Anda di halaman 1dari 21

KLASIFIKSI EMOSI TOKOH JALU DALAM NOVEL

GADIS-GADIS AMANGKURAT, CINTA YANG


MENIKAM KARYA RH. WIDADA

Diajukan Untuk Memenuhi T ugas Akhir Skripsi

oleh :

Aulia Indarti Iasah (1501040101)

PRODI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO
2019
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ........................................................................................................
BAB 1 PENDAHULUAN ....................................................................................
A. Latar Belakang Masalah ................................................................................
B. Rumusan Masalah .........................................................................................
C. Tujuan Penelitian ...........................................................................................
D. Manfaat Penelitian .........................................................................................
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ..........................................................................
A. Penelitian Relevan .........................................................................................
B. Landasan Teori ..............................................................................................
BAB III METODE PENELITIAN .......................................................................
A. Jenis Penelitian ..............................................................................................
B. Objek Penelitian ............................................................................................
C. Pendekatan Penelitian ....................................................................................
D. Data dan Sumber Data ...................................................................................
E. Teknik Penelitian ...........................................................................................
F. Teknik Analisis Data .....................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Emosi merupakan luapan perasaan dari seorang manusia. Bukan hanya
mencakup perasaan marah, senang atau sedih melainkan mewakili beragamnya
perasaan manusia. Menurut Minderop (2016) kegembiraan, kemarahan, ketakutan
dan kesedihan kerap kali dianggap sebagai emosi yang paling mendasar (primay
emotions). Emosi ini mempunyai bentuk yang berubah-ubah, kadang bersifat
negatif dan juga bersifat positif. Emosi positif biasa tergambar melalui keadaan
perasaan gembira atau bahagia. Sedangkan emosi negatif biasanya tergambar
melalui rasa takut, sedih, marah, malu, dan cemas.

Emosi dapat dipicu oleh beragam sebab. Salah satunya adalah sebagai
bentuk adaptasi terhadap suatu keadaan, suasana, situasi atau pun perubahan
lingkungan di sekitar kita. Situasi yang membangkitan perasaan-perasaan tersebut
sangat terkait dengan tindakan yang ditimbulkannya dan mengakibatkan
meningkat ketegangan (Krech, 1974 dalam Minderop). Emosi juga bisa
membantu manusia tetap termotivasi untuk bertahan hidup, meskipun terkadang
kadar emosi yang muncul menjadi tidak terkontrol. Hal tersebut bergantung
kepada individu yang merasakan gejolak emosi di dalam dirinya, serta apa yang
sebenarnya ia butuhkan.

Emosi sangat berperan aktif dalam kehidupan manusia, ia melekat sejak


manusia itu terlahir. Oleh karena itu dalam beberapa kegiatan yang dilakukan
manusia, emosi selalu dituangkan baik itu sengaja ataupun tidak sengaja.
Termasuk dalam kegiatan menghasilkan sebuah karya. Dalam hal ini karya
tersebut tidak memiliki batasan bisa visual, audio ataupun audio visual. Ketika
kita berbicara tentang karya berbentuk visual maka akan banyak sekali jenis yang
terlintas salah satunya adalah karya sastra.
Karya sastra yang memang dihasilkan oleh manusia sebagai seorang
pengarang tentu banyak memunculkan berbagai emosi. Cara memunculkan emosi
yang dimaksud ini bukan secara spontan, melainkan melalui tokoh-tokoh yang
ada dalam karya tersebut. Melalui emosi yang melekat pada tokoh-tokoh dalam
karya tersebut pengarang akan dengan mudah dapat membangun emosi cerita dan
secara tidak langsung pengarang dapat mempengaruhi emosi pembaca. Ketika
seorang pembaca sudah larut dalam karya sastra tersebut maka pengarang akan
lebih mudah untuk menyampaikan sebuah pesan yang ingin ia sampaikan melalui
karyanya. Sebuah karya sastra dikatakan berhasil bila pesan yang disampaikan
pengarang berhasil tersampaikan kepada pembaca.

Novel karya Rh. Widada yang berjudul Gadis-Gadis Amangkurat, Cinta


yang Menikam banyak sekali memunculkan peirstiwa-peristiwa emosional untuk
mempengaruhi emosi pembaca. Peristiwa penuh emosi yang paling disoroti oleh
penulis adalah peristiwa yang dialami oleh tokoh Jalu sebagai tokoh utama. Jalu
sebagai tokoh utama laki-laki dalam roman ini seringkali mengalami
permasalahan mulai dari permasalahan keluarga, pertemanan sampai asmaranya
dan dari permasalahan itu seringkali memunculkan berbagai bentuk emosi. Pada
bagian pertama novel ini pembaca akan langsung disajikan sebuah konflik yang
terjadi di kehidupan Jalu. Konflik pertama ini langsung membahas bagaimana
seorang Jalu kehilangan kakaknya Warsi hanya karena ia memakai kemben
pemberian saudaranya. Pembahasan konflik ini tentunya akan mengantarkan
pembaca pada konflik konflik selanjutnya.

