NIM : 180510054
Semester : II (Dua)
Kelas :1B
Mata Kuliah : Logika dan Bahasa
Dosen : Anton Moa, Lic. S. Th.
BAB I PENDAHULUAN
Bahasa adalah hal yang sangat akrab dengan manusia, yang digunakan sebagai sarana
untuk berkomunikasi, baik antar pribadi maupun kelompok. Menurut Gorys Keraf, bahasa
adalah alat komunikasi antar anggota masyarakat, berupa simbol bunyi yang dihasilkan oleh
alat ucap manusia.1 Dalam konteks sejarah, bahasa dianggap sebagai prestasi terbesar
manusia.2 Alasannya ialah karena bahasa menjadi sarana, yang mempercepat perkembangan
manusia. Awalnya, kemajuan atau perkembangan manusia dinilai sangat lambat, sebab
manusia hanya berfokus pada kegiatan berburu dan mengumpulkan makanan. Namun, setelah
manusia mulai mengembangkan bahasa lisan, perkembangan peradaban manusia menjadi
lebih cepat, karena bahasa itu sendiri memungkinkan seseorang untuk memperoleh dan
membagikan pengetahuan, pengalaman, dan perasaan-perasaan dari orang yang satu ke orang
lainnya. Oleh karena itu, bahasa adalah faktor yang menentukan di dalam perkembangan
kebudayaan dan penyampaiannya dari satu generasi ke generasi berikutnya.3
Bahasa melekat dan umum bagi manusia, namun bahasa jarang dibahas secara
mendalam, sebagaimana ilmu lainnya. Pembelajaran bahasa hanya dimaksudkan agar
1 Lesta Joseph Sembiring, Mari Mencintai Bahasa Indonesia ([tanpa tempat terbit]: [tanpa penerbit], [tanpa
tahun terbit]), hlm. 4 (Diktat).
2 Saut Pasaribu, Peradaban Barat Dari Zaman Kuno Sampai Zaman Pencerahan (Bantul: Kreasi Wacana,
2012), hlm. 5.
4 Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Sinar Harapan, 1988), hlm. 171.
6 Ernst Cassier, An Essay on Man, (New Heaven, Yale University Press, 1994).
7 Aldous Huxley, “Words and Their Meaning”, The Importance of Language,ed. Max Black (Englewood Cliffs,
N. J.: Prentice Hall,1992), hlm. 5.
3
5. Memberi pendasaran filosofis bagi penggunaan bahasa yang baik dan benar di
zaman ini.
10 K. Bertens, Filsafat Barat Abad XX, Inggris-Jerman (Jakarta: Gramedia, 1983), hlm. 142
17 Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2 (Yogyakarta: Kanisius, 2002), hlm. 150.
6
perbedaan antara “Ada” dengan “adaan”. Ciri khas dari periode metafisika ialah lupa-akan
Ada (Seinsvergessenheit), di mana perbedaan antara “Ada” dan “adaan” dilupakan. Hal itu
tidak disebabkan oleh keteledoran manusia, juga bukan karena kebetulan, melainkan lupa-
akan-Ada menjadi cara bagaimana “Sejarah Ada” berlaku bagi kita. Dalam perbedaan
ontologis ada dua cara berpikir yakni “pemikiran yang memperhitungkan” dan “pemikiran
yang memperhatikan”. Pemikiran yang memperhitungkan coba menerangkan adaan dengan
mengasalkannnya pada yang lain. Dengan pemikiran ini, segala sesuatu dapat dikalkulasi,
diatur, dikuasai dan dimanipulasi. Cara berfikir ini juga disebut sebagai cara berfikir
metafisika, yang disertai lupa-akan-Ada. Pemikiran ini biasanya digunakan dalam ilmu
pengetahuan. Sedangkan “pemikiran yang memperhatikan” adalah pemikiran yang melihat
perbedaan ontologis dan memberikan perhatian pada Ada. Untuk menjalankan pemikiran ini,
kita harus mengatasi metafisika (Ueberwindung der Metaphysik). Hanya saja, bahasa yang
kita miliki adalah bahasa metafisika. Oleh karena itu, Heidegger mencoba menciptakan
“bahasa baru”, yang mengatasi bahasa metafisika dan berdekatan dengan bahasa penyair,
agar dapat mengungkapkan pemikiran yang memperhatikan.
