Anda di halaman 1dari 21

Nama : Mitsiebenson Sitepu

NIM : 180510054
Semester : II (Dua)
Kelas :1B
Mata Kuliah : Logika dan Bahasa
Dosen : Anton Moa, Lic. S. Th.

BAHASA SEBAGAI PERMAINAN EKSISTENSIAL BAGI MANUSIA

Ulasan Filosofis Pemikiran Martin Heidegger dan Ludwig Wittgenstein Mengenai


Bahasa

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bahasa adalah hal yang sangat akrab dengan manusia, yang digunakan sebagai sarana
untuk berkomunikasi, baik antar pribadi maupun kelompok. Menurut Gorys Keraf, bahasa
adalah alat komunikasi antar anggota masyarakat, berupa simbol bunyi yang dihasilkan oleh
alat ucap manusia.1 Dalam konteks sejarah, bahasa dianggap sebagai prestasi terbesar
manusia.2 Alasannya ialah karena bahasa menjadi sarana, yang mempercepat perkembangan
manusia. Awalnya, kemajuan atau perkembangan manusia dinilai sangat lambat, sebab
manusia hanya berfokus pada kegiatan berburu dan mengumpulkan makanan. Namun, setelah
manusia mulai mengembangkan bahasa lisan, perkembangan peradaban manusia menjadi
lebih cepat, karena bahasa itu sendiri memungkinkan seseorang untuk memperoleh dan
membagikan pengetahuan, pengalaman, dan perasaan-perasaan dari orang yang satu ke orang
lainnya. Oleh karena itu, bahasa adalah faktor yang menentukan di dalam perkembangan
kebudayaan dan penyampaiannya dari satu generasi ke generasi berikutnya.3
Bahasa melekat dan umum bagi manusia, namun bahasa jarang dibahas secara
mendalam, sebagaimana ilmu lainnya. Pembelajaran bahasa hanya dimaksudkan agar

1 Lesta Joseph Sembiring, Mari Mencintai Bahasa Indonesia ([tanpa tempat terbit]: [tanpa penerbit], [tanpa
tahun terbit]), hlm. 4 (Diktat).

2 Saut Pasaribu, Peradaban Barat Dari Zaman Kuno Sampai Zaman Pencerahan (Bantul: Kreasi Wacana,
2012), hlm. 5.

3 Saut Pasaribu, Peradaban Barat…, hlm. 5.


1
sesorang dapat menggunakan bahasa dengan baik dan dapat berkomunikasi dengan banyak
orang, yang saling memiliki latar belakang berbeda-beda. Maka, sampai pada taraf ini,
kebanyakan orang hanya memahami bahasa sebagai alat atau sarana berkomunikasi saja,
sehingga kurang memberi perhatian pada makna terdalam dari bahasa, yang adalah sarana
bagi manusia untuk menguasai pengetahuan.4 Seperti yang dikatakan Wittgenstein dalam
Tractatus Logico-Philosophicus, “Die, Grenzen meiner Sprache bedeuten die Grenzen meine
Welt”5, (Batas bahasaku ialah batas duniaku). Sementara itu, ada beberapa ahli yang
mengungkapkan pendapat yang berbeda mengenai bahasa dan makna terdalamnya. Ernst
Cassier, misalnya, menyebut manusia sebagai Animal Simbolicum, yakni mahluk yang
menggunakan simbol, yang secara generik mempunyai cakupan lebih luas daripada Homo
Sapiens (mahluk yang berpikir). Hal ini terjadi karena dalam kegiatan berpikirnya manusia
menggunakan simbol.6 Karena itu, bahasa dan berpikir adalah dua hal yang berhubungan
sangat erat dan juga sangat penting bagi manusia. Tanpa bahasa manusia tidak dapat berpikir
dengan sistematis, juga tidak dapat dan meneruskan nilai-nilai budaya dari generasi yang satu
ke generasi selanjutnya.
Hal ini diafirmasi oleh seorang ahli bahasa, Aldous Huxley, yang menyatakan bahwa,
“tanpa bahasa, manusia tidak berbeda dengan anjing dan monyet”.7 Sementara itu, menurut
Martin Heidegger, bahasalah yang membuat manusia menjadi manusia.8 Bagi Heidegger
bahasa bukanlah sekadar alat, sebab bahasa yang sesungguhnya, tidak mempunyai tujuan di
luar bahasa itu sendiri.9
Setelah melihat dan membandingkan pemikiran mengenai bahasa dari beberapa
tokoh, penulis memilih tokoh Martin Heidegger dan Ludwig Wittgenstein sebagai tokoh yang
pemikirannya akan dibahas dan dibandingkan agar mendapatkan pemahaman yang lebih
dalam tentang bahasa. Hal ini terjadi karena Heidegger secara khusus membahas hakikat dari
bahasa dalam hubungannya dengan das Sein, sehingga pemikirannya membantu dalam

4 Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Sinar Harapan, 1988), hlm. 171.

5 Ludwig Wittgenstein, Tractatus Logico-Philosophicus (Translated by D. F. Pears and B. F. McGuinness),


(London: Routledge Classics, 2001), hlm. 115.

6 Ernst Cassier, An Essay on Man, (New Heaven, Yale University Press, 1994).

7 Aldous Huxley, “Words and Their Meaning”, The Importance of Language,ed. Max Black (Englewood Cliffs,
N. J.: Prentice Hall,1992), hlm. 5.

8 W. Poespoprodjo, Interpretasi, (Bandung, Remadja Karya, 1987), hlm. 88.

9 W. Poespoprodjo, Interpretasi…, hlm. 89.


2
memahami makna terdalam dari bahasa itu sendiri. Adapun Wittgenstein menegaskan akan
pentingnya melihat konteks penggunaan bahasa dalam language games, agar setiap pihak
dapat memahami arti atau makna dari kata atau bahasa yang digunakan.

1.2 Perumusan Masalah


Bahasa akhirnya menjadi salah satu pokok bahasan yang penting dalam filsafat
dengan munculnya beragam pemikiran tokoh yang memusatkan perhatian dan pemikirannya
pada pengembangan dan penggunaan bahasa yang baik dan benar. Untuk lebih memahami
apa sebenarnya makna bahasa dan bagaimana seharusnya kita menggunakannya, penulis akan
membahas dan memperbandingkan dua pemikiran dari filsuf yang memberi perhatian terkait
pemaknaan bahasa dan penggunaannya dalam kehidupan sehari-hari. Berikut adalah
perumusan masalah yang dirumuskan untuk menjawab pertanyaan terkait dengan bahasa dan
penggunaannya dalam hidup sehari-hari:
1. Bab I Pendahuluan
1.1Latar belakang pemilihan tokoh terkait dengan filsafat bahasa.
1.2Perumusan masalah untuk menjawab pertanyaan terkait dengan bahasa.
1.3Tujuan dari penulisan paper.
2. Bab II Pemikiran Filsuf-filsuf yang dipilih.
2.1Martin Heidegger
2.1.1 Biografi Martin Heidegger.
2.1.2 Karya-karya Martin Heidegger.
2.1.3 Pemikiran Filosofis Heidegger.
2.1.4 Pemikiran Heidegger mengenai bahasa.
2.2Ludwig Wittgenstein
2.2.1 Biografi Ludwig Wittgenstein.
2.2.2 Pemikiran Filosofis Wittgenstein.
2.2.3 Language Games.
3. Refleksi Kritis
3. 1 Perbandingan pemikiran Filsuf yang dipilih.
3. 2 Relevansi pemikiran filsuf dengan penggunaan bahasa pada zaman ini.
3. 3 Relevansi bagi penulis selaku calon imam.
4. Bab IV Penutup dan Kesimpulan.

