Anda di halaman 1dari 126

SEPERTI BENENAI, CINTAKU TERUS MENGALIR

UNTUKMU
(Sebuah Novel)

Penulis : Robert Fahik


Penyunting : Elsita Lisnawati Guntar
Prolog : Dr. Marsel Robot
Epilog : A.G. Hadzarmawit Netti
Sampul : Sholeh Budiyanto
Desain isi : Erwan Supriyono

Cetakan I : Agustus 2015


Cetakan II : Februari 2019

Penerbit :
Cipta Media (Anggota IKAPI)
Jl. Nologaten Gg. Temulawak 69 Yogyakarta 55281
Telp. (0274) 6537872, Fax. (0274) 488517
Email: ciptamediaaksara@rocketmail.com

ISBN: 978-602-7897-09-0

ii
Novel “Seperti Benenai, Cintaku Terus Mengalir
Untuk­mu” dikemas dengan gaya menarik. Lugas,
ringan. Inspiratif dan edukatif. Tak membosankan.
Di­kon­struk­sikan sesuai dengan kondisi masyakarat
mem­uat novel ini dengan mudah dilahap dan di­
mengerti pembacanya. Semua lapisan usia bisa
menikmatinya. Tokoh Noy me­ngedepankan fungsi
edukatif. Karenanya kita harus banyak belajar.
Tidak congkak, tidak pongah ketika men­jadi orang
sukses, orang besar. Ini makna kehidupan dan nilai-
nilai positif. Para leluhur bilang, “bicara harus jaga
mulut; duduk menjaga kehormatan; berjalan men­
jaga langkah; dan tidur menjaga mati.” Itulah pesan
yang tersirat yang membuat novel ini sarat dengan
makna edukatif. Jangan lupa!! Dengan pelukisan
latar waktu dan tempat yang sangat mendetail te­
tapi tidak ber­lebihan, menambha daya tarik novel
ini membuat seolah-olah pembaca larut, bahkan
terlibat di dalamnya. Kita seperti terbius. Dan tak
bisa dipungkiri, di sinilah letak kekuat­ an Roby
Fahik meracik novel ini. Dan bisa — bahkan tak
segan-segan — bermain dengan dunia imajinasinya
untuk membongkar nilai-nilai kemapanan sebagai­
mana yang dikutuk tokoh Noy. Novel ini juga me­
rupakan bagian dari perjalanan hidup saya. Hatiku
tergetar. Agar jujur dalam menggelitik sesuatu,
bahkan jujur dalam me­maknai hidup. Dan, Roby
telah mengingatkannya. Terima kasih Roby. Salam­
ku untukmu. Teruslah “ber­ buat”, jangan pernah
berhenti. Talentamu besar. Aktuali­sasikan. Profisiat.
(Benny Dasman, Wakil Pemimpin Redaksi Tribun
Bali)

iii
Buku yang bakal membuatmu melihat api yang
tak kan pernah padam, cinta yang tak kan berhenti
bersinar, dan kata-kata yang tak hendak pupus.
(Bonari Nabonenar, sesama penulis)

Membaca novel R. Fahik— yang merupakan ke­


satuan dari trilogi novelnya yang berlatar belakang
tanah Ma­ laka tidak lain adalah gambaran dan
petualangan sebuah kerinduan yang tanpa akhir.
Sebuah kerinduan yang menimbulkan rasa sakit
yang mulia. Sebuah pe­ mahaman romantik yang
mendalam dan keluar justru dalam bentuk peng­
ungkapan yang gamblang, detail, tanpa sembunyi
dan malu-malu atas realitas tanah Malaka. Pe­
tualangan dan seluk-beluk ini kemudian me­nyatu
menjadi cerita-cerita kecil nan apik melayani alur
besar, yang saya namakan kerinduan dan ke­
nangan. Memang tidak sulit menemukan nuansa
cinta di alur ceritanya. Cinta sebagai perasaan dan
petualangan pri­badi antara Manek dan gadis masa
lalunya Noy atau sosok perempuan di hadapannya
Mey di satu sisi serta dialektika petualangan roh
yang terus berjalan me­nuju batas dan tujuan ter­
tentu. Betapa penulis ingin meng­ajak pembaca me­
mahami petualangan roh penulis atau yang oleh
penyair Jerman, Johann Wolfgang Goethe, di­gam­
barkan sebagai rasa sakit karena kerinduan. “Nur
wer die Schnsucht kennt, Weisst, was ich leide”
(Hanya yang mengenal rindu yang tahu, apa yang
saya derita). Tanpa menyepelekan kisah cintanya,
perjalanan roh atau kerinduannya akan Malaka
dan realitasnya— dongeng, mitos dan legendanya,
penduduknya, religiositas dan budayanya yang
dalam pengolahannya seringkali di­wakilkan oleh
cerita sekitar Benenai, politik dan per­kem­bangan­

iv
nya— telah memuncak menjadi sebuah tarian rasa
sakit yang tidak bisa diabaikan. Inilah yang ter­
ungkap menjadi kekuatiran dan bahkan ketakutan
yang mulia. Banalitas pengalaman keseharian
yang menjadi milik Manek — sang penulis — ber­
gerak ke tingkat pe­mahaman terefleksikan. Malaka
— dan Benenainya — adalah pertanyaan sekali­gus
jawaban­nya. Malaka adalah penyebab rasa sakit
sekaligus obat yang menyem­ buh­ kannya. “Per­
jalanan pulang” inilah yang menjadi gerak dialektik
penulis dalam mengolah rasa rindu dan sakit­nya.
(Rm. Sixtus Bere, Pr. – Munchen, Jerman)

Novel baru bernuansa reportase faktual yang kaya


akan alur simbolik ini memacu para pembaca untuk
me­maknai pergumulan emas cinta segi tiga si Aku:
cinta penulis, si Aku, terhadap tanah kelahiran,
Rai Malaka; cinta penulis pada sosok Noy, sang
inspirator sejati — dan pergumulan mutakhir cinta
sosok “titisan ratu Malaka”, Mey, kepada penulis
sendiri. Generasi Malaka seakan dihantar pada
ziarah batin menyingkap tabir etika, moral, teologi,
filosofi, antropologi dan kultur masya­rakatnya dari
balutan bahasa cinta anak manusia. Ada hamonisasi
indah antara arkhaisme legenda masa lalu dengan
kon­temporerisme asmara masa kini. Dengan begitu
lugas, sang maestro muda Malaka ini, berhasil me­
rangkai seribu satu serpihan legenda usang tentang
Malaka men­jadi sebuah adonan baru berparas cinta,
yang tidak ber­ lebihan kalau pembaca bisa sama
‘terhenyak’ dengan ketika berfantasi bersama “I
will Always Love You”-nya Whitney Houston dan
“Stay with Me”-nya Sam Smith. Proficiat…!!! (Delvi
Abanit, Pr. – pencinta karya seni dan sastra)

v
Sebuah novel yang luar biasa. Luar biasa karena
saya seperti membaca setumpuk buku dengan ber­
bagai tipe. Tentang sejarah, budaya, sastra dan seni,
sosial dan romance, semuanya mampu dilebur pe­
nulis dalam satu novel singkat. Karyamu yang satu
ini bisa membuat saya merasa berada di Malaka
dan merasa ada dalam cerita. Kecintaan Manek
akan tanah Malaka bisa dilukiskan dengan selarik
bible quotation/ayat Kitab Suci, “Cinta akan rumah
Tuhan, menghanguskanku”. Semoga dengan mem­
baca novel ini, khususnya kaum muda Malaka pun
bisa terbakar asa untuk membangun Malaka seperti
mimpi Manek. (Sr. Magistra Wae, - Italia)

Luar biasa... Seperti Benenai, Cintaku Terus Mengalir


Untuk­mu pantas dibaca seluruh masyarakat Indo­
nesia, khususnya masyarakat daerah NTT-Malaka.
Pengarang berhasil menampilkan paduan cinta dan
sejarah daerah dalam nuansa narasi yang apik.
Sungguh nikmat ketika “melahapnya”. (Elsita L.
Guntar, sesama pencinta sastra)

Kecintaan penulis terhadap tanah Malaka ibarat


air sungai Benenai yang tanpa lelah memberi ke­
suburan bagi ‘Badut Malaka’; kehidupan, serta
kesejukan bagi masya­rakat Malaka dan juga ge­
nerasi penabuh ‘Likurai Untuk Sang Mempelai’-
Malaka. Cinta Benenai dalam novel ini maha dasyat
karena Benenai selalu memberi ‘emas’ kepada
Malaka. Emas itu adalah padi yang menguning
setiap tahun karena aliran air Benenai. (Gusty Hale,
guru SMAN Harekakae - Malaka)

vi
PROLOG:
Benenai Mengalir Antara Noy dan Mey
Dr. Marsel Robot
Sastrawan, Esaist, Ketua Program Studi
Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Undana

Walau berpisah itu setajam pisau bedah


Lebih baik daripada kangker di dalam, daun yang
Membusuk
Yang kutahu aku mesti enyah
(John Conford dalam buku: Seni, Politik, Pembe­
rontakan, penerj. Hadikusumo)

MENYUSUN ceritera fiksi dimulai dengan nyanyi­


an tragik atau minimal pergulatan imajinasi yang
menghamburkan kenangan, pengalaman antara
rasa dan tesa. Di sanalah seorang penulis terlibat
dalam tekanan. Karena derita dalam menulis ce­
rita pun segera mengepungnya. Ia memulai ber­
tengkar dengan keadaan untuk menjalani dua
ke­harusan. Pertama, memilih tema yang unik;
atau kedua, di tangan dialah sebuah pengalaman
dibuat unik. Padahal, kedua pilihan itu sama-
sama mengundang resiko. Pilihan pertama, (tema

vii
yang unik) selalu menggelincirkan penulis pada
logo centris (berpusat pada obsesi tematik). Begitu
kuat lahar nafsu menyampaikan pesan sehingga
terkadang menafikan lagak literer. Rasa gurih se­
buah ceritera terkadang terlantar dan kisah susut
menjadi sekedar kontainer yang penuh sesak
dengan serpihan-serpihan deskripsi. Di sana pula
unsur utile (kegunaan) membenamkan rasa gurih
fiksionalitas.
Pilihan kedua (membuat suatu pengalaman
atau suatu penghayatan menjadi unik), sering
pula menggelincirkan penulis dalam gincu literer
yang berlebihan. Sebab, dia diminta mencerita­
kan pengalaman itu menjadi unik, menarik, atau
memikat. Karena itu, ia harus mampu berceritera
dengan menggunakan vitur-vitur literer secara
apik dan kompositum. Kadang, lagak literer
yang keterlaluan menyebabkan kabarnya menjadi
kabur dan kisah berangsur beringsut sekedar ka­
fe­taria. Unsur dan urusan menghibur (dulce) be­
gitu kuat membenamkan tesa.
Dalam dialektika itulah pandai susastra ber­
seru, “Karya sastra setidaknya mengandung utile
et dulce (berguna dan menghibur). Berceritera
adalah mewartakan makna dengan cara meng­
hibur.
Robert Fahik mencoba mengarungi dialek­
tika itu. Ia berusaha menenteng logo sentris (ke­
unikan Malaka tanah kelahirannya dilap-lap

viii Robert Fahik


dengan sapu tangan imajinasi), diendus ke per­
bukitan narasi. Pada ujung lain, ia berusaha men­
dandani tema Malaka dengan vitur-vitur literer.
Bagi Fahik, Malaka adalah gumpalan mozaik
atau tanah terjanji yang berantakan. Mirip yang
dikatakan mantan gubernur NTT, Ben Mboy,
yang terkenal itu: “Malaka adalah Firdaus yang
terlantar.” Karena itu, semakin jauh Fahik me­
rantau (ke Jawa), semakin dekat tampang Malaka
dalam bayangannya. Fahik berceritera:
“Selain itu, Mey, Malaka juga cocok untuk ta­
naman coklat (kakao). Sudah sejak puluhan tahun
lalu ada pengusaha yang membuat kebun coklat di
area yang luas. Banyak anak Malaka yang direkrut
jadi pekerja. Biasanya hasil panen dikirim ke Jawa.
Sebenarnya dalam bidang pertanian, Malaka juga
punya potensi pengembangan sagu. Namun kini
tidak banyak lagi pohon sagu yang bisa ditemukan.
Ada makanan lokal yang dikenal dengan ’akabilan’,
yang bahan dasarnya adalah sagu. Malaka juga kaya
akan sirih dan pinang. Selain bermanfaat untuk para
orang tua yang biasanya makan sirih atau digunakan
dalam ritual adat, mungkin sirih dan pinang bisa
diteliti untuk diolah menjadi obat-obatan untuk pe­
nyakit tertentu. Apa lagi yang kau temu­kan Mey?”
“Malaka juga memiliki potensi sebagai daerah
perbatasan. Memang belum banyak yang dilakukan
dalam konteks yang satu ini. Pemerintah dalam hal
ini melalui badan pengelola perbatasan dan dinas
terkait perlu mulai memikirkan bagaimana po­tensi
daerah perbatasan ini dioptimalkan untuk ke­sejah­
teraan masyarakat. Banyak hal yang bisa dilaku­

Prolog ix
kan, termasuk pengembangan pariwisata. Di bidang
ekonomi, mungkin pasar perbatasan bisa menjadi
salah satu alternatif peningkatan ekonomi rakyat.
Di bidang pendidikan, peningkatan kualitas lembaga
pendidikan di Malaka mungkin bisa menarik pelajar
atau mahasiswa dari negara tetangga. Mungkin ini
terlalu berlebihan, tapi itulah yang aku pikirkan.
Jujur, semua ini masih berupa pikiran liar. Perlu
dikonsepkan secara baik. Tapi memang daerah ini
punya potensi yang luar biasa dan harus dioptimal­
kan.”

Malaka adalah roh dan roti kehidupan buat
Fahik. Perkelanaannya ke Jogja merupakan pe­
ngembaraan di padang-padang imajinatif untuk
lebih dekat mendekap roh dan roti kampung
halamannya itu. Dalam linangan imajinasi Fahik,
Malaka bukan sekedar sebuah lanskap, melain­
kan sebuah historia yang menyalakan dian per­
adaban, memfasilitasi cara hidup masya­rakatnya.
Fahik bagai raja Mutis yang sedang me­rin­
dukan gadis cantik asal Malaka lantas air mata
menjelma menjadi sungai Benenai. Rindu Fahik
kepada Malaka adalah rindu pada alam pas­toral
dan keadaban lama menjelma menjadi novel
ini. Raja Mutis dan Robert Fahik bagai burung
Audan yang hidup di tepi jurang dan hanya
hidup untuk menimbun rindu. Mungkin alasan
itu pula sehingga Fahik memilih sudut pandang
sebagai “akuan” (aku lirik) atau terlibat se­bagai
tokoh utama dalam novel ini. Rindu yang terus

x Robert Fahik
merimbun terhadap Malaka itulah yang mem­
buat semua yang lain hanya berarti bila di­kait­
kan dengan Malaka. Ia meninggalkan Mey, pe­
rempuan Jogja (teman kuliah) yang sudah lama
jatuh cinta terhadapnya. Mey sangat men­cintai­
nya. Berbagai kesempatan Mey menya­ ta­
kan
dengan cara dan kata. Bahkan, pada suatu ke­sem­
patan, dalam suatu urusan, Mey ber­ke­sem­­patan
ke Malaka dan menginap di hotel Cinta Damai di
Betun. Kesempatan itu, Mey kem­bali menyatakan
cintanya terhadap aku lirik. Namun, ia menolak
dan menjadikan hubungan itu se­bagai saudara-
saudari. Ia lebih mencintai Malaka dan ingin
membangun Malaka.
Benenai dalam genangan imajinasi Fahik
bukan sungai dalam pengertian umum, melain­
kan sebuah tamsil tentang cinta yang terus meng­­
alir tak henti. Tamsil ini sesungguhnya terinspi­
rasi oleh Legenda sungai Benenai. Dalam legenda
Benenai yang hidup dalam ingatan orang Mutis
dan Malaka bahwa Benenai adalah air mata Raja
Mutis. Sang raja jatuh cinta terhadap gadis cantik
dari Malaka. Namun, entah apa yang terjadi? Ke­
duanya terpaksa berpisah. Sang raja kembali ke
Mutis menggendong rindu. Rasa cinta dan ke­ ­
rinduan menembus gunung dan membelah bukit.
Ia mengungkapkan kerinduannya melalui air
mata. Tetesan air mata mengalir dari kaki Mutis
hingga pusara Malaka. Sungai Benenai itu adalah

Prolog xi
air mata cinta sang Raja buat si Cantik dari Malaka.
Fahik berceritera:
Ada legenda bahwa Benenai terbentuk oleh air mata
seorang raja dari gunung Mutis; gunung tertinggi
di pulau Timor bagian Barat. Sang raja begitu men­
cintai seorang gadis Malaka. Namun suatu ketika
keduanya harus berpisah. Sang raja yang kembali ke
Mutis mengungkapkan kerinduannya kepada sang
kekasih dengan menangis. Air mata sang saja itulah
yang kemudian membentuk aliran sungai Benenai.

Di ujung kisah yang lain, Benenai sering


murkah dan kadang mengamuk menyapu nyawa
warga atau membawa petaka buat Malaka. Dalam
lagu rakyat yang bernada sendu, tapi sering di­
gunakan di ruang pesta bernuansa gembira.
Oh… Oh Nai Benenai (Oh…Oh Tuan Benenai)
Sura tinan tau mai (Setiap tahun datang)
Ami mate tan Besikama be la sala (kami “mati”
karena Besikama tak luput dari banjir)
Manoin lai… Nai (ingatlah tuan)
Oh susar atu kmaten… (saya susah mau mati)
Oh…susar atu kmaten tan Nai Benenai (Oh… saya
susah mau mati karena Tuan Benenai)

Sebuah paradoksal antara kerinduan, cinta


dan petaka. Sungai Benenai aliran cinta. Sepan­
jang sungai ini, sepanjang itu pula persaudaraan
(dari Mutis hingga Malaka). Bagi Robert Fahik,
Benenai adalah sebuah cinta yang tak pernah ber­
henti antara Noy dan Mey. Fahik menulis:

xii Robert Fahik


Di tepi sungai inilah kami melewati hari-hari indah
disaksikan air sungai yang terus mengalir. Di tepi
sungai inilah untuk pertama kalinya kami bertemu.
Di tepi sungai ini pula, untuk terakhir kalinya aku
menatap wajah Noy dengan senyuman­nya yang
damai.
Sesungguhnya Benenai sudah menjadi sahabat
kami di masa kecil. Di antara bocah-bocah yang ber­
larian di bentangan pasir sungai itu, aku dan Noy
ada. Pada saat-saat seperti itulah kekaguman abadi­
ku tumbuh untuk seorang gadis Malaka.

Robert Fahik begitu setia menyusuri lorong-


lorong masa lalu. Dengan kata lain, sungai Benenai
menghanyutkan batang-batang kenangan yang
meng­hadirkan refleksi. Tipikalisasi aroma kehi­
dupan Malaka ditampilkan secara bernas. Ada
sapi, ada burung-burung bernyanyi yang kini
hanya terperosok dalam cangkang-cangkang mo­
dern­isme yang menistakan keadaan itu.
Cara bertutur novel ini sangat teratur. Bahasa­
nya baku, tak ingin nyentrik-nyentrikan dengan
fitur lingual. Bahasa baku terkadang mengha­
dir­­­
kan deskripsi meski kadang menghadirkan
sangar. Berlebih memuja Malaka seakan tanah
ter­­janji yang membuatnya sulit mengelak dari se­
buah deskripsi seperti di bawah ini.
Benar, nama adalah tanda. Bila merujuk pada sejarah
kota-kota di dunia misalnya, masing-masing kota
tentu memiliki latar belakang tersendiri terkait
nama kota tersebut, tidak terkecuali arti nama

Prolog xiii
kota yang bersangkutan. Dalam hal ini, ada dua hal
utama yang perlu dicatat. Pertama, sejarah me­main­­­­
kan peran vital dalam menguraikan sebuah nama.
Kedua, permenungan (pemaknaan) atas se­ buah
nama menjadi panggilan bagi setiap generasi yang
me­warisi nama tersebut.
Mengenang Malaka adalah sosok Noy, gadis
yang ditokohkan Fahik sebagai gadis yang jujur,
setia dan santun. Citra gadis Malaka. Fahik sendiri
berdiri sebagai aku lirik yang amat mencitai Noy
dan Malaka. Demi Malaka ia meninggalkan Mey.
Sedangkan Mey amat mencintai sang Aku. Simak
kisah berikut:
Sambil memegang tanganku, Mey bicara lagi, “Sejak
melihatmu kembali hari ini dan mendengar kisah­
mu, aku berpikir apakah dengan situasi ini aku
bisa memulai lagi kisah lama itu? Maksudku, ke­
kaguman dan cintaku padamu sekian tahun itu
boleh tumbuh lagi. Kau belum menikah. Aku juga
belum menikah. Apa lagi yang bisa menghentikan
kita? Kekasihmu meninggal., tetapi ada orang lain
yang masih begitu mencintaimu. Maaf, aku tidak
bermaksud melukai perasaan wanita yang kau cintai.
Tapi kita bisa memulai hidup yang baru. Ayah sudah
cukup tua. Aku bisa berhenti dari LSM ini dan kita
akan membesarkan usaha percetakan ayah. Kita bisa
tinggal di Jogja, menemani ayah di usia senjanya.
Kita bisa bersama menelusuri jejak-jejak peradaban
Malaka. Bagaimana?”
“Tidak perlu ada yang berubah, Mey. Sudah
sejak dulu, kau kuanggap sebagai adikku. Kau juga
akan segera bertunangan. Jangan kau sakiti hati

xiv Robert Fahik


lelaki yang mencintaimu. Setelah kegiatan di sini,
pulanglah ke Jogja. Jalani pertunangan itu dengan
hati yang damai. Biarkan aku hidup di sini dengan
kedamaian yang sudah kugenggam. Aku tak bisa
pergi dari Malaka, Mey.”

Noy adalah gadis Malaka yang amat dicintai


Aku Lirik. Jalinan cinta keduanya sejak mereka
usia dini. Sayangnya cinta tak sempat rampung
karena Noy meninggal dunia. Noy didera sakit
kepala, gegar otak lantaran jatuh motor ber­
sama ayahnya ketika ia masih duduk di bangku
SMP. Sakit diperparah oleh karena ia dinikahkan
dengan lelaki yang tidak dicintainya.
Bagi saya, novel ini sebuah gado-gado gurih
antara cinta, kerinduan terhadap masa lalu se­
raya menyekah masa depan, keadaban lokal yang
pernah memfasilitasi komunitas dijahit dalam
struktur dan alur narasi novel ini. Ini­lah yang
membuat novel kuat, pembaca tidak hanya me­
ngenal Malaka dalam tampang keunik­ an geo­
grafisnya, tetapi mitos-mitos yang men­daras­kan
lanskap kultural yang khas.
Akhirnya, penulis yang baik selalu menye­
diakan rongga agar pembaca dapat memasuk­kan
pikiran dan menggenangkan imajinasi sehingga
sebuah karya sastra menjadi mata air inspiratif
bagi penulis lain. Seperti langit masih bolong
untuk digenangi ceritera, seperti bumi masih
kosong untuk dilinangi kisah.

