Anda di halaman 1dari 5

Resume Buku: Ilfiltrasi Hermeneutika Terhadap Penafsiran Ayat-

ayat Ahkam

by Hibatul Wafi

Judul Buku : Ilfiltrasi Hermeneutika Terhadap Penafsiran Ayat-ayat


Ahkam

Penulis : Daden Robi Rahman

Penerbit : CIOS-ISID Gontor

Jumlah Halaman : xv+115

Tahun : 2010

Hermeneutika (Inggris: Hermeneutic) merupakan sebuah istilah yang diambil


dari Bahasa Yunani, yakni hermeneuein, yang berarti “mebafsirkan”, dan kata
benda hermenia, yang berarti interpretasi (penafsiran). Istilah hermeneutika dalam
Bahasa Indonesia bisa dikatakan baru, sebagai serapan Bahasa asing yang
digunakan. Terbukti bahwa kata ini tidak ditemukan dalam kamus besar Bahasa
Indonesia cetakan Departermen Pendidikan dan Kebudayaan, 1988. Padahal
kamus ini sendiri merupakan kamus yang sering dipakai sebagai standar
penggunaan kata yang bku dalam Bahasa Indonesia. Tetapi ditemukan istilah
Hermes yang selalu dikaitkan dengan hermeneutika dalam Ensiklopedi Indonesi,
garapan Hasan Syadily dkk, yang menjelaskan arwah orang mati ke dunia bawah,
tapi tidak ditemukan kata hermeneutika. (hal. 7-8)

Richard E. Palmer membuat interpretasi yang banyak dikutip mengenai proses


penerjemahan yang dilakukan Hermes. Menurutnya, proses tersebut mengandung
tiga bentuk dasar makna hermeneutis. Pertama, mengungkapkan atau menyatakan
sesuatu yang tadinya masih dalam pikiran melalui kata-kata sebagai medium
penyampaian dan pemberitahuan dari Hermes. Signifikansi teologi hermeneutika
merupakan etimologi yang berbeda yang mencatat bahwa bentuk dari herme
berasal dari Bahasa lain sarmo yang berarti to say (menyatakan), dan Bahasa latin
lainnya verbum yang berarti word (kata). Hal ini mengasumsikan bahwa utusan,
di dalam memberitakan kata adalah mengungkapkan dan menyatakan sesuatu
yang fusingnya bukan hanya untuk menjelaskan, tetapi menyatakan (procalaim).
Hermes sebagai utusan, membawa keimanan yang diturunkan dari Tuhan. Di
dalam perkataan atau pernyataan, ia berada diantara Tuhan dan manusia. Maka
bentuk pernyataan, perkataan, dan mengungkap ini merupakan hal terpenting
dalam interpretansi. Kedua, menjelaskan secara rasional sesuatu yang sebelumnya
masih samar-samar sehingga maknanya dapat dimengerti. Ketiga, menerjemahkan
suatu Bahasa yang asing ke dalam Bahasa lain yang lebih dikuasai pembaca.
Maka ketiga pengertian tersebut terangkum dalam pengertian “menafsirkan”
(interpreting, understanding). Hal ini karena segala sesuatu yang masih
membutuhkan pengungkapan secara lisan, penjelasan yang masuk akal, dan
penerjemahan Bahasa, pada dasarnya mengandung proses memberi pemahaman
atau dengan kata lain menafsirkannya. Kalau dalam Bahasa Hans Georg Gadamer,
sebagaimana dijelaskan Van A. Harvey yang dikutip Mamat S.B., hermeneutika
secara filosofis terbagi kepada tiga aktifitas aksistensi manusia, yakni subtillitas
intellegendi yang berarti memahami (understanding), subtillitas expplicandi yang
berarti menjelaskan atau menguraikan makna tersirat menjadi makna tersurat, dan
subtillitas applicandi yang berarti menerapkan atau mengaitkan makna suatu teks
dengan situasi baru dan kini. (hal. 9-11)