1.3 Tujuan dan Manfaat


Penulis menuliskan tugas ini untuk beberapa tujuan sebagai berikut:
1. Untuk memenuhi nilai tugas dan Ujian Tengah Semester mata kuliah Logika
dan Bahasa
2. Memberikan pemahaman yang lebih mendalam mengenai makna bahasa
3. Membantu pembaca mengenal tokoh filsuf yang membahas bahasa dalam
pemikiran filosofisnya
4. Memberi pemahaman mengenai permainan bahasa dan kegunaannya dalam
kehidupan sehari-hari;

3
5. Memberi pendasaran filosofis bagi penggunaan bahasa yang baik dan benar di
zaman ini.

BAB II PEMIKIRAN FILSUF-FILSUF BAHASA


2.1 Martin Heidegger
2.1.1 Biografi Martin Heidegger

Martin Heidegger dilahirkan dalam keluarga sederhana pada tanggal 26 September


1889, di Messkirch.10 Tahun 1909 ia masuk Universitas Fierburg dan belajar teologi selama
empat semester. Namun, kemudian ia berpindah haluan dan mempelajari filsafat, ilmu
pengetahuan alam dan manusia. Heidegger mendapat disertasi Franz Bentano Von der
mannigfachen Bedeutung des Seienden nach Aristoteles (tentang banyak makna kata Ada
menurut Aristoteles), oleh Dr. Konrad Grӧber. Pada tahun 1913, Heidegger memperoleh
gelar Doktor Filsafat dengan disertasi tentang Die lehre vom Urteil im Psychologimus (ajaran
tentang putusan dalam psikologisme) di bawah bimbingan Prof. Heinrich Rickert yang
beraliran neokantianisme.11 Pada 1986, Husserl datang menggantikan Prof. Rickert. Hal ini
menjadi momen penting bagi Heidegger. Perjumpaan langsung dengan Husserl membuatnya
semakin menguasai maksud dan tujuan dari fenomenologi yang telah ia pelajari selama ini.
Kemudian Heidegger diundang ke Marburg untuk menjadi profesor, dan di sanalah ia
mengarang karya besarnya Sein un Zeit.12 Tahun berikutnya, ia kembali ke Freiburg untuk
menggantikan Husserl.
Pada zaman nasionalis-sosialis, Heidegger bersatu dengan Nazisme. Pada tahun 1993
saat Hitler berkuasa, Heidegger diangkat menjadi rektor di Freiburg. Keterlibatannya dengan
Nazi disesalkan banyak muridnya. Hal ini juga membuat hubungannya dengan Husserl
memburuk, karena Husserl adalah seorang Yahudi yang menderita, tetapi tidak ingin pergi
dari Jerman. Namun, sesungguhnya Heidegger kecewa terhadap pemerintahan nasionalis-
sosialis, dan kemudian mengundurkan diri dari jabatan rektor setelah menjabat selama 10
bulan. Setelah itu, ia mendapat banyak tantangan dari pemerintah seperti larangan mengajar

10 K. Bertens, Filsafat Barat Abad XX, Inggris-Jerman (Jakarta: Gramedia, 1983), hlm. 142

11 K. Bertens, Filsafat Barat…, hlm. 142

12 K. Bertens, Filsafat Barat…, hlm. 143


4
dan juga kerja paksa. Heidegger meninggal pada tanggal 26 Mei 1976 dan dikebumikan di
sebelah orang tuanya di kota asalnya, Messkirch.13
2.1.2 Karya-karya Heidegger
Karya Heidegger yang sangat terkenal ialah “Ada dan Waktu”, yang terbit sebagai
jilid pertama (walau tidak lengkap). Dalam cetakan ke-7, Heidegger menambahkan catatan
pendek tentangnya bahwa jilid kedua tidak akan pernah terbit. Hal itu juga dipengaruhi oleh
perkembangan pemikiran dari Heidegger. Ada banyak karya lainnya yang dikelompokkan
berdasarkan isinya. Misalnya, karyanya yang berisi ceramah atau kumpulan ceramahnya
seperti Was ist Metaphysik?(1929).14 Ada juga yang berisi kumpulan kuliahnya yang pernah
ia berikan di Universitas seperti Was heisst Denken?(1954). Berdasarkan pendapat para ahli,
karya Heidegger termasuk karya yang sangat sulit untuk dipahami, karena memang tidak ada
karya filsafat orisinal yang sangat mudah dimengerti. Para ahli bahasa berpendapat bahwa
bahasa yang digunakan Heidegger buruk, dan istilah-istilah etimologis yang ia gunakan
banyak diragukan. Selain itu, ia juga banyak menciptakan istilah baru yang sulit dimengerti
oleh banyak orang. Misalnya das Nichts nichtet (artinya: ketiadaan meniada). Hal lainnya
ialah penggunaan tanda hubung seperti Ek-Sistenz atau In-der-welt-Sein.15
Namun, bagi sebagian ahli yang mempelajari karya Heidegger secara mendalam
percaya bahwa ia berhasil menciptakan bahasa yang cocok untuk pemikiran yang mendalam
dan orisinal. Hal ini juga yang menjadi alasan mengapa usaha penerjemahan karyanya ke
dalam bahasa lain membutuhkan waktu yang cukup panjang. Misalnya dalam bahasa Inggris
baru keluar tahun 1962 dan terjemahan bahasa Prancis (belum lengkap) pada tahun 1964.16
2.1.3 Pemikiran Filosofis
2.1.3.1 Periode Pertama
Pada periode pertama Heidegger terkenal dengan karya besarnya “Ada dan Waktu”
(Sein un Zeit). Namun, karyanya ini sering disalahtafsirkan sebagai paham eksistensialisme,
yakni ajaran tentang manusia yang dipandang sebagai “eksistensi”. Dalam hal ini, ada
pengaruh dari Kierkegaard (bapak eksistensialisme). Lebih lagi, dalam “Ada dan Waktu”,
Heidegger membicarakan tema eksistensialistis seperti kecemasan (Angst) dan kematian.
Namun, Heidegger menolak dengan tegas tafsiran eksistensialistis atas karyanya ini. Sejak
surat itu diterbitkan, tidak ada lagi dasar bagi interpretasi bergaya eksistensialis. Heidegger

