oleh :
A. Latar Belakang
Emosi merupakan luapan perasaan dari seorang manusia. Bukan hanya
mencakup perasaan marah, senang atau sedih melainkan mewakili beragamnya
perasaan manusia. Menurut Minderop (2016) kegembiraan, kemarahan, ketakutan
dan kesedihan kerap kali dianggap sebagai emosi yang paling mendasar (primay
emotions). Emosi ini mempunyai bentuk yang berubah-ubah, kadang bersifat
negatif dan juga bersifat positif. Emosi positif biasa tergambar melalui keadaan
perasaan gembira atau bahagia. Sedangkan emosi negatif biasanya tergambar
melalui rasa takut, sedih, marah, malu, dan cemas.
Emosi dapat dipicu oleh beragam sebab. Salah satunya adalah sebagai
bentuk adaptasi terhadap suatu keadaan, suasana, situasi atau pun perubahan
lingkungan di sekitar kita. Situasi yang membangkitan perasaan-perasaan tersebut
sangat terkait dengan tindakan yang ditimbulkannya dan mengakibatkan
meningkat ketegangan (Krech, 1974 dalam Minderop). Emosi juga bisa
membantu manusia tetap termotivasi untuk bertahan hidup, meskipun terkadang
kadar emosi yang muncul menjadi tidak terkontrol. Hal tersebut bergantung
kepada individu yang merasakan gejolak emosi di dalam dirinya, serta apa yang
sebenarnya ia butuhkan.
Peristiwa kedua mulai membahas tentang asmara dari tokoh Jalu bersama
Sunthi. Sebenarnya akar permasalahan dari gejolak emosi yang dimunculkan oleh
tokoh Jalu adalah kelakuan dari orang-orang kerajaan Amangkurat. Mulai dari
Susuhunan atau pemimpin Amangkurat sampai antek-antek dari kerajaan. Sunthi
yang memang memiliki garis keturunan dari almarhumah istri Susuhunan
dipercaya oleh keluarga Amangkurat dapat membantu mengembalikan semangat
kehidupan sang Susuhunan yang sempat hilang karena keatian istrinya. Alasan
itulah yang kemudian membuat sepasang kekasih itu harus terpisah. Perpisahan
antara Jalu dan Sunthi juga menjadi sebuah puncak kehancuran dari keluarga Jalu.
Mereka terpisah, dengan ayah Jalu yang bertarung menghadapi antek-antek
kerajaan, Sunthi yang berhasil diculik oleh antek-antek kerajaan, Jalu yang
melarikan diri bersama ibu dan anak warsi.
Ketiga peristiwa yang dialami oleh tokoh Jalu membuat penulis tertarik
untuk meneliti tentang gejolak emosi apa saja yang ia rasakan.
B. Rumusan Masalah
Apasajakah Klasifikasi Emosi Tokoh Jalu dalam Novel Gadis-gadis
Amangkurat, Cinta Yang Menikam karya Rh. Widada?
C. Tujuan
Untuk mendeskripsikan Klasifikasi Emosi Tokoh Jalu dalam Novel Gadis-
Gadis Amangkurat, Cinta Yang Menikam karya Rh. Widada.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis
Secara teori, penelitian ini diharapkan dapat membantu
penembangan penggunaan teori-teori sastra serta penggunaannya di dalam
analisis terhadap karya sastra.
2. Manfaat Praktis
Secara praktis, penelitian ini bertujuab untuk membantu pembaca
atau peneliti lain dalam memperkaya wawasan sastra dan memahami
tentang klasifikasi emosi tokoh Jalu dalam novel Gadis-Gadis
Amangkurat, Cinta yang Menikam.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Penelitian Relevan
Peneliti menemukan penelitian yang sejenis dengan penelitian yang penulis
lakukan. Sebelumnya telah ada peneliti yang mengkaji sebuah novel dengan
pendekatan psikologi yaitu Shabrinavasthi dan Sri Risma Yuliana.
1. Shabrinavasthi dengan judul Klasifikasi Emosi tokoh utama Erika dalam
roman die klavierspielerin karya Elfriede Jelinek: analisis psikologi sastra.