Van A. Harvey dalam tulisannya mengenai hermeneutika yang termuat dalam


marce Eliade, The Encylopedis of Religions, menyatakan adanya perbedaan antar
hermeneutic dan hermetic. Ia menjelaskan bahwa hermetic merupakan pandangan
filsafat yang disosiasikan pada tulisan-tulisan hermenetik, yaitu suatu literature
ilmiah di Yunani yang berkembang di awal permulaan abad Masehi setelah
Kristus. Tulisan ini disandarkan pada nama Hermes Trismegistus. Sedangkan
hermeneutika adalah merupakan suatu disiplin intelektual yang berkaitan dengan
hakikat dan syarat-syarat menafsirkan ekspresi manusia. Dengan penjelasan
tersebut hermeneutika dapat didefinisikan sebagai metode atau cara untuk
menafsirkan symbol berupa teks ataau sesuatu yang diperlakukan sebagai teks
untuk dicari arti dan maknanya. Dimaana metode ini mensyaratkan adanya
kemampuan untuk menafsirkan masa lampau yang tidak dialami, kemudian
dibawa ke masa sekarang. Senada dengan pengertian itu, hermeneutika bisa juga
dikatakan sebagai proses mengubah sesuatu atau situasi ketidak tahuan menjadi
mengerti. (hal. 12-13)

Friedrich Daniel Ernst Schleiermacher (1768-1834), seorang professor di


Universitas Berlin, membawa teori hermeneutika ini ke ranah hermeneutika
umum, bukan hanya interpretasi Kitab suci saja. Dalam pandangannya, sekalipun
Bibel adalah wahyu, namun ia ditulis dalam Bahasa manusia. Dengan kata lain,
Bibel merupakan karya manusia. Ia menawarkan seni interpretasi rekonstruksi
historis objektif dan subjektif terhadap sesuatu pernyataan. Dengan rekonstruksi
objektif historis, ia bermaksud membahas awal mula sebuah pernyataan masuk
dalam pikiran seseorang. Schleiermacher menyatakan bahwa dengan
hermeneutika bisa memahami teks sebaik atau lebih baik daripada pengarangnya
sendiri dan memahami pengarang teks lebih baik daripada memahami dirinya
sendiri. (hal. 16)

Sama dengan Schleiermacher, Wilhelm Dilthey (1833-1911) menggunakan


hermeneutika metodologis yang menginginkan kritik historis terhadap akal
menjadi kritik atas akal historis. Ia mengarahkan hermeneutika sebagai
pemahaman dan interpretasi atas kegiatan-kegiatan individu yang dengan
sendirinya tersituasikan dalam system-sistem eksternal dari organisasi-organisasi
social politik, dan ekonomi dengan nilai-nilainya sendiri yang sudah dianggap
mapan. Dilthey melihat hermeneutika sebagai fondasi geisteswissenchaften, ysitu
semuan ilmu social dan kemanusiaan, semua disiplin yang menafsirkan ekspresi-
ekspresi kehidupan batin manusia, baik dalam bentuk ekspresi isyarat (sikap),
perilaku historis, kodifikasi hukum, karya seni, atau sastra. Ia menyatakan bahwa
makna terdapat pada wilayah makro (lingkungan) dan tersembunyi pada setting
social (sitz in leben). (hal 16-17)

