PENDAHULUAN
Menurut Hans Georg Cadamer, hal memahami ini dapat disebut juga dengan
”menginterpretasi” atau ”menafsirkan”.' Oleh karenanya, filsafat hermeneutik sering
kali diidentikkan dengan kegiatan menginterpretasi atau menafsirkan. Hal
memahami atau menginterpretasi ini merupakan aspek hakiki atau hakikat dasar
keberadaan manusia yang membedakannya dari hewan, tanaman atau benda-
benda lain.
1
teks yang coba dipahami atau diinterpretasi. Sebuah teks yang dibuat oleh
pengarangnya dibuat sesuai dengan pemahaman si pengarang pada zamannya.
Latar belakang kehidupan, konteks ruang dan konteks waktu hidup si pengarang
adalah beberapa contoh yang membentuk pemahaman tersebut. Singkatnya, filsafat
hermeneutik mempelajari bagaimana suatu teks yang dibuat harus dipahami sesuai
dengan ruang dan waktunya. Saat teks yang dimaksud dibaca oleh orang yang
memiliki rentang ruang dan waktu dari si pengarang maka akan muncul suatu
persoalan di mana pemahaman pembaca atau interpretator ”tidak berbanding Iurus”
dengan makna sesungguhnya dari teks yang dimaksudkan oleh si pengarang. Di
sini muncul problematika autentitas makna teks, yaitu bagaimana menafsirkan teks
tersebut.
2
Hasan Hanafi dan Farid Esack. Menurut model ini, hermeneutika tidak hanya berarti
ilmu interpretasi atau metode pemahaman semata tetapi lebih dari itu adalah aksi.
Adapun Objek kajian hermeneutika yang pertama adalah berupa teks, lontar,
atau ayat atau wahyu Tuhan yang tertuang dalam kitab-kitab suci. Pendapat ini
benar manakala hermeneutika dipresentasikan dalam teologi umat kristiani melalui
dewa Hermes, bangsa Yahudi melalui dewa Toth, dalam mitologi Mesir melalui Nabi
Musa, dan kalangan umat Islam melalui Nabi Idris, Mereka adalah penafsir ”pesan,
ayat dan wahyu Tuhan kepada manusia” (hal ini menjadi titik sejarah bagi
perkembangan filsafat hermeneutika sebagaimana akan dijelaskan kembali pada
bagian berikutnya). Objek kajian yang kedua berupa teks, naskah kuno, dokumen
resmi Negara atau konstitusi sebuah Negara. Pendapat ini benar adanya sebab
dalam kehidupan Negara tidak semuanya dapat dipahami oleh rakyatnya. Maka dari
itu, diperlukan suatu lembaga untuk'menafsirkannya, bisa lembaga Negara, badan
hukum atau individu yang diberi wewenang dan tugas untuk itu. Objek kajian
hermeneutika yang ketiga adalah ’peristiwa atau pemikiran’.
3
BAB II
PEMBAHASAN
4
bahasa merupakan wujud yang seakan-akan merangkul seluruh kontitusi tentang
dunia ini. Maka dengan kata lain, hermeneutik adalah cara baru untuk bergaul dengan
bahasa.
Kegiatan interpretatif adalah proses yang bersifat “triadic” yaitu mempunyai tiga
segi yang saling berhubungan. Konsep triadic berarti kegiatan interpretasi mempunyai
tiga segi yang saling berhubungan antara teks (text), penafsir (reader), dan juga
pengarang (author). Konsep tersebut bisa dikatakan sama dengan apa yang ada
dalam lingkaran hermeneutik (circle of hermeneutic). Dalam proses ini terdapat
pertentangan antara pikiran yang diarahkan pada objek dan pikiran penafsir itu
sendiri. Orang yang melakukan interpretasi harus mengenal pesan atau kecondongan
sebuah teks, kemudian dituntut untuk meresapi isi teks, sehingga yang pada mulanya
‘yang lain’ kini menjadi ‘aku’ penafsir itu sendiri. Dengan kata lain yang dapat
dipahami bahwa mengerti secara sungguh- sungguh hanya akan dapat berkembang
bila didasarkan atas pengetahuan yang benar (correct). Sesuatu arti tidak akan
dikenal jika tidak direkonstruksi.
5
Oleh karena itu fungsi Hermes sangat penting sebab bila terjadi
kesalahpahaman tentang pesan dewa-dewa akan berakibat fatal bagi seluruh umat
manusia. Hermes harus mampu menyadur atau menginterpretasikan sebuah pesan
kedalam bahasa yang dipergunakan oleh pendengarnya. Sejak saat itulah Hermes
menjadi simbol seorang duta yang dibebani dengan sebuah misi tertentu. Misi tersebut
berhasil atau tidak tergantung pada cara bagaimana pesan itu disampaikan.
