninggalkan kilometer 18 jauh di belakang sana.
“Cuaca berubah-ubah,” kata Yordan. “Kalau saja
waktu itu udara cerah seperti ini,” Yordan memperlambat
laju kendaraan. Ada longsoran baru. Apakah ada
buldoser dan petugas yang bekerja membebaskan jalan
dari longsoran pasir, tanah, dan lumpur.
Ros memejamkan matanya membayangkan sebuah
situasi yang membuatnya mati kata-kata pada malam
itu. Ingin ditolaknya jauh-jauh sebuah pengalaman
tentang kerasnya alam. Bencana di balik tangan kecilnya
sebagai bidan yang berupaya menolong dan memberi
jalan terbaik bagi kehidupan baru di dunia ini. Namun,
kenyataan yang sudah dilewatinya menghantam dadanya.
Hanya tarikan napas panjang yang menolongnya ke­
luar dari rasa bersalah bersamaan dengan melajunya
kendaraan memasuki jalan berliku-liku pada tanah
leluhur dan cerita kematian yang sudah selesai ditulis.
“Betulkah cerita tentang Lisa sudah selesai ditulis?”
tanya Ros pada dirinya sendiri. “Apakah Tuhan yang
telah mengakhiri tulisan itu? Apakah Tuhan memberi

194
titik di ujung kalimat kehidupan manusia dan memberi
tanda tangan dengan tinta basah? Mengapa kelahiran
di dunia ini mesti dilewati dengan rasa sakit yang tidak
terlukiskan dengan kata-kata.
Hanya ibu yang mengalami kesakitan sajalah yang
dapat bercerita satu sama lain. Para bapak tidak pernah
mengerti apalagi merasakannya. Om Nadus suami
Lisa pun tidak akan mengerti tentang derita istri yang
ditinggalkan sendirian melewati hari-hari sepinya tanpa
suami. Iklan SIAGA alias siap antar jaga hanya pemanis
yang enak dibaca karena variasi bunyi dan kekuatan
vokal a pada siaga dan siap antar dan jaga.
Mengapa ibu harus menderita sebelum memeluk
anak yang dilahirkan. Mengapa bapak hanya menerima
dengan rasa bangga pada harga dirinya sebagai suami
dan bapak yang dapat menghasilkan keturunan?”

***
Tentang kematian, takdirkah itu? Berapa banyak
bumil yang harus menderita dan menjalani nasibnya
sendirian? Siapakah di antara anggota keluargamu
yang seharusnya mengerti bahwa hal ini tidak perlu
terjadi. Siapakah yang paling berkuasa pada tubuhmu,
rasa sakitmu, gerakan, dan tendangan kaki-kaki mungil
dalam kandunganmu. Siapa pula yang berhak me­mu­
tuskan pilihanmu untuk segera ditolong? Kamu yang
merasakan semuanya sendirian. Sanggupkah tanganku
ini menarikmu lari jauh-jauh dari semua situasi yang

195
telah menjebakmu dalam kematian. Apakah mungkin
kekuatanku saja yang mengantarkanmu pada jalan ter­
baik untuk hamil pada waktunya dan melahirkan pada
waktunya.
Apakah bisa hanya dengan ketegasanku, dengan
catatan registrasi, catatan observasi, dan semua kartu
yang berkaitan dengan Kesehatan Ibu dan Anak dapat
membawamu menuju persalinan selamat? Apakah dengan
semua catatan, tanda-tanda, risiko, dan kunjungan
rumah yang kulakukan dapat membawamu keluar dari
masalah? Beban apakah yang menyelimutimu ibu hamil
dengan berat badan rendah, kekurangan energi kronik
bermasalah, riwayat perdarahan sebelum maupun setelah
melahirkan?
Siapakah di antara keluargamu yang rela mem­
biarkan dirinya sendiri menerima penjelasan bidan se­
perti Rosa tentang kehamilan bermasalah yang engkau
alami? Aku tahu ada banyak bumil dengan masalahnya
masing-masing mengalami nasib sepertimu. Meskipun
tidak semua mereka berakhir dengan kematian, namun
rasa sakit itu mengikuti langkah-langkahnya sampai jauh
setelah persalinan terjadi.
“Ah, memang itu sudah tugas perempuan!”
“Itu sudah nasibnya.”
“Mau tidak mau ya harus mau. Melahirkan itu sudah
takdir perempuan.”
“Sakit itu biasa karena memang harus begitu.”
“Alam sudah atur begitu.”

196
“Bagaimana mungkin tidak kuat tanggung hamil­
nya?”
“Kalau selamat kita bersyukur.”
“Kalau tidak selamat, ya mau bilang apa?”
“Kalau mati itu nasib namanya.”
“Anak mati? Sudahlah! Yang penting ibu selamat.”
“Tetapi, kita perlu kelanjutan keturunan.”
“Anak harus hidup!”
“Bagaimana dengan ibunya? Apa boleh buat nasib
sudah begini.”
Itulah kata dan kalimat yang terlontar tanpa disadari
seputar ibu hamil, ibu bersalin, dan ibu nifas yang sem­
pat didengar Ros sepanjang tugasnya sebagai bidan
yang baru dijalaninya belum terlalu lama. Sederhana
ataukah tidak tahu apa-apa. Nasib ataukah sebuah upaya
melempar tanggung jawab? Bagaimana caranya agar di
tengah situasi itu dirinya sebagai bidan dapat bertahan
pada pilihan dan menjadikan pilihan itu sebagai bagian
dari hidup.
Ketika kehamilan dan kelahiran masih dipandang
secara konvensional kodrat perempuan kemungkinan
besar di tengah jalannya sebagai bidan dirinya akan
menemukan lagi Lisa yang lain. Ros menengadah ke
langit biru saat kendaraan memasuki jalan yang lebih
lapang. Sawah membentang di sebelah kanan dihiasi
bukit hijau, gunung-gemunung, dan langit biru di
kejauhan. Bukit rendah membentang di sebelah kiri
dengan sawah terasering di sebelah kanan.

197
“Melamun sepanjang jalan. Pikir apa?”
“Tidak Dokter,” jawab Ros.
“Persis! Orang Flores,” Yordan tertawa. “Setiap kali
ditanya hampir selalu jawabannya diawali dengan kata
‘tidak’ padahal maksudnya ‘ya’. Melamun apa?”
“Tidak Dokter.”
“Nah, tidak lagi.”
“Tidak melamun.”
“Ingat Adi?”
“Tidak Dokter.”
“Kapan menikah?”
“Satu tahun ke depan,” jawab Ros.
“Ketahuan ingat Adi, kan? Ditanya kapan menikah,
langsung dijawab!”
“Saya tidak sedang ingat dia!”
“Ingat siapa?”
“Ingat diri saya sendiri.”
“Kalau menikah nanti, saya akan datang bersama
rombongan Puskesmas,” kata Yordan.
“Oh?” Setelah itu, keduanya diam lagi. Kendaraan
melaju lebih kencang memasuki jalan beraspal yang
baru diperbaiki. Ros memandang jauh ke luar jendela.
Sesekali Yordan mencuri pandang dari samping. “Manis,
lembut, dan baik hati. Adi tidak memiliki kepekaan
untuk merebut hatinya. Adi terlalu kasar dan memiliki
kecenderungan menang sendiri. Ya, sepanjang yang aku
kenal di Surabaya dulu. Berani jamin hubungan keduanya
akan berakhir akibat proteksi Adi. Bukan proteksinya

198
pada Ros, tetapi proteksinya pada dirinya sendiri,” kata
Yordan dalam hati. “Saya menunggu waktu itu,” Yordan
begitu yakin.
“Ros …” panggil Yordan.
“Ya Dokter.”
“Sepertinya untuk wilayah kita bukan 2H2, tetapi
3, 4, 5 atau 7H7. Dalam musim-musim tertentu, hujan,
banjir, ataupun longsor yang lebih bagus lagi adalah
7H7,” kata Yordan. “Bisa juga 2H5 atau 5H2 disesuaikan
dengan status ibu dan situasi kondisi lapangan.” Ros
menoleh dan sekilas mata bertemu mata. “Dari Adi me­
loncat ke 2H2,” kata Ros dalam hati.

199
12
Antara Senyum dan Tangis

“ Y a ide itu sungguh cerdas sekali,” Ros menjawab


kata-kata Yordan dengan penuh perhatian. Ide 2H2 yang
dibaca dua ha dua itu selanjutnya berkembang dalam
diskusi bersama teman-temannya dalam pertemuan bu­
lanan para bidan desa di Ibu Kota Kabupaten.
“Dua ha dua berkaitan dengan pemantauan dan
pembinaan,” demikian dijelaskan Petugas yang dikutip
langsung dari salah satu buku petunjuk teknis lompatan
penurunan kematian ibu dan bayi. Semua mata peserta
terfokus pada proyektor LCD41.
“Pemantauan adalah upaya yang bersifat periodik
dan terus-menerus untuk mengetahui sedini mungkin
apakah pelaksanaan program sesuai atau menyimpang
dari rencana semula. Hal ini dilakukan dengan meman­
faatkan sekumpulan indikator terpilih,” paparan layar
ketiga.

41
Proyektor LCD (Liquid Crystal Display): salah satu jenis proyektor yang
digunakan untuk menampilkan video, gambar, atau data dari komputer
pada layar yang permukaannya datar.

200
“Pemantauan akan memberikan informasi tentang
status dan kecenderungan bahwa pengukuran dan
evaluasi yang diselesaikan berulang dari waktu ke wak­
tu, pemantauan umumnya dilakukan untuk tujuan ter­
tentu, untuk memeriksa terhadap proses berikut objek
atau untuk mengevaluasi kondisi atau kemajuan menuju
tujuan hasil program atas efek tindakan dari beberapa
jenis, antara lain tindakan untuk mempertahankan
program yang sedang berjalan,” layar keempat.
“Apakah kalian mengerti?” tanya Petugas.
“Tidak,” Bidan Ros yang menjawab dan ruang
pertemuan serentak ribut.
“Kenapa tidak mengerti?” tanya Petugas dengan
wajah memerah.
“Ya benar tidak mengerti!” Bisik Bidan Vero. “Pen­
jelasan panjang lebar. Kutip langsung dari buku yang
ditulis tanpa titik koma yang jelas. Bagaimana kita bisa
mengerti?” katanya lagi. “Kamu betul Ros,” bisiknya
meyakinkan Ros. “Status dan kecenderungan, tujuan ter­
tentu, memeriksa terhadap proses, menuju tujuan hasil
program! Tidak jelas apa poinnya,” Vero berbisik agak
keras.
“Petugas besar dengan bahasa kacau balau. Ber­
bahasa yang efektif dan efisien saja susah bukan main.
Bagaimana bisa menjalankan tugas dengan efektif dan
efisien. Bagaimana kami mengerti!”
“Yang saya omong ini sudah tertulis dibuku!” keras
suara Petugas. “Jadi dengar saja!”

201
“Tetapi, layar keempat tidak jelas. Saya tidak
mengerti bagaimana mengambil poin dari penjelasan
pan­­jang dalam satu kalimat itu,” kata Ros lagi.
“Apa yang Anda tidak mengerti?” wajah Petugas
tampak lebih memerah. “Tidak mengerti apanya? Infor­
masi status dan kecenderungan, pengukuran, dan
evaluasi berulang, proses dan evaluasi, tujuan dan hasil
program, tindakan untuk mempertahankan program
yang sedang berjalan. Apa yang Anda tidak mengerti?”
tanya Petugas lagi.
Petugas menatap tajam wajah Bidan Ros yang
menjadi topik pergunjingan karena dianggap ikut andil
dalam hal penambahan jumlah kasus kematian ibu dan
bayi di Polindes, Puskesmas, Kabupaten, dan Provinsi.
“Pantauan dapat dilakukan dengan sistem 2H2 –dua
ha dua- yang pertama kali dirintis oleh Kabupaten Flores
Timur dalam pemantauan ibu hamil di daerah.”
“Tabel satu Sistem Pemantauan Persalinan dalam
Revolusi KIA di Provinsi NTT,” layar ketujuh. “Harap
perhatikan baik-baik sistem ini pada setiap kabupaten.
Kabupaten kita bagaimana?”
“2H2 center,” jawab Bidan Vero.
“Bagaimana Bidan Ros?”
“2H2 center!” jawab Bidan Ros. “Tetapi, mengingat
topografi dan geografi wilayah, pemahaman bumil,
keluarga, dan masyarakat, serta tradisi lokal, saya usul­
kan 2H2 center untuk wilayah tertentu dan 5H5 atau 5H4

202
center atau 7H7 atau 7H4 center untuk wilayah lainnya
sesuai situasi dan kondisi!”
“Sudahkah hal ini diterapkan dalam tugasmu se­
bagai bidan?” Pertanyaan yang tidak dijawab Bidan
Ros. “Tidak ada hasilnya bukan? Pasien berada di luar
pantauan. Pasien datang pada hari H melahirkan. Pasien
terlambat rujuk. Pasien terjebak dalam longsoran. Pasien
terlambat ditolong. Ibu dan bayinya hanya tinggal nama
saja,” suara Petugas membuat hati Ros diam dan terluka.
“Perhatikan baik-baik cara kerja 2H2 berikut ini.
“Cara kerja 2H2,” layar kedelapan.
“Lihat baik-baik posisimu sebagai bidan desa,” suara
Petugas seperti berteriak. Pada layar muncul berturut-
turut bidan desa anak panah dan ibu hamil. “Fokus bidan
adalah bumil dan ada koordinasi timbal balik dengan
bidan koordinator atau bikor. Sudahkah hal ini berjalan
baik di lapangan?” tanya Petugas.
Petugas menarik satu persatu gambar ibu hamil,
bidan desa atau bides, bidan koordinator atau bikor,
kapus atau kepala puskesmas, kepala dinas, pak camat,
kepala desa atau kades cs. Selanjutnya, dimunculkan satu
persatu kembali dimulai dari ibu hamil sebagai sentralnya
untuk mempertegas bagaimana cara kerja 2H2.
“Apakah koordinasi ini dijalankan?” Mata Petugas
tertuju pada Bidan Ros.
“Ya. Selalu,” Bidan Ros menjawab.
“Lalu, kenapa kamu memberi kontribusi pada pe­
nambahan jumlah kasus kematian ibu dan bayi. Jika

203
memang koordinasi berjalan lancar? Bagaimana komu­
nikasimu dengan ibu hamil. Upaya apa yang telah di­
lakukan agar bidan koordinator juga tahu soal ini?”
“Saya dapat menjelaskannya,” suara Bidan Ros ter­
sekat.
“Apakah berguna untuk mengurangi jumlah kasus
kematian yang sudah terjadi?”
“Saya sudah menulis laporan lengkap tentang ini,”
jawab Bidan Ros.
“Apakah tulisanmu berguna untuk mengurangi
jumlah kematian?”
“Saya sudah menulis apa yang terjadi sesungguhnya,”
Bidan Ros tergetar hatinya.
“Tulisanmu tidak mengubah apa-apa bukan?” kata
Petugas sekali lagi. “Ingat baik-baik! Kalian bertanggung
jawab terhadap hidup atau mati ibu hamil dan bayinya!”
Kata-kata Petugas menikam hati Ros.
“Jadi, jangan main-main. Lakukan kunjungan rumah
dan cari sampai ketemu di mana ibu hamil berada.
Lakukan komunikasi tanpa keraguan sedikit pun dengan
bidan koordinator, dengan kepala desa dan semua tokoh
yang terlibat aktif. Jika mengalami kesulitan, Anda bisa
kontak langsung Kepala Puskesmas, Pak Camat, dan
Kepala Dinas Kesehatan. Apa gunanya HP yang kalian
pegang? HP hanya untuk telepon pacar? Kerja pakai ini,
ini!” Petugas menunjuk dahinya.
“Kerja juga pakai hatimu,” suara Petugas membuat
Bidan Ros terangkat kepalanya. “Aku sudah melakukan

204
semuanya, bahkan lebih dari pakai hati sebagaimana yang
ditegaskan berkali-kali,” Ros merasa kalimat-kalimat
yang menyakitkan ditujukan khusus baginya. “Maklumi
saja! Itu kalimat-kalimat pahit dari manusia belakang
meja,” Vero marah sekali.
“Mau taruh di mana muka ini jika kalian kerja tidak
pakai hati, tanpa tanggung jawab? Tidak usah jadi bidan
jika tidak sanggup bertanggung jawab dan tidak punya
hati,” ditatapnya bidan-bidan itu satu persatu. Bidan Ros
menggigil dan terasa akan meledak hatinya oleh rasa
marah saat sorot mata Petugas tertuju padanya. Ros
menatapnya dan berusaha sekuat tenaga untuk tetap
tenang.
“Jika semua prosedur komunikasi berjalan baik
tidak akan terjadi apa-apa. Karena itu, sekali lagi kerja
pakai hati. Pakai hati. Jangan bekerja hanya untuk buat
malu,” kata-kata itu menambah luka di hati Ros. Matanya
tertuju pada wajah Petugas. Beberapa saat kemudian HP-
nya bergetar. Ada SMS masuk.
“Suruh Petugas yang turun lapangan, naik turun
gunung cari Lisa,” bisik Vero lagi. Untuk mengalihkan
rasa sakitnya oleh kata-kata yang didengarnya, Ros
membuka tas, mengambil HP tanpa dikeluarkan dari
dalam tas dan membuka kunci, membuka pesan, mem­
buka inbox, dan membaca SMS itu.
“Jangan sedih Ibu Bidan. Kematian Lisa dan bayinya
bukan salahmu. Keluarga Om Nadus sudah sadar.”
Ros memejamkan mata sejenak setelah membacanya.

205
“Terima kasih Om Martin,” kata Ros di dalam hati. HP-
nya tergetar sekali lagi dan nama Adrian muncul di
layar. Ros tidak membacanya. HP tergetar lagi, lagi-lagi
Adrian. HP tergetar lagi. Kali ini dari nomor baru dan
dengan cepat Ros membacanya.
“Terima kasih sudah berjuang untuk istri dan
anakku. Maaf atas segala hal yang menyakiti ibu bidan.
Salam hormat Nadus.” HP tergetar lagi dan nama Om
Martin yang muncul. Rosa membacanya. “Maaf, saya
beri nomor ibu bidan ke Om Nadus tanpa izin.”
“Tidak apa-apa,” batin Ros dalam hati sambil ter­
senyum sekilas. Senyuman yang ditangkap Petugas
dengan sindiran keras. “Setelah kematian bumil dan
bayinya, bila kita masih bisa tersenyum, itu artinya apa?”
Petugas melempar pertanyaan. “Siapa bisa menjawab.”
“Revolusi mental,” seorang peserta spontan bicara
diikuti suara riuh peserta lain.
“Ekspresi kekayaan batin,” sambung suara peserta
lainnya dengan tetap tertawa.
“Bagaimana menurutmu Ros?” tanya Petugas.
“Sebagaimana sudah dikatakan tadi. Revolusi mental
dan ekspresi kekayaan batin,” kata Ros dengan upaya
sekuat tenaga untuk mengatasi gejolak batinnya. “Untuk
membangun pemahaman secara tepat dan benar perlu
sebuah revolusi mental untuk saling menghargai satu
sama lain. Ibu hamil, ibu bersalin, bidan desa, para kader,
bidan koordinator, kepala puskesmas, kepala desa, camat,
dan kepala dinas kesehatan, serta semua pihak terkait

206
harus saling menghargai. Untuk mengatasi masalah
secara tepat dan benar perlu dan sangat perlu sebuah
revolusi mental untuk mencintai ibu hamil, ibu bersalin
dengan sepenuh hati. Suami, mertua, orang tua, dan
keluarga harus saling mendukung agar ibu hamil bebas
dari segala macam tekanan,” Ros terdiam sejenak.
“Saya setuju dengan senyum sebagai ekspresi ke­
kayaan batin sebab dalam situasi yang sangat sulit
selalu saja ada titik-titik cahaya yang membuat kita
dibebaskan dari tekanan yang tidak seharusnya ada.
Bukan senyuman kemenangan, bukan pula senyuman
kepuasan atas apa yang sudah terjadi. Senyum bisa
berarti ungkapan hati untuk menggali motivasi baru
demi memulai sesuatu yang lebih berarti. Senyum bisa
berarti tekad dan kelapangan hati untuk menghadapi
kegagalan bukan menghindarinya…demikian dari saya,”
kata-kata Bidan Ros menyusup dalam keheningan ruang
pertemuan.
“Senyum terbaik,” bisik Vero.
“Oh begitu ya?” kata Petugas dengan wajah tanpa
senyum. “Omong panjang lebar apa hasilnya?” tanyanya
dengan sinis.
“Saya sudah berusaha semaksimal mungkin dengan
segala daya untuk menyelamatkan ibu dan bayinya,” Ros
memberanikan diri. Tatapannya melayang jauh keluar
dari ruang pertemuan yang luas, namun terasa panas.
“Saya mencoba terus-menerus dengan segenap pi­
kiran dan hati saya. Bidan adalah pilihan saya. Saya harus

207
bertanggung jawab untuk pilihan ini. Saya ingin sekali
menjadi salah satu tokoh utama dalam menyelamatkan
ibu dan bayinya. Kematian Lisa dan bayinya meng­
hancurkan hati saya. Bukan soal bertambahnya jumlah
kasus kematian ibu dan bayi serta kita kehilangan
muka. Akan tetapi, ada hal-hal yang jauh lebih penting
soal harga diri, perhatian, kepercayaan, kesempatan,
keputusan, dan cinta ibu yang terpuruk akibat kebe­
radaannya yang dianggap harus mengikuti takdir. Hal ini
perlu diatasi dan hal ini pula yang membuat bidan desa
seperti saya nyaris kehilangan pegangan. Karena itulah,
senyum bagi saya sangat berarti sebagai salah satu jalan
untuk mengobati luka akibat dari banyak kehilangan
yang sudah terjadi,” Ros tersenyum sangat tipis di
tengah keheningan.
“Oh, begitu ya?” kata Petugas. Ros membuka tasnya
lagi. Ada SMS dari Adrian, Theresia, Linda, Nining,
Sitti, dan Yordan.
“Bila bebanmu terasa berat hadapi dengan senyum.
Lagu kesayangan kita,” dari Sitti.
“Suruh Petugas jadi bidan desa,” dari Theresia.
“Dikira enteng jadi bidan desa? Atur saja data ke­
matian ibu dan bayi menurun atau tidak ada. Buat saja
Laporan ABS alias Asal Bapak Senang,” dari Nining.
“Ambil positifnya saja Ros. Refleksi. Ingat jangan
lupa cari jodoh untuk saya. Bagaimana? Sudah dapat?
Serius,” dari Linda. “Aku kirim SMS buat teman-teman

208
tentang pertarunganmu dengan Petugas. Teman-teman
sudah balas ya?” Bisik Vero. Ros mengangguk.

***

“Pulang pada kesempatan pertama,” tujuh kali SMS


dari Adrian dengan isi yang sama. “Ada apa dengan Kak
Ian ya?” tanya Ros dalam hatinya.
“Saya ada di Ruumah Sakit. Kita pulang sama-sama
ya,” SMS dari Yordan.
“Saya langsung ke Bajawa sore ini,” balas Ros.
“Saya antar ke terminal travel42 ya?” balas Yordan.
“Saya, Dokter.”
“Boleh saya antar ke terminal?”
“Boleh?”
“Kalau boleh saya antar ke Bajawa juga saya siap.”
“Ke terminal saja. Terima kasih.”
“Kapan balik lagi?”
“Minggu sore tiba kembali.”
“Saya jemput lagi di terminal.”
“Ya.”

Travel: nama yang diberikan untuk kendaraan umum (selain bemo dan
42

bus) sebagai salah satu angkutan antarkabupaten di Flores. Mobil travel ini
dapat mengantar pasien sampai ke rumah tujuan.

209
BAGIAN KETIGA

WIJAYA KUSUMA
NAMA BUNGA ITU
13
Ibu yang Selalu Sendiri

Polindes Bakung terletak di pinggir jalan desa


yang menghubungkannya dengan desa lain di seluruh
kecamatan. Letaknya lebih tinggi dari jalan sesuai kon­
disi topografi aslinya tanah tinggi pada bagian belakang
dan kian tinggi mengikuti bukit-bukit dan gunung di
kejauhan. Pada bagian bukit itu pondok-pondok tersebar
di setiap kebun warga. Wilayah yang subur dengan
berbagai tanaman, seperti jagung, kacang, rumpun
pisang, dan sayur-sayuran. Rimbun pohon cengkih se­
panjang sisi dan belakang kebun menambah segar
suasana.
Polindes ini terletak pada bagian kaki bukit yang
diratakan warga. Tanah hibah itu selanjutnya menjadi
tempat terbaik bagi kelahiran manusia baru ke muka
bumi ini. Polindes dibangun atas partisipasi masyarakat
desa bersama dukungan dana dari pemerintah.
Luas Polindes lebih dari yang seharusnya karena
dukungan masyarakat. Ada ruang tunggu, ruang periksa
sekaligus ruang bersalin, ruang administrasi, dua buah

213
kamar mandi, dan sebuah dapur kecil. Halaman depannya
luas dengan rumput hijau membentang pada bagian sisi
kiri kanan jalan selebar satu mobil menuju pintu depan
Polindes. Sisi kiri kanan jalan ditanami kembang sepatu
yang berfungsi sebagai pagar. Sepanjang tepian rumput
hijau dipenuhi berbagai jenis bunga. Ada hebras, dahlia,
mawar, pecah piring, kladiol, kembang Santo Yosef
masing-masing bertumpuk dalam kelompoknya.
Pada bagian kanan tengah halaman berumput berdiri
sebuah tiang bendera yang dibuat tetap sehingga ketika
bendera dikibarkan tidak perlu membuat tempat pancang
dan tiang yang baru. Anak-anak yang mengikuti ibu
mereka setiap periksa dapat bermain-main di halaman
itu. Pagar yang membatasi jalan raya dan halaman
Polindes merupakan pohon pagar yang oleh masyarakat
setempat disebut pohon duri karena memang berduri.
Pada sudut pagar kiri dan kanan tumbuh kembang
rambat. Bunganya berwarna kuning terang berbentuk
seperti lonceng kecil tumbuh rimbun dan subur me­
manjakan mata yang memandangnya.
Halaman polindes bagian kanan ditanami sayur-
sayuran di atas bedeng-bedeng yang terawat. Buncis,
sawi, kool, kentang, wortel, paria merupakan beberapa
tanaman yang secara variatif di tanam di sana. Se­
dangkan, halaman polindes bagian kiri ditumbuhi ber­
bagai jenis bunga dan didominasi kembang mawar
berbagai warna, merah, kuning, orange, merah tua,
putih, dan putih kekuningan.

214
Pada bagian belakang taman ada rumah kecil
berlantai semen, berdinding bambu, loteng anyaman
bambu, dan atap seng. Rumah dua kamar, satu ruang
tamu sekaligus ruang makan dan ruang duduk, dapur
kecil serta kamar mandi. Rumah inilah tempat tinggal
Bidan Ros bersama Mama Falentina, sesekali Mia adik
Martin juga tidur di sana. Jalan setapak yang bersih
dan rapi menghubungkan bagian depan rumah bidan
dengan Polindes. Sepanjang teras Polindes dan teras
rumah tergantung kembang wijaya kusuma yang
bunganya rimbun menjulur ke bawah. Meskipun tampak
menguncup tetap indah dipandang mata.
Lima drum air yang selalu ada untuk keperluan ibu-
ibu hamil dan melahirkan. Air mengalir dari sumbernya
di gunung. Dari mata air sampai Polindes dihubungkan
dengan pipa tradisional, berupa belahan bambu sambung-
menyambung yang disanggah tiang dari dahan pohon
bercabang. Jarak dari mata air di ketinggian bukit sampai
ke belakang Polindes sekitar 800-1000 meter.
Volume air selalu banyak pada musim hujan. Mes­
kipun sepanjang saluran bambu, air terbagi-bagi sepan­
jang jalan melewati kebun-kebun penduduk, air yang
tiba di Polindes selalu cukup. Demikian pula pada musim
kemarau, air selalu ada walau dalam jumlah yang lebih
kecil.
Keberadaan polindes yang tidak terlalu jauh dari
pemukiman warga, rumput hijau, kebun bunga, sa­
yur-sayuran, pagar hijau, pohon, dan bukit, serta air

215
yang mengalir sepanjang waktu menyebabkan rasa
terpanggil untuk selalu datang. Tidak hanya ibu hamil,
ibu melahirkan, bayi, dan balita yang ke sana, tetapi juga
warga sekitar yang mengalami sakit, seperti batuk pilek
atau panas demam tanda malaria pergi ke sana sebelum
lebih jauh ke Puskesmas di pusat Kecamatan.

***
Siang hari Polindes sudah sepi. Mama Gonz sudah
kembali ke rumah. Mama Falentina dan Mia ke kota
kecamatan. Mereka bersama Dion, Magnus, dan Cekat
membantu Om Martin mempersiapkan pemakaian toko
baru khusus tempat penampungan hasil bumi dan tempat
jual grosir bahan pangan dari Surabaya. Usaha Om
Martin berkembang bagus. Truk ke Surabaya membawa
hasil bumi, kembali dari Surabaya dengan berbagai bahan
pangan kebutuhan pokok.
Bidan Ros membenahi meja administrasi, buku
registrasi, kartu ibu, dan catatan observasi pasien da­
lam map masing-masing. Setelah itu, ruang periksa
sekaligus ruang bersalin dibersihkan. Selanjutnya, dia
keluar ruangan menuju bagian belakang Polindes untuk
memastikan air yang mengalir sudah memenuhi empat
drum air yang berjejer. Dirapikannya bilah bambu yang
terlihat miring untuk ditempatkan pada tempatnya
semula agar tidak ada setetes air pun yang tertumpah
sebelum sampai ke drum. “Bambu ini perlu diganti
karena sudah melembek karena air dan matahari.”

216
“Nona Bidan,” Sofia kader desa memanggil dari ha­
laman depan Polindes.
“Ya, di sini,” Bidan Ros menyahut.
“Nona Bidan saya baru saja dari rumahnya Om
Simon. Kabar baru,” kata Sofia.
“Ada apa?”
“Istrinya Lukas ada di sana.”
“Sudah menikah? Syukurlah!”
“Memang belum menikah, tetapi Yuli sudah ikut
Lukas. Eh, maaf sepertinya sudah hamil,” Sofia berkata
pelan. “Mudah-mudahan nasibnya beda!”
“Kira-kira hamil berapa bulan?” Bidan Ros bertanya
serius.
“Sekitar tiga bulan menurut Yohana iparnya,” kata
Sofia.
“Bagaimana bisa membawanya kemari?” tanya Bidan
Ros.
“Kita kunjungi saja bersama Om Martin, Dion,
Magnus, dan Kepala Desa.”
Ros segera menghubungi bidan koordinator untuk
menyampaikan bahwa ada tambahan satu lagi ibu hamil
di wilayah pantauannya. Via SMS Ros juga mengabarkan
kepada Yordan dan kepala desa yang sekaligus ketua
desi atau desa siaga. Dalam beberapa waktu berikutnya
kepala Puskesmas, Pak Camat, Kepala Bidan, Kadinkes
sudah tahu tambahan jumlah ibu hamil. Berita dilengkapi
dengan informasi bahwa ibu hamil belum menerima
pelayanan apapun.

217
“Yuli mau datang ke sini, tetapi itu Kribo mati-
matian melarang.”
Bidan Ros terdiam memikirkan jalan untuk bisa
menemui Yuli dan mengharapkan tidak akan menemui
kendala berarti sebagaimana terjadi dengan Lisa. Apapun
yang akan dihadapinya nanti, dia harus berani. Rasional,
objektif, dan lakukan dengan hati.

***
“Tidak perlu terlalu repot. Kami pasti urus,” jawab
Om Simon. “Susah kalau soal hamil dan bayi saja semua
orang mesti repot. Sudah cukup urus Lisa jangan repot
dengan Yuli.”
“Memang aturannya begitu, Om!” sambar Sofia
dengan tegas. “Sebenarnya ini tugas kader, bidan desa,
desa siaga, terutama tugas keluarga masing-masing
untuk jaga ibu dan bayinya,” Sofia menjawab dengan
berani. “Lukas sebagai suami juga harus bisa kerja sama.
Jangan buat turut suka yang mengkhawatirkan orang
lain.”
“Engkau omong banyak sekali.”
“Harus Om. Kami kader memang dilatih untuk
omong. Bukan omong banyak, tetapi banyak omong soal
ibu hamil dan juga bayi-bayi mereka.”
“Ya sudah!” sahut Om Simon.
“Tolong pastikan Yuli dan Lukas datang ke Polindes
besok. Pasti dilayani. Jangan sampai seperti Lisa … kita
semua menyesal nanti.”

218
“Jadi, engkau mau sumpah supaya terjadi?”
“Jangan omong begitu Om. Kita harus sama-sama
saling jaga dan kerja sama.”
“Sudah jelas kerja sama. Saya sudah tahu. Pasti Yuli
juga sudah tahu untuk urus dirinya dan bayinya. Jadi,
ibu bidan dan ibu kader jangan terlalu repot!” Om Simon
meninggalkan Ros dan Sofia begitu saja.
Sepanjang jalan Sofia berkomentar dengan marah
apa yang dikatakan Om Simon. Ros diam. Menghadapi
berbagai karakter di lapangan caranya hanya satu, yaitu
hadapi dan sesuaikan sepanjang mungkin.

***

“Kalau saya antar saya punya istri ke sini, saya dapat


apa?” Lukas berdiri dengan wajah tegang di depan pintu
Polindes. “Kamu datang ke rumah saya mau atur saya?
Mau buat malu saya? Ingat baik-baik! Jangan pernah
urus urusan saya. Termasuk Bidan Ros, jangan urus
yang namanya urusan saya. Urus diri sendiri saja!”
“Hei, Lukas! Bicara apa kamu?” Mama Gonz dan
Mama Falentina marah.
“Mama Sofia juga bodoh sekali. Dia sebagai kader
dapat bayaran berapa? Kerjanya hanya dukung bidan
dan Martin pacaran di jalan. Jangan coba-coba datang ke
rumah saya lagi,” kata Lukas. Matanya menangkap mata
Ros dengan penuh ancaman. Ros membuang jauh-jauh
segala hal yang menakutkan tentang Lukas.

219
“Lukas Kribo,” kata Mama Gonz. “Bawa istrimu ke
sini.”
“Jangan harap,” sambung Lukas. “Jadi, kamu mau
raba-raba saya punya istri punya barang dalam? Enak
bukan main.”
“Omong apa kamu? Bodoh sekali.”
“Mau suruh itu Bidan Ros raba saya punya istri?”
“Dengar baik-baik!” kata Mama Gonz.
“Mau suruh Dokter Yordan raba saya punya istri?
Coba kalau berani. Mau buat saya malu? Awas!” ancam
Lukas.
“Jadi, kamu sendiri yang mau raba dan periksa istri
hamil sehat atau tidak? Kamu yang kasih obat, ambil dan
periksa darah, tolong istri kasih keluar anak bayi dari
dalam perut, kah?”
“Ya, memang saya semua!” Wajahnya merah karena
marah. Dia menuduh Rosa dan Martin yang memberi
pengaruh pada masyarakat untuk memusuhinya. Dia
dianggap membuat keributan di Rumah Sakit, melanggar
hak Lisa untuk mendapat pelayanan yang seharusnya,
dan menghambat perjalanan Lisa untuk rujuk ke Rumah
Sakit. Isu tentangnya menyebar di seantero desa. Isu
dilengkapi dengan isu percobaan perkosaan yang di­
lakukannya pada Bidan Ros pada awal kedatangan bidan
itu ke Polindes Bakung.

220
“Cukup saya punya kakak Lisa yang mati, jangan
tambah lagi!” katanya sebelum meninggalkan Polindes
dengan raungan suara motornya.

***

Dokter Yordan yang memahami betul apa yang


terjadi dengan Lisa beberapa waktu lalu langsung
mengambil cara lain untuk membawa Yuli ke Puskesmas.
Intinya, dia inginkan agar situasi di Polindes Bakung
selalu kondusif bagi bidan yang bertugas di sana.
“Berita kematian masih panas! Sebaiknya memang
bidan lain saja yang tangani Yuli,” Yordan memberi jalan
keluar.
“Tetapi, dia tinggal di wilayah kerja saya,” kata Ros.
“Kita akan atur kunjungan rumah oleh bidan di desa
lain. Percayalah semuanya baik.”
“Terima kasih Dokter!”
“Terima kasih untuk apa?” tanya Yordan. “Memang
sudah seharusnya demikian. Pada dasarnya, keluarga
malu dengan apa yang terjadi dengan Lisa dan cucu
mereka. Jadi, nanti saya bicara dengan kepala desa dan
lainnya untuk tangani Yuli dan Lukas. Mudah-mudahan
semuanya berjalan baik ya,” ditatapnya wajah Ros lekat-
lekat.
“Hari Minggu itu saya tunggu sampai malam di
terminal,” kata Yordan selanjutnya.

221
“Adrian yang antar saya pulang sampai Polindes,”
jawab Ros sekenanya. Terlalu sulit baginya untuk
berpikir laki-laki lain sementara masalahnya dengan
Adrian belum menemukan titik terang. Dirinya berusaha
setia baik dalam pikiran maupun dalam perbuatan.
Disadarinya untuk tidak memberi harapan berlebih ke­
pada Yordan. Karena itulah, dia menghindar saat pulang
dari kampungnya beberapa waktu lalu.
“Kenapa matikan HP?” tanya Yordan.
“Low batt,” kata Ros.
“Hari Minggu siang Rosa Dalima siapa ya yang ada
di terminal dengan Mama Sofia, Mina, Dion, Magnus,
Mia, dan Martin,” tanya Yordan.
“Maaf.”
“Tidak jadi ketemu Adi?”
“Om Martin yang cerita ya?”
“Tidak jadi ketemu Adi?”
“Pasti Om Martin yang cerita.”
“Martin bukan tipe suka cerita.”
“Kalau Dokter Yordan tipenya bagaimana?”
“Sama dengan Rosa Dalima. Suka bunga dan kebun.
Suka wijaya kusuma.”
“Adi tidak suka apapun selain dirinya sendiri,” kata
Ros dalam hati. “Tunanganku!”
“Besok datang ke Polindes ya,” kata Ros. “Ada temu
bicara bulanan di aula sekolah.”

222
“Pasti! Undangan sudah saya terima.”
“Terima kasih.”

***

Relasi komunikasi dirinya dengan keluarga pa­


sien ternyata tidak semudah catatan teoretis yang di­
perolehnya di bangku kuliah maupun dalam setiap
pertemuan bulanan di ibu kota kabupaten. Tentang
ibu dan kehamilannya, tentang bayi dan tumbuh kem­
bangnya, tidak semua orang di desanya mengerti.
Persiapannya mesti dimulai sejak belum menikah. Calon
ibu yang sehat lahir batin tempat janin bertumbuh mulai
detik pertama pembuahan terjadi. Bidan Vero sahabatnya
rajin melakukan konseling pranikah, penyuluhan ke­
sehatan reproduksi bagi remaja dan lain-lainnya secara
rutin. Semua upaya terasa sulit dibawa dalam kenyataan.
“Bukan gampang kita omong dengan masyarakat
soal-soal rahasia. Kenapa Yuli sudah ikut Lukas ke
rumahnya padahal belum menikah. Apalagi kalau kita
singgung tentang persiapan kehamilan. Jadi, ya pelan-
pelan saja pasti mereka mengerti,” demikian Mama Sofia.
“Begitu juga soal gizi ibu hamil ada hubungannya dengan
janin. Banyak ibu bapak mengerti dan banyak pula yang
anggap enteng. Kalau bayi meninggal dalam perut atau
lahir dengan berat kurang atau meninggal setelah lahir,
orang anggap biasa saja.”

***

223
“Menurut buku yang saya baca tuh, poin pertama
itu ibu hamil,” kata Sofia lagi. “Periksa kehamilan paling
sedikit empat kali selama hamil ke bidan. Itu yang ada di
buku. Kenyataannya, masih ada orang yang tidak pernah
periksa, periksa satu kali saja, ada juga yang periksa di
dukun.”
“Atau dokter,” sambung Mina kader posyandu.
“Ya tentu saja. Ini kita omong sesuai kenyataan
di desa kita. Mau cari dokter di mana? Jadi, dengar
dulu saya belum habis omong. Sepanjang ada bidan di
Polindes ibu hamil tidak perlu susah-susah cari dokter di
Puskesmas. Apalagi kalau hamil sehat tidak ada masalah.
Kalau ada yang tidak beres pasti bidan akan rujuk ke
Puskesmas. Kalau rumah dekat dengan Puskesmas, tidak
ada yang larang ketemu dokter di Puskesmas.”
“Ibu hamil juga boleh ke RSU atau ke dokter ahli,”
kata Mina lagi.
“Siapa yang larang? Silakan saja ke sana. Tinggal
di kota saja supaya dekat RSU juga dekat dokter ahli.
Kenyataannya, ibu hamil di desa kita ini memang ke
Polindes,” Sofia ingin menambahkan tentang Yuli dan
ancaman Lukas. Sofia menahan dirinya untuk bicara
karena Bidan Ros sudah memperingatkannya bahwa Yuli
dan Lukas masuk ke dalam penanganan khusus.
“Makanya, ibu hamil juga harus punya buku KIA
singkatan dari Kesehatan Ibu Anak. Ibu-ibu semua
punya, kah? Nah bagus sekali.”

224
“Jaga baik-baik itu buku,” sambung Mina. “Karena
itu, buku pegangan ibu hamil sebagai petunjuk untuk
bidan, dokter, perawat, terutama ibu, suami, dan keluar­
ganya tentang diri ibu sendiri, serta segala hal yang
menyangkut ibu hamil. Lihat saja isinya ini ….”
“Jangan sampai itu buku kamu simpan di kebun atau
hilang entah di mana.”
“Yang penting ibu-ibu hamil harus siapkan diri baik-
baik untuk pergi melahirkan di Puskesmas PONED atau
Rumah Sakit PONEK,” kata Sofia dengan semangat.
“Coba jelaskan dulu itu PONED dan PONEK
itu benda apa?” Suara Mina membuat semua peserta
pertemuan tertawa. “Jelaskah, seringkali singkatan-
singkatan ini buat kepala pusing. Sofia masih ingat waktu
kita sosialisasi buku KIA di posyandu bulan lalu itu?
Pulang dari sana, di tengah jalan, orang-orang tanya Ibu
Kader PONED PONEK itu apa? Itu dokter, perawat,
atau semacam apa?” Saya balik tanya mereka, Bapa,
Mama ini tahu PONED PONEK dari mana? Mereka
jawab baca di depan Pustu, Polindes, di Puskesmas.
Memang repot juga, orang kesehatan itu hobby sekali
dengan singkatan-singkatan. Singkatan barangkali ba­
gian dari program hidup he he he. Tetapi, untung ada
singkatan jadi kita gampang omong. Kalau sebut terlalu
panjang juga kepala bisa pecah. Bagaimana tadi PONED
dan PONEK?”

225
“Sebaiknya, ibu bidan yang jelaskan. Soalnya
itu singkatan dari bahasa Inggris. Terus terang saya
gelap bahasa Inggris,” Sofia melempar PONED dan
PONEK ke Bidan Ros yang selalu tersenyum sepanjang
pertemuan. Dia merasa sangat didukung oleh semangat
para kader, ibu-ibu hamil, tokoh-tokoh masyarakat, dan
pengurus Desi atau Desa Siaga yang benar-benar siaga
dalam mendukung ibu hamil dan bayinya sehat dan
selamat.
“PONED itu singkatan dari Pelayanan Obstetri
Neonatal Emergency Dasar,” kata Ros.
“Itu artinya apa ibu bidan?” Seorang peserta rapat
mengacungkan tangan dan bicara.
“Itu artinya pelayanan pada bumil yang akan mela­
hirkan bayinya. Melahirkan itu serius, pasti, tidak
dapat ditahan, emergency. Semua terjadi pada waktunya,
karenanya harus segera ditolong. Segera tidak dapat
ditahan dan ditunda.”
“Selalu emergency! Butuh penanganan cepat dan
segera!”
“Harus di Puskesmas atau Rumah Sakit?”
“PONED dapat dilakukan di pusat pelayanan dan
fasilitas kesehatan yang memadai dan siap dua puluh
empat jam seperti Puskesmas. Kalau PONED emergency
dasar di Puskesmas, sedangkan kalau PONEK Pelayanan
emergency komprehensif di RSU.”
“Bisa di Polindes kita?”

226
“Bisa, sepanjang Polindes punya tenaga dan per­
alatan lengkap. Polindes kita bisa sebagai PONED, kalau
ada dokter, ada tenaga bidan, dan perawat sesuai aturan,
ada tenaga kesehatan lainnya, ada peralatan lengkap, dan
siap 24 jam sebab bidan serta perawat tinggal di sini.
Akan tetapi, kalau pasien dalam pantauan sejak awal
menunjukkan tanda-tanda risiko tinggi, pasien sudah
diberitahu bahwa kelahirannya dilakukan di Puskesmas
atau Rumah Sakit sebab di sana ada dokter dan ada
peralatan operasi yang tidak ada di Polindes kita,” kata
Bidan Ros.
“Kalau Polindes kita ada dokter spesialis tentu hebat
sekali,” sambung Sofia.
“Tahun 2050,” sambung peserta rapat diikuti tawa
peserta lainnya.
“Bisa! Kenapa tidak?” kata Bidan Ros. “Menunggu
kapan waktu itu tiba sangat bagus. Itu artinya, kita
punya semangat dan harapan. Akan tetapi, yang lebih
penting dari semua itu adalah kita mesti terima dan
hadapi apa yang ada. Dokter spesialis hanya ada di kota
kabupaten, itu pun hanya satu. Jadi, kita harus hadapi
yang ada sekarang. Yang paling penting ibu hamil sehat,
dukungan suami dan keluarga itu mendukung kesehatan
ibu hamil.”
“Jadi, Polindes kita bukan PONED?”
“Bukan! Karena tidak ada dokter, tenaga bidan, dan
perawatnya kurang, dan tidak ada peralatan lengkap.”

227
“Jadi, untuk apa ada Polindes?”
“Supaya dekat dengan masyarakat desa kita ini,”
kata Sofia. “Makanya ibu-ibu hamil datang periksa. Kalau
periksa, dari awal bidan sudah tahu apa saja yang harus
dijaga, kapan melahirkan, di Puskesmas atau di Rumah
Sakit.”
“Kalau rumah dukun bisa PONED,” salah satu pe­
serta mengacungkan tangan.
“Bisa!” jawab Sofia diikuti tawa para peserta per­
temuan.
“Serius! Rumah Dukun bisa PONED kalau … Kalau
rumah dukun itu sama dengan Puskesmas. Kalau ada
dokter, ada bidan, ada perawat, ada banyak tenaga lain,
ada laboratorium, ada obat-obatan lengkap, ada peralatan
lengkap, ada ruang rawat jalan dan ruang rawat nginap.
Ada mobil ambulance juga,” kata Sofia. “Coba angkat
tangan siapa dari antara peserta semua yang pernah ke
dukun dan PONED.”
“Di Rumah Dukun PONED, Mama Dukun bisa
operasi ibu hamil?”
“Bisa!” jawab Sofia. “Kalau itu dukun sudah sekolah
dokter sudah jadi spesialis kandungan. Nanti tenar bukan
main itu dukun. Semua ibu hamil melahirkan di Dukun
PONED.”
“Jangan mengada-ada, Mama Sofia.”
“Makanya pertanyaan juga jangan ada-ada,” jawab
Sofia.

228
“Menurut Ibu Kader siapa yang paling menentukan
pilihan ibu hamil untuk pergi melahirkan di Puskesmas
atau Rumh Sakit, atau dukun?”
“Harusnya ibu hamil sendiri yang sudah konsultasi
dengan bidan di Polindes kita. Tetapi, di kita punya
desa ini lain sama sekali. Yang justru lebih menentukan
itu anggota keluarga lain seperti mertua, paman, dan
keluarga suami. Apalagi jika suami jauh di rantau orang.”
“Jangan ungkit lagi kasus-kasus dulu. Biasa-biasa
saja karena hamil itu barang biasa.”
“Bukan hanya soal kehamilan yang menjadi soal,
tetapi masalah lain seputar perkawinan, hubungan antar­
keluarga, bahkan belis atau mas kawin.”
“Kader mulai tambah-tambah masalah urus orang
punya keluarga.”
“Siapakah keluarga! Siapa sebenarnya keluarga pada
saat ibu hamil risiko tinggi menderita setengah mati.
Siapa yang jadi keluarga saat rujuk, longsor, dan bencana
yang menghambat? Coba Bidan Rosa yang kasih jelas
soal ini.”
“Intinya, ibu hamil harus didukung oleh keluarganya
untuk melahirkan dengan selamat, sehat, dan senang. Ibu
datang dengan perut besar pulang dengan perut sudah
mengecil. Datang satu orang pulangnya dua orang, atau
tiga orang kalau bayinya kembar. Keluarga semuanya
senang, suami bahagia,” Ros menjelaskan dengan tenang.

229
“Kalau peran suami apa saja?” tanya salah seorang
peserta.
“Yang kamu tonton di televisi tuh, suami siaga
atau siap antar jaga. SIAGA!” kata Sofia. “Apa kepan­
jangannya?”
“Siap antar jaga,” sambut semua peserta. Ada yang
tersenyum ada yang tertawa ada yang biasa-biasa saja
saat mengeja siap antar jaga.
“Jadi, suami jangan hanya buat supaya istri hamil,
buat lagi hamil lagi, buat lagi hamil lagi,” kata Sofia se­
enaknya di tengah tawa ria peserta pertemuan. “Harus
ada tanggung jawab lahir batin.”
“Tanggung jawab bagaimana?”
“Dengar baik-baik ya saya baca ini,” Sofia membuka
buku Pedoman Revolusi KIA yang diperolehnya dari
Dokter Yordan saat dirinya menerima penghargaan
kader teladan. “Satu, mengingatkan dan mengantarkan
istri yang sedang hamil untuk memeriksakan keha­
milannya minimal empat kali selama kehamilan di bidan
atau dokter. Jadi, karena kita tinggal di desa, punya
Polindes, punya bidan dan perawat, bawa ke Polindes
sejak awal ibu hamil tahu hamil. Jangan tunggu tiga
bulan, lima bulan. Ingat! Sejak ibu sudah hamil, harus
segera datang.”
“Bagaimana kalau orang lain yang antar,” tanya
salah satu peserta.
“Terus suami buat apa saja?” tanya Sofia.
“Kami malu ibu kader!”

230
“Kamu yang punya istri ini maunya apa? Antar istri
saja malu.”
“Tidak biasa. Dari dulu juga kami tidak lihat bapak-
bapak repot antar istri hamil pergi periksa. Bapak itu
urus kerja banyak, cari nafkah, cari uang, rapat sana-sini,
urus adat.…”
“Duduk nongkrong juga sambil minum-minum tuak
di bawah pohon,” Sofia tertawa diikuti tawa ria peserta
rapat. “Ha ha ha mengaku jujur saja. Kalau nongkrong
berjam-jam itu bisa, tetapi antar istri hanya sebentar
saja, pakai alasan segala macam.”
“Kami itu bukan urus ibu hamil pergi periksa. Kami
urus hal-hal penting.”
“Ooooooooooh ini sudah ketangkap akhirnya bapak-
bapak punya mau, suami-suami punya pikiran. Jadi, bapa,
suami, om semua ini anggap hamil itu tidak penting,
kah? Ibu hamil yang harus urus dirinya sendiri? Enak
sekali!”
“Tidak perlu kami yang antar. Ada mama mantu, ada
saudari, ada tetangga baik. Sama saja, kah. Yang penting
itu antar bukan tidak antar.”
“Bisa! Tidak ada yang salah. Akan tetapi, sekarang
saatnya untuk melakukan hal yang berbeda. Suami
harus sedapat mungkin antar istri sejak awal, sejak K1
atau kunjungan pertama. Supaya suami tahu apa yang
dialami istrinya, risiko ada atau tidak, kehamilan mulus
atau tidak, kapan periksa lagi, kapan datang lagi, apa

231
yang harus dijaga, di mana melahirkan, apa yang harus
disiapkan dari awal memang,” Sofia terus bersuara.
“Silakan tanya pada Om Nadus. Tanya Om Nadus
bagaimana pengalamannya saat antar Mama Lisa almar­
hum ke Polindes. Kalau Om Nadus ikut semua pesan ibu
bidan, Lisa tidak mungkin mati. Tidak mungkin.”
“Ibu kader punya pengalaman bagaimana? Anak
tiga orang tuh suami ada antar periksa, kah?” Mina
menyambung tanpa diminta sambil berusaha menahan
tawa memperhatikan perubahan raut muka Sofia. “Suami
ada tunggu kah pada saat melahirkan?”
“Pertama suami tidak pernah antar periksa keha­
milan. Suami juga tidak antar dan tidak tunggu waktu
saya melahirkan,” kata-kata Sofia disambut tawa ria.
“Kedua, yang antar setiap kali periksa itu saya punya
mertua, saya punya mama, atau ipar-ipar atau saudari
perempuan,” kembali kata-kata Sofia disambut dengan
canda dan tawa.
“Ketiga, suami tidak antar, tidak tunggu waktu saya
bersalin. Suami hanya tinggal terima bayi pertama, bayi
kedua, bayi ketiga…” suara Sofia pun pecah dengan tawa
ria bersama-sama.” Jadi, suami enak-enak saja. Sama saja
dengan laki-laki semua yang ada di sini. Enak bukan
main! Istri melahirkan setengah mati, mereka aman-
aman saja,” suara Sofia diikuti dengan tawa ria peserta
pertemuan. Ros mencatat semuanya dengan hati gembira
membiarkan pertemuan itu berjalan jujur, sehat, dan ter­
buka.

232
“Keempat, saya sadar diri untuk sehat, sehat, dan
sehat, serta lahir pun sehat, bayi sehat bergizi dan semua
sekolah. Anak sulung sudah di Perguruan Tinggi, kedua
di SMA, dan bungsu di SD. Kurang apa?” Kembali kata-
kata Sofia disambut tawa ria. “Ada yang lucu, kah?“

233
14
Bulan di Langit Hitam

Sofia diam sampai semua peserta rapat diam dan


saling memandang satu sama lain. Betul suami tidak
antar sejak anak pertama sampai anak ketiga. Betul diri­
nya sendiri dan bayinya lahir sehat walafiat sejak dalam
kandungan. Dia menjadi kader sejak anak pertama lahir.
Sejak zaman kepedulian terhadap ibu hamil ber­
langsung secara alamiah dan konvensional. Hamil itu
hal yang biasa-biasa saja. Punya anak adalah hal yang
diharapkan oleh setiap keluarga baru dan segenap
keluarga lain. Pada zamannya, semua keluarga peduli
secara otomatis tanpa diminta. Ibu boleh melahirkan
bebas saja di dukun pun jadi. Tidak ada kasus yang perlu
dikhawatirkan.
Kalau ada ibu meninggal setelah melahirkan, kalau
ada bayi meninggal setelah dilahirkan, kalau bayi dan ibu
meninggal dengan bayi masih tetap dalam kandungan
ibu, juga hal yang biasa dipandang sebagai takdir. Tidak
ada masalah yang perlu dipersoalkan. Lain dulu lain
sekarang, bukan?

234
“Tahukah kalian semua,” Sofia menunjukkan ekspre­
si serius saat bicara. “Bahwa sejak hamil anak pertama
sampai hamil anak saya yang ketiga, jauh dalam saya
punya hati yang paling dalam, saya sebenarnya…
sebenarnya….”
“Sebenarnya apa?”
“Ingin hanya suami saja yang antar saya,” tawa ria
pecah lagi.
“Saya punya suami yang antar, yang tunggu, yang
jaga…pokoknya serba suami,” kata Sofia tanpa peduli
tawa ria yang mengiringinya. “Suami belahan jiwa. Susah
senang, sakit sehat, untung malang, melahirkan maupun
tidak melahirkan, hamil, lahir, menyusui, pokoknya serba
suami. Yang lain seperti mertua, orang tua, kakak atau
adik, ipar atau tetangga semuanya masuk urutan kedua.
Suami urutan pertama.”
“Tidak ada bukti he he,” terdengar suara dari
peserta.
“Pemerintah nih salah!” suara Sofia meninggi. “Itu
yang namanya suami SIAGA atau siap antar jaga tuh
mesti dari dulu sudah ada. Terlalu terlambat itu SIAGA
datang. Kalau saya hamil dulu sudah ada SIAGA pasti
suami saya di depan, sekali lagi di garis depan! Yang lain
silakan minggir ha ha ha...” Sofia tertawa sendiri. “Coba
saya tanya ke ibu-ibu hamil. Mau pilih yang mana? Suami
yang SIAGA atau orang lain yang SIAGA? Jawab jujur.”
“Suamiiiii,” jawaban serentak.

235
“Saya tanya ke bapak-bapak yang ada di sini. Siap
tidak menjadi suami SIAGA. Jawab jujur!” tanya Sofia
sambil menanti jawaban.
“Siap,” beberapa orang menjawab dengan suara
rendah.
“Siap tidak! Suara keras, coba jawab!” Pertanyaan
dijawab dengan malu-malu dan tidak serentak. “Ini
contoh nyata suami yang masih berpikir zaman dulu.
Ingat sekarang itu harus SIAGA.”
“Hamil lagi saja! Supaya ibu kader bisa rasakan
bagaimana suami SIAGA.”
“Sayangnya, saya punya anak sudah tiga orang.
Saya punya umur sudah 39 tahun. Coba kalau anak baru
satu umur belum 35 saya pasti tancap gas punya anak
lagi. Ada SIAGA, ada PONED, ada PONEK, semuanya
memberi harapan dan pasti aman dan nyaman.”
“Nekat saja ibu kader. Tambah satu lagi biar anak
jadi empat orang.”
“Saya sebenarnya hanya dua anak karena ikut KB.
Syukur puji Tuhan saya dapat tiga orang. Cukup sudah.
Sekarang perhatian saya khusus urus dan didik anak
sekolah semua, biar besok-besok punya masa depan, dan
kalau bisa sambil jadi kader seperti saya ini. Kalau mau
tambah anak lagi, apakah kamu yang mau kasih biaya?”
“Nekat saja supaya suami bisa SIAGA!”
“Saya ini kader yang sudah belajar untuk tahu batas
melahirkan itu umur 35. Lewat umur 35 itu berarti
saya langgar aturan “empat terlalu”, yaitu terlalu muda,

236
terlalu sering, terlalu dekat jaraknya, dan terlalu tua.
Saya kena yang terlalu tua. Saya punya muka mau taruh
di mana? Jadi, kader yang omong di mana-mana supaya
hindar itu empat terlalu kenapa saya harus langgar?”
“Silakan tanya ibu-ibu hamil ini. Di dalam hati setiap
ibu hamil selalu harap suami ada, selalu ada. Seperti
kesepakatan hamil karena buat sama-sama, maka hamil
sembilan bulan, lahir, dan besarkan anak-anak bersama-
sama. Setuju?”
“Setujuuuuu,” suara ibu-ibu.
“Pulang rumah nanti bicara lagi dengan suami
tuh. Aturan suami SIAGA. Tidak usah malu datang ke
Polindes untuk periksa kehamilan, timbang bayi, dan lain
sebagainya.…”
“Kalau suami tidak ada bagaimana?”
“Keluarga harus ambil bagian untuk antar dan
bawa ibu hamil datang periksa,” Sofia menjelaskannya
dengan pasti. “Sebelum lupa saya mau lanjutkan tugas
suami yang saya baca dalam buku ini. Dengar baik-baik
ya. Suami juga bertugas mengantar istri dan bayinya
ke posyandu setiap bulan. Mengantarkan anggota
keluarganya berobat ke perawat, bidan atau dokter bila
sakit. Melaporkan ke desa bila ada anggota keluarga
yang lahir atau mati. Mengambil keputusan untuk rujuk
bila ada komplikasi. Jelas?”
“Semua jelas ibu kader!” suara seorang bapak.
“Tetapi kalau antar istri anak setiap bulan ke Posyandu,
itu yang sulit! Jangan marah saya tetap tidak bisa.”

237
“Oh, bila perlu suami sebagai bapak bisa antar
bayinya ke Posyandu kalau istri ada halangan.”
“Aduh, masalah besar. laki-laki ke Posyandu!”
“Masalah besar apa? Hanya karena tidak biasa.”
“Itu masalahnya! Posyandu itu urusan perempuan
mana mungkin laki-laki ikut ke Posyandu. Dunia sudah
terbalik, kah?”
“Terus kalau suami malu antar istri periksa hamil,
malu antar istri bersalin, malu gendong bayi, malu antar
istri anak ke Posyandu. Malu semua. Yang kamu para
suami tidak malu itu apa?” Sofia tertawa dan peserta
pun tertawa. “Kalau saya baru hamil sekarang dan suami
malu, dan tidak mau antar saya karena malu, lihat saja!”
“Mau tendang suami?”
“Bukan! Saya mau gantung dia di atas pohon tuak,”
Sofia tertawa dan semua yang hadir pun tertawa.
Selanjutnya, Bidan Ros berbicara tentang pentingnya
perhatian dan kepedulian suami. Orang terdekat dengan
bumil adalah suaminya.
“Kita harus berani mulai dengan tradisi baru.
Antar istri pergi periksa dan tahu persis apa yang
terjadi dengan istri dan kehamilannya. Semuanya mesti
direncanakan dengan baik dan hasilnya akan jauh lebih
baik,” kata Bidan Ros sambil menyapu pandangannya ke
semua peserta.
“Kalau suami tidak ada atau maaf sesuatu yang
menyedihkan kehamilan yang terjadi di luar nikah, ke­
hamilan tanpa tanggung jawab pihak laki-laki, kon­

238
sentrasi kita tetap pada ibu hamil agar sehat dan selamat.
Bagaimana?”
“Kami berusaha ibu,” seorang peserta bicara dengan
serius. “Meskipun sulit kami berusaha untuk meyakinkan
diri sendiri juga para suami yang istrinya hamil supaya
SIAGA atau siap antar jaga itu.”
“Tepuk tangan,” Sofia memotong dengan tepuk
tangan meriah bersama segenap peserta. “Begitu yang
terbaik. Desa kita ini pasti bebas kematian ibu dan bayi.
Sekali lagi desa kita akan menjadi contoh bebas kematian
ibu bebas kematian bayi. Contoh suami SIAGA nomor
satu. Tepuk tangan sekali lagi.…”
“Boleh tanya?” Seorang ibu hamil mengacungkan
jari pada saat tepuk tangan mereda dan berhenti.
Dengan malu-malu di antara bumil lainnya yang duduk
berdampingan, ia bertanya. “Nama saya Ibu Ani istri
dari Om Frans kakak dari Dion. Tentang mengambil
keputusan untuk rujuk kalo ada komplikasi.”
“Apa pertanyaannya?”
“Kenapa harus suami yang ambil keputusan?” tanya
Ibu Ani. “Mohon maaf seringkali kalau rujuk suami
juga tidak bisa ambil keputusan kalau mertua, paman,
atau keluarga lainnya tidak memberi izin untuk rujuk.
Bagaimana ini?”
“Ibu Ani maunya siapa yang ambil keputusan?”
tanya Sofia.
“Pertama, ibu hamil. Kedua, bidan. Ketiga, suami.
Keempat, anggota keluarga lain.”

239
“Kenapa urutannya begitu? Ibu hamil, bidan, suami,
baru anggota keluarga lain?”
“Pertama, ibu hamil karena ibu hamil yang paling
tahu kondisi dirinya. Sakit, lemas, pendarahan, ketuban
pecah, capek, pusing, ibu hamil yang paling rasa. Se­
muanya harus disampaikan ke bidan atau petugas ke­
sehatan lainnya. Karenanya, bidan di urutan kedua.
Bidan dan ibu hamil harus sampaikan kepada suami,
selanjutnya suami, ibu hamil, dan suami bersama-sama
dengan kepastian rujuk itu. Anggota keluarga lain pada
urutan keempat kalau suami tidak ada di tempat, sakit,
atau ada masalah lain. Urutan keempat tetap keempat
tidak dapat melampaui ibu hamil, bidan, dan suami.
Begitu menurut saya.”
“Boleh tambah kah ibu?” sambung ibu hamil lainnya.
“Boleh! Bagus sekali ibu-ibu bisa bicara sendiri. Ini
luar biasa,” Sofia dan Bidan Ros memuji. “Silakan!”
“Saya setuju dengan Ibu Ani. Kami tidak punya
maksud kasih hilang peran suami dan keluarga dalam
mengambil keputusan rujuk. Kami tetap junjung tinggi
suami dan keluarga. Hanya sebagai ibu hamil yang
rasa hamil dan melahirkan itu bagaimana sakit dan
senangnya, kami mohon izin soal rujuk itu tanya kami
juga. Sudah ada banyak contoh di desa-desa lain rujuk
terlambat karena masih tunggu suami tanya mertua,
tanya paman, tanya keluarga. Waktu keputusan diambil,
ibu hamil sudah parah, dan hasilnya ibu meninggal,

240
bayi meninggal, atau keduanya meninggal. Sudah ada
contoh.”
“Bagaimana bapak-bapak? Setuju?”
“Ada benarnya,” seorang bapak bicara.
“Setuju atau bagaimana?” desak Sofia.
“Setuju? Betul atau tidak?”
Sebagian bapak menjawab setuju sebagian yang
lain tidak menjawab. “Dunia sudah terbalik. Bagaimana
bisa istri-istri mau lebih-lebih dari suami,” simpang siur
komentar peserta laki-laki. “Ya mudah-mudahan saja
semua kita bisa omong ini omong itu supaya ada jalan
keluar terbaik untuk ambil keputusan rujuk.”

***
Pertemuan hari itu berlangsung dengan gembira.
Semua peserta merasa puas. Para kader desa, di antaranya
Martin, Magnus, dan Dion, juga terlibat, demikian juga
Nadus suami Lisa almarhumah. Nadus tidak kembali lagi
ke Malaysia. Dia putuskan tinggal di Desa membesarkan
kedua anaknya. Ros bersyukur untuk satu hal ini, bahwa
masih ada waktu untuk menyesali kematian.
Penyesalan itu terasa pahit, namun sehitam apapun
penyesalan, masih ada harapan untuk percaya bahwa
pada langit itu bulan tetap ada. Sudah beberapa kali
didapatinya Om Nadus ikut dalam pertemuan desa.
Semua peserta terdiam saat Nadus bicara.
“Contoh terlambat rujuk itu pasti saya punya istri,
Lisa. Contoh tiga terlambat dan empat terlalu juga Lisa.