Sementara Hans Georg Gadamer (1. 1900), dijelaskan Joel C. Weinsheirmer


dalam Gadamer Hermeneutics: A Reading of Truth and Methode yang dikutip
Adnin Armas, tiak seperti Schleiermacher dan Dilthey yang terpaku pada
metodologi, tetapi ia pahami bahwa objektifitas tidak selalu ditentukan oleh
metodologi. Ia menyatakan, sejarah yang membentuk kesadaran dan pengetahuan.
Tidak pula seperti Dilthey yang memandang sejarah sebagai sesuatu objek, pasif,
dan dapat diinvestigasi bagianya manusia tidak dapat dipisahkan dari sejarah serta
tidak ada jarak antara dunia dan manusia. Efek kesadaran sejarah mengakibatkan
kondisi yang non-objektifikasi, meskipun kondisi itu selalu mengiringi proses
pemahaman. Gadamer menyakini penafsiran sebagai persoalan ontology. Maka
pemahaman merupakan bentuk dasar dari dasein (wujud). Di mana pemahaman
tersebut dapat menemukan makna dalam partisipasi pengarang dan penafsir.
Penasir dan teks senantiasa terikat oleh konteks tradisinya masing-masing. Jadi
penafsiran akan terus berulang dalam memahami teks secara baru dan memberi
makna baru. Begitupun Heidegger yang menggunakan hermeneutika ontologis,
menyatakan bahwa pemahaman teks terletak pada kegiatan mendengarkan lewat
Bahasa manusia perihal apa yang dikatakan dalam ungkapan Bahasa tersebut. Ia
juga menjadikan fenomenologi sebagai hermeneutis, di mana teori tidak
berlandaskan pada kesadaran manusia dan kategori kemanusiaan, namun
berlandaskan pada kemanifestasian sesuatu, realitas yang mejumpai kita. (hal. 17-
18)

Kemudian berlanjut dengan hermeneutika kritis yang digagas Jergen Habermas


(1. 1929) menyatakan bahwa makna teks terdapat pada kepentingan penulis,
lingkungan, dan sebagainya. Jadi, setiap makna mestilah dicurigai sebagai sesuatu
yang diawali interst (kepentingan) dibalik itu. Paul Ricoeur (1. 1913) dengan
hermeneutika ontologis dan kritis yang menempatkan makna teks secara otonom
dan terbuka, bukan pada pengarang ataupun konteks. Ia menangkap makna
dengan menggunakan empat tema sebagaimana dijelaskan Josef Bleicher dalam
Contemporary hermeneutics, 1990. Pertama, kesadaran yang diarahkan pada
akibat-akibat sejarah. Kedua, tidak ada pandangan umum menyeluruh yang
memberi kemungkinan untuk memahami totalitas akibat sejarah hanya dalam
waktu sekejap saja. Ketiga, jika tidak ada pandangan yang menyeluruh, maka juga
tidak aka nada situasi yang secara mutlak membatasi penafsir. Keempat,
perpaduan antar cakrawala, dimana tidak ada satu cakrawala pun yang bersifat
tertutup sejauh masih mungkin menempatkan seseorang pada pandangan yang lain
dan dalam kebudayaan yang lain pula kemudian Rudolf Bultman (1884-1976)
dengan hermeneutika teologis yang berpendapat bahwa tidak ada penafsiran tanpa
pra-andaian penafsiranyang didasari individualitasnya sendiri, maksud-maksdu
bias dan kebiasaanya yang khusus, kelebihan dan kekurangannya. Menurutnya,
makan mesti disesuaikan dengan masanya masing-masing dan dengan
menghubungkan pengarang dan penafsir (life relation). (hal. 18-19)

Teori hermeneutika untuk sementara berakhir pada teori dekonstruksi Derrida (1.
1930) yang menyatakan bahwa kebenaran bersifat imperative. Metode apapun
yang digunakan, baik fenomenologis, strukturalis, ataupun hermeneutic, pasti
akan mencapai kebenaran. Jika kebernaran itu meragukan, bukanlah karena
interpretasi yang lemah atau interpreternya yang lemah, melainkan karena
keterbatasan Bahasa atau karena keterbatasan dan ketidak sepurnaan manusia itu
sendiri. (hal. 19-20)

