Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Filsafat hermeneutik secara sederhana dapat dimaknai sebagai proses berpikir


secara mendalam dalam hal mengerti atau memahami teks. Proses berpikir secara
mendalam dalam hal mengerti atau memahami suatu peristiwa atau bahkan suatu
teks menjadi sesuatu yang penting karena lewat kegiatan dan aktivitasnya di dalam
kehidupan sehari-hari (kehidupan bermasyarakat), manusia akan selalu melakukan
proses berpikir untuk mengerti atau memahami segala sesuatu.

Menurut Hans Georg Cadamer, hal memahami ini dapat disebut juga dengan
”menginterpretasi” atau ”menafsirkan”.' Oleh karenanya, filsafat hermeneutik sering
kali diidentikkan dengan kegiatan menginterpretasi atau menafsirkan. Hal
memahami atau menginterpretasi ini merupakan aspek hakiki atau hakikat dasar
keberadaan manusia yang membedakannya dari hewan, tanaman atau benda-
benda lain.

Keberadaan manusia dalam kelangsungan kehidupannya didasarkan pada


proses dan produk pemahaman atau interpretasinya. Apa yang coba dipahami atau
diinterpretasi ini ditujukan terhadap lambang-lambang atau simbol-simbol yang hadir
di kehidupan manusia. Simbol tersebut tidak Iain dan tidak bukan adalah bahasa.
Lewat bahasa terjadi suatu proses komunikasi yakni sebuah hubungan dialogis
antara yang mengungkapkan dan yang mendengarkan, dalam konteks suatu teks
tertulis, hubungan dialogis ini terjadi antara pengarang dan pembaca (interpretator).

Persoalan utama yang digumuli oleh filsafat hermeneutik adalah persoalan


bahasa yang mengambil bentuknya di dalam bentuk suatu teks. Dengan demikian,
filsafat hermeneutik mempelajari hubungan komunikasi yang terjalin lewat suatu

1
teks yang coba dipahami atau diinterpretasi. Sebuah teks yang dibuat oleh
pengarangnya dibuat sesuai dengan pemahaman si pengarang pada zamannya.

Latar belakang kehidupan, konteks ruang dan konteks waktu hidup si pengarang
adalah beberapa contoh yang membentuk pemahaman tersebut. Singkatnya, filsafat
hermeneutik mempelajari bagaimana suatu teks yang dibuat harus dipahami sesuai
dengan ruang dan waktunya. Saat teks yang dimaksud dibaca oleh orang yang
memiliki rentang ruang dan waktu dari si pengarang maka akan muncul suatu
persoalan di mana pemahaman pembaca atau interpretator ”tidak berbanding Iurus”
dengan makna sesungguhnya dari teks yang dimaksudkan oleh si pengarang. Di
sini muncul problematika autentitas makna teks, yaitu bagaimana menafsirkan teks
tersebut.

Dilihat dari segi sejarahnya, filsafat hermeneutika berkembang sejak zaman


Yunani Kuno. Orang pertama yang mempopulerkannya adalah Friedrick
Schleiermacher, diikuti (dibangkitkan kembali) oleh tokoh-tokoh pada abad ke20
seperti Wilhelm Dilthey, Martin Heidegger, Hans-Georg Gadamer, Paul Ricoeur, dan
Jacques Derrida.

Sebagai sebuah metode penafsiran, hermeneutika terdiri atas 3 (tiga) bentuk


atau model. Pertama, hermeneutika objektif yang dikembangkan tokoh-tokoh klasik,
khususnya Friedrick Schleiermacher, Wilhelm Dilthey dan Emilio Betti. Menurut
model ini, penafsiran berarti memahami teks sebagaimana yang dipahami
pengarangnya, sebab apa yang disebut teks adalah ungkapan jiwa dari
pengarangnya, sehingga apa yang disebut makna atau tafsiran atasnya tidak
didasarkan atas kesimpulan pembaca tetapi diturunkan dan bersifat instruktif.20
Kedua, hermeneutika subjektif yang dikembangkan oleh tokoh-tokoh modern
khususnya Hans-Georg Gadamer dan Jacques Derida. Menurut model ini,
hemneneutika bukanlah usaha untuk menemukan makna objektif yang dimaksud si
penulis seperti yang diasumsikan oleh model hermeneutika objektif melainkan untuk
memahami apa yang tertera dalam teks itu sendiri. Ketiga, hermeneutika
pembebasan yang dikembangkan oleh tokoh-tokoh Muslim kontemporer khususnya

2
Hasan Hanafi dan Farid Esack. Menurut model ini, hermeneutika tidak hanya berarti
ilmu interpretasi atau metode pemahaman semata tetapi lebih dari itu adalah aksi.