241
Saya mohon maaf tidak dapat memberi teladan yang
baik. Saya harap tidak ada lagi yang menjalani hidup
seperti saya dan Lisa. Pertemuan hari ini serius dan
mudah-mudahan benar-benar desa kita bebas kematian
ibu dan bayi,” kata-kata Nadus disambut tepuk tangan
meriah.
“Tentang keputusan rujuk sangat serius. Saya harap
Ibu Bidan Ros, kader, bapa desa, bersama ibu hamil dan
keluarga bisa sepakat soal ini. Upayakan satu cara yang
disepakati bersama tentang persiapan sebelum dan
sesudah melahirkan demi keselamatan semua ibu, bayi,
dan kita semua,” selanjutnya Nadus terdiam beberapa
saat.
“Perlu semacam kesepakatan yang kita buat ber­
sama. Kesepakatan semua keluarga di desa kita untuk
menyelamatkan ibu hamil, bayi, juga menyangkut kese­
hatan jiwa raga masyarakat desa kita,” kata-kata Om
Nadus disambut tepuk tangan lebih meriah.
“Apakah ada tambahan dari Bapa Dokter?” tanya
Ros sambil mengarahkan pandangannya ke belakang
diikuti semua peserta lainnya. Dokter Yordan duduk di
kursi paling belakang. “Ada dokter?”
“Semuanya sudah sangat bagus,” Yordan berdiri dan
bertepuk tangan. “Ayo tepuk tangan untuk kita semua.
Juga tepuk tangan khusus untuk Om Nadus yang bicara
bagus sekali tentang desa kita bebas kematian ibu dan
bebas kematian bayi. Semua usul ini harus ditindaklanjuti

242
dengan kesepakatan keluarga yang Om Nadus usulkan
tadi,” tepuk tangan dari semua peserta.
“Dokter!” seorang ibu mengacungkan tangan.
“Silakan Ibu.”
“Supaya Polindes jadi apa tadi namanya yang sama
dengan Puskesmas. Apa namanya kuned?”
“PONED!”
“Itu dia PONED. Supaya Polindes kita di sini jadi
PONED dokter pindah ke sini saja. Kerja di Polindes.”
“Setujuuuuu…” seruan disertai tepuk tangan.
Dokter Yordan pun tepuk tangan.
“Asal Bidan Rosa juga setuju,” kata Yordan sambil
tertawa. “Bagaimana Bidan Ros?”
“Saya sangat setuju,” Bidan Ros tertawa gembira
bersama peserta lain.
“Pertemuan yang luar biasa,” Yordan menguasai
ke­adaan yang ramai dengan simpang siur komentar
peserta. “Tepuk tangan sekali lagi,” kata Yordan. “Kalau
semua kader dan semua warga desa seperti desa kita
ini, saya berani jamin tidak ada air mata untuk ibu dan
bayinya. Saya bangga sekali mendengar diskusi yang
bebas dan terbuka tadi. Mama Sofia, Mina, ibu-ibu dan
bapak-bapak semua, luar biasa. Memang betul kata
Mama Sofia bahwa urusan ibu hamil dan bayinya itu lain
dulu lain sekarang.”
“Zaman berubah.”

243
“Ya zaman sudah berubah,” kata Yordan. “Di kam­
pung saya di Timor dulu orang takut bawa ibu hamil
muda untuk periksa. Sama dengan di sini orang takut
bayinya dicuri setan halus. Orang sini bilang ata polo43?
Sama dengan di kampung saya. Jadi, ibu hamil pergi ke
dukun. Ibu hamil diam saja sampai sudah lima bulan
baru pergi ke Polindes atau Puskesmas atau Rumah Sakit
karena mereka takut. Apalagi mau pasang stiker atau
bendera tanda bahwa ada ibu hamil di dalam rumah.
Mustahil. Karena orang takut ata polo.”
“Sekarang, tidak perlu takut?”
“Zaman sudah berubah.”
“Ya. Dulu gelap, tidak ada listrik, jarak antara
rumah-rumah jauh. Desa sunyi sepi. Kendaraan tidak
ada dan hanya ada kuda atau jalan kaki. Sekarang ada
listrik, terang, ada hand phone atau HP itu, bisa SMS, bisa
telepon, ada sepeda motor pribadi, ada motor ojek, ada
bemo, truk, travel44. Jalan-jalan meskipun belum bagus
betul, tetapi sudah bisa dilewati kendaraan. Karenanya,
memang harus berbeda dengan dulu.”
“Siap antar jaga atau SIAGA kapan saja pagi siang
maupun malam.”
“Ya. Saya senang sekali. Mudah-mudan Ibu Bidan
Ros bisa catat semua hasil pertemuan hari ini untuk
kita bahas bersama-sama nanti. Khusus untuk Om
43
Ata polo: makluk halus yang dapat mencelakakan manusia menurut
kepercayaan lama, lokal.
44
Travel: sebutan untuk taksi yang membawa penumpang dari satu kota ke
kota yang lain.

244
Nadus, terima kasih ide tentang kesepakatan keluarga
yang mesti dirancang. Ya, kita buat sendiri kesepakatan
keluarga, dan kita juga yang akan menjalaninya nanti.”
“Namanya Kesepakatan Keluarga Desa,” sambung
salah satu peserta.
“Ya, Kesepakatan Keluarga Desa,” kata Yordan. “Kita
akan menyusunnya bersama-sama nanti. Sekarang kita
catat dulu hal-hal penting dari pertemuan tadi. Begitu
pula dalam pertemuan berikutnya, kita akan catat lagi
sehingga bahan lebih banyak.”
“Termasuk Polindes koned?”
“PONED!”
“Oh ya kita buat Dokter Yordan dan Bidan Rosa
jadi satu tim PONED di Polindes Bakung bagaimana?
Bagaimana kalau keduanya jadi PONED di Puskesmas
Flamboyan?” Semua peserta setuju dan tertawa gembira
dengan guyonan di akhir pertemuan itu.

***

Menurut Martin, Om Nadus, Dion, Magnus, Mama


Sofia, Mina dan kader desa lainnya, untuk membuat
sebuah kesepakatan di desa mereka perlu keterlibatan
semua warga. Perlu dilakukan beberapa diskusi dan
dialog terbuka lebih lanjut.
“Bila perlu manusia seperti Lukas juga terlibat,” kata
Mama Sofia.

245
“Ya, soalnya yang tukang protes selama ini hanya
Lukas dan sekitarnya.”
“Saya yang akan bicara dengan dia,” kata Om Nadus.
“Supaya dia juga hadir dalam pertemuan berikut.”
“Kesepakatan keluarga perlu sekali dan pasti dipa­
tuhi jika diangkat berdasarkan berbagai problem, tujuan,
sasaran, dan harapan pembuat kesepakatan,” kata Om
Martin. Mereka pun sepakat bicara dengan Bidan Ros,
Dokter Yordan, Kepala Desa, dan Pengurus Desa Siaga.
“Perlu ada pertemuan dan diskusi terbuka beberapa
kali ini.”
“Ya, diperlukan hati yang ringan dan tanggung
jawab untuk meyakinkan secara terus-menerus. Per­
soalan di lapangan pasti dapat diatasi bersama. Tu­juan­
nya hanya satu ibu dan bayi selamat.”
“Harkat dan martabat ibu dan bayi,” kata Om
Martin.
“Sama artinya dengan harkat dan martabat kita
juga,” sambung Om Nadus. “Khusus mengenai rujuk
perlu dijelaskan kepada segenap warga.
“Bukan hanya soal rujuk ke Puskesmas PONED
atau Rumah Sakit PONEK,” kata Bidan Ros. “Tetapi,
dalam banyak hal ibu hamil perlu didengar keluhannya.
Lihat saja, selama sembilan bulan hamil. Baru tiga bulan
melahirkan sudah hamil lagi. Tidak tahu apa gunanya
KB atau keluarga berencana. Ibu menderita tidak ada
yang tahu. Padahal kita semua tahu bahwa ibu hamil
layak merasa bahagia dengan kehamilannya. Karena itu,

246
dukungan suami dan segenap anggota keluarga sangat
berarti.”

***

“Biasa saja Ibu Bidan, tidak perlu berlebihan,” kata


Lukas yang juga hadir dalam pertemuan lanjutan.
“Sekali lagi ibu hamil harus didengar, jangan biarkan
dia sendiri menderita menunggu keputusan yang tidak
pasti. Dengar juga dia! Sebab keluhannya dipahami
bidan. Dengar juga bidan. Suami segera ambil tindakan
dan keluarga siap untuk mencari jalan tercepat menuju
pusat pelayanan kesehatan terdekat. Dengan demikian,
keputusan untuk rujuk bila terjadi komplikasi ada juga di
tangan ibu hamil. Saya harap, Bapa, Mama, dan hadirin
semua kompak dan setuju akan hal ini. Kita harus
berani jujur untuk belajar dari masa lalu, ” Om Martin
menyambung kata-kata Bidan Ros.
“Tetapi, bagaimana kami bisa tahu bahwa harus
dirujuk. Bagaimana kami bisa tahu lahir kapan? Bagai­
mana kami bisa tahu apa yang terjadi dengan kami punya
istri dan bagaimana caranya bidan bisa tahu?” tanya
Lukas.
“Kribo sudah antar istri ke Polindes?” tanya Mama
Sofia. “Sudah bicara jujur dengan bidan tentang istri
punya keadaan? Kalau mau tahu, datang ke Polindes
antar istri.”
“Tidak usah tanya bicara atau tidak. Tetapi, soal
hamil bukan urusan kami laki-laki, hamil itu urusan

247
perempuan. Perempuan yang rasa bukan kami. Jadi, kami
mau tahu bagaimana? Kalau kami yang hamil pasti lain
ceritanya,” suara Lukas yang diikuti tertawa dengan
senda gurau.
“Biar perut saya gendut begini, jangan kira saya
hamil. Tetapi, kalau memang hamil syukuuuur,” sam­
bung Om Frans dan tawa pun meledak. “Biar baku ganti
dengan mama-mama. Hamil saja repot bukan main,
padahal zaman dulu biasa-biasa saja. Sekarang kami
semua dibuat bingung karena dibuat luar biasa. Jadi,
pusing ini kepala,” sambung Om Frans.
“Supaya tidak pusing, gampang caranya,” Sofia
bicara ketika suasana riuh kembali tenang. “Yang sudah
punya dua anak cukup sudah. Bapa-bapa ini kalau belum
dapat anak laki-laki, biar istri sudah tidak ada tenaga
lagi, nekat hamil lagi hamil lagi cari anak laki-laki.
Coba yang ketiga, perempuan, keempat perempuan,
mimpi anak kelima laki-laki, perempuan lagi. Mimpi lagi
anak keenam laki-laki, eh yang keluar perempuan lagi.
Pusing, kah? Bapa-bapa kira istri tidak pusing dan sakit
tanggung semua sendiri. Sekarang era kesetaraan gender
laki-laki perempuan sama saja.”

***
“Apa kesetaraan gender?” tanya Lukas.
“Pintar sekali Mama Sofia,” sindir Lukas. “Mama
Gonz, Mama Falentina, bahkan Bidan juga kalah sama
Mama Sofia yang tahu semua.”

248
“Itu artinya hubungan yang setara, seimbang, sama
antara laki-laki dan perempuan. Lahir anak laki-laki sama
saja dengan lahir anak perempuan. Anak laki-laki tidak
lebih tinggi derajatnya dari anak perempuan, demikian
juga sebaliknya anak perempuan tidak lebih tinggi dari
anak laki-laki. Jadi, kalau sudah punya anak dua dan dua-
dua perempuan tidak perlu hamil lagi untuk cari anak
laki-laki,” kata Martin.
“Itu urusan kami,” sambar Lukas. “Gender itu se­
jenis apa? Para kader tahu adat atau tidak tahu? Anak
laki-laki dalam adat berdiri di depan. Mau ganti dengan
perempuan aturan dari mana? Mau sekolah tinggi sampai
di langit juga akhirnya dibelis orang. Biar jadi bidan
hebat dan terkenal di seluruh dunia juga tetap masuk
dapur. Jadi, jangan heran kalau kami mau anak laki-laki
dan kalau belum dapat, jangan harap kami stop.”
“Jadi Lukas, kamu kira saya tidak tahu adat?” Mama
Sofia menyambung.
“Kalau tahu ya tinggal akui saja kalau memang anak
laki-laki penting dalam adat.”
“Itu dulu Lukas, zaman sudah berubah! Sekarang ini
laki-laki perempuan sama saja.”
“Siapa yang bilang sama?”
“Zaman!”
“Zaman apa? Zaman sudah gila? Adat tetap
adat. Laki-laki tetap kali-laki dan kalau ibu kader
tahu adat, pasti mengerti betul bagaimana adat harus

249
berjalan dengan laki-laki yang berdiri di depan bukan
perempuan.”
“Laki-laki perempuan sama saja!”
“Dalam adat tetap tidak sama!” sambar Lukas lagi.
“Jadi, istri harus korban untuk hamil lagi hamil lagi
supaya lahir anak laki-laki?”
“Ya, harus! Ini kesepakatan suami istri bukan
kesepakatan sepihak saja.”
“Kamu tidak tanya istri bagaimana beban yang
ditanggungnya hamil lagi hamil lagi?”
“Justru kami punya istri yang mau hamil dan cari
anak laki-laki.”
“Oh begitu? Kalau sembilan anak perempuan semua,
apakah masih cari anak ke sepuluh yang dimimpikan
laki-laki?”
“Tambahan lagi,” Mina mengacungkan tangan.
“Melahirkan itu ibarat hidup atau mati. Ibu-ibu yang
sudah melahirkan pasti merasakannya. Bagaimana?”
“Biasa-biasa saja, ibu kader! Jangan terlalu serius,”
jawab seorang Bapak.
“Kami sudah mengerti jadi ibu kader tidak usah
panjang lebar lagi. Zaman dulu mama-mama lahir
sampai dua belas orang tidak mengeluh dan repot
seperti sekarang. Zaman dulu tidak ada Posyandu, tidak
ada Polindes, tidak ada PONED, PONEK juga tidak ada
macam-macam kader. Menurut saya kalau bicara itu
tidak usah lebih-lebih, seolah-olah kami laki-laki ini salah
semua. Jadi cukup sudah, kami mau pulang sekarang

250
sudah sore. Sudah syukur kami mau datang rapat di sini.
Jadi, jangan buat kami tersinggung,” suara pembicara
ditengarai dengan bisik-bisik dan diakhiri dengan gu­
maman serta gaung pro dan kontra.
“Ayo bubar, bubar, pulang, pulang,” Lukas berusaha
membubarkan pertemuan. Semantara itu, Nadus hanya
diam menatap wajah Lukas lekat-lekat. Dia mendekati
Lukas dan bicara singkat agar Lukas diam.
“Lukas! Kamu baru muncul satu kali, sudah suruh
orang-orang bubar. Enak bukan main!” seru Mama Sofia.
“Kamu punya istri yang namanya Yuli itu sudah
periksa di mana? Sudah hamil tuh ada sadar datang
periksa, kah? Waktu kami pergi kunjungan rumah, eng­
kau yang suami tuh ada di mana?”
“Urusan saya,” kata Lukas.
“Kalau begitu jangan atur urusan kami di sini,” kata
Sofia. “Jangan buat rusak suasana.”
“Saya sudah bilang, saya punya istri tidak perlu
periksa di sini. Bidan lain, Polindes lain, Puskesmas lain
juga ada,” sambar Lukas. “Jadi jangan repot!”
“Catat baik-baik ini,” Mama Sofia berbicara keras.
“Masukan dalam kesepakatan keluarga di desa kita nanti.
Kerja sama dan dukungan warga. Siapa saja warga desa
ini yang tidak mau kerja sama silakan pindah ke desa
lain.”

***

251
“Saya harap pertemuan kita ini membawa berkat
bagi kita semua. Juga untuk Yuli istrinya Lukas dan
Lukas,” suara Bidan Ros. “Satu saat nanti Om Lukas
pasti mengerti dan bergabung bersama bapak-bapak
kader. Percaya saja. Menurut saya, semua warga desa
ini baik-baik. Bapa, Mama, kakak, adik semuanya baik
hatinya dan peduli. Masalah Mama Lisa adalah pelajaran
berharga untuk kita semua. Om Nadus sendiri sudah
berterima kasih dan bergabung dengan kader. Ke depan
pasti lebih baik. Terima kasih ya Lukas, sudah datang ke
pertemuan ini.”
“Lihat saja! Ibu Bidan Ros saja bilang berkat juga
bagi saya dan saya punya istri,” kata Lukas. “Mama kader
mau lebih-lebih.”
“Sudah jelas Ibu Bidan baik juga dengan Lukas. Jadi,
Lukas jangan kabur lagi, mari gabung dan pikir sama-
sama. Kami setuju jika ibu hamil juga ditanya apa yang
dirasakannya,” kata Om Frans.
“Kami biasa diam dan ikuti saja kebiasaan yang
sudah ada. Jadi, agak janggal bagi kami untuk buat lain.
Ya, kami akan berusaha ikut saran ibu bidan dan ibu
kader yang panjang lebar tadi. Memang benar soal ikut
program KB, apalagi soal rujuk selayaknya pertama lihat
kondisi ibu hamil dan tanya padanya. Tetapi, ibu hamil
yang dalam keadaan tidak berdaya lagi, tidak mungkin
jalan sendiri ke Puskesmas PONED. Betul tidak? Jadi,
tetap saja dan betul semua harus bertanggung jawab.”

252
“Betuuul,” suara sebagian besar dari kelompok para
bapak.
“Saya bisa tambah,” Mama Gonz berdiri dan me­
mohon izin untuk bicara. “Sebelum lupa dan sebelum
kita salah paham soal dulu dan sekarang. Maaf, maaf, dan
maaf.”

***

“Omong sudah Mama Gonz....”


“Begini, saya mau kutip apa yang disampaikan salah
satu peserta tadi. Dulu mama-mama lahir sepuluh atau
dua belas, lahir banyak anak tanpa Polindes, apalagi
PONED dan PONEK. Saya sudah tolong ibu beranak,
eh melahirkan sudah tidak bisa hitung, tidak hanya di
desa kita tapi juga di desa-desa lain. Semua orang juga
tahu, saya ini terkenal sebagai perawat, bidan, dan dukun
bayi. Saya sudah tolong melahirkan di mana-mana. Kamu
semua tahu saya ini siapa?”
“Tahuuuu lanjut sudah Mama, jangan lama-lama
lagi.”
“Kalau ada bapak-bapak yang hamil dan mau
bersalin, saya juga bisa tolong. Ha ha ha,” suara Mama
Gonz disambut tawa ria sehingga suasana tegang akibat
kemarahan Lukas kembali cair. “Dari dulu kala, saya
doa sampai tikam kepala supaya ganti saja, bapak yang
hamil, bapak yang beranak eh melahirkan, bapak yang
kasih susu anak pake mereka punya susu yang hanya ada
ujungnya saja tuh, ha ha ha.”

253
“Lanjut Mama Gonz.”
“Tapi pengaruh doa sampai tikam kepala tuh jadi
Tuhan malas kabul saya punya doa. Saya menyesal
seandainya saya doa biasa-biasa saja dengan tekun tidak
perlu tikam kepala ke bawah dan kaki ke atas, pasti
sudah terjadi. Biar kamu bapak-bapak tahu rasa sedikit
melahirkan itu bagaimana sakitnya ha ha ha,” Mama
Gonz tertawa dan beberapa saat suasana pertemuan
menjadi riuh rendah oleh berbagai komentar, terutama
jika Tuhan bertitah supaya bapak-bapak hamil, mela­
hirkan, dan menyusui.
“Entah lewat mana bayi bisa keluar, tinggal lihat saja
ha ha,” Mama Gonz ambil napas sejenak sebelum bicara
serius.
“Semua juga sudah tahu saya ini dukun. Tetapi, tidak
ada yang tahu berapa ibu yang meninggal pendarahan
atau sakit lainnya pada saat beranak eh melahirkan.
Berapa banyak bayi yang meninggal dalam perut juga
yang meninggal setelah beberapa jam menghirup udara
dunia. Berapa banyak ibu dan bayi yang saya angkat
tangan karena ada gangguan lain. Setelah saya menjadi
dukun terlatih. Saya ini dukun terlatih oleh Dinas
Kesehatan. Semua tahu? Setelah terlatih baru saya
mengerti apa yang namanya komplikasi. Darah tinggi,
berat badan rendah, malaria, keracunan kehamilan,
pendarahaan, sesak napas, dan macam-macam lagi. Kalau
sudah seperti itu saya punya tugas untuk lapor bidan.”

254
“Oh, jadi tugas mama dukun sekarang sudah ber­
beda? Sesuai zaman, kah?”
“Ya, ini namanya perkembangan zaman untuk hidup
lebih sehat lebih baik,” kata Mama Gonz.
“Mana Ibu Kader Sofia coba engkau baca itu buku
tentang tugas dukun. Maaf saja saya ini terlalu banyak
pengalaman, jangan ketawa. Ini hampir semua eh semua
laki-laki termasuk itu Lukas yang banyak omong itu,
saya yang kasih keluar dari kamu punya mama punya
perut,” suara Mama Gonz disambut dengan tawa lagi.
“Ada yang ketawa saya? Ibu kader baca dulu,” wajah
Mama Gonz yang serius justru diterima dengan senyum
dan tawa para ibu dan bapak-bapak.

255
15
Kesepakatan untuk Kita

P
“ ertama,” Sofia mulai membaca. “Mengingatkan
ibu hamil untuk memeriksakan kehamilannya minimal
empat kali selama kehamilan ke bidan atau dokter. Kedua,
mengingatkan ibu untuk melahirkan di Puskesmas
PONED atau Rumah Sakit PONEK. Dengan catatan
bila lokasi tempat tinggal jauh dari fasilitas kesehatan
yang memadai, menyiapkan diri untuk tinggal di rumah
tunggu.”
“Mama Gonz tugasnya seperti dokter,” suara se­
orang laki-laki peserta rapat.
“Rumah tunggu? Apalagi? Ada-ada saja,” sambung
Frans. “Bilang saja rumah keluarga yang dekat dengan
Puskesmas atau rumah kenalan, mau pakai istilah rumah
tunggu.”
“Dengar dulu,” sambung Mama Monika. “Ibu kader
belum selesai bicara.”
“Ketiga, mengingatkan keluarga untuk mengantarkan
ibu melahirkan di Puskesmas PONED atau Rumah Sakit
PONEK.”

256
“Bukan ke Polindes? Puskesmas jauh sekali. Kalau
bisa ke Polindes kenapa harus Puskesmas? Ada-ada saja.”
“Polindes kita ini sebenarnya Puskesmas Pembantu,
bisa juga, sepanjang hamil dan melahirkan normal. Kalau
Puskesmas kita ini PONED atau lengkap alatnya lengkap
tenaganya, semuanya bisa di sini saja. Akan tetapi, aturan
baru harus melahirkan di Puskesmas PONED atau RSU
PONEK.”
“Pemerintah nih ada-ada saja. Buat aturan turut
suka,” sambung salah satu peserta.
“Karena tidak semua Polindes bagus, tidak semua
bidan terampil seperti Bidan Ros.”
“Betul! Tidak semua bidan pintar dan cantik seperti
kita punya bidan.”
“Tidak semua Polindes bagus seperti kita punya.”
“Oh begitu?”
“Sedapat mungkin bumil melahirkan di Puskesmas
PONED atau RSU PONEK,” Ros menjelaskan lebih
lanjut. “Tugas dukun, tugas kader, tugas kita semua
untuk menyelamatkan ibu dan bayinya sehat dan selamat.
Termasuk dampingi bumil yang akan melahirkan.”
“Sudah mau rampas peran suami dan keluarga.
Mulai kira-kira suami dan keluarga malas tahu keadaan
ibu hamil yang mau lahir anak, jadi perlu orang itu kasih
ingat,” suara Lukas lagi.
“Bapa-bapa ini protes terlalu banyak,” terdengar
suara dari kelompok mama-mama.

257
“Tahu sedikit, tapi omong banyak, protes lagi!”
Masih dari kelompok mama-mama.
“Hei, omong apa itu? Anggap kami tidak tahu apa-
apa?” Suara bapak-bapak.
“Mau dengar atau tidak” Sofia menatap sekeliling
dan menunggu sebentar serta melanjutkan setelah
suasana lebih tenang. “Keempat, menggerakkan ibu dan
bayinya ke Posyandu setiap bulan. Kelima, meningkatkan
kemitraan dengan bidan dalam peran “Ibu Asuh seperti
memandikan ibu dan bayi, merawat tali pusat. Keenam,
melaporkan kepada bidan atau tenaga kesehatan bila ada
ibu yang akan melahirkan.”

***
“Sudah dengar? Kamu kira gampang jadi dukun
seperti saya. Dulu, sudah biasa tolong ibu beranak eh
melahirkan, sekarang tidak bisa lagi. Lama sekali baru
saya bisa mengerti bahwa lain dulu lain sekarang. Dulu,
satu nyawa melayang itu biasa-biasa saja. Sudah nasib,
sudah takdir, belum lagi tuduhan orang bahwa ada ata
polo yang buat magic dan macam-macam sebab. Dua
nyawa tiga nyawa itu kita rasa biasa saja. Paling-paling
hanya menangis, antar ke kubur, doa sampai beberapa
hari.”
“Selanjutnya, belum lewat empat puluh, belum
lewat, belum sampai satu tahun, laki-laki sudah kawin
baru lagi. Itu dulu. Sekarang kita berjuang tidak boleh
ada ibu yang mati karena hamil dan melahirkan, tidak

258
boleh ada bayi yang mati dalam kandungan, mati setelah
sekian detik, menit, atau sekian jam hirup udara dunia.
Dulu, zaman tidak ada HP dan tidak ada listrik. Satu
dokter saja di rumah sakit sudah syukur setengah mati.
Sekarang, beda dengan dulu. Karena itulah, jangan kita
banding-bandingkan dulu dan sekarang. Jadi, saya rasa
apa yang Sofia jelaskan tadi tuh benar semua. Hanya
Sofia sebagai kader jangan terlalu cepat bicara.”
“Betuuuul,” kompak suara bapak-bapak dan sebagian
ibu.
“Kamu semua juga kalau dengar kader bicara, to­
long dengar baik-baik. Jangan sampai masuk ke telinga
kiri, keluar lagi lewat telinga kanan,” kata Mama Gonz.
“Sekarang ini saya tetap menjalankan tugas saya sebagai
perawat mitra bidan sekaligus dukun. Betul tidak Nona
Bidan Ros?” Mama Gonz menoleh ke Bidan Ros yang
tersenyum.
“Kamu dan kita semua bersyukur punya Nona Bidan
yang selalu senyum. Kerja berat dan masalah besar
bagaimana juga tetap senyum. Mana cantik lagi, baik
lagi, dan masih gadis. Siapa di antara orang kampung
yang berani lamar Nona Bidan, menghadap saya mitra
bidan. Siapa yang masih bujang di sini? Jangan mengaku
bujang e, kalau sudah ada istri. Siapa? Hah itu dia yang
duduk di pojok dari tadi diam diam saja. Yang duduk
dekat Pak Dokter Yordan. Martin! Bagaimana? Ha ha ha
maaf Nona Bidan,” Mama Gonz sempat bercanda yang

259
disambut dengan tawa ria dan candaan juga oleh bapak-
bapak yang membuat wajah Om Martin merah.
“Saya setuju,” Mia adik Martin berdiri disambut
tepuk tangan meriah. Sementara itu, Bapa Desa yang
baru datang dari pertemuan untuk membangun bak
penampung air bersih ikut bergabung. Dia langsung
meng­ambil tempat duduk di samping Ibu Bidan Ros.
“Ada titipan dari Dokter Yordan,” kata Bapa Desa
dan Ros menerima. “Titipan? Orangnya ada di sana!”
Kepala Desa mengangguk memberi salam yang diter­
ima dengan anggukan pula. Kepala Desa sudah tahu
bahwa Dokter Yordan selalu duduk bersama peserta
pertemuan karenanya dia tidak mengajak Yordan duduk
mendampinginya.
“Om Martin bagaimana?”
“Cocok kader desi, desa siaga dengan bidan.”
“Om Martin nekat saja. Bagaimana? Ibu Bidan
mau?”
“Biar bidan tidak pulang Bajawa, tetapi tinggal terus
di sini,” suara-suara sambung-menyambung membuat
wajah Martin bertambah memerah, sementara Bidan Ros
tenang-tenang saja dengan tetap tersenyum sebagaimana
biasanya. Dokter Yordan ikut tertawa wajar saja, namun
Ros merasa Dokter Yordan terkejut sebab Mama Gonz
menjodohkannya dengan Martin.
“Maksudnya begini, sekali lagi,” Mama Gonz me­
nyadari situasi dan kembali bicara. “Kita mengerti zaman
berubah terutama perhatian semua kita terhadap ibu

260
hamil agar tidak pernah ada seorang pun ibu hamil dan
bayi yang meninggal di desa kita ini. Jadi, tolong dengar
ibu hamil, dengar ibu kader, dengar ibu bidan, dan
dengar mama perawat bidan sekaligus dukun seperti saya
ini. Jujur saja saya tahu. Kita punya adat ini seringkali
anggap perempuan tidak perlu bicara, karenanya tidak
perlu ditanya, dan tidak perlu didengar apa maunya.
Ingat, zaman sudah beda. Laki-laki dan perempuan
saling mendengar, saling menolong, saling mendukung.
Mengerti?”
“Mengertiiii,” gaung suara peserta pertemuan.
“Sekali lagi, dalam keadaan tidak berdaya lagi ibu
hamil hanya bisa pasrah. Jika kita mendukung ibu hamil
untuk melahirkan sehat dan selamat baik ibu maupun
bayi, jangan pernah tunggu ibu hamil tidak berdaya lagi
baru kita bertindak. Lebih pahit lagi jika akibatnya fatal
ibu meninggal, bayi meninggal, atau keduanya meninggal
bersama-sama. Menyesal? Tidak ada gunanya sebab
semuanya sudah terjadi, nasi sudah menjadi bubur,”
bidan Mama Falentina dalam suasana hening.
“Leluhur sudah tunjuk jalan untuk kerja sama dalam
berbagai urusan adat. Kerja kebun, panen, menikah,
bangun rumah, bangun Polindes, bangun rumah ibadah,
kerja bakti…sekarang saatnya kita perkuat kerja sama
dalam hal mendukung ibu hamil supaya menjalani
kehamilan dan melahirkan dengan sehat dan bahagia,”
kata Bidan Ros melanjutkan penjelasan Mama Falentina.
Matanya menelusuri amplop coklat kiriman Dokter

261
Yordan yang diletakkan di atas meja. “Untuk Ytc. Bidan
Rosa Dalima.”
“Kita semua, warga desa ini saya lihat punya bakat
untuk bekerja sama dan membuat orang lain senang
dan bahagia. Membuat ibu hamil diperhatikan suami,
keluarga, kader, desa siaga adalah kebahagiaan tersendiri.
Biarkan bumi dan langit Polindes kita…biarkan bumi
dan langit desa ini tersenyum bagai cerahnya matahari
pagi, tersenyum bagai musim hujan dan kemarau yang
datang silih berganti, tersenyum menyambut senja
matahari sebelum terbenam dengan harapan baru bahwa
esok pasti lebih baik. Tersenyum bersama Kesepakatan
Keluarga Desa demi ibu, bayi, dan keluarga sejahtera
lahir batin. Terima kasih,” Bidan Ros duduk kembali.

***
Pertemuan hari itu sebagaimana pertemuan demi
pertemuan bulanan sebelumnya berakhir dengan
berhasil. Semua wajah tampak gembira saat mening­
galkan aula SD tidak jauh dari Polindes yang biasa
dipakai untuk berbagai macam pertemuan penting.
Yang tertinggal dalam ruangan hanya Bidan Ros, Mama
Falentina, Mama Gonz, Sofia, Om Nadus, Om Frans, dan
Om Martin sebagai kader desa siaga, Dokter Yordan, dan
Bapa Desa.
“Om Martin jangan marah e, tadi hanya buat lucu
supaya jangan tegang,” kata Mama Falentina sambil
menjabat tangan Martin.

262
“Tidak apa-apa Mama,” jawab Martin sambil melirik
sekilas Bidan Ros dengan ujung matanya. “Saya senang
saja. Terserah Ibu Bidan Ros saja.”
“Maaf e Nona Bidan,” kata Mama Falentina.
“Tidak apa-apa Mama Falen. Om Martin tahu saya
sudah punya tunangan di Bajawa,” jawab Bidan Ros
dengan terus terang agar guyonan Mama Falen tidak
berlanjut.
“Adrian yang datang tempo hari itu?” tanya Mama
Falen. “Rasanya kurang.…”
“Ya tenaga honor di kantor Kebanglimas Ngada juga
kontraktor kecil-kecilan.”
“Atau Nona Bidan kita kasih jodoh dengan Dokter
Yordan saja!” Sofia ikut bicara.
“Pasti saya siap mau mau mau,” Dokter Yordan dan
semua yang hadir tertawa.
“Sama-sama orang kesehatan, kah? Baik sudah.
Kalau tidak jodoh dengan Adrian, jangan jauh-jauh cari
pengganti,” Mama Gonz tertawa dan semua tertawa
menggoda.
“Kalau Om Martin sudah punya pacar di Kupang.
Namanya Bidan Linda,” Bidan Ros tiba-tiba saja men­
jodohkan Martin dengan Linda temannya sambil
tertawa. “Kalau Dokter Yordan sudah punya pacar di
Atambua.”
“Tidak,” kata Martin dan Dokter Yordan bersamaan
dan tertawa bersama juga.

263
“Saya berupaya menjadi Bidan Ros yang setia dengan
Adrian tunangannya,” kata Ros sambil tersenyum manis.
“Menurut Bapa Desa bagaimana?” tanya Sofia.
“Nona Bidan ini baiknya jodoh dengan Om Martin,
jodoh dengan Dokter Yordan, atau jodoh dengan Adrian
tunangannya Nona Bidan yang nginap dua hari di rumah
Bapa Desa?”
“Ooooooh kalau menurut saya,” Bapa Desa diam
sejenak. “Maaf Ibu Bidan e maaf. Kalau menurut saya
Adrian tidak jodoh. Sifatnya jauh berbeda dengan Ibu
Bidan. Tidak sabar dan gampang marah. Ya, ini menurut
kaca mata orang tua. Jadi, tinggal Om Martin dan Bapa
Dokter. Dua-duanya ini,” Bapa Desa mengacungkan
jempol. “Tinggal Nona Bidan pilih.”
“Pilih mana?” Yordan langsung berdiri di sisi
Martin. “Martin atau Yordan.”
“Saya pilih Adrian,” jawab Ros dan mereka tertawa
gembira.

***

Pertemuan itu diakhiri dengan kesepakatan meran­


cang Kesepakatan Keluarga Desa. Kesepakatan akan
disusun berdasarkan semua masukkan yang berkembang
dalam diskusi dan dialog beberapa kali yang sudah
tercatat. Om Martin, Om Nadus, Bidan Ros, Mama Gonz,
Mama Falentina, Mama Sofia, Om Frans, dan Dokter
Yordan akan merancangnya bersama-sama. Martin
dan Yordan yang akan merancang draf awal sebelum

264
dibahas bersama-sama lagi. Angin yang bertiup lembut,
senja itu membelai wajah-wajah yang penuh semangat.
Ros menghidupkan HP dan mendapati panggilan tidak
terjawab lima kali dari Adrian dilengkapi delapan SMS
dan beberapa SMS dari teman-temannya.
“Ada pertemuan? Seperti gula dan semut. Di
mana ada bidan di situ ada dokter. Selingkuh berkedok
pertemuan,” delapan kali SMS itu sama isinya. “Kak Ian
tahu dari mana kalau ada pertemuan?” tanya Ros pada
dirinya sendiri. “Ya Tuhan, ke arah mana hubunganku
dengan Kak Ian menuju ya? Kabar darinya selalu
memojokkan saya. Apa yang harus kulakukan?” Ros
merasa lelah dan menghibur dirinya dengan membaca
SMS dari teman-temannya.
“Baru selesai pertemuan. Akan dibuat kesepakatan
keluarga desa untuk keselamatan ibu dan bayi,” Ros
mengirim SMS untuk semua temannya dengan isi yang
sama.
“Jangan lupa kirim buatku catatan pentingnya,” SMS
dari Vero.
“Pasti,” balas Ros.
“Saya titip surat penting via Bapa Desa. Baca dan
balas ya,” SMS dari Yordan padahal orangnya ada di
depan mata. “Ada alamat e-mail?” tanya Ros.
“Tidak ada,” jawab Yordan.
“Dokter jadul alias zaman dulu,” kata Ros.
“Cocok dengan bidan zamod alias zaman modern,”
kata Yordan. Keduanya tertawa.

265
“Dokter pulang ke Puskesmas atau nginap di sini,”
tanya Mama Falentina.
“Nginap!”
“Di Polindes saja. Boleh tidur di kamar saya. Saya
numpang di kamar bidan.”
“Tidak! Saya di rumah Bapa Desa.”

***

Tiba di rumah Ros langsung mencuci kaki tangan


sesuai kebiasaan. Ia masuk kamar menarik kursi dan
duduk menatap keluar jendela. Matahari sudah con­
dong ke barat. Malam akan segera turun sebentar
lagi. Matanya tertambat pada bunga-bunga yang
menjulur dan akan mekar beberapa jam ke depan. Angin
berhembus mengalun dengan amat perlahan wijaya
kusuma kembang inspiratif itu. Bukan rahasia bahwa ia
akan mekar dalam sepi malam, namun sepertinya mekar
pada sepi malam itulah rahasianya.
“Untuk Ytc. Bidan Ros Dalima.” Apakah ytc juga
sebuah rahasia? Rosa membolak-balik amplop mencoba
mencari kata-kata lain selain ytc. “Singkatan dari apa
ya ytc itu? Yang tercinta, yang tercantik, yang ter…apa
lagi ya? Surat yang tebal. Apakah isinya? Apakah dia
memang cinta padaku? Memang zadul alias zaman dulu
sekali laki-laki yang satu ini. Judulnya pemuda masa lalu.
Apakah….”

266
Ros tidak ingin memikirkannya. Amplop itu di­
biarkan tertutup rapat. Tidak dibacanya. Rosa memilih
tidak tahu apa pun isi surat itu daripada tahu banyak dan
membangkitkan harapan. Ada Adrian. Adrian masih ada.
Rosa selalu berusaha untuk setia. “Kesetiaan itu karakter
yang mesti dirawat sebab sangat berpengaruh bagi
tanggung jawab dan pelayanan seorang bidan. Bukan
hanya seorang bidan, tetapi bidan! Bukan hanya bidan.”
“Ada kabar dari Sitti. Nazar pacaran dengan dokter
baru,” SMS dari Vero.
“Percaya Sitti atau percaya Nazar?” balas Ros.
“Sitti teman kita yang paling baik,” balas Vero.
“Percaya Nazar akan setia?”
“Percaya!”

267
16
Tidak Perlu Takut untuk Jujur

U
“ ntuk apalagi? Maaf Dokter,” Bidan Ros ter­
tunduk.
“Prosedurnya memang demikian. Bukankah Bidan
Ros juga tahu?”
“Sudah berbulan-bulan yang lalu. Saya berusaha
melupakannya.”
“Tidak ada yang sulit. Siapkan saja semua laporan
yang dibuat waktu itu. Lengkap.”
“Sudah berapa bulan ya? Untuk apa lagi?”
“Orang Provinsi baru memiliki waktu sekarang.”
“Laporan sudah saya kirim, lengkap. Sudah dibahas
dalam pertemuan kabupaten.”
“Ini kegiatan Provinsi. Utusan dari semua kabu­
paten.”
“Oh begitu? Baik, Dokter.”
“Bidan tidak ditanya secara khusus tentang kasus
itu.”
“Jadi, pertemuan evaluasi atau apa ya, Dokter?”

268
“Audit maternal perinatal atau neonatal,” kata
Yordan. “Kegiatan ini berkaitan dengan penelusuran
sebab kematian atau kesakitan ibu perinatal dan neonatal
guna mencegah kesakitan atau kematian serupa di masa
yang akan datang. Kajian ini dilakukan dengan prinsip
menghormati dan melindungi semua pihak yang terkait,
baik individu maupun institusi. Proses audit dilakukan
hanya untuk kajian kasus agar tidak terjadi lagi.”
“Begitu ya?” Bidan Ros menatap wajah Dokter.
“Sudah tahu semua, tetapi tanya lagi. Kenapa?” tanya
Dokter.
“Apakah Dokter juga ikut pertemuan itu?”
“Ya. Selain memang tugas saya juga biar bisa sama-
sama ke sana. Bagaimana?”
“Senang sekali,” Ros menjawab jujur. Ros merasa
kehadiran Dokter Yordan pasti akan menenangkan
hatinya. Mudah-mudahan tugas ini sangat berbeda
dengan apa yang terjadi selama ini, yaitu semacam
investigasi dan semacam menghakimi yang membuat
pekerjaan audit kurang optimal dan tujuan utama audit
tidak tercapai.
“Tujuan utamanya untuk pembelajaran,” kata Dokter
Yordan. “Juga untuk pembinaan agar perbaikan dapat
dicapai. Bukan hanya untuk Polindes Bakung, Puskesmas
Flamboyan, tetapi untuk semua peserta pertemuan,
untuk semua pihak. Untukmu dan untukku juga bukan?”
“Terima kasih, Dokter!”

269
“Selalu terima kasih,” Dokter Yordan menatap Bidan
Ros. “Sudah baca surat saya?”
“Belum!”
“Kenapa?”
“Belum saja!”
“Bacalah!”
“Kenapa?”
“Supaya tahu isinya. Supaya tahu saya. Baca ya,” kata
Dokter Yordan.
“Ada waktu yang tepat bagi saya untuk baca surat
itu,” jawab Ros dalam hati.

***

Ros merasa sendirian di ruang pertemuan yang


sudah terisi penuh. Mereka semua diundang hadir untuk
mendapat pemahaman tentang Audit Maternal Perinatal45.
Meskipun tidak menyinggung secara khusus kematian
Lisa dalam perjalanan rujuk, Ros merasa semua mata
sedang menudingnya. Karenanya, dia lebih memilih diam
dan tidak banyak berkomentar apalagi bercerita apa yang
terjadi dengan pasien yang ditanganinya sejak awal.
Meskipun teman-temannya saling bertukar pengalaman,
Ros memilih diam.

Audit Maternal Perinatal (AMP): suatu investigasi kualitatif mendalam


45

mengenai penyebab dan situasi di seputar kematian maternal dan prinatal-


neonatal. Baik yang ditangani di fasilitas kesehatan, termasuk bidan di desa
atau bidan praktik swasta secara mandiri, maupun di rumah.

270
“Semua pasien yang saya tangani, ibu dan bayinya
selamat, sehat, dan bahagia.”
“Saya satu ibu meninggal untung bayinya selamat.”
“Saya bayi kembar meninggal untung ibunya se­
lamat.”
“Kalian menambah jumlah kematian ibu dan bayi
ya?”
“Saya menangani ibu pintar, suami baik, keluarga
bahagia, jadi aman terkendali.”
“Saya meskipun berhadapan dengan keluarga yang
kurang kooperatif, tetapi pasien saya melahirkan sehat
selamat ibu maupun bayi.”
“Saya harap tidak akan terjadi kematian di wilayah
kerja saya.”
“Tidak ada seorang ibu yang harus meninggal
karena hamil dan melahirkan,” kata Vero. “Tidak ada
seorang bayi pun boleh meninggal di dalam kandungan
ataupun bayi baru lahir, juga balita tidak boleh me­
ninggal.”
“Nyatanya?”
“Ya, tidak ada seorang bidan pun yang bermimpi
tentang ini.”

***

Para peserta mengambil posisi duduknya masing-


masing. Pembicaranya seorang dokter spesialis kan­
dungan didampingi kepala bidang yang membawahi

271
Kesehatan Ibu dan Anak dari provinsi. Selain para bidan
desa, yang hadir dalam pertemuan, yaitu bidan kepala,
bidan koordinator atau bikor, kadinkes, dan stakeholders
terkait. Dalam pertemuan kali ini diundang pula kepala
desa tempat Ros bekerja, ibu kader Sofia, Mina, dan Om
Martin dari kader desa siaga.
Om Martin duduk pada deretan samping kiri bagian
tengah bersama Kepala Desa. Dokter Yordan duduk
bersama Gabriel Suri teman satu kampung yang juga
pemerhati ibu hamil di Puskesmas Kota. Sofia dan Mina
duduk mengapit Bidan Ros dan Bidan Vero yang duduk
pada deretan paling belakang. HP bergetar berkali-kali.
Semuanya SMS atau telepon dari Adrian. Ros tidak
membacanya.
“Kader desa semuanya dari desa kita,” kata Sofia.
“Kepala Desanya juga hanya satu kepala desa kita,”
sambung Mina.
“Kader desi juga hanya satu, Om Martin dari desa
kita juga,” kata Sofia lagi. “Mestinya kita duduk sama-
sama Bapa Desa dan Om Martin.”
“Kenapa hanya kita yang diundang?”
“Karena kasus Ibu Lisa mungkin. Tidak apa-apa kita
pasti dapat pengetahuan tambahan,” jawab Ros. “Tenang
saja. Jawab jujur kalau ditanya ya. Jujur segala-galanya
jangan ada yang ditutupi.”
“Tapi, kalau mereka pojokkan Ibu Bidan bagai­
mana?”
“Tidak akan ada yang pojokkan saya.”

272
“Pembelanya ada, itu Om Martin,” Sofia tertawa.
“Dokter Yordan,” Mina pun tertawa.
“Kita perhatikan di layar depan. Penjelasan sudah
dimulai,” kata Bidan Ros.
“Ya Ibu Bidan.”
“Audit Maternal Perinatal yang biasa disingkat
AMP,” layar pertama dilengkapi gambar seorang ibu
yang memeluk bayinya dalam keadaan mata terpejam
sebagai latar belakang. Dokter Lourens dari Kupang
yang bicara.
“AMP adalah suatu investigasi kualitatif mendalam
mengenai penyebab dan situasi seputar kematian
maternal dan prinatal-neonatal. Baik yang ditangani di
fasilitas kesehatan termasuk bidan di desa atau bidan
praktik swasta secara mandiri maupun di rumah,” layar
kedua.
“Kematian ibu, bayi yang belum lahir maupun
yang baru lahir,” tulis Ros sebagai penjelasan tentang
maternal, perinatal, neonatal untuk Sofia dan Mina.
“Saya sudah hafal istilah itu dan bahasa Indonesianya,”
bisik Sofia.
“Kematian diidentifikasi pada fasilitas kesehatan.
Akan tetapi, dapat diperluas dengan identifikasi kom­
binasi dari faktor-faktor lain. Semua yang berkontribusi
terhadap kematian yang sebenarnya dapat dicegah,” layar
ketiga.
“Maksudnya begini. Kematian ibu melahirkan di
mana saja terjadi, identifikasinya tetap dilakukan pada

273
fasilitas kesehatan. Kombinasi yang terjadi di fasilitas
kesehatan, dalam keluarga, lingkungan, termasuk
penyebab-penyebabnya dicatat. Saya pikir Anda semua,
khu­susnya bidan dan kader pernah mengalami hal ini.
Meskipun sebagian besar pasien dapat bertahan hidup,
namun semua proses yang dilewati sungguh melelahkan.
Untuk banyak petugas kasus-kasus seperti ini susah
dilupakan. Kasus kematian bisa juga terbawa tidur dan
terbawa mimpi. Saya kira tidak ada di antara kita yang
mau bermimpi yang menyedihkan seperti ini. Setuju?”
“Ya, setuju,” terdengar satu dua orang menjawab
spontan.
“Saya tidak mengerti Dokter omong apa? Susah-
susah kata-katanya,” bisik Mina.
“Setuju?” tanya pemateri lagi.
“Setujuuuu,” sebuah koor setuju yang harmonis
didengar.
“Tapi, jangan pakai nama Audit. Apakah bisa ganti
nama lain? Misalnya, Review atau Analisis atau apalah.
Kata Audit terkesan seram ada upaya mencari kesalahan
dan menghukum.”
“Ya. Memang lebih tepat Review,” kata Dokter
Lourens. “Tetapi, karena kebiasaan selama ini gunakan
kata Audit jadi kata ini yang lebih dikenal. Oke, kita
pakai kata Review, ya?”
“Setuju!”
“Faktor yang sangat besar pengaruhnya dalam
kegiatan audit eh review ini adalah keakuratan data,” layar

274
keempat. “Data harus akurat dan jujur. Proses audit eh
review ini akan menerapkan prinsip kerahasiaan individu
dan institusi pada saat kajian kasus,” layar kelima. “Jadi,
tidak perlu khawatir! Sekali lagi, jangan takut untuk jujur
menyampaikan data seakurat mungkin,” kata Dokter
Lourens meyakinkan. “Rahasia terjamin.”
“Jadi, ibu bidan jangan khawatir lagi,” bisik Sofia dan
Bidan Ros mengangguk setuju. Sekilas Sofia menangkap
gerakan Om Martin yang menoleh dan memandang
tepat pada Bidan Ros sebelum kembali memperhatikan
Dokter Lourens. HP bergetar. SMS dari Yordan dan Ros
membacanya.
“Senang memandangmu dari samping. Ojan!” Ros
tidak membalasnya. “Bukan Dokter Yordan lagi, tetapi
Ojan. Lucu juga laki-laki ini,” kata Ros dalam hati.
“Identitas individu, kasus, dan petugas kesehatan
dan institusi hanya akan diketahui sampai tingkat koor­
dinator AMP yang sekarang kita sebut RMP Review
Maternal Perinatal di kabupaten atau kota,” layar keenam.
“Wah tetap tidak bisa rahasia,” komentar Sofia.
“Dasar utama terjadinya kematian dan kesakitan
seharusnya dapat diungkap tanpa harus membuka iden­
titas pihak yang terkait kepada asesor,” layar ke­tujuh.
“Apalagi itu asesor,” bisik Sofia. “Yang dijual di
pasar? Jepit rambut, pita, anting-anting, begitukah
asesor…asesoris. Dokter-dokter itu suka bicara istilah
aneh-aneh. Mereka yang mengerti sendiri, mereka kira
kita juga mengerti yang mereka mengerti.”

275
“Ssttt diamlah perhatikan ke depan,” kata Mina.
“Tetapi, pada tingkat kabupaten tidak ada rahasia,”
Mina yang bicara.
“Tidak ada masalah,” Sofia mengerutkan kening.
“Ya, tidak masalah. Kematian Lisa semua orang di desa
dan Puskesmas juga tahu.”
“Ya tidak apa-apa,” bisik Bidan Ros. “Sampai di
sini saja. Pada tingkat yang lebih tinggi dari kabupaten
seperti provinsi dan pusat, rahasia terjamin.”

***
“Prinsip atau asas yang mutlak harus dipenuhi dalam
kegiatan AMP sebagai berikut. Pertama, No Name atau
tidak menyebutkan identitas,” layar kedelapan. “Prinsip
ini penting sehingga kemungkinan untuk menyudutkan,
menyalahkan, dan menghakimi seseorang atau institusi
kesehatan dapat dihilangkan atau diminimalkan,” layar
kesembilan.
“Hal ini berbeda dengan dulu. Dulu kematian ibu
melahirkan sering dilakukan tanpa rahasia.S eolah-olah
membuka ruang untuk menyudutkan dan menghakimi
individu atau institusi. Sekarang, hal itu tidak boleh
terjadi lagi.”
“Kalau memang institusi atau individu tertentu salah
bagaimana?” Peserta yang duduk di depan Rosa berbisik
keras.
“Jadi, kita cerita saja secara jujur bagaimana sikap
keluarga Lisa sebenarnya terhadap Lisa,” bisik Sofia

276
dengan penuh semangat. Kembali dilihatnya Om Martin
menoleh dan menjatuhkan tatapannya pada Bidan Ros,
selanjutnya mengangkat jempolnya ketika Sofia bertemu
pandang dengannya. HP bergetar lagi. “Ikut saya ke
Rumah Bersalin milik Susteran,” SMS Yordan.
“Jadi, kita tidak perlu takut untuk jujur,” bisik Sofia.
“Ya untuk semua kita tidak perlu takut dan jangan
khawatir,” kata Bidan Ros.
“Masalahnya, keluarga mertua Lisa itu sungguh
keterlaluan,” bisik Mina. “Selalu menganggap orang lain
yang salah dan orang lain juga yang harus bertanggung
jawab atas kematian Lisa dan bayinya.”
“Tidak apa-apa,” kata Bidan Ros.
“Ya, persoalannya mereka hanya tidak mau mengaku
jujur apa sebenarnya yang sudah terjadi sehingga nasib
malang harus dialami Lisa,” bisik Mina.
“Hanya Om Nadus suami Lisa saja yang sadar dan
menyesali apa yang sudah terjadi. Rela juga berterima
kasih dan rela juga minta maaf,” bisik Sofia.
“Ibu Bidan sudah dengar cerita dari Mama Gonz?”
Bisik Mina.
“Semuanya sudah lewat, Mama Mina,” bisik Ros.
“Kita pikirkan yang lain saja ya. Yang lalu biarlah
berlalu. Kita jadikan cermin untuk belajar supaya tidak
terulang lagi. Betul tidak?
“Ah, biar saja Mama Gonz yang cerita sendiri,”
sambung Sofia.

277
“Soal perlakuan keluarga Om Simon selama Om
Nadus suami Lisa jadi TKI.”
“Kabarnya semua uang kiriman Om Nadus dipakai
keluarganya, dan tidak ada satu sen pun yang diterima
Lisa. Mereka sengaja usir Lisa dari rumah jadi mereka
bisa kuasa uang kiriman Om Nadus,” bisik Sofia. “Apakah
ini juga termasuk informasi rahasia?”
Ros menggunakan waktu tiga menit istirahat untuk
membuka SMS. Ada dua SMS dengan nomor baru yang
berbeda. “Kamu pelaku utamanya. Ibu tidak perlu mati
kalau kamu punya harga diri,” Ros tersentak. “Dari siapa
ya?” tanyanya dengan gelisah.

***

Kedua, No Shame atau tidak mempermalukan. Seba­


gaimana disebutkan terdahulu, seluruh identitas menjadi
anonim sehingga kemungkinan kegiatan RMP berpotensi
mempermalukan petugas atau institusi kesehatan dapat
diminimalkan,” layar kesepuluh.
“Sebenarnya, tidak ada masalah untuk petugas.
Malu untuk apa? Kecuali, kalau dokter, bidan, perawat,
atau siapa saja petugas kesehatan yang buat masalah?
Jadi penyebab kematian,” suasana ruang pertemuan
berdengung dengan berbagai komentar. “Terhadap kasus
yang mana dulu petugas kesehatan perlu malu. Tidak
bisa berlaku umum. Ada juga petugas kesehatan yang
lempar batu sembunyi tangan .…”

278
“Kalau permalukan keluarga dan masyarakat bagai­
mana?”
“Kami juga petugas kesehatan?” tanya Mina.
“Dokter Lourens itu omong seribu kali tentang
petugas kesehatan itu perawat, bidan, dokter, dan semua
orang kesehatan yang tugas di sana. Akan tetapi, di
lapangan kader seperti kita tidak dianggap petugas
kesehatan,” kata Sofia. “Dipermalukan juga kenapa?
Kalau salah harus malu. Jangan sampai sudah salah buat
diri seperti benar.”
“Biar sudah!”
“Apalagi dokter, bidan, perawat yang mukanya
masam selalu, antisenyum, antiramah. Kalau dengan
orang yang mereka kenal, langsung ditolong dengan
senyum ramah. Coba kalau orang yang mereka tidak
kenal, waduh! Muka masam dan malas tahu. Saya punya
catatan lengkap tentang mereka-mereka itu.”
“Ya, orang-orang yang model Pilatus, cuci tangan,
dan melempar kesalahan pada orang lain. Oh, soal
mempermalukan ini masalah besar sekali.”
“Banyak petugas yang kasar dan tidak ada hati dalam
pelayanan. Kata no shame itu seolah-olah menyelamatkan
manusia seperti mereka.”
“Masalah Lisa dan rumah tangganya itu menurut
saya, petugas kesehatan khususnya para kader sebagai
petugas kesehatan juga, kan? Tidak perlu malu,”
sambung Sofia lagi. “Bagaimana menurut Ibu Bidan?”

279
“Lisa itu masalah kita bersama. Tidak hanya masalah
Lisa sendiri dan mertua, suami, atau keluarganya. Kita
bertanggung jawab bersama-sama. Jadi, dengar dulu
penjelasan selanjutnya ya,” kata Bidan Ros dengan pelan
karena pemateri melanjutkan penjelasannya.

***

“Ketiga, No Blame atau tidak menyalahkan,” layar


kesebelas. Dokter Lourens langsung melanjutkan pre­sen­
tasi setelah membiarkan sejenak ruangan ribut dengan
berbagai komentar.
“Karena tidak ada identitas pada saat pengkajian
kasus, potensi menyalahkan dan menghakimi atau
blamming petugas atau institusi kesehatan dapat dihin­
dari,” layar kedua belas.
“Penganoniman juga diharapkan dapat membuat
petugas kesehatan yang memberikan pelayanan bersedia
lebih terbuka dan tidak menyembunyikan informasi
yang ditakutkan dapat menyudutkan petugas tersebut.
Prinsip ini harus diterapkan dalam proses audit eh review
sehingga tujuan untuk memperoleh pembelajaran dan
mencegah terjadinya kesalahan di masa datang dapat
tercapai,” kata dokter pemateri pelan dan pasti untuk
meyakinkan peserta prinsip-prinsip RMP yang perlu
diperhatikan.
“Bagaimana? Ada pertanyaan sampai di sini?” Dok­
ter terdiam lagi membiarkan peserta saling bicara satu
sama lain.

280
“Lanjutkan dulu,” sambung salah seorang peserta.
“Keempat, No Pro Justitia atau tidak untuk keperluan
peradilan,” layar keempat belas.
“Seluruh informasi yang diperoleh dalam kegiatan
AMP ini tidak dapat digunakan sebagai bahan bukti di
persidangan. Seluruh informasi adalah bersifat ra­hasia
dan hanya dapat digunakan untuk keperluan mem­
perbaiki kualitas pelayanan kesehatan ibu anak atau
bayi.”
“Interupsi, ada pertanyaan,” salah satu peserta
meng­­acungkan tangan.
“Silakan!”
“Kota ini sama seperti kota-kota lain di NTT, terlalu
kecil untuk pegang rahasia. Apalagi kecamatan dan
desa sangat kecil untuk simpan rahasia. Isu dari kasus
kematian ibu yang berkembang macam-macam ibu sudah
meninggal di Puskesmas, meninggal di daerah longsoran,
meninggal di jalan, dan meninggal di meja operasi karena
terlambat ditolong. Orang-orang tidak peduli terlambat
rujuk atau terlambat sampai ke RSU, orang hanya tahu
gagal dapat pertolongan. Mau rahasia bagaimana?”
“Ada lagi?” tanya Dokter.
“Apalagi anak pertama sampai ketiga perempuan,
kalau keluarga cari anak laki-laki ya masuk akal bukan?
Mestinya petugas kesehatan beri penyuluhan kalau laki-
laki dan perempuan sama saja.”
“Dia kira gampang kasih suluh soal laki-laki, pe­
rempuan,” bisik Sofia.

281
“Ada lagi? Silakan biar sekalian kita tanggapi ber­
sama-sama.”
“Bagaimana kasus kematian ibu yang datang dari
kabupaten lain, meninggal di RS kami. Tetap saja pe­
tugas kesehatan di RS kami yang disalahkan. Kurang
cepat, tidak pintar, dan macam-macam lagi.”
“Silakan kalau masih ada!”
“Yang jadi soal, kalau kasus kematian yang terlanjur
dimuat di koran. Opini publik sudah terlanjur dibentuk
dengan macam-macam dugaan. Tidak ada bidan, tidak
ada perawat, tidak ada dokter, tidak ada alat, tidak
ada obat, bahkan sampai ke dugaan malpraktik. Publik
menilai dan mendesak agar dijadikan tuntutan hukum
dan dibawa ke pengadilan. Tahu sendiri kalau sudah
dimuat di koran itu bagaimana reaksi publik. Tidak ada
yang namanya rahasia, apalagi rahasia untuk melindungi
petugas kesehatan dan institusinya.”
“Satu lagi, silakan!” pancing dokter pemateri.
“Sudah pas Dokter! Kita tanggapi dulu yang ini.”
“Satu lagi,” Sofia berdiri. Kepala Desa, Dokter
Yordan, Om Martin, Mina, dan Bidan Ros tersentak
dengan keberanian Sofia berdiri untuk bicara. Semua
mata terfokus padanya.
“Omong terus terang kasus kematian ibu dan
bayi yang baru terjadi itu. Soal terlambat rujuk, tanah
longsor, terlambat ditolong itu sebenarnya saya sebagai
kader desa sangat tahu persis apa yang terjadi di la­

282
pangan. Boleh dikatakan saya tahu semua,” kata-kata
Sofia disambut gelak tawa hadirin.
“Ini benar dan pertanyaan saya apakah yang saya
tahu semua ini termasuk rahasia? Mau rahasia bagaimana
sebab apa yang saya tahu sudah menjadi rahasia umum,”
semua peserta tertawa mendengar pertanyaan Sofia.
“Jadi, kalau mau tanya saya tanya saja.”
“Tidak usah itu anonim,” sambung peserta lain.
“Anonim!” sambung peserta yang lain lagi.
“Ya yang itu anonim,” kata Sofia dengan berani
meskipun diiringi tawa lucu.
“Omong lurus-lurus saja. Tidak usah takut. Ini
sang­kutannya dengan nyawa orang. Kalau apa tadi?
Anonim! Ya anonim supaya jujur berarti kalau tidak
anomim orang akan tidak jujur. Palsu! Itu saja dari saya,”
kata-kata Sofia diakhiri dengan tepuk tangan dari semua
peserta. Dokter memperhatikannya dengan serius.
“Kadermu pintar dan berani,” bisik Vero pada Ros.
“Jujur dan lurus,” kata Ros. “Kita lihat saja tang­
gapan Dokter bagaimana.”

***

“Kita ambil pembelajaran dari RMP yang dilaporkan


secara berjenjang,” Dokter Lourens memulai. “Pertama,
menyangkut tidak bisa pegang rahasia atau rahasia
atau bukan rahasia lagi. Pada tingkat kecamatan dan
kabupaten laporan dipastikan jelas. Tidak bisa diraha­

283
siakan. Tidak bisa dikatakan terjadi di longsoran A,
Puskesmas B, nama ibu hamil adalah C dan bidannya
bernama E dan seterusnya. Semua harus terbuka dan
tercatat lengkap. Dalam prinsip RMP sampai tingkat
kabupaten – kota tidak bisa rahasia. Jadi, betul yang
disampaikan penanya pertama tadi. Tidak ada rahasia
memang, atau yang disampaikan ibu kader tadi tidak ada
rahasia. Semua RMP di semua kabupaten dianonimkan
sebelum dibawa ke provinsi.
“Kedua, soal anak perempuan atau anak laki-laki,
melahirkan dan bertambah anak terus karena mau cari
anak laki-laki. Ini persoalan kita bersama. Budaya kita
budaya patrilineal. Kecuali, orang Bajawa atau lebih luas
lagi orang Ngadha46 di Kabupaten Ngada dan sebagian
Belu yang menganut matrilineal. Wilayah lainnya di
NTT ini semuanya patrilineal. Penyuluhan tentang
kesetaraan gender dan pengarusutamaan gender menjadi
penting, perlu waktu, dan perlu ruang tersendiri untuk
bahas hal ini ya.”
“Ketiga, soal ibu hamil dari kabupaten lain, datang
ke kabupaten kita dan meninggal. Ini sebenarnya bagus
sekali dengan kerja sama, tolong-menolong.”
“Tetapi, petugas kami yang dinilai gagal,” suara dari
peserta.

Ngadha nama keluarga etnik terbesar di Kabupaten Ngada. Ngadha


46

dengan h sedangkan nama Ngada untuk Kabupaten Ngada tanpa


huruf /h/ di antara /d/ dan /a/.

284
“Lalu bagaimana? Apakah kalau ada ibu yang perlu
ditolong kita tanya dulu asal-usulnya, kenapa tidak urus
sendiri, kenapa bawa ke kabupaten kami, bawa pulang
saja urus di kabupaten masing-masing. Tidak mungkin
bukan? Jadi, tolong saja.”
“Tetapi, bagaimana kalau kita dianggap gagal?
Seolah kematian itu bertambah padahal dari kabupaten
lain, ibu hanya numpang meninggal saja.”
“Oh, jangan bicara begitu. Sekali lagi tolong dan
layani. Pegang prinsip pelayanan upayakan seoptimal
mungkin untuk menolong dan menyelamatkan ibu dan
bayinya. Bahkan, terhadap penyakit apa saja segera
tolong jangan bicara soal lintas wilayah ya,” Dokter
Lourens berbicara perlahan dan tenang. “Ini ada hu­
bungan dengan penjelasan keempat saya.”
“Soal isu meninggal di puskesmas, di jalan di long­
soran, di rumah sakit, di meja operasi, atau isu macam-
macam dan isu malpraktik,” Dokter Lourens mem­
perhatikan wajah-wajah peserta.
“Mengatasi semua ini data akurat menjadi amat
penting. Catatan observasi harus diisi sejak awal,
sepanjang proses periksa, sampai melahirkan. Demikian
juga catatan kader, catatan kader posyandu, catatan
bidan, segala bentuk kunjungan rumah, relasi dengan
bidan koordinator, kepala desa dan kader desi, dan
lainnya harus ada, jelas, dan akurat sesuai waktu, tempat,
dan kejadiannya. Coba perhatikan layar berikut ini,”

285
dokter mencari-cari dalam materi power point di layar
laptopnya. “Ini dia!”
“Pencatatan dan pelaporan kematian dan kesakitan
ibu dan bayi secara menyeluruh. Pengisian rekam medis
yang lengkap, benar, dan tepat di institusi pelayanan
kesehatan termasuk di Polindes oleh Bidan Desa. Pela­
cakan sebab kematian oleh petugas Puskesmas dengan
cara otopsi verbal. Identifikasi faktor-faktor nonmedis
termasuk informasi rujukan dan masalah sosial ekonomi
keluarga,” layar ketujuh belas.
“Nanti Ibu Bidan tolong jelaskan lagi,” bisik Sofia.
“Bicara susah-susah,” sambung Mina.
“Apa pentingnya, Dokter?” Seorang peserta meng­
acungkan tangan.
“Sangat penting sebagai data autentik dan akurat
untuk menjelaskan apa sebenarnya yang terjadi dan
untuk menangkis berbagai isu yang berhembus di tengah
masyarakat. Termasuk soal pemberitaan dalam koran.
Kita tidak dapat menghentikan langkah wartawan yang
memang bekerja untuk korannya.”
“Karenanya, semua data yang kita miliki adalah
satu-satunya data untuk menjawab semua isu yang
tidak pada tempatnya. Yang paling penting dari semua
itu adalah bekerjalah, layani pasien dengan baik, ber­
tanggung jawab, dan tanpa keluhan. Ingat! Harus ada
keyakinan dengan tugas pelayanan yang kita pilih ini. Ini
menyangkut hidup dan mati ibu dan bayinya, dan kita
ada demi mereka. Jadi, bertanggung jawablah,” pemateri

286
menatap satu demi satu wajah peserta seakan-akan ingin
membuka kepala dan hati mereka dan membaca isinya.
“Jadi, yang Dokter bicara dari tadi tentang RMP itu
apa gunanya untuk kita?”
“Akan kita lanjutkan setelah istirahat minum.”

287
17
Ujian untuk Bertahan

Bidan Ros menggunakan kesempatan istirahat li­


ma belas menit dengan berjalan cepat keluar ruangan
mencari tempat sepi. Ia ingin menelepon Adrian juga
mamanya di Bajawa. Sepanjang presentasi tadi HP-
nya bergetar oleh telepon maupun SMS. Telepon tidak
diangkat dan SMS tidak dibalas.
“Halo Kak Adrian,” Ros segera menyapa begitu
telepon ditanggapi kekasihnya.
“Ya, Adik Rosa,” jawab Adrian.
“Maaf ada pertemuan sosialisasi AMP terbaru,” kata
Ros.
“AMP? Apa itu?”
“Maaf ada pertemuan sosialisasi AMP terbaru, baru
sesi pertama,” Rosa terkejut bersama kata-kata yang
diucapkan sendiri. Entah apa lontaran kata-kata yang
dilemparkan Adrian. “Tentang Audit. Oh, maksudnya
review…”
“Apa? Audit? Audit apa?”
“Maternal.”

