Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH

MASALAH SOSIAL TOKOH AKU DALAM CERPEN KANGOKUSHO


NO URA KARYA NAGAI KAFUU

Dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Nihon Sanbun no Bunseki

Disusun oleh:

I Gusti Ngurah Alit Wijaya Jelantik 2001581043


Aldo Setiawan 2001581044
I Made Adhyaksa Parama Wibawa 2001581046
Gleysias Reyznanda Girsang 2001581048
Marco Antonio Barera 2001581051
Reiva Andrew Waluyo 2001581052
Tobey Reiva Adriano 2001581059
Koming Suananda 2001581060
Muhammad Gavin Fat-Hussangga 2001581063

PROGRAM STUDI SASTRA JEPANG


FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2023
1. PENDAHULUAN
Manusia disebut sebagai makhluk sosial karena selalu hidup dalam kelompok.
Dalam hidup secara berkelompok, manusia akan berinteraksi dan bersosialisasi
dengan manusia lainnya karena tidak ada manusia yang bisa hidup sendirian. Namun,
dalam bersosialisasi, manusia tidak luput dari berbagai masalah yang muncul. Meski
hidup dalam satu kelompok, berbagai masalah pasti akan muncul dari kehidupan
sosial manusia karena perbedaan nilai yang berlaku dan dipercayai.
Permasalahan sosial merupakan masalah atau isu yang mempengaruhi
kesejahteraan masyarakat. Permasalahan sosial dapat meliputi berbagai hal, seperti
kemiskinan, ketimpangan ekonomi, diskriminasi, kekerasan, pelecehan, masalah
kesehatan, dan lingkungan, serta banyak masalah lainnya. Sebagai contoh, seseorang
bisa bermasalah dalam keluarga karena sistem sosial yang berlaku dalam keluarganya,
masalah seseorang dengan sistem sosial dengan masyarakat sekitarnya dan
sebagainya.
Sebuah cerita pendek asal Jepang mengisahkan tentang seorang tokoh yang
merupakan anak sulung dalam keluarganya. Ayahnya sangat disiplin dan ibunya patuh
serta selalu mengikuti keputusan kepala keluarga. Pada suatu hari, tokoh tersebut
tidak memenuhi harapan orang tuanya untuk tidak pergi ke negara Barat selama tiga
tahun. Akibatnya, ketika tokoh tersebut kembali ke Jepang,Ia diperlakukan dengan
dingin dan formalitas oleh orang tuanya. Cerita ini dapat memberikan banyak bahan
untuk diteliti lebih mendalam. Cerpen tersebut berjudul "Kangokusho no Ura".
Ada banyak hal yang bisa diteliti dari Tanshishōsetsu ini. Dari cerita tersebut,
bisa dilakukan analisis berdasarkan teori sosiologi sastra. sosiologi sastra dapat
diterapkan pada cerpen untuk mempelajari hubungan antara sastra dan masyarakat.
Disiplin ilmu ini mencakup analisis sosial, kultural, dan sejarah sastra dalam konteks
masyarakat tempat sastra tersebut dihasilkan dan dikonsumsi. Tujuan dari sosiologi
sastra adalah untuk memahami bagaimana sastra mempengaruhi masyarakat dan
bagaimana masyarakat mempengaruhi sastra.
Damono dengan bukunya Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar Ringkas (1978)
mengemukakan, hubungan antara sastra, sastrawan, dan masyarakat yang bersifat
timbal balik yang menimbulkan pertanyaan utama (pokok) dalam lingkup sosiologi
sastra. Di antara pertanyaan itu adalah (1) apakah latar belakang pengarang
menentukan isi karyanya, (2) apakah dalam karya- karyanya si pengarang mewakili
golongannya; (3) apakah karya sastra yang digemari masyarakat itu sudah dengan
sendirinya bermutu tinggi, (4) sampai berapa jauhkah karya sastra mencerminkan
keadaan zamannya; (5) apakah pengaruh masyarakat yang semakin rumit
organisasinya itu terhadap penulisan karya sastra, dan sebagainya itulah
persoalan-persoalan penting dalam penelitian (kritik) sastra dalam hubungannya
dengan masyarakat. Cerpen Kangokusho no Ura karya Nagai Kafu menarik untuk
dikaji karena menggambarkan penyebab konflik sosial yang cerpen di Jepang pada
zamannya.
2. METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode dialektik, yaitu metode yang berupaya
menggambarkan hubungan timbal balik antara fenomena sosial yang terkandung
dalam karya sastra. Fenomena yang ada dalam karya sastra akan dibandingkan dengan
fenomena yang terjadi dalam realitas masyarakat. Adapun teknik yang harus
diterapkan dalam menggunakan metode ini, yaitu dengan.
- Menganalisis fenomena sosial terkait dengan pembentukan karakter chounan
yang tergambar dalam cerpen Kangokusho no Ura.
- Menghubungkan antara keterkaitan fenomena sosial yang tergambar dalam
cerpen Kangokusho no Ura dengan fenomena sosial yang terjadi di dalam
masyarakat Jepang.

3. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


Nagai Kafuu (1879-1959) merupakan novelis yang berasal dari Jepang.
Sepanjang hidupnya, Nagai Kafuu sudah menulis banyak karya sastra. Salah satu
karyanya berjudul Kangokusho no Ura atau diterjemahkan ke bahasa Indonesia
menjadi “Di Belakang Penjara”
Pada bagian awal, dikatakan bahwa tokoh aku merasa tidak cocok dengan
lingkungan sosialnya. Pada bagian ini, tokoh aku mengatakan bahwa meskipun tokoh
aku sudah kembali ke Jepang, namun dia merasa bahwa dia tidak akan melakukan
apapun karena tidak mampu menyelesaikan masalah yang sedang dihadapinya seperti
data berikut.
(1) 私は当分、何にもせず、此処にこうしているより仕様がありますまい。一生涯
こうしているのかも知れません。しかし、この境遇は私に取っては別に意外と
いうほどの事ではない。(paragraf 2 kalimat 1-3)
Watashi wa tōbun, nani ni mo sezu, koko ni kōshite iru yori shiyō ga arimasu
mai. Isshōgai kōshite iru no kamo shiremasen. Shikashi, kono kyōgū wa
watashi ni totte wa betsuni igai to iu hodo no kotode wanai.
‘Saya mungkin akan berada di sini, tidak melakukan apa-apa, untuk sementara
waktu. Saya mungkin akan berada di sini, tidak melakukan apa-apa, untuk
sementara waktu. Bahkan, saya mungkin harus menghabiskan sisa hidup saya
seperti ini. Bukan bahwa saya terkejut menemukan diri saya dalam situasi ini.’
Pada data (1), tokoh aku mengatakan ketidakcocokannya saat berada di
Jepang. Ketidakcocokannya diekspresikan dengan mengatakan bahwa dia tidak akan
melakukan apapun bahkan sampai mengatakan sampai seumur hidupnya. Dalam
cerpen, situasi dari tokoh aku dikatakan tidak mengejutkan tokoh aku sama sekali.
Ketidakcocokannya tersebut kemudian diperjelas kembali pada data (2).

(2) 意気地のない私が案外にあれほど久しく、淋しい月日を旅の境遇に送り得た
のも、つまりはやみがたい芸術の憧憬というよりも、苦しいこの問題の解決が
つかなかったためです。(paragraf 2 kalimat ke-7)
Ikujinonai watashi ga angai ni are hodo hisashiku, samishī tsukihi o tabi no
kyōgū ni okuri eta no mo, tsumari haya mi gatai geijutsu no dōkei to iu yori
mo, kurushī kono mondai no kaiketsu ga tsukanakatta tame desu.
‘Saya adalah orang yang tidak berambisi, tetapi alasan saya bisa
menghabiskan waktu dalam kesepian hidup di luar negeri bukan karena
kerinduan saya pada seni, tetapi karena saya tidak dapat menemukan solusi
untuk masalah yang menyakitkan ini.’

Pada data (2), dijelaskan bahwa tokoh aku merasakan kesepian karena
ketidakmampuannya selama hidup di Jepang. Alasan kesepiannya dikatakan pada data
1 karena ketidakcocokannya terhadap keadaannya di lingkungan barunya. Tokoh aku
merasakan perbedaan yang signifikan antara lingkungan lama dan lingkungan
barunya. Di luar negeri, kebebasan dalam lingkungan masyarakat lebih terbuka dan di
sana dikatakan tidak perlu takut akan kelaparan. Namun, di Jepang dikatakan bahwa
pembatas dalam lingkungan masyarakat Jepang sangat mengekang dan membuat
tokoh aku merasa tuntutan sosial dalam masyarakat Jepang. Pada saat bertemu dengan
ayahnya pun, dia sampai menutup mukanya karena rasa malu.
(3) 私は覚えず顔を隠したいほど恐縮しました。同時に私はもう親の慈愛には
飽々(あきあき)したような心持もしました。親は何故(なぜ)不孝なその児を打
捨ててしまわないのでしょう。児は何故(なにゆえ)に親に対する感謝の念に
迫められるのでしょう。無理にも感謝せまいと思うと、何故それが我ながら苦し
く空恐ろしく感じられるのでしょう。(Paragraf 3 kalimat 1-5)

