Anda di halaman 1dari 20

Nama : Aldiman Ludofikus Manullang

NIM : 200510008
Kelas : 1 (B)
Semester : Dua
Mata Kuliah : Logika dan Bahasa
Dosen : Antonius Moa Tolipung, Lic. S. Th.

Hermeneutik: Refleksi Kritis atas Pemikiran Martin Heidegger dan Wilhelm Dilthey.

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

Dalam sebuah komunikasi bahasa memiliki peranan yang sangat penting dan mutlak
adanya. Bahasa menjadi sebuah alat dalam komunikasi yang mana bahasa dan komunikasi
ini memiliki hubungan yang tak terpisahkan. Bahasa adalah laksana alat pemikiran yang
kalau sungguh-sungguh kita kuasai dan kita pergunakan dengan tepat, dapat membantu
untuk memperoleh kecakapan berpikir dengan lurus. Pemikiran yang valid tampak dalam
bahasa yang jelas dan teratur. Sebaliknya bahasa yang amburadul sering menampakkan
pikiran yang kacau. Bahasa adalah produk manusia yang paling besar. Tanpa bahasa, secara
praktis ini, produk-produk kegiatan manusia tidak mungkin terwujud. 1Selain itu, bahasa
merupakan bentuk verbal dari pikiran manusia, bahkan merupakan alat dan sarana untuk
berkomunikasi. Maka secara umum, bahasa dapat diartikan sebagai rangkaian simbol-simbol
yang dapat dipergunakan untuk mengkomunikasikan gagasan, pendapat, serta perasaan
orang kepada orang lainnya.2 Sejarah penggunaan bahasa pada umumnya memang tidak
pernah lengkap dan sempurna. Hal ini terjadi karena manusia adalah makhluk yang dinamis
(selalu berkembang, tak pernah lengkap dan sempurna).

1
Jujun S. Suriassumantri, Filsafat Ilmu Sebuah pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1994),
hlm. 304.
2
Jujun S. Suriassumantri, Filsafat Ilmu..., hlm. 174.
Filsafat Bahasa memuat banyak cabang jenis bahasa sesuai dengan fungsinya. Secara
etimologis, kata ‘hermeneutik’ berasal dari bahasa Yunani hermeneuein yang berarti
‘menafsirkan’. Maka, kata benda hermeneia secara harafiah dapat diartikan sebagai
“penafsiran” atau interpretasi. Pada dasarnya hermeneutik berhubungan dengan bahasa. Kita
berpikir melalui bahasa. Kita berpikir melalui bahasa; kita berbicara dan menulis dengan
bahasa. Kita mengerti dan membuat interpretasi dengan bahasa.3 Para filsuf hermeneutik ini
diantaranya Friedrich Daniel Ernst Schleiermacher, Wilhelm Christian Ludwig Dilthey,
Martin Heidegger, Rudolf Karl Bultmann, Gadamer, Habermas, Ricoeur, dan Derrida. Di
Dalam hal ini Hermeneutik erat kaitannya dengan tokoh Heidegger dan Dilthey yang
mendalami Hermeneutik sebagai konsep ontologis tentang ‘memahami’ dalam ‘konsep
Intelektual’ sebagai cara berada Dasein yang merupakan ‘konsep praktis’.4 Maka melalui
penjelasan Heidegger dalam konsep ontologis tentang ‘memahami’ dan Dilthey dalam
konsep intelektual, kita dapat memahami fungsi dan hakikat bahasa sebagai bagian dari diri
manusia, sehingga kita dapat memahami “Manusia sebagai makhluk hermeneutis”.
Maksudnya adalah memahami sebagai cara bereksistensi. Maka melalui pembahasan
Heidegger dan Dilthey, pembaca akan dihantar untuk memahami secara lebih mendalam
mengenai bahasa sebagai cara berada manusia, melalui metode ilmiah.

1.2. PERUMUSAN MASALAH

Bahasa merupakan kajian epistemologi yang menarik untuk dibahasa dalam bidang
ilmu filsafat, terkhusus para tokoh-tokoh ilmu filsafat bahasa yang telah berhasil
mengahantar banyak orang untuk lebih memahami hakikat dari bahasa itu sendiri. Bahasa tak
akan dapat lepas dari kehidupan manusia, bahasa menjadi kunci dasar untuk meneruskan
jalan kehidupan manusia sebagai alat komunikasinya. Karena manusia sendiri adalah Animal
Symbolicum. Maka dengan begitu luasnya topik pembahasan bahasa beserta tokoh-tokoh
bahasa yang sukses menyumbangkan ilmu pengetahuannya untuk mengembangkan ilmu

3
E. Sumaryono, Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1993), hlm. 23.
4
F. Budi Hardiman, Seni Memahami Hermeneutik dari Schleiermacher sampai Derrida (Yogyakarta:
Kanisius, 2015), hlm. 9.
bahasa, penulis membatasi kajiannya dalam karangan ilmiah bahasa ini, agar pembahasan
mengenai tokoh bahasa beserta pemikirannya dapat dipahami lebih mendalam.

Ada empat bab yang dibahas dalam karangan ilmiah ini, Pertama, Latar belakang
pembahasan. Pembahasan ini ada dalam bab I, yang memuat penjelasan awal pemikiran
tokoh yang dijadikan kajian analisis tugas oleh penulis sendiri.

Kedua, pemikiran Filsuf. Ini ada dalam bab II, yang berisi pemikiran dua filsuf
mengenai bahasa dalam kajian hermeneutik.

Ketiga, refleksi pribadi. Ini ada dalam bab III, yang berisi tiga topik sub-bab, yaitu:
analisa penulis terhadap pemikiran dua tokoh bahasa yang dibahas dan diperbandingkan.
Kemudian, relevansi yang ditemukan dalam pengerjaan dan pemahaman oleh penulis bagi
bahasa pada zaman ini, dan relevansi bagi penulis sendiri dalam menyikapi bahasa sebagai
bagian dari pelayanan warta seorang calon Imam.

Keempat, penutup. Ini ada dalam bab IV, yang menjadi penyimpulan dari seluruh
pembahasan, terkhusus pemikiran kedua tokoh bahasa yang dianalisis oleh penulis.