13 K. Bertens, Filsafat Barat…, hlm. 144

14 K. Bertens, Filsafat Barat…, hlm. 145

15 K. Bertens, Filsafat Barat…, hlm. 146.

16 K. Bertens, Filsafat Barat…, hlm. 146.


5
menegaskan dalam pendahuluan bukunya, bahwa tujuan dari karyanya ialah mengajukan
pertanyaan tentang makna Ada, dengan cara yang baru. Hal itu dibuatnya karena ia
mengamati bahwa pertanyaan itu mulai dilupakan. Dengan bantuan fenomenologi, ia ingin
menghidupkannya kembali. Bagi Heidegger, sebelum bertanya akan “Ada”, kita harus
bertanya akan Ada-nya manusia. Namun, Heidegger jarang menggunakan istilah manusia dan
bahkan tidak pernah menggunakan kata “aku”, persona dan subjek dalam karyanya. Ia
menggunakan kata Dasein (berada di situ). “Berada” berarti mengambil tempat, artinya
manusia harus keluar dari dirinya dan berdiri di tengah-tengah segala yang berada. 17
Heidegger memperhatikan struktur Dasein, yang disifatkannya sebagai “eksistensi” dan
“berada-dalam-dunia”, dengan ciri hakiki yang disebut “eksistentilalia”. Dalam bagian kedua
diterangkan makna ontologis (Seinssinn) Dasein terletak pada temporalitasnya (Zeitlichkeit)
dan bahwa Sorge (keprihatinan) harus dimengerti dalam rangka temporalitas. Temporalitas
Dasein adalah terutama orientasi pada waktu mendatang. Seksi ketiga dari bagian pertama
ini, yang rencananya akan berjudul “Waktu dan Ada”, tidak akan pernah terbit. Jadi
perspektifnya terbalik dari “Ada dan Waktu”. Ia hendak mencari makna Ada dari sisi
temporalitasnya. Dalam bagian pertama, Heidegger sering menunjuk pada bagian ketiga ini,
dan sebenarnya bagian pertama dapat dipahami secara mendalam justru pada bagian ketiga
ini.
2.1.3.2 Periode Kedua
Pembedaan Heidegger I dan Heidegger II hanya dapat ditaruh atas syarat bahwa melalui
Heidegger I orang dapat masuk dalam Heidegger II. Tetapi Heidegger I hanya mungkin kalau
terkandung dalam Heidegger II. Filsafatnya yang kemudian diberi nama “pemikiran”
(Denken) atau pemikiran-akan-Ada (Seins denken). Melalui fenomenologi dalam Heidegger
I, orang dapat sampai pada Heidegger II. Mungkin saja Kehre (pembalikan) dalam karya
Heidegger disebabkan karena bagi Heidegger, analisa Dasein (seperti dalam Ada dan Waktu)
tidak lagi menjadi titik pangkal untuk membeberkan pertanyaan-akan-Ada, karena analisa
tersebut hanyalah mungkin bila Ada itu sendiri tampak, sebagai “tidak tersembunyi”.
Ketidaktersembunyian adalah interpretasi Heidegger untuk kebenaran, karena hal itu
mendasari atau memungkinkan analisa tentang Dasein. Heidegger menafsirkannya dari
bahasa Yunani alêtheia. Kata alétheia ditafsirkan menjadi a (artinya “tidak”) dan lêthê
(artinya ketersembunyian). Arti kata ini ditemukannya saat menjadi asisten Husserl. Salah
satu ciri pokok dalam Heidegger II ialah adanya suatu “Sejarah Ada” (Geschicte des Seins)
yang menyangkut perbedaan ontologis (ontogische Differenz). Di dalamnya dibahas

17 Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2 (Yogyakarta: Kanisius, 2002), hlm. 150.
6
perbedaan antara “Ada” dengan “adaan”. Ciri khas dari periode metafisika ialah lupa-akan
Ada (Seinsvergessenheit), di mana perbedaan antara “Ada” dan “adaan” dilupakan. Hal itu
tidak disebabkan oleh keteledoran manusia, juga bukan karena kebetulan, melainkan lupa-
akan-Ada menjadi cara bagaimana “Sejarah Ada” berlaku bagi kita. Dalam perbedaan
ontologis ada dua cara berpikir yakni “pemikiran yang memperhitungkan” dan “pemikiran
yang memperhatikan”. Pemikiran yang memperhitungkan coba menerangkan adaan dengan
mengasalkannnya pada yang lain. Dengan pemikiran ini, segala sesuatu dapat dikalkulasi,
diatur, dikuasai dan dimanipulasi. Cara berfikir ini juga disebut sebagai cara berfikir
metafisika, yang disertai lupa-akan-Ada. Pemikiran ini biasanya digunakan dalam ilmu
pengetahuan. Sedangkan “pemikiran yang memperhatikan” adalah pemikiran yang melihat
perbedaan ontologis dan memberikan perhatian pada Ada. Untuk menjalankan pemikiran ini,
kita harus mengatasi metafisika (Ueberwindung der Metaphysik). Hanya saja, bahasa yang
kita miliki adalah bahasa metafisika. Oleh karena itu, Heidegger mencoba menciptakan
“bahasa baru”, yang mengatasi bahasa metafisika dan berdekatan dengan bahasa penyair,
agar dapat mengungkapkan pemikiran yang memperhatikan.
2.1.4 Pendapat Mengenai Bahasa
Dalam karya besarnya, Sein und Zeit, Heidegger merumuskan manusia sebagai
Seindes, das redet (manusia adalah ada yang bercakap). Maka dari itu, bahasalah yang
memungkinkan manusia menjadi manusia yang sesungguhnya. Dalam karyanya Das
Wesender Sprache, ia menegaskan bahwa dass der Mensch den eigentlichen Aufenthalt
seines Daseins in der Sprache hat (tempat tinggal yang sebenarnya dari keberadaan manusia
adalah di dalam bahasa).18 Dengan begitu, Heidegger menolak secara tegas ujaran yang
menganggap bahasa hanya sebuah “alat”. Justru baginya, bahasa yang sesungguhnya
bukanlah sarana untuk sesuatu yang lain dan tidak mempunyai tujuan di luar bahasa itu
sendiri. Das Sein adalah bahasa sejati karena menimbulkan pikiran atau mendorong manusia
untuk berpikir. Oleh karena itu, bahasa tidak berasal dari manusia, melainkan jawaban
manusia terhadap panggilan das Sein. Dalam berkata-kata yang sesungguhnya, das Sein di-
kata-kan. Dengan berpikir dan berkata, manusia meng-kata-kan das Sien, dan dengan begitu
bahasa tampil dan tampak serta lepas dari keterlupaan dan dari kegelapan. 19 Bahasa dan
pikiran adalah tempat terjadinya peristiwa das Sein atau tempat tampaknya das Sein.20 Saat
manusia berkata, sebenarnya yang berkata ialah bahasa itu sendiri. “Berbicaranya” bahasa
18 W. Poespoprodjo, Interpretasi…, hlm. 88.

