NIM : 200510008
Kelas : 1 (B)
Semester : Dua
Mata Kuliah : Logika dan Bahasa
Dosen : Antonius Moa Tolipung, Lic. S. Th.
Hermeneutik: Refleksi Kritis atas Pemikiran Martin Heidegger dan Wilhelm Dilthey.
BAB 1
PENDAHULUAN
Dalam sebuah komunikasi bahasa memiliki peranan yang sangat penting dan mutlak
adanya. Bahasa menjadi sebuah alat dalam komunikasi yang mana bahasa dan komunikasi
ini memiliki hubungan yang tak terpisahkan. Bahasa adalah laksana alat pemikiran yang
kalau sungguh-sungguh kita kuasai dan kita pergunakan dengan tepat, dapat membantu
untuk memperoleh kecakapan berpikir dengan lurus. Pemikiran yang valid tampak dalam
bahasa yang jelas dan teratur. Sebaliknya bahasa yang amburadul sering menampakkan
pikiran yang kacau. Bahasa adalah produk manusia yang paling besar. Tanpa bahasa, secara
praktis ini, produk-produk kegiatan manusia tidak mungkin terwujud. 1Selain itu, bahasa
merupakan bentuk verbal dari pikiran manusia, bahkan merupakan alat dan sarana untuk
berkomunikasi. Maka secara umum, bahasa dapat diartikan sebagai rangkaian simbol-simbol
yang dapat dipergunakan untuk mengkomunikasikan gagasan, pendapat, serta perasaan
orang kepada orang lainnya.2 Sejarah penggunaan bahasa pada umumnya memang tidak
pernah lengkap dan sempurna. Hal ini terjadi karena manusia adalah makhluk yang dinamis
(selalu berkembang, tak pernah lengkap dan sempurna).
1
Jujun S. Suriassumantri, Filsafat Ilmu Sebuah pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1994),
hlm. 304.
2
Jujun S. Suriassumantri, Filsafat Ilmu..., hlm. 174.
Filsafat Bahasa memuat banyak cabang jenis bahasa sesuai dengan fungsinya. Secara
etimologis, kata ‘hermeneutik’ berasal dari bahasa Yunani hermeneuein yang berarti
‘menafsirkan’. Maka, kata benda hermeneia secara harafiah dapat diartikan sebagai
“penafsiran” atau interpretasi. Pada dasarnya hermeneutik berhubungan dengan bahasa. Kita
berpikir melalui bahasa. Kita berpikir melalui bahasa; kita berbicara dan menulis dengan
bahasa. Kita mengerti dan membuat interpretasi dengan bahasa.3 Para filsuf hermeneutik ini
diantaranya Friedrich Daniel Ernst Schleiermacher, Wilhelm Christian Ludwig Dilthey,
Martin Heidegger, Rudolf Karl Bultmann, Gadamer, Habermas, Ricoeur, dan Derrida. Di
Dalam hal ini Hermeneutik erat kaitannya dengan tokoh Heidegger dan Dilthey yang
mendalami Hermeneutik sebagai konsep ontologis tentang ‘memahami’ dalam ‘konsep
Intelektual’ sebagai cara berada Dasein yang merupakan ‘konsep praktis’.4 Maka melalui
penjelasan Heidegger dalam konsep ontologis tentang ‘memahami’ dan Dilthey dalam
konsep intelektual, kita dapat memahami fungsi dan hakikat bahasa sebagai bagian dari diri
manusia, sehingga kita dapat memahami “Manusia sebagai makhluk hermeneutis”.
Maksudnya adalah memahami sebagai cara bereksistensi. Maka melalui pembahasan
Heidegger dan Dilthey, pembaca akan dihantar untuk memahami secara lebih mendalam
mengenai bahasa sebagai cara berada manusia, melalui metode ilmiah.
Bahasa merupakan kajian epistemologi yang menarik untuk dibahasa dalam bidang
ilmu filsafat, terkhusus para tokoh-tokoh ilmu filsafat bahasa yang telah berhasil
mengahantar banyak orang untuk lebih memahami hakikat dari bahasa itu sendiri. Bahasa tak
akan dapat lepas dari kehidupan manusia, bahasa menjadi kunci dasar untuk meneruskan
jalan kehidupan manusia sebagai alat komunikasinya. Karena manusia sendiri adalah Animal
Symbolicum. Maka dengan begitu luasnya topik pembahasan bahasa beserta tokoh-tokoh
bahasa yang sukses menyumbangkan ilmu pengetahuannya untuk mengembangkan ilmu
3
E. Sumaryono, Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1993), hlm. 23.
4
F. Budi Hardiman, Seni Memahami Hermeneutik dari Schleiermacher sampai Derrida (Yogyakarta:
Kanisius, 2015), hlm. 9.
bahasa, penulis membatasi kajiannya dalam karangan ilmiah bahasa ini, agar pembahasan
mengenai tokoh bahasa beserta pemikirannya dapat dipahami lebih mendalam.