Adapun Objek kajian hermeneutika yang pertama adalah berupa teks, lontar,
atau ayat atau wahyu Tuhan yang tertuang dalam kitab-kitab suci. Pendapat ini
benar manakala hermeneutika dipresentasikan dalam teologi umat kristiani melalui
dewa Hermes, bangsa Yahudi melalui dewa Toth, dalam mitologi Mesir melalui Nabi
Musa, dan kalangan umat Islam melalui Nabi Idris, Mereka adalah penafsir ”pesan,
ayat dan wahyu Tuhan kepada manusia” (hal ini menjadi titik sejarah bagi
perkembangan filsafat hermeneutika sebagaimana akan dijelaskan kembali pada
bagian berikutnya). Objek kajian yang kedua berupa teks, naskah kuno, dokumen
resmi Negara atau konstitusi sebuah Negara. Pendapat ini benar adanya sebab
dalam kehidupan Negara tidak semuanya dapat dipahami oleh rakyatnya. Maka dari
itu, diperlukan suatu lembaga untuk'menafsirkannya, bisa lembaga Negara, badan
hukum atau individu yang diberi wewenang dan tugas untuk itu. Objek kajian
hermeneutika yang ketiga adalah ’peristiwa atau pemikiran’.

1.2. Rumusan Masalah


- Apa itu Hermeneutika
- Bagaimana Sejarah Hermeneutika
- Apa saja Varian Hermeneutika

1.3. Maksud Dan Tujuan


Semua aktifitas yang dilakukan tentunya harus mempunyai tujuan yang jelas,
sehingga diharapkan akan memperoleh hasil yang maksimal dan tentu saja dalam
proses di dalamnya pun membutuhkan langkah-langkah konkret yang sistematis.
Adapun tujuan penulisan makalah ini secara detail adalah sebagai berikut :\
- Mengetahui Apa itu Hermeneutika
- Mengetahui Sejarah Hermeneutika
- Mengetahui Varian Hermeneutika

3
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Hemerneutika

Makna awal dari hermeneutik adalah penafsiran atau interpretasi. Hermeneutik


kemudian diartikan sebagai proses merubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan
menjadi mengerti. Secara etimologis, kata hermeneutik berasal dari bahasa Yunani
hermeneuein yang berarti menafsirkan. Maka kata benda hermeneia secara harfiah
dapat diartikan sebagai penafsiran atau interpretasi. Hermeneutik merupakan disiplin
pemikiran yang membidik kehidupan sehingga tidak terkatakan dari diskursus-
diskursus kita ini. Sebagian besar dari apa yang tidak terkatakan itu bersifat remeh.
Sampai pada titik tertentu, hermeneutik adalah disiplin yang bersangkut paut dengan
motif-motif dan maksud-maksud yang dengan mudah bisa diketahui melalui kata-kata
yang ada secara eksplisit.

Hermeneutik adalah berfikir filosofis yang mencoba untuk menjelaskan concept


of verstehen dalam bahasa. Proses pemahaman ini biasa disebut dengan
“Interpretation” apakah dalam bentuk penjelasan atau penerjemahan. Hermeneutik
pada akhirnya diartikan sebagai proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan
menjadi mengerti. Bahasa ini selalu dianggap benar, baik hermeneutika dalam
pandangan klasik maupun pandangan modern. Dalam kata lain, menurut Dilthey
hermeneutik berusaha memecahkan masalah yang lebih rumit dan luas (more general
problem) terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi sebelumnya.

Pada dasarnya hermeneutik berhubungan dengan bahasa. Menjadikan bahasa


adalah manifestasi dari realita untuk mengapresiasi bentuk-bentuk dalam kehidupan.
Penuangan ide serta konsep-konsep sebagai jalan agar mempunyai eksistensi yang
dibenturkan dengan ekplorasi dalam bahasa. Seperti diungkapkan oleh H.G.Gadamer,

4
bahasa merupakan wujud yang seakan-akan merangkul seluruh kontitusi tentang
dunia ini. Maka dengan kata lain, hermeneutik adalah cara baru untuk bergaul dengan
bahasa.

Dalam bidang filsafat, pentingnya hermeneutik tidak dapat ditentukan secara


berlebihan, sebab pada kenyataannya, keseluruhan filsafat adalah interpretasi dan
pembahasan seluruh isi alam semesta ke dalam bahasa kebijaksanaan manusia.