Dari sebuah sejarah tokoh mitologis Hermes, maka hermeneutik pada akhirnya
dan secara luas diartikan sebagai proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan
menjadi mengerti. Secara pandangan klasik ataupun modern, batasan pengertian
tersebut dianggap mewakili secara umum. Maka hermeneutik menjadi sebuah metode
dalam menginterpretasi atau upaya untuk mengetahui makna yang tersembunyi dalam
sebuah konteks yang ada.
6
terhadap ungkapan-ungkapan baik secara lisan atupun tulisan yang dilakukan oleh
orang yang berbeda dan bersifat personal. Sehingga tujuan dalam hermeneutik yang
berkembang pada masa itu adalah untuk memahami bentuk-bentuk ekspresi manusiawi
dari peristiwa mental manusia. Sehingga dalam perkembangan sejarah, hermeneutik
menjadi sebuah metode penafsiran. Hal ini berkembang pesat di lingkungan gereja
untuk memahami pesan-pesan Yesus dalam kitab suci.
7
2.3 Beberapa Varian Hermeneutika
Hermeneutika tidak secara tiba-tiba menjadi satu disiplin ilmu dalam khazanah
filsafat, namun pada awalnya ia hanya sebatas subdisiplin teologi yang sudah muncul
sejak awal dalam sejarah peradaban manusia yang mencakup kajian metodologis
tentang autentitas dan penafsiran teks. Namun dalam kurun berikutnya, Hermeneutika
perkembang menjadi kajian penafsiran secara menyeluruh dengan ruang lingkup yang
lebih luas. Dan pada bagian ini, penulis sengaja akan sedikit mengungkapkan beberapa
informasi historis yang akan menekankan pada perkembangan Hermeneutika menjadi
berbagai varian-varian prinsip dan metodologis.
Hal ini disebabkan oleh keadaran bahwa dalam wilayah filsafat kontemporer
yang terpecah-pecah, kita sedikit sekali dapat menemukan kesamaan antara satu
dengan lain, kecuali fakta bahwa kita benar-benar hidup pada diskursus filosofis yang
terpecah-pecah, yaitu diskursus yang bercirikan interpretasi. Filsafat yang mencoba
menghadapi situasi seperti ini bisa disebut sebagai “Hermeneutika”.
8
Mengenai pertanyaan di atas, Schleiermacher mengajukan dua teori
pemahaman Hermeneutikanya: pertama: pemahaman ketatabahasaan (grammatical
understanding) terhadap semua ekspresi, dan kedua: pemahaman psikologis terhadap
pengarang. Berpijak dari keduanya, Hermeneutika menjadi sebuah intuitive
understanding, yang bertugas untuk merekonstruksi pikiran pengarang. Sehingga
pemahaman hanya dapat diperoleh tidak hanya dari pemahaman kesejarahan dan
budaya pengarang saja, namun lebih dari itu harus melibatkan subjektivitas pengarang.
Jadi proses penafsiran berawal dari penafsir ke teks melalui konteks sejarah dan
cultural untuk menangkap kembali maksud penulis aslinya. Dan penafsiran akan
semakin baik, jika dilandasi dengan pengetahuan tentang latar belakang sejarah
pengarang teks. Sebagaimana dinyatakan Thiselton yang dikutip Mudjia, “The more we
learn about an author, the better equipped we are for interpretation”. Menurut
Schleiermacher, dalam setiap kalimat yang diucapkan terdapat dua momen
pembahasan, yaitu apa yang dikatakan dalam konteks bahasa dan apa yang dipikirkan
oleh pembicara. Hal ini karena bisa saja terjadi apa yang dikatakan penutur bahasa
tidak sama dengan yang ia pikirkan. Selain itu, pembicara mempunyai aspek tempat
dan waktu, dan bahasa yang cenderung dimodifikasi menurut kedua hal itu. Sehingga
makna bukan sekedar apa yang dibawa oleh bahasa, sebab bahasa dapat
mengungkap sebuah realitas dengan sangat jelas, tapi pada saat yang sama dapat
menyembunyikannya rapat-rapat, ini tergantung pemakainya.
Perspektif seperti ini yang membuatnya disebut sebagai Hermeneutika romantis,
yang dalam bahasa Gadamer disebut historical romanticism. Dimana pengarang dan
segala latar belakang subjektivitasnya menjadi sentral kebenaran dari pemahaman
suatu teks. Dan pemahaman harus mengikuti hukum bahwa “kesalahpahamanlah” yang
justru muncul secara otomatis atau alamiah, sedangkan pemahaman harus dicari. Oleh
karena itu pemahaman dapat dicari dengan cara menelusuri segala kesalahpahaman
yang dapat dan mungkin terjadi.