Peristiwa kedua mulai membahas tentang asmara dari tokoh Jalu bersama
Sunthi. Sebenarnya akar permasalahan dari gejolak emosi yang dimunculkan oleh
tokoh Jalu adalah kelakuan dari orang-orang kerajaan Amangkurat. Mulai dari
Susuhunan atau pemimpin Amangkurat sampai antek-antek dari kerajaan. Sunthi
yang memang memiliki garis keturunan dari almarhumah istri Susuhunan
dipercaya oleh keluarga Amangkurat dapat membantu mengembalikan semangat
kehidupan sang Susuhunan yang sempat hilang karena keatian istrinya. Alasan
itulah yang kemudian membuat sepasang kekasih itu harus terpisah. Perpisahan
antara Jalu dan Sunthi juga menjadi sebuah puncak kehancuran dari keluarga Jalu.
Mereka terpisah, dengan ayah Jalu yang bertarung menghadapi antek-antek
kerajaan, Sunthi yang berhasil diculik oleh antek-antek kerajaan, Jalu yang
melarikan diri bersama ibu dan anak warsi.

Bagian selanjutnya yang menurut penulis merupakan bagian dimana tokoh


Jalu mengalami gejolak emosi yang tinggi adalah bagian Jarot yang mengkhianati
pertemanan mereka berdua. Peristiwa ini ada di bagian akhir dari novel Gadis-
gadis Amangkurat, Cinta yang Menikam. Jarot yang ternyata kini bekerja di
kerajaan sebagai pengurus kuda setelah kejadian Dukuh Kundhen Bedah secara
tidak sengaja bertemu dengan Sunthi di rumah nyai Weja. Di tempat itu Sunthi
banyak menanyakan keadaan dukuh mereka, dan menganggap Jarot kawannya
karena sudah mau membantu Sunthi kabur. Namun sayangnya setelah melewati
perjalanan membawa Sunthi kabur untuk bertemu Jalu, ia baru menyadari bahwa
ia juga mulai mencintai Sunthi dan menginginkan Sunthi menjadi miliknya.
Karena perasaan itulah Jarot pergi meninggalkan Jalu dan Sunthi lalu melapor
pada antek-antek kerajaan yang lain. Penghianatan Jarot tentu menambah beban
Jalu yang saat itu harus menyelamatkan Sunthi dari pencarian prajurit
Amangkurat.

Ketiga peristiwa yang dialami oleh tokoh Jalu membuat penulis tertarik
untuk meneliti tentang gejolak emosi apa saja yang ia rasakan.

B. Rumusan Masalah
Apasajakah Klasifikasi Emosi Tokoh Jalu dalam Novel Gadis-gadis
Amangkurat, Cinta Yang Menikam karya Rh. Widada?

C. Tujuan
Untuk mendeskripsikan Klasifikasi Emosi Tokoh Jalu dalam Novel Gadis-
Gadis Amangkurat, Cinta Yang Menikam karya Rh. Widada.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis
Secara teori, penelitian ini diharapkan dapat membantu
penembangan penggunaan teori-teori sastra serta penggunaannya di dalam
analisis terhadap karya sastra.
2. Manfaat Praktis
Secara praktis, penelitian ini bertujuab untuk membantu pembaca
atau peneliti lain dalam memperkaya wawasan sastra dan memahami
tentang klasifikasi emosi tokoh Jalu dalam novel Gadis-Gadis
Amangkurat, Cinta yang Menikam.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Penelitian Relevan
Peneliti menemukan penelitian yang sejenis dengan penelitian yang penulis
lakukan. Sebelumnya telah ada peneliti yang mengkaji sebuah novel dengan
pendekatan psikologi yaitu Shabrinavasthi dan Sri Risma Yuliana.
1. Shabrinavasthi dengan judul Klasifikasi Emosi tokoh utama Erika dalam
roman die klavierspielerin karya Elfriede Jelinek: analisis psikologi sastra.
Penelitian yang dilakukan oleh Shabrinavasthi ini menggunakan pendekatan
psikologis dengan memanfaatkan teori klasifikasi David Krech. Hasil dari
penelitian psikologi tokoh Erika menunjukkan bahwa tokoh tersebut
mempunyai klasifikasi emosi sebagai berikut, emosi dasar yang terdiri dari 6
rasa senang, 4 rasa marah, 6 rasa takut, dan 2 rasa sedih. Emosi yang
berhubungan dengan stimulasi sensor yang terdiri dari 2 rasa sakit dan 20 rasa
kenikmatan. Emosi yang berhubungan dengan penilaian diri sendiri yang
terdiri atas 4 rasa suses dan gagal, 4 rasa bangga dan mau, 2 rasa bersalah dan
menyesal. Emosi yang berhubungan dengan orang lain terdiri dari 10 rasa
cinta dan 13 rasa benci.
Tokoh Erika adalah seorang professor di konservatori Wina, yang menjadi
guru.