2.1.4 Pendapat Mengenai Bahasa
Dalam karya besarnya, Sein und Zeit, Heidegger merumuskan manusia sebagai
Seindes, das redet (manusia adalah ada yang bercakap). Maka dari itu, bahasalah yang
memungkinkan manusia menjadi manusia yang sesungguhnya. Dalam karyanya Das
Wesender Sprache, ia menegaskan bahwa dass der Mensch den eigentlichen Aufenthalt
seines Daseins in der Sprache hat (tempat tinggal yang sebenarnya dari keberadaan manusia
adalah di dalam bahasa).18 Dengan begitu, Heidegger menolak secara tegas ujaran yang
menganggap bahasa hanya sebuah “alat”. Justru baginya, bahasa yang sesungguhnya
bukanlah sarana untuk sesuatu yang lain dan tidak mempunyai tujuan di luar bahasa itu
sendiri. Das Sein adalah bahasa sejati karena menimbulkan pikiran atau mendorong manusia
untuk berpikir. Oleh karena itu, bahasa tidak berasal dari manusia, melainkan jawaban
manusia terhadap panggilan das Sein. Dalam berkata-kata yang sesungguhnya, das Sein di-
kata-kan. Dengan berpikir dan berkata, manusia meng-kata-kan das Sien, dan dengan begitu
bahasa tampil dan tampak serta lepas dari keterlupaan dan dari kegelapan. 19 Bahasa dan
pikiran adalah tempat terjadinya peristiwa das Sein atau tempat tampaknya das Sein.20 Saat
manusia berkata, sebenarnya yang berkata ialah bahasa itu sendiri. “Berbicaranya” bahasa
18 W. Poespoprodjo, Interpretasi…, hlm. 88.
24 Ray Monk, Ludwig Wittgenstein, The Duty of Genius (London: Penguin Books, 1991), hlm.4.
36 Abdul Chaer, Filsafat Bahasa (Jakarta: Rineka Cipta, 2016), hlm. 107-108.
42 Adelbert Snijders, Manusia dan Kebenaran (Yogyakarta: Kanisius, 2010), hlm. 143.
15
Pada zaman milenial ini, bahasa menjadi salah satu topik yang menarik banyak
perhatian masyarakat terutama para mahasiswa, karena bahasa memainkan peranan yang
mendasar bagi kelancaran studi di tahap lanjutan, baik di dalam maupun luar negeri.
Beberapa tahun yang lalu, bahasa Inggris menjadi bahasa yang dianggap “berkelas”. Apabila
seseorang menguasai bahasa Inggris, hal itu menjadi sebuah nilai tambah baginya baik dalam
studi maupun untuk mencari pekerjaan.
Namun di zaman ini bahasa Inggris dianggap menjadi bahasa yang umum. Artinya,
menguasai bahasa Inggris adalah sebuah keharusan sebagaimana setiap orang menguasai
bahasa asli atau nasionalnya. Bahasa yang harus dikuasai pun menjadi lebih banyak lagi,
misalnya bahasa Prancis, Spanyol, Italia, dsb. Hal ini semakin memperbesar paham bahwa
bahasa hanyalah sebuah alat atau sarana bagi manusia untuk mencapai tujuan lain dalam
kehidupannya, misalnya untuk kelancaran studi atau kemudahan mendapatkan pekerjaan.
