UNTUKMU
(Sebuah Novel)
Penerbit :
Cipta Media (Anggota IKAPI)
Jl. Nologaten Gg. Temulawak 69 Yogyakarta 55281
Telp. (0274) 6537872, Fax. (0274) 488517
Email: ciptamediaaksara@rocketmail.com
ISBN: 978-602-7897-09-0
ii
Novel “Seperti Benenai, Cintaku Terus Mengalir
Untukmu” dikemas dengan gaya menarik. Lugas,
ringan. Inspiratif dan edukatif. Tak membosankan.
Dikonstruksikan sesuai dengan kondisi masyakarat
memuat novel ini dengan mudah dilahap dan di
mengerti pembacanya. Semua lapisan usia bisa
menikmatinya. Tokoh Noy mengedepankan fungsi
edukatif. Karenanya kita harus banyak belajar.
Tidak congkak, tidak pongah ketika menjadi orang
sukses, orang besar. Ini makna kehidupan dan nilai-
nilai positif. Para leluhur bilang, “bicara harus jaga
mulut; duduk menjaga kehormatan; berjalan men
jaga langkah; dan tidur menjaga mati.” Itulah pesan
yang tersirat yang membuat novel ini sarat dengan
makna edukatif. Jangan lupa!! Dengan pelukisan
latar waktu dan tempat yang sangat mendetail te
tapi tidak berlebihan, menambha daya tarik novel
ini membuat seolah-olah pembaca larut, bahkan
terlibat di dalamnya. Kita seperti terbius. Dan tak
bisa dipungkiri, di sinilah letak kekuat an Roby
Fahik meracik novel ini. Dan bisa — bahkan tak
segan-segan — bermain dengan dunia imajinasinya
untuk membongkar nilai-nilai kemapanan sebagai
mana yang dikutuk tokoh Noy. Novel ini juga me
rupakan bagian dari perjalanan hidup saya. Hatiku
tergetar. Agar jujur dalam menggelitik sesuatu,
bahkan jujur dalam memaknai hidup. Dan, Roby
telah mengingatkannya. Terima kasih Roby. Salam
ku untukmu. Teruslah “ber buat”, jangan pernah
berhenti. Talentamu besar. Aktualisasikan. Profisiat.
(Benny Dasman, Wakil Pemimpin Redaksi Tribun
Bali)
iii
Buku yang bakal membuatmu melihat api yang
tak kan pernah padam, cinta yang tak kan berhenti
bersinar, dan kata-kata yang tak hendak pupus.
(Bonari Nabonenar, sesama penulis)
iv
nya— telah memuncak menjadi sebuah tarian rasa
sakit yang tidak bisa diabaikan. Inilah yang ter
ungkap menjadi kekuatiran dan bahkan ketakutan
yang mulia. Banalitas pengalaman keseharian
yang menjadi milik Manek — sang penulis — ber
gerak ke tingkat pemahaman terefleksikan. Malaka
— dan Benenainya — adalah pertanyaan sekaligus
jawabannya. Malaka adalah penyebab rasa sakit
sekaligus obat yang menyem buh kannya. “Per
jalanan pulang” inilah yang menjadi gerak dialektik
penulis dalam mengolah rasa rindu dan sakitnya.
(Rm. Sixtus Bere, Pr. – Munchen, Jerman)
v
Sebuah novel yang luar biasa. Luar biasa karena
saya seperti membaca setumpuk buku dengan ber
bagai tipe. Tentang sejarah, budaya, sastra dan seni,
sosial dan romance, semuanya mampu dilebur pe
nulis dalam satu novel singkat. Karyamu yang satu
ini bisa membuat saya merasa berada di Malaka
dan merasa ada dalam cerita. Kecintaan Manek
akan tanah Malaka bisa dilukiskan dengan selarik
bible quotation/ayat Kitab Suci, “Cinta akan rumah
Tuhan, menghanguskanku”. Semoga dengan mem
baca novel ini, khususnya kaum muda Malaka pun
bisa terbakar asa untuk membangun Malaka seperti
mimpi Manek. (Sr. Magistra Wae, - Italia)
vi
PROLOG:
Benenai Mengalir Antara Noy dan Mey
Dr. Marsel Robot
Sastrawan, Esaist, Ketua Program Studi
Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Undana
vii
yang unik) selalu menggelincirkan penulis pada
logo centris (berpusat pada obsesi tematik). Begitu
kuat lahar nafsu menyampaikan pesan sehingga
terkadang menafikan lagak literer. Rasa gurih se
buah ceritera terkadang terlantar dan kisah susut
menjadi sekedar kontainer yang penuh sesak
dengan serpihan-serpihan deskripsi. Di sana pula
unsur utile (kegunaan) membenamkan rasa gurih
fiksionalitas.
Pilihan kedua (membuat suatu pengalaman
atau suatu penghayatan menjadi unik), sering
pula menggelincirkan penulis dalam gincu literer
yang berlebihan. Sebab, dia diminta mencerita
kan pengalaman itu menjadi unik, menarik, atau
memikat. Karena itu, ia harus mampu berceritera
dengan menggunakan vitur-vitur literer secara
apik dan kompositum. Kadang, lagak literer
yang keterlaluan menyebabkan kabarnya menjadi
kabur dan kisah berangsur beringsut sekedar ka
fetaria. Unsur dan urusan menghibur (dulce) be
gitu kuat membenamkan tesa.
Dalam dialektika itulah pandai susastra ber
seru, “Karya sastra setidaknya mengandung utile
et dulce (berguna dan menghibur). Berceritera
adalah mewartakan makna dengan cara meng
hibur.
Robert Fahik mencoba mengarungi dialek
tika itu. Ia berusaha menenteng logo sentris (ke
unikan Malaka tanah kelahirannya dilap-lap
Prolog ix
kan, termasuk pengembangan pariwisata. Di bidang
ekonomi, mungkin pasar perbatasan bisa menjadi
salah satu alternatif peningkatan ekonomi rakyat.
Di bidang pendidikan, peningkatan kualitas lembaga
pendidikan di Malaka mungkin bisa menarik pelajar
atau mahasiswa dari negara tetangga. Mungkin ini
terlalu berlebihan, tapi itulah yang aku pikirkan.
Jujur, semua ini masih berupa pikiran liar. Perlu
dikonsepkan secara baik. Tapi memang daerah ini
punya potensi yang luar biasa dan harus dioptimal
kan.”
Malaka adalah roh dan roti kehidupan buat
Fahik. Perkelanaannya ke Jogja merupakan pe
ngembaraan di padang-padang imajinatif untuk
lebih dekat mendekap roh dan roti kampung
halamannya itu. Dalam linangan imajinasi Fahik,
Malaka bukan sekedar sebuah lanskap, melain
kan sebuah historia yang menyalakan dian per
adaban, memfasilitasi cara hidup masyarakatnya.
Fahik bagai raja Mutis yang sedang merin
dukan gadis cantik asal Malaka lantas air mata
menjelma menjadi sungai Benenai. Rindu Fahik
kepada Malaka adalah rindu pada alam pastoral
dan keadaban lama menjelma menjadi novel
ini. Raja Mutis dan Robert Fahik bagai burung
Audan yang hidup di tepi jurang dan hanya
hidup untuk menimbun rindu. Mungkin alasan
itu pula sehingga Fahik memilih sudut pandang
sebagai “akuan” (aku lirik) atau terlibat sebagai
tokoh utama dalam novel ini. Rindu yang terus
x Robert Fahik
merimbun terhadap Malaka itulah yang mem
buat semua yang lain hanya berarti bila dikait
kan dengan Malaka. Ia meninggalkan Mey, pe
rempuan Jogja (teman kuliah) yang sudah lama
jatuh cinta terhadapnya. Mey sangat mencintai
nya. Berbagai kesempatan Mey menya ta
kan
dengan cara dan kata. Bahkan, pada suatu kesem
patan, dalam suatu urusan, Mey berkesempatan
ke Malaka dan menginap di hotel Cinta Damai di
Betun. Kesempatan itu, Mey kembali menyatakan
cintanya terhadap aku lirik. Namun, ia menolak
dan menjadikan hubungan itu sebagai saudara-
saudari. Ia lebih mencintai Malaka dan ingin
membangun Malaka.
Benenai dalam genangan imajinasi Fahik
bukan sungai dalam pengertian umum, melain
kan sebuah tamsil tentang cinta yang terus meng
alir tak henti. Tamsil ini sesungguhnya terinspi
rasi oleh Legenda sungai Benenai. Dalam legenda
Benenai yang hidup dalam ingatan orang Mutis
dan Malaka bahwa Benenai adalah air mata Raja
Mutis. Sang raja jatuh cinta terhadap gadis cantik
dari Malaka. Namun, entah apa yang terjadi? Ke
duanya terpaksa berpisah. Sang raja kembali ke
Mutis menggendong rindu. Rasa cinta dan ke
rinduan menembus gunung dan membelah bukit.
Ia mengungkapkan kerinduannya melalui air
mata. Tetesan air mata mengalir dari kaki Mutis
hingga pusara Malaka. Sungai Benenai itu adalah
Prolog xi
air mata cinta sang Raja buat si Cantik dari Malaka.
Fahik berceritera:
Ada legenda bahwa Benenai terbentuk oleh air mata
seorang raja dari gunung Mutis; gunung tertinggi
di pulau Timor bagian Barat. Sang raja begitu men
cintai seorang gadis Malaka. Namun suatu ketika
keduanya harus berpisah. Sang raja yang kembali ke
Mutis mengungkapkan kerinduannya kepada sang
kekasih dengan menangis. Air mata sang saja itulah
yang kemudian membentuk aliran sungai Benenai.
Prolog xiii
kota yang bersangkutan. Dalam hal ini, ada dua hal
utama yang perlu dicatat. Pertama, sejarah memain
kan peran vital dalam menguraikan sebuah nama.
Kedua, permenungan (pemaknaan) atas se buah
nama menjadi panggilan bagi setiap generasi yang
mewarisi nama tersebut.
Mengenang Malaka adalah sosok Noy, gadis
yang ditokohkan Fahik sebagai gadis yang jujur,
setia dan santun. Citra gadis Malaka. Fahik sendiri
berdiri sebagai aku lirik yang amat mencitai Noy
dan Malaka. Demi Malaka ia meninggalkan Mey.
Sedangkan Mey amat mencintai sang Aku. Simak
kisah berikut:
Sambil memegang tanganku, Mey bicara lagi, “Sejak
melihatmu kembali hari ini dan mendengar kisah
mu, aku berpikir apakah dengan situasi ini aku
bisa memulai lagi kisah lama itu? Maksudku, ke
kaguman dan cintaku padamu sekian tahun itu
boleh tumbuh lagi. Kau belum menikah. Aku juga
belum menikah. Apa lagi yang bisa menghentikan
kita? Kekasihmu meninggal., tetapi ada orang lain
yang masih begitu mencintaimu. Maaf, aku tidak
bermaksud melukai perasaan wanita yang kau cintai.
Tapi kita bisa memulai hidup yang baru. Ayah sudah
cukup tua. Aku bisa berhenti dari LSM ini dan kita
akan membesarkan usaha percetakan ayah. Kita bisa
tinggal di Jogja, menemani ayah di usia senjanya.
Kita bisa bersama menelusuri jejak-jejak peradaban
Malaka. Bagaimana?”
“Tidak perlu ada yang berubah, Mey. Sudah
sejak dulu, kau kuanggap sebagai adikku. Kau juga
akan segera bertunangan. Jangan kau sakiti hati
Prolog xv
xvi
Daftar Isi
xvii
xviii
Untuk almarhum Rm. Paulus Klau, Pr
(28 Juni 1941 – 29 Maret 2015)
yang telah beristirahat dalam kedamaian abadi.
xix
xx
1
BENENAI
1
sudah seiring pengikisan dinding sungai dari
waktu ke waktu. Nyanyian burung menjadi se
suatu yang mulai mahal untuk dibeli.
Aku sungguh mengingat kenangan-kenang
an itu. Namun yang lebih menghampiriku setiap
kali datang ke sungai ini tentu kenangan ber
sama Noy, gadis Malaka yang pernah dan yang
akan selalu kucintai. Benenai menjadi saksi bisu
cinta dua insan yang berpadu di bawah langit
Malaka. Mereka yang saling mencintai. Mereka
yang membangun mimpi-mimpi untuk keluarga
kecilnya, dan juga untuk tanah yang telah mela
hirkan dan membesarkannya; Malaka. Namun
kenyataan berkata lain. Sang permaisuri telah ber
pulang ke surga sebelum hari pernikahan tiba.
Sang mempelai laki-laki hanya mendapati kubur
an kekasihnya ketika kembali ke tanah ini dengan
keutuhan cintanya.
Di tepi sungai inilah kami melewati hari-hari
indah disaksikan air sungai yang terus mengalir.
Di tepi sungai inilah untuk pertama kalinya
kami bertemu. Di tepi sungai ini pula, untuk ter
akhir kalinya aku menatap wajah Noy dengan se
nyumannya yang damai.
Sesungguhnya Benenai sudah menjadi saha
bat kami di masa kecil. Di antara bocah-bocah yang
berlarian di bentangan pasir sungai itu, aku dan
Noy ada. Pada saat-saat seperti itulah kekaguman
abadiku tumbuh untuk seorang gadis Malaka.
2 Robert Fahik
Benenai juga menjadi teman di masa remaja
kami. Kami sering melewatkan waktu bersama
di sini. Bercerita tentang harapan-harapan, cinta
kami, dan tentang Malaka. Lalu tepat sebelum
aku pergi, kami bertemu di tepi sungai ini. Perte
muan terakhir yang menyisakan duka setiap kali
aku datang ke sini.
Tapi aku tetap mau datang ke sungai ini. Aku
sungguh menemukan kekuatan untuk terus ber
gerak. Seperti sungai yang terus mengalir, aku
ingin terus hidup dan mencintai. Ada legenda
bahwa Benenai terbentuk oleh air mata seorang
raja dari gunung Mutis; gunung tertinggi di
pulau Timor bagian Barat. Sang raja begitu men
cintai seorang gadis Malaka. Namun suatu ketika
keduanya harus berpisah. Sang raja yang kembali
ke Mutis mengungkapkan kerinduannya kepada
sang kekasih dengan menangis. Air mata sang saja
itulah yang kemudian membentuk aliran sungai
Benenai.
“Walaupun jauh, perlahan-lahan air mataku
ini akan sampai ke sana (Malaka),” kata sang raja,
yang dalam bahasa Tetun diungkapkan seperti
ini: “Kdok mos so’in. Be nai-naik to’o dei.” Kata
“be nai-naik” (tapi perlahan-lahan) dalam per
kembangannya mengalami perubahan men jadi
“Benenai”, nama untuk sungai ini. Mungkin ini
hanyalah sebagian dari kisah Benenai yang begitu
panjang, dalam, dan luas. Tapi aku bersyukur
Benenai 3
pernah mendengar kisah ini dari seorang tua adat
di Malaka.
Belum banyak yang aku dalami soal legenda
itu. Namun yang kutahu, legenda itu sering ku
ceritakan kepada Noy setiap kami bersama di
tepi sungai ini. Noy yang biasanya menegurku,
“Jangan sering kau ceritakan legenda itu. Aku
takut legenda itu menjadi kenyataan bagi kita.
Kita akan berpisah dan air matamu menjadi saksi
kerinduan.” Usai berkata demikian, Noy biasa
nya menceritakan berbagai kisah tentang Benenai
menurut buku yang pernah ia baca, atau me
nurut pemikirannya sendiri. Noy lebih senang
dengan itu ketimbang mendengar legenda yang
kuceritakan. Baginya, legenda Benenai seperti
yang kuceritakan melahirkan kegelisahan di
dalam dirinya.
Namun entah mengapa, aku merasa begitu
mengagumi legenda itu dan selalu ingin meng
ingatnya. Maka beginilah yang kukatakan, “Ma
nusia hanya bisa merencanakan segala sesuatu,
tapi sulit menentukan secara pasti. Namun apa
pun yang akan terjadi, dengan kepala tegak aku
akan selalu berseru: seperti Benenai, cintaku terus
mengalir untukmu. Setidaknya, inilah salah satu
nilai penting yang aku warisi dari legenda Be
nenai. Bahwa kehidupan harus terus berjalan.
Kita tak boleh berhenti berharap dan mencintai.
Dengan begitu, kita akan terus hidup.”
4 Robert Fahik
Setiap kali aku mengatakan itu, Noy pun
akan segera mengulanginya; seperti Benenai,
cintaku terus mengalir untukmu. Lalu kami akan
bersama-sama mengucapkan kalimat itu; seperti
Benenai, cintaku terus mengalir untukmu- sambil
memandang haru bentangan jembatan panjang
yang melintas tepat di atas sungai Benenai, dan
mengagumi gemercik air sungai yang terus meng
alir.
***
Benenai 5
Dan aku mendapati diriku yang sepertinya
sedang menghadapi ujian cinta, tepatnya kese
tiaan cinta. Namun entah mengapa, di saat se
perti ini puisi kehidupan itu masih terus mem
bahana, “Seperti Benenai, cintaku terus mengalir
untukmu.” Aku selalu berharap puisi kehidupan
itu terus bergaung kapan dan di mana pun aku
berada meski tempat terindah bagiku adalah
Malaka. Aku sungguh meyakini bahwa cinta se
lalu memeluk kita, tak peduli kita di mana. Karena
itu kini dengan cinta aku pun berharap, puisi yang
sama menjadi milik semua orang yang mengaku
memiliki cinta.
6 Robert Fahik
2
MEY
7
Hadir Bapak Penjabat Bupati Malaka ber
sama beberapa pejabat daerah. Hadir para orang
tua, tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh pe
ngusaha, para pelajar, sekelompok mahasiswa,
dan sejumlah wartawan. Namun yang lebih me
narik tentunya kehadiran beberapa tamu undang
an. Kata seorang panitia kegiatan, mereka adalah
anggota sebuah LSM Internasional yang kebe
tulan sedang mengadakan kegiatan di Malaka.
Hari itu aku memang sengaja tidak mem
persiapkan makalah khusus selain sebuah tulis
an yang tidak begitu panjang. Aku yakin, konsep
pembangunan Malaka tentu lebih dipahami oleh
para pakar di bidangnya masing-masing. Dan hari
ini mereka sudah membicarakan konsep-konsep
itu secara sangat baik.
Maka beginilah aku bicara, “Ini bukan ma
kalah khusus tentang konsep pembangunan Ma
laka. Ini hanya pemikiran kecil, pemaknaan se
derhana saja tentang arti sebuah nama; Malaka.”
Usai bicara, aku menatap semua yang hadir
dengan penuh keharuan. Lalu dengan lantang ku
bacakan tulisan ini:
Nomen Est Omen.” Nama adalah tanda. Nama men
ceritakan sesuatu. Di balik sebuah nama, ada sejarah
panjang yang terbentang. Pepatah klasik (Latin)
ini sungguh merupakan seruan mendalam yang
hendaknya melekat pada diri setiap insan. Bukan
karena demikian sederhananya (pendek) pepatah itu
8 Robert Fahik
untuk diingat, atau karena kedengarannya yang
indah, namun lebih karena makna yang terkandung
di dalamnya.