2.
B. Landasan Teori
1. Novel
Novel merupakan sebuah karya sastra yang terkenal di kalangan
masyarakat Indonesia. Kata novel sendiri berasal dari Bahasa Ingris. Menurut
Nurgiyantoro (2013) istilah novella dan novelle mengandung pengertian yang
sama dengan istilah Indonesia ‘novelet’ (inggris novelette), yang berarti sbuah
karya prosa fiksi yang panjangnya cukupan, tidak terlalu panjang, namun juga
tidak terlalu pendek. Sebagai pembeda novel dan ceritta pendek adalah novel
memiliki ratusan halaman dan lebih Panjang daripada cerpen. Oleh karena itu
novel dapat mengemukakan sesuatu secara bebas, menyajikan sesuatu secara lebih
banyak, lebih rinci, lebih detil dan lebih bnyak melibatkan berbagai masalah yang
kompleks. Kelebihan sebuah novel adalah ia mampu menyampaikan
permasalahan yang kompleks secara penuh, menkreasikan sebuah dunia yang
“Jadi”.
2. Penokohan, Tokoh dan Teknik Pelukisan Tokoh
a. Penokohan
Penokohan dan karakterisasi sering juga disamakan artinya dengan karakter
dan perwatakan yang menunjukan pada penempatan tokoh-tokoh tertentu dengan
watak-watak tertentu dalam sebuah cerita. Istilah penokohan sendiri lebih luas
daripada tokoh dan perwatakan sebab ia sekaligus mencakup masalah siapa tokoh
cerita, bagaimana perwatakan dan bagaimana penempatan dan bagaimana
pelukisannya dalam sebuah cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang
jelas kepada pembaca. Jones (dalam Nurgiyantoro, 2015:247) mengatakan bahwa
penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang
ditampilkan dalam sebuah cerita.
b. Tokoh
Istilah “tokoh” menunjuk pada orang atau pelaku yang ada dalam cerita atau
karya sastra. Tokoh cerita (character) menurut Abrams (dalam Nurgiyantoro,
2015:247) adalah orang (-orang) yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau
drama yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan
tertentu seperti yang diespresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam
tindakan. Tokoh cerita menempati posisi strategis sebagai pembawa dan
penyampaian pesan, amanat, moral, atau sesuatu yang sengaja ingin disampaikan
kepada pembaca.
Tokoh-tokoh cerita dalam sebuah fiksi dapat dibedakan ke dalam beberapa
jenis penamaan berdasarkan dari sudut mana penamaan dilakukan.
1. Tokoh Utama dan Tokoh Tambahan
Salah satu jenis penamaan tokoh dapat dilihat dari segi peranan atau
tingkat pentingnya tokoh dalam sebuah cerita. Ada tokoh yang tergolong
penting dan ditampilkan terus-menerus sehingga terasa mendominasi sebagian
besar cerita, sebaliknya ada tokoh yang hanya dimunculkan sekali atau
beberapa kali dalam cerita dan itupun mungkin dalam porsi penceritaan yang
relatif pendek. Tokoh yang disebut penting itu dapat disebut juga tokoh
pertama atau tokoh utama cerita (central carachter, main caracter). Sedang
yang hanya dimunculkan sesekali atau beberapa kali dalam cerita itu disebut
tokoh kedua atau tokoh tambahan (peripheral caracter).
Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam
novel atau cerpen yang bersangkutan. Karena tokoh ini diutamakan
penceritaanya maka ia menjadi tokoh yang paling sering diceritakan, baik
sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian. Di pihak lain,
pemunculan tokoh tambahan dalam keseluruhan cerita lebih sedikit, tidak
dipentingkan, dan kehadirannya hanya jika ada keterkaitannya dengan tokoh
utama secara langsung maupun tidak langsung. Adapun penjelasan di atas
sebenarnya tidak serta merta dapat diunakan untuk membedakan antara tokoh
utama dan tokoh tambahan secara pasti. Nurgiantoro (2015:260) mengatakan
bahwa pembedaan itu bersifat gradasi karena keutamaan tokoh-tokoh itu
bertingkat: tokoh utama (yang) utama, tokoh utama tambahan, tokoh tambahan
(peripheral) utama, dan tokoh tambahan (yang memang) tamahan.