1.3. TUJUAN PENULISAN

Tujuan dari pembahasan ini adalah sebagai salah satu bahan penilaian dalam mata
kuliah “Logika dan Bahasa” STFT Santo Yohanes, Sinaksak, Pematangsiantar. Tugas ini
menjadi nilai tugas dan nilai untuk ujian tengah semester. Selain itu, penulis juga menyadari
beberapa hal lain yang menjadi tujuan yang sangat diperlukan oleh penulis dan para
pembaca. Yakni:

 Sebagai sarana untuk lebih memahami makna dan fungsi bahasa lebih mendalam.
 Agar mampu menjelaskan kaitan antara bahasa dan logika.
 Sebagai sarana bagi penulis untuk mengembangkan cara menulis yang baik dan benar.
 Agar mampu memahami dan menciptakan kondisi berpikir yang baik, yakni berpikir
korek-benar, logis-dialektis.
 Sebagai sarana untuk memahami dan mengerti konsep pemikiran para filsuf yang
dikemukakan.
 Agar mampu merumuskan dan menjelaskan bahwa bahasa dan pikiran merupakan proses
pembahasan dan pembahasan realitas.

BAB II
ISI

2.1. Riwayat Hidup Martin Heidegger.


Martin Heidegger (1889-1976) lahir dari keluarga Katolik Roma yang saleh dan
sederhana.5 Ayahnya adalah seorang koster gereja St. Martin. Dengan bantuan finansial
gereja Katolik, Heidegger dapat menempuh pendidikan tinggi. Heidegger menempuh
pendidikan di Universitas Freiburg, dan di sanalah Heidegger mengenal hermeneutik.
Heidegger pernah dihadiahi sebuah buku oleh Pastor paroki Kontanz yang ia kenal baik
yakni, buku tentang Berbagai Makna Ada menurut Aristoteles. Buku tersebutlah yang
membongkar pemikirannya. Heidegger meninggalkan teologi setelah empat semester,
kemudian masuk ke fakultas ilmu-ilmu alam dan metematika dan menyelesaikan studi tanpa
beasiswa gereja. Pada Tahun 1913 dia belajar filsafat dan mendapat lagi beasiswa dari gereja
katolik.6 1933 ia menjabat sebagai Rektor Universitas Freiburg, Heidegger menjadi emeritus
dari perguruan tinggi mulai tahun 1952, tetapi masih aktif memberi kuliah-kuliah sampai
tahun 1967. Dia tinggal di pondoknya di daerah pegunungan Schwartwald dan meninggal di
Freiburg pada 26 Mei 1976.7

2.2. Pemikiran Filosofis Heidegger terhadap Bahasa.


Heidegger merupakan filsuf yang sangat cermat terutama dalam bahasa, karena
menggali dengan dalam pemikirannya mengenai makna bahasa. Dasein adalah pusat
pembahasan ‘fenomenologi hermeneutiknya’. Pemikiran Heidegger meliputi dua periode:
pertama, ‘Ada dan Waktu’ dan kedua adalah ‘kehre’. Dalam pembahasannya ‘ada dan

5
K. Bertens, Filsafat Barat Abad XX Inggris-Jerman, (Jakarta: PT Gramedia, 1983), hlm. 142.
6
K. Bertens, Filsafat Barat…, hlm.143.
7
A. Joko Wicoyo, Filsafat Bahasa dan Tokohnya, (Yogyakarta: Liberty, 1997), hlm. 96.
waktu’ merujuk pada manusia yang mempertanyakan tentang ‘ada’ karena manusia sendiri
mempunyai hakikat ‘ada’. Dalam karangan filosofisnya itu ia jarang menempatkan kata
manusia sebagai objek pembahasannya, sehingga ungkapan “aku”, “subjek”, “persona”,
”kesadaran” yang biasanya dipakai dalam terminologi filsafat sangat jarang diketemukan
dalam karyanya. Manusia dalam karyanya ditunjuk sebagai ‘dasein’. Terkandung pengertian
dalam ‘dasein’ yaitu manusia yang hakikatnya adalah ‘ada’(sein) yang berada di situ (da).8
Dengan penjelasan bahwa manusia bukan suatu ulangan numerik dari jenis yang sama, dia
dikehendaki demi dirinya sendiri, ia menemukan diri dan khas bagi dirinya sendiri dengan
begitu bagi manusia ‘diri’ merupakan sumber kegiatan dan tindakan. 9 Berbeda dengan benda
atau binatang, manusia ada dan terlibat dalam ‘ada-nya’.

Heidegger menganalisis secara mendalam makna ‘dasein’, dengan berusaha


menunjukan struktur-struktur dasariahnya. Ia menunjukkan sifat dari ‘dasein’ itu sendiri
yaitu eksistensi dan berada di dalam dunia. Struktur hakikinya disebut existentialia. Sebagai
keseluruhan penjelasan Heidegger atas analisisnya ‘dasein’ disebut ‘Sorge’ (keprihatinan).
10
Dalam periode kedua, pemikiran Heidegger disebutnya ‘Kehre’ secara harfiah berarti
‘pembalikan’. Dalam pemikiran Heidegger antara pemikirannya periode pertama dan kedua
saling berkaitan atau koherensi. Menurutnya pemikiran periode pertama merupakan jalan
untuk masuk dalam wilayah pemikiran kedua.

Pemikiran periode kedua disadari Heidegger sebagai ketidaktersembunyian ‘ada’


merupakan suatu kejadian yang paling asli untuk menganalisis mengenai ‘Dasein’.
Keyakinan pokok yang dapat kita mengerti dari periode kedua ini adalah adanya suatu
11

sejarah “ada”. Sejarah ini justru menyangkut perbedaan ontologis. Ketika hidup dalam
periode yang menurut Heidegger disebut metafisika. Metafisikan tidak dapat dilepaskan oleh
sejarah, maka pada langkah asasi berikutnya adalah “langkah kembali guna melampaui
metafisika”. Langkah melampaui metafisika berarti mengembalikan metafisika pada
hakikatnya. Jadi, metafisika tidak lagi bersifat menentukan langkah pikir kita kembali ke
yang asli atau yang sesungguhnya, yang disebut Heidegger berpikir benar-benar. Berpikir
sesungguhnya adalah patuh pada masa “sein” atau “ada”. Menurut Heidegger berpikir itu
8
Kaelan, Hakikat dan Realitas Bahasa, (Yogyakarta: Paradigma, 2017), hlm. 195.
9
Kasdin Sihotang, Filsafat Manusia, (Yogyakarta: Kanisius, 2009), hlm. 33.
10
F. Budi Hardiman, Seni Memahami…, hlm. 98.
11
F. Budi Hardiman, Seni Memahami…, hlm. 113.
pada hakikatnya terikat pada arti. Oleh karena itu manusia bukanlah penguasa atas apa yang
“ada”, melainkan hanya sebagai penjaganya.