Watashi wa oboezu kao o kakushitai hodo kyōshuku shimashita. Dōjini


watashi wa mō oya no jiai ni wa akiaki shita yōna kokoromochi mo
shimashita. Oya wa naze fukōna sono ko o uchisutete shimawanai
nodeshou.-Ji wa naze ni oya ni taisuru kansha no nen ni Sako-me rareru
nodeshou. Muri ni mo kansha semai to omou to, naze sore ga warenagara
kurushiku soraosoroshiku kanjirareru nodeshou.
‘Merasa malu dengan usaha ayahku yang begitu besar, saya merasa dorongan
naluri untuk menyembunyikan wajah saya. Pada saat yang sama, saya jengkel
dengan kasih sayang orang tua. Mengapa orang tua saya tidak membalikkan
punggung pada seorang anak yang telah membuktikan dirinya tidak tulus?
Dan mengapa anak itu merasa begitu terancam oleh rasa syukurnya terhadap
orang tuanya? Mengapa, ketika dia mencoba memaksa dirinya tidak merasa
bersyukur, dia berhasil hanya dalam memenuhi dirinya dengan rasa sakit dan
ketakutan?’
Data (3) memperkuat data (2) dimana dikatakan tokoh aku yang merasa malu
ketika bertemu ayahnya. Dia langsung menutup wajahnya dalam rasa malu
dikarenakan kegagalan yang tokoh aku alami meskipun ayahnya merupakan seorang
yang bisa dikatakan sebagai orang yang berhasil. Dia bahkan menyatakan muak
dengan dirinya sendiri dan bingung akan kasih sayang orang tuanya kepadanya yang
dirasa gagal dan tidak berguna menghidupi nama baik ayahnya. Tokoh aku
mengatakan kebingungannya dalam pada saat orangtuanya tidak membuang dirinya
karena sudah membawa ‘aib’ bagi keluarganya dengan menjadi orang gagal di dalam
keluarganya dimana dalam masyarakat orang Jepang dulu, anggota keluarga yang
gagal akan dianggap ‘aib’ keluarga. Itu semua diakibatkan tuntutan sosial secara tidak
langsung dalam masyarakat dimana dalam suatu keluarga yang punya reputasi baik
tidak boleh ada ‘kecacatan’ atau ‘aib’.
(4) たとえ事情は何であっても、表向は家の嫡子という体面を重おもんずるため
でし 。
Tatoe jijō wa nanideatte mo, omotemuki wa ie no chakushi to iu taimen o jū
omonzuru tamedeshi.
‘Mungkin dia merasa harus mengadakan pesta untuk menjaga penampilan
putra dan pewarisnya.’
Dari data (4), penulis sedikit memberikan pandangan dari tokoh lain selain
tokoh aku dalam cerita, yaitu tokoh ayah. Dikatakan disini bahwa tokoh ayah
mendapatkan tekanan sosial dimana dia merasa mau tidak mau, dia harus
mengadakan pesta untuk menjaga kesannya di masyarakat. Hal ini menggambarkan
bagaimana sebuah keluarga harus menjaga kesannya kepada masyarakat luas akibat
tekanan yang diberikan.
(5) 如何いかにして男子一個の名誉を保ち、国民の義務を全うすべきかという問
題です。
Ika ikani shite danshi ikko no meiyo o tamochi, kokumin no gimu o mattou
subekika to iu mondai desu.
Dia ingin tahu bagaimana saya bermaksud untuk menjaga kehormatan saya
sebagai seorang pria, untuk memenuhi kewajiban saya sebagai warga negara
Kekaisaran. (4)
Dari data (5), diperlihatkan bahwa kaum pria mendapatkan tekanan dari
masyarakat untuk menjaga kehormatan mereka. Menjaga kehormatan pria pada
kalimat ini juga digambarkan sebagai pemenuhan kewajiban sebagai warga negara
kekaisaran. Hal ini menggambarkan seberapa pentingnya kehormatan seorang pria di
kalangan masyarakat negara kekaisaran pada saat itu.
(6) 変りのないのは狭い往来を圧して聳立つ長い監獄署の土手と、その下の貧
しい場末の町の生活とです。
Kawari no nai no wa semai ōrai o oshite shōritsutsu nagai kangokusho no
dote to , sono shita no mazushī basue no machi no seikatsu to desu .
‘Yang tidak berubah hanyalah tanggul panjang penjara yang menjulang di atas
jalan kecil dan hidup orang miskin yang bekerja di bawahnya.’
Dari data (6), tokoh menceritakan bagaimana Ia membandingkan keadaan
daerah tempat tinggalnya sekarang dengan masa lalu. Dia menceritakan bagaimana
kondisi sosial lebih khususnya kepada kesejahteraan penghuni daerahnya yang
bahkan tidak berubah seiring berjalannya waktu. Pada data ini, didapatkan sebuah
penggambaran perwujudan tuntutan sosial berupa masih terdapat masyarakat yang
tidak dapat memiliki tempat kerja yang layak. Pada paragraf ini, digambarkan
tuntutan sosial berupa realita bahwa seseorang tetap harus ‘bekerja’ hingga pada
lingkungan yang perkembangan sama sekali selama bertahun-tahun tanpa mencapai
kesejahteraan sosial yang layak pula.
(7) 夏の盛りの折々にはやはり一隊の囚人が土手の悪草を刈っている事もありま
した。
Natsu no mori no oriori ni wa yahari ichitai no shūjin ga dote no aku kusa o
katteiru koto mo arimashita.
‘Terkadang, pada puncak musim panas, sekelompok tahanan akan memotong
rumput liar di tanggul.’