Prolog xv
xvi
Daftar Isi

Prolog ................................................................ iii


Daftar Isi............................................................ xiii
1 BENENAI.................................................. 1
2 MEY............................................................ 7
3 MALAKA.................................................. 30
5 NOY........................................................... 61
6 KEDAMAIAN.......................................... 73
7 MIMPI........................................................ 77
8 MUTIS........................................................ 84
Epilog................................................................. 101
Tentang Penulis................................................ 105

xvii
xviii
Untuk almarhum Rm. Paulus Klau, Pr
(28 Juni 1941 – 29 Maret 2015)
yang telah beristirahat dalam kedamaian abadi.

Selamat jalan Mau Ulu; Bapa Romo; Opa Romo.


Cintamu terus mengalir di tanah ini,
memeluk kami dalam selimut kenangan.

Di antara nyala lilin, kami berdoa:


Ama Nai Maromak, ami husu fo perdua ba ami ema
sala ne’e.
Ami husu Ita simu Ita oan, nai lulik Paulus iha lale’an.
Fo beran ba ami bodik la’o iha rai klaran.

“Bapa Romo, mamulak bodik ami,


mamulak bodik Rai Malaka.”

xix
xx
1
BENENAI

BENENAI. Setiap kali aku menatap sungai ini,


jalan pikiranku tak bisa kubendung, seperti alir­
an sungai yang berpacu menuju laut selatan. Jem­
batan panjang yang melintas di atasnya mem­­buat­
ku merasa seperti menatap bentangan masa lalu.
Kenangan masa kecil yang indah bersama bocah-
bocah di perkampungan dekat sungai. Meng­ambil
air untuk keperluan di rumah. Berenang bersama.
Memancing ikan. Serunya me­man­dikan sapi dan
kuda bersama almarhum ayah dan kakek-ku.
Me­­nyiangi kebun kakek di sekitar aliran sungai
ketika liburan sekolah diiringi nyanyian burung.
Semua itu kini hanyalah kenangan. Anak-
anak zaman sekarang lebih memilih bermain di
rumah ketimbang bergaul dengan alam. Popu­
lasi sapi dan kuda kini semakin menipis. Kebun-
kebun di sekitar bibir Benenai, kini lenyaplah

1
sudah seiring pengikisan dinding sungai dari
waktu ke waktu. Nyanyian burung menjadi se­
suatu yang mulai mahal untuk dibeli.
Aku sungguh mengingat kenangan-kenang­
an itu. Namun yang lebih menghampiriku setiap
kali datang ke sungai ini tentu kenangan ber­
sama Noy, gadis Malaka yang pernah dan yang
akan selalu kucintai. Benenai menjadi saksi bisu
cinta dua insan yang berpadu di bawah langit
Malaka. Mereka yang saling mencintai. Mereka
yang membangun mimpi-mimpi untuk keluarga
kecilnya, dan juga untuk tanah yang telah me­la­
hirkan dan membesarkannya; Malaka. Namun
kenyataan berkata lain. Sang permaisuri telah ber­
pulang ke surga sebelum hari pernikahan tiba.
Sang mempelai laki-laki hanya mendapati ku­bur­
an kekasihnya ketika kembali ke tanah ini dengan
keutuhan cintanya.
Di tepi sungai inilah kami melewati hari-hari
indah disaksikan air sungai yang terus mengalir.
Di tepi sungai inilah untuk pertama kalinya
kami bertemu. Di tepi sungai ini pula, untuk ter­
akhir kali­nya aku menatap wajah Noy dengan se­
nyuman­nya yang damai.
Sesungguhnya Benenai sudah menjadi saha­
bat kami di masa kecil. Di antara bocah-bocah yang
berlarian di bentangan pasir sungai itu, aku dan
Noy ada. Pada saat-saat seperti itulah kekagum­an
abadiku tumbuh untuk seorang gadis Malaka.

2 Robert Fahik
Benenai juga menjadi teman di masa remaja
kami. Kami sering melewatkan waktu bersama
di sini. Bercerita tentang harapan-harapan, cinta
kami, dan tentang Malaka. Lalu tepat sebelum
aku pergi, kami bertemu di tepi sungai ini. Perte­
muan terakhir yang menyisakan duka setiap kali
aku datang ke sini.
Tapi aku tetap mau datang ke sungai ini. Aku
sungguh menemukan kekuatan untuk terus ber­
gerak. Seperti sungai yang terus mengalir, aku
ingin terus hidup dan mencintai. Ada legenda
bahwa Benenai terbentuk oleh air mata seorang
raja dari gunung Mutis; gunung tertinggi di
pulau Timor bagian Barat. Sang raja begitu men­
cintai seorang gadis Malaka. Namun suatu ketika
keduanya harus berpisah. Sang raja yang kembali
ke Mutis mengungkapkan kerinduannya kepada
sang kekasih dengan menangis. Air mata sang saja
itulah yang kemudian membentuk aliran sungai
Benenai.
“Walaupun jauh, perlahan-lahan air mataku
ini akan sampai ke sana (Malaka),” kata sang raja,
yang dalam bahasa Tetun diungkapkan se­perti
ini: “Kdok mos so’in. Be nai-naik to’o dei.” Kata
“be nai-naik” (tapi perlahan-lahan) dalam per­
kembangannya mengalami perubahan men­ jadi
“Benenai”, nama untuk sungai ini. Mungkin ini
hanyalah sebagian dari kisah Benenai yang begitu
panjang, dalam, dan luas. Tapi aku bersyukur

Benenai 3
pernah mendengar kisah ini dari seorang tua adat
di Malaka.
Belum banyak yang aku dalami soal legenda
itu. Namun yang kutahu, legenda itu sering ku­
ceritakan kepada Noy setiap kami bersama di
tepi sungai ini. Noy yang biasanya menegurku,
“Jangan sering kau ceritakan legenda itu. Aku
takut legenda itu menjadi kenyataan bagi kita.
Kita akan berpisah dan air matamu menjadi saksi
kerinduan.” Usai berkata demikian, Noy biasa­
nya menceritakan berbagai kisah tentang Benenai
menurut buku yang pernah ia baca, atau me­
nu­rut pemikirannya sendiri. Noy lebih senang
dengan itu ketimbang mendengar legenda yang
kuceritakan. Baginya, legenda Benenai seperti
yang kuceritakan melahirkan kegelisahan di
dalam dirinya.
Namun entah mengapa, aku merasa begitu
mengagumi legenda itu dan selalu ingin meng­
ingatnya. Maka beginilah yang kukatakan, “Ma­
nusia hanya bisa merencanakan segala sesuatu,
tapi sulit menentukan secara pasti. Namun apa
pun yang akan terjadi, dengan kepala tegak aku
akan selalu berseru: seperti Benenai, cintaku terus
mengalir untukmu. Setidaknya, inilah salah satu
nilai penting yang aku warisi dari legenda Be­
nenai. Bahwa kehidupan harus terus berjalan.
Kita tak boleh berhenti berharap dan mencintai.
Dengan begitu, kita akan terus hidup.”

4 Robert Fahik
Setiap kali aku mengatakan itu, Noy pun
akan segera mengulanginya; seperti Benenai,
cinta­ku terus mengalir untukmu. Lalu kami akan
ber­sama-sama mengucapkan kalimat itu; seperti
Benenai, cintaku terus mengalir untukmu- sambil
memandang haru bentangan jembatan panjang
yang melintas tepat di atas sungai Benenai, dan
mengagumi gemercik air sungai yang terus meng­
alir.

***

BENENAI. Untuk kesekian kalinya aku datang ke


sungai ini. Namun kali ini aku merasakan ge­taran
jiwa yang begitu lain. Kekaguman abadi yang lain
sekali. Kesetiaanku untuk Noy dan untuk Malaka
sungguh dipertaruhkan.
Beberapa waktu lalu aku kembali bertemu
Mey. Gadis keturunan Jawa-Malaysia yang pernah
menjadi sahabatku di Yogyakarta. Ia kini tum­
buh menjadi perempuan dewasa dan mandiri.
Ia men­jadi bagian penting dari sebuah Lembaga
Swa­daya Masyarakat (LSM) Internasional yang
sedang melakukan studi lapangan di Malaka.
Seperti beberapa tahun lalu, ia kembali meng­
ungkapkan cintanya. Lembaran kehidupan yang
baru telah ia bentangkan di depanku. Kenangan
masa lalu yang sudah tertidur begitu lama seolah
dibangunkannya kembali.

Benenai 5
Dan aku mendapati diriku yang sepertinya
sedang menghadapi ujian cinta, tepatnya kese­
tiaan cinta. Namun entah mengapa, di saat se­
perti ini puisi kehidupan itu masih terus mem­
bahana, “Seperti Benenai, cintaku terus mengalir
untukmu.” Aku selalu berharap puisi kehidup­an
itu terus bergaung kapan dan di mana pun aku
berada meski tempat terindah bagiku adalah
Malaka. Aku sungguh meyakini bahwa cinta se­
lalu memeluk kita, tak peduli kita di mana. Karena
itu kini dengan cinta aku pun berharap, puisi yang
sama menjadi milik semua orang yang meng­aku
memiliki cinta.

6 Robert Fahik
2
MEY

SUATU hari di bulan September 2014. Sudah


lebih dari setahun Malaka diresmikan sebagai
salah satu kabupaten di wilayah Provinsi Nusa
Tenggara Timur (NTT). Hari itu sekelompok ma­
ha­siswa asal Malaka yang tergabung dalam be­
be­
rapa komunitas, didukung sejumlah tokoh
masya­rakat Malaka mengadakan dialog bertema
pem­ba­ngunan Malaka di Betun, ibu kota Kabu­
paten Malaka. Aku turut diundang untuk hadir
sekaligus tampil berbicara sebagai tokoh muda
Malaka.
Usai beberapa narasumber tampil dengan
ma­ terinya tentang pembangunan Malaka dari
ber­bagai sudut pandang, aku diberi kesempat­
an untuk bicara. Dengan penuh rasa syukur aku
bangkit berdiri dan menatap ratusan bahkan
mungkin ribuan peserta yang ada.

7
Hadir Bapak Penjabat Bupati Malaka ber­
sama beberapa pejabat daerah. Hadir para orang
tua, tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh pe­
ngusaha, para pelajar, sekelompok mahasiswa,
dan sejumlah wartawan. Namun yang lebih me­
na­rik tentunya kehadiran beberapa tamu undang­­
an. Kata seorang panitia kegiatan, mereka adalah
anggota sebuah LSM Internasional yang kebe­
tulan sedang mengadakan kegiatan di Malaka.
Hari itu aku memang sengaja tidak mem­
persiapkan makalah khusus selain sebuah tulis­
an yang tidak begitu panjang. Aku yakin, konsep
pembangunan Malaka tentu lebih dipahami oleh
para pakar di bidangnya masing-masing. Dan hari
ini mereka sudah membicarakan konsep-konsep
itu secara sangat baik.
Maka beginilah aku bicara, “Ini bukan ma­
kalah khusus tentang konsep pembangunan Ma­
laka. Ini hanya pemikiran kecil, pemaknaan se­
derhana saja tentang arti sebuah nama; Ma­laka.”
Usai bicara, aku menatap semua yang hadir
dengan penuh keharuan. Lalu dengan lantang ku­
bacakan tulisan ini:
Nomen Est Omen.” Nama adalah tanda. Nama men­
ceritakan sesuatu. Di balik sebuah nama, ada sejarah
panjang yang terbentang. Pepatah klasik (Latin)
ini sungguh merupakan seruan mendalam yang
hen­daknya melekat pada diri setiap insan. Bukan
karena demikian sederhananya (pendek) pepatah itu

8 Robert Fahik
untuk diingat, atau karena kedengarannya yang
indah, namun lebih karena makna yang terkandung
di dalamnya.
Benar, nama adalah tanda. Bila merujuk pada
sejarah kota-kota di dunia misalnya, masing-masing
kota tentu memiliki latar belakang tersendiri ter­
kait nama kota tersebut, tidak terkecuali arti nama
kota yang bersangkutan. Dalam hal ini, ada dua
hal utama yang perlu dicatat. Pertama, sejarah me­
mainkan peran vital dalam menguraikan sebuah
nama. Kedua, permenungan (pemaknaan) atas se­
buah nama menjadi panggilan bagi setiap generasi
yang mewarisi nama tersebut.
Dalam konteks nama “Malaka” (kabupaten
Malaka), sejarah panjang telah mewarnai perja­
lanan nama tersebut. Mulai dari sejarah asal-usul
nenek moyang orang Malaka di Timor, hingga pem­­
bentukkan Malaka sebagai sebuah kabupaten sen­­
diri, terpisah dari Belu sebagai kabupaten induk,
2013 lalu.
Maka yang tersisa kini ialah pemaknaan atas
“Malaka” itu sendiri. Pemaknaan ini penting sebagai
salah satu landasan dalam membangun Malaka ke
depan. Karena itu ijinkan saya menyampaikan be­
berapa pemikiran yang mungkin masih jauh dari
kesempurnaan. Berbagai pemikiran ke depan masih
sangat diharapkan untuk penyempurnaannya.
Secara harafiah, kata “Malaka” berasal dari kata
bahasa Tetun yakni Laka (lakan) yang berarti “nyala,
cahaya, sinar”. Kata Laka mendapat tam­bahan kata
“Ma” (mak) yang berarti “yang”. Dengan demikian,
secara harafiah, kata “Malaka” dapat diartikan se­
bagai “yang bernyala, yang bercahaya, yang ber­
sinar”.

Mey 9
Dalam konteks lain, kata “Malaka” juga dapat
diartikan sebagai sebuah suruhan, perintah, atau
pun permintaan untuk menyalakan sesuatu (contoh:
“Ma-laka ha’i lai”, yang artinya tolong nyalakan
api). “Ma” dalam kalimat “Malaka ha’i lai” me­
ngandung unsur permintaan (bisa juga berarti
perintah, suruhan) yang ditujukan kepada orang ke­
dua tunggal (engkau).
Ada juga penuturan dari tokoh adat bahwa kata
“Malaka” berarti “nyala api pertama”. Ini ber­­­kaitan
dengan cerita awal kedatangan nenek moyang orang
Malaka di Timor. Sebelumnya, se­ luruh daratan
dipenuhi air laut. Orang-orang hanya hidup di
gunung. Ketika air mengering dan ter­cipta daratan,
orang mulai berpindah antara lain ke Malaka. Ketika
tiba di daerah ini, mereka melihat ada nyala api.
Mereka serentak berkata, “Malaka” yang berarti
“nyala api pertama”.
Terlepas dari pemaknaan di atas, dalam kese­
ha­rian, orang juga sering mengenal istilah “Rai
Malaka” (Tanah Malaka). Maka, secara harafiah
pula, kata “Rai Malaka” dapat berarti “tanah yang
ber­nyala, tanah yang bercahaya, tanah yang ber­
sinar”. Sungguh, sebuah nama yang amat sangat
menga­ gumkan dan mendalam untuk diucapkan
dan di­dengarkan. Namun tentunya nama tersebut
akan semakin mengagumkan dan mendalam jika
orang-orang yang ada di baliknya memaknai secara
sungguh nama “Malaka” dalam hidupnya.
Setidaknya, ada empat hal penting yang perlu
dipertimbangkan. Pertama, Malaka sebagai simbol
terang (bernyala, bercahaya, bersinar) meng­arti­kan
bahwa orang-orang Malaka tampil sebagai “terang”
dalam masyarakat, membawakan damai dan suka­

10 Robert Fahik
cita bagi orang lain tanpa tipu muslihat, tanpa
kemunafikan, karena semuanya terang ben­derang
seperti matahari di siang hari dan bulan di malam
hari. Konsekuensi konkretnya, perlu ada trans­
paransi dalam roda pemerintahan Malaka, perlu
ada keterbukaan antara pemimpin (peme­rintah) dan
masyarakat.
Kedua, Malaka sebagai simbol terang, mene­
gaskan arti sebuah semangat yang membara dalam
mengisi pembangunan Malaka di berbagai aspek
ke­­­
hidupan. Semangat membangun Malaka harus
di­miliki oleh semua pihak, baik pemerintah, pihak
swasta, maupun tokoh masyarakat, tokoh agama,
tokoh budaya, tokoh pendidikan, dan seluruh lapis­an
masya­rakat.
Ketiga, Malaka sebagai simbol terang, tidak
mengabaikan penegasan bahwa terang itu harus
dimulai dari diri sendiri. Masing-masing pribadi
hendaknya menyadari perannya dalam masyara­kat,
dan mewujudkan peran tersebut secara total.
Keempat, sesungguhnya ada permintaan, se­
ruan, bahkan suruhan, pertintah, kepada orang
Malaka untuk “menyalakan” api, terang, sinar,
cahaya Cinta Tanah Air (cinta Malaka) dalam
meng­isi pembangunan Kabupaten Malaka ke depan.
“Malaka ha’i ne’e” – nyalakan api ini. Api Cinta
Tanah Air. Cinta Rai Malaka.
Berbagai gagasan di atas sesungguhnya mene­
gaskan sebuah kata: “Kesadaran”. Bahwa dengan
kesadaran akan tanggung jawab sebagai putra-putri
Malaka, orang Malaka akan mengisi hari-hari tanah
kecintaannya ke depan dengan pembangunan.
Suatu ketika seorang murid bertanya pada Con­
fucius, apa yang pertama-tama harus ia lakukan

Mey 11
jika ia bertugas untuk mengatur sebuah negara?
Pemikir besar Cina ini menjawab, “Hal pertama
yang perlu dilakukan ialah rektifikasi (pembetulan)
nama-nama. Di lain kesempatan, seorang ratu ber­
tanya kepada Confucius tentang hal prinsipiil dari
pemerintahan. Confucius menjawab, “Biarlah pe­
nguasa menjadi penguasa, menteri menjadi menteri,
ayah menjadi ayah, anak menjadi anak”. Gagasan
yang tidak jauh berbeda juga diserukan filsuf besar
Yunani, Socrates: “gnoti se auto” (kenalilah dirimu
sendiri).
Tentu, pintu pemaknaan terhadap “Malaka”
masih sangat terbuka lebar bagi siapa saja yang
mau masuk ke dalam permenungan sejati. Namun
kiranya beberapa pokok pikiran di atas boleh men­
jadi salah satu sumbangan pemikiran yang dapat
dipertimbangkan dalam membangun Malaka ke
depan. Bangsa yang kuat dibangun di atas fondasi
persatuan. Masyarakat yang maju selalu diiringi
kesadaran dan semangat untuk bersatu dalam pem­
bangunan.
***

SETELAH mengungkapkan semunya itu, aku


mengulangi puisi kecintaanku, “Tanahku, di sini
telah kuperoleh segalanya. Di sini pula harus ku­
abdikan segalanya.”
Tepukan tangan meriah serentak berge­mu­
ruh di seluruh sudut ruangan itu. Aku menjadi
orang terakhir yang bicara hari itu. Namun se­
belum aku meninggalkan ruangan itu, seorang
wanita paruh baya menghampiriku. Wajah yang

12 Robert Fahik
memang tidak asing sejak awal aku melihatnya
memasuki ruang pertemuan bersama rombong­
an pejabat daerah.
“Manek. Putera Malaka. Penyair Malaka
yang tak pernah lelah bersuara untuk tanahnya,”
kata wanita itu sambil mengulurkan tangannya,
ter­senyum lepas. Sebuah senyuman yang sudah
begitu lama tidak kulihat.
Segera kuraih tangannya dan berbalas
senyum. Kami berjabat tangan, “Mey. Mey Nur­
halisa Wulandari. Sang pengagum puisi-puisi pe­
nyair Malaka.”
Mey. Sahabat lamaku di Yogyakarta. Bebe­
rapa tahun yang lalu aku mengenalnya ketika
menginjakkan kaki di kota pelajar itu, setelah se­
belumnya merasakan kerasnya Jakarta. Itu kisah
masa lalu-ku ketika mengembara di tanah Jawa.
Ayahnya pemilik usaha percetakan tempat
aku bekerja. Uang hasil kerja di percetakan itulah
yang aku gunakan untuk membiayai kuliah­
ku. Ketekunanku membuat sang ayah jatuh hati
hingga menjadikanku seperti anak kandungnya
di kota itu. Namun kalau aku berpikir lebih jauh,
mungkin keakrabanku dengan Mey adalah salah
satu alasan di balik semua ini.
Hal lain yang bisa aku kenang adalah kerja
di percetakan membuatku berjumpa dengan
banyak penulis lewat buku yang kami cetak. Itu
semua menjadi penguat tersendiri bagiku untuk

Mey 13
terus mencintai puisi, walau sampai hari ini aku
belum pernah menerbitkan satu buku puisi pun.
Aku dan Mey belajar bersama di sebuah
kampus ternama yang dikelola para pastor. Ke­
cintaan kami yang sama pada dunia menulis dan
sastra menguatkan kami memilih jurusan Bahasa
dan Sastra. Kami tumbuh dan belajar bersama di
sana.
Dalam berbagai kesempatan Mey meng­ajak­­
ku berdisukusi soal sastra terlebih tentang puisi. Ia
begitu mengagumi puisi-puisiku, entah mengapa.
Ia pernah mengakui bahwa puisi-puisi­ku sangat
menarik. Bahkan tidak semua maha­siswa jurus­
an Bahasa dan Sastra mampu menulis se­perti itu,
kata Mey.
Puisi? Ya, aku banyak menulis puisi di
bangku kuliah walau menulis puisi bukan men­
jadi kewajiban atau pun tugas utama di kelas.
Waktu itu aku hanya menulis sebagai ungkapan
jiwa dan kerinduanku untuk Noy, gadis yang
kucintai dan untuk Malaka, tanah kelahiranku.
Hampir semua puisiku bercerita tentang Malaka.
Mungkin karena alasan inilah Mey begitu menga­
gumi puisi-puisiku.
Ibunya berasal dari Malaka yang ada di
Malaysia. Kakek-neneknya keturusan asli Ke­
sul­tanan Malaka yang termashur pada beberapa
abad lalu itu. Ibunya bekerja sebagai dosen Bahasa
dan Sastra di kampus kami belajar. Mungkin

14 Robert Fahik
darah ibunya mengental dalam diri Mey hingga
gadis itu pun memilih jurusan yang sama dengan
ibunya. Memang Mey pernah bercerita bahwa
ibunya sangat mengharapkan dirinya menjadi
seorang akademisi seperti sang ibu, bukan pe­
ngusaha seperti ayahnya.
Belum genap setahun aku mengenal Mey,
ibunya jatuh sakit dan meninggal. Mey sempat
kehilangan semangat hidup. Gadis itu pun jatuh
sakit hampir selama sebulan. Bahkan ia ingin ber­
henti kuliah. Namun di saat seperti itulah kami
makin saling mengenal. Aku selalu menguatkan
Mey untuk tetap punya semangat.
Kami begitu dekat. Kebaikan ayah Mey mem­
buatku menjadikan Mey sebagai adikku sendiri,
terutama semenjak kematian sang ibu. Dalam
kedekatan itu aku mulai menyadari bahwa ada
getaran rasa yang tak terungkap di antara kami.
Namun aku tak ingin mengikuti getaran rasa itu.
Bagaimana pun Mey sudah kuanggap adikku
sendiri, dan tidak boleh lebih dari itu. Perhatian
dan rasa cintaku untuknya adalah perhatian dan
cinta seorang kakak untuk adiknya. Seperti itulah
pergumulanku, walau kadang aku harus berjuang
sekuat tenaga dalam kebisuanku, meredam rasa
manusiawiku sebagai lelaki normal; mencintai
Mey sebagai seorang kekasih.
Sisi lainnya yang tentu tak bisa kutinggalkan
begitu saja adalah kerinduanku untuk kembali

Mey 15
ke Malaka dan membuktikan cintaku untuk Noy.
Bila mengenang semuanya, aku menyadari dan
menamainya sebagai gejolak rasa manusiawiku
yang bergelora tanpa bisa kubendung.
Suatu hari Mey memang pernah mencoba
mengajakku bicara soal cinta. Ketika itulah aku
menceritakan tentang Noy kepada Mey, dan ke­
rinduanku untuk pulang ke Timor dan meme­
nuhi janjiku. Aku juga mengungkapkan mimpi-
mimpiku untuk membangun Malaka. Mey tak
me­ngatakan apa-apa. Dan kami terus menjalani
kebersamaan seperti biasa. Begitu dekat. Begitu
akrab. Namun satu hal yang tetap kusadari ialah
kekaguman Mey pada puisi-puisiku, dan ka­rak­
ternya yang begitu manja. Semuanya berjalan se­
iring kebisuan kami akan kata cinta.
Hingga akhirnya sebelum kepulanganku ke
Malaka, Mey mengungkapkan semuanya yang
belum pernah terungkap, “Maaf, aku harus meng­
ungkapkan ini. Selama ini aku ber­usaha memen­
damnya tapi aku tak bisa. Mungkin ini adalah
saat yang tepat bagiku untuk meng­ungkap­kan
cinta ini. Sesungguhnya aku tidak hanya menga­
gumi puisi-puisimu. Aku men­ cintai­
mu sudah
sejak pertama kali mengenalmu. Jika waktu meng­
ijinkan aku berharap kau tidak pergi. Aku ingin
kebersamaan ini kita lanjutkan. Tapi kalau pun
kau tetap ingin pergi, anggaplah ini sebagai se­
buah kejujuran. Aku sudah merasa damai saat

16 Robert Fahik
ini kau tahu perasaanku yang sebenarnya. Kau
tetap seorang kakak yang baik dan yang selalu ku­
banggakan.”
Itulah yang Mey ungkapkan. Tidak banyak
yang kukatakan selain hasratku untuk tetap men­
cintai Mey sebagai adik, dan kerinduanku untuk
kembali ke Malaka. Dan aku meninggalkan kota
gudeg itu, meninggalkan Mey dengan getaran rasa
yang beterbangan di ruang jiwa. Aku merasa ber­­
salah jika mengenang bahwa aku tak mampu
membalas cinta itu seperti yang Mey harapkan.
Aku hanya berharap Mey bisa bertemu dengan
se­­orang pria yang mencintainya dan hidup baha­
gia. Damai.
Kembali ke puisi. Aku ingat suatu ketika Mey
pernah mengatakan, puisi-puisiku meng­ingat­­kan­
nya akan sosok sang ibu yang telah me­ninggal.
Se­tiap membaca puisi yang kutulis, ia se­akan ber­
jumpa dengan sang ibu dan kakek-nenek­nya.
Awalnya Mey mengira aku berasal dari Ma­
lay­ sia atau setidaknya orangtuaku punya garis
keturunan Kesultanan Malaka, sehingga aku me­
nulis puisi-puisi tentang Malaka. Namun setelah
aku menjelaskan bahwa Malaka yang ku­maksud
adalah Malaka yang ada di Timor, Mey menjadi
paham bahwa aku bukan berasal dari Malaysia.
Berikut ia juga tahu bahwa di Timor ada juga
daerah yang bernama Malaka.