2.3. Hermeneutik dan Fenomenologi.

Heidegger memberikan cara lain untuk menjelaskan fenomenologi. Di dalam Sein


und Zeit, dia mengembalikan fenomenologi pada kombinasi kata Yunani logos yang artinya
“diskursus” dan phainesthai yang artinya “menampakkan diri”. Jadi, fenomenologi adalah
sebuah diskursus tentang menampakkan diri. Artinya, fenomenologi juga sebuah
hermeneutik atau interpretasi dengan “membiarkan apa yang memperlihatkan diri dari
dirinya sendiri dengan cara dia memperlihatkan diri dari dirinya sendiri. 12 Kita memahami
hal-hal sebagaimana ada mereka tanpa kita memaksa konsep-konsep kita kepada mereka.
Jika yang menampakkan diri itu “Ada”, diskursus tentang itu disebut ontologis, maka “
ontologi dan fenomenologi bukanlah dua disiplin filosofis yang saling berjauhan” atau
filsafat adalah “ontologi fenomenologis universal”.

Karena pokok permenungan seluruh Sein und Zeit adalah tentang makna ada (der
Sinn des Seins), fenomenologi yang dipraktikkan disitu merupakan sebuah seni memahami
makna juga, yaitu hermeneutik13. Karena merupakan sebuah fenomenologi, yakni
membiarkan hal-hal memperlihatkan diri, hermeneutik Heidegger melakukan interpretasi
tidak dengan memasukkan kerangka berpikir penafsir ke dalam hal yang dipahami,
melainkan dengan membiarkan hal yang diinterpretasikan itu tampak dan kita sebagai
fenomen adalah bahwa “Ada” itu bukan sebuah fenomen, melainkan sesuatu yang mencakup
segalanya. Bila kata hermeneutik disambungkan dengan faktisitas, kata itu tidak lagi dapat
diterangkan sebagai “memahami” faktisitas, karena faktisitas bukan dokumen historis,
artefak atau teks, melainkan kenyataan eksistensial kita sebagai Dasein.14 Memahami
(Verstehen) itu sendiri meruapakan kenyataan eksistensial yang dapat diinterpretasikan. Jadi
yang dilakukan oleh Heidegger dengan hermeneutiknya itu bukanlah memahami ini atau itu,
melainkan membiarkan “memahami” sebagai tindakan primordial menampakkan diri, dan

12
F. Budi Hardiman, Seni Memahami…, hlm. 118.
13
F. Budi Hardiman, Seni Memahami…, hlm. 122.
14
F. Budi Hardiman, Seni Memahami…, hlm. 130.
memahami tidak lain daripada cara Dasein bereksistensi. 15
Jika begitu, hermeneutik
faktisitas lebih tepat dijelaskan sebagai “membiarkan cara ada-nya (Sein) dan cara ke-di-
sana-an (da) Dasein, termasuk memahami, tersingkap lewat interpretasi. Interpretasi dalam
bahasa Jerman adalah Auslegung yang diartikan oleh Heidegger sebagai “membiarkan
terbuka”.

Hermeneutik Heidegger disebut hermeneutik faktisitas karena bagi Heidegger


memahami (Verstehen) bukanlah tindakan kognitif, melainkan sebuah tindakan primordial
Dasein yang bersifat pra-kognitif atau- dengan istilah lain – suatu faktisitas manusia, yakni
hal yang tidak terelakkan dalam diri manusia sebagai manusia.16 Hermeneutik faktisitas
bertugas menafsirkan tindakan primordial tersebut dalam terang fenomenologi dengan
membiarkan memahami sebagai faktisitas menampakkan diri.

2.4. Hubungan Bahasa dan Hermeneutik dalam Ranah Ontologis.


Bahasa yang kita gunakan menentukan arah pikiran kita, karena bahasa memuat
koordinat. Kooordinat dari persepsi kita. Sehingga Heiddeger mencoba mengulas hakikat
dari bahasa yang ia sebut (Wesen der Sprache). Menurut Heidegger hakikat bahasa bukan
hanya alat atau sarana belaka, melainkan dipandang sebagai hal yang berkaitan secara
langsung dengan proses menyampaikan makna/arti. Indetitas suatu benda akan tampak
dalam dirinya sendiri, ciri-ciri dan sifat-sifat benda tersebut yang diutarakan oleh orang lain
kepada kita dan kita menanggapi hal itu, maka hal itu menunjukan menifestasi dari hakikat
bahasa. Menurut Heidegger, bahasa tidak dapat diformulasikan dengan logika yang kritis,
karena tidak akan menampakkan hakikat bahasa yang sebenarnya.17

Maka, hakikat bahasa ditunjukan dengan berpikir dan berkata atau mengungkapkan
sesuatu. Demikianlah bahasa benar-benar menampakkan “das sein”. Bahasa adalah
keterbukaan manusia atas “das sein”. Berkata atau mengungkapkan yang sesungguhnya
adalah memberitahukan, menampakkan, atau menunjukan “das sein” sehingga membuatnya
jadi terbuka. Berpikir dan mengungkapkan suatu kata adalah “seinlassen” (membicarakan

15
A. Joko Wicoyo, Filsafat…, hlm. 114.
16
A. Joko Wicoyo, Filsafat…, hlm. 120.
17
A. Joko Wicoyo, Filsafat…, hlm. 137.
peristiwa ada). Bagi Heidegger, bahasa adalah tempat tinggal “Sang Ada”, atau bahasa
merupakan ruang bagi pengalaman-pengalaman yang bermakna. Pengalaman yang
diungkapkan merupakan pengalaman yang telah mengkristal, sehingga menjadi substansi,
menurut istilah metafisika. Bahasa adalah alat komunikasi, bagi Heidegger tidak
menunjukan hakikat bahasa yang sebenarnya. Karena hakikat itu mengabaikan hakikat “das
sein”, yang mengakibatkan pemerosotan bahasa, sebagaimana bahasa dibatasi dalam
terminologi bahasa ilmiah, bahasa baku, dan sebagainya.18