Dari data (7), tokoh menggambarkan keadaan dimana terdapat sekelompok


tahanan yang melakukan kewajibannya dalam menebus tuntutannya dan menjalankan
masa tahanannya dengan memotong rumput liar di tengah teriknya musim panas. Hal
ini menggambarkan sebuah tuntutan sosial berupa ‘ganjaran’ maupun sebuah sanksi
sosial yang mengharuskan seseorang untuk melakukan hal yang dianggap setara
dengan perbuatan buruknya di mata masyarakat. Hal ini merupakan contoh langsung
bagaimana tuntutan sosial dapat mempengaruhi hidup seseorang dengan memberikan
sanksi dengan tujuan memberikan efek jera dan menjadi contoh bagaimana sanksi
tersebut akan sesuai dengan perbuatan seseorang seperti yang dibuktikan pada bagian
‘memotong rumput liar di tanggul’ yang memberikan keterangan sanksi apa yang
diberikan pada sekelompok tahanan tersebut.
(8) しかし驚くべきはこの辺に住んでいる女房たちで、寒い日にはそれをば頻と
便利がって、腫物だらけの赤児を背負い汚い歯を出して無駄口をききながら
物を洗っている。また夏中は遠慮もなく臭い水をば往来へ撒いていたもので
す。
Shikashi odorokubeki wa kono atari ni sundeiru nyōbōtachi de , samui hi ni
wa sore woba shiki to benrigatte, haremonodarake no akaji o seoi kitanai ha o
dashite mudaguchi o kikinagara mono o aratteiru . mata natsu chū wa enryo
mo naku kusai mizu o ba ōrai e maiteita monodesu .
‘Yang paling menggemparkan dari semuanya adalah ibu rumah tangga
setempat yang membawa bayi yang memiliki kudis di punggung merekam
Mereka memanfaatkan kesempatan untuk menggunakan air panas pada
hari-hari dingin dan cerah, untuk mencuci pakaian di selokan sembari
mengobrol dengan gigi yang timpang, atau pada musim panas, membuang air
kotor di jalan.’