19 W. Poespoprodjo, Interpretasi…, hlm. 89.

20 M. Heidegger, Ueber den Humanismus (Frankfurt a. M., 1947), hlm.5.


7
memungkinkan manusia berkata sesuatu, menggunakan bahasa yang sejati. 21 Hanya saja,
bahasa membutuhkan manusia sebagai “pengeras suara”, atau dengan kata lain bahasalah
yang menggunakan manusia sebagai “sarana” keluar dari “ketersembunyiannya”.
Kemudian Heidegger mengatakan bahwa proses “menangkap” bahasa adalah suatu
proses atau jalan, yang dapat ditemukan jika langkahnya tertelusuri. Baginya manusia
senantiasa berada dalam jalan menuju bahasa.22 Pernyataan lain dari Heidegger, yang sangat
penting, mengenai bahasa ialah, “Apa yang dikatakan sebagai Ada yang benar dan sejatilah,
Ada yang diinformasikan dan dinyatakan secara menyeluruh tanpa menyembunyikan
sesuatupun”.23
2.2 Ludwig Wittgenstein
2.2.1 Riwayat Hidup Wittgenstein
Ludwig Josef Johann Wittgenstein dilahirkan pada tanggal 26 April 1889, sebagai
anak ke delapan dari keluarga terkaya di Habsburg Vienna. 24 Ayah dan ibunya berbakat dalam
musik, sehingga rumah mereka menjadi semacam pusat musik di Wina. 25 Oleh karena itu,
musik memainkan peranan penting dalam hidup Wittgenstein, dan hal ini terlihat dalam
contoh yang dibuatnya dalam karyanya. Tahun 1906, Wittgenstein belajar di Sekolah Tinggi
Teknik di Berlin. Namun, dua tahun kemudian ia melanjutkan studinya di Manchester
(Inggris).26 Di sanalah ia belajar mengenai teknik pesawat terbang, secara khusus teknik
baling-baling dan mesin jet. Karena itu, ia disarankan untuk belajar pada Bertrand Russell di
Cambridge. Akhirnya tahun 1912 ia masuk Cambridge dan mempelajari filsafat di bawah
bimbingan Russell.27 Saat perang dunia berlangsung, Wittgenstein kembali ke tanah airnya
dan menjadi sukarelawan. Selama penugasannya itu, ia menulis buku mengenai filsafat yang
28
akhirnya diterbitkan pada tahun 1918. Di tahun yang sama ia menjadi tawanan perang oleh
tentara Italia, dan mengirimkan copy dari naskah yang disusunnya pada Russell dan Frege.
Akhirnya, dengan bantuan dari Russell, ia dibebaskan pada tahun 1919, dan kemudian

21 W. Poespoprodjo, Interpretasi…, hlm.90.

22 W. Poespoprodjo, Interpretasi…, hlm.90.

23 K. Bertens, Filsafat Barat…, hlm. 163.

24 Ray Monk, Ludwig Wittgenstein, The Duty of Genius (London: Penguin Books, 1991), hlm.4.

25 K. Bertens, Filsafat Barat…, hlm. 38.

26 K. Bertens, Filsafat Barat…, hlm. 38.

27 K. Bertens, Filsafat Barat…, hlm. 38.

28 K. Bertens, Filsafat Barat…, hlm. 38.


8
melanjutkan diskusi dengan Russell mengenai karya yang pernah dikirimnya. Setelah lama
didiskusikan, karya Wittgenstein akhirnya terbit dalam majalah Annalen der Naturphilophie
pada tahun 1921 dengan judul “Logische Philosophische Abhanddlungen” (Ulasan-ulasan
Logis dan Filosofis).29 Setahun kemudian karya tersebut diterbitkan dalam bahasa Inggris
dengan judul Tractatus logico-philosophicus, yang disertai dengan kata pengantar dari
Russell.30 Hanya saja, Wittgenstein tidak begitu setuju dengan kata pengantar dari Russell.
Karena, bagi Wittgenstein, Russell tidak begitu memahami maksud dari karyanya. Oleh
karena itu, beberapa catatan yang ia susun, saat merancang bukunya, kemudian diterbitkan
dengan judul notebooks 1914-1916.31 Wittgenstein berharap dengan buku itu, para pembaca
dapat memahami maksudnya dalam buku pertamanya. Dengan terbitnya buku Tractatus
logico-philosophicus, Wittgenstein berpikir bahwa kariernya sebagai filsuf sudah selesai.
Buku itu juga yang menjadi dasar pemberian gelar doktor filsafat bagi Wittgenstein dari
universitas Cambridge, sehingga kemudian ia mengajar di Trinity College. Hal ini turut
menjadi salah satu hal yang berpengaruh dalam berkembangnya hal baru dalam
pemikirannya.
Selama tahun 1936 ia tinggal dalam pondoknya di Norwegia untuk mengerjakan apa
yang kemudian menjadi buku Philosophical Investigations. Selanjutnya Wittgenstein
diterima menjadi warga negara Inggris dan menjadi profesor menggantikan Moore di Trinity
College. Saat perang dunia, ia kembali menjadi relawan di salah satu rumah sakit di London
dan Newcastle.32 Setelah itu, ia merasa bahwa tugas mengajar menjadi semakin berat, maka
ia meninggalkan profesoratnya di Cambridge dan fokus pada pengerjaan buku Philosophical
Investigations.
Selama hidupnya Wittgenstein banyak mengalami tekanan secara psikis, dan
mempertimbangkan untuk bunuh diri. Salah satu penyebabnya ialah ketakutannya pada
penyakit jiwa. Oleh karena itu, berfilsafat menjadi sarana baginya untuk lepas dari keadaan
depresifnya. Akhirnya ia meninggal pada tanggal 29 April 1951 di Cambridge karena
penyakit kanker yang telah ia derita selama dua tahun.33
2.2.2 Pemikiran filosofis
2.2.2.1 Periode pertama: Tractatus logico-philosophicus

29 K. Bertens, Filsafat Barat…, hlm. 39.

30 K. Bertens, Filsafat Barat…, hlm. 39.

31 K. Bertens, Filsafat Barat…, hlm. 39.

32 K. Bertens, Filsafat Barat…, hlm. 40.

33 K. Bertens, Filsafat Barat…, hlm. 40.


9
Tractatus logico-philosophicus adalah buku pertama dari Wittgenstein. Buku ini berbicara
mengenai logika bahasa dan tidak lebih dari 75 halaman. Kendati demikian, maksud dari
Wittgenstein agak sulit untuk dipahami, karena terkadang ia tidak menyebutkan alasan yang
menghantarnya sampai pada suatu kesimpulan. Kini, hal penafsiran dipermudah dengan
hadirnya beberapa komentar seperti notebooks 1914-1916. Dalam pendahuluan bukunya,
Wittgenstein mengatakan bahwa,” The whole sense of the book might be summed up in the
following words: what can be said at all can be said clearly, and what we cannot talk about
we must pass over in silence (Makna keseluruhan dari buku ini dapat disimpulkan dalam
kata-kata ini: apa yang dapat dikatakan, semuanya dapat dikatakan dengan jelas, dan apa
yang tidak dapat dibicarakan harus kita pahami dalam keheningan). 34 Wittgenstein
menyatakan bahwa tugas filsafat yang sebenarnya ialah memberikan analisis logis yang
disertai dengan sintesis logis.35 Menurut Wittgenstein, permasalahan yang timbul dalam
filsafat disebabkan oleh pemahaman yang minim mengenai logika bahasa.
Wittgenstein berbicara mengenai fakta sebagai suatu peristiwa (state of affairs) yang
merupakan kombinasi dari benda-benda (ada interrelasi), yang adalah substansi dunia.36
Maka dunia dapat dijelaskan sebagai kumpulan objek yang saling berhubungan. Keseluruhan
fakta yang sangat kompleks, terdiri dari fakta-fakta yang kurang kompleks. Fakta ini dapat
dipilah sampai akhirnya pada fakta paling kecil (elementer), yang disebut fakta atomis, yang
berada pada dirinya dalam isolasi.
Selanjutnya, Wittgenstein berbicara mengenai proposisi. Sama halnya dengan fakta
atomis, proposisi elementer tidak dapat dianalisis menjadi proposisi yang lebih kecil.
Proposisi atomis sama derajatnya dengan fakta atomis, karena fakta atomis diungkapkan
dalam sebuah proposisi atomis. Proposisi elementer bebas dari ambiguitas atau makna ganda
dan kemungkinan-kemungkinan untuk salah tafsir. Proposisi elementer membenarkan sebuah
fakta yang juga membenarkan sebuah peristiwa. 37 Proposisi dasar adalah bagian akhir dari
proposisi-proposisi dan keseluruhannya sama dengan bahasa sedangkan dunia adalah
keseluruhan dari fakta. Maka, kebenaran dunia hanya dapat dinyatakan dalam bahasa.
Teori yang berpengaruh besar dalam pemikirannya ialah teori gambar (picture theory),
yang menyatakan bahwa bahasa menggambarkan dunia. Demikian dikatakan karena
proposisi terungkapkan melalui bahasa, maka bahasa pada dasarnya merupakan gambaran