Benar, nama adalah tanda. Bila merujuk pada
sejarah kota-kota di dunia misalnya, masing-masing
kota tentu memiliki latar belakang tersendiri ter
kait nama kota tersebut, tidak terkecuali arti nama
kota yang bersangkutan. Dalam hal ini, ada dua
hal utama yang perlu dicatat. Pertama, sejarah me
mainkan peran vital dalam menguraikan sebuah
nama. Kedua, permenungan (pemaknaan) atas se
buah nama menjadi panggilan bagi setiap generasi
yang mewarisi nama tersebut.
Dalam konteks nama “Malaka” (kabupaten
Malaka), sejarah panjang telah mewarnai perja
lanan nama tersebut. Mulai dari sejarah asal-usul
nenek moyang orang Malaka di Timor, hingga pem
bentukkan Malaka sebagai sebuah kabupaten sen
diri, terpisah dari Belu sebagai kabupaten induk,
2013 lalu.
Maka yang tersisa kini ialah pemaknaan atas
“Malaka” itu sendiri. Pemaknaan ini penting sebagai
salah satu landasan dalam membangun Malaka ke
depan. Karena itu ijinkan saya menyampaikan be
berapa pemikiran yang mungkin masih jauh dari
kesempurnaan. Berbagai pemikiran ke depan masih
sangat diharapkan untuk penyempurnaannya.
Secara harafiah, kata “Malaka” berasal dari kata
bahasa Tetun yakni Laka (lakan) yang berarti “nyala,
cahaya, sinar”. Kata Laka mendapat tambahan kata
“Ma” (mak) yang berarti “yang”. Dengan demikian,
secara harafiah, kata “Malaka” dapat diartikan se
bagai “yang bernyala, yang bercahaya, yang ber
sinar”.
Mey 9
Dalam konteks lain, kata “Malaka” juga dapat
diartikan sebagai sebuah suruhan, perintah, atau
pun permintaan untuk menyalakan sesuatu (contoh:
“Ma-laka ha’i lai”, yang artinya tolong nyalakan
api). “Ma” dalam kalimat “Malaka ha’i lai” me
ngandung unsur permintaan (bisa juga berarti
perintah, suruhan) yang ditujukan kepada orang ke
dua tunggal (engkau).
Ada juga penuturan dari tokoh adat bahwa kata
“Malaka” berarti “nyala api pertama”. Ini berkaitan
dengan cerita awal kedatangan nenek moyang orang
Malaka di Timor. Sebelumnya, se luruh daratan
dipenuhi air laut. Orang-orang hanya hidup di
gunung. Ketika air mengering dan tercipta daratan,
orang mulai berpindah antara lain ke Malaka. Ketika
tiba di daerah ini, mereka melihat ada nyala api.
Mereka serentak berkata, “Malaka” yang berarti
“nyala api pertama”.
Terlepas dari pemaknaan di atas, dalam kese
harian, orang juga sering mengenal istilah “Rai
Malaka” (Tanah Malaka). Maka, secara harafiah
pula, kata “Rai Malaka” dapat berarti “tanah yang
bernyala, tanah yang bercahaya, tanah yang ber
sinar”. Sungguh, sebuah nama yang amat sangat
menga gumkan dan mendalam untuk diucapkan
dan didengarkan. Namun tentunya nama tersebut
akan semakin mengagumkan dan mendalam jika
orang-orang yang ada di baliknya memaknai secara
sungguh nama “Malaka” dalam hidupnya.
Setidaknya, ada empat hal penting yang perlu
dipertimbangkan. Pertama, Malaka sebagai simbol
terang (bernyala, bercahaya, bersinar) mengartikan
bahwa orang-orang Malaka tampil sebagai “terang”
dalam masyarakat, membawakan damai dan suka
10 Robert Fahik
cita bagi orang lain tanpa tipu muslihat, tanpa
kemunafikan, karena semuanya terang benderang
seperti matahari di siang hari dan bulan di malam
hari. Konsekuensi konkretnya, perlu ada trans
paransi dalam roda pemerintahan Malaka, perlu
ada keterbukaan antara pemimpin (pemerintah) dan
masyarakat.
Kedua, Malaka sebagai simbol terang, mene
gaskan arti sebuah semangat yang membara dalam
mengisi pembangunan Malaka di berbagai aspek
ke
hidupan. Semangat membangun Malaka harus
dimiliki oleh semua pihak, baik pemerintah, pihak
swasta, maupun tokoh masyarakat, tokoh agama,
tokoh budaya, tokoh pendidikan, dan seluruh lapisan
masyarakat.
Ketiga, Malaka sebagai simbol terang, tidak
mengabaikan penegasan bahwa terang itu harus
dimulai dari diri sendiri. Masing-masing pribadi
hendaknya menyadari perannya dalam masyarakat,
dan mewujudkan peran tersebut secara total.
Keempat, sesungguhnya ada permintaan, se
ruan, bahkan suruhan, pertintah, kepada orang
Malaka untuk “menyalakan” api, terang, sinar,
cahaya Cinta Tanah Air (cinta Malaka) dalam
mengisi pembangunan Kabupaten Malaka ke depan.
“Malaka ha’i ne’e” – nyalakan api ini. Api Cinta
Tanah Air. Cinta Rai Malaka.
Berbagai gagasan di atas sesungguhnya mene
gaskan sebuah kata: “Kesadaran”. Bahwa dengan
kesadaran akan tanggung jawab sebagai putra-putri
Malaka, orang Malaka akan mengisi hari-hari tanah
kecintaannya ke depan dengan pembangunan.
Suatu ketika seorang murid bertanya pada Con
fucius, apa yang pertama-tama harus ia lakukan
Mey 11
jika ia bertugas untuk mengatur sebuah negara?
Pemikir besar Cina ini menjawab, “Hal pertama
yang perlu dilakukan ialah rektifikasi (pembetulan)
nama-nama. Di lain kesempatan, seorang ratu ber
tanya kepada Confucius tentang hal prinsipiil dari
pemerintahan. Confucius menjawab, “Biarlah pe
nguasa menjadi penguasa, menteri menjadi menteri,
ayah menjadi ayah, anak menjadi anak”. Gagasan
yang tidak jauh berbeda juga diserukan filsuf besar
Yunani, Socrates: “gnoti se auto” (kenalilah dirimu
sendiri).
Tentu, pintu pemaknaan terhadap “Malaka”
masih sangat terbuka lebar bagi siapa saja yang
mau masuk ke dalam permenungan sejati. Namun
kiranya beberapa pokok pikiran di atas boleh men
jadi salah satu sumbangan pemikiran yang dapat
dipertimbangkan dalam membangun Malaka ke
depan. Bangsa yang kuat dibangun di atas fondasi
persatuan. Masyarakat yang maju selalu diiringi
kesadaran dan semangat untuk bersatu dalam pem
bangunan.
***
12 Robert Fahik
memang tidak asing sejak awal aku melihatnya
memasuki ruang pertemuan bersama rombong
an pejabat daerah.
“Manek. Putera Malaka. Penyair Malaka
yang tak pernah lelah bersuara untuk tanahnya,”
kata wanita itu sambil mengulurkan tangannya,
tersenyum lepas. Sebuah senyuman yang sudah
begitu lama tidak kulihat.
Segera kuraih tangannya dan berbalas
senyum. Kami berjabat tangan, “Mey. Mey Nur
halisa Wulandari. Sang pengagum puisi-puisi pe
nyair Malaka.”
Mey. Sahabat lamaku di Yogyakarta. Bebe
rapa tahun yang lalu aku mengenalnya ketika
menginjakkan kaki di kota pelajar itu, setelah se
belumnya merasakan kerasnya Jakarta. Itu kisah
masa lalu-ku ketika mengembara di tanah Jawa.
Ayahnya pemilik usaha percetakan tempat
aku bekerja. Uang hasil kerja di percetakan itulah
yang aku gunakan untuk membiayai kuliah
ku. Ketekunanku membuat sang ayah jatuh hati
hingga menjadikanku seperti anak kandungnya
di kota itu. Namun kalau aku berpikir lebih jauh,
mungkin keakrabanku dengan Mey adalah salah
satu alasan di balik semua ini.
Hal lain yang bisa aku kenang adalah kerja
di percetakan membuatku berjumpa dengan
banyak penulis lewat buku yang kami cetak. Itu
semua menjadi penguat tersendiri bagiku untuk
Mey 13
terus mencintai puisi, walau sampai hari ini aku
belum pernah menerbitkan satu buku puisi pun.
Aku dan Mey belajar bersama di sebuah
kampus ternama yang dikelola para pastor. Ke
cintaan kami yang sama pada dunia menulis dan
sastra menguatkan kami memilih jurusan Bahasa
dan Sastra. Kami tumbuh dan belajar bersama di
sana.
Dalam berbagai kesempatan Mey mengajak
ku berdisukusi soal sastra terlebih tentang puisi. Ia
begitu mengagumi puisi-puisiku, entah mengapa.
Ia pernah mengakui bahwa puisi-puisiku sangat
menarik. Bahkan tidak semua mahasiswa jurus
an Bahasa dan Sastra mampu menulis seperti itu,
kata Mey.
Puisi? Ya, aku banyak menulis puisi di
bangku kuliah walau menulis puisi bukan men
jadi kewajiban atau pun tugas utama di kelas.
Waktu itu aku hanya menulis sebagai ungkapan
jiwa dan kerinduanku untuk Noy, gadis yang
kucintai dan untuk Malaka, tanah kelahiranku.
Hampir semua puisiku bercerita tentang Malaka.
Mungkin karena alasan inilah Mey begitu menga
gumi puisi-puisiku.
Ibunya berasal dari Malaka yang ada di
Malaysia. Kakek-neneknya keturusan asli Ke
sultanan Malaka yang termashur pada beberapa
abad lalu itu. Ibunya bekerja sebagai dosen Bahasa
dan Sastra di kampus kami belajar. Mungkin
14 Robert Fahik
darah ibunya mengental dalam diri Mey hingga
gadis itu pun memilih jurusan yang sama dengan
ibunya. Memang Mey pernah bercerita bahwa
ibunya sangat mengharapkan dirinya menjadi
seorang akademisi seperti sang ibu, bukan pe
ngusaha seperti ayahnya.
Belum genap setahun aku mengenal Mey,
ibunya jatuh sakit dan meninggal. Mey sempat
kehilangan semangat hidup. Gadis itu pun jatuh
sakit hampir selama sebulan. Bahkan ia ingin ber
henti kuliah. Namun di saat seperti itulah kami
makin saling mengenal. Aku selalu menguatkan
Mey untuk tetap punya semangat.
Kami begitu dekat. Kebaikan ayah Mey mem
buatku menjadikan Mey sebagai adikku sendiri,
terutama semenjak kematian sang ibu. Dalam
kedekatan itu aku mulai menyadari bahwa ada
getaran rasa yang tak terungkap di antara kami.
Namun aku tak ingin mengikuti getaran rasa itu.
Bagaimana pun Mey sudah kuanggap adikku
sendiri, dan tidak boleh lebih dari itu. Perhatian
dan rasa cintaku untuknya adalah perhatian dan
cinta seorang kakak untuk adiknya. Seperti itulah
pergumulanku, walau kadang aku harus berjuang
sekuat tenaga dalam kebisuanku, meredam rasa
manusiawiku sebagai lelaki normal; mencintai
Mey sebagai seorang kekasih.
Sisi lainnya yang tentu tak bisa kutinggalkan
begitu saja adalah kerinduanku untuk kembali
Mey 15
ke Malaka dan membuktikan cintaku untuk Noy.
Bila mengenang semuanya, aku menyadari dan
menamainya sebagai gejolak rasa manusiawiku
yang bergelora tanpa bisa kubendung.
Suatu hari Mey memang pernah mencoba
mengajakku bicara soal cinta. Ketika itulah aku
menceritakan tentang Noy kepada Mey, dan ke
rinduanku untuk pulang ke Timor dan meme
nuhi janjiku. Aku juga mengungkapkan mimpi-
mimpiku untuk membangun Malaka. Mey tak
mengatakan apa-apa. Dan kami terus menjalani
kebersamaan seperti biasa. Begitu dekat. Begitu
akrab. Namun satu hal yang tetap kusadari ialah
kekaguman Mey pada puisi-puisiku, dan karak
ternya yang begitu manja. Semuanya berjalan se
iring kebisuan kami akan kata cinta.
Hingga akhirnya sebelum kepulanganku ke
Malaka, Mey mengungkapkan semuanya yang
belum pernah terungkap, “Maaf, aku harus meng
ungkapkan ini. Selama ini aku berusaha memen
damnya tapi aku tak bisa. Mungkin ini adalah
saat yang tepat bagiku untuk mengungkapkan
cinta ini. Sesungguhnya aku tidak hanya menga
gumi puisi-puisimu. Aku men cintai
mu sudah
sejak pertama kali mengenalmu. Jika waktu meng
ijinkan aku berharap kau tidak pergi. Aku ingin
kebersamaan ini kita lanjutkan. Tapi kalau pun
kau tetap ingin pergi, anggaplah ini sebagai se
buah kejujuran. Aku sudah merasa damai saat
16 Robert Fahik
ini kau tahu perasaanku yang sebenarnya. Kau
tetap seorang kakak yang baik dan yang selalu ku
banggakan.”
Itulah yang Mey ungkapkan. Tidak banyak
yang kukatakan selain hasratku untuk tetap men
cintai Mey sebagai adik, dan kerinduanku untuk
kembali ke Malaka. Dan aku meninggalkan kota
gudeg itu, meninggalkan Mey dengan getaran rasa
yang beterbangan di ruang jiwa. Aku merasa ber
salah jika mengenang bahwa aku tak mampu
membalas cinta itu seperti yang Mey harapkan.
Aku hanya berharap Mey bisa bertemu dengan
seorang pria yang mencintainya dan hidup baha
gia. Damai.
Kembali ke puisi. Aku ingat suatu ketika Mey
pernah mengatakan, puisi-puisiku mengingatkan
nya akan sosok sang ibu yang telah meninggal.
Setiap membaca puisi yang kutulis, ia seakan ber
jumpa dengan sang ibu dan kakek-neneknya.
Awalnya Mey mengira aku berasal dari Ma
lay sia atau setidaknya orangtuaku punya garis
keturunan Kesultanan Malaka, sehingga aku me
nulis puisi-puisi tentang Malaka. Namun setelah
aku menjelaskan bahwa Malaka yang kumaksud
adalah Malaka yang ada di Timor, Mey menjadi
paham bahwa aku bukan berasal dari Malaysia.
Berikut ia juga tahu bahwa di Timor ada juga
daerah yang bernama Malaka.
Mey 17
“Sejak awal kau memulai kata-katamu, aku
sudah yakin bahwa yang berdiri di depanku ada
lah Manek Mesak. Sosok yang pernah aku kagumi,
dan yang selalu aku rindukan selama hidupku,”
Mey kembali bicara.
Aku hanya diam sebelum Mey lanjut bicara,
“Sejak kau meninggalkan Jogja, aku selalu ber
mimpi suatu hari nanti kita bisa bertemu lagi.
Dan hari ini mimpi itu menjadi kenyataan. Kau
pasti tahu, ada banyak hal yang ingin aku bicara
kan. Tolong luangkan waktumu ya, sore nanti
temui aku di Hotel Cinta Damai. Kami menginap
di sana. Kami akan berada di Malaka untuk be
berapa hari ke depan. Aku tidak tahu, apakah ini
waktu yang sangat panjang atau sangat singkat
untuk kita lalui bersama.”
***
18 Robert Fahik
menikahi gadis yang kau cintai. Kau ingin mem
bangun Malaka. Kau ingin mewujudkan mimpi-
mimpimu. Kau ingin menyuarakan syair-syair
mu di tanah ini. Tolong ceritakan padaku tentang
tahun-tahun yang berlalu itu,” Mey menatapku
dalam-dalam dengan mata berkaca-kaca.
Hatiku berdebar. Jantungku berdetak begitu
kencang. Aku seperti berada di depan majelis
hakim yang mencercaku dengan berbagai per
tanyaan yang menyiksa. Ada rasa bersalah bila
mengingat tahun-tahun yang berlalu itu. Aku
meninggalkan keluarga kecil yang telah menjadi
penopangku. Seorang ayah dengan putri tunggal
nya yang manja. Aku meninggalkan seorang gadis
yang mencintaiku demi seorang gadis Malaka dan
demi Malaka.
Seandainya aku tetap di sana, aku pasti hidup
seperti yang Mey inginkan. Kami menikah. Mem
besarkan usaha ayahnya. Dan suatu hari nanti me
wujudkan kerinduan Mey; mengunjungi makam
kakek-neneknya di Malaysia, dan mendalami
jejak sejarah Kesultanan Malaka, tempat asal ibu
nya. Tapi aku mencoba berani melupakan semua
itu. Aku memutuskan kembali ke Malaka untuk
Noy dan untuk Malaka. Noy adalah alasan me
ngapa aku berkelana begitu jauh dan lama. Dan
karenanya aku selalu menguatkan diriku untuk
harus kembali ke Malaka.
Mey 19
“Mey, tidak semua kenyataan persis se
perti yang kita harapkan. Gadis yang kucintai
meninggal sebelum kami membangun sebuah
rumah tangga. Ia berjuang keras melawan sakit di
kepalanya yang ia derita sudah sejak masa kecil
kami setelah ia mengalami sebuah kecelakaan.
Ia pernah mengalami kecelakaan motor bersama
ayahnya. Namun yang lebih berat adalah per
juangannya melawan perjodohannya dengan se
orang pria yang tidak ia cintai.
“Beberapa sahabatku mengisahkan bahwa
Noy meninggal setelah sakit di kepalanya kambuh
menjelang pernikahannya dengan lelaki yang tak
ia cintai. Ia berjuang melawan dua rasa sakit se
kaligus; sakit di kepalanya dan juga hatinya
karena perjodohan yang tak ia kehendaki. Aku
juga mendengar cerita dari para sahabatku bahwa
Noy tak punya pilihan lain karena pernikahan itu
adalah permintaan terakhir ayahnya yang kala itu
mengalami sakit parah.
“Sampai hari aku masih mencoba menye
lami semua ini, Mey. Aku sempat ingin pergi
sejauh mungkin. Tapi entah mengapa, kematian
Noy justru membuat pijakan kakiku makin kuat
di tanah ini. Aku bisa saja kembali ke Jogja dan
memulai lagi kebersamaan kita. Namun itu tidak
terjadi. Cintaku begitu kuat untuk Noy dan untuk
Malaka. Terlintas juga dalam pikiranku bahwa
aku telah melewatkan kesempatan pertama untuk
20 Robert Fahik
mencintaimu sebagai seorang kekasih. Tak mung
kin bagiku untuk mendapatkan kesempatan ke
dua,” kataku.
Mey masih menatapku tanpa kata, seolah
masih ingin terus mendengar aku bicara. Hanya
sesekali ia membasahi bibirnya dengan segelas
air. Wajahnya tidak jauh berubah. Bibir tipisnya.
Lesung pipinya. Bola matanya yang bulat. Mem
bangkitkan ingatanku akan kenangan di tahun-
tahun yang telah berlalu. Namun aku berusaha
melupakan semuanya itu. Mengingat itu mem
buatku takut kehilangan cinta untuk Noy dan
untuk Malaka.