Kegiatan interpretatif adalah proses yang bersifat “triadic” yaitu mempunyai tiga
segi yang saling berhubungan. Konsep triadic berarti kegiatan interpretasi mempunyai
tiga segi yang saling berhubungan antara teks (text), penafsir (reader), dan juga
pengarang (author). Konsep tersebut bisa dikatakan sama dengan apa yang ada
dalam lingkaran hermeneutik (circle of hermeneutic). Dalam proses ini terdapat
pertentangan antara pikiran yang diarahkan pada objek dan pikiran penafsir itu
sendiri. Orang yang melakukan interpretasi harus mengenal pesan atau kecondongan
sebuah teks, kemudian dituntut untuk meresapi isi teks, sehingga yang pada mulanya
‘yang lain’ kini menjadi ‘aku’ penafsir itu sendiri. Dengan kata lain yang dapat
dipahami bahwa mengerti secara sungguh- sungguh hanya akan dapat berkembang
bila didasarkan atas pengetahuan yang benar (correct). Sesuatu arti tidak akan
dikenal jika tidak direkonstruksi.

2.2 Sejarah Hermeneutik

Sejarah klasik mencatat ditemukannya makna hermeneutik yaitu dari bahasa


Yunani. Kata hermeneuein yang berarti menafsirkan, adalah berawal dari tokoh
mitologis yang bernama Hermes. Hermes adalah seorang utusan yang mempunyai
tugas menyampaikan pesan Yupiter kepada manusia. Hermes digambarkan sebagai
seorang yang mempunyai kaki bersayap, dan lebih banyak dikenal dalam bahasa latin
dengan sebutan Mercurius. Tugas Hermes adalah menerjemahkan pesan-pesan dari
dewa di Gunung Olympus ke dalam bahasa yang dapat dimengerti oleh umat manusia.

5
Oleh karena itu fungsi Hermes sangat penting sebab bila terjadi
kesalahpahaman tentang pesan dewa-dewa akan berakibat fatal bagi seluruh umat
manusia. Hermes harus mampu menyadur atau menginterpretasikan sebuah pesan
kedalam bahasa yang dipergunakan oleh pendengarnya. Sejak saat itulah Hermes
menjadi simbol seorang duta yang dibebani dengan sebuah misi tertentu. Misi tersebut
berhasil atau tidak tergantung pada cara bagaimana pesan itu disampaikan.

Sementara dalam peradaban Arab Islam, Hermes disebut-sebut dengan Nabi


Idris yang dalam al-Quran dikenal sebagai orang pertama yang mengetahui cara
menulis, mempunyai kemampuan teknologi (sina’ah), kedokteran, astrologi, sihir, dan
lain-lain. Hal ini dapat diketahui dalam tulisan-tulisan Al-Kindi, Al-Yahrastani, Abu al-
wafa’, Al-Mubasysyir, Al- Zauani, dan Al-Qifti. Hermes juga dapat diketahui pada
kalangan Yahudi, dalam mitologi Mesir kuno, Hermes dikenal sebagai Dewa Toth yang
tidak lain adalah Nabi Musa. Dari hal ini dapat diketahui bahwa Hermes merupakan
istilah hellenik bagi para nabi dan rosul.

Dari sebuah sejarah tokoh mitologis Hermes, maka hermeneutik pada akhirnya
dan secara luas diartikan sebagai proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan
menjadi mengerti. Secara pandangan klasik ataupun modern, batasan pengertian
tersebut dianggap mewakili secara umum. Maka hermeneutik menjadi sebuah metode
dalam menginterpretasi atau upaya untuk mengetahui makna yang tersembunyi dalam
sebuah konteks yang ada.

Meskipun dalam dunia kuno belum memunculkan sebuah kata hermeneutika


sampai abad ke 17, yang baru diperkenalkan pertama kali oleh teolog Strasbourg
bernama Johann Dannhauer yaitu sebagai syarat terpenting bagi ilmu pengetahuan
yang mendasarkan keabsahan pada interpretasi teks- teks, adalah suatu tuntutan yang
bisa dimengerti mengingat renaissance bertujuan mencari jalan segar untuk bisa masuk
kembali ke dalam teks-teks klasik.

