Anda di halaman 1dari 6

Nama: Iyul Julpadlillah

NIM; 1205020205

Kelas; 5E

Hermeneutik ialah suatu disiplin ilmu yang berkaitan dengan penafsiran,


interpretasi, dan pemahaman teks. Permasalahan pertama yang berhubungan
dengan pemahaman adalah esensi dan hakikat pemahaman itu sendiri: Jika dilihat
secara umum dapat diketahui bahwa dapat diartikan kata “Hermenetik”
mengandung arti sebagai suatu teori filsafat interpretasi makna. Dan juga kata
teresebut yaitu hermenetika merupakan asal katanya dari Bahasa Yunani yaitu
hermeneuin yang memiliki arti “menafsirkan”, dan kata bendanya yaitu hermenia
yaitu “interpretasi”. Dan juga Heremenetik itu jika menuturt istilah menurut
istilah mengandung arti yaitu suatu teori tentang operasi-operasi penalaran dalam
hubunganya dengan teks.

Maka kata hermenetika tersebut jika kita urutkan, kata hermenetik tersubut yaitu
adalah turunan dari sebuah kata yaitu Hermes, dam kata Hermes itu adalah sebuah
nama bagi sebuah Dewa yang ada dalam mitologi Yunani yang memeiliki tugas
menyampaikan dan menjelaskan pesan (massage) dari Dewa tersebut kepada
Manusia. Ada versi dari yang lain juga bahwa Herne situ ialah sesorang yang
ditus yang tuagasnya itu menyampaikan pesan yang ia terima dari Yupiter kepada
Manusia. Hermeneutik ialah suatu disiplin ilmu yang berkaitan dengan penafsiran,
interpretasi, dan pemahaman teks. Permasalahan pertama yang berhubungan
dengan pemahaman adalah esensi dan hakikat pemahaman itu sendiri.

Secara teologis pesan Hermes ini bisa dinisbatkan sebagaimana peran Nabi
utusan Tuhan. Sayyed Hoseen Nashr memiliki hipotesis bahwa Hermes tersebut
tidak lain adalah Nabi Idris a.s., yang disebut dalam Al-Quran, dan dikenal
sebagai manusia pertama yang mengetahui tulisan, teknologi tenun, kedokteran,
astrologi dan lain-lain. Menurut riwayat yang beredar di lingkungan pesantren,
Nabi Idris adalah orang yang ahli dibidang pertenunan (tukang tenun/memintal).
Sedangkan dilingkungan agama Yahudi Hermes dikenal sebagai Thoth, yang
dalam mitologi mesir dikenal dengan Nabi Musa.

Dengan demikian kata hermeneutika yang diambil dari peran Hermes adalah
sebuah ilmu atau seni menginterpretasikan (the art of interpretation) sebuah teks.
Sebagai sebuah ilmu, hermeneutika harus menggunakan cara-cara ilmiah dalam
mencapai makna rasional dan dapat diuji sebagai sebuah seni, ia harus
menampilkan sesuatu yang baik dan indah tentang sesuatu penafsiran.

Asumsi paling mendasar dari hermeneutika ini sebenarnya sudah jelas, yaitu
adanya pluralitas dalam proses pemahaman manusia; pluralitas yang dimaksud
sifatnya niscaya, karena pluralitas tersebut bersumber dari keragaman konteks
hidup manusia.

Problema dasar yang diteliti hermeneutika adalah masalah penafsiran teks secara
umum, baik berupa teks historis maupun teks keagamaan. Oleh karenanya, yang
ingin dipecahkan merupakan persoalan yang sedemikian banyak dan kompleks
yang terjalin disekitar watak dasar teks dan hubunganya dengan al-turats disatu
sisi, serta hubungan teks dengan pengarangnya di sisi lain. Yang terpenting di
antara sekian banyak persoalan di atas adalah bahwa hermeneutika
mengkonsentrasikan diri pada hubungan mufassir (kritikus untuk kasus teks
sastra) dengan teks. Kosentrasi atas hubungan mufassir dengan teks ini
merupakan titik pangkal dan persoalan serius bagi filsafat hermeneutik.

Apabila dikaitkan dengan proses interpretasi teks-teks, maka objek hermeneutika


dalam diskursus filsafat modern terkait dengan masalah-masalah yang timbul di
seputar apa yang dikenal sebagai “problem hermeneutik”. Problem semacam ini
timbul dengan sendirinya ketika seseorang disodori teks yang masih asing dan
berusaha ia pahami.

