Anda di halaman 1dari 12

Hermeneutika

Hermeneutika adalah salah satu jenis


filsafat yang mempelajari tentang
interpretasi makna.[1] Nama hermeneutika
diambil dari kata kerja dalam bahasa
Yunani hermeneuein yang berarti,
menafsirkan, memberi pemahaman, atau
menerjemahkan.[1] Jika dirunut lebih lanjut,
kata kerja tersebut diambil dari nama
Hermes, dewa Pengetahuan dalam
mitologi Yunani yang bertugas sebagai
pemberi pemahaman kepada manusia
terkait pesan yang disampaikan oleh para
dewa-dewa di Olympus.[2] Fungsi Hermes
adalah penting sebab bila terjadi
kesalahpahaman tentang pesan dewa-
dewa, akibatnya akan fatal bagi seluruh
umat manusia. Hermes harus mampu
menginterpretasikan atau menyadur
sebuah pesan ke dalam bahasa yang
dipergunakan oleh pendengarnya. Sejak
saat itu Hermes menjadi simbol seorang
duta yang dibebani dengan sebuah misi
tertentu. Berhasil-tidaknya misi itu
sepenuhnya tergantung pada cara
bagaimana pesan itu disampaikan. Oleh
karena itu, hermeneutik pada akhirnya
diartikan sebagai ‘proses mengubah
sesuatu atau situasi ketidaktahuan
menjadi mengerti’.[3]

Sejarah
Sebagai istilah ilmiah, Hermeneutika
diperkenalkan pertama kali sejak
munculnya buku dasar-dasar logika, Peri
Hermeneias karya Aristoteles.[4] Sejak saat
itu pula konsep logika dan penggunaan
rasionalitas diperkenalkan sebagai dasar
tindakan hermeneutis.[4]

Konsep ini terbawa pada tradisi beberapa


agama ketika memasuki abad
pertengahan (medieval age).[4]
Hermeneutika diartikan sebagai tindakan
memahami pesan yang disampaikan
Tuhan dalam kitab suci-Nya secara
rasional.[1] Dalam tradisi Kristen, sejak
abad 3 M , Gereja yang kental dengan
tradisi paripatetik menggunakan konsep
tawaran Aristoteles ini untuk
menginterpretasikan Al-kitab.[4]
Sedangkan dalam tradisi filsafat Islam,
ulama kalam menggunakan istilah Takwil
sebagai ganti dari hermeneutika, untuk
menjelaskan ayat-ayat Mutasyabbihat.[5]

Ketika Eropa memasuki masa pencerahan


(rennaisance), dari akhir abad 18 M
sampai awal 19 M, kajian-kajian
hermeneutika yang dilakukan pada abad
pertengahan dinilai tidak berbeda sama
sekali dengan upaya para ahli Filologi
Klasik.[1] Empat tingkatan interpretasi yang
berkembang pada abad pertengahan,
yaitu, literal eksegesis, allegoris eksegesis,
tropologikal eksegegis, dan eskatologis
eksegesis, direduksi menjadi Literal dan
gramatikal eksegesis. Pemahaman ini
diawali oleh seorang ahli Filologi bernama
Ernesti pada tahun 1761, dan terus
dikembangkan oleh Friedrich August Wolf
dan Friedrich Ast.[1]

Hermeneutika kemudian keluar dari


disiplin filologi bahkan melampaui maksud
dari empat tingkatan interpretasi abad
pertengahan ketika Schleiermacher
menyatakan bahwa proses interpretasi
jauh lebih umum dari sekadar mencari
makna dari sebuah teks. Ia kemudian
menjadikan hermeneutika sebuah disiplin
filsafat yang baru.[1][4] Hal tersebut
disetujui dan dikembangkan oleh Wilhelm
Dilthey di ujung abad 19 M.[1] Ia
memadukan konsep sejarah dan filsafat
serta menjauhi dogma metafisika untuk
melahirkan pemahaman yang baru
terhadap Hermeneutika.[1] Ia kemudian
memahami bahwa proses hermeneutika
adalah sesuatu yang menyejarah,
sehingga harus terus-menerus berproses
di setiap generasi.[1] Walaupun melahirkan
pemahaman yang tumpang-tindih,
hubungan keilmuan yang dinamis akan
sangat berperan untuk menyatukan
kembali pemahaman dalam sudut
pandang yang bersifat obyektif.[6]

hal yang perlu diperhatikan dalam menginterpretasi

Abad 20 M, ditandai sebagai era post-


modern dalam sejarah filsafat barat,
fenomenologi lahir sebagai paham baru
yang merambah dunia hermeneutika.[1]
Adalah Martin Heidegger, yang
mengatakan bahwa proses Hermeneutis
merupakan proses pengungkapan jati diri
dan permasalahan eksistensi manusia
yang sesungguhnya.[1] Usahanya
mendapat respon postif dari Hans-Georg
Gadamer yang kemudian memadukan
Hermeneutika Heidegger dengan konsep
estetika.[1] Keduanya sama-sama sepakat
bahwa Yang-Ada berusaha menunjukkan
dirinya sendiri melalui tindakan-tindakan
yang dilakukan oleh manusia, terutama
bahasa.[1]
Hermeneutika di akhir abad 20 M
mengalami pembaharuan pembahasan
ketika Paul Ricoeur memperkenalkan
teorinya.[6] Ia kembali mendefinisikan
Hermeneutika sebagai cara
menginterpretasi teks, hanya saja, cara
cakupan teks lebih luas dari yang
dimaksudkan oleh para cendikiawan abad
pertengahan maupun modern dan sedikit
lebih sempit jika dibandingkan dengan
yang dimaksudkan oleh Heidegger.[6] Teks
yang dikaji dalam hermeneutik Ricoeur
bisa berupa teks baku sebagaimana
umumnya, bisa berupa simbol, maupun
mitos.[1] Tujuannya sangat sederhana,
yaitu memahami realitas yang
sesungguhnya di balik keberadaan teks
tersebut.[1]

Referensi
1. ^ a b c d e f g h i j k l m n o Mulyono, Edi. dkk
(2012). Belajar Hermeneutika. IRCiSod.
ISBN 978-602-255-013-6. hal 20-22, 34-35,
69-70, 155-156.
2. ^ Hamilthon, Edith (2009). Mitologi
Yunani. Yogyakarta: Lagung Pustaka. ISBN
979-1-69804-564-0.
3. ^ E. Sumaryono. 1999. Hermeneutik:
Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta:
Kanisius. Hal. 23-24
4. ^ a b c d e Palmquist, Stephen (2000). Tree
of Philosophy. Hongkong. pekan VI. Filsafat
bahasa. Kuliah 18. Hermeneutika
5. ^ Corbyn,Henry (1962). London and New
York: Kean Paul International. Tidak
memiliki atau tanpa |title=
(bantuan)hal. 1-5.
6. ^ a b c poespoporodjo, W. (2004).
Bandung: pustaka setia. Tidak memiliki
atau tanpa |title= (bantuan)hal

en:Hermeneutics

Diperoleh dari
"https://id.wikipedia.org/w/index.php?
title=Hermeneutika&oldid=13778260"

Lihat riwayat suntingan halaman ini.

Konten tersedia di bawah CC BY-SA 3.0 kecuali


dinyatakan lain.

Anda mungkin juga menyukai