“Setelah kematian Noy, aku bertemu dengan
beberapa sahabat. Mereka-lah yang menguatkan
ku. Menemaniku. Bersamaku mewujudkan mim
pi-mimpi itu. Kami selalu bertemu, berdiskusi,
bertukar pikiran tentang Malaka. Kami berjalan
bersama. Mengunjungi seluruh pelosok Malaka.
Bertemu para orangtua, anak-anak, dan para
remaja. Mendengarkan kisah-kisah para orang
tua. Belajar bersama anak-anak dan kaum muda.
Membangkitkan semangat hidup, se mangat
kerja, dan semangat cinta untuk Malaka di antara
mereka. Inilah yang kunamakan Sekolah Kehi
dupan Likurai. Sekolah yang lantai nya adalah
tanah, atapnya adalah langit, dan din ding
nya
adalah bukit-bukit. Ini mimpiku bersama Noy.
Mey 21
“Para sahabatku orang-orang hebat. Nahak,
anak seorang petani yang kuat bekerja. Akeu, anak
keturunan Tionghoa yang tak merasa diri asing.
Seran, anak nelayan yang tak takut pada ganas
nya gelombang. Bakri, anak pedagang keturunan
Jawa-Bugis yang tidak menjadikan agama seba
gai tembok pemisah untuk membangun keber
samaan. Paulus, seorang guru yang sangat me
mahami bahwa pendidikan bukan hanya di balik
dinding sekolah. Uku Mery, gadis Malaka yang
berjuang hidup dari kekayaan Malaka dengan
membangun usaha keripik pisang dan ubi. Dan
Bete Rany, gadis berpendidikan tingkat SMA
yang mandiri dengan mengembangkan usaha
menjahit.
“Akeu sudah beberapa bulan meninggalkan
Malaka. Ia membantu bisnis keluarga ayahnya
di Timor Leste. Sejak pulang ke Makasar karena
kematian seorang kakaknya di sana, Bakri meni
kah dan menetap di sana dengan mengembang
kan usaha kakaknya itu. Paulus mendapat ke
sempatan melanjutkan kuliahnya di Jawa. Pihak
yayasan menanggung biaya kuliahnya untuk
menambah tenaga pengajar pada sekolah tinggi
keguruan di Malaka. Bete Rany juga sudah tidak
di Malaka. Ia menikah dengan sahabatnya di
bangku SMA dulu. Setelah menikah ia mengikuti
sang suami, hidup di Labuan Bajo, Manggarai
Barat dan bersama sang suami mengembangkan
22 Robert Fahik
bisnis pariwisata di kabupaten yang terkenal
dengan Komodo-nya itu.
“Kini aku tinggal punya tiga sahabat; uku
Mery, Nahak, dan Seran. Memang sudah cukup
lama kami tidak menjalankan Sekolah Kehidupan
Likurai. Musibah yang menderaku-lah yang me
maksaku untuk diam. Aku mengalami lumpuh
ringan di kedua kakiku usai jatuh di punggung
sebuah bukit yang nyaris gundul dan harus me
makai kursi roda untuk beberapa saat. Baru be
berapa bulan bulan terakhir aku melepas kursi
roda itu, berkat doa dan terapi seorang pastor
yang pernah berkarya di Malaka.
“Tapi aku bersyukur bahwa kami pernah
melakukan itu; Sekolah Kehidupan Likurai. Ber
temu orang-orang kecil di perkampungan. Ber
dialog dengan mereka. Mengajarkan anak-anak
menulis, membaca, berbicara, dan mendengar
kan. Mengajak mereka untuk mengenal dan men
cintai kekayaan budaya; dongeng, tarian daerah,
lagu daerah, ritual-ritual adat. Semuanya kami
buat untuk generasi Malaka yang utuh dan
tangguh. Aku punya keyakinan yang kuat, Se
kolah Kehidupan Likurai masih tetap hidup di
tengah mereka. Ketika kesadaran dan semangat
belajar itu lahir dan terjaga, saat itulah Sekolah
Kehidupan Likurai masih tetap hidup.”
Mey memejamkan matanya. Lalu ketika mem
buka mata, ia segera bicara, “Ternyata kau tetap
Mey 23
menjadi dirimu. Waktu dan pengalaman hidup
tak mampu membuatmu berubah menjadi pri
badi yang lain. Semangat dan kerja keras masih
tetap ada padamu. Kau selalu mewujudkan
mimpi-mimpimu. Jujur, aku pun tidak berubah.
Aku masih mengagumimu. Tapi aku tak tahu,
apakah semua ini sudah ditakdirkan oleh waktu
atau hanya sebuah kebetulan? Maksudku, saat
pertemuan ini.”
Hari sudah mulai malam. Tapi Mey masih
terus bicara, “Semenjak kepulanganmu ke Ma
laka, aku mencoba tumbuh sebagai gadis mandiri.
Aku tak bisa bermanja lagi seperti dulu. Diskusi-
diskusi kita tentang peradaban Malaka, puisi-
puisimu tentang Malaka yang masih kusimpan
rapi, semuanya mengantarkan aku pada sebuah
semangat yang membara. Aku melanjut kan
kuliah Magister dalam bidang Kajian Budaya.
Aku mencari berbagai referensi tentang Malaka.
Aku membulatkan tekadku, kalau pun kita tidak
bertemu lagi, setidaknya aku memenuhi janji
ku untuk membantumu dalam menelusuri jejak-
jejak Malaka. Aku selalu ingat kata-katamu itu,
‘Banyak orang dari daerah ini bekerja di Malaysia.
Di Malaysia ada Malaka, di Timor ada Malaka.
Apakah kesamaan nama ini hanya kebetulan atau
memang mengisyaratkan sebuah hubungan per
adaban besar?’ Aku sungguh mengingat semua
itu.
24 Robert Fahik
“Namun setelah lulus Magister, aku tidak
sepenuhnya mendalami ilmu itu. Sempat men
jadi dosen beberapa waktu, namun belakangan
ini aku menyibukkan diri dalam urusan pengem
bangan daerah-daerah otonomi baru dan daerah
terpencil. Aku bertemu dengan beberapa teman
lama dan mulai bergabung dalam LSM Interna
sional ini. Salah satu fokus kajian LSM ini adalah
memantau dan mendata berbagai potensi yang
dimiliki suatu daerah.
“Hasilnya akan segera kami rekomendasi
kan kepada para investor di berbagai perusaha
an yang menjadi mitra kami. Para investor inilah
yang akan membuat terobosan pengembangan
dalam berbagai bidang sesuai hasil survei dan re
komendasi kami. Sejauh ini, memang ada bebe
rapa bidang yang kami rekomendasikan dan
selalu mendapat respon positif yakni pertanian,
peternakan, dan perikanan. Beberapa hari ini
kami mengadakan survei awal. Hasilnya akan
kami bahas ketika pulang ke Jawa. Lalu kami
akan datang lagi untuk memperdalam survei ini
sebelum memberi rekomendasi untuk ditindak
lanjuti oleh para investor.
“Ketika mengetahui bahwa Kabupaten Ma
laka di Timor, NTT, menjadi salah satu prioritas
survei tahun ini, aku memutuskan untuk ikut ke
sini. Aku tidak mengira kita akan kembali ber
temu di sini. Aku hanya merasa tertarik untuk
Mey 25
melihat Malaka secara langsung. Apa yang kau
ceritakan dalam puisi-puisimu ingin aku nikmati.
Tanah yang subur dengan hutan-hutan yang
masih perawan. Hamparan sawah yang luas.
Orang-orang yang ramah. Pantai-pantai dengan
ombak laut selatan yang menantang. Dan satu
lagi, sungai Benenai dengan airnya yang selalu
mengalir.”
Suasana hotel kian sepi. Suara kendaraan
yang lalu-lalang di jalan raya pun mulai tak ter
dengar. Tapi Mey belum mengijinkanku untuk
pulang. Walau kemarin melakukan perjalanan
jauh dari Kupang, namun tak sedikit pun kulihat
lelah di wajahnya. Aku pun tidak rela mening
galkan Mey sebelum ia mengijinkanku pulang.
Aku mencoba membiarkan waktu yang menen
tukan semuanya.
“Berarti kamu belum menikah,” kata Mey
sambil mengangkat alis matanya, membuka pem
bicaraan yang sempat terhenti beberapa saat.
“Kamu sudah menikah?” aku balik bertanya.
“Aku juga belum menikah. Sejak kepulangan
mu ke Malaka, aku seperti tak menemukan arah
cintaku. Aku sempat menjalin hubungan dengan
beberapa pria, namun semuanya selalu kandas.
Mungkin karena aku yang terlalu manja atau be
gitu keras kepala, hingga tak kutemukan seorang
pria yang begitu memahamiku sepertimu dulu.
26 Robert Fahik
“Rencananya bulan depan aku akan bertu
nangan dengan seorang pengusaha dari Malaysia.
Itu pun atas permintaan ayah agar aku segera
punya pendamping dalam memperkuat usaha
keluarga. Lelaki itu anak dari seorang sahabat
ayah. Ayah yang menganjurkan itu, karena bagi
nya pernikahan kami bisa menjadi tali yang kem
bali mempererat hubungan kami dengan ke
luarga ibu. Tapi ayah memberi kebebasan bagiku
untuk menentukan pilihan. Memang kami sudah
menjalin komunikasi hampir setahun. Namun
jujur, sampai kini aku belum begitu yakin kalau
aku telah benar-benar mencintainya. Entah meng
apa. Aku hanya mencoba untuk tidak mengece
wakan ayah.”
Sambil memegang tanganku, Mey bicara
lagi, “Sejak melihatmu kembali hari ini dan men
dengar kisahmu, aku berpikir apakah dengan si
tuasi ini aku bisa memulai lagi kisah lama itu?
Maksudku, kekaguman dan cintaku padamu
sekian tahun itu boleh tumbuh lagi. Kau belum
menikah. Aku juga belum menikah. Apa lagi
yang bisa menghentikan kita? Kekasihmu me
ninggal., tetapi ada orang lain yang masih be
gitu mencintaimu. Maaf, aku tidak bermaksud
melukai perasaan wanita yang kau cintai. Tapi
kita bisa memulai hidup yang baru. Ayah sudah
cukup tua. Aku bisa berhenti dari LSM ini dan
kita akan membesarkan usaha percetakan ayah.
Mey 27
Kita bisa tinggal di Jogja, menemani ayah di usia
senjanya. Kita bisa bersama menelusuri jejak-jejak
peradaban Malaka. Bagaimana?”
“Tidak perlu ada yang berubah, Mey. Sudah
sejak dulu, kau kuanggap sebagai adikku. Kau
juga akan segera bertunangan. Jangan kau sakiti
hati lelaki yang mencintaimu. Setelah kegiatan di
sini, pulanglah ke Jogja. Jalani pertunangan itu
dengan hati yang damai. Biarkan aku hidup di
sini dengan kedamaian yang sudah kugenggam.
Aku tak bisa pergi dari Malaka, Mey.”
“Bagaimana kalau suatu saat aku memilih
untuk tinggal di sini?” tanya Mey.
“Kita sudah kembali bertemu. Itu sudah
cukup bagiku. Kita adalah saudara, dan akan
tetap menjadi saudara. Aku tidak mau membe
banimu dengan keberadaanku. Tanggung jawab
ku masih terlalu besar untuk tanah ini. Aku tak
ingin melihatmu ikut menanggungnya. Kau masih
punya masa depan yang lebih luas.”
Mey menitikkan air mata di depanku. Me
maksaku untuk berpikir jauh. Aku sungguh
berada dalam situasi yang cukup rumit. Kehening
an malam itu tak mampu membuat jalan pikiran
ku teduh. Dadaku kembali berdebar. Jantungku
kembali berdetak kencang.
“Maaf, kalau aku sudah begitu jauh me
langkah,” kata Mey usai menghapus air matanya,
dan tersenyum kecil.
28 Robert Fahik
Aku hanya diam. Beberapa saat Mey menge
luarkan sejumlah lembar kertas dari tasnya. Bukan
kertas kosong. Nampaknya berisi tulisan.
“Lupakan semua yang pernah kuucapkan.
Ini ada beberapa tulisan kecil. Aku sengaja mem
bawanya ke Malaka. Semoga ini bisa menjadi
awal yang baik untuk penelusuran kita yang
lebih dalam tentang peradaban Malaka,” Mey me
nyerahkan beberapa lembar kertas kepadaku.
“Besok kami akan meninjau daerah perba
tasan Indonesia-Timor Leste dan beberapa area
pengembangan pertanian dan peternakan. Hari
berikutnya kami juga akan mengunjungi sejumlah
daerah pantai untuk melihat potensi pariwisata
dan perikanan di Malaka. Kalau tidak keberat
an, kau bisa ikut bersamaku ke lokasi-lokasi itu,”
lanjut Mey sebelum aku meninggalkannya malam
itu ditemani gejolak rasa yang tak mampu ku
tebak arahnya.
Mey 29
3
MALAKA
30
baran itu. Sebuah tulisan yang cukup panjang
tentang “Malaka”. Beginiah Mey menulis:1
Membaca atau mendengar kata “Malaka” (sering
juga disebut Melaka), tentu pikiran sebagian besar
orang akan tertuju pada Selat Malaka di pulau
Sumatera. Namun kata “Malaka” ternyata bukan
hanya sebatas pada nama sebuah selat melainkan
juga nama buah, nama tokoh, nama kota, nama ke
rajaan, nama desa/kelurahan, dan nama kabupaten.
Tentang nama buah, Malaka adalah nama se
jenis pohon (dan buahnya). Dalam bahasa Jawa
disebut mlåkå atau kemlåkå. Kemungkinan nama
ini berasal dari bahasa Sanskerta amalaka, yang
kemudian diadopsi oleh berbagai bahasa lain, proto-
bahasa bahasa Melayu yang kemudiaan bahasa
Malaysia dan bahasa Indonesia. Nama-nama lainnya
di antaranya melaka, amla, amlaki, ammalaki, amala,
nillika, nellikya, nellikai dan aneka lainnya di pel
bagai bahasa di seputar anak benua India. Dalam
bahasa Inggris disebut sebagai Indian gooseberry.
Para pakar di Malaysia menduga bahwa nama
pohon inilah yang menjadi asal-usul nama Kota
Melaka, yang belakangan lalu diambil menjadi
nama selat, Selat Malaka. Aneka bagian tumbuhan,
termasuk pepagan, akar, daun, bunga, buah, dan
biji digunakan dalam pengobatan tradisional. Ter
utama di India, buah Malaka merupakan salah satu
unsur penting dalam pengobatan Ayurveda. Buah
ini mengandung banyak vitamin C. Ekstrak buah
Malaka digunakan sebagai bahan pewarna tradisio
nal. Pohon Malaka termasuk salah satu pohon yang
1
Tulisan ini diolah berdasarkan data yang diperoleh pe
nulis dari http://id.wikipedia.org.
Martir 31
disucikan menurut agama Hindu. Berasal dari India
dan Nepal, pada masa lalu pohon Malaka banyak
ditanam di Jawa, dan kini sebagian meliar di hutan-
hutan dataran rendah yang kering. Pohon ini tahan
terhadap kebakaran.
Berkaitan dengan nama tokoh, tentu sosok Tan
Malaka tidaklah asing. Tan Malaka atau Ibrahim
Datuk Tan Malaka (lahir di Nagari Pandam Gadang,
Suliki, Sumatera Barat, 2 Juni 1897 – meninggal
di Desa Selopanggung, Kediri, Jawa Timur, 21
Februari 1949 pada umur 51 tahun) adalah Bapak
Republik Indonesia, seorang aktivis pejuang kemer
dekaan Indonesia, seorang pemimpin sosialis, dan
politisi yang mendirikan Partai Murba. Pejuang
yang militan, radikal, dan revolusioner ini banyak
me lahirkan pemikiran-pemikiran yang berbobot
dan berperan besar dalam sejarah perjuangan ke
mer
dekaan Indonesia. Dengan perjuangan yang
gigih maka ia dikenal sebagai tokoh revolusioner
yang legendaris. Dia kukuh mengkritik terhadap pe
merintah kolonial Hindia-Belanda maupun peme
rintahan republik di bawah Soekarno pasca-revolusi
kemerdekaan Indonesia. Walaupun berpandangan
sosialis, ia juga sering terlibat konflik dengan Partai
Komunis Indonesia (PKI). Tan Malaka menghabiskan
sebagian besar hidupnya dalam pembuangan di luar
Indonesia, dan secara tak henti-hentinya terancam
dengan penahanan oleh penguasa Belanda dan se
kutu-sekutu mereka. Walaupun secara jelas dising
kirkan, Tan Malaka dapat memainkan peran intelek
tual penting dalam membangun jaringan gerakan
sosialis internasional untuk gerakan anti pen ja
jahan di Asia Tenggara. Ia dinyatakan sebagai pah
lawan nasional melalui Ketetapan Presiden RI No.
32 Robert Fahik
53 tanggal 23 Maret 1963.
Selain menjadi nama buah dan juga berikaitan
dengan nama tokoh, kata Malaka sepertinya lebih
familiar bila dihubungkan dengan letak wilayah geo
grafis tertentu, seperti Selat Malaka, kota Melaka,
Kesultanan Malaka, dan beberapa desa/ke lurahan
dengan nama Malaka yang tersebar di bebe rapa
pulau besar di Indonesia.
Selat Malaka adalah sebuah selat yang terle
tak di antara Semenanjung Malaysia (Thailand,
Malaysia, Singapura) dan Pulau Sumatra (Indo
nesia). Dari segi ekonomi dan strategis, Selat
Malaka merupakan salah satu jalur pelayaran ter
penting di dunia, sama pentingnya seperti Terusan
Suez atau Terusan Panama. Selat Malaka mem
bentuk jalur pelayaran terusan antara Samudra
Hindia dan Samudra Pasifik serta menghubungkan
tiga dari negara-negara dengan jumlah penduduk
ter
besar di dunia: India, Indonesia dan Republik
Rakyat Cina. Sebanyak 50.000 kapal melintasi Selat
Malaka setiap tahunnya, mengangkut antara seper
lima dan seperempat perdagangan laut dunia. Se
banyak setengah dari minyak yang diangkut oleh
kapal tanker melintasi selat ini; pada 2003, jumlah
itu diperkirakan mencapai 11 juta barel minyak per
hari, suatu jumlah yang dipastikan akan mening
kat mengingat besarnya permintaan dari Tiongkok.
Oleh karena lebar Selat Malaka hanya 1,5 mil laut
pada titik tersempit, yaitu Selat Phillips dekat
Singapura, ia merupakan salah satu dari kemacetan
lalu lintas terpenting di dunia.
Kota Melaka (bahasa Melayu: Bandar Melaka)
adalah ibu kota negara bagian Melaka di Malaysia.
Melaka yang berupa hasil reklamasi dapat dicapai
Martir 33
dengan kendaraan bermotor dari kota ini. Jarak Kota
Melaka dengan daerah Muar ialah 40 km. Kota ini
dahulu merupakan ibu kota Kesultanan Malaka dan
pusat peradaban Melayu pada abad ke-15 dan 16.