34 Ludwig Wittgenstein, Tractatus…, hlm. 3.

35 Kaelan, Filsafat Bahasa (Yogyakarta: Paradigma, 2017), hlm. 107.

36 Abdul Chaer, Filsafat Bahasa (Jakarta: Rineka Cipta, 2016), hlm. 107-108.

37 Abdul Chaer, Filsafat…, hlm. 109.


10
dunia. Bagi Wittgenstein, sebuah proposisi adalah gambar. Artinya, bahasa kita, yang
menggambarkan dunia, dapat dianalisis menjadi sejumlah proposisi yang lebih sederhana,
bukan hanya sekadar ucapan konkrit.
Dalam buku pertamanya ini, terdapat 7 dalil38 yakni:
1. The world is all that is the case.
2. What is the case—a fact—is the existence of states of affairs.
3. A logical picture of facts is a thought.
4. A thought is a proposition with a sense.
5. A proposition is a truth-function of elementary propo-sitions. (An elementary
proposition is a truth-function of itself.)
6. The general form of a truth-function is [¯,p ξ, N(ξ)]. This is the general form
of a proposition.
7. What we cannot speak about we must pass over in silence.
Ada dua macam proposisi yang tidak dapat dianalisis seperti proposisi yang
menggambarkan realitas, yakni tautologi-tautologi dan kontradiksi-kontradiksi. Tautologi
selalu benar (misalnya, Bayu ada di kamar atau ia tidak berada di kamar), sedangkan
kontradiksi tidak pernah benar (misalnya, Bayu berada di kamar dan ia tidak berada di
kamar). Bagi Wittgenstein, sebenarnya kontradiksi dan tautologi bukanlah suatu proposisi
sejati, karena tidak menggambarkan sesuatu. Hanya saja, semua proposisi logika harus
digolongkan dalam tautologi. Proposisi itu memang tidak mengatakan sesuatu, namun itu
tidak berarti bahwa proposisi itu tidak bermakna.
Secara keseluruhan, bahasa atau kata-kata dalam Tractatus tidak begitu mudah dipahami
dan karena itu buku ini tergolong buku yang sulit. Bahasa tidak dapat melukiskan langsung
apa itu bahasa, namun tanpa kesulitan dapat melukiskan hukum-hukum fisis dan biologis.
Oleh karena itu, Wittgenstein menggunakan metafor dan analogi untuk menjelaskan apa
yang sebenarnya tidak dapat dikatakan. Periode ini disimpulkan dengan dalil ke tujuh dari
Wittgenstein dalam Tractatus yakni, “What we cannot speak about we must pass over in
silence” (Apa yang tidak dapat kita bicarakan harus dipahami dalam keheningan).

2.2.2.2 Periode kedua: Philosophical investigations


Philosophical investigations adalah buku kedua dari Wittgenstein, yang memang
dimaksudkan untuk diterbitkan.39 Sebagian besar isi dari buku ini ialah pernyataan
Wittgenstein yang mengkritik dan mengoreksi buku pertamanya Tractatus Logico-

38 Ludwig Wittgenstein, Tractatus…, hlm. 5-89.

39 K. Bertens, Filsafat Barat…, hlm. 47.


11
Philosophicus, dan pemikirannya di dalamnya mengenai bahasa. Dalam buku kedua ini, ia
menolak tiga hal yang dulu diandaikan dalam teori pertamanya yakni:
1) Bahasa dipakai hanya untuk satu tujuan saja, yakni menetapkan state of affairs
(keadaan faktual);
2) Suatu kalimat dikatakan bermakna apabila menggambarkan suatu keadaan
faktual;
3) Setiap jenis bahasa dapat dirumuskan dalam bahasa logika yang sempurna,
meskipun pada pandangan pertama sulit dilihat.
Pada bagian ini, Wittgenstein akhirnya menyadari bahwa bahasa tidak hanya digunakan
dengan satu cara saja, melainkan dengan banyak cara. Sebagaimana suatu alat dapat
mempunyai banyak fungsi, begitu pula halnya dengan bahasa. Pernyataan yang mengatakan
bahwa bahasa hanya dapat digunakan dengan satu cara saja tidak dapat diterima. Karena,
menurut Wittgenstein, hal tersebut membuat pemikiran kita hanya didasarkan pada
prasangka.
Dalam penjelasan selanjutnya, Wittgenstein mengatakan bahwa penyebab bahasa salah
dimengerti ialah bahasa itu sendiri.40 Dalam bahasa ada godaan untuk salah mengerti suatu
kalimat, dengan munculnya pertanyaan “apa makna dari suatu kalimat?”. Baginya kata selalu
menunjuk pada sesuatu. Dalam buku kedua ini, ia juga berpendapat mengenai teori makna
dalam Tractatus, “kita terkurung dalam suatu gambaran”.41 Gambaran yang dimaksud sama
dengan pengertian model (contoh). Dalam Tractatus Wittgenstein menerima begitu saja
bahasa tertentu sebagai bahasa model atau bahasa standar. Bahasa umum dapat dipahami
dengan mempelajari bahasa model tersebut atau yang biasa dikenal sebagai bahasa deskriptif,
yakni bahasa yang melukiskan keadaan faktual. Hal inilah yang kemudian dikritik oleh
Wittgenstein sendiri dalam Philosophical Investigations. Kritiknya ialah bahwa bahasa
sebenarnya dapat digunakan dalam banyak cara. Hal inilah yang dijelaskannya dalam teori
Language Games.
2.2.3 Language Games
Dalam Philosophical investigations, Wittgenstein menjelaskan penggunaan bahasa dalam
banyak cara dengan menggunakan teori language games (permainan-permainan bahasa). Ia
mencoba menggambarkan penggunaan bahasa seperti memainkan sebuah permainan.
Sebagaimana pada umumnya, setiap permainan mempunyai aturannya masing-masing. Ada
permainan yang harus dimainkan oleh dua orang anak, dan ada juga yang harus dimainkan
oleh sebuah grup yang terdiri dari lima orang, dsb. Hal itu diterapkan Wittgenstein dalam