Hermeneutik dapat ditemukan dalam karya-karya klasik pemikir Yunani, seperti


tulisan Aristoteles Peri hermeneias atau The Interpretation. Sebagai sebuah interpretasi

6
terhadap ungkapan-ungkapan baik secara lisan atupun tulisan yang dilakukan oleh
orang yang berbeda dan bersifat personal. Sehingga tujuan dalam hermeneutik yang
berkembang pada masa itu adalah untuk memahami bentuk-bentuk ekspresi manusiawi
dari peristiwa mental manusia. Sehingga dalam perkembangan sejarah, hermeneutik
menjadi sebuah metode penafsiran. Hal ini berkembang pesat di lingkungan gereja
untuk memahami pesan-pesan Yesus dalam kitab suci.

Dari perkembangan sebagai metode penafsiran terhadap kitab suci, hermeneutik


selanjutnya direfleksikan secara filosofis menjadi metode-metode penafsiran dalam
disiplin ilmu sosial dan humaniora, seperti halnya yang dilakukan oleh Scheleirmacher
dan terutama Wilhelm Dilthey.11

Perluasan kajian yang dilakukan para tokoh hermeneutik seperti Scheleirmacher,


Wilhelm Dilthey, Betty, hingga Paul Recouer, menjadikan ilmu hermeneutik
berkembang dan meluas dalam konteks ilmu pengetahuan, tidak sebatas diperuntukan
dalam kitab suci khususnya Bibel. Seperti ilmu sejarah, hukum, seni, filsafat,
kesusastraan, maupun bahasa atau semua yang masuk dalam geisteswissenschaften,
dan ilmu-ilmu kemanusiaan atau ilmu tentang kehidupan (life science).

Dengan berkembangnya diskursus filsafat ke arah post-modernisme,


hermeneutik mulai berperan sebagai salah satu disiplin yang sangat kritis terhadap
metodologi memahami teks dan realitas. Tidak lagi sekedar disiplin tentang teori
penafsiran melainkan melebar menjadi metateori tentang teori interpretasi. Hal ini
disebabkan hermeneutik mulai meneliti fenomena yang terjadi dalam penafsiran, faktor-
faktor yang melahirkan kesimpulan penafsiran, bahkan cara-cara munculnya sebuah
penafsiran sebagai kebenaran. Hermeneutik tidak lagi terbatas pada metode apa yang
paling valid untuk mencapai kebenaran penafsiran, tetapi juga mendekonstruksi acuan
dari kebenaran-kebenaran yang selama ini dipercaya dengan mengkritisi dasar- dasar
epistemologi dan ontologis yang menopangnya.

7
2.3 Beberapa Varian Hermeneutika
Hermeneutika tidak secara tiba-tiba menjadi satu disiplin ilmu dalam khazanah
filsafat, namun pada awalnya ia hanya sebatas subdisiplin teologi yang sudah muncul
sejak awal dalam sejarah peradaban manusia yang mencakup kajian metodologis
tentang autentitas dan penafsiran teks. Namun dalam kurun berikutnya, Hermeneutika
perkembang menjadi kajian penafsiran secara menyeluruh dengan ruang lingkup yang
lebih luas. Dan pada bagian ini, penulis sengaja akan sedikit mengungkapkan beberapa
informasi historis yang akan menekankan pada perkembangan Hermeneutika menjadi
berbagai varian-varian prinsip dan metodologis.
Hal ini disebabkan oleh keadaran bahwa dalam wilayah filsafat kontemporer
yang terpecah-pecah, kita sedikit sekali dapat menemukan kesamaan antara satu
dengan lain, kecuali fakta bahwa kita benar-benar hidup pada diskursus filosofis yang
terpecah-pecah, yaitu diskursus yang bercirikan interpretasi. Filsafat yang mencoba
menghadapi situasi seperti ini bisa disebut sebagai “Hermeneutika”.

2.3.1 Hermeneutika Romantis


Sebagai sistem metodologi pemahaman, Hermeneutika romantis berangkat dari
pertanyaan sederhana: “sebenarnya bagaimana pemahaman manusia dan bagaimana
pemahaman itu terjadi?”. Dan jawaban bagi pertanyaan ini, menurut perspektif
Hermeneutika jenis ini, ada pada lima unsur yang terlibat dalam proses memahami
sebuah wacana, yaitu: penafsir, teks, maksud pengarang, konteks historis, dan konteks
kultural.
Tokoh dari pemahaman ini adalah Friedrich Ernst Daniel Schleiermacher (1768-
1834), seorang filosof, teolog, filolog dan tokoh sekaligus pendiri Protestanisme Liberal
berkebangsaan Jerman. ia dianggap sebagai “pemrakarsa Hermeneutika modern”
karena menjadi filosof jerman pertama yang terus-terus menerus memikirkan
Hermeneutika, sehingga dapat menghidupkannya kembali sebagai seni penafsiran
dalam tradisi gereja. Ketertarikannya pada kajian ini menguat sejak di Universitas Halle,
ketika ia bertemu dengan tiga serangkai pemikir lainnya, yaitu F.A. Wolf seorang filolog
klasik, Reil seorang professor kedokteran dan Steffens seorang filosof.

