Anda di halaman 1dari 14

TUGAS PAPER: LAPORAN BACA GADIS MINIMARKET

KARYA SAYAKA MURATA


Disusun oleh Kelompok 2
Anggota:
1. Cecylia 2105113277
2. Beatrice Silalahi 2105114112
3. Kusmiana 2105113354
4. Putri Andini 2105113372
5. Rimanda Agustina 2105135314
6. Rizka Zhuriana Damanik 2105111338
7. Winda 2105111009

LAPORAN BACA CERITA GADIS MINIMARKET


1. PENDAHULUAN
Cerita “Gadis Minimarket” dengan judul asli “コンビニ人間” merupakan salah satu karya yang
cukup terkenal oleh seorang penulis bernama Sayaka Murata. Edisi asli buku ini diterbitkan di
Bungeishunju Ltd., Jepang, pada tanggal 27 Juli 2016. Buku ini pun kemudian diterjemahkan ke
dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan pertama kali oleh Penerbit Gramedia Pustaka Utama,
anggota IKAPI, Jakarta.
“Gadis Minimarket” merupakan sebuah novel yang menceritakan tentang kehidupan
Furukura Keiko, seorang gadis yang bekerja sebagai seorang pegawai paruh waktu di sebuah
minimarket. Keiko telah menjadi pegawai paruh waktu selama 18 tahun. Terlebih pula, Keiko juga
sering dipandang berbeda karena tidak mengkhawatirkan hubungan asmara, menikah, ataupun
pemikiran untuk memiliki anak sehingga tidak jarang ia dipandang aneh, bahkan oleh
keluarganya sendiri. Tetapi, Keiko cenderung tidak menunjukkan kepeduliannya terhadap hal-hal
seperti itu karena ia tidak mengerti akan alasan untuknya harus peduli.
Keiko sendiri juga sudah sering dipandang “aneh” sejak kecil oleh orang disekitarnya. Keiko
dianggap sebagai seseorang yang minim akan emosi karena tidak merasakan perasaan yang sama
dengan teman-teman maupun keluarganya. Ia tidak sedih ketika ada burung mati atau bahkan
menggunakan sekop untuk menghantam kepala temannya agar dapat memberhentikan
perkelahian mereka. Hal ini kemudian disadari oleh Keiko dan membuat ia hanya berbicara
secukupnya saja kepada orang lain. Ketika beranjak dewasa, Keiko pun mencoba untuk menjadi
orang “normal” dengan bekerja paruh waktu di minimarket. Dari sana, Keiko menirukan interaksi
orang-orang agar bisa berbaur dengan masyarakat dan merasakan peran menjadi “manusia
normal” setelah sekian lama dianggap aneh terus-menerus.
2. ISI
UNSUR INSTRINSIK
a. Tema
Tema merupakan salah satu unsur dari cerita karangan yang berperan sebagai
pemersatu fakta dalam cerita guna untuk mengungkapkan berbagai macam
permasalahan dalam kehidupan (Nuraini, 2022:52). Pada novel “Gadis Minimarket” yang
ditulis oleh Sayaka Murata, tema yang diangkat adalah “pandangan orang yang berbeda
dari masyarakat”. Hal ini dapat dilihat dari tokoh utama yang bernama Furukura Keiko
yang selalu memiliki pandangan yang berbeda dari masyarakat sekitarnya. Dalam cerita
ini, Keiko digambarkan sebagai seseorang yang lebih mementingkan efisiensi
dibandingkan emosi dan reaksi yang akan ditimbulkan di sekitarnya. Hal ini menimbulkan
perbedaan pandangan manusia pada umumnya yang masih sering melibatkan emosi atau
perasaan dalam memandang atau mengambil suatu keputusan.
Sejak kecil, Keiko memiliki emosi dan empati yang cenderung minim dibandingkan
orang-orang di sekitarnya. Pernyataan ini dapat dibuktikan pada kutipan berikut, “Ada
apa, Keiko? Duh, burung kecil yang malang! Dia terbang ke sini, ya?” ujar ibu dengan
lembut sambil mengusap kepalaku. “Kasihan sekali. Ayo kita kuburkan!” “Ayo kita makan
dia!” ujarku (Murata, 2020:12)”. Dari kutipan tersebut, dapat dikontraskan perbedaan
reaksi yang diberikan antara sang Ibu dan Keiko. Ibu berperan sebagai orang yang normal
yang merasa sedih ketika melihat burung mati, menunjukkan simpati yang cenderung
ditunjukkan oleh orang-orang pada umumnya. Hal ini berbeda dengan Keiko yang
menganggap bahwa kalau burung mati tidak perlu repot-repot dikuburkan, bahkan tidak
ada salahnya untuk dimakan saja. Pernyatan ini dapat diperkuat dengan kutipan berikut,
“Saat itulah Ibu kembali tersadar dan berteriak dengan suara tajam, “Keiko! Ayo kita
kuburkan burung kecil ini! Lihat, semuanya menangis. Teman-temannya pun pasti sedih
dia mati. Kasihan, kan” “Kenapa? Burung ini kan sudah mati” (Murata, 2020:11)”. Pada
kutipan ini, terlihat sangat jelas sang Ibu tidak menyetujui reaksi Keiko dan berusaha
membujuknya untuk merasa kasihan. Namun, Keiko sendiri tetap teguh akan
pendiriannya dengan tidak ada yang perlu dikasihani karena burung itu sudah mati. Selain
itu, minimnya emosi Keiko dapat juga dilihat pada kutipan berikut, “Aku mendengar
teriakan-teriakan itu dan kupikir mereka harus dihentikan. “Panggil guru!” teriak anak-
anak lain. “Hentikan mereka!” Kubuka kotak peralatan yang ada disebelah ku, kuraih
sekop, lalu aku berlari menuju anak laki-laki yang sedang berkelahi itu, kemudian ku pukul
kepala salah seorang dari mereka (Murata, 2020:40)”. Pada kutipan tersebut, terlihat
bahwa Keiko hanya mementingkan efektivitas untuk memberhentikan perkelahian
tersebut tanpa menimbang reaksi yang akan ditimbulkan setelahnya. Perbuatan Keiko
yang bahkan tidak memedulikan kalau temannya bisa saja terluka akibat perbuatannya
asal pertikaian tersebut bisa berhenti cukup menunjukkan bahwa Keiko tidak terlalu bisa
berempati karena perbuatannya sangat tidak berlandaskan rasa kasihan dengan
memukul kepala temannya tersebut.
Tidak hanya pada semasa kecil saja, Keiko juga tetap memiliki emosi yang minim
ketika ia sudah dewasa. Pernyataan ini dapat didukung oleh kutipan sebagai berikut,
“Mendengar percakapan mereka yang penuh emosi, timbul sedikit kecemasan dalam
diriku. Aku hampir tak pernah memiliki emosi marah (Murata, 2020:34)”. Kutipan ini
membuktikan bahwa Keiko cemas akan dirinya yang tidak bisa mengekspresikan emosi
yang sama dengan orang yang berada di sekitarnya. Hal ini kemudian membuat Keiko
untuk meniru orang di sekitarnya agar diterima sebagai seseorang yang “normal”.
Keiko tetap memiliki pandangan yang berbeda ini hingga ia beranjak dewasa.
Keiko tidak pernah berpikir bahwa ia mampu mencari pekerjaan tetap dan masih bekerja
paruh waktu pada usia 36 tahun. Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut, “…, aku tak
dapat menjelaskan dengan baik mengapa selama bertahun-tahun aku bekerja paruh
waktu (Murata, 2020:5)”. Berdasarkan kutipan tersebut, dapat dilihat bahwa Keiko
sendiri pun merasakan “perbedaan” dari dirinya dengan orang lain yang dapat hidup
“normal” dengan mencari pekerjaan selayaknya ketika sudah beranjak dewasa. Keiko juga
merasa tidak ada keharusan dalam dirinya untuk mencari pasangan dan tidak ada
ketertarikan dalam menjalin hubungan asmara. Pernyataan ini dapat didukung dengan
kutipan berikut, “Aku belum punya pengalaman seksual dan aku tak punya kesadaran
soal seksualitasku. Aku hanya tak peduli dan tak merisaukannya (Murata, 2020:42)”.
Berdasarkan kutipan tersebut dapat disimpulkan bahwa Keiko tidak pernah tertarik
dengan hal-hal yang berbau asmara atau menjalin hubungan sehingga ia tidak meraasa
memiliki keharusan untuk merisaukan hal-hal tersebut seperti orang-orang pada
umumnya.
Dari sisi masyarakatnya sendiri sulit untuk menerima Keiko yang memiliki
pandangan “berbeda” dengan mereka. Pernyataan ini dapat didukung dengan kutipan
sebagai berikut, “Ayah dan Ibu khawatir aku tidak bisa terjun ke masyarakat jika
keadaanku terus seperti ini (Murata, 2020:16)”. Kata “seperti ini” pada kutipan tersebut
merujuk kepada kondisi Keiko dengan pandangan dan cara berpikir berbeda yang tidak
bisa “sembuh” walau sudah berusaha konsultasi berkali-kali. Hal ini dapat
mengindikasikan bahwa orang tuanya Keiko sendiri pun sadar masyarakat akan sulit
menerima Keiko karena mereka sendiri pun demikian.