2.5. Riwayat Hidup Wilhem Dilthey.


Wilhem Dilthey dibesarkan di dalam keluarga keluarga Protestan Jerman yang
terpelajar. 19Dia dilahirkan di kota Biebrich di tepi sungai Rhain dekat kota Mainz pada
tanggal 19 November 1833. Ayahnya, seorang pendeta gereja “Reformed” di Nassau,
mendorongnya untuk studi teologi. Karena itu setelah lulus gimnasium di Wiesbaden,
Dilthey mendaftarkan diri di Universitas Heidelberg untuk belajar teologi. Seperti Schelling,
Hegel, dan banyak pemikir lain, dia merasa sesak dengan suasana dogmatis dalam studi
teologi dan pindah ke filsafat. Kesalehan awalnya tidak lagi dianggapnya relevan untuk
kehidupan modern. Kalaupun dia lulus teologi ditahun 1856, hal itu dilakukan demi
menyenangkan hati ayahnya. Pada waktu yang bersamaan dia lulus filsafat di Berlin. Karier
akademis Dilthey cemerlang. Setelah meraih gelar doktor pada tahun 1864 dengan disertai
tentang Schleiermacher, dia sudah diundang untuk mengajar di universitas, antara lain di
Breslau, sebelum akhirnya dia mengajar di universitas Berlin yang waktu itu sangat gengsi.
Dilthey tutup usia pada tanggal 1 Oktober 1911 di kota Seis am Schlern di wilayah Tirol
20

Selatan yang sekarang merupakan bagian Italia.

2.6. Pemikiran Filosofis Dithley terhadap Bahasa.


Bagi Dilthey, hermeneutika adalah “teknik memahami ekspresi tentang kehidupan
yang tersusun dalam bentuk tulisan”. 21Oleh karena itu, Ia menekankan pada peristiwa dan
karya-karya sejarah yang merupakan ekspresi dari pengalaman hidup masa lalu. Ia adalah
18
Abdul Chaer, Filsafat Bahasa, (Jakarta: Rineka Cipta, 2015), hlm. 163.
19
K. Bertens, Filsafat Barat…, hlm. 159.
20
F. Budi Hardiman, Seni Memahami…, hlm. 64.
21
E. Sumaryono, Hermeneutik…, hlm. 32.
filsuf yang menaruh perhatian pada sejarah. Ia seakan-akan telah ‘mematri’ sejarah dan
filsafat menjadi satu dengan maksud untuk mengembangkan suatu pandangan filosofis yang
komprehensif dan yang tidak terjaring oleh dogma metafisika dan tidak ‘diredupkan’ oleh
prasangka tentang komprehensif atau pemahaman yang memandang dunia dalam dua wajah,
yaitu wajah dalam (interior) dan wajah luar (eksterior). Dengan kata lain, pemikiran Dilthey
dalam hermeneutiknya adalah untuk memformulasikan suatu metodologi unik dalam
Geisteswissenschaften (human science) mengingat Ia mempercayai bahwa metode
Naturwissenscaften (nature science) tidak tepat bagi human science. 22
Adakalanya
Geistenwissenschaften juga menggunakan objek Naturwissenschaften, tetapi konteks
hubungannya berlainan.
Dilthey melihat bahwa verstehen (understanding) adalah metode bagi human
science dimana eklaren (explanation) merupakan metode bagi nature science. Dilthey
berambisi untuk meyusun sebuah dasar epistemologis baru bagi pertimbangan sejarah.
Proyek ini berkisar pada gagasan tentang komprehensi atau pemahaman yang memandang
dunia dalam dua wajah, yaitu wajah dalam (interior) dan wajah luar (eksterior). Secara
eksterior, suatu peristiwa mempunyai tanggal dan tempat khusus atau tertentu; secara
interior, peristiwa itu dilihat atas dasar kesadaran atau keadaan sadar. Bahkan dapat
dikatakan bahwa kedua dimensi itu dalam keadaan saling tergantung satu sama lain.
Seringkali yang memberi nilai pada dimensi eksterior suatu peristiwa, yaitu tanggal dan
tempat, adalah nilai pada dimensi eksterior, dimana sebuah peristiwa sejarah sedemikian
mempengaruhi kesadaran sehingga sedikit banyak menutupi keadaan sadar itu. Kesulitan
yang dihadapi Dilthey ialah bagaimana menempatkan penyelidikan sejarah supaya sejajar
dengan penelitian ilmiah. Sebab, dalam penelitian ilmiah hanya terdapat satu dimensi, yaitu
dimensi eksterior. Kesadaran para peneliti ilmiah tidak meresap masuk ke dalam
eksperimennya. Bukan ilmuwan yang menyesuaikan nilai signifikan pada penelitian
ilmiahnya, melainkan penelitian itu sendiri yang menentukan bernilai-tidaknya.

2.7. Hermeneutik dan Ilmu Sejarah.


Pada mulanya Dilthey menginginkan kritik historis terhadap akal menjadi kritik
atas akal historis yang dapat diumpamakan dengan ‘kritik terhadap akal murni’ dari

22
E. Sumaryono, Hermeneutik…, hlm. 39.
Immanuel Kant. “Kritik” Dithley adalah suatu konstruksi spekulatif yang dimaksudkan
untuk menemukan makna dalam sejarah sebagai cara memahami dengan lebih mendalam
daripada sekedar penelitian historis. Maka untuk memulai karyanya, Dilthey mulai dengan
meyakini bahwa data empiris menunjukkan “pola-pola” atau hubungan-hubungan yang
memberi makna pada pengalaman dan hidup kita. Dilthey tidak dapat disamakan dengan
Hegel atau Bossuet maupun Spengler, Dilthey menulis filsafat sejarah sebagai “kritik” atas
akal historis”, suatu filsafat tentang mengerti, cara melihat atau menemukan rangkaian
pemikiran yang berlangsung dalam sejarah. Sementara Hegel, Bossuet dan Spengler menulis
sejarah universal dengan maksud melacak sejarah mulai dari awal sampai sekarang dan
mengelompokkan segmen-segmennya. 23Dilthey hanya melihat pola-polanya dan mencoba
memahami dan mengungkapkan makna yang terkandung dalam pola-pola itu. Yang menjadi
sasaran Dilthey adalah memahami person yang menyejarah. Pemahaman atas sistem yang
dihasilkan oleh person individu adalah mutlak bagi sasaran tersebut sebab person tidak lain
adalah produk dari suatu sistem sosial atau eksternal. 24 Oleh karena itu, menurut Dilthey,
sistem eksternal adalah basis pemahaman historis.