288
“Maternal apa?” sambar Adrian lagi. “Audit saja diri
sendiri juga. Jujur atau tidak, benar atau memang salah.
Lagi pertemuan dengan Yordan lagi? Suruh dia juga
audit pekerjaannya sudah benar atau tidak benar.”
“Sungguh, jangan marah begitu Kak Ian. Ini per­
temuan.”
“Kapan kamu pulang?” tanya Adrian.
“Mudah-mudahan sore ini atau besok setelah selesai
pertemuan, dengan travel sore.”
“Oh, mudah-mudahan ya? Jadi, tidak pasti?” Adrian
menekannya.
“Sabar Kak Ian…”
“Kamu pulang untuk bertemu saya saja selalu
mudah-mudahan. Saya yang datang ke tempat kerjamu
kamu suruh saya tidur di rumah Kepala Desa. Ada apa
kamu? Mau main-main sama saya?”
“Ada apa denganmu Kak Ian?”
“Kenapa kamu tidak jelaskan kalau pasien yang
dirujuk dan terjebak longsoran itu meninggal? Ibu dan
bayinya sekaligus? Kenapa kamu rahasiakan dari saya?”
“Sudah berbulan-bulan yang lalu. Apa kamu punya
waktu untuk mendengar penjelasan saya waktu itu? Apa
kamu mau dengar kenapa saya tidak jadi pulang waktu
itu? Kamu bisanya hanya marah-marah. Sabar Ian…
Dengar baik-baik.”
“Ada apa dengan kamu sebenarnya?”
“Ada apa Kak Ian,” jawab Bidan Ros.

289
“Oh, pantas cara menjawabmu seperti ini. Pantas
saja ibu dan bayinya meninggal di tanganmu. Di jalan
lagi. Pasti ada sesuatu yang kurang beres dengan kamu.
Jadi, kamu memang harus diaudit.”
“Kak Ian! Ada apa?” Ros mengecilkan suaranya agar
tidak terdengar orang lain.
“Kamu bermain api makanya terbakar!”
“Tega benar bicara begitu, Kak Ian?”
“Ingat! Kita sudah tunangan,” sambar Adrian. “Jadi,
jangan main-main dengan hubungan ini. Apa kata orang
tua saya kalau kamu sembunyikan banyak hal dari saya.
Menurut saya, tidak mungkin ibu rujuk yang terjebak
longsoran itu meninggal bersama bayinya, jika kamu
memang benar-benar bersih. Pasti ada apa-apa dengan
kamu!”
“Apa kamu bilang?” Ros merasa sesak dan ingin
meledak. Ia berupaya keras untuk menguasai keter­ke­
jutan dirinya sendiri.
“Kamu asyik berdua-duaan dengan itu Yordan.
Betul toh? Ketangkap basah toh? Sudah berapa kali
kamu pulang pergi dengan itu Dokter Monyet. Sudah
selingkuh berapa lama dengan dia? Kasih tahu itu
Monyet, saya telan dia nanti!”
“Tega benar…” Rosa merasa sesak hatinya.
“Karena itu, cepat pulang hari ini juga. Kalau kamu
tidak pulang, kita putus!”
“Apa kamu bilang?”
“Putus!” Adrian berteriak dan mematikan HP.

290
“Kak Adrian, Kak Ian, halo, halo, halo Kak Adrian,
Kak Ian...” Rosa segera bersandar dan menarik napas
panjang memperhatikan HP dalam genggamannya. Se­
lanjutnya, Ros menelepon lagi ke nomor HP Adrian.
Satu, dua, tiga, empat, sampai lima kali telepon masuk,
tetapi Adrian tidak menanggapi panggilannya.
“Begitukah Adrian menilai saya?” Ros merasa hati­
nya sakit. “Tega benar dia!” Selanjutnya, dengan gemetar
Ros menekan nomor mamanya. “Telepon yang Anda
tuju sedang sibuk. Cobalah beberapa saat lagi,” Rosa
terhenyak.

***

“Rosa…” Vero muncul dari arah ruang istirahat


minum bersama Yordan dan Gebi di belakangnya. “Kami
cari ke mana-mana, di sini rupanya. Telepon Adrian ya?”
“Mau telepon Mama,” jawab Ros sambil berusaha
sekuat tenaga menyembunyikan apa sebenarnya yang
terjadi. “Bunyi sibuk terus, mungkin Mama lagi bicara
dengan anak-anaknya yang lain. “Sebentar!” Ros menarik
tangan Vero agar menjauh. Air matanya jatuh. “Vero…”
“Ada apa? Soal Adrian lagi? Ini saya bawa teh,” Vero
menyerahkan secangkir teh untuk Ros. “Minum dulu
biar tenang. Hapus air matamu. Adrian marah? Suruh
pulang?”
“Ya!”
“Tetapi, tidak perlu menangis. Hapus air matamu,”
kata Vero. Ros menghapus air matanya. Secangkir teh

291
hangat dari Vero dihabiskannya dengan sekali teguk. “Ini
pertemuan. Kurang cantik kalau ada yang tahu Bidan
Ros menangis. Ayo.”
“Yordan bawa roti untuk kamu. Hanya ini yang ada
di meja. Lain kali minum dulu baru telepon. Biar tidak
terlalu capek,” kata Vero. “Kenalkan yang ini Gabriel
Theofilus Suri.”
“Rosa,” kata Ros.
“Gabriel atau Biel.”
“Ini dia notaris yang terkenal seantero kota karena
salah kamar. He he notaris peduli KIA, tim penyuluh
kesehatan reproduksi remaja. Kalau Puskesmas kalian
perlu, undang saja. Kami berdua bersama Dokter Mersi
teman seangkatan Dokter Yordan, masuk dalam satu
tim.”
“Sudah tahu,” kata Ros yang belum sanggup meng­
atasi rasa sakit hatinya.
“Minum lagi,” kata Yordan. “Ini rotinya. Makanlah.”
“Ya, terima kasih Dokter,” Ros langsung minum teh
hangat yang diberikan Yordan. Sekali hirup sampai habis
untuk melegakan kesesakan dadanya. “Terima kasih ya.”
Mereka berempat duduk bersandar pada tembok
pembatas teras samping luar ruang pertemuan, ber­
hadapan dengan jalan raya. Kendaraan yang lalu-lalang
di jalan dapat dilihat dengan mudah.
“Tambah lagi ya?’ Yordan pergi dan kembali lagi
dengan secangkir teh panas untuk Ros.

292
“Terima kasih,” kata Ros. Yordan menangkap tanda
sedih pada mata perempuan pujaan hatinya itu. “Ada apa
dengan dia?” tanyanya dalam hati.
“Ibu Bidan ditanya Dokter Kupang.”
“Mana?”
“Itu, yang duduk dengan Bapa Desa,” Mina memi­
ringkan kepalanya. “Itu Dokter.”
“Oh, Dokter Lourens?”
“Dia tanya mana Bidan Ros? Saya jawab mungkin
di teras. Eh, ternyata benar. Bu Bidan, dokter itu masih
bujang. Orangnya gagah, cocok dengan Ibu Bidan,” goda
Mina dan tidak ditanggapi Rosa. Pandangannya dilempar
ke jalan raya memperhatikan kendaraan di jalan.
“Itu travel ke Bajawa!” kata Yordan.
“Jadi pulang habis pertemuan?” tanya Vero. “Telepon
travel, ada nomornya, biar travel jemput di sini. Jadi?”
“Ada travel ke Bajawa yang saya kenal. Besok pagi
saja,” kata Ros sambil mencari nomor travel di HP-nya.
“Tunggu ya, mudah-mudahan travelnya menuju Bajawa
besok pagi. Ros berbicara dengan seseorang yang
dipanggil Om Sopir.
“Ya, saya langsung ke terminal,” beberapa saat
kemudian HP dimatikan. “Ada travel besok pagi jam
enam.”
“Saya yang antar ke terminal ya,” kata Yordan
segera.
“Terima kasih.”

293
Martin bergabung bersama Bapa Desa. “Bidan Rosa
dan Martin masih ada hubungan keluarga,” Yordan
mengalihkan perhatian. “Wajahnya Bidan Ros mirip
benar dengan Mia adiknya Martin.”
“Bagaimana Ibu Bidan? Jadi pulang?” tanya Martin.
“Pilih saya atau Yordan yang antar. Kalau Yordan
antar sampai terminal, saya mau antar sampai Bajawa.
Bagaimana?”
“Bagaimana kalau kita semua antar ke Bajawa?” Vero
yang menjawab.
***
Terdengar pengumuman agar peserta masuk
kembali ke dalam ruang pertemuan dan mereka semua
beranjak ke sana. “Tadi Adrian bicara apa?” Tanya Vero.
“Maaf Ros saya bicara terus terang. Ros harus berani
pertimbangkan kembali hubungan dengan dia. Ada
banyak cerita dari Nining tentang dia. Rosa tahu bukan?
Nining sangat tahu apa arti persahabatan kita. Kita
bukan hanya teman, tetapi saudara!”
“Ya, Adrian akhir-akhir ini seperti detektif.”
“Pulang saja biar jelas informasi tentang dia!”
“Bagaimana Nazar? Benarkah dia pacaran dengan
dokter baru?” tanya Ros.
“Kata Sitti pacar barunya sudah pulang. Sekarang
kelihatannya aman.”
“Jangan gampang termakan isu. Mungkin Nazar
hanya kebetulan sedang jalan berdua.” Kedua berjalan

294
lebih dulu bersama Mina dan Sofia. Martin, Yordan, Biel,
dan Bapa Desa masih berbincang sambil tertawa. Entah
apa yang ditertawakannya.
“Bagaimana Ibu Bidan? Jadi pulang besok?” tanya
Mina.
“Kalau tidak jadi kita pulang sama-sama dengan
Bapa Desa,” sambung Sofia. “Bapa Desa di depan dengan
Om Martin, kita tiga orang di belakang.”
“Eh, lebih baik Ibu Bidan pulang dengan Pak
Dokter. Dia pulang sendiri dan tidak muat siapa-siapa,”
kata Mina. “Bagaimana?”
“Saya pulang ke Bajawa besok pagi jam enam! Jadi
pulang.”
“Sore ini setelah pertemuan ke mana? Kita jalan-
jalan ke Pasar Senggol?”
“Saya dengan Dokter Yordan ke Rumah Bersalin,”
jawab Ros.
“Baik sudah,” kata Sofia. Mereka kembali ke tempat
duduk awal. Martin di samping Bapa Desa, Ros bersama
Vero, Mina, dan Sofia kembali duduk di barisan paling
belakang, Yordan duduk di samping Martin.

***

Bagian kelima dari prinsip RMP adalah pembe­


lajaran,” layar keenam belas. Dokter Lourens langsung
bicara. “Coba kita perhatikan baik-baik karena setelah ini
acara akan dilanjutkan dengan diskusi kelompok. Hasil

295
diskusi kelompok akan dipresentasikan setelah santap
siang. Ini sesuai jadwal yang ada pada saya. Sama dengan
jadwal yang ada di tangan bapak, ibu ya?”
“Salah satu upaya RMP adalah demi pelayanan
yang lebih baik bagi ibu dan bayi. Pembelajaran ber­
sifat individual, kelompok terfokus, maupun massal ber­
dasarkan rekomendasi yang dihasilkan oleh pengkaji,”
layar kedelapan belas.
“Audit eh maaf maksudnya review ini. Intinya, hasil
kajian ini akan bermanfaat sebagai pembelajaran agar
tidak terulang lagi,” kata Dokter Lourens. “Kamu yang
perlu diaudit. Kamu bermain api makanya terbakar,”
Rosa tergetar saat kata-kata Adrian terngiang kembali
di tengah pertemuan. “Tega benar dia!” Rosa merasa
sakit. Dia membaca SMS untuk mengalihkan rasa
sakitnya. “Wajahmu tampak sedih. Ada apa? Ada yang
perlu dibantu?” SMS dari Yordan. Rosa menoleh dan
tatapannya bertemu dengan tatapan Yordan. Rosa
menggeleng.

***

“Kami kader ini masuk dalam kelompok mana?”


Kembali Sofia memberanikan diri berdiri dan bicara.
“Mohon maaf Bapa Dokter saya harus tanya supaya
jangan salah.”
“Bagus sekali. Kalau semua ibu kader seperti ibu
ini sangat luar biasa. Ibu dan bayi senang, keluarga
senang, masyarakat senang, Polindes, Puskesmas, Dinas

296
Kesehatan dari semua jenjang pasti lebih tenang. Untung
benar ada ibu kader hari ini.…”
“Memang untung ada kami,” kata-kata Sofia di­
sambut gelak tawa yang bagus untuk menghilangkan
kantuk.
“Ibu dari desa…yang pernah ada kasus?”
“Ya.”
“Ibu terjebak longsor?”
“Dokter sudah tahu tanya lagi,” ruangan pertemuan
meledak lagi dengan tawa ria. “Mohon maaf kami kader
biasa apa adanya. Soalnya dokter juga omong banyak
bukan main. Kepala kami jadi pusing. Banyak kata-kata
Inggris, susah! Makanya jangan marah kalau kami tanya
macam-macam.”
“Bagus! Di desa dengan bidan siapa…” Dokter
membolak-balik catatannya.
“Bidan Rosa Dalima,” Sofia menjawab lengkap.
“Mana orangnya silakan berdiri,” Rosa mencubit
lengan Sofia dan semua mata beralih ke belakang. “Wow
cantik sekali,” spontan Dokter Lourens bicara dan tawa
meledak lebih riuh dari sebelumnya. “Ibu Bidan Rosa
Dalima. Biasa dipanggil bidan.…”
“Saya Rosa Dalima dipanggil Ros, Bidan Ros,” jawab
Ros.
“Wow, halus dan lembut begini suaranya…” tawa ria
meledak lagi. “Bapa Desa dan kader-kader jaga baik-baik
kalian punya bidan ya. Awas dibawa lari orang. Hati-hati

297
dengan dokter Puskesmas. Ada dokter Puskesmas di
sini? Dokter Yordan!” Dokter Lourens tertawa.
“Adaaa,” serentak peserta menunjuk dokter Puskes­
mas. “Masih bujang.”
“Saya juga masih bujang,” Dokter Lourens tertawa.
“Jadi, bidan cantik ini bisa diperebutkan,” suasana
pertemuan menjadi riuh.
“Mana Dokter Yordan. Itu di sana,” kata Dokter
Lourens. “Tolong berdiri, teman!”
“Kita jodohkan mereka berdua sekarang ya. Ha ha
ha,” gurau Dokter Lourens.
“Setuju,” kata Vero diikuti Mina dan Sofia.
“Bagaimana Dokter Yordan…mau?”
“Mau, mau, mau, dan mau,” jawab Yordan dan
segenap peserta tertawa lucu.

***
Pertemuan dilanjutkan. Dokter Lourens meng­
awalinya dengan informasi singkat bahwa dirinya sudah
membaca laporan yang dibuat Bidan Ros yang diberikan
Yordan untuknya.
“Laporan yang Bidan Ros buat itu cukup lengkap
dari semua aspek. Masalah yang berhubungan dengan
pasien, menajemen pelayanan, dan pemberian pelayanan
kesehatan. Catatan observasi juga lengkap, benar, dan
tepat. Terima kasih ya Ibu Bidan. Laporan seperti ini
akan membuat pelaksanaan RMP berjalan lebih bagus.
Pembelajaran yang dapat diambil dari sana lebih mudah

298
dimengerti. Terima kasih sekali lagi,” kata Dokter
Lourens yang jarang disampaikan dokter, apalagi untuk
berterima kasih pada bidan yang menjadi ujung tombak
di lapangan.
“Terima kasih kembali, dokter,” jawab Bidan Ros.
“Aduh, manisnyaaa,” suara dokter pemateri me­
mancing tawa ria lagi. “Memang manis. Coba perhatikan.
Apakah ada di antara kalian laki-laki di sini yang berani
bilang tidak manis?” Pertanyaan Dokter dijawab dengan
tawa ria dan berbagai komentar.
“Silakan duduk Bidan Ros. Sekarang saya akan jawab
pertanyaan ibu kader. Siapa namanya?”
“Sofia!”
“Ibu Sofia! Ibu masuk dalam kelompok masyarakat.
Perhatikan ini.”
“Yang termasuk dalam kelompok masyarakat itu
adalah pasien dan keluarganya, kelompok organisasi
kemasyarakatan. Ibu termasuk di dalamnya. Tugas ibu
terutama penyampaian informasi tentang kematian yang
terjadi. Jawab saja semua pertanyaan sepanjang yang ibu
tahu dan bisa jawab. Selanjutnya, akan ditindaklanjuti
oleh petugas kesehatan. Jelas?”
“Jelas,” jawab Sofia. “Saya selalu lapor Ibu Bidan.
Kalau kami lapor Ibu Bidan, pasti Ibu tulis semuanya.
“Apakah benar ada laporan yang hilang?” tanya
Dokter Lourens.
“Ya, benar!” Jawab Sofia. “Tidak,” jawab Ros. Martin
dan Yordan menoleh.

299
“Yang benar mana? Ya atau Tidak?”
“Ya Dokter,” Sofia menyambung. “Semua laporan
yang Ibu Bidan sudah tulis, dicuri orang. Untung Ibu
Bidan ada simpan yang lain,”Sepanjang penjelasan
Dokter Lourens itu HP Ros bergetar beberapa kali.
Telepon dari mamanya di Bajawa dan SMS dari Om
Martin, Dokter Yordan, dan Mamanya. Rosa mem­
bacanya.
“Bagaimana Bidan Ros?”
“Laporan lengkap sudah ada pada Dokter, seperti
yang Dokter sudah katakan tadi.”
“Apa benar berkas laporan pernah hilang?”
“Sudah sampai ke tangan semua pihak yang ber­ke­
pentingan. Juga sudah sampai ke tangan Dokter,” jawab
Ros. “Sudah ada juga di tangan Dokter.”
“Jangan takut untuk jujur, Ibu Bidan,” kata Dokter
Lourens.
“Saya selalu berusaha untuk tidak berbohong,”
sambung Ros dengan pahit.
“Untuk kasus-kasus seperti ini dokumen laporannya
tidak boleh diambil orang. Apalagi kalau diambil orang
yang tidak kita kenal. Hal ini penting diperhatikan oleh
semua kita,” kata Lourens. “Kalau Ibu Bidan meng­
gunakan laptop jaga baik-baik agar tidak ada satu
dokumen pun yang terambil atau bahkan di-delete orang
lain.”

***

300
Ros terdiam. Semua mata memandangnya. Dia
alihkan perhatiannya pada SMS. “Rosa ada di mana?
Mama telepon,” SMS dari mamanya langsung dijawab.
“Ada pertemuan. Nanti saya telepon Mama kalau sudah
selesai.” “Habis pertemuan langsung ke Rumah Bersalin
Susteran ya. Setelah itu, kita ke Pantai. Ada yang jual
jagung bakar di pinggir pantai,” SMS dari Yordan.
“Terima kasih,” balas Ros.
Pikirannya masih berada dalam tekanan Adrian
ditambah lagi dengan kejujuran Sofia menyampaikan
informasi. Tujuannya untuk menolong Bidan Ros, namun
justru membongkar rahasia yang disimpannya selama
ini.
“Sopir travel bisa jemput di penginapan ini besok
pagi,” SMS dari Om Martin. Rosa tidak menjawab.
HP bergetar lagi SMS dari Om Martin. “Yordan ajak
kita semua makan jagung bakar di pantai,” Rosa tidak
menjawab. Yordan dan Martin dua-duanya dengan
caranya masing-masing berupaya menolong dirinya
keluar dari beban.
“Terima kasih,” Ros berkata pada dirinya sendiri.
“Ibu Bidan pikir apa?” Sofia menyadarkannya dari
lamunan. “Tidak perlu malu. Bapak dokter hanya tanya
saja karena dia kasian Ibu Bidan. Saya minta maaf kalau
saya yang salah, saya terlalu banyak omong. Maaf, Ibu
Bidan.…”

301
“Tidak apa-apa, terima kasih. Mama Sofia baik
sekali, tidak salah apa-apa. Saya senang. Sungguh saya
senang sekali,” kata Ros dengan tulus hati.
“Ibu Bidan memang baik. Terima kasih juga,” kata
Sofia. HP bergetar dan SMS dari Om Martin masuk lagi.
“Ibu Bidan kalau travel jemput besok pagi. Apakah Jadi?”
Ros tidak menjawab.
“Ada apa dengan dokumen yang hilang? Kenapa
tidak pernah cerita?” bisik Vero.

***

Diskusi kelompok akan segera dimulai. Ada lima


kelompok. Petugas membacakan nama-nama setiap ke­
lompok, materi diskusi yang harus dibahas dalam kelom­
pok, format laporan hasil diskusi, dan waktu diskusi.
SMS bergetar lagi.
“Jawab SMS saya Ibu Bidan Ros.” Ros tidak mem­
balas. HP bergetar lagi. “Saya bisa antar Ibu Bidan ke
Bajawa dengan kendaraan saya. Malam ini. Setuju?” Kali
ini Ros membalas SMS Om Martin dengan langsung
mendatanginya sementara peserta mencari kelompoknya
masing-masing.
“Om Martin maaf saya tidak jawab SMS-nya,” kata
Bidan Ros.
“Tidak apa-apa Ibu Bidan. Saya bisa antar ke Bajawa
malam ini atau besok pagi.”
“Terima kasih.”

302
“Kalau Ibu Bidan mau, saya bisa antar ke Bajawa.
Jam berapa saja biar tidak buru-buru,” kata Om Martin
dengan sopan. “Bisa sama-sama dengan Yordan.”
“Kalau tidak keberatan Om Martin tolong sama-
sama dengan Bapa Desa, Mama Sofia, dan Mina ya,”
kata Bidan Ros. “Saya ke Rumah Bersalin dengan Dokter
Yordan sore ini. Besok pagi-pagi Dokter Yordan akan
antar saya ke terminal. Saya baik-baik saja Om Martin.
Malam ini jadi makan jagung bakar sama-sama?”
“Ya,” kata Martin “Baiklah! Mari kita bergabung
dalam diskusi kelompok.”
“Mari sudah, kita satu kelompok,” Sofia dan Mina
pun bergabung. Keempatnya langsung bergabung dengan
Bapa Desa, Dokter Yordan, lima bidan dari kecamatan,
dan satu orang dari Dinas Kesehatan dan satu lagi dari
Badan Perencanaan. Dokter Yordan jadi ketua kelompok
dan anggota kelompok secara aklamasi memilih Bidan
Ros sebagai sekretaris yang akan mencatat semuanya
dan memberi catatan akhir.
“Fokus kita tentang kelompok masyarakat,” Yordan
memulai setelah mengirim satu SMS lagi untuk Ros.
“Dokter Lourens bilang kamu cantik. Saya bilang kamu
tidak hanya cantik, tetapi manis.” Ros tidak mengangkat
wajahnya saat membaca SMS itu. “Lagi berduaan dengan
Yordan ya?” SMS dari Adrian. Ros mengangkat wajahnya
dan tertunduk kembali beberapa saat kemudian.
Kelompok masyarakat terutama kader adalah bagian
yang paling diminati Bidan Ros dalam menjalankan

303
tugas-tugasnya di Polindes. Baginya, kader adalah pe­
nolong utama. Orang-orang, seperti Mama Sofia, Mama
Mina, Martin, Mama Gonz, Mama Falentina, Mia, Dion,
Magnus, Om Nadus, Om Frans dengan dukungan Bapa
Desa sangat menolongnya dalam bekerja.
Dokter Yordan memberi kesempatan kepada setiap
anggota kelompok untuk memberi masukan tentang
peran serta masyarakat dalam pelayanan ibu hamil, bayi,
dan balita. Secara bergantian para kader Polindes Bakung
menyampaikan pengalaman mereka. Ros mencatat se-
muanya dengan mudah karena dirinya pun terlibat di
dalamnya. Peserta lain pun menyampaikan sumbangan
pikiran penting tentang peran serta masyarakat.
“Perkuat konsep 2H2 di lapangan,” kata salah satu
peserta. “Sesuaikan dengan kondisi lapangan. Ibu, suami,
keluarga, dan kader jadi ujung tombak untuk meyakinkan
bagaimana konsep ini dijalankan.”
“Ya ini penting sekali. Cocok dengan wilayah kita
yang bergunung-gunung. Apalagi kalau ada ibu hamil
yang tinggal di gunung, di kebun, jauh dari Polindes jauh
juga dari Puskesmas.”
“Rumah tunggu juga di dekat Puskesmas,” sambung
yang lain. “Supaya ibu hamil dan keluarganya bisa tinggal
selama beberapa hari sebelum dan sesudah melahirkan.
Upayakan masyarakat sendiri yang membangunnya.”
“Dukun bersalin jangan sampai dikucilkan. Rangkul
mereka untuk ikut terlibat sebagai mitra bidan. Karena

304
kenyataannya, masih cukup banyak ibu yang melahirkan
di rumah dan ditolong dukun.”
“Ya betul! Saya bisa kasih contoh nyata ibu hamil
yang melahirkan di rumah ditolong oleh dukun, tetapi
ada bidan yang berani membuat laporan bahwa ibu hamil
itu melahirkan di Puskesmas.”
“Laporan ABS alias Asal Bapak Senang.”
“Juga tentang kader,” sambung salah satu peserta.
“Bukan memberi gaji untuk kader, tetapi baik juga kalau
uang transport buat kader diperhatikan. Memang ada
kader yang suka rela, benar-benar suka rela. Siapa pun
dia sebaiknya diberi sekadar transport sebagai ucapan
terima kasih dan penambah semangat.”
“Libatkan juga kader dalam pertemuan-pertemuan
seperti ini supaya kader tambah luas pengalamannya.”
Diskusi yang berjalan lancar juga membahas tentang
meningkatkan kualitas para kader untuk mendata sasaran
ibu hamil, ibu melahirkan, ibu nifas, ibu menyusui, bayi
baru lahir, PUS atau Pasangan Usia Subur. Mereka juga
perlu dilatih menginformasikan keberadaan ibu hamil
kepada petugas kesehatan.
“Kalau ibu hamil menghilang dari wilayah pantauan,
kader yang dilatih dapat menemukan di mana sebenarnya
ibu hamil berada. Selanjutnya, secara resmi dilaporkan
ke Puskesmas agar terjadi komunikasi tentang tempat
tinggal ibu hamil yang baru. Mungkin mesti dilakukan
jaringan kerja antarpolindes, Puskesmas, Rumah Sakit di

305
dalam kebupaten maupun lintas kabupaten. Bagaimana
pun keadaannya peran keluarga sangat menentukan di
samping para kader dan petugas lainnya yang disiapkan.”
“Kalau Ibu Nifas dan bayinya menghilang dari
wilayah pantauan, mestinya ada upaya yang mendesak
pihak keluarga untuk memastikan ibu dan bayinya ada di
mana, terutama ibu dan bayinya menjalani pemeriksaan
wajib.”
“Betul!”
“Kita juga perlu membahas tentang dokumen hilang
di Polindes. Bagaimana kader bisa tahu? Sebagaimana
yang disampaikan Ibu Sofia tadi, dokumen yang hilang
itu serius dan perlu dibahas untuk memastikan peran
serta masyarakat yang diinginkan,” kata salah satu
peserta.
Ros tertunduk. Matanya tertuju pada catatan hasil
diskusi yang akan dipresentasikan. Hanya Mama Sofia
saja yang tahu pada suatu siang ketika Ros sendirian
di Polindes. Mama Sofia datang dan tanpa diminta ikut
membantu Ros memeriksa semua dokumen yang ada.
Polindes itu kecil. Hanya ada satu lemari saja. Semua
catatan ada di sana, termasuk laporan tentang kematian
Mama Lisa dan bayinya. Satu-satunya dokumen yang
hilang dari dalam lemari.
“Jangan ada yang tahu ya Mama Sofia,” kata Ros
ketika itu.
“Harus cari tahu. Pasti ada yang curi,” kata Mama
Sofia.

306
“Jangan sampai ada yang tahu. Desa ini kecil. Heboh
nanti kalau satu dokumen yang hilang diceritakan kepada
penduduk desa. Diam saja ya, Mama Sofia.”
“Tetapi, Ibu Bidan punya laporan penting hilang.
Bagaimana kalau ada petugas dari Puskesmas atau dari
Dinas datang tanya. Mau lapor pakai apa?”
“Saya punya lagi satu,” kata Ros. “Ada juga datanya
dalam komputer saya.”
“Tetapi, itu pencuri harus diberi pelajaran.”
“Sudahlah Mama Sofia, jangan buat heboh.”
“Lapor Bapa Desa saja.”
“Jangan.”
“Kasih tahu Om Martin.”
“Jangan.”
“Kasih tahu Dokter Yordan saja.”
“Jangan.”
“Terus bagaimana?”
“Rahasia kita berdua ya Mama Sofia. Biar tidak ada
yang tahu. Janji ya.”
“Ya,” jawab Mama Sofia dengan tidak yakin.
“Mengapa Dokter Lourens bertanya? Dokter tahu dari
mana?” Pikiran Ros melayang ke Polindes. Siapakah yang
berani? Mama Gonz, Mama Falentina, dan Mia? Siapa
lagi? Sudah lama berlalu, Ros tidak ingin mengingatnya
lagi.
“Bagaimana Bidan Ros?” Yordan bertanya dengan
hati-hati.
“Ya,” jawab Ros.

307
“Bisa jelaskan tentang dokumen yang hilang?” tanya
Yordan lagi.
“Harus dijelaskan,” peserta menyambung. “Ini erat
kaitannya dengan partisipasi masyarakat. Tidak ada
satu pun data yang boleh lenyap begitu saja. Tidak ada
satpam di Polindes, tetapi ada warga sekitar, ada kader,
dan semua warga desa seharusnya memang menjadi
satpam yang utama. Bagaimana bisa hilang?”
“Baiklah saya akan jelaskan,” kata Bidan Ros dengan
tenang.
“Silakan Bidan,” kata Yordan sambil memperhatikan
dengan saksama wajah pembicara.
“Satu-satunya dokumen yang hilang dari Polindes
Bakung adalah dokumen berupa laporan tentang
penanganan awal kepada Ibu Lisa sampai kematiannya.
Termasuk laporan hasil observasi di Polindes, Puskes-
mas, dan RS. Juga laporan perjalanan dari Puskesmas
Flamboyan, hujan, longsor, tandu, dan segala sesuatu
yang terjadi dalam perjalanan, sampai tiba di RS,” Ros
terdiam sejenak.
“Saya tidak membuat laporan kehilangan untuk
Kepala Desa setempat, Kepala Puskesmas, maupun untuk
Dinas.”
“Kenapa?”
“Untuk apa? Saya tinggal di desa kecil. Saya be-
kerja di Polindes kecil. Tidak ada yang rahasia di
desa. Kalau saya laporkan kehilangan dokumen akan
menghebohkan segenap warga desa akan menimbulkan

308
kecurigaan satu sama lain, akan menimbulkan keresahan
di tengah desa kecil. Desa itu diliputi ketegangan sejak
kasus Mama Lisa. Baru saja akan kembali pulih dan
suasana kembali tenang. Mengapa saya harus membuat
laporan kehilangan? Mengapa saya harus menimbulkan
keresahan?”
“Tetapi, yang hilang tetap hilang.”
“Ya justru itu. Yang sudah hilang biarlah hilang.
Yang penting bagi saya adalah bisa bekerja dengan
tenang dalam suasana desa yang kondusif dengan
dukungan segenap warganya.”
“Bagaimana dengan kerahasiaan dokumen itu?”
“Tidak ada yang rahasia,” jawab Ros. “Apa yang
tertulis dalam dokumen itu jelas dan akurat. Isinya sama
dengan dokumen yang masih ada pada saya sekarang,
sama dengan yang ada pada Kepala Puskesmas dan Bidan
Kepala.”
“Bagaimana Dokter Lourens tahu?” tanya salah satu
peserta.
“Kita punya waktu diskusi terbatas,” Martin meng­
acungkan tangan sebelum bicara. “Saya juga ingin ber­
tanya bagaimana dan dari mana informasinya sehingga
Dokter Lourens tahu? Kecuali, Mama Sofia, kami kader
tidak tahu, Dokter Yordan tidak tahu, Kepala Desa pun
tidak tahu bahwa ada dokumen yang hilang. Saya pikir,
kita tidak perlu bahas mengapa hilang, kenapa Dokter
Lourens tahu. Yang penting sekarang, kita pikirkan

309
bagaimana partisipasi masyarakat untuk menjaga
keamanan Polindes dan lainnya.”
“Ya, Martin betul,” Yordan melanjutkan. “Seba­gai­
mana disampaikan juga oleh peserta tadi. Yang penting
digarisbawahi adalah keamanan semua dokumen di
Polindes. Buku registrasi, kartu ibu, status ibu dan
catatan observasi, serta catatan lainnya tentang itu.
Masyarakat sendirilah yang sebaiknya menjadi satpam
bagi keamanan Polindes, Bidan Polindes, dan semua
pekerja di Polindes. Bangunan Polindes, lingkungannya,
kebersihan, kehijauan, termasuk segenap sayur, bunga-
bunga, serta segenap bibit tanaman, dan tanaman lainnya
harus aman di tengah-tengah masyarakat.”
“Catatan penting buat semua bidan dan perawat
di desa. Kalau ada kehilangan dokumen dalam bentuk
apapun harus dibuat laporan resmi.”
“Harus diusut untuk mengetahui apa motivasi di
balik pencurian dokumen itu.”
“Bagaimana Ibu Bidan?” tanya Yordan. “Bagaimana
dengan suratku,” bisik Yordan
“Ya, akan diperhatikan,” jawab Ros dengan tetap
tenang. “Suratmu ada Dokter. Masih selalu ada, tidak ada
yang hilang,” Ros juga berbisik.
“Terima kasih ya Nona Manis.”

310
18
Tentang Pilihan dan Kesetiaan

Satu topik lagi yang dibahas dalam diskusi kelompok


partisipasi masyarakat adalah topografi – geografi. Topo­
grafi dan geografi wilayah kerja adalah salah satu alasan
utama mengapa perlu peran serta masyarakat. Tanah
berbukit-bukit, hutan dan kebun, gunung, sungai, dan
jalan setapak. Jarak cukup jauh antara rumah yang satu
dengan rumah lain. Jarak antara rumah dan Puskesmas
yang hanya dapat ditempuh dengan jalan kaki. Jalan
berlubang-lubang, kesulitan kendaraan, jembatan putus,
hujan, dan banjir merupakan bagian-bagian yang tidak
mudah diatasi tanpa partisipasi masyarakat.
Apalagi situasi ekonomi keluarga yang serba
pas, bahkan di bawah dari cukup. Karena itu, dapat
dimengerti mengapa sampai saat ini masih ada keluarga
yang memastikan ibu melahirkan ditolong dukun
bersalin. Jika terjadi pendarahan atau komplikasi lainnya,
baru pasien dibawa ke Puskesmas atau RSU dalam
keadaan kritis dengan akibat yang paling fatal, yaitu

311
pulang dalam keadaan tidur abadi tidak pernah bangun
lagi.
Keberadaan kader sebagai salah satu bentuk
utama partisipasi dan peran serta masyarakat. Mereka
adalah orang yang tahu situasi ekologi topografi tanah
leluhurnya. Mereka tahu apa yang ada di tengah komu­
nitas hidup sehari-hari.
Siapa yang menikah dengan siapa dan apa ma­­
salahnya. Siapa yang hamil, berapa orang, punya suami
atau tidak, sudah menikah secara resmi atau belum,
apakah belis atau mas kawin sudah diselesaikan, dan
segala problem seputarnya yang sudah menjadi rahasia
umum.
Mereka jugalah orang yang seringkali datang
ke Polindes mengantar ibu hamil untuk ditangani
sesuai aturan yang ada. Bahkan, jika ada supervisi dari
kabupaten atau provinsi laporan dari kader seringkali
lebih dari apa yang diminta. Mereka akan memberi
informasi lengkap dan jauh lebih banyak. Mereka akan
berbicara jujur sesuai dengan apa yang terjadi, apa
adanya, dan seringkali mengejutkan.
“Persoalan bukan ada pada jalan buruk, jembatan
rusak, banjir, atau jalan jauh. Tinggal di sebelah sungai,
di kebun, di sebelah gunung, jauh dari jalan. Bukan itu,”
kata salah satu bidan. “Persoalan ada pada masyarakat
mengerti atau tidak.”
“Bisa lebih jelas?”

312
“Kalau ibu hamil, suami, dan keluarga mengerti pen­
tingnya periksa kehamilan, mereka pasti datang. Pasti!”
“Betul. Kalau ibu hamil tahu kapan dia mulai hamil
tentu tahu kapan melahirkan. Ibu dan keluarga juga bisa
buat rencana melahirkan di mana?”
“Datang dan bicara lengkap dengan bidan dan
dokter. Jadi, tahu jelas semua kondisi kehamilannya.”
“Bidan juga harus bertanggung jawab. Rajin dan
teliti mencatat status, mengisi semua data, meng­infor­
masikan tentang kehamilan sampai sekecil-kecilnya
kepada ibu hamil, suami, dan keluarganya. Semua jelas.
Jujur saja, ada bidan yang rajin dan teliti, tetapi ada juga
bidan yang malas, kasar, dan bekerja seenaknya.”
“Kaitannya dengan topografi geografi bagaimana?”
“Kalau ibu hamil, suami, dan keluarganya sudah
dapat penjelasan lengkap tentang kehamilan dan
bagaimana bersalin yang sehat dan selamat, bebas risiko,
pasti mereka akan lebih siap. Misalnya, datang paling
cepat dua hari sebelum melahirkan ke Puskesmas dan
bidan Polindes akan mendampinginya.”
“Yang tinggal di gunung, kebun, atau seberang
sungai datang ke Puskesmas satu minggu sebelum
melahirkan.”
“Yang tinggal di wilayah longsoran juga begitu.”
“Apalagi yang harus melewati jalan berlubang, jalan
rusak parah, jalan putus, harus lebih siap lagi untuk
datang ke Puskesmas lebih cepat lagi.”

313
“Biarpun jalan beraspal licin, biarpun jembatan emas
yang dibangun, kalau masyarakat tidak mengerti, malas
tahu, anggap biasa-biasa saja, anggap remeh, semua
upaya untuk menolong ibu hamil dan bayinya menjadi
sia-sia.”
“Ada kaitannya dengan konsep 2H2,” Yordan me­
mastikan. “Yang sudah dijelaskan lebih dulu,” Ros men­
catat semuanya.
“Supaya konsep ini berjalan dengan tepat sesuai
kondisi topografi – geografi, lebih baik lagi bila ibu hamil
dikasih sadar bahwa mereka itu penting. Penting untuk
diri sendiri. Maksud saya sadar diri sendiri hamil harus
sehat dan kuat. Bagaimana pun juga susahnya harus
berani sadar diri hamil ini penting. Diri sendiri yang
harus jaga.”
“Biasanya, maaf, ibu yang meninggal karena hamil
atau melahirkan itu pada dasarnya memang ada masalah-
masalah tadi. Entah masalah sakit secara medis, entah
masalah keluarga atau dirinya sendiri.”
“Orang kota yang datang ke wilayah kami juga
harus paham kondisi jalan rusak, jarak jauh, dan lain
sebagainya. Bagaimana ya caranya meyakinkan mereka
semua yang melakukan supervisi bahwa di belakang
meja dan di lapangan jauh berbeda,” kata Sofia. “Ada
banyak formulir yang mesti diisi, ada banyak aturan ini
itu, ada banyak masukkan begini begitu, bagus! Bagus
semua. Akan tetapi, bicara kenyataan lapangan, lain lagi

314
ceritanya. Kita semua akui bahwa keadaan desa, jalan,
dan lain-lainnya memang begini. Jadi, yang datang dari
kota itu perlu sekali-sekali turun lapangan, jalan, masuk
ke sungai, mendaki gunung, kunjungi ibu hamil atau
bayi ke kebun atau di sebelah gunung supaya tahu yang
sebenarnya. Jangan sampai mereka hanya datang satu
dua jam, tulis ini dan tulis itu, langsung pulang.”
“Catatan penting untuk kita semua, bagaimana
menjadi petugas yang setia dan kader yang setia.
Komunikasi antara segenap komponen pelayanan ter­
hadap ibu hamil. Masuk dalam wilayah pelayanan ini
adalah pilihan dan kesetiaan,” kata Dokter Yordan.
Ros mencatat semua hasil diskusi kelompok. Diskusi
yang lancar dan terarah karena berangkat dari realitas
lapangan. Yordan yang duduk di hadapannya memberi
beberapa catatan tambahan. Ros memperhatikan wajah
laki-laki itu berkali-kali. Mengangkat wajahnya dan
menatap Yordan saat mendengar dan tertunduk saat
mencatat. Tambahan datang juga dari beberapa peserta
lain. Setelah itu, Yordan dan Ros membuat kesimpulan
akhir untuk dilaporkan. Yordan berpindah duduk di
samping Ros.
“Kenapa tadi menatap saya terus?” tanya Yordan.
“Dalam rangka melihat pembicaranya, mendengar,
dan mencatat,” jawab Ros.
“Saya lebih ganteng dari Adrian, Martin, dan Dokter
Lourens, kan?” kata Yordan.

315
“Puji diri,” jawab Ros.
“Saya lihat sepanjang waktu memberi materi di aula
tadi, Dokter Lourens curi pandang terus ke deretan
belakang. Awas kalau dia sampai nyatakan cintanya.
Tolak sebelum terjadi ya.”
“Sama, yang duduk di deretan kanan, orang yang
duduk dekat Bapa Desa dan Om Martin juga curi
pandang terus,” Rosa tertawa.
“Saya memang lebih ganteng dari mereka semua,
kan?”
“Boleh juga!” jawab Ros.
“Makanya pilih saya!” kata Yordan.
“Dokter Yordan kepala Puskesmas saya, Adrian
tunangan saya. Bagaimana? Jelas?” Ros tertunduk sambil
merapikan semua bahan yang siap dipresentasikan.
“Adrian lagi!” komentar Yordan.
“Tadi ada yang bicara tentang pilihan dan ke­
setiaan,” kata Ros. “Saya sedang berada dalam pilihan dan
kesetiaan. Pada pekerjaan juga pada kehidupan pribadi
saya. Maaf ya, Dokter. Dokter baik sekali sama saya …”
kata Ros.

***

Presentasi hasil diskusi berjalan ramai dengan


berbagai perdebatan dan interupsi. Semuanya berjalan
lancar dari satu kelompok ke kelompok lainnya.
Bukan Sofia namanya jika hanya diam mendengar dan

316
laksanakan. Berkali-kali kader yang berani dan cerdas ini
menekankan peran keluarga ibu hamil dan keluarganya
adalah kunci utama.
“Ibu bidan sering bilang kader adalah penolong
utama ibu bidan, dukungan bapa desa, dan bapa desi
serta semua orang penting di desa itu juga penolong
utama. Terus terang, saya bangga dan akan lebih bangga
lagi kalau keluarga ibu hamil itu juga mendukung ibu
hamil. Sebab apa? Sebab kalau dipikir-pikir ibu hamil
itu mereka yang punya, tetapi mereka buat supaya tidak
punya hak untuk mengambil keputusan untuk dirinya
sendiri,” demikian kata Sofia.
“Bagaimana caranya agar ibu hamil bisa lebih
didorong untuk mengerti hak pribadinya untuk men­
dapatkan pelayanan terbaik?” tanya Dokter Lourens.
“Ini adat di sini. Ibu tidak punya hak suara. Kepu­
tusan apapun ada di tangan suami, orang tua, dan
keluarga suami. Kasian ibu hamil bukan?”
“Apa yang mesti dilakukan?”
“Ibu hamil harus diyakinkan berkali-kali. Itu salah
satu pekerjaan saya sebagai kader,” kata Sofia. “Ibu hamil
juga harus sadar dirinya. Jangan mau ikut bodoh-bodoh
saja kemauan keluarga.”
“Itu saja?”
“Mungkin juga lebih baik kalau ibu-ibu juga ada
rasa sekolah. Orang sekolahan biasanya kalau bicara
didengar. Seperti saya ini,” Sofia tertawa sendiri. “Bukan
mau puji diri. Saya ini kader berijazah SMP dengan

317
ijazah lapangan dari TP-PKK keterampilan keluarga.
Jadi, kalau kita omong masyarakat mau dengar sebab
ada sekolahnya, biar sedikit. Kalau tidak sekolah? Repot!
Bicara siapa yang mau dengar?”
“Pendidikan tetap nomor satu ya?” tanya Dokter
Lourens.
“Ya, kita dihargai kalau berpendidikan. Kita juga
dihargai kalau berani bicara benar.”
“Betul!”
“Ya, tetap semangat! Bukan suruh ibu hamil yang
tidak sekolah pergi ke sekolah, tapi ibu hamil dikasih
suluh tentang siapa mereka, mereka punya harga diri,
dan mereka juga penolong utama dirinya sendiri. Kalau
sudah mengerti seperti itu, sudah pasti urusan kader
dan urusan bidan jadi serba lancar,” sambung salah satu
peserta.
“Makanya, saya selalu bicara terus-menerus biar­
pun dicap omong banyak atau banyak omong, tidak
masalah. Yang penting saya harus yakinkan bahwa kalau
perempuan ada belajarnya, pasti disegani, apalagi kalau
perempuan ada kerjanya,” kata Sofia dengan yakin.
“Saya bangga sekali bisa bertemu dengan kader
sehebat Ibu Sofia,” kata Dokter Lourens.
“Karena kami punya bidan sudah latih kami semua.
Kami pertemuan di desa hampir tiap bulan. Untung
ada Ibu Bidan jadi kami memang tambah pintar,” ruang
pertemuan menjadi ramai dengan suara Mama Sofia.

318
“Bidan yang manis dan cantik,” spontan Dokter
Lourens bicara diikuti tawa ria peserta.
“Memang ya!”
“Rasanya ingin tinggal di Polindes Bakung karena
kadernya berani, bidannya pintar, cantik, manis lagi!”
Riuh rendah tawa peserta mendengar komentar Dokter
Lourens. “Bagaimana ibu kader? Bisa?”
“Tanya langsung saja,” semua peserta tertawa riang.
“Bagaimana Bidan Rosa Dalima yang dipanggil Rosa
atau Ros?” tanya Lourens.

***

Ros berusaha memperhatikan semua presentasi hari


itu. Dia merasa sesak memikirkan semua hal yang sudah
terjadi. Lebih sesak ketika membaca beberapa kasus yang
sudah terkategori rahasia berdasarkan kajian tim.

“Nyonya Y usia 26 tahun. Pekerjaan ibu rumah tang­


ga. Pendidikan SD. Suami petani dari Desa Kopi. Jarak
dari rumah ke fasilitas kesehatan lebih kurang 10
KM, dua setengah jam jalan kaki. Ibu meninggal 15
Januari 2014 pukul 01.45 WITA saat melahirkan di
rumah dan ditolong oleh dukun. Riwayat ANC47 dan
persalinan. Ibu melakukan pemeriksaan ANC sebanyak
dua kali oleh bidan di Pustu. Deteksi penyakit -/P4K-
Komplikasi dalam kehamilan: pendarahan + banyak,
retensio plasenta. Persalinan tanggal 15 Januari 2014
pukul 00.00 WITA, melahirkan spontan dengan

ANC (Antenatal Care): perawatan ibu sebelum melahirkan.


47

319
pendarahan banyak dan kesadaran menurun. Riwayat
risiko: pendarahan-/HB tidak diperiksa/masalah.
Riwayat rujukan: ibu dibawa ke dukun pertama tanggal
14 Januari 2014 pukul 21.00 WITA. Ditolong oleh
dukun pertama kurang lebih tiga jam; ibu dibawa ke
dukun kedua tanggal 15 Januari 2014 pukul 01.00
WITA. Pertolongan dukun kedua selama 45 menit.
Obsetri terdahulu: tidak ada kematian perinatal, anak
pertama hidup, jarak terakhir kehamilan enam tahun
dua bulan.”

“Sederhana sekali dan singkat laporannya. Kalau


saja ibu melahirkan di faskes atau fasilitas kesehatan
yang memadai, Puskesmas atau RS yang memadai, kalau
saja dukun tidak bertindak sendiri, kalau saja suami dan
keluarga membawa ibu hamil, kalau saja ada kader yang
bisa yakinkan keluarga betapa pentingnya melahirkan
di Polindes, Puskesmas atau RS. Kematian Nyonya
Y tidak perlu terjadi. Ini benar-benar menyedihkan,”
Ros memejamkan matanya sejenak. Kasus ini terlalu
sederhana untuk berakhir dengan kematian.
Betapa tipis jarak antara kehidupan dan kematian
yang mesti ditanggung ibu yang melalui dirinya
kehidupan baru dihadirkan di dunia ini.
“Entah bagaimana kalimat-kalimat yang tertulis tim
pengkaji terhadap kasus kematian Lisa. Nyonya L usia
23 tahun. Pekerjaan ibu rumah tangga. Pendidikan SMP.
Riwayat rujukan. Ya Tuhan, semoga Lisa dan bayinya
berbahagia bersamamu di Surga,” Bidan Ros tersentak

320
saat Vero menepuk bahunya. “Sudah selesai semuanya.
Masih melamun apa?”
“Saya pulang duluan ya.”
“Dengan siapa?”
“Notaris!”
“Dokter Nazar bagaimana? Kabar baik?”
“Selalu baik,” jawab Vero dengan gembira. “Mau
tidur di penginapan ini atau pulang bersama saya ke
rumah?”
“Di sini saja. Dokter Yordan mengajak saya ke
Rumah Bersalin sore ini. Ada urusan dengan dokter di
Rumah Bersalin. Saya ikut dia ya. Tidak nyaman rasanya
kalau menolak ke Rumah Bersalin. Besok saya diantar ke
terminal.”
“Janji sama Yordan? Lanjutkan saja Ros. Saya serius.
Pertimbangkan saran saya baik-baik ya,” Vero menepuk
bahu Ros. “Menurut Nining dan Sitti, Adrian tidak dapat
dipercaya lagi. Kamu tahu kan, teman kita tidak akan
berbicara sembarang,” Vero ingin bicara terus terang
apa sebenarnya yang terjadi, namun tidak sampai hati
melihat Ros gelisah. Biarlah Ros menemukan sendiri apa
yang terjadi sebenarnya.
“Sudah janji dengan Adrian. Besok siang bertemu
di rumah,” kata Ros. “Entah kenapa Kak Ian belakangan
ini selalu marah, curiga, menuduh, tidak sabar. Mungkin
karena saya terlalu sibuk ya? Jadi lupa memikirkan
dia....”

321
“Pulang saja dulu dan temui Adrianmu itu,” kata
Vero. “Itu Gabriel sudah datang. Sampai nanti ya. Salam
untuk Adrian dan keluargamu di sana.”
“Jam delapan malam ketemu di Pantai. Yordan ajak
makan jagung bakar.”

322
BAGIAN KEEMPAT

TERDENGAR SUARA
WIJAYA KUSUMA
MALAM INI
19
Waktu untuk Setia

Ros tinggalkan kampung halamannya. Cita-cita­nya


untuk pulang, bekerja mengabdi sebagai bidan, mem­
besarkan anak-anak, dan membangun rumah tang­ga­
nya bersama Adrian kandas. Tidak ada ruang sekecil
apapun baginya untuk menarik kembali Adrian ke dalam
pelukannya.
Adrian sudah jauh sekali, bahkan jauh dari dirinya
sendiri dengan berbagai alasan yang dicari-cari. Bukan
untuk memulai hubungannya dengan perempuan lain itu,
tetapi untuk mengakhiri pertunangannya dengan Ros
sebab Adrian sudah berkhianat jauh lebih awal dari yang
diketahui Ros.
Tekanan-tekanan yang dibuat Adrian selama ini
ternyata memiliki latar belakang yang jelas. Demikian
pula kecurigaannya yang berlebihan adalah ekspresi
dari kenyataan dirinya sendiri. Benar kata Veronika,
“Seseorang yang menghindari tanggung jawab dari
komitmen yang dibangunnya, itu artinya ada sesuatu
yang disembunyikannya untuk kepentingan dirinya

325
sendiri. Ada ketakutan, manipulasinya terbongkar meski­
pun pada kenyataannya semua orang juga sudah tahu.”
“Tugas terlalu jauh di Polindes, susah komunikasi,
signal onar, sibuk urus pasien, aktif dengan para kader,
hanya ingat kebun, ingat bunga. Dia hanya bisa mengerti
dirinya sendiri. Ibaratnya, dia itu perempuan siang
malam yang bekerja sepanjang waktu. Jadi, maaf saja,
saya sulit sekali mengerti Ros,” demikian alasan-alasan
yang dikemukakan Adrian.
“Dia bidan, tetapi bukan urus ibu-ibu hamil me­
lahirkan di Polindes, tetapi urus juga anak-anak remaja,
kunjung ibu-ibu di gunung di sebelah gunung, bahkan
sampai nginap di sana. Dia kunjung bayi dan kunjung
balita juga orang sakit lainnya. Saya pusing pikir bidan
seperti dia. Dia tidak tahu apa tugas utamanya. Belum
lagi dia urus kebun membuat sibuk dirinya sendiri,
padahal itu bukan kebun milik pribadinya, tapi kebun
Polindes. Dia bertemu dengan mama-mama dan bapa-
bapa kader, tua maupun muda. Hidup dia di sana hanya
untuk pekerjaannya. Saya sama sekali tidak diingatnya,”
kata Adrian lagi.
“Yang paling buat saya tersinggung, waktu saya
datang dia mati-matian tidak mau saya tidur di Polindes.
Dia maunya saya tidur di rumah Kepala Desa atau rumah
Martin atau rumah guru entah siapa namanya, bahkan
rumah Kepala Puskesmas yang jaraknya jauh sekali.”
“Dia bilang dia jaga nama baik di desa kecil itu. Me­
mangnya saya mau buat apa dengan dia?” Mata Adrian

326
menyala saat bicara. “Yang paling fatal itu, Ros diam-
diam sering berdua-duaan di jalanan dengan Dokter
Yordan kepala Puskesmas juga dengan Martin kader
desa. Saya sudah dengar semua. Ros pacaran dengan
Yordan saya punya teman, padahal sudah tunangan
dengan saya. Dia juga pacaran dengan Martin. Bagai­
mana mungkin Ros berkhianat?”
“Saya punya data lengkap. Kapan, di mana, dengan
siapa, untuk apa dia pergi!”
“Cukup!” kakak sulung Ros menggebrak meja. “Ka­
lau mau putus ya putus jangan cari-cari alasan.”
Pertemuan keluarga berakhir dengan kesepakatan
putus. Ros setuju. Meskipun tidak ada seorang pun yang
bertanya padanya, tidak ada seorang pun yang memberi
kesempatan kepadanya untuk ungkapkan pikiran-pikiran
dan isi hatinya, Ros merasa memang harus selesai.
Intinya, bukan semua alasan yang dicari-cari itu. Intinya,
Adrian sudah berlaku kasar baik melalui SMS maupun
telepon. Adrian tidak memiliki hati. Semua alasan yang
diberikannya hanya untuk membenarkan keputusan
putus yang sudah direncanakannya.
“Dalam tubuh yang sehat ada jiwa yang sehat,”
konsep ini sebagaimana sudah dibahas banyak tokoh
perlu diubah karena jelas sekali Adrian tidak sehat sebab
aspek psikis dari fisiknya yang gagah itu mengalami
gangguan serius. Bukankah kesetiaan hanya dimiliki
oleh orang-orang yang memiliki kesehatan psikis yang
terjaga? “Perempuan itu seorang dokter. Kamu kenal.

327
Saya tidak perlu menyebut namanya di sini,” SMS dari
Nining. “Sekarang bertugas di Puskesmas saya,” SMS
dari Nining. “Meskipun ada saya temanmu di sini, Adrian
malas tahu dan antar jemput itu dokter. Dia pura-pura
tidak kenal saya,” SMS dari Nining. “Dari gelagatnya,
saya tahu ada hubungan spesial dengan dokter,” SMS
dari Nining. “Adrian bilang bidan tidak ada apa-apanya
dibanding dokter! Dasar gila itu Adrian lagi mabuk cinta!
Putus saja!” SMS dari Nining.
“Tampaknya sulit pertahankan Adrian. Tetapi, Ros
lebih merasakannya bukan? Percaya pada hatimu,” SMS
dari Sitti. “Putus, putus, putus! Dasar laki-laki tidak
bertanggung jawab!” SMS dari Nining. “Ambil keputusan
dengan hatimu. Dunia tidak selebar daun kelor,” SMS
dari Linda. “Tidak ada yang lebih mengerti dari wijaya
kusuma,” SMS dari Vero.
“Benarkah Adrian mngkhianatinya?” Tanya Ros
dalam hati. “Apakah ketidaksabaran dan kekasarannya
selama ini melalui SMS dan telepon adalah tanda bahwa
Adrian menjauh?
Lima tahun hubungan itu dibangun dan dihancurkan
dalam beberapa detik. Beberapa detik? Betulkah? Bukan!
Adrian sudah membuat rencana yang lain dengan
berputar haluan ke perempuan lain? Benarkah Dokter
Lanny yang dimaksudkan Nining? Kendaraan yang
melaju kencang mengambil ancang-ancang untuk ber­
henti dengan mengurangi kecepatan saat akan melewati

328
jalan cabang menuju Aimere di depan Gua Maria Watu
Jaji.
“Ada apa Om Sopir?” tanya penumpang yang duduk
di belakang.
“Pak Adrian dengan perempuan buat apa di sini?”
Kata Om Sopir. “Oh ada kontrol proyek pengerjaan deker
dan got untuk saluran air. Oh, dia yang kerja proyek ini
rupanya. Hoe, parkir ke pinggir sedikit, orang lain mau
lewat,” suara Om Sopir diikuti langkah seorang sopir
meminggirkan kendaraan. “Kamu kira kamu punya jalan
sendiri, kah?”
“Senang tenaga honor kantor Pemda rangkap
urus proyek. Begitu sudah kalau orang dekat dengan
bos. Enteng-enteng saja mereka dapat proyek,” suara
penumpang di belakang.
“Itu dokter juga ada di sini,” sambung penumpang
lain. “Setia betul.”
“Tidak ada kerja di Puskesmas, kah?”
“Ini hari Minggu,” sambung Om Sopir. “Terserah
dia mau kerja proyek di hari Minggu. Eh, bukan! Dia
datang kontrol proyek dengan pacarnya. Itu namanya
pacar yang setia. Adrian senang punya nasib terang.
Tenaga honor, kontraktor, punya pacar dokter. Masa
depan cerah sekali.…”
“Aduh dia sudah putus dengan dia punya tunangan?”
Suara penumpang di belakang.
“Maaf Nona Bidan,” Om Sopir menyadari bahwa
penumpang yang duduk di sampingnya itu Bidan Ros

329
tunangannya Adrian. “Mereka sudah lama pacaran.
Jangan marah Nona Bidan saya omong terus terang saja.
Dari­pada Nona Bidan kena tipu terus-terus, jadi biarlah.
Lepas, buang dia. Laki-laki model Adrian itu repot, Nona
Bidan,” Ros diam saja, tidak menanggapi kata-kata Om
Sopir.
“Saya dengar mereka akan nikah sebentar lagi,”
kata Om Sopir lagi. “Nona Bidan sudah tahu, kah? Biar
sudah Nona. Laki-laki model begitu tidak bisa dipercaya.
Zaman sekarang laki-laki yang setia tuh bisa hitung
dengan jari he he he, kecuali saya Ibu Bidan, saya ini laki-
laki setia lahir batin,” Om Sopir tertawa.
“Jangan percaya juga Nona Bidan. Itu Om Sopir juga
muka perempuan,” sambung penumpang di belakang.
“Anak sudah tiga, tapi istri baru satu he he he.”
“Jangan omong sembarang. Saya ini tipe laki-laki
setia sampai mati. Kerja jadi sopir juga ini demi anak
istri. Saya punya istri guru, kerja. Kami dua setia satu
sama lain sampai tua.”

***
Ros menoleh sekilas menangkap wajah Adrian dan
perempuan itu. “Dokter itu dan Adrian. Benar-benar…
Dokter Lanny dan Lukas Kribo ada juga di sana,” Rosa
menghapus semua SMS satu persatu begitu kendaraan
yang ditumpanginya melewati jalan cabang. Yang masih
disimpan hanya SMS dari Vero.

330
Melewati gua Maria di Watu Jaji dia membuat tanda
salib dan tertunduk sebentar sebelum memasuki Wolo
Kole dan Kota Bajawa di bawah sana. Kota di tengah
lembah diapit Gunung Ngadha, Bukit Pipi Podo, dan
Lebi Jaga. Rumah-rumah tertata pada bagian tengah dan
menyebar di kaki-kaki bukit. Pada salah satu sudutnya
ada Adrian yang berani mengkhianatinya dengan
berbagai dalih. Lima tahun! Waktu cukup panjang
baginya untuk berhenti dan sadar bahwa usianya
kini sudah 26 tahun. Waktu yang indah untuk setia.
Benarkah?
“Baru dua puluh enam tahun,” Ros meyakinkan diri­
nya sendiri. Kota Bajawa dinaungi awan putih tipis yang
bergerak perlahan. Dalam posisi seperti itu bayangan
kota dingin itu menghilang di balik gunung. Travel yang
ditumpanginya melaju kencang. Pikirannya melayang
kepada Yordan.
“Tahukah dia bahwa Adrian pacaran dengan dok­
ter itu? Bukankah dokter itu pernah ikut pertemuan
tentang inisiasi menyusu dini yang diadakan bersama
AIP-MNH48 beberapa waktu lalu? Dokter itu…” Ros
membuang jauh-jauh pikirannya. Yang terdengar kembali
di telinga Ros adalah kata-kata Yordan di terminal Sabtu
pagi seminggu yang lalu.

AIP-MNH: Australia Indonesia Partnership for Maternal and Neonatal


48

Health. Sebuah lembaga kerja sama untuk meningkatkan kesehatan Ibu


dan bayi baru lahir pada provinsi atau kota yang menjadi target.

331
“Saya tunggu lama di terminal. Kalau terjadi se­
perti dulu, ternyata orangnya sudah lewat lebih awal
dan tinggalkan saya ya…nasib namanya,” kata Yordan
sebelum travel yang membawanya berangkat ke Bajawa.
“Sore minggu depan saya tunggu di sini. Kita makan
malam di Susteran. Suster tunggu kedatangan kita. Mau
menginap semalam lagi, boleh! Mau langsung kembali
ke Polindes juga boleh. Janji saya antar sampai Polindes.
Janji?”
“Janji,” jawab Ros sambil tersenyum.
“Salam hormat untuk Adi ya,” kata Yordan lagi saat
travel sudah siap untuk berangkat. Seminggu di Bajawa
hanya tiga kali bertemu Adrian. Pertemuan terakhir
adalah pertemuan dengan keputusan putus. Adrian
langsung pulang meskipun orang tua dan keluarganya
masih tetap tinggal. Berkali-kali bapa dan ibunya
memohon maaf atas keputusan yang Adrian ambil karena
sesungguhnya mereka juga sudah tahu bahwa Adrian
sudah lama membangun hubungan dengan perempuan
lain. Kesetiaannya berujung pada pengkhianatan. HP
bergetar telepon masuk dari Yordan.
“Jadi pulang hari ini?” tanya Yordan.
“Ya, sudah di jalan,” jawab Ros. “Sekitar tiga jam
sampai.”
“Dengan siapa?”
“Sendiri.”
“Saya tunggu di terminal.”
“Terima kasih.”

332
“Hati-hati di jalan ya.”
“Terima kasih.”
“Kembali kasih.”

***

“Kebersihan pangkal kesehatan harus jaga setiap


hari. Cuci tangan sebelum makan jangan lupa sehari-
harian,” dia mendengar kembali sayup-sayup suara anak-
anak desa yang menyanyi dalam lomba di depan Kantor
Desa.
“Hati yang bersih dan tangan yang memberi,” Ros
memejamkan matanya. “Adalah bagian dari kesehatan
budi,” kata-kata seorang Romo pada suatu pagi dalam
Gereja Paroki.
“Boleh dibawa semuanya,” kata Romo lagi ketika
keduanya berada di bawah pohon mahoni dengan buah-
buahnya yang jatuh ke bumi dengan bantuan usia matang
dan terpaan angin.
Rosa mengumpulkan semua buah mahoni itu dalam
satu keranjang besar untuk di bawanya ke Polindes
Bakung. Romo melengkapinya dengan satu keranjang
lagi dengan penjelasan lengkap tentang proses pem­
bibitannya. Ditambah lagi, bibit coklat yang belum sem­
pat disemai dibawa Ros pulang ke Bakung. Buah tangan
yang memberinya tempat, ruang, dan waktu lebih
banyak untuk memberi arti bagi hari-harinya yang selalu
diharapkannya dengan setia bersama Adrian.

333
Anak-anak dan remaja di sana bekerja bakti sepulang
sekolah dengan mengisi tanah dalam polibek. Mereka
menata polibek di sepanjang sisi pagar Polindes serta
tempat kosong mana saja yang dapat digunakan. Hadiah
buat mereka adalah masing-masing boleh membawa satu
anakan yang sudah jadi ke rumah masing-masing dengan
catatan wajib tanam.
Mencatat status bumil, melengkapi buku KIA, men­
dengar, dan menjelaskan kepada setiap ibu hamil dengan
serius, kunjungan rumah, penyuluhan, pendampingan
anak dan remaja, pendampingan kader, olahraga volly
bersama muda-mudi setiap hari Minggu sore serta
menikmati daun-daun, bunga-bunga, bibit, kebersihan,
dan kesejukan yang menatapnya dengan rasa terima
kasih. Itulah Ros bidan muda yang meyakinkan dirinya
untuk hati, pikiran, dan tubuh yang sehat.
“Setiap suami yang datang mengantar istrinya untuk
pertama kalinya pulang dengan membawa dua puluh
anakan mahoni dan dua puluh anakan coklat. Gratis, ”
tulisan itu tertera di depan Polindes.
“Setiap ibu hamil yang melahirkan di faskes49 boleh
membawa tambahan dua puluh lima anakan coklat, dan
dua puluh lima anakan mahoni,” tulisan di dalam ruang
periksa.
“Setiap kehamilan berisiko yang siap dirujuk satu
minggu sebelum hari H boleh bawa pulang lima puluh

Fasilitas Kesehatan yang memadai untuk menuju persalinan sehat.


49

334
anakan mahoni, sepuluh anakan jati emas, ditambah
bonus satu pot bunga wijaya kusuma.”
Ros tidak menyadari bahwa semua yang dilaku­
kannya membuat dirinya menjadi lebih kuat menghadapi
berbagai tantangan dalam tugas dan kewajibannya
sebagai bidan.
Dia tampak tenang ketika Pak Camat bersama
Dokter Yordan dan beberapa anggota rombongan
datang ke Polindes pada suatu hari dengan agenda
khusus kunjungan ke Polindes. Kepala Desa mengantar
rombongan mengitari Polindes yang kecil itu. Mama
Gonz dan Mama Falentina memberi penjelasan ini dan
itu dengan menyebutkan nama Ros berkali-kali. Hampir
semua warga khususnya anak, remaja, dan pemuda desa
merapat ke Polindes. Ada banyak kata-kata dari Bapa
Desa, Pak Camat, dan Kepala Puskesmas. Kalimat-
kalimat kebijakan dan motivasi memuji dan mendorong
agar lebih maju lagi. Hanya beberapa kalimat saja yang
dicatat dalam bukunya.
“Ekologi ini menunjukkan bukti bukan janji,” ka­
limat pertama. Ros menambahnya dengan “Ini slogan
yang biasa didengarnya dari iklan di televisi.”
“Sakit di tengah pelukan lingkungan yang bersih
dan segar adalah jalan pertama menuju kesembuhan,”
kalimat kedua. Ros tidak menambahnya dengan kata-kata
lain.
“Desa ini akan dikaruniai kehijauan pada segala su­
dutnya,” kalimat ketiga.

335
“Daun dan bunga-bunga adalah kata pertama. Kata
selanjutnya adalah diam untuk mengerti apa kata-kata
berikutnya,” kalimat keempat.
“Dokter Yordan sedang menguraikan perasaannya
sendiri. Apakah benar kata-kata Vero yang selalu
dikirimkannya untukku? Kamu cocok dengan Dokter
Yordan. Ha ha ha Vero, Vero! Yordan tidak memiliki
keberanian untuk berterus terang. Bisakah daun dan
bunga wijaya kusuma menjadi jembatannya?” tulis Ros
dalam bukunya dilengkapi dengan tempat, tanggal,
bulan, tahun, dan tanda tangan.