Ada empat bab yang dibahas dalam karangan ilmiah ini, Pertama, Latar belakang
pembahasan. Pembahasan ini ada dalam bab I, yang memuat penjelasan awal pemikiran
tokoh yang dijadikan kajian analisis tugas oleh penulis sendiri.
Kedua, pemikiran Filsuf. Ini ada dalam bab II, yang berisi pemikiran dua filsuf
mengenai bahasa dalam kajian hermeneutik.
Ketiga, refleksi pribadi. Ini ada dalam bab III, yang berisi tiga topik sub-bab, yaitu:
analisa penulis terhadap pemikiran dua tokoh bahasa yang dibahas dan diperbandingkan.
Kemudian, relevansi yang ditemukan dalam pengerjaan dan pemahaman oleh penulis bagi
bahasa pada zaman ini, dan relevansi bagi penulis sendiri dalam menyikapi bahasa sebagai
bagian dari pelayanan warta seorang calon Imam.
Keempat, penutup. Ini ada dalam bab IV, yang menjadi penyimpulan dari seluruh
pembahasan, terkhusus pemikiran kedua tokoh bahasa yang dianalisis oleh penulis.
Tujuan dari pembahasan ini adalah sebagai salah satu bahan penilaian dalam mata
kuliah “Logika dan Bahasa” STFT Santo Yohanes, Sinaksak, Pematangsiantar. Tugas ini
menjadi nilai tugas dan nilai untuk ujian tengah semester. Selain itu, penulis juga menyadari
beberapa hal lain yang menjadi tujuan yang sangat diperlukan oleh penulis dan para
pembaca. Yakni:
Sebagai sarana untuk lebih memahami makna dan fungsi bahasa lebih mendalam.
Agar mampu menjelaskan kaitan antara bahasa dan logika.
Sebagai sarana bagi penulis untuk mengembangkan cara menulis yang baik dan benar.
Agar mampu memahami dan menciptakan kondisi berpikir yang baik, yakni berpikir
korek-benar, logis-dialektis.
Sebagai sarana untuk memahami dan mengerti konsep pemikiran para filsuf yang
dikemukakan.
Agar mampu merumuskan dan menjelaskan bahwa bahasa dan pikiran merupakan proses
pembahasan dan pembahasan realitas.
BAB II
ISI
5
K. Bertens, Filsafat Barat Abad XX Inggris-Jerman, (Jakarta: PT Gramedia, 1983), hlm. 142.
6
K. Bertens, Filsafat Barat…, hlm.143.
7
A. Joko Wicoyo, Filsafat Bahasa dan Tokohnya, (Yogyakarta: Liberty, 1997), hlm. 96.
waktu’ merujuk pada manusia yang mempertanyakan tentang ‘ada’ karena manusia sendiri
mempunyai hakikat ‘ada’. Dalam karangan filosofisnya itu ia jarang menempatkan kata
manusia sebagai objek pembahasannya, sehingga ungkapan “aku”, “subjek”, “persona”,
”kesadaran” yang biasanya dipakai dalam terminologi filsafat sangat jarang diketemukan
dalam karyanya. Manusia dalam karyanya ditunjuk sebagai ‘dasein’. Terkandung pengertian
dalam ‘dasein’ yaitu manusia yang hakikatnya adalah ‘ada’(sein) yang berada di situ (da).8
Dengan penjelasan bahwa manusia bukan suatu ulangan numerik dari jenis yang sama, dia
dikehendaki demi dirinya sendiri, ia menemukan diri dan khas bagi dirinya sendiri dengan
begitu bagi manusia ‘diri’ merupakan sumber kegiatan dan tindakan. 9 Berbeda dengan benda
atau binatang, manusia ada dan terlibat dalam ‘ada-nya’.
sejarah “ada”. Sejarah ini justru menyangkut perbedaan ontologis. Ketika hidup dalam
periode yang menurut Heidegger disebut metafisika. Metafisikan tidak dapat dilepaskan oleh
sejarah, maka pada langkah asasi berikutnya adalah “langkah kembali guna melampaui
metafisika”. Langkah melampaui metafisika berarti mengembalikan metafisika pada
hakikatnya. Jadi, metafisika tidak lagi bersifat menentukan langkah pikir kita kembali ke
yang asli atau yang sesungguhnya, yang disebut Heidegger berpikir benar-benar. Berpikir
sesungguhnya adalah patuh pada masa “sein” atau “ada”. Menurut Heidegger berpikir itu
8
Kaelan, Hakikat dan Realitas Bahasa, (Yogyakarta: Paradigma, 2017), hlm. 195.