Yang ingin dicari oleh oleh Dilthey adalah pemahaman dan interpretasi atas
kegiatan-kegiatan individu yang dengan sendirinya tersituasikan atas kegiatan-kegiatan
individu yang dengan sendirinya tersituasikan dalam sistem-sistem eksternal dari organisasi-
organisasi sosial, politik, dan ekonomi dengan nilai-nilainya sendiri yang sudah dianggap
mapan atau mantap. Namun kegiatan-kegiatan individu juga merupakan indikasi atau
petunjuk kearah faktor-faktor psikologisnya. Filsafat, menurut Dithley, bersifat esensial
historis. Peristiwa-peristiwa sejarah telah menunjukkan bahwa jiwa (psyche) manusia
berubah dalam alur waktu dengan cara yang tidak kelihatan. Ini tidak mengherankan karena
manusia adalah makhluk yang hidup dan berevolusi. Manusia tidak pernah bersifat statis,
apalagi ‘terpatri’. Oleh karena itu, semua ilmu pengetahuan tentang manusia juga tidak
pernah bersifat statis. Dilthey menganjurkan kita mempergunakan hermeneutik, sebab
menurut dia, hermeneutik adalah dasar dari Geisteswissenschaften. Berkenaan dengan
keterlibatan individu dalam kehidupan masyarakat yang hendak dipahaminya, ia merasa

23
N. Bulhof, Wilhem Dilthey, (Netherlands: Springer Netherlands, 1980), hlm. 13.
24
E. Richard, Hermeneutika: Teori Baru Mengenai Interpretasi terj. Musnur Hery, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2005), hlm. 24.
perlu memiliki tipe memahami yang khusus. Meskipun orang dapat menyadari keadaan
dirinya sendiri melalui ekspresi orang lain, namun orang masih dirasa perlu untuk membuat
interpretasi atas ekspresi tentang kehidupan. Jika ungkapan tentang hidup tidak mengandung
sesuatu yang dirasa asing atau ganjil, maka hermeneutik juga tidak mungkin dilakukan.

2.8. Arti “Memahami”.


Bila seorang sejarawan merekontruksikan suatu peristiwa, berarti ia mencoba
menghidupkannya kembali. Inilah alasan Dilthey menyatakan bahwa pemahaman adalah
penemuan atas diri saya di dalam diri anda. 25Ini berarti pula bahwa seorang sejarawan
membaca dirinya sendiri dalam objek penelitiannya. Kita menerangkan berarti kita membuat
proses intelektul murni26, tetapi kita memahami berarti menggabungkan semua daya pikiran
kita dalam pengertian. Dan, dalam memahami, kita mengikuti proses mulai dari sistem
keseluruhan yang kita terima di dalam pengalaman hidup sehingga dapat kita mengerti,
sampai ke pemahaman terhadapa diri kita sendiri. Proses pemahaman ini terdiri dari dua
bagian yang berhubungan dengan rangkaian peristiwa dalam proses kehidupan secara
berbeda satu sama lain.27 Pertama, pengalaman yang hidup menimbulkan ungkapannya. Bila
kita melakukan proses hubungan akibat-sebab. Kedua, dalam proses menghidupkan kembali
atau rekonstruksi berbagai peristiwa, di mana orang dapat melihat kelanjutan peristiwa
tersebut sehungga ia bisa ambil bagian di dalamnya, maka ia melakukan proses hubungan
sebab-akibat. Bagian kedua ini merupakan epitomae atau ikhtisar pemahaman.

Namun, kedua bagian ini itidak terpisahkan satu dari yang lain, sebab dalam proses
pemahaman itu sendiri, akal pikiran kita mengambil alih timbul tenggelamnya sebab dan
akibat dalam rangkaian penyebaban. Dalam kelangsungan waktu, baik masa lalu maupun
masa mendatang transenden terhadap momen yang penuh dengan pengalaman. Ini bisa
terjadi akibat dari “keterhubungan hidup” (the connectedness of life). 28
Bila momen sejarah
ambil bagian, maka tidak ada alur waktu yang terputus. Tiga kerangka waktu, yaitu masa
lalu, sekarang dan masa yang akan datang, seakan-akan hadir secara bersama-sama.

25
N. Bulhof, Wilhem Dilthey…, hlm. 18.
26
E. Richard, Hermeneutika…, hlm.26.
27
Kaelan, Hakikat…, hlm. 67.
28
Kaelan, Hakikat…, hlm. 73.
Tentang sistem penyebab dalam kaitannya dengan sejarah, Dilthey membaginya dalam dua
jenis, yaitu Kausalzusammenhang dan Wirkungszuzammenhang. Yang dimaksud dengan
Kausalzusammenhang adalah nexus antara sebab dan akibat yang bersifat mekanis, seperti
terdapat dalam ilmu-ilmu alam yang menggunakan sistem penyebaban di mana sebab
sementara mendahului akibat. Sedangkan yang dimaksud dengan Wirkungszusammenhang
atau sistem dinamis adalah proses di mana fakta atau peristiwa mempengaruhi atau
menampung hasil dalam sistem kehidupan. Sejarah tidak termasuk dalam proses penyebaran
mekanis, melainkan berproses dalam penyebaban dinamis atau Wirkungszusammenhang.
Setiap individu mempunyai sistem penyebab dinamisnya sendiri-sendiri dalam skala kecil,
yaitu di dalam hidupnya.

