Anda di halaman 1dari 3

Nama : Della Zalfia Angraini

NPM : 03062111029

FILSAFAT ANALITIKA

Filsafat analitik adalah aliran filsafat yang muncul dari kelompok filsuf yang menyebut dirinya
lingkaran Wina. Filsafat analitik lingkaran Wina itu berkembang dari Jerman hingga ke luar,
yaitu Polandia dan Inggris. Pandangan utamanya adalah penolakan terhadap metafisika. Bagi
mereka, metafisika tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Jadi filsafat analitik
memang mirip dengan filsafat sains.[1]

Di Inggris misalnya, gerakan filsafat analitik ini sangat dominan dalam bidang bahasa.
Kemunculannya merupakan reaksi keras terhadap pengikut Hegel yang mengusung idealisme
total. Dari pemikirannya, filsafat analitik merupakan pengaruh dari rasionalisme Prancis,
empirisisme Inggris dan kritisisme Kant. Selain itu berkat empirisme John Locke pada abad 17
mengenai empirisisme, yang merupakan penyatuan antara empirisisme Francis Bacon, Thomas
Hobbes dan rasionalisme Rene Descartes. Teori Locke adalah bahwa rasio selalu dipengaruhi
atau didahului oleh pengalaman. Setelah membentuk ilmu pengetahuan, maka akal budi menjadi
pasif. Pengaruh ini kemudian merambat ke dunia filsafat Amerika Serikat, Rusia, Prancis,
Jerman dan wilayah Eropa lainnya.[2]

Setelah era idealisme dunia Barat yang berpuncak pada Hegel, maka George Edward Moore
(1873-1958), seorang tokoh dari Universitas Cambridge mengobarkan anti Hegelian. Bagi
Moore, filsafat Hegel tidak memiliki dasar logika, sehingga tidak dapat dipertanggungjawabkan
secara akal sehat. Kemudian pengaruhnya menggantikan Hegelian, yang sangat terkenal dengan
Filsafat bahasa, filsafat analitik atau analisis logik.[2]

Tokoh yang mengembangkan filsafat ini adalah Bertrand Russell dan Ludwig Wittgenstein.
Mereka mengadakan analisis bahasa untuk memulihkan penggunaan bahasa untuk memecahkan
kesalahpahaman yang dilakukan oleh filsafat terhadap logika bahasa. Hal inilah yang ditekankan
oleh Charlesworth. Penekanan lain oleh Wittgenstein adalah makna kata atau kalimat amat
ditentukan oleh penggunaan dalam bahasa, bukan oleh logika.
HAKIKAT BAHASA DAN HERMENEUTIKA

Bahasa adalah sistem lambang bunyi berartikulasi (yang dihasilkan alat-alat ucap) yang bersifat
sewenang-wenang dan konvesional yang dipakai sebagai alat komunikasi untuk melahirkan
perasaan dan pikiran.[2] Bahasa sangat penting dalam usaha berkomunikasi antar pribadi.
Bahasa yang mengandung pikiran dapat menjamin terbukanya otak manusia untuk menyadari
dunia dan dirinya sendiri.[3] Bahasa menjadikan hubungan antar pribadi dapat saling mengenal
dan memahami realitas sekitarnya. Manusia menggunakan bahasa dengan baik agar suatu hal
yang hendak disampaikannya dapat dipahami dengan baik oleh pendengar. Kesesuaian
komunikasi terletak pada penggunaan bahasa yang baik dan benar. Kecenderungan ini membuat
bahasa menjadi hal yang urgen dibicarakan seiring dengan perkembangan budaya dan pemikiran
manusia sendiri.