Bangsa Portugis menaklukkan Melaka pada tahun
1511. Antara tahun 1641-1795, Melaka dikuasai
Belanda. Kemudian Melaka dikuasai Britania Raya
pada tahun 1820-an sampai kemerdekaan Malaysia
pada tahun 1957. Britania Raya menyerahkan Ben
coolen kepada Belanda dan sebagai gantinya me
reka mendapatkan Melaka. Negeri Melaka atau
juga dikenal sebagai Melaka Bandaraya Bersejarah,
1989, merupakan salah satu negeri (provinsi) di
Malay sia. Pada tahun 2008 Melaka dan George
Town, dinobatkan oleh UNESCO sebagai Kota
Warisan Dunia (World Heritage). Negeri Melaka
dinyatakan sebagai ‘Melaka Maju’ pada 20.10.2010
pada jam 20:10 di Stadion Hang Jebat yang disem
purnakan oleh Perdana Menteri Malaysia langsung
dari Putra World Trade Centre (PWTC), Kuala
Lumpur. Melaka juga dinyatakan sebagai Negeri
Bandar (Kota) Teknologi Hijau. Walaupun merupa
kan negeri pertama mendirikan kesultanan Melayu,
Melaka kini tidak mempunyai seorang sultan, se
baliknya negeri ini diketuai oleh seorang Tuan Yang
Terutama (TYT) Negeri.
Kesultanan Malaka adalah sebuah Kerajaan
Melayu yang pernah berdiri di Malaka, Malaysia.
Kerajaan ini didirikan oleh Parameswara, kemudian
mencapai puncak kejayaan di abad ke 15 dengan
menguasai jalur pelayaran Selat Malaka, sebelum
ditaklukan oleh Portugal tahun 1511. Kejatuhan
Malaka ini menjadi pintu masuknya kolonialisasi
Eropa di kawasan Nusantara. Kerajaan ini tidak
34 Robert Fahik
meninggalkan bukti arkeologis yang cukup untuk
dapat digunakan sebagai bahan kajian sejarah,
namun keberadaan kerajaan ini dapat diketahui
melalui Sulalatus Salatin dan kronik Cina masa
Dinasti Ming. Dari perbandingan dua sumber
ini masih menimbulkan kerumitan akan sejarah
awal Malaka terutama hubungannya dengan per
kembangan agama Islam di Malaka serta rentang
waktu dari pemerintahan masing-masing raja
Malaka. Pada awalnya Islam belum menjadi agama
bagi masyarakat Malaka, namun perkembangan be
rikutnya Islam telah menjadi bagian dari kerajaan
ini yang ditunjukkan oleh gelar sultan yang disan
dang oleh penguasa Malaka berikutnya. Berdasar
kan Sulalatus Salatin kerajaan ini merupakan
kelanjutan dari Kerajaan Melayu di Singapura,
kemudian serangan Jawa dan Siam menyebabkan
pusat pemerintahan berpindah ke Malaka. Kronik
Dinasti Ming mencatat Parameswara sebagai pen
diri Malaka mengunjungi Kaisar Yongle di Nanjing
pada tahun 1405 dan meminta pengakuan atas
wilayah kedaulatannya. Sebagai balasan upeti yang
diberikan, Kaisar Cina menyetujui untuk memberi
kan perlindungan pada Malaka, kemudian tercatat
ada sampai 29 kali utusan Malaka mengunjungi
Kaisar Cina. Pengaruh yang besar dari relasi ini
adalah Malaka dapat terhindar dari kemungkinan
adanya serangan Siam dari utara, terutama setelah
Kaisar Cina mengabarkan pe nguasa Ayutthaya
akan hubungannya dengan Malaka. Keberhasilan
dalam hubungan diplomasi dengan Tiongkok mem
beri manfaat akan kestabilan peme rintahan baru
di Malaka, kemudian Malaka berkembang menjadi
pusat perdagangan di Asia Tenggara, dan juga
Martir 35
menjadi salah satu pangkalan armada Ming.
Sejenak tinggalkan cerita tentang “keakraban”
nama “Malaka” dengan negeri Jiran, “Malaka” juga
ternyata menjadi nama beberapa tempat di Indo
nesia. Malaka merupakan salah satu gampong yang
ada di Kecamatan Kluet Tengah, Kabupaten Aceh
Selatan, Provinsi Aceh. Situraja adalah sebuah
kecamatan di Kabupaten Sumedang, Provinsi Jawa
Barat, Indonesia dengan salah satu Desanya bernama
Desa Malaka. Di Provinsi Nusa Tenggara Barat
(NTB) juga terdapat Desa Malaka. Malaka adalah
salah satu desa di Kecamatan Tondong Tallasa,
Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan, Sulawesi
Selatan. Bahkan di ibu kota Negara, Jakarta juga
terdapat dua kelurahan yang menggunakan nama
Malaka yakni Kelurahan Malaka Jaya, Kecamatan
Duren Sawit, Jakarta Timur (Terdapat Kampung
Malaka di kelurahan ini), dan Kelurahan Malaka
Sari yang juga terletak di kecamatan Duren Sawit,
Jakarta Timur. Sewaktu kecamatan Duren Sawit
dibentuk pada tahun 1995 Kelurahan Malaka Jaya
dan Kelurahan Malaka Sari belum terbentuk, yang
ada hanya Kelurahan Malaka. Pada tahun 1997,
kelurahan Malaka dimekarkan menjadi Kelurahan
Malaka Jaya dan Kelurahan Malaka Sari.
Dan yang terbaru adalah pembentukan Daerah
Otonom Baru, Kabupaten Malaka di Provinsi
Nusa Tenggara Timur (NTT), yang terpisah dari
Kabupaten Belu sebagai kabupaten induk. Kabu
paten Malaka merupakan hasil pemekaran dari
Kabupaten Belu yang disahkan dalam sidang pari
purna DPR RI pada 14 Desember 2012 di gedung
DPR RI tentang Rancangan UU Daerah Otonomi
Baru (DOB). Kemudian di Jakarta pada Senin 22
36 Robert Fahik
April 2013 kabupaten Malaka yang sebelumnya
sudah disahkan, diresmikan oleh Menteri Dalam
Negeri RI, Gamawan Fauzi. Pada kesempatan yang
sama, Gamawan Fauzi juga melantik Herman Nai
Ulu (Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat dan
Pemerintahan Desa Provinsi NTT) sebagai Pen
jabat Bupati Malaka.
Ternyata “Malaka” adalah kata dan nama yang
sangat kaya. Malaka melekat pada nama pohon,
nama buah, nama tokoh, nama kerajaan, nama kota,
nama desa/kelurahan, dan nama kabupaten. Dan jika
direnungkan secara mendalam, tentunya “Malaka”
akan lebih kaya dari sekadar sebuah kata yang me
lekat pada nama pohon, buah, tokoh, dan letak geo
grafis tertentu.
***
Martir 37
hampir memelukku dalam kesendirian.
“Terima kasih Mey. Tulisan ini membuka
jalan untuk sebuah pekerjaan yang lebih besar,
mencari jejak-jejak peradaban Malaka. Tapi per
temuan ini seperti sebuah beban yang diletakkan
di pundakku. Ini seperti dulu ketika aku mening
galkan tanah Jawa. Aku tahu, ada yang belum
sempat terungkap secara tuntas waktu itu. Entah
ini mau dinamakan apa? Sungguh, aku seakan
sangat lemah sekarang. Tolong kuatkan aku.
Jangan membuatku semakin lemah,” aku berbisik
pada diriku sendiri ketika hendak meninggalkan
Benenai.
Namun belum sempat aku beranjak, sebuah
mobil menghampiriku. Tanpa ragu, Mey turun
dari mobil itu dan menemuiku.
“Aku sudah bertemu uku Mery, Nahak, dan
Seran. Mereka yang memberitahuku bahwa Be
nenai adalah sahabat setiamu untuk berdiam diri.
Kau selalu meluangkan waktumu untuk datang
ke sungai ini. Tidak salah, aku mendapatimu di
sini,” kata Mey.
“Benenai selalu memberiku kekuatan, ha
rapan, dan kedamaian,” aku menatap Mey yang
masih tampak segar walau sejak pagi tadi sibuk
dengan kegiatannya.
“Maaf, hari ini aku belum sempat ikut ber
samamu. Beberapa hari ke depan aku pasti bisa
menemanimu,” lanjutku, “Tapi terima kasih atas
38 Robert Fahik
tulisan yang sudah kau buat ini. Aku sudah mem
bacanya dan sangat mengapresiasi usahamu.”
“Itu hanya sebuah tulisan sederhana.”
“Tapi akan membuka wawasan banyak orang
bahwa ternyata nama Malaka tidak hanya identik
dengan Selat Malaka atau Kesultanan Malaka.
Nama Malaka ada juga di berbagai daerah. Ini
tentu menarik untuk ditelaah lebih dalam. Kalau
pun memang kesamaan nama itu hanya sebuah
kebetulan, tidak apa-apa. Tapi aku punya keya
kinan, kesamaan nama itu bukan sebuah kebe
tulan. Pasti ada sejarah panjang di balik semua
itu.”
“Kalau terkait nama Malaka untuk daerah
ini bagaimana?”
“Dilihat dari segi makna kata, seperti yang
pernah aku ungkapkan dalam pertemuan ke
marin. Tapi dari segi sejarah nenek moyang
penduduk di daerah ini, sejumlah penutur adat
menga takan bahwa nenek moyang orang di
daerah ini berasal dari semenanjung Malaka, se
hingga mereka mengenal sebutan dalam Bahasa
tetun; Sina Mutin Malaka. Artinya, orang cina ber
kulit putih dari Malaka. Memang sejauh ini ada
banyak pendapat tentang asal usul nenek moyang
orang di sini. Karena itu aku punya mimpi suatu
hari nanti bisa membuat kajian yang lebih dalam
tentang sejarah tanah ini. Mimpi yang lebih besar
dari itu Mey pasti sudah tahu.”
Martir 39
“Ya, kau akan membuat kajian tentang Ma
laka dalam konteks yang lebih luas,” kata Mey.
“Oh, bukan kau, tapi kita,” lanjut Mey sambil
melempar senyumnya.
Aku hanya menganggukkan kepala sambil
merasakan debaran jantung yang segera berdetak
begitu cepat. Ini bukan karena mimpi besar untuk
membuat kajian tentang Malaka. Ini lebih karena
kata “kita” yang diucapkan Mey.
“Kita.”
Hanya itu yang kuucapkan sebelum akhir
nya senja menuntun kami untuk meninggalkan
Benenai. Tiba di hotel, Mey masih sempat meng
ajakku makan malam dan tentunya berbicara
panjang lebar tentang semuanya yang mungkin
belum terungkap.
“Malaka punya potensi yang sangat besar.
Sepintas terlihat, tanah di sini sangat subur seperti
di Jawa. Pengairan yang sudah mulai ditata se
cara baik juga tentu menjadi faktor pendukung.
Tinggal bagaimana potensi ini dimaksimalkan se
cara bijak. Ke depan sudah pasti kami akan men
dukung masyarakat Malaka khususnya dalam
bidang pertanian. Beberapa hasil pertanian dari
sini bisa dipasarkan secara luas. Padi dan jagung
adalah dua dari sekian banyak potensi pertanian
yang bisa dikembangkan di daerah ini. Beberapa
tokoh masyarakat yang kami temui juga meng
ungkapkan bahwa daerah ini punya potensi per
40 Robert Fahik
tanian lainnya yakni ubi dan kacang hijau. Oya,
aku juga melihat pisang tumbuh subur di mana-
mana. Juga pohon kelapa yang berjejer walau tak
sebanyak yang kau ceritakan dalam pusi-puisimu.
Aku pikir, semua potensi ini bisa dikembangkan
secara optimal untuk kesejahteraan masyarakat,”
Mey membuka perbincangan kami malam itu.
“Selain itu Mey, Malaka juga cocok untuk
tanaman coklat (kakao). Sudah sejak puluhan
tahun lalu ada pengusaha yang membuat kebun
coklat di area yang luas. Banyak anak Malaka
yang direkrut jadi pekerja. Biasanya hasil panen
dikirim ke Jawa. Sebenarnya dalam bidang per
tanian, Malaka juga punya potensi pengembang
an sagu. Namun kini tidak banyak lagi pohon
sagu yang bisa ditemukan. Ada makanan lokal
yang dikenal dengan ’akabilan’, yang bahan da
sarnya adalah sagu. Malaka juga kaya akan sirih
dan pinang. Selain bermanfaat untuk para orang
tua yang biasanya makan sirih atau digunakan
dalam ritual adat, mungkin sirih dan pinang bisa
diteliti untuk diolah menjadi obat-obatan untuk
penyakit tertentu. Apa lagi yang kau temukan
Mey?”
“Malaka juga memiliki potensi sebagai da
erah perbatasan. Memang belum banyak yang
dilakukan dalam konteks yang satu ini. Peme
rintah dalam hal ini melalui badan pengelola
perbatasan dan dinas terkait perlu mulai memi
Martir 41
kirkan bagaimana potensi daerah perbatasan ini
dioptimalkan untuk kesejahteraan ma sya
rakat.
Banyak hal yang bisa dilakukan, termasuk pe
ngem bangan pariwisata. Di bidang ekonomi,
mungkin pasar perbatasan bisa menjadi salah
satu alternatif peningkatan ekonomi rakyat. Di
bidang pendidikan, peningkatan kualitas lem
baga pendidikan di Malaka mungkin bisa me
narik pelajar atau mahasiswa dari negara te
tangga. Mungkin ini terlalu berlebihan, tapi itu
lah yang aku pikirkan. Jujur, semua ini masih be
rupa pikiran liar. Perlu dikonsepkan secara baik.
Tapi memang daerah ini punya potensi yang luar
biasa dan harus dioptimalkan.”
“Ada lagi hal lainnya?”
“Malaka juga punya potensi pengembangan
peternakan. Kami mendengar cerita dari masya
rakat bahwa dahulu daerah ini kaya akan sapi,
kerbau, dan kuda. Namun kini populasinya
makin menipis. Kalau dahulu ada banyak sapi
dan kuda, berarti daerah ini punya potensi untuk
peternakan. Tinggal bagaimana sekarang potensi
itu dikembangkan lagi.”
“Dalam bidang peternakan, Malaka juga kaya
akan babi. Bahkan di kampung-kampung, ada
kebiasaan babi dilepas begitu saja. Nah, kalau di
tata secara baik, Malaka bisa mengekspor daging
babi ke daerah lain. Kambing dan ayam juga bisa
dikembangkan di sini. Oya, waktu masih kecil
42 Robert Fahik
dulu aku pernah mengalami bagaimana itik Jawa
dikembangkan di Malaka. Aku melihat waktu itu
cocok. Itik Jawa selalu menghasilkan telur setiap
hari. Tapi sekarang itik Jawa sudah jarang di sini,”
kataku menyambung penjelasan Mey.
Aku melanjutkan, “Sebagai anak Malaka, aku
sangat mengapresiasi semuanya. Terlepas dari ke
pentingan bisnis atau kepentingan apa pun, tentu
kehadiranmu bersama teman-teman sangat kami
syukuri. Harapan kami, masyarakat bisa men
dapat perhatian yang tidak kurang.”
Aku hanya mengatakan itu sebelum Mey
melanjutkan berbagai gagasannya tentang potensi
Malaka. Aku sungguh menyimak semuanya. Ba
gaimana pun juga Mey adalah seorang sahabat
yang pernah aku kenal dan belajar bersama untuk
beberapa tahun. Seorang sahabat yang baik tentu
adalah orang yang menghargai sahabatnya, ter
masuk berbagai idenya yang membangun. Bahkan
sebenarnya tak butuh adanya ikatan persahabatan
atau pun persaudaraan dalam hal menghargai ide
yang membangun.
Aku masih terus mengikuti alur pikiran Mey
sambil tak henti-hentinya mengucap syukur atas
pertemuan ini. Beberapa saat lalu aku sempat di
dera kecemasan bahkan ketakutan, namun kali
ini aku merasa lebih damai. Sejak tadi Mey hanya
bicara soal potensi Malaka dan bagaimana pe
ngembangannya. Hal yang mencemaskanku; cinta,
Martir 43
belum kudengar lagi. Namun akhirnya hal yang
tak ingin kudengar itu terungkap juga dari bibir
Mey ketika aku hendak pulang malam itu.
“Aku masih berharap kau berubah pikiran,”
Mey bicara begitu pelan.
44 Robert Fahik
4
MARTIR
45
kami bangun, juga ungkapan cinta yang terasa
berkabut itu. Semuanya coba kusimpan di dasar
jiwaku sambil berharap keajaiban datang, ketika
aku menyadari bahwa aku belum pernah me
ngenal Mey sebelumnya dan bahwa Mey bukan
lah siapa-siapa dalam hidupku. Keajaiban yang
mungkin begitu mustahil diharapkan.
Hari itu, seperti hari-hari sebelumnya aku
menemani Mey dan para rekannya. Awalnya
kami mengunjungi pantai Motadikin. Hari masih
pagi ketika kami tiba di sana. Sebuah bangunan
Sekolah Dasar yang persis berdiri di bibir pantai
me narik perhatian Mey. Kami masih sempat
singgah di sekolah itu. Sekolah Dasar Inpres (SDI)
Motadikin namanya.
Sang kepala sekolah pun berkisah kepada
kami, “Sekolah ini berdiri pada tahun 2001. Ini
merupakan cita-cita masyarakat yang berada di
pesisir pantai Motadikin. Alasan utama adalah
anak-anak berusia sekolah sangat jauh menjang
kau pendidikan di kampung sebelah. Mereka
harus berjalan kaki empat kilo meter me lewati
hutan. Bahkan karena terlalu jauh, banyak anak
usia sekolah patah semangat untuk sekolah dan
memilih merantau di tanah orang. Maka masya
rakat berani mendirikan sekolah ini dengan dua
orang guru dan melaksanakan Kegiatan Belajar
Mengajar di pondok-pondok nelayan.”
Kami hanya tertegun mendengarnya. Debur
46 Robert Fahik
an ombak pantai Motadikin dan hembusan angin
pantai menjadi suara alam yang mengiringi kisah
sang kepala sekolah.
“Kini sudah lebih dari sepuluh tahun sekolah
ini berdiri,” lanjutnya, “Namun baru tiga ruang
kelas yang dibagi untuk enam kelas rombongan
belajar, dan satu perpustakaan yang dipakai juga
sebagai kantor guru. Bantuan pembangunan se
kolah ini ada sejak delapan tahun yang lalu.
Sampai hari ini suara guru dan pekikan anak-anak
usia sekolah di perbatasan negara ini belum ter
dengar untuk dilirik pemerintah atau lembaga
lainnya yang bisa membantu mereka agar bisa
duduk dan berdiri sama tinggi dalam menggapai
masa depan mereka lewat pendidikan. Banyak
suka dan duka yang telah kami lewati selama me
mimpin sekolah ini. Semangat anak-anak tinggi
namun masih ada kekurangan gedung, sarana
dan prasarana dan masih banyak lagi. Saya tetap
berikan motivasi bagi anak-anak bersama sepuluh
orang rekan guru yang mengabdi di sekolah.”
Seorang guru di sekolah itu juga masih sem
pat bicara sebelum kami meninggalkan gedung
sekolah, “Pendirian SDI Motadikin ini sangat
dirasakan manfaatnya oleh masyarakat sekitar
pantai. Kami tetap mengharapkan agar ada per
hatian dari pemerintah.”1
1
Ungkapan kepala sekolah dan seorang guru di atas diolah
dari wawancara John Seran Suri yang dimuat dalam Media
Pendidikan Cakrawala NTT edisi 18, Sepetember 2014.