Selain itu, konteks penggunaan bahasa tidak lagi diperhatikan. Misalnya saja, penggunaan
bahasa tidak baku dalam karangan ilmiah, penggunaan kata yang dianggap keren atau up to
date, tanpa melihat konteksnya atau kesesuaiannya dengan arti atau makna keseluruhan dari
suatu kalimat.
Oleh karena itu, pemikiran Heidegger dan Wittgenstein sangat relevan sebagai bahan
refleksi bagi semua orang terkait dengan pemaknaan dan penggunaan bahasa dalam
kehidupan sehari-hari. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Heidegger, bahasa bukan hanya
sekadar alat komunikasi atau sarana untuk mencapai tujuan lain selain dari bahasa itu sendiri,
melainkan untuk mengungkapkan eksistensi manusia. Dengan berkata-kata dan berbahasa,
manusia menjadi manusia yang sesungguhnya. Maka, melihat pentingnya makna bahasa
dalam hidup manusia, setiap orang harus lebih selektif dalam penggunaan kata-kata dalam
kehidupan sehari-hari, karena bahasa mengungkapkan jati diri manusia yang sesungguhnya.
Pemahaman bahasa yang terbatas sebagai alat komunikasi harus ditinggalkan.
Selain itu, permasalahan yang masih hangat mengenai bahasa ialah terkait dengan
hoax atau berita bohong. Banyak sekali berita bohong yang beredar dengan isinya yang
beragam. Misalnya mengenai ujaran kebencian terhadap kelompok tertentu, ataupun
pernyataan yang isinya mencemarkan nama baik pihak tertentu. Berita palsu ini menebar
banyak kecemasan dan kebencian di masyarakat. Apabila dibandingkan dengan pemikiran
Heidegger, beredarnya berita bohong atau hoax ini merupakan suatu bentuk pengkhianatan
akan makna sejati dari bahasa, yakni sebagai ungkapan Ada yang benar dan sejati. Maka dari
itu, kita sebagai “pengeras suara” bagi bahasa yang pada hakikatnya adalah ungkapan
kebenaran yang sejati, harus menjadi pewarta kebenaran bagi semua orang. Kita harus
16
selektif dalam menerima dan mengolah berita yang kita terima, terutama dari media massa
yang terkadang disalahgunakan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab untuk menciptakan
kekacauan dan kecemasan di masyarakat. Agar kita tetap dapat menjadi pewarta kebenaran,
yang mengusahakan kedamaian dan ketenangan di masyarakat serta memberikan informasi
yang berguna bagi perkembangan banyak orang. Sikap kritis dan waspada selalu harus kita
bina dalam diri kita.
Berkaitan dengan pemikiran Wittgenstein, kita perlu juga memperhatikan “permainan
bahasa” yang kita ikuti dalam kehidupan sehari-hari. Perhatian akan Language games
merupakan hal yang penting, karena hal itu menentukan makna dari suatu kata atau kalimat
yang kita gunakan. Apabila kata atau kalimat yang kita gunakan tidak sesuai dengan
permainan bahasa yang kita ikuti, perkataan kita dapat dimaknai secara salah oleh orang lain
atau perkataan kita menjadi tidak bermakna. Misalnya saja, saat sedang bersama dengan
teman-teman atau orang sebaya, bahasa yang digunakan ialah bahasa lelucon, karena
“permainan bahasa” lelucon cocok untuk “mencairkan” suasana dan mempererat hubungan
pertemanan di antara kelompok sebaya. Namun, saat berhadapan dengan orang yang lebih
tua, atau situasi yang lebih serius, misalnya diskusi di kelas, bahasa lelucon tidak lagi cocok
digunakan, melainkan menggunakan bahasa yang sopan dan formal. Dengan memperhatikan
“permainan bahasa” (Language Games), pembicaraan akan menjadi lebih hidup dan tidak lari
atau melenceng dari substansi yang sedang dibicarakan.