Dalam prinsipnya, hermenutik berkaitan erat dengan bahasa. Setiap kegiatan


manusia yang berkaitan dengan berpikir, berbicara, menulis dan
menginterpretasikan selalu berkaitan dengan bahasa. Realitas yang masuk dalam
semesta perbincangan manusia selalu sudah berupa realitas yang terbahasakan,
sebab manusia memahami dalam bahasa. Berbahasa selalu mengandaikan adanya
dua dimensi: internal dan eksternal. Dimensi internal adalah situasi psikologis dan
kehendak berpikir (intensi), sedangkan dimensi eksternal adalah tindakan
menafsirkan dan mengekspresikan kehendak batin dalam wujud lahir, yaitu kata-
kata yang ditujukan kepada orang lain. Karena berbahasa selalu melibatkan
penafsiran kehendak batin, maka tidaklah semua yang kita ucapkan senantiasa
berhasil mempresentasikan seluruh isi hati, pikiran, dan benak kita.

Dengan demikian, urgensi hermeneutik dan penerapannya cukup luas pada ilmu-
ilmu kemanusiaan (geisteswissenchaften) atau ilmu pengetahuan tentang
kehidupan (life science); sejarah, hukum, agama, filsafat, seni, kesusastraan,
linguistik, dan sebagainya

Penggunaan hermeneutik sebagai metode penafsiran semakin meluas dan


berkembang, baik dalam cara analisinya maupun objek kajiannya. Karenanya,
batasan Hermeneutik mengalami perkembangan diamtaranya padaHermeneutik
sebagai teori penafsiran kitab suci, hermeneutik sebagai sebuah metode filologi,
hermeneutik sebagai ilmu, . hermeneutik sebagai fenomena das sein dan
pemahaman eksistensialisnya.Linguistik, Hermeneutik sebagai tradisi ilmu
kemanusiaan, hermeneutik sebagai fenomena das sein dan pemahaman
eksistensialisme, dan hermeneutik sebagai sistem penafsiran.

Sebagai istilah ilmiah, Hermeneutika diperkenalkan pertama kali sejak munculnya


buku dasar-dasar logika, Peri Hermeneias karya Aristoteles. Sejak saat itu pula
konsep logika dan penggunaan rasionalitas diperkenalkan sebagai dasar tindakan
hermeneutis. Konsep ini terbawa pada tradisi beberapa agama ketika memasuki
abad pertengahan (medieval age). Hermeneutika diartikan sebagai tindakan
memahami pesan yang disampaikan Tuhan dalam kitab suci-Nya secara rasional.
Dalam tradisi Kristen, sejak abad 3 M , Gereja yang kental dengan tradisi
paripatetik menggunakan konsep tawaran Aristoteles ini untuk
menginterpretasikan al-kitab. Sedangkan dalam tradisi filsafat Islam, ulama kalam
menggunakan istilah Takwil sebagai ganti dari hermeneutika, untuk menjelaskan
ayat-ayat Mutasyabbihat.
Ketika Eropa memasuki masa pencerahan(rennaisance), dari akhir abad 18 M
sampai awal 19 M, kajian-kajian hermeneutika yang dilakukan pada abad
pertengahan dinilai tidak berbeda sama sekali dengan upaya para ahli filologi
klasik. Empat tingkatan interpretasi yang berkembang pada abad pertengahan,
yaitu, literal eksegesis, allegoris eksegesis, tropologikal eksegegis, dan eskatologis
eksegesis, direduksi menjadi literal dan gramatikal eksegesis. Pemahaman ini
diawali oleh seorang ahli filologi bernama Ernesti pada tahun 1761, dan terus
dikembangkan oleh Friedrich August Wolf dan Friedrich Ast.