Menurut Dilthey, sejarah adalah proses kehidupan dan membuang segala hubungan
mekanis antar-peristiwa.29 Ia lebih lanjut mengatakan bahwa kesatuan ilmu-ilmu
kemanusiaan atau ilmu-ilmu pengetahuan tentang hidup terletak dalam sistem dinamis. Apa
yang mematri ilmu-ilmu kemanusiaan atau ilmu-ilmu pengetahuan tentang hidup menjadi
satu bukanlah penyebab mekanis, melainkan penyebab dinamis, di mana nilai-nilai
diciptakan serta tujuan akhir dikemukakan. Relativitas nilai hanya merupakan titik balik dari
kebebasan kreativitas setiap orang. Jadi, tidak terdapat tema yang mapan yang digunakan
oleh para sejarawan untuk menilai macam-macam peristiwa dan situasinya. Dalam
kebebasan kreaktivitas yang inherent, manusia membayangkan sebuah tema di dalam angan-
angannya dan mengevaluasi tema tersebut menurut kebebasannya.30

Tujuan akhir dari hermeneutik adalah kemampuan memahami penulis atau


pengarang melebihi pemahaman terhadap diri kita sendiri. Pernyataan ini seakan-akan
mengandung unsur-unsur ke-Ilahian di dalamnya. Jadi, di dalam hermeneutik, baik penafsir
maupun yang diinterpretasi sama-sama mempunyai andil besar pada interpretasi yang benar.
Dualitas peranan inilah yang menentang kesimpulan yang sempit dan ilmiah. Sudah
seharusnyalah hermeneutik menjadi “metode’ dari Geisteseissenschaften. Metode ilmiah
sama sekali tidak dapat dipergunakan untuk membahas sejarah, ksesustraan, filsafat, agama,
seni, politik, dan ilmu-ilmu pengetahuan sosial lainnya. Namun ini tidak berarti bahwa
29
Kaelan, Hakikat…, hlm. 79.

30
Kasdin Sihotang, Filsafat…, hlm. 41.
Geisteswissenschaften kurang konklusif dibandingkan dengan Natureissenschaften.
Keduanya hanya berbeda dalam metode pembahasannya. Suatu saat kita pasti juga akan
mempersatukan kedua cabang ilmu pengetahuan tersebut.31 Sebab bagaimanapun juga pada
saat kita ingin menarik suatu kesimpulan dalam ilmu pengetahuan tentang kehidupan kita,
kita tetap memerlukan ketetapan.

2.9. Metode Pengoperasian Hermeneutik.

2.9.1. Interpretasi Data.


Individu itu penuh misteri. Jika ada ilmu pengetahuan yang membahas
tentang individu, pasti membahas satu dari dua hal berikut ini, yaitu bahwa individu-
individu itu bukan dilihat dari segi hakikatnya melainkan dari segi tipe-tipe individu.
Ada beberapa disiplin Ilmu yang menggambarkan individu dengan perhatian yang
cermat, seperti misalnya kesastraan, dan psikologi. Dalam satu aspek, ungkapan atau
pernyataan interprettio naturae (interpretasi terhadap alam) adalah wujud dari ucapan.
Dalam hal ini ‘mengetahui’, sedang ‘memahami’ dan ‘interpretasi’ hanya dipergunakan
untuk ‘mengetahui’ manusia’. Jadi menurut Dilthey, suatu proses dimana kita
mengetahui sesuatu dari aspek kejiwaan atas dasar tanda-tanda yang dapat ditangkap
panca-indra sehingga termanifikasikan, kita sebut sebagai “komprehensi” atau
“pemahaman”. Namun, menurut Dilthey semua bagian dalam interpretasi berlangsung
menurut aturan-aturan yang belaku supaya segala kesulitannya dapat diatasi. Menurut
Dilthey, hermeneutik pada dasarnya bersifat menyejarah. 32 Ini berarti bahwa makna itu
sendiri tidak pernah ‘berhenti pada satu masa’ saja, tetapi selalu berubah menurut
modifikasi sejarah.

2.9.2. Riset Sejarah.


Dilthey mengatakan bahwa peristiwa sejarah dapat dipahami dalam tiga
proses: (1) memahami sudut pandang atau gagasan para pelaku asli. (2) memahami arti
atau makna kegiatan-kegiatan mereka pada hal yang secara langsung berhubungan
31
N. Bulhof, Wilhem Dilthey…, hlm. 24.
32
E. Richard, Hermeneutika…, hlm. 52.
dengan peristiwa sejarah.33 (3) menilai peristiwa-peristiwa tersebut berdasarkan gagasan
yang berlaku pada saat sejarawan itu hidup. Namun, proses tiga tahap pemahaman itu
sendiri tidak berlaku untuk metode ilmiah. Alasannya adalah karena untuk memahami
atau mencerna sudut pandang pelaku asli dalam sejarah, kita harus memiliki sedikit
pengetahuan tentang psikologi atau cara mengenal orang atau masyarakat. Untuk dapat
menilai akibat tindakan seseorang terhadap yang lain, kita harus menggunakan beberapa
bentuk eksplorasi atau penjajagan yang tidak harus mengikuti skema yang berhubungan
dengan objek.

Pemahaman adalah pengertian tentang kerja akal pikiran manusia. Akal pikiran
membentuk gabungan-gabungan dan hubungan-hubungan berbagai macam peristiwa
dalam bentuk sebuah pola.34 Bahasa kita sendiri tidak bebas dari pasang surutnya
sejarah. Sejarah tidak dapat dipahami kecuali melalui teori-teori, dan sebaliknya teori
juga tidak dapat dipahami kecuali melalui sejarah. Bahkan untuk memahami sebauh
karya seni, karya tersebut harus lebih dahulu ditempatkan dalam sebuah kerangka
teoretis. Kata-kata atau pernyataan tunggal dapat mempunyai arti yang bermacam-
macam tergantung pada konteks sejarah dimana kata atau pernyataan itu diucapkan.
Pemahaman historis menempatkan para pahlawan dalam konteks kehidupan. Psikologi
berperan penting sejauh interpretasinya menimbulkan pemahaman atas kehidupan batin-
psikis person-person historis. Menurut Dilthey semua pemahaman atau pengertian bila
ditelusuri sampai batas-batasnya akan menjadi menyejarah. Ini berarti semua
pemahaman atau pengertian akhirnya menjadi menyejarah. Pengalaman yang hidup dan
pemahaman saling melengkapi satu sama lain.