9
Kasdin Sihotang, Filsafat Manusia, (Yogyakarta: Kanisius, 2009), hlm. 33.
10
F. Budi Hardiman, Seni Memahami…, hlm. 98.
11
F. Budi Hardiman, Seni Memahami…, hlm. 113.
pada hakikatnya terikat pada arti. Oleh karena itu manusia bukanlah penguasa atas apa yang
“ada”, melainkan hanya sebagai penjaganya.
Karena pokok permenungan seluruh Sein und Zeit adalah tentang makna ada (der
Sinn des Seins), fenomenologi yang dipraktikkan disitu merupakan sebuah seni memahami
makna juga, yaitu hermeneutik13. Karena merupakan sebuah fenomenologi, yakni
membiarkan hal-hal memperlihatkan diri, hermeneutik Heidegger melakukan interpretasi
tidak dengan memasukkan kerangka berpikir penafsir ke dalam hal yang dipahami,
melainkan dengan membiarkan hal yang diinterpretasikan itu tampak dan kita sebagai
fenomen adalah bahwa “Ada” itu bukan sebuah fenomen, melainkan sesuatu yang mencakup
segalanya. Bila kata hermeneutik disambungkan dengan faktisitas, kata itu tidak lagi dapat
diterangkan sebagai “memahami” faktisitas, karena faktisitas bukan dokumen historis,
artefak atau teks, melainkan kenyataan eksistensial kita sebagai Dasein.14 Memahami
(Verstehen) itu sendiri meruapakan kenyataan eksistensial yang dapat diinterpretasikan. Jadi
yang dilakukan oleh Heidegger dengan hermeneutiknya itu bukanlah memahami ini atau itu,
melainkan membiarkan “memahami” sebagai tindakan primordial menampakkan diri, dan
12
F. Budi Hardiman, Seni Memahami…, hlm. 118.
13
F. Budi Hardiman, Seni Memahami…, hlm. 122.
14
F. Budi Hardiman, Seni Memahami…, hlm. 130.
memahami tidak lain daripada cara Dasein bereksistensi. 15
Jika begitu, hermeneutik
faktisitas lebih tepat dijelaskan sebagai “membiarkan cara ada-nya (Sein) dan cara ke-di-
sana-an (da) Dasein, termasuk memahami, tersingkap lewat interpretasi. Interpretasi dalam
bahasa Jerman adalah Auslegung yang diartikan oleh Heidegger sebagai “membiarkan
terbuka”.
Maka, hakikat bahasa ditunjukan dengan berpikir dan berkata atau mengungkapkan
sesuatu. Demikianlah bahasa benar-benar menampakkan “das sein”. Bahasa adalah
keterbukaan manusia atas “das sein”. Berkata atau mengungkapkan yang sesungguhnya
adalah memberitahukan, menampakkan, atau menunjukan “das sein” sehingga membuatnya
jadi terbuka. Berpikir dan mengungkapkan suatu kata adalah “seinlassen” (membicarakan
15
A. Joko Wicoyo, Filsafat…, hlm. 114.
16
A. Joko Wicoyo, Filsafat…, hlm. 120.
17
A. Joko Wicoyo, Filsafat…, hlm. 137.
peristiwa ada). Bagi Heidegger, bahasa adalah tempat tinggal “Sang Ada”, atau bahasa
merupakan ruang bagi pengalaman-pengalaman yang bermakna. Pengalaman yang
diungkapkan merupakan pengalaman yang telah mengkristal, sehingga menjadi substansi,
menurut istilah metafisika. Bahasa adalah alat komunikasi, bagi Heidegger tidak
menunjukan hakikat bahasa yang sebenarnya. Karena hakikat itu mengabaikan hakikat “das