Mey 17
“Sejak awal kau memulai kata-katamu, aku
sudah yakin bahwa yang berdiri di depanku ada­
lah Manek Mesak. Sosok yang pernah aku kagumi,
dan yang selalu aku rindukan selama hidupku,”
Mey kembali bicara.
Aku hanya diam sebelum Mey lanjut bicara,
“Sejak kau meninggalkan Jogja, aku selalu ber­
mimpi suatu hari nanti kita bisa bertemu lagi.
Dan hari ini mimpi itu menjadi kenyataan. Kau
pasti tahu, ada banyak hal yang ingin aku bicara­
kan. Tolong luangkan waktumu ya, sore nanti
temui aku di Hotel Cinta Damai. Kami menginap
di sana. Kami akan berada di Malaka untuk be­
berapa hari ke depan. Aku tidak tahu, apakah ini
waktu yang sangat panjang atau sangat singkat
untuk kita lalui bersama.”

***

AKU menemui Mey di hotel ketika matahari


hampir tenggelam. Aku merasa seperti berada
di tanah Jawa belasan tahun silam. Namun tentu
situasi­nya kini jauh berbeda. Gadis yang dulu­
nya sedikit manja, pemalu, dan pendiam itu kini
tumbuh menjadi seorang wanita kuat. Pekerja
keras. Cukup berwibawa. Dan lebih berani dalam
bicara.
“Beberapa tahun yang lalu kau mening­
galkan Jogja dan kembali ke Malaka. Kau ingin

18 Robert Fahik
menikahi gadis yang kau cintai. Kau ingin mem­
bangun Malaka. Kau ingin mewujudkan mimpi-
mimpimu. Kau ingin menyuarakan syair-syair­
mu di tanah ini. Tolong ceritakan padaku tentang
tahun-tahun yang berlalu itu,” Mey menatapku
dalam-dalam dengan mata berkaca-kaca.
Hatiku berdebar. Jantungku berdetak begitu
kencang. Aku seperti berada di depan majelis
hakim yang mencercaku dengan berbagai per­
tanyaan yang menyiksa. Ada rasa bersalah bila
mengingat tahun-tahun yang berlalu itu. Aku
meninggalkan keluarga kecil yang telah men­jadi
penopangku. Seorang ayah dengan putri tunggal­
nya yang manja. Aku meninggalkan se­orang gadis
yang mencintaiku demi seorang gadis Malaka dan
demi Malaka.
Seandainya aku tetap di sana, aku pasti hidup
seperti yang Mey inginkan. Kami menikah. Mem­
besarkan usaha ayahnya. Dan suatu hari nanti me­
wujudkan kerinduan Mey; mengunjungi makam
kakek-neneknya di Malaysia, dan mendalami
jejak sejarah Kesultanan Malaka, tempat asal ibu­
nya. Tapi aku mencoba berani melupakan semua
itu. Aku memutuskan kembali ke Malaka untuk
Noy dan untuk Malaka. Noy adalah alasan me­
ngapa aku berkelana begitu jauh dan lama. Dan
karenanya aku selalu menguatkan diriku untuk
harus kembali ke Malaka.

Mey 19
“Mey, tidak semua kenyataan persis se­
perti yang kita harapkan. Gadis yang kucintai
me­­ninggal sebelum kami membangun sebuah
rumah tangga. Ia berjuang keras melawan sakit di
kepalanya yang ia derita sudah sejak masa kecil
kami setelah ia mengalami sebuah kecelakaan.
Ia pernah mengalami kecelakaan motor bersama
ayahnya. Namun yang lebih berat adalah per­
juangannya melawan perjodohannya dengan se­
orang pria yang tidak ia cintai.
“Beberapa sahabatku mengisahkan bahwa
Noy meninggal setelah sakit di kepalanya kambuh
menjelang pernikahannya dengan lelaki yang tak
ia cintai. Ia berjuang melawan dua rasa sakit se­
kaligus; sakit di kepalanya dan juga hatinya
karena perjodohan yang tak ia kehendaki. Aku
juga mendengar cerita dari para sahabatku bahwa
Noy tak punya pilihan lain karena pernikahan itu
adalah permintaan terakhir ayahnya yang kala itu
mengalami sakit parah.
“Sampai hari aku masih mencoba menye­
lami semua ini, Mey. Aku sempat ingin pergi
sejauh mungkin. Tapi entah mengapa, kematian
Noy justru membuat pijakan kakiku makin kuat
di tanah ini. Aku bisa saja kembali ke Jogja dan
memulai lagi kebersamaan kita. Namun itu tidak
terjadi. Cintaku begitu kuat untuk Noy dan untuk
Malaka. Terlintas juga dalam pikiranku bahwa
aku telah melewatkan kesempatan pertama untuk

20 Robert Fahik
mencintaimu sebagai seorang kekasih. Tak mung­
kin bagiku untuk mendapatkan kesem­pat­an ke­
dua,” kataku.
Mey masih menatapku tanpa kata, seolah
masih ingin terus mendengar aku bicara. Hanya
sesekali ia membasahi bibirnya dengan segelas
air. Wajahnya tidak jauh berubah. Bibir tipisnya.
Lesung pipinya. Bola matanya yang bulat. Mem­
bangkitkan ingatanku akan kenangan di tahun-
tahun yang telah berlalu. Namun aku berusaha
me­lupakan semuanya itu. Mengingat itu mem­
buatku takut kehilangan cinta untuk Noy dan
untuk Malaka.
“Setelah kematian Noy, aku bertemu dengan
beberapa sahabat. Mereka-lah yang menguatkan­­­
ku. Menemaniku. Bersamaku mewujudkan mim­
pi-mimpi itu. Kami selalu bertemu, ber­dis­kusi,
bertukar pikiran tentang Malaka. Kami ber­jalan
bersama. Mengunjungi seluruh pelosok Malaka.
Bertemu para orangtua, anak-anak, dan para
remaja. Mendengarkan kisah-kisah para orang­
tua. Belajar bersama anak-anak dan kaum muda.
Membangkitkan semangat hidup, se­ mangat
kerja, dan semangat cinta untuk Malaka di antara
mereka. Inilah yang kunamakan Se­kolah Ke­hi­
dupan Likurai. Sekolah yang lantai­ nya adalah
tanah, atapnya adalah langit, dan din­ ding­
nya
adalah bukit-bukit. Ini mimpiku ber­sama Noy.

Mey 21
“Para sahabatku orang-orang hebat. Nahak,
anak seorang petani yang kuat bekerja. Akeu, anak
keturunan Tionghoa yang tak merasa diri asing.
Seran, anak nelayan yang tak takut pada ganas­
nya gelombang. Bakri, anak pedagang keturunan
Jawa-Bugis yang tidak menjadikan agama seba­
gai tembok pemisah untuk membangun keber­
sa­maan. Paulus, seorang guru yang sangat me­
mahami bahwa pendidikan bukan hanya di balik
dinding sekolah. Uku Mery, gadis Malaka yang
berjuang hidup dari kekayaan Malaka dengan
membangun usaha keripik pisang dan ubi. Dan
Bete Rany, gadis berpendidikan tingkat SMA
yang mandiri dengan mengembangkan usaha
men­­­jahit.
“Akeu sudah beberapa bulan meninggalkan
Malaka. Ia membantu bisnis keluarga ayahnya
di Timor Leste. Sejak pulang ke Makasar karena
kematian seorang kakaknya di sana, Bakri me­ni­
kah dan menetap di sana dengan mengem­bang­
kan usaha kakaknya itu. Paulus mendapat ke­
sem­patan melanjutkan kuliahnya di Jawa. Pihak
yayasan menanggung biaya kuliahnya untuk
me­nambah tenaga pengajar pada sekolah tinggi
keguruan di Malaka. Bete Rany juga sudah tidak
di Malaka. Ia menikah dengan sahabatnya di
bangku SMA dulu. Setelah menikah ia meng­ikuti
sang suami, hidup di Labuan Bajo, Manggarai
Barat dan bersama sang suami mengembangkan

22 Robert Fahik
bisnis pariwisata di kabupaten yang terkenal
dengan Komodo-nya itu.
“Kini aku tinggal punya tiga sahabat; uku
Mery, Nahak, dan Seran. Memang sudah cukup
lama kami tidak menjalankan Sekolah Kehidupan
Likurai. Musibah yang menderaku-lah yang me­
maksaku untuk diam. Aku mengalami lumpuh
ringan di kedua kakiku usai jatuh di punggung
sebuah bukit yang nyaris gundul dan harus me­
makai kursi roda untuk beberapa saat. Baru be­
berapa bulan bulan terakhir aku melepas kursi
roda itu, berkat doa dan terapi seorang pastor
yang pernah berkarya di Malaka.
“Tapi aku bersyukur bahwa kami pernah
melakukan itu; Sekolah Kehidupan Likurai. Ber­
temu orang-orang kecil di perkampungan. Ber­
dialog dengan mereka. Mengajarkan anak-anak
menulis, membaca, berbicara, dan mendengar­
kan. Mengajak mereka untuk mengenal dan men­­
cintai kekayaan budaya; dongeng, tarian daerah,
lagu daerah, ritual-ritual adat. Semuanya kami
buat untuk generasi Malaka yang utuh dan
tangguh. Aku punya keyakinan yang kuat, Se­
kolah Kehidupan Likurai masih tetap hidup di
tengah mereka. Ketika kesadaran dan semangat
belajar itu lahir dan terjaga, saat itulah Sekolah
Kehi­­dupan Likurai masih tetap hidup.”
Mey memejamkan matanya. Lalu ketika mem­
buka mata, ia segera bicara, “Ternyata kau tetap

Mey 23
menjadi dirimu. Waktu dan pengalaman hidup
tak mampu membuatmu berubah menjadi pri­
badi yang lain. Semangat dan kerja keras masih
tetap ada padamu. Kau selalu mewujudkan
mimpi-mimpimu. Jujur, aku pun tidak berubah.
Aku masih mengagumimu. Tapi aku tak tahu,
apa­kah semua ini sudah ditakdirkan oleh waktu
atau hanya sebuah kebetulan? Maksudku, saat
per­­te­muan ini.”
Hari sudah mulai malam. Tapi Mey masih
terus bicara, “Semenjak kepulanganmu ke Ma­
laka, aku mencoba tumbuh sebagai gadis man­diri.
Aku tak bisa bermanja lagi seperti dulu. Diskusi-
diskusi kita tentang peradaban Malaka, puisi-
puisimu tentang Malaka yang masih kusimpan
rapi, semuanya mengantarkan aku pada sebuah
semangat yang membara. Aku melanjut­ kan
kuliah Magister dalam bidang Kajian Budaya.
Aku mencari berbagai referensi tentang Malaka.
Aku mem­bulatkan tekadku, kalau pun kita tidak
ber­temu lagi, setidaknya aku memenuhi janji­
ku untuk membantumu dalam menelusuri jejak-
jejak Malaka. Aku selalu ingat kata-katamu itu,
‘Banyak orang dari daerah ini bekerja di Malaysia.
Di Malaysia ada Malaka, di Timor ada Malaka.
Apa­kah kesamaan nama ini hanya kebetulan atau
memang mengisyaratkan sebuah hubungan per­
adaban besar?’ Aku sungguh mengingat semua
itu.

24 Robert Fahik
“Namun setelah lulus Magister, aku tidak
sepenuhnya mendalami ilmu itu. Sempat men­
jadi dosen beberapa waktu, namun belakangan
ini aku menyibukkan diri dalam urusan pengem­
bangan daerah-daerah otonomi baru dan daerah
terpencil. Aku bertemu dengan beberapa teman
lama dan mulai bergabung dalam LSM Inter­na­
sional ini. Salah satu fokus kajian LSM ini adalah
memantau dan mendata berbagai potensi yang
dimiliki suatu daerah.
“Hasilnya akan segera kami rekomendasi­
kan kepada para investor di berbagai perusaha­
an yang menjadi mitra kami. Para investor inilah
yang akan membuat terobosan pengembangan
dalam berbagai bidang sesuai hasil survei dan re­
ko­mendasi kami. Sejauh ini, memang ada bebe­
rapa bidang yang kami rekomendasikan dan
se­lalu mendapat respon positif yakni pertani­an,
peternakan, dan perikanan. Beberapa hari ini
kami mengadakan survei awal. Hasilnya akan
kami bahas ketika pulang ke Jawa. Lalu kami
akan datang lagi untuk memperdalam survei ini
se­­­belum memberi rekomendasi untuk ditindak­
lan­juti oleh para investor.
“Ketika mengetahui bahwa Kabupaten Ma­
laka di Timor, NTT, menjadi salah satu priori­tas
survei tahun ini, aku memutuskan untuk ikut ke
sini. Aku tidak mengira kita akan kembali ber­
temu di sini. Aku hanya merasa tertarik untuk

Mey 25
melihat Malaka secara langsung. Apa yang kau
ceritakan dalam puisi-puisimu ingin aku nikmati.
Tanah yang subur dengan hutan-hutan yang
masih perawan. Hamparan sawah yang luas.
Orang-orang yang ramah. Pantai-pantai dengan
ombak laut selatan yang menantang. Dan satu
lagi, sungai Benenai dengan airnya yang selalu
me­ngalir.”
Suasana hotel kian sepi. Suara kendaraan
yang lalu-lalang di jalan raya pun mulai tak ter­
dengar. Tapi Mey belum mengijinkanku untuk
pulang. Walau kemarin melakukan perjalanan
jauh dari Kupang, namun tak sedikit pun ku­lihat
lelah di wajahnya. Aku pun tidak rela me­ning­
galkan Mey sebelum ia mengijinkanku pulang.
Aku mencoba membiarkan waktu yang menen­
tukan semuanya.
“Berarti kamu belum menikah,” kata Mey
sambil mengangkat alis matanya, membuka pem­
bicaraan yang sempat terhenti beberapa saat.
“Kamu sudah menikah?” aku balik bertanya.
“Aku juga belum menikah. Sejak kepu­langan­
mu ke Malaka, aku seperti tak menemukan arah
cintaku. Aku sempat menjalin hubungan dengan
beberapa pria, namun semuanya selalu kandas.
Mungkin karena aku yang terlalu manja atau be­
gitu keras kepala, hingga tak kutemukan seorang
pria yang begitu memahamiku sepertimu dulu.

26 Robert Fahik
“Rencananya bulan depan aku akan bertu­
nangan dengan seorang pengusaha dari Malaysia.
Itu pun atas permintaan ayah agar aku segera
punya pendamping dalam memperkuat usaha
ke­luarga. Lelaki itu anak dari seorang sahabat
ayah. Ayah yang menganjurkan itu, karena bagi­
nya pernikahan kami bisa menjadi tali yang kem­
bali mempererat hubungan kami dengan ke­
luarga ibu. Tapi ayah memberi kebebasan bagiku
untuk menentukan pilihan. Memang kami sudah
menjalin komunikasi hampir setahun. Namun
jujur, sampai kini aku belum begitu yakin kalau
aku telah benar-benar mencintainya. Entah meng­
apa. Aku hanya mencoba untuk tidak menge­ce­
wakan ayah.”
Sambil memegang tanganku, Mey bicara
lagi, “Sejak melihatmu kembali hari ini dan men­
dengar kisahmu, aku berpikir apakah dengan si­
tuasi ini aku bisa memulai lagi kisah lama itu?
Maksudku, kekaguman dan cintaku padamu
sekian tahun itu boleh tumbuh lagi. Kau belum
menikah. Aku juga belum menikah. Apa lagi
yang bisa menghentikan kita? Kekasihmu me­
ninggal., tetapi ada orang lain yang masih be­
gitu mencintaimu. Maaf, aku tidak bermaksud
melukai perasaan wanita yang kau cintai. Tapi
kita bisa memulai hidup yang baru. Ayah sudah
cukup tua. Aku bisa berhenti dari LSM ini dan
kita akan membesarkan usaha percetakan ayah.

Mey 27
Kita bisa tinggal di Jogja, menemani ayah di usia
senjanya. Kita bisa bersama menelusuri jejak-jejak
peradaban Malaka. Bagaimana?”
“Tidak perlu ada yang berubah, Mey. Sudah
sejak dulu, kau kuanggap sebagai adikku. Kau
juga akan segera bertunangan. Jangan kau sakiti
hati lelaki yang mencintaimu. Setelah kegiatan di
sini, pulanglah ke Jogja. Jalani pertunangan itu
dengan hati yang damai. Biarkan aku hidup di
sini dengan kedamaian yang sudah kugenggam.
Aku tak bisa pergi dari Malaka, Mey.”
“Bagaimana kalau suatu saat aku memilih
untuk tinggal di sini?” tanya Mey.
“Kita sudah kembali bertemu. Itu sudah
cukup bagiku. Kita adalah saudara, dan akan
tetap menjadi saudara. Aku tidak mau mem­be­
banimu dengan keberadaanku. Tanggung jawab­
ku masih terlalu besar untuk tanah ini. Aku tak
ingin melihatmu ikut menanggungnya. Kau masih
punya masa depan yang lebih luas.”
Mey menitikkan air mata di depanku. Me­
maksaku untuk berpikir jauh. Aku sungguh
berada dalam situasi yang cukup rumit. Kehe­ning­
an malam itu tak mampu membuat jalan pikiran­
ku teduh. Dadaku kembali berdebar. Jan­tungku
kembali berdetak kencang.
“Maaf, kalau aku sudah begitu jauh me­
langkah,” kata Mey usai menghapus air matanya,
dan tersenyum kecil.

28 Robert Fahik
Aku hanya diam. Beberapa saat Mey menge­
luarkan sejumlah lembar kertas dari tasnya. Bukan
kertas kosong. Nampaknya berisi tulisan.
“Lupakan semua yang pernah kuucapkan.
Ini ada beberapa tulisan kecil. Aku sengaja mem­
bawanya ke Malaka. Semoga ini bisa menjadi
awal yang baik untuk penelusuran kita yang
lebih dalam tentang peradaban Malaka,” Mey me­
nyerahkan beberapa lembar kertas kepadaku.
“Besok kami akan meninjau daerah per­ba­
tasan Indonesia-Timor Leste dan beberapa area
pengembangan pertanian dan peternakan. Hari
berikutnya kami juga akan mengunjungi sejumlah
daerah pantai untuk melihat potensi pariwisata
dan perikanan di Malaka. Kalau tidak keberat­
an, kau bisa ikut bersamaku ke lokasi-lokasi itu,”
lanjut Mey sebelum aku meninggalkannya malam
itu ditemani gejolak rasa yang tak mampu ku­
tebak arahnya.