b. Alur
Alur merupakan rangkaian cerita yang terbentuk oleh berbagai tahapan peristiwa
hingga sebuah cerita oleh para tokoh dapat terjalin. Novel berjudul “Gadis Minimarket”
yang ditulis oleh Sayaka Murata disajikan dengan alur campuran. Alur campuran
merupakan gabungan antara alur maju dan mundur, ditandai dengan penyajian cerita
secara urut pada awalnya dan di suatu waktu menceritakan kembali kisah masa lalu (Saina,
Syamsiyah, & Riko, 2021:11).
Ada beberapa kutipan yang mendukung pernyataan novel “Gadis Minimarket”
merupakan cerita yang memiliki alur campuran. Hal ini dapat dilihat dari kutipan di awal
cerita berikut ini, “Minimarket adalah dunia yang penuh suara. Ada denting bel pintu
penanda pelanggan datang dan suara bintang televisi mengiklankan produk baru lewat
TV kabel took (Murata, 2020:5)”. Berdasarkan kutipan tersebut, dapat dilihat bahwa
cerita diawali dengan kegiatan Keiko yang bekerja di mini market pada pagi hari.
Kemudian, alur tersebut mundur karena flashback oleh Keiko yang ditandai pada kutipan
berikut ini, “Contohnya, semasa aku di taman kanak-kanak, pernah ada seekor burung
mati di taman (Murata, 2020:10)”. Pada kutipan ini, Keiko teringat akan masa lalunya
selagi bekerja di minimarket dan mulai menceritakannya. Setelah itu, alur cerita kembali
maju dengan ditandai kutipan berikut, “Usiaku sekarang 36 tahun. Usia toko dan masa
kerjaku sama-sama delapan belas tahun (Murata, 2020:25)”. Kutipan tersebut membuat
cerita yang alurnya tadi menceritakan tentang masa lalu kembali ke masa kini, masa
setelah 18 tahun lamanya menjadi seorang gadis minimarket.