8
Mengenai pertanyaan di atas, Schleiermacher mengajukan dua teori
pemahaman Hermeneutikanya: pertama: pemahaman ketatabahasaan (grammatical
understanding) terhadap semua ekspresi, dan kedua: pemahaman psikologis terhadap
pengarang. Berpijak dari keduanya, Hermeneutika menjadi sebuah intuitive
understanding, yang bertugas untuk merekonstruksi pikiran pengarang. Sehingga
pemahaman hanya dapat diperoleh tidak hanya dari pemahaman kesejarahan dan
budaya pengarang saja, namun lebih dari itu harus melibatkan subjektivitas pengarang.
Jadi proses penafsiran berawal dari penafsir ke teks melalui konteks sejarah dan
cultural untuk menangkap kembali maksud penulis aslinya. Dan penafsiran akan
semakin baik, jika dilandasi dengan pengetahuan tentang latar belakang sejarah
pengarang teks. Sebagaimana dinyatakan Thiselton yang dikutip Mudjia, “The more we
learn about an author, the better equipped we are for interpretation”. Menurut
Schleiermacher, dalam setiap kalimat yang diucapkan terdapat dua momen
pembahasan, yaitu apa yang dikatakan dalam konteks bahasa dan apa yang dipikirkan
oleh pembicara. Hal ini karena bisa saja terjadi apa yang dikatakan penutur bahasa
tidak sama dengan yang ia pikirkan. Selain itu, pembicara mempunyai aspek tempat
dan waktu, dan bahasa yang cenderung dimodifikasi menurut kedua hal itu. Sehingga
makna bukan sekedar apa yang dibawa oleh bahasa, sebab bahasa dapat
mengungkap sebuah realitas dengan sangat jelas, tapi pada saat yang sama dapat
menyembunyikannya rapat-rapat, ini tergantung pemakainya.
Perspektif seperti ini yang membuatnya disebut sebagai Hermeneutika romantis,
yang dalam bahasa Gadamer disebut historical romanticism. Dimana pengarang dan
segala latar belakang subjektivitasnya menjadi sentral kebenaran dari pemahaman
suatu teks. Dan pemahaman harus mengikuti hukum bahwa “kesalahpahamanlah” yang
justru muncul secara otomatis atau alamiah, sedangkan pemahaman harus dicari. Oleh
karena itu pemahaman dapat dicari dengan cara menelusuri segala kesalahpahaman
yang dapat dan mungkin terjadi.
Secara ringkas, model kerja Hermeneutika romantis meliputi dua
hal: pertama: pemahaman teks melalui penguasaan terhadap aturan-aturan sintaksis
bahasa pengarang, dan kedua: penangkapan muatan emosional dan batiniah

9
pengarang secara intuitif dengan menempatkan diri penafsiran dalam dunia batin
pengarang.

2.3.2 Hermeneutika Metodis


Hermeneutika Metodis adalah “tekanik memahami akspresi tentang kehidupan
yang tersusun dalam bentuk tulisan”. Sebagaimana teori sebelumnya dalam
Hermeneutika romantic, Hermeneutika metodis juga menekankan pada sisi psikologis
pengarang untuk memahami suatu pernyataan. Namun perbedaannya, Hermeneutika
metodis lebih menekankan pada sisi sejarah (history) pengarang.
Hermeneutika metodis berawal dari kritik tajam terhadap teori Schleiermacher dalam
Hermeneutika romantisnya yang menyatakan bahwa manusia adalah makhluk bahasa.
Kritik ini dilontarkan oleh Willhem Dilthey (1833-1911) seorang filosofis historis
dari Jerman, ia sebenarnya pengagum berat Schleiermacher dengan kemampuannya
dalam menggabungkan teologi dan kesusastraan dengan karya-karya filsafat. Namun
dalam hal ini, ia berbeda dengan Schleiermacher, menurutnya, manusia tidak sekedar
makhluk bahasa, yang hanya mendengar, menulis dan membaca untuk kemudian
mehamami dan menafsirkan. namun lebih dari itu, manusia merupakan makhluk
eksistensial, yang memahami dan menafsirkan dalam setiap aspek kehidupannya,
dimana ekspresi kebahasaan adalah hasil dari pengalaman penutur bahasa. Dan
manusia akan dapat memahami sejarah, karena ia adalah “pencipta” sejarahnya
sendiri.
Maka sisi psikologi manusia tidak dapat dipisahkan dari sisi “eksternal-nya”,
karena manusia adalah produk system social yang membentuknya sedemikian rupa.
Sehingga pada akhirnya, menurutnya, Hermeneutika pada dasarnya bersifat
menyejarah, yang berarti bahwa makna itu sendiri tidak pernah “berhenti pada satu
masa saja”, tetapi selalu berubah menurut modifikasi sejarah. Mudjia menyontohkan
penulisan sejarah Indonesia yang tidak hanya ditulis sekali untuk selamanya.