Mey 29
3
MALAKA

AKU memutuskan untuk tidak memenuhi un­


dang­an Mey, meninjau daerah perbatasan Indo­
nesia-Timor Leste di Metamauk serta bebe­rapa
area pertanian dan peternakan. Hari itu ke­tika
Mey bersama rekan-rekannya pergi, aku me­
nyepi ke gua Maria Lourdes Tubaki. Di sana aku
ber­diam diri dan berdoa sejenak sebelum me­
lanjut­kan perjalananku ke tepi sungai Benenai.
Di sinilah aku mencoba mengalirkan semua pe­
rasaan yang berkecamuk dalam diriku. Siapa tahu
aliran sungai Benenai dapat membawa se­mua­­
nya menuju laut selatan, dan aku merasa bebas se­
ba­gai orang merdeka.
Di tepi sungai ini pula aku membuka lem­
baran-lembaran berisi tulisan yang Mey berikan
semalam di hotel. Aku memang belum sempat
mem­bacanya walau semalam aku masih punya
waktu yang cukup. Maka segera kubuka lem­

30
bar­­an itu. Sebuah tulisan yang cukup panjang
tentang “Malaka”. Beginiah Mey menulis:1
Membaca atau mendengar kata “Malaka” (sering
juga disebut Melaka), tentu pikiran sebagian besar
orang akan tertuju pada Selat Malaka di pulau
Sumatera. Namun kata “Malaka” ternyata bukan
hanya sebatas pada nama sebuah selat melainkan
juga nama buah, nama tokoh, nama kota, nama ke­
rajaan, nama desa/kelurahan, dan nama kabu­paten.
Tentang nama buah, Malaka adalah nama se­
jenis pohon (dan buahnya). Dalam bahasa Jawa
di­sebut mlåkå atau kemlåkå. Kemungkinan nama
ini berasal dari bahasa Sanskerta amalaka, yang
kemudian diadopsi oleh berbagai bahasa lain, proto-
bahasa bahasa Melayu yang kemudiaan bahasa
Malaysia dan bahasa Indonesia. Nama-nama lainnya
di antaranya melaka, amla, amlaki, ammalaki, amala,
nillika, nellikya, nellikai dan aneka lainnya di pel­
bagai bahasa di seputar anak benua India. Dalam
bahasa Inggris disebut sebagai Indian gooseberry.
Para pakar di Malaysia menduga bahwa nama
pohon inilah yang menjadi asal-usul nama Kota
Melaka, yang belakangan lalu diambil menjadi
nama selat, Selat Malaka. Aneka bagian tumbuhan,
ter­masuk pepagan, akar, daun, bunga, buah, dan
biji digunakan dalam pengobatan tradisional. Ter­
utama di India, buah Malaka merupakan salah satu
unsur penting dalam pengobatan Ayurveda. Buah
ini mengandung banyak vitamin C. Ekstrak buah
Malaka digunakan sebagai bahan pewarna tra­disio­
nal. Pohon Malaka termasuk salah satu pohon yang
1
Tulisan ini diolah berdasarkan data yang diperoleh pe­
nulis dari http://id.wikipedia.org.

Martir 31
disucikan menurut agama Hindu. Berasal dari India
dan Nepal, pada masa lalu pohon Malaka banyak
ditanam di Jawa, dan kini sebagian meliar di hutan-
hutan dataran rendah yang kering. Pohon ini tahan
terhadap kebakaran.
Berkaitan dengan nama tokoh, tentu sosok Tan
Malaka tidaklah asing. Tan Malaka atau Ibrahim
Datuk Tan Malaka (lahir di Nagari Pandam Gadang,
Suliki, Sumatera Barat, 2 Juni 1897 – meninggal
di Desa Selopanggung, Kediri, Jawa Timur, 21
Februari 1949 pada umur 51 tahun) adalah Bapak
Republik Indonesia, seorang aktivis pejuang kemer­
dekaan Indonesia, seorang pemim­pin sosialis, dan
politisi yang mendirikan Partai Murba. Pejuang
yang militan, radikal, dan revolu­sioner ini banyak
me­ lahirkan pemikiran-pemikiran yang berbobot
dan berperan besar dalam sejarah perjuangan ke­
mer­­­
dekaan Indonesia. Dengan perjuangan yang
gigih maka ia dikenal sebagai tokoh revolusioner
yang legendaris. Dia kukuh mengkritik terhadap pe­­­
me­­rintah kolonial Hindia-Belanda maupun pe­me­­
rintahan republik di bawah Soekarno pasca-re­vo­lusi
kemerdekaan Indonesia. Walaupun berpan­­­dangan
sosialis, ia juga sering terlibat konflik dengan Partai
Komunis Indonesia (PKI). Tan Malaka menghabiskan
sebagian besar hidupnya dalam pem­buangan di luar
Indonesia, dan secara tak henti-hentinya terancam
dengan penahanan oleh pe­nguasa Belanda dan se­
kutu-sekutu mereka. Walau­pun secara jelas dising­
kirkan, Tan Malaka dapat me­mainkan peran intelek­
tual penting dalam mem­bangun jaringan gerakan
sosialis internasional untuk gerakan anti pen­ ja­
jahan di Asia Tenggara. Ia di­nyatakan sebagai pah­
lawan nasional melalui Ketetapan Presiden RI No.

32 Robert Fahik
53 tanggal 23 Maret 1963.
Selain menjadi nama buah dan juga berikaitan
dengan nama tokoh, kata Malaka sepertinya lebih
familiar bila dihubungkan dengan letak wilayah geo­
grafis tertentu, seperti Selat Malaka, kota Melaka,
Kesultanan Malaka, dan beberapa desa/ke­ lurahan
dengan nama Malaka yang tersebar di bebe­ rapa
pulau besar di Indonesia.
Selat Malaka adalah sebuah selat yang terle­
tak di antara Semenanjung Malaysia (Thailand,
Malaysia, Singapura) dan Pulau Sumatra (Indo­
nesia). Dari segi ekonomi dan strategis, Selat
Ma­­laka merupakan salah satu jalur pelayaran ter­
penting di dunia, sama pentingnya seperti Terusan
Suez atau Terusan Panama. Selat Malaka mem­
ben­tuk jalur pelayaran terusan antara Samudra
Hindia dan Samudra Pasifik serta menghubungkan
tiga dari negara-negara dengan jumlah penduduk
ter­­
besar di dunia: India, Indonesia dan Republik
Rakyat Cina. Sebanyak 50.000 kapal melintasi Selat
Malaka setiap tahunnya, mengangkut antara se­per­
lima dan seperempat perdagangan laut dunia. Se­
banyak setengah dari minyak yang diangkut oleh
kapal tanker melintasi selat ini; pada 2003, jumlah
itu diper­kirakan mencapai 11 juta barel minyak per
hari, suatu jumlah yang dipastikan akan mening­
kat mengingat besarnya permintaan dari Tiongkok.
Oleh karena lebar Selat Malaka hanya 1,5 mil laut
pada titik tersempit, yaitu Selat Phillips dekat
Singapura, ia merupakan salah satu dari kemacetan
lalu lintas terpenting di dunia.
Kota Melaka (bahasa Melayu: Bandar Melaka)
adalah ibu kota negara bagian Melaka di Malaysia.
Melaka yang berupa hasil reklamasi dapat dicapai

Martir 33
dengan kendaraan bermotor dari kota ini. Jarak Kota
Melaka dengan daerah Muar ialah 40 km. Kota ini
dahulu merupakan ibu kota Kesultanan Malaka dan
pusat peradaban Melayu pada abad ke-15 dan 16.
Bangsa Portugis menaklukkan Melaka pada tahun
1511. Antara tahun 1641-1795, Melaka dikuasai
Belanda. Kemudian Melaka dikuasai Britania Raya
pada tahun 1820-an sampai kemerdekaan Malaysia
pada tahun 1957. Britania Raya menyerahkan Ben­
coolen kepada Belanda dan sebagai gantinya me­
reka mendapatkan Melaka. Negeri Melaka atau
juga dikenal sebagai Melaka Bandaraya Bersejarah,
1989, merupakan salah satu negeri (provinsi) di
Malay­ sia. Pada tahun 2008 Melaka dan George
Town, dinobatkan oleh UNESCO sebagai Kota
Warisan Dunia (World Heritage). Negeri Melaka
di­nya­ta­kan sebagai ‘Melaka Maju’ pada 20.10.2010
pada jam 20:10 di Stadion Hang Jebat yang di­sem­­
purnakan oleh Perdana Menteri Malaysia langsung
dari Putra World Trade Centre (PWTC), Kuala
Lumpur. Melaka juga dinyatakan sebagai Negeri
Bandar (Kota) Teknologi Hijau. Walaupun merupa­­
kan negeri pertama mendirikan kesultanan Melayu,
Melaka kini tidak mempunyai seorang sultan, se­
baliknya negeri ini diketuai oleh seorang Tuan Yang
Terutama (TYT) Negeri.
Kesultanan Malaka adalah sebuah Kerajaan
Me­layu yang pernah berdiri di Malaka, Malaysia.
Kerajaan ini didirikan oleh Parameswara, kemudian
mencapai puncak kejayaan di abad ke 15 dengan
menguasai jalur pelayaran Selat Malaka, sebelum
di­taklukan oleh Portugal tahun 1511. Kejatuhan
Malaka ini menjadi pintu masuknya kolonialisasi
Eropa di kawasan Nusantara. Kerajaan ini tidak

34 Robert Fahik
me­ninggalkan bukti arkeologis yang cukup untuk
dapat digunakan sebagai bahan kajian sejarah,
namun keberadaan kerajaan ini dapat diketahui
me­lalui Sulalatus Salatin dan kronik Cina masa
Dinasti Ming. Dari perbandingan dua sumber
ini masih menimbulkan kerumitan akan sejarah
awal Malaka terutama hubungannya dengan per­
kem­bangan agama Islam di Malaka serta rentang
waktu dari pemerintahan masing-masing raja
Malaka. Pada awalnya Islam belum menjadi agama
bagi masyarakat Malaka, namun perkembangan be­
rikutnya Islam telah menjadi bagian dari kerajaan
ini yang ditunjukkan oleh gelar sultan yang disan­
dang oleh penguasa Malaka berikutnya. Berdasar­
kan Sulalatus Salatin kerajaan ini merupakan
kelanjutan dari Kerajaan Melayu di Singapura,
kemudian serangan Jawa dan Siam menyebabkan
pusat pemerintahan berpindah ke Malaka. Kronik
Dinasti Ming mencatat Parameswara sebagai pen­
diri Malaka mengunjungi Kaisar Yongle di Nanjing
pada tahun 1405 dan meminta pengakuan atas
wilayah kedaulatannya. Sebagai balasan upeti yang
diberikan, Kaisar Cina menyetujui untuk mem­beri­
kan perlindungan pada Malaka, kemudian ter­catat
ada sampai 29 kali utusan Malaka me­ngun­jungi
Kaisar Cina. Pengaruh yang besar dari relasi ini
adalah Malaka dapat terhindar dari kemungkinan
adanya serangan Siam dari utara, terutama setelah
Kaisar Cina mengabarkan pe­ nguasa Ayutthaya
akan hubungannya dengan Malaka. Keberhasilan
dalam hubungan diplomasi dengan Tiongkok mem­
beri manfaat akan kestabilan peme­ rintahan baru
di Malaka, kemudian Malaka berkembang menjadi
pusat perdagangan di Asia Tenggara, dan juga

Martir 35
menjadi salah satu pangkalan armada Ming.
Sejenak tinggalkan cerita tentang “keakraban”
nama “Malaka” dengan negeri Jiran, “Malaka” juga
ternyata menjadi nama beberapa tempat di Indo­
nesia. Malaka merupakan salah satu gampong yang
ada di Kecamatan Kluet Tengah, Kabupaten Aceh
Selatan, Provinsi Aceh. Situraja adalah sebuah
kecamatan di Kabupaten Sumedang, Provinsi Jawa
Barat, Indo­nesia dengan salah satu Desanya bernama
Desa Malaka. Di Provinsi Nusa Tenggara Barat
(NTB) juga terdapat Desa Malaka. Malaka adalah
salah satu desa di Kecamatan Tondong Tallasa,
Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan, Sulawesi
Selatan. Bahkan di ibu kota Negara, Jakarta juga
terdapat dua kelurahan yang menggunakan nama
Malaka yakni Kelurahan Malaka Jaya, Kecamatan
Duren Sawit, Jakarta Timur (Terdapat Kampung
Malaka di kelurahan ini), dan Kelurahan Malaka
Sari yang juga terletak di kecamatan Duren Sawit,
Jakarta Timur. Sewaktu kecamatan Duren Sawit
dibentuk pada tahun 1995 Kelurahan Malaka Jaya
dan Kelurahan Malaka Sari belum terbentuk, yang
ada hanya Kelurahan Malaka. Pada tahun 1997,
kelurahan Malaka dimekarkan menjadi Kelurahan
Malaka Jaya dan Kelurahan Malaka Sari.
Dan yang terbaru adalah pembentukan Daerah
Otonom Baru, Kabupaten Malaka di Provinsi
Nusa Tenggara Timur (NTT), yang terpisah dari
Kabupaten Belu sebagai kabupaten induk. Kabu­
paten Malaka merupakan hasil pemekaran dari
Kabu­paten Belu yang disahkan dalam sidang pari­
purna DPR RI pada 14 Desember 2012 di gedung
DPR RI tentang Rancangan UU Daerah Otonomi
Baru (DOB). Kemudian di Jakarta pada Senin 22

36 Robert Fahik
April 2013 kabupaten Malaka yang sebelumnya
sudah disahkan, diresmikan oleh Menteri Dalam
Negeri RI, Gamawan Fauzi. Pada kesempatan yang
sama, Gamawan Fauzi juga melantik Herman Nai
Ulu (Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat dan
Pemerintahan Desa Provinsi NTT) sebagai Pen­
jabat Bupati Malaka.
Ternyata “Malaka” adalah kata dan nama yang
sangat kaya. Malaka melekat pada nama pohon,
nama buah, nama tokoh, nama kerajaan, nama kota,
nama desa/kelurahan, dan nama kabupaten. Dan jika
direnungkan secara mendalam, tentunya “Malaka”
akan lebih kaya dari sekadar sebuah kata yang me­
lekat pada nama pohon, buah, tokoh, dan letak geo­
grafis tertentu.
***

TULISAN Mey cukup menggugahku. Banyak


fakta yang ia uraikan tentang Malaka. Ini tentu
men­jadi informasi yang membuka wawasan baru
bagi banyak orang, khususnya di tanah ini. Bahwa
“Malaka” bukan hanya sekadar nama. Malaka
sungguh menyimpan sebuah peradaban besar.
Pekerjaan tersisa sekarang adalah membuat te­
laah yang lebih dalam tentang fakta-fakta itu.
Apakah kesamaan nama “Malaka” di berbagai
tempat itu memberi arti bahwa ada hubungan
peradaban di antara mereka? Atau hanya sebuah
kebetulan? Bagaimana itu bisa terjadi? Semua­nya
berpadu dalam pikiranku. Datang dan pergi lagi.
Pergi lalu datang lagi. Hingga tak terasa senja

Martir 37
hampir memelukku dalam kesendirian.
“Terima kasih Mey. Tulisan ini membuka
jalan untuk sebuah pekerjaan yang lebih besar,
men­cari jejak-jejak peradaban Malaka. Tapi per­
temuan ini seperti sebuah beban yang diletakkan
di pundakku. Ini seperti dulu ketika aku mening­
galkan tanah Jawa. Aku tahu, ada yang belum
sempat terungkap secara tuntas waktu itu. Entah
ini mau dinamakan apa? Sungguh, aku seakan
sangat lemah sekarang. Tolong kuatkan aku.
Jangan membuatku semakin lemah,” aku berbisik
pada diriku sendiri ketika hendak meninggalkan
Benenai.
Namun belum sempat aku beranjak, sebuah
mobil menghampiriku. Tanpa ragu, Mey turun
dari mobil itu dan menemuiku.
“Aku sudah bertemu uku Mery, Nahak, dan
Seran. Mereka yang memberitahuku bahwa Be­
nenai adalah sahabat setiamu untuk ber­diam diri.
Kau selalu meluangkan waktumu untuk datang
ke sungai ini. Tidak salah, aku men­dapati­mu di
sini,” kata Mey.
“Benenai selalu memberiku kekuatan, ha­
rapan, dan kedamaian,” aku menatap Mey yang
masih tampak segar walau sejak pagi tadi sibuk
dengan kegiatannya.
“Maaf, hari ini aku belum sempat ikut ber­
samamu. Beberapa hari ke depan aku pasti bisa
menemanimu,” lanjutku, “Tapi terima kasih atas

38 Robert Fahik
tulisan yang sudah kau buat ini. Aku sudah mem­
bacanya dan sangat mengapresiasi usaha­mu.”
“Itu hanya sebuah tulisan sederhana.”
“Tapi akan membuka wawasan banyak orang
bahwa ternyata nama Malaka tidak hanya identik
dengan Selat Malaka atau Kesultanan Malaka.
Nama Malaka ada juga di berbagai daerah. Ini
tentu menarik untuk ditelaah lebih dalam. Kalau
pun memang kesamaan nama itu hanya se­buah
kebetulan, tidak apa-apa. Tapi aku punya ke­ya­­
kinan, kesamaan nama itu bukan sebuah kebe­
tulan. Pasti ada sejarah panjang di balik se­mua
itu.”
“Kalau terkait nama Malaka untuk daerah
ini bagaimana?”
“Dilihat dari segi makna kata, seperti yang
pernah aku ungkapkan dalam pertemuan ke­
marin. Tapi dari segi sejarah nenek moyang
pen­duduk di daerah ini, sejumlah penutur adat
menga­ takan bahwa nenek moyang orang di
daerah ini berasal dari semenanjung Malaka, se­
hingga mereka mengenal sebutan dalam Bahasa
tetun; Sina Mutin Malaka. Artinya, orang cina ber­
kulit putih dari Malaka. Memang sejauh ini ada
banyak pendapat tentang asal usul nenek moyang
orang di sini. Karena itu aku punya mimpi suatu
hari nanti bisa membuat kajian yang lebih dalam
tentang sejarah tanah ini. Mimpi yang lebih besar
dari itu Mey pasti sudah tahu.”

Martir 39
“Ya, kau akan membuat kajian tentang Ma­
laka dalam konteks yang lebih luas,” kata Mey.
“Oh, bukan kau, tapi kita,” lanjut Mey sambil
melempar senyumnya.
Aku hanya menganggukkan kepala sambil
merasakan debaran jantung yang segera berdetak
begitu cepat. Ini bukan karena mimpi besar untuk
membuat kajian tentang Malaka. Ini lebih karena
kata “kita” yang diucapkan Mey.
“Kita.”
Hanya itu yang kuucapkan sebelum akhir­
nya senja menuntun kami untuk meninggalkan
Benenai. Tiba di hotel, Mey masih sempat meng­
ajakku makan malam dan tentunya berbicara
panjang lebar tentang semuanya yang mungkin
belum terungkap.
“Malaka punya potensi yang sangat besar.
Sepintas terlihat, tanah di sini sangat subur seperti
di Jawa. Pengairan yang sudah mulai ditata se­
cara baik juga tentu menjadi faktor pendukung.
Tinggal bagaimana potensi ini dimaksimalkan se­
cara bijak. Ke depan sudah pasti kami akan men­
dukung masyarakat Malaka khususnya dalam
bidang pertanian. Beberapa hasil pertanian dari
sini bisa dipasarkan secara luas. Padi dan jagung
adalah dua dari sekian banyak potensi per­­ta­­nian
yang bisa dikembangkan di daerah ini. Be­­be­­rapa
tokoh masyarakat yang kami temui juga meng­
ungkapkan bahwa daerah ini punya potensi per­

40 Robert Fahik
tanian lainnya yakni ubi dan kacang hijau. Oya,
aku juga melihat pisang tumbuh subur di mana-
mana. Juga pohon kelapa yang ber­jejer walau tak
sebanyak yang kau ceritakan dalam pusi-puisimu.
Aku pikir, semua potensi ini bisa dikembangkan
secara optimal untuk kesejah­teraan masyarakat,”
Mey membuka perbincangan kami malam itu.
“Selain itu Mey, Malaka juga cocok untuk
tanaman coklat (kakao). Sudah sejak puluhan
tahun lalu ada pengusaha yang membuat kebun
coklat di area yang luas. Banyak anak Malaka
yang direkrut jadi pekerja. Biasanya hasil panen
di­kirim ke Jawa. Sebenarnya dalam bidang per­
tanian, Malaka juga punya potensi pengem­bang­
an sagu. Namun kini tidak banyak lagi pohon
sagu yang bisa ditemukan. Ada makanan lokal
yang dikenal dengan ’akabilan’, yang bahan da­
sar­nya adalah sagu. Malaka juga kaya akan sirih
dan pinang. Selain bermanfaat untuk para orang
tua yang biasanya makan sirih atau diguna­kan
dalam ritual adat, mungkin sirih dan pinang bisa
diteliti untuk diolah menjadi obat-obatan untuk
penyakit tertentu. Apa lagi yang kau te­mukan
Mey?”
“Malaka juga memiliki potensi sebagai da­
erah perbatasan. Memang belum banyak yang
di­lakukan dalam konteks yang satu ini. Peme­­­
rintah dalam hal ini melalui badan pengelola
perbatasan dan dinas terkait perlu mulai memi­

Martir 41
kirkan bagaimana potensi daerah perba­tasan ini
dioptimalkan untuk kesejahteraan ma­ sya­
rakat.
Banyak hal yang bisa dilakukan, ter­masuk pe­
ngem­ bangan pariwisata. Di bidang ekonomi,
mungkin pasar perbatasan bisa menjadi salah
satu alternatif peningkatan ekonomi rakyat. Di
bidang pendidikan, peningkatan kualitas lem­
baga pendidikan di Malaka mungkin bisa me­
narik pelajar atau mahasiswa dari negara te­
tangga. Mungkin ini terlalu berlebihan, tapi itu­
lah yang aku pikirkan. Jujur, semua ini masih be­
rupa pikiran liar. Perlu dikonsepkan secara baik.
Tapi memang daerah ini punya potensi yang luar
biasa dan harus dioptimalkan.”
“Ada lagi hal lainnya?”
“Malaka juga punya potensi pengembang­­an
peternakan. Kami mendengar cerita dari masya­
rakat bahwa dahulu daerah ini kaya akan sapi,
kerbau, dan kuda. Namun kini populasinya
makin menipis. Kalau dahulu ada banyak sapi
dan kuda, berarti daerah ini punya potensi untuk
pe­­ter­nakan. Tinggal bagaimana sekarang potensi
itu dikembangkan lagi.”
“Dalam bidang peternakan, Malaka juga kaya
akan babi. Bahkan di kampung-kampung, ada
kebiasaan babi dilepas begitu saja. Nah, kalau di­
tata secara baik, Malaka bisa mengekspor daging
babi ke daerah lain. Kambing dan ayam juga bisa
dikembangkan di sini. Oya, waktu masih kecil

42 Robert Fahik
dulu aku pernah mengalami bagaimana itik Jawa
dikembangkan di Malaka. Aku melihat waktu itu
cocok. Itik Jawa selalu menghasilkan telur setiap
hari. Tapi sekarang itik Jawa sudah jarang di sini,”
kataku menyambung penjelasan Mey.
Aku melanjutkan, “Sebagai anak Malaka, aku
sangat mengapresiasi semuanya. Terlepas dari ke­
pentingan bisnis atau kepentingan apa pun, tentu
kehadiranmu bersama teman-teman sangat kami
syukuri. Harapan kami, masyarakat bisa men­
dapat perhatian yang tidak kurang.”
Aku hanya mengatakan itu sebelum Mey
melanjutkan berbagai gagasannya tentang potensi
Malaka. Aku sungguh menyimak semuanya. Ba­
gaimana pun juga Mey adalah seorang sahabat
yang pernah aku kenal dan belajar bersama untuk
beberapa tahun. Seorang sahabat yang baik tentu
adalah orang yang menghargai sahabatnya, ter­
masuk berbagai idenya yang membangun. Bahkan
sebenarnya tak butuh adanya ikatan persa­ha­batan
atau pun persaudaraan dalam hal meng­hargai ide
yang membangun.
Aku masih terus mengikuti alur pikiran Mey
sambil tak henti-hentinya mengucap syukur atas
pertemuan ini. Beberapa saat lalu aku sempat di­
dera kecemasan bahkan ketakutan, namun kali
ini aku merasa lebih damai. Sejak tadi Mey hanya
bicara soal potensi Malaka dan bagaimana pe­
ngem­­bangannya. Hal yang mencemaskanku; cinta,

Martir 43
belum kudengar lagi. Namun akhirnya hal yang
tak ingin kudengar itu terungkap juga dari bibir
Mey ketika aku hendak pulang malam itu.
“Aku masih berharap kau berubah pikiran,”
Mey bicara begitu pelan.