Hermeneutika berasal dari bahasa Yunani hermeneuo yang berarti mengungkapkan pikiran-
pikiran seseorang dalam kata-kata atau hermeneuein yang berarti menafsirkan dan hermeneia
yang berarti penafsiran. Kata Yunani tersebut berhubungan dengan dewa Hermes, dewa dalam
mitos orang Yunani yang bertugas untuk menyampaikan berita dari para dewa di gunung
Olympus kepada manusia. Sosok Hermes digambarkan sebagai seseorang yang mempunyai
sayap. Dalam bahasa Latin, sosok ini lebih dikenal dengan nama Mercurius. Dewa ini adalah
dewa ilmiah, penemuan, kefasihan bicara, seni tulis dan kesenian. Hermes harus mampu
menginterpretasikan atau menyadur sebuah pesan ke dalam bahasa yang digunakan dalam
pendengarnya.[4]

Bahasa adalah hal yang paling hakiki dalam kehidupan ini yang membantu manusia
menemukan dirinya dalam dunia yang terus berubah ini. Bahasa tidak boleh dipikirkan sebagai
hal yang mengalami perubahan. Bahasa harus dipikirkan dan dipahami sebagai sesuatu yang
memiliki ketertujuan (teleologi) di dalam dirinya.[6] Manusia menggunakan bahasa untuk
sebuah tujuan dan arah yang hendak dicapai. Manusia yang memakai bahasa menyadari
penggunaan bahasanya baik bahasa ibu maupun bahasa umum. Bahasa mengartikan sesuatu
lewat kata-kata yang bisa dipahami dan dimengerti dengan baik. Manusia menangkap arti dan
makna kata-kata dengan tepat sekalipun baru pertama kali dilakukannya. Manusia pun memiliki
kemampuan untuk mencampurkan gaya-gaya bahasa yang berbeda satu sama lain.
Bahasa berarti memahami. Menurut Gadamer, posisi sentral bahasa dalam hermeneutika ada
yang dapat dipahami dengan bahasa.[7] Pemahaman ini berarti mengerti peristiwa historis yang
mengandalkan pemahaman yang mempertimbangkan aspek waktu, masa lalu dan masa sekarang.
Pemahaman juga berarti penafsiran. Ia mengatakan bahwa pemahaman merupakan proses
holistik yang terjadi dalam suatu siklus hermeneutik antara bagian-bagian teks dan pandangan
manusia dalam seluruh dimensi personal, historis dan sosial.[8] Penafsiran menandakan adanya
sebuah pemahaman baru yang bisa dilakukan agar sesuatu yang sebelumnya diketahui oleh
subjek. Hal ini pula berdampak pada cara manusia memandang apa yang sebelumnya sudah
manusia ketahui.

Setiap bahasa mempunyai prioritas pada pemahaman. Pemahaman adalah sebuah proses
bahasa.[9] Memahami berarti menginterpretasikan sesuatu. Manusia berusaha memahami objek
dan membentuk pengertian-pengertian tertentu terhadap objek tersebut. Gadamer menegaskan
interpretasi adalah pencipataan kembali.[10] Memahami adalah menafsirkan pengertian-
pengertian yang terangkum dalam konsep-konsep baru. Dalam hal ini, adanya pertemuan dua
substansi, antara objek dan subjek. Bahasa memahami adalah mediator atau perantara untuk
menjembatani dua substansi tersebut. Memahami sesuatu hanya mungkin terjadi apabila subjek
yang mengenal dibedakan dari objek yang dipahami.

Keberadaan hermeneutika dalam bahasa merupakan awal dari pemahaman. Hermeneutika


sebagai sebuah sistem baru muncul jauh setelah ia dipratekkan dalam filologi dan studi-studi
kitab suci.[11] Teks-teks yang ada perlu ditafsir karena tidak jelas bila karya dibaca dan
dipahami dalam waktu yang singkat. Untuk dapat memahami teks, seseorang hermeneutik atau
penafsir selalu memahami realitas dengan titik tolak sekarang yang sesuai dengan data historis
teks-teks suci tersebut. Selain itu, para penafsir kitab suci mencoba masuk dalam teks asli agar
memahami dengan sungguh-sungguh yang sesuai dengan tujuan dan maksud penulisannya. Jadi
hermeneutika merupakan suatu yang universal, bukan hanya sekedar metode dalam memahami
sesuatu dalam pemahaman manusia.[12]

Anda mungkin juga menyukai