Infiltrasi hermeneutika terhadap studi al-Qur’an mempengaruhi cara pandang


seorang interpreter (mufassir) dalam memposisikan al-Qur’an sebagai firman
Allah. Terlebih lagi memandang sumber hukum yang lainya, seperti al-Sunah,
ijma’dan lainnya. al-Qur’an misalnya, dengan teori hermeneutika tidak lagi
dipandang sebagai Kitab Suci yang sacral yang turun baik lafadz dan maknanya
kepada Nabi Muhammad saw. Tetapi dipandang sebagai teks manusiawi (human
text) dan karya manusia yang kedudukannya sama dengan karya-karya yang lain.
Status al-Qur’an dalam bentuk tulisan telah berkurang dari kitab yang diwahyukan
menjadi sebuah buku biasa. Hal itu mencerminkan bagaimana hermeneutika
metodologis Schleiemacher teraplikasikan, dimana ia pelopor yang
mendesakralisasi Bibel sebagai teks yang sama kedudukannya dengan karya
manusia disertai klaim bahwa interpreter (mufassir) bisa memahami teks sebaik
pengarangnya bahkan lebih baik dari pengarang teks itu sendiri. (hal. 21-22).

Bentuk infiltrasi hermeneutika dalam penafsiran ayat-ayat ahkam, dicontohkan


pemikiran dua tokoh pemikir Islam kontemporer, yaitu fazlur Rahman dan
Mohammad Syahrur.

 Double Movement Fazlur Rahman

Teori double movement Rahman misalnya, merupakan salah satu bukti


bagaimana ia merepresentasikan gaya Barat dalam melakukan liberalisasi pada
syari’at Islam atas nama pembaharuan. Landasan pemikiran yang mebuahkan
teori aplikasi double movement-nya, sebagaimana dikutip Abd A’la, Fazlur
Rahman mengawali pandangannya terhadap al-Qur’an yang ia maknai sebagai
firman Allah yang pada dasarnya adalah satu kitab mengenai prinsip-prinsip dan
nasehat-nasehat keagamaan dan moral bagi manusia, dan bukan sebuah dokumen
hukum, meskipun ia mengandung sejumlah hukum-hukum dasar seperti shalat,
puasa, dan haji. Dari awal hingga akhir menurutnya, al-Qur’an selalu memberikan
penekanan pada semua aspek-aspek moral yang diperlukan bagi tindakan kreatif
manusia. Oleh karenanya, kepentingan sentral al-Qur’an adalah manusia dan
perbaikannya. Disamping itu, ia juga mengatakan akan historisitas al-Qur’an,
denganmengatakan bahwa. “al-Qur’an adalah respon ilahi atas masa al-Qur’an,
melalui pemikiran nabi, terhadap situasi moral dan social nabi Arab, khususnya
permasalahan komersial masyarakat Mekkah pada saat itu. ( hal. 26-27)
 Nazariyyah al-Hudud Muhammad Syahrur

Dalam melakukan pembaharuan interpretasi dalam studi al-Qur’an, Syahrur


menggunakan pendekatan hermeneutika dengan penekanan pada aspek filologi
(fiqh al-lughah). Di mana prinsip yang ia gunakan adalah keyakinannya kepada
anti sinonimitas (ketidak samaan) istilah dalam al-Qur’an. Sebagaimana jelas
terlihat dalam karyanya Al-Kitab wa Al-Qur’an, ia menggunakan metode
klasifikasi istilah yang menjadi bahan awal teori interpretasinya. Al-Kitab terbagi
kepada Al-Qur’an dan Umm al-Kitab. Al-Kitab ia gunakan untuk istilah khusus
yang hanya mencakup salah satu bagian dari al-Kitab yang terdiri dari ayat-ayat
mutasyabihat yang berdimensi al-nubuwwah dan bersifat istiqomah yang berarti
garis lurus, tetap, tidak berubah. Yang didalamnya terkandung kumpulan
informasi dan pengetahuan tentang kealaman dan kesejarahan yang dengan itu
dapat dibedakan antara benar dan salah yang terdapat di alam wujud (realita
empiris). Jadi al-Qur’an yang berdimensi Nubuwwah bersifat objektif dimana ia
berisi kumpulan aturan hukum yang berlaku di alam semesta dan berada di luar
kesadaran manusia. (hal. 41)

Anda mungkin juga menyukai