44 Robert Fahik
4
MARTIR

TAK terasa sudah hampir seminggu Mey di


Malaka. Sudah hampir seminggu pula waktu me­
nyeretku pada sebuah kebersamaan lama yang
sepertinya menyajikan keindahan sekali­gus ke­
cemasan mendalam. Indah ketika ber­temu kem­
bali sahabat lama. Cemas jika meng­ingat bahwa
di tanah ini cinta sejatiku telah ku­be­
nam­ kan;
bagaimana mungkin aku bisa mening­galkannya
begitu saja?
Keindahan dan kecemasan berpadu, berke­
camuk dalam diriku selama hampir seminggu
itu. Aku melewatkan banyak waktu bersama Mey.
Menemaninya ke berbagai daerah di Malaka, ber­
sama beberapa rekannya di LSM Inter­nasional itu.
Hal yang membanggakan, bisa terlibat dalam
kegiatan mereka yang bagiku sangat mulia.
Namun yang lebih mengharukan tentunya ke­
ber­sa­maanku dengan Mey. Diskusi-diskusi yang

45
kami bangun, juga ungkapan cinta yang terasa
berkabut itu. Semuanya coba kusimpan di dasar
jiwaku sambil berharap keajaiban datang, ketika
aku menyadari bahwa aku belum pernah me­
ngenal Mey sebelumnya dan bahwa Mey bukan­
lah siapa-siapa dalam hidupku. Keajaiban yang
mungkin begitu mustahil diharapkan.
Hari itu, seperti hari-hari sebelumnya aku
menemani Mey dan para rekannya. Awalnya
kami mengunjungi pantai Motadikin. Hari masih
pagi ketika kami tiba di sana. Sebuah bangunan
Se­kolah Dasar yang persis berdiri di bibir pantai
me­ narik perhatian Mey. Kami masih sempat
singgah di sekolah itu. Sekolah Dasar Inpres (SDI)
Motadikin namanya.
Sang kepala sekolah pun berkisah kepada
kami, “Sekolah ini berdiri pada tahun 2001. Ini
me­rupakan cita-cita masyarakat yang berada di
pesisir pantai Motadikin. Alasan utama adalah
anak-anak berusia sekolah sangat jauh men­­jang­
kau pendidikan di kampung sebelah. Mereka
harus berjalan kaki empat kilo meter me­ lewati
hutan. Bahkan karena terlalu jauh, banyak anak
usia sekolah patah semangat untuk sekolah dan
memilih merantau di tanah orang. Maka masya­
rakat berani mendirikan sekolah ini dengan dua
orang guru dan melaksanakan Kegiatan Belajar
Mengajar di pondok-pondok nelayan.”
Kami hanya tertegun mendengarnya. Debur­

46 Robert Fahik
an ombak pantai Motadikin dan hembusan angin
pantai menjadi suara alam yang mengiringi kisah
sang kepala sekolah.
“Kini sudah lebih dari sepuluh tahun sekolah
ini berdiri,” lanjutnya, “Namun baru tiga ruang
kelas yang dibagi untuk enam kelas rombongan
belajar, dan satu perpustakaan yang dipakai juga
sebagai kantor guru. Bantuan pembangunan se­
kolah ini ada sejak delapan tahun yang lalu.
Sampai hari ini suara guru dan pekikan anak-anak
usia sekolah di perbatasan negara ini belum ter­
dengar untuk dilirik pemerintah atau lembaga
lain­nya yang bisa membantu mereka agar bisa
duduk dan berdiri sama tinggi dalam menggapai
masa depan mereka lewat pendidikan. Banyak
suka dan duka yang telah kami lewati selama me­
mimpin sekolah ini. Semangat anak-anak tinggi
namun masih ada kekurangan gedung, sarana
dan prasarana dan masih banyak lagi. Saya tetap
berikan motivasi bagi anak-anak bersama se­puluh
orang rekan guru yang mengabdi di sekolah.”
Seorang guru di sekolah itu juga masih sem­
pat bicara sebelum kami meninggalkan gedung
sekolah, “Pendirian SDI Motadikin ini sangat
dirasakan manfaatnya oleh masyarakat sekitar
pantai. Kami tetap mengharapkan agar ada per­
hatian dari pemerintah.”1
1
Ungkapan kepala sekolah dan seorang guru di atas diolah
dari wawancara John Seran Suri yang dimuat dalam Media
Pendidikan Cakrawala NTT edisi 18, Sepetember 2014.

Martir 47
Hari itu Motadikin sungguh memberi kesan
berbeda. Bentangan tambak ikan. Pohon cemara
yang berjejer di bibir pantai. Ombak pantai selatan
yang menantang. Hembusan angin pantai. Dan
tentunya hamparan pasir yang panjang seolah tak
berbatas. Ini semua yang diungkapkan Mey ke­
tika kami meninggalkan pantai itu.
“Potensi pantai ini perlu dikembangkan se­
cara serius. Banyak hal yang belum diperhatikan
secara baik. Pengelolaannya, dan terutama pe­
me­liharaan alamnya. Berkaitan dengan per­
ikanan terutama ikan laut, memang tidak begitu
menjanjikan. Tapi ikan air tawar bisa dikem­bang­
kan. Banyak tambak yang sudah ada, tinggal ba­
gaimana lebih dimaksimalkan lagi, terkait pe­
ngembangannya, pemeliharaan, sampai pada pe­
masarannya,” kata Mey.
Selain pantai Motadikin, hari itu kami juga
mengunjungi beberapa daerah pantai lainnya
yakni pantai Taberek dan teluk Abudenok di
selatan Malaka. Seperti Motadikin, Taberek dan
Abudenok menyuguhkan alam yang indah dan
mengagumkan, namun belum mendapat per­
hatian serius untuk dikembangkan sebagai objek
wisata pantai di daerah ini.
Di Taberek dan Abudenok kami tidak hanya
menikmati alam pesisir pantai tapi juga men­
jumpai beberapa penduduk sekitar. Dari mulut

48 Robert Fahik
mereka-lah kami mendengar berbagai kisah
tentang tempat tersebut.
“Biasanya pada bulan Agustus hingga
Oktober, ada pemandangan yang sangat indah
di pantai ini yakni loncatan ikan terbang dalam
jumlah yang sangat banyak. Dulu ada seorang
pe­nunggu pantai bernama Taek Berek. Hampir
setiap hari orang datang ke gubuknya untuk mem­
beli ikan. Karenanya muncul kebiasaan orang
menyebut tempat ini dengan nama Taek Berek.
Dalam perkembangan selanjutnya, sebutan itu
mengalami perubahan menjadi Taberek,” jelas
seorang nelayan ketika kami berada di pantai
Taberek.
Di teluk Abudenok, salah seorang pendu­
duk pantai juga berkisah kepada kami, “Di sini
kita bisa menikmati keindahan terbitnya mata­
hari pagi, dan jika cuaca cerah kita bisa melihat
gunung dan bukit-bukit di Australia Utara. Me­
nurut mitos penduduk di sini, teluk ini dihuni
oleh seorang putri yang sangat cantik yang meru­
pakan ratu dari kerajaan laut Timor. Putri itu
ber­nama Abuk. Teluk ini kemudian dinamakan
Abudenok, berdasarkan nama sang ratu.”2

***

2
Cerita tentang nama Pantai Taberek dan Teluk Abudenok
di atas diolah dari buku The Way To Happiness Of Belu Peopole
yang ditulis oleh Florens Maxi Un Bria (Caritas Publishing
House, Jakarta, 2004)

Martir 49
HARI sudah sore ketika kami kembali ke hotel.
Teman-teman Mey terlihat cukup lelah. Namun
mereka terhibur dengan alam Malaka yang me­
ngagumkan, kata mereka. Seperti biasa Mey akan
menahanku untuk berbicara, apalagi ini malam
terakhirnya di Malaka. Namun aku ingat, hari itu
adalah hari ulang Noy.
“Hari ini ulang tahun Noy. Aku mau ke
makamnya. Setelah itu aku pasti kembali ke sini.”
“Kalau tidak keberatan aku mau ikut ke sana.”
Aku dan Mey ke makam Noy. Tentu sebuah
pemandangan yang mengharukan. Seorang le­
laki mengunjungi makam kekasihnya ditemani
seorang gadis yang menaruh hati padanya. Apa­
kah lelaki ini cukup adil dengan tidak mene­rima
cinta sang gadis di sampingnya? Ataukah ia cukup
bijak tetap mempertahankan kesetiaan­nya pada
kekasihnya yang telah meninggal?
“Di sinilah Noy dibaringkan, di antara ke­
dua orangtuanya.”
Seperti hari-hari sebelumnya, aku segera
me­­raih daun, buah, dan beberapa batang Badut
Malaka (bahasa Tetun untuk menyebut pohon
Jarak) dan meletakkannya di atas makam.
“Apakah ini bagian dari ritual adat di
Malaka?”
“Ini caraku tersendiri dalam memahami alam
dan menghargai budaya. Badut Malaka ini adalah
lambang terang, cahaya, dan semangat untuk me­

50 Robert Fahik
lawan semua keangkuhan. Dulu nenek moyang­
ku menggunakan Badut Malaka sebagai lampu
dan sebagai penangkal kekuatan jahat.”
Keheningan menyelimuti kami. Aku terdiam
sesaat dan berdoa dalam hati. Mey juga terdiam
dan mungkin berdoa dengan caranya. Lalu tanpa
kuduga Mey mengulangi puisi terindah itu,
“Biarlah Badut Malaka ini tetap tertancap di
dinding-dinding hati kita dan cahayanya me­
menuhi ruang jiwa, menerangi aliran darah kita
dan membalut sendi-sendi tulang kita dengan
cahaya surga.”
Dalam keherananku, Mey melanjutkan, “Aku
mengetahuinya dari beberapa orang yang ku­
jumpai. Rupanya puisimu-puisimu sudah men­
jadi milik sebagian orang di tanah ini. Hal yang
tentunya menjadi harapan semua penyair, ketika
syair-syairnya mendapat tempat di hati masya­
rakat dan gagasan-gagasan di dalamnya terus
menggema tak terbatas ruang dan waktu.”
Aku masih belum mampu bicara. Ada ke­
ka­
guman baru yang tertahan di dadaku. Aku
hampir merasa bahwa Noy telah hadir dalam diri
Mey. Kekaguman yang tertahan itu terus kubawa
hingga waktu menuntun kami kembali ke hotel.
***

DALAM perjalanan menuju hotel, kami masih


sempat menjemput Marsel, seorang teman Mey di

Martir 51
gereja Kamanasa, tak sampai sepuluh kilo meter
dari hotel tempat May menginap di Betun, ibu
kota Kabupaten Malaka. Marsel mengunjungi se­
orang pastor yang bertugas di sana, kenalannya
di Jawa ketika sang pastor menjalani tugas belajar.
Tiba di sana, sekelompok orang sudah ber­
kumpul di depan gereja. Mereka menyalakan lilin
di pelataran gereja. Kemudian mereka me­nyala­
kan lilin di dalam gereja dan terlihat mulai khusuk
berdoa. Hampir semuanya mengenakan pakaian
dan kain berwarna hitam, tanda bahwa mereka
sedang berduka atas kematian seseorang.
Lalu ketika kami melewati jalan setapak di
samping gereja sayup-sayup terdengar seke­lom­
pok orang itu mendaraskan sebuah doa secara
bersama-sama:

Amin Ama iha lale’an


ami husu ema hotu-hotu
atu haluli Ita kan naran
Ita kan foho rai atu mai
Ita kan hakara dadi ba
iha rai klaran nudar iha lale’an
ami husu Ita atu ohin fo ba ami
ami kan han loro-loro nian
no Ita atu fo perdua ba ami
oin nudar ami mos
fo perdua ba ema
nebe nasusar ami

52 Robert Fahik
no Ita atu dakar ami
iha maufinu laran
ami keta halo sala
no ita atu sori ami hosi at, amen.

“Mereka sedang berdoa bersama,” bisik Mey.


“Itu doa Bapa Kami yang diajarkan oleh
Kristus sendiri kepada para murid-Nya. Mereka
mendaraskannya dalam bahasa Tetun, bahasa
yang digunakan di sini.”
Kami melangkah memasuki rumah pastor
yang terletak persis di belakang gereja itu. Rumah
pastor ini biasanya dikenal dengan sebutan “pas­
toran”.
“Hari ini merupakan hari kedua puluh tiga
dalam bulan Sepetember. Masyarakat di sekitar
perkampungan ini punya kebiasaan berkumpul
di gereja ini, menyalakan lilin, dan bersatu dalam
doa,” kata sang pastor yang menyambut kami,
sebelum mengundang kami untuk makan malam
bersama.
Selama makan makan bersama itulah, kami
mendengar kisah yang mengharukan ini dari sang
pastor. Kisah tentang dua raja muda dari Ma­
laka yang rela mengorbankan nyawanya untuk
membela kebenaran dan kesucian budaya serta
agama.3

3
Kisah tentang dua tokoh ini diolah berdasarkan data yang
penulis peroleh dalam buku yang ditulis Hans Itta dan Daniel

Martir 53
“Nenek moyang orang-orang di perkam­
pungan ini berasal dari Timor bagian Timur, yang
sekarang menjadi negara Timor Leste. Waktu
penjajahan Portugis sekitar tahun 1909, mereka
di­cerai-beraikan. Tentara Portugis memberi opsi
bagi mereka apakah mau tunduk kepada Portugis
atau bergabung dengan Belanda. Nah, mereka
yang memilih bergabung dengan Belanda inilah
yang kemudian melakukan perjalanan ke Timor
bagian Barat hinggga akhirnya ke kampung
ini. Karena masih memiliki ikatan kekeluargaan
yang kuat maka pada tahun 1938 dua putra ter­
baik dari kampung ini yakni Marcellus Sirimain
dan Wilhelmus Nahak dipinang oleh utusan dari
Timor bagian Timur untuk menjadi juru bicara
se­­ka­li­gus raja muda di sana. Dan kehidupan ma­
syara­kat yang harimonis pun sangat mereka rasa­
kan.”
Ketika orang banyak yang berkumpul itu
mulai meninggalkan gereja, sang pastor melan­
jut­kan, “Kedatangan tentara Jepang merubah se­
galanya. Ketenteraman hidup masyarakat mulai
sirna. Dua raja muda ini menyaksikan sendiri
bagaimana gadis-gadis dipaksa untuk memuas­
kan dahaga seksual tentara Jepang. Kedua raja
muda ini pun menyerukan kepada seluruh warga

Tifa berjudul Belu; Pemimpin dan Sejarah (diterbitkan atas


dengan kerja sama dengan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata
Kebupaten Belu, tahun 2006)

54 Robert Fahik
untuk menolak menyerahkan anak gadisnya ke­­
pada tentara Jepang. Para pembesar Jepang pun
mendengar kabar ini dan mulai memberi ancam­­
an bagi kedua raja muda itu. Mereka pun melari­
kan diri, kembali ke tanah kelahirannya, yakni
kampung ini. Namun tentara Jepang terus mem­
buntuti mereka. Jepang mengirim utusan­nya ke
sini yang memerintahkan kedua raja muda untuk
segera menghadap pimpinan ter­tinggi di Timor
bagian Timur. Tuduhan yang di­ berikan yakni
kedua raja muda itu menentang keinginan Jepang
untuk mendirikan rumah bordir. Dan di sanalah,
tepatnya pada tanggal 23 Sep­tem­ber 1943 Marcellus
dan Willhelmus di­tembak mati tentara Jepang di
hadapan ratusan masya­rakat yang ber­kumpul.
Pada tahun 1947 pihak keluarga dari kampung
ini bertolak ke sana dan membawa pulang tulang
kedua raja muda ini. Di gereja ini­lah tulang itu
dikuburkan. Marcellus dan Wilhelmus adalah
martir, orang yang berani mati demi membela
ajaran Kristus. Mereka adalah pem­bela kebenaran
yang patut menjadi teladan bagi siapa saja yang
menamai dirinya pencinta sejati.”
Cerita sang pastor membuat kami hanya ter­
tegun. Dalam perjalanan pulang ke hotel, kami
masih sempat membahasnya. Aku, Mey, dan
Marsel. Marsel begitu tertantang karena memi­liki
nama yang sama dengan salah seorang raja itu.

Martir 55
Mey sangat mengagumi dua raja muda itu karena
keberaniannya dalam membela kaum wanita.
“Mungkin aku perlu belajar dari kedua raja
muda ini untuk lebih menghargai kaum wanita,”
kata Marsel agak serius.
“Ternyata Malaka pernah melahirkan dua
pahlawan sejati. Nama mereka memang tidak
tercatat dalam buku pahlawan nasional tapi aku
yakin, masyarakat Malaka sangat bangga pada
dua sosok ini,” Mey juga bicara.
“Kita semua bisa menjadi martir, pembela
kebenaran ketika dengan keutuhan kita memberi
sesuatu bagi orang lain. Ini adalah sisi lain dari
sebuah pengorbanan,” kataku.

***

“APAKAH darah Marcellus dan Wilhelmus juga


mengalir dalam dirimu sehingga kau begitu
men­cintai tanah ini dan tak mau pergi darinya?”
tanya Mey ketika kami tiba di hotel.
Aku hanya tersenyum kecil dan menatap
Mey. Lalu ia bicara lagi, juga sambil tersenyum,
“Kalau darah itu mengalir dalam dirimu, setidak­
nya kau lebih bisa memahami hati wanita. Kalau
pun tidak semua wanita, paling tidak kau bisa
memahamiku.”
“Masalahnya saat ini aku juga belum mampu
memahami diriku sendiri, Mey.”

56 Robert Fahik
“Setidaknya kita bisa belajar bersama lagi.
Memahami diri dan saling memahami.”
Mendengar itu aku seolah menjadi bisu. Ke­
dua telapak tanganku kurekatkan di wajahku,
dan aku menunduk beberapa saat hingga Mey
bicara lagi, “Sudahlah. Kau tahu, dari dulu aku
sangat manja. Anggaplah ini sebagai perasaan
liar yang berjegolak dalam diriku dan sebagai ke­
nangan untuk semua yang pernah kita lalui.”
“Besok kami akan kembali ke Jakarta,” lanjut­­
nya, “Tapi kau tahu, hatiku masih ingin di sini.
Aku tak mau memaksamu bicara karena cinta
tidak mengenal paksaan. Dari syair-syairmu yang
pernah kukenal, aku paham bahwa cinta adalah
kedamaian. Orang-orang yang mencintai perlu
memiliki kedamaian. Mungkin saat ini matahari
kedamaian itu belum terbit di antara kita. Kau
juga pernah mengatakan bahwa yang terutama
dalam cinta adalah pemberian diri tanpa syarat
apa pun. Dalam cinta sejati, seseorang tidak me­
nuntut untuk mendapatkan apa-apa kecuali ke­
ba­hagiaan karena bisa memberi. Mungkin aku
harus belajar untuk mencintaimu tanpa meng­
harapkan apa pun, kecuali kebahagiaan karena
bisa membangun Malaka, seperti mimpi-mimpi­
mu. Kau memang benar, cinta sejati adalah ketika
kita membiarkan orang yang kita cintai merasa
damai. Dan aku harus membiarkanmu merasa
damai. Bukan begitu, Manek?”

Martir 57
“Mey, jangan paksa aku untuk merasa ter­
desak. Aku bisa melihat sosok Noy dalam dirimu,
tapi aku belum punya keberanian dan kekuatan
yang cukup untuk melakukan itu. Aku ini sangat
lemah, Mey.”
Terkadang kami diam untuk beberapa saat.
Nyanyian jangkrik malam itu menjadi satu-satu­
nya instrumen alam yang menemani kami. Aku
bisa melihat kesungguhan di mata Mey yang me­
negaskan bahwa memang hatinya masih ingin di
sini. Tapi tentu aku tak bisa menahannya lebih
lama. Atau memang aku tak perlu menahannya.
“Dalam beberapa waktu ke depan, kami pasti
kembali ke sini untuk kelanjutan proses studi
lapangan ini. Aku berharap saat itu aku mene­
mukan keberanian dan kekuatan baru di dalam
dirimu. Maaf, karena aku telah dan akan selalu
mencintaimu,” tatapan Mey begitu kosong.
Mey menutup matanya untuk beberapa saat.
Lalu ketika membuka mata ia bicara lagi, “Kita
lupakan saja semuanya itu. Sekarang aku mau
meminta pendapatmu tentang kehadiran kami di
sini.”
Aku tahu, Mey sedang mengubah arah pem­
bicaraan. Tapi aku mencoba memahaminya. Ba­
gai­
mana pun juga, aku menjadi sangat lemah
untuk sebuah keputusan saat ini.
“Aku sangat mendukung dan berterima kasih
atas perhatianmu untuk Malaka. Kalau memang

58 Robert Fahik
po­tensi di daerah ini memungkinkan, silakan
laku­kan apa yang terbaik untuk usahamu dan
ten­tu­nya untuk kesejahteraan masyarakat di sini.
Tolong libatkan masyarakat kecil, jangan hanya
orang-orang besar. Daerah ini akan maju kalau
orang-orang kecil dan orang-orang besar ber­
satu.”
“Sudah kupikirkan, Manek. Uku Mery, Nahak,
dan Seran akan menjadi bagian dari peker­jaan ini.
Uku Mery dan Nahak akan aku libatkan dalam
pengembangan pertanian dan peternakan. Aku
melihat daerah ini punya potensi pengembang­an
padi, jagung, pisang, dan ubi. Juga ada potensi
pengembangan sapi. Lalu Nahak akan terlibat
dalam pengembangan perikanan dan pariwisata
pantai. Potensi ikan air tawar di sini cukup besar,
walau ikan lautnya belum begitu menjanjikan.
Mungkin karena memang ombak di pantai selatan
ini cukup besar. Oya, potensi seni dan budaya di
Malaka juga sangat besar. Aku lupa menceritakan
padamu, dalam kunjungan hari pertama kami ke
daerah perbatasan, kami disambut dengan tarian
Likurai dan sapaan adat oleh masyarakat. Itu se­
buah pengalaman yang sangat berkesan. Ter­nyata
masyarakat Malaka masih sangat kuat me­ me­
lihara kekayaan budayanya.”
Kami berpisah malam itu dalam sebuah pem­­
bicaraan yang belum usai. Aku meninggalkan
Mey dalam tatapannya yang kosong. Mungkin

Martir 59
ia juga melihat hal yang sama; tatapanku yang
kosong. Aku sempat berharap tidak akan bertemu
lagi Mey di kemudian hari. Namun segera ada
pula ke­rinduan untuk kembali bertemu. Entah
kapan? Entah mengapa? Kalimat terakhirnya
malam itu seakan menambah sederet pertanyaan
dalam benakku.
“Besok aku akan meninggalkan Malaka. Aku
selalu ingin kembali, menemukan keberanian dan
kekuatan baru dalam dirimu.”