Penelitian yang dilakukan oleh Shabrinavasthi ini menggunakan pendekatan
psikologis dengan memanfaatkan teori klasifikasi David Krech. Hasil dari
penelitian psikologi tokoh Erika menunjukkan bahwa tokoh tersebut
mempunyai klasifikasi emosi sebagai berikut, emosi dasar yang terdiri dari 6
rasa senang, 4 rasa marah, 6 rasa takut, dan 2 rasa sedih. Emosi yang
berhubungan dengan stimulasi sensor yang terdiri dari 2 rasa sakit dan 20 rasa
kenikmatan. Emosi yang berhubungan dengan penilaian diri sendiri yang
terdiri atas 4 rasa suses dan gagal, 4 rasa bangga dan mau, 2 rasa bersalah dan
menyesal. Emosi yang berhubungan dengan orang lain terdiri dari 10 rasa
cinta dan 13 rasa benci.
Tokoh Erika adalah seorang professor di konservatori Wina, yang menjadi
guru.
2.
B. Landasan Teori
1. Novel
Novel merupakan sebuah karya sastra yang terkenal di kalangan
masyarakat Indonesia. Kata novel sendiri berasal dari Bahasa Ingris. Menurut
Nurgiyantoro (2013) istilah novella dan novelle mengandung pengertian yang
sama dengan istilah Indonesia ‘novelet’ (inggris novelette), yang berarti sbuah
karya prosa fiksi yang panjangnya cukupan, tidak terlalu panjang, namun juga
tidak terlalu pendek. Sebagai pembeda novel dan ceritta pendek adalah novel
memiliki ratusan halaman dan lebih Panjang daripada cerpen. Oleh karena itu
novel dapat mengemukakan sesuatu secara bebas, menyajikan sesuatu secara lebih
banyak, lebih rinci, lebih detil dan lebih bnyak melibatkan berbagai masalah yang
kompleks. Kelebihan sebuah novel adalah ia mampu menyampaikan
permasalahan yang kompleks secara penuh, menkreasikan sebuah dunia yang
“Jadi”.
2. Penokohan, Tokoh dan Teknik Pelukisan Tokoh
a. Penokohan
Penokohan dan karakterisasi sering juga disamakan artinya dengan karakter
dan perwatakan yang menunjukan pada penempatan tokoh-tokoh tertentu dengan
watak-watak tertentu dalam sebuah cerita. Istilah penokohan sendiri lebih luas
daripada tokoh dan perwatakan sebab ia sekaligus mencakup masalah siapa tokoh
cerita, bagaimana perwatakan dan bagaimana penempatan dan bagaimana
pelukisannya dalam sebuah cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang
jelas kepada pembaca. Jones (dalam Nurgiyantoro, 2015:247) mengatakan bahwa
penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang
ditampilkan dalam sebuah cerita.
b. Tokoh
Istilah “tokoh” menunjuk pada orang atau pelaku yang ada dalam cerita atau
karya sastra. Tokoh cerita (character) menurut Abrams (dalam Nurgiyantoro,
2015:247) adalah orang (-orang) yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau
drama yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan
tertentu seperti yang diespresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam
tindakan. Tokoh cerita menempati posisi strategis sebagai pembawa dan
penyampaian pesan, amanat, moral, atau sesuatu yang sengaja ingin disampaikan
kepada pembaca.
Tokoh-tokoh cerita dalam sebuah fiksi dapat dibedakan ke dalam beberapa
jenis penamaan berdasarkan dari sudut mana penamaan dilakukan.
1. Tokoh Utama dan Tokoh Tambahan
Salah satu jenis penamaan tokoh dapat dilihat dari segi peranan atau
tingkat pentingnya tokoh dalam sebuah cerita. Ada tokoh yang tergolong
penting dan ditampilkan terus-menerus sehingga terasa mendominasi sebagian
besar cerita, sebaliknya ada tokoh yang hanya dimunculkan sekali atau
beberapa kali dalam cerita dan itupun mungkin dalam porsi penceritaan yang
relatif pendek. Tokoh yang disebut penting itu dapat disebut juga tokoh
pertama atau tokoh utama cerita (central carachter, main caracter). Sedang
yang hanya dimunculkan sesekali atau beberapa kali dalam cerita itu disebut
tokoh kedua atau tokoh tambahan (peripheral caracter).
Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam
novel atau cerpen yang bersangkutan. Karena tokoh ini diutamakan
penceritaanya maka ia menjadi tokoh yang paling sering diceritakan, baik
sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian. Di pihak lain,
pemunculan tokoh tambahan dalam keseluruhan cerita lebih sedikit, tidak
dipentingkan, dan kehadirannya hanya jika ada keterkaitannya dengan tokoh
utama secara langsung maupun tidak langsung. Adapun penjelasan di atas
sebenarnya tidak serta merta dapat diunakan untuk membedakan antara tokoh
utama dan tokoh tambahan secara pasti. Nurgiantoro (2015:260) mengatakan
bahwa pembedaan itu bersifat gradasi karena keutamaan tokoh-tokoh itu
bertingkat: tokoh utama (yang) utama, tokoh utama tambahan, tokoh tambahan
(peripheral) utama, dan tokoh tambahan (yang memang) tamahan.
3. Klasifikasi Emosi
Kegembiraan, kemarahan, ketakutan, dan kesedihan kerap kali dianggap
sebagai emosi yang paling mendasar (primary emotions). Situasi yang
membangkitkan perasaan-perasaan tersebut sangat terkait dengan tindakan yang
ditimbulkannya dan mengakibatkan meningkat ketegangan (Krech et al dalam
Minderop, 2013:40). Selain itu, kebencian atau perasaan benci (hate)
berhubungan erat dengan perasaan marah, cemburu, dan iri hati. Ciri khas yang
menandai perasaan benci ialah timbulnya nafsu atau keinginan untuk
menghancurkan objek yang menjadi sasaran kebencian. Perasaan benci bukan
sekedar timbulnya perasaan tidak suka atau aversi/enggan yang dampaknya ingin
menghindar dan tidak bermaksud menghancurkan. Sebaliknya, perasaan benci
selalu melekat di dalam diri seseorang dan ia tidak akan pernah merasa puas
sebelum menghancurkannya; bila objek tersebut hancur ia akan merasa puas
(Krech et al dalam Minderop, 2013: 40).
a. Rasa Bersalah
Rasa bersalah bisa disebabkan dengan adanya konflik anatara ekspresi
impuls dan standar moral (implus expression versus moral standards). Semua
kelompok masyarakat secara kultural memiliki peraturan untuk mengendalikan
implus yang diawali dengan pendidikan semenjak masa kanak-kanak hingga
dewasa, termaksus pengendalian nafsu seks. Seks dan agresi merupakan dua
wilayah yang selalu menimbulkan konflik yang dihadapkan pada standar moral.
Pelanggaran terhadap standar moral inilah yang menimbulkan rasa bersalah
(Hilgard et al dalam Minderop, 2013: 40).
b. Rasa Malu
Rasa malu berbeda dengan rasa bersalah. Timbulnya rasa malu tanpa
terkait dengan rasa bersalah. Seseorang mungkin merasa malu ketika salah
menggunakan garpu ketika hadir dalam pesta makan malam yang terhormat, tapi
ia tidak merasa bersalah. Ia merasa malu karena merasa bodoh dan kurang
bergengsi di hadapan orang lain. Orang itu tidak merasa bersalah karena ia tidak
melanggar nilai-nilai moralitas. Perasaan ini tidak terdapat pada anak kecil (dalam
Minderop, 2013:43).
c. Kesedihan
Kesedihan atau duka cita (grief) berhubungan dengan kehilangan sesuatu
yang penting dan bernilai. Intensitas kesedihan tergantung pada nilai, biasanya
kesedihan yang teramat sangat bila kehilangan orang yang dicintai. Kesedihan
yang mendalam bisa juga karena kehilangan milik yang sangat berharga yang
mengakibatkan kekecewaan atau penyesalan. Parkes (dalam Minderop, 2013: 44)
menemukan bukti bahwa kesedihan yang berlarut-larut dapat mengakibatkan
depresi dan putus asa yang menjurus pada kecemasan, akibatnya bisa
menimbulkan insomnia, tidak memiliki nafsu makan, timbul perasaan jengkel,
dan menjadi pemarah serta menarik diri dari pergaulan.