Secara ringkas, model kerja Hermeneutika romantis meliputi dua
hal: pertama: pemahaman teks melalui penguasaan terhadap aturan-aturan sintaksis
bahasa pengarang, dan kedua: penangkapan muatan emosional dan batiniah
9
pengarang secara intuitif dengan menempatkan diri penafsiran dalam dunia batin
pengarang.
10
2.3.3 Hermeneutika Fenomenologis
Hermeneutika fenomenologi adalah pemahaman teks dengan cara
membebaskan diri dari prasangka dan membiarkan teks “berbicara” sendiri. Artinya,
teks merefleksikan kerangka mentalnya sendiri, dan penafsir harus netral dan
menjauhkan diri dari unsure-unsur subjektifnya atas objek.
Tokoh penggagas teori ini adalah Edmund Husserl (1889-1938), seorang filosof aliran
fenomenologi, yang sebenarnya jika ada sumbangsih-nya pada Hermeneutika, dapat
dipastikan itu diluar maksud utamanya. Karena, walaupun tidak sepenuhnya, Husserl
“alergi” terhadap pemikiran yang kita pandang sebagai “Hermeneutika”, gagasannya
tentang teori interpretasi fenomena bukan yang fundamental, akan tetapi fenomena itu
sendiri yang menarik baginya.
Mengenai fenomena, Husserl menganggap bahwa pengetahuan dunia objektif
bersifat tidak pasti. Menurutnya, apa yang kita andaikan sebagai dunia objektif sudah
diwarnai oleh apparatus sensor yang tidak sempurna dari tubuh manusia dan dari
aktivitas-aktivitas rasional maupun dari abstraksi pikiran. Dengan begitu, ketika
berusaha meraih pengetahuan yang pasti tentang dunia objektif, sesungguhnya kita
sedang memastikan “dunia persepsi kita – dunia fenomena”.
Husserl menawarkan fenomenologi untuk melacak keteraturan sistemik dalam
persepsi dan pemahaman melalui kepastian terhadap pengetahuan dunia objektif. Yaitu
dengan cara menerima apa yang sebenarnya terlihat dalam fenomena, dan
menggambarkannya secara jujur.
11
pembacaan ulang dan penafsiran ulang, sehingga pembacaan satu teks secara baru
akan mendatangkan pemahaman dengan makna yang baru pula.
Tokoh teori ini adalah Martin Heidegger (1889-1976), salah satu murid Husserl
yang sejak awal tertarik dengan filsafat, khususnya fenomenologi Husserl. Namun
kendati demikian, ia adalah filosof yang dengan keras menentang Hermeneutika
fenomenologi Husserl, yang mengharuskan netralitas penafsir. Menurutnya,
pemahaman harus didahului dengan prasangka-prasangkan akan objek.
12
Tokoh dari teori ini adalah Jurgen Habermas (1929-) seorang filosof Jerman
yang juga belajar politik. Sejalan dengan Gadamer, ia juga menempatkan bahasa
sebagai unsure fundamental Hermeneutika. Sebab, analisis suatu fakta dilakukan
melalui hubungan simbol-simbol sebagai simbol dari fakta. Hanya saja Hermeneutika
dialogis Gadamer dianggapnya kurang memiliki kesadaran social yang kritis. Kalau
menurut Gadamer, pemahaman didahului dengan pra-penilaian (pre-judgement), maka
bagi Habermas pemahaman didahului oleh kepentingan. Artinya teori ini lebih
mengedepankan refleksi kritis penafsir dan menolak kehadiran prasangka dan tradisi.
Sehingga untuk memahami suatu teks, seorang penafsir harus mampu mengambil
jarak atau melangkah keluar dari tradisi dan prasangka.
13
verstehen sebagai kosep metodologis, melainkan memandang verstehen sebagai
pemahaman yang mengarah pada tingkat ontologis.
Berbeda halnya dengan apresiasi Lefevere, Valdes justru melihat bahwa apa
yang dikembangkan Gadamer dalam Hermenetika filosofis itu dianggap menjadi basis
kritik sastra yang lebih memuaskan. Dialektika dari hermeneutika filosofis dipandang
merupakan inti yang menyatukan semua kelompok teori yang dilontarkan oleh para
pemikir yang berbeda-beda, seperti Gadamer, Habermas, dan Ricoeur (1987: 59)
14
Gadamer mengikuti filsafat Heidegger yang berusaha mencari hubungan dengan
fenomena. Dengan demikian, dalam varian ini Gadamer mengembalikan peran subjek
pembaca selaku pemberi makna-yang hal ini dinaifkan dalam hermeneutika tradisional.
BAB Ill
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
15
DAFTAR PUSTAKA
16
17