c. Tokoh dan Penokohan


Tokoh dalam cerita merupakan individu yang mengalami kejadian atau perlakuan dalam
bermacam-macam peristiwa yang ada pada cerita (Panutri-Sudjiman dalam Sugihastuti
dan Suharto, 2013:50). Pada umumnya, penokohan terbagi menjadi tokoh utama dan
tokoh bawahan yang membantu tokoh utama (Nuraini, 2022:53). Tokoh dalam novel
“Gadis Minimarket” yang ditulis oleh Sayaka Murata terdiri dari Furukura Keiko sebagai
tokoh utama dan Ibu, Ayah, Mami, Miho, Yukari, Izumi, Manager, Sugawara, Iwaki,
Yukishita, Dat-kun, serta Shiraha sebagai tokoh bawahan atau tambahan dalam cerita
tersebut.

Keiko merupakan tokoh utama yang memiliki karakter baik namun minim akan emosi.
Dalam cerita ini, Keiko juga merupakan tokoh dengan pandangan “berbeda” yang
berusaha agar dapat dianggap sebagai manusia “normal”. Pernyataan ini dapat didukung
dari kutipan, “Aku tak bermaksud membuat Ayah dan Ibu sedih, atau membuat mereka
harus meminta maaf kepada banyak orang (Murata, 2020:14)”. Berdasarkan kutipan
tersebut, “meminta maaf” disini merujuk kepada meminta maaf atas perbuatan yang
telah Keiko lakukan karena memiliki pemikiran yang “berbeda”. Keiko merasa perbuatan
efektif seperti memberhentikan perkelahian temannya dengan sekop seperti dalam
kutipan ini, “Aku mendengar teriakan-teriakan itu dan kupikir mereka harus dihentikan.
…, lalu aku berlari menuju anak laki-laki yang sedang berkelahi itu, kemudian kupukul
kepala salah seorang dari mereka (Murata, 2020:12)”. Berdasarkan kutipan tersebut,
jelas Keiko memiliki niat yang baik, namun dengan cara yang berbeda dan tidak mampu
menimbang dampak buruk yang ditimbulkan setelahnya. Keiko yang aslinya baik
kemudian menyadari tindakannya dapat melukai orang tuanya, kemudian memutuskan
untuk diam dan tidak mengambil tidakan sendiri walau ia tidak paham letak kesalahan
tindakannya sendiri. Ada pula kutipan berikut ini, “Dan aku pun tumbuh dewasa dengan
pikiran bahwa aku harus sembuh (Murata, 2020:16)”. Berdasarkan kutipan tersebut,
terlihat bahwa Keiko berniat untuk mencoba “sembuh” dengan langkah menjadi pegawai
minimarket agar dapat diterima menjadi bagian dari masyarakat “normal”.

Ibu dalam cerita ini berperan sebagai ibunya Keiko. Dalam cerita, Ibu memiliki watak yang
agak penakut namun lemah lembut dan tetap menyayangi Keiko walau ia tidak seperti
anak pada “umumnya”. Pernyataan ini dapat didukung dengan kutipan Keiko berikut ini,
“…, sedangkan Ibu, walau agak penakut, beliau lemah lembut,… (Murata, 2020:16)”. Pada
kutipan ini dapat dilihat bahwa inilah sosok Ibu di mata Keiko itu sendiri. Ada pula kutipan
berikut, “Meskipun kecewa, Ayah dan Ibu tetap menyayangiku (Murata, 2020:14)”.
Kutipan tersebut mendukung penjelasan bahwa Ibunya tetap menyayanginya meskipun
ia sendiri selalu tidak paham dengan jalan pemikiran Keiko.

Ayah dalam cerita ini berperan sebagai ayahnya Keiko. Watak Ayah dapat dilihat dalam
kutipan berikut, “Ayahku seorang pegawai bank yang tenang dan rajin,… (Murata,
2020:16)”. Dari kutipan tersebut, bisa dilihat bahwa Keiko melihat Ayah sebagai sosok
yang tenang dan rajin. Ayah juga digambarkan sebagai seseorang yang tetap menyayangi
Keiko walau ia “berbeda” dalam kutipan berikut, “Meskipun kecewa, Ayah dan Ibu tetap
menyayangiku (Murata, 2020:14)”.

Mami dalam cerita ini berperan sebagai adik perempuannya Keiko. Mami memiliki sifat
yang sangat perhatian dan peduli dengan kondisi Keiko. Mami juga selalu memberi
masukan untuk Keiko agar tidak dikucilkan oleh masyarakat sekitarnya. Pernyataan ini
dapat didukung dengan kutipan berikut ini, “Aku paham orang akan menganggap aneh
bahwa orang seusiaku belum punya pekerjaan tetap dan belum menikah karena adikku
pernah menjelaskannya (Murata, 2020:40)”. Berdasarkan kutipan tersebut, dapat dilihat
bahwa Keiko banyak sekali mendapat saran dari Mami agar dapat berbaur dengan
“normal”. Hal ini menunjukkan bahwa Mami peduli dengan kondisi Keiko dan selalu
membantunya dari belakang.