***

Ros tidak turun dari kendaraan saat Om Supir


berhenti dan istirahat sejenak di Ae Gela, jalan cabang
menuju Mbay. Deru motor meraung-raung berhenti tepat
di sisinya. Ros segera menutup jendela saat disadarinya
Lukas Kribo di atas motor itu. Lukas menggedor-gedor,
tetapi Ros tidak membukanya.
“Om Sopir,” teriaknya. “Saya perlu bicara dengan
Bidan Ros,” Lukas meninggalkan motornya, memutar ke
samping kanan dan berdiri di sisi jendela sopir. “Tidak
heran kalau Pak Adrian putus hubungan dengan Ibu
Bidan,” kata Lukas. “Semua orang juga tahu bidan hanya
urus pacaran satu kali dengan dua laki-laki. Betul! Pak
Adrian yang cerita dan saya juga bisa jadi saksi. Bidan
mau jawab apa?”

336
Ros diam saja.
“Semua orang bilang bidan Polindes Bakung ganti-
ganti, laki-laki antara Dokter Yordan dan Om Martin.
Padahal tidak benar. Saya juga bisa jadi saksi untuk Ibu
Bidan. Menurut Ibu Bidan bagaimana?”
Ros diam saja.
“Tidak mungkin bidan cantik begini rangkap laki-
laki. Betul?”
Ros diam saja.
“Sudah punya tunangan sarjana hukum, masih juga
pacaran dengan Martin karena Martin orang kaya punya
toko, kendaraan, dan pulang-pergi Surabaya, masih juga
pacaran dengan Yordan karena dokter.”
Ros diam saja.
“Semua orang omong begitu, tetapi saya tidak!”
Kata Lukas lagi. “Saya mati-matian membela Ibu Bidan.
Bajingan itu Martin dan Yordan. Pantas saja kalau Pak
Adrian pacaran dengan orang lain. Dokter lagi. Daripada
pacaran dengan bidan. Hanya bidan saja, sombong.”
Ros diam saja.
Lukas marah saat orang-orang yang mendengarnya
bicara tertawa. Dia marah bukan main. Dia segera kem­
bali ke motornya, menghidupkannya dengan kasar,
meraung-raung meninggalkan Ae Gela.
Ros menoleh ke kiri. Hamparan tanah berbukit-
bukit, luas membentang sepanjang mata memandang.
Gunung-gemunung, cakrawala, dan langit di kejauhan.

337
Ada tetesan air mata jatuh membasahi pipi. Ros segera
menghapusnya saat pintu sopir terbuka, penumpang
masuk kembali, dan kendaraan melaju.
***

Waktu bertemu di terminal, Dokter Yordan men­


jabat tangannya beberapa saat. “Baik, sehat, apa kabarmu
Bidan Ros?” tanyanya.
“Saya menunggumu di sini sejak satu jam yang lalu
karena khawatir saya tiba di sini dan Nona Bidan tidak
ada. Ada kiriman dari Kupang dua bungkusan biji jati
yang pasti akan lebih memberi arti bagi Polindes dan
tangan-tangan yang membuatnya memiliki tunas dan
tumbuh di bumi.”
“Kata-katanya penuh harapan seperti penyair,” Ros
tertawa.
“Saya susun kata-kata, hafal, dan sudah latihan
beberapa kali,” Yordan juga tertawa.
“Lama-lama bisa alih profesi ya,” sambung Rosa.
“Jadi penyair bukan dokter.”
“Dokter dan penyair boleh juga?”
“Bagaimana pengalaman dalam perjalanan?” tanya
Yordan.
“Sangat menyenangkan dan sudah sampai bukan?”
jawab Ros.
“Tahukah Nona Bidan bahwa hari ini hati saya
sungguh gembira?”
“Kenapa?”

338
“Melihat Nona Bidan datang, tersenyum dan ter­
tawa.”
“Saya capek bersedih,” jawab Rosa.
“Saya semangat menunggu,” kata Yordan.
“Menunggu apa?” tanya Ros.
“Pulang ke Polindes.”
“Dengan senang hati.”
“Dalam bungkusan ini ada selembar surat. Baca ya.
Meskipun surat terdahulu belum dibalas juga. Kuharap
surat ini Ros baca.”
“Ya Dokter terima kasih,” kata Ros. “Zaman HP
masih juga ada yang menulis surat,” kata Ros dalam hati.
“Saya di depan matanya. Kenapa harus surat? Laki-laki
ini lain daripada yang lain,” Ros merasa lucu. Baru saja
dia berjalan di sisi Yordan menuju mobil, terdengar HP
Yordan bernyanyi.
“Dari Adi,” Yordan langsung menyambut. “Halo,”
kata Yordan. “Ya Adi. Hei teman jangan begitu bicaranya.
Ya, sudah sampai. Kamu punya mata-mata ya? Oh ya?
Bagaimana dengan kamu?” Yordan terdiam sejenak.
“Matilda itu urusan saya atau urusan kamu, ya?
Kamu tahu dari dulu kan? Siapa saya ini. Saya tidak akan
sembarangan. Ya saya sudah tahu,” Yordan terdiam lagi.
“Jangan bicara seperti itu teman. Kalau saya satu
untuk satu selamanya, tidak ada yang disembunyikan di
depan apalagi yang disembunyikan di belakang. Apalagi
yang munafik seperti kamu! Oh ya?” Yordan terdiam.

339
“Oh begitu? Kamu sudah mau nikah ya nikah saja.
Jangan buat kerusakan lagi. Memang bukan urusan saya
juga bukan urusan kamu kan?” Yordan terdiam.
“Pasti! Saya akan tetap menjadi yang terhormat.
Kamu tahu itu! Cukup sampai di sini. Maaf saya tutup
telepon ini,” Yordan mematikan HP yang bernyanyi lagi
beberapa detik kemudian.
“Angkat dulu,” kata Ros.
“Tidak!” jawab Yordan dan benar-benar mematikan
HP-nya.
“Apa katanya?” tanya Ros.
“Biasa saja. Telepon dua laki-laki dewasa. Ayo,”
spontan Yordan menggenggam tangan Ros dan mem­
bawanya masuk ke dalam mobilnya. “Semuanya baik-baik
saja,” kata Yordan. Yordan tidak menceritakan padanya
bahwa minggu lalu pun Adrian menelepon dengan penuh
ancaman. “Aneh benar. Masih ingatkah dia pada Matilda?
Laki-laki berpendidikan katanya, tetapi sanggup mani­
pulatif untuk hal-hal pribadi. Mau dengan yang satu
tidak mau melepas yang lain,” kata Yordan dengan kesal.
“Apa kata Adrian?” tanya Ros.
“Yang penting Bidan baik-baik saja. Ayo,” Yordan
menghidupkan mobil dan keduanya meninggalkan ter­
minal waktu senja menuju malam.

340
20
Cerita tentang Warna

B
“ idan Rosa yang baik…Ini oleh-oleh dari Kupang.
Sebagian untuk Puskesmas Flamboyan sebagian untuk
Polindes Bakung. Dokter Made temanku yang bertugas
di Atambua yang mengumpulkan biji jati ini sepanjang
jalan dari Atambua menuju Kupang atau di mana saja ada
pohon jati dan ada biji jati yang berserakan di bawahnya.
Hasilnya Puskesmas tempatnya bekerja dipenuhi bibit
jati. Anakannya kini tersebar di mana-mana di bawah
setiap pasien yang berkunjung ke Puskesmas termasuk
ibu hamil dan keluarganya. Hampir sama ceritanya
dengan mahoni dan coklat yang engkau bawa dari paroki
beberapa waktu lalu.
Bibit jati ini sampai pada tangan yang tepat. Semoga
dapat menambah jumlah anakan jati yang sudah ada di
tamanmu. Semoga dapat menjadi temanmu di tengah
tugas-tugasmu yang berat, namun telah engkau jadikan
semuanya menjadi ringan. Kalau engkau datang ke
Puskesmas Flamboyan mungkin tunas-tunas sudah mulai
tumbuh di depan kamar nomor tiga dan di depan rumah

341
kapus. Keluarga Puskesmas menunggu kedatanganmu.
Mudah-mudahan - pada saatnya nanti - ada sebuah pesta
kecil untuk Bidan Teladan dari Polindes Bakung,” surat
itu dilengkapi tanda tangan dan nama jelas pemiliknya.
Ros melipat kembali surat itu dan meletakkannya
di bawah bantal. Ada keinginan untuk membacanya lagi
sebelum tidur malam nanti. Dari Polindes terdengar
suara Mama Gonz memanggil. “Istri Om Lipus yang
akan melahirkan!” kata Mama Gonz. Ros bergegas ke
sana.
“Melahirkan satu minggu lagi. Rujuk ke Puskesmas!”
kata Ros.
“Kak Martin baru pulang dari Kupang. Sekarang
ada di rumah,” kata Mia. Ros segera menelepon Martin.
“Om Martin di mana? Ada Ibu hamil yang akan diantar
ke Puskesmas. Tolong ya Om Martin. Tidak buru-buru.
Dalam catatan ibu ini akan melahirkan satu minggu lagi.
Ya terima kasih.”
“Tolong istri saya Ibu Bidan,” kata Om Lipus.
“Tidak apa-apa…masih seminggu lagi kan?” kata
Ros.
“Sakit sejak tadi malam. Saya punya pinggang
ini. Memang tidak sakit terus, tetapi sekali-sekali
dalam waktu sekarang sembuh, tetapi nanti sakit lagi.
Sekarang ini saya rasa sakit tambah sering. Sakit sekali
Bidan…tolong,” Ros bersama Mama Gonz melakukan
pemeriksaan.

342
“Ya Tuhan! Sudah siap lahir!” kata Mama Gonz.
“Susah sekali kalau ibu-ibu lupa tanggal kapan haid
terakhir. Jadi, salah hitung waktu dan begini jadinya,”
Mama Gonz bergerak cepat, segera melakukan berbagai
persiapan untuk melakukan pertolongan persalinan.
Gunting tali pusat, gunting jalan lahir, koker untuk
penjepit tali pusat, pemecah ketuban, beberapa sarung
tangan, dan kain steril.
Sering sekali mereka dihadapkan kelahiran se­
perti ini. Begitu saja bayi meluncur keluar. Setelah
pemotongan tali pusat, begitu saja placenta keluar dengan
gampang. Syukur semuanya sehat dan selamat dan dapat
diatasi dengan peralatan yang ada.
Ros memiliki kesempatan memfasilitasi inisiasi
menyu­su dini yang tidak pernah dilakukan Mama Gonz
dan Mama Falentina sebelumnya. Bayi merayap di atas
perut ibunya dan berusaha sekuat tenaga mencapai
payudara ibu. Bayi yang kuat berhasil melakukan dengan
sempurna menyusu pertama kali dalam kehidupannya
di dunia. Mendapatkan kromoson dari ASI eksklusif.
Setelah itu, bayi dimandikan dan tidur pada tempat yang
tersedia, ibu pun dapat beristirahat dengan nyaman.
“Ingat ya Om Lipus tidak ada pire50 untuk ibu
menyusui. Tidak ada pantangan makanan maupun
minuman. Asal jangan kelebihan makan lombok saja,
peda, kurang bagus untuk bayi. Seperti biasanya makan
Pire: pemali dalam tradisi adat setempat. Misalnya, Ibu hamil dilarang
50

makan telur ayam, kacang-kacangan, ikan, dan lainnya.

343
kacang-kacangan, ubi, jagung, kentang, nasi, semua jenis
sayur, boleh.”
“Yang ada gambarnya di dinding Polindes ini?”
“Ya. Semuanya ada di kebun sendiri,” jawab Ros.
“Telur ayam, daging, dan upayakan ada ikan. Kalau Om
Lipus ke pasar bisa beli ikan ya. Kalau bisa beli susu juga
baik untuk ibu hamil. Om Lipus sudah tahu kan? Biar
sudah tahu saya wajib menjelaskan lagi, biar ingat terus
dan jangan sampai lupa.”
“Ya, Ibu Bidan.”
“Anak keempat ya Om Lipus!” kata Bidan Ros.
“Ya, cukup empat!”
“Syukur!”
“Kenapa bisa lahir cepat Bu Bidan?” tanya Istri Om
Lipus.
“Kemungkinan pertama karena salah hitung,” ja­
wab Ros. “Maksudnya, waktu periksa pertama dulu
itu, kepastian kapan mulai hamil tidak tercatat, hanya
kira-kira saja sebab Mama Lipus lupa tanggal terakhir
menstruasi. Mama masih ingat?”
“Ya masih ingat!” jawabnya.
“Sekarang istirahat ya. Om Lipus boleh jaga. Sampai
besok sore kalau kondisinya bagus, boleh pulang,” kata
Bidan Ros.
“Saya undang ke saya punya rumah,” kaka Om
Lipus. “Syukur anak keempat sudah lahir. Lahir dengan
selamat.”

344
“Ya, saya akan mendampingi ibu dan bayinya pulang
ke rumahnya. Tentu saja dengan senang hati ke rumah
Om Lipus. Lusa sore ya.”
“Sama-sama Mama Falentina, Mama Gonz, Mia,
Om Martin, Mama Sofia, Mina semua diundang. Kalau
bisa acara siang supaya kalau pulang tidak sampai terlalu
malam.”
“Tidak apa-apa Om Lipus, kami pergi sama-
sama akan pulang juga sama-sama. Ramai dan pasti
menyenangkan walaupun malam,” kata Ros dengan hati
gembira.
“Ibu Bidan, kalau undang Dokter Yordan, apakah
Dokter mau datang?” tanya Om Lipus.
“Undang saja. Mudah-mudahan tidak ada pasien
yang perlu penanganan khusus, mudah-mudahan tidak
ada urusan lain,” kata Ros.
“Ibu Bidan tolong undang Dokter, bisa?”
“Jangan! Om Lipus yang undang langsung saja. Ini
ada nomor HP-nya,” kata Ros.
“Saya punya nomor HP Dokter,” kata Om Lipus.
“Tetapi, Ibu Bidan yang telepon.”
“Tidak. Om Lipus bisa telepon langsung sekarang,”
kata Ros sebelum masuk ke dalam ruang administrasi
untuk melengkapi laporan observasi.
“Tetapi jalan jauh, Ibu Bidan. Oto51 parkir di bawah
kampung. Sampai di rumah mesti jalan kaki kira-kira dua
kilo meter,” kata Om Lipus.
Oto: ungkapan lokal untuk menyebut kendaraan roda empat.
51

345
“Tidak apa-apa. Sudah biasa. Om Lipus juga tahu
kami sudah biasa jalan jauh,” kata Ros. “Telepon Dokter
ya,” Ros meninggalkan Om Lipus dan menyelesaikan
laporan. Perhatian orang-orang desa padanya, persalinan
yang mesti ditolongnya, dan keramahan yang jujur
diberikan untuknya adalah obat paling mujarab. Waktu
bergulir cepat sebelum sempat menghayati yang satu
harus berhadapan dengan hal lain. Termasuk menolong
persalinan saat hati sedang gundah. Siapakah yang mau
mengerti? Yang dapat dimengerti adalah ketenangannya
membuat catatan penting dari setiap persalinan yang
ditolongnya.
“Memang benar. Kepastian tentang tanggal terakhir
menstruasi menjadi begitu penting, namun selalu saja
tidak tepat. Penjelasan tentang siklus haid, tanggal,
minggu, bulan, dan tahun cukup serius untuk diberikan
dalam berbagai pertemuan khusus dengan kelompok ibu-
ibu dan bapak pasangan usia subur yang akan datang.”

***

“Melahirkan cepat sekali,” kata Mia saat Martin


datang dan tergesa-gesa menuju pintu Polindes. “Om
Lipus punya anak laki-laki. Kakak Bidan tolong gampang
sekali. Tiba-tiba anak bayi sudah menangis.”
“Oh sudah melahirkan?” tanya Martin.
“Ya, kakak! Sabar, Bidan masih di dalam,” kata Mia
lagi. “Itu Kakak Bidan.”

346
“Ya, ada Mama Gonz, Mama Falentina, dan Om
Lipus di dalam. Anak laki-laki sehat, ibunya juga sehat,”
kata Ros. “Terima kasih ya Om Martin sudah datang. Ibu
sudah melahirkan. Bayinya sehat, ibu sehat, dan sekarang
dijaga Om Lipus di dalam.”
“Syukurlah,” kata Martin.
“Kata Mia Om Martin baru dari Kupang ya?”
“Ya ini ada titipan dari Bidan Linda,” kata Martin.
“Ojan juga dapat titipan dari Dokter Made,” kata Martin.
“Terima kasih Om Martin. Dari Linda ya?”
“Hei ketemu di mana? Ya Linda. Apa ini?” Ros mem­
buka tas. “Gula lempeng, daging se’i52, gula hela53, dan apa
lagi nih? Bagi dua dengan Om Martin dan Mia ya. Oh,
untuk Mama Gonz dan Mama Falentina juga,” kata Rosa
sambil mengeluarkan HP dari dalam sakunya.
“Buat Ibu Bidan saja. Saya juga bawa dari Kupang,”
Martin bicara sambil membuka HP dan menelepon
Linda. “Ini Linda,” kata Martin.
“Halo Linda,” kata Ros dan terdiam beberapa saat.
“Bukan Om Martin, ini Ros. Ya HP-nya Om Martin. Om
Martin ada di sini,” Ros diam sejenak.
“Ya begitulah Linda. Terima kasih untuk dukungan­
nya selama ini. Oh ya, Tuhan atur lain daripada yang
lain. Saya berusaha terima kenyataan ini. Berusaha ikhlas
dari hari ke hari,” Ros terdiam.

52
Daging se’i: daging yang diasapkan, salah satu makanan lokal orang Timor,
Kupang.
53
Gula hela: gula tarik, sejenis permen khas lokal Kupang.

347
“Begitu? Menurut Nining sudah cukup lama. Ya,
dokter tugas di Puskesmas jadi Nining tahu dengan baik.
Kepala saya sesak rasanya, hati saya lebih sesak lagi.
Tidak sempat frustrasi ya, baru mau menghayati sedih
karena ditinggalkan sudah harus waspada menangani
kelahiran,” Ros terdiam.
“Ya, Linda, terima kasih. Memang perlu waktu un­
tuk berusaha ikhlas.” Ros terdiam lagi mendengar kata-
kata Linda.
“Terima kasih. Hai Linda, terima kasih juga oleh-
olehnya banyak sekali,” Ros diam lagi.
“Ooooh kakakmu sudah di Kupang? Pulang pergi
Surabaya Kupang? Oooh baguslah. Salam buat kakakmu
ya. Sampai jumpa di Kupang,” kata Ros. “Titip salam buat
Kapus dan semua kader,” kata Linda dari seberang sana.
“Saya kembalikan HP ke yang punya ya. Ini Om Martin,”
Ros menyerahkan HP dan Om Martin melanjutkan
pembicaraan dengan Linda.
“Om Martin kenal Nyong kakaknya Bidan Linda?”
“Teman kuliah di Surabaya dulu, tetapi beda kampus.
Lama di Surabaya dan sekarang seperti saya ini. Jadi
petani dan pengusaha kecil-kecilan,” kata Om Martin.
“Malam ini makan di sini.”
“Telepon Ojan juga,” kata Martin.
“Ya, saya akan telepon,” kata Ros.
“Dia pasti datang.”

***

348
Ros lebih bersemangat dan lebih ringan menghadapi
tantangan. Perjalanannya menuju akhir hubungannya
dengan Adrian terasa sangat melelahkan. Dirinya ingin
membuang jauh-jauh bayangan itu. Meskipun sulit, Ros
yakin dapat mengatasinya. Tidak ada satu pun SMS dari
Adrian yang dibacanya. Tidak ada satu pun telepon yang
diangkatnya. Dia pun tidak mau membaca SMS tanpa
nama pengirim, tidak mau mengangkat telepon dengan
nomor baru. Dia meyakinkan dirinya sendiri untuk
terbebaskan dari beban, melalui aktivitasnya sebagai
bidan yang tidak pernah sepi dari waktu ke waktu.
“Syukurlah, engkau sanggup membebaskan dirimu
dari Adrian si muka cabang,” SMS dari Nining. “Sudah
putus dengan Adrianmu? Saya baru mulai merajut
hubungan dengan seseorang. Siapa dia?” SMS dari Linda.
“Saya menikah tahun ini. Si gendut yang laris,” SMS
dari Theresia. “Pasti temanku sanggup menghadapinya.
Pasti,” SMS dari Sitti. “Inilah saat yang tepat untuk
meninggalkan yang lama dan memulai yang baru.
Syukur!” SMS dari Vero.
“Dengan doa kalian semua saya pasti bisa meng­
hadapinya,” SMS Ros for all. “Saya sudah mulai me­
mikirkannya. Pada saatnya saya akan menentukan,” balas
Ros untuk Vero. “Jangan terlalu lama. Awas Yordan lari,”
balas Vero.
“Bagaimana kalau kita libur bersama? Ke Bali.
Napak tilas ke kampus kita,” SMS Ros for all. “Setuju,”
jawaban segera dari semuanya. Hanya Theresia saja

349
yang menambah SMS-nya dengan kalimat, “Sebaiknya
pada saat saya berbulan madu. Kalian menjadi penjaga
pengantin.”
“Si gendut yang cantik dan baik hati,” Ros membalas
SMS Theresia sambil tertawa.
Tidak ada alasan baginya untuk bersedih apalagi
terluka karena hubungannya dengan Adrian berakhir.
Tidak ada alasan juga baginya untuk menaruh curiga
pada siapa pun. Pekerjaan di hadapan mata. Ibu hamil
datang dan melahirkan. Dia tidak dapat menunggu
apalagi menolak kedatangannya karena hatinya sedang
gundah. Karenanya, Ros meyakinkan dirinya sendiri
untuk lebih bersemangat menjalani pekerjaannya.
Hari itu dia ingin bekerja membersihkan taman
Polindes. Rasanya sudah lebih dari enam bulan taman
Polindes dibiarkan merana. Ada banyak rumput liar
di antara bunga-bunga. Ada banyak daun kering
yang membusuk dan perlu ditempatkan dalam wadah
pembuatan pupuk di belakang Polindes. Ada banyak pot
bunga yang mesti digembur ataupun diganti tanahnya.
Bunga-bunga wijaya kusuma pun ingin dirawatnya
sendiri.
Tiba-tiba Ros ingat Yordan. “Dengan senang hati
dia akan ikut turun ke taman ini bila saya meminta,” kata
Ros.
“Kalau tidak kuat menyimpan masalahmu sendiri
berbagilah dengan saya. Saya siap menjadi pendengar

350
yang baik,” kata Yordan senja hari dalam perjalanan
mengantarnya pulang ke Polindes.
“Tetapi, soal Kak Ian adalah soal yang sulit dibagi
denganmu Dokter Yordan,” kata Ros dalam hati. Ros
membuang jauh-jauh segala pikirannya tentang Adrian.
Dia meyakinkan dirinya sendiri bahwa taman dan
bunga-bunga adalah suplemen penting untuk mengatasi
kesedihan.
“Wajah Polindes adalah wajahmu,” Ros tersenyum
sendiri mengenang kembali obrolan dengan teman-
temannya tentang pentingnya kehijauan dan taman yang
indah di pusat-pusat pelayanan kesehatan.

***

Sambil menunggu istrinya melewati masa nifas


di Polindes, Om Lipus ikut membantu membersihkan
halaman Polindes. Mama Gonz, Falentina, Mia juga
turun tangan menggembur, mencabut rumput-rumput
kecil dalam setiap polibek, membersihkan taman bunga,
dan kebun di belakang Polindes. Ros bergembira.
Keluarga Om Lipus yang datang menjenguk juga
ikut ambil bagian. Anak-anak keluarga yang tinggal
di seputar Polindes juga membantu mengambil air di
belakang Polindes untuk menyiram semua tanaman.
“Rasa terima kasih dari tanaman tampak setiap saat
tanaman itu disentuh perhatian,” demikian pelajaran
yang diperoleh dari mamanya. Satu persatu wijaya

351
kusuma di teras Polindes dan teras rumah diturunkan.
Daun yang sudah layu dilepaskan, bunga yang sudah
kering juga dipotong. Semua dibersihkan dan digantung
kembali pada tempatnya.
Bunga kecubung dipangkas dengan membuang
dahan dan daun kering serta bagian cabang dan daun
yang terlalu rindang agar lebih banyak berbunga. Pagar
depan dan samping kiri kanan Polindes dipangkas
Om Lipus. Tidak lupa pagar belakang Polindes juga
dirapikan. Beberapa pipa bambu yang mengalirkan air
dari kaki bukit diganti dengan yang baru.
“Beli pupuk saja Kakak Bidan biar tambah subur,”
kata Mia. “Kakak Martin bisa beli di kota. Ada pupuk
kandang untuk sayur, bunga, pohon.”
“Pupuk kandang buat sendiri saja,” Mama Gonz
yang menjawab.
“Ya pupuk kandang buat sendiri lebih aman,” kata
Om Lipus.
“Ya, saya biasa dapat pupuk kandang dari Mama
Sofia. Nanti kita minta Mama Sofia bawa pupuk kandang
ke mari. Rasanya sudah lama sekali kebun kita ini tidak
dibersihkan dan tidak diberi nutrisi tambahan,” kata Ros.
“Kalau kurang kita minta Om Cekat. Dia biasa jual
pupuk kandang. Biar jauh, dia pasti mau datang antar
pupuk ke Polindes kita. Apalagi sekarang dia bawa
bemonya Om Martin,” kata Om Lipus dengan penuh
semangat.

352
Polindes yang berwajah lama dengan penampilan
baru. Ros memiliki rencana untuk mengecat dinding
Polindes dengan warna baru. Warna kuning gading
dengan garis-garis hijau merah biru pada beberapa
tempat. Dia menelepon membicarakan rencana itu
dengan Martin agar bersama kader desa Polindes dicat
pada waktunya nanti. Anggarannya akan dibahas dengan
Bapa Desa, semoga saja desa memiliki anggaran yang
bisa digunakan juga untuk mengubah wajah Polindes.
Dia juga menelepon Yordan menyampaikan rencananya.
“Hai, ada mimpi apa sampai telepon?” tanya Yordan.
“Tidak perlu mimpi untuk telepon.”
“Biasanya SMS, SMS, dan lagi-lagi SMS.”
“Capek SMS,” Rosa tertawa.
“Ada apa Nona Bidan? Mau undang saya makan
malam lagi di Polindes. Mau! Tetapi, jangan ramai-ramai
ya, berdua saja, biar konsentrasi he he he,” kata Yordan.
“Minta pendapat soal wajah Polindes. Baikkah
kalau Polindes dicat dengan warna baru? Cat putih
sudah kusam, kabur, dan terkelupas hampir pada semua
tempat.”
“Mau warna apa?”
“Kuning gading dengan bis hijau merah biru,” jawab
Ros.
“Kuning lambang kemenangan,” kata Yordan. “Me­
nang melawan apa?”
“Ingin ganti warna saja. Warna yang sekarang
terlalu kusam, tua, lampau, dingin, sepi, sunyi, kurang

353
semangat, pucat, sedih, dan kurang mengesankan,” jawab
Ros.
“Apalagi?”
“Warna yang sekarang sudah terlalu lama dan dari
waktu ke waktu hanya itu-itu saja. Melelahkan juga
membosankan.”
“Apalagi?”
“Warna yang sekarang cenderung statis kurang
mengikuti dinamika zaman. Warna yang sekarang perlu
diubah supaya ada gairah baru. Perlu energi tambahan
melalui warna-warna baru yang lebih ekpresif,” kata
bidan Ros dengan penuh semangat.
“Pintar!” jawab Yordan.
“Saya, Dokter?”
“Ya. Pintar!”
“Maaf, apakah saya terlalu banyak bicara?” Ros
tersentak kaget dengan apa yang sudah dikatakan pada
Yordan. “Ya Tuhan, ada apa dengan saya? Soal warna
saja kenapa jadi panjang lebar ucapan saya ya?” kata Ros
dalam hati.
“Tidak ada yang perlu dimaafkan. Saya senang sekali
dengan ide mengganti warna. Nanti dibahas dengan
kader dan sampaikan juga kepada Kepala Desa. Ide
ini bisa dibahas dalam pertemuan bulanan. Sampaikan
rencana ini untuk mendapat persetujuan warga desa...”
“Ya, Dokter.”
“Urusan cat datang dari mana, saya dan Martin yang
tanggung,” kata Yordan.

354
“Terima kasih banyak, Dokter.”
“Hari ini cat sesuai warna yang direncanakan akan
tiba di Polindes,” kata Yordan.
“Terima kasih, Dokter!”
“Boleh saya minta satu hal saja,” kata Yordan.
“Minta dua hal juga boleh, Dokter,” jawab Ros.
“Cukup satu hal saja. Penuhilah dulu. Setelah itu,
saya akan minta banyak hal lain.”
“Apa yang mau diminta?”
“Tolong baca surat saya, yang saya titip melalui
Bapa Desa, yang beramplop coklat. Masih disimpan atau
sudah ikut hilang? Tolong dibaca ya. Mungkin tidak
penting untuk Nona Bidan. Kalau merasa tidak penting
kembalikan saja ya sebelum dibaca. Kalau surat itu di­
kem­balikan setelah baca, saya tidak mau terima.”
“Penting,” jawab Ros.
“Kalau penting simpan dalam lemari.”
“Bukan simpan dalam hati?” tanya Ros.
“Tentu saja jauh lebih baik kalau disimpan dalam
hati.”
“Kalau setelah baca saya kembalikan bagaimana?”
“Baca dulu! Dikembalikan atau tidak dikembalikan,
baca dulu.”
“Segera. Mungkin ini saat yang tepat.”
“Malam ini.”
“Ya, malam ini.”
“Terima kasih ya Ros.”

355
21
Bukan Surat Biasa

Rosa membaca surat itu setelah Polindes sudah


sepi. Beberapa anggota keluarga Om Lipus menginap
di rumah keluarga tidak jauh dari Polindes. Om Lipus
dan seorang adik perempuannya menjaga ibu dan bayi
laki-laki yang baru dilahirkan. Mama Falentina sudah
tidur. Mia pulang ke rumahnya bersama Om Martin.
Ros mengambil surat yang disimpannya di bagian paling
bawah susunan pakaian di dalam lemari. “Untung surat
ini tidak ikut hilang,” kata Ros dalam hati. “Orang itu
tidak membongkar kamar ini. Dia hanya membongkar
dokumen di Polindes. Siapa dia?” Ros tahu, tetapi tidak
ingin bicara dengan siapa pun. Desa yang kondusif
sangat penting baginya. Kehilangan sebuah dokumen
tidak selamanya harus diselesaikan urusannya dengan
Bapa Desa, Desa Siaga, Puskesmas, dan lain-lain. Itulah
yang dipikirkan Ros. Gelisah, pasti. Resah, ya. Ros
memilih merasakannya sendiri dengan alasan kuat bahwa
tidak ada yang dirahasiakan dalam dokumen itu. Tidak
ada yang direkayasa. Data yang tertulis akurat dan benar.

356
Tidak ada yang direkayasa. Sampai ke tangan siapa pun
dokumen itu tidak masalah buat Ros. Ros juga dapat
menduga-duga mengapa informasi kehilangan dokumen
itu bisa sampai di telinga Dokter Lourens. Mengapa pula
Dokter Lourens bertanya padanya.
“Orang yang mengirim surat padaku ini tidak
pernah bertanya tentang dokumen yang hilang,” kata
Ros dalam hati. “Seakan-akan dia tahu bahwa saya tidak
ingin membahasnya. Untung bukan dokumen ini yang
hilang,” Ros membolak-balik amplop itu. “Ytc. Bidan
Rosa Dalima,” Dia duduk di sisi tempat tidur dan mulai
membacanya.
Dear Adik Bidan Rosa Dalima …
Saya memang dokter jadul alias dokter jaman
dulu. Pakai surat. Siapa bilang jadul? Dokter zaman
sekarang juga ada yang jadul! Menulis surat untuk calon
pacar. Syukur kalau calon pacar mau balas. Kalau tidak
balas, gigit jari saja. Dokter zaman sekarang juga ada
yang tidak tahu bagaimana caranya mengungkapkan
isi hati secara lisan, langsung, di hadapan orangnya.
Saya salah satunya. Karena itulah, saya menulis surat
untukmu. Berbagi cerita denganmu. Apapun hasilnya
nanti, saya yakin orang yang membaca suratku ini akan
menghadapinya.
Martin menyarankan agar saya bicara langsung saja
,tetapi saya tidak bisa. Bukan karena tidak berani, tetapi
karena memang tidak bisa menyampaikan hal ini padamu
secara langsung. Saya takut mengejutkanmu. Saya takut

357
akibatnya akan lebih mengejutkan lagi. Apalagi jika
sudah bicara langsung denganmu, engkau akan menjauh,
tidak mau mengenalku lagi, dan menghilang dari jang­
kauan.
Saya sampaikan lebih dulu mengapa menulis surat
untukmu. Sejak pertama kali bertemu denganmu di
Puskesmas Flamboyan, saya sudah jatuh cinta. Bukan
hanya pada kebersihan, bunga-bunga, hijaunya taman,
kecubung, daun keladi di bawah dan di depan jendela
kamar saya, wijaya kusuma, ketenangan dan kesejukan,
tetapi terutama karena orang yang menyebabkan
semuanya berubah. Ketika saya melihatmu pertama kali
di depan kamar nomor tiga, di belakang rumah Kepala
Puskesmas, saya sadar bahwa saya mencintaimu.
Saya memperhatikan bagaimana engkau menolong
persalinan, merawat hubunganmu dengan warga desa,
lingkungan, bunga-bunga, dan hijaunya Polindes. Saya
memperhatikanmu ketika berada di Puskesmas, mem­
bangun relasi dengan segenap keluarga Puskesmas,
membuat laporan, keterlibatan dalam rapat, pikiranmu,
hatimu, dan apa saja tentangmu. Singkatnya, semua hal
tentangmu telah menggetarkan hati saya. Saya lebih
mencintaimu dengan segenap hati saya. Bukan rayuan
gombal! Umur saya sekarang sudah 33 saat menulis
surat ini, sudah terlalu tua untuk bermain-main bukan?
Saya tidak dapat menjelaskan kenapa saya men­
cintamu selain alasan-alasan real di atas. Ketika kita
berdua di jalan, di ruang bersalin, di Puskesmas, ataupun

358
di Polindes, perasaan saya lebih kuat dari waktu ke
waktu. Keberanian saya menulis surat ini semata-mata
karena perasaan cinta yang tumbuh dalam hati dan
pikiran saya. Saya pikir surat ini akan dibaca oleh orang
yang tepat. Orang yang akan memahaminya dalam
diamnya. Orang yang bisa merasakan bahwa hal ini
serius bukan main-main. Orang yang memiliki kepekaan
hati seperti kepekaan wijaya kusuma memberi kembang
dan harumnya pada waktu malam. Jangan kaget ya.
Jangan marah. Kumohon dengan sangat bacalah dengan
tenang sampai selesai.…
Dear Adik Bidan Ros….
Selama hidup sampai setua ini saya pernah punya
pacar. Hanya satu. Namanya Matilda. Kami berpacaran
sejak kelas tiga SMA. Hubungan berlanjut saat kami
berdua sama-sama kuliah di Surabaya. Matilda cantik.
Dia bintang SMA dia juga bintang kampus. Martin,
Gabriel, Adrian tunanganmu, juga tahu dan kenal siapa
Matilda dan bagaimana hubungan kami dulu. Boleh
di­katakan juga teman-teman seangkatan kami atau
siapa pun teman-teman se daerah NTT yang kuliah di
Surabaya waktu itu mengenal kami berdua. Setelah saya
diwisuda sarjana kedokteran kami pulang kampung
untuk bertunangan. Kami tukar cincin di rumah Matilda,
di hadapan orang tua dan keluarga kedua belah pihak.
Sekembalinya dari kampung kami berdua sama-sama
mulai berkonsentrasi mengakhiri kuliah. Saya memasuki
co-ass, pre-klinik di beberapa rumah sakit di Surabaya dan

359
Jawa Timur pada umumnya. Matilda mulai penelitian
untuk skripsi psikologi. Kami berpacaran dengan pe­
nuh semangat. Karena terlalu semangat hubungan
kami terlanjur jauh dan Matilda hamil. (Masih baca ya
kelanjutannya. Jangan berhenti di sini. Kumohon, baca
sampai selesai…). Saya mengajaknya pulang kampung
agar hubungan kami diikat dalam pernikahan. Saya me­
min­tanya mengambil cuti dua semester, sampai me­
lahirkan baru lanjutkan kuliah lagi. Saya bicara dengan
orang tua saya juga dengan kedua orang tuanya tentang
kenyataan ini. Meskipun marah, orang tua kami setuju
kalau kami segera nikah, dan Matilda cuti kuliah sampai
melahirkan.
Saya membawa Matilda ke spesialis kandungan.
Usia kehamilan sudah empat bulan. Dokter menyarankan
tidak perlu cuti, lanjutkan saja. Matilda dinilai cukup
sehat dan dapat menulis skripsi dan mengakhiri kuliah
dengan baik. Saya setuju. Menikah di Surabaya dan
melanjutkan kuliah bersama-sama. Sayangnya, Matilda
tidak setuju. Dia tidak mau terganggu dengan apa pun
selain melakukan penelitian, menulis skripsi, jadi sarjana,
lanjutkan pendidikan magister, baru menikah, dan punya
anak. Matilda mau aborsi. Saya tidak mau.
Pertengkaran kami tidak dapat dihindari. Hari-hari
kami diisi dengan pertengkaran saja. Matilda memusuhi
saya karena menolak permintaannya. Saya katakan kepa­
danya berkali-kali agar kehamilannya dijaga dengan
baik. Kakak sulung saya bersedia datang ke Surabaya

360
jika anak kami sudah lahir. Kakak akan menjaganya dan
kami berdua bisa konsentrasi selesaikan kuliah. Matilda
tetap tidak setuju, meskipun orang tua kami mem­
peringatkannya untuk bisa hadapi kehamilannya dengan
tanggung jawab.
Matilda menghilang. Saya bersama Martin dan Biel
mencarinya ke mana-mana, tetapi tidak bertemu. Se­
minggu kemudian dia kembali. Entah ke mana dia pergi
sampai saat ini saya tidak tahu. Ketika pulang wajahnya
berseri-seri. Dengan enteng dia bicara bahwa dia sudah
melakukan aborsi. Kiamat! Saya merasa dunia runtuh
seketika. Saya marah besar.
Pertengkaran besar terjadi di antara kami berdua.
Pada waktu itu saya sedang pre-klinik. Engkau tahu
dokter muda yang pre-klinik bukan? Semuanya terjadwal
dengan ketat. Matilda pulang kampung tanpa pamit
kepada saya. Di sana dia meyakinkan orang tuanya dan
orang tua saya bahwa saya yang telah memaksanya
untuk aborsi. Hubungan kami mencapai titik terendah
dari sebuah harapan masa depan bersama. Saya marah
besar kepadanya dan tidak ingin melihat wajahnya lagi.
Keluarga saya, terutama bapa dan kakak, adik saya
marah bukan main. Satu tahun lamanya tidak ada komu­
nikasi antara saya dan bapa. Bapa kecewa dan bertanya-
tanya mengapa akhlak anaknya ini begitu rendah. Waktu
itu saya ingin lari, tinggalkan kuliah, dan menghilang
dari semua orang yang mengenal saya, menjauh dari
orang tua saya, dan pergi jauh. Matilda berupaya

361
mengambil hati saya lagi dengan permintaan maaf,
namun hati saya terluka. Meskipun sulit, saya berupaya
keras memaafkan perbuatannya. Saya ingin bertanggung
jawab terhadap apa yang sudah kami lakukan bersama-
sama dengan sadar. Saya tenggelam dalam co-ass di RS,
Klinik, RSUD, dan tidak jarang harus meninggalkan kota
untuk urusan co-ass. Banyak hal yang tidak terkomu­
nikasi dengan baik.
Dalam situasi seperti itu Matilda berubah total.
Dia suka marah-marah dan mengamuk. Hubungan
kami pun putus dan saya merasa frustrasi karena itu.
Pe­la­rian saya adalah menjalani co-ass dengan lebih se­
rius sambil mengambil kursus bahasa Inggris. Semen­
tara itu, Matilda menjauh dan saya tahu Matilda
punya pacar baru. Orang itu yang mengantar Matilda
melakukan aborsi anak kami dulu. Orang itu beberapa
kali mendatangi saya dengan ancaman karena cemburu.
Matilda hamil lagi.
Saya tahu dari Martin dan Biel bahwa laki-laki itu
tidak mau bertanggung jawab karena curiga bahwa
Matilda masih menjalin hubungan dengan saya. Urusan­
nya sampai ke pihak keamanan. Meskipun saya bersedia
menjadi saksi untuk Matilda, laki-laki itu tetap tidak mau
bertanggung jawab. Persoalan selanjutnya diserahkan ke
Matilda karena sudah dewasa dianggap dapat bertang­
gung jawab dengan alasan klise bahwa perbuatan
dilakukan karena suka sama suka. Sayangnya, Matilda
mengakhirnya dengan aborsi lagi.

362
Ketika itu, kepala saya rasanya mau pecah memi­
kirkan Matilda dan rasa marahku pada laki-laki itu.
Pilihan satu-satunya hanya menjauh darinya. Kudengar
Matilda sempat dirawat di rumah sakit jiwa. Orang
tuanya datang menjemputnya pulang. Beberapa bulan
Matilda tinggal di sebuah biara di Timor untuk memu­
lihkan kembali rasa percaya diri dan harga dirinya.
Selanjutnya, yang membuat saya kuat adalah Mama.
Dia terbang ke Surabaya dan mendengar langsung apa
yang sebenarnya terjadi. Dia percaya pada saya. Dia
tahu saya tidak mungkin melakukan perbuatan keji
itu. Saya minta maaf kepadanya karena tidak dapat
menahan Matilda, terutama tidak sadar bahwa Matilda
berani melakukan hal itu. Martin dan Biel juga tahu
masalah saya, Matilda, dan laki-laki itu. Keduanya juga
bicara dengan Mama dan menjelaskan bagaimana kami
bersama-sama mencari Matilda. Mama tidak bicara
apa-apa. Mama hanya diam, tetapi saya merasakan
bagaimana rasa malu dan kesedihannya. Dia bertanya
pada saya apakah saya masih mau melanjutkan hubungan
saya dengan Matilda. Saya balik bertanya kepada Mama,
apakah menurut Mama saya bisa melanjutkan hubungan
saya dengan Matilda? Mama menyerahkan kepada saya.
Saya sudah jadi dokter waktu itu. Setelah berpikir
panjang dan mendalam, saya putuskan untuk menerima
Matilda kembali. Hubungan kami dimulai kembali.
Tidak sulit untuk saya karena saya memahami bahwa
kehancuran Matilda berawal dari hubungannya dengan

363
saya. Sayalah yang harus bertanggung jawab untuk
bersama-sama berada di jalan yang benar. Saya harus
mulai lagi. Rupanya untuk memulai kembali hubungan
kami, begitu sulit untuk kami berdua. Kepribadiannya
labil dan gampang dipengaruhi. Laki-laki itu datang
lagi mengganggu Matilda. Matilda bimbang dan pergi
dengan laki-laki itu. Sekitar satu tahun mereka pacaran
sebelum Matilda ditinggalkan lagi. Ternyata laki-laki
itu sudah punya pilihan lain, seorang bidan yang bekerja
di Denpasar. Pada saat Matilda datang kembali dan
meminta pengertian saya, hati sayalah yang menjadi
bimbang. Tidak ada perasaan apa-apa lagi. Orang tua
saya pun berkata tegas untuk lepaskan Matilda.
Saya tahu dari Martin bahwa Matilda sudah
menikah di Surabaya. Ia sudah punya seorang anak pe­
rempuan. Akan tetapi, suaminya ditinggalkan Matilda.
Anaknya diserahkan ke orang tua di kampung. Kepri­
badiannya yang labil membuatnya tidak memiliki
pegangan. Di kampung dan di mana saja dia berada, dia
selalu berbicara bahwa dia masih mencintai saya dan
hanya saya sajalah yang bisa menyembuhkannya. Matilda
benar-benar sakit.
Hati saya sudah tertutup. Saya pindah dari Timor
ke Flores ini bukan untuk lari dari kenyataan. Saya
ke sini untuk menemukan kenyataan lain yang dapat
menyembuhkan hati saya. Saya pikir dengan kesibukan
sebagai Dokter Puskesmas saya bisa dibebaskan dari rasa
bersalah kepada Matilda. Sudah lima tahun berlalu dan

364
rasanya sulit untuk memulai kembali sebuah hubungan
baru. Saya kehilangan rasa percaya diri.
Saya merasa sangat bersalah dengan Matilda, tetapi
tidak dapat menolongnya untuk kembali seperti semula.
Satu tahun di Puskesmas saya lewati dengan kerja
dan kerja. Saya bekerja penuh waktu sebagai dokter di
Puskesmas. Dokter rawat jalan, dokter rawat nginap,
dokter IGD, dokter kandungan, dokter yang siap dua
puluh empat jam. Waktu saya terisi semuanya dengan
sangat padat. Martin pernah bilang bahwa saya sudah
hilang, hilang ke dalam pekerjaan saya.
Dear, Adikku Ros.…
Mengapa saya tulis surat ini untukmu? Padahal
saya sudah tahu Ros sudah punya tunangan. Maaf, saya
tidak bermaksud mengganggu hubunganmu dengan dia.
Meskipun kenyataannya saya sudah mengganggumu
dengan suratku ini ya? Saya pikir tidak salah surat ini
Ros baca. Saya sudah pikirkan dengan matang berbagai
kemungkinan yang akan terjadi ketika surat ini kutulis.
Ros tidak akan menanggapinya, Ros akan marah menge­
tahui masa lalu saya, Ros akan menutup semua pintu
yang memungkinkan saya masuk. Ros akan marah seribu
kali. Ros akan berada di pihak Matilda. Ros akan marah
pada seorang dokter yang tidak bertanggung jawab
seperti saya.
Di Puskesmas Flamboyan saya menemukan se­
seorang yang berbeda. Perhatianmu pada lingkungan,
kepekaanmu pada wijaya kusuma, dan ketenanganmu

365
menghadapi masalah. Meyakinkan saya bahwa Ros
adalah orang yang tepat bagiku untuk berbagi. Saya
sadari itu saat pertama pulang kembali ke Flamboyan
setelah satu bulan pulang ke kampung saya. Saya sangat
senang karena saya dapati rumah Kepala Puskemas
bersih di kelilingi bunga-bunga, daun, dan kesejukan.
Bagi saya bukan hanya tanganmu yang melakukan itu,
tetapi juga pikiran dan hatimu.
Maaf ya, surat ini tidak bermaksud mengganggumu,
apalagi memutuskan hubunganmu dengan tunanganmu.
Tidak! Saya hanya ingin engkau tahu bahwa ada peru­
bahan besar dalam diri saya untuk mulai lagi. Saya
mencintaimu, saya juga tahu Ros tidak mungkin mem­
balas cinta saya. Yang penting bagi saya adalah perasaan
cinta itu sudah kembali pada saya. Pada suatu saat nanti
saya pasti menemukan orang yang saya cintai dan bisa
mencintai saya. Entah mengapa saya selalu merasa ada
satu pintu di hatimu yang masih terbuka…dan saya
merasa sayalah yang diperkenankan masuk ke hatimu
melalui pintu itu. Perasaan itulah yang meyakinkan saya
menulis untukmu.
Setelah surat ini Ros baca, bakar saja ya. Tidak
apa-apa. Yang penting bagi saya, Ros sudah tahu. Maaf
sekali lagi, saya tidak dapat memikirkan apa yang pen­
ting bagimu setelah membaca surat ini, kecuali perasaan
saya mengatakan bahwa Ros dapat mengerti dan
menyim­pannya. Saya memang jadul…semua ini terjadi
karena rasa bersalah saya yang dalam terhadap nasib

366
seorang perempuan, janin yang hilang, dan nasib saya
sendiri. Entah mengapa pula saya merasa lebih tenang
setelah menulis surat ini. Dengan permohonan maaf dari
hati saya padamu karena sudah menjadikanmu terlibat
dengan kehidupan pribadi saya. Mudah-mudahan satu
pintu yang terbuka itu benar-benar untuk saya. Sampai
di sini saja ya Ros (Yordan).

***

Ros melipat surat itu, memasukan kembali ke da­


lam amplop dan meletakkannya di bawah bantal. Dia
ambil HP mencari nomor Dokter Yordan dan ingin me­
neleponnya, namun dibatalkannya sendiri. Dia mengetik
SMS untuk Yordan, namun di-delete-nya sendiri. Dia
meletakkan kepalanya di bantal, tidur terlentang dalam
kamar yang dingin.
Dia melihat kembali setiap pertemuannya dengan
Yordan sejak hari pertama, sepanjang yang dapat di­
ingat­nya. Dia memikirkan Martin yang pandai menjaga
hubungan baik dan pandai pula menyimpan rahasia.
Dua sahabat baik itu ada bersamanya selama tugas-
tugasnya di Polindes. Melayani ibu hamil, ibu melahir­
kan, ibu nifas, dan bayi yang dilahirkannya. Menghadapi
kematian ibu dan bayi. Menghadapi aborsi dengan
berbagai alasan, juga menangani janin yang mati sebelum
sempat lahir.

367
Berbagai pertanyaan memenuhi kepalanya. Per­
tanyaan yang selalu berakhir dengan pertanyaan pula.
Betulkah pada zaman modern yang serba instan ini
masih ada laki-laki yang memiliki waktu untuk menulis
surat demikian panjangnnya. Masih ada laki-laki yang
menyampaikan isi hatinya melalui surat. Lebih utama
lagi, masih ada laki-laki yang merasa bersalah dan
menyesal telah menjadi bagian dari perjalanan hidup
seorang perempuan yang menderita dan janin-janin yang
hilang?
Pikiran Ros melayang-layang antara perempuan
yang tidak dikenalnya itu, Yordan, dan juga laki-laki lain
lagi yang menjadi bagian dari kehancuran. Apakah Ros
juga hadir di antaranya? Suatu hal yang tidak pernah
sekalipun terlintas dalam pikirannya, namun saat ini
terasa benar-benar nyata. Yordan telah membawanya
masuk ke sana.
Malam yang berat itu berlalu dalam sunyi. Ros
terlelap dalam tidur dengan surat di bawah bantal. Surat
yang sudah dibacanya maupun surat yang baru dibacanya
malam ini.
Malam berakhir pada awal pagi. Matanya sudah
terbuka, perasaannya berat untuk bangun, namun dia
memaksakan diri turun dari tempat tidur. Membuka
jendela dan pintu. Udara pagi yang segar di tengah desa
yang dibangunkan kokok ayam, bunyi alu dan lesung,
serta burung-burung berkicau.

368
Angin berhembus membawa harum bunga-bunga
cengkih, kemiri, dan berbagai jenis pohon sepanjang
bukit di antara rumah-rumah di belakang maupun di
depan Polindes. Keharuman pagi Polindes yang sangat
dikenalnya pun menyapu wajahnya. Masih tersisa
wewangian alam dari kuntum-kuntum wijaya kusuma
yang mekar tadi malam. Rindang bunga yang tumbuh
dari dalam daun menjulur sepanjang teras rumah tinggal
maupun rumah bersalin di hadapannya.
“Siram lagi?” tanya Om Lipus.
“Ya,” jawab Ros. “Hari ini terang benderang. Ke­
mung­kinan siang nanti panas terik, jadi baik juga semua
tanaman ini disiram lagi.”
“Saya bantu,” kata Om Lipus.
“Ya baik. Siang nanti kami semua akan antar Om
Lipus, ibu, dan adik bayi. Om Martin sudah siap. Kami
satu rombongan ya Om Lipus. Jangan khawatir, ada dua
kendaraan.”
“Dokter Yordan juga datang,” kata Om Lipus. “Saya
rasa senang sekali.”
“Biasanya begitu, Om Dokter datang kalau tidak ada
kegiatan lain.”
“Dokter langsung dari Puskesmas ke saya punya
rumah.”
“Ya, semua kita akan bertemu di rumah Om Lipus,”
kata Ros.

***

369
Semuanya berlangsung dengan gembira. Rom­
bongan dari Polindes datang bersama adik baru dan
kedua orang tuanya. Dokter Yordan bersama Om Paulus
dan kedua anaknya, Lina, Kosmas, dan Om No. Keluarga
Om Lipus sudah siap dengan makanan lokal. Kibi54,
jagung, dan pisang rebus dihidangkan bersama kopi dan
teh. Ada are po’o55 dan ngeta56 di antara sejumlah makanan
yang disediakan. Anggota keluarga dan para tetangga,
ketua dusun, para kader, dan Bapa Desa bersama-sama
rombongan Polindes dan Puskesmas bergabung dalam
satu tenda kecil yang dibangun khusus untuk menerima
kedatangan anak keempat dalam keluarga Om Lipus.
Yordan memperhatikan Ros dengan hati berdebar.
Ia ingin mendapatkan jawaban pada wajah Ros apakah
suratnya sudah dibaca atau belum. Apa tanggapan dan
reaksi Ros setelah membaca surat itu. Tidak ada tanda-
tanda risau di wajah bidan itu. Ros tampak gembira
sebagaimana wajah gembira yang ditunjukkannya setiap
kali kunjungan rumah maupun dalam acara syukuran
seperti ini.
“Cat sudah dikirim,” kata Yordan. “Lewat Om
Cekat.”
“Ya, terima kasih banyak. Cepat sekali,” kata Ros.
“Padahal belum ada rapat untuk ubah wajah Polindes.
Semangat empat lima ya?”

54
Kibi: makanan tradisional terbuat dari padi yang digoreng dan ditumbuk
55
Are po’o: nasi bakar, makanan khas lokal. Nasi dibakar dalam bambu muda.
56
Ngeta: sayur-sayuran yang dimasak dan diolah bersama parutan kelapa.

370
“Bapa Desa sudah setuju, saya langsung telepon
waktu Ibu Bidan bicara soal rencana cat. Martin yang
akan atur pengecatannya. Mudah-mudahan bisa segera
dimulai.”
“Polindes akan indah dengan warna baru dikelilingi
daun dan bunga-bunga.”
“Pasien sembuh sebelum berobat.”
“Ibu melahirkan tanpa rasa sakit.”
“Nama Polindes berubah menjadi Polindes Bakung
Memanggil.”
“Boleh tanya satu pertanyaan saja,” kata Yordan saat
selesai makan.
“Saya yang akan bertanya, satu pertanyaan saja,”
Ros mengecilkan suaranya.

371
22
Yang Tak Pernah Layu

Ada apa? Apa yang terjadi? Apakah ada ibu yang me­
lahirkan pagi ini? “Mama Bidan! Mama Bidan!” Siu
anak tetangga depan Polindes yang menyambutnya saat
pertama kali turun dari kendaraan. “Ada orang kasih
rusak semua bunga dan pohon-pohon. Semua Mama
Bidan,” kata Siu.
Martin, Mia, Mama Falentina, Mama Gonz, Sofia,
Mina, Dion, Magnus, bersama Om Martin berdiri di
depan Polindes bersama warga yang berkerumuman.
Mereka semua tidak percaya dengan apa yang terjadi.
Semuanya dipotong pada bagian pangkal. Semua anakan
mahoni, jati emas, mangga, coklat, mete, dan lainnya
tercabut dari polibek yang berserakan.
Tidak ada satu pun wijaya kusuma yang masih
tergantung pada tempatnya. Bunga-bunga itu terpotong
dan terbuang di segala sudut halaman. Talang air di
belakang Polindes terbongkar. Air mengalir ke segala
arah mengalirkan juga cat kuning tua, merah, hijau, biru
yang sudah tumpah ruah di sisi drum air.

372
“Ibu Bidan duduk saja di sini,” seorang warga
mem­bawa kursi dan meletakkannya di jalan depan
halaman Polindes. Simpang siur komentar warga di
tengah komentar Mama Sofia, Mama Gonz, dan Mama
Falentina yang menangis menyaksikan apa yang terjadi.
“Lapor polisi saja supaya usut dan tangkap pelakunya,”
kata Mama Sofia. “Ini pasti orang yang sakit hati. Sakit
hati kenapa? Sakit hati dengan siapa? Ada orang yang
mau balas dendam. Balas dendam untuk soal apa? Balas
dendam kepada siapa dan kenapa? Ada orang yang
kecewa dengan Ibu Bidan, Mama Gonz, Mama Falentina,
atau Mia. Tidak mungkin! Pasti ada orang yang kecewa
dengan Mama Bidan. Kenapa?
Mungkin cemburu melihat Polindes kita tamannya
indah sekali. Cemburu karena warga desa kita punya
jati emas, mahoni, coklat, mete, dan banyak-banyak
lagi. Semua ada di Polindes. Mereka iri pada kita. Bukan
mereka iri sama Ibu Bidan. Apalagi Polindes akan dicat
dengan warna baru. Kuning, merah, biru, dan berwarna-
warni. Mereka tidak suka sama Ibu Bidan. Kenapa?
Kenapa?”
Simpang siur komentar dan tanggapan warga me­
lihat apa yang terjadi. “Semuanya dibuat rata dengan
tanah. Jahat benar orang itu. Apa salahnya bunga-bunga
dan pohon-pohon ini? Pasti karena dia sangat membenci
makanya terjadi begini.”
“Kami tidak dengar bunyi apa-apa,” kata tetangga di
depan rumah.

373
“Memang anjing gonggong sepanjang malam. Te­
tapi, kami pikir Ibu Bidan sudah datang dan ada ibu yang
akan melahirkan. Jadi, tidak ada yang keluar rumah.”
“Selama ini aman.”
“Tidak mungkin. Ini baru pertama kali terjadi. Ma­
rah pada siapa dan mengapa harus merusak seperti ini?
Semua tanaman dibongkar dan dihancurkan. Orang itu
siapa pun dia harus ditangkap dan dibawa ke polisi.”
Bidan Ros duduk dan diam. Tidak ada sepatah kata
pun keluar dari bibirnya. Ros benar-benar diam. Ke­
ma­rahan, ketakutan, kecemasan, kebingungan, dan ke­
pedihan menyatu dalam hatinya. Pikirannya terseret
kian ke mari, sesak rasanya. Dia tidak dapat berbuat lain
selain diam menyaksikan bencana pagi itu.
Martin memerintahkan agar anak-anak yang ada
di halaman keluar semuanya. Beberapa orang yang
ingin segera turun tangan membenahi pun dimintanya
bersabar. “Tunggu, sebentar lagi Bapa Desa datang,”
katanya. Bapak Desa datang diiringi warga lainnya yang
datang beberapa saat kemudian.
“Ibu Bidan tidak apa-apa?” tanya Bapa Desa.
“Telepon Dokter,” kata Bapa Desa.
“Sudah Bapa Desa,” jawab Om Martin. Warga yang
berkerumun kian lama kian banyak.
“Bersihkan jalan tengah saja. Mungkin ada pasien
nanti. Polindes harus tetap dibuka,” kata Bapa Desa.
Beberapa orang segera mengikuti perintah Bapa Desa
sehingga jalan masuk ke Polindes terbebas dari tanaman

374
dan polibek yang berserakan. Mama Gonz, Mama
Falentina, dan Mia masuk ke dalam Polindes, membuka
pintu dan jendela. Tidak ada yang diganggu. Kondisi
dalam Polindes tidak berubah. Begitu pula rumah dinas
Bidan. Kecuali, bunga-bunga berserakan di depan pintu,
bagian dalam rumah aman. Tidak ada yang berubah.
HP Bidan Ros berbunyi beberapa kali, SMS masuk
beberapa kali, tetapi Bidan diam saja. Om Martin
menerima telepon dari Yordan. Kedua bicara panjang
tentang apa yang terjadi.
“Dokter Yordan mau bicara,” kata Martin sambil
menyerahkan HP-nya kepada Ros. Ros diam saja tidak
ada reaksi.
“Ibu Bidan diam saja. Tidak bicara apa-apa. Ya,
hanya lihat saja. Sudah di mana? Oh ya sebaiknya lebih
cepat,” kata Martin selanjutnya. Om Frans, Om Nadus,
Om Lipus datang. Semua mereka menemui Bidan Ros
sebelum bergabung dengan bapak dan ibu lainnya. Cekat
datang bersama Kekar dari kota Kecamatan.
“Ibu Bidan,” Cekat mengulurkan tangan diikuti
Kekar. Bidan Ros menerimanya.
“Lawan, lawan, lawan! Jangan takut,” kata Cekat.
“Ibu Bidan bae-bae57 kah?” tanya Cekat. Ros tidak
menjawabnya.
“Ibu Bidan harus bae-bae,” kata Cekat lagi.

Bae-bae: dialek lokal untuk mengatakan baik-baik atau dalam keadaan


57

baik.

375
“Kamu ambil air panas kasih Ibu Bidan minum,” kata
Kekar.
“Ibu Bidan ini sutress. Jadi cepat bawa air.”
“Bukan sutress, tetapi stres,” kata Kekar.
“Itu sudah! Sutress. Bawa air cepat,” kata Cekat lagi.
Beberapa saat kemudian, Siu sudah datang dengan
segelas air putih panas. “Minum ini Mama Bidan,”
kata Siu. Mama Sofia dan Mina duduk mendampingi
Ros. Bapa Desa, Martin, dan beberapa laki-laki meng­
itari Polindes dan melihat sendiri apa yang terjadi.
Kerumunan di depan Polindes tidak beranjak ketika
Dokter Yordan dan rombongan Puskesmas tiba.
“Bidan Ros di mana?” tanyanya.
“Di sini,” Mama Sofia dan Mina berdiri. Kerumunan
membuka jalan dan membiarkan Dokter menemui Bidan
Ros. Ros tetap duduk di tempat dan tetap tidak bicara
sepatah kata pun. Ingin benar dipeluknya Ros saat itu,
namun Yordan tahu hal itu akan menjadikan suasana
bertambah kacau dan lebih runyam. “Ini desa kecil
tempat Polindes Bakung berada. Ini bukan Kupang atau
Surabaya,” Yordan memperingatkan dirinya sendiri.
“Bidan Ros…” panggilnya. Ros menatapnya tanpa
kata-kata. Mata keduanya bertemu. Yordan merasakan
rasa sakit Ros. Yordan tahu kerusakan yang terjadi
menikam hati bidan desa itu. Sesaat saja dia menyentuh
bahu Ros.
“Sabar ya,” katanya. Yordan segera bergabung
dengan Bapa Desa, Martinus, dan para lelaki lain yang

376
kembali mengelilingi Polindes. Mereka berjalan di antara
berbagai tanaman yang berserakan. Bapa Desa dan
Dokter Yordan memutuskan mengadakan rapat saat itu
juga.
“Jangan tunggu lagi. Di sini saja. Kita harus meng­
ambil sikap tegas atas apa yang terjadi,” kata Bapa Desa.
Dion membantu mengeluarkan beberapa kursi dari
Polindes dan rumah dinas bidan. Tetangga di depan
Polindes juga membawa beberapa kursi sehingga dalam
waktu singkat terjadi rapat bersama Bapa Desa, Dokter
Yordan, pengurus desa, dan kader. Bidan Ros juga ada
di antara mereka diapit Mama Sofia dan Mina. Mama
Falentina, Mama Gonz, dan Mia duduk di belakangnya.

***
Kerumunan sebagian bubar. Anak-anak dan para
guru menuju ke sekolah. Petani ke kebun dan ibu-ibu
pulang ke rumah dengan anak-anak mereka. Hanya
sebagian kecil saja yang masih tersisa di Polindes. Mia
bersama beberapa ibu tetangga Polindes membawa kopi
panas, teh manis, ubi, dan pisang rebus.
“Apakah kita lapor Camat dan libatkan polisi?” tanya
Bapa Desa. Ros mengangkat wajahnya dan bertemu
pandang dengan Martin dan Yordan. “Bagaimana?
Peristiwa itu harus diusut tuntas. Ini pertanda yang
sangat buruk bagi desa kita. Bidan bisa lari dari sini
dan tidak mau kembali lagi, jika tidak ada jaminan
keamanan.”

377
“Tangkap saja itu manusia. Kita injak-injak sampai
rata dengan tanah,” kata Cekat. “Biar saya bukan warga
desa sini, tapi saya perhatin juga.”
“Prihatin bukan perhatin,” sambung Kekar.
“Itu sudah. Ya kasian Ibu Bidan pusat pasai.”
“Pucat pasi,” sambung Kekar.
“Itu sudah. Maksud saya begitu.”
“Betul Bapa Desa, lapor polisi saja biar tuntas
urusannya,” kata Om Lipus. “Baru berapa hari lalu kami
ramai-ramai bantu Ibu Bidan bersihkan taman, kasih
rapi, pangkas, ganti tanah dalam pot bunga, perbaiki
talang air di belakang. Orang itu enak-enak saja bongkar
semua.”
“Bisa kasih rusak begini,” suara Cekat lebih keras.
“Ini orang tidak tahu jaga harakat Polindes,” kata Cekat
lagi.
“Harkat bukan harakat,” sambung Kekar.
“Itu sudah.”
“Kamu semua di sini sama saja. Tidak tahu penjahat
yang kasih rusak begini. Kamu tidak jaga maratabak
Polindes.”
“Martabat!” ralat Kekar.
“Itu sudah,” jawab Cekat. “Saya juga capek bukan
maen-maen pikul itu cat bawa ke sini. Memang itu cat
naik oto58, tapi dari toko ke oto, dari oto ke belakang
Polindes, bukan gampang. Enak-enak saja itu manusia

Oto: dialek lokal untuk mengatakan kendaraan roda empat.


58

378
bongkar buang semua cat. Kasian Om Dokter dan Om
Martin sudah sumbang cat. Tau-taunya cat orang
tumpah ruah semuanya. Siram ini bunga pake59 cat. Dia
kira bunga ini hidup pake cat bukan pake air,” kata Cekat
dengan marah. Peserta yang ada bicara satu sama lain
memikirkan jalan keluar terbaik dari kasus itu.
“Tangkap saja, biar kita cincang.”
“Ini kalau terjadi di saya punya desa, saya cancing
dia!” suara Cekat disambut dengan tawa lucu peserta
yang ada, kecuali Bidan Ros.
“Cincang bukan cancing!”
“Itu sudah. Maksudnya begitu.”
“Bagaimana baiknya?” kata Bapa Desa lagi.
“Kita selesaikan di tingkat desa saja,” kata Martin.
“Gunakan Kesepakatan Keluarga Desa yang sudah kita
susun draf-nya itu. Segala sesuatu yang terjadi di desa
ini, sepanjang bisa diselesaikan secara kekeluargaan, ya
diselesaikan secara kekeluargaan.”
“Ya Bapa Desa,” sambung Om Lipus. “Kita mau
taruh kita punya muka di mana kalau masalah ini sampai
ke Camat, sampai ke polisi. Maksudnya beritanya pasti
sampai ke mana-mana. Malu! Jadi kita selesaikan sendiri
saja.”
“Sanksinya sesuai Kesepakatan Keluarga Desa,” sam­
bung Martin. “Memang kesepakatan itu belum disahkan

Pake: dialek lokal untuk kata pakai; menggunakan.