sein”, yang mengakibatkan pemerosotan bahasa, sebagaimana bahasa dibatasi dalam
terminologi bahasa ilmiah, bahasa baku, dan sebagainya.18
22
E. Sumaryono, Hermeneutik…, hlm. 39.
Immanuel Kant. “Kritik” Dithley adalah suatu konstruksi spekulatif yang dimaksudkan
untuk menemukan makna dalam sejarah sebagai cara memahami dengan lebih mendalam
daripada sekedar penelitian historis. Maka untuk memulai karyanya, Dilthey mulai dengan
meyakini bahwa data empiris menunjukkan “pola-pola” atau hubungan-hubungan yang
memberi makna pada pengalaman dan hidup kita. Dilthey tidak dapat disamakan dengan
Hegel atau Bossuet maupun Spengler, Dilthey menulis filsafat sejarah sebagai “kritik” atas
akal historis”, suatu filsafat tentang mengerti, cara melihat atau menemukan rangkaian
pemikiran yang berlangsung dalam sejarah. Sementara Hegel, Bossuet dan Spengler menulis
sejarah universal dengan maksud melacak sejarah mulai dari awal sampai sekarang dan
mengelompokkan segmen-segmennya. 23Dilthey hanya melihat pola-polanya dan mencoba
memahami dan mengungkapkan makna yang terkandung dalam pola-pola itu. Yang menjadi
sasaran Dilthey adalah memahami person yang menyejarah. Pemahaman atas sistem yang
dihasilkan oleh person individu adalah mutlak bagi sasaran tersebut sebab person tidak lain
adalah produk dari suatu sistem sosial atau eksternal. 24 Oleh karena itu, menurut Dilthey,
sistem eksternal adalah basis pemahaman historis.
Yang ingin dicari oleh oleh Dilthey adalah pemahaman dan interpretasi atas
kegiatan-kegiatan individu yang dengan sendirinya tersituasikan atas kegiatan-kegiatan
individu yang dengan sendirinya tersituasikan dalam sistem-sistem eksternal dari organisasi-
organisasi sosial, politik, dan ekonomi dengan nilai-nilainya sendiri yang sudah dianggap
mapan atau mantap. Namun kegiatan-kegiatan individu juga merupakan indikasi atau
petunjuk kearah faktor-faktor psikologisnya. Filsafat, menurut Dithley, bersifat esensial
historis. Peristiwa-peristiwa sejarah telah menunjukkan bahwa jiwa (psyche) manusia
berubah dalam alur waktu dengan cara yang tidak kelihatan. Ini tidak mengherankan karena
manusia adalah makhluk yang hidup dan berevolusi. Manusia tidak pernah bersifat statis,
apalagi ‘terpatri’. Oleh karena itu, semua ilmu pengetahuan tentang manusia juga tidak
pernah bersifat statis. Dilthey menganjurkan kita mempergunakan hermeneutik, sebab
menurut dia, hermeneutik adalah dasar dari Geisteswissenschaften. Berkenaan dengan
keterlibatan individu dalam kehidupan masyarakat yang hendak dipahaminya, ia merasa
23
N. Bulhof, Wilhem Dilthey, (Netherlands: Springer Netherlands, 1980), hlm. 13.
24
E. Richard, Hermeneutika: Teori Baru Mengenai Interpretasi terj. Musnur Hery, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2005), hlm. 24.
perlu memiliki tipe memahami yang khusus. Meskipun orang dapat menyadari keadaan
dirinya sendiri melalui ekspresi orang lain, namun orang masih dirasa perlu untuk membuat
interpretasi atas ekspresi tentang kehidupan. Jika ungkapan tentang hidup tidak mengandung
sesuatu yang dirasa asing atau ganjil, maka hermeneutik juga tidak mungkin dilakukan.
Namun, kedua bagian ini itidak terpisahkan satu dari yang lain, sebab dalam proses
pemahaman itu sendiri, akal pikiran kita mengambil alih timbul tenggelamnya sebab dan
akibat dalam rangkaian penyebaban. Dalam kelangsungan waktu, baik masa lalu maupun
masa mendatang transenden terhadap momen yang penuh dengan pengalaman. Ini bisa
terjadi akibat dari “keterhubungan hidup” (the connectedness of life). 28
Bila momen sejarah
ambil bagian, maka tidak ada alur waktu yang terputus. Tiga kerangka waktu, yaitu masa
lalu, sekarang dan masa yang akan datang, seakan-akan hadir secara bersama-sama.
25
N. Bulhof, Wilhem Dilthey…, hlm. 18.
26
E. Richard, Hermeneutika…, hlm.26.
27
Kaelan, Hakikat…, hlm. 67.