Martir 47
Hari itu Motadikin sungguh memberi kesan
berbeda. Bentangan tambak ikan. Pohon cemara
yang berjejer di bibir pantai. Ombak pantai selatan
yang menantang. Hembusan angin pantai. Dan
tentunya hamparan pasir yang panjang seolah tak
berbatas. Ini semua yang diungkapkan Mey ke
tika kami meninggalkan pantai itu.
“Potensi pantai ini perlu dikembangkan se
cara serius. Banyak hal yang belum diperhatikan
secara baik. Pengelolaannya, dan terutama pe
meliharaan alamnya. Berkaitan dengan per
ikanan terutama ikan laut, memang tidak begitu
menjanjikan. Tapi ikan air tawar bisa dikembang
kan. Banyak tambak yang sudah ada, tinggal ba
gaimana lebih dimaksimalkan lagi, terkait pe
ngembangannya, pemeliharaan, sampai pada pe
masarannya,” kata Mey.
Selain pantai Motadikin, hari itu kami juga
mengunjungi beberapa daerah pantai lainnya
yakni pantai Taberek dan teluk Abudenok di
selatan Malaka. Seperti Motadikin, Taberek dan
Abudenok menyuguhkan alam yang indah dan
mengagumkan, namun belum mendapat per
hatian serius untuk dikembangkan sebagai objek
wisata pantai di daerah ini.
Di Taberek dan Abudenok kami tidak hanya
menikmati alam pesisir pantai tapi juga men
jumpai beberapa penduduk sekitar. Dari mulut
48 Robert Fahik
mereka-lah kami mendengar berbagai kisah
tentang tempat tersebut.
“Biasanya pada bulan Agustus hingga
Oktober, ada pemandangan yang sangat indah
di pantai ini yakni loncatan ikan terbang dalam
jumlah yang sangat banyak. Dulu ada seorang
penunggu pantai bernama Taek Berek. Hampir
setiap hari orang datang ke gubuknya untuk mem
beli ikan. Karenanya muncul kebiasaan orang
menyebut tempat ini dengan nama Taek Berek.
Dalam perkembangan selanjutnya, sebutan itu
mengalami perubahan menjadi Taberek,” jelas
seorang nelayan ketika kami berada di pantai
Taberek.
Di teluk Abudenok, salah seorang pendu
duk pantai juga berkisah kepada kami, “Di sini
kita bisa menikmati keindahan terbitnya mata
hari pagi, dan jika cuaca cerah kita bisa melihat
gunung dan bukit-bukit di Australia Utara. Me
nurut mitos penduduk di sini, teluk ini dihuni
oleh seorang putri yang sangat cantik yang meru
pakan ratu dari kerajaan laut Timor. Putri itu
bernama Abuk. Teluk ini kemudian dinamakan
Abudenok, berdasarkan nama sang ratu.”2
***
2
Cerita tentang nama Pantai Taberek dan Teluk Abudenok
di atas diolah dari buku The Way To Happiness Of Belu Peopole
yang ditulis oleh Florens Maxi Un Bria (Caritas Publishing
House, Jakarta, 2004)
Martir 49
HARI sudah sore ketika kami kembali ke hotel.
Teman-teman Mey terlihat cukup lelah. Namun
mereka terhibur dengan alam Malaka yang me
ngagumkan, kata mereka. Seperti biasa Mey akan
menahanku untuk berbicara, apalagi ini malam
terakhirnya di Malaka. Namun aku ingat, hari itu
adalah hari ulang Noy.
“Hari ini ulang tahun Noy. Aku mau ke
makamnya. Setelah itu aku pasti kembali ke sini.”
“Kalau tidak keberatan aku mau ikut ke sana.”
Aku dan Mey ke makam Noy. Tentu sebuah
pemandangan yang mengharukan. Seorang le
laki mengunjungi makam kekasihnya ditemani
seorang gadis yang menaruh hati padanya. Apa
kah lelaki ini cukup adil dengan tidak menerima
cinta sang gadis di sampingnya? Ataukah ia cukup
bijak tetap mempertahankan kesetiaannya pada
kekasihnya yang telah meninggal?
“Di sinilah Noy dibaringkan, di antara ke
dua orangtuanya.”
Seperti hari-hari sebelumnya, aku segera
meraih daun, buah, dan beberapa batang Badut
Malaka (bahasa Tetun untuk menyebut pohon
Jarak) dan meletakkannya di atas makam.
“Apakah ini bagian dari ritual adat di
Malaka?”
“Ini caraku tersendiri dalam memahami alam
dan menghargai budaya. Badut Malaka ini adalah
lambang terang, cahaya, dan semangat untuk me
50 Robert Fahik
lawan semua keangkuhan. Dulu nenek moyang
ku menggunakan Badut Malaka sebagai lampu
dan sebagai penangkal kekuatan jahat.”
Keheningan menyelimuti kami. Aku terdiam
sesaat dan berdoa dalam hati. Mey juga terdiam
dan mungkin berdoa dengan caranya. Lalu tanpa
kuduga Mey mengulangi puisi terindah itu,
“Biarlah Badut Malaka ini tetap tertancap di
dinding-dinding hati kita dan cahayanya me
menuhi ruang jiwa, menerangi aliran darah kita
dan membalut sendi-sendi tulang kita dengan
cahaya surga.”
Dalam keherananku, Mey melanjutkan, “Aku
mengetahuinya dari beberapa orang yang ku
jumpai. Rupanya puisimu-puisimu sudah men
jadi milik sebagian orang di tanah ini. Hal yang
tentunya menjadi harapan semua penyair, ketika
syair-syairnya mendapat tempat di hati masya
rakat dan gagasan-gagasan di dalamnya terus
menggema tak terbatas ruang dan waktu.”
Aku masih belum mampu bicara. Ada ke
ka
guman baru yang tertahan di dadaku. Aku
hampir merasa bahwa Noy telah hadir dalam diri
Mey. Kekaguman yang tertahan itu terus kubawa
hingga waktu menuntun kami kembali ke hotel.
***
Martir 51
gereja Kamanasa, tak sampai sepuluh kilo meter
dari hotel tempat May menginap di Betun, ibu
kota Kabupaten Malaka. Marsel mengunjungi se
orang pastor yang bertugas di sana, kenalannya
di Jawa ketika sang pastor menjalani tugas belajar.
Tiba di sana, sekelompok orang sudah ber
kumpul di depan gereja. Mereka menyalakan lilin
di pelataran gereja. Kemudian mereka menyala
kan lilin di dalam gereja dan terlihat mulai khusuk
berdoa. Hampir semuanya mengenakan pakaian
dan kain berwarna hitam, tanda bahwa mereka
sedang berduka atas kematian seseorang.
Lalu ketika kami melewati jalan setapak di
samping gereja sayup-sayup terdengar sekelom
pok orang itu mendaraskan sebuah doa secara
bersama-sama:
52 Robert Fahik
no Ita atu dakar ami
iha maufinu laran
ami keta halo sala
no ita atu sori ami hosi at, amen.
3
Kisah tentang dua tokoh ini diolah berdasarkan data yang
penulis peroleh dalam buku yang ditulis Hans Itta dan Daniel
Martir 53
“Nenek moyang orang-orang di perkam
pungan ini berasal dari Timor bagian Timur, yang
sekarang menjadi negara Timor Leste. Waktu
penjajahan Portugis sekitar tahun 1909, mereka
dicerai-beraikan. Tentara Portugis memberi opsi
bagi mereka apakah mau tunduk kepada Portugis
atau bergabung dengan Belanda. Nah, mereka
yang memilih bergabung dengan Belanda inilah
yang kemudian melakukan perjalanan ke Timor
bagian Barat hinggga akhirnya ke kampung
ini. Karena masih memiliki ikatan kekeluargaan
yang kuat maka pada tahun 1938 dua putra ter
baik dari kampung ini yakni Marcellus Sirimain
dan Wilhelmus Nahak dipinang oleh utusan dari
Timor bagian Timur untuk menjadi juru bicara
sekaligus raja muda di sana. Dan kehidupan ma
syarakat yang harimonis pun sangat mereka rasa
kan.”
Ketika orang banyak yang berkumpul itu
mulai meninggalkan gereja, sang pastor melan
jutkan, “Kedatangan tentara Jepang merubah se
galanya. Ketenteraman hidup masyarakat mulai
sirna. Dua raja muda ini menyaksikan sendiri
bagaimana gadis-gadis dipaksa untuk memuas
kan dahaga seksual tentara Jepang. Kedua raja
muda ini pun menyerukan kepada seluruh warga
54 Robert Fahik
untuk menolak menyerahkan anak gadisnya ke
pada tentara Jepang. Para pembesar Jepang pun
mendengar kabar ini dan mulai memberi ancam
an bagi kedua raja muda itu. Mereka pun melari
kan diri, kembali ke tanah kelahirannya, yakni
kampung ini. Namun tentara Jepang terus mem
buntuti mereka. Jepang mengirim utusannya ke
sini yang memerintahkan kedua raja muda untuk
segera menghadap pimpinan tertinggi di Timor
bagian Timur. Tuduhan yang di berikan yakni
kedua raja muda itu menentang keinginan Jepang
untuk mendirikan rumah bordir. Dan di sanalah,
tepatnya pada tanggal 23 September 1943 Marcellus
dan Willhelmus ditembak mati tentara Jepang di
hadapan ratusan masyarakat yang berkumpul.
Pada tahun 1947 pihak keluarga dari kampung
ini bertolak ke sana dan membawa pulang tulang
kedua raja muda ini. Di gereja inilah tulang itu
dikuburkan. Marcellus dan Wilhelmus adalah
martir, orang yang berani mati demi membela
ajaran Kristus. Mereka adalah pembela kebenaran
yang patut menjadi teladan bagi siapa saja yang
menamai dirinya pencinta sejati.”
Cerita sang pastor membuat kami hanya ter
tegun. Dalam perjalanan pulang ke hotel, kami
masih sempat membahasnya. Aku, Mey, dan
Marsel. Marsel begitu tertantang karena memiliki
nama yang sama dengan salah seorang raja itu.
Martir 55
Mey sangat mengagumi dua raja muda itu karena
keberaniannya dalam membela kaum wanita.
“Mungkin aku perlu belajar dari kedua raja
muda ini untuk lebih menghargai kaum wanita,”
kata Marsel agak serius.
“Ternyata Malaka pernah melahirkan dua
pahlawan sejati. Nama mereka memang tidak
tercatat dalam buku pahlawan nasional tapi aku
yakin, masyarakat Malaka sangat bangga pada
dua sosok ini,” Mey juga bicara.
“Kita semua bisa menjadi martir, pembela
kebenaran ketika dengan keutuhan kita memberi
sesuatu bagi orang lain. Ini adalah sisi lain dari
sebuah pengorbanan,” kataku.
***
56 Robert Fahik
“Setidaknya kita bisa belajar bersama lagi.
Memahami diri dan saling memahami.”
Mendengar itu aku seolah menjadi bisu. Ke
dua telapak tanganku kurekatkan di wajahku,
dan aku menunduk beberapa saat hingga Mey
bicara lagi, “Sudahlah. Kau tahu, dari dulu aku
sangat manja. Anggaplah ini sebagai perasaan
liar yang berjegolak dalam diriku dan sebagai ke
nangan untuk semua yang pernah kita lalui.”
“Besok kami akan kembali ke Jakarta,” lanjut
nya, “Tapi kau tahu, hatiku masih ingin di sini.
Aku tak mau memaksamu bicara karena cinta
tidak mengenal paksaan. Dari syair-syairmu yang
pernah kukenal, aku paham bahwa cinta adalah
kedamaian. Orang-orang yang mencintai perlu
memiliki kedamaian. Mungkin saat ini matahari
kedamaian itu belum terbit di antara kita. Kau
juga pernah mengatakan bahwa yang terutama
dalam cinta adalah pemberian diri tanpa syarat
apa pun. Dalam cinta sejati, seseorang tidak me
nuntut untuk mendapatkan apa-apa kecuali ke
bahagiaan karena bisa memberi. Mungkin aku
harus belajar untuk mencintaimu tanpa meng
harapkan apa pun, kecuali kebahagiaan karena
bisa membangun Malaka, seperti mimpi-mimpi
mu. Kau memang benar, cinta sejati adalah ketika
kita membiarkan orang yang kita cintai merasa
damai. Dan aku harus membiarkanmu merasa
damai. Bukan begitu, Manek?”
Martir 57
“Mey, jangan paksa aku untuk merasa ter
desak. Aku bisa melihat sosok Noy dalam dirimu,
tapi aku belum punya keberanian dan kekuatan
yang cukup untuk melakukan itu. Aku ini sangat
lemah, Mey.”
Terkadang kami diam untuk beberapa saat.
Nyanyian jangkrik malam itu menjadi satu-satu
nya instrumen alam yang menemani kami. Aku
bisa melihat kesungguhan di mata Mey yang me
negaskan bahwa memang hatinya masih ingin di
sini. Tapi tentu aku tak bisa menahannya lebih
lama. Atau memang aku tak perlu menahannya.
“Dalam beberapa waktu ke depan, kami pasti
kembali ke sini untuk kelanjutan proses studi
lapangan ini. Aku berharap saat itu aku mene
mukan keberanian dan kekuatan baru di dalam
dirimu. Maaf, karena aku telah dan akan selalu
mencintaimu,” tatapan Mey begitu kosong.
Mey menutup matanya untuk beberapa saat.
Lalu ketika membuka mata ia bicara lagi, “Kita
lupakan saja semuanya itu. Sekarang aku mau
meminta pendapatmu tentang kehadiran kami di
sini.”
Aku tahu, Mey sedang mengubah arah pem
bicaraan. Tapi aku mencoba memahaminya. Ba
gai
mana pun juga, aku menjadi sangat lemah
untuk sebuah keputusan saat ini.
“Aku sangat mendukung dan berterima kasih
atas perhatianmu untuk Malaka. Kalau memang
58 Robert Fahik
potensi di daerah ini memungkinkan, silakan
lakukan apa yang terbaik untuk usahamu dan
tentunya untuk kesejahteraan masyarakat di sini.
Tolong libatkan masyarakat kecil, jangan hanya
orang-orang besar. Daerah ini akan maju kalau
orang-orang kecil dan orang-orang besar ber
satu.”
“Sudah kupikirkan, Manek. Uku Mery, Nahak,
dan Seran akan menjadi bagian dari pekerjaan ini.
Uku Mery dan Nahak akan aku libatkan dalam
pengembangan pertanian dan peternakan. Aku
melihat daerah ini punya potensi pengembangan
padi, jagung, pisang, dan ubi. Juga ada potensi
pengembangan sapi. Lalu Nahak akan terlibat
dalam pengembangan perikanan dan pariwisata
pantai. Potensi ikan air tawar di sini cukup besar,
walau ikan lautnya belum begitu menjanjikan.
Mungkin karena memang ombak di pantai selatan
ini cukup besar. Oya, potensi seni dan budaya di
Malaka juga sangat besar. Aku lupa menceritakan
padamu, dalam kunjungan hari pertama kami ke
daerah perbatasan, kami disambut dengan tarian
Likurai dan sapaan adat oleh masyarakat. Itu se
buah pengalaman yang sangat berkesan. Ternyata
masyarakat Malaka masih sangat kuat me me
lihara kekayaan budayanya.”
Kami berpisah malam itu dalam sebuah pem
bicaraan yang belum usai. Aku meninggalkan
Mey dalam tatapannya yang kosong. Mungkin
Martir 59
ia juga melihat hal yang sama; tatapanku yang
kosong. Aku sempat berharap tidak akan bertemu
lagi Mey di kemudian hari. Namun segera ada
pula kerinduan untuk kembali bertemu. Entah
kapan? Entah mengapa? Kalimat terakhirnya
malam itu seakan menambah sederet pertanyaan
dalam benakku.
“Besok aku akan meninggalkan Malaka. Aku
selalu ingin kembali, menemukan keberanian dan
kekuatan baru dalam dirimu.”
60 Robert Fahik
5
NOY
61
orang-orang lain. Konkretnya tentang masyarakat,
daerahnya. Namun entah mengapa, kami meng
alami itu. Justru dalam dari Noy-lah aku menemu
kan kecintaan yang begitu besar untuk Malaka.
Mungkin karena alasan ini pula aku sulit melu
pakan Noy dan tidak ingin pergi dari Malaka.
Aku ingat suatu ketika Noy pernah meng
ungkapkan ini, “Kalau kau jadi orang sukses,
jangan lupa untuk membantu orang-orang kecil.
Berilah mereka kesempatan untuk menikmati
pendidikan yang layak. Aku sangat yakin, pen
didikan menjadi salah modal dasar untuk mem
bangun manusia dan membangun suatu bangsa.”
Noy sering mengulangi kalimat itu. Lama
setelah kematiannya baru aku menyadari bahwa
Noy cukup punya alasan untuk mengatakan itu.
Kami tumbuh bersama sejak masa kecil. Namun
belum sempat tamat SMP, Noy mengalami kece
lakaan motor bersama ayahnya. Benturan di ke
palanya membuat Mey jatuh sakit untuk bebe
rapa bulan bahkan hampir setahun lamanya. Be
berapa kali ia masuk sekolah, namun ia sering
merasakan sakit hebat di kepalanya. Situasi itu
lah yang membuat Noy putus sekolah.
Namun Noy adalah sosok wanita yang patut
dibanggakan. Semangat belajarnya tak pernah
pudar. Dari seorang pamannya yang kini men
jadi misonaris di Eropa, Noy mendapatkan buku-
buku berkualitas yang membuatnya tetap tumbuh
62 Robert Fahik
sebagai pribadi yang berwawasan luas.
Latar belakang inilah yang membuat kami
bermimpi untuk mendirikan “sekolah” yang ku
namakan Sekolah Kehidupan Likurai. Memang
konsep kami masih sangat sederhana bahkan jauh
dari kata sempurna. Namun bila mengenang Noy,
aku berpikir bahwa inilah salah satu dari beribu
serpihan ide yang bisa dikem bangkan untuk
tanah ini. Inilah satu dari sekian banyak buah yang
tumbuh dalam sebuah percintaan penuh misteri.
“Namun pendidikan pada akhirnya harus
berbuah. Pertama, dalam konteks pribadi. Orang
menjadi manusia yang punya keseimbangan
dalam intelektual dan perasaannya. Kedua, orang
bisa memberi sumbangan nyata bagi masyara
katnya bahkan bagi sebuah peradaban dengan
ilmu pengetahuan dan keterampilan yang ia per
oleh.”
Noy juga pernah mengungkapkan itu. Kini
bila mengingatnya, aku mulai berpikir bahwa
kehadiran Mey mungkin menjawabi mimpi itu.
Mey ingin memberikan sumbangan nyata bagi
tanah ini. Paling kurang dalam beberapa bidang
seperti pertanian, perikanan, peternakan, dan pa
riwisata yang sudah mulai digarapnya. Tentu
rekomendasinya untuk para investor akan mem
bawa angin segar bagi pengembangan kabu
paten baru ini, dan tentunya bagi kesejahteraan
masyarakat.