d. Kebencian
Kebencian atau persaan benci berhubungan dengan perasaan marah,
cemburu dan iri hati. Ciri khas yang menandai perasaan benci adalah timbulnya
nafsu atau keinginan untuk menghancurkan objek yang menjadi sasaran
kebencian. Perasaan benci bukan sekedar timbulnya perasaan tidak suka atau
aversi/enggan yang dampaknya ingin menghindar dan tidak bermaksud
menghancurkan. Sebaliknya perasaan benci selalu melekat di dalam diri seseorang
dan ia tidak akan pernah merasa puas sebelum meghancurkannya, bila objek
tersebut hancur ia akan merasa puas (Krech, et al dalam Minderop, 2013: 44).
e. Cinta
Psikolog merasa perlu mendefinisikan cinta dengan cara memahami
mengapa timbul cinta dan apakah terdapat bentuk cinta yang berbeda. Gairah
cinta dari cinta romantis tergantung pada si individu dan objek cinta adanya nafsu
dan keinginan untuk bersama-sama. Gairah seksual yang kuat kerap timbul dari
perasaan cinta. Menurut kajian cinta romantis, cinta dan suka pada dasarnya sama.
Mengenai cinta seorang anak pada ibunya didasari kebutuhan perlindungan,
demikian pula cinta ibu kepada anak adanya keinginan melindungi (Krech, et al
dalam Minderop, 2013: 45).
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Deskriptif Kualitatif
B. Objek peneitian
Objek penelitian adalah Novel Gadis-Gadis Amangkurat, Cinta Yang
Menikam karya R.H. Widada.
C. Pendekatan Penelitian
1. Psikologi sastra
Psikologi merupakan ilmu yang menyelidiki serta mempelajari tentang
tingkah laku dan tingkah laku manusia. Wellek dan Warren mengungkapkan
bahwa istilah psikologi sastra mempunyai empat kemungkinan pengertian. (1)
Studi psikologi pengarang sebagai tipe atau sebagai pribadi. (2) Psikologi sastra
merupakan studi proses kreatif. (3) Psikologi sastra merupakan studi tipe dan
hukum-hukum psikologi yang diterapkan pada karya sastra. (4) Psikologi sastra
merupakan studi yang mempelajari dampal sastra pada pembaca.
Psikologi berasal dari kata Yunani psyche yang berarti “jiwa” dan logos
yang berarti “ilmu”. Jadi, psikologi berarti ilmu jiwa atau ilmu yang menyelidiki
dan mempelajari tingkah laku manusia (Atkinson dalam Minderop, 2013:3). Ilmu
yang membahas mengenai perilaku dan kejiwaan manusia ini dikembangkan
dengan berbagai macam disiplin karena ilmu ini sangat terhubung dengan perilaku
dan jiwa manusia yang beragam. Dalam praktiknya, psikologi dapat berpadu
dengan sastra membentuk satu teori yang dinamakan psikologi sastra. Psikologi
sastra adalah sebuah interdisiplin antara psikologi dan sastra (Endraswara dalam
Minderop, 2013:59). Mempelajari psikologi sastra sama halnya dengan
mempelajari manusia dari sisi dalam. Aspek “dalam” ini acap kali bersifat
subjektif, yang membuat para pemerhati sastra menganggapnya berat.
Daya tarik psikologi sastra dapat dilihat pada masalah manusia yang
melukiskan potret jiwa. Dimana tidak hanya jiwa sendiri yang muncul dalam
sastra, tetapi juga bisa mewakili jiwa orang lain. Setiap pengarang kerap kali
menambahkan pengalaman sendiri dalam karyanya dan pengalaman itu sering
pula dialami oleh orang lain. Ada tiga langkah dalam memahami psikologi sastra.
Pertama, melalui pemahaman teori-teori psikologi kemudian dilakukan anlisis
terhadap suatu karya sastra. Kedua, menentukan sebuah karya sastra sebagai objek
penelitian, kemudian ditentukan teori-teori psikologi yang dianggap relevan untuk
digunakan. Ketiga, secara simultan menemukan teori dan objek penelitian
(Endraswara dalam Minderop, 2013:59).