40 K. Bertens, Filsafat Barat…, hlm. 49.

41 K. Bertens, Filsafat Barat…, hlm. 49.


12
pemikirannya terkait dengan penggunaan bahasa. Setiap bahasa, kata atau kalimat, akan
menjadi bermakna saat berada pada permainan bahasa atau konteks penggunaan bahasa yang
tepat. Jadi pada tahap ini, Wittgenstein tidak terpengaruh dengan aliran empirisme dan
neopositivisme, yang mengatakan bahwa suatu kata atau kalimat dapat dikatakan bermakna
apabila dapat dibuktikan dengan empirical verification (pembuktian secara empiris).42 Sebab,
dalam Wittgenstein II, kalimat dapat dikatakan bermakna atau tidak, bukan hanya karena
verifikasi empirisme, melainkan juga tergantung pada pemakaiannya dalam “permainan
bahasa”. Wittgenstein menegaskan bahwa setiap permainan bahasa mempunyai logika yang
khas dan sesuai. Maka significant and non-significant (istilah untuk mengatakan suatu
kalimat bermakna atau tidak), mendapat arti baru yakni dalam kesesuaiannya dengan konteks
penggunaan kalimat tersebut, atau apabila dihubungkan dengan permainan bahasa tertentu.
Dalam kehidupan sehari-hari ada banyak jenis permainan bahasa, misalnya: ada bahasa
cinta, bahasa ilmiah, bahasa dokter dsb. Hanya saja bahasa yang satu non-significant bagi
bahasa yang lain. Misalnya saja bahasa cinta tidak bermakna apabila diterapkan pada bahasa
dokter. Contoh pernyataan “cinta dari keluargaku menyembuhkan penyakitku” tidak
significant bagi dokter, karena tidak dapat dicek dengan stetoskop ataupun alat kedokteran
lainnya. Oleh karena itu sekali lagi ditegaskan, bahwa setiap language games mempunyai
bahasa dan logikanya masing-masing.43 Language games ini kemudian diterapkan tidak
hanya pada pemaknaan kata atau kalimat, melainkan pada tahap penggunaan bahasa dalam
ilmu-ilmu. Setiap ilmu mempunyai “permainan bahasa” yang khas.44
Hal yang mustahil atau tidak mungkin berdasarkan teori ini ialah membangun sebuah
aturan bahasa yang berlaku umum bagi berbagai konteks kehidupan manusia. Hal ini adalah
salah satu kesadaran dari Wittgenstein atas kesalahan obsesinya pada pemikiran pertama yang
berusaha membangun suatu bahasa ideal, yang terstruktur secara logis yang melukiskan
susunan logis realitas dunia.45 Wittgenstein tidak menolak adanya kata-kata yang bermakna
leksikal. Namun, makna dari kata-kata itu pun tergantung pada pemakaiannya dalam bahasa,
yakni kegunaan dalam kehidupan manusia.
Kehidupan manusia pada dasarnya bersifat kompleks, meliputi berbagai bidang dan
bersifat dinamis. Hal ini dengan sendirinya menciptakan berbagai macam aturan yang
kemudian dilukiskan melalui bahasa yang digunakan. Maka bahasa akan bermakna bila

42 Adelbert Snijders, Manusia dan Kebenaran (Yogyakarta: Kanisius, 2010), hlm. 143.

43 Adelbert Snijders, Manusia…, hlm. 144.

44 Adelbert Snijders, Manusia…, hlm. 147.

45 Abdul Chaer, Filsafat…, hlm. 127.


13
mampu mencerminkan berbagai aturan yang terdapat dalam setiap konteks kehidupan
manusia.46 Penggunaan kata atau ungkapan bahasa yang sama dalam konteks yang berbeda,
memang sering dijumpai dalam kehidupan keseharian. Namun hal itu tidak berarti bahasa
menghasilkan pengertian yang bersifat umum.47 Karena penggunaan kata atau ungkapan
bahasa yang sama dalam berbagai cara yang berbeda, tidak berarti makna dari kata atau
bahasa itu sama. Hal itu hanya menggambarkan adanya dasar-dasar kemiripan yang bersifat
umum.

BAB III REFLEKSI KRITIS

3. 1 Perbandingan Pemikiran Tokoh


Dalam bab II telah dipaparkan bagaimana pemikiran filsuf mengenai bahasa, yakni
Heidegger dan Wittgenstein. Kedua tokoh ini mempunyai dua sudut pandang yang berbeda,
meskipun berhadapan pada hal yang sama yakni bahasa. Heidegger berpendapat mengenai
bahasa dari sisi terdalam bahasa, yakni memulainya dengan menghubungkan bahasa dengan
hakikat manusia. Seperti yang telah dibahas pada bagian pemikiran filosofis Martin
Heidegger, baginya bahasa adalah hal yang membuat manusia menjadi manusia. Tentu saja
pendapatnya itu tidak lepas dari karya besarnya yakni Sein un Zeit atau Being and Time.
Karya besarnya ini yang menjadi dasar pendapatnya mengenai bahasa.
Bagi Heidegger bahasa bukanlah suatu alat yang diciptakan untuk menjadi sarana
bagi sesuatu yang lain. Tujuan dari bahasa itu sendiri ialah dirinya sendiri (bahasa sebagai
bahasa). Dengan begitu ia ingin menolak secara tegas pemikiran yang mengatakan bahwa
bahasa adalah sekadar alat komunikasi bagi manusia. Heidegger menyampaikan dalam
karyanya, Das Wesender Sprache, “dass der Mensch den eigentlichen Aufenthalt seines
Daseins in der Sprache hat” (Tempat tinggal yang sebenarnya dari keberadaan manusia
adalah di dalam bahasa).48 Dapat dilihat, bahwa bahkan pendapatnya ternyata berlawanan
dengan pendapat orang pada umumnya. Ia menyatakan bahwa bahasa “menggunakan”
manusia sebagai “pengeras suara”. Sehingga, bahasa dapat tampil dari “ketersembunyiannya”
dan lepas dari keadaan “lupa-akan-ada”. Karena manusia adalah “pengeras suara” bagi
bahasa, manusia seharusnya mengungkapkan bahasa sesuai dengan hakikatnya, yakni
kebenaran. Artinya, manusia seharusnya hanya mengatakan kebenaran dan bukan apa yang
dikehendaki manusia. Heidegger menekankan hal ini, agar tidak terjadi penyalahgunaan
46 Abdul Chaer, Filsafat…, hlm. 127.