Noy 63
Ada satu hal lagi yang kuingat dari keber
samaanku dengan Noy. Ini terkait legenda sungai
Benenai. Suatu hari ketika aku menceritakan le
genda Benenai, Noy lantas punya sebuah pemi
kiran kecil.
Begini kata Noy, “Nama sungai ini bisa
juga kita hubungkan dengan kata bahasa tetun,
Bei ne’e Na’in; orang ini adalah raja. Bila dihu
bungkan dengan legenda bahwa Benenai adalah
jelmaan air mata seorang raja yang merindukan
kekasihnya, maka bisa dipahami bahwa nama Be
nenai juga bisa merujuk pada sang raja tersebut.”
Menyambung itu, Noy mengatakan bahwa
nama Benenai juga bisa berkaitan dengan kata
“Benat” yang berarti sembarang arah atau se
gala arah, tak beraturan, dan kata “Rai” yang ber
arti tanah. Jadi, Benat Rai dalam konteks sebuah
sungai berarti sungai tersebut mengalir dari segala
arah, tak beraturan. Dalam perkembangannya,
kata Benat Rai diucapkan sebagai Benenai. Dalam
kenyataan, memang Benenai merupakan sungai
besar yang menampung begitu banyak sungai
kecil yang mengalir dari berbagai penjuru di
Timor bagian barat, sebelum bermuara ke laut se
latan.
Itu pemikiran pertama Noy. Pemikiran ke
duanya bahwa nama Benenai berkaitan dengan
nama buaya yang dalam bahasa setempat dikenal
dengan sebutan “Bei Na’i” (sang raja).
64 Robert Fahik
“Nama sungai ini juga bisa berkaitan dengan
istilah orang Malaka untuk menyebut buaya yakni
Bei Na’i. Padahal kata ‘buaya’ dalam bahasa Tetun
yang digunakan sehari-hari adalah ‘Lafaek’. Tapi
orang-orang tua biasa menyebut buaya dengan
istilah Bei Na’i. Tentu ini merupakan bahasa yang
halus untuk menghormati buaya yang memang
biasanya hidup di sungai ini. Ini hanya pemikir
an kecilku,” kata Noy.
Pemikiran Noy ada benarnya. Aku pernah
membaca legenda tentang terbentuknya pulau
Timor. Menurut legenda itu, pulau Timor meru
pakan jelmaan seekor buaya. Lihatlah, bentuk
pulau Timor memang menyerupai seekor buaya
dengan kepalanya di Kupang, perutnya di Belu
dan Malaka, serta ekornya di Lospalos, Timor
Leste. Aku juga pernah mendengar cerita dari be
berapa orang tua bahwa ada kampung tertentu
di Malaka yang percaya bahwa keturunannya
berasal dari buaya. Karena itu mereka sangat
menghormati buaya dengan tidak pernah me
nyakitinya. Bahkan ada saat tertentu mereka
mengadakan ritual adat untuk menjalin hubung
an dengan buaya yang adalah nenek moyang
mereka. Pada saat ritual itulah buaya-buaya sering
menampakan diri.
Pemikiran ketiga Noy terkait legenda Be
nenai lahir dari kebiasaan baiknya; membaca.
Ia mengakui bahwa belum banyak buku atau
Noy 65
tulisan yang mengangkat tentang legenda sungai
Benenai. Namun ada sebuah buku yang me
nyentil soal Benenai. Tidak sama persis seperti
cerita yang kudengar dari seorang tua adat di
Malaka. Namun legenda dalam buku itu masih
menegaskan hubungan antara gunung Mutis dan
Malaka.
Ketika seluruh daratan Timor masih dige
nangi air, Mutis tampak sebagai tempat kehi
dupan manusia dengan seorang raja bernama
Nai Fai tSutai Kune atau Nai Laban. Lalu setelah
air mengering, muncul kehidupan di daratan
Timor. Suatu ketika Liurai, seorang raja di Ma
laka mengutus saudaranya (adik), Sonba’i, untuk
melakukan perjalanan ke luar Malaka. Lalu tiba
lah ia di Mutis dan menemukan bahwa ada kehi
dupan serta kebahagiaan. Ia lantas mengirim be
rita bahagia itu kepada sang kakak di Malaka
lewat sebuah potongan betung yang ditutup rapat.
Jalur yang dilalui potongan betung itu kemudian
memunculkan aliran air yang dan terbentuklah
sungai Benenai, yang oleh orang Mutis disebut
sungai Benain.1
“Dalam legenda ini nama Benenai atau pun
Benain, berkaitan dengan sang raja Mutis,” kata
Noy.
66 Robert Fahik
Pemikiran terakhir Noy tentang Benenai
membuat keningku mengerut ketika itu, bahkan
terus mengerut setiap kali aku mengingatnya.
Namun suatu ketika seorang sahabatku pernah
bercerita tentang legenda tiga raja di Timor. Ce
rita itu sedikit membuka pemahamanku akan
penjelasan Noy.
Pada zaman dahulu hidup tiga bersaudara
di Timor yakni Tei Liurai, Kaes Sonba’i, dan Tnai
Pah Banunaek. Tei Liurai adalah yang tertua di
antara ketiganya dan mendiami (menjadi raja)
wilayah Belu (dan Malaka) sebagai tempat per
tama mereka masuk ke pulau Timor. Dua saudara
nya mengembara dan menemukan daerah lainnya
serta berkuasa di sana. Kaes Sonba’i menjadi raja
Mollo (Oenam), daerah Mutis, Tnai Pah Banunaek
menjadi raja Amanatun (Onam).2
Aku lantas mencoba mengaitkan legenda
tiga raja Timor dengan cerita Noy tentang Sonba’i
yang mengirim berita kebahagiaan kepada kakak
nya, Liurai, di Malaka. Berita kebahagiaan yang
dimaksud mungkin berita bahwa Sonba’i menjadi
raja di Mollo. Maka nama sungai Benenai, bisa
juga dikaitkan dengan sosok Sonba’i yang adalah
seorang raja. Bei ne’e Nain; orang ini adalah raja.
Sungai yang mengalir membawa kabar kebaha
giaan sang raja.
2
Diolah dari: tunsufnoni.blogspot.com (2013)
Noy 67
Mengenang semua itu aku tak bisa me
nyangkal bahwa Noy telah melahirkan banyak
ide yang bisa kukembangkan ke depan walau
tanpa kehadirannya secara fisik. Kami sudah ber
bicara tentang begitu banyak hal. Kematianlah
yang memaksaku untuk kini harus berjalan sen
diri tanpa kehadiran seseorang yang selalu me
nguatkanku.
“Tapi apakah aku harus melupakan Noy
begitu saja? Apakah aku harus membayar per
hatian Mey untuk Malaka dengan cinta yang tak
utuh? Atau aku bisa memberikan cinta yang utuh?
Ingin rasanya aku pergi jauh untuk sesaat, me
lepas semua kerinduan, keharuan, kekaguman,
kecemasan, semuanya yang berpadu dalam diri
ku,” aku berbisik sendiri sambil menatap air
sungai yang mengalir.
“Benenai, ijinkan aku menitip semua per
gumulan ini dalam aliranmu. Biarlah semuanya
bermuara di laut lepas dan menemukan jalannya
sendiri.”
***
68 Robert Fahik
dugaanku benar. Mungkin Mey menitipkan surat
itu sebelum berangkat. Beginilah Mey menulis
dalam surat itu:
Manek, terasa lemas sekujur tubuh ini ketika ter
ungkap kata ”cinta” dari kedalaman jiwaku. Aku
tahu, mudah mengucap kata cinta, tapi tak mudah
menanggung segala sesuatu yang menjadi konse
kuensi dari kata cinta itu. Bukan hanya soal pang
gilan untuk mengabdi kepada cinta, tapi ada saat
di mana orang merasa sungguh tak berharga di
hadapan cinta, manakala cinta itu hanya bertepuk
sebelah tangan. Dan aku termasuk orang yang me
rasa sungguh tak berarti di hadapan cinta. Tapi
dalam hal ini, aku tak mau menyalahkan siapa-siapa.
Hanya aku yang keliru atau bahkan bodoh, telah
menaruh hati padamu selama bertahun-tahun. Pada
hal ternyata perasaan itu hanya milikku semata.
Sedangkan kamu tak tahu-menahu tentang cinta ini.
Manek, kau tentu tahu bahwa sudah sejak dulu
aku mengangumi puisi-puisimu. Tapi mungkin
kau tak tahu atau sengaja tak ingin tahu, bahwa se
benarnya aku juga mengagumimu sejak saat itu.
Ketahuilah, aku senantiasa memikirkanmu. Nama
mu selalu menghiasi lembaran-lembaran buku ha
rianku. Ada sejumlah tulisan tentangmu dan ber
juta puisi yang tidak sempat kupublikasikan. Aku
juga menulis tentang Malaka; apa yang selalu kita
perbincangkan itu. Peradaban besar yang menan
tangmu untuk menelusurinya. Kau tahu, aku laku
kan semuanya itu demi menghibur diriku dalam ke
bisuan cinta yang panjang.
Semua kerinduanku sering kutuangkan dalam
lembaran buku harianku, tapi terlebih selalu kubenam
Noy 69
di dasar jiwaku. Bahkan sampai saat ini, ketika kita
bertemu lagi di tanah ini, dan ketika ketika kutahu
cintaku membuatmu terbebani.
Manek, entah apa yang menahanku hingga ber
tahun-tahun perasaan cinta itu terus ada. Tapi aku
selalu yakin, kini kau merasakan apa yang kurasa.
Ini sungguh keyakinanku, bahkan keyakinan itu
masih saja kubawa hingga detik ini.
Aku masih mengingat jelas kata-katamu se
belum kau meninggalkanku di Jogja, “Terima kasih
karena sudah mau jujur. Mempunyai perasaan cinta
terhadap seseorang adalah hal yang wajar dan itu
hak setiap orang. Jadi aku sangat memahami itu
dan berterima kasih atas kejujuranmu. Aku sadar
bahwa memendam perasaan adalah sebuah beban.
Tapi ketahuilah, selama ini bagiku Mey adalah se
orang adik yang baik dan tidak lebih dari itu. Se
lama bertahun-bertahun ini juga di hatiku sudah ada
cinta dari seseorang yang membuatku harus kembali
ke sana. Kuharap Mey memahami semua ini. Akan
lebih indah kalau kita bersaudara. Maaf, kalau di
akhir kebersamaan ini aku harus mengecewakanmu.
Semoga suatu hari nanti kau bisa memaafkanku.”
Manek, kata-katamu sungguh bening ibarat te
tesan embun pagi pada dedaunan. Tapi itu kurasa
kan seperti amukan pantai selatan dengan gelombang
perkasanya, menenggelamkan mimpi-mimpiku, me
renggut puspa yang kutanam sendiri dengan jemari
kasih dan kubelai dengan harum nafasku.
Tapi kini dengan sisa asa yang ada, aku pun berani
bertutur, “Aku menyadari bahwa cintaku mungkin
bertepuk sebelah tangan. Aku menghormati cintamu
dan orang yang kau cintai. Anggaplah kejujuran ini
sebagai mimpi semalam. Tapi jujur, kau akan tetap
70 Robert Fahik
kucintai sampai kapan pun. Bantu aku untuk me
lupakan cinta kepadamu. Maaf, karena aku telah
jujur. Dalam hidupku memang belum kutemukan
orang lain sepertimu. Tapi biarlah, aku sadar akan
diriku sendiri. Maaf, karena aku telah dan akan tetap
mencintaimu.”
Manek, semua sudah berlalu. Tapi bagiku, per
jalanan pulang ini, belum bisa menghapus namamu.
Kalaupun sekarang kau berkenan membaca surat ini,
jangan pernah mengira kalau aku membuntutimu.
Tidak. Aku hanya ingin mengucapkan terima kasih
untuk cinta. Terima kasih karena kehadiranmu telah
membuatku belajar tentang arti cinta, arti sebuah
kebersamaan, perjuangan, semangat belajar, kerja
keras, saling menghargai, saling mendukung, saling
memahami, dan terlebih bagaimana harus bersikap
dewasa.
Aku pun sampai pada permenungan sang
maestro yang kau kagumi; Gibran, “Cinta adalah
kecocokan jiwa dan jika itu tidak ada, cinta pun
tak’kan pernah lahir dalam hitungan tahun bahkan
abad.” Barangkali kecocokan jiwa itu terlalu mahal
harganya dan belum bisa kubeli sekarang. Tapi ter
lebih, aku mau berterima kasih karena kau telah
membantuku belajar mencintai puisi dan kehidupan.
Kadang pemikiran liar ini hadir; kesetiaanmu
untuk Noy dan Malaka membuat api cintaku se
makin membara. Aku sungguh menemukan sosok
pencinta sejati dalam dirimu. Seharusnya dengan
menyadari kesetiaanmu untuk Noy dan Malaka,
aku bisa dengan mudah mengubur cintaku padamu.
Tapi itu tidak kulakukan. Sama sepertimu; mungkin
aku belum memiliki kekuatan dan keberanian untuk
melakukan itu. Tapi sudahlah, ini hanya pemikiran
Noy 71
liar yang mungin suatu saat akan berlalu seperti
hembusan angin. Dan tepatlah puisi ”purnama”
yang pernah kau persembahkan untukku di hari
ulang tahunku; aku seperti purnama yang selalu
ingin tersenyum lembut, dan berharap angin malam
menerbangkan gumpalan awan. Aku sungguh ingin
seperti purnama. Selalu tersenyum. Berharap angin
menerbangkan gumpalan awan. Mungkin situasi
ku kini seperti purnama yang dihadapkan pada
gumpalan awan. Awan itu adalah rasa cintaku.
Entah angin apa yang akan menerbangkan gum
palan awan itu? Entah kapan? Aku terus berharap
suatu hari nanti kau bersedia menjelaskan semua
ini. Atau setidaknya kita berdiskusi tentang ini.
Manek, cukup sudah goresanku. Sampaikan
salamku untuk para sahabatmu. Bencilah aku, lupa
kan aku, bila mengingat kalau aku pernah men
cintaimu. Tapi kenanglah aku, bila menatap ham
paran sawah, perbukitan, dan pantai-pantai di
Malaka; itu semua menjadi lambang cinta dan per
juanganku untuk Malaka, setidaknya dalam bebe
rapa bidang yang bisa kuperjuangkan. Sesungguh
nya aku telah berjanji dalam diriku untuk men
dukungmu dengan apa yang bisa kubuat.
Manek, terasa hancur hatiku mengakhiri gores
an ini. Tapi aku masih tetap ingin kembali ke sini
untuk memenuhi janjiku, paling tidak mendukung
daerah baru ini dalam bidang yang bisa aku per
juangkan. Aku berhadap dalam perjumpaan kita
berikutnya, kita punya kedamaian dalam mem
bangun kebersamaan ini. Manek, kau sungguh se
orang kakak yang baik. Salam hangat dan kerindu
an yang masih tak tertahankan dari adikmu yang
manja; Mey.
72 Robert Fahik
6
KEDAMAIAN
73
kenangan masa laluku. Kadang aku begitu ter
usik bila mengingat pertemuan kembali itu.
Bahkan ada saat di mana aku tak bisa berbuat
apa-apa selain menatap aliran Benenai yang tak
pernah berhenti mengalir. Itulah yang bisa ku
pilih sebagai sandaran hatiku. Air yang terus me
ngalir di mataku memberi kesadaran bahwa aku
harus terus berjalan. Hidup, dan mencintai.
Di sisi lain, senyuman dan canda-tawa bocah-
bocah polos di sekolah turut memberi kekuat
an bagiku. Tatapan murni anak-anak itu seolah
menjadi puisi agung yang tak pernah selesai ber
kumandang, menemani hari-hariku sebagi guru
muda di kabupaten yang juga baru mulai merang
kak ini. Gairahku untuk berbagi ilmu, mengajak
mereka belajar, dan belajar bersama mereka, kian
menggelora seperti deburan ombak pantai se
latan yang tak pernah lelah.
Kehadiran tiga sahabatku yang masih ber
ada di Malaka; uku Mery, Nahak, dan Seran
menjadi sisi lain yang menguatkanku. Usai perte
muan kembali dengan Mey itu, aku bersama tiga
sahabatku kembali sering bertemu. Memang tak
banyak yang kami buat untuk kembali mengha
dirkan Sekolah Kehidupan Likurai seperti dulu
ketika para sahabat lainnya masih bersama kami.
Namun di sela-sela waktu yang ada kami
masih tetap mengunjungi beberapa daerah di
Malaka. Bertemu para orang tua, kaum muda, dan
74 Robert Fahik
anak-anak. Berdialog dengan mereka tentang
harapan-harapan mereka, dan tentang semuanya
yang bisa berguna untuk membangun Malaka.
Kadang aku berjalan sendirian ke berbagai pe
losok Malaka. Saat-saat seperti itu aku memang
lebih banyak berkumpul bersama anak-anak dan
orang muda. Kepercayaan diri mereka coba ku
bakar dengan kata-kataku. Dan satu lagi yang
kubuat; mengajak dan mengajari mereka untuk
mencintai menulis, dan tentunya membaca. Dua
hal ini yang bagiku masih sangat lemah dalam
masyarakat, padahal menjadi kunci utama yang
menentukan kualitas seseorang. Aku bersyukur
karena anak-anak dan orang muda yang kujum
pai punya kesadaran dan semangat untuk mem
baca dan menulis. Aku berharap, semangat yang
sama terus ada sampai kapan pun. Karena mem
bangun suatu bangsa yang kuat tidak hanya
cukup dengan uang dan politik, tapi juga dengan
membaca dan menulis.
Dalam semuanya itu aku menemukan kem
bali kedamaianku. Ada saat di mana aku benar-
benar lupa bahwa aku pernah bertemu Mey di
Malaka setelah lama berpisah. Walau kadang
ingatanku akan Mey kembali hadir namun itu
tak sekuat ingatanku akan Noy. Bagaimana pun,
Malaka adalah ibu yang telah melahirkanku. Aku
tak bisa pergi darinya. Noy adalah sumber inspi
rasi cintaku untuk tanah ini.
Kedamaian 75
Aku tak tahu, entah sampai kapan pemi
kiran, keyakinan, dan keteguhan seperti ini tetap
bersemayam di dalam diriku. Aku hanya berharap
cintaku untuk Noy dan untuk Malaka terus hidup,
terus mengalir, seperti Benenai; kapan pun, di
mana pun, bagaimana pun. Sesungguhnya, inilah
kedamaian bagiku, ketika aku menyadari bahwa
di tanah ini aku dilahirkan, dan di tanah ini juga
aku belajar tentang cinta dalam keagungannya
yakni berbagi dalam keutuhan; kesadaran, kerja
keras, ketulusan, kebersamaan, saling menopang,
keadilan, dan kebenaran.
76 Robert Fahik
7
MIMPI
77
kekasihmu di sana. Dan setiba di sana, jangan
lupa untuk memandang ke sini. Ingatlah selalu,
gunung dan dataran di bawah sana adalah kesa
tuan yang utuh.”
Aku tak habis pikir dengan mimpi aneh itu.
Usai meneguk segelas air, aku segera keluar
rumah dan mencoba memandang ke sekitarku.
Tak kutemukan gunung setinggi dalam mimpi
itu. Memang daerah dataran tinggi di Malaka
tidak begitu tinggi untuk disebut sebagai sebuah
gunung.