Dat-kun berperan sebagai pegawai baru di minimarket tempat Keiko bekerja. Dat-kun
memiliki sifat yang pekerja keras meskipun dia adalah seorang pegawai baru. Hal ini dapat
dilihat dari kutipan berikut, “Di layar itu terlihat Dat-kun, orang Vietnam yang baru
bekerja di shift malam, berusaha keras mengoperasikan mesin kasir, … (Murata,
2020:27)”. Kutipan tersebut mendukung pernyataan Dat-kun sebagai seseorang yang
rajin dan selalu bekerja keras walau belum terbiasa (dalam hal ini, mengoperasikan mesin
kasir).

Iwaki juga merupakan salah satu di minimarket tempat Keiko bekerja. Pada cerita in, Iwaki
digambarkan sebagai seseorang pekerja keras namun sedikit kurang bertanggung jawab
dalam pekerjaannya pada saat ini. Pernyataan tersebut dapat didukung dengan kutipan
berikut, “Padahal shif siang juga minus Iwaki karena dia sering absen untuk wawancara
pekerjaan. Dia benar-benar menyusahkan. Tak masalah kalau dia mau berhenti, tapi
harus memberitahu sebelumnya karena kalau tidak itu akan merepotkan pegawai lain!
(Murata, 2020:33)”. Dari kutipan ini terlihat bahwa Iwaki memiliki sifat yang pekerja keras,
terlihat bahwa Iwaki membolos kerja bukan karena malas melainkan karena dia
mengikuti wawancara pekerjaan lainnya. Akan tetapi Iwaki tetap tidak bertanggung
jawab karena selalu bolos tanpa pemberitahuan ingin berhento sebelumnya.

Miho merupakan teman lama Keiko yang muncul di reuni sekolah. Miho merupakan
karakter yang baik ketika sudah bertemu kembali dengan Keiko. Hal ini dapat didukung
oleh kutipan berikut, “Wah sudah lama kita tidak bertemu! Kau terlihat berbeda sekali,
Furukura!” Miho menyapaku dengan ceria dan kami mengobrol dengan antusias soal tas
kami, yang ternyata sama tapi beda warna (Murata, 2020:36)”. Dulu Miho menganggap
Keiko jahat dan mengucilkannya, namun sekarang ia baik karena ada perubahan yang bisa
ia terima dalam Keiko.
Yukari juga merupakan teman lama Keiko yang juga bertemu dalam acara reuni sekolah.
Yukari memiliki watak yang mirip dengan Miho, yakni menjadi baik dan mau berteman
dengan Keiko setelah perubahannya. Adapun kutipan sebagai berikut, “Keiko sekarang
kau berubah ya”. Yukari menatapku yang terlihat ekspresif ketika berbicara. “Dulu cara
bicaramu lebih spontan, kan? Mungkin bentuk rambut yang membuatmu berbeda”
(Murata, 2020:37)”. Hal ini mendukung pernyataan bahwa dulu Yukari menganggap Keiko
sebagai anak yang “aneh” dan sekarang lebih diterima karena sudah lebih “normal”.

Manajer disini merupakan manager di tempat Keiko bekerja. Manajer sudah beberapa
kali berganti di minimarket. Sifat masing-masing Manajer tersebut dijelaskan dalam
kutipan berikut, “Manajer nomor dua punya kebiasaan bolos, manajer nomor empat rajin
dan suka bersih-bersih, manajer nomor enam eksentrik dan tak disukai, pernah bikin
masalah hingga semua pegawai shif sore kompak berhenti. Manajer nomor delapan
relative disukai para pegawai karena ia aktif melakukan pekerjaan fisik. Manajer nomor
tujuh terlalu lemah dan tidak bisa tegas pada pegawai shift malam sehingga toko jadi
kacau (Murata, 2020:45-46)”. Dapat disimpulkan dari kutipan ini bahwa di minimarket
tempat Keiko bekerja memiliki berbagai manajer dengan kepribadian yang berbeda-beda.

Shiraha merupakan pegawai baru di minimarket tempat Keiko bekerja. Shiraha memiliki
watak pemalas, menjijikkan, dan juga sering meremehkan orang lain. Kutipan yang dapat
mendukung pernyataan sebagai berikut, “Semua yang bekerja di sini adalah pecundang.
Di semua minimarket mana pun sama. … . Semuanya pecundang (Murata, 2020:69)”.
Pada kutipan ini terlihat bahwa Shiraha selalu meremehkan orang-orang dengan
pekerjaan kecil dan tidak berubah sampai akhir cerita. Adapula kutipan lain seperti, “Dia
selalu beralasan macam-macam padahal sebenarnya dia cuma ingin bermalas-malasan,
dan buatku dia semakin menggelikan (Murata, 2020:70)”. Pada kutipan dari perkataan
salah satu pegawai minimarket menggambarkan bahwa Shiraha suka bermalas-malasan
dan menggelikan dari sisi selalu berbicara besar tanpa ada realisasi yang berarti.

d. Latar atau Setting


Latar adalah keterangan, petunjuk, atau pengacuan yang berkaitan dengan waktu, ruang,
dan suasana terjadinya peristiwa dalam suatu karya sastra. (Panutri-Sudjiman dalam
Sugihastuti dan Suharto, 2013:5) Latar dalam novel “Gadis Minimarket” yang ditulis oleh
Sayaka Murata terbagi menjadi beberapa, yakni latar tempat, latar suasana, dan latar
waktu.