47 Abdul Chaer, Filsafat…, hlm. 127.

48 W. Poespoprodjo, Interpretasi…, hlm. 88.


14
bahasa menjadi sekadar “alat” yang bahkan dapat menimbulkan masalah dalam usaha
memahami pemikiran orang lain.
Sedangkan Wittgenstein, memandang bahasa dari sisi kebermaknaannya, atau dengan
kata lain, dari sisi significant or not-significant suatu kalimat. Sebagaimana telah dipaparkan
pada bagian kedua, jelas tampak perubahan pemikiran Wittgenstein melalui karyanya dari
Tractatus ke Philosophical Investigations. Tampak bahwa pada bagian pertama Wittgenstein
berfokus pada penggunaan bahasa dengan satu cara saja seperti yang diterangkan dalam teori
gambar-nya (Picture theory). Sedangkan pada bagian kedua (Philosophical Investigations),
Wittgenstein menyadari kesalahan pemikirannya pada bagian pertama. Maka sebagian besar
isi dari Philosophical Investigations adalah kritik dan perbaikan atas pemikiran dan teori
yang disimpulkannya dalam Tractatus Logico-philosophicus.
Dalam karya keduanya, Wittgenstein membuat sebuah teori baru mengenai
pemaknaan sebuah kata atau kalimat yang tidak lagi didasarkan pada verifikasi empiris saja.
Wittgenstein memperkenalkan teori baru yakni Language Games (“Permainan-permainan
bahasa”) yang menggambarkan bahwa bahasa mempunyai banyak fungsi dan dapat
digunakan dalam berbagai cara. Artinya, ia menyangkal pendapat yang menyatakan bahwa
bahasa hanya dapat digunakan dengan satu cara saja. Wittgenstein, menegaskan bahwa
pendapat seperti itu hanya didasarkan pada prasangka saja bukan pada kenyataan yang
sesungguhnya. Selanjutnya ia menegaskan bahwa setiap bahasa, kata atau kalimat harus
ditempatkan pemaknaannya sesuai dengan “permainan bahasanya”. Bermakna atau tidaknya
suatu kalimat ditentukan oleh kesesuaian penggunaannya dalam suatu permainan bahasa atau
konteks yang tepat. Karena apabila tidak ditempatkan sesuai dengan “permainan bahasa” atau
konteksnya, bahasa itu dapat menjadi tidak berarti. Seperti misalnya, bahasa cinta dengan
bahasa kedokteran. Apabila bahasa cinta dimaknai dalam bahasa kedokteran hal itu menjadi
tidak bermakna karena dokter tidak dapat memverifikasi kebenarannya dengan alat
kedokteran apapun. Dapat disimpulkan bahwa tidak ada aturan umum yang dapat diterapkan
dalam semua permainan bahasa.
Perhatian pada konteks penggunaan suatu kalimat ini akhirnya tetap digunakan dan
diterapkan sampai saat ini dalam berbagai ilmu. Misalnya saja, pada masa ini sudah sangat
jelas bahwa umumnya orang mengetahui bahwa setiap ilmu mempunyai logikanya sendiri
layaknya sebuah permainan yang mempunyai aturannya masing-masing, sehingga sebuah
ilmu atau pernyataan-pernyataan yang ada pada setiap ilmu hanya akan menjadi bermakna
apabila dipahami sesuai dengan konteks ilmu masing-masing.
3. 2 Relevansi dengan Penggunaan Bahasa Pada Zaman Sekarang

15
Pada zaman milenial ini, bahasa menjadi salah satu topik yang menarik banyak
perhatian masyarakat terutama para mahasiswa, karena bahasa memainkan peranan yang
mendasar bagi kelancaran studi di tahap lanjutan, baik di dalam maupun luar negeri.
Beberapa tahun yang lalu, bahasa Inggris menjadi bahasa yang dianggap “berkelas”. Apabila
seseorang menguasai bahasa Inggris, hal itu menjadi sebuah nilai tambah baginya baik dalam
studi maupun untuk mencari pekerjaan.
Namun di zaman ini bahasa Inggris dianggap menjadi bahasa yang umum. Artinya,
menguasai bahasa Inggris adalah sebuah keharusan sebagaimana setiap orang menguasai
bahasa asli atau nasionalnya. Bahasa yang harus dikuasai pun menjadi lebih banyak lagi,
misalnya bahasa Prancis, Spanyol, Italia, dsb. Hal ini semakin memperbesar paham bahwa
bahasa hanyalah sebuah alat atau sarana bagi manusia untuk mencapai tujuan lain dalam
kehidupannya, misalnya untuk kelancaran studi atau kemudahan mendapatkan pekerjaan.
Selain itu, konteks penggunaan bahasa tidak lagi diperhatikan. Misalnya saja, penggunaan
bahasa tidak baku dalam karangan ilmiah, penggunaan kata yang dianggap keren atau up to
date, tanpa melihat konteksnya atau kesesuaiannya dengan arti atau makna keseluruhan dari
suatu kalimat.
Oleh karena itu, pemikiran Heidegger dan Wittgenstein sangat relevan sebagai bahan
refleksi bagi semua orang terkait dengan pemaknaan dan penggunaan bahasa dalam
kehidupan sehari-hari. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Heidegger, bahasa bukan hanya
sekadar alat komunikasi atau sarana untuk mencapai tujuan lain selain dari bahasa itu sendiri,
melainkan untuk mengungkapkan eksistensi manusia. Dengan berkata-kata dan berbahasa,
manusia menjadi manusia yang sesungguhnya. Maka, melihat pentingnya makna bahasa
dalam hidup manusia, setiap orang harus lebih selektif dalam penggunaan kata-kata dalam
kehidupan sehari-hari, karena bahasa mengungkapkan jati diri manusia yang sesungguhnya.
Pemahaman bahasa yang terbatas sebagai alat komunikasi harus ditinggalkan.
Selain itu, permasalahan yang masih hangat mengenai bahasa ialah terkait dengan
hoax atau berita bohong. Banyak sekali berita bohong yang beredar dengan isinya yang
beragam. Misalnya mengenai ujaran kebencian terhadap kelompok tertentu, ataupun
pernyataan yang isinya mencemarkan nama baik pihak tertentu. Berita palsu ini menebar
banyak kecemasan dan kebencian di masyarakat. Apabila dibandingkan dengan pemikiran
Heidegger, beredarnya berita bohong atau hoax ini merupakan suatu bentuk pengkhianatan
akan makna sejati dari bahasa, yakni sebagai ungkapan Ada yang benar dan sejati. Maka dari
itu, kita sebagai “pengeras suara” bagi bahasa yang pada hakikatnya adalah ungkapan
kebenaran yang sejati, harus menjadi pewarta kebenaran bagi semua orang. Kita harus