60 Robert Fahik
5
NOY

BENENAI. Kembali aku terpaku menatap aliran


sungai di antara bebatuan kecil. Hari itu aku tahu
Mey sudah meninggalkan Malaka. Aku sengaja
tidak ke hotel karena bagiku malam tadi sudah
merupakan perpisahan. Aku tak ingin membuat
perpisahan kedua yang tentunya akan semakin
menambah beban di pundakku.
Benenai. Di tepi sungai ini kenangan ber­
sama Noy kembali muncul. Dan ketahuilah, aku
sangat beryukur untuk itu. Aku mengingat dengan
sangat jelas, saat-saat indahku bersama Noy. Saat
cinta itu tumbuh dan mekar seperti bunga.
Di sinilah kami menghabiskan banyak waktu
dengan bercerita tentang cinta dan tentang Ma­
laka. Dua kata terakhir; tentang Malaka, barang­­
kali terlalu tinggi untuk ditempatkan dalam ja­
linan cinta seorang pria dan wanita. Tidak banyak
orang yang dilanda asmara ber­ pikir tentang

61
orang-orang lain. Konkretnya tentang masya­rakat,
daerah­nya. Namun entah mengapa, kami meng­­
alami itu. Justru dalam dari Noy-lah aku me­ne­mu­
kan kecintaan yang begitu besar untuk Malaka.
Mungkin karena alasan ini pula aku sulit me­lu­
pakan Noy dan tidak ingin pergi dari Malaka.
Aku ingat suatu ketika Noy pernah meng­
ungkapkan ini, “Kalau kau jadi orang sukses,
jangan lupa untuk membantu orang-orang kecil.
Berilah mereka kesempatan untuk menikmati
pen­didikan yang layak. Aku sangat yakin, pen­
didikan menjadi salah modal dasar untuk mem­
bangun manusia dan membangun suatu bangsa.”
Noy sering mengulangi kalimat itu. Lama
setelah kematiannya baru aku menyadari bahwa
Noy cukup punya alasan untuk mengatakan itu.
Kami tumbuh bersama sejak masa kecil. Namun
belum sempat tamat SMP, Noy mengalami ke­ce­
lakaan motor bersama ayahnya. Benturan di ke­
palanya membuat Mey jatuh sakit untuk bebe­
rapa bulan bahkan hampir setahun lamanya. Be­
be­­rapa kali ia masuk sekolah, namun ia sering
me­­rasakan sakit hebat di kepalanya. Situasi itu­
lah yang membuat Noy putus sekolah.
Namun Noy adalah sosok wanita yang patut
dibanggakan. Semangat belajarnya tak pernah
pudar. Dari seorang pamannya yang kini men­
jadi misonaris di Eropa, Noy mendapatkan buku-
buku berkualitas yang membuatnya tetap tumbuh

62 Robert Fahik
sebagai pribadi yang berwawasan luas.
Latar belakang inilah yang membuat kami
bermimpi untuk mendirikan “sekolah” yang ku­
namakan Sekolah Kehidupan Likurai. Memang
konsep kami masih sangat sederhana bahkan jauh
dari kata sempurna. Namun bila me­nge­nang Noy,
aku berpikir bahwa inilah salah satu dari beribu
serpihan ide yang bisa dikem­ bangkan untuk
tanah ini. Inilah satu dari sekian banyak buah yang
tumbuh dalam sebuah percintaan penuh misteri.
“Namun pendidikan pada akhirnya harus
berbuah. Pertama, dalam konteks pribadi. Orang
menjadi manusia yang punya keseimbangan
dalam intelektual dan perasaannya. Kedua, orang
bisa memberi sumbangan nyata bagi masya­ra­
katnya bahkan bagi sebuah peradaban dengan
ilmu pengetahuan dan keterampilan yang ia per­
oleh.”
Noy juga pernah mengungkapkan itu. Kini
bila mengingatnya, aku mulai berpikir bahwa
ke­­hadiran Mey mungkin menjawabi mimpi itu.
Mey ingin memberikan sumbangan nyata bagi
tanah ini. Paling kurang dalam beberapa bidang
seperti pertanian, perikanan, peternakan, dan pa­
riwisata yang sudah mulai digarapnya. Tentu
rekomendasinya untuk para investor akan mem­
bawa angin segar bagi pengembangan kabu­
paten baru ini, dan tentunya bagi kesejahteraan
masya­rakat.

Noy 63
Ada satu hal lagi yang kuingat dari keber­
samaanku dengan Noy. Ini terkait legenda sungai
Benenai. Suatu hari ketika aku menceritakan le­
genda Benenai, Noy lantas punya sebuah pemi­
kiran kecil.
Begini kata Noy, “Nama sungai ini bisa
juga kita hubungkan dengan kata bahasa tetun,
Bei ne’e Na’in; orang ini adalah raja. Bila dihu­
bung­­­kan dengan legenda bahwa Benenai adalah
jelmaan air mata seorang raja yang merindukan
kekasih­nya, maka bisa dipahami bahwa nama Be­
nenai juga bisa merujuk pada sang raja ter­sebut.”
Menyambung itu, Noy mengatakan bahwa
nama Benenai juga bisa berkaitan dengan kata
“Benat” yang berarti sembarang arah atau se­
gala arah, tak beraturan, dan kata “Rai” yang ber­
arti tanah. Jadi, Benat Rai dalam konteks sebuah
sungai berarti sungai tersebut mengalir dari segala
arah, tak beraturan. Dalam perkembangannya,
kata Benat Rai diucapkan sebagai Benenai. Dalam
kenyataan, memang Benenai merupakan sungai
besar yang menampung begitu banyak sungai
kecil yang mengalir dari berbagai penjuru di
Timor bagian barat, sebelum bermuara ke laut se­
latan.
Itu pemikiran pertama Noy. Pemikiran ke­
duanya bahwa nama Benenai berkaitan dengan
nama buaya yang dalam bahasa setempat dikenal
dengan sebutan “Bei Na’i” (sang raja).

64 Robert Fahik
“Nama sungai ini juga bisa berkaitan dengan
istilah orang Malaka untuk menyebut buaya yakni
Bei Na’i. Padahal kata ‘buaya’ dalam bahasa Tetun
yang digunakan sehari-hari adalah ‘Lafaek’. Tapi
orang-orang tua biasa menyebut buaya dengan
istilah Bei Na’i. Tentu ini merupakan bahasa yang
halus untuk menghormati buaya yang memang
biasanya hidup di sungai ini. Ini hanya pemi­kir­
an kecilku,” kata Noy.
Pemikiran Noy ada benarnya. Aku pernah
membaca legenda tentang terbentuknya pulau
Timor. Menurut legenda itu, pulau Timor meru­
pakan jelmaan seekor buaya. Lihatlah, bentuk
pulau Timor memang menyerupai seekor buaya
dengan kepalanya di Kupang, perutnya di Belu
dan Malaka, serta ekornya di Lospalos, Timor
Leste. Aku juga pernah mendengar cerita dari be­
berapa orang tua bahwa ada kampung tertentu
di Malaka yang percaya bahwa keturunannya
berasal dari buaya. Karena itu mereka sangat
menghormati buaya dengan tidak pernah me­
nyakitinya. Bahkan ada saat tertentu mereka
mengadakan ritual adat untuk menjalin hubung­
an dengan buaya yang adalah nenek moyang
mereka. Pada saat ritual itulah buaya-buaya sering
menampakan diri.
Pemikiran ketiga Noy terkait legenda Be­
nenai lahir dari kebiasaan baiknya; membaca.
Ia mengakui bahwa belum banyak buku atau

Noy 65
tulisan yang mengangkat tentang legenda sungai
Benenai. Namun ada sebuah buku yang me­
nyentil soal Benenai. Tidak sama persis seperti
cerita yang kudengar dari seorang tua adat di
Malaka. Namun legenda dalam buku itu masih
menegaskan hubungan antara gunung Mutis dan
Malaka.
Ketika seluruh daratan Timor masih di­ge­
nangi air, Mutis tampak sebagai tempat kehi­
dupan manusia dengan seorang raja bernama
Nai Fai tSutai Kune atau Nai Laban. Lalu setelah
air mengering, muncul kehidupan di daratan
Timor. Suatu ketika Liurai, seorang raja di Ma­
laka mengutus saudaranya (adik), Sonba’i, untuk
melakukan perjalanan ke luar Malaka. Lalu tiba­
lah ia di Mutis dan menemukan bahwa ada kehi­
dupan serta kebahagiaan. Ia lantas mengirim be­­
rita bahagia itu kepada sang kakak di Malaka
lewat sebuah potongan betung yang ditutup rapat.
Jalur yang dilalui potongan betung itu kemu­di­an
memunculkan aliran air yang dan ter­ben­tuk­lah
sungai Benenai, yang oleh orang Mutis disebut
sungai Benain.1
“Dalam legenda ini nama Benenai atau pun
Benain, berkaitan dengan sang raja Mutis,” kata
Noy.

Diolah dari buku Di Bawah Naungan Gunung Mutis, yang


1

ditulis oleh Andreas Tefa Sawu (Penerbit Nusa Indah Ende,


2004)

66 Robert Fahik
Pemikiran terakhir Noy tentang Benenai
mem­buat keningku mengerut ketika itu, bahkan
terus mengerut setiap kali aku mengingatnya.
Namun suatu ketika seorang sahabatku pernah
ber­­ce­rita tentang legenda tiga raja di Timor. Ce­
rita itu sedikit membuka pemahamanku akan
pen­je­lasan Noy.
Pada zaman dahulu hidup tiga bersaudara
di Timor yakni Tei Liurai, Kaes Sonba’i, dan Tnai
Pah Banunaek. Tei Liurai adalah yang tertua di
antara ketiganya dan mendiami (menjadi raja)
wilayah Belu (dan Malaka) sebagai tempat per­
tama mereka masuk ke pulau Timor. Dua saudara­
nya me­ngem­bara dan menemukan daerah lainnya
serta berkuasa di sana. Kaes Sonba’i menjadi raja
Mollo (Oenam), daerah Mutis, Tnai Pah Banunaek
men­jadi raja Amanatun (Onam).2
Aku lantas mencoba mengaitkan legenda
tiga raja Timor dengan cerita Noy tentang Sonba’i
yang mengirim berita kebahagiaan kepada kakak­
nya, Liurai, di Malaka. Berita kebaha­giaan yang
dimaksud mungkin berita bahwa Sonba’i menjadi
raja di Mollo. Maka nama sungai Benenai, bisa
juga dikaitkan dengan sosok Sonba’i yang adalah
seorang raja. Bei ne’e Nain; orang ini adalah raja.
Sungai yang mengalir membawa kabar keba­ha­
giaan sang raja.

2
Diolah dari: tunsufnoni.blogspot.com (2013)

Noy 67
Mengenang semua itu aku tak bisa me­
nyangkal bahwa Noy telah melahirkan banyak
ide yang bisa kukembangkan ke depan walau
tanpa kehadirannya secara fisik. Kami sudah ber­
bicara tentang begitu banyak hal. Kematianlah
yang memaksaku untuk kini harus berjalan sen­
diri tanpa kehadiran seseorang yang selalu me­
nguatkanku.
“Tapi apakah aku harus melupakan Noy
begitu saja? Apakah aku harus membayar per­
hatian Mey untuk Malaka dengan cinta yang tak
utuh? Atau aku bisa memberikan cinta yang utuh?
Ingin rasanya aku pergi jauh untuk sesaat, me­­
lepas semua kerinduan, keharuan, keka­guman,
ke­cemasan, semuanya yang berpadu dalam diri­
ku,” aku berbisik sendiri sambil menatap air
sungai yang mengalir.
“Benenai, ijinkan aku menitip semua per­
gumulan ini dalam aliranmu. Biarlah semuanya
bermuara di laut lepas dan menemukan jalannya
sendiri.”

***

SORE itu ketika tiba di rumah, aku menemukan


sepucuk surat. Nahak yang sering menemaniku
di rumah ini mengatakan bahwa surat itu diantar
oleh seorang petugas hotel. Aku langsung men­
duga-duga, surat ini pasti pemberian Mey. Dan

68 Robert Fahik
dugaanku benar. Mungkin Mey menitipkan surat
itu sebelum berangkat. Beginilah Mey menulis
dalam surat itu:
Manek, terasa lemas sekujur tubuh ini ketika ter­
ungkap kata ”cinta” dari kedalaman jiwaku. Aku
tahu, mudah mengucap kata cinta, tapi tak mudah
menanggung segala sesuatu yang menjadi kon­se­
kuensi dari kata cinta itu. Bukan hanya soal pang­
gilan untuk mengabdi kepada cinta, tapi ada saat
di mana orang merasa sungguh tak berharga di
ha­dapan cinta, manakala cinta itu hanya bertepuk
sebelah tangan. Dan aku termasuk orang yang me­
rasa sungguh tak berarti di hadapan cinta. Tapi
dalam hal ini, aku tak mau menyalahkan siapa-siapa.
Hanya aku yang keliru atau bahkan bodoh, telah
menaruh hati padamu selama bertahun-tahun. Pada­
hal ternyata perasaan itu hanya milikku se­mata.
Sedangkan kamu tak tahu-menahu tentang cinta ini.
Manek, kau tentu tahu bahwa sudah sejak dulu
aku mengangumi puisi-puisimu. Tapi mungkin
kau tak tahu atau sengaja tak ingin tahu, bahwa se­
be­narnya aku juga mengagumimu sejak saat itu.
Ketahuilah, aku senantiasa memikirkanmu. Nama­
mu selalu menghiasi lembaran-lembaran buku ha­
rian­ku. Ada sejumlah tulisan tentangmu dan ber­
juta puisi yang tidak sempat kupublikasikan. Aku
juga menulis tentang Malaka; apa yang selalu kita
perbincangkan itu. Peradaban besar yang menan­
tangmu untuk menelusurinya. Kau tahu, aku laku­
kan semuanya itu demi menghibur diriku dalam ke­
bisuan cinta yang panjang.
Semua kerinduanku sering kutuangkan dalam
lembaran buku harianku, tapi terlebih selalu kubenam

Noy 69
di dasar jiwaku. Bahkan sampai saat ini, ketika kita
bertemu lagi di tanah ini, dan ketika ketika kutahu
cintaku membuatmu terbebani.
Manek, entah apa yang menahanku hingga ber­
tahun-tahun perasaan cinta itu terus ada. Tapi aku
selalu yakin, kini kau merasakan apa yang kurasa.
Ini sungguh keyakinanku, bahkan keyakinan itu
masih saja kubawa hingga detik ini.
Aku masih mengingat jelas kata-katamu se­
belum kau meninggalkanku di Jogja, “Terima kasih
karena sudah mau jujur. Mempunyai perasaan cinta
terhadap seseorang adalah hal yang wajar dan itu
hak setiap orang. Jadi aku sangat memahami itu
dan berterima kasih atas kejujuranmu. Aku sadar
bahwa memendam perasaan adalah sebuah beban.
Tapi ketahuilah, selama ini bagiku Mey adalah se­
orang adik yang baik dan tidak lebih dari itu. Se­
lama bertahun-bertahun ini juga di hatiku sudah ada
cinta dari seseorang yang membuatku harus kem­bali
ke sana. Kuharap Mey memahami semua ini. Akan
lebih indah kalau kita bersaudara. Maaf, kalau di
akhir kebersamaan ini aku harus menge­ce­wakanmu.
Semoga suatu hari nanti kau bisa me­maafkanku.”
Manek, kata-katamu sungguh bening ibarat te­
tesan embun pagi pada dedaunan. Tapi itu kurasa­
kan seperti amukan pantai selatan dengan ge­lombang
perkasanya, menenggelamkan mimpi-mimpiku, me­
renggut puspa yang kutanam sendiri dengan jemari
kasih dan kubelai dengan harum nafasku.
Tapi kini dengan sisa asa yang ada, aku pun be­rani
bertutur, “Aku menyadari bahwa cintaku mungkin
bertepuk sebelah tangan. Aku meng­hormati cintamu
dan orang yang kau cintai. Anggap­­lah kejujuran ini
sebagai mimpi semalam. Tapi jujur, kau akan tetap

70 Robert Fahik
kucintai sampai kapan pun. Bantu aku untuk me­
lupakan cinta kepada­mu. Maaf, karena aku telah
jujur. Dalam hidupku memang belum kutemukan
orang lain sepertimu. Tapi biarlah, aku sadar akan
diriku sendiri. Maaf, karena aku telah dan akan tetap
mencintaimu.”
Manek, semua sudah berlalu. Tapi bagiku, per­
jalanan pulang ini, belum bisa menghapus namamu.
Kalaupun sekarang kau berkenan membaca surat ini,
jangan pernah mengira kalau aku membuntutimu.
Tidak. Aku hanya ingin mengucapkan terima kasih
untuk cinta. Terima kasih karena kehadiranmu telah
membuatku belajar tentang arti cinta, arti se­buah
kebersamaan, perjuangan, semangat belajar, kerja
keras, saling menghargai, saling mendukung, saling
me­mahami, dan terlebih bagaimana harus ber­sikap
dewasa.
Aku pun sampai pada permenungan sang
maestro yang kau kagumi; Gibran, “Cinta adalah
ke­cocokan jiwa dan jika itu tidak ada, cinta pun
tak’kan pernah lahir dalam hitungan tahun bahkan
abad.” Barangkali kecocokan jiwa itu terlalu mahal
harganya dan belum bisa kubeli sekarang. Tapi ter­­
lebih, aku mau berterima kasih karena kau telah
mem­­bantuku belajar mencintai puisi dan kehi­dupan.
Kadang pemikiran liar ini hadir; kesetiaanmu
untuk Noy dan Malaka membuat api cintaku se­
makin membara. Aku sungguh menemukan sosok
pen­cinta sejati dalam dirimu. Seharusnya dengan
menyadari kesetiaanmu untuk Noy dan Malaka,
aku bisa dengan mudah mengubur cintaku padamu.
Tapi itu tidak kulakukan. Sama sepertimu; mungkin
aku belum memiliki kekuatan dan keberanian untuk
melakukan itu. Tapi sudahlah, ini hanya pemikiran

Noy 71
liar yang mungin suatu saat akan berlalu seperti
hembusan angin. Dan tepatlah puisi ”purnama”
yang pernah kau persembahkan untukku di hari
ulang tahunku; aku seperti purnama yang selalu
ingin tersenyum lembut, dan berharap angin malam
menerbangkan gumpalan awan. Aku sungguh ingin
seperti purnama. Selalu tersenyum. Berharap angin
menerbangkan gumpalan awan. Mungkin situasi­
ku kini seperti purnama yang dihadapkan pada
gumpalan awan. Awan itu adalah rasa cintaku.
Entah angin apa yang akan menerbangkan gum­
palan awan itu? Entah kapan? Aku terus berharap
suatu hari nanti kau bersedia menjelaskan semua
ini. Atau setidaknya kita berdiskusi tentang ini.
Manek, cukup sudah goresanku. Sampaikan
salam­ku untuk para sahabatmu. Bencilah aku, lupa­
kan aku, bila mengingat kalau aku pernah men­
cintaimu. Tapi kenanglah aku, bila menatap ham­
paran sawah, perbukitan, dan pantai-pantai di
Malaka; itu semua menjadi lambang cinta dan per­
juanganku untuk Malaka, setidaknya dalam bebe­
rapa bidang yang bisa kuperjuangkan. Sesung­guh­
nya aku telah berjanji dalam diriku untuk men­
dukung­mu dengan apa yang bisa kubuat.
Manek, terasa hancur hatiku mengakhiri gores­
an ini. Tapi aku masih tetap ingin kembali ke sini
untuk memenuhi janjiku, paling tidak mendukung
daerah baru ini dalam bidang yang bisa aku per­
juangkan. Aku berhadap dalam perjumpaan kita
berikutnya, kita punya kedamaian dalam mem­
bangun kebersamaan ini. Manek, kau sungguh se­
orang kakak yang baik. Salam hangat dan kerin­du­
an yang masih tak tertahankan dari adikmu yang
manja; Mey.

72 Robert Fahik
6
KEDAMAIAN

SURAT Mey masih kusimpan rapi di kamarku,


dan terlebih di dasar jiwaku. Entah mengapa, aku
hanya tak ingin segera mengubur cerita lama yang
pernah kulalui itu. Masa lalu memang sudah kita
tinggalkan namun bukan tak punya arti apa pun.
Mengingat tahun-tahun yang berlalu di
tanah perantauanku, kebersamaanku dengan
Mey, diskusi-diskusi yang kami bangun, mimpi-
mimpi yang lahir, dan saat-saat indah yang sering
tidak kusadari, membuatku mengerti bahwa kehi­
dupan ibarat sebuah perjalanan. Sudah banyak
serpihan jiwaku yang berserakan di jalan-jalan
yang pernah kulalui, dan begitu banyak buah ke­
rinduanku yang berlarian di antara bukit-bukit
pengembaraanku di kota itu. Bagai­mana mungkin
aku segera melupakan semua­nya?
Pertemuan kembaliku dengan Mey beberapa
waktu lalu sungguh membangkitkan kenangan-

73
kenangan masa laluku. Kadang aku begitu ter­
usik bila mengingat pertemuan kembali itu.
Bahkan ada saat di mana aku tak bisa berbuat
apa-apa selain menatap aliran Benenai yang tak
pernah berhenti mengalir. Itulah yang bisa ku­
pilih sebagai sandaran hatiku. Air yang terus me­
ngalir di mataku memberi kesadaran bahwa aku
harus terus berjalan. Hidup, dan mencintai.
Di sisi lain, senyuman dan canda-tawa bocah-
bocah polos di sekolah turut memberi kekuat­
an bagiku. Tatapan murni anak-anak itu seolah
men­jadi puisi agung yang tak pernah selesai ber­
ku­mandang, menemani hari-hariku sebagi guru
muda di kabupaten yang juga baru mulai me­rang­
kak ini. Gairahku untuk berbagi ilmu, mengajak
mereka belajar, dan belajar bersama mereka, kian
menggelora seperti deburan ombak pantai se­
latan yang tak pernah lelah.
Kehadiran tiga sahabatku yang masih ber­
ada di Malaka; uku Mery, Nahak, dan Seran
men­­jadi sisi lain yang menguatkanku. Usai perte­
muan kembali dengan Mey itu, aku bersama tiga
sa­habat­ku kembali sering bertemu. Memang tak
banyak yang kami buat untuk kembali meng­ha­
dirkan Sekolah Kehidupan Likurai seperti dulu
ketika para sahabat lainnya masih bersama kami.
Namun di sela-sela waktu yang ada kami
masih tetap mengunjungi beberapa daerah di
Malaka. Bertemu para orang tua, kaum muda, dan

74 Robert Fahik
anak-anak. Berdialog dengan mereka tentang
harapan-harapan mereka, dan tentang semua­nya
yang bisa berguna untuk membangun Malaka.
Kadang aku berjalan sendirian ke berbagai pe­
losok Malaka. Saat-saat seperti itu aku memang
lebih banyak berkumpul bersama anak-anak dan
orang muda. Kepercayaan diri mereka coba ku­
bakar dengan kata-kataku. Dan satu lagi yang
ku­buat; mengajak dan mengajari mereka untuk
mencintai menulis, dan tentunya membaca. Dua
hal ini yang bagiku masih sangat lemah dalam
masyarakat, padahal menjadi kunci utama yang
menentukan kualitas seseorang. Aku bersyukur
karena anak-anak dan orang muda yang ku­jum­
pai punya kesadaran dan semangat untuk mem­
baca dan menulis. Aku berharap, semangat yang
sama terus ada sampai kapan pun. Karena mem­
bangun suatu bangsa yang kuat tidak hanya
cukup dengan uang dan politik, tapi juga dengan
mem­­baca dan menulis.
Dalam semuanya itu aku menemukan kem­
bali kedamaianku. Ada saat di mana aku benar-
benar lupa bahwa aku pernah bertemu Mey di
Malaka setelah lama berpisah. Walau kadang
ingatanku akan Mey kembali hadir namun itu
tak sekuat ingatanku akan Noy. Bagaimana pun,
Malaka adalah ibu yang telah melahirkanku. Aku
tak bisa pergi darinya. Noy adalah sumber inspi­
rasi cintaku untuk tanah ini.