Aku masih terus berpikir soal mimpi itu
ketika hari menjelang malam. Ketika itu pula se
orang tua adat yang aku kenal sebagai paman
ku datang ditemani beberapa wajah asing yang
belum pernah kulihat. Tepatnya tiga lelaki tua
yang mengenakan kain adat suku Dawan.
“Tadi pagi saudara-saudara kita dari Mutis
ini tiba di sini. Mereka membawa pesan dari ke
luarga besar kita di sana. Mungkin ini hal yang
belum kau dengar, tapi baiklah hari ini kau me
ngetahuinya. Mungkin hari ini adalah hari yang
tepat bagimu,” lelaki yang kukenal sebagai paman
itu angkat bicara.
Ketika aku masih diam, lelaki itu melan
jutkan, “Saya tidak tahu apakah ibumu pernah
menceritakan ini atau tidak. Ayah kandungmu
sebenarnya berasal dari Mutis. Tepat di kaki gu
nung itulah ayahmu lahir dan dibesarkan kakek-
78 Robert Fahik
nenekmu. Setelah menikah dengan ibumu di
Malaka, ia belum pernah kembali ke sana, kecuali
menitipkan seorang anaknya untuk hidup di sana
bersama kakek-nenekmu di Mutis. Anak itu
adalah seorang bayi perempuan, kembaranmu.
Waktu lahir, kalian dipisahkan karena ibumu
harus ke Malaysia, mengunjungi ayahmu yang
sakit berat di sana. Kau dipelihara oleh keluarga
ibumu di Malaka, dan kembaranmu dipelihara
oleh keluarga ayahmu di Mutis.”
Aku mulai mengingat mimpi aneh itu.
Mungkin mimpi itu menjadi jalan bagiku untuk
memahami semua yang belum pernah kudengar
ini. Apa yang ada dalam mimpi kini mulai te
rasa nyata. Gunung tinggi dalam mimpiku itu
mungkin gambaran Mutis. Dan aliran sungai itu
lah Benenai yang memang mengalir dari Mutis
hingga bermuara di pantai selatan di Malaka.
“Kembaranmu sekarang mengalami sakit
berat usai melahirkan anak pertamanya. Dan ia
selalu memanggil namamu. Ia melihat petunjuk
dalam mimpinya bahwa ada seorang saudaranya
di Malaka. Hanya saudaranya itu yang bisa me
nyembuhkannya. Kami pun menceritakan semua
nya dan ia sangat mengharapkan kehadiranmu
di sana,” seorang lelaki tua yang mengenakan kain
adat bermotif Dawan mulai bicara.
Seorang di sebelahnya melanjutkan, “Ritual
adat pun sudah dilakukan. Dan leluhurmu di
Mimpi 79
Mutis memang memintamu ke sana. Hanya ke
hadiranmu-lah yang bisa menyelamatkan nyawa
saudarimu. Ketahuilah, ayahmu keturunan bang
sawan. Mungkin kehadiranmu bisa mewakili sang
ayah. Kakekmu yang sudah berusia hampir satu
abad itu juga pasti merindukan putranya yang
hadir dalam dirimu.”
Aku masih diam. Sungguh, ini tak pernah
terlintas dalam benakku. Tapi kenyataan sudah di
depan mata. Bagaimana pun ini harus kuhadapi.
Dalam hati kecilku aku hanya berdoa, “Tuhan,
kalau pun aku harus ke Mutis, ijinkan aku untuk
kembali ke Malaka.”
“Dua hari lagi tiga orang tua ini akan pulang
ke Mutis. Besok kau bisa mempersiapkan segala
nya untuk keberangkatanmu,” kata lelaki yang
kukenal sebagai paman sebelum mereka mening
galkanku dalam kebisuan.
Dalam kebisuanku itu dan di tengah kehe
ningan malam, aku masih sempat menguatkan
diri
ku ketika “Benenai” membahana di ujung
jalan. Ketika itu terdengar pula bunyi guntur yang
menggugah, disusul tetesan hujan meng iringi
suara emas Manek Kasasar, seorang penyanyi asal
Malaka. Ingatanku akan Noy dan akan legenda
Benenai serentak muncul dalam pikiranku ketika
tembang pop daerah itu samar kudengar:1
1
Lagu pop daerah Malaka yang dipopulerkan Manek Ka
sasar, berjudul “Benenai”. Terjemahan penulis: Awan gelap di
80 Robert Fahik
Kaloan sa’e oh, nosi foho Mutis oh
O ho ho rai oh nakukun
Tras lian nalo ita hirus kakodek
Mameran laka nalo ita neon
Tur neon moris-moris…
Kokur iha Mutis oh, Abudenok nata
O ho ho Nai Benenai
Ami rona kokur lian oh
ami hirus moras to’o oh
Tan udan tinan tebes onan…
O ho Nai Benenai
Sala ida ne keta sala hori uluk, hori bei
E… keta ami ikus mak halo sala
E… keta Ama Leten atu no’o ita hotu…
Udan iha Mutis oh, Benenai oin merak
O ho ho Benenai nahibu
Mahibu malo atan ami
Ami rai Malaka ktomak
Susar sura tinan
Susar la no rohan…
Mimpi 81
Mendengar itu, sebuah pemikiran kecil lahir.
Pemikiran kecil yang akan selalu menjadi ke
kuatan besar bagiku untuk terus memeluk Noy
dan Malaka-ku. Aku berharap pemikiran yang
sama boleh menjadi kekuatan bagi mereka yang
mencintai tanah ini:
Syair “Benenai” kembali mengingatkanku akan
legenda sungai ini. Ada keterkaitan erat antara
Mutis dengan Malaka, dan Benenai adalah tali yang
mengikat keduanya. Benenai menampung aliran
sungai dari Mutis dan berbagai daerah di dataran
tinggi lainnya. Secara umum lagu ini menggam
barkan “penderitaan” orang Malaka karena meluap
nya banjir Benenai setiap tahun. Lewat ungkapan
yang sangat puitis, sang penggubah lagu menyam
paikan keprihatinan itu.
Awan gelap, nyala petir, bunyi guntur, yang
terlihat di Mutis, membuat masyarakat cemas akan
datangnya banjir. Bagi mereka, banjir membawa
penderitaan yang tak berujung. Namun ada yang
menarik di sana. Ada pertanyaan reflektif, “Apakah
banjir terjadi karena kesalahan sejak nenek moyang
dulu? Apakah banjir karena kesalahan generasi se
karang? Atau Yang Maha Kuasa hendak membina
sakan manusia?”
Ini soal harmonisasi hidup. Manusia perlu
menghargai alam agar alam bisa menghargai ma
nusia. Manusia perlu bersahabat dengan alam agar
alam bersahabat dengan manusia. Pernah ada banjir
bandang di Malaka belasan tahun silam. Ada cerita
yang berkembang bahwa banjir itu terjadi setelah
sekelompok orang menyakiti (membunuh) seekor
82 Robert Fahik
buaya di Benenai. Terlepas dari benar tidaknya cerita
ini, yang pasti perlu ada harmonisasi dalam hidup.
Selebihnya, syair ini menghantarku kembali
pada legenda Benenai yang pernah kudengar. Dan
mengingat legenda itu, aku punya keberanian dan
kekuatan untuk selalu mengulangi; seperti Benenai,
cintaku terus mengalir untukmu.
Apresiasi tinggi patut kita berikan kepada
saudara-saudara kita yang telah berjuang lewat
caranya untuk mengungkapkan jiwa lewat karya
seni yang berbasis budaya. Ada dua nilai penting di
dalamnya. Pertama, nilai budaya. Lagu ini membuka
jalan untuk memahami salah satu legenda tentang
Benenai. Ini tentu mengandung nilai-nilai ke hi
dupan di dalamnya. Salah satu nilai pentingnya
adalah soal harmonisasi manusia dengan alamnya.
Alam memberi kehidupan bagi manusia. Semestinya
manusia juga memberi kehidupan bagi alam dengan
menjaga kelestariannya. Kedua, nilai sosial. Lagu ini
memotret realitas banjir yang terjadi setiap tahun.
Ini tentunya membutuhkan perhatian serius dari
berbagai kalangan.
Mimpi 83
8
MUTIS
***
84
Surat Pertama
Aku menyebut ini sebagai tiga pilar pembangunan
manusia utuh; pendidikan, kebudayaan, dan seni.
Konsep ideal manusia utuh adalah manusia yang
memiliki kapasitas intelektual, yang ditandai dengan
penguasaan ilmu pengetahuan serta keteram pil
an. Selain itu tuntutan terpenting bagi seorang
ma
nusia adalah kemampuan menggunakan akal
budinya secara maksimal. Ini yang membedakan
manusia dengan binatang. Sehingga benar kata
Aristoteles, manusia adalah “binatang yang berakal
budi”. Jadi, kalau akal budi tidak digunakan secara
baik, kita tidak jauh berbeda dengan binatang. Ini
semua bisa diperoleh lewat pendidikan. Tentunya
pendidikan dalam arti yang luas, tidak sebatas pada
dinding sekolah.
Kebudayaan. Manusia utuh tidak hanya meng
andalkan kapasitas intelektualnya. Ia perlu memper
kaya diri dengan kesadaran akan nilai dan norma.
Inilah pilar kebudayaan. Berbagai warisan budaya,
nilai-nilai budaya, norma-norma kehidupan, ter
masuk ajaran agama, sesungguhnya menuntun
manusia kepada penemuan pilar yang satu ini.
Seni. Konsep saya adalah seni secara luas dalam
arti bagaimana manusia memahami dan mencintai
keindahan. Adapun keindahan ini mencakup bagai
mana manusia memelihara harmonisasi dalam hu
bungannya dengan sesama maupun dengan alam.
Lewat jalan ini-lah, manusia sampai pada penga
kuan akan keterbatasan dirinya di hadapan Tuhan.
Selebihnya, konsep seni berkaitan dengan keteram
pilan dan kreatifitas.
Pendidikan, Kebudayaan, Seni. Tiga pilar ini
sungguh mewakili keutuhan manusia. Ini bukan
Mutis 85
konsep baru sama sekali. Berabad-abad yang lalu,
para pemikir besar sudah mencetuskan ide bahwa
manusia perlu memiliki tiga keutamaan penting;
logika, etika, dan estetika. Logika bisa dikaitkan
dengan pendidikan, etika dikaitkan dengan budaya,
dan estetika sudah jelas berkaitan dengan seni.
Sekarang mari kita lihat kenyataan yang ada.
Harus kita akui bahwa belum banyak profesor dan
doktor yang berasal dari Malaka. Ini kalau kita
mau bicara soal tingkat pendidikan. Namun jumlah
sarjana sudah cukup banyak. Juga magister yang
beberapa tahun terakhir mulai bertambah. Sekali
lagi ini tentang tingkat pendidikan. Dengan ada
nya pemekaran kabupaten ini, semoga tingkat pen
didikan orang Malaka makin meningkat. Tidak ada
lagi anak usia sekolah yang tidak bersekolah karena
alasan ekonomi, misalnya. Kalau alasan malas, tentu
sangat tidak kita harapkan. Ini bukan hanya tang
gung jawab orangtua dan masyarakat. Pemerintah
perlu mengambil bagian secara aktif dalam mening
katkan kuantitas dan kualitas pendidikan.
Ini penting. Banyak orang yang melihat pen
didikan secara tidak utuh. Pendidikan disamakan
dengan ijazah dan memperoleh pekerjaan. Maka
sekolah atau tidak sekolah sama saja, yang penting
bisa kerja dan makan. Ini perlu diluruskan. Pendi
dikan adalah keutuhan. Pendidikan adalah proses
memanusiakan manusia. Di sisi lain, dengan pen
didikan yang cukup, tak dapat diingkari bahwa
manusia dapat bekerja secara lebih layak. Kata
kanlah ketika harus ada yang bekerja di luar daerah
atau luar negeri. Kalau dengan latar belakang pen
didikan yang memadai, pasti ia akan mendapat
pekerjaan dan penghasilan yang layak. Jadi, kita
tidak mengirim tenaga kerja ke luar daerah atau luar
86 Robert Fahik
negeri sebagai pembantu rumah tangga atau buruh
kasar. Kita mengirim tenaga kerja profesional.
Tentang Kebudayaan. Malaka sangat kaya
akan budaya. Persoalannya tentu bukan hal baru
lagi. Budaya asli yang kian terkikis. Orang-orang
modern selalu melihat budaya sebagai mainan masa
kecil yang segera dibuang atau dilupakan ketika ber
anjak dewasa. Anak-anak zaman sekarang sangat
tidak tertarik untuk belajar mengenal dan men
cintai budayanya. Kita bersyukur bahwa masih ada
“generasi lama”; para orang tua yang selalu men
jaga budaya yang ada. Ritual-ritual adat yang
masih setia dilaksanakan. Tarian daerah yang masih
ditampilkan. Dan nilai-nilai dasar yang masih di
pegang erat. Ini akan perlahan hilang jika generasi
sekarang tidak mewarisinya. Tentu harapan kita,
generasi sekarang tidak hanya mewarisi budaya
secara fisik atau formalitas belaka. Mewarisi budaya
berarti mewarisinya secara utuh; fisik dan meta
fisiknya; ritual-ritual dan nilai-nilainya.
Seni. Ada banyak cerita rakyat, dongeng, dan
pantun daerah yang sudah hilang. Hampir bisa di
pastikan anak-anak di sekolah tidak tahu lagi tentang
cerita rakyat, dongeng, atau pun pantun daerah.
Lagu daerah juga demikian. Saya memberi apre
siasi kepada saudara-saudara yang selama ini sudah
berjuang lewat caranya untuk mengangkat budaya
Malaka lewat seni. Mereka adalah para pencipta lagu
daerah, pemusik, dan penyanyi. Juga para perintis
sanggar kesenian daerah yang ada. Kalian hebat.
Mungkin saat ini orang belum begitu peduli, namun
yang kalian lakukan adalah pekerjaan mulia. Semoga
masyarakat dan terlebih pemerintah bisa memberi
perhatian terhadap semua ini.
Masih terkait seni. Ada sebuah ide kecil yang
Mutis 87
mungkin bisa dipertimbangkan. Begini, untuk mem
bangkitkan minat budaya membaca dan menulis
(dua budaya ini masih sangat lemah) khususnya
di kalangan generasi muda, pemerintah bisa meng
adakan lomba-lomba atau pertunjukkan seni misalnya
baca puisi, musikalisasi puisi, kreasi tarian, pidato,
menulis karya kreatif, pementasan musik, lagu-
lagu, dan berbagai kegiatan lainnya. Untuk lebih
menarik, kegiatan tersebut diadakan di pantai atau
lokasi wisata lainnya. Bisa juga di pintu perbatasan.
Dengan ini maka seni bisa menunjang pariwisata.
Orang akan lebih mengenal dan mencintai kekayaan
seni dan budayanya serta potensi wisata sekaligus
memperkenalkannya kepada orang dari luar daerah.
Banyak hal yang bisa dikembangkan di Malaka
seperti musik (suling) bambu. Jika dilirik dan di
kembangkan secara baik, potensi ini akan sangat
membawa dampak positif. Pertama, suling bambu
bisa menjadi salah satu icon Malaka. Kedua, musik
bambu bisa menjadi sarana penanaman karakter
dalam diri peserta didik dengan cara setiap sekolah
diwajibkan mengadakan kegiatan ektrakurikuler,
dalam hal ini mengembangkan musik bambu. Ketiga,
alat musik ini bisa didatangkan dari para seniman.
Masyarakat bisa memperoleh finansial yang cukup.
Di sisi lain, tanaman bambu bisa dikembangkan dan
dijaga kelestariannya. Seni berkembang, namun ke
lestarian alam tetap terpelihara.
Pendidikan, Kebudayaan, dan Seni. Tentu tiga
konsep ini masih sangat luas untuk dibicarakan.
Tapi semoga pokok pikiran ini bisa membuka pintu
pemikiran lainnya dari siapa pun untuk pem ba
ngunan manusia yang utuh di tanah ini.
***
88 Robert Fahik
Surat Kedua
Ini kusebut sebagai tiga pilar kehidupan masya
rakat; pertanian, peternakan, dan perikanan. Sejak
zaman nenek moyang, tiga hal ini dikenal sebagai
penopang utama kehidupan masyarakat. Masyara
kat mempertahankan hidupnya dengan tiga cara
tersebut. Sekarang pun sesungguhnya masih sama.
Manusia tidak bisa melepaskan diri dari tiga pilar
itu. Bagaimana pun juga, kita butuh nasi, sayur,
daging, dan ikan. Menarik bahwa pemerintah daerah
maupun pusat mulai mencanangkan gerakan cinta
pangan lokal. Perlu makan jagung dan umbi-
umbian. Bahkan dalam kegiatan dinas pun diwajib
kan untuk menghidangkan makakan lokal seperti
sayur daun ubi. Itu dari pemerintah pusat. Kalau di
daerah, ada hari tertentu yang dicanangkan sebagai
hari makan pangan lokal; jagung dan ubi. Walaupun
pelaksanaannya masih belum bisa dipastikan seratus
persen, tapi setidaknya langkah peme rintah patut
diapresiasi. Ini mengingatkan kita akan sejarah dan
budaya.
Sekarang coba kita lihat pertanian, peternakan,
dan perikanan secara lebih khusus, dalam artian
sebagai sumber kehidupan masyarakat. Daerah ini
begitu subur. Bahkan ada pejabat yang pernah me
ngatakan, “Di Malaka, tanam batu tumbuh padi,
tanam batu tumbuh jagung”. Persoalannya masih
banyak lahan yang kosong. Mungkin karena mental
malas yang masih kental? Atau karena memang
banyak orang di daerah ini yang lebih memilih bekerja
di luar daerah bahkan di luar negeri? Namun syukur
pada Tuhan. Pertama, sudah sejak beberapa tahun
yang lalu, pemerintah membangun bendungan
Mutis 89
Benenai – salah satu bendungan besar di Timor. Ini
sangat membantu petani dalam hal pengairan. Ke
dua, ada investor yang mulai melirik potensi yang
ada. Saya mendapat cerita dari seorang teman
wartawan di Kupang bahwa Menteri Perindustrian
RI, Bapak Saleh Husin, pernah mengadakan diskusi
di Kupang dan menyebut Malaka sebagai salah satu
daerah prioritas pengembangan tanaman Tebu. Dan
tidak menutup kemungkinan untuk dibangun pabrik
gula. Beberapa saat sebelum itu, ada perusahaan
yang mengembangkan tanaman ubi (singkong).
Banyak hasil petani yang dibeli langsung. Hal-hal
seperti ini tentu sangat membahagiakan. Pasti ada
dampaknya bagi kesejahteraan masyarakat. Apalagi
kalau sampai dibangun pabrik, tentu akan menyerap
banyak tenaga kerja, seperti yang sudah dilakukan
selama bertahun-tahun oleh sebuah perusahaan yang
bergerak di bidang tanaman kakao (coklat).