59

379
secara resmi, tetapi sudah bisa digunakan jika semua kita
setuju untuk itu.”
“Bagaimana Dokter?” tanya Bapa Desa.
“Lebih baik begitu,” kata Yordan.
“Bagaimana Ibu Bidan?” tanya Bapa Desa. Semua
mata memandang ke Bidan Ros, menanti apa jawabannya,
namun Ros menggeleng dan tetap tidak dapat bicara
apa-apa.Wajahnya tampak pucat, bibirnya kering, dan
tubuhnya menggigil.
“Bawa Ibu Bidan ke rumah saja,” kata Yordan. Mia
dan Mama Sofia langsung mengantar Ros ke rumah
dinasnya. Mama Gonz, Mama Falentina, dan Mia masuk
ke dalam Polindes karena ada beberapa ibu mengantar
anak-anaknya berobat, serta seorang ibu hamil yang
datang periksa dan beberapa pasien lainnya.
“Bapa Desa lanjutkan ya,” Yordan masuk ke dalam
Polindes dan menangani pasien yang datang.
“Ya, persoalan ini kita akan selesaikan di tingkat
desa saja,” kata Bapa Desa selanjutnya. “Belum perlu
melibatkan polisi. Saya harap semua kita, termasuk
warga desa tetangga Cekat dan Kekar ikut ambil bagian
dalam urusan ini. Kita sama-sama mencari tahu dan
menemukan orangnya sampai ketemu,” kata Bapa Desa.
Selanjutnya, semua turun tangan membereskan ta­
naman yang berserakan. Polibek yang masih bisa di­
selamatkan dikembalikan ke tempatnya, bunga-bunga
dalam pot dikembalikan dengan tanah baru. Semua
bagian yang sudah terpotong dikumpulkan setelah

380
memilih stek atau akar yang dapat ditanam kembali.
Semua tanaman yang tertimpa cat ditempatkan di galian
sampah, ada beberapa yang dapat diselamatkan dengan
mencucinya. Semua bunga wijaya kusuma dikembalikan
ke dalam pot. Meskipun daun dan bunganya sudah ter­
potong, akar-akarnya dapat ditanam karena dari sana
daun akan tumbuh, dan dari daun bunga akan lahir.

***
Bidan Ros benar-benar tidak dapat bicara. Ketika
Pak Paulus, Bidan Flori, Kosmas, Lina, dan Om No
pamit kembali ke Puskesmas lebih awal, Ros diam tidak
menjawab. Dia pun diam saja ketika Dokter Yordan
berbicara dengan tegas.
“Ini bukan permintaan. Ini adalah perintah dari saya
Kepala Puskesmas.”
Bidan Ros dipindahkan untuk sementara ke Puskes­
mas Flamboyan sampai waktu yang akan ditentukan
kemudian. Dua orang bidan kontrak akan ditempatkan di
Polindes Bakung. Taman bunga, wijaya kusuma, talang
air, anakan pohon akan dikembalikan pada posisi semula
dalam pengawasan Mama Gonz dan Martin.
“Ini demi keselamatan Ibu Bidan,” kata Bapa Desa.
“Sementara saja Ibu Bidan,” kata Mama Sofia yang
melepaskan kepergian Bidan Ros dengan berurai air
mata.
“Orang mungkin mau marah saya karena terlalu
omong banyak, tetapi Polindes yang kena. Untung hanya

381
bunga dan semua ini yang mereka ganggu. Untung
bukan Ibu Bidan yang mereka ganggu,” kata Mama
Sofia.
Ros memeluk satu persatu keluarga Polindes yang
sudah dipandangnya sebagai keluarganya sendiri. Dia
juga menggenggam tangan Dion dan Magnus sambil
menyentuh bahu mereka. Dia menggenggam tangan
Martin dan meletakkan kepalanya di bahu Martin di
hadapan semua orang.
“Tidak apa-apa Ibu Bidan. Semuanya akan kembali
baik,” kata Martin sambil menepuk-nepuk punggung
Ros. Tanpa kata-kata Ros pergi bersama Dokter Yordan
dengan tas pakaian dan beberapa keperluan lain.
“Seperti mimpi saja,” kata Cekat begitu ambulance
meninggalkan Polindes.
“Kasihan Ibu Bidan,” kata Mama Sofia sambil meng­
hapus air matanya.
Sepanjang jalan Ros diam. Yordan pun diam.
Beberapa kali HP Ros berdering baik memberi tanda
telepon maupun SMS masuk. Ros membiarkan saja. HP
Yordan juga berdering, dia langsung meminggirkan dan
menghentikan kendaraan untuk menjawab panggilan
berkali-kali itu.
“Ada apa Adrian?” tanya Yordan dengan dingin. “Ya
kenapa? Memang ya saya sedang berdua dengan Ros
sekarang ini. Ya saya dalam perjalanan dari Polindes
menuju Puskesmas. Mau apa kamu?” Yordan terdiam
sesaat.

382
“Jangan bicara begitu, teman! Dia memang tidak
sama dengan Matilda. Tetapi, dia dan Matilda tidak
rendah seperti kamu, bajingan!” Yordan diam.
“Kamu tahu dari mana? Siapa yang kamu bayar?
Ku­rang ajar benar!” Yordan mematikan HP, namun
segera berdering kembali. Yordan tidak mengangkatnya.
Beberapa saat diletakkan kepalanya di atas setir. HP
Ros selanjutnya berbunyi berkali-kali. Ros tidak meng­
angkatnya.
“Adi yang telepon,” kata Yordan tanpa suara.
“Dia tahu kita berdua dalam perjalanan ini.”
“Dia tahu apa yang terjadi di Polindes.”
“Bajingan manusia itu,” kata Yordan tetap dengan
tanpa suara. Kendaraan dihidupkan lagi dan melaju lebih
pelan menuju Puskesmas. Ros memejamkan matanya
sepanjang perjalanan itu. Yordan memberanikan dirinya
menyentuh dahi dan leher Ros untuk memastikan kondisi
Ros baik-baik saja. Selanjutnya, dia pun menyentuh
pergelangan tangan Ros dan melepas kembali beberapa
saat kemudian.
“Besok saya akan bicara dengan Kepala Dinas
tentang kasus ini. Setelah itu, saya ke Kupang ada rapat
KIA di provinsi. Review Maternal Perinatal60,” kata
Yordan.
“Saya tahu Ros sangat sedih dan sangat terpukul.
Saya ingin menolongmu, tetapi tidak tahu mesti bagai­

Review Maternal Perinatal (RMP) untuk tujuan evaluasi.


60

383
mana. Kalau saja bebanmu itu bisa kupikul se­luruhnya,”
Yordan menggenggam tangan Ros dan Ros diam saja.
“Maaf karena memaksamu meninggalkan Polindes,
padahal saya tahu Ros ingin tetap di sana. Ros ingin
menghadapi bersama-sama dengan Martin, Mama Sofia,
Bapa Desa, dan teman-teman di sana. Maaf karena saya
harus ambil keputusan yang tidak sesuai dengan apa
yang Ros mau. Maaf juga ya Ros…karena surat saya itu
mungkin menambah bebanmu,” Yordan melepas geng­
gamannya saat kendaraan akan mengambil jalan ber­
belok.
“Dokter…” suara Ros hampir tidak terdengar.
“Bicaralah,” kata Yordan.
“Satu pertanyaan saja,” kata Ros.
“Katakanlah,” suara Yordan.
“Apakah orang kedua dalam kehidupan Matilda itu,
Adrian?”
“Ya,” jawab Yordan. Digenggamnya tangan Ros
erat-erat seakan-akan mau mengambil beban yang di­
pikul perempuan itu. Selanjutnya, Ros diam. Meskipun
isakannya sangat halus, Yordan tahu bahwa Ros me­
nangis sepanjang sisa perjalanan menuju Puskesmas.
Yordan tetap menggenggam tangan Ros dengan tangan
kirinya sementara tangan kanan memegang setir. “Jangan
sedih. Jangan takut. Saya ada bersamamu. Tunggu saya
pulang seminggu lagi. Istirahat saja di kamar nomor tiga
ya.”

384
Senja memasuki malam ketika keduanya tiba di
Puskesmas Flamboyan. Ros diam saja pada saat Yordan
membantu membawa tas pakaiannya.
“Pukul delapan malam saya bawa makanan. Kita
makan berempat ya dengan Lina dan Kosmas,” kata
Yordan.

385
23
Belum Saatnya Pergi

M
“ aaf ya Pak. Pinjam sebentar. Nanti dikem­
balikan.”
“Saya punya bapa sesak napas,” kata keluarga pen­
jaga orang tua yang sakit itu.
“Nanti diganti yang baru. Sebentar saja,” Bidan
Flori langsung keluar. Lina yang baru datang tertegun
di pintu Puskesmas. Dia langsung menuju ruang rawat
nginap dan menyadari apa yang sudah Bidan Flori
lakukan. Pertengkaran tidak dapat dihindari.
“Pokoknya tidak ada satu orang yang boleh ke­
luarkan tabung dari ruang bersalin,” kata Bidan Flori
dengan marah. “Itu tabung untuk ibu kalau sesak napas.”
“Ibu sudah melahirkan aman. Bayi selamat. Ros
tenang-tenang saja kamu yang ribut. Tidak ada lagi ibu
bersalin. Kami pinjam dulu,” sambung Lina perawat
penanggung jawab ruang rawat nginap. “Ada pasien yang
cenderung sesak napas.”
“Saya bilang tidak!”
“Memang kamu punya nenek yang punya?”

386
“Diam kamu!”
“Kamu juga diam!”
“Tabung kamu sudah kosong. Kenapa tidak segera
diisi? Padahal sebelum pergi Dokter Yordan sudah
ingatkan berkali-kali. Benar-benar penyakit lama. Kalau
kepala tidak ada semua lini jadi longgar tidak terkendali.
Apakah kamu tidak bisa titip di bemo, travel, bus kayu.
Sekarang kamu enak saja mau ambil tabung kami.”
“Kamu kira saya tukang bawa tabung?”
“Terus siapa yang jadi tukang di sini?”
“Kamu kira saya petugas oksigen?”
“Kamu tahu tidak akibatnya bagi pasien?”
“Bukan urusan saya! Itu urusanmu.”
Terjadilah tarik menarik tabung oksigen antara
Lina dan Bidan Flori. Pertengkaran keduanya sulit
didamaikan sampai Pak Paulus turun tangan melerai.
“Bawa ke ruang rawat nginap,” perintah Pak Paulus.
“Kita gunakan di mana perlu. Tidak ada ibu dan bayi
yang perlu, jadi boleh dipinjam rawat nginap.”
“Bagaimana kalau ada ibu nifas tiba-tiba sesak
napas?” tanya Flori.
“Itu pasien kamu atau pasien dari Polindes Bakung.
Pasti Ros akan membantu. Jadi tenang saja. Ibu bidan
kepala tidak ada, Dokter Yordan tidak ada. Jangan ribut,
bawa kembali ke sana dan segera tangani pasien sesak
napas itu.”
Lina segera berlari sambil mendorong tabung. Di
sana ada pasien tua yang membutuhkan oksigen. Sudah

387
beberapa kali masuk keluar Puskesmas karena sesak
napas. Hari ini tabung yang sedang dipakainya diambil
Flori dan dibawa kembali ke ruang bersalin.
“Pasien dari Polindes Bakung sudah di ruang
perawatan. Aman,” kata Flori. “Yang satu lagi pa­sien
saya. Ibu Aminah. Itu pasien saya. Bidan Rosa mem­
bantu saya mendampingi ibu Aminah yang punya ke­
cenderungan sesak napas.”
“Kenapa baru tahu sekarang kalau ada kecen­
derungan sesak napas?” tanya Pak Paulus.
“Tidak ada dalam status. Pasien itu baru meng­
akuinya sekarang.”
“Yang penting sudah melahirkan. Aman!”

***
Wajah Bidan Flori memerah. Rosa yang tahu persis
apa sebenarnya yang berkecamuk di hati Flori membuka
tasnya, mengambil HP, dan mencari nama Om Martin di
sana.
“Tolong singgah di Puskesmas. Ada titipan,” Rosa
mengirim SMS untuk Om Martin. Suasana di Puskesmas
tempatnya bekerja terasa sesak dengan pertengkaran
yang masih berlanjut. Tabung oksigen Puskesmas hanya
tiga.
Tabung ruang rawat nginap isinya kosong. Tabung
ruang bersalin dipinjam ruang rawat nginap. Satu lagi
tabung yang biasa digunakan oleh semua ruangan rusak
dan hanya bertengger di sudut belakang gudang sudah

388
hampir satu tahun. Sedangkan, tabung baru dalam proses
pengadaan dan penganggaran.
“Mau titip tabung oksigen,” Bidan Ros berdiri di
depan Puskesmas berbicara dengan Cekat yang berdiri di
sisi bemo milik Martin yang dibawanya.
“Om Martin masih di Ende, kah?” tanya Ros dan
Cekat mengangguk. “Masih tunggu bongkar kapal.
Soalnya teruk Om Martin itu di Surabaya masuk kapal
paling satu jadi tinggal akui saja keluar paling ter­
akhirnya.”
“Truk bukan teruk. Masuk pertama keluar terakhir,
Om Cekat,” Bidan Ros tertawa.
“Sama saja Ibu Bidan. Paling satu dan paling per­
tama,” jawab Cekat. “Ada isi kah?” tanya Cekat.
“Kosong.”
“Betul?”
“Buat apa saya bohong.”
“Maaf Ibu Bidan bukan saya tidak persaya!”
“Percaya Om Cekat bukan persaya,” Rosa tersenyum.
“Sama saja persaya dan percaya. Lebih bagus persaya,”
kata Cekat sambil tertawa. “Tetapi, kalau tabung ada isi
saya tidak mau bawa. Penumpang takut dan saya juga
terus terang tidak mau cari masalah.”
“Tidak apa-apa.”
“Kalau ledak?”
“Tabung kosong!”
“Baik sudah. Tapi, saya hanya bawa ke kantor
Dinas.”

389
“Besok kalau balik ke sini tolong ambil lagi di kantor
ya.”
“Tabung isi?”
“Ya.”
“Aduh, maaf saja. Saya tidak mau cari hal!” Cekat
siap masuk kembali ke dalam kendaraan. Penumpang
mulai gelisah dan ribut. “Kalau muat tabung ada isi kami
tidak mau naik ini bemo,” suara dari dalam bemo.
“Tabung kosong,” Bidan Ros sudah berdiri di pintu
bemo. “Kosong! Dengar ini,” tangannya mengetuk-
ngetuk tabung untuk membuktikan bahwa tabung itu
benar-benar kosong. “Lihat saja nih tutupannya terbuka.
Terima kasih Om Cekat.”
“Om Cekat tolong besok bawa kembali yang su­
dah diisi oksigen ya,” bisik Ros agar tidak didengar
penumpang.
“Saya tidak berani. Takut ledak. Jalan rusak parah
begini saya tidak mau cari hal,” kata Cekat lagi. “Kalau
Om Martin mungkin berani, tapi kalo saya minta maaf
saja. Takut!”
“Kami bayar!” pinta Ros.
“Maaf. Tidak perlu bayar. Saya tahu pasien perlu
osigen.”
“Oksigen!”
“Ya, osigen biar sudah. Tetapi, masalah saya tidak
berani karena penumpang juga jangan harap mau naik
saya punya bemo kalo mereka tahu ada tabung osigen.

390
Kamu punya ambulance baru tuh di mana? Suruh Om No
bawa itu tabung.”
“Rusak!”
“Masih baru sudah rusak, kah?”
“Terlalu canggih ambulansnya jadi soal tekan ini
tekan itu, akhirnya tidak dapat dipakai,” kata Rosa. “Om
Cekat tolong ya. Nanti itu tabung ikat saja di pojok terus
tutup dengan karung biar tidak ada penumpang yang
tahu. Saya bicara dengan Om Martin ya.…”
“Kalau kasih tau Om Martin sama dengan ya sudah
baik sudah. Mana mungkin Om Martin tolak Nona Bidan
punya minta. Baik sudah!” Cekat setuju.
“Titip di bus kayu saja.”
“Oh begitu?”
“Nanti saya atur dengan ada teman sopir bus kayu.”
“Betul?”
“Aman!”
“Uang makan Om…sedikit saja.”
“Saya terima ini bukan untuk bayar saya e, tetapi
untuk makan he he he.…”
“Terima kasih Om Cekat!”
“Ibu Bidan sehat?” tanya Cekat.
“Saya tidak sakit, Om.”
“Saya kira sakit. Soalnya waktu di Polindes saya lihat
Ibu Bidan gemetar, pucat lagi!”
“Om Cekat lihat sendiri saya sehat sekali,” kata Ros.
“Jangan sedih, Ibu Bidan. Orang yang buat itu akan
dapat akibat. Kami cari sampai dapat. Kalo sudah dapat,

391
kami injak kasih rata dengan tanah. Kami jalan dulu,”
Om Cekat menghidupkan bemo dan melaju menjauh
meninggalkan Puskesmas. Kenyataan itu tidak pernah
lepas dari pikiran dan hatinya.
“Taman dan kebun Polindes sudah ditata kembali,”
SMS dari Mia. “Bunga wijaya kusuma juga tetap segar.
Sudah saya atur kembali dan gantung di tempat semula.
Jangan sedih lagi.” “Cepat pulang ke Polindes,” SMS dari
Mama Falentina. Demikian pula sekian banyak SMS dari
teman-temannya di desa agar dirinya tabah dan mau
kembali ke Polindes.
Polindes tetap dibuka. Semua pasien tetap dilayani.
Untuk sementara, seorang perawat dan seorang bidan
ditugaskan di Bakung selama Bidan Ros tidak ada. Ros
merasa hatinya sakit.
“Kembali ke kamar nomor tiga,” kata Yordan. “Per­
cayalah, semuanya akan kembali baik.” Hatinya terasa
sesak. Tiada waktu yang cukup baginya untuk keluar
dari tekanan yang dialaminya. Kesibukan di Puskesmas
juga menyita perhatian.

***

Ros berdiri sejenak memperhatikan bemo dengan


tabung oksigen di dalamnya. Selalu saja terjadi
perdebatan kecil soal tabung oksigen ini. Susah sekali
meyakinkan sopir bemo untuk menerima titipan tabung,
apalagi tabung yang sudah terisi dari kota.

392
Kembali ke dalam Puskesmas dia menemui se­
orang bidan honor sedang menenangkan ibu nifas.
Ros membiarkan saja sebab Puskesmas sudah sepi
pengunjung sejak jam dua belas tadi. Pertengkaran
soal tabung oksigen sudah sering terjadi di samping
ketegangan soal diagnosa dan status ibu hamil yang
dibuat bidan desa yang malas sehingga tidak lengkap.
“Bayi dalam posisi kepala sudah memasuki panggul,”
demikian catatan medis yang dibuat bidan desa dari
Pustu.
“Ibu hamil dalam kondisi sehat.” Bidan di Puskesmas
menerima begitu saja tanpa melakukan pemeriksaan
ulang. Keterkejutan terjadi pada saat pasien sudah mau
melahirkan. Ternyata posisi bayi sungsang atau bayi
dalam posisi kaki di bawah. Sementara ibu menderita
darah tinggi.
“Aduh, bagaimana ini. Catatan yang ada, kepala
sudah dipanggul ternyata sungsang. Dapat diatasi.
Tetapi, bagaimana dengan kenyataan ibu menderita
darah tinggi?” Mendadak harus rujuk ke RS karena
faktor tenaga, dokter tidak ada di tempat dan peralatan
minim di Puskesmas.
Wajah suami dan keluarga pucat pasi membayangkan
perjalanan jauh, kendaraan ambulance rusak, jalanan
rusak parah, ditambah kesulitan keuangan. Ada lagi
catatan lainnya yang serba bagus menurut bidan ternyata
jauh berbeda dengan kenyataannya. Sebagaimana ke­

393
jadian hari ini, bumil rujukan Pustu ternyata memiliki
riwayat sesak napas yang lupa dicatat bidan.
Bayi sudah dilahirkan dengan selamat, namun tiba-
tiba saja ibunya mengalami sesak napas. Flori, bidan
Puskesmas kebingungan mencari tabung oksigen yang
biasanya selalu siap dalam ruang bersalin, namun saat
itu tidak ada.
“Tabung oksigen di ruang rawat nginap!” teriak
Flori. Flori berlari hingga nyaris tersungkur di depan
pintu. Ros berada di ruang bersalin bersama dua orang
Bidan Kontrak, mencoba membantu segala cara agar ibu
yang baru melahirkan itu tenang. “Bayinya putih sekali
Bu, seperti mamanya. Sehat ya Bu. Bayinya cantik sekali.
Bapanya ada di ruang bayi. Sebentar lagi ke sini,” kata
Ros dengan hati berdebar.
“Oksigen ini punya ruang bersalin. Ada ibu yang
sesak napas,” Flori langsung menarik tabung yang se­
dang siap dipasang pada pasien yang sedang sesak napas.
Terjadi tarik menarik antara Flori dan Lina.
“Ibu nifas lebih butuh sekarang. Bapak ini kondisinya
masih lebih baik,” kata Flori.
“Tidak!” Lina berkeras. “Lihat, keluarganya lihat kita
dari jendela,” kata Lina dengan penuh ancaman.
“Ibu itu sangat sesak napas. Dia butuh sekarang,”
Flori menarik dengan sekuat tenaga. “Kalau sudah stabil
saya pinjamkan lagi ke sini.” keduanya saling dorong.
“Apa nenek kamu yang punya tabung ini.”
“Kamu ribut lagi!” bentak KTU.

394
“Ibu sesak napas Pak,” suara Flori setengah ber­
teriak.
“Flori,” Ros berseru dari depan pintu kamar bersalin.
Petugas di ruang KIA61 serentak panik. Di ruang KIA
hanya ada empat orang, yaitu seorang perawat di ruang
neonatus bersama ayah si bayi, Ibu Aminah bersama Ros,
dan bidan kontrak di ruang bersalin dan nifas, Kosmas
petugas sanitasi yang kebetulan sedang berada di KIA.
Flori yang masih berada di ruang rawat nginap di se­
berang KIA mendengar namanya dipanggil.
Pukul dua siang sebagian besar pegawai Puskesmas
sudah pulang. Mereka akan menghadiri pesta nikah
seorang perawat yang kerja sukarela di Puskesmas
dengan seorang pemuda warga desa setempat. Perawat
jaga, satpam, dan sopir ambulance berlari menuju Ros di
KIA.
“Ada apa dengan istri saya?” tanya Suami Ibu
Aminah.
“Bapak di sini saja. Jaga bayi ini,” perawat tergesa-
gesa.
“Sesak napas,” kata Ros tanpa ditanya. “Gawat da­
rurat. Bagaimana ini,” Ros menelepon Yordan. “Halo,
Dokter! Baik. Ada ibu nifas sesak napas bagaimana ini!
Bidan kepala tidak ada…ya,” HP ditutup. Ros berusaha
membantu sesuai petunjuk dokter.

***
KIA: Kesehatan Ibu dan Anak
61

395
“Ambil tabung dan bantu segera,” kata Ros dengan
tegas. Dia mencari kian ke mari.
“Tabung oksigen di mana! Di mana oksigen?” te­
riaknya, namun tidak ada seorang pun yang bergerak.
“Oksigen,” serunya lagi. “Ambil dulu di rawat ngi­
nap,” teriaknya lagi.
“Bidan Flori tolong cepat!”
“Hanya satu dipake di rawat nginap. Ada pasien
gawat!” kata Kosmas sambil berjalan kian ke mari. Rosa
terhenyak. Baru disadarinya tabung oksigen hanya satu
yang dapat difungsikan dan yang dipertengkarkan Flori
dan Lina tadi.
“Ada riwayat sesak napas?” tanyanya.
“Tidak ada dalam status!” jawab Flori.
“Pinjam dulu di Lina!” Ros berlari ke ruang rawat
nginap dan balik lagi beberapa saat kemudian. “Masih
dipakai pasien sesak napas. Ya Tuhan!”
“Bidan bagaimana ini? Kenapa bisa?” katanya dengan
bingung tidak tahu apa yang harus dilakukan melihat
bagaimana Ibu Aminah itu terengah-engah. “Pinjam di
rawat nginap,” teriaknya lagi. “Cepat!”
“Bidan Flori bagaimana ini?”
“Pinjam cepat,” teriak bidan kontrak sementara
Aminah kian sesak. Flori berlari lagi untuk memohon
bantuan Lina agar tabung oksigen bisa dipakai Ibu
Aminah sebentar saja. Kosmas juga keluar dan hampir
bertabrakan dengan suami Aminah.

396
“Bapa! Jangan masuk, bapa mesti tetap ruang
neotatus, jaga bayi Anda Bapa,” suara seorang perawat
setengah membentak dan suami Aminah kembali ke
ruangan bayi.
“Bagaimana dengan istri saya?” tanyanya cemas.
“Tidak apa-apa. Tidak boleh diganggu. Pasien se­
dang ditangani.”
“Flori,” terdengar suara Ros. Flori tinggalkan Lina
dengan putus asa. Lina tidak mau pasiennya mengalami
kegagalan napas gara-gara tidak ada tabung oksigen.
Flori pun demikian. Dengan gemetar dia kembali ke
gedung KIA.
“Aduh, pasien sesak napas!” Ros masih berupaya
membantu pernapasan. Di ruang rawat nginap Lina
berkeras mempertahankan tabung yang sedang dipasang
ke pasiennya yang masih terengah-engah.
“Kamu lihat sendiri pasien hampir mati karena
sesak!” suara Lina menusuk hati Bidan Flori.
Flori tinggalkan ruang rawat nginap dengan hati
pedih. Setengah berlari dia kembali ke ruang bersalin.
Ibu yang sesak napas itu menarik napas panjang sekali,
dua kali, dan kali yang ketiga. Ibu diam memejamkan
matanya.
Flori ternganga di depan pintu dan bersandar di
sana. Kedua kakinya gemetar dan nyaris jatuh jika dia
tidak berusaha menguasai dirinya. Kedua bidan kontrak

397
keluar ruangan. Sementara itu, Ros tergetar habis karena
tidak dapat berbuat apa-apa.

***

Bidan Flori mendekati pasien dengan kaki gemetar.


Disentuhnya pergelangan tangannya untuk memastikan
denyut nadinya. Dibuka matanya yang sedikit terbuka
untuk melihat tanda apa yang didapatkan. Pupil mata
melebar dan diam tanpa reaksi.
“Ya Tuhan … Ibu ini benar-benar sudah meninggal.”
Tanpa ada yang memberi komando, tidak ada seorang
pun yang menyampaikan kepada suami dan keluarga
tentang oksigen dan alat tabung. Pasien meninggal di
depan matanya. Flori, Ros, dan bidan kontrak berusaha
menolong dengan memberikan napas buatan, namun ibu
yang baru melahirkan itu tetap diam. Ros mengatupkan
kedua tangan Aminah setelah mengusap matanya yang
setengah terbuka. Ia menyentuh pergelangan tangan kiri,
menyentuh leher dengan harapan masih ada denyutan. Ia
pun membuka mata Aminah dan membaca tanda di sana.
Benar. Pupil mata melebar tanpa reaksi.
“Pendarahan!” Entah siapa yang menjelaskan pada
suami ibu yang baru melahirkan itu. Flori tinggalkan
ruangan, sementara Ros memperhatikan wajah laki-laki
itu yang kian menjadi pucat pasi. Bibirnya gemetar. Ia
melangkah perlahan mendekati istrinya yang terbaring
untuk selamanya. Perlahan disentuhnya tangan terkatup
itu.

398
Perlahan disentuhnya wajah tanpa nyawa itu. Per­
lahan didekatkan wajahnya ke dada istrinya memutar
sedikit dan merapatkan telinga untuk mendengar detak
jantungnya, selanjutnya dia terjatuh. Pingsan. Suasana di
Puskesmas menjadi ramai dalam sekejab. Berita kematian
cepat merebak. Ratap tangis merupakan bagian langsung
dari kedukaan itu. Pak Paulus KTU Puskesmas datang
beberapa saat kemudian bersama Mama Lena, Om No,
bidan, dan perawat jaga.
“Anak pertama perempuan berat 3,1 kg, panjang
53 cm. Ibu meninggal karena pendarahan.” Flori meng­
atupkan kedua tangan perempuan malang itu di atas dada
setelah mengusap mata yang setengah terbuka, meskipun
Ros sudah berupaya mengusap mata itu beberapa kali.
“Pendarahan?” entah siapa yang bertanya.
“Ya.” entah siapa yang menjawab.
“Bukan sesak napas?”
“Ya”
“Begitulah! Kalau pendarahan sulit sekali untuk
ditolong. Hal yang sama sekali di luar perkiraan.
Seharusnya sejak dua hari lalu pasien sudah diantar
suami dan keluarga ke RS. Ibu hamil dan keluarganya
seharusnya sudah menyadarinya. Banyak kemungkinan
bisa terjadi. Hal yang sulit dihindari. Memang takdirnya
mungkin. Kita sudah berupaya memberi yang terbaik,
namun apa daya Tuhan berkehendak lain,” suara-suara
itu menggaung di seantero Puskesmas, terbang seputar

399
loteng, dan melejit melewati atap serta menyebar dengan
cepat.
Bidan Ros menutup telinganya rapat-rapat, namun
suara-suara itu seolah-olah mendesaknya hingga terkapar
di pojok ruangan. Sejenak pun dia tidak beranjak dari
sana. Kosmas mendekatinya dan duduk pada posisi yang
memudahkannya untuk memperhatikan apa yang terjadi
dengan Bidan Ros dan Bidan Flori. Diambilnya HP
dan tanpa kata-kata difotonya moment bersejarah yang
sulit ditemukan. Bidan Flori menangis dan Bidan Ros
mematung menghadap tembok gedung KIA.
Hiruk pikuk di Puskesmas berakhir ketika jenazah,
suami, serta beberapa anggota keluarga meninggalkan
Puskesmas. Ros tetap menghadap tembok. Flori tetap
menangis. Lina datang dan berdiri sejenak di depan
pintu tanpa kata-kata. Ia ingin mendekati Ros dan Flori,
namun niat itu dibatalkannya.
“Saya minta maaf, Ros dan Flori,” katanya dalam
hati. Bidan dan perawat kembali ke posisinya masing-
masing. Dalam ruang periksa seorang bidan kontrak
membuat catatan observasi pasien yang sudah meninggal
itu.
Ros merasa perasaannya jatuh bangun oleh rasa
sakit yang satu berpindah ke rasa sakit lainnya. Saat
ditemukan kebun dan taman Polindes porak-poranda,
tanaman dipotong pada bagian pangkal, polibek hancur,
bunga-bunga berserakan, dia merasa hatinya ditikam.

400
Sakit. Hari ini rasa tertikam itu lebih menyakitkan
lagi. Tidak hanya ditikam, tetapi diiris perlahan-lahan.
Telepon berdering berkali-kali dari Yordan. Ros tidak
mengangkatnya. SMS pun masuk, namun Ros tidak
membacanya.

401
24
Panggil Dia Aminah

Semua warga kantor Puskesmas itu duduk diam di


ruang pertemuan. Pak Paulus dan Bidan Kepala duduk
pada bagian depan dengan wajah berduka. Mama Lena,
perawat, bidan, dan pekerja lainnya duduk berjejer ke
belakang.
“Kita semua jadi susah kalo bidannya baru, belum
pengalaman,” kata Pak Paulus dengan marah.
“Coba kalo bidannya pengalaman seperti Mama
Bidan Kepala dan bidan-bidan yang sudah pensiun itu.
Tidak mungkin mati bodoh begini.”
“Hanya tangani satu pasien saja tidak bisa. Empat
bidan. Yang satu bidan terbaik di Polindes Bakung,
terbaik pula untuk Puskesmas Flamboyan, yang satu
bidan yang sudah lebih berpengalaman, dua lagi bidan
kontrak yang rela kerja dengan bayaran apa adanya,
ditambah perawat berpengalaman. Mau jadi apa? Dalam
satu minggu ini hanya bisa tambah satu kematian. Eh,
hanya satu yang sesak napas, tetapi tidak sanggup

402
buat selamat ibu hamil. Bagaimana kalau dua, tiga, dan
empat?”
“Dokter tidak ada di tempat. Tidak ada yang patuh.
Semua buat turut sukanya sendiri. Kalau kematian ber­
tambah saya yang disalahkan. Bidan enak-enak saja.
Duduk-duduk saja tidak buat apa-apa. Semua diam
tunggu perintah. Mau jadi apa Puskesmas kita ini kalau
semua tenaganya seperti ini?”
“Tabung oksigen yang kosong sudah dikirim ke
Dinas. Tabung yang rusak sudah satu tahun di gudang.
Satu tabung lagi dipakai pasien di ruang rawat nginap,”
Ros mencoba menjelaskan lagi agar dapat dibahas
bersama-sama apa masalahnya sebenarnya.
“Ya saya tahu!” kata KTU dengan tegas.
“Ada urusan apa oksigen dan pendarahan?” entah
dari mana suara itu berasal.
“Ibu itu meninggal karena sesak.…”
“Kamu tahu apa? Diam! Jangan bicara dan jangan
urus hal-hal yang bukan wewenang kamu. Kamu bukan
perawat, kamu hanya bidan Polindes, bukan apa-apa.
Apakah kamu penting? Bunga-bunga dan daun-daun
lebih penting dari pasien? Pantas saja kalau semua
upayamu dirusakkan orang. Kita tinggal tunggu saja
kapan Puskesmas yang sudah hijau ini juga dirusak
orang. Kamu hanya kebetulan ada di Puskesmas karena
kasus pembabatan tanaman di sana. Tahu apa kamu.
Untung saja bukan pasien dari Polindes Bakung yang
meninggal tadi!”

403
“Tabung oksigen sudah saya kirim ke Dinas,” jawab
Ros saat ditanya.
“Atas perintah siapa?”
“Sudah satu minggu kosong.”
“Atas perintah siapa?”
“Tabung kosong.”
“Atas perintah siapa?”
Ros menjawab lagi. “Tabung kosong Bapa! Saya
lihat dengan mata kepala sendiri tabung yang tinggal
satu-satunya itu ditarik kiri kanan sesuai kebutuhan dan
siapa yang pegang lebih dulu. Saya lihat sendiri apa yang
terjadi dengan kematian hari ini,” Ros ingin meledak
karena memendam rasa marahnya. Namun, dia diam
saja di samping Bidan Flori. Sampai siang ketika semua
petugas sudah pulang ke rumah dan di Puskesmas hanya
tersisa bidan dan perawat jaga, Flori dan Bidan Ros
masih berdiam di Puskesmas itu.
“Jangan menangis,” kata Ros, namun Flori tambah
terisak.
“Bidan Ros sabar saja ya,” kata Flori.
“Bukan salahmu,” kata Ros lagi membuat Flori
lebih merasa sesak melihat Ros dalam kesabarannya.
Suasana di Puskesmas sore itu sunyi. Ruang KIA yang
bersebelahan langsung dengan ruang rawat nginap
dan rawat jalan membuat suasana terasa lebih lengang.
Hanya satu ibu saja bersama bayinya yang dilahirkan
dengan selamat dan sehat, bersama ibu mertua yang
menjaga. Tidak ada orang lain, karenanya isakan Flori

404
terasa menyusup pada setiap jengkal gedung itu. Di
ruang rawat nginap Lina mematung di sisi pasien yang
sudah teratasi sesak napasnya. Tabung oksigen dilepas
Lina.
“Bapak sudah aman sekarang,” kata Lina. “Sekarang
tidur. Kasih lunas kegelisahan bapak waktu malam
sampai pagi dan sampai siang ini. “Cukup satu orang
yang jaga ya. Boleh bergantian, tetapi tetap satu orang
saja yang boleh karena sesak napasnya buruk sekali. Jadi,
kalian jangan buat bapak tambah sesak,” Lina mendorong
tabung oksigen dan membawanya ke sudut ruangan.
“Maaf ya Bidan Flori…Bidan Ros,” kata Lina
dalam hati. Lina tidak dapat menjawab apapun setiap
pertanyaan yang mendera pikiran dan hatinya. Pasien
tetap nomor satu dalam pelayanan.
Dia melakukan pekerjaannya dengan baik dan se­
suai prosedur. Diakuinya bahwa tabung oksigen itu
dibawanya dari ruang KIA karena oksigen di ruang
rawat nginap sudah kosong dan belum diisi kembali
meskipun sudah hampir satu minggu berlalu. Dokter
Yordan sudah beri peringatan keras sejak hari pertama
tabung itu kosong, namun tidak ada penanganan lebih
lanjut oleh staf yang ditugaskan.
“Itu oksigen KIA,” terngiang-ngiang kata-kata
Flori. Bukan baru sekali ini.
“Pinjam dulu.”
“Kamu punya di mana?”
“Kosong belum diisi.”

405
“Jangan ambil tabung dari sini. Tabung itu KIA
yang punya.”
“Apakah ada tulisan KIA?”
“Itu tabung oksigen milik KIA!”
“Apakah ada tulisan KIA?” tanyanya sambil melihat
dengan teliti tabung berwarna biru dengan cap merah
itu. Dalam diam dia keluar pintu KIA dan menuju ruang
rawat nginap sambil mendorong tabung oksigen. Siapa
yang harus diselamatkan lebih dulu?

***

Siapakah yang harus diselamatkan? Haruskah ada


pertanyaan seperti itu? Lina tercenung di dalam ruang
jaga rawat nginap. Dia duduk sendirian dan berupaya
memisahkan diri dari kenyataan yang baru saja lewat
di hadapan matanya. Dari kisi-kisi jendela, pintu,
dan langit-langit kamar dia sungguh-sungguh tahu
rombongan pengantar jenazah tinggalkan Puskesmas.
Seorang ibu muda meninggal dalam usia 22 tahun
setelah melahirkan anak pertama. Seorang laki-laki
berusia 32 tahun kehilangan istrinya. Seorang bayi yang
baru beberapa jam di dunia ini tertidur dalam box ruang
bayi karena keluarganya meminta agar bayi ditinggalkan
dulu di Puskesmas.
Ada riwayat asma dan sesak napas, namun
tidak tercatat dalam status. Siapakah yang mesti
disalahkan? Haruskah ada pertanyaan seperti ini? Lina
menengadahkan wajahnya. Dia adalah perawat senior

406
yang sudah bekerja cukup lama di Puskesmas itu. Tabung
oksigen adalah salah satu masalah dari sekian masalah
nyata yang terjadi. Mau beli baru tunggu pengadaan
dari tahun ke tahun yang tidak pernah ada. Mau perbaiki
yang lama tidak ada teknisi. Mau isi ulang tidak ada
yang bertindak cepat, padahal Kepala Puskesmas baru
saja pergi satu minggu. Mau mengeluh siapakah yang
mendengar. Yang pasti pasien harus ditolong. Dia
merasa sudah melakukan tugasnya dengan baik.
Dia berhasil mengatasi sesak napas pasiennya
dengan bantuan oksigen. Tabung dari Kesehatan Ibu
Anak atau tabung KIA yang dirampoknya? Dirampok?
Itu tabung Puskesmas bukan tabung KIA! Haruskah
pasiennya yang meninggal bukan ibu nifas pasiennya
Bidan Flori yang meninggal? Kalau ibu yang baru
melahirkan atau ibu nifas atau bufas yang meninggal
bukankah Pak Tua itu yang selamat? Kalau Pak Tua
yang meninggal bukankah ibu nifas yang selamat?
Mengapa berkalau-kalau? Nyatanya, tabung oksigen
tidak ada. Tabung oksigen dari ruang rawat nginap
belum terisi. Nyatanya tabung oksigen dari ruang KIA
itulah yang menyelamatkan Pak Tua. Sudah takdirkah
itu? Lina menggelengkan kepalanya keras-keras
sebelum meletakkannya di atas meja. Kepalanya pusing
setengah mati. Hari ini kematian ibu bertambah satu
lagi bukan karena bidan tidak ada, salah diagnosa, salah
penanganan, atau salah prosedur.

407
“Memang salah itu tabung oksigen. Kita punya tiga.
Yang satu onar dan rusak. Yang satu kosong belum ada
isinya. Yang satu ada di ruang KIA,” terngiang-ngiang
simpang siur komentar setelah jenazah dibawa pulang
keluarganya.
“Salah itu tabung hanya satu, jadi baku rampas!”
“Ya! Jelas siapa lebih dulu dia ya ditolong dulu.
Bukan sebaliknya!”
“Tabung oksigen ini benar-benar buat kita susah!”
“Mau kasih salah siapa?”
Salahnya ibu hamil dengan riwayat asma dan sesak
napas tidak terdata lebih dulu. Bukan! Salahnya karena
tabung oksigen dari KIA dirampas untuk menolong
Pak Tua. Bukan! Salahnya karena tabung tidak ada.
Bukan! Salahnya karena tabung oksigen ruang rawat
nginap belum terisi padahal sudah satu minggu berlalu
setelah pemakaian terakhir. Baru satu minggu! Biasanya
satu bulan, bahkan dua bulan juga tidak masalah karena
tunggu anggaran dan lain-lain.
Siapa sangka ada pasien yang membutuhkan
oksigen? Salah petugas? Bukan! Salahnya ada tabung
yang rusak. Eh, bukan! Salahnya orang-orang di sini
yang serba longgar kalau pimpinan tidak ada di tempat,
yang tidak bertanggung jawab terhadap perintah pim­
pinan untuk segera isi tabung yang sudah kosong. Ah,
bukan! Ini salahnya manajemen pelayanan tidak berjalan
dengan semestinya. Jadi, apa salah saya? Lina bertanya

408
pada dirinya sendiri. Dia segera berdiri menyambar
tasnya dan berjalan keluar.

***

“Selamat sore Ibu Lina,” Om Martin dan Cekat me­


markir tepat di depan Puskesmas.
“Sore! Mau jemput Bidan Ros? Dia ada di kamar
tiga,” kata Lina. “Sudah dapat pelaku perusakan kebun
Polindes?”
“Belum!”
“Om Cekat perlu dengan Bidan Ros?”
“Bawa tabung oksigen,” kata Om Cekat “Benarnya
mau titip di bus kayu62, tapi Om Martin tidak mau.
Maunya bawa sendiri ke sini....”
“Siapa yang suruh Om bawa?”
“Ibu Bidan Ros.”
“Oh, ini tabung oksigen dari ruang rawat nginap!”
“Oh begitu, kah? Saya hanya bawa saja. Sebenarnya
saya tidak mau. Kalo bawa kosong saya berani, tapi ada
isi oksigen terus terang saya tidak berani.”
“Terus kenapa sekarang berani bawa?”
“Karena Ibu Bidan Ros dan karena Om Martin.”
“Oh begitu? Ibu Ros sogok kamu berapa rupiah?”
“Ai jangan omong begitu Ibu Lina.”
“Terus kenapa berani bawa?”

Bus kayu: truk pengankut barang yang dialihfungsikan menjadi


62

pengangkut manusia.

409
“Ibu Ros itu baik dengan kami sopir jadi kami juga
baik,” jawab Cekat sementara Om Martin hanya diam
mendengarkan saja. “Gara-gara tabung ini Ibu Aminah
amin. Kamu, kamu semua tuh tanggung dosa saja.” Cekat
bicara seenaknya. “Begini sudah kalo Dokter Yordan
tidak ada. Kamu seperti ayam hilang induk. Bodok
semua.”
“Aminah meninggal karena pendarahan!” potong
Lina.
“Jangan tipu kami, seluruh dunia sudah tahu semua.
Memang kamu semua di sini bodok bukan maen-maen,”
kata Cekat yang terpaksa diam setelah Om Martin
memerintahnya diam.
“Bidan Ros kasih Om Cekat uang kah?”
“Jangan omong begitu Ibu Lina. Ibu mau anggap
murah kami, kah? Ada uang transport tabung dari
Puskes­mas, kah?” tanya Om Cekat lagi.
“Kalau ada, kasih sudah. Kami kalo tolong ya
tolong. Kalo Ibu Bidan Ros kasih kami uang makan tuh
wajar-wajar saja. Hitung pigi63 datang sama saja dengan
hubungan baik. Itu yang kami jaga. Jadi, baik juga kalo
orang Puskesmas ini tahu jaga hubung baik dengan
kita-kita sopir. Kami kalo tolong tidak akan main-main.
Apalagi kalo saya jadi bidan,” Cekat tertawa sendiri.

Pigi: dialek lokal untuk kata ‘pergi’.


63

410
“Sudah sadar kah Om?” kata Lina. “Dulu anggap
enteng bidan. Dulu bidan omong tidak mau dengar.
Sekarang, baru bela mati-matian bidan!”
“Ibu perawat, tolong jangan ungkat-angkit saya
punya masa lalu, saya bisa marah besar!”
“Sudah! Maaf, maaf. Jangan omong banyak lagi Om.
Tolong antar itu tabung ke ruangan saya. mari ikut.
Tolong dulu Om,” Lina melangkah lebih dulu dan Om
Cekat mengikutinya. “Ibu Ros ada di mana? Baik-baik,
kah?”
“Ada di kamar,” kata Lina. ”Pasti Om Martin sudah
mengetuk kamarnya sekarang.”
“Ibu Ros itu sudah seperti bersaudara dengan Om
Martin,” kata Cekat.
“Kenapa? Mau jemput? Bidan Ros tidak diizinkan
pulang ke Polindes.”
“Ya, tadi Om Martin juga bilang sementara Ibu
Bidan tidak kerja di Polindes Bakung. Mungkin besok
atau lusa mau jemput Dokter Yordan datang dari
Kupang.”
“Bidan Ros itu bagaimana sebenarnya? Sama Martin
atau sama Dokter?” tanya Lina.
“Dokter!” jawab Cekat.
“Siapa bilang?” tanya Lina.
“Kira-kira perasaan saya saja.”
“Tidak mungkin! Buktinya Martin dengan Bidan, itu
di sana,” kata Lina, yang segera langsung mengalihkan

411
topik pembicaraan. “Oh ya,” kata Lina. “Om Sopir, lain
kali kalau oksigen habis, saya bisa minta tolong, kah?
Nanti saya kasih uang bensin. Om Sopir tinggal tanda
tangan saja.”
Om Cekat tidak menjawab. Dia langsung balik
kembali ke bemo tanpa menoleh lagi. Meskipun Lina
memanggilnya beberapa kali, Om Cekat menghidupkan
kendaraan dan melaju meninggalkan Puskesmas. Dari
kaca spion dia dapat melihat Lina memperhatikannya
dengan wajah masam. Sementara itu, Flori berdiri di
sisi jendela KIA. Ia biarkan saja Om Cekat dengan Lina
sejak mobil parkir di depan Puskesmas, tabung oksigen
diturunkan, dan dialog antara Lina dengan Cekat. Lina
berjalan masuk ke dalam gedung rawat nginap diikuti
Om Cekat dengan tabung.
Dia masih tetap berdiri sampai Lina dan Cekat ke­
luar, berdiri sebentar di depan Puskesmas, dialog antara
keduanya, dan bagaimana Cekat melaju meninggalkan
Lina berdiri mematung sendiri sebelum melemparkan
pandangannya ke pintu gedung Puskesmas.

***
Puskesmas dan ruang KIA yang sunyi seketika
setelah ditinggalkan seorang ibu yang mati muda.
Senja itu bertambah sunyi terasa. Langit mendung
mempercepat kedatangan malam. Seekor burung terbang
melintas jauh dan dengan cepat menukik mencari tempat
istirahat yang aman sebelum benar-benar gelap meliputi

412
bumi. Suaranya melengking memecah kekelaman senja
dan menambah tanda duka yang mengendap dalam
kalbu.
Beduk magrib berbunyi. Suara azan menggaung
sampai jauh ke lembah. Sayup-sayup terdengar lonceng
angelus menggema dari Gereja yang terletak di ke­
tinggian. Gaungnya menyesap sampai ke kaki-kaki
bukit. Sekelompok burung terbang rendah dari pohon
ke pohon, hinggap dari dahan ke dahan, sebelum diam
mencari tempat yang nyaman untuk istirahat malam.
Serombongan ibu, bapak, orang muda, dan anak-anak
berjalan beriringan meninggalkan pemakaman dengan
berbagai ekspresi. Kehilangan orang tercinta hanya dapat
dimengerti secara mendalam oleh orang yang pernah
mengalaminya.
“Kenapa mesti mati,” kata seorang terhadap yang
lain.
“Padahal sudah lahir baik sekali.”
“Mereka bilang pendarahan.”
“Ada yang bilang sesak napas.”
“Mana yang benar?”
“Kalau saya suami Aminah saya pasti tuntut Puskes­
mas.”
“Ya, tidak ada ujung pangkal Aminah bisa mati.”
“Rugiiii sekali.”
“Betul keluarga harus tuntut.”
“Keluarga terima saja matinya Aminah.”
“Aduh, cantik begitu mati gampang-gampang saja.”

413
“Bagaimana bayinya? Siapa yang jaga.”
“Suruh saja itu bidan jaga.”
“Atau lapor itu bidan ke polisi.”
“Hei jangan omong begitu. Ini sudah takdir.”
“Takdir?”
Pembicaraan terhenti. Semua orang berjalan ter­
gesa-gesa kembali ke rumah masing-masing. Perasaan
sedih, kecewa, marah, menuntut mencari jawaban terbaik
terbang ke mana-mana. Mengapa harus ada kematian
lagi bagi ibu muda yang melahirkan pertama kalinya.
Ibu muda yang tidak memiliki pengalaman apapun
selain menjalani apa yang harus dijalaninya. Jauh di
atas langit awan berarak cepat kian lama kian menebal
menggantung berkelompok memenuhi langit. Suara azan
hinggap dalam setiap hati dan terbang jauh memecah
sunyi dunia sekitar Puskesmas yang telah menyumbang
sebuah kematian.
Flori tersentak kaget saat didengarnya tangisan bayi
Aminah. Dirapatkannya kain jendela sebelum berjalan
tergesa menuju ruang bayi. Bayi Aminah menggerak-
gerakan bibirnya mencari-cari asupan dari dada ibunya
yang telah tiada. Bidan Flori berdiri di sisi box bayi
dan dengan hati-hati meletakkan dot kecil di bibir bayi.
Beberapa saat kemudian bayi menyusu sambil terpejam.
“Panggil dia Aminah seperti nama ibunya,” kata Ros
yang berdiri bersama Om Martin di sisi lain dari box
bayi. “Nanti kalau ayahnya datang kita beritahu kalau
bayinya sudah punya nama. Aminah,” Ros menyentuh

414
dengan lembut pipi bayi. “Sayang sekali ya Aminah be­
lum sempat melihat dan menyusui bayinya. Kalau saja
Aminah tidak…wah ibu yang cantik dan bayi yang manis
sekali,” Ros tercenung saat menyadari air mata di pipi
Flori.
“Ros….”
“Flori … kita panggil dia Aminah.”
“Ya, nama yang manis sekali.”
“Ros…,” Bidan Flori bertanya. “Apakah saya ikut
andil dalam kematian ibunya?” tanya Flori sebelum
tertunduk. “Saya ikut andil bukan?” Mutiara dari mata
Flori jatuh di tangannya. Ros dan Martin sama-sama
tercenung dan menyimpan pertanyaan itu.

***
Ros terdiam saat Flori meninggalkan bayi Aminah
dan pergi tanpa menoleh lagi. Ros sendirian bersama
Om Martin di ruangan itu. “Aminah,” kata Ros sambil
menyentuh kepalanya perlahan. “Ibunya meninggal
karena sesak napas,” kata Ros.
“Kalau suatu saat tabung oksigen kosong kontak
langsung saya,” kata Martin.
“Terima kasih.”
“Langsung kontak Cekat, Dion, Magnus juga bisa.”
“Terima kasih.”
“Dua bulan ke depan saya ke Surabaya. Tabung yang
rusak itu biar saya bawa ke sana. Bisa ditukar tambah
dengan yang baru. Saya akan bicara dengan Ojan soal

415
ini,” kata Martin. Oh ya, Ojan minta kita jemput besok
sore. Ikut?”
“Ya.”
“Tunggu saja, besok saya jemput.”
“Tentang tabung oksigen, bisa juga beli di Kupang.
Minggu depan saya ke sana.”
“Oh ya kalau ke Kupang saya titip buat Linda ya.”
“Boleh!”
“Di antara semua kami teman seangkatan Linda
dikenal tukang menangis kalau ada ibu yang meninggal
tinggalkan bayinya. Linda pasti sedih sekali kalau saya
kirim kabar ini. Linda, Vero, Nining, Theresia, dan Sitti.
Apa ya komentar mereka kalau tahu kematian ibu hari
ini?”
“Ibu Bidan Ros sebaiknya istirahat.”
“Apakah saya pun ikut andil dalam kematian ini?”
tanya Ros dalam hatinya.

416
25
Pertanyaan Untuk Hatiku

A
“ pakah saya ikut andil dalam kematian ini?” Per­
tanyaan ini terngiang-ngiang dalam telinga Ros.
“Ini bukan permintaan, ini perintah dari Kepala
Puskesmas,” masih diingatnya dengan jelas kata-kata
Yordan padanya.
Dia ingin membantah, tetapi tidak ada tenaga.
Dirinya terasa lumpuh menyaksikan kekejaman yang
dilakukan terhadap taman dan segala kehidupan yang
diberikannya. Belum cukup waktu baginya untuk meng­
uraikan kesesakan hati, sudah dihadapkan lagi dengan
masalah baru yang lebih menyakitkan hati.
“Kamu disuruh istirahat di sini, bukan melakukan
pelayanan,” kata Bidan Kepala.
“Jadi biar saja Flori dan bidan lainnya yang tangani
setiap ibu hamil dan ibu melahirkan di sini. Semua
orang juga tahu pikiranmu lagi kacau dengan persoalan
di Polindes. Jadi, bagaimana kamu bisa konsentrasi
membantu Flori,” suara Bidan Kepala meninggi.

417
“Sudah berkali-kali saya katakan, jangan ikut cam­
pur, beri kepercayaan kepada bidan lain. Jangan kira
hanya kamu saja yang bisa, bidan lain juga bisa! Jadi
jangan buat masalah!” Suara Bidan Kepala menikam hati
siapa saja yang mendengar. Suara itu juga melompat-
lompat dan mencari-cari jawaban atas pertanyaan,
apakah saya ikut andil dalam kematian?
“Bagaimana mungkin kamu tidak tahu kalau ada
riwayat asma dan sesak napas?” Pertanyaan yang dilon­
tarkan bagai vonis yang jatuh dan ditangkap per­tanyaan
lain, apakah saya ikut andil dalam kematiannya?
“Perhatikan baik-baik penjelasan yang sudah disam­
paikan berulang-ulang,” suara yang tumpang tindih
dengan suara ikut andil dalam kematian.
“Pelayanan nifas adalah pelayanan yang diberikan
kepada ibu sejak awal melahirkan sampai 42 hari pasca
persalinan oleh tenaga kesehatan,” suara Bidan Kepala.
“Jauh sebelum itu, pada pelayanan antenatel sudah
harus diketahui kondisi ibu hamil,” tekanan keras dan
tajam.
“Semuanya sudah harus dicatat dan pasti ada dalam
buku KIA. Buku KIA itu serius sama dengan suara yang
masuk ke telinga kalian setiap saat, ada di depan mata
sepanjang waktu. Semua informasi tentang ibu hamil
ada di sana. Perkembangan ibu hamil dicatat dari waktu
ke waktu. Mestinya dalam proses ini sudah diketahui
bagaimana kondisi ibu hamil bukan? Mengapa asma saja
kamu buta? Mengapa sesak napas saja kamu tidak tahu?”

418
Bidan Kepala menatap tajam wajah setiap bidan sebelum
menyerahkan pembicaraan selanjutnya kepada petugas
dari kota.
“Bidan Ros! Pasien itu sejak awal Anda yang tangani
berdua dengan Bidan Flori bukan?”
“Ya. Setahu saya dalam buku KIA Ibu Aminah, tidak
ada catatan tentang sesak napas.”
“Apakah kamu tidak tahu dan tidak pernah tanya
pasien pernah menderita penyakit asma atau tidak?
Kenapa kamu tahu pada saat sudah terjadi?” tanya Pe­
tugas.
“Oh ya? Apakah karena pelayanan ibu nifas sudah
melahirkan dengan selamat, makanya kamu duduk-
duduk santai, terima telepon, balas SMS, atau sibuk apa?
Padahal begitu selesai persalinan kamu sudah tahu ibu
nifas sesak napas? Kamu biarkan saja?”
“Tabung oksigen dipakai pasien rawat nginap,” Ros
baru mulai menjelaskan.
“Jadi mau salahkan tabung oksigen?” teriak Petugas
dengan gagah berani.
Pertanyaan apakah saya ikut andil dalam kematianya
tidak akan pernah hinggap di atas petugas yang gagah
berani seperti ini. “Kamu orang puskesmas tuntut terlalu
banyak. Tuntut ini tuntut itu, tetapi tidak becus tangani
pasien. Bikin malu saja!” teriaknya.
“Masalahnya.…”
“Apa masalahnya?”

419
“Sudah berapa lama Dokter Puskesmas pergi?” te­
riak­nya lagi.
“Satu minggu.”
“Kenapa lama sekali?”
“Baru satu minggu. Untung saja tidak sampai satu
bulan. Selama ini Dokter jarang pulang, kecuali ada
tugas di Kupang sekalian pulang ke kampungnya. Tetapi,
sangat jarang, Dokter kami sangat betah tinggal di
sini. Tugas dua puluh empat jam setiap hari, pagi siang
maupun malam dan menjelang pagi atau pun tengah
malam sesuai situasi dan kondisi. Dokter emergency IGD,
dokter KIA, dokter rawat nginap, dokter rawat jalan,
dokter sepanjang waktu. Hanya seminggu dokter pergi
dengan beberapa urusan. Dokter Yordan juga sudah
telepon memberi kabar bahwa dirinya akan segera
pulang,” kata-kata ini hanya ada di dalam kepala Ros saja
tidak dilisankan.
“Mestinya dia bertanggung jawab ada di sini me­
nangani masalah seperti ini.”
“Ya. Seharusnya memang begitu.”
“Mobil ambulance bisa dipakai?”
“Tidak bisa dipakai.”
“Dokter Yordan baru satu minggu pergi. Mobil
sudah rusak apanya. Kenapa?”
“Kenapa tidak pakai mobilnya Dokter Yordan kalau
ada masalah?”
“Kenapa selalu ada masalah kalau Kepala tidak ada?”

420
“Orang Puskesmas Flamboyan selalu buat masalah
dengan ambulance. Apakah mungkin mobil ambulance
dipakai untuk muat kayu api, jagung, beras, sayur atau
apa lagi hewan-hewan juga masuk ambulance?”
“Tidak ada yang tahu selain sopir cadangan
yang juga tidak tahu. Om No sopir senior sakit. Sopir
cadangan awalnya bawa ambulance ini. Waktu Dokter
Yordan pergi, sopir cadangan itu kutak-katik sistem per-
oli-an atau entah apa sebenarnya yang dikutak-katiknya.
Setelah terjadi perkutak-katikan, ambulance pun terduduk
dan diam sampai sekarang!”
“Begitu?”
“Ya.”
“Ada berapa tabung oksigen di sini?”
“Tiga! Satu rusak. Satu di ruang rawat nginap. Satu
lagi di gedung KIA.”
“Kenapa laporannya tabung hanya satu?”
“Saat kejadian satu tabung dari ruang rawat nginap
kosong sudah satu minggu dan belum diisi. Pada hari H
kejadian tabung oksigen di gedung KIA dipakai di ruang
rawat nginap. Entah mau pilih selamatkan Pak Tua di
ruang rawat nginap ataukah ibu nifas di gedung KIA.
Begitu sebenarnya yang terjadi. “
“Tabung kosong biasanya diisi di mana?”
“Bawa ke Dinas.”
“Bukankah di sini ada mesin pembuat oksigen?
Oksigen konsentrat?”

421
“Tidak tahu cara pakai.”
“Kenapa tidak sewa teknisinya? Bukankah kalian
bisa minta bantuan petugas elektronik medik dari Rumah
Sakit?”
“Sudah. Tetapi, waktu mau hidupkan mesin daya
listrik sangat kurang.”
“Sudah kasih naik daya listrik?”
“Sudah kasih naik.”
“Terus apalagi masalahnya?”
“Waktu teknisi dipanggil lagi ke mari mesin pembuat
oksigennya sudah rusak. Ada selang yang hilang, ada
lecet, rusak, dan tidak bisa dipakai.”
“Alatnya di mana sekarang?”
“Rusak.”
“Begitu?”
“Ya.”
“Kenapa ibu nifas meninggal?”
“Pendarahan.”
“Bukan sesak napas dan tidak dapat ditolong karena
tidak ada oksigen?”
“Bukan, eh ya!”
“Bukan karena tabung oksigen yang bisa difungsikan
hanya satu?”
“Bukan, eh ya!”
“Bukan karena dipakai di ruang rawat nginap dan
tabung diambil dari KIA?”
“Bukan, eh ya!”
“Pendarahan!”

422
“Ibu hamil, keluarga, dan masyarakat adalah sasaran
revolusi kesehatan yang juga harus bertanggung jawab,”
kata Petugas. “Kalau saja ibu hamil dan keluarganya
bicara terus terang soal asma dan sesak napas, tentu
saja pasien dapat dirujuk sejak awal, melahirkan di RS
PONEK. Bukankah demikan?”
“Ya.”
“Siapa yang tangani waktu itu?”
“Saya dibantu bidan Ros,” jawab Flori.
“Ooooh Bidan Ros masih di sini? Lebih penting
tolong pasien atau urus bunga-bunga, kebun, tanaman,
polibek, sayur…lebih penting pasien atau lingkungan?”
Tanya Petugas. Ros tidak menjawab. Matanya menatap
langsung wajah Petugas tanpa kata-kata.
“Demikian saja pertemuan kita hari ini. Saya harap
bertambahnya kematian ibu didudukkan pada tempat
yang semestinya,” pertemuan ditutup, namun pertanyaan
tentang apakah saya ikut andil dalam kematiannya
terus melayang-layang ke mana-mana, hinggap sejenak,
namun terbang lagi. Kembali ke dalam ruang rapat
dan berputar-putar di langit-langit ruang pertemuan.
Pertanyaan itu disampaikan kepada siapakah?

***
Petugas itu yang pertama datang melakukan pen­
catatan investigasi berada di Puskesmas sekitar tiga jam.
Hanya tiga jam tidak lebih dari itu yang seharusnya
dilaksanakan dalam tiga hari tugasnya. Dalam waktu

423
lebih lama dia dapat menemukan data lebih banyak
dan lebih jelas. Dalam waktu tiga jam apa yang dida­
patkannya? Datang bicara dengan modal laptop dan
bahan presentasi, tanya ini dan itu, catat ini dan itu,
selanjutnya marah-marah ini dan itu. Selanjutnya, tanda
tangan Surat Perintah Perjalanan Dinas dan tinggalkan
Puskesmas hari itu juga. Mungkinkah pertanyaan
ten­tang apakah saya ikut andil dalam kematiannya
mengikuti perjalanan Petugas?
Di manakah pertanyaan itu berhenti? Di kepala
Pe­tugas ataukah kembali ke kepala para bidan, ibu
Aminah, suaminya, atau bayi mungil bernama Aminah?
Pertanyaan itu sesungguhnya berasal dari banyak
tempat, banyak waktu, dan banyak ruang di muka bumi
ini. Dalam setiap kematian yang terjadi, dalam setiap
pertolongan persalinan, dan juga kematian yang terjadi.
Di sana kompleksitas masalah berputar-putar bagai
benang kusut. Mau diuraikan dari manakah benang
kusut itu agar tidak terputus-putus?
“Mereka sudah pergi,” kata Ros pada Bidan Flori.
Waktu terus berlalu. Tetaplah semangat menghadapi
setiap langkah hidupmu. Seringkali kita tahu apa yang
kita mau sebagaimana sering pula yang kita mau belum
tentu kita tahu pasti mendapatkannya.
“Mari sudah kita ke KIA,” ajak Ros selanjutnya.
“Terima kasih…” Bidan Flori menjawab dengan
lesu.
***

424
Malam yang dingin dan sunyi sebagaimana dira­
sakan Ros setiap kali ada kematian di depan matanya.
Puskesmas terasa lengang dan suara apapun terdengar
sumbang. Ros tertelentang di tempat tidur saat HP
berdering. “Ya Dokter,” jawab Ros. “Semuanya bagus.
“Lendir dan darah biasa, merah muda normal. Bukaan,
lahir, dan pengeluaran plasenta lancar,” kata Ros. “Tidak
ada catatan risiko dalam pendarahan, eklamsia, infeksi
tidak ada,” jawab Ros dengan tenang sambil mendengar
dengan saksama.
“Serviks membuka normal tahap demi tahap. Pem­
bukaan lengkap ya,” jawab Ros. “Oh ya, primigravida
lima puluh menit dan multigravida tiga puluh menit. HIS
terkoordinir, kuat, dan cepat dua tiga menit sekali,” Ros
diam dan mendengarkan pertanyaan serta menjawab
lagi.
“Lahir normal sampai keluarnya placenta sekitar tiga
puluh lima menit kemudian. Semuanya normal-normal
saja Dokter. Semburan darah, tali pusat, uterus dari
diksoid menjadi bundar. Ya, normal semuanya,” jawab
Ros lagi. “Sekitar menit ke-50 post partum. Ya tiba-tiba
saja Ibu Aminah sesak napas, sangat sesak napas.”
“Bidan Flori sudah buat laporannya?” suara Dokter
Yordan.
“Ya Dokter. Dia dibantu bidan kontrak. Saya juga
membantu, terutama membantunya agar jangan me­
nangis lagi,” suara Ros.

425
“Kematian tambah satu di Puskesmas kita,” kata
Yordan. Selanjutnya, Ros menjelaskan soal tabung oksi­
gen secara lengkap kepada Yordan dengan beberapa
catatan yang digarisbawahi bahwa Ibu Aminah tidak
akan meninggal kalau ada tabung dengan isinya.
“Sejak tabung kosong minggu lalu sudah saya pe­
ringatkan KTU dan kepala ruang rawat nginap untuk
mengisinya. Sudah saya tanda tangan surat perintahnya,
tinggal dijalani saja,” kata Yordan. “Sehari sebelum saya
berangkat. Memang satu tabung sedang diadakan dan
dianggarkan. Tetapi, ada dua tabung yang selalu terisi.
Kenapa mereka bisa lalai?”
“Sebaiknya, Dokter telepon langsung saja ke KTU
dan kepala ruangan,” kata Ros.
“Sudah.”
“Oh, maaf !”
“Maaf kenapa? Saya hanya ingin dengar suaramu.
Lagi di mana? Pasti di kamar nomor tiga. Sendiri? Ada
buat apa?” tanya Yordan.
“Terima telepon dari Dokter,” jawab Ros.
“Sambil buat apa?”
“Tidur. Capek. Sedih,” kata Ros. “Ibu Aminah tidak
perlu meninggal…” kata Ros.
Begitulah kalau Kepala Puskesmas tidak ada di
tempat, tidak ada yang pegang kendali. Ternyata ada
kecenderungan staf merasa longgar dan bisa santai saja
menghadapi masalah. Libur, tidak masuk, pulang, bekerja

426
dengan enggan, tidak tuntas dalam menangani masalah,
dan macam-macam yang lain.
“Kenapa diam saja?” tanya Yordan.
“Terbayang wajah suami Ibu Aminah. Sedih sekali,”
jawab Ros. “Wajah bayi yang kami beri nama Aminah
juga selalu terbayang.…”
“Ingat! Bidan tidak boleh menangis,” kata Yordan.
“Kebun bunga dan taman Polindes sudah ditata kem­
bali. Martin dan semua keluarga di sana sudah menger­
jakannya. Martin telepon sore tadi. Jadi, jangan sedih
lagi ya.”
“Kapan saya pulang ke Polindes,” tanya Ros
“Setelah saya bertemu Bapa Desa.”
“Kapan?”
“Istirahat saja dulu di kamar nomor tiga.”
“Lama sekali.”
“Tidak apa-apa lebih lama lagi. Biar penghuni rumah
Kapus ada yang temani. Biar ada wijaya kusuma yang
sungguh-sungguh ada di sana.…”
“Ya Dokter. Terima kasih.”
“Terima kasih lagi.”
“Dokter…bolehkah saya tanya sesuatu?”
“Mau tanya apa saja silakan, saya siap jawab, sampai
pagi juga boleh,” jawab Yordan.
“Dokter! Apakah saya ikut andil dalam kematian
ini?”
“Pertanyaan apa itu?”