BAB III
REFLEKSI KRITIS DAN RELEVANSI

33
E. Richard, Hermeneutika…, hlm. 61.
34
E. Richard, Hermeneutika…, hlm. 67.
3.1. Analisa Perbandingan Pemikiran Martin Heidegger dan Wilhem Dithley.

Ketidakjelasan penggunaan bahasa dalam ranah filsafat dilihat sebagai sesuatu


kajian yang rumit, membingungkan, dan rancu makna yang diungkapkan. Sedari dulu, para
filsuf aliran filsafat hermeneutik bahasa selalu berusaha menciptakan bahasa logika yang
mudah dimengerti dan dipahami. Mereka berusaha membuang anggapan-anggapan bahwa
bahasa filsafat penuh dengan kekaburan dan kerancuan. Heidegger menjelaskan mengenai
konsep bahasa tidak dapat diformulasikan dengan logika yang kritis, karena tidak akan
menampakkan hakikat bahasa yang sebenarnya. Maka, hakikat bahasa ditunjukan dengan
berpikir dan berkata atau mengungkapkan sesuatu. Demikianlah bahasa benar-benar
menampakkan “das sein”. Bahasa adalah keterbukaan manusia atas “das sein”. Heidegger
menganalisis secara mendalam makna ‘dasein’, dengan berusaha menunjukan struktur-
struktur dasariahnya. Berkata atau mengungkapkan yang sesungguhnya adalah
memberitahukan, menampakkan, atau menunjukan “das sein” sehingga membuatnya jadi
terbuka. Berpikir dan mengungkapkan suatu kata adalah “seinlassen” (membicarakan
peristiwa ada). Bagi Heidegger, bahasa adalah tempat tinggal “Sang Ada”, atau bahasa
merupakan ruang bagi pengalaman-pengalaman yang bermakna.

Pengalaman yang diungkapkan merupakan pengalaman yang telah mengkristal,


sehingga menjadi substansi, menurut istilah metafisika. Bahasa adalah alat komunikasi, yang
bagi Heidegger tidak menunjukan hakikat bahasa yang sebenarnya karena hakikat itu
mengabaikan hakikat “das sein”, yang mengakibatkan pemerosotan bahasa, sebagaimana
bahasa dibatasi dalam terminologi bahasa ilmiah, bahasa baku, dan sebagainya. Hal ini
memang sangat dipengaruhi oleh Heidegger yang menekankan bahwa untuk mengerti itu
merupakan suatu proses melingkar. Untuk mencapai pengertian maka seseorang harus
bertolak dari pengertian, misalnya untuk mengerti suatu teks maka orang harus memiliki
pra-pengertian tentang teks tersebut. Pandangan ini semakin menguatkan bahwa bahasa
baginya merupakan suatu rumusan yang sudah ada sebelumnya yang kita sebut dengan pra-
pengertian.

Sementara Filsafat kehidupan Dilthey menjelaskan bahwa hidup adalah satu


kesatuan menyeluruh dari berbagai aspek yang melingkupinya. Hidup tidak hanya sebatas
dogma agama maupun pengalaman manusia, melainkan hidup merupakan rentetan kejadian
yang menyatu dalam sejarah hidup itu sendiri. Dengan hermeneutiknya, Dilthey mencoba
menjelaskan bahwa pengalaman manusia merupakan kehidupan manusia itu sendiri.
Pengalaman merupakan bagian dari sejarah hidup yang kemudian menjadi obyek refleksi
dari interpretasi. Adapun ekspresi adalah segala bentuk refleksi kehidupan manusia dimana
dengan melihat ekspresi tersebut kita dapat mengetahui obyek kebenaran dengan
menggunakan pemahaman. Kemudian disebutkan bahwa karya seni merupakan manifestasi
hidup yang tidak sepenuhnya mengungkap segala hal dari pengarangnya.

Dilthey menganjurkan penggunaan hermeneutika, sebab baginya, hermeneutika


adalah dasar dari Geisteswissenschaften. Berkenaan dengan keterlibatan individu dalam
kehidupan masyarakat yang hendak dipahaminya, diperlukan bentuk pemahaman yang
khusus. Oleh karena itu, hermeneutik menjadi sebuah metode interpretasi dalam memahami
apa yang belum terungkap dalam karya seni tersebut. Lebih lanjut Dilthey menjelaskan
bahwa kunci dari interpretasi itu sendiri adalah pemahaman. Dimulai dari memahami
historisitas manusia yang mana kemudian pemahaman tersebut menemukan makna dibalik
sejarah hidup manusia. Makna tersebut digunakan sebagai pengetahuan yang akan diolah
dalam menginterpretasikan sejarah ataupun teks dan lainnya.

3.2. Relevansi bagi Penggunaan Bahasa saat ini.

Manusia tidak akan pernah bisa terlepas dari bahasa. Bahasa menjadi unsur
terpenting dalam kehidupan manusia. Bahasa adalah kemampuan yang dimiliki manusia
agar dapat berkomunikasi dengan manusia lainnya menggunakan tanda, misalnya kata dan
gerak-gerik. Manusia sendiri adalah Animal Symbolicum. Tentunya bahasa merupakan
instrument yang paling penting bagi manusia untuk saling berkomunikasi satu sama lain.
Bahasa yang digunakan di lingkungan masyarakat mestinya senantiasa mengandung
kebenaran seturut realitas yang ada. Adalah baik bila bahasa yang digunakan tidak hanya
sekadar untuk mengungkapkan isi pikiran seseorang saja, namun bahasa juga harus memberi
pengertian yang dimengerti oleh si pendengar atau lawan bicara.