Masih tentang pertanian (dan perkebunan),
tidak berlebihan jika berbagai potensi ini saya se
butkan juga: jagung, padi, kelapa, pisang, sagu,
sayur-sayuran, kopi, nanas, tembakau, dan kacang
hijau. Nama terakhir mengingatkan saya akan
cerita sahabat saya, Paulus, yang pernah bersekolah
di Seminari itu. Ia mengatakan bahwa salah satu
makanan pokok (lauk) ia dan teman-temannya
di Seminari adalah kacang hijau. Dan ketahuilah,
kacang hijau itu didatangkan (dibeli) dari para petani
di Malaka. Entah sekarang bagaimana nasib kacang
hijau di Malaka? Apakah kacang hijau masih men
jadi salah satu hasil pertanian yang dapat diandal
kan? Maaf, ada satu pemikiran lagi terkait potensi
pertanian (dan perebunan). Tepatnya potensi buah
yang ada. Seorang teman saya dari Jawa pernah
90 Robert Fahik
menceritakan bahwa di daerahnya, orang bisa mem
buat keripik dari buah. Mungkinkah hal yang sama
bisa dilakukan di Malaka?
Peternakan. Dari cerita nenek dan kakek saya
menjadi tahu bahwa daerah ini dulu sangat kaya
akan sapi, kerbau, dan kuda. Bahkan waktu kecil dulu,
meja makan di rumah tak pernah sepi dari susu sapi
asli. Namun seiring berjalannya waktu, jumlahnya
pun mulai berkurang, antara lain karena dijual atau
mati. Tapi mungkin juga karena tidak ada sistem
pemeliharaan yang baik. Sekali lagi syukur pada
Tuhan karena kini pemerintah NTT daerah sudah
mengadakan kerja sama dengan pemerintah Jakarta
di bidang ternak khususnya sapi. Semoga dengan
ini baik pemerintah maupun masyarakat mulai me
ngembalikan kejayaan sejarah bahwa daerah ini
pernah menjadi pengekspor sapi ke luar daerah
bahkan ke luar negeri. Di sisi lain, kotoran sapi
bisa diolah menjadi biogas dan juga pupuk yang
tentunya akan sangat bermanfaat bagi masyarakat.
Kulit sapi juga bisa diekspor sebagai bahan dasar
sepatu atau pun tas. Potensi peternakan lainnya
adalah kambing, ayam, dan babi. Dua nama terakhir
memang menjadi salah satu jenis hewan piaraan
yang paling banyak dalam kehidupan masyarakat
Malaka. Selain sebagai pilihan menu makan, babi
dan ayam menjadi kurban wajib hampir dalam se
tiap upacara adat.
Jika potensi peternakan dikembangkan dengan
baik, apa yang pernah dikataan seorang sahabatku
ini bisa menjadi kenyataan, “ha etu hare, hemu susu
wen” (Tetun: makan nasi, minum susu). Artinya,
Malaka berlimpah padi dan susu murni yang diperas
dari sapi sendiri. Hal lainnya adalah dataran rendah
Mutis 91
Malaka dikembangkan sebagai area pertanian, dan
dataran tinggi sebagai area peternakan.
Perikanan. Dalam hal ini juga tentang kelautan.
Sektor ini mungkin tidak begitu menjanjikan. Hasil
tangkapan ikan di laut selatan tentu tidak sebanding
dengan hasil nelayan di Kupang atau Flores yang
begitu kaya. Memang ada yang bilang ombak pantai
selatan sangat besar sehingga menyulitkan nelayan
untuk memperoleh ikan. Namun ombak besar tentu
bukan menjadi alasan untuk tidak mengoptimalkan
potensi laut yang dimiliki. Mungkin penyediaan
kapal besar dan berbagai pelatihan bagi nelayan
bisa membantu mereka dalam meningkatkan hasil
tangkapan. Hal lain yang bisa dicatat adalah ben
tangan tambak ikan yang sejauh ini meng hasil
kan ikan air tawar yang menjanjikan. Sebut saja
bandeng. Ini penting untuk diperhatikan. Jangan
sampai terjadi orang Malaka membeli ikan dari
daerah lain, padahal Malaka punya daerah pantai
yang cukup luas. Kalau pun tidak mampu diekspor
ke daerah lain, minimal hasil ikan di Malaka cukup
untuk memenuhi kebutuhan orang Malaka.
Dalam konteks ini, ada wacana juga bahwa akan
dibangun pabrik garam di beberapa titik daerah
pantai. Kita tentu mendukung siapa saja yang mau
membangun tanah ini. Catatannya, banyak anak
daerah bisa direkrut sebagai tenaga kerja. Dan yang
tidak kalah penting, kelestarian lingkungan harus
diutamakan.
Masih terkait potensi Malaka sebagai daerah
pantai. Dari seorang pastor tua aku pernah men
dengar cerita bahwa di awal abad 19 ketika misio
naris Eropa menyebarkan agama Katolik di Timor
khususnya di Malaka, selain Atapupu di utara
92 Robert Fahik
Belu, teluk Maubesi di selatan Belu (sekarang Ma
laka) pernah menjadi tempat bersandarnya kapal.
Kapal-kapal ini mengangkut bahan bangunan dari
Kupang untuk pembangunan gedung (rumah
pastor, gereja, dan sekolah) di Malaka. Saya hanya
punya pemikiran kecil; mungkin Malaka juga punya
potensi pelayaran. Kalau pun bukan untuk angkutan
penumpang (manusia), kapal barang bisa beroperasi
dari dan ke Malaka. Kalau ini terjadi, bukan tidak
mungkin hasil bumi dari Malaka bisa lebih mudah
dipasarkan ke daerah luar.
Tentu masih banyak aspek yang bisa menjadi
pilar kehidupan masyarakat. Namun hal yang saya
sebutkan di atas adalah hal dasar, yang asli sejak
nenek moyang, yang mesti kembali diperjuangkan.
***
Surat Ketiga
Ini kunamakan tiga pilar kebersamaan. Politik,
agama, dan lingkungan alam. Dasarnya adalah ma
nusia selalu hidup dalam kebersamaan. Ada saat-
saat kesendirian tapi sisi lain dari manusia adalah
kebersamaan. Ini penting karena justru dalam keber
samaan, orang sering tidak mau bersama. Orang
membangun dinding-dinding untuk membedakan
kelompoknya dengan kelompok lain. Ini tidak begitu
bijak.
Politik. Tentu dalam arti yang luas, yakni bagai
mana setiap orang mengambil bagian dalam mem
bangun masyarakat. Setiap orang menyadari peran
nya. Pemerintah, lembaga pendidikan, orangtua,
pelajar, mahasiswa, pedagang, pihak keamanan,
Mutis 93
petani, nelayan, rohaniwan, semuanya. Namun
dalam konteks kabupaten baru, baiklah saya coba
soroti peran pemerintah dalam membangun daerah
ini. Bagaimana pemerintah melakukan berbagai
langkah dan kebijakan yang berpihak pada rakyat,
ke
putusan-keputusan yang berguna bagi banyak
orang.
Apreasiasi layak kita berikan kepada peme
rintah. Kabupaten ini baru terbentuk. Namun se
muanya segera bekerja. Kita bisa melihat geliat pem
bangunan fisik di mana-mana. Kantor-kantor. Jalan
raya. Peralihan para pegawai dari kabupaten induk.
Dan tentunya perekrutan pegawai baru demi me
nunjang kinerja pemerintah. Hal terakhir ini
memang sempat menjadi buah mulut dalam masya
rakat. Bahkan ada demontrasi dari mahasiswa ter
kait pengangkatan tenaga kontrak di lingkup pe
merintah Malaka. Beberapa anggota DPRD juga
melayangkan protesnya karena ada indikasi ke
curangan. Entah apa yang sebenarnya terjadi. Tapi
saya bersyukur, beberapa teman yang setahu saya
memiliki kemampuan memadai dinyatakan lulus
dalam seleksi CPNSD Kabupaten Malaka beberapa
waktu lalu.
Agama. Sudah lebih dari satu abad masyarakat
di daerah ini mengenal agama. Para misionaris dari
Eropa-lah yang memperkenalkan nenek moyangku
dengan iman kristiani. Sampai sekarang, agama
Kristen sangat berkembang di sini. Bahkan mayo
ritas penduduk adalah pengikut Kristus. Dalam
perkembangan selanjutnya, kini penduduk Malaka
bukan hanya orang Katolik dan Protestan tapi juga
Islam dan Hindu. Penganut Islam dan Hindu
adalah mereka yang berasal dari luar Malaka, yakni
94 Robert Fahik
suku Bugis, Makasar, Jawa, Sumatera, dan Bali
serta berbagai daerah lainnya di nusantara. Namun
yang menarik, di sini tidak pernah ada pertikaian
atas nama agama. Ini menjadi warna tersendiri yang
patut dibanggakan dan terus dipupuk.
Lingkungan alam. Ini kadang luput dari pem
bicaraan. Orang mengira bahwa berbicara tentang
kebersamaan berarti hanya berbicara tentang hu
bungan antarmanusia. Tidak. Kebersamaan sesung
guhnya juga adalah kebersamaan manusia dengan
alam. Benar bahwa manusia diberi kebebasan untuk
mengolah alam demi hidupnya. Namun kebebasan
itu tentu adalah kebebasan yang bertanggung jawab.
Alam perlu dihargai. Alam perlu diperlakukan se
cara baik seperti seorang sahabat.
Banyak hutan lindung yang kini terancam
punah. Salah satu yang paling jelas ialah hutan
We Mer. Dijadikan lahan untuk berkebun, hutan
lindung ini nyaris sepi dari pohon-pohon besar dan
ribuan rumpun bambu yang dulu berdiri tegak
di punggung bukit ini. Apa yang salah? Sampai
hari ini saya hanya bisa menangis bila mengenang
hijaunya hutan ini. Kicauan burung. Angin sejuk
yang berhembus. Saya hanya bisa menangis karena
situasi ini sudah begitu lama. Dulu pernah dilaku
kan penghijauan. Namun tidak berbuah hasil. Saya
hanya terus bermimpi, suatu hari nanti, We Mer
kembali hijau seperti dulu. Ketahuilah, ketika me
ngatakan ini, saya menangis. Entah mengapa.
***
Mutis 95
USAI menulis, aku menyerahkan tiga surat itu
kepada tiga sahabatku; uku Mery, Nahak, dan
Seran. Kepada uku Mery, aku memberikan surat
pertama. Nahak dan Seran masing-masing men
dapatkan surat kedua dan ketiga. Dalam beberapa
saat mereka membaca surat itu dengan tenang.
“Tolong perbanyak surat ini dan berikan ke
pada siapa saja yang berkenan membacanya. Per
mintaanku secara khusus, tolong serahkan surat
ini kepada Uku, sahabat masa kecilku yang kini
menjadi anggota DPRD Malaka. Dalam beberapa
kesempatan kami sudah sering berdiskusi tentang
bagaimana membangun Malaka. Dia tentu tahu
apa yang harus dia perjuangkan sebagai wakil
rakyat.”
Usai bicara, aku meminta tiga sahabatku
masing-masing menuliskan puisi ini. Aku mem
baptisnya sebagai “Puisi Kehidupan”:
Seperti Benenai, cintaku terus mengalir untukmu.
Tanpa seorang pun tahu, ketika keringatku me
ngucur deras pada dinding-batu kehidupan yang
kuterjang;
ketika darahku menetes pilu
pada tiap lekukan ruang dan waktu yang kulalui;
dan ketika air mataku berderai haru mengenangmu.
***
96 Robert Fahik
KEESOKAN harinya ketika hendak berangkat
ke Mutis, aku sendirian ke tepi sungai Benenai.
Ketika itu aku sudah mendengar kabar bahwa
dalam waktu dekat Mey akan datang ke Malaka.
Pikirku ini terlalu cepat, karena belum genap tiga
bulan yang lalu kami bertemu di Malaka.
Namun mungkin perjalananku ke Mutis ada
lah cara alam memanggilku untuk menghindari
kenyataan hidup; bertemu Mey. Perjumpaan kem
bali dengan Mey untuk kedua kalinya di Malaka
mungkin akan segera memadamkan api cintaku
untuk Noy dan untuk Malaka. Atau perjalananku
ke Mutis justru menjadi cara alam memberi ke
tenangan bagi jiwaku untuk bisa meng hadapi
suatu babak baru kehidupan; menemukan cinta
dalam diri Mey.
Seribu satu pemikiran menemaniku di tepi
sungai itu. Di mataku air sungai mengalir begitu
tenang. Damai. Indah. Dan entah mengapa, tiba-
tiba ada dorongan yang begitu kuat, yang tak
mampu kubendung. Aku juga ingin merasakan
kedamaian itu, keindahan itu. Seketika kerinduan
mendalam menderaku.
Ketika itu aku menyadari ada seseorang yang
mendekatiku. Dialah Mey. Kehadiran yang be
gitu cepat. Tak pernah kuduga lagi pertemuan ini.
Tapi aku menghadapi kenyataan itu. Mey sudah
di sampingku, tepat ketika aku hendak mening
galkan Malaka.
Mutis 97
“Semalam kami tiba dari Kupang. Aku men
dengar hari ini kau akan ke Mutis, mengunjungi
saudari kembarmu yang sedang sakit. Aku tahu
sebelum berangkat, kau pasti ke Benenai,” kata
Mey.
“Mey…”
“Aku sengaja mengatur kunjungan ke Malaka
lebih awal dari daerah lainnya. Presentasi awal
kami tentang berbagai potensi di sini mendapat
tanggapan positif dari kalangan investor. Bahkan
dalam kunjungan survei lanjutan ini beberapa
investor sudah mengirim perwakilannya untuk
melihat secara langsung kenyataan di sini. Kau
tahu, aku tidak hanya ingin agar proses ini cepat
terlaksana untuk masyarakat Malaka. Aku ingin
segera bertemu lagi denganmu. Aku mencoba
bertahan tapi tak bisa, Manek. Aku selalu meng
ingatmu. Entah mengapa, melihatmu saja aku
sudah sangat bahagia. Aku tak menginginkan
yang lebih selain kesadaranmu bahwa kita pernah
bersama, dan bahwa aku pernah dan akan selalu
mencintaimu,” kali ini mata Mey terlihat digenangi
air mata yang tertahan.
“Mey…”
“Pertunanganku ditunda.”
“Ditunda?”
“Aku yang menundanya.”
“Kenapa?”
98 Robert Fahik
“Aku masih ingin ke Malaka, menemui
mu sebagai orang bebas. Manek, ijinkan aku ikut
bersamamu ke Mutis. Kalau pun aku tak men
dapatkan cintamu, biarlah ini menjadi perminta
an terakhirku. Aku sudah meminta teman-teman
untuk menjalankan semua tugas yang perlu di
buat di sini. Manek, aku sudah dan akan selalu
mencintaimu sampai kapan pun. Kalau pun aku
pulang dan menikah, aku sudah berjanji untuk
terus mendukung perjuanganmu mem bangun
Malaka dengan apa pun yang bisa aku perjuang
kan. Kini ijinkan aku. Aku mau ikut ke Mutis.”
“Mutis cukup jauh dari sini, Mey. Aku juga
belum tahu berapa lama harus di sana. Aku tak
ingin membebanimu dengan perjalanan ini.”
“Ini bukan beban bagiku. Ini adalah keba
hagiaan yang belum pernah kudapatkan, dan
kebahagiaan yang tak bisa dirampas oleh siapa
pun, ketika bisa menemanimu ke Mutis.”
“Mey…”
Mey tak bisa menahan air matanya. Pipinya
yang lesung mulai basah. Tak ada kata-kata yang
terucap. Tapi aku tahu air matanya mewakili se
mua kata yang tak terucap itu.
Aku meraih kedua tangannya. Dengan hati
berdebar-debar kutatap kedua bola matanya yang
masih digenangi air mata.
“Ketika di puncak gunung, kita selalu me
lihat keindahan dan seolah tak ingin turun lagi.
Mutis 99
Padahal di kaki gunung itulah kita bergelut
dengan keindahan itu dalam setiap tetes keringat,
darah, dan air mata,” kataku.
“Namun ada saat di mana setiap orang perlu
berani naik ke puncak gunung. Legenda Jepang
mengatakan, atap rumah adalah tempat yang
paling dekat dengan para dewa di langit. Jika kau
menuliskan impianmu dengan kesungguhan di
atas atap rumah, maka impianmu itu akan menjadi
kenyataan. Mutis tentu jauh lebih tinggi dari atap
sebuah rumah. Kita bisa menuliskan mimpi-
mimpi kita di sana, siapa tahu mimpi-mimpi itu
dapat menjadi kenyataan,” suara Mey terdengar
begitu lirih. Kata-katanya yang mengalir lembut
membuatku tak mampu menyadari apa pun ke
cuali keinginannya yang begitu kuat untuk me
nemaniku ke Mutis. Kesadaran lainnya ialah
bahwa aku semakin merindukan kebersamaan
dengannya. Entah mengapa.
“Kalau mau ke Mutis, kau harus siap untuk
kembali ke Malaka, seperti Benenai yang terus
mengalir ini,” kataku.
“Kembali?”
“Agar kehidupan terus berjalan.”
“Bagaimana denganmu?”
“Hatiku selalu di sini.”
“Hati kita.”
***
101
indahan, serta nosi dan emosi, dan daya evokasi
susastra itu secara baik dan memuaskan.
Demikianlah pandangan yang saya anut.
Dan berdasarkan pandangan itulah susastra se
bagai suatu dunia kehidupan, saya jelajahi sesuai
batas-batas kemampuan saya. Yang dimaksud
kan dengan menjelajahi di sini ialah meneliti dan
mengamati melalui aktivitas membaca dan ber
kontemplasi. Ya, sekali lagi, membaca dan berkon
templasi. Penjelajahan seperti inilah yang saya
lakukan atas novel karya R. Fahik Seperti Benenai,
Cintaku Terus Mengalir Untukmu.
Ketika membaca novel ini dan membiar
kan totalitas daya-daya roh dan integritas intelek
kedirian saya bergelut dalam kontemplasi, citra
visual dalam imajinasi saya menyaksikan suatu
pelangi, yaitu suatu lengkung spektrum warna di
langit di atas Benenai yang airnya terus mengalir.
Lengkung spektrum warna di langit (pelangi) di
atas Benenai itu merefleksikan pergulatan-per
gulatan antara cinta dan kesetiaan; antara cinta
dan derita; antara cinta dan pengabdian; antara
cinta dan pengharapan; di tengah-tengah kurun
waktu dan ruang demi Malaka dan demi masa
depan tokoh-tokoh yang berlakon di pentas dunia
kehidupan, antara pengharapan dan harapan
untuk memperoleh.
Dan untuk semuanya itulah, antara Benenai
dan Malaka—lembah tempat cinta, kesetiaan, dan
Epilog 103
dengan nomor: VIAF ID: 289527833 (Personal) di
National Library of the Netherlands-test.
105
Apshara (2016). Buku lain yang juga ditulisnya
adalah Mengenal dan Mencintai Buku Harian
(2015), Johannis E. Ottemoesoe, Totalitas Untuk
PDAM dan Kabupaten Kupang (2017), Ayub Titu
Eki dan Kisah Taman Eden di Kabupaten Kupang
(2017). Beberapa puisi dan cerpennya masuk
dalam antologi karya sastra yang diterbitkan
Kantor Bahasa NTT yakni Senja di Kota Kupang
(2013), Kematian Sasando (2013), dan Nyanyian
Sasando (2015). Kontak pribadi: 085253368008
(Tlp/WA), Robertus Fahik (FB), robertusfahik.
blogspt.com (blog).