16
selektif dalam menerima dan mengolah berita yang kita terima, terutama dari media massa
yang terkadang disalahgunakan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab untuk menciptakan
kekacauan dan kecemasan di masyarakat. Agar kita tetap dapat menjadi pewarta kebenaran,
yang mengusahakan kedamaian dan ketenangan di masyarakat serta memberikan informasi
yang berguna bagi perkembangan banyak orang. Sikap kritis dan waspada selalu harus kita
bina dalam diri kita.
Berkaitan dengan pemikiran Wittgenstein, kita perlu juga memperhatikan “permainan
bahasa” yang kita ikuti dalam kehidupan sehari-hari. Perhatian akan Language games
merupakan hal yang penting, karena hal itu menentukan makna dari suatu kata atau kalimat
yang kita gunakan. Apabila kata atau kalimat yang kita gunakan tidak sesuai dengan
permainan bahasa yang kita ikuti, perkataan kita dapat dimaknai secara salah oleh orang lain
atau perkataan kita menjadi tidak bermakna. Misalnya saja, saat sedang bersama dengan
teman-teman atau orang sebaya, bahasa yang digunakan ialah bahasa lelucon, karena
“permainan bahasa” lelucon cocok untuk “mencairkan” suasana dan mempererat hubungan
pertemanan di antara kelompok sebaya. Namun, saat berhadapan dengan orang yang lebih
tua, atau situasi yang lebih serius, misalnya diskusi di kelas, bahasa lelucon tidak lagi cocok
digunakan, melainkan menggunakan bahasa yang sopan dan formal. Dengan memperhatikan
“permainan bahasa” (Language Games), pembicaraan akan menjadi lebih hidup dan tidak lari
atau melenceng dari substansi yang sedang dibicarakan.
3. 3 Relevansi Bagi Penulis Selaku Calon Imam
Menjadi seorang imam adalah sebuah panggilan hidup. Pendidikan sebagai seorang
calon imam juga bukanlah pendidikan yang biasa. Proses pendidikannya menghabiskan
waktu yang cukup lama, sekitar 10-11 tahun. Waktu yang cukup panjang ini dimaksudkan
agar seorang calon imam benar-benar terbentuk menjadi pribadi yang berkualitas. Ada aspek-
aspek pembinaan yang diperhatikan selama masa pembinaan di seminari tinggi. Aspek yang
terutama ialah aspek rohani. Namun, aspek yang lain tidak kalah penting, misalnya aspek
intelektual. Dalam aspek ini, para calon imam tidak hanya dilatih untuk menguasai banyak
ilmu, tetapi juga hal yang paling mendasar, yakni pemahaman yang baik dan benar dalam
berbahasa. Hal ini menjadi salah satu aspek yang penting, karena umat akan sangat
memperhatikan perkataan atau bahasa yang digunakan oleh seorang imam, baik dalam
pembicaraan sehari-hari, maupun dalam khotbah
Melalui pendidikan di perkuliahan serta pembinaan di rumah bina, secara konstan
para calon imam dibantu untuk terus mengasah kemampuan berbahasa dan berpikir yang
teratur. Alasannya ialah karena menjadi seorang imam berarti menjadi seorang pemimpin dan
public figure, yang segala aspek kehidupannya diperhatikan banyak orang. Tidak jarang
17
bahwa perkataan dari seorang imam sendiri dianggap sebagai perkataan dari Tuhan. Dengan
kata lain, bahasa atau kata-kata seorang imam mencerminkan dirinya sebagai “wakil tuhan”
yang hadir di tengah-tengah umat. Oleh karena itu, seorang imam harus mengatur bahasa
yang digunakannya dan selektif dalam memilih kata-kata yang akan diucapkannya di
hadapan banyak orang. Dapat saja umat atau orang lain menilai bahwa seorang imam adalah
imam yang kurang berkualitas karena kemampuan berbahasa atau kata-kata yang
digunakannya tidak sesuai dengan keadaan umat yang ia layani. Misalnya saja, apabila
seorang imam menggunakan banyak istilah dari bahasa asing tanpa menjelaskannya dengan
bahasa sederhana yang dapat dimengerti seluruh umat, umat tentu cenderung akan
mengabaikan perkataan imam tersebut. Apalagi kalau imam menggunakan bahasa yang
kurang sopan, dan kata-kata yang tidak selektif, saat menyampaikan homili dalam perayaan
Ekaristi, umat akan berpandangan terhadap imam tersebut.
Karena bahasa yang penulis sampaikan adalah ungkapan diri penulis yang
sesungguhnya, maka penting bagi penulis, sebagai seorang calon imam, untuk
memperhatikan bahasa yang gunakan. Setelah itu, penulis juga harus menyesuaikan
perkataan penulis dengan konteks pembicaraan (permainan bahasa) yang sedang berlangsung
bersama umat. Dengan begitu terbangun komunikasi yang hidup dan bermakna bagi umat
yang kemudian berpengaruh bagi pertumbuhan iman umat yang ada di tempat dimana penulis
berkarya kelak.

18
BAB IV KESIMPULAN DAN PENUTUP

Bahasa adalah “rumah” bagi eksistensi (keberadaan) manusia. Berkata-kata atau


berbahasa membuat manusia menjadi manusia yang sesungguhnya. Tanpa bahasa, banyak
perkembangan dalam kehidupan manusia yang dapat saja terhambat. Perkembangan yang
terjadi saat ini, tidak lepas dari pengaruh perkembangan bahasa dan penggunaannya yang
memungkinkan setiap orang dapat saling bertukar pikiran satu-sama lain meskipun berasal
dari daerah atau negara yang berbeda. Pertukaran pikiran antar para pemikir dari berbagai
belahan dunia hanya dimungkinkan oleh pemahaman yang sama akan suatu teori meskipun
berbeda latar belakang. Bahasa menjadi salah satu syarat yang memungkinkan bertahannya
suatu kebudayaan di masyarakat, karena pewarisan suatu kebudayaan juga berlangsung
melalui bahasa dari kebudayaan tersebut.
Pemahaman akan makna dari bahasa yang kita gunakan dalam kehidupan sehari-hari
adalah hal yang penting. Orang secara sekilas dapat memahami diri orang lain dari bahasa
yang digunakannya. Bahasa atau perkataan kita adalah cerminan sederhana dari diri kita.
Sebagaimana ditegaskan oleh Heidegger bahwa, “apa yang dikatakan sebagai Ada yang benar
dan sejatilah Ada yang diinformasikan dan dinyatakan secara menyeluruh tanpa
49
menyembunyikan sesuatupun”. Pada dasarnya, manusia diutus untuk memberitakan
kebenaran. Maka dari itu, dalam menyampaikan sesuatu kita harus mengutamakan kebenaran
dari apa yang kita sampaikan, agar tercermin bahwa diri kita adalah pewarta kebenaran. Di
tengah maraknya penyebaran perkataan yang tidak benar dan berisi dusta, kita mesti menjadi
pewarta sejati kebenaran. Apalagi sebagai seorang calon imam, yang tugas utamanya ialah
mewartakan kebenaran dan Cinta Allah bagi manusia, kita mesti menjadikan kebenaran
sebagai bagian sentral dari kehidupan keseharian kita termasuk dalam perkataan kita sehari-
hari.
Semoga dengan pembahasan mengenai pemikiran Heidegger dan Wittgenstein
terhadap bahasa, pemahaman kita tentang bahasa semakin mendalam dan kita menjadi
semakin selektif dalam memilih bahasa atau kata-kata, serta kita dapat menyesuaikan bahasa
atau perkataan kita dengan konteks atau situasi yang kita hadapi. Dengan begitu, perkataan
kita menjadi lebih bermakna bagi diri sendiri dan orang lain, serta terjalin komunikasi yang
baik di antara setiap orang.

49 K. Bertens, Filsafat Barat…, hlm. 163.

19
DAFTAR PUSTAKA

Bertens, K. Filsafat Barat Abad XX, Inggris-Jerman. Jakarta: Gramedia, 1983.

Cassier, Ernst. An Essay on Man. New Heaven: Yale University Press, 1994.

Chaer, Abdul. Filsafat Bahasa. Jakarta: Rineka Cipta, 2016.


Hadiwijono, Harun. Sari Sejarah Filsafat Barat 2. Yogyakarta: Kanisius, 2002.

Heidegger, M. Ueber den Humanismus. Frankfurt a. M. 1947.


Huxley, Aldous. “Words and Their Meaning”, The Importance of Language. Englewood
Cliffs, N. J.: Prentice Hall. 1992.

Joseph Sembiring, Lesta. Mari Mencintai Bahasa Indonesia. [tanpa tempat terbit]: [tanpa
penerbit], [tanpa tahun terbit]. (Diktat).

Kaelan. Filsafat Bahasa. Yogyakarta: Paradigma, 2017.

Monk, Ray. Ludwig Wittgenstein, The Duty of Genius. London: Penguin Books, 1991.
Pasaribu, Saut. Peradaban Barat Dari Zaman Kuno Sampai Zaman Pencerahan. Bantul:
Kreasi Wacana, 2012.

Poespoprodjo, W. Interpretasi. Bandung: Remadja Karya, 1987.

Snijders, Adelbert, Manusia dan Kebenaran. Yogyakarta: Kanisius, 2010.

S. Suriasumantri, Jujun. Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Sinar Harapan,
1988.

Wittgenstein, Ludwig. Tractatus Logico-Philosophicus. London: Routledge Classics, 2001.

20
21

Anda mungkin juga menyukai