28
Kaelan, Hakikat…, hlm. 73.
Tentang sistem penyebab dalam kaitannya dengan sejarah, Dilthey membaginya dalam dua
jenis, yaitu Kausalzusammenhang dan Wirkungszuzammenhang. Yang dimaksud dengan
Kausalzusammenhang adalah nexus antara sebab dan akibat yang bersifat mekanis, seperti
terdapat dalam ilmu-ilmu alam yang menggunakan sistem penyebaban di mana sebab
sementara mendahului akibat. Sedangkan yang dimaksud dengan Wirkungszusammenhang
atau sistem dinamis adalah proses di mana fakta atau peristiwa mempengaruhi atau
menampung hasil dalam sistem kehidupan. Sejarah tidak termasuk dalam proses penyebaran
mekanis, melainkan berproses dalam penyebaban dinamis atau Wirkungszusammenhang.
Setiap individu mempunyai sistem penyebab dinamisnya sendiri-sendiri dalam skala kecil,
yaitu di dalam hidupnya.
Menurut Dilthey, sejarah adalah proses kehidupan dan membuang segala hubungan
mekanis antar-peristiwa.29 Ia lebih lanjut mengatakan bahwa kesatuan ilmu-ilmu
kemanusiaan atau ilmu-ilmu pengetahuan tentang hidup terletak dalam sistem dinamis. Apa
yang mematri ilmu-ilmu kemanusiaan atau ilmu-ilmu pengetahuan tentang hidup menjadi
satu bukanlah penyebab mekanis, melainkan penyebab dinamis, di mana nilai-nilai
diciptakan serta tujuan akhir dikemukakan. Relativitas nilai hanya merupakan titik balik dari
kebebasan kreativitas setiap orang. Jadi, tidak terdapat tema yang mapan yang digunakan
oleh para sejarawan untuk menilai macam-macam peristiwa dan situasinya. Dalam
kebebasan kreaktivitas yang inherent, manusia membayangkan sebuah tema di dalam angan-
angannya dan mengevaluasi tema tersebut menurut kebebasannya.30
30
Kasdin Sihotang, Filsafat…, hlm. 41.
Geisteswissenschaften kurang konklusif dibandingkan dengan Natureissenschaften.
Keduanya hanya berbeda dalam metode pembahasannya. Suatu saat kita pasti juga akan
mempersatukan kedua cabang ilmu pengetahuan tersebut.31 Sebab bagaimanapun juga pada
saat kita ingin menarik suatu kesimpulan dalam ilmu pengetahuan tentang kehidupan kita,
kita tetap memerlukan ketetapan.
Pemahaman adalah pengertian tentang kerja akal pikiran manusia. Akal pikiran
membentuk gabungan-gabungan dan hubungan-hubungan berbagai macam peristiwa
dalam bentuk sebuah pola.34 Bahasa kita sendiri tidak bebas dari pasang surutnya
sejarah. Sejarah tidak dapat dipahami kecuali melalui teori-teori, dan sebaliknya teori
juga tidak dapat dipahami kecuali melalui sejarah. Bahkan untuk memahami sebauh
karya seni, karya tersebut harus lebih dahulu ditempatkan dalam sebuah kerangka
teoretis. Kata-kata atau pernyataan tunggal dapat mempunyai arti yang bermacam-
macam tergantung pada konteks sejarah dimana kata atau pernyataan itu diucapkan.
Pemahaman historis menempatkan para pahlawan dalam konteks kehidupan. Psikologi
berperan penting sejauh interpretasinya menimbulkan pemahaman atas kehidupan batin-
psikis person-person historis. Menurut Dilthey semua pemahaman atau pengertian bila
ditelusuri sampai batas-batasnya akan menjadi menyejarah. Ini berarti semua
pemahaman atau pengertian akhirnya menjadi menyejarah. Pengalaman yang hidup dan
pemahaman saling melengkapi satu sama lain.
BAB III
REFLEKSI KRITIS DAN RELEVANSI
33
E. Richard, Hermeneutika…, hlm. 61.
34
E. Richard, Hermeneutika…, hlm. 67.
3.1. Analisa Perbandingan Pemikiran Martin Heidegger dan Wilhem Dithley.
Manusia tidak akan pernah bisa terlepas dari bahasa. Bahasa menjadi unsur
terpenting dalam kehidupan manusia. Bahasa adalah kemampuan yang dimiliki manusia
agar dapat berkomunikasi dengan manusia lainnya menggunakan tanda, misalnya kata dan
gerak-gerik. Manusia sendiri adalah Animal Symbolicum. Tentunya bahasa merupakan
instrument yang paling penting bagi manusia untuk saling berkomunikasi satu sama lain.