10
2.3.3 Hermeneutika Fenomenologis
Hermeneutika fenomenologi adalah pemahaman teks dengan cara
membebaskan diri dari prasangka dan membiarkan teks “berbicara” sendiri. Artinya,
teks merefleksikan kerangka mentalnya sendiri, dan penafsir harus netral dan
menjauhkan diri dari unsure-unsur subjektifnya atas objek.
Tokoh penggagas teori ini adalah Edmund Husserl (1889-1938), seorang filosof aliran
fenomenologi, yang sebenarnya jika ada sumbangsih-nya pada Hermeneutika, dapat
dipastikan itu diluar maksud utamanya. Karena, walaupun tidak sepenuhnya, Husserl
“alergi” terhadap pemikiran yang kita pandang sebagai “Hermeneutika”, gagasannya
tentang teori interpretasi fenomena bukan yang fundamental, akan tetapi fenomena itu
sendiri yang menarik baginya.
Mengenai fenomena, Husserl menganggap bahwa pengetahuan dunia objektif
bersifat tidak pasti. Menurutnya, apa yang kita andaikan sebagai dunia objektif sudah
diwarnai oleh apparatus sensor yang tidak sempurna dari tubuh manusia dan dari
aktivitas-aktivitas rasional maupun dari abstraksi pikiran. Dengan begitu, ketika
berusaha meraih pengetahuan yang pasti tentang dunia objektif, sesungguhnya kita
sedang memastikan “dunia persepsi kita – dunia fenomena”.
Husserl menawarkan fenomenologi untuk melacak keteraturan sistemik dalam
persepsi dan pemahaman melalui kepastian terhadap pengetahuan dunia objektif. Yaitu
dengan cara menerima apa yang sebenarnya terlihat dalam fenomena, dan
menggambarkannya secara jujur.

2.3.4 Hermeneutika Dialektis


Hermeneutika dialektis adalah upaya intepretasi dengan asumsi bahwa
pemahaman adalah sesuatu yang muncul dan sudah ada mendahului kognisi. Karena
itu, menurut teori ini, untuk memahami teks, tidak hanya dengan melacak makna yang
letakkan oleh pengarang dalam teks, namun juga harus dikaitkan antara keberadaan
kita dengan sesuatu yang ditunjukkan oleh teks tersebut. Ini berarti makna bukan
sesuatu yang tunggal, namun yang ada adalah keragaman makna dan dinamika
eksistensial. Dengan demikian, pembacaan dan penafsiran akan selalu merupakan

11
pembacaan ulang dan penafsiran ulang, sehingga pembacaan satu teks secara baru
akan mendatangkan pemahaman dengan makna yang baru pula.
Tokoh teori ini adalah Martin Heidegger (1889-1976), salah satu murid Husserl
yang sejak awal tertarik dengan filsafat, khususnya fenomenologi Husserl. Namun
kendati demikian, ia adalah filosof yang dengan keras menentang Hermeneutika
fenomenologi Husserl, yang mengharuskan netralitas penafsir. Menurutnya,
pemahaman harus didahului dengan prasangka-prasangkan akan objek.

2.3.5 Hermeneutika Dialogis


Hermeneutika dialogis adalah interpretasi dengan asumsi bahwa pemahaman
yang benar akan dapat dicapai malalui dialektika dengan mengajukan banyak
pertanyaan. Artinya, pikiran penafsir juga menceburkan diri kedalam pembangkitan
kembali makna teks. Dengan demikian, proses pemahaman adalah proses peleburan
antara sekurang-kurangnya dua horizon. Pengarang dan konteks historis dari teks
dipertimbangkan dalam proses itu bersama dengan prasangka-prasangka penafsir
seperti tradisi, kepentingan praktis bahasa dan budaya.
Tokoh dari teori ini adalah murid Martin Heidegger sendiri, seorang filosof
kelahiran Marbug bernama Hans-Georg Gadamer (1900-2002). Karier puncak
Gadamer pada tahun 1960 ketika ia manulis karya yang cukup monumental
berjudul Wahrheit und Methode (kebenaran dan metode) yang kemudian menjadi
rujukan kajian Hermeneutika kontemporer sampai saat ini.