Kedamaian 75
Aku tak tahu, entah sampai kapan pemi­
kiran, keyakinan, dan keteguhan seperti ini tetap
bersemayam di dalam diriku. Aku hanya berharap
cintaku untuk Noy dan untuk Malaka terus hidup,
terus mengalir, seperti Benenai; kapan pun, di
mana pun, bagaimana pun. Sesungguhnya, inilah
kedamaian bagiku, ketika aku menyadari bahwa
di tanah ini aku dilahirkan, dan di tanah ini juga
aku belajar tentang cinta dalam keagungannya
yakni berbagi dalam keutuhan; kesadaran, kerja
keras, ketulusan, kebersamaan, saling menopang,
keadilan, dan kebenaran.

76 Robert Fahik
7
MIMPI

SUATU hari aku bermimpi sedang berada di


puncak sebuah gunung. Dari situ aku melihat
ham­paran sawah dan pantai yang luas, persis se­
perti Malaka jika dilihat dari ketinggian. Ketika
aku terheran-heran, seorang lelaki tua meng­ham­
piriku dan berkata, “Jangan heran. Jangan cemas.
Jangan takut. Ini juga adalah rumahmu. Se­sung­
guhnya kau sudah ditakdirkan sebagai seorang
pembaharu. Ketahuilah, gunung ini dan dataran
luas yang kau lihat itu adalah suatu ke­satuan. Se­
muanya ada dalam satu pulau yang sama, di­naungi
oleh langit yang sama, ditopang oleh samudera
yang sama, dibelai oleh hem­busan angin yang
sama. Sekarang, turunlah ke ham­paran sawah
dan pantai itu. Jadilah sang pem­bawa perubahan
di sana. Mata air dari gunung ini telah mengalir
men­­dahuluimu ke sana, mempersiapkan jalan ba­
gi­mu. Ikutilah aliran sungai ini, temukan ibu dan

77
kekasihmu di sana. Dan setiba di sana, jangan
lupa untuk memandang ke sini. Ingatlah selalu,
gunung dan dataran di bawah sana adalah ke­sa­
tuan yang utuh.”
Aku tak habis pikir dengan mimpi aneh itu.
Usai meneguk segelas air, aku segera keluar
rumah dan mencoba memandang ke sekitarku.
Tak kutemukan gunung setinggi dalam mimpi
itu. Memang daerah dataran tinggi di Malaka
tidak begitu tinggi untuk disebut sebagai sebuah
gunung.
Aku masih terus berpikir soal mimpi itu
ketika hari menjelang malam. Ketika itu pula se­
orang tua adat yang aku kenal sebagai paman­
ku datang ditemani beberapa wajah asing yang
belum pernah kulihat. Tepatnya tiga lelaki tua
yang mengenakan kain adat suku Dawan.
“Tadi pagi saudara-saudara kita dari Mutis
ini tiba di sini. Mereka membawa pesan dari ke­
luarga besar kita di sana. Mungkin ini hal yang
belum kau dengar, tapi baiklah hari ini kau me­
ngetahuinya. Mungkin hari ini adalah hari yang
tepat bagimu,” lelaki yang kukenal sebagai paman
itu angkat bicara.
Ketika aku masih diam, lelaki itu melan­
jutkan, “Saya tidak tahu apakah ibumu pernah
menceritakan ini atau tidak. Ayah kandungmu
sebenarnya berasal dari Mutis. Tepat di kaki gu­
nung itulah ayahmu lahir dan dibesarkan kakek-

78 Robert Fahik
nenekmu. Setelah menikah dengan ibumu di
Malaka, ia belum pernah kembali ke sana, kecuali
menitipkan seorang anaknya untuk hidup di sana
bersama kakek-nenekmu di Mutis. Anak itu
ada­lah seorang bayi perempuan, kembaranmu.
Waktu lahir, kalian dipisahkan karena ibumu
harus ke Malaysia, mengunjungi ayahmu yang
sakit berat di sana. Kau dipelihara oleh keluarga
ibumu di Malaka, dan kembaranmu dipelihara
oleh keluarga ayahmu di Mutis.”
Aku mulai mengingat mimpi aneh itu.
Mungkin mimpi itu menjadi jalan bagiku untuk
me­mahami semua yang belum pernah kudengar
ini. Apa yang ada dalam mimpi kini mulai te­
rasa nyata. Gunung tinggi dalam mimpiku itu
mungkin gambaran Mutis. Dan aliran sungai itu­
lah Benenai yang memang mengalir dari Mutis
hingga bermuara di pantai selatan di Malaka.
“Kembaranmu sekarang mengalami sakit
berat usai melahirkan anak pertamanya. Dan ia
se­lalu memanggil namamu. Ia melihat petunjuk
dalam mimpinya bahwa ada seorang saudaranya
di Malaka. Hanya saudaranya itu yang bisa me­
nyem­­buhkannya. Kami pun menceritakan semua­
nya dan ia sangat mengharapkan kehadiran­mu
di sana,” seorang lelaki tua yang mengenakan kain
adat bermotif Dawan mulai bicara.
Seorang di sebelahnya melanjutkan, “Ritual
adat pun sudah dilakukan. Dan leluhurmu di

Mimpi 79
Mutis memang memintamu ke sana. Hanya ke­
hadiranmu-lah yang bisa menyelamatkan nyawa
saudarimu. Ketahuilah, ayahmu keturunan bang­­
sa­wan. Mungkin kehadiranmu bisa mewakili sang
ayah. Kakekmu yang sudah berusia hampir satu
abad itu juga pasti merindukan putranya yang
hadir dalam dirimu.”
Aku masih diam. Sungguh, ini tak pernah
terlintas dalam benakku. Tapi kenyataan sudah di
depan mata. Bagaimana pun ini harus kuhadapi.
Dalam hati kecilku aku hanya berdoa, “Tuhan,
kalau pun aku harus ke Mutis, ijinkan aku untuk
kembali ke Malaka.”
“Dua hari lagi tiga orang tua ini akan pulang
ke Mutis. Besok kau bisa mempersiapkan segala­
nya untuk keberangkatanmu,” kata lelaki yang
kukenal sebagai paman sebelum mereka mening­
galkanku dalam kebisuan.
Dalam kebisuanku itu dan di tengah kehe­
ningan malam, aku masih sempat menguatkan
diri­
ku ketika “Benenai” membahana di ujung
jalan. Ketika itu terdengar pula bunyi guntur yang
menggugah, disusul tetesan hujan meng­ iringi
suara emas Manek Kasasar, seorang pe­nyanyi asal
Malaka. Ingatanku akan Noy dan akan legenda
Benenai serentak muncul dalam pi­kiran­­ku ketika
tembang pop daerah itu samar kudengar:1
1
Lagu pop daerah Malaka yang dipopulerkan Manek Ka­
sasar, berjudul “Benenai”. Terjemahan penulis: Awan gelap di

80 Robert Fahik
Kaloan sa’e oh, nosi foho Mutis oh
O ho ho rai oh nakukun
Tras lian nalo ita hirus kakodek
Mameran laka nalo ita neon
Tur neon moris-moris…
Kokur iha Mutis oh, Abudenok nata
O ho ho Nai Benenai
Ami rona kokur lian oh
ami hirus moras to’o oh
Tan udan tinan tebes onan…
O ho Nai Benenai
Sala ida ne keta sala hori uluk, hori bei
E… keta ami ikus mak halo sala
E… keta Ama Leten atu no’o ita hotu…
Udan iha Mutis oh, Benenai oin merak
O ho ho Benenai nahibu
Mahibu malo atan ami
Ami rai Malaka ktomak
Susar sura tinan
Susar la no rohan…

Mutis, tanah gelap, bunyi guntur membuat hati bergetar, nyala


petir membuat hati tidak tenang/Guntur di Mutis, Abudenok
menjawab, oh Benenai, kami dengar bunyi guntur, hati kami
sangat sakit, karena hujan tahunan segera datang/Oh tuan
Benenai, jangan-jangan kesalahan ini sudah sejak dulu, sejak
nenek-moyang, atau kami sekarang yang berbuat salah, atau
Bapa yang di atas hendak membinasakan kita semua/Hujan
di Mutis, Benenai keruh, oh Benenai menampung (air), kau
menampung membuat kami, seluruh Malaka susah tiap tahun,
susah tiada akhir.

Mimpi 81
Mendengar itu, sebuah pemikiran kecil lahir.
Pemikiran kecil yang akan selalu menjadi ke­
kuatan besar bagiku untuk terus memeluk Noy
dan Malaka-ku. Aku berharap pemikiran yang
sama boleh menjadi kekuatan bagi mereka yang
mencintai tanah ini:
Syair “Benenai” kembali mengingatkanku akan
legenda sungai ini. Ada keterkaitan erat antara
Mutis dengan Malaka, dan Benenai adalah tali yang
mengikat keduanya. Benenai menampung aliran
sungai dari Mutis dan berbagai daerah di dataran
tinggi lainnya. Secara umum lagu ini meng­gam­
barkan “penderitaan” orang Malaka karena meluap­
nya banjir Benenai setiap tahun. Lewat ungkapan
yang sangat puitis, sang penggubah lagu menyam­
paikan keprihatinan itu.
Awan gelap, nyala petir, bunyi guntur, yang
terlihat di Mutis, membuat masyarakat cemas akan
datangnya banjir. Bagi mereka, banjir membawa
penderitaan yang tak berujung. Namun ada yang
menarik di sana. Ada pertanyaan reflektif, “Apakah
banjir terjadi karena kesalahan sejak nenek moyang
dulu? Apakah banjir karena kesalahan generasi se­
karang? Atau Yang Maha Kuasa hendak mem­bina­
sakan manusia?”
Ini soal harmonisasi hidup. Manusia perlu
menghargai alam agar alam bisa menghargai ma­
nusia. Manusia perlu bersahabat dengan alam agar
alam bersahabat dengan manusia. Pernah ada banjir
bandang di Malaka belasan tahun silam. Ada cerita
yang berkembang bahwa banjir itu terjadi setelah
sekelompok orang menyakiti (membunuh) seekor

82 Robert Fahik
buaya di Benenai. Terlepas dari benar tidaknya cerita
ini, yang pasti perlu ada harmonisasi dalam hidup.
Selebihnya, syair ini menghantarku kembali
pada legenda Benenai yang pernah kudengar. Dan
mengingat legenda itu, aku punya keberanian dan
kekuatan untuk selalu mengulangi; seperti Benenai,
cintaku terus mengalir untukmu.
Apresiasi tinggi patut kita berikan kepada
sau­dara-saudara kita yang telah berjuang lewat
caranya untuk mengungkapkan jiwa lewat karya
seni yang berbasis budaya. Ada dua nilai penting di
dalamnya. Pertama, nilai budaya. Lagu ini mem­buka
jalan untuk memahami salah satu legenda tentang
Benenai. Ini tentu mengandung nilai-nilai ke­ hi­
dupan di dalamnya. Salah satu nilai pentingnya
adalah soal harmonisasi manusia dengan alamnya.
Alam memberi kehidupan bagi manusia. Semestinya
manusia juga memberi kehidupan bagi alam dengan
menjaga kelestariannya. Kedua, nilai sosial. Lagu ini
memotret realitas banjir yang terjadi setiap tahun.
Ini tentunya membutuhkan perhatian serius dari
berbagai kalangan.

Mimpi 83
8
MUTIS

SEHARI sebelum keberangkatanku ke Mutis, aku


mengajak tiga sahabatku; uku Mery, Nahak, dan
Seran ke tepi sungai Benenai. Di sana aku me­
nuliskan surat-surat ini, yang kusebut sebagai
“Surat untuk Malaka”. Aku menulis tiga surat;
yang kumaksud ialah agar masing-masing me­
reka mendapatkan satu. Dengan itu maka aku
meninggalkan tiga surat untuk Malaka. Aku ber­
harap, surat-surat ini bisa menjadi bagian dari
pembangunan tanah ini. Kalau pun harapan itu
ter­lalu tinggi, maka aku hanya berharap ada orang
yang rela membacanya. Itu saja.

***

84
Surat Pertama
Aku menyebut ini sebagai tiga pilar pembangunan
manusia utuh; pendidikan, kebudayaan, dan seni.
Konsep ideal manusia utuh adalah manusia yang
memiliki kapasitas intelektual, yang ditandai dengan
penguasaan ilmu pengetahuan serta keteram­ pil­
an. Selain itu tuntutan terpenting bagi seorang
ma­­
nusia adalah kemampuan menggunakan akal
budi­nya secara maksimal. Ini yang membedakan
ma­nusia dengan binatang. Sehingga benar kata
Aris­toteles, manusia adalah “binatang yang berakal
budi”. Jadi, kalau akal budi tidak digunakan secara
baik, kita tidak jauh berbeda dengan binatang. Ini
semua bisa diperoleh lewat pendidikan. Tentunya
pendidikan dalam arti yang luas, tidak sebatas pada
dinding sekolah.
Kebudayaan. Manusia utuh tidak hanya meng­
andalkan kapasitas intelektualnya. Ia perlu mem­per­
kaya diri dengan kesadaran akan nilai dan norma.
Inilah pilar kebudayaan. Berbagai warisan budaya,
nilai-nilai budaya, norma-norma kehidupan, ter­
ma­suk ajaran agama, sesungguhnya menuntun
manusia kepada penemuan pilar yang satu ini.
Seni. Konsep saya adalah seni secara luas dalam
arti bagaimana manusia memahami dan mencintai
keindahan. Adapun keindahan ini mencakup bagai­
mana manusia memelihara harmonisasi dalam hu­
bungannya dengan sesama maupun dengan alam.
Lewat jalan ini-lah, manusia sampai pada penga­
kuan akan keterbatasan dirinya di hadapan Tuhan.
Selebihnya, konsep seni berkaitan dengan keteram­
pilan dan kreatifitas.
Pendidikan, Kebudayaan, Seni. Tiga pilar ini
sungguh mewakili keutuhan manusia. Ini bukan

Mutis 85
konsep baru sama sekali. Berabad-abad yang lalu,
para pemikir besar sudah mencetuskan ide bahwa
manusia perlu memiliki tiga keutamaan penting;
logika, etika, dan estetika. Logika bisa dikaitkan
dengan pendidikan, etika dikaitkan dengan budaya,
dan estetika sudah jelas berkaitan dengan seni.
Sekarang mari kita lihat kenyataan yang ada.
Harus kita akui bahwa belum banyak profesor dan
doktor yang berasal dari Malaka. Ini kalau kita
mau bicara soal tingkat pendidikan. Namun jumlah
sarjana sudah cukup banyak. Juga magister yang
be­berapa tahun terakhir mulai bertambah. Sekali
lagi ini tentang tingkat pendidikan. Dengan ada­
nya pemekaran kabupaten ini, semoga tingkat pen­
di­dikan orang Malaka makin meningkat. Tidak ada
lagi anak usia sekolah yang tidak bersekolah karena
alasan ekonomi, misalnya. Kalau alasan malas, tentu
sangat tidak kita harapkan. Ini bukan hanya tang­
gung jawab orangtua dan masyarakat. Peme­rintah
perlu mengambil bagian secara aktif dalam mening­
katkan kuantitas dan kualitas pendidikan.
Ini penting. Banyak orang yang melihat pen­
didikan secara tidak utuh. Pendidikan disamakan
dengan ijazah dan memperoleh pekerjaan. Maka
sekolah atau tidak sekolah sama saja, yang penting
bisa kerja dan makan. Ini perlu diluruskan. Pendi­
dikan adalah keutuhan. Pendidikan adalah proses
memanusiakan manusia. Di sisi lain, dengan pen­
di­dikan yang cukup, tak dapat diingkari bahwa
manusia dapat bekerja secara lebih layak. Kata­
kanlah ketika harus ada yang bekerja di luar daerah
atau luar negeri. Kalau dengan latar belakang pen­
didikan yang memadai, pasti ia akan mendapat
pe­kerjaan dan penghasilan yang layak. Jadi, kita
tidak mengirim tenaga kerja ke luar daerah atau luar

86 Robert Fahik
negeri sebagai pembantu rumah tangga atau buruh
kasar. Kita mengirim tenaga kerja profesional.
Tentang Kebudayaan. Malaka sangat kaya
akan budaya. Persoalannya tentu bukan hal baru
lagi. Budaya asli yang kian terkikis. Orang-orang
modern selalu melihat budaya sebagai mainan masa
kecil yang segera dibuang atau dilupakan ketika ber­
anjak dewasa. Anak-anak zaman sekarang sangat
tidak tertarik untuk belajar mengenal dan men­ ­
cintai budayanya. Kita bersyukur bahwa masih ada
“generasi lama”; para orang tua yang selalu men­
jaga budaya yang ada. Ritual-ritual adat yang
masih setia dilaksanakan. Tarian daerah yang masih
ditam­pilkan. Dan nilai-nilai dasar yang masih di­
pegang erat. Ini akan perlahan hilang jika generasi
sekarang tidak mewarisinya. Tentu harapan kita,
generasi sekarang tidak hanya mewarisi budaya
secara fisik atau formalitas belaka. Mewarisi bu­daya
berarti mewarisinya secara utuh; fisik dan meta­
fisik­nya; ritual-ritual dan nilai-nilainya.
Seni. Ada banyak cerita rakyat, dongeng, dan
pantun daerah yang sudah hilang. Hampir bisa di­
pastikan anak-anak di sekolah tidak tahu lagi tentang
cerita rakyat, dongeng, atau pun pantun daerah.
Lagu daerah juga demikian. Saya memberi apre­
siasi kepada saudara-saudara yang selama ini sudah
berjuang lewat caranya untuk mengangkat budaya
Malaka lewat seni. Mereka adalah para pen­cipta lagu
daerah, pemusik, dan penyanyi. Juga para perintis
sanggar kesenian daerah yang ada. Kalian hebat.
Mungkin saat ini orang belum begitu peduli, namun
yang kalian lakukan adalah peker­jaan mulia. Semoga
masyarakat dan terlebih pemerintah bisa memberi
perhatian terhadap semua ini.
Masih terkait seni. Ada sebuah ide kecil yang

Mutis 87
mungkin bisa dipertimbangkan. Begini, untuk mem­
bangkitkan minat budaya membaca dan menulis
(dua budaya ini masih sangat lemah) khususnya
di kalangan generasi muda, pemerintah bisa meng­­­
adakan lomba-lomba atau pertunjukkan seni misal­nya
baca puisi, musikalisasi puisi, kreasi tarian, pidato,
menulis karya kreatif, pementasan musik, lagu-
lagu, dan berbagai kegiatan lainnya. Untuk lebih
menarik, kegiatan tersebut diadakan di pantai atau
lokasi wisata lainnya. Bisa juga di pintu perbatasan.
Dengan ini maka seni bisa me­nunjang pariwisata.
Orang akan lebih mengenal dan mencintai kekayaan
seni dan budayanya serta potensi wisata sekaligus
memperkenalkannya ke­pada orang dari luar daerah.
Banyak hal yang bisa dikembangkan di Malaka
seperti musik (suling) bambu. Jika dilirik dan di­
kem­bangkan secara baik, potensi ini akan sangat
membawa dampak positif. Pertama, suling bambu
bisa menjadi salah satu icon Malaka. Kedua, musik
bambu bisa menjadi sarana penanaman karakter
dalam diri peserta didik dengan cara setiap sekolah
diwajibkan mengadakan kegiatan ektrakurikuler,
dalam hal ini mengembangkan musik bambu. Ketiga,
alat musik ini bisa didatangkan dari para seniman.
Masyarakat bisa memperoleh finansial yang cukup.
Di sisi lain, tanaman bambu bisa dikembangkan dan
dijaga kelestariannya. Seni berkembang, namun ke­
lestarian alam tetap terpelihara.
Pendidikan, Kebudayaan, dan Seni. Tentu tiga
konsep ini masih sangat luas untuk dibicarakan.
Tapi semoga pokok pikiran ini bisa membuka pintu
pemikiran lainnya dari siapa pun untuk pem­ ba­
ngunan manusia yang utuh di tanah ini.
***

88 Robert Fahik
Surat Kedua
Ini kusebut sebagai tiga pilar kehidupan masya­
rakat; pertanian, peternakan, dan perikanan. Sejak
zaman nenek moyang, tiga hal ini dikenal sebagai
penopang utama kehidupan masyarakat. Masya­ra­
kat mempertahankan hidupnya dengan tiga cara
ter­sebut. Sekarang pun sesungguhnya masih sama.
Manusia tidak bisa melepaskan diri dari tiga pilar
itu. Bagaimana pun juga, kita butuh nasi, sayur,
daging, dan ikan. Menarik bahwa pemerintah daerah
maupun pusat mulai mencanangkan gerakan cinta
pangan lokal. Perlu makan jagung dan umbi-
umbian. Bahkan dalam kegiatan dinas pun diwajib­
kan untuk menghidangkan makakan lokal seperti
sayur daun ubi. Itu dari pemerintah pusat. Kalau di
daerah, ada hari tertentu yang dicanangkan se­bagai
hari makan pangan lokal; jagung dan ubi. Walaupun
pelaksanaannya masih belum bisa dipasti­kan seratus
persen, tapi setidaknya langkah peme­ rintah patut
diapresiasi. Ini mengingatkan kita akan sejarah dan
budaya.
Sekarang coba kita lihat pertanian, peternakan,
dan perikanan secara lebih khusus, dalam artian
se­bagai sumber kehidupan masyarakat. Daerah ini
begitu subur. Bahkan ada pejabat yang pernah me­
ngatakan, “Di Malaka, tanam batu tumbuh padi,
tanam batu tumbuh jagung”. Persoalannya masih
banyak lahan yang kosong. Mungkin karena mental
malas yang masih kental? Atau karena memang
banyak orang di daerah ini yang lebih memilih bekerja
di luar daerah bahkan di luar negeri? Namun syukur
pada Tuhan. Pertama, sudah sejak beberapa tahun
yang lalu, pemerintah membangun bendungan

Mutis 89
Benenai – salah satu bendungan besar di Timor. Ini
sangat membantu petani dalam hal pengairan. Ke­
dua, ada investor yang mulai melirik potensi yang
ada. Saya mendapat cerita dari seorang teman
wartawan di Kupang bahwa Menteri Perindustrian
RI, Bapak Saleh Husin, pernah mengadakan diskusi
di Kupang dan menyebut Malaka sebagai salah satu
daerah prioritas pengembangan tanaman Tebu. Dan
tidak menutup kemungkinan untuk dibangun pabrik
gula. Beberapa saat sebelum itu, ada perusahaan
yang mengembangkan tanaman ubi (singkong).
Banyak hasil petani yang dibeli langsung. Hal-hal
seperti ini tentu sangat membahagiakan. Pasti ada
dampaknya bagi kesejahteraan masyarakat. Apalagi
kalau sampai dibangun pabrik, tentu akan menyerap
banyak tenaga kerja, seperti yang sudah dilakukan
selama bertahun-tahun oleh sebuah perusahaan yang
bergerak di bidang tanaman kakao (coklat).
Masih tentang pertanian (dan perkebunan),
tidak berlebihan jika berbagai potensi ini saya se­
but­kan juga: jagung, padi, kelapa, pisang, sagu,
sayur-sayuran, kopi, nanas, tembakau, dan kacang
hijau. Nama terakhir mengingatkan saya akan
cerita sahabat saya, Paulus, yang pernah bersekolah
di Seminari itu. Ia mengatakan bahwa salah satu
makanan pokok (lauk) ia dan teman-temannya
di Seminari adalah kacang hijau. Dan ketahuilah,
kacang hijau itu didatangkan (dibeli) dari para petani
di Malaka. Entah sekarang bagaimana nasib kacang
hijau di Malaka? Apakah kacang hijau masih men­
jadi salah satu hasil pertanian yang dapat diandal­
kan? Maaf, ada satu pemikiran lagi terkait potensi
pertanian (dan perebunan). Tepatnya potensi buah
yang ada. Seorang teman saya dari Jawa pernah