Bahasa yang digunakan di lingkungan masyarakat mestinya senantiasa mengandung
kebenaran seturut realitas yang ada. Adalah baik bila bahasa yang digunakan tidak hanya
sekadar untuk mengungkapkan isi pikiran seseorang saja, namun bahasa juga harus memberi
pengertian yang dimengerti oleh si pendengar atau lawan bicara.
Bahasa dapat menjadi ukuran bagi setiap orang yang berpendidikan. Maka dapat
kita pahami, bila ada orang yang hanya berkata-kata demikian terus-menerus, tanpa
pembaharuan kosa kata, menandakan hanya itulah yang ada di dalam pikirannya. Apa yang
kita katakan, mencerminkan apa yang ada dalam pikiran kita. Heidegger dan Dithley
menjadi tokoh untuk pengguna bahasa di zaman ini agar memahami secara mendalam
bahasa yang digunakan sehari-hari. Bahasa itu bukanlah data final dari realitas, melainkan
proses yang tidak berhenti. Dalam relevansinya dengan kehidupan dunia zaman sekarang
ternyata bahasa dalam hermeneutika struktur spekulatif bahasa memiliki posisi sentral
dalam menentukan jalannya pengalaman. Hal ini membawa kemungkinan bagi manusia
untuk selalu berdialog dengan manusia lain, dan terutama dengan yang ada dalam bahasa.
Untuk itu sangat penting memahami, menjelaskan dan mengaplikasikanya dalam kehidupan.
Pengalaman bahasa dan Hermeneutik merupakan sarana dalam hidup seorang calon
imam, untuk mengungkapkan semua misi pewartaan dalam setiap ucapan maupun dialektika
yang akan diwartakan kepada umat beriman. Oleh karena itu, memami, memaknai, dan
menjelaskan, merupakan proses yang penting sebagai seorang calon imam dalam kehidupan
berbahasanya sebagai pewarta. Dengan mempelajari karya-karya Martin Heidegger dan
Willhem Dilthey penulis dituntun untuk semakin cermat dalam berbahasa, dan menyadari
betapa pentingnya untuk memahami setiap arti kata maupun teks bahasa Kitab suci sebagai
salah satu hal positif yang harus dikembangkan sebagai seorang calon imam.
BAB IV
PENUTUP
Bahasa digunakan oleh manusia untuk berbagai keperluan. Bahasa memiliki tiga
fungsi pokok yakni: fungsi ekspresif, direktif (praktis) dan informatif. Tiga fungsi pokok ini
merupakan hasil konstruksi pikiran yang tidak pernah dapat ditemui dalam wujud yang
murni dalam kenyataan. Pada fungsi ekspresif bahasa digunakan untuk mengungkapkan atau
mengekspresikan perasaan atau sikap. Kriteria penilaiannya adalah bernilai atau tidaknya
suatu pengutaraan, bersungguh-sungguh atau tidakkah suatu pengutaraan diungkapkan.
Lalu, pada fungsi direktif bahasa digunaan untuk memerintah, bertanya, dan mengajukan
permintaan, Ia digunakan untuk menimbulkan atau menghalangi munculnya tindakan nyata.
Kriteria penilaiannya adalah masuk akal atau tidak, dipatuhi atau tidak. Sedangkan pada
fungsi informatif, bahasa digunakan untuk mengutarakan hal-hal yang faktual sifatnya.
Bukan hanya melukiskan dunia sekitar, tetapi juga membuat penalaran tentangnya. Kriteria
penilaiannya dilandaskan pada kesesuaian suatu pengutaraan terhadap fakta. Pengutaraan itu
dikatakan benar atau salah tergantung pada kesesuaiannya terhadap fakta. Dan fungsi bahasa
yang paling erat dengan logika adalah fungsi informatif. Penggunaan bahasa untuk
mengutarakan hal-hal yang faktual sifatnya.
DAFTAR PUSAKA
M. S. Kaelan. Filsafat Bahasa: Hakikat dan Realitas Bahasa. Yogyakarta: Paradigma, 2017.
Richard, E. Hermeneutika: Teori Baru Mengenai Interpretasi terj. Musnur Hery. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2005.
Suriassumantri, Jujun S. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 1994.