2.3.6 Hermeneutika Kritis


Hermeneutika kritus adalah interpretasi dengan pemahaman yang ditentukan
oleh kepentingan social (social interest) yang melibatkan kepentingan
kekuasaan (power interest) sang interpreter. Secara metodologis, teori ini dibangun di
atas klaim bahwa setiap bentuk penafsiran dipastikan ada bias-bias dan unsure-unsur
kepentingan politik, ekonomi, social, termasuk bias strata kelas, suku, dan gender.
Artinya, dengan menggunakan metode ini, konsekkuensinya kita harus curiga dan
waspada (kritis) terhadp bentuk tafsir, pengetahuan atau jargon-jargon yang dipakai
dalam sains dan agama.

12
Tokoh dari teori ini adalah Jurgen Habermas (1929-) seorang filosof Jerman
yang juga belajar politik. Sejalan dengan Gadamer, ia juga menempatkan bahasa
sebagai unsure fundamental Hermeneutika. Sebab, analisis suatu fakta dilakukan
melalui hubungan simbol-simbol sebagai simbol dari fakta. Hanya saja Hermeneutika
dialogis Gadamer dianggapnya kurang memiliki kesadaran social yang kritis. Kalau
menurut Gadamer, pemahaman didahului dengan pra-penilaian (pre-judgement), maka
bagi Habermas pemahaman didahului oleh kepentingan. Artinya teori ini lebih
mengedepankan refleksi kritis penafsir dan menolak kehadiran prasangka dan tradisi.
Sehingga untuk memahami suatu teks, seorang penafsir harus mampu mengambil
jarak atau melangkah keluar dari tradisi dan prasangka.

2.3.7 Hermeneutika Dekonstruksionis


Hermeneutika dekonstruksionis adalah pemahaman yang didapatkan melalui
upaya membangun relasi sederhana antara pananda dan petanda, dengan asumsi
bahwa, bahasa dan sistem simbol lainnya merupakan sesuatu yang tidak stabil. Makna
tulisan akan selalu mengalami perubahan, tergantung pada konteks dan
pembacanya. “meaning is contextualized to the relationship between the text and its
reader”.
Tokoh dari teori ini adalah Jacques Derrida (1930-) seorang filosof post-strukturalisme
kelahiran Aljazair. Dalam filsafat bahasa, Derrida membedakan antara “tanda” dan
“simbol”. Dan dalam kaitannya dengan teks, ia memberikan analisis yang cukup cermat.
Menurutnya, objek timbul dalam jaringan tanda, dan jaringan atau rajutan tanda ini
disebut “teks”. Tidak ada sesuatu diluar teks, sebab segala sesuatu yang ada selalu
ditandai dengan tekstualitas.

2.3.8 Hermeneutika Ontologis

Varian yang terakhir adalah hermeneutika ontologis. Aliran hermeneutika ini


digagas oleh Hans-Georg Gadamer. Dalam mengemukakan deskripsinya, ia bertolak
dari pemikiran filosof Martin Heidegger. Sebagai penulis kontemporer dalam bidang
hermeneutika yang sangat terkemuka, Gadamer tidak lagi memandang konsep

13
verstehen sebagai kosep metodologis, melainkan memandang verstehen sebagai
pemahaman yang mengarah pada tingkat ontologis.

Verstehen, menurut Gadamer, merupakan jalan keberadaan kehidupan manusia


itu sendiri yang asli. Varian hermeneutika ini menganggap dirinya bebas dari hambatan-
hambatan konsep ilmiah yang bersifar ontologis (Lefevere, 1977: 50). Dalam hal ini,
agaknya Gadamer menolak konsep hemeneutika sebagi metode. Kendatipun
menurutnya hermeneutika adalah pemahaman, dia tidak menyatakan bahwa
pemahaman itu bersifat metodis.