90 Robert Fahik
men­ceritakan bahwa di daerahnya, orang bisa mem­
buat keripik dari buah. Mungkinkah hal yang sama
bisa dilakukan di Malaka?
Peternakan. Dari cerita nenek dan kakek saya
menjadi tahu bahwa daerah ini dulu sangat kaya
akan sapi, kerbau, dan kuda. Bahkan waktu kecil dulu,
meja makan di rumah tak pernah sepi dari susu sapi
asli. Namun seiring berjalannya waktu, jumlahnya
pun mulai berkurang, antara lain karena dijual atau
mati. Tapi mungkin juga karena tidak ada sistem
pemeliharaan yang baik. Sekali lagi syukur pada
Tuhan karena kini pemerintah NTT daerah sudah
mengadakan kerja sama dengan pemerintah Jakarta
di bidang ternak khususnya sapi. Semoga dengan
ini baik pemerintah maupun masyarakat mulai me­
ngembalikan kejayaan sejarah bahwa daerah ini
pernah menjadi pengekspor sapi ke luar daerah
bahkan ke luar negeri. Di sisi lain, kotoran sapi
bisa diolah menjadi biogas dan juga pupuk yang
tentunya akan sangat bermanfaat bagi masyarakat.
Kulit sapi juga bisa diekspor sebagai bahan dasar
sepatu atau pun tas. Potensi peternakan lainnya
adalah kambing, ayam, dan babi. Dua nama terakhir
memang menjadi salah satu jenis hewan piaraan
yang paling banyak dalam kehidupan masyarakat
Malaka. Selain sebagai pilihan menu makan, babi
dan ayam menjadi kurban wajib hampir dalam se­
tiap upacara adat.
Jika potensi peternakan dikembangkan dengan
baik, apa yang pernah dikataan seorang sahabat­ku
ini bisa menjadi kenyataan, “ha etu hare, hemu susu
wen” (Tetun: makan nasi, minum susu). Arti­nya,
Malaka berlimpah padi dan susu murni yang diperas
dari sapi sendiri. Hal lainnya adalah dataran rendah

Mutis 91
Malaka dikembangkan sebagai area pertanian, dan
dataran tinggi sebagai area peternakan.
Perikanan. Dalam hal ini juga tentang kelautan.
Sektor ini mungkin tidak begitu menjanjikan. Hasil
tangkapan ikan di laut selatan tentu tidak se­banding
dengan hasil nelayan di Kupang atau Flores yang
begitu kaya. Memang ada yang bilang ombak pantai
selatan sangat besar sehingga menyulitkan nelayan
untuk memperoleh ikan. Namun ombak besar tentu
bukan menjadi alasan untuk tidak meng­opti­malkan
potensi laut yang dimiliki. Mungkin penye­diaan
kapal besar dan berbagai pelatihan bagi nelayan
bisa membantu mereka dalam mening­katkan hasil
tangkapan. Hal lain yang bisa dicatat adalah ben­
tang­an tambak ikan yang sejauh ini meng­ hasil­
kan ikan air tawar yang menjanjikan. Sebut saja
bandeng. Ini penting untuk diperhatikan. Jangan
sampai terjadi orang Malaka membeli ikan dari
daerah lain, padahal Malaka punya daerah pantai
yang cukup luas. Kalau pun tidak mampu diekspor
ke daerah lain, minimal hasil ikan di Malaka cukup
untuk memenuhi kebutuhan orang Malaka.
Dalam konteks ini, ada wacana juga bahwa akan
dibangun pabrik garam di beberapa titik daerah
pantai. Kita tentu mendukung siapa saja yang mau
membangun tanah ini. Catatannya, banyak anak
daerah bisa direkrut sebagai tenaga kerja. Dan yang
tidak kalah penting, kelestarian lingkungan harus
diutamakan.
Masih terkait potensi Malaka sebagai daerah
pantai. Dari seorang pastor tua aku pernah men­
dengar cerita bahwa di awal abad 19 ketika misio­
naris Eropa menyebarkan agama Katolik di Timor
khususnya di Malaka, selain Atapupu di utara

92 Robert Fahik
Belu, teluk Maubesi di selatan Belu (sekarang Ma­
laka) pernah menjadi tempat bersandarnya kapal.
Kapal-kapal ini mengangkut bahan bangunan dari
Kupang untuk pembangunan gedung (rumah
pastor, gereja, dan sekolah) di Malaka. Saya hanya
punya pemikiran kecil; mungkin Malaka juga punya
potensi pelayaran. Kalau pun bukan untuk angkutan
penumpang (manusia), kapal barang bisa ber­ope­rasi
dari dan ke Malaka. Kalau ini terjadi, bukan tidak
mungkin hasil bumi dari Malaka bisa lebih mudah
dipasarkan ke daerah luar.
Tentu masih banyak aspek yang bisa menjadi
pilar kehidupan masyarakat. Namun hal yang saya
sebutkan di atas adalah hal dasar, yang asli sejak
nenek moyang, yang mesti kembali diperjuangkan.

***

Surat Ketiga
Ini kunamakan tiga pilar kebersamaan. Politik,
agama, dan lingkungan alam. Dasarnya adalah ma­­
nusia selalu hidup dalam kebersamaan. Ada saat-
saat ke­sendirian tapi sisi lain dari manusia adalah
ke­ber­samaan. Ini penting karena justru dalam keber­
samaan, orang sering tidak mau ber­sama. Orang
membangun dinding-dinding untuk mem­bedakan
kelompoknya dengan kelompok lain. Ini tidak begitu
bijak.
Politik. Tentu dalam arti yang luas, yakni bagai­
mana setiap orang mengambil bagian dalam mem­
bangun masyarakat. Setiap orang menyadari peran­
nya. Pemerintah, lembaga pendidikan, orangtua,
pelajar, mahasiswa, pedagang, pihak keamanan,

Mutis 93
petani, nelayan, rohaniwan, semuanya. Namun
dalam konteks kabupaten baru, baiklah saya coba
soroti peran pemerintah dalam membangun daerah
ini. Bagai­mana pemerintah melakukan berbagai
langkah dan kebijakan yang berpihak pada rakyat,
ke­
pu­tusan-keputusan yang berguna bagi banyak
orang.
Apreasiasi layak kita berikan kepada peme­
rintah. Kabupaten ini baru terbentuk. Namun se­
mua­nya segera bekerja. Kita bisa melihat geliat pem­
bangunan fisik di mana-mana. Kantor-kantor. Jalan
raya. Peralihan para pegawai dari kabupaten induk.
Dan tentunya perekrutan pegawai baru demi me­
nunjang kinerja pemerintah. Hal terakhir ini
memang sempat menjadi buah mulut dalam masya­
rakat. Bahkan ada demontrasi dari mahasiswa ter­­
kait pengangkatan tenaga kontrak di lingkup pe­
me­rintah Malaka. Beberapa anggota DPRD juga
melayangkan protesnya karena ada indikasi ke­
curangan. Entah apa yang sebenarnya terjadi. Tapi
saya bersyukur, beberapa teman yang setahu saya
memiliki kemampuan memadai dinyatakan lulus
dalam seleksi CPNSD Kabupaten Malaka beberapa
waktu lalu.
Agama. Sudah lebih dari satu abad masyara­kat
di daerah ini mengenal agama. Para misionaris dari
Eropa-lah yang memperkenalkan nenek moyang­­ku
dengan iman kristiani. Sampai sekarang, agama
Kristen sangat berkembang di sini. Bahkan mayo­
ritas penduduk adalah pengikut Kristus. Dalam
perkembangan selanjutnya, kini pen­duduk Malaka
bukan hanya orang Katolik dan Protestan tapi juga
Islam dan Hindu. Penganut Islam dan Hindu
adalah mereka yang berasal dari luar Malaka, yakni

94 Robert Fahik
suku Bugis, Makasar, Jawa, Sumatera, dan Bali
serta berbagai daerah lainnya di nusantara. Namun
yang menarik, di sini tidak pernah ada pertikai­an
atas nama agama. Ini menjadi warna tersendiri yang
patut dibanggakan dan terus dipupuk.
Lingkungan alam. Ini kadang luput dari pem­
bicaraan. Orang mengira bahwa berbicara tentang
kebersamaan berarti hanya berbicara tentang hu­
bungan antarmanusia. Tidak. Kebersamaan sesung­
guhnya juga adalah kebersamaan manusia dengan
alam. Benar bahwa manusia diberi kebebasan untuk
mengolah alam demi hidupnya. Namun kebebasan
itu tentu adalah kebebasan yang bertanggung jawab.
Alam perlu dihargai. Alam perlu diperlakukan se­
cara baik seperti seorang sahabat.
Banyak hutan lindung yang kini terancam
punah. Salah satu yang paling jelas ialah hutan
We Mer. Dijadikan lahan untuk berkebun, hutan
lindung ini nyaris sepi dari pohon-pohon besar dan
ribuan rumpun bambu yang dulu berdiri tegak
di punggung bukit ini. Apa yang salah? Sampai
hari ini saya hanya bisa menangis bila mengenang
hijaunya hutan ini. Kicauan burung. Angin sejuk
yang berhembus. Saya hanya bisa menangis karena
situasi ini sudah begitu lama. Dulu pernah dilaku­
kan penghijauan. Namun tidak berbuah hasil. Saya
hanya terus bermimpi, suatu hari nanti, We Mer
kembali hijau seperti dulu. Ketahuilah, ketika me­
ngatakan ini, saya menangis. Entah mengapa.

***

Mutis 95
USAI menulis, aku menyerahkan tiga surat itu
kepada tiga sahabatku; uku Mery, Nahak, dan
Seran. Kepada uku Mery, aku memberikan surat
pertama. Nahak dan Seran masing-masing men­
da­patkan surat kedua dan ketiga. Dalam bebe­rapa
saat mereka membaca surat itu dengan tenang.
“Tolong perbanyak surat ini dan berikan ke­
pada siapa saja yang berkenan membacanya. Per­
mintaanku secara khusus, tolong serahkan surat
ini kepada Uku, sahabat masa kecilku yang kini
menjadi anggota DPRD Malaka. Dalam beberapa
kesempatan kami sudah sering berdiskusi tentang
bagaimana membangun Malaka. Dia tentu tahu
apa yang harus dia perjuangkan sebagai wakil
rakyat.”
Usai bicara, aku meminta tiga sahabatku
masing-masing menuliskan puisi ini. Aku mem­
baptisnya sebagai “Puisi Kehidupan”:
Seperti Benenai, cintaku terus mengalir untukmu.
Tanpa seorang pun tahu, ketika keringatku me­
ngucur deras pada dinding-batu kehidupan yang
kuterjang;
ketika darahku menetes pilu
pada tiap lekukan ruang dan waktu yang kulalui;
dan ketika air mataku berderai haru mengenangmu.

***

96 Robert Fahik
KEESOKAN harinya ketika hendak berangkat
ke Mutis, aku sendirian ke tepi sungai Benenai.
Ke­tika itu aku sudah mendengar kabar bahwa
dalam waktu dekat Mey akan datang ke Malaka.
Pikir­ku ini terlalu cepat, karena belum genap tiga
bulan yang lalu kami bertemu di Malaka.
Namun mungkin perjalananku ke Mutis ada­
lah cara alam memanggilku untuk meng­hindari
kenyataan hidup; bertemu Mey. Perjumpaan kem­­
bali dengan Mey untuk kedua kalinya di Malaka
mungkin akan segera memadamkan api cintaku
untuk Noy dan untuk Malaka. Atau per­­jalananku
ke Mutis justru menjadi cara alam mem­beri ke­
tenangan bagi jiwaku untuk bisa meng­ hadapi
suatu babak baru kehidupan; mene­mukan cinta
dalam diri Mey.
Seribu satu pemikiran menemaniku di tepi
sungai itu. Di mataku air sungai mengalir begitu
tenang. Damai. Indah. Dan entah mengapa, tiba-
tiba ada dorongan yang begitu kuat, yang tak
mampu kubendung. Aku juga ingin merasakan
kedamaian itu, keindahan itu. Seketika kerinduan
mendalam menderaku.
Ketika itu aku menyadari ada seseorang yang
mendekatiku. Dialah Mey. Kehadiran yang be­
gitu cepat. Tak pernah kuduga lagi pertemuan ini.
Tapi aku menghadapi kenyataan itu. Mey sudah
di sampingku, tepat ketika aku hendak me­ning­
galkan Malaka.

Mutis 97
“Semalam kami tiba dari Kupang. Aku men­
dengar hari ini kau akan ke Mutis, mengunjungi
saudari kembarmu yang sedang sakit. Aku tahu
sebelum berangkat, kau pasti ke Benenai,” kata
Mey.
“Mey…”
“Aku sengaja mengatur kunjungan ke Malaka
lebih awal dari daerah lainnya. Presentasi awal
kami tentang berbagai potensi di sini mendapat
tanggapan positif dari kalangan investor. Bahkan
dalam kunjungan survei lanjutan ini beberapa
investor sudah mengirim perwakilannya untuk
melihat secara langsung kenyataan di sini. Kau
tahu, aku tidak hanya ingin agar proses ini cepat
terlaksana untuk masyarakat Malaka. Aku ingin
segera bertemu lagi denganmu. Aku mencoba
ber­tahan tapi tak bisa, Manek. Aku selalu meng­
ingatmu. Entah mengapa, melihatmu saja aku
sudah sangat bahagia. Aku tak menginginkan
yang lebih selain kesadaranmu bahwa kita pernah
bersama, dan bahwa aku pernah dan akan selalu
mencintaimu,” kali ini mata Mey terlihat digenangi
air mata yang tertahan.
“Mey…”
“Pertunanganku ditunda.”
“Ditunda?”
“Aku yang menundanya.”
“Kenapa?”

98 Robert Fahik
“Aku masih ingin ke Malaka, menemui­
mu sebagai orang bebas. Manek, ijinkan aku ikut
ber­­­samamu ke Mutis. Kalau pun aku tak men­
da­patkan cintamu, biarlah ini menjadi permin­ta­
an terakhirku. Aku sudah meminta teman-teman
untuk menjalankan semua tugas yang perlu di­
buat di sini. Manek, aku sudah dan akan selalu
men­cintaimu sampai kapan pun. Kalau pun aku
pulang dan menikah, aku sudah ber­janji untuk
terus mendukung perjuanganmu mem­ bangun
Malaka dengan apa pun yang bisa aku per­juang­
kan. Kini ijinkan aku. Aku mau ikut ke Mutis.”
“Mutis cukup jauh dari sini, Mey. Aku juga
belum tahu berapa lama harus di sana. Aku tak
ingin membebanimu dengan perjalanan ini.”
“Ini bukan beban bagiku. Ini adalah keba­
ha­giaan yang belum pernah kudapatkan, dan
ke­bahagiaan yang tak bisa dirampas oleh siapa
pun, ketika bisa menemanimu ke Mutis.”
“Mey…”
Mey tak bisa menahan air matanya. Pipinya
yang lesung mulai basah. Tak ada kata-kata yang
terucap. Tapi aku tahu air matanya mewakili se­
mua kata yang tak terucap itu.
Aku meraih kedua tangannya. Dengan hati
berdebar-debar kutatap kedua bola matanya yang
masih digenangi air mata.
“Ketika di puncak gunung, kita selalu me­
lihat keindahan dan seolah tak ingin turun lagi.

Mutis 99
Padahal di kaki gunung itulah kita bergelut
dengan keindahan itu dalam setiap tetes keringat,
darah, dan air mata,” kataku.
“Namun ada saat di mana setiap orang perlu
berani naik ke puncak gunung. Legenda Jepang
mengatakan, atap rumah adalah tempat yang
paling dekat dengan para dewa di langit. Jika kau
menuliskan impianmu dengan kesungguhan di
atas atap rumah, maka impianmu itu akan menjadi
kenyataan. Mutis tentu jauh lebih tinggi dari atap
sebuah rumah. Kita bisa menuliskan mimpi-
mimpi kita di sana, siapa tahu mimpi-mimpi itu
dapat menjadi kenyataan,” suara Mey terdengar
begitu lirih. Kata-katanya yang mengalir lembut
membuatku tak mampu menyadari apa pun ke­
cuali keinginannya yang begitu kuat untuk me­
nemaniku ke Mutis. Kesadaran lainnya ialah
bahwa aku semakin merindukan kebersamaan
dengannya. Entah mengapa.
“Kalau mau ke Mutis, kau harus siap untuk
kembali ke Malaka, seperti Benenai yang terus
mengalir ini,” kataku.
“Kembali?”
“Agar kehidupan terus berjalan.”
“Bagaimana denganmu?”
“Hatiku selalu di sini.”
“Hati kita.”

***

100 Robert Fahik


EPILOG:
Benenai dan Visi-Misi Imajiner yang
Dititipkan
A.G. Hadzarmawit Netti
Kritikus Sastra Aliran Pukuafu

SUSASTRA (puisi, cerpen, novel, roman) adalah


suatu dunia kehidupan yang dirancang dan di­
bangun oleh seorang sastrawan berdasarkan ima­
ji­nasi dan fantasinya. Sebagai suatu dunia kehi­
dupan, susastra memiliki panorama, pesona, dan
keindahan yang unik. Akan tetapi bukan itu saja.
Susastra juga memiliki nosi dan emosi, serta daya
evokasi, lantaran segenap daya-daya roh sas­tra­
wan yang bergelut aktif dan giat tersusun dan ter­
anyam di dalamnya.
Untuk mengenal susastra sebagai suatu
dunia kehidupan sebagaimana dikatakan di atas,
kita tidak dapat mengandalkan komentar dan
deskripsi orang lain. Kita sendiri harus men­je­
lajahinya secara tuntas, sebab tanpa penjelajahan
yang tuntas, kita tidak akan dapat mengenal dan
menikmati detail-detail panorama, pesona, ke­

101
indahan, serta nosi dan emosi, dan daya evokasi
susastra itu secara baik dan memuaskan.
Demikianlah pandangan yang saya anut.
Dan berdasarkan pandangan itulah susastra se­
bagai suatu dunia kehidupan, saya jelajahi sesuai
batas-batas kemampuan saya. Yang dimak­sud­
kan dengan menjelajahi di sini ialah meneliti dan
mengamati melalui aktivitas membaca dan ber­
kon­templasi. Ya, sekali lagi, membaca dan berkon­
templasi. Penjelajahan seperti inilah yang saya
laku­kan atas novel karya R. Fahik Seperti Benenai,
Cintaku Terus Mengalir Untukmu.
Ketika membaca novel ini dan membiar­
kan totalitas daya-daya roh dan integritas intelek
kedirian saya bergelut dalam kontemplasi, citra
visual dalam imajinasi saya menyaksikan suatu
pelangi, yaitu suatu lengkung spektrum warna di
langit di atas Benenai yang airnya terus mengalir.
Lengkung spektrum warna di langit (pelangi) di
atas Benenai itu merefleksikan pergulatan-per­
gulatan antara cinta dan kesetiaan; antara cinta
dan derita; antara cinta dan pengabdian; antara
cinta dan pengharapan; di tengah-tengah kurun
waktu dan ruang demi Malaka dan demi masa
depan tokoh-tokoh yang berlakon di pentas dunia
kehidupan, antara pengharapan dan harapan
untuk memperoleh.
Dan untuk semuanya itulah, antara Benenai
dan Malaka—lembah tempat cinta, kesetiaan, dan

102 Robert Fahik


pengabdian ditaburkan—dan Mutis—ke­tinggian
cita-cita, dan pengharapan demi hari esok, novelis
R. Fahik melalui perantaraan tokoh Aku dan Mey
merumuskan visi dan misinya:
“Kalau mau ke Mutis, kau harus siap untuk kem­
bali ke Malaka, seperti Benenai yang terus mengalir
itu”
“Kembali?”
“Agar kehidupan terus berjalan.”
“Bagaimana denganmu?”
“Hatiku selalu di sini.”
“Hati kita.”
Dengan merumuskan visi dan misi imajiner
yang dititipkan melalui mulut tokoh Aku dan
tokoh Mey sebagaimana dikutip di atas novelis R.
Fahik mempersembahkan karya sastranya yang
indah ini bagi Indonesia, bagi Nusa Tenggara
Timur, bagi Benenai dan Malaka, bahkan bagi pe­
nikmat sastra antar bangsa, yang konsisten me­
lirik hasil karya sastra para sastrawan Indo­nesia
asal Daerah Nusa Tenggara Timur.
Novel ini: Seperti Benenai, Cintaku Terus Meng­
alir Untukmu, adalah novel ketiga karya R. Fahik.
Novel kedua, Likurai Untuk Sang Mempelai (2013).
Dan novel pertama, Badut Malaka: sebuah novel
(2011). Novel pertama ini telah masuk dalam
WorldCatalog; dan telah tersimpan pula di Na­
tional Library of Australia; serta telah terdaftar
di Virtual International Authority File (VIAF)

Epilog 103
dengan nomor: VIAF ID: 289527833 (Personal) di
National Library of the Netherlands-test.

104 Robert Fahik


TENTANG PENULIS

Robert Fahik, lahir di Betun


(Malaka), Timor ­ NTT, 5
Juni 1985. Menyelesaikan S1
Filsafat di Universitas Katolik
Widya Mandira Kupang (2009)
dan S2 Psikologi di Uni ver­
sitas Mercu Buana Yog ya­
karta (2012). Mewakili NTT dalam kegiatan Pem­
berdayaan Masyarakat Melalui Pamong Bahasa
di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI
(2013). Menjadi wartawan dan redaktur tabloid
FORTUNA (2008). Sejak 2013 menjadi warta­
wan dan redaktur majalah CAKRAWALA NTT.
Pernah dipercayakan sebagai editor majalah LOTI
BASASTRA (Kantor Bahasa NTT) dan WIDYA
NUSRA (LPMP Provinsi NTT). Telah menulis
empat novel yakni Badut Malaka (2011), Likurai
Untuk Sang Mempelai (2013), Seperti Benenai,
Cintaku Terus Mengalir Untukmu (2015),

105
Apshara (2016). Buku lain yang juga ditulis­nya
adalah Mengenal dan Mencintai Buku Harian
(2015), Johannis E. Ottemoesoe, Totalitas Untuk
PDAM dan Kabupaten Kupang (2017), Ayub Titu
Eki dan Kisah Taman Eden di Kabupaten Kupang
(2017). Beberapa puisi dan cerpennya masuk
dalam antologi karya sastra yang diterbitkan
Kantor Bahasa NTT yakni Senja di Kota Kupang
(2013), Kematian Sasando (2013), dan Nyanyian
Sasando (2015). Kontak pribadi: 085253368008
(Tlp/WA), Robertus Fahik (FB), robertusfahik.
blogspt.com (blog).

106 Robert Fahik

Anda mungkin juga menyukai