Pada data (8) digambarkan salah satu realita sosial yang menunjukkan
bagaimana seorang ibu rumah tangga menjalankan perannya sebagai anggota keluarga
di sebuah sistem masyarakat yang kurang mendukung. Hal ini menggambarkan
tuntutan sosial yang ‘mengharuskan’ ibu-ibu tersebut untuk memanfaatkan air panas
yang datang tidak menentu selagi mengurus bayi mereka secara bersamaan. Kalimat
ini juga menggambarkan keadaan fisik kelompok tersebut yang dapat diasumsikan
juga dipengaruhi oleh gaya hidup mereka yang digambarkan mengidap penyakit dan
keadaan gigi yang kurang terawat. Hal ini juga menjadi sebuah gambaran kesenjangan
sosial yang secara tidak langsung merupakan dari tuntutan sosial yang mengharuskan
seseorang untuk melakukan apa yang dianggap menjadi sebuah kewajiban di
lingkungan masyarakat. Dalam hal ini merupakan ‘peran’ seorang ibu yang tetap
dilakukan walaupun terkena beberapa batasan individual.

(9) 両側の人家ではまだ灯一つ点さぬので、人通りは真黒な影の動くばかり、そ
の間をば棒片なぞ持って悪戯盛りの子供が目まぐるしく遊びまわっている。
Ryōsoku no jinkade wa mada akari hitotsu sasanunode, hitodōri wa
makkurona kage no ugoku bakari, sono aida oba bōkire nazo motte itazura
zakari no kodomo ga memagurushiku asobi mawatte iru.
‘Rumah-rumah di kedua sisi jalan masih belum diterangi lampu, sehingga
yang terlihat di jalan hanyalah bayangan hitam yang bergerak-gerak, di antara
anak-anak yang bermain-main dengan tongkat dan benda-benda lain dengan
kecepatan yang memusingkan.’

Dari data (9), tokoh menggambarkan keadaan dimana di kedua sisi jalan masih
belum diterangi lampu. Keadaan ini sangat membahayakan bagi para pejalan kaki,
terutama di malam hari, karena mereka kesulitan melihat jalan dan berisiko terjatuh.
Oleh karena itu, tuntutan sosial muncul untuk menjaga lingkungan dengan cara
menerangi jalan agar orang-orang dapat melihat dengan jelas dan merasa lebih aman
saat melewati jalan tersebut. Tuntutan ini menunjukkan kesadaran masyarakat dalam
menjaga keamanan dan kenyamanan bersama di lingkungan sekitar.

(10) 家族の口はまるで飯を食うのと生活難を方針なく嘆き続けるためにしか出来
ていない。貧しくとも、貧しから脱することの出来ぬ限界に直面して、人々は
次第に思想が縮小して、感情の暴力に依拠してくる。
Kazoku no kuchi wa marude meshi o kuu no to seikatsu-nan o hōshin naku
nageki tsudzukeru tame ni shika dekite inai. Mazushiku tomo, mazushi kara
dassuru koto no dekinu genkai ni chokumen shite, hitobito wa shidaini shisō
ga shukushō shite, kanjō no bōryoku ni ikyo shite kuru.
‘Mulut keluarga dibuat hanya untuk makan dan meratapi kesulitan hidup tanpa
kebijakan. Dihadapkan pada batas-batas menjadi miskin tetapi tidak dapat
keluar dari kemiskinan, orang-orang secara bertahap menyusut dari pemikiran
dan menggunakan kekerasan emosional.’

Dari data (10), tokoh menggambarkan tentang sebuah kondisi dimana keluarga
mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari karena keuangan yang
belum stabil. Hal ini menggambarkan sebuah tuntutan sosial yang berkaitan dengan
memenuhi kebutuhan hidup, dan mendorong individu untuk bekerja keras dan
mencari uang dengan cara apapun untuk memperbaiki kondisi keuangan mereka.
Keluhan yang terus-menerus dari keluarga tersebut mencerminkan betapa pentingnya
stabilitas keuangan dalam kehidupan sehari-hari, dan mendorong tokoh untuk
memenuhi tuntutan sosial tersebut dengan mengambil tindakan yang dapat
meningkatkan penghasilan dan stabilitas keuangan mereka.