427
“Katanya siap jawab sampai pagi.”
“Sekarang tidur ya…ambil napas panjang hembus­
kan beberapa kali…dan tidur ya,” jawab Yordan. “Itu
pertanyaan untukku juga. Kita tidur sekarang ya. Ros
di sana. Saya di sini. Tidurlah…,” kata Yordan. “Maaf
untuk pertanyaanku Dokter….”
“Ada pertanyaan lain?” tanya Yordan.
“Ya. Satu saja,” jawab Ros.
“Silakan bertanya sebanyak-banyaknya,” jawab
Yordan.
“Satu saja. Pertanyaan yang sama untuk kedua
kalinya.”
“Saya masih ingat pertanyaannya,” kata Yordan.
“Silakan ulangi pertanyaan saya.”
“Apakah laki-laki kedua dalam hidup Matilda itu
Adrian?”
“Jawablah pertanyaan itu,” pinta Ros.
“Ya,” jawab Yordan. “Saya tahu ini sangat mengejut­
kanmu, Ros. Tetapi, saya bersyukur karena Ros terbebas
dari dia. Jika pada suatu saat nanti, saya yang engkau
pilih untuk hidup bersamamu. Saya akan datang segera.”

428
26
Suara yang Kukenal

Ros memejamkan mata dan benar-benar terlelap. Dia


kaget di tengah malam. Diminumnya segelas susu yang
sudah dingin, menuangkan air panas dari termos dan
mencampurnya dengan air dingin dari botol aqua dan
meminumnya. Selanjutnya, dia duduk dan menulis e-mail
untuk Dokter Stefanus.

***

Dokter Stefanus yang baik.…


Ada kematian ibu nifas hari ini. Aminah namanya.
Sesak napas pada menit ke lima puluh lima post partum.
Tidak ada satu pun cacatan dalam status bumil, baik pada
kunjungan pertama, kedua, ketiga maupun keempat yang
menunjukkan riwayat sesak napas. Sayangnya, catatan
itu diketahui setelah ibu meninggal.
Saya selalu teringat pesan Dokter di ruang kuliah
dulu: obyektif, rasional, dan melayani dengan hati.
Dapatkah saya katakan terus terang bahwa dalam kasus
Ibu Aminah ada banyak aspek lain dalam pelayanan yang

429
menjadikan pelayanan yang obyektif, rasional, dan hati
itu jauh dari kenyataan lapangan.
Saya ingin kutip lurus-lurus dari buku Revolusi
KIA kalimat ini untuk Dokter. “Kesehatan merupakan
investasi dan hak asasi (dalam tanda petik ‘investasi dan
hak asasi’) dan semua warga berhak atas kesehatannya
termasuk ibu melahirkan dan bayi baru lahir, maka
kelalaian yang mengakibatkan kematian merupakan
tindakan pelanggaran hak asasi dan hilangnya kesem­
patan investasi. Terjadinya kasus kematian maternal
merupakan dampak panjang dari ‘tidak tepatnya’ tatanan
sosial, kebijakan, dan sumber daya potensial lainnya
yang berakibat minimnya akses dan cakupan pelayanan
kesehatan, serta rendahnya mutu pelayanan kesehatan.”
Menurut saya, kutipan di atas adalah pernyataan
yang berani, spesial, dan selalu aktual. Meskipun saya
sulit memaknainya karena susunan kalimatnya beranak
pinak. Kalimat yang enggan memperhatikan di mana
seharusnya ada titik dan koma. Sanggupkah kalimat ini
masuk ke dalam kepala, dihayati, dan diamalkan dalam
melakukan tindakan pelayanan?
Ibu nifas meninggal, Dokter! Proses persalinan yang
normal dan menggembirakan bagi saya bidan yang ikut
membantu persalinan itu. Sanggupkah setiap orang yang
bertanggung jawab di faskes itu berkata jujur tentang
apa yang kurang, apa yang lalai, apa yang dilupakan
sehingga kematian itu terjadi? Sanggupkah manajemen

430
mengakui dengan jujur kesalahan fatal apa yang sudah
terjadi sehingga kematian bertambah satu lagi.
Dokter! Tidak ada air mata untuk Aminah? Ketika
situasi menjadi lebih pelik, pertengkaran, perampasan,
bahkan perampokan hak hidup seorang ibu yang tidak
berdaya menghadapi kematiannya. Terlalu sederhanakah
kematian itu? Takdirkah namanya jika saya dengan sadar
tahu jelas mengapa mesti wafat?
Dokter…ada kematian ibu hamil, ibu bersalin,
ibu nifas juga bayi baru lahir yang berlalu dari waktu
ke waktu dalam tugas-tugas seorang bidan. Ini
kisah menyedihkan di dalam begitu banyaknya kisah
keberhasilan. Akan tetapi, kita sama-sama tahu bahwa
kematian satu orang sekali pun tetaplah kematian…
bahkan kematian yang terjadi di hadapan mataku hari
ini harus dicari penyebabnya pada banyak kepala-kepala
yang sudah bersumpah untuk menjalankan tugas dengan
jujur, berani, dan rela.
Saya mencoba mengajukan pertanyaan pada diri­
ku sendiri. Ketika napas itu terhenti suaranya tetap
kudengar sampai saat ini, dari yang paling keras dengan
dada terangkat sampai yang paling lemah ketika dada
yang terangkat itu jatuh dan tiada daya lagi. Apakah saya
ikut andil dalam kematian ini?
Di ruang kuliah dokter pernah menyampaikan
kepada kami sebagaimana tertulis dalam buku Revolusi
KIA bahwa diperlukan suatu strategi yang revolusioner

431
di bidang pelayanan kesehatan, terutama pelayanan ke­
sehatan bagi ibu yang melahirkan dan bayi baru lahir
melalui pendekatan “Pertolongan persalinan oleh tenaga
kesehatan yang terlatih pada fasilitas kesehatan yang
memadai”.
Tahukah dokter, bahwa semua itu tidak akan ada
artinya sama sekali bila manajemen kerja di fasilitas
kesehatan tidak berjalan? Persoalan utama ada pada
mental manusia yang bertanggung jawab dalam mana­
jemen tersebut. Apalagi jika manusianya tidak me­
miliki hati dan sama sekali hati terkunci rapat untuk
mendengar dan menjawab pertanyaan tentang siapa
yang bertanggung jawab terhadap hidup atau matinya
seorang ibu yang melahirkan?
Kematian adalah kematian adalah nasib adalah tak­
dir adalah bukan tanggung jawabku adalah apa boleh
buat sudah terjadi adalah bertambahnya kematian dan
sudahlah…Jangan menangis. Dia bukan siapa-siapa.…
Menyedihkan sekali bukan? Maaf ya Dokter suratku
ini sangat emosional. Saya masih setia memenuhi janji
saya untuk menulis, memenuhi ruang yang sudah dibuka
Dokter agar kami murid-muridmu mengisinya. Masih
maukah Dokter membaca surat-suratku selanjutnya?
Ibu saya bilang, “Kamu bidan! Bukan hanya bidan!” Kami
bukan dokter apalagi spesialis kandungan. Pada titik-
titik tertentu kami bidan juga merasakan melahirkan
berkali-kali, mengalami komplikasi perdarahan berkali-
kali, retensio placenta dan keracunan kehamilan berkali-

432
kali, bahkan kami juga mengalami kematian itu sebelum
sempat memberi ASI pada bayi yang baru dilahirkan.
Dokter! Katakan pada kami pada suatu waktu nanti.
Beri kami kuliah tentang strategi mengatasi kepedihan
akibat trauma kematian di depan mata. Beri kami catatan
penting bahwa kematian ibu hamil dan melahirkan itu
bukan barang biasa agar kami tetap memiliki kepekaan
mendengar kata suara hati untuk melayani secara
obyektif dan rasional itu…agar tidak ada seorang ibu
pun yang mesti mati setelah berjuang untuk investasi dan
hak asasi manusia baru di dunia ini tanpa memikirkan
investasi dan hak asasi dirinya sendiri.
Wijaya kusuma yang mekar di tengah malam pun
memiliki hati yang memberi apalagi saya seorang bidan
yang mencintai keunikan bunga itu.
“Bunga wijaya kusuma dengan lima daun mahkota
berwarna putih dan kelopak daun berwarna hijau
mempunyai makna pengabdian luhur,” ini yang dikatakan
Dokter tentang simbol bakti husada pada kuliah se­
mester satu dulu. Saya akan selalu mengingatnya.
Kalau bisa gambar bunga-bunga wijaya kusuma yang
dipaparkan dalam kuliah waktu itu, kirim juga untuk
kami ya, Dokter.
Sudah terlalu panjang surat saya ini. Tentu saja akan
bersambung lagi pada waktu yang akan datang. Senang
sekali jika sesewaktu Dokter sempat menulis e-mail
untuk saya. Ini tengah malam memasuki pagi buta…
kudengar sebuah suara…saya sangat mengenalnya secara

433
pribadi…suara itu adalah suara bunga wijaya kusuma
yang sedang mekar. Selamat tidur Dokter. Kuakhiri dulu
tulisanku sampai di sini. Salam Rosa Dalima.

***

Sebuah travel berhenti di depan Puskesmas. Om


Cekat membuka pintu dan turun dengan segera. Pintu
belakang pun terbuka. Seorang ibu hamil datang kontrol
diantar suami dan keluarganya. “Om Martin di mana
ya?” Tanya Ros dalam hati. Memang sejak buka toko
grosir sandang pangan, Om Martin lebih konsentrasi
pada toko, beli hasil bumi, dan pengaturan kendaraan
pulang pergi ke Surabaya.
Bemonya ditangani Magnus adik Mama Lisa
almarhum. Satu travel baru ditangani Cekat yang su­
dah seperti keluarganya sendiri. Satu mobil pick up
kecil dibawa Dion untuk lintas wilayah antar desa di
kecamatan dan kabupaten, menjemput hasil bumi berupa
kemiri, cengkih, vanili, coklat, kopra, dan lain-lain.
“Bidan Ros ada?” tanya Cekat. Ros langsung keluar
sebelum dipanggil.
“Ada apa Om Cekat!”
“Jam tiga sore mau jemput Dokter,” kata Cekat.
“Terima kasih,” jawab Ros.
“Om Martin yang jemput.”
“Terima kasih,” jawab Ros lagi.
“Ibu bidan nih hanya terima kasih, terima kasih
saja.”

434
“Jadi mau bilang apa Om?”
“Bilang biar Cekat saja yang jemput…rela, rela,
aku rela,” Cekat tertawa terbahak-bahak. HP Bidan Ros
berdering. Ada telepon dari Yordan.
“Masih di Puskesmas,” kata Ros. “Dengan Om
Martin sore nanti jam tiga.”
“Jangan lupa jemput saya,” suara Yordan. “Dengan
Martin saya sudah telepon beberapa hari yang lalu.
Jam tiga langsung dengan Martin ya. Jam lima pesawat
landing. Jadi, waktunya masih cukup.”
“Ya,” Ros menutup HP. “Om Martin di mana?”
“Di toko,” jawab Cekat. “Oh panjang umurnya. Itu
Om Martin dengan Magnus datang,” kendaraan ber­
henti di depan Puskesmas. Cekat dan Magnus ber­
gabung dalam bemo. Mobil yang dibawa Magnus pin­
dah ke tangan Om Martin. Om Martin bersama Ros
meninggalkan Puskesmas Flamboyan.
“Pasangan serasi,” Cekat tertawa saat Om Martin
dan Ros meninggalkan Puskesmas.
“Mobil baru ya?” tanya Ros. “Warnanya hijau warna
saya.”
“Oh ya? Baru kredit,” jawab Om Martin. “Makanya
kerja keras biar lunas tepat waktu.”
“Pintar!” Puji Ros.
“Ibu Bidan jauh lebih pintar,” kata Om Martin.
***

435
Bidan Ros kaget bukan main mendapat surat dari
Martin. Sesungguhnya dia sudah merasakan bahwa
waktu itu pasti tiba melihat perhatian yang ditunjukkan
Martin kepadanya selama ini. Dua laki-laki ini bukan
laki-laki yang biasa-biasa saja dalam hal mengungkapkan
perasaan terdalam. Zaman teknologi komunikasi yang
canggih sekarang ini masih tulis surat? Jika tidak perlu
telepon, e-mail, facebook, BBM, dan sejenisnya, cukup
SMS saja bukan? Surat-surat Yordan sudah membuatnya
terdiam. Kini ada surat dari Om Martin.
Kegagalannya membangun hubungan dengan
Adrian mendera pikiran dan hatinya. Begitu setianya
dia, namun begitu mudah kekasihnya berselingkuh dan
mencari alasan pembenaran diri. Masih sulit baginya
untuk membuka hati bagi Yordan. Masih mengharu biru
perasaannya membaca pengakuan Yordan yang disam­
paikan melalui kalimat demi kalimat. “Kenapa saya? Ada
apa dengan saya? Mengapa”
Datang surat dari Om Martin? Mengapa jadi begini
ya? Apakah harus dibalas? Dua laki-laki yang sama-
sama memiliki perhatian istimewa padanya? Haruskah
memilih salah satu dari keduanya. Dua sahabat lama satu
kampus, satu angkatan, saling tahu masalah masing-
masing, saling tahu apa artinya rahasia, dan bagaimana
menghargai dua sahabat yang sama-sama belum me­
nikah. Dua laki-laki, sahabat pikiran dan hati Ros. “Apa
yang harus kulakukan?”

436
“Nona Ros bukan hanya bidan desa!” pesan ibunya.
“Tetapi bidan desa, bukan hanya! Jaga harga dirimu,”
nasihat yang diberikan ibunya beberapa kali lebih banyak
setelah Adrian berkhianat.
“Jangan gampang percaya laki-laki. Jangan mau
direndahkan. Nona bidan! Bukan hanya bidan!” Ros
termenung seorang diri. Dirinya merasakan sakit ketika
Adrian melempar isu dan membanding-bandingkannya
dengan perempuan lain. Akan tetapi, itu sudah berlalu.
Sekarang dia dihadapkan dengan pilihan berat yang
membuatnya tidak tahu bagaimana caranya memilih
yang terbaik sebab dua-duanya baik.

***

Malam itu ketiganya berada dalam satu mobil. Om


Martin pegang setir dan Yordan berada di samping Om
Martin. Bidan Ros tertidur sendirian di jok belakang.
Kendaraan melaju tidak tergesa-gesa di tengah obrolan
yang berlangsung lancar sepanjang jalan.
“Dia ada di Atambua atau Surabaya?” tanya Om
Martin perlahan.
“Di Atambua,” jawab Yordan. “Kambuhan dan sudah
bercerai dari suaminya.”
“Orang di Surabaya itu?” tanya Om Martin.
“Engkau tahu dia kalau sudah mengamuk, Martin.
Tambah parah sulit dikendalikan.”

437
“Kasian juga e Ojan. Kalau dulu mulus-mulus saja
pasti aman sekarang.”
“Engkau tahu dia labil, sangat labil, Martin.”
“Mestinya waktu itu tonjok saja itu biang kerok!”
kata Martin. “Tonjok sampai bengkok baru lepas dia
pergi. Waktu itu kita bertiga berpikir terlalu panjang.
Ingat ini ingat itu. Ah, sudahlah. Sekarang saatnya
hadapi dengan lebih berani.”
Dokter Yordan tidak menjawab. Martin maupun
Yordan sama-sama sadar bahwa Ros mendengar obrolan
mereka tanpa menyambung satu kata pun. Bidan yang
manis itu diam saja sepanjang perjalananan dan hanya
bicara kalau ditanya.
“Martin,” kata Yordan dengan suara perlahan.
“Sudah kamu omong dengan Nona di belakang?”
“Soal apa?”
“Jodohkan saya dengan dia!”
“Hai, omong langsung kah,” Martin tertawa mele­
dak.
“Sudah kasih tanda lewat macam-macam kalimat,
surat, SMS, bunga, daun, bibit pohon, tetapi dia tetap
tenang-tenang saja,” kata Yordan. “Tolong saya ya
Martin! Saya juga sudah tulis surat panjang lebar seperti
saranmu. Dia sudah membacanya. Bagaimana ya?”
“Bagaimana kalau kamu Ojan, yang tolong saya!”
kata Om Martin.
“Tolong apa?”
“Yang sama. Bagaimana kalau saya bukan kamu!”

438
“Tidak ada. Tidak bisa. Tidak ada kompromi. Kamu
harus mundur dan tolong saya baik-baik. Kalau tidak kita
pasang ring tinju di depan Puskesmas. Satu lawan satu.
Siapa yang menang dia yang dapat,” Yordan tertawa.
“Kamu jangan kasih saya makan buah simalakama di­
makan bapa mati tidak dimakan ibu mati.”
“Sama! Jangan kasih saya buah simalakama dimakan
ibu mati tidak dimakan bapa mati!”
“Cocok! Martin temanku yang baik hati. Ha ha
ha.…”
“Tertawa kenapa, Ojan?”
“Saya menang,” jawab Yordan. “Tidak masalah kamu
makan buah simalakama. Bukankah bapa dan mama
sudah meninggal? Jadi, saya yang tidak boleh kamu beri
buah simalakama bukan? Sebab Bapa, Mama saya masih
hidup. Diskusi ditutup tanpa komentar lagi.”
Ros mendengar semuanya, tidak mengerti sepenuh­
nya, tetapi merasakan apa yang sedang bergejolak di
hati kedua laki-laki itu. “Kasihan Matilda...Ternyata
Ka Ian juga ikut terlibat dalam bencana yang menimpa
perempuan itu. Mengapa begitu lama baru saya tahu
yang sebenarnya?”
Kematian ibu nifas akibat tidak ada tabung oksigen,
kemarahan KTU, kata-kata Bidan Kepala, kebingungan
bidan Flori, dan air mata suami Aminah yang kehilangan
istrinya membayang di depan mata Ros.” Sesak rasanya
memikirkan semua ini. Apa pun latar belakangnya, Ros
seakan-akan merasakan juga kesesakan pikiran Matilda.

439
Pengkhianatan Adrian yang sudah terjadi, keberadaan
perempuan baru di sisi mantan kekasihnya, taman Polin­
des yang dihancurkan? Semuanya, mengembalikan Ros
kepada Adrian yang dikenalnya. HP berdering di wilayah
yang ada signal. Om Martin segera menepi dan berhenti.
“Halo Mama…” suara Ros. “Ada di jalan Ma,
pulang ke Puskesmas dan terus ke Polindes malam ini.
Oh ya Mama nanti saya minta izin Kepala Puskesmas
dulu. Mudah-mudahan boleh. Baik, Ma. Ada di sini di
jalan sama-sama. Bertiga dengan Dokter Yordan dan
Om Martin. Tidak apa-apa, Ma dua-duanya baik,” Ros
terdiam. “Pulang ke Polindes dengan Om Martin, Ma.
Ya, Ma. Tuhan memberkati. Makasih Mama.”
“Tidak perlu minta izin karena saya perintahkan
untuk cuti,” kata Yordan.
“Saya Dokter,” jawab Ros.
“Belum boleh ke Polindes,” sambung Yordan Lagi.
“Polindes belum cukup kondusif untuk Bidan Ros. Jadi
cuti saja dulu. Pulang, libur dengan ibu dan keluargamu.
Ingat ya, ini perintah. Jadi, harus segera dilaksanakan.”
“Serius sekali,” jawab Bidan Ros dengan perlahan.
“Saya setuju dengan Ojan,” sambung Martin.
“Saya antar boleh ya? Besok ada urusan penyuluhan
dengan Biel,” kata Yordan.
“Boleh,” jawab Ros.

440
BAGIAN KELIMA

KUPETIK
WIJAYA KUSUMA
YANG SEDANG
MEKAR
27
Pulang

Dengan berjalan kaki sekitar lima ratus meter di­


lewatinya hari yang dingin di kampung halaman yang
selalu sepi di pagi hari. Tidak ada kendaraan lewat di
depan rumah, tidak ada pula yang diparkir di depan
Gereja. Para ibu berjalan dalam balutan sarung hitam
khas Bajawa, sarung coklat dari Ende, sarung hitam
berbunga merah kuning biru dari Manggarai, dan
berbagai jenis sarung lainnya yang menghangatkan
tubuh. Hampir semuanya menggunakan baju hangat
dilengkapi syal atau selendang membalut leher dan topi
wol sampai menutupi telinga. Ros juga demikian. Celana
panjang hitam lengkap dengan sepatu dan kaos kaki,
blouse tebal dilengkapi dengan jas hitam panjang berleher
beludru milik ibunya, kaos tangan, dan topi bertelinga.
Pada musim dingin seperti ini, dingin benar-benar
menusuk tulang, namun tidak menjadikan para ibu
enggan keluar dari rumah menuju Gereja pada pagi buta.
Itulah keunikan Kota Bajawa yang sulit ditemukannya
di tempat lain. Tidak banyak jumlahnya, namun selalu

443
ada. Di antara mereka yang tertunduk di kaki altar,
ada pula bapak-bapak. Meskipun jumlahnya lebih kecil
dibandingkan para ibu, mereka tetap ada. Ros dapat
menyebut satu persatu wajah-wajah orang tua yang
berlutut di kaki altar pada pagi yang dingin memberi
ruang untuk menggali kenangan masa lalu di kota kecil
itu.
“Apakah tidak bisa minta pindah ke sini?” tanya
ibunya. Ros tidak menjawab, karena itu Mama Yus
ibunya melanjutkan. “Sudah sekian tahun bekerja, libur
hanya satu bulan. Setelah libur ini segera urus pindah ya.
Di sini saja.”
“Tidak Ma, saya akan kembali ke Polindes Bakung
bulan depan.”
“Tetapi, taman Polindesmu dihancurkan orang.
Orang itu tidak hanya menggunakan parang, tetapi lebih
dari itu, pelakunya pasti menggunakan kebencian. Orang
yang membunuh tanaman itu sakit jiwa. Mama tidak
mau terjadi apa-apa denganmu.”
“Saya ingin libur Mama, itu saja,” kata Ros.
“Tempat praktik Mama bisa ramai lagi seperti dulu.”
“Mama tidak praktik lagi?”
“Tidak bisa lagi,” kata Mama Yus. “Kaki dan
tangan sering kali gemetar kalau mau bergerak cepat.
Melahirkan itu emergency jadi harus dilaksanakan dengan
cepat dan tepat. Nona Bidan pasti tahu apa artinya.
Sebenarnya pasien berkurang….”

444
“Tidak ada pasien lagi?” tanya Ros.
“Ada. Banyak. Tetapi, bukan untuk melahirkan.
Hanya pemeriksaaan biasa. Semua kelahiran diarahkan
ke Puskesmas dan RSU. Kalau Mama memang tidak bisa
bantu melahirkan lagi karena mata kurang awas dan
tenaga tidak kuat.”
“Ya, Mama istirahat saja sekarang tidak usah
tangani pasien lagi. Urus bunga-bunga saja, sehat, segar,
panjang umur,” kata Ros. “Nanti besok kita turunkan
semua wijaya kusama. Kita bersihkan semua tangkai
daun dan bunga yang sudah kering. Kita ganti pot dan
tambah tanah dan pasir. Beli pot baru ya Mama, kita cat
berwarna-warni seperti warna pelangi.”
“Ada bidan praktik yang mengeluh,” Mama Yus
tidak mendengar apa kata Ros.
“Kenapa?”
“Tempat praktik tutup.”
“Kenapa?”
“Gara-gara PONED64 dan PONEK65,” jawab Mama
Yus. “Katanya ada aturan melahirkan harus di Puskesmas
PONED atau RSU PONEK. Jadi bidan tutup tempat
praktik karena tidak ada yang melahirkan di sana. Se­
muanya diarahkan ke Puskesmas PONED dan RSU
PONEK.”

PONED: Puskesmas Pelayanan Obstetri Neonatal Emergency Dasar.


64

PONEK: Pelayanan Obstetri Neonatal Emergency Komprehensif.


65

445
“Ya Mama. Memang melahirkan sekarang ini diarah­
kan ke faskes66 yang memenuhi syarat sesuai standar
yang ditetapkan. Karenanya, ada Puskesmas PONED
dan RSU PONEK. Tetapi, tidak melarang melahirkan di
tempat praktik para bidan yang sudah ada izinnya. Kalau
di tempat praktik fasilitasnya lengkap untuk melahirkan,
bidan bisa tolong ibu melahirkan, tidak ada tanda-tanda
risiko, pasien tetap bisa melahirkan di tempat praktik
bidan,” kata Ros.
“Sosialisasinya tidak bilang begitu. Semua bumil
diarahkan untuk melahirkan di Puskesmas PONED atau
RSU. Mama dengar sendiri waktu ada sosialisasi.”
“Oh begitu?”
“Ya. Sosialisasinya begitu.”
“Nyatanya bagaimana, Ma?”
“Masih ada juga yang lahir di tempat praktik, ada
yang lahir di rumah di tolong tenaga kesehatan, ada pula
yang melahirkan ditolong dukun bersalin. Aman-aman
saja hasilnya. Sepanjang yang Mama tahu, banyak ibu
yang melahirkan di dukun di kampung, mereka enggan
melahirkan di faskes karena prosedurnya panjang,”
Mama Yus berkata sambil menajamkan pendengarannya.
“Ada yang panggil,” Ros menuju pintu gerbang.
“Mama Bidan, Mama Bidan,” suara laki-laki dari
balik pagar.
“Ya, mari,” Ros membuka pintu. “Ada apa?”

Faskes: singkatan dari Fasilitas Kesehatan.


66

446
“Mama Bidan ada?”
“Bidan tua atau bidan muda? Dua-duanya ada!”
jawab Ros sambil mengajak kedua tamu itu masuk ke
dalam. “Ada apa? Ada yang bisa dibantu? Ada yang mau
melahirkan? Sudah dibawa ke Puskesmas, Rumah Sakit?
Bagaimana?” Ros bertanya beruntun melihat wajah
cemas yang diperlihatkan kedua laki-laki itu.
“Ada apa?” Mama Yus keluar dari dalam rumah.
“Mama Bidan, tolong!”
Selanjutnya, kedua laki-laki itu bercerita dengan
cepat tentang kondisi ibu yang sudah melahirkan di­
tolong dukun. Ternyata pendarahan di rumah dan
menyebabkan ibu lemas. Ibu dilarikan lagi ke dukun,
sekarang sedang dirawat dukun, tetapi pendarahan terus,
tidak berhenti, sudah hampir satu jam, dukun tidak dapat
menghentikannya.
“Bawa ke Rumah Sakit, jangan tunggu lagi!” Bidan
Ros langsung mengambil tas bidan kit yang selalu
dibawanya. “Mari sekarang. Mama Bidan sudah tua,
tidak bisa pergi malam-malam begini. Ayo, saya anaknya
juga bidan. Mari sekarang.”
“Kami mau bawa ipar ke sini saja.”
“Tidak! Segera ke Rumah Sakit. Sekarang.”
“Rumah jauh!”
“Di mana?”
“Sebelah kali!”
“Kalau begitu Om yang satu ke RSU minta
ambulans dengana adik saya, Om yang satu lagi bon­

447
ceng saya ke sebelah kali. Cepat!” kata Bidan Ros
dengan tegas. Tanpa banyak bicara kedua laki-laki itu
melaksanakan permintaan Ros. Perjalanan ke sebelah
kali memakan waktu sekitar lima belas menit. Dari jauh
Ros mendengar sayup-sayup suara-suara teriakan dan
tangisan, semakin lama semakin jelas ratapan untuk
orang meninggal. Motor berhenti di depan rumah. Ros
turun dan mematung di sana, sementara laki-laki yang
memboncengnya meraung-raung meratapi istrinya.
“Terlambat tolong, Ibu Bidan,” kata salah satu
tetangga yang berdiri di samping Ros. “Padahal dari
kemarin saya sudah sarankan untuk bawa ke Puskesmas
atau Rumah Sakit, melahirkan di sana saja. Tetapi, ke­
luarganya tidak mau. Mereka andalkan dukun. Memang
lahir selamat, tetapi pendarahan tidak ada yang tahu.”
“Dukun di mana?”
“Kurang tahu, Ibu Bidan,” kata orang itu lagi. “Baru
satu jam yang lalu pasien dibawa pulang dari rumah
dukun. Mereka juga bodoh sekali, bukan langsung
dibawa ke RSU, tetapi justru ditinggalkan di sini dan
bawa bidan ke sini. Saya marah sekali, saya sudah paksa
supaya bawa pasien ke RSU, tetapi mereka keras kepala.”
“Pasien umur berapa tahun?”
“Delapan belas tahun.”
“Melahirkan anak ke berapa?”
“Pertama, perempuan.”
“Sayang sekali,” kata Ros perlahan.

448
“Mereka juga hamil sembunyi-sembunyi. Tidak
pernah periksa. Ini anak masih kelas tiga SMA, hamil di
luar nikah, suaminya bawa ke sini. Sampai sekarang juga
belum menikah. Itu sudah Ibu Bidan, akibat pergaulan
bebas, perempuan yang selalu jadi korban. Kalau sudah
begini baru menangis meratap,” kata orang itu sambil
menggerutu. Para pelayat kian lama kian banyak, ber­
samaan dengan datangnya ambulance beberapa saat
kemudian. Sudah terlambat. Ros duduk di antara
pelayat. Dari obrolan yang didengarnya dan penjelasan
dari keluarga jenazah, sejak hamil memang yang
bersangkutan tidak pernah periksakan kehamilannya.
“Mungkin malu,” kata salah satu anggota keluarga
yang duduk di samping Bidan Ros setelah mempersilakan
mobil ambulance kembali kosong ke Rumah Sakit.
“Ibu Bidan ini anaknya Mama Bidan Yus ya? Oh,
sudah jadi bidan juga?” Ros menjawab pertanyaan
dengan anggukan. Pikiran dan perasaannya terganggu
dengan suara tangisan penyesalan yang datang dari
dalam rumah. HP-nya berdering, telepon dari Yordan.
“Saya di rumah jenazah. Ada ibu nifas meninggal,”
kata Ros.
“Meninggal di mana?”
“Di rumahnya,” jawab Ros. “Umur delapan belas
tahun, tidak pernah periksa, melahirkan ditolong dukun,
pendarahan,” kata Ros perlahan. “Ya, ya, dengan adik.

449
Sebentar lagi. Nanti saya kontak kalau sudah di rumah.
Makasih ya Dokter.”

***

Ros dibonceng adiknya kembali ke rumah. Mama


Yus menyambut kedatangan keduanya dengan cemas ka­
rena sudah tengah malam. “Bagaimana? Selamat? Dapat
ditolong?” tanya Mama Yus.
“Meninggal Mama,” jawab Ros.
“Kasian,” kata Mama Yus.
“Kalau sejak awal sudah ditangani dengan baik di
Puskesmas atau di RS atau boleh juga di Bidan Praktik
yang berkompeten, ibu itu pasti dapat ditolong,” kata
Ros.
“Dukun yang mana? Jadi dukun tidak boleh
menolong persalinan?” Tanya Mama Yus.
“Boleh Mama, tetapi dengan cara baru. Dukun
tetap dilibatkan untuk menolong ibu melahirkan. Dukun
menjadi mitra bidan, mereka juga boleh bersama bidan
dan dokter menolong persalinan. Mereka bisa menerima
bayi yang baru lahir dan memandikannya. Dukun tetap
dihormati.”
“Ada persalinan selamat yang ditolong dukun,” kata
Mama Yus. “Mungkin itu sebabnya ya mengapa masih
ada yang membawa ibu melahirkan dengan pertolongan
dukun.”

450
“Sepanjang ibu sehat bayi selamat tidak ada masalah,
Ma. Mungkin juga tidak ada yang tahu. Apalagi
kalau jarak ke faskes cukup jauh. Apalagi jika tidak
ada koordinasi dalam masyarakat yang bisa memberi
informasi bahwa ada ibu hamil. Apalagi jika petugas
kesehatan malas melakukan pantauan atau malas
mengambil tindakan langsung setelah mendapat laporan
tentang adanya ibu hamil.”
“Masalahnya cukup berbelit-belit ya?” kata Mama
Yus. “Panjang ceritanya.”
“Saya sering menghadapi ini di Polindes, Mama,”
kata Ros. “Tadi sudah saya sampaikan kepada sopir
ambulans supaya laporkan kasus itu ke Puskesmas, RSU,
atau ke Dinas untuk dicatat dan diambil langkah lebih
lanjut.”
“Mudah-mudahan ada petugas yang datang
investigasi kasus kematian itu. Sayang benar ya ber­
tambah satu lagi kematian ibu. Sedih rasanya.”
“Begitulah Ma, kalau melahirkan di dukun. Orang
diam saja kalau selamat. Akan tetapi, kalau ada masalah
dengan pendarahan, misalnya, sesak napas, eklamsia,
sakit malaria, atau masalah lain, beginilah akibatnya.
Karenanya, dalam banyak hal Puskesmas dan RS yang
paling tepat,” kata Ros.
“Saya masih menolong persalinan di Polindes
Bakung karena banyak bumil yang enggan ke Puskesmas.
Menurut mereka terlalu jauh dan berbagai alasan lain.
Karenanya, sejak pemeriksaan pertama saya sudah

451
menentukan arah di mana bumil melahirkan. Pada kun­
jungan atau pemeriksaan keempat saya bisa putuskan
agar ibu hamil melahirkan di Polindes atau Puskesmas
PONED atau RSU PONEK. Begitu Mama.…”
“Jumlah yang melahirkan di Polindesmu?” tanya
Mama Yus sambil menatap lekat-lekat wajah anak
gadisnya yang menurutnya sudah cukup umur untuk
menikah itu.
“Tetap diarahkan ke Puskesmas. Akan tetapi. selalu
ada saja yang enggan ke Puskesmas. Sepanjang normal,
sehat, dan tidak ada risiko saya selalu siap Mama. Ada
Mama Gonz dan Mama Valentina yang siap bantu dua
puluh empat jam. Kalau datang dengan kondisi yang
tidak aman, saya langsung ambil keputusan rujuk ke
Puskesmas. Begitu Mama. Ada kader yang siap kapan
saja. Ada kader yang rela juga kendaraannya dipakai
kapan dan ke mana sepanjang ada urusannya dengan
KIA, dia siap dua puluh empat jam,” kata Ros.
“Kader laki-laki atau perempuan?”
“Pada umumnya perempuan, tapi ada juga yang laki-
laki,” jawab Ros.
“Berapa yang aktif dan dekat dengan Nona Bidan?”
“Dua perempuan Mama Sofia dan Mina. Satu laki-
laki namanya Om Martin.”
“Semuanya menikah?”
“Mama Sofia mungkin sudah 39 tahun umurnya,
punya tiga anak. Mina 35 dengan dua anak. Kalau
Martinus sekitar 33 – 34 belum menikah,” jawab Ros.

452
“Sekarang kader laki-laki bertambah lagi. Namanya
Om Nadus. Istrinya meninggal karena komplikasi dan
terlambat rujuk. Ada juga Dion, Magnus, Mia, dan
beberapa lagi yang lain. Yang paling aktif dari semua
mereka hanya Sofia, Mina, dan Om Martin.”
“Ibu Lisa yang terhalang di tanah longsor?” tanya
Mama Yus.
“Mama tahu dari mana? Rasanya saya tidak pernah
cerita.”
“Adrian, mantan tunanganmu. Dia cerita dulu ketika
dia masih sering ke sini.”
“Oh ya?” kata Ros sambil menerima telepon masuk
dari Yordan. “Saya terima telepon dulu ya, Ma.”Halo
Dokter, selamat malam,” Ros terdiam beberapa saat.
“Sudah pulang, sudah di rumah. Sekarang sama Mama,”
kata Ros.
“Ya, maunya begitu, Dokter. Istirahat total di sini,
bebas dari semua urusan persalinan dan seputarnya.
Tetapi, didatangi keluarga pasien dan langsung jalan
tanpa pikir panjang,” jawab Ros lagi, selanjutnya diam
mendengarkan Yordan. “Ya Dokter. Baik dan baik,” Ros
tertawa.
“Sudah janji siap dua puluh empat jam. Ya, selamat
tidur juga,” Ros tersenyum mendengar kata-kata Yordan
selanjutnya. “Pasti mimpi indah seperti di kamar nomor
tiga. Sampai besok ya. Terima kasih.”
***

453
Rosa menceritakan kepada ibunya semua hal
yang dialaminya di Polindes Bakung dan Puskemas
Flamboyan, kecuali hubungan pribadinya dengan Yordan
dan Martin. Dirinya sendiri belum dapat memilih mana
yang tepat sebab menurutnya keduanya tepat. Dia
merasa dirinya dapat membangun hidup bersama dengan
Yordan atau dengan Martin. Dia merasakan kedekatan
hati dengan keduanya, karenanya untuk memutuskan
memilih yang mana Ros perlu waktu.
Kehilangan Adrian juga menyisakan rasa sakit yang
belum sanggup lepas dari dirinya. Karenanya, pulang
ke kampung halaman adalah salah satu cara mengurai
pikiran dan perasaan akibat beban tugas-tugas, beban
karena beberapa kematian yang terjadi, beban pikiran
kehilangan Adrian, beban penghancuran taman Polindes,
juga beban baginya untuk memilih Yordan atau Om
Martin.
“Kamu bisa lari sebentar ke Bajawa, antar Ros sam­
pai di rumahnya,” kata Gebi malam itu di hadapan Ros,
Yordan, dan Vero.
“Jangan tinggalkan Puskesmas,” Ros yang men­
jawab.
“Kalau begitu malam ini langsung ke Bajawa,” saran
Gebi. “Saya dan Vero bisa ikut. Saya dan Yordan gantian
nyetir. Kami bisa balik besok jam empat pagi. Yordan
langsung Puskesmas. Aman bukan?”

454
“Ya betul!” sambung Vero. “Daripada naik travel
yang larinya makan tanah67 seperti orang gila lebih baik
diantar saja. Bagaimana Ros. Jadi?”
“Kalau Ros bilang jangan tinggalkan Puskesmas,
itu sama dengan Ros tidak mengizinkan saya sampai ke
rumahnya di Bajawa,” kata Yordan. Ros tidak menjawab.
Dia memilih pulang sendiri dengan travel apalagi Om
Sopir sudah dikenalnya dengan baik. Dia pun sudah
berjanji sudah ada di terminal tepat jam enam pagi.
Yordan mengantarnya sampai terminal dengan beberapa
patah kata yang melekat dalam hati.
“Kalau mau saya jemput di Bajawa, telepon atau
SMS saja,” kata Yordan. “Saya siap dua puluh empat
jam.”
“Sama dengan Puksesmas PONED yang siap dua
puluh empat jam,” sambung Ros.
“Ya seperti Polindes Bakung yang juga siap dua
puluh empat jam,” kata Yordan.
“Seharusnya jangan biarkan saya pulang. Saya ingin
tetap di Polindes,” kata Ros.
“Saya mengamatimu, Bidan. Situasi yang terjadi
akhir-akhir ini di Polindes mewajibkan saya mengambil
keputusan tegas untukmu,” kata Yordan. “Saya tahu Ros
harus pulang, liburlah bersama ibumu di sana. Di sana
libur saja. Jangan ingat ibu hamil, jangan ingat menolong

Lari makan tanah: ungkapan lokal untuk menjelaskan kendaraan


67

yang terlalu kencang larinya, melewati batas yang seharusnya


dilakukan pada jalan berliku-liku di Flores.

455
persalinan, jangan ingat bayi dan balita, kader dan
lainnya. Libur saja. Yang boleh diingat hanya satu saja.”
“Saya, Dokter,” kata Ros.
“Mengerti?”
“Saya, Dokter,” jawab Ros.
“Mengerti apa saja yang boleh diingat selama libur
satu bulan ini?” tanya Yordan.
“Apa yang boleh diingat, Dokter?” tanya Ros sambil
menatap wajah Yordan.
“Ini,” Yordan menunjukkan dirinya sendiri sambil
tertawa. “Hanya ini saja yang boleh diingat yang lain
tidak boleh. Bagaimana? Setuju?”
“Mudah-mudahan bisa jemput saya di terminal ini
bulan depan,” kata Ros.
“Sepertinya, kalau jemput di terminal ini bulan
depan, itu artinya penjemputan terakhir. Setelah itu,
saya tidak akan izinkanmu untuk pulang dalam urusan
apapun, kecuali pulang bersama saya,” Yordan tertawa.
“Artinya saya tidak punya cara menghindar ya?”
“Ya itu pasti!”
“Kalau begitu mudah-mudahan bisa jemput di
Bajawa ya.”
“Tetapi, ingat baik-baik catatan ini. Kalau mau
saya jemput di Bajawa itu artinya saya akan datang
lagi, datang lagi untuk urusan selanjutnya di rumahmu.
Kalau saya jemput di Bajawa sama dengan waktu yang
tidak lama saya akan datang dengan Mama dan Bapa
saya serta keluarga saya ke sana. Kalau saya jemput di

456
Bajawa itu artinya pernikahan kita akan terjadi segera di
sana. Kalau saya jemput di Bajawa pada suatu saat nanti
saya pun akan jemput di Atambua sebab Nona Bidan
sudah jadi keluarga saya juga. Kalau saya jadi jemput di
Bajawa…” Yordan terdiam menanti reaksi Rosa.
“Itu artinya saya sudah dibebaskan dari semua
tekanan,” kata Ros dengan jujur.
“Saya janji akan membebaskanmu dari semua te­
kanan,” kata Yordan.
“Saya, Dokter,” kata Ros.
“Tidak ada kata-kata yang lain ya?” tanya Yordan.
“Selalu saja jawabannya saya, Dokter! Saya, Dokter! Apa
maksudnya?”
“Saya inginkan sebuah hubungan yang bebas dengan
alasan yang bersih. Bukan karena Kak Ian meninggalkan
saya, bukan karena pengkhianatannya, bukan karena
perasaan saya hancur karena semua hal di seputar dia,
bukan pula karena situasi Polindes yang tidak kondusif
belakangan ini, bukan karena taman bunga yang
hancur…Saya inginkan sebuah perasaan yang bebas.
Jadi, pada saat saya ambil keputusan baru, saya benar-
benar sudah yakin dengan keputusan itu.…” kata Ros.
“Panjang sekali kata-katamu hari ini,” Yordan
tertawa.
“Panjang sekali? Oh, maaf,” Ros tertunduk.
“Kalimat terpanjang.…”
“Oh, maaf.”
“Tetapi, saya senang mendengarnya,” kata Yordan.

457
“Kenapa ya, Dokter? Kenapa saya bicara panjang?”
tanya Ros.
“Karena Nona Bidan sedang bicara dengan saya,”
Yordan tertawa.
“Terima kasih, Dokter.”
“Coba ulang sekali lagi,” Yordan tampak sangat
senang.
“Saya ingin bebas dari semua tekanan. Saya ingin
sebuah perasaan yang bebas, bersih, dan yakin pada saat
saya mengambil keputusan baru nanti, begitu Dokter!
Apapun keputusan nanti, saya ingin putuskan dengan
perasan bebas dari semua tekanan.”
“Pintar!”
“Pintar?”
“Ya, pintar!”
“Terima kasih, Dokter!”
“Terima kasih untuk apa? Saya pasti menjemputmu
di terminal ini atau di Bajawa. Saya yakin karena saya
memang sudah bebas dari berbagai tekanan.”
“Mudah-mudahan saya akan kirim kabar jemput di
Bajawa atau tidak.”
“Kalau bukan saya yang jemput, siapa yang akan
jemput? Martin?”
Rosa tidak menjawab. Dia segera masuk travel dan
duduk di samping sopir. Dengan enam penumpang di
bagian belakang kendaraan meninggalkan terminal. Ros
melambai. Yordan berdiri sampai travel yang membawa
perempuan yang dicintainya itu menghilang di kejauhan.

458
28
Air Susu Ibu

Ros duduk di teras tempat praktik ibunya. Waktu


berlalu. Sudah lama sekali. Dia baru duduk di bangku
SMP kelas III, namun sudah dipercayakan ibunya untuk
membantu di tempat praktik, seperti membersihkan
kamar, mengganti bunga segar dua hari sekali, meng­
ganti taplak meja setiap minggu, dan yang paling
menyenangkan adalah duduk di sisi box bayi. Satu hal
yang paling jelas dalam ingatannya bagaimana ibunya
bersuara keras dengan ibu nifas yang baru melahirkan
beberapa jam.
“Harus ASI,” suara Mama Yus dengan nada tinggi.
Satu hal yang sangat tidak biasa didengar Ros sebab
ibunya terkenal sebagai bidan yang bertangan dingin
bersuara halus dan menjadi idola para ibu muda yang
akan melahirkan.
“Saya tidak mau!” kata ibu nifas. “Suami tidak izin.
Sudah kami siapkan susu formula.”
“Kenapa?”

459
“Susu formula bagus sekali. Orang yang dagang
keliling itu langgar laut dulu baru sampai ke mari.
Dari dialah kami tahu bahwa susu formula itu hebat
sekali. Bayi lebih sehat dan lebih cepat besar, dan lebih
segalanya.”
“ASI jauh lebih baik. Terbaik dari semua susu di
dunia ini,” jawab Mama Yus.
“Kalau payudara saya kempes dan peot bagaimana?”
“Siapa yang bilang kalau menyusui payudara jadi
kempes dan peot?”
“Itu pedagang susu formula yang bilang.”
“Dia tahu dari mana?” tanya Mama Yus.
“Pokoknya dia tahu! Bukankah dia sarjana. Jadi, dia
pasti tahu.”
“Siapa yang bilang pedagang susu formula itu
sarjana?”
“Dia yang bilang dirinya sarjana. Ya, dia pasti tahu.
Apalagi dia juga lulusan sekolah di luar pulau sana.
Tentu saja pengalamannya banyak sekali. Jadi, saya
percaya padanya.”
Selanjutnya, terjadilah adu mulut antara Mama
Yus dan pasien itu. Keluarga baru itu mati-matian tidak
mau memberi ASI untuk bayinya. Mama Yus marah
bukan main. Untuk pertama kalinya Mama Yus menolak
pembayaran dalam bentuk apapun dari keluarga itu.
“Saya kasih keluar delapan anak. Kedelapannya minum
ASI eksklusif dan Asi selama dua tahun. Lihat ini dada
saya tetap kencang dan sehat.”

460
“Itu urusan Mama bukan urusan kami,” kata sang
suami tanpa peduli. “ASI itu urusan kami bukan urusan
Mama.”
“Kalau tidak beri ASI, jangan datang lagi ke sini,”
kata Mama Yus dengan tegas.
“Baik, Mama!”
“Kalau bertemu dengan pedagang susu formula itu,
suruh dia menghadap saya kalau dia berani. Pedagang
dari mana itu? Apakah Dinas Kesehatan tahu. Apakah
ada izin yang jelas? Jangan sampai dia datang tidak
hanya untuk berdagang, tetapi membuat orang kita jadi
bodoh semua,” kata Mama Yus lagi.
Pengalaman itu membuat Ros selalu berada pada
barisan terdepan untuk ASI Eksklusif maupun ASI
dua tahun. Bukan hanya karena dia mengerti ten­
tang ASI eksklusif dan ASI dua tahun, tetapi juga
karena kenangan yang tertanam dalam pikirannya itu.
Pewarisan yang diturunkan oleh ibunya, diperkuat oleh
ilmu yang diperolehnya di bangku kuliah, diperdalam
oleh pengalamannya selama ini.

***
Di depan tempat praktik ibunya, Ros terkenang
kembali pada saat dirinya berdiri dengan tenang dan
menceritakan pengalamannya bersama kader ASI di
desa tempatnya bekerja. Wah, Ros melanggar janjinya
pada Yordan untuk libur saja, libur saja jangan pikir
apapun yang berkaitan dengan pekerjaannya. Ros justru

461
selalu terkenang bahkan terlibat langsung maupun tidak
langsung dengan pekerjaannya.
Pada waktu itu, Om Martin yang bicara tentang
ASI Ekslusif dan ASI dua tahun untuk bayi. Peserta
yang hadir dalam sosialisasi sebagian besar bapak-bapak.
Hal itu terjadi atas perintah kepala desa sehingga bapak-
bapak yang biasa enggan hadir hari itu semuanya hadir.
Di depan peserta terpampang spanduk bertuliskan
cakupan ASI di Kabupaten hanya tujuh puluh persen dan
di Kecamatan lima puluh enam persen, sebuah data yang
menyedihkan tentang masa depan anak-anak.
“Manfaat ASI dua tahun adalah sebagai berikut,”
Om Martin sudah hafal benar-benar. Karenanya, dengan
entengnya Om Martin bicara.
“Om Martin jangan bicara seperti sudah ber­
pengalaman,” seorang ibu memprotes.
“Pertama, meningkatkan perlindungan terhadap
banyak penyakit, seperti radang otak dan diabetes,” kata
Om Martin.
“Waduh, tahu dari mana? Setiap hari hanya urus
hasil bumi tiba-tiba sudah tahu radang otak dan
diabetes,” sambung ibu itu lagi.
“Kedua, membantu melindungi diri dari penyakit
infeksi telinga, diare, demam, dan kematian mendadak
pada bayi.”
“Stop, Om Martin! Jangan berlaku seperti tahu
semua,” seorang bapak angkat bicara.

462
“Dengar dulu, saya sudah hafal luar kepala,” jawab
Om Martin dengan tenang. “Ketiga, bayi yang menyusui
lebih mudah dirawat jika sakit dibandingkan bayi dengan
susu botol.”
“Pengalaman dari mana? Apakah kamu sudah
pernah punya anak?”
“Ibu Bidan belum menikah dan belum punya anak,
tetapi bisa menjelaskan ASI. Dokter Yordan juga begitu.
Jadi, yang penting belajar dan tahu apa artinya sehingga
kita bisa bicara. Jadi, saya harap ibu-ibu dan bapak-bapak
dengar dulu,” Sofia angkat bicara.
“Keempat, ASI memiliki nutrisi yang paling baik dan
paling lengkap. Kelima, komponen ASI berubah sesuai
perubahan nutrisi yang diperlukan sesuai pertumbuhan
bayi. Keenam, ASI melindungi bayi dari alergi makanan,”
kata Om Tinus meyakinkan.
“Tidak setuju,” seorang bapak menyambung. “Se­
baiknya yang bicara ASI itu perempuan saja. Kurang pas
rasanya kalau laki-laki yang bicara.”
“Dengar dulu!” kata Sofia.
“Mama Sofia saja yang bicara. Kalau bukan Mama
Sofia, ada Mina, ada Mama Gonz, ada Mama Falentina,
ada Ibu Bidan.”
“Sebentar lagi ya, tinggal beberapa poin lagi. Lanjut
Om Martin,” kata Sofia.
“Ketujuh, ASI menghemat pengeluaran keluarga
untuk membeli susu formula. Kedelapan, ASI gampang

463
dikonsumsi tidak perlu botol dan tidak perlu campuran
susu formula. Tinggal berikan langsung dari sumbernya,
tanpa perantara,” Om Martin tetap tenang. Ruang
pertemuan mulai ribut karena peserta beri komentar satu
terhadap yang lain.
“Kesembilan, menyusui merupakan kegiatan eksklusif
bagi ibu dan bayi yang akan meningkatkan kedekatan
ibu dan bayi. Kesepuluh, dengan pemberian ASI akan
menyelamatkan ibu dari kanker rahim dan payudara.”
Om Martin menatap satu-persatu semua peserta.
“Bagamana ibu bapak semua? Penjelasan tentang fungsi
ASI jelas sekali bukan?”
“Saya harap kita semua mengerti,” sambung Sofia
sambil berdiri di samping Martin.
“Bagaimana Mama Yuli, sudah mengerti kah bahwa
ASI harus dua tahun?” kata Om Martin. Mama Yuli
menjawab ya sebagaimana ibu-ibu dan sebagian peserta
menjawab ya.
“Bapa Desa bagaimana?”
“Jelas! Warga desa kita harus mengerti ini. Tulis
sepuluh manfaat ASI dan kita tempel di kantor desa. ASI
berkaitan dengan kecerdasan otak. Apa jadinya dengan
generasi masa depan jika tidak dapat ASI Ekslusif dan
ASI dua tahun penuh?”
“Tepuk tangan untuk Bapa Desa,” kata Om Martin
diikuti tepuk tangan meriah semua peserta. Beberapa
bapak hanya diam tidak menunjukkan reaksi apa-apa.
Yang mengejutkan adalah peristiwa yang terjadi sepuluh

464
menit kemudian. Lukas, suami Yuli, tiba-tiba datang
dengan parang di tangan.
“Mana itu Martin!” teriaknya. “Kau mau ajar saya
punya istri kasih ASI! Kau mau buat malu saya! Ada
urusan apa kau!” Kemarahannya meledak. Beberapa
bapak berusaha menahan dan menenangkannya.
“Laki-laki kurang ajar! Tidak tahu malu! Omong
ASI di muka umum. Kau sudah jadi dokter, kah? Hebat
bukan maen kau! Ibu bidan yang ajar kau, kah?” Lukas
marah bukan main.
“Tenang, sabar,” Bapa Desa dibantu beberapa bapak
berusaha menengahi.
“Tidak bisa Bapa Desa. Sejak kapan urusan ASI kita
omong di muka umum?” sambung salah satu peserta
yang tampak setuju dengan kemarahan Lukas.
“Yuli bukan Martin punya istri. Jadi, kenapa Martin
mesti repot?” teriaknya lagi.
“Makanya kawin sudah! Terus kasih hamil istri.
Baru kau sibuk urus itu kamu punya istri punya ASI.
Jangan urus kami. Dasar tidak tahu adat.”
Acara bubar pada saat itu juga. Om Martin di­
amankan di dalam kantor desa. Peserta diperintahkan
pulang oleh Bapa Desa. Beberapa orang tua, Yuli dan
Lukas, Mama Sofia, Mina, Bidan Ros, dan beberapa
kader lainnya tetap dalam kantor. Pembicaraan sangat
alot karena Lukas suami Yuli tetap tidak mau terima
teguran Om Martin yang memperingatkan istrinya soal
ASI. Meskipun sudah diberi penjelasan oleh Bapa Desa,

465
Mama Sofia, dan Bidan Ros, suami Yuli tetap tidak mau
terima.
“Bukan hanya saya! Orang-orang lain di kampung
ini juga tidak suka omong bebas itu ASI. Apalagi laki-
laki yang omong. Apalagi laki-laki itu belum nikah.
Ada repot apa dengan orang punya istri? Itu sama
saja dengan mau ganggu istri orang!” teriaknya sambil
menggebrak meja.

***

“Sampai seperti itu?” tanya Mama Yus.


“Ya, Mama.”
“Keadaan di sini jauh lebih baik ya. Orang tidak
sam­pai harus marah hanya karena penyuluhan ASI yang
dilakukan laki-laki. Biasa saja,” kata Mama Yus. “Sama
halnya dengan yang menolong persalinan itu dokter
laki-laki bukan dokter perempuan. Apakah ada yang
protes? Semuanya tinggal akui saja. Dokter laki-laki
yang raba dan lihat semua milik dalamnya perempuan,
jadi seharusnya tidak perlu marah.”
“Sebenarnya begitu, Mama. Warga desa saya di sana
cukup paham tentang hal ini. Hanya di antara mereka
selalu ada saja orang-orang yang berpikir lain dengan
berbagai alasan atau dengan alasan yang dicari-cari.”
“Sekarang, Om Martin masih jadi kader?”
“Masih! Tetapi, lebih fokus untuk kader desa siaga.
Mobilisasi warga untuk dukung ibu melahirkan di

466
Puskesmas PONED, memanfaatkan rumah tunggu, dan
pemberian gizi ibu hamil.”
“Menurut Nona Bidan, bagaimana menanggapi
persoalan yang sudah terjadi?”
“Biasanya saya diam dulu dan buat pendekatan kem­
bali bersama kader.”
“Ya memang dalam urusan KIA sebaiknya bekerja
sama dengan kader. Jangan bergerak sendiri.”
“Saya selalu berpikir soal ASI itu sederhana, aneh,
juga nyata,” kata Ros. “Perlu waktu dan kesabaran
untuk terus-menerus meyakinkan masyarakat kita akan
pentingnya ASI eksklusif juga ASI dua tahun. Kalau
sosialisasi hanya setahun sekali sesuai target program
dan proyek, saya jamin tidak akan ada perubahan.
Karenanya, peran kader sangat penting. Kader mesti
dimotivasi terus-menerus dengan sistem perlindungan
fisik maupun mental.”
“Apakah itu Om Martin masih jadi kader ASI?”
tanya Mama Yus lagi.
“Masih Mama, tetapi lebih hati-hati. Om Martin
orangnya tenang dan tetap punya semangat,” kata
Ros. “Petugas yang berada di lapangan seringkali tidak
percaya pada kenyataan yang ada. Pengetahuan tenaga
kesehatan lengkap, pemahaman kader patut diacungi
jempol. Nyatanya, ada jarak yang sangat lebar antara
pengetahuan tenaga kesehatan dan pemahaman kader
dengan pemahaman masyarakat. Jadi, orang seperti

467
Om Martin itu penting untuk perkuat ujung tombak di
lapangan. Saya sangat berharap agar orang-orang seperti
Om Martin itu tabah dan tetap semangat.”
“Sepertinya Om Martin itu dekat dengan Nona
Bidan?”
“Ya Mama,” jawab Ros.
“Sekolah di mana?”
“Dia sarjana ekonomi lulusan Surabaya.”
“Belum menikah katamu?”
“Ya, Mama.”
“Sudah punya calon istri?”
“Sepertinya belum, Mama. Isunya Om Martin
berpacaran dengan perawat asal Maumere. Tetapi, saya
tidak yakin sebab tidak ada tanda-tanda Om Martin
punya pacar,” kata Ros lagi. “Orangnya cukup terisi
waktunya, Ma. Urus kios di desa, urus toko grosir
berbagai jenis sandang pangan, urus jual beli hasil bumi,
juga urus travel yang baru dibelinya.”
“Nona Bidan banyak tahu tentang Om Martin, ya?”
kata Mama Yus.
“Ya Mama sebab hampir selalu bertemu. Satu-
satunya orang yang punya kendaraan di desa tempat
saya bekerja hanya dia. Jadi, kalau ada rujukan pasti
kendaraannya yang dipakai, dia sopirnya, saya harus
mendampingi pasien, jadilah kami selalu bertemu. Dia
kader yang tidak mau dibayar.”
“Kenapa?”

468
“Katanya jadi kader untuk mengabdi ibu dan bapak­
nya yang sudah meninggal.”
“Wah hebat sekali.”
“Memang hebat!”
“Apakah dia kader yang siap dua puluh empat jam?”
“Ya, Mama. Sesekali dia tidak bisa. Kalau tidak bisa
pasti ada sopir pengganti yang siap dua puluh empat jam
juga,” kata Ros lagi.
“Bagus sekali,” kata Mama Yus. “Tampak nantinya
Om Martin akan jadi kader KIA yang dapat diandalkan.”
“Ya, Mama.”
“Kalau Dokter Yordan bagaimana?” tanya Mama
Yus. “Apakah dia masih bujang? Sudah punya tunangan?
Bagaimana kerja sama kalian selama ini?”
“Belum menikah, belum punya tunangan, dan kerja
sama kami sangat bagus,” kata Ros dengan semangat. Hal
yang selalu dikenangnya tentang Yordan dan disimpan
dalam ucapan terima kasih selamanya adalah sikapnya
menghadapi kematian Mama Lisa dan Aminah dulu dan
ketegasannya mengambil keputusan saat taman Polindes
dihancurkan.

***

“Bagaimana reaksi Dokter Yordan?” tanya Mama


Yus setelah Ros menceritakan semua ketegangan yang
dialaminya bersama keluarga Mama Lisa dulu.
“Dia berada di pihak saya, Mama.”

469
“Begitu?”
“Ya, Mama. Dokter itu selalu ada bersama saya.”
“Maksudnya?”
“Dia tahu dan percaya pada saya.”
“Kenapa dia percaya?”
“Karena saya melakukan hal yang benar.”
“Bagaimana reaksinya setelah Lisa meninggal?
Aminah meninggal?”
“Dia orang yang selalu membuat saya tenang,
Mama! Dia tahu bahwa saya sudah melakukan semua
upaya untuk menyelamatkan Mama Lisa dan bayinya.
Dia tahu bagaimana saya begitu sedih dan dialah salah
satu kekuatan saya untuk bisa mengatasi beban batin
setelah Lisa dan bayinya meninggal, juga ketika Aminah
meninggal. Sama seperti Om Martin! Om Martin
juga selalu membuat saya tenang. Dialah satu-satunya
kekuatan bagi saya saat dalam keadaan terpuruk. Yordan
dan Om Martin.…”
“Apa benar Dokter Yordan yang mengantar Nona
Bidan ke terminal?” tanya Mama Yus.
“Ya, Mama.…”
“Kenapa dia yang antar?”
“Karena dia mau antar, Mama!”
“Bukan karena Nona Bidan yang mau diantar?”
“Saya juga mau dia antar, Mama.”
“Apakah dia kenal Adrian?”
“Ya. Martin dan Dokter Yordan, keduanya tahu
Adrian.…”

470
“Dia tahu Dokter Lanny?”
“Ya. Keduanya tahu Dokter Lanny.…”
“Tentang Adrian dan Dokter Lanny?”
“Keduanya tahu, Mama.”
“Adrian sudah putus tunangan dengan Nona Bidan?”
“Sepertinya, keduanya juga tahu, Mama.”
Selanjutnya, Mama Yus tidak bertanya apa-apa lagi.
Dia berjalan perlahan dengan selang di tangan menyiram
segenap tanaman yang ada di depan tempat praktik dan
seluruh taman di sekitar rumah. Kecuali, wijaya kusuma
yang tidak disiramnya karena bunga itu memang tidak
perlu disiram setiap hari.
Ros membantunya dalam diam sambil memper­
hatikan ibunya yang masih sehat dan kuat. Rambutnya
memutih semuanya. Kulit lengannya menggantung
menunjukkan bahwa isi kulit itu sudah menghilang atau
tepatnya sudah terbagi kepada delapan anaknya. Satu
persatu, anak-anak yang pernah bergantung pada lengan
yang kuat itu, sepanjang hidup sampai tua renta begini.
Lengan yang memeluk, membagi, mengulurkan, dan
memberi sampai tua. Apa yang dapat diberikan anak-
anak kepadanya?
“Apa yang dapat kuberikan padamu, Mama?” tanya
Ros pada dirinya sendiri. “Kak Ian pergi meninggalkan
anak kesayanganmu ini….”
“Mama…,” katanya dalam hati. “Apa bebanmu?
Me­­lahirkan delapan orang anak. Mendidik dan mem­
besarkan delapan orang anak tanpa sekalipun mengeluh.

471
Ditinggalkan Bapa ketika adik bungsu baru kelas dua
SD. Menghadapi semua suka duka anak-anak dengan
tabah dalam doa. Apa bebanmu Mama? Apa yang engkau
pikirkan tentang anakmu ini? Satu-satunya anakmu yang
belum menikah? Anak kesayanganmu yang dikhianati
tunangannya. Adrian pergi dengan Dokter itu…Hampir
semua orang di kota kecil ini tahu perseteruan keluarga
akibat ulah Adrian. Apakah engkau terluka Mama?”
Ros menarik napas panjang. Baru saja dia hendak
mengembalikan ember air ke sudut bagian belakang
tempat praktpk ibunya, suara yang sangat dikenalnya
datang tiba-tiba.
“Ros…,” Adrian berdiri di hadapannya.
“Kak Ian…,” Ros tersentak kaget.
“Selamat sore Mama,” Adrian menegur Mama
Yus yang berdiri dengan selang di tangan. Orang tua
itu membungkuk untuk mematikan keran air. Dengan
tenang dia kembalikan selang ke tempat semula dan
berdiri tegak menatap Adrian.
“Ada apa ke mari?” tanya Mama Yus.
“Selamat sore Mama,” kata Adrian lagi salah
tingkah.
“Selamat sore…,” Mama Yus menjawab.
“Mohon izin bicara dengan Ros sebentar saja.
Sebentar saja Mama. Mohon izin.”
“Mama…,” Ros meminta persetujuan ibunya. Tanpa
kata-kata Mama Yus mengangguk dan berjalan pelan
meninggalkan Ros dan Adrian sendiri.

472
29
Pertanyaan Ketiga

I
“ ngat Nona Ros. Nona Ros bukan hanya bidan! Nona
Ros itu Bidan,” Ros terkenang kembali SMS ibunya yang
tetap disimpan dalam HP dan di dalam hatinya. “Terima
kasih Mama…” Kata Ros dalam hati saat Mamanya
membiarkan dia duduk berdua dengan Adrian di teras di
depan kamar praktik kebidanan.
“Ros,” Adrian memulai. “Kapan datang.”
“Sudah dua minggu. Kenapa?”
“Libur?”
“Ya, kenapa?”
“Saya ingin kembali padamu,” kata Adrian setelah
terdiam sejenak. “Saya rasa sebenarnya tidak masalah
antara kita berdua. Saya harap hubungan kita bisa
diperbaiki lagi. Saya masih mencintaimu, Ros. Saya
harap yang sudah lalu biarlah berlalu. Selama ini hanya
terjadi kesalahpahaman antara kita, jadi beginilah. Saya
harap Ros bisa mengerti. Soal keluarga bisa saya atasi.
Saya akan bicara dengan kedua orang tua saya. Saya juga
akan bicara dengan Mama dan keluargamu. Pokoknya,

473
demi cinta saya rela melakukan apa saja, yang penting
kita berdua bisa bersatu lagi,” katanya tanpa henti. Ros
menatapnya lekat-lekat dan mendengar semua yang
dikatakannya.
“Bagaimana Ros?” tanya Adrian. “Ros tidak perlu
pikirkan apapun atau kerjakan apapun, saya yang akan
berpikir dan bicara dengan keluarga kedua belah pihak
agar hubungan kita bisa diperbaiki lagi. Intinya, saya
tidak dapat melupakanmu.”
“Oh begitu ya?” Itu saja kata-kata dari Ros.
“Saya pikir tidak ada seorang pun yang dapat me­
misahkan hubungan kita. Biar badai sekalipun tidak
mungkin memisahkan cinta kita. Siang maupun malam
saya tidak bisa tidur memikirkanmu, Ros. Karena itulah,
saya datang ke sini dan bicara langsung denganmu.”
“Oh begitu ya?”
“Jangan percaya pada siapa pun selain pada saya.
Jangan percaya pada cerita apapun selain cerita langsung
dari saya. Apalagi Martin. Apalagi Yordan. Keduanya
tidak tahu apa-apa tentang saya, jadi jangan percaya pada
mereka. Ros harus bisa pastikan itu supaya saya tenang
dan bisa atur semua rencana masa depan kita.”
“Oh begitu ya?”
“Kudengar Yordan berusaha mempengaruhimu.
Hati-hati! Dia bukan laki-laki yang baik. Dia itu sudah
punya pacar namanya Matilda. Sampai sekarang diam-
diam dia masih berhubungan dengan perempuan itu. Jadi,
saya harap Ros jangan terlalu dekat dengannya. Bisa-bisa

474
Ros dirusak sebagaimana dulu dia rusakan hidupnya
Matilda. Hati-hati ya. Kalau perlu tidak usah pulang ke
Polindes Bakung. Pindah ke sini saja, saya yang akan
urus surat-suratmu. Mengerti?”
“Oh begitu ya?”
“Apalagi Martin, jangan percaya. Dia itu laki-laki
banci. Pokoknya dia dan Yordan sama-sama banci.
Makanya, sampai sekarang tidak pernah punya pacar.
Mau pacaran bagaimana? Keduanya takut perem­
puan. Awas ya, saya khawatir mereka berdua bisa mem­­
pengaruhimu untuk membenciku. Mereka pasti meng­
anggap saya bermasalah, padahal keduanya yang penuh
masalah.”
“Oh begitu ya?”
“Kenapa oh begitu, oh begitu saja jawabanmu?”
“Mau jawab apa?”
“Memang kamu pacaran sama Yordan?”
“Kalau ya kenapa?”
“Atau kamu sama Martin?”
“Kalau ya kenapa?”
“Atau kamu pacaran sama keduanya? Martin dan
Yordan dirangkap satu kali?”
“Kalau ada perempuan yang bisa kamu rendahkan,
perempuan itu bukan saya!”
“Karena apa?”
“Karena apa pun yang kamu bicara tidak ada satu
pun yang saya percaya!”
“Kamu? Bukan kak Ian lagi, tetapi kamu?”