Latar tempat yang digunakan dalam cerita ini adalah minimarket, meja kasir, sekolah,
daerah perkantoran, ruang belakang minimarket, dan Yokohama. Dari berbagai latar
tempat yang disebutkan diatas, cerita ini lebih banyak menggunakan latar tempat
minimarket karena profesi Keiko sebagai pegawai paruh waktu minimarket.

Latar waktu yang digunakan dalam cerita ini dapat dilihat dari kutipan-kutipan yang
mendukung sebagai berikut,

“ Pada pagi hari seperti sekarang, yang paling laku terjual adalah onigiri, sandwich
dan salad (Murata, 2020:6)”.
“Jam siang memang sibuk, tapi kita harus tetap rajin membersihkan lantai, jendela,
dan area sekitar pintu (Murata, 2020:35)”.
”Waktu itu hari minggu sore dan tak tampak tanda-tanda kebradaan orang selain
aku (Murata, 2020:17)”.
“Ketika hari berganti malam, pemandangan berubah menjadi deretan cahaya yang
berasal dari jendela kantor-kantor. (Murata, 2020:44)”.

Dari empat kutipan diatas dapat disimpulkan, bahwa latar waktu dalam ini sama seperti
kehidupan pada umumnya, yaitu pagi, siang, sore dan malam.

Latar suasana yang digunakan dalam cerita ini dapat dilihat dari kutipan-kutipan berikut,

“Wah, menyenangkan sekali. Karena aku sulit berjalan dengan kondisi tubuh
yang sudah bungkuk seperti ini… (Murata, 2020:23)”
“Mendengar percakapan mereka yang penuh emosi, timbul sedikit kecemasan
dalam diriku (Murata, 2020:34)”
“Iya, memang kacau sekali. Mulai minggu ini manager akan pindah…. (Murata,
2020:33)”

Dari beberapa kutipan diatas, dapat disimpulakn bahwa latar suasana dalam cerita
tersebut juga seperti kehidupan seperti biasanya manusia normal. Ada menyenangkan,
cemas, kacau dan lain sebagainya.

e. Sudut Pandang
Sudut pandang merupakan posisi narator dalam sebuah cerita. Sudut pandang yang
terdapat dalam novel “Gadis Minimarket” yang ditulis oleh Sayaka Murata adalah sudut
pandang orang pertama sebagai pelaku utama dengan menggunakan kata ganti "Aku"
yaitu tokoh Keiko. Dengan melihat perspektif Keiko sebagai pelaku utama, pembaca
dapat lebih memahami pola pikir dan sudut pandang Keiko. Sehingga pembaca dapat
merasakan dan memahami pertentangan internal yang dialami oleh Keiko ketika
mencoba memahami dan menyesuaikan diri untuk menjadi bagian dari masyarakat yang
normal. Adapun beberapa kutipan yang dapat mendukung pernyataan sebagai berikut,
“Aku membaca gerak-gerik dan pandangan mata pelanggan secara otomatis, dan
tubuhku menanggapinya secara refleks. Mata dan telingaku menjadi sensor pen-
ting yang menangkap keinginan dan gerakan kecil pelanggan. Tanganku bergerak
gesit mengikuti informasi yang kutangkap, dan aku memastikan para pelanggan
tidak sampai merasa tidak nyaman karena diamati dengan saksama (Murata,
2020:8)”
“Aku tak bisa membayangkan apa jadinya aku setelah tak lagi menjadi pegawai
minimarket. Setelah mem- bungkuk memberi salam pada toko yang terang seperti
akuarium itu, aku berjalan menuju stasiun kereta bawah tanah (Murata, 2020:
141)”
Dari dua kutipan diatas dapat mendukung pernyataan bahwa cerita ini menggunakan
sudut pandang pertama dari awal hingga akhir cerita.
f. Amanat
Amanat merupakan gagasan yang mendasari karya sastra, pesan yang ingin disampaikan
pengarang kepada pembaca atau pendengar. Amanat yang terkandung dalam novel
“Gadis Minimarket” yang ditulis oleh Sayaka Murata adalah jangan pernah menghakimi
orang yang “berbeda” dengan kita, karena semua manusia pada hakikatnya adalah sama.
Tidak baik untuk menghakimi orang lain ketika tidak dapat memahami apa yang sedang
dialami oleh orang tersebut. Selain itu, jangan pernah meremehkan orang lain, bekerja
dengan sungguh-sungguh, serta tidak banyak omong kosong tanpa realisasi yang berarti.