2. Tokoh Protagonis dan Tokoh Antagonis


Apabila melihat dari sudut pandang peran tokoh-tokoh maka kita akan
menemukan tokoh utama dan tokoh tambahan. Namun, dilihat dari fungsi
penampilan tokoh dapat dibedakan adanya tokoh protagonis dan antagonis.
Tokoh protagonis adalah tokoh yang kita kagumi, yang salah satu jenisnya
secara populer disebut hero, tokoh yang merupakan pengejawantahan norma-
norma, nilai-nilai, yang ideal bagi kita (Altenbernd & Lewis dalam
Nurgiyantoro, 2015:261). Sedangkan tokoh antagonis adalah tokoh yang
menjadi penyebab dari konflik, ketegangan khususnya konflik dan ketegangan
yang dialami oleh tokoh protagonis. Sebenarnya konflik dan ketegangan bukan
hadir semata-mata karena adanya tokoh antagonis namun juga dapat
disebabkan oleh bencana alam, kecelakaan, nilai-nilai moral, lingkungan alam
dan sosial, kekuasaan yang lebih tinggi dan sebagainya.
Menentukan tokoh-tokoh cerita menjadi tokoh protagonis atau antagonis
kadang tidak mudah, atau paling tidak setiap orang akan berbeda pendapat.
Karena setiap tokoh akan diceritakan dan diberikan kesempatan untuk
mengeluarkan sikap dan pandangannya sesuai porsi masing-masing tokoh
tersebut. Porsi dari diceritakan dan mengeluarkan sikap serta pandangannya ini
yang membuat kita memiliki pendapat berbeda mengenai tokoh protaginis dan
antagonis. Tokoh protagonis biasanya akan diberikan porsi lebih banyak untuk
mengeluarkan sikap dan pandanganya sehingga pembaca dapat memahami,
menerima, mengerti serta membenarkan jalan pikiran tokoh tersebut meskipun
kadang terasa keras dan kurang menyenangkan. Sedangkan tokoh antagonis
biasa diberikan porsi yang lebih sedikit untuk diceritakan atau memberikan
pandangan hidup. Pembedaan itu sebenarnya juga bisa dipengaruhi pandangan
seseorang terhadap nilai-nilai.

3. Tokoh Sederhana dan Tokoh Bulat


Berdasarkan perwatakannya, tokoh cerita dapat dibedakan ke dalam
tokoh sederhana (simple atau flat character) dan tokoh kompleks atau tokoh
bulat (complex atau round character). Tokoh sederhana dalam bentuknya yang
asli, adalah tokoh yang hanya memiliki satu kualitas pribadi tertentu, satu sifat
watak yang tertentu saja. Sebagai tokoh manusia, ia tak diungkap berbagai
kemungkinan sisi kehidupannya. Ia tak memiliki sift dan tingkah laku yang
dapat memberikan efek kejutan bagi pembaca. Tokoh bulat adalah tokoh yang
memiliki dan diungkap berbagai kemungkinan sisi kehidupannya, sisi
kepribadian dan jati dirinya.

4. Tokoh Statis dan Tokoh Berkembang


Jika pembedaan tokoh sederhana dan tokoh bulat dilakukan berdasarkan
perwatakannya, maka untuk mebedakan tokoh statis dan tokoh berkembang
kita dapat melakukan berdasarkan kriteria bekembang atau tidaknya
perwatakan tokoh-tokoh di cerita tersebut. Tokoh statis adalah tokoh cerita
yang secara esensial tidak mengalami perubahan atau perkembangan
perwatakan sebagai akibat adanya peristiwa-peristiwa yang terjadi (Altenbernd
& Lewis, dalam Nurgiyantoro 1994: 188). Sesuai dengan namanya statis maka
tokoh iini memiliki sikap dan watak yang relative tetap, tidak berkembang
sejak awal sampai akhir cerita. Dalam penokohan yang bersifat statis dienal
adanya istilah tokoh hitam yang dikonotasikan sebagai tokoh jahat dan tokoh
putih yang dikonotasikan sebagai tokoh baik.
Tokoh berkembang adalah tokoh yang mengalami perubahan dan
perkembangan perwatakan sejalan dengan perkembangan (dan perubahan)
peritiwa dan plot dikisahkan (Nurgiyantoro 2015:272). Karena tokoh
berkembang mengalami perubahan dan perkembangan watak maka tokoh ini
cenderung akan menjadi tokoh yang kompleks. Hal itu disebabkan adanya
berbagai perubahan dan perkembangan sikap, watak dan tingkah lakunya itu
dimungkinkan sekali dapat terungkapkannya berbagi sisi kejiwaannya.

5. Tokoh Tipikal dan Tokoh Netral


Berdasarkan kemungkinan pencerminan tokoh cerita terhadap
(sekelompok) manusia dari kehidupan nyata, tokoh cerita dibagi menjadi tokoh
tipikal dan tokoh netral. Tokoh tipikal adalah tokoh yang hanya sedikit
ditampilkan keadaan individualitasnya, dan lebih banyak ditonjolkan kualitas
pekerjaan atau kebangsaannya atau sesuatu yang lain yang lebih bersifat
mewakili. Tokoh netral adalah tokoh cerita yang bereksistensi demi cerita itu
sendiri. Ia benar-benar merupakan tokoh imajiner yang hanya hidup dan
bereksistensi dalam dunia fiksi. Ia hadir (atau dihadirkan) sematamata demi
cerita, atau bahkan dialah sebenarnya yang empunya cerita, pelaku cerita, dan
yang diceritakan.