Dalam sudut pandang Gadamer, masalah hermeneutika merupakan ma-salah


aplikasi yang berhenti pada semua verstehen. Kendatipun memperlihatkan kemajuan
pandang yang luar biasa, pandangan Gadamer juga masih tidak lepas dari kritikan yang
diajukan Lefevere. Lefevere (1977: 50) menganggap bahwa varian ketiga ini masih
mencampuradukkan kritik dengan interpretasi. Dalam hal ini Lefevere sepertinya
menganggap perlu menentukan batas kritik dengan interpretasi. Bagi Lefevere, dalam
varian ini tampak Gadamer lebih mementingkan “rekreasi”. Maksudnya, ia tidak
memandang proses pemahaman makna terhadap teks itu sebagai jalan “reproduktif”,
tetapi sebagai jalan “produktif”.

Berbeda halnya dengan apresiasi Lefevere, Valdes justru melihat bahwa apa
yang dikembangkan Gadamer dalam Hermenetika filosofis itu dianggap menjadi basis
kritik sastra yang lebih memuaskan. Dialektika dari hermeneutika filosofis dipandang
merupakan inti yang menyatukan semua kelompok teori yang dilontarkan oleh para
pemikir yang berbeda-beda, seperti Gadamer, Habermas, dan Ricoeur (1987: 59)

Konsep hermeneutika ontologis Gadamer, yang bertitik tolak pada teks,


didukung sepenuhnya dalam kata-kata Ricoeur. Ia menyatakan bahwa teks merupakan
sesuatu yang bernilai, jauh melebihi sebuah kasus tertentu dari komunikasi
intersubjektif. Teks memainkan sebuah karakteristik yang fundamental dari satu-
satunya historisitas pengalaman manusia, yakni teks merupakan komunikasi dalam dan
melalui jarak (Valdes, 1987: 61-62; Madison, 1988: 45). Oleh karena itu, tampak di sini

14
Gadamer mengikuti filsafat Heidegger yang berusaha mencari hubungan dengan
fenomena. Dengan demikian, dalam varian ini Gadamer mengembalikan peran subjek
pembaca selaku pemberi makna-yang hal ini dinaifkan dalam hermeneutika tradisional.

BAB Ill
PENUTUP
3.1. Kesimpulan

Hermeneutik adalah berfikir filosofis yang mencoba untuk menjelaskan concept


of verstehen dalam bahasa. Proses pemahaman ini biasa disebut dengan
“Interpretation” apakah dalam bentuk penjelasan atau penerjemahan. Hermeneutik
pada akhirnya diartikan sebagai proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan
menjadi mengerti. Bahasa ini selalu dianggap benar, baik hermeneutika dalam
pandangan klasik maupun pandangan modern. Dalam kata lain, menurut Dilthey
hermeneutik berusaha memecahkan masalah yang lebih rumit dan luas (more general
problem) terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi sebelumnya.
Sejarah klasik mencatat ditemukannya makna hermeneutik yaitu dari bahasa
Yunani. Kata hermeneuein yang berarti menafsirkan, adalah berawal dari tokoh
mitologis yang bernama Hermes. Hermes adalah seorang utusan yang mempunyai
tugas menyampaikan pesan Yupiter kepada manusia. Sementara dalam peradaban
Arab Islam, Hermes disebut-sebut dengan Nabi Idris yang dalam al-Quran dikenal
sebagai orang pertama yang mengetahui cara menulis, mempunyai kemampuan
teknologi (sina’ah), kedokteran, astrologi, sihir, dan lain-lain.
Hermeneutika juga dapat digolongkan dalam beberapa varian yaitu,
Hermeneutika Romantis, Hermeneutika Metodis, Hermeneutika Fenomenologis,
Hermeneutika Dialektis , Hermeneutika Dialogis, Hermeneutika Kritis, Hermeneutika
Dekonstruksionis, Hermeneutika Ontologis

15
DAFTAR PUSTAKA

Jean Grondin, sejarah Hermeneutik, Ar-Ruzmedia, Jogjakarta, 2007

Hermeneutika Pancasila PT Refika Aditama, Bandung 2015

Abdul Chalik, Hermeneutik Untuk Kitab Suci; Kajian Integrasi Hermeneutika


dalam Islamic Studies, (Surabaya: Laporan penelitian IAIN Sunan Ampel, 2010),

Sumaryono, Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 1993

Jean Grondrin, Sejarah Hermeneutik; Dari Plato sampai Gadamer, Yogyakarta:


Ar-ruz Media, 2007

Mudjia Raharjo, Dasar-dasar Hermeneutika antara Intersionalisme dan


Gadamerian, Ar-Ruzmedia Jogjakarta, 2008

16
17

Anda mungkin juga menyukai