475
“Ya, Kak Ian…Kamu! Kenapa?”
“Sudah berubah rupanya,” Adrian tertunduk. “Saya
akan buat perhitungan dengan Yordan tentang hal ini.
Enak saja dia! Apakah dia kira lima tahun waktu pacaran
dan tunangan kita itu bisa berlalu begitu saja? Enak
benar dia!”
“Diamlah! Jangan gunakan ancaman apapun untuk
Dokter Yordan,” kata Ros.
“Dia bukan orang baik!”
“Dokter Yordan jauh lebih baik dari kamu.”
“Jadi, kamu membela dia? Jadi, kamu mau putus
dengan saya?”
“Ingat! Kamu yang sudah putuskan hubungan kita.
Bukan hanya di hadapanku, tetapi dihadapan Mama dan
kakak adik, di hadapan kedua orang tuamu, di hadapan
banyak saksi. Jadi, jangan bicara terbalik,” kata Ros
dengan tenang.
“Waktu itu saya hanya khilaf,” kata Adrian.
“Oh begitu ya?”
“Beri saya waktu untuk memperbaiknya.”
“Tidak ada waktu,” Ros berdiri dan mempersilakan
Adrian pergi. “Tolong jangan kembali lagi ke mari.
Jangan mengganggu hidup saya lagi dalam hal apapun
dan dengan cara apapun, jangan mengganggu lagi.”
“Saya diusir?”
“Pergilah!”
“Saya diusir?”

476
“Tidak,” jawab Ros. “Tetapi, sebaiknya pergi seka­
rang. Sebentar lagi adik bungsuku datang. Jangan sampai
dia yang marah. Pergilah!”
“Hubungan dengan Dokter Lanny itu tidak benar.
Hubungan itu hanya kebetulan saja. Kebetulan saja saya
dekat dengan dia untuk beberapa urusan, makanya kami
dekat. Tidak benar isu bahwa saya pacaran dengan dia.
Percayalah.”
“Saya tidak punya urusan dengan siapa pun, ter­
masuk denganmu, pergilah!”
“Saya juga tidak kenal Lukas, jadi tidak benar
kalau ada yang mengatakan bahwa selama ini saya tahu
tentang keadaanmu di sana dari Lukas.”
“Saya juga tidak punya urusan dengan dia.”
“Taman di Polindes Bakung yang hancur porak
poranda itu juga bukan saya yang membayar Lukas
untuk melakukannya. Itu isu yang tidak benar, sungguh.
Jadi, adik Ros tidak perlu marah pada saya.”
“Saya juga tidak punya urusan dengan orang yang
merusak taman maupun dengan orang yang mem­
bayarnya.”
“Sumpah mati, Ros…saya mencintaimu. Sungguh!”
Adrian tertunduk dan menangis. Ros membuang wajah­
nya. Senja menuju malam. Ingin benar Ros tertawa
menyaksikan sandiwara laki-laki yang duduk di hada­
pannya. “Air mata buaya!” Kata Ros dengan rasa sesak
yang sulit dilukiskan. Apa yang terjadi dengan Adrian?

477
Apakah Lukas sudah membuat pengakuan pada tim
pencari fakta di desa bahwa Adrian adalah otak dibalik
kehancuran taman Polindes Bakung? Apakah air mata
yang tumpah itu air mata yang sebenarnya. “Berhati-
hatilah jika ada laki-laki yang menangis atas nama
cinta…itu tanda ketidaksetiaan,” demikian salah satu
penggalan kata bijak yang pernah dibacanya. “Sangat
tergantung dari siapa laki-laki itu, kapan dia menangis,
dan untuk apa air matanya tertumpah, bukan?”
“Apakah Ros sudah tidak mencintai saya lagi?”
“Pergilah!” Ros langsung berdiri. “Sekarang,” kata
Ros. Bersamaan dengan itu HP berdering. Ros segera
mengangkatnya.
“Halo Dokter, selamat sore menjelang malam,”
kata Ros. “Ada di rumah saja. Ya ada tamu yang datang
ke rumah. Mama ada nonton tivi. Ya, tadi siram bunga
sama-sama Mama. Adik sedang pergi ke rumah mertua
dengan istrinya. Bagaimana?” Ros terdiam sejenak.
“Tamu, teman lama orang baik-baik,” tiba-tiba saja
Adrian bangun dan merampas HP dari tangan Ros dan
berteriak cukup keras. “Ini Adrian, tunangan Bidan
Ros. Jangan ganggu dia! Awas kamu!” Kata Adrian. Ros
berhasil merebut kembali HP-nya.
“Pergi sekarang! Sebelum saya panggil Mama dan
Mama yang akan mengusirmu,” kata Ros dengan marah.
“Pergi! Saya tidak mau melihat wajahmu lagi! Pergi
sekarang!”

478
“Ada apa Nona Ros…,” Mama berdiri di depan
pintu.
“Tidak apa-apa Mama,” kata Adrian. “Saya pulang
dulu, sudah malam.”
“Ya, memang sudah malam,” jawab Mama Yus.
“Saya pulang…,” Adrian tertunduk.
“Pulanglah….”
Setelah Adrian pergi Mama Yus masuk kembali ke
dalam rumah. Dia tahu bahwa telah terjadi ketegangan
antara Ros dan Adrian. Dia tahu Ros bisa mengatasi laki-
laki yang sudah berkhianat itu. Untuk apa dia datang?
Apakah dia ingin kembali pada Ros lagi? Mama Yus
tahu Ros tidak akan pernah membuka hatinya lagi untuk
laki-laki seperti Adrian. Ros adalah anak kesayangannya
yang setia, sangat sulit berpindah ke lain hati, tetapi
pengkhiatan Adrian telah membuat Ros terluka dan
sakit. Sudah berlalu, meskipun baru beberapa bulan saja,
namun Mama Yus tahu Ros tidak akan membuka hatinya
lagi.
“Mama…,” panggil Ros perlahan.
“Mama tahu Nona Ros tidak akan menerimanya
kembali,” kata Mama Yus.
“Mama mendengar?” tanya Ros dengan khawatir.
“Tidak! Mama mengenalmu.”
“Terima kasih, Mama.”

***

479
“Jujur dalam membangun sebuah hubungan itu
jauh lebih baik,” kata Mama saat Ros membuka HP dan
menelepon Yordan. “Ya Mama,” jawab Ros. “Apakah
perlu saya ceritakan semua yang dibicarakan Adrian
kepada Yordan” tanya Ros dalam hati. “Kasian Kak
Ian,” kata Ros dalam hati. “Tampaknya merana dengan
perbuatannya sendiri.”
“Halo Dokter,” Ros memulai.
“Bapa Desa sudah jelaskan. Lukas sudah mengakui
semuanya. Adrian yang membayar Lukas untuk
melakukan pengrusakan taman Polindes Bakung. Adrian
juga membayar Lukas untuk menjadi mata-matanya
selama ini.”
“Berita bagus sekali. Ini baru berita,” kata Ros.
“Saya sudah tahu sejak dulu,” kata Yordan.
“Saya juga sudah tahu,” jawab Ros.
“Kenapa sejak dulu tidak cerita pada saya. Bukankah
saya ini Kepala Puskesmas?”
“Kenapa juga tidak cerita pada saya. Bukankah saya
ini Bidan Desa?”
Keduanya tertawa dengan pertanyaan yang sama
satu sama lain. “Ros…,” Yordan terdiam. “Ya, Dokter,”
jawab Ros.
“Saya hanya ingin Ros tahu. Adrian dan Lukas
pelakunya. Saya tidak ingin memberi pengaruh apa
pun kepadamu. Ros pernah katakan pada saya, bahwa
Ros ingin bebas dari tekanan bukan? Ros mau ambil
keputusan dalam keadaan bebas bukan?”

480
“Ya, Dokter!”
“Apa yang dapat saya lakukan untukmu, Ros?”
“Terima kasih karena saya boleh mendapat berita ini
dari Dokter. Sampaikan kepada Bapa Desa agar urusan
selanjutnya diselesaikan di desa saja. Jangan bawa ma­
salah ini sampai ke pihak keamanan ya. Kita sudah punya
Kesepakatan Keluarga Desa untuk hadapi masalah
yang terjadi di desa. Soal Adrian, biarkan dia selesaikan
sendiri, biarkan dia menyesali semuanya sendiri. Yang
penting Lukas sudah terbuka dan mau berubah.”
“Panjang juga kalimatnya ya,” Yordan tertawa.
“Oh, maaf ! Terlalu panjang kalimat saya ya?”
“Saya senang sekali mendengarnya,” kata Yordan.
“Dokter yang membuat kalimat saya jadi panjang-
panjang sekarang,” kata Ros.
“Akan lebih panjang lagi kalimatmu, Ros. Panjang
sepanjang jalan hidup. Itu akan terjadi jika Ros mau
bersama saya sepanjang jalan hidup di jalan yang sama.
Bagaimana?”
“Jalan yang mana?”
“Jalan setapak saja. Tidak perlu motor tidak perlu
mobil. Jalan kaki saja berdua sampai ke ujung dunia,”
kata Yordan. “Bagaimana?”
“Saya, Dokter,” jawab Ros.
“Apalagi yang dapat saya lakukan untukmu meng­
hadapi Adrian? Apakah dia mengganggumu? Untuk apa
dia datang ke rumahmu? Dia bicara apa saja? Apakah
dia datang mengancam? Apakah dia memaksamu untuk

481
kembali padanya? Apakah dia mengatakan bahwa dia
mencintaimu setengah mati? Dia tidak dapat melu­
pakanmu? Apakah dia merayumu? Apakah dia berani-
beraninya….”
“Panjang dan banyak sekali pertanyaannya,” Ros
tertawa.
“Harus!” jawab Yordan.
“Kenapa?”
“Karena saya tidak mau dia mengganggumu.”
“Saya baik-baik saja,” jawab Ros.
“Jangan biarkan dia datang lagi ya,” kata Yordan.
“Saya, Dokter!”
“Saya tidak mau Ros berada di bawah tekanannya.”
“Saya, Dokter!”
“Katakan padanya bahwa cintamu hanya untukku.”
“Saya eh, bagaimana Dokter?”
“Kenapa tidak jawab, saya Dokter?” Yordan tertawa.
“Bukankah sudah saya sampaikan bahwa saya akan
ambil keputusan dalam keadaan bebas? Bukankah sudah
saya katakan bahwa saya akan ambil keputusan dalam
keadaan lebih tenang dari semua tekanan?”
“Ya saya tahu Nona manis,” kata Yordan. “Saya tahu
saya bukan siapa-siapa yang boleh menuntutmu begini
atau begitu. Saya hanya ingin berterus terang bahwa saya
sangat cemburu. Saya hanya mau katakan bahwa saya
sudah jatuh cinta padamu sejak hari pertama melihatmu
di depan kamar nomor tiga. Bagaimana? Apakah Ros
merasa tertekan dengan kata-kata saya?”

482
“Bicaralah terus, Dokter! Lebih panjang lagi. Saya
senang mendengarnya. Lebih baik lagi kalau ditulis agar
saya bisa membacanya berkali-kali,” kata Ros.
“Saya tidak bisa menulis surat,”kata Yordan. “Tidak
ada bakat menulis.”
“Siapa ya yang menulis surat untuk Bidan Ros
beberapa waktu lalu?”
“Siapa yang menulis untukmu, Ros?”
“Seseorang sudah menulis buat saya. Surat ter­
panjang yang pernah saya terima dalam hidup saya
selama ini,” kata Ros.
“Siapa dia! Saya cemburu! Saya pasti marah
padanya!”
“Dia bercerita tentang hal yang paling rahasia dalam
hidupnya.”
“Siapa dia?”
“Dia bercerita tentang penyesalan-penyesalannya.”
“Siapa dia?” Yordan tidak sabar.
“Dia berusaha membuat saya mengerti siapa dia. Dia
berusaha membuka hati saya untuk menerima dirinya,
mencintainya…,” Ros terdiam.
“Hai, Bidan Manis, ha ha ha,” Yordan tertawa. “Saya
sudah menulis untukmu ya? Ha ha ha, apakah panjang
sekali surat saya? Berapa halaman ya?” Yordan terbahak
lagi. “Saya sudah menulis untukmu Ros,” kali ini suara
Yordan lebih tenang. “Saya senang karena Ros sudah
membacanya. Terima kasih ya.”

483
“Terima kasih juga Dokter, terima kasih karena
sudah menulis surat yang begitu panjang untuk saja.
Terima kasih karena percaya pada saya. Terima kasih
karena membuat saya bisa mengenal Dokter lebih jauh
dari biasanya. Terima kasih ya.”
“Terima kasih karena mau berterima kasih,” jawab
Yordan.
“Dokter…,” Ros terdiam sejenak.
“Ada apa?” jawab Yordan.
“Boleh saya bertanya?”
“Boleh.”
“Pertanyaan yang ketiga kalinya,” kata Ros.
“Ya.”
“Apakah dia adalah laki-laki kedua dalam kehidupan
Matilda?” tanya Ros.
“Ya,” jawab Yordan.

484
30
Laki-laki Pilihan

Dipandangnya perempuan tua yang sudah mela­


hirkannya itu. Wajahnya sudah keriput, namun matanya
tajam melihat dan menikmati siaran berita televisi
tanpa bantuan kaca mata. Tubuhnya kini tidak tinggi
gemuk lagi, tetapi lebih kecil dan sedikit membungkuk.
Garis-garis ketuaan begitu nyata tidak hanya pada
dahi dan wajahnya, tetapi juga pada tangan, kaki, dan
seluruh tubuhnya. Dipandangnya bunda tercinta itu dari
samping. Ingin benar disentuhnya wajah itu. Perempuan
yang membesarkan anak-anak dan menghadapi problem
demi problem sendirian tanpa bapak.
“Apa yang dipikirkannya tentang Ros anak pe­
rempuan yang belum menikah ini? Apa yang di­
pikirkannya tentang Adrian yang tiba-tiba datang itu?”
Ros memperhatikannya lagi. “Mama yang melahirkanku,
Mama yang menolong persalinan selamat entah sudah
berapa jumlahnya, Mama yang mengajariku apa artinya
darah dan air mata setiap ibu yang melahirkan di tempat
praktiknya. Mama yang air mata sepinya tidak pernah

485
dapat kupahami dengan tepat. Mama yang tabah dalam
kesendiriannya.…”
“Minggu lalu ada ibu melahirkan meninggal di
Puskesmas,” tiba-tiba Mama Yus bicara. “Nona Bidan
sudah dengar?”
“Ya Mama,” Ros bangun dan duduk di hadapan
ibunya.
“Ibu melahirkan anak kedua dengan selamat. Pen­
darahan. Harus dirujuk ke RSU PONEK yang jaraknya
hanya sejauh hidung. Menunggu mobil ambulans dengan
banyak alasan simpang siur. Mobil rusak, pintu tidak bisa
terbuka, sopir tidak ada, dan lain-lain. Akibatnya, pasien
terlambat dirujuk, ibu meninggal, tinggalkan suami, dan
dua anak. Menyedihkan sekali.”
“Menyedihkan sekali,” sambung Ros.
“Tergantung pada mobil ambulance dan sopirnya.
Tidak ada inisiatif untuk cari kendaraan lain. Mama
menyesal sekali, sungguh menyesal. Kerja satu atau dua
bidan-bidan muda yang tidak bertanggung jawab. Bidan
muda yang selalu melotot matanya pada HP, facebook,
twiter, instagram entah apalagi. Mama jadi bingung
mendengar perilaku bidan model begini. Telepon dan
SMS untuk urusan pribadi yang tidak penting selalu ada
pulsa, tetapi telepon untuk urusan penting urusan nyawa
ibu nifas yang mengalami pendarahan dengan beraninya
menyebut tidak ada pulsa.”
“Biarkan saja Ma, jangan menuduh.”

486
“Ya, Mama tidak menuduh,” Mama Yus terdiam
sejenak. “Mama yakin tidak ada seorang pun yang ber­
tanggung jawab di Puskesmas itu mau bertanya pada
dirinya sendiri, apakah dirinya ikut andil dalam kematian
itu?” Suara Mama Yus membuat Ros tersentak kaget.
“Itu pertanyaanku, pertanyaan Bidan Flori, Bidan Vero,
teman-temanku, dan pertanyaan seorang ibu muda
bernama Aby yang kehilangan bayi kembarnya … dan
ternyata pertanyaan Mama juga.”
“Mereka tidak mengerti bahwa melahirkan itu
emergency,” kata Mama Yus. “Mengulur-ulur waktu itu
sungguh-sungguh mencemaskan.
“Zaman sekarang beda dengan zaman dulu. Orang
zaman dulu lebih bertanggung jawab.”
“Bagaimana caranya supaya bisa belajar pada orang
zaman dulu, Ma?” tanya Ros.
“Mau dengar cerita Mama? Mungkin dengan cerita
ini Nona Bidan bisa menjawab sendiri bagaimana bisa
belajar pada orang zaman dulu.”
“Ya, Mama.”
“Waktu Mama masih muda dulu Mama dapat tugas
pertama di Puskesmas Mawar. Ada dokter muda yang
sangat peduli KIA. Ada seorang ibu muda melahirkan.
Anak pertama sudah dilahirkan dengan selamat. Anak
sehat dengan berat badan normal. Ibu itu mengalami
pendarahan. Dokter tahu persis robekan di serviks dan
pasien harus dirujuk. Pasang tampon untuk menahan
keluarnya darah tidak akan berhasil.”

487
“Kenapa, Ma?”
“Sebab jalan dari Puskesmas ke RSU perlu waktu dua
jam penuh dengan kondisi jalan buruk dan berlubang-
lubang. Getaran keras di jalan pasti menambah masalah
bagi si ibu.”
“Apa masalahnya? Bukankah ibu itu akan segera
dirujuk?”
“Tampon tidak akan mampu bertahan, kemungkinan
besar tampon akan meluncur keluar di tengah perjalanan
akibat guncangan demi guncangan.”
“Apa yang dilakukan Dokter itu?”
“Tangannya terkepal kuat untuk menahan tampon
pada bagian tertentu yang pecah di pintu rahim. Se­
panjang jalan tangan kuat itu tetap bertahan. Dia duduk
di lantai bemo ketika itu. Suami ibu nifas menahan tubuh
istrinya, dua orang perawat laki-laki menahan tubuh
dokter dan mama sepanjang jalan memijat tangan dokter
muda itu bergantian dengan salah satu perawat.…”
“Sepanjang jalan seperti itu?” tanya Ros keheranan.
“Ya, kira-kira sama denganmu melewati tanah
longsor. Situasi sangat tegang.”
“Bagaimana Dokter itu?”
“Justru karena Dokter tenang-tenang saja, ke­
khawatiran Mama berkurang.”
“Selamat?” Ros tidak sabar.
“Ya selamat sampai RSU, meja operasi, dan pen­
darahan teratasi,” kata Mama Yus.
“Hebat!” kata Ros.

488
“Ya, luar biasa!”
“Apakah keluarganya tidak marah tangan dokter itu
tepat berada di pintu rahim menahan tampon?” tanya
Ros ingin tahu.
“Ini soal keputusan yang tepat, keberanian, dan
tanggung jawab melayani dengan hati,” kata Mama Yus
lagi. “Ibu selamat, suami senang, keluarga bahagia.”
“Hebat sekali,” kata Ros lagi.
“Apakah Nona Bidan tahu apa arti cerita pengalaman
Mama ini?”
“Kesehatan itu hak asasi manusia,” jawab Ros.
“Coba katakan dengan kalimat lain,” kata Mama.
Ros terdiam menatap ibunya. “Tentang segala upaya
yang dilakukan dokter itu. Tangan yang tetap bertahan,
pijatan yang tetap dilakukan sepanjang jalan, suami yang
cemas, pasrah, dan percaya. Tubuh dokter dan tangan
yang pegal serta gemetar sepanjang jalan. Tentang
filosofi pertolongan persalinan selamat, tentang visi dan
misi penolong persalinan,” kata-kata Mama Yus mem­
buat Ros tergetar.
“Bidan tempo dulu, sudah setua ini, bicara tentang
filosofi, visi, dan misi?” tanya Ros dalam hati. Ditatap
wajah bidan tua di hadapannya itu. Bidan tua yang
melahirkanku. Bidan tua yang telah menolong persalinan
lebih dari separuh waktu hidupnya.
“Apapun yang terjadi ibu melahirkan tidak boleh
mati. Ibu melahirkan harus selamat. Untuk itu pelayanan
harus dilakukan seoptimal mungkin, melayani dengan

489
pikiran, melayani dengan hati. Apapun tantangannya,
pendarahan harus dihentikan, ibu nifas itu harus hidup
sebab bayi membutuhkan ASI-nya, kasihnya, doanya,
dukungannya, dan cintanya…,” Ros bicara kata demi
kata, kalimat demi kalimat.
“Semua pelayanan itu dilakukan demi harkat dan
martabat ibu dan bayi…sebab harkat dan martabat ibu
dan bayi merupakan harkat dan martabat bidan, dokter,
perawat, dan segenap tenaga medis yang menolong…
adalah harkat dan martabat manusia,” kata Ros dengan
tenang dan hati-hati.
“Mama bangga padamu, Nona Bidan,” kata Mama
Yus dengan mata berkaca-kaca.
“Apakah benar jawabanku, Mama?” tanya Ros.
“Nona Bidan akan menemukan jawaban yang lebih
tepat lagi sepanjang perjalananmu menjadi bidan. Ingat!
Ros bukan hanya bidan. Ros adalah bidan bukan hanya
bidan.”
“Terima kasih, Mama!”
“Jadi, sungguh-sungguh memalukan. Sungguh-
sung­guh tidak ada alasan mengapa ibu harus meninggal
di Puskesmas yang berada di depan hidung RSU,” kecewa
benar wajah Mama Yus menceritakan kematian itu. “Ini
cermin dari sebuah manajemen yang sangat buruk,” kata
Mama Yus lagi. “Rasanya Mama ingin muda lagi, ingin
jadi bidan aktif lagi,” kata Mama sambil menerawang
jauh ke depan.

490
“Dokter itu masih muda?” tanya Ros.
“Dokter yang mana?” tanya Mama.
“Dokter yang bersama Mama dari Puskesmas Ma­
war. Dokter yang menahan tampon.”
“Ya, kami sama-sama belum menikah ketika itu.”
“Dia tidak taksir Mama? Bukankah waktu itu Mama
cantik sekali? Pasti bidan yang paling cantik di seantero
jagat.”
“Taksir, pasti!”
“Kenapa Mama tidak mau sama dia?”
“Karena sudah lebih dulu memilih Bapamu.”
“Ooooh….”
“Kalau Mama mau sama dia, sekarang Mama di
Tapanuli Sumatera Utara. Yang pasti kalau Mama
jadi sama dia, pasti Ros dan kakak adik tidak ada.
Kalau Mama jadi sama dia, berkuranglah satu bidan di
kampung kita. Bidan waktu itu sesuatu yang sangat
langka. Kalau Mama jadi sama dia, pasti tidak ada yang
namanya Nona Bidan Ros,” kata Mama.
“Betul juga ya Ma,” Ros tertawa.
“Ya kalau belum ketemu Bapamu, pasti Mama
memilih dia,” kata Mama Yus sambil berdiri, kemudian
duduk lagi berhadapan dengan Ros. Ros menatapnya.
Benar! Mama sudah benar-benar tua. Umurnya sudah
delapan puluh tahun. Gurat-gurat menghiasi seluruh
wajah dan lehernya. Buah dadanya kosong, rata, dan
tanpa isi lagi menggantung di balik baju hangat yang
longgar membalut tubuh tua renta itu.

491
“Setia pada pilihan itu penting,” kata Mama Yus.
“Ya, Mama.”
“Setia pada keputusan juga, penting,” kata Mama
Yus.
“Ya, Mama.”
“Setelah Adrian apakah Nona Bidan sudah tentukan
pilihan?”
“Siapa dan siapa?”
“Antara Martin dan Dokter Yordan.”
“Mama tahu dari mana?”
“Dari ceritamu tentang dua orang yang sama-
sama baik sama-sama sahabat hatimu,” kata Mama
Yus. “Apakah Nona Bidan sudah memilih Martin atau
Yordan?”
“Menurut Mama siapa yang harus saya pilih?”
“Bukan Mama yang pilih. Bukan pilihan Mama,
tetapi pilihanmu.”
“Saya bingung mau memilih yang mana, Ma.…”
“Bidan tidak boleh bingung memilih. Harus pasti,
tegas, dan berani ambil risiko.”
“Menghitung kancing baju ya, Ma? Yordan atau
Martin ya? Dua-duanya pilihan yang baik sekali untuk
masa depan saya. Saya bisa jatuh cinta pada Yordan juga
pada Martin. Kalau Mama dalam posisi saya, Mama pilih
Martin atau Yordan?”
“Mama tidak pernah ada dalam posisimu, anakku,”
kata Mama Yus lagi. “Dulu Mama hanya punya satu
pilihan, yaitu Bapamu. Itu saja. Jadi, sekarang ambil

492
keputusan segera. Jangan tunggu lama-lama lagi. Lebih
baik tidak membuat orang lain menunggu. Pilih salah
satu atau tidak dua-duanya sehingga ada kesempatan
untuk memberi kesempatan kepada yang lain.”

***
Ros terdiam. Sore yang sunyi di kota dingin yang
juga sunyi. Semua wijaya kusuma yang tergantung di
sepanjang teras memberi tanda-tanda akan segera mekar.
Siapa bilang bunga ini lebih subur tumbuh di daerah
sedang dan tropis. Buktinya, bunga ini juga hidup subur
di daerah dingin. Sangat tergantung dari bagaimana
merawatnya. Ibunya tahu persis untuk menyiramnya tiga
atau empat hari sekali bukan setiap hari.
Konon, zaman dulu raja-raja yang akan naik takhta
harus sanggup memetik bunga wijaya kusuma dalam
keadaan mekar. Calon raja yang bertapa sendiri menanti
saat-saat mekarnya bunga di tengah malam, ataukah ada
panglima, hulubalang, atau petugas kerajaan lainnya
yang bertapa untuk memetik bunga yang baru mekar?
“Pasti calon raja sendiri yang menunggu. Jika pang­
lima yang menunggu untuknya, hulubalang atau petugas
lain yang menunggu untuknya, dia bukan benar-benar
seorang saja,” kata Ros pada dirinya sendiri. “Hal ini
menyangkut kejujuran dan kesetiaan menunggu saat-saat
wijaya kusuma mekar dan memetiknya dalam keadaan
mekar. Apabila Sang Raja sanggup menemukan bunga
yang sedang mekar, kejujuran dan kesetiaannya akan

493
menolong dirinya menjadi besar, kuat, dan dihormati,”
kata Ros lagi. “Kejujuran dan kesetiaan, tidak terhitung
harganya….”
Wijaya kusuma adalah sejenis kaktus yang tidak
berduri. Bagian daun dan batangnya dapat dibedakan
dengan mudah pada saat umur bunga lebih tua. Ba­
tangnya terbentuk dari helaian daun yang mengalami
proses mengecil dan mengeras dan berwarna hijau.
Tunas bunga muncul dari daun bukan dari batang. Kian
lama kian memanjang tangkainya sehingga bunga wijaya
kusuma selalu menjuntai ke bumi.
Ros ingat dengan pasti bahwa cara menanam bunga
ini sama dengan menanam bunga anggrek. Anggrek dan
wijaya kusuma adalah tanaman bunga yang setia dan rela
berbagi. Akar-akarnya senang hidup berhimpitan dalam
kehangatan pot-pot kecil.
Bibitnya berupa stek dari cabang terbaik. Stek di­
diamkan beberapa waktu untuk diangin-anginkan.
Sampai luka dagingnya sembuh barulah stek boleh di­
tancapkan ke polibek tempat pembibitan. Setelah tumbuh
tunas baru, barulah stek dipindahkan ke pot khusus.
Sederhana saja tidak rumit.
Daun wijaya kusuma dapat menyembuhkan
penyakit. Daun dapat menyembuhkan luka tersayat,
tergores, atau terpotong benda tajam atau benda tumpul.
Bunganya pun bermanfaat bagi kesehatan. Rebuslah tiga
sampai lima kuntum bunga ditambah gula merah untuk
menyembuhkan batuk. Dua atau tiga kuntum bunga yang

494
ditim dapat diminum airnya atau dimakan dagingnya
untuk mengatasi pendarahan rahim. Tiga atau empat
kuntum bunga ditambahkan gula batu, ditim, dinginkan,
lalu minum untuk mengatasi sesak napas. Itulah yang
yang dilakukan Mama Yus untuk semua anak-anaknya
atau ibu yang melahirkan di tempat praktiknya. Sampai
hari ini pun ibunya masih setia minum rebusan bunga
wijaya kusuma khusus untuk mengatasi batuk.
“Ibumu jadi dokter kepala di rumahmu,” kata
Yordan pada suatu hari di Puskesmas Bakung ketika
Ros bercerita tentang khasiat daun bunga-bunga wijaya
kusuma. Bagaimana ibunya menggunakan daun dan
bunga itu sebagai obat alternatif.
“Ya, Mama sangat mencintai bunga wijaya kusuma,”
kata Ros.
“Selain karena khasiatnya untuk obat alternatif,
apalagi yang membuatnya cinta?”
“Karena mekar pada waktu malam, karena wanginya
sampai ke dalam kamar?”
“Itu saja?”
“Barangkali karena Mama seorang bidan,dan bunga
wijaya kusuma bagian dari simbol Bakti Husada. Mama
saya mengerti benar karakter bunga ini.”
“Sama seperti anaknya ya,” Yordan tertawa bahagia.
“Sepertinya begitu,” jawab Ros.
“Senang sekali punya ibu seperti ibumu ya,” kata
Yordan lagi. “Ada yang mirip dengan ibu saya…dalam
hal menyukai tanaman obat keluarga yang menghiasi

495
rumah kami, juga dengan bunga-bunga. Bedanya, ibu
saya pencinta bunga bakung, ibumu pencinta wijaya
kusuma.”
“Bakung? Seperti nama Polindes ya?”
“Sama seperti anaknya ya?” tanya Ros.
“Sama persis,” jawab Yordan. “Tetapi, saya pencinta
bunga yang sebenarnya di Polindes Bakung. Cinta saya
hanya tertuju pada bidan di Polindes Bakung. Setuju?”
“Apalagi yang sama dan beda antara ibumu dan
ibuku?” Ros menghindari pertanyaan Yordan.
“Bedanya ibu saya ibu rumah tangga biasa, se­
dangkan ibumu ibu bidan. Ros juga mirip sekali dengan
ibu saya. Tenang, sabar, dan sudah tentu manis. Kapan
ya Ros bertemu dengan ibu saya? Kapan ya saya bisa
bertemu dengan ibumu?” tanya Yordan.
“Ibu saya manis sama seperti Bidan Ros yang manis.
Ibu saya pencinta bakung. Bukan kebetulan kalau sama-
sama bakung. Sepertinya saya datang ke Flamboyan
untuk bertemu denganmu,” kata-kata Yordan membuat
Ros tersenyum sendiri mengenang kembali pertemuan
itu. Baru disadarinya sekarang, bahwa itulah salah satu
pertemuan dengan dialog yang menetap dalam hatinya.
Ros menengadah menyapukan tatapannya pada
deretan kembang wijaya kusuma yang siap mekar itu.
Dia ambil HP dari dalam sakunya dan mengirim SMS
untuk Yordan.

496
“Selamat sore Dokter. Boleh datang jemput saya di
Bajawa,” SMS dari Ros.
“Segera,” jawab Dokter Yordan.
“Dua hari lagi ya…” SMS dari Ros. Yordan tidak
membalasnya.
“Mama…Dokter Yordan akan datang untuk men­
jemput saya. Boleh?” tanya Ros kepada ibunya. “Boleh
kah, Mama?”
“Nona Bidan sudah memilih?” tanya Mama Yus.
“Ya, Mama.”
“Boleh.”

497
31
Ulang Sekali lagi, Kalimatmu

Jam nol-nol terdengar mobil berhenti di depan ru­


mah. HP berdering dan Rosa terbangun. “Dokter
Yordan,” Ros langsung duduk di sisi tempat tidur. “Halo
…” Ros menjawab telepon Yordan.
“Saya di depan rumahmu,” kata Yordan.
“Di depan rumah saya? Kenapa tengah malam? Bu­
kan­kah akan datang dua hari lagi,” jawab Ros. Ros segera
keluar membuka pintu pagar dan membiarkan Yordan
masuk memarkir mobilnya dan Ros mengunci kembali
pagar rumahnya.
“Mari masuk,” kata Ros sambil membantu Yordan
membawa tas dan sebuah dos melewati teras di bawah
kuntum-kuntum yang menjulur.
“Apa ini?”
“Ole-ole, roti yang biasa kita beli. Untuk Mama.”
“Sempat-sempatnya. Malam toko roti masih buka?”
“Tadinya roti ini untuk acara lain, besok. SMS dari­
mu adalah hal yang penting dan mendesak yang harus
saya laksanakan segera. Maaf, jangan protes apapun ya

498
Nona Bidan. Dua hari lagi itu terlalu lama. Lama sangat
lama. Mengerti?” Bisik Yordan tepat di telinga Ros.
“Jam berapa dari sana?”
“Jangan tanya jam berapa. Tanya yang lain saja, mi­
sal­nya halo sayangku apa kabar?”
“Sungguh-sungguh sendirian?”
“Jangan tanya apa-apa. Tanya yang lain saja, misal­
nya halo sayangku apakah benar-benar sudah sampai di
rumahku?”
“Pelan-pelan, Mama sudah tidur,” kata Ros sambil
ber­jalan melewati teras. “Kakak dan adik di rumahnya
masing-masing. Di sini Mama dengan adik bungsu.
Tengah malam begini, apa tidak takut jalan jauh-jauh
sendirian. Kenapa tidak ajak Om Martin?” Ros menoleh.
Yordan tidak ada di belakangnya.
“Dokter…,” panggil Ros perlahan. Dia tertegun me­
lihat Yordan sedang berdiri memperhatikan kembang
wijaya kusuma yang akan mekar dengan saksama.
“Dokter…,” Ros mendekat dan Yordan meletakkan
telunjuknya di bibir. Matanya tertuju pada deretan
kembang wijaya kusuma.
Keduanya berdiri berdampingan dan menyaksikan
detik-detik mekarnya bunga. Beberapa kali Ros pernah
mengalaminya sendiri. Akan tetapi, tengah malam ini
sesuatu yang sangat langka itu terjadi di hadapannya
berdua. Tidak hanya satu kuntum. Ada beberapa kuntum.
Tanpa ada yang komando, Yordan memetik satu tangkai
yang sedang mekar dan memberinya untuk Ros.

499
“Wijaya kusuma mekar,” kata Yordan.
“Ya, indah sekali…,” jawab Ros.
“Kita menunggu di sini,” kata Yordan. “Ada kamera
dalam tas saya, tolong ambil,” bisik Yordan. Ros segera
mengambil kamera dari dalam tas Yordan. “Ini.”
“Mari berdiri di sini,” kata Yordan. “Dekat-dekat
di sini,” Yordan menarik bahu Ros agar lebih mendekat
lagi. “Jangan jauh-jauh lagi dari saya ya, Ros. Malam
ini kita akan memotret wijaya kusuma yang sedang
mekar. Diam, diam saja,” kata Yordan saat Ros bersisian
dengannya. Keduanya mendapatkan kesempatan bersama
menjadi saksi mekarnya kembang langka itu. Yordan
merekamnya dengan hati berdebar-debar. Ros sangat
dekat di sisinya, dekat di jantung hatinya.
“Betapa bebasnya kehidupan bunga ini,” kata
Yordan.
“Mekar tanpa ada gangguan apapun. Pada malam
yang sunyi sepi.”
“Keharumannya benar-benar baru kurasakan se­
karang.”
“Bidan Ros…,” panggil Yordan perlahan.
“Ya, Dokter,” jawab Ros.
“Jika saya menjemputmu di Bajawa itu artinya saya
akan datang lagi?”
“Ya,” jawab Ros.
“Sekarang Ros dalam keadaan bebas bukan?”
“Ya,” jawab Ros.

500
“Saya mencintaimu, Ros. Saya sangat mencintaimu.
Terima kasih sudah memintaku menjemput di sini. Ma­
lam yang tidak terlupakan sepanjang hidup saya. Saya
sangat mencintaimu dengan segenap hati saya,” kata
Yordan sambil memeluk tubuh Ros dengan erat, tengah
malam di bawah rindang wijaya kusuma di teras depan
tempat praktik Bidan Yus.

***
“Terima kasih Dokter. Saya sudah tahu sejak pertama
kali bertemu di depan kamar nomor tiga. Saya mengerti.
Saya merasakannya. Saya juga mencintaimu, Dokter!”
kata Ros. Kepalanya disandarkan ke bahu Yordan.
“Mari masuk ke dalam rumah, sebentar lagi Mama pasti
bangun,” kata Ros. Ros berjalan lebih dulu dengan bunga
dan kamera di tangan, Yordan menyusulnya dengan tas
dan dos.
“Dingin sekali,” kata Yordan saat sudah masuk di
dalam rumah.
“Kotaku ini memang dingin siang maupun malam,”
jawab Ros sambil masuk kamar meninggalkan Yordan
dan keluar lagi beberapa saat kemudian. “Pakai ini,” kata
Ros. “Mantel ini akan membuat tubuh menjadi hangat,”
Ros menyerahkan mantel tebal berleher beludru hitam
untuk dikenakan Yordan. “Duduklah.”
“Kopi atau teh panas?”
“Teh panas saja.”
***

501
“Nona Bidan…Nona Bidan,” terdengar suara me­
manggil dan ketukan di depan pagar. “Nona Bidan,”
Ros segera bergegas keluar disusul Dokter Yordan.
“Oh, tetangga. Mat malam Om Tinus ada yang sakit ya
malam-malam begini?”
“Ya, Nona Bidan tolong. Bungsu badannya panas.
Ada obat penurun panas ya? Tolong lihat Bungsu dulu
ya,” kata Om Tinus yang tidak mau masuk ke dalam
rumah meskipun Ros sudah membukanya.
“Mat malam Om,” Yordan mengulurkan tangan.
“Kebetulan ada dokter. Ini Dokter Yordan baru saja
datang,” kata Ros. “Masuk dulu. Kami siap sebentar,”
ajak Ros. Om Tinus dan Yordan berdiri di depan rumah.
Ros mengisi kuntum wijaya kusuma dalam wadah berisi
air sebelum mengambil alat tensi, pengukur panas, dan
stetoskop dalam tas Yordan. Beberapa saat kemudian,
ketiganya langsung menuju rumah Om Tinus yang
letaknya terpisah dua rumah dari rumah Ros.
Malam itu, sepulang menolong pasien di rumah
tetangga, Yordan langsung tidur di kamar tamu yang
letaknya pada bagian paling depan rumah Ros. Ros
memaksanya tidur sebab Ros tahu Yordan menyetir
tanpa berhenti selama empat jam perjalanan.
“Jangan protes sayangku,” kata Ros. “Ada hal-hal
tertentu yang bidan lebih peka dari dokter. Tidurlah,
sekarang sudah jam dua pagi. Waktu tidur hanya tiga
setengah jam, sebab jam setengah enam paling lambat
semua penghuni rumah ini sudah bangun.”

502
“Ulang sekali lagi kalimatmu,” jawab Yordan dengan
wajah cerah.
“Kalimat yang mana?” tanya Ros.
“Yang tadi.”
“Yang mana?”
“Kalimat terakhir, sebelum kalimat ada hal-hal
tertentu yang bidan lebih peka dari dokter,” jawab
Yordan. “Cepat ulangi sekarang juga. Kalau tidak saya
tidak akan mau masuk kamar dan tidak akan mau tidur.”
“Kalau begitu pulang saja ke Puskesmas Flamboyan.
Selamat malam…” Ros langsung masuk ke kamar
sebelum Yordan sempat menangkap tangannya. Kamar
Ros letaknya pada bagian belakang, bersisian dengan
kamar praktik bidan. Dia menulis e-mail untuk Dokter
Stefanus dengan ringan dan bahagia.
Dokter Stefanus yang baik.…
Sudah lama saya tidak kirim kabar untuk Dokter.
Mudah-mudahan surat ini menemui Dokter dalam
keadaan sehat dan selalu dalam berkat Tuhan. Se­
bagaimana juga keadaan saya yang jauh lebih sehat dari
yang sudah-sudah.
Beberapa bulan terakhir ini saya menghadapi
masalah berat yang sifatnya lebih pribadi, karenanya
saya khawatir jika saya berbagi dengan Dokter hanya
menambah beban Dokter saja. Ternyata sulit juga
menghadapi masalah seorang diri ya Dokter. Dulu,
pada masa kuliah dan praktik dalam bimbingan Dokter,
Dokter pernah katakan bahwa dalam penanganan

503
persalinan, dalam menolong ibu dan bayinya, usahakan
sedapat mungkin buang jauh-jauh segala problem pribadi.
“Lapangkan pikiran dan hatimu, perhatikan dirimu
ada di lokus mana, yakinkan dirimu ada pada fokus apa.
Lakukan yang terbaik untuk menyelamatkan ibu dan
bayinya…” Ternyata kata-kata yang kuat dan hebat
ini tidak mudah dilaksanakan di lapangan. Betapa
sulit menempatkan kata-kata agar sebanding dengan
perbuatan. Barisan kalimat itu baru terasa maknanya
setelah berhadapan dengan kenyataan.
Kepala Puskesmas “memerintahkan” saya pulang
dan libur untuk memiliki waktu kosong yang tenang
mengatasi beban mental saya yang terkuras dari satu
masalah pribadi ke masalah pribadi lainnya. Terus terang
Dokter (saya harap Dokter sudah tahu cerita singkatnya
dari Kepala Puskesmas) putus pertunanganan yang
telah dibina lima tahun dan hancurnya taman Polindes
membuat saya terpuruk dan putus harapan. Rasanya saya
tidak ingin kembali lagi, rasanya saya ingin lari menjauh,
tetapi lagi-lagi saya berhadapan dengan pasien ibu hamil
dan bayinya.
Apakah saya sudah menerapkan ilmu lokus dan fokus
yang Dokter ajarkan? Saya tidak bisa menjawabnya.
Yang jelas, sekarang saya sedang cuti di rumah ibu saya.
Ibu saya seorang bidan tua, usia delapan puluh tahun.
Ibu saya bidan tertua dengan perjalanan pengalaman
jatuh bangun, susah senang, sukses dan gagal. Bidan tua

504
inilah salah satu guru kehidupan saya sebagai pribadi dan
guru profesi saya sebagai bidan.
Dokter…saya harap bisa membaca suratku ini
sampai selesai ya. Ada dua hal yang saya ingin bagikan
dengan Dokter. Pertama, tentang ibu saya. Bidan tua ini
bicara tentang kesetiaan pada pilihan dan kesetiaan pada
keputusan.
“Setia pada pilihan itu penting. Setia pada keputusan
juga penting. Bidan harus tahu memilih. Harus pasti,
tegas, dan berani ambil risiko,” demikian kata-katanya
yang menantang bagi saya.
Benar! Saya pikir kalimat-kalimat ini tidak lahir
begitu saja dari pikiran dan perasaan ibu saya. Kalimat
ini lahir dari seorang bidan yang kenyang dengan
pengalaman profesinya sebagai bidan. Saya pegang
pesan ini Dokter untuk dijadikan spirit profesional
pada jalan yang baru sejengkal saja saya lewati.
Apakah sama maknanya dengan lokus dan fokus yang
Dokter maksudkan? Maaf, karena saya berpikir untuk
menyambung pikiran Dokter dengan pikiran seorang
bidan tua, ibu saya. Lokus dan fokus bukankah itu salah
satu kendali dalam kesetiaan, keputusan, kepastian, dan
ketegasan?
Dokter…ibu saya juga bicara tentang filosofi dalam
bekerja. Bidan tua itu benar-benar teladan hidup saya.
Saya ingin berbagi soal ini dengan siapa saja. Dia ajak
saya menemukan hal ini dengan sangat sederhana. Dia

505
bicara berdasarkan pengalamannya mengantar ibu nifas
yang mengalami pendarahan. Bidan bersama seorang
dokter yang cinta KIA, dalam kendaraan, di atas jalan
selama dua jam yang terguncang-guncang karena rusak
parah. Kepalan tangan dokter menahan tampon di pintu
rahim, ibu sampai di meja operasi, ditolong, dan berhasil
selamat.
Tergetar hati saya mendengar ceritanya. Bidan yang
sudah tua renta ini, mengantarkan saya untuk mengerti
sampai pada harkat dan martabat ibu dan bayinya, harkat
dan martabat bidan, dokter, perawat, dan segenap tenaga
kesehatan…harkat dan martabat manusia.
Saya terharu. Saya jadi terkenang Dokter Yosep
Usen Aman yang pernah meyakinkan kami agar pa­
ling lambat dua hari sebelum hari H melahirkan ibu
hamil sudah berada sedekat mungkin dengan fasilitas
kesehatan. Dua hari setelah hari H melahirkan barulah
ibu nifas boleh pulang. Dia ingin sekali memastikan ibu
hamil melahirkan bayinya pada tempat yang aman dan
nyaman, sebagaimana kita bisa tidur nyenyak di atas
tempat tidur layak, harapannya agar ibu melahirkan juga
di tempat yang layak.
Itulah salah satu hal dari banyak hal tentang harkat
dan martabat ibu dan bayi yang dimaksudkannya. Di
mana Dokter Yosep sekarang? Apakah beliau masih
bekerja di Larantuka? Dokter pasti memiliki kesempatan
lebih banyak untuk bertemu dengannya, tolong sampai­
kan salam hormat saya padanya ya Dokter. Salam hormat

506
dari saya Bidan Desa yang mudah-mudahan tidak akan
terhapus dari benaknya.
Dokter Stefanus yang baik….
Pada masa kuliah dulu, Dokter pernah sampaikan
tentang bidan seperti kami ini juga calon-calon ibu yang
akan melahirkan pada saatnya nanti. Tugas pelayanan
ibu hamil, ibu nifas, bayi neonatus yang kami tangani
juga akan terjadi pada kami. Apa yang kami lakukan
pada ibu dan bayinya juga akan terjadi seperti itu pada
kami. Sebagaimana kami inginkan pelayanan terbaik,
sebaik itu pula yang harus kami lakukan pada setiap
ibu dan bayinya. Ketika itu saya merasa jauh sekali,
membayangkan sebuah kehamilan saja cukup kabur
bagi saya, apalagi melahirkan, dan menyusui bayi. Ini
menyangkut hal kedua yang ingin saya sampaikan.
Pada masa kuliah dulu Dokter pernah jelaskan ten­
tang bunga wijaya kusuma, simbol Bakti Husada. Bunga
yang hanya mekar pada waktu malam. Bunga dengan
keharuman yang tidak terlupakan. Hanya orang yang
memiliki kepekaan mendalam yang dapat mendengar
suaranya saat mekar. Hanya orang-orang khusus yang
memiliki nasib baik dan keberuntungan yang dapat
menyaksikan saat-saat mekarnya bunga itu dan langsung
menikmati keharuman yang terasa abadi.
Dokter, saya sudah mendapat kesempatan itu be­
berapa kali. Saya mendapat kesempatan lagi berdua
dengan Dokter Yordan. Ya, Dokter, kami berdua
menyak­sikannya bersama-sama, bahkan Dokter Yordan

507
sempat merekamnya, dan memetik bunga yang baru
mekar itu untuk saya. Indah sekali.
Boleh ya saya sampaikan pada Dokter. Keindahan
malam wijaya kusuma yang kami alami berdua lebih
meyakinkan saya mengenai pilihan dan keputusan. Saya
sudah memilih, Dokter. Saya sudah ambil keputusan
penting untuk kehidupan saya pada masa yang akan
datang. Dia seorang dokter yang bekerja sebagai Kepala
Puskesmas Flamboyan. Dokter Yordan. Dokter pasti
mengenalnya bukan? Saya sudah memilihnya untuk
menjadi suami saya. Saya yakin keputusan ini tepat sebab
saya memilihnya melalui perjalanan yang cukup panjang.
Saya memilihnya dalam keadaan bebas dari segala
tekanan. Saya memilihnya dalam keadaan benar-benar
bebas. Wijaya kusuma menjadi saksi dalam diamnya bagi
kisah kasih kami berdua.
Ini adalah sesuatu yang hebat bukan. Wijaya kusuma
adalah bagian dari hidup saya sejak dulu. Jauh sebelum
saya menjadi Bidan Desa. Jauh sebelum saya mengerti
makna filosofis dari lambang Bakti Husada yang
mewarnai pekerjaan saya sebagai bidan.
Jauh sebelum peristiwa indah malam ini, wijaya
kusuma seolah-olah bicara pada saya tentang tanggung
jawab pada pilihan dan keputusan apapun dalam hidup
ini. Dalam ketenangan, dalam sunyi dan sepi, yang
terbaik dan yang terindah, lakukan yang terbaik untuk
orang lain, pada saat itulah sesungguhnya kita sedang
melakukan yang terbaik untuk diri sendiri. Maaf ya

508
Dokter, saya jadi sentimentil. Saya pikir bukan karena
lagi jatuh cinta, tetapi karena cinta ini lahir dari sebuah
perjalanan panjang sebelum sampai pada pilihan dan
keputusan itu.
Dokter Stefanus yang baik.…
Saya akhiri surat saya ini. Mohon dukungan doanya
ya. Mudah-mudahan bersedia hadir di kampung saya
pada hari pernikahan saya dan Dokter Yordan nanti. Saya
akan pulang ke Polindes Bakung dua hari lagi. Setelah
libur satu bulan penuh, saya yakin sekali dapat memulai
lagi dengan semangat baru.
Saya seperti seseorang yang pulang untuk “nizu api”
atau panggang api di kampung halaman yang dingin.
Sebuah ungkapan untuk menjelaskan tentang cinta dan
kehangatan keluarga sebagai motivasi baru sebelum pergi
jauh. Terima kasih karena selalu bersedia menghargai
Bidan Desa seperti saya. Terima kasih juga karena sudah
membaca surat pribadiku ini. Salam dan doaku. Rosa
Dalima.
Menjelang pagi setelah e-mail terkirim, Ros tertidur
nyenyak dengan wajah yang tetap tersenyum sampai
ayam berkokok dan pagi tiba. Ada seseorang dalam
rumah ini yang siap diperkenalkan dengan ibu dan
saudara-saudarinya dengan hati gembira.

***

509
Berada di hadapan Mama Yus, kakak adik, dan
keluarga besar Rosa Dalima, Yordan merasa bahagia.
Penantian yang lama untuk mendapatkan hati Ros terjadi
di rumah itu. Rumah yang dikelilingi kehijauan daun
dan berbagai jenis bunga, tanaman obat keluarga, serta
keteduhan.
Penantian panjang itu kini sampai pada titik-
titik terang untuk masuk ke dalam rencana yang pasti,
lamaran dan rencana pernikahan. Dua hari di kota
kecil itu hubungan Ros dan Yordan ditandai dengan
pertemuan dan persetujuan keluarga inti Ros, ibu, dan
kakak adiknya.
Hanya dua hari, namun rasanya seperti dua bulan.
Cerita cepat menyebar dari seorang kepada orang lain,
di antara sanak-saudara, sahabat kenalan, rekan-rekan
sejawat, dan siapa saja. Hal itu menjelaskan bahwa
tidak ada seorang pun yang tidak tahu Bidan Yus yang
memiliki satu-satunya putri yang belum menikah, Bidan
Ros.
Tidak seorang pun yang tidak tahu bahwa Bidan
Ros mantan tunangan Adrian itu kini mendapatkan cinta
baru, Dokter Yordan Kepala Puskesmas Flamboyan yang
membawahi Polindes Bakung tempat Bidan Ros bekerja.
Termasuk Adrian yang mendengar kabar kedatangan
Dokter Yordan dengan geram. Ingin benar dipatahkan
leher laki-laki itu yang dirasakan sebagai saingan
terberatnya sejak dulu sampai sekarang. Dia tidak berani
datang bertemu sebagaimana layaknya laki-laki yang

510
dengan berani telah menyatakan putus, laki-laki yang
dengan berani menggandeng perempuan lain.
Adrian hanya berani menggunakan telepon, pada
saat Yordan dan Ros sudah pulang. Dalam perjalanan
pulang itulah telepon Adrian masuk untuk Yordan.
Yordan mengurangi kecepatan dan menghentikan ken­
daraannya di kiri jalan.
“Ya, ada apa?” Yordan terdiam. “Silakan buka ra­
hasia, semua rahasia, karena tidak ada yang rahasia
antara saya dan kekasih saya Bidan Ros. Bidan Ros sudah
tahu semuanya,” kata Yordan dan terdiam lagi.
“Kekasih saya ada di samping saya sekarang. Kami
berdua saja pulang ke Puskesmas. Saya tidak mau dia
diganggu atau terganggu dengan apapun karena ulahmu.
Jadi, tunggu saja ya. Ingat! Lukas sudah menjelaskan
semuanya, siapa otak di balik ulah Lukas selama ini.
Bukan hanya saya yang akan menghadapimu, tetapi
kekasihku ini yang akan menghadapimu dengan pasti,”
kata Yordan dengan keras.
“Jangan coba-coba ganggu kekasihku lagi. Kalau
kamu berani, kamu tidak hanya berhadapan denganku,
tetapi juga dengan warga Polindes Bakung. Mengerti!”
Yordan mematikan HP.
“Dari Kak Ian?” tanya Ros.
“Ya,” jawab Yordan.
“Jangan masukan ke hati kata-katanya ya. Semuanya
akan baik-baik saja,” Ros mengusap punggung Yordan
dengan pelan. “Pak Sopir harus tenang dan tetap

511
waspada karena jalan kita masih panjang. Mari kita pergi.
Sore ini kita mesti sudah sampai di Flamboyan. Janji mau
mengantarku sampai ke Bakung bukan? Ayoh….”
“Adrian mengancam akan membongkar rahasia,”
kata Yordan.
“Biarkan saja dia, jangan ditanggapi.”
“Dia ingin membuka rahasia.”
“Rahasia apa?”
“Surat yang kutulis itu, Matilda…,” jawab Yordan.
“Itu sudah berlalu,” jawab Ros sementara tangannya
tetap mengusah-usap punggung Yordan. “Tidak akan
membawa pengaruh apapun pada hubungan kita ini. Saya
sudah sampaikan bahwa jika saya memintamu jemput itu
artinya saya dalam keadaan bebas.”
“Ros…,” Yordan mengambil tangan Ros dan meng­
genggamnya dan membawanya ke hatinya. “Terima ka­
sih ya. Ros sudah menjadikan hatiku juga bebas untuk
mencintaimu. Ayoh kita jalan lagi. Bapa Desa, Mama
Sofia, Mina, Martin, dan kawan-kawan menunggu ke­
datanganmu. Mereka menunggu kita di Polindes.”

512
32
Jangan Takut, Ibu

Bidan Ros berdiri di sisi jendela. Tidak ada tanda-


tanda bahwa Polindes Bakung pernah menderita saat
semua anakan pohon, daun, dan bunga-bunga layu dan
rata dengan tanah. Bahkan wajah Polindes lebih indah
dengan cat baru sebagaimana yang direncanakan Ros
beberapa bulan lalu.
Ros dan Yordan diterima dengan musik suling, ta­
rian, dan nyanyian anak-anak sekolah di desa itu. Mina
dan Sofia menjadi pelopor dalam tarian selendang.
Begitu pula Martin, Dion, Magnus, Om Nadus, bahkan
Cekat dan Kekar dari desa tetangga juga hadir bersama
warga desa yang menyambut kembali kedatangan Ros ke
Polindes Bakung.
“Mama Bidan, jangan pergi,” kata Siu anak tetangga
depan Polindes. “Kalau Mama Bidan tidak ada sunyi
sekali. Mama bilang kalau Mama Bidan datang saya
bawa ubi rebus lagi.”
“Kalau Mama Bidan pergi, saya berhenti jadi kader,”
kata Mina dan Sofia.

513
“Saya juga berhenti bantu di Polindes,” kata Mia.
“Kak Martin juga berhenti.”
Ros tersenyum dengan hati gembira mengetahui
ber­bagai ungkapan sahabatnya di Bakung. Wajah
Polindes benar-benar baru menyambut kedatangan bidan
yang juga memiliki hati baru. Ketika Mama Gonz dan
Mama Falentina bercerita tentang pengakuan Lukas dan
Kesepakatan Keluarga Desa, Ros memperhatikan dengan
saksama dengan komentar singkat.
“Apa saja yang kita lakukan, baik ataupun buruk
pada saatnya nanti akan kembali pada kita juga,” itulah
pelajaran berharga yang sudah tertanam sejak kecil
ketika dirinya mulai membantu ibunya menolong
persalinan di tempat praktik.
Dia tinggalkan jendela saat terdengar suara HP
memberi tanda ada SMS masuk. “Ros ada di mana?
Saya akan ke Bakung sore ini. Program vasektomi di
Puskesmas Flamboyan,” SMS dari Vero untuk Ros.
“Ketemu di Flamboyan. Besok pagi saya datang
antar pasien rujukan. Pasien dengan riwayat sesak
napas,” balas Ros.

***
Bidan Vero dan Dokter Mersi yang ditugaskan
Dinas Kesehatan, Pak Bruno dan Dokter Henny dari
BKKBN menginap di Susteran bersama semua calon
vasek­tomi. Mereka akan menginap semalam karena

514
besok pagi vasektomi di Puskesmas Flamboyan oleh
Dokter Mersi dan Dokter Yordan. Menurut Pak Bruno
peserta seluruhnya 67 orang berasal dari kelurahan dan
desa-desa se-Kecamatan. Mereka adalah peserta yang
sudah mendaftarkan diri dengan pendekatan khusus.
“Bisa datang sore ini? Bantu saya! Bawa materi Kerja
Sama Pasutri dalam Membangun Keluarga Sehat dan
Sejahtera,” SMS dari Vero.
“Dokter Mersi tentang KB dari Sisi Medis. Pak
Bruno tentang Kebijakan Pemerintah tentang Keluarga
Berencana. Dokter Henny menjelaskan tentang KB dan
Pemberdayaan Keluarga Sejahtera,” panjang benar SMS
dari Vero.
“Ambil kisah nyata saja. Ada kader yang ber­
pengalaman,” balas Ros.
“Siapa? Apakah bisa datang ketempat pertemuan.”
“Minta Dokter Yordan hadirkan Om Nadus, kader
dari Polindes Bakung.”
“Ros tidak bisa datang?”
“Pasien dirujuk ke Puskesmas besok pagi. Kita
ketemu di Puskesmas,” SMS dari Ros. “Apa kabar Dokter
Yordan?” SMS dari Vero. “Kalau ketemu di Flamboyan
atau Bakung bisa tahu jawabannya,” jawab Ros.
“Sudah benar-benar jatuh cinta? Sudah jadi?” SMS
dari Vero.
“Di rumah Mama di Bajawa, Wijaya Kusuma mekar
di hadapan kami berdua.…”

515
“Petik?”
“Tanya Dokter Yordan.”

***

“Empat puluh tujuh orang yang dipastikan hadir.


Mereka sudah hadir dalam aula,” Vero memasuki
ruangan pertemuan. “Acara sudah akan mulai. Sampai
besok. Salam dari Yordan,” SMS dari Vero langsung
ditanggapi. “Sampaikan ke Yordan tidak perlu salam
melalui perantara. Bukankah besok kami bertemu
berdua?” Balas Ros. “Sudah jawab ya sama Yordan?
Tanya Vero. “Amin,” jawab Ros.
“Bukan enam puluh tujuh?” tanya Dokter Mersi.
Vero memasukkan HP ke dalam tas.
“Dalam program yang saya tangani ini dari tahun
ke tahun sama. Jumlah peserta yang datang seringkali
berkurang jauh dari peserta yang sudah mendaftarkan
diri,” jawab Pak Bruno.
“Kemungkinan akan berkurang lagi,” sambung Vero.
“Biasanya begitu,” kata Pak Bruno.
“Meskipun sudah hadir pertemuan?” tanya Dokter
Mersi.
“Kita harus upayakan agar tidak banyak yang kabur!”
kata Dokter Henny.
Acara dimulai dengan sambutan pembukaan dari
Pak Camat. “Saya sangat berterima kasih dan menjunjung
tinggi partisipasi bapak-bapak yang rela mendukung

516
program pemerintah dalam hal KB,” suara Pak Camat
ditanggapi dengan tanpa ekspresi oleh peserta. Mungkin
di antara peserta ada yang menggerutu.
“Pak Camat bisa kah? Kasih contoh sebagai peserta
vasektomi?” Suatu hal yang sangat sulit dimengerti
peserta dari desa jika dimulai dengan kalimat mendukung
program.
“Berdasarkan Undang-undang tentang KB yang
didengungkan berulang-ulang oleh yang terhormat
Bapak Bupati…” Suara Pak Camat melayang-layang
diterbangkan angin dan gelegar guntur yang memberi
tanda akan segera turun hujan lebat.
“Kita harus mampu membuktikan bahwa partisipasi
KB pria di kabupaten kita ini akan meningkat sepuluh
persen, cukup sepuluh persen per tahun sudah sangat
luar biasa. Saya harap kecamatan kita akan menjadi
kecamatan contoh. Hal ini menyangkut kredibilitas,
integritas, dan kualitas…,” suara Pak Camat kembali
melayang.
Bagaimana mungkin kata-kata seperti ini sampai
ke kepala dan hati petani sederhana ini yang sehari-hari
berhadapan dengan tanah, parang, dan cangkul? Vero
memperhatikan wajah-wajah yang berada antara tidak
mengerti dan tidak mengerti. Masih panjang kata-
kata Camat menembak dengan peluru karet, Vero yakin
semua peserta pasti pingsan dan kata-kata tentang KB
ikut terjerembab.

517
“Bapak Bupati sering bertanya-tanya mengapa
partisipasi pria dalam hal KB sangat rendah…,” suara
Pak Camat mungkin saja disambung dengan pertanyaan
yang sama. “Pak Bupati juga berani vasektomi?” selan­
jutnya peserta akan menghilang satu per satu.
Ternyata, memang benar! Malam itu peserta ber­
kurang sebelas orang lagi. Mereka pulang diam-diam
tanpa pemberitahuan sehingga yang akan ke Puskesmas
tinggal tiga puluh enam orang. Materi yang disajikan
pemateri mendapat tanggapan cukup baik dari peserta.
Metode diskusi, tanya jawab, simulasi, dengan dukungan
gambar-gambar, film, cerita, dan lagu cukup menggugah,
namun tidak sanggup menghentikan langkah sebelas
orang yang lari diam-diam meninggalkan tempat per­
temuan.
“Ibu…vasektomi itu berat,” kata Pak Bruno. “Saya
juga tidak yakin apakah saya berani atau tidak duduk di
tempat mereka sebagai peserta KB.”
“Kenapa Pak?” tanya Bidan Vero.
“Aduh kami bapak-bapak ikut KB, kah?” jawab Pak
Bruno.
“Bukankah ini program yang diperjuangkan Pak
Bruno dan kawan-kawan?”
“Itu sudah,” jawab Pak Bruno. “Kami hanya jalani
pekerjaan kami…berhasil atau tidak entahlah. Mudah-
mudahan berhasil. Lumayan ada 36 orang peserta
vasektomi tahun ini.” Vero mengerti satu hal soal mindset
masyarakat dari tingkat RT, RW, dusun, kecamatan,

518
kabupaten, provinsi, lokal, nasional, bahkan global
ten­tang kehamilan. Kehamilan selalu identik dengan
perempuan! Itu kodrat. Menyusui itu juga kodrat!
Sayangnya, kehamilan dan persalinan sehat, ibu sehat,
bayi dan balita sehat juga menjadi tanggung jawab yang
dipandang sebagai kodrat perempuan. Bukan urusan
laki-laki. Karenanya, tidak heran jika banyak suami lari
pontang-panting pada detik-detik menuju waktu untuk
divasektomi.
“Saya malu sekali kalau ada teman yang kebetulan
lewat depan hotel dan lihat saya ada duduk menganga
di sini,” kata seorang calon peserta vasektomi di kota
beberapa waktu lalu.
“Makanya saya sembunyi dalam kamar.”
“Operasi di Puskesmas, kah? Aduh, bagaimana kalau
ketemu orang yang kita kenal. Muka mau taruh di mana?
Aduh, lebih baik kabur! Lain kali saja!” Demikianlah
beberapa kata dari banyak calon peserta yang kabur
dari rencananya untuk divasektomi. Situasi yang
menunjukkan betapa sulitnya menaikkan persentase KB
pria.
Menangani KB untuk istri saja masih menunggu
keputusan suami untuk ya ya ya atau tidak tidak tidak,
apalagi menangani KB pria. Segalanya menjadi tidak
mudah ketika alasan-alasan mendasar tidak digali lebih
dulu. Segalanya menjadi lebih sulit ketika pendekatan
yang dilakukan tidak disertai penggalian akar terdalam
dari penolakan demi penolakan.

519
“Terdaftar 60 datang 47 menghilang tadi malam 11
sisa 36,” SMS dari Vero.
“Cerita lama,” balas Ros.
“Pukul berapa tiba di Puskesmas?” SMS dari Vero.
“Tunggu saja,” balas Ros.
“SMS ya kalau sudah sampai.”

***

Peserta tetap tinggal di Penginapan. Mereka dibawa


ke Puskesmas berdua-dua untuk menghindari terjadinya
pengaruh untuk tetap menjalani vasektomi atau kabur.
Peserta yang sudah divasektomi akan keluar melalui
pintu berbeda dan diupayakan untuk tidak bertemu
dengan peserta yang sedang menunggu giliran.
“Pasti keluar ruang operasi dengan wajah meringis
menahan sakit dan perasaan sudah divasektomi sulit
di­jelaskan dengan kata-kata yang tepat selain oleh
beliau yang mengalami sendiri. Situasi ini sangat ber­
pengaruh pada peserta berikutnya,” penjelasan Pak
Bruno ini bukan berdasarkan teori-teori tertentu, tetapi
berdasarkan kenyataan yang sudah dialaminya setiap kali
ada kegiatan vasektomi.
“Peserta pun tidak kembali ke penginapan, tetapi
langsung pulang ke rumah dan urusan administrasi
dilakukan segera setelah vasektomi.”
“Saya dalam perjalanan,” SMS dari Ros.

520
“Ternyata hanya tiga belas orang yang bertahan
sampai selesai. Dua puluh tiga orang kabur sebelum
dijemput di penginapan,” balas Vero.
“Lumayan banyak ada tiga belas peserta KB pria,”
SMS dari Ros.
“Dari 65 jadi 47 jadi 36 jadi 13 apakah ini sukses?”
balas Vero.
“Sukses besar! Ketemu di Puskesmas,” jawab Ros.
“Ya.”