c. Teknik Pelukisan Tokoh


Tokoh-tokoh cerita dalam teks naratif, tidak akan begitu saja secara serta-
merta hadir kepada pembaca, mereka memerlukan “sarana” yang memungkinkan
kehadirannya (Nurgiyantoro, 2015:278). Terkait dengan penokohan dalam sebuah
karya tidak hanya berhubungan dengan masalah pemilihan jenis dan perwatakan
para tokoh cerita saja, tetapi juga bagaimana pelukisan kehadiran dan
penghadirannya secara tepat. Secara garis besar teknik pelukisan tokoh dalam
suatu karya dapat dibedakan ke dalam du acara atau teknik, yaitu teknik uraian
(telling) dan teknik ragaan (showing) (Abrams dalam Nurgiyantoro, 2015:279)
atau teknik penjelasan, ekspositori (expoxitory) dan teknik dramatik (dramatic)
(Altenbernd & Lewis dalam Nurgiyantoro, 2015:279) atau teknik diskursif
(discursive), dramatik dan kontekstual (Kenny dalam Nurgiyantoro, 2015:279).
Teknik yang pertama menyarankan pada pelukisan secara langsung, sedangkan
teknik yang ke dua pada pelukisan secara tidak langsung.
Kedua teknik tersebut masing-masing mempunyai kelebihan dan
kelemahan, dan penggunaannya dalam teks fiksi tergantung pada selera pengarang
dan kebutuhan penceritaan. Sebenarnya secara mutlak tidak ada pengarang yang
hanya menggunakan satu teknik untuk melakukan pelukisan tokoh tanpa
memanfaatkan teknik yang lain. Pengarang pada umumnya memilih cara
campuran, mempergunakan teknik langsung dan tidak langsung dalam sebuah
karya. Hal tersebut dirasa lebih menguntungkan karena kelemahan masing-masing
teknik dapat ditutupi menggunakan teknik yang lain. Berikup akan dibahas
mengenai kedua teknik tersebut satu persatu.
1. Teknik Ekspositoris
Teknik ekspositoris atau yang sering disebut dengan teknik analitik
merupakan teknik pelukisan tokoh cerita yang dilakukan dengan memberikan
deskripsi, uraian, atau penjelasan secara langsung. Tokoh cerita hadir dan
dihadirkan oleh pengarang ke hadapan pembaca secara tidak berbelit-belit,
melainkan begitu saja dan langsung disertai deskripsi kediriannya, yang mungkin
berupa sikap, sifat, watak, tingkah laku, atau bahkan juga ciri fisisknya. Karena
teknik pelukisan tokoh menjadi sederhana dan cenderung ekonomis maka hal ini
menjadi salah satu kelebihan teknik analitis tersebut. Selain itu, dilihat dari sudut
pandang pembaca, pembaca pun akan lebiih mudah dan pasti dapat memahami
jati diri tokoh cerita secara tepat sesuai yang dimaksud oeleh pengarang.
Deskripsi kedirian tokoh dapat dilakukan secara langsung oleh pengarang
dengan sifat derkriptif. Artinya, ia tidak akan muncul dalam wujud penuturan
berbentuk dialog walau pun bukan merupakan suatu pantangnan atau pelanggaran
jika dalam dialog pun tercermin watak para tokoh yang terlibat. Hal inilah yang
menyebabkan pembaca akan dengan mudah memahami ciri-ciri kedirian tokoh
tanpa harus menfsirkannya sendiri dengan kemungkinan kurang tepat. Namun, hal
ini juga yang menjadi salah satu kelemahan dari teknik ekspositori. Karena
pembaca tidak diberikan kesempatan atau didorong, kurang dituntut secara aktif
kretif untuk memberikan tanggapan secara imajinatif terhadap tokoh cerita sesuai
dengan pemahaman dan presepsinya terhadap sifat-sifat kemanusiaan
sebagaimana halnya ketika berjumpa dengan orang-orang di dunia nyata.
Kelemahan lainnya yaitu penuturan yang bersifat mekanis dan kurang alami.
Tetapi pada akhirnya perlu juga dicatat bahwa tidak selamanya teknik analitis
kurang tepat untuk mendeskripsikan kedirian sorang tokoh.
2. Teknik Dramatik
Teknik dramatik merupakan penampilan tokoh cerita secara tidak
langsung. Artinya, pengarang tidak mendeskripsikan secara eksplisit sifat dan
sikap serta tingkah laku tokoh. Pengarang membiarkan para tokoh cerita untuk
menunjukan kediriannya sendiri melalui berbagai aktivitas yang dilakukan, baik
secara verbal lewat kata maupun non verbal lewat tindakan atau tingkah laku dan
juga melalui peristiwa yang terjadi.
Ada beberapa wujud penggambaran teknik dramatik yang dapat
dilakukan yaitu sebagai berikut:
1) Teknik Cakapan
Percakapan yang dilakukan oleh tokoh-tokoh cerita biasanya juga
dimaksudkan untuk menggambarkan sifat-sifat tokoh yang bersangkutan.
Percakapan yang baik, efektif dan fungsional adalah yang menunjukan
perkembangan plot dan seklaigus mencerminkan sifat kedirian tokoh pelakunya.
2) Teknik Tingkah Laku
Teknik tingkah laku menyarankan pada tindakan nonverbal, fisik. Apa
yang dilakukan orang dalam wujud tingkah laku dan tindakan, dapat dipandang
sebagai menjukkan rekasi, tanggapan, sifat dan sikap yang mencerminkan sifat-
sifat kediriannya.
3) Teknik Pikiran dan Perasaan
Bagaimana keadaan dan jalan pikiran serta perasaan, apa yang melintas
di dalam pikiran dan perasaan, serta apa yang sering dipikir dan dirasakan oleh
tokoh, dalam banyak hal akan mencerminkan sifat-sifat kediriannya juga. Teknik
pikiran dan perasaan dapat ditemukan dalam teknik cakapan dan tingkah laku.
Artinya, penuturan itu sekaligus untuk menggambarkan pikiran dan perasaan
tokoh.
4) Teknik Arus Kesadaran
Tenik arus kesadaran (stream of consciousness) berkaitan erat dengan
teknik pikiran dan perasaan. Arus kesadaran merupakan sebuah teknik narasi yang
berusaha menangkap pandanagn dan aliran proses mental tokoh, di mana
tanggapan indera bercampur dengan kesadaran dan ketaksadaran pikiran,
perasaan, ingatan, harapan, dan asosiasi-asosiasi acak (Abrams, dalam
Nurgiyantoro, 2007:206).
5) Teknik Reaksi Tokoh
Teknik reaksi tokoh dimaksudkan sebagai reaksi tokoh terhadap suatu
kejadian, masalah, keadaan, kata, dan sikap tingkah laku orang lain dan
sebagainya yang berupa “rangsangan” dari luar tokoh yang bersangkutan.
Bagaimana reaksi tokoh terhadap hal-hal tersebut dapat dipandang sebagai suatu
bentuk penampilan yang mencerminkan sifat reaksi.
6) Teknik Reaksi Tokoh Lain
Reaksi tokoh lain dimaksudkan sebagai reaksi yang diberikan oleh tokoh
lain terhadap tokoh utama, atau tokoh yang dipelajari kediriannya, yang berupa
pandangan, pendapat, sikap, lmentar, dan lai-lain.
7) Teknik Pelukisan Latar
Pelukisan suasana latar dapat lebih mengintensifkan sifat kedirian tokoh
seperti yang telah diungkapkan dengan berbagai teknik yang lain. Keadaan latar
ertnetu dapat menimbulkan kesan tertentu misalnya suasana rumah yang bersih,
teratur, rapi akan menimbulkan kesan bahwa pemilik rumah sebagai orang yang
cinta kebersihan, lingkungan, teliti, teratur dan sebagainya.
8) Teknik Pelukisan Fisik
Keadaan fisik seseorang sering berkaitan dengan keadaan kejiwaannya,
atau paling tidak pengarang sengaja mencari dan memeperhubungkan adanya
keterkaitan itu. Misalnya: bibir tipis menyaran pada sifat ceriwis dan bawel,
rambut lurus menyarankan sifat tak mau mengalah, pandangan mata tajam, hidung
agak mendongak, dan lain-lain dapat menyaran pada sifat tertentu. Keadaan fisik
tokoh perlu dilukisakan, terutama jika ia memiliki bentuk fisik khas sehingga
pembaca dapat menggambarkan secara imajinatif. Disamping itu ia juga
dibutuhkan untuk mengefektif dan mengkonkretkan ciri-ciri kedirian tokoh yang
telah dilukiskan dengan teknik yang lain (Meredith & Fitzgerald, dalam
Nurgiyantoro, 2007:210).