4. KESIMPULAN
Cerita pendek dengan judul "Kangokusho no Ura" karya Nagai Kafuu
merupakan cerita mengenai seseorang yang tidak mengindahkan keinginan
keluarganya, yang mana ayahnya merupakan seseorang yang disiplin dan tegas, dan
ibunya selalu tunduk kepada ayahnya, yang kemudian keputusannya ini menimbulkan
masalah sosial, tidak hanya dalam lingkungan keluarganya, tetapi juga terhadap
lingkungan yang lebih luas. Oleh karena itu penelitian ini dianalisis menggunakan
teori sosiologi sastra. Tujuannya adalah untuk mempelajari dan memahami hubungan
antara sastra dan masyarakat.
Penelitian ini menggunakan metode dialektik, yaitu metode yang berupaya
mengambarkan hubungan timbal balik antara fenomena sosial yang terkandung dalam
karya sastra. Fenomena yang ada dalam karya sastra akan dibandingkan dengan
fenomena yang terjadi dalam realitas masyarakat, dengan cara menganalisis fenomena
sosial terkait dengan pembentukan karakter chounan yang tergambar dalam cerpen
Kangokusho no Ura dan menghubungkan antara keterkaitan fenomena sosial yang
tergambar dalam cerpen Kangokusho no Ura dengan fenomena sosial yang terjadi di
dalam masyarakat Jepang.
Penelitian ini menemukan beberapa masalah atau tuntutan sosial pada cerita
pendek Kangokusho no Ura. Beberapa masalah itu meliputi (1) ketidakcocokan
terhadap lingkungan barunya yang menimbulkan kesepian pada data 1 dan 2, tuntutan
sosial yang menganggap bahwa tidak boleh ada kecacatan atau kegagalan pada
keluarga dengan reputasi baik, yang membuat tokoh merasa malu karena
kegagalannya, yang diterangkan pada data 3. Kemudian pada data 4 ditemukan
tekanan sosial untuk menjaga nama baik keluarga. Pada data 5 juga ditemukan bahwa
kaum pria harus menjaga kehormatannya, yang mana pada masa itu menjaga
kehormatan merupakan kewajiban sebagai warga negara kekaisaran.
Pada data 6, ditemukan permasalahan sosial yaitu banyaknya masyarakat yang
tidak mempunyai pekerjaan yang layak sehingga kualitas hidupnya buruk, sementara
pada data 7 ditemukan tuntutan sosial, lebih tepatnya ganjaran, untuk menebus
kesalahan yang telah dilakukan. Data 8 menggambarkan tuntutan sosial yang
mengharuskan seseorang untuk melakukan apa yang dianggap menjadi sebuah
kewajiban di lingkungan masyarakat walaupun terkena beberapa batasan individual,
data 9 menggambarkan tuntutan sosial untuk menjaga lingkungan, dan data 10
menggambarkan sebuah tuntutan sosial yang berkaitan dengan memenuhi kebutuhan
hidup, dan mendorong individu untuk bekerja keras dan mencari uang dengan cara
apapun untuk memperbaiki kondisi keuangan mereka.
Semua tuntutan/permasalahan sosial yang ada pada masyarakat Jepang zaman
tersebut digambarkan dengan baik melalui karya sastra, dalam hal ini cerita pendek
Kangokusho no Ura karya Nagai Kafuu.

5. Sinopsis
Cerita ini mengisahkan pengalaman Kafu Nagai dalam menyesuaikan diri
kembali dengan kehidupan di Jepang pada akhir Era Meiji setelah tinggal di Amerika
dan Prancis selama beberapa tahun. Meskipun suasana dan suara jalan-jalan di Jepang
terasa familiar, narator merenungkan puisi-puisi Paul Verlaine karena mengalami
krisis eksistensial. Cerita ini dapat diinterpretasikan secara berbeda-beda karena
situasi narator yang harus tinggal di kamar cadangan, di belakang penjara di Ichigaya,
sebagai gantinya untuk kembali ke rumah keluarganya yang hilang. Hal ini membuat
narator merasa terkurung dan teridentifikasi dengan tahanan yang dapat dilihat di luar.
Narator juga merasa bahwa kepulangannya ke Jepang akan membuatnya sulit
menemukan jalan keluar di masa depan. Cerita ini memadukan unsur-unsur
pengalaman nyata dan imajinasi Kafu Nagai, termasuk karakter teater dan adegan
kekejaman terhadap hewan, serta menyoroti perbedaan budaya antara Timur dan
Barat.
DAFTAR PUSTAKA

Damono, Sapardi Djoko. (1978). Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar Ringkas. Dilansir dari
tautan https://repositori.kemdikbud.go.id/2385 pada 26 April 2023.

Kafuu, Nagai. (1984). Kangokusho no Ura. Disadur pada Jumat, 21 April 2023 pukul 23.43
WITA dari https://www.aozora.gr.jp/

Pradopo, Rachmat Djoko. (2015). Sastra Indonesia Modern. Gadjah Mada University Press
(242-245).

Anda mungkin juga menyukai