Dilthey mendefinisikan hermeneutika sebagai dasar metodologis ilmu-ilmu sosial


kemanusiaan. Dilthey mencoba mendasarkan ilmu-ilmu sosial-kemanusiaan
dengan metode interpretatif. Hermeneutika masuk ke dalam wilayah filsafat lewat
peranan para humanis Renaisans. Lewat filsuf pencerah seperti Christian Wolff,
hermeneutika dimasukkan ke dalam bidang logika. Sehingga terbukalah jalan
untuk melepaskannya dari provinsi agama dan menjadi hermeneutika umum

Betti (1890-1968) mengusung bagaimana menempatkan sebuah pengalaman


manusia secara objektif dengan menyediakan sebuah teori umum penafsiran
terhadapnya yang didasarkan pada asumsi bahwa otonomi objek interpretasi dan
mungkinnya objektif. Betti menawarkan Hermeneutika sebagai auslegung
(penafsiran), yaitu bagaimana mendapatkan sebagai sebuah bentuk penafsiran
yang valid dan objektivitas historis dalam membuat sustu interpretasi yang valid

Teori Hermeneutik menurut Betti adalah penafsir melakukan investigasi


fenomena linguistic dari pembicaraan atau teks, didalam mengkritik momen,
penafsir harus menghindari dari kepentingan sosial, ideologi, komitmen, atau
sumber-sumber yang intoleran yang bisa menghalangi pemahaman, penafsir
menempatkan dirinya dalam posisi seseorang untuk dipahami dengan
menggunakan imajinasi dan wawasan, melakukan rekonstruksi untuk
memasukkan situasi dan kondisi untuk memperoleh hasil yang ingin dicapai baik
berupa ungkapan (dari percakapan) atau teks.
Hermeneutik Fenomenologi adalah tentang “ada”, membuka sesuatu yang
tersembunyi, bukan interpretasi atas interpretasi (teks), interpretasi untuk
membuka tentang hakikat “ada” menjadi terbuka. Hermenautik adalah ciri hakiki
manusia. Pendapat ini dikemukakan oleh seorang filsuf jerman yaitu Martin
Heidegger. Dasein adalah arti kata bahasa percakapan Jerman sehari hari “ada di
sana” atau pengertian eksistensi manusia. Fakta bahwa badan merupakan
persoalan bagi kita sangat penting bagi thesis Heidegger. Sesuatu menjadi
persoalan tulis Heidegger merupakan keadaan konstitutif badan dasein, serta ini
menunjikkan bahwa dasein dalam badannya memiliki hubungan terhadap badan
itu dan hubungan yang merupakan satu badan dirinya sendiri.

Hermeneutical fenomenologi Daseins Martin Heidegger dalam


mengeksploitasikan lingkaran heremenutika (Methods The Hermeneutical Circle)
sebagai struktur ontologis pemahaman (verstehen) untuk eksistensi manusia dan
interprestasinya. Bagi Heidegger hermeneutika bersifat ontologis "Dasein"  atau
berarti "ada di sana" atau being in the world. Arti "ada di sana" menunjukkan ciri
kewaktuan,  dan keterlemparan manusia, atau ontologi hermeneutika faktisitas
disebut Heidegger sebagai "Hermeneutik der Faktizitt" atau cara bereksistensi
manusia. Dasein hidup tidak hanya pada satu waktu tertentu, selalu ditemukan
dalam kerangka waktu. Masa lampau sebagai befindilikchkeit (dalam kondisi
ditemukan), kekinian sebagai rede (artikulasi dari penemuan diri dimasa lampau
dan anitisapasi ke masa depan). Masa depan sebagai verstehen (pemahaman)

Keseulitannya adalah ketika pemahaman (verstehen)  menjadi interprestasi maka


bahasa telah menyembunyikan gagasan yang ada dalam bahasa (hermeneutica
cycle) atau cara pandang sudah terbentuk. Maka pemahaman (verstehen) dan
kebermaknaan adalah basis bagi bahasa dan interprestasi. Hanya dalam [kata, dan
bahasa] muncul dalam keberadannya. Maka bahasa adalah rumah ada, atau
Heidegger menyebut [bahasa merupakan tempat tinggal keberadaan], dan wajib
diinterprestasikan.
Dengan demikian maka pemahaman (verstehen) mempunyai pra-struktur tertentu
yang turut berperan dalam mekanisme interprestasi atau 3 pra-struktur model
Heideggerian. Adanya pra-struktur pemahaman membiarkan [ada]
menyingkapkan diri dalam setiap interprestasi. Tidak mudah memahaminya,
tetapi Heidegger memposisikan hermeneutika sebagai dekonstruksi dan
rekonstruksi ulang ilmu metafisika klasik yang selama ini telah melupakan [ada]
yang menyembunyikan diri. 

      

Anda mungkin juga menyukai