3. Klasifikasi Emosi
Kegembiraan, kemarahan, ketakutan, dan kesedihan kerap kali dianggap
sebagai emosi yang paling mendasar (primary emotions). Situasi yang
membangkitkan perasaan-perasaan tersebut sangat terkait dengan tindakan yang
ditimbulkannya dan mengakibatkan meningkat ketegangan (Krech et al dalam
Minderop, 2013:40). Selain itu, kebencian atau perasaan benci (hate)
berhubungan erat dengan perasaan marah, cemburu, dan iri hati. Ciri khas yang
menandai perasaan benci ialah timbulnya nafsu atau keinginan untuk
menghancurkan objek yang menjadi sasaran kebencian. Perasaan benci bukan
sekedar timbulnya perasaan tidak suka atau aversi/enggan yang dampaknya ingin
menghindar dan tidak bermaksud menghancurkan. Sebaliknya, perasaan benci
selalu melekat di dalam diri seseorang dan ia tidak akan pernah merasa puas
sebelum menghancurkannya; bila objek tersebut hancur ia akan merasa puas
(Krech et al dalam Minderop, 2013: 40).
a. Rasa Bersalah
Rasa bersalah bisa disebabkan dengan adanya konflik anatara ekspresi
impuls dan standar moral (implus expression versus moral standards). Semua
kelompok masyarakat secara kultural memiliki peraturan untuk mengendalikan
implus yang diawali dengan pendidikan semenjak masa kanak-kanak hingga
dewasa, termaksus pengendalian nafsu seks. Seks dan agresi merupakan dua
wilayah yang selalu menimbulkan konflik yang dihadapkan pada standar moral.
Pelanggaran terhadap standar moral inilah yang menimbulkan rasa bersalah
(Hilgard et al dalam Minderop, 2013: 40).