3. 3 Relevansi Bagi Penulis Selaku Calon Imam
Menjadi seorang imam adalah sebuah panggilan hidup. Pendidikan sebagai seorang
calon imam juga bukanlah pendidikan yang biasa. Proses pendidikannya menghabiskan
waktu yang cukup lama, sekitar 10-11 tahun. Waktu yang cukup panjang ini dimaksudkan
agar seorang calon imam benar-benar terbentuk menjadi pribadi yang berkualitas. Ada aspek-
aspek pembinaan yang diperhatikan selama masa pembinaan di seminari tinggi. Aspek yang
terutama ialah aspek rohani. Namun, aspek yang lain tidak kalah penting, misalnya aspek
intelektual. Dalam aspek ini, para calon imam tidak hanya dilatih untuk menguasai banyak
ilmu, tetapi juga hal yang paling mendasar, yakni pemahaman yang baik dan benar dalam
berbahasa. Hal ini menjadi salah satu aspek yang penting, karena umat akan sangat
memperhatikan perkataan atau bahasa yang digunakan oleh seorang imam, baik dalam
pembicaraan sehari-hari, maupun dalam khotbah
Melalui pendidikan di perkuliahan serta pembinaan di rumah bina, secara konstan
para calon imam dibantu untuk terus mengasah kemampuan berbahasa dan berpikir yang
teratur. Alasannya ialah karena menjadi seorang imam berarti menjadi seorang pemimpin dan
public figure, yang segala aspek kehidupannya diperhatikan banyak orang. Tidak jarang
17
bahwa perkataan dari seorang imam sendiri dianggap sebagai perkataan dari Tuhan. Dengan
kata lain, bahasa atau kata-kata seorang imam mencerminkan dirinya sebagai “wakil tuhan”
yang hadir di tengah-tengah umat. Oleh karena itu, seorang imam harus mengatur bahasa
yang digunakannya dan selektif dalam memilih kata-kata yang akan diucapkannya di
hadapan banyak orang. Dapat saja umat atau orang lain menilai bahwa seorang imam adalah
imam yang kurang berkualitas karena kemampuan berbahasa atau kata-kata yang
digunakannya tidak sesuai dengan keadaan umat yang ia layani. Misalnya saja, apabila
seorang imam menggunakan banyak istilah dari bahasa asing tanpa menjelaskannya dengan
bahasa sederhana yang dapat dimengerti seluruh umat, umat tentu cenderung akan
mengabaikan perkataan imam tersebut. Apalagi kalau imam menggunakan bahasa yang
kurang sopan, dan kata-kata yang tidak selektif, saat menyampaikan homili dalam perayaan
Ekaristi, umat akan berpandangan terhadap imam tersebut.
Karena bahasa yang penulis sampaikan adalah ungkapan diri penulis yang
sesungguhnya, maka penting bagi penulis, sebagai seorang calon imam, untuk
memperhatikan bahasa yang gunakan. Setelah itu, penulis juga harus menyesuaikan
perkataan penulis dengan konteks pembicaraan (permainan bahasa) yang sedang berlangsung
bersama umat. Dengan begitu terbangun komunikasi yang hidup dan bermakna bagi umat
yang kemudian berpengaruh bagi pertumbuhan iman umat yang ada di tempat dimana penulis
berkarya kelak.
18
BAB IV KESIMPULAN DAN PENUTUP
19
DAFTAR PUSTAKA
Cassier, Ernst. An Essay on Man. New Heaven: Yale University Press, 1994.
Joseph Sembiring, Lesta. Mari Mencintai Bahasa Indonesia. [tanpa tempat terbit]: [tanpa
penerbit], [tanpa tahun terbit]. (Diktat).
Monk, Ray. Ludwig Wittgenstein, The Duty of Genius. London: Penguin Books, 1991.
Pasaribu, Saut. Peradaban Barat Dari Zaman Kuno Sampai Zaman Pencerahan. Bantul:
Kreasi Wacana, 2012.
S. Suriasumantri, Jujun. Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Sinar Harapan,
1988.
20
21