g. Gaya Bahasa
Gaya bahasa ialah keseluruhan gaya pengarang dalam mengungkapkan idenya ke dalam
sebuah tulisan. Gaya bahasa yang digunakan dalam novel “Gadis Minimarket” yang ditulis
oleh Sayaka Murata ini adalah metafora dan satir. Adapun salah satu kutipan yang
menggunakan gaya bahasa metafora sebagai berikut, “Pada waktu pagi, aku merasakan
normalnya bekerja di dalam kotak cahaya kecil ini (Murata, 2020:8)”. Pada kutipan
tersebut, kata “kotak cahaya kecil” merupakan metafora yang berarti minimarket tempat
Keiko bekerja. Gaya bahasa satir yang digunakan dalam cerita ini dapat dilihat pada
kutipan berikut, “…dalam hati aku berpikir bahwa ternyata di balik kulitnya yang kering
seperti kertas tersimpan cukup kelembapan sehingga bisa menciptakan gelembung
(Murata, 2020:52)”. Secara tidak langsung, kutipan ini menyindir fisik Shiraha yang kurus
kering sekaligus menyatakan bahwa ia memiliki sifat yang cukup jorok dengan
menciptakan gelembung tersebut.
UNSUR EKSTRINSIK
a. Latar Belakang Penulis
Dilansir dari Guardian News & Media Limited or its affiliated companies yang di tulis oleh
Mcneil (2020). Sayaka Murata lahir pada 14 Agustus tahun 1979 di Inzai (Prefektur Chiba,
Jepang). Setelah Murata menyelesaikan sekolah menengah di Inzai, keluarganya pindah
ke Tokyo, ia lulus dari Sekolah Menengah Kashiwa dan kuliah di Universitas Tamagawa.
Murata juga bekerja sebagai pegawai di minimarket. Karya-karyanya antara lain yaitu,
Konbini Ningen pada tahun 2016 merupakan karya pertamanya sebagai hasil dari
pengamatan pribadinya saat bekerja di minimarket yang kemudian meraih penghargaan.
Sayaka Murata juga sering mengangkat isu gender, orang tua dan jenis kelamin dan
mempertanyakan hal tabu dalam karyanya.

Sayaka Murata menulis novel “ コ ン ビ ニ 人 間 ” dari sudut pandang seseorang yang


menentang pemikiran konvensional, khususnya dalam masyarakat konformis di mana
seseorang diharapkan untuk memenuhi peran yang telah ditentukan sebelumnya. Bagi
seorang penulis kontemporer, standarstandar itu menjadi sesuatu yang harus dikritik dan
dilawan. Murata menempatkan sesuatu mengenai menantang hal yang tabu di garis
depan karyakaryanya. Murata juga sering mempertanyakan validitasnya dalam karyanya.
Murata percaya bahwa semakin dia menulis tentang mempertanyakan hal-hal tabu dan
validitasnya ini semakin dekat dia dengan kebenaran yang sebenarnya.

b. Latar Belakang Masyarakat


Sayaka Murata tumbuh dalam lingkungan perkotaan Tokyo yang dimana banyak
menekankan sejumlah standar-standar kehidupan tertentu. Namun, Murata kurang suka
dengan standar-standar yang demikian. Murata jengah mengingat orang tuanya yang
dahulu menargetkan Murata untuk masuk sekolah tertentu, selanjutnya harus menikah
dengan laki-laki yang memenuhi standar kemapanan yang dipercaya ibunya. Dalam
budaya masyarakat Jepang, perempuan yang telah memasuki usia kepala tiga di anggap
telah siap untuk menikah. Sebagai perempuan usia kepala tiga, Keiko belum memehi
ketentuan sosial yang ada yaitu menikah atau memiliki pekerjaan tetap. Selain itu,
kedudukan Keiko juga dianggap lemah karena teman sebayanya telah sesuai konstruksi
sosial.

c. Nilai-Nilai Terkandung
Adapun nilai-nilai terkandung dalam novel “Gadis Minimarket” yang ditulis oleh Sayaka
Murata dinyatakan dalam beberapa kutipan sebagai berikut.

1. Nilai Moral
Nilai moral yang ada dalam cerita ini adalah Keiko menghargai perasaan orang tua dan
adiknya, sehingga dia ingin sembuh dan pergi ke psikiater. Hal ini dapat dilihat dari
kutipan berikut, “Dia berdiri dan menangis. “Kak, ayo kita ikut konseling. Kau harus
disembuhkan. Tak ada pilihan lain.” “Aku pernah konseling waktu masih kecil, tapi
tidak ada hasilnya. Lagi pula, aku tidak tahu apa yang perlu disembuhkan (Murata,
2020:129)”.
2. Nilai Sosial
Nilai sosial yang ada dalam cerita ini adalah hubungan Keiko dengan keluarga dan
teman tempat dia bekerja baik, bahkan dia berubah untuk terlihat normal, dan
diskriminasi akan orang yang berbeda dari masyarakat normal. Keiko juga
mengajarkan untuk tidak perlu mengikuti standar sosial masyarakat jika dirasa tidak
sesuai, jadilah diri sendiri selama tidak merugikan orang lain. Bukti kutipan yang dapat
mendukung pernyataan tersebut sebagai berikut, “Keluargaku menyayangiku dan
mencintaiku, dan karena itulah mereka selalu mengkhawatirkanku. Hal 15. “Bagus
Furukura-san! Itu tadi sempurna!” seru manajer yang berdiri disampingku sambil
menambah stok kantong plastik (Murata, 2020:24)” .
3. Kesetaraan Gender
Kesetaraan gender yang diangkat dalam cerita ini ditunjukkan dengan perempuan dan
laki-laki bisa bekerja paruh waktu, bahkan bisa memiliki pekerjaan yang tetap. Namun
Keiko tak bisa memilih hak-haknya karena mereka masih memiliki pelabelan gender,
seperti dia harus memiliki pekerjaan tetap diusia dia yang menginjak kepala tiga,
sementara dia nyaman dengan pekerjaan dia sekarang. Kutipan yang menunjukkan
nilai tersebut sebagai berikut, ““Keiko, kau belum menikah?” “Belum.” “Jangan-
jangan kau masih bekerja paruh waktu, ya?” Sejenak aku berpikir. Aku paham orang
akan menganggap aneh bahwa orang seusiaku belum punya pekerjaan tetap dan
belum menikah karena adikku pernah menjelaskannya. Tak ingin mengelak di depan
Miho serta yang lain yang tahu fakta sebenarnya, aku pun mengangguk (Murata,
2020:40)”.