1. Rasa Bersalah yang Dipendam


Dalam kasus rasa bersalah, seorang cenderung merasa bersalah dengan
cara memendam dalam dirinya sendiri, memang ia biasanya bersikap baik, tetapi
ia seorang yang buruk (dalam Minderop, 2013: 42). Rasa bersalah yang dipendam
ini biasanya rasa bersalah yang sudah sangat mendalam dalam diri seseorang.
Rasa bersalah yang dipendam ini juga sering membuat munculnya pemikiran-
pemikiran untuk berbuat sesuatu yang nekad dalam diri seseorang untuk menebus
dan memperbaiki kesalahannya.
2. Menghukum Diri Sendiri
Perasaan bersalah yang paling mengganggu adalah sebagaimana terdapat
dalam sikap menghukum diri sendiri si individu terlihat sebagai sumber dari sikap
bersalah. Rasa bersalah tipe ini memiliki implikasi terhadap berkembangnya
gangguan-gangguan kepribadian yang terkait dengan kepribadian, penyakit
mental dan psikoterapi (dalam Minderop, 2013:42). Dari rasa bersalah yang
semakin dipendam tidak jarang juga menimbulkan sikap menghukum diri sendiri
dalam diri seseorang. Biasanya seseorang tersebut menganggap dengan
menghukum dirinya sendiri seperti menyalahkan dirinya atau terpuruk dalam
kesalahannya membuat dia merasa lebih baik.

b. Rasa Malu
Rasa malu berbeda dengan rasa bersalah. Timbulnya rasa malu tanpa
terkait dengan rasa bersalah. Seseorang mungkin merasa malu ketika salah
menggunakan garpu ketika hadir dalam pesta makan malam yang terhormat, tapi
ia tidak merasa bersalah. Ia merasa malu karena merasa bodoh dan kurang
bergengsi di hadapan orang lain. Orang itu tidak merasa bersalah karena ia tidak
melanggar nilai-nilai moralitas. Perasaan ini tidak terdapat pada anak kecil (dalam
Minderop, 2013:43).

c. Kesedihan
Kesedihan atau duka cita (grief) berhubungan dengan kehilangan sesuatu
yang penting dan bernilai. Intensitas kesedihan tergantung pada nilai, biasanya
kesedihan yang teramat sangat bila kehilangan orang yang dicintai. Kesedihan
yang mendalam bisa juga karena kehilangan milik yang sangat berharga yang
mengakibatkan kekecewaan atau penyesalan. Parkes (dalam Minderop, 2013: 44)
menemukan bukti bahwa kesedihan yang berlarut-larut dapat mengakibatkan
depresi dan putus asa yang menjurus pada kecemasan, akibatnya bisa
menimbulkan insomnia, tidak memiliki nafsu makan, timbul perasaan jengkel,
dan menjadi pemarah serta menarik diri dari pergaulan.

d. Kebencian
Kebencian atau persaan benci berhubungan dengan perasaan marah,
cemburu dan iri hati. Ciri khas yang menandai perasaan benci adalah timbulnya
nafsu atau keinginan untuk menghancurkan objek yang menjadi sasaran
kebencian. Perasaan benci bukan sekedar timbulnya perasaan tidak suka atau
aversi/enggan yang dampaknya ingin menghindar dan tidak bermaksud
menghancurkan. Sebaliknya perasaan benci selalu melekat di dalam diri seseorang
dan ia tidak akan pernah merasa puas sebelum meghancurkannya, bila objek
tersebut hancur ia akan merasa puas (Krech, et al dalam Minderop, 2013: 44).

e. Cinta
Psikolog merasa perlu mendefinisikan cinta dengan cara memahami
mengapa timbul cinta dan apakah terdapat bentuk cinta yang berbeda. Gairah
cinta dari cinta romantis tergantung pada si individu dan objek cinta adanya nafsu
dan keinginan untuk bersama-sama. Gairah seksual yang kuat kerap timbul dari
perasaan cinta. Menurut kajian cinta romantis, cinta dan suka pada dasarnya sama.
Mengenai cinta seorang anak pada ibunya didasari kebutuhan perlindungan,
demikian pula cinta ibu kepada anak adanya keinginan melindungi (Krech, et al
dalam Minderop, 2013: 45).

BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Deskriptif Kualitatif
B. Objek peneitian
Objek penelitian adalah Novel Gadis-Gadis Amangkurat, Cinta Yang
Menikam karya R.H. Widada.
C. Pendekatan Penelitian
1. Psikologi sastra
Psikologi merupakan ilmu yang menyelidiki serta mempelajari tentang
tingkah laku dan tingkah laku manusia. Wellek dan Warren mengungkapkan
bahwa istilah psikologi sastra mempunyai empat kemungkinan pengertian. (1)
Studi psikologi pengarang sebagai tipe atau sebagai pribadi. (2) Psikologi sastra
merupakan studi proses kreatif. (3) Psikologi sastra merupakan studi tipe dan
hukum-hukum psikologi yang diterapkan pada karya sastra. (4) Psikologi sastra
merupakan studi yang mempelajari dampal sastra pada pembaca.
Psikologi berasal dari kata Yunani psyche yang berarti “jiwa” dan logos
yang berarti “ilmu”. Jadi, psikologi berarti ilmu jiwa atau ilmu yang menyelidiki
dan mempelajari tingkah laku manusia (Atkinson dalam Minderop, 2013:3). Ilmu
yang membahas mengenai perilaku dan kejiwaan manusia ini dikembangkan
dengan berbagai macam disiplin karena ilmu ini sangat terhubung dengan perilaku
dan jiwa manusia yang beragam. Dalam praktiknya, psikologi dapat berpadu
dengan sastra membentuk satu teori yang dinamakan psikologi sastra. Psikologi
sastra adalah sebuah interdisiplin antara psikologi dan sastra (Endraswara dalam
Minderop, 2013:59). Mempelajari psikologi sastra sama halnya dengan
mempelajari manusia dari sisi dalam. Aspek “dalam” ini acap kali bersifat
subjektif, yang membuat para pemerhati sastra menganggapnya berat.
Daya tarik psikologi sastra dapat dilihat pada masalah manusia yang
melukiskan potret jiwa. Dimana tidak hanya jiwa sendiri yang muncul dalam
sastra, tetapi juga bisa mewakili jiwa orang lain. Setiap pengarang kerap kali
menambahkan pengalaman sendiri dalam karyanya dan pengalaman itu sering
pula dialami oleh orang lain. Ada tiga langkah dalam memahami psikologi sastra.
Pertama, melalui pemahaman teori-teori psikologi kemudian dilakukan anlisis
terhadap suatu karya sastra. Kedua, menentukan sebuah karya sastra sebagai objek
penelitian, kemudian ditentukan teori-teori psikologi yang dianggap relevan untuk
digunakan. Ketiga, secara simultan menemukan teori dan objek penelitian
(Endraswara dalam Minderop, 2013:59).

Tanpa kehadiran psikologi sastra dengan berbagai acuan kejiawaan,


kemungkinan pemahaman sastra akan timpang. Kecerdasan sastrawan yang sering
melampaui batas kewajaran mungkin bisa dideteksi lewat psikologi sastra. Oleh
karena itu, pemunculan psikologi sastra perlu mendapat sambutan. Setidaknya sisi
lain dari sastra akan terpahami secra proporsional dengan penelitian psikologi
sastra. Apakah sastra merupakan sebuah lamunan, impian, dorongan seks,
seterunya dapat dipahami lewat ilmu ini (Endraswara dalam Minderop, 2013:60).

D. Data dan Sumber Data


1. Data
Data adalah sumber informasi yang akan diseleksi sebagai bahan analisis
(Siswantoro, 2010: 70). Data dalam penelitian ini berupa teks-teks yang
menggambarkan klasifikasi emosi pada diri tokoh Jalu dalam novel Gadis-Gadis
Amangkurat, Cinta yang Menikam karya Rh. Widada.
2. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian adalah subjek dari mana data dapat diperoleh
(Arikunto, 2010: 172). Dalam aspek ini, penulis menggunakan sebuah karya
sastra yang berupa novel sebagai bahan untuk penelitian sekaligus sebagai sumber
data yang hendak dianalisis. Novel yang dijadikan sebagai sumber data adalah
novel karya Rh. Widada yang berjudul Gadis-Gadis Amangkurat, Cinta yang
Menikam. Novel tersebut diterbitkan oleh Narasi pada tahun 2011 dengan tebal
halaman 268 dan merupakan cetakan pertama.
E. Teknik Pengumpulan data
Teknik baca dan catat.
F. Teknik Analisis Data
1. Reduksi Data
2. Sajian Data
3. Verivikasi dan Simpulan
DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, Abu. 2003. Psikologi Umum. Jakarta: Rineka Cipta.

Minderop, Albertine. 2011. Psikologi Sastra. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor


Indonesia.
Syukur, Abdul. 2011. Beragam Terap Gangguan Emosi Sehari-hari. Yogyakarta:
DIVA Press.

Anda mungkin juga menyukai