***

Vero terheran-heran melihat Puskesmas Flamboyan


dengan wajahnya yang jauh berbeda dari wajah
Puskesmas yang dulu. Hijau, segar, bersih, dan nyaman.
Itulah kesan pertama yang mengena di hati.
Di pintu depan Puskesmas rimbun tanaman keladi
berwarna dengan dominasi hijau dalam pot-pot yang
ditempatkan lebih tinggi dari wadah memanjang yang
dibuat dari tumpukan batu diperkuat dengan semen.
Dalam wadah itu –Vero lupa namanya - kembang rambat
merah, merah muda, putih, tumbuh subur jatuh sampai
hampir menyentuh tanah.
Sepanjang jalan setapak menuju pintu samping
Puskesmas tempat pasien keluar masuk untuk rawat
jalan maupun rawat nginap pun ditumbuhi dan ditata
bunga-bunga. Pada sisi kiri pintu samping ditempatkan
dalam tiga tingkat penyangga wijaya kusuma yang subur

521
dengan bunga yang menjulur. Demikian pula wijaya
kusuma yang digantung menghiasi sepanjang ujung-
ujung atap. Daunnya subur dan jatuh ke bawah dengan
bunga-bunganya yang rindang dan tampak menguncup
sepanjang waktu.
Di sana-sini ada polibek tersusun rapi dengan
berbagai jenis bibit sengon, jati emas, mahoni, coklat,
mangga, dan lain-lain. Di antara segalanya wijaya
kusuma mendominasi karena tempatnya lebih tinggi.
Semua pengunjung Puskesmas sudah tahu bahwa bunga
ini adalah bunga simbol Bakti Husada. Bunga ini hanya
mekar pada waktu malam.
Kecubung tumbuh subur dalam wadah besar yang
ditempatkan di keempat sudut Puskesmas. Berbagai
jenis bunga menghiasi Puskesmas, rumah kapus, rumah
dinas, dan mess Puskesmas. Berbagai jenis tanaman obat,
seperti: jahe, serai, kunyit, daun sirih, kumis kucing, dan
lainnya menempati bagian terbuka membatasi Puskesmas
dengan rumah dinas pegawai di belakangnya.
Kembang sepatu putih, merah, orange, dan kuning
berbunga pada beberapa tempat di antara pagar Puskes­
mas. Tanaman obat juga berjejer di depan pagar bagian
dalam. Teras rumah Kapus dipenuhi aneka bunga dalam
pot dengan keladi berwarna-warni dalam pot besar pada
sudut kiri dan kanan.
Depan rumah Kapus dipenuhi anakan mahoni,
jati, dan coklat. Sepanjang plang teras bergantung
wijaya kusuma yang dipelihara dengan baik. Kebun

522
samping kiri ada singkong, kacang panjang yang baru
berbuah, terong, dan satu bedeng kangkung dan satu
bedeng bayam. Kecubung dan rambatan daun sirih
tumbuh berdampingan di sudut mess kamar nomor tiga.
Sepanjang teras mess wijaya kusuma bergantung di dalam
pot berwarna-warni. Daunnya subur dan bunganya
menjulur dari sudut daun, jatuh ke bawah.
“Wajah Puskesmas adalah wajah kepalanya,” kata
Vero saat duduk bersama Ros di depan kamar nomor
tiga. “Ternyata Dokter Yordan juga pencinta taman,
daun, dan bunga ya?” kata Vero sambil duduk santai
di samping Ros menunggu para dokter dan petugas
vasektomi serta tim lainnya di ruang pertemuan.
“Kamar ini disiapkan khusus untuk bidan desa
atau petugas kesehatan lainnya kalau ada urusan di
Puskesmas,” kata Ros yang merasa berbunga-bunga
mendengar kata-kata Vero.
“Wijaya kusuma ini…” Vero menyentuh salah satu
kembang yang sedang kuncup. “Apakah Dokter Yordan
mengerti dan merasakannya?” tanya Vero. Ros tidak
menjawab. Perasaannya mengatakan bahwa alangkah
tenangnya jika berada dalam satu lingkungan yang
bercerita melalui mata, hati, dan pikiran … “Ya Dokter
Yordan mengerti dan merasakannya,” kata Ros dalam
hatinya.
“Pasien yang dibawa dari Polindes sudah me­
lahirkan?” tanya Vero.

523
“Untuk cepat dirujuk dan ditolong di sini,” jawab
Ros. “Ada riwayat sesak napas.”
“Anak ke berapa?”
“Pertama, laki-laki. Persis ayahnya,” Ros tidak
bercerita bahwa Lukas adalah ayah anak itu. Yuli istrinya
melahirkan ditolong Ros. Ros menjaganya sepanjang
perjalanan dari Polindes Bakung menuju Puskesmas
Flamboyan.
“Jangan takut, Ibu. Ibu akan melahirkan dengan
selamat, percayalah,” kata Ros sambil menggenggam
tangan Yuli. Lukas mengikuti dengan motor di belakang
kendaraan yang dibawa Martin.
“Tolong, istri saya Ibu Bidan,” demikian satu kalimat
yang diucapkan Lukas sebelum tertunduk dan tidak
pernah mengangkat wajahnya lagi di hadapan Ros. “Ibu
Bidan pasti tolong Yuli. Biar suaminya buat ulah segala
macam, Ibu Bidan tetap tolong,” Sofia yang menjawab.
“Dasar kribo tukang buat onar!” kata Sofia lagi.
“Sudahlah, Mama Sofia, semuanya pasti akan baik-
baik saja,” kata Ros. Sejak awal Ros sudah menyampaikan
kepada petugas Polindes untuk melayani Yuli istri Lukas
dengan baik.

***

“Kenapa diam?” tanya Vero.


“Ingat perjalanan dari Polindes,” jawab Ros.
“Ngebut dari Polindes?”

524
“Ya, untung ada Om Martin. Om Martin sendiri
yang nyetir.”
“Martin teman Dokter Yordan itu?” tanya Vero.
“Ya, teman Pak Gebi juga. Mereka satu angkatan
dan satu kampus di Surabaya?”
“Ya betul!”
“Bagaimana hubunganmu dengan Pak Gebi yang
dipanggil Biel itu?”
“Bagaimana hubunganmu dengan Dokter Yordan
yang dipanggil Ojan itu?”

***

“Selamat sore…,” Yordan berdiri di samping Gebi.


Rosa dan Vero serentak berdiri.
“Bidan Ros ini draf Kesepakatan Keluarga Desa
yang disusun Martin dan teman-teman di Polindes
Bakung. Hampir semua aspek ada dalam draf ini. Luar
biasa mereka,” kata Yordan sambil duduk di kursi yang
dikeluarkan Kosmas dari kamarnya.
“Hai,” Ros menerima draf sambil mengucapkan
salam untuk kedatangan Gabriel. “Terima kasih,” katanya
pada Yordan. “Jemput Vero ya?” Katanya pada Gabriel.
“Besok pagi saja. Malam ini silakan nginap di depan. Saya
dan Vero di sini.”
“Sesuai rencana,” kata Gebi yang duduk di samping
Vero.

525
“Sebentar ya,” Ros masuk ke dalam kamar dan me­
nutup pintu. Di luar Lina dan Kosmas bergabung dan
mereka bicara tentang KKD atau Kesepakatan Keluarga
Desa yang telah dirancang.
“Rancangan akademis yang dibuat Ros dan Yordan
terkesan ilmiah sekaligus menyentuh. Sangat beralasan
perdes ini ada,” kata Gabriel.
“Dari sisi hukum KKD ini memiliki kekuatan
jelas. Terbaca juga aspek norma dan nilai-nilai yang
ditemukan oleh masyarakat desa sendiri. Ini benar-benar
kesepakatan yang biasa kita sebut dalam bahasa umum –
dari, oleh, dan untuk rakyat. Benar-benar dari, oleh, dan
untuk rakyat, bukan main-main. Ini original, asli, bukan
dimulai dari copy paste. Bisa langsung disahkan.”
“Sudah diuji coba, sudah dipakai dalam menangani
masalah,” sambung Yordan.
“Perusakan taman Polindes?” tanya Gebi. “Hebat
sekali. Bagus sekali. Sepanjang dapat diselesaikan sendiri
oleh masyarakat desa, setiap masalah pasti berakhir
dengan baik sesuai kesepakatan keluarga. Itu yang
penting.”
“Aspek pemberdayaan masyarakat mendominasi
KKD ini,” kata Yordan lagi.
“KKD ini juga sangat menolong pemulihan masalah
yang terjadi di desa. Semua warga desa mendukung
persalinan selamat. Baru saja salah satu ibu melahirkan di
sini. Ibu Yuli istrinya Lukas yang saya ceritakan padamu,
melahirkan di sini. Ya tentu saja berkat bidan desa juga.

526
Khusus bidan desa yang manis, Bidan Ros,” kata Yordan
dengan wajah ceria.
“Bicara tentang Polindes?” tanya Vero.
“Ya.”
“Itu yang utama. Sebab di desa tidak ada Puskesmas
PONED, tetapi Polindes Bakung termasuk PONED
karena bidannya cepat, tepat, dan segera. Bidan yang
selalu berlari menemui dokter sebab hanya dokter
yang dapat meyakinkannya. Apalagi dia tahu pasti apa
yang mesti dilakukannya bersama dokternya. Dia akan
menjadi bidan yang bebas lahir maupun batin,” kata
Yordan.
“Ojan,” panggil Gebi. “Ada sesuatu yang terjadi
denganmu. Wajahmu cerah ceria, seperti ABG yang baru
jatuh cinta. Ada kabar baik? Ha ha ha,” Gebi tertawa
terbahak-bahak. “Aku tahu, aku sudah tahu. Sudah, tidak
usah dijelaskan lagi, aku sudah tahu!” Keduanya saling
menghantamkan tangan dengan keras.
“Saya juga sudah tahu!” Vero berdiri dan bergabung
dengan kegembiraan yang sama.
“Bidan Ros terpilih sebagai Bidan Teladan?” Jawab
Yordan.
“Bukan!” Yordan dan Vero serentak menjawab.
“Kalau tentang itu, kami semua sudah tahu, Dokter!”
Kosmas menyambung.
“Ya, kami semua sudah tahu,” Lina menyambung.
“Ros dan Yordan siap menikah! Saling jatuh cinta!”
Semua mereka bertepuk tangan dengan gembira. Tawa

527
ria di tengah kegembiraan Puskesmas Flamboyan. Semua
senang, bahkan bunga-bunga pun ikut bahagia.

***
Rosa menarik napas panjang. “Kesepakatan Keluarga
Desa?” Baru saja dia bersama Om Martin dari Polindes
Bakung. Sepanjang jalan keduanya bersama ibu bumil
yang akan melahirkan. Om Martin tidak banyak bicara
itu biasa. Memang demikianlah sifat Martin. Martin
tidak berikan kepadanya draf KKD. Kenapa? Ros
merasa Martin tahu bahwa dirinya sudah mengambil
keputusan itu. Ros sudah memilih Yordan dan Martin
merasa kecewa? “Maaf ya Om Martin,” kata Ros sambil
memejamkan matanya sejenak.
“Boleh pinjam?” terdengar suara Vero.
“Nanti dulu. Kalau sudah disahkan ya,” kata Yordan.
“Kalian berdua saya undang datang ke Polindes Bakung
nanti. Sudah dibahas bersama kades dan camat untuk
pengesahan KKD melalui sebuah pertemuan di aula SD
yang berhadapan dengan Polindes Bakung.”
“Pinjam untuk dibaca saja,” kata Vero.
“Kalau Ros izinkan silakan bawa. Ros juga pegang
draf dari Martin,” kata Yordan.
“Ros…,” panggil Vero. Rosa segera keluar. “Pinjam
draf KKD untuk baca saja.”
“Pak Gebi punya juga. Pinjam dia saja!” kata Ros.
“Kalian berdua sekamar jadi bisa dibaca. Terutama
naskah akademis.”

528
“Kita baca yang ini ya,” Ros merampas dengan ha­
lus KKD di tangan Yordan. “Pada saya hurufnya kurang
terang. Yang ini saja,” katanya menyembunyikan pe­
rasaan sesungguhnya.
“Oke!” kata Yordan.”Untukmu semuanya bisa di­
ambil dari saya,” Dalam hatinya Yordan merasa bahwa
Ros tidak memiliki draf dari Martin. Martin belum
memberikannya untuk Ros, mungkin karena guncangan
yang dialaminya. Yordan sangat memahaminya. “Harus
ada pilihan dan Ros sudah memilih. Maaf ya Martin,”
kata Yordan dalam hati. “Ini kesempatan saya bukan
kesempatanmu.”
“Untukmu Ros, semuanya bisa diambil,” Vero spon­
tan berdiri. Gebi, Kosmas, Mina pun berdiri. “Sela­mat ya
buat kalian berdua. Cepat sampai ke pelaminan ya,” kata
Vero.
“Saya sudah sangat tidak sabar,” kata Yordan dan
semua mereka tertawa gembira. Beberapa saat kemudian
SMS masuk dari Sitti, Theresia, Nining, dan Linda
mengucapkan selamat untuk Ros dan Yordan.
“Segera nikah pada kesempatan pertama. Tidak ada
waktu untuk tunda,” SMS dari Sitti.
“Dokter dan Bidan pasangan serasi Ros dan Yordan
pasangan yang lebih serasi lagi. Cepat nikah,” SMS dari
Theresia.
“Dokter Yordan ya? Puji Tuhan akhirnya temanku
dapat pasangan yang tepat. Kalau boleh nikah hari ini
jangan tunda sampai besok he he he,” SMS dari Linda.

529
“Tembak langsung saja. Tidak ada waktu untuk
pacaran. Selamat ya temanku yang baik hati. Aku senang
sekali. Jangan toleh ke belakang ya. Salam sayang,” SMS
dari Nining.

***

Malam itu berlalu dalam kesunyian yang tidak


biasa. Rosa tidak dapat tidur sementara Vero tidur
nyenyak di tempat tidur lipat yang terbuka di sudut lain
dari kamar nomor tiga itu. Ros merasa bersalah pada Om
Martin, tetapi dia juga tidak merasa bersalah. Dia hanya
memilih sebagaimana dia memilih. Mengapa memilih
Yordan ya? Mengapa bukan Martin? Angin semilir
meng­getarkan pintu kamar dan daun jendela.
“Perlukah saya bicara dengan Martin soal ini?”
Ros menarik napas panjang dan berkata dengan dirinya
sendiri untuk tidak perlu bicara. Ros merasa yakin bahwa
pada saatnya nanti Martin akan menemukan seorang
yang tepat. Martin pasti menemukan seorang yang
cocok untuk menjadi pendamping hidupnya. Laki-laki
yang baik dan bertanggung jawab seperti Martin akan
mendapat jodoh yang dikirimkan Tuhan untuknya.
“Maaf ya Om Martin. Saya sudah memilih Yordan.
Bukan karena saya menolakmu,” kata Ros dalam hatinya.
Ros tidur terlentang menatap langit-langit kamar.
Yordan juga melakukan hal yang sama dalam
kamarnya. “Saya akan bicara dengan Martin tentang ini.

530
Martin mesti tahu. Martin pasti mendukung saya dan
Ros,” kata Yordan sebelum terlelap. Yordan yakin pada
pilihan dan pikirannya.

531
33

Mawar dari Polindes Bakung

B
“ idan teladan.” Rosa merasa predikat ini terlalu
tinggi untuknya seorang bidan desa. Mulai dari bi­
dan teladan kecamatan, teladan kabupaten, dan kini
teladan provinsi. Dia berada di tengah seminar yang
diselenggarakan khusus untuk semua teladan bidang
kesehatan seluruh Kabupaten di NTT.
SMS untuknya datang dari Mama Gonz, Mama
Falentina, Mama Sofia, Mina, Kepala Desa, Om Lipus,
Mia adik Om Tinus, kedua orang tua Siu, Cekat, Kekar,
Om Nadus, Om Simon, Dion, Magnus, keluarga Frans
dan Mama Ani, pengurus Desi, ketua Posyandu Desa,
semua paramedis dan karyawan Puskesmas Flamboyan,
Kadis Kesehatan Kabupaten, para kabid di Kabupaten,
IBI Kabupaten dan Provinsi, teman-teman kader KB,
ketua kaum muda Paroki, Pastor Paroki, dan sejumlah
nama lain yang tidak dapat diingatnya satu-persatu.

532
“Belum ada SMS dari Om Martin,” Ros menarik napas
panjang. “Maaf ya Om Martin.”
“Salam Bahagia Bidan Teladan NTT dengan Bonus
Kepala Puskesmas ganteng,” SMS dari Nining.
“Hei bukan bonus, tetapi hadiah utama,” Ros lang­
sung balas.
“Dapat calon suami dapat teladan. Kuucapkan se­
lamat dengan tulus hati. Salam untuk Doktermu,” SMS
dari Sitti.
“Jangan lama-lama lagi. Pulang dari Kupang -
Jakarta – Kupang langsung nikah ya. Awas, kalau berani
putus. Salam Bidan Teladan,” SMS dari Vero.
“Sudah ada signal kuat dari CINTA. Vero jadi
penghias kamar pengantin ya. Cium manis sekali,” balas
Ros.
“Ketemu di Kupang bidan teladan cantik. Cepat
nikah dengan Doktermu,” SMS dari Linda.
“Datangnya kalau kami nikah,” balas Ros.
“Kalian berdua pasti datang juga kalau kami
menikah,” SMS balasan dari Linda.
“Hei, hei, mau nikah dengan siapa?” balas Ros.
“Ada, pasti mengejutkanmu,” balas Linda.
“Salam sukses dari ibu hamil yang baru hamil.
Mudah-mudahan anak perempuan. Kalau anak perem­
puan akan kunamakan Rosa Dalima,” SMS dari Theresia.
“Dengan senang hati aku akan menolongmu
melahirkan. Kalau teriak kucubit lemakmu di pangkal

533
paha. Ingat penampilanmu harus bersih, mulus, dan sehat
luar dalam,” balas Ros sambil tertawa.
Selanjutnya, untuk Vero, Theresia, Nining, Sitti,
dan Linda, kelima temannya Ros mengirim foto kem­
bang wijaya kusuma yang mekar pada tengah malam
di halaman rumahnya. Hanya satu kuntum dalam
genggaman tangan seseorang.
“Indah dan cantik sekali. Coba terka tangan siapa
yang memetik bunga wijaya kusuma di tengah malam?”
“Tangan malaikat dari Sungai Yordan,” jawab
Nining.
“Sepertinya tangan laki-laki. Yordan ya? Hebat
bukan main jika dia bisa petik wijaya kusuma yang
sedang mekar. Berbahagialah,” SMS dari Vero.
“Yang pasti tangan manusia malam yang lagi jatuh
cinta. Siapa ya?” SMS dari Theresia.
“Setelah kucermati dengan hatiku yang paling
dalam. Itu tangannya seseorang yang memberi bunga itu
untukmu. Pasti tangan doktermu,” SMS Sitti.
“Nona Bidan harus segera jelaskan tangan siapa itu.
Di mana, kapan, dan dalam rangka apa,” SMS dari Linda.
Ros tertawa dengan hati gembira.
“Kudoakan calon suami terbaik untukmu Bidan
Linda,” SMS dari Ros.
“Jangan terkejut jika aku dapatkan laki-laki terbaik
itu,” SMS dari Linda.

534
SMS masuk lagi, dari Lukas. “Dengan permohonan
maaf dan terima kasih yang sebesar-besarnya, kami
bertiga ucapkan selamat untuk Bidan Teladan. Dari
Lukas, Yuli, dan bayi kami Andreas.”
“Terima kasih juga. Tuhan pasti memberkati.
Salam dari Kupang,” balas Ros dengan segera. Saat dia
mengangkat wajah, Yordan dan Martin ada di depan
pintu. Yordan memberi tanda agar Ros mendekat.
“Acara akan dimulai,” kata Ros. “Sebentar saja,”
jawab Yordan.
“Ada di Kupang?” Ros menerima salam dari Martin.
“Bidan teladan. Sukses ya,” kata Martin. “Ini kado­
nya,” Martin menyerahkan satu bungkus kado berwarna
hijau tua dengan bunga-bunga kecil berwarna merah dan
kuning.
“Terima kasih Om Martin,” jawab Ros dengan
segenap hatinya.
“Martin ada urusan dengan dagang dan industri,”
kata Yordan. “Ada pelatihan apa, teman?” tanya Yordan.
“Pelatihan boleh pelatihan, sibuk boleh sibuk, tetapi
jangan lupa cari jodoh,” Yordan meninju bahu Martin
dan Martin menangkisnya.
“Kita buktikan nanti, siapa yang lebih hebat dari
kita berdua,” keduanya tertawa. Ros merasa dirinya yang
diperebutkan. “Mudah-mudahan Martin tetap menjadi
sahabat yang baik untuk selamanya,” katanya dalam hati.

535
“Selamat ya,” Kata Martin sebelum diantar Yordan
kembali ke mobil yang diparkir tidak jauh dari tempat
pertemuan. Ros memperhatikan dari jauh dua laki-laki
yang baik hati. Keduanya telah menemaninya dalam
menjalani hari-harinya yang berliku-liku di Polindes dan
Puskesmas. “Terima kasih, Om Martin,” katanya sebelum
masuk ke dalam ruangan.

***

Di layar LCD Kepala Dinas Kesehatan sedang


memaparkan cerita keberhasilan berbagai upaya ten­
tang kesehatan ibu dan anak dengan singkatan KIA.
Pelayanan KIA diutamakan pada kegiatan pokok, sebagai
berikut. “Peningkatan pelayanan antenatal sesuai standar
bagi seluruh ibu hamil di semua fasilitas kesehatan atau
faskes,” layar pertama.
“Polindes Bakung dan Puskesmas Flamboyan sela­
manya,” SMS dari Yordan yang duduk dalam kelompok
para dokter. Rosa tidak membalas.
“Peningkatan pertolongan persalinan oleh tenaga
kesehatan,” layar kedua.
“Karena bidannya cerdas, cekatan, dan cinta wijaya
kusuma,” SMS dari Yordan. Rosa tidak membalas.
“Peningkatan pelayanan bagi seluruh ibu nifas sesuai
standar di semua fasilitas kesehatan atau faskes,” layar
ketiga.

536
“Para bidan adalah ujung tombaknya. Kalian harus
menjadi yang terbaik dalam membawa ibu hamil datang
ke faskes, apapun tantangannya,” Pemateri memberi
catatan tambahan.
“Tiada seorang pun yang tahu betapa penderitaan
yang Nona tanggung di tengah hutan,” SMS dari
Yordan. Rosa tidak membalasnya.
Rosa tercenung. Ia sudah membuang jauh-jauh ke­
nangan itu. Berada di tengah hutan bersama seorang
pemuda yang menatapnya dengan mata merah menyala.
Adik kandung Om Nadus itu masih membencinya
sebagaimana Om Simon dan keluarga membencinya
setengah mati. Dengan sekuat tenaga Ros dibanting ke
tanah. Ros tetap berteriak dan berontak sekuat tenaga
juga. Sekali lagi ia berteriak sampai habis.
Sayup-sayup terdengar suara motor mendekat.
Kedua tangannya ditarik menjauh ke dalam hutan.
Dengan sisa tenaganya Ros berteriak sekali lagi. Semen­
tara laki-laki itu yakin tidak ada seorang pun yang
mendengarnya. Dia baru sadar beberapa saat kemudian.
Di hadapannya ada Om Martin dan Mina.
“Pelakunya kami ikat di pohon itu!” kata Om Martin.
“Untung kami dengar teriakan Nona Bidan,” kata
Mina.
“Sebentar lagi ditangkap,” kata Om Martin. “Mina
dan Nona Bidan di sini. Saya akan ke kampung panggil

537
Kepala Desa dan beberapa orang untuk saksi. Satu jam
sudah kembali.”
“Untung laki-laki kurang ajar itu belum sempat
laksanakan niatnya. Nona Bidan masih aman,” kata Mina
lagi. Ros menahan kepergian Om Martin. “Jangan pergi,”
katanya dengan sekuat tenaga menahan tangis. “Jangan
pergi, Om Martin. Tunggu di sini saja. Saya takut di­
tinggalkan sendiri.”
“Biar ditangkap saja, biar dihajar warga desa.”
“Lepaskan dia!” kata Ros lagi. “Lepaskan! Saya
mohon tidak ada yang tahu persoalan ini. Tolong dengan
sangat biar hanya kita bertiga yang tahu.” Entah Om
Martin dan Mina memenuhi janji atau tidak yang jelas
isu tentang hampir terjadi perkosaan sempat merebak.
Dengan segala daya Ros berusaha tampil sebagaimana
biasa.
Kunjungan neonatus68 adalah salah satu kebiasaan
yang dibangun Ros sama seperti ibunya dulu ketika
melakukan kunjungan neonatus di mana dirinya ikut
serta sejak kecil. Ros tetap melakukan kunjungan yang
sama dengan upaya untuk tidak memberi komentar
apapun tentang isu yang berkembang. Dia tidak me­
nyadari sama sekali bahwa diam-diam Mina dan Sofia
menjelaskan hal itu kepada Dokter Yordan. Dokter
yang memilih diam dengan kewaspadaan ditingkatkan,

Kunjungan neonatus: kunjungan bayi yang baru lahir.


68

538
mengikuti pikiran, dan perasaan bidan yang mengalami
peristiwa itu.
“Syukurlah sekarang situasi di Polindes Bakung dan
desa tempatnya bekerja sangat kondusif untuk membawa
perubahan ke arah yang lebih baik,” kata Ros dalam
hatinya. “SMS ucapan selamat dari Om Nadus, Lukas,
Keluarga Om Simon adalah sebuah tanda yang baik,” Ros
berupaya meyakinkan dirinya sendiri.
“Nona memberi inspirasi cinta dan kesetiaan,”
SMS dari Yordan lagi. Rosa tidak membalasnya, tetapi
menoleh dan melemparkan senyum, hanya Yordan yang
mengerti apa maknanya.

***

Betapa jauh jarak antara kebijakan dan kenyataan


di lapangan. Dilihatnya dirinya sendiri naik ojek turun
ojek pada jalan berliku-liku dalam kunjungan rumah
untuk ibu hamil yang belum pernah datang periksa, ibu
hamil yang rajin periksa, ibu yang melahirkan dengan
pertolongan dukun, ibu nifas, terutama kunjungan
neonatus.
“Kalau seratus ribu pulang pergi, kurang Nona
Bidan! Apalagi pergi pagi pulang sore begini,” Protes
tukang ojek. “Tetapi, karena Nona Bidan kami mau
bantu,” Ros ikut mendorong sepeda motor keluar dari
jebakan lumpur dan batu.

539
“Ibu bidan uang banyak. Sekali tolong melahirkan
dapat banyak sekali. Jadi jangan tanggung-tanggung
bantu kami juga, Ibu Bidan,” Rosa hanya tersenyum.
Seandainya saja mereka tahu bahwa sekian ribu saja
sekali pertolongan persalinan, sekian ribu untuk kun­
jungan lapangan melewati sungai, bukit, hutan, dan
kesunyian?
Jika rupiah yang dipikirkannya, sudah lama dia lari
dari Polindes Bakung. Bukan rupiah! Sebagaimana ibunya
selalu katakan, “Nona Bidan bukan hanya bidan. Nona
Bidan adalah bidan!” Semangat inilah yang membuatnya
kuat melangkah.
Mama Yus! Ibu kandungnya sudah lupa bahwa
namanya Rosa Dalima. Sejak jadi bidan dan bertugas
di Polindes Bakung, namanya sudah berubah jadi Nona
Bidan. “Nona Bidan bukan malaikat. Nona Bidan selalu
berusaha menjalankan pekerjaan dengan pewarisan nilai-
nilai yang diberikan bidan tua, ibunya!”
Siang maupun malam Ros terbiasa melakukan
kunjungan rumah. Berhadapan dengan ibu hamil yang
melahirkan di rumah, di Polindes, ataupun di Puskesmas,
namun ingin segera pulang ke rumah. Bayi yang
tidak pernah dibawa ke Posyandu, bayi kurang gizi,
bufas dengan indikasi HB rendah. Cukup banyak yang
ditemukan di lapangan daripada di fasilitas kesehatan.
Jauh sekali jarak protap yang sesuai standar dan
kenyataan lapangan.

540
“Peningkatan deteksi dini faktor risiko dan kom­
plikasi kebidanan dan neonatus oleh nakes atau tenaga
kesehatan maupun masyarakat,” layar kesekian. Ros
mengangkat wajahnya untuk fokus di layar LCD.
“Peran Mama Sofia, Mina, dan Om Martin sangat
berarti baginya terhadap dua hal ini,” katanya dalam
hati. Bersama mereka dengan dukungan kepala desa,
berkali-kali hal itu ditegaskan. Dalam waktu yang tidak
terlalu lama situasi Polindes Bakung sungguh berubah.
Kesadaran untuk datang ke Polindes dan Puskesmas
meningkat jauh. Delapan puluh dua persen persalinan
terjadi di Polindes dan Puskesmas. Kasus khusus dengan
status khusus yang sangat mengancam kehidupan ibu
dan bayi langsung dirujuk ke RS PONEK.
“Di pandang dari samping seperti ini, Ros lebih
manis dari wijaya kusuma dari teras rumah Mama Yus,”
SMS dari Yordan.
“Kalau yang ini saya sudah tahu dari dulu,” balas
Ros.
“Ya. Bidan telandanku yang manis,” SMS dari
Yordan.
“Peningkatan pelayanan kesehatan bagi seluruh bayi
sesuai standar,” layar ke sekian. “Peningkatan pelayanan
kesehatan bagi seluruh anak balita sesuai standar,” layar
ke sekian. Sebenarnya yang terjadi adalah peran kader-
kader, seperti Mama Sofia dan Mina di Posyandu. Di
desanya Posyandu ada di semua dusun. Satu tahun

541
terakhir aktivitas Posyandu benar-benar mengangkat
nama desa sebagai Posyandu lima meja terbaik di
kecamatan sekaligus Posyandu terbaik tingkat kabupaten.
Bahkan, Posyandu di pusat desa yang letaknya tidak
jauh dari Polindes sudah menjadi Posyandu Mandiri.
Mereka bekerja tanpa pamrih, merekalah teladan yang
sebenarnya.
“Ibu hamil, ibu nifas, kunjungan neonatus, Posyandu
kita berdua nanti kita tangani berdua saja ya,” SMS
dari Yordan menggetarkan hati Ros. Ros tertawa dan
menoleh. Yordan sedang menatapnya dan tersenyum
sekilas. Dalam keadaan serius, dia memang tidak pernah
benar-benar tertawa. Laki-laki itu mengerdip sekilas dan
kembali memperhatikan layar LCD setelah tangannya
menunjuk HP agar Ros membalas SMS-nya.
“Bawalah aku ke pelaminan,” jawab Ros.
“Kalau boleh sekarang juga!” jawab Yordan dengan
tanda seru lebih dari sepuluh kali.
“Jangan pakai tanda seru terlalu banyak. Tanda titik
tiga saja…,” balas Ros.
“Peningkatan pelayanan KB sesuai standar,” layar ke
sembilan.
“KB alamiah metode Doktor Billings69,” SMS
Yordan.

***
KB alamiah Doktor Billings: KB alamiah metode ovulasi billings dengan cara
69

mengamati tanda-tanda dan gejala lendir yang terjadi secara alamiah pada
serviks sebagai pertanda masa subur.

542
Membangun pengertian tentang KB adalah satu
hal yang cukup rumit. Ros selalu ingat urusan KB di
Polindes dan Puskesmas. Dapat dikatakan KB identik
dengan urusan perempuan sebagai peserta KB dan
identik dengan laki-laki sebagai penentu mau KB
atau tidak. Ros merasa partisipasi KB yang maju kena
mundur kena antara empat puluh sampai lima puluh
persen adalah salah satu tantangan besar baginya sebagai
bidan. Budaya patrilinieal yang kuat dalam hal KB. Butuh
waktu, kesabaran, metode yang menarik, dan sosialisasi
terus-menerus untuk membangun pemahaman tentang
KB.
“Apa laki-laki ikut KB? Apakah zaman sudah gila?”
“Adat dari mana?”
“Mau buat laki-laki selingkuh?”
Berbagai tanggapan tentang KB tergambar dari
data di desanya lima puluh sembilan persen cakupan
KB. Sangat memprihatinkan. Rosa dapat merasakannya.
Partisipasi laki-laki sebagai peserta KB hanya satu
persen. Selebihnya perempuan. Budaya patrilinieal,
pemahaman pentingnya KB, pendidikan belum men­
cukupi merupakan akar masalah utama. Sedih rasanya
melihat ibu yang tidak mengikuti program KB karena
tidak berani melawan keputusan suami. Berat rasanya
mencari di mana laki-laki yang bernama suami itu bisa
duduk tenang mendengar dengan saksama penjelasan
bidan tentang KB. Anak keempat, kelima, keenam sudah
biasa ditangani Ros.

543
“Suami tidak izin,” demikianlah jawaban yang ter­
lontar dengan datar-datar saja. Ibu hamil lagi. Perut
membuncit, satu bayi dalam gendongan, satu balita
meng­ekor dari belakang merengek-rengek minta per­
hatian ibunya. “Hai suami! Engkau ada di mana?” Ros
merasa ikut menderita bersama ibu-ibu yang tidak
memiliki tempat dan ruang untuk mengambil keputusan
penting bagi kesehatan dan masa depan.
“Siapa yang menentukan KB?” SMS dari Yordan.
“Saya yang menentukan mau KB atau tidak!” SMS
Ros untuk Yordan.
“Nilai seratus untuk bidanku yang manis … Begitu
dong, berani!” Ros tidak membalasnya. Dia menoleh
sekilas lagi dan mendapati Yordan sedang menatapnya.
Di layar HP muncul SMS dari Om Martin.
“Selamat untuk Bidan Teladan NTT. Kami semua
bangga padamu Ibu Bidan Ros, Mawar dari Polindes
Bakung. Sukses. Warga Desa menunggumu pulang. Tiba
di Polindes nanti, pakai sarung dan baju yang kuberikan
itu ya. Semoga Tuhan memberkati. “
“Terima kasih Om Martin. Teladan ini untuk
Polindes Bakung dan semua kader di sana. Semoga
Tuhan memberkati juga,” balas Ros.
Dia segera mengambil kado dari Om Martin dan
membukanya sedikit untuk memastikan sarung yang
dimaksudkan. Ros menoleh dan mendapati Yordan
sedang memperhatikannya. Ros mengangkat kado dan
menunjukkan kepada Yordan. Yordan mengangguk sam­

544
bil mengacungkan jempol. Beberapa saat kemudian SMS
masuk dari Yordan.
“Jangan khawatir sayang…Martin sahabat terbaik
kita berdua. Percayalah, Martin mendukung pilihan dan
keputusan yang sudah kita ambil,” Ros membacanya
sambil tersenyum.

***

Diiringi instrumental lagu Tanah Airku, gambar


berhenti pada kembang wijaya kusuma yang di-shot
khusus. Rosa tahu persis latar belakang kembang yang
bermekaran itu adalah kamar nomor tiga. Karenanya,
hatinya diliputi kebahagiaan memperhatikan bagaimana
Yordan tampil di depan dengan laptop dan laser poin di
tangan.
“Tentang angka-angka dan segala penjelasan
Puskesmas Flamboyan sudah ada dalam makalah,” kata
Yordan dengan yakin.
“Silakan baca! Isinya sama dengan laporan yang ada
di tiap Puskesmas, selanjutnya direkap di kabupaten dan
diteruskan ke provinsi. Ada semuanya. Perbedaannya
hanya pada fluktuasi angka.”
“Saya berterima kasih secara khusus kepada Bidan
Rosa Dalima, bidan teladan. Karena teladannya, saya bisa
berdiri di sini untuk menjelaskan tentang Puskesmas
Flamboyan. Semestinya, Polindes Bakung tempat Bidan
Rosa Dalima bekerja itulah yang mesti dipaparkan di

545
sini. Sebagai ucapan terima kasih saya minta Bidan Rosa
Dalima berdiri.”
Ros berdiri disambut dengan tepuk tangan para
peserta dengan berbagai komentar tentang daya tarik
fisik bidan itu.
“Kalau seperti ini bidannya, saya mau dong jadi
Kapus.”
“Belum menikah ya? Cocok sama Kapus.”
“Jangan mau sama bujang tua seperti Kapus,”
demikian antara lain komentar sambung-menyambung.
“Silakan duduk Bidan yang belum menikah,” Yordan
tidak tertawa.
“Berani taruhan Kapus Flamboyan yang akan mem­
persunting bidan cantik ini,” kata-kata Yordan disambut
tawa ria. Ros tertunduk malu dengan berbagai komentar
dan senda gurau yang terlontar.
“Ayoh, kembali ke laptop,” kata Yordan. Musik
meng­alun perlahan dan layar memantulkan sudut-sudut
Puskesmas Flamboyan dengan sangat meyakinkan.
Pilihan yang tepat sebab bukan angka yang kaku dan
membuat kening berkerut, tetapi kehijauan daun, bibit,
dan bunga-bunga.
Data itu penting, sangat penting untuk mengukur
keberhasilan, merancang program, dan membuat strategi
pencapaian. Suka tidak suka data kuantitatif itu harus
ada. Yordan menyadarinya. Bagaimana pembahasan
kualitatif dari data kuantitatif yang menonjol dan
mem­buat mata lelah karena lupa berkedip. Yordan juga

546
tahu bahwa Rosa tetap tidak suka dengan angka-angka
meskipun itu berkaitan dengan rutinitas pekerjaannya
setiap hari. Apalagi tentang bertambahnya angka absolut
kematian ibu dan kematian bayi, satu hal yang ditulis
Ros, tetapi enggan untuk diingatnya.

***

Jika angka bertambah Ros merasa seperti duri di


dalam daging. Jika angka menurun Ros merasa duri-
duri itu tercabut dari pori-porinya. Keduanya sama-
sama membuatnya sakit karena setiap angka bertambah
atau menurun sama-sama memberi peringatan untuk
waspada.
“Untung saya bukan penanggung jawab KIA. Yang
menerima angka dengan berdebar-debar turun atau
naik sesuai dengan debaran jantung. Untung juga saya
bukan kepala Dinas Kesehatan kabupaten atau provinsi
yang darah tinggi melihat fluktuasi angka-angka yang
cenderung tetap, naik sedikit turun banyak, naik banyak
turun sedikit dan lain-lain.”
“Kalau saya jadi mereka bisa pusing tujuh keliling.
Menguras pikiran dan tenaga untuk merancang kebi­
jakan menyelamatkan ibu dan bayi secara revolusioner,
menunjukkan arah, menentukan indikator, mencari
titik temu antara demand side70 dan supply side71. Meng­
kondisikan situasi kerja yang kondusif pada tingkat
Demand side: aspek masyarakat
70

Supply side: penyedia pelayanan (pemerintah atau swasta).


71

547
supply side kecamatan saja sudah sakit kepala apalagi
membuatnya sejalan dengan demand side yang meng­
garisbawahi partisipasi masyarakat itu.…”
“Mari kita berhenti sejenak untuk membawa
pikiran kita ke hal yang lain sebagai motivasi dasar
bagi kita untuk melaksanakan pelayanan kesehatan …”
suaraYordan. Tetap bukan angka yang ditampilkan di
layar, tetapi bunga-bunga dan kelompoknya.
“Mengerti kah kalian makna filosofi dari gambar
ini?” Dilayar ditampilkan satu per satu gambar wijaya
kusuma yang tumbuh subur di Polindes Bakung. Tidak
ada seorang pun yang tahu, kecuali Ros bahwa di balik
kembang yang bermekaran itu adalah tempat tinggalnya
selama ini. Tempat tinggal yang dicintainya dengan
segenap hati dan tanggung jawabnya sebagai bidan desa
di desa yang sepi dan sunyi pada malam hari.
Kalau kita mau jujur terhadap semua angka-angka
lebih tinggi dari yang ditargetkan ataupun lebih rendah,
kembali ke dalam catatan nurani masing-masing. Lahir
di rumah laporannya di faskes PONED, itu adalah cerita
yang terselip di antara data-data. Kematian bayi sekian
laporannya di bawah dari sekian merupakan bagian lain
dari tangan yang menulis dan hati yang berkata.
“Hanya orang yang memiliki hati yang sangat peka
dan cinta mendalam yang dapat mendengar suara ini,”
kata Yordan lagi.
“Bukan soal angka-angka, tetapi perasaan apa yang
ada dalam hati pembaca angka itu. Bahasa gampangnya

548
penjelasan kualitatif dari angka-angka yang menjelaskan
bagaimana pelayanan kesehatan terjadi.”
“Perlu niat yang tulus untuk mengerti suara ini,”
kata Yordan.
“Mari kita perhatikan dengan tenang. Dilayar
Yordan menampilkan detik-detik mekarnya kembang
wijaya kusuma,” kesunyian menyusupi seantero ruangan.
Mata Ros fokus pada apa yang terungkap. Detik-detik itu
meskipun sudah disaksikan berkali-kali dalam rekaman
maupun langsung di depan kamarnya tetap membuatnya
tergetar.
“Mengapa bunga ini yang dijadikan simbol Bakti
Husada?” tanya Yordan. Ruangan ribut karena baru
menyadari ke arah mana presentasi Dokter Yordan di­
bawa.
“Bunga wijaya kusuma? Mana mungkin? Setahu
saya bunga kecubung bukan wijaya kusuma. Kenapa
bunga yang mekar tengah malam itu yang dijadikan
simbol? Oh, wijaya kusuma? Kenapa bukan bunga yang
lain. Mengapa bunga yang menakutkan itu? Bukankah
bunga itu hanya berkembang pada malam hari dan hanya
dalam waktu singkat sudah kembali menguncup.”
“Oh, baru aku tahu ternyata simbol Bakti Husada
itu wijaya kusuma ya? Apa urusan dengan kita ya? Kita
kerja ya kerja tidak perlu filosofi, tidak perlu kata hati
dan jiwa yang jatuh cinta pada bunga. He he he padahal
wijaya kusuma? Saya kira bunga bakung atau mungkin
saja Flamboyan. Dokter Yordan romantis juga ya. Dari

549
mana dia tahu dengan pasti bunga itu ya?” Berbagai
komentar bertebaran dari semua arah dalam ruangan
pertemuan itu.
“Silakan diskusi bebas selama lima belas menit
tentang wijaya kusuma,” kata Yordan.
“Kita akan lanjutkan dengan penjelasan detail yang
akan disampaikan Bidan Teladan NTT Bidan Rosa
Dalima. Dia yang tahu persis bunga ini bahkan perasaan
bunga itu pun dia dapat mengerti,” kata Yordan dengan
serius.
“Bukan kebetulan kalau bidan teladan NTT kali ini
adalah bidan Polindes Bakung dalam wilayah Puskesmas
Flamboyan Puskesmas saya.”
Rosa terpanah dan menatap Dokter Yordan lekat-
lekat. “Saya, Dokter?” tanyanya. “Ya Ibu Bidan. Silakan
maju mempersiapkan diri, sementara peserta diskusi
bebas membahas tentang bunga-bunga itu,” Ros tetap
duduk di tempat.
“Paparkan saja video yang kita buat malam itu di
rumah,” bisik Yordan.
“Laptop di kamar.”
“Tersedia juga di laptop saya,” kata Yordan. Rosa
berdiri dan mengikuti Yordan ke depan. “Tinggal klik,”
katanya. “Pagi ini cantik sekali sayangku,” Yordan
menyen­tuh tangannya. Wajahnya hampir bersentuhan
dengan sisi wajah Ros. Ros merasakan napasnya bahkan
detak jantungnya.

550
“Nanti malam kita berdua makan di Pasir Panjang.
Saya traktir,” kata Yordan. Ros kembali duduk menunggu
waktu diskusi bebas usai. “Setelah itu, kita jalan-jalan ke
Taman Doa Oe Belo.”
“Bagaimana kalau kita ajak Om Martin?”
“Oh, sayangku. Jawabannya adalah tidak dan tidak.
Malam ini hanya kita berdua saja. Titik. Tidak ada
komentar.”

***

“Apakah kalian pacaran benar?” tanya seorang pe­


serta yang duduk di sampingnya.
“Akan segera menikah,” jawab Ros dengan pasti.
“Oh begitu ya? Apakah sudah yakin?”
Ros tidak menjawab. Dia hanya tersenyum saja. Dia
hafal benar karakter orang kita yang selalu ingin tahu
lebih dari yang seharusnya dan selalu ingin menjawab
lebih banyak dari pertanyaan yang diajukan, selalu
menjelaskan lebih banyak meski tidak diminta.
“Sebaiknya jangan mau dengan dia! Tunangannya
dulu namanya Matilda, sudah hampir nikah, tetapi entah
kenapa lari ikut laki-laki lain karena apa? Gangguan jiwa.
Pasti ada sesuatu yang tidak beres. Isunya perempuan
itu sempat hamil. Dokter Yordan sampai frustrasi berat.
Dia pindah ke Flores dan kerja keras di Puskemas
Flamboyan karena frustrasi. Jangan mau dengan laki-
laki yang gampang frustrasi. Bagaimana mungkin dokter

551
frustrasi? Perempuan yang antri ada banyak … kenapa
mesti frustrasi? Yang penting hati-hati dengan dokter
Seperti dia.”
“Nona Bidan cantik, manis, baik, dan jadi teladan
lagi! Jangan sia-siakan diri untuk laki-laki yang sudah
jadi bekas perempuan lain,” katanya lagi. Ros bergidik
mendengar tekanan itu.
“Hati-hati saja! Daripada menyesal di kemudian hari
lebih baik undur diri sejak sekarang.”
“Dokter itu manusia biasa…” kata Ros dalam
hatinya. Dia arahkan perhatiannya ke layar mem­per­
hatikan detik-detik mekarnya wijaya kusuma yang di­
rekam di teras rumahnya.
“Bagaimana mungkin tiba-tiba saja dia cinta bunga,”
sambung peserta itu lagi.
“Laki-laki sentimentil dan sensitif begitu tidak
cocok dengan zaman. Bukankah zaman sekarang zaman
tabrak cepat dan tepat? Saya dengar dari pesertan lain
yang kenal Dokter Yordan kasusnya dulu buat heboh
satu kota, bahkan sampai sekarang masih heboh, susah
dilupakan. Bagaimana mungkin bidan teladan mau
merapat ke sana?”
Ros diam saja dan hanya tersenyum sebagai ja­
waban atas komentar yang cukup pedas di hatinya
itu. Dia berdiri ketika saatnya sudah tiba untuk mulai.
Yordan mengambil tempat duduknya, melipat tangan,
dan menatap langsung ke pembicara bukan ke layar.

552
Selanjutnya, dia menulis dalam buku catatan Ros yang
dibiarkan di mejanya.
Adik Bidan Ros yang kucinta…Boleh ya sekarang
saya jadi penyair. Saya ingin melukis mawar dari Polindes
Bakung dalam kata-kata terindah. Pada hari pertama
saya kembali dari Kupang dan tiba di rumah Kapus
Puskesmas Flamboyan, wijaya kusuma yang tergantung
di teras kamar nomor tiga sudah menggetarkan hati
saya. Pertama, pada penghuni kamar itu. Kedua, pada
kisah tentang wijaya kusuma yang baru kumengerti
dengan benar setelah berkali-kali melihatmu berdiri di
antara bunga-bunga. Berawal dari Puskesmas Flamboyan
dan menemukan kelanjutannya di Polindes Bakung
dan mendapat kepastiannya di teras rumah Mama Yus.
Seharusnya nama Puskesmas kita Puskesmas Wijaya
Kusuma demikian juga nama Polindes.
Engkaulah bunga itu. Wijaya kusumaku yang tetap
berbunga siang maupun malam. Pada setiap kelopak
bunganya, pada setiap lembar daunnya, kuingin titipkan
kata hatiku yang terdalam. Aku mencintaimu Nona
Bidan. Kita pulang ke rumah saya ya sayang, untuk
membangun kebun bunga wijaya kusuma di sana…”
dengan setulus hati Yordanmu.

553
34

Pada Matamu Ada Doaku

Yordan mengajaknya ke Taman Doa Oe Belo.


Keluar dari Balai Pelatihan mobil mengambil jalan ke
kanan. Setelah melewati Sekolah Farmasi dan Kantor
Imigrasi mobil berbelok ke kiri lurus sampai masuk ke
jalan raya, dua jalur menuju Bandara El Tari. Keduanya
mengambil jalan kiri lurus sampai di bundaran Penfui,
persimpangan dekat Undana, mobil melaju lurus ke arah
Oe Sapa setelah melewati kampus Pusat UNDANA dan
Universitas Kristen Satya Wacana. Tiba di ujung jalan,
mobil masuk jalan raya, berbelok ke kanan dan lurus
terus tanpa belok sekalipun.
Rumah-rumah dengan tanah luas sepanjang per­
jalanan. Batu karang dan kekeringan menunjukkan ciri
topografi bumi Pulau Timor bagian timur ini. Rumah
tanpa pagar dengan taman-taman yang tidak terawat
sebagian besar adalah pemandangan nyata. Hanya sedikit

554
rumah berpagar atau rumah tanpa pagar yang dirawat
dengan sayuran hijau dan bunga. Mendekati jalan masuk
Oe Belo tanah luas terbentang sepanjang kiri kanan
jalan mengering menanti kesetiaan hujan yang akan
menjadikannya hijau dan basah.
“Ini juga jalan menuju Soe, Kefa, Atambua, dan
kampung saya…” kata Yordan.
“Apakah kering seperti ini?” tanya Ros.
“Kalau kering?”
“Saya pencinta hijau dan bunga-bunga…,” jawab
Ros.
“Puskesmas Flamboyan yang kering, penuh semak
belukar itu kini hijau dengan berbagai jenis sayuran
dan bunga-bunga. Saya akan presentasikan Puskesmas
Reformasi besok sesi pertama. Reformasi dari kekeringan
lingkungan ke kehijauan dan bunga-bunga, dari hati yang
kering kerontang ke hati yang cerah ceria….”
“Sudah jadi penyair ya?”
“Aslinya memang penyair, hanya terlalu lama jiwa
syairnya kekeringan karena kurang air. Sekarang ini
sudah ada air di samping saya. Saya pasti akan menjadi
dokter dan penyair sekaligus. Penyair khusus untukmu.
Makanya saya akan sambungkan semuanya dengan
Puskesmas Reformasi.”
“Apa hubungannya?”
“Dengar saja presentasi besok!”
“Tentang bunga-bunga lagi?”

555
“Tentang cintaku yang tidak akan berubah. Tentang
pada matamu ada cinta.”
“Apa hubungannya dengan Puskesmas Reformasi?”
“Kita buktikan besok ya,” kata Yordan lagi. Tangan
kanannya memeluk stir mobil dan tangan kirinya me­
meluk sejenak bahu Ros. Ros memejamkan mata. Me­nik­
mati kebersamaannya dengan Yordan dan angin semilir
yang membelai dari jendela yang dibiarkan sedikit
terbuka.
Yordan bukan laki-laki yang banyak bicara, tetapi
sekali bicara, perlu, dan meninggalkan kesan. Tipe inilah
yang sudah memenuhi hati Ros sejak Yordan menghargai
dirinya dengan cara menjadikan Puskesmas Flamboyan
hijau dengan tanaman obat, sayuran, dan bunga-bunga.
Sangat pahit baginya ketika Adrian mengkhianati
cintanya yang bersih. Namun, waktu berlalu, padatnya
pekerjaan, dan perhatian Yordan melalui berbagai tanda,
memulihkan dirinya kembali.
Bukan karena Yordan, Ros sanggup keluar dari
tekanan Adrian. Akan tetapi, apa yang ditunjukkan
Yordan menjadikan saya mengerti untuk tidak mem­
biarkan waktu berlalu sia-sia. Mengapa kita mesti
tenggelam dalam cinta yang telah dikhianati? Mengapa
kita harus menutup pintu hati rapat-rapat sementara laki-
laki yang seharusnya kita cinta lari dengan perempuan
lain? Ros menemukan jawabannya pada Yordan.
“Apakah Oe Belo masih jauh?” mata Ros tetap ter­
pejam.

556
“Matamu terpejam. Kenapa?”
“Besok presentasi sesi ke berapa?”
“Jawab pertanyaanku,” Yordan melepaskan pe­lukan­
nya. Mobil berbelok ke kiri menuju Taman Doa Oe Belo.
Jalan masuk dengan padang terbuka sepanjang kiri
kanan jalan. “Novena untuk kelancaran urusan cintamu
dengan Yordan ya,” SMS dari Vero. “Untuk kerukunan
calon pengantin baru Vero dan Gebi,” balas Ros.
“Matikan HP. Kita sudah janji bukan? Kalau lagi
berdua tidak balas SMS dan hanya menjawab telepon
dari orang tua dan Om Paulus KTU,” kata Yordan. Mobil
berbelok ke kiri melaju sebentar belok ke kiri lagi dan
berhenti.
“Ini tempat parkir?” tanya Ros.
“Kita jalan kaki ke atas,” kata Yordan.
“Tidak ada orang di atas? Lihat saja tempat parkir
kosong.”
“Ada! Kita berdua yang akan ke atas. Ayo.”
“Saya merasa seperti ada yang mengintai kita,” kata
Ros.
“Biar saja. Jangan takut. Ini pengalaman pertama
bukan? Perasaanmu yang mengintaimu, sayang. Saya
selalu ada di sampingmu, kekasihku. Tidak akan kulepas
lagi,” kata Yordan sambil menggenggam erat-erat tangan
Ros.

***

557
Sudah bukan ABG lagi. Bidan umur 26 tahun me­
masuki 27 dan dokter umur 34 tahun. Keduanya ber­
pegangan tangan erat-erat, saling mencari dan me­
nemukan ketenteraman batin. Yordan memperkuat geng­
gamannya dengan sepenuh hati.
Keduanya berjalan mendaki pelan-pelan sampai tiba
di pelataran depan biara Kongregasi Claretian. Sayup-
sayup terdengar Amazing Grace mengudara dari pengeras
suara yang dipasang pada tiang pipa pada jalan menuju
peristiwa demi peristiwa yang terukir di sana. Perjalanan
diiringi lagu yang bercerita tentang keagungan Sang
Pencipta. Peristiwa gembira dan mulia mengambil jalan
ke kiri mendaki ke atas sebelum sampai ke puncaknya
yang datar. Peristiwa sedih dan terang mengambil jalan
menurun ke bawah, kemudian mendaki sebelum sampai
pada puncak datar yang sama.
“Kita jalan saja sampai di pelataran atas di depan
altar,” jawab Yordan ketika Ros bertanya akan mulai dari
peristiwa yang mana.
“Jauh?”
“Dekat.”
“Sedekat doa-doa?”
“Ya.”

***

Rosa terkenang Mama Sofia yang juga dikenal


sebagai Mama Doa. Dalam pertemuan kader posyandu,

558
kader desi, kader ASI, kunjungan rumah, dan kegiatan
apa saja Mama Sofia selalu bilang jangan lupa doa.
“Ingat doa! Minta Tuhan ikut jaga istri yang lagi
hamil. Jangan hanya menganga! Tuntut terlalu banyak.
Minta obat ini itu, tetapi suruh kamu perhatikan makan
minum istri biar hamil sehat kamu malas tahu. Jadi,
kalo kamu tidak mau bantu lain, ya doa saja daripada
menganga,” Rosa tertawa sendiri.
“Kenapa ketawa?”
“Ingat Mama Sofia!”
“Apa yang diingat?”
“Kamu suami tuh ingat doa! Jangan hanya
menganga!” Rosa dan Yordan sama-sama tertawa.
“Doa juga buat mereka,” kata Yordan saat keduanya
sudah tiba di pelataran teratas. Altar di tengah. Deretan
kursi di kiri kanan berbaris menurun dari yang paling
tinggi berada sejajar dengan altar dan terus menurun
berturutan sampai pada bagian akhir, sebelum turun
tangga menuju pelataran yang rata, luas, dan terbuka.
Pada pelataran itu sudah ada deretan kursi-kursi batu
yang disemen paten tersusun melengkung ke samping
dan melebar ke belakang sampai ke batas tebing yang
terbuka.
Antara kursi deretan terdepan dan tangga terakhir
di kaki altar ada ruang kosong. Ruang kosong itu
memberi kesan terbuka dan bebas bicara bagi setiap
orang yang duduk di pelataran. Hati rindu terekspresi

559
melalui kepala yang menengadah jauh ke atas altar atau
lebih jauh lagi ke salib yang terpancang pada bagian
yang paling tinggi dari segala kerendahan hati yang ada
di bawahnya.
Keduanya berdiri di pelataran depan altar dan
sama-sama menatap jauh ke bawah. Beberapa kendaraan
melaju pelan membelah jalan di antara pepohonan perdu,
ilalang dan tanah kering. Rumah-rumah penduduk
dengan halaman luas dan jarak lebar antara satu dengan
yang lain. Lebih jauh-jauh ke batas cakrawala dan lautan
di kejauhan, langit terang benderang dengan beberapa
gumpalan awan putih yang diam di tempat.
Sepasang burung –entah apa namanya- terbang
tinggi dan menari dengan gerakan lembut menulis
cerita tentang kesehatan jiwa raga dan kebebasan hidup.
Ros merasa terbang di sini di Taman Doa Oe Belo yang
sunyi.
“Terima kasih untuk setiap pikiran dan setiap hati
yang telah menjadikan taman ini ada … taman yang
sunyi memberi tempat, ruang, dan waktu untuk bicara
dan mendengar kata hati,” batin Ros. Dia menoleh dan
didapati Yordan tidak bersamanya.
Ros mencari dengan matanya dan terpanah dengan
hati gembira. Tidak sekalipun dia palingkan wajahnya
dari laki-laki yang berdiri menengadah memandang
salib. Dokter Yordan. Celana jeans biru tua, kemeja putih
dengan lidah berkancing perak di bahu, dua saku di dada
lengkap dengan kancing yang sama. Tangan panjang

560
digulung sampai siku. Ikat pinggang kulit dan sepatu
kulit bertali sampai lebih tinggi dari pergelangan kaki.
Macho dan modis.
Wajahnya tampan. Sayang, rambutnya dipotong
pendek dan rapi kalau dibiarkan panjang wajahnya
itu mirip si tampan Christian Batistuta pesepak bola
Argentina kesayangan Ros. Tubuhnya tinggi dan gagah
performa laki-laki dari timur. Ha ha ha Rosa tertawa
sendiri. Siapa bilang laki-laki dari timor tidak menarik?
Yordan adalah salah satu jawabannya. Tetapi, bukan itu
yang membuat Ros akhirnya jatuh cinta. Adrian juga
gagah! Gambaran bintang ada pada Adrian yang mirip
benar dengan Robby Sugara pada masa muda. Akan
tetapi, Yordan jauh lebih gagah sebab ada cinta dan
kejujuran di sana.
“Siapa berani bilang tidak?”
Angin semilir membisikan kata yang memiliki
makna bagi jiwa-jiwa yang menyiapkan tahta untukNya.
Kesunyian itu berkata pada setiap orang yang mengerti
artinya janji untuk hidup berdua. Kesunyian itu berbicara
banyak kata kepada diri sendiri dan mendengarkan diri
sendiri. Memandang salib tanpa sepatah kata pun dalam
kesunyian adalah waktu yang tepat untuk membiarkan
kesunyian berbicara.
Ketika Yordan tertunduk dan menoleh, tatapan
keduanya bertemu lama dan meyakinkan Ros bahwa
dirinya tidak akan ditinggalkan. Dia percaya kepada
Yordan dengan sepenuh hatinya.

561
“Mari kita pulang…” kata Ros saat Yordan men­
dekat.
“Kita berdua duduk dulu di sini, lebih lama, lebih
lama,” kata Yordan. “Sudah lama sekali saya rindukan
saat-saat seperti ini, denganmu, berdua saja.”
“Matahari sudah terbenam. Indah sekali peman­
dangan di kejauhan sana…” sambut Ros.
“Apa yang Ros minta dalam doa?”
“Syukur!”
“Syukur!”

***
“Syukur!” suara suara seorang perempuan membuat
Rosa dan Yordan serentak menoleh. “Saya ikuti kalian
berdua mulai dari tempat parkir di bawah sana. Hebat
sekali. Rupanya dunia ini bukan milik saya, tetapi milik
kamu.”
“Matilda…Ida!” Yordan terpanah.
“Ojan...” Perempuan yang dipanggil Ida itu langsung
berdiri di antara Yordan dan Rosa. Dia tertawa. Bukan!
Dia bukan tertawa, tetapi menyeringai.
“Saya Ida tunangan Ojan!” katanya sambil meng­
ambil tangan Rosa dan menggenggamnya erat-erat.
“Itu Ojan tunangan saya,” katanya sambil menekan
tangan Ros dengan kasar. Tidak ada sepatah kata pun
yang keluar dari bibir Yordan yang sangat terkejut
dengan apa yang terjadi. Ros gemetar karena kaget dan
tidak tahu apa yang harus dikatakannya.

562
“Bidan Desa ya?” tanya Matilda.
“Ada juga Bidan Desa yang nekat kejar Dokter
Kepala Puskesmas ya. Sayang sekali,” tangan Ros diban­
ting dengan kasar dan secepat itu juga kedua tangan
Matilda dilipat Yordan. Yordan segera membekap
Matilda menjauh meninggalkan Ros yang terpaku di
tempat. Yordan menarik Matilda berjalan cepat, belok ke
kiri mengikuti alur jalan peristiwa gembira dan peristiwa
mulia.
Bayangannya menghilang di balik pohon dan gua-
gua kecil yang berurutan memutar turun sampai ke
pelataran bawah. Yordan pergi tanpa sepatah kata pun.
HP milik Yordan dalam tas kecilnya yang tertinggal
berbunyi berkali-kali. Ros terduduk sendirian di sudut
pelataran. Tubuhnya terasa lemas dan rasa takut me­
nyelimuti seluruh dirinya. Angin berhembus lebih
kencang dan tanpa arah, menggemuruh meninggalkan
rasa sesak dalam dada.
“Halo Om Martin,” kata Ros dengan suara hampir
tidak terdengar.
“Ya Halo Ibu Bidan Ros,” jawab Martin.
“Ada di mana?”
“Oe Sapa.”
“Tolong datang jemput saya di depan altar Taman
Doa Oe Belo. Sekarang. Cepat,” kata Ros yang tidak
sanggup mengatasi kegugupan dan suaranya yang
gemetar. “Tolong sekarang Om Martin Sekarang.”

563
“Suruh Ojan angkat teleponnya. Ada apa? Ojan di
mana? Cepat angkat telepon! Penting segera! Cepat,”
suara Martin.
“Datang sekarang Om Martin, cepat,” Ros terduduk
di bangku paling depan dalam kesunyian yang tidak
dapat diungkapkannya dengan kata-kata. Syukur! Ada
seseorang menyalakan lampu sehingga altar menjadi
terang benderang menolong dirinya untuk keluar dari
rasa takut luar biasa yang tidak pernah dirasakannya.
Hatinya terasa sesak memikirkan Yordan. Mengapa
dia pergi? Apakah dia pergi untuk menyelamatkan saya?
Apakah dia pergi untuk menyelamatkan perempuan itu?
Ros menangis. Jantungnya berdebar cepat menghadapi
kejutan yang membuat dirinya nyaris tersungkur!
“Mengapa dia lakukan ini kepada saya?” tanya Ros
pada dirinya sendiri. Langit hitam tiada bulan tiada
bintang di kejauhan sana. Angin berhembus kencang
melintasi pelataran dan menyapu wajah Ros. Ros meng­
gigil meskipun tidak dingin.
“Om Martin tolong saya,” Ros menangis tanpa
suara.

***
“Ibu Bidan Ros,” Martin sudah datang.
“Om Martin tolong saya.” Ros berdiri dan memeluk
Martin erat-erat.
“Ada apa? Ojan di mana?” tanya Martin.
“Om Martin tolong saya…,” Ros menangis.

564
“Jangan menangis, Ibu Bidan Ros,” kata Martin
sambil menepuk-nepuk punggung Ros.
“Dia pergi membawa perempuan yang bernama
Matilda,” kata Ros.
“Matilda? Saya telepon, tetapi Ojan tidak angkat,”
Martin tampak kecewa.
“Dia pergi, Om Martin….”
“Matilda? Ya Tuhan! Ibu Bidan Ros tidak apa-apa?”
tanya Martin dengan rasa cemas menyadari tangan Ros
yang dingin dan tubuhnya gemetar. “Matilda sakit lagi
rupanya. Kasian Ojan!” kata Martin dalam hati.
“Kenapa Ojan tidak angkat telepon?” Martin ber­
usaha tetap tenang.
“Tolong bawa saya pergi dari sini,” kata Ros tanpa
semangat.
“Kita tunggu Ojan kembali.”
“Pulang…bawa saya pulang,” suara Ros tergetar
rasa takut.
“Tidak apa-apa. Jangan takut, saya akan menunggu
bersama Ibu Bidan Ros di sini.”
“Tolong bawa saya pulang…,” kata Ros lagi.
“Tenanglah, mari duduk dulu di sini,” kata Martin.

Denpasar, 01 Maret 2017


Denpasar, 17 November 2015
Kupang, 26 Juni 2015

**************

565
Biografi Penulis

Maria Matildis Banda adalah dosen di Fakultas Ilmu


Budaya, Fakultas Sastra, Universitas Udayana Denpasar.
Menyelesaikan pendidikan Doktor Bidang Kajian Budaya
di Universitas Udayana (2015). Menikah dengan Drg.
Dominikus Minggu, Mere, M.Kes. Memiliki tiga orang
anak, yaitu: Carol Wojtila P. Advent Mere, Arnolda
Yanseno Gala, dan Yosef Freinademez Sinu. Meraih
peng­hargaan dalam penulisan karya sastra: “Pulang”
(Cerpen); “Potret Gadisku” (Drama Modern); “Dalam
Bening Mata Mama” (Cerpen); “Perempuan Kecintaanku”
(Cerpen); dan “Rebung Gading” (Cerpen). Penghargaan
untuk cerbung Majalah Femina Jakarta, yaitu Pada
Taman Bahagia (Juara III), Liontin Sakura Patah (Juara
III), dan Doben (Juara I).
Di samping itu, ia juga menulis cerpen yang belum
diterbitkan sebagai buku. Beberapa di antaranya:
Kereta Api Terakhir; Aer Nona; Kamboja di Atas Kuburan;
Mahligai; Laki-laki Kecintaanku; Nubuat; Tiga Ekor
Domba; Surat Kecil di Dalam Saku; Tanda Mata dari Sutan;

567
Doa di Dalam Lemari; Lolita; Sarlota Rumbekwan; Sesuatu
yang Hilang; Surat Hitam; Karcis; dan Tabut Perjanjian.
Menerbitkan novel: Pada Taman Bahagia (Grasindo,
Jakarta, 2001); Liontin Sakura Patah (Grasindo, Jakarta,
2001); Bugenvil di Tengah Karang (Grasindo, Jakarta,
(2001); Rabies (Care Internasional, 2002/2003); dan
Surat-surat dari Dili (Nusa Indah Ende, 2005); Wijaya
Kusuma dari Kamar Nomor Tiga (Kanisius, 2015); Doben
(Penerbit Lamalera, 2016); dan Suara Samudra (dalam
proses terbit 2017).
Maria Matildis Banda pernah menjadi dosen
tamu pada Sekolah Tinggi Filsafat Katolik (STFK)
Ledalero Maumere (2003 – 2010) dan menjadi Pengurus
Sekretariat Gender dan Pemberdayaan Perempuan KWI
Jakarta (2011-2013). Penulis kolom Parodi Situasi H.U.
Pos Kupang (2001 sampai sekarang). Ia sudah menulis
sekitar 800 judul parodi (2000-an halaman) tentang isu
pendidikan, kesehatan, ekonomi, politik, dan isu sosial
budaya lainnya yang akan diterbitkan 2017 - 2018.
Menulis buku Lota Aksara Ende (Yayasan Naskah
Nusantara dan Penerbit Djambatan Jakarta, 2005). Aktif
sebagai pemakalah dan peserta seminar dan lokakarya
tentang bahasa, sastra, dan kebudayaan. Peserta
Sandwich like Program di KTLV dan Universitas
Leiden di Leiden Belanda Oktober – Desember 2011.
Pemateri “Lota Script in Ende Flores” dalam Internasional
Workshop on Endangered Scripts of Island Southeast

568
Asia pada Februari - Maret 2014 Tokyo University di
Tokyo Jepang.
Pemateri “Potensi Budaya dalam Upaya Pengem­
bangan Pariwisata di Dili Timor Leste” dalam Seminar
dan kerja sama Universitas Udayana Denpasar dengan
Negara Democratic Timor Leste (NDTL) di Dili Timor
Leste September 2016. Menjadi anggota aktif dalam
Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia (HISKI) dan
Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) Indonesia.

569
570

Anda mungkin juga menyukai