4. Patriarki
Topik patriarki yang diangkat dalam cerita ini ditandai oleh tokoh Shiraha
menganggap zaman modern sama dengan zaman Jomon, yaitu laki-laki yang kuat
akan berburu, para perempuan tetap di rumah, dan perempuan yang cantik akan
menikah dengan laki-laki yang kuat, perempuan yang jelak atau laki-laki yang lemah
akan dikucilkan, zaman sekarang dimana perempuan yang tua dan belum menikah
dianggap tidak akan ada yang mau, perempuan kantoran pasti mau dengan yang sama
dengan mereka, pekerja kantoran pula, sementara mereka yang belum punya
pekerjaan tetap, belum menikah, akan ditanya kapan memiliki pekerjaan tetap, kapan
menikah, secara tidak langsung mereka dituntut untuk memiliki hal tersebut. Bukti
kutipannya sebagai berikut, “Pekerjaan seperti ini tidak cocok untuk laki-laki,” Shiraha
menggumam, “sejak zaman Jomon memang seperti itu, kan? Laki-laki pergi berburu,
dan perempuan mengumpulkan rumput liar serta buah-buahan sambil menjaga
rumah. Dari struktur otak pun pekerjaan seperti ini lebih cocok untuk perempuan,
kan? (Murata, 2020:54-55)”
5. Feminism
Topik feminism dalam cerita ini ditandai dengan gambaran bahwa perempuanpun
bisa bekerja, tidak hanya selalu mengerjakan pekerjaan rumah saja. Berikut kutipan
yang ditandai dalam cerita, “Aku kerja sambilan di minimarket. Kondisi fisikku…” baru
saja aku hendak meneruskan alasan buatan adikku, Eri mencondongkan tubuhnya.
“Oo, kerja sambilan? Beratri kau sudah menikah, ya? Kapan?” Tanya-nya yakin
(Murata, 2020:79)”. Hal ini mendukung fakta bahwa setelah menikah pun perempuan
masih bisa melakukan pekerjaan, termasuk paruh waktu.

6. Pendidikan Karakter
Pendidikan Karakter yang ada dalam cerita ini ditandai dengan tokoh Keiko yang
disiplin dan selalu mematuhi aturan. Hal ini ditandai dalam kutipan berikut, “Oh,
selamat pagi, Furukura-san! Hari ini lagi-lagi kau datang lebih awal, ya (Murata,
2020:45)”. Kutipan ini berasal dari rekan kerjanya, Sugawara. Dari kutipan tersebut
bisa dilihat bahwa Keiko merupakan seseorang yang selalu disiplin akan waktu. Lalu,
pesan lainnya adalah jangan jadi seperti Shiraha yang suka ngomong besar tanpa
realisasi yang berarti. Pernyataan ini dapat didukung dengan kutipan berikut, “Aku
ingin calon yang kaya krena aku punya ide bisnis. Tapi, aku tak bisa menjelaskannya
secara mendetail karena tak ingin ada yang meniru. Dan aku berharap calon istriku
bisa memodali ide bisnisku itu. Ideku pasti berhasil dan itu akan membungkam
keluhan semua orang (Murata, 2020:89)”. Dari pernyataan ini dapat dilihat bahwa
Shiraha hanya bisa omong besar karena tidak pernah ingin usaha untuk mewujudkan
ide yang selalu ia banggakan.

3. KESIMPULAN
Novel “ コ ン ビ ニ 人 間 ” atau dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai “Gadis
Minimarket” yang ditulis oleh Sayaka Murata menceritakan tentang keseharian seorang gadis
yang bernama Furukura Keiko sebagai pegawai paruh waktu di sebuah minimarket. Keiko
merupakan seseorang yang memiliki pandangan dan pola berpikir yang cukup “berbeda” dari
masyarakat pada umumnya. Hal ini sudah terlihat sejak ia kecil yang ditandai dengan kejadian
bahwa ia meminta Ibunya untuk menggoreng burung pipit yang sudah mati ketika yang lain
sedang bersedih atas kematian tersebut. Setelah itu, ketika masa SD Keiko juga
memberhentikan pertikaian teman-temannya dengan memukul kepala mereka
menggunakan sekop hanya dengan alasan itulah cara tercepat daripada harus menunggu
guru datang terlebih dahulu. Belum lagi Keiko juga pernah menarik rok seorang guru yang
sedang histeris dan membuat seluruh murid takut dengan tujuan agar ia tidak menjerit lagi.
Alhasil, Keiko selalu dipanggil ke sekolah dan hal tersebut juga membuat ibunya kecewa serta
sedih akan fakta bahwa anaknya tidak mengerti akan hal-hal yang tidak boleh dilakukan. Sejak
hari itu, Keiko memutuskan untuk banyak diam dan tidak mengambil tindakan sendiri lagi
agar tidak menyakiti orang tuanya. Ia juga berusaha untuk konsultasi kepada terapis, walau
ia sendiri bingung dan merasa tidak juga “sembuh”.