Bahasa dapat menjadi ukuran bagi setiap orang yang berpendidikan. Maka dapat
kita pahami, bila ada orang yang hanya berkata-kata demikian terus-menerus, tanpa
pembaharuan kosa kata, menandakan hanya itulah yang ada di dalam pikirannya. Apa yang
kita katakan, mencerminkan apa yang ada dalam pikiran kita. Heidegger dan Dithley
menjadi tokoh untuk pengguna bahasa di zaman ini agar memahami secara mendalam
bahasa yang digunakan sehari-hari. Bahasa itu bukanlah data final dari realitas, melainkan
proses yang tidak berhenti. Dalam relevansinya dengan kehidupan dunia zaman sekarang
ternyata bahasa dalam hermeneutika struktur spekulatif bahasa memiliki posisi sentral
dalam menentukan jalannya pengalaman. Hal ini membawa kemungkinan bagi manusia
untuk selalu berdialog dengan manusia lain, dan terutama dengan yang ada dalam bahasa.
Untuk itu sangat penting memahami, menjelaskan dan mengaplikasikanya dalam kehidupan.

3.3. Relevansi bagi Penulis.

Penulis sebagai mahasiswa Fakultas Filsafat Unika St. Thomas, Pematangsiantar,


menyadari akan pentingnya penggunaan bahasa dewasa ini. Bahasa menjadi hal yang
fundamen bagi setiap orang, terutama penulis yang adalah seorang calon imam untuk
menjadi alat utama pewartaannya. Bahasa yang kita gunakan mencerminkan isi pikiran kita.
Penulis menyadari bahwa persoalan bahasa yang kerap disepelekan ini, bila direnungkan
secara mendalam justru menjadi permasalahan yang rumit. Ontologis bahasa yang luas akan
pemaknaan Sabda Allah menjadi suatu intuisi penting untuk diselesaikan dengan melahirkan
para kaum religius/calon imam yang mampu menafsirkan bahasa tersebut.

Pengalaman bahasa dan Hermeneutik merupakan sarana dalam hidup seorang calon
imam, untuk mengungkapkan semua misi pewartaan dalam setiap ucapan maupun dialektika
yang akan diwartakan kepada umat beriman. Oleh karena itu, memami, memaknai, dan
menjelaskan, merupakan proses yang penting sebagai seorang calon imam dalam kehidupan
berbahasanya sebagai pewarta. Dengan mempelajari karya-karya Martin Heidegger dan
Willhem Dilthey penulis dituntun untuk semakin cermat dalam berbahasa, dan menyadari
betapa pentingnya untuk memahami setiap arti kata maupun teks bahasa Kitab suci sebagai
salah satu hal positif yang harus dikembangkan sebagai seorang calon imam.
BAB IV

PENUTUP

Bahasa digunakan oleh manusia untuk berbagai keperluan. Bahasa memiliki tiga
fungsi pokok yakni: fungsi ekspresif, direktif (praktis) dan informatif. Tiga fungsi pokok ini
merupakan hasil konstruksi pikiran yang tidak pernah dapat ditemui dalam wujud yang
murni dalam kenyataan. Pada fungsi ekspresif bahasa digunakan untuk mengungkapkan atau
mengekspresikan perasaan atau sikap. Kriteria penilaiannya adalah bernilai atau tidaknya
suatu pengutaraan, bersungguh-sungguh atau tidakkah suatu pengutaraan diungkapkan.
Lalu, pada fungsi direktif bahasa digunaan untuk memerintah, bertanya, dan mengajukan
permintaan, Ia digunakan untuk menimbulkan atau menghalangi munculnya tindakan nyata.
Kriteria penilaiannya adalah masuk akal atau tidak, dipatuhi atau tidak. Sedangkan pada
fungsi informatif, bahasa digunakan untuk mengutarakan hal-hal yang faktual sifatnya.
Bukan hanya melukiskan dunia sekitar, tetapi juga membuat penalaran tentangnya. Kriteria
penilaiannya dilandaskan pada kesesuaian suatu pengutaraan terhadap fakta. Pengutaraan itu
dikatakan benar atau salah tergantung pada kesesuaiannya terhadap fakta. Dan fungsi bahasa
yang paling erat dengan logika adalah fungsi informatif. Penggunaan bahasa untuk
mengutarakan hal-hal yang faktual sifatnya.

Filsafat bahasa biasa merupakan metode yang khas untuk menjelaskan,


menguraikan dan menguji kebenaran ungkapan-ungkapan filosofis. Filsafat Hermeneutik
berguna untuk memahami pemahaman sekomperhensif mungkin, bukan suatu metode atau
suatu aturan-aturan yang secara objektif ‘sah’. Kedua filsuf diatas telah memaparkan konsep
pemikirannya dengan sudut pandangnya masing-masing. Heidegger telah membuat suatu
cakrawala ontologis untuk bagaimana cara memahami bahasa sebagai wujud eksistensi diri
manusia. Selain itu, Dilthey dengan hermeneutiknya, mencoba menjelaskan bahwa
pengalaman manusia merupakan kehidupan manusia itu sendiri. Dengan demikian,
penggunaan bahasa harus dilakukan dengan cermat. Logika yang menyibukan diri dengan
fakta hendaknya menyibukkan diri dengan pengunaan bahasa yang netral. Dan tidak jarang
kesesatan bernalar dan berpikir pada umumnya terjadi karena penggunaan bahasa yang tidak
tepat, penggunaan bahasa yang tidak netral.

DAFTAR PUSAKA

Bertens, K. Filsafat Barat Abad XX Inggris-Jerman. Jakarta: PT. Gramedia, 1983.

Budi Hardiman, F. Seni Memahami Hermeneutik dari Schleiermacher sampai Derrida.


Yogyakarta: PT. Kanisius, 2015.
Bulhof, N. Wilhem Dilthey. Netherlands: Springer Netherlands, 1980.

Chaer, Abdul. Filsafat Bahasa. Jakarta: Rineka Cipta, 2015.

M. S. Kaelan. Filsafat Bahasa: Hakikat dan Realitas Bahasa. Yogyakarta: Paradigma, 2017.

Richard, E. Hermeneutika: Teori Baru Mengenai Interpretasi terj. Musnur Hery. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2005.

Sihotang, Kasdin. Filsafat Manusia. Yogyakarta: Kanisius, 2009.

Sumaryono, E. Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta: Kanisius, 1993.

Suriassumantri, Jujun S. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 1994.

Wicoyo, A. Joko. Filsafat Bahasa dan Tokohnya. Yogyakarta: Liberty, 1997.

Anda mungkin juga menyukai