Waktu berlalu, orang-orang di sekitarnya menjadi lega ketika Keiko menjadi lebih diam. Keiko
menjalani kehidupan dengan berbicara secukupnya saja sepanjang bersekolah SD sampai
kuliah. Walau sudah tidak menimbulkan masalah lagi, kepribadian Keiko sekarang juga
menimbulkan kecemasan bagi orang tuanya. Ayah dan ibunya takut jika Keiko tidak bisa
terjun ke masyarakat dengan kepribadian yang seperti itu, sehingga Keiko pun tumbuh
dengan pemikiran bahwa ia harus “sembuh”.

Awal perjalanan Keiko menjadi gadis paruh waktu di minimarket adalah ketika ia tersesat dan
menemukan satu minimarket yang akan buka. Keiko merasa tertarik untuk menjadi pegawai
paruh waktu disana walau ia tidak merasakan adanya kekurangan uang saku dari orang
tuanya. Minggu depan, ia menjalani pelatihan dan akhirnya memulai hidupnya menjadi
pegawai paruh waktu minimarket hingga 18 tahun lamanya tanpa berganti tempat. Ia pernah
mencoba mencari pekerjaan lain karena desakan orang sekitar, tetapi kerap tidak diterima
karena ia hanya memiliki pengalaman bekerja paruh waktu di minimarket dan tidak pernah
bisa menjelaskan alasan ia bekerja paruh waktu selama itu.

Keiko tetap melanjutkan pekerjaannya sebagai seorang pegawai minimarket, dengan banyak
kejadian yang silih berganti datang ke kehidupannya. Pertama, ia menyerap berbagai macam
kepribadian di sekitarnya untuk berbaur menjadi bagian dari masyarakat yang “normal”.
Dalam hal ini dia banyak dibantu oleh adik perempuannya, Mami, untuk menyiapkan
jawaban-jawaban akan pertanyaan orang-orang supaya tidak dianggap aneh.

Kedua, Keiko bertemu dengan teman-teman lamanya di acara reuni sekolah. Teman-teman
Keiko bernama Miho dan Yukari. Mereka berdua terkejut dan kagum atas perubahan Keiko
menjadi seseorang yang lebih “normal”, lalu memperlakukannya dengan baik. Namun,
mereka berdua tetap saja membuat Keiko merasa sedikit cemas akan pertanyaan yang terlalu
menyinggung privasi seperti hubungan asmara atau alasan Keiko masih bekerja sebagai
pegawai paruh waktu hingga saat ini.

Ketiga, minimarket tempat Keiko bekerja kedatangan pegawai baru dengan sifat buruk.
Pegawai tersebut bernama Shiraha, seorang pria yang selalu meremehkan orang lain. Shiraha
kerjanya hanya bermalas-malasan, menghina orang yang tidak memiliki pekerjaan tinggi,
selalu berbicara bahwa perempuan dari zaman Jomon selalu memilih cowo yang kuat;
berstatus tinggi. Shiraha juga selalu berbicara omong kosong tanpa realisasi yang berarti,
belum lagi juga suka menguntiti perempuan dengan cara yang menjijikkan. Tidak ada pegawai
minimarket yang senang dengannya dan pada akhirnya dipecat karena menimbulkan terlalu
banyak masalah.

Pada suatu hari, Shiraha ditemukan sedang menjadi gelandangan oleh Keiko. Keiko yang
melihat hal tersebut mencetuskan sebuah ide agar Shiraha tinggal bersama di rumahnya. Hal
ini dilakukan dengan tujuan untuk meredam pertanyaan orang-orang sekitar akan hubungan
asmara yang mau tidak mau menimbulkan kecemasan bagi Keiko. Shiraha meminta Keiko
untuk menyembunyikannya, akan tetapi tidak sengaja tersebar beritanya dan reaksi semua
orang berubah. Bahkan pegawai minimarket yang sangat Keiko hormati karena ia
diperlakukan seperti manusia biasa pun mulai mengurusi hidupnya, seolah lebih penting
daripada minimarket itu sendiri. Pada akhirnya, Keiko berhenti menjadi pegawai mini market
agar bisa mencari pekerjaan tetap untuk dirinya dan Shiraha.

Setelah itu Keiko tidak bekerja untuk beberapa saat dan merasa sangat tidak tenang. Akhirnya
Shiraha mencarikan sebuah lowongan pekerjaan untuk dilamar oleh Keiko. Namun, pada saat
hari dimana Keiko akan melakukan interview, ia melihat sebuah minimarket. Secara tidak
sadar, tubuhnya sudah menata hal-hal yang dirasa tidak efektif dalam minimarket tersebut.
Sampai pada akhirnya dia tersadar, jiwanya sudah menjadi milik minimarket itu sendiri. Keiko
hanya ingin menjadi pegawai minimarket. Shiraha yang mendengar hal itu tidak setuju dan
meninggalkan Keiko. Pada akhirnya, Keiko kembali menjadi pegawai minimarket lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Murata, Sayaka. 2016. Gadis Minimarket. Terjemahan Ninuk Sulistyawati. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Nuraini, Ella. 2022. Aspek Moral Tokoh Utama Dalam Novel Convenience Store
Women Karya Sayaka Murata. PENTAS, Volume 8 (1), 51-60.
Saina, E., Syamsiyah, S., & Riko, R. 2020. Analisis Struktur Dalam Novel “Seperti Hujan
Yang Jatuh Ke Bumi “Karya Boy Candra. Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Metalingua, Volume 5(1), 7-14.

Sugihastuti, Suharto. 2013. Kritik Sastra Feminis: Teori dan Aplikasinya. